Tampilkan postingan dengan label Ruh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ruh. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 September 2018

Logika (Bgn 3)



Seri Tanya Jawab : Billy Joe Hernandez dan Ustad Sinar Agama 

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:24



Billy Joe Hernandez : Salam Ustad, Mohon di jelaskan tentang substansi beserta bagian-bagiannya yang lima itu yaitu : 
  1. Matter (material) 
  2. Form 
  3. Benda 
  4. Jiwa/ruh dan 
  5. Akal Shukron ustadz. 
Sinar Agama : Salam dan terima kasih pertanyaannya:

1. Matter/matrial adalah dimensi material dari setiap keberadaan materi. Artinya ia adalah pembawa sifat potensi yang ada pada setiap keberadaan material. Misalnya mani yang dari sisi substansialnya terdiri dari dua hal, material dan formnya sebagai mani (bukan batu, pohon dan seterusnya). Mani jelas memiliki sifat yang dikenal dengan potensi, yakni potensi menerima form lain selain kemaniannya, misalnya darah, daging dan janin. Seluruh keberadaan materi, seperti pohon, kucing dan seterusnya, di samping memiliki formnya sebagai pohon dan kucing, ia juga memiliki material yang memikul sifat potensi menerima form/bentuk yang lainnya.


Nah, pembawa sifat potensi menerima form lain itulah yang dikatakan Matter/material. Sedang formnya, atau speciesnya, seperti pohonnya pohon (bukan materialnya pohon) sudah pasti tidak akan menerima form lain seperti tanah, atau api. Karena form ketika dalam keadaan eksis, maka artinya ia bukan form yang lain. Beda halnya dengan material pohon yang bisa menerima form tanah atau api dan/atau form-form yang lain.

2. Form adalah bentuk, tetapi bukan bentuk yang dipakai pada benda hingga berarti melingkar, kerucut dan semacamnya. Tetapi bermakna species dari setiap wujud materi. Seperti pohon, maka pohonnya pohon adalah formnya yang, karena itu ia dapat dibedakan dengan form lain seperti, air, batu, mani dan seterusnya. Atau manusia, maka akal atau manusianya manusia, adalah formnya, dan badannya yang membawa potensi menerima wujud form lain seperti tanah (kalau sudah mati) adalah matternya.

3. Benda adalah setiap apa saja yang menerima panjang, lebar dan tebal. Biasanya, setiap benda ini, selalu membawa matter dan form. Tetapi akal dapat membedakan apa yang disebut “benda” yang, biasa dilawankan dengan non benda atau non materi.

4. Jiwa atau ruh, adalah non materi secara zatnya tetapi material secara aktifitasnya. Seperti ruh binatang, ruh manusia, ruh pohon, ruh batu....dan seterusnya. Semua ruh-ruh itu, pada hakikat zatnya, adalah non materi, akan tetapi dalam aktifitasnya memerlukan pada materi. Karena itu, pohon untuk mengeluarkan zat asam, memerlukan badan pohonnya. Begitu pula ruh binatang dan manusia, untuk beraktifitas seperti gerak ikhtiarinya dan semua geraknnya itu, perlu kepada material atau benda.

5. Sedang akal, adalah yang non materi secara zat dan aktifitas. Seperti malaikat Barzakh dan malaikat Akal.

Wassalam. 


Chi Sakuradandelion dan 4 orang lainnya menyukai ini. 

Khommar Rudin : Allohumma Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad Wa ‘Ajjil Farojahum.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 26 Agustus 2018

Logika (Bgn 2)



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:22


Saepul Rochman : Assalamu’alaykum. wr.wb. Ustadz Sinar, mohon dijelaskan mengenai epis- temologi, cara-cara, kaidah-kaidah penafsiran/takwil Al-qur’an menurut Ahlu Bait dan bagaimana pendapat ustadz tentang Kritik Teks (naqd An-nash) Ali Harb, saya sedang belajar dan masih terasa kering jika berbicara tentang Islam yang sebenarnya, Wassalamu’alaykum.wr.wb.

Sinar Agama : Salam dan terimakasih pertanyaannya. Pertanyaan antum ini perlu jawaban sebuku setidaknya. Tetapi alfakir akan berusaha memberikan gambaran ringkasnya, tetapi tolong sabar, karena sudah beberapa jam belum selesai. Nanti baru akan dikirimkan di koment ini, doakan.

Salam dan terimakasih pertanyaannya : Pertanyaan antum ini memerlukan jawaban dalam satu buku, setidaknya. Hem. Tetapi karena kata orang Arab: Kalaulah tidak terjangkau keseluruhannya, jangan ditinggalkan semuanya. Jadi saya akan coba saja.

Tentang Mengenal ilmu al-Qur'an, maka perlu diketahui bahwa Qur'an itu adalah ilmu juga seperti ilmu-ilmu lainnya. Karena Qur'an diturunkan oleh Tuhan untuk membimbing manusia ke jalan yang benar. Artinya sesuai dengan alamiah ciptaan dan sistemNya. Karena itulah Qur'an menjelaskan semua hal, terutama yang berkenaan dengan diri manusia, alam sekitarannya yang berhubungan dengannya, dan tujuan penciptaannya, seperti Tuhan, surga, insan kamil dan semacamnya.

Karena itulah Qur'an adalah informasi terhadap hakikat sesuatu, baik dari mananya, di mana- nya dan kemananya. Yakni dari mana berasal, dan memiliki potensi apa, serta bagaimana menggunakannya. Walhasil Qur'an adalah manual alam semesta ini, baik yang berurusan dengan manusia atau makhluk yang lainnya. Jadi, dari sisi ini, maka Qur'an tidak beda dengan ilmu-ilmu lainnya yang menginfokan keniscayaan, potensinya dan cara penggunaannya untuk mencapai tujuan penciptaannya, yakni kesempurnaan.

Ilmu yang lain dari ilmu Qur'an, maksudnya adalah yang didapat dengan cara selain Qur'an, banyak sekali bentuknya. Bisa melalui Panca Indra yang ilmunya biasa dikenal dengan Ilmu Panca Indrawi. Ada yang dengan insting yang biasa dikenal dengan Perasaan. Ada yang dengan akal, yang biasa dikenal dengan ilmu-argumentatif-akliah. Ada juga yang dengan eksperiment yang bisa dikenal dengan Ilmu Laboratoris. Ada juga ilmu yang dicapai dengan pembersihan jiwa tingkat biasa yang disebut dengan Kasyaf dan ilmu Ladun. Ada yang lewat meditasi. Ada yang lewat bertapa. Dan semacamnya.

Sedang Qur'an sendiri itu, diturunkan lewat renungan yang dibarengi dengan pembersihan jiwa tingkat sangat tinggi hingga ruh seseorang (Nabi saww.) menjadi menjadi kertas putih yang layak untuk dijadakan lembaran-lembaran yang di atasnya Tuhan menuliskan beberapa ilmuNya yang perlu diketahui manusia yang, dikenal dengan Wahyu-syariat, yakni Qur'an dalam hal ini. Dan kalau tingkatan pembersihannya sama akan tetapi bukan syariat, maka dikatakan wahyu ilmu (bc: bukan syariat).

Beda ilmu yang ada dalam Qur'an dengan ilmu-ilmu lainnya setidaknya ada beberapa hal:

(a). Dari sisi kelengkapan obyek bahasan ilmunya. Yakni bahwa di Qur'an sudah dijelaskan semua sesuatunya, terlebih yang menyangkut nilai prilaku manusia, baik yang dibahasakan dalam bentuk hukum/fikih (sebagai dasar hidup yang wajib dan minimal) atau dalam bahasa akhlak (yang tidak wajib dan hanya pelengkap dan maksimalnya hanya dianjurkan) atau bahkan dalam bentuk Irfan/wahdatulwujud (yang semakin tidak wajib dan tidak dianjurkan secara umum).

Jadi, dalam Qur'an apapun yang ada di alam ini, khususnya yang secara naturalnya, dan potensi yang dikandung di dalamnya, dari masa lalu, sekarang dan akan datangnya, semua, sudah dijelaskan. Artinya natural dan potensinya yang berhubungan dengan prilaku dan ikhtiar manusia. Jadi, apa saja yang menyangkut makhluk dan potensinya, terutama yang berhubungan dengan ikhtiar dan karakter manusia, sudah diterangkan. Karenanya, yang bisa menguaknya hanyalah orang-orang yang spesialis mengkajinya. Ada obyek lain yang tak kalah pentingnya dan bahkan dasar dari semua yang diterangkan di dalam Qur'an. Yaitu tentang Tuhan itu sendiri. Baik ZatNya, Sifat ZatNya, Sifat Fi’ilNya, PerbuatanNya dan seterusnya. Sementara ilmu-ilmu selain Qur'an tentu saja tidak menyeluruh dan berkembang sesuai dengan kemampuan setiap masanya.

(b). Beda lainnya adalah dari sisi kepastian benarnya. Mengapa al-Qur'an pasti benar informasinya? Sudah tentu karena penginfonya, penulisnya dan penurunnya adalah Allah swt sendiri yang mencipta alam ini dengan segala sistem yang ada dimana Ia pasti tahu seluk beluknya. Karena itulah ilmu yang ada dalam Qur'an pastilah benar. Namun demikian, kebenarannya adalah kebenarannya. Artinya Qur'an yang benar itu adalah Qur'an yang Qur'an. Yakni Qur'an yang dimaksudkan olehNya, bukan Qur'an yang kita pahami.

Karena Qur'an yang kita pahami, sangat-sangat belum tentu sesuai dengan maksudNya. Jadi, Qur'an yang kita pahami ini, bisa benar dan bisa juga salah. Dan yang benarnya, bisa di tingkatan bawah, dan bisa di tingkatan tengah dan bisa pula di tingkatan atas.

Begitu pula, ilmu yang bukan dari Qur'an itu tidak mesti salah atau apalagi pasti benar. Tidak demikian. Jadi, ilmu selain dari Qur'an bisa salah dan bisa benar juga. Dengan demikian, Qur'an dan selainnya sama-sama menunjukkan kepada kenyataan, tetapi yang pertama pasti benar dan yang ke duanya belum tentu benar. Tetapi yang pertamapun harus Qur'an yang Qur'an, bukan yang salah pemahamannya.

Karena itulah maka Qur'an yang Qur'an dan ilmu-ilmu lainnya yang benar, sama-sama obor, sama-sama cahaya yang menerangi akal dan ruh kita untuk mengetahui obyek ilmunya atau kenyataan yang sesungguhnya. Kalau terjadi perbedaan antara ilmu Qur'an dan ilmu lainnya, maka bisa saja ilmu Qur'annya yang salah dan bisa juga ilmu lainnya, dan bisa saja sama-sama salah, dan bisa saja sama-sama benar yang belum diketahui titik temunya.

Semua ilmu, baik Qur'an dan bukan, ada yang mudah dan ada pula yang perlu dipikir. Tentu saja perbandingan di sini ini adalah antara Qur'an yang kita ketahui, artinya yang belum tentu sesuai dengan yang dimaksudkan Allah dan Rasul saww. atau para imam maksum as.

Pertentangan keduanya itu bisa dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:

(a). Ilmu Qur'an yang mudah lawan ilmu lain yang juga mudah. Di sini, sulit ditemukan kejadiannya. Karena secara fitrah dan seyogiyanya, akal dan keAdilan serta keBijakan Tuhan, keduanya harus seiring. Artinya, tidak mungkin Tuhan tidak meyakini-i atau menge- ya-i ilmu-ilmu mudah kita, seperti panasnya api, bahayanya harimau, cairnya air, padatnya batu, adanya marah dalam hati, cinta, rindu dan dendamnya, dan seterusnya. Karena itulah Tuhan mengatur semua itu. Coba bayangkan kalau Tuhan belum mengiyakan ilmu-ilmu mudah kita itu, maka Tuhan harus menerangkan dulu maksud marah dan baru bisa memberikan hukumnya, menerangkan dulu maksud makan dan minum baru menerangkan hukumnya dan seterusnya.

Nah, karena ilmu mudah itu adalah diperlukan seperti nafasnya manusia, maka pernyataan Tuhan dalam Qur'an yang berpijak pada hal-hal mudahpun pasti mauNya adalah yang dipahami manusia itu. 

Memang, ilmu mudah ini tidak mesti diketahui oleh setiap manusia dan/atau disadarinya. Karena itu ia memiliki beberapa syarat: Tidak dipikir; Sehat panca indra; Tidak gila; Tidak berpenyakit ragu; Disadari (konsen/fokus).

Yang dimaksudkan dengan “lawan” adalah “kontradiktif” atau saling menolak. Tetapi kalau hanya berbeda saja, maka sangat mungkin sama-sama benar.

(b). Ilmu mudah Qur'an lawan (bertentangan) ilmu sulit (yang perlu renungan) atau sebaliknya, yakni ilmu mudah selainnya (akal) lawan ilmu sulit Qur'an. Di sini, kita seyogyanya mengambil yang ilmu mudahnya. Apakah Qur'an atau selainnya. Dan meninggalkan yang sulitnya, apakah Qur'an atau selainnya.

Akan tetapi, untuk lebih hati-hatinya, maka harus ditengok ulang terlebih dahulu, apakah kemudahan ilmunya itu –Qur'ani atau selainnya itu- sudah benar-benar demikian, atau kita yang salah menerka hingga mengatakan bahwa ilmu pikir itu sebagai ilmu mudah. 

(c). Ilmu sulit Qur'an berlawanan dengan akal gamblang. Disini kita harus ambil yang akal gamblangnya. Kemudian mencarikan jalan keluar bagi pemahaman akan Qur'annya itu, dengan dalil-dalil akal gamblang tadi. Seperti., di dalam Qur'an dikatakan bahwa Tuhan mencipta nabi Adam as. dengan dua tanganNya. Di sini, kalau tangan ini dimaknai dengan arti yang biasa dipakai sehari-hari secara lebih banyak, maka Tuhan akan menjadi Benda. Karena akal gamblang mengatakan bahwa kalau punya tangan pasti punya tubuh, kepala dan semacaamnya. Karena itu pasti terangkap seperti yang diyakini Kristen (satu dalam tiga dan sebaliknya).

(d). Kalau sama-sama sulitnya, maka dilihat, mana yang memiliki dasar argument yang berakhir pada ilmu-mudah dan gamblang. Kalau salah satunya memiliki, maka ialah yang kita ambil. Dan kalau sama-sama, tidak memiliki karena belum ditemukan, maka tugas kita adalah tawaqquf, yakni no koment dulu.

Sementara untuk memahami Qur'an, maka banyak sekali syaratnya. Seperti bahasa Arabnya (termasuk sastranya), akal sehat, dalil sehat, asbabunnuzulnya, sejarah, hadits- hadits, ayat yang berhubungan.....dan seterusnya.

Sedang Untuk Pendekatannya:

(a). Bisa memakai metologi Pemahaman Qur'an lewat Qur'an. Yakni, bisa dikatakan metologi konstektual. Yaitu membandingkan ayat yang mau dipahaminya dengan ayat-ayat lain yang berhubungan, dan melihat kondisinya. Jadi tidak bisa memahami Qur'an hanya dengan tekstualnya saja. Yakni memahami satu ayat dan tidak membandingkannya dengan ayat-ayat lainnya.

(b). Bisa memakai metodologi Hadits. Yakni melihat penjelasannya dari hadits-hadits yang ada, baik menyangkut langsung atau tidak langsung. 

(c). Bisa memakai metodologi ilmu Kalam. Yakni memakai dasar-dasar pemikiran dan konsep yang ada dan sudah teruji di ilmu Kalam, lalu menerapkannya pada pemahama ayat-ayat Qur'an.

(d). Bisa juga memakai metologi Filsafat. Yakni memakai kaidah-kaidah dan konsep-konsep yang sudah diyakini kebenarannya di filsafat sesuai dengan dalil gamblangnya, lalu menerapkannya kepada pemahaman ayat-ayat.

(e). Bisa juga memakai metodologi Irfan. Yakni menggunakan nilai-nilai dasar yang ada dalam Irfan, lalu menerapkannya pada pemahaman ayat Qur'an.

(f). Dan lain-lain metodologi, seperti sejarah dan seterusnya.

Pendekatan paling bagusnya adalah memakai semua metodologi yang ada. Karena semua itu tidak bertentangan, akan tetapi bisa saling melengkapi.

Tentang buku kritikan terhadap penafsiran teks itu saya tidak bisa koment, karena harus cari bukunya dulu dan membacanya dengan bijak. Tetapi kalau yang dimaksudkan teks itu adalah teks ayat tanpa mengkomparasikannya dengan ayat-ayat lain setidaknya, maka penafsiran seperti itu, memang lebih menyesatkanya dari benarnya, kecuali kalau hal-hal yang terbukti mudah.

Saepul Rochman : Terima kasih jawabannya, ustadz. Afwan jika saya bertanya lagi, tidak bermaksud mendebat, karena apa yang ustadz katakan memang benar adanya. Hanya kegelisahan saja. Akhir-akhir ini sering muncul persoalan-persoalan, seperti “membebaskan Al-qur’an dari sejarah turunnya”, atau “asbabun nuzulnya hari ini”, “membahasakan Al-qur’an sebagai asas-asas teori sosial”. Kemudian saya pernah membaca Teorinya Asghar Ali tentang pendekatan teologi sosial, yang saya pahami adalah mendekati ayat-ayat teologis sebagai analogi dari proses sosial. Menurut ustadz sendiri tentang persoalan tersebut bagaimana...??. ,. Wassalam.

Sinar Agama: Saepul, Tak masalah antum bertanya atau berdebat. Yang diutamakan adalah memakai dalil, dan terlihat mencari kebenaran. Karena saya sendiri juga dalam pencarian yang tidak pernah henti. Memang, kalau debatannya itu dibahasakan yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing orangnya, maka akan lebih nyaman.

Membebaskan Qur'an dari Asbabunnuzulnya, bukan berarti mensosialkan bahasanya. Karena kedua- nya itu, tidak bertentangan, tetapi bahkan saling teriring. Kecuali kalau maksud pensosialisaiannya itu, adalah sosial sekarang. Karena, sosial sekarang, banyak yang tidak sama dengan sosial masa diturunkannya Qur'an. Karena itu, kalau sosial sekarang ini dijadikan tolok ukur pemahamannya, maka sudah pasti Qur'an akan keluar dari maknanya. 

Namun demikian, sosial manusia di setiap jaman tetap bisa menjadi pertimbangan makna Qur'an. Akan tetapi setelah memaknai terlebih dahulu dengan kondisi diturunkannya Qur'an itu. Artinya, kita harus tahu dulu makna asalnya. Setelah itu, baru menyesuaikannya dengan kondisi sekarangan. Hal itu agar tidak terjadi penyelewengan makna, dan tidak pula terjadi penyesuaian liar terhadap kondisi sekarang.

Kalau ulama, sudah sangat mengerti apa yang harus dilakukan. Karena dari masa ke masa hanya mengkaji Qur'an dan hadits-hadits. Jadi, mereka mengerti makna awal diturunkannya Qur'an itu yang tentu disesuaikan dengan kondisi sosial di masa turunnya Qur'an. Setelah itu, mereka mencoba mengerti makna sesungguhnya yang, biasa dikenal dengan ‘ilalusysyaraayi’ (filsafat atau sebab hukum). Dan setelah itu, ditranfusikan dari ulama sebelumnya ke ulama setelahnya secara akademis dan sistematis sampai pada hari ini. Jadi, penyesuaian itu sangat dilakukan dengan hati-hati pada setiap estafet sosial masyarakat, alias tidak sembarangan. Karena itulah yang tidak membidangi agama, mesti ikut mereka yang membidanginya.

Misalnya, dulu kita tahu bahwa yang memabokkan itu hanya ada satu macam, yaitu khamer (minuman memabokkan) yang juga telah dihukumi dengan haram. Tetapi kita juga tahu bahwa pengharamannya itu karena kemabokannya itu, bukan karena minuman kerasnya semata. Misalnya dengan adanya hadits yang mengatakan bahwa “Minuman keras itu diharamkan karena memabokkan.” Maka dengan ini kita menjadi tahu bahwa yang diharamkan itu bukan minuman keras itu sebagai minuman keras, tetapi sebagai sesuatu yang memabokkan (menghilangkan kesadaran).

Karena itulah maka apapun yang memabokkan, hukumnya adalah haram. Apakah ia beer, heroin, ganja ...dst. memabokkan. Jangan lupa, bahwa pembahasan sosial itu, adalah sebab dasar ke dua setelah akidah dari diturunkannya Qur'an. Artinya, hukum-hukum Tuhan itu diturunkan untuk menata sosial. Jadi, bahasa Qur'an memang sosial. Jadi, justru Qur'an itu untuk menata sosial kita manusia. Tentu saja dengan memahaminya terlebih dahulu dengan cara di atas itu.

Tentang teori teologi menuju sosiologi, itu memang inti dari Qur'an seperti yang diterangkan di atas itu. Artinya, apa arti kita bertauhid, kalau dalam urusan-urusan sosial kita mengambil dari hukum dan tata cara selain dariNya. Apa gunanya kita mengatakan Allah Maha Alim, Tahu, Kuasa, Kasih, Penyayang, Adil, Bijaksana......dan seterusnya, tetapi aturan hidup bersosial, berpolitik, berseni, berekonomi, berdakwah, .......dan seterusnya mengambil dari kocek sendiri, budaya sendiri dan, apalagi dari barat yang kafir? 

Wassalam.


Tika Chi Sakuradandelion, Bande Husein Kalisatti, Khommar Rudin, dan 13 orang lainnya menyukai ini.

Ammar Dalil Gisting: Shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad..

Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad.

Saifulbahrein Abdullah: http://www.facebook.com/.../Melawan.../434230616597552 Melawan Propaganda Musuh Membina Kesatuan Islam

Saifulbahrein Abdullah: Afwan enggak tahu mahu dikongsi dimana. Afwan. 

Daris Asgar: Allohumma Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad Wa ‘Ajjil Farojahum. 

Khommar Rudin: Allohumma Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad Wa ‘Ajjil Farojahum. 

20 April pukul 17:36 · Suka



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Logika (Bgn 1)



Oleh Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:20


Fluktuasi Manusia = Ketika manusianya manusia itu ditentukan akalnya, maka dalam hal apapun, seperti tentang dirinya, Tuhannya, agamanya, keluarganya, tetangganya, temannya, lingkungannya, negaranya, dunianya, bisnisnya, seninya, ilmunya, hukumnya, politiknya, kerjanya… dst.. Haruslah diukur dengan akalnya. Jadi, kapan saja ia tinggalkan AKAL dan masuk dalam INGIN, maka kala itulah ia bukan lagi manusia.

Dan AKAL = DALIL GAMBLANG.

Bento B D’Blueisland : Bagaimana dengan daya imajinasi & daya khayal ustadz? Termasuk dalam Akal atau Ingin? Atau malah tidak ada hubngan sama sekali? Mohon penjelasannya. Terima kasih.

Mujahid As-Sakran : Ustad, kaitannya dengan qalbu gimana? Sering disalahfahami antara aqal dengan qalbu, mohon pencerahannya, syukran.

Sinar Agama
Jawaban untuk Bento:

1. Khayal itu ada dua makna, filosofis dan umum. Kalau Filosofis, semua gambaran yang ada di akal itu adalah khayal. Khayal ini dibagi dua, memiliki hukum (subyek predikat) atau tidak, yang tidak dikatakan Gambaran/khayal, dan kalau memiliki hubungan hukum atau diterangkan menerangkan dan diyakini kebenaran atau kesalahannya maka dikatakan Yakin, dan kalau tidak diyakini keduanya, dikatakan Gambaran/khayal. Sedang makna umumnya adalah pikiran yang melantur.

2. Dengan sedikit mukaddimah itu, maka ketahuilah bahwa Akal secara filosofis adalah: Pahaman universal. Tapi makna tersiratnya adalah: Pahaman Universal dan penerapannya pada individunya serta memajukan khazanahnya dan memperbaiki kekeliruan info dan argumentnya.

3. Jadi, selain itu, maka ia adalah bagian dari Ingin atau Rasa atau Nafsu. Artinya, gambaran yang ada di akalnya itu hanyalah sebuah gambaran bagi kepengaturan daya-daya ruh yang dibawahnya, seperti hewani, nabati dan tambangi. Walaupun maksudnya di sini adalah yang hewani karena ia adalah rasa dan gerakan ikhtiar.

4. Resep umumnya, seperti yang kutulis di status itu bahwa Akal = Dalil Gamblang. Yakni Akal yang dimaksudkan dalam status tersebut adalah yang argumentatif gamblang.

Jawaban Untuk Mujahid:

1. Qalbu itu dalam bahasa Arab bisa bermakna Akal. Ini makna bukan kiasan atau majazi atau simbolik dan semacamnya, tetapi memang secara hakikinya. Jadi, makna itu ada dalam kitab-kitab kamus bahasa arab, Qur'an, Hadits, syair-syair arab dan percakapan keseharian arab.

2. Makna ke duanya, adalah hati. Yang dimaksudkan hati di sini adalah yang memompa darah. Dan ini tidak ada hubungannya dengan ilmu kecuali ilmu kesehatan.

3. Makna ke tiganya adalah hati. Yang dimaksud dengan hati di sini adalah tempat rasa dan perasaan manusia, seperti cinta, benci, marah, sabar, rindu, ...dan seterusnya.

4. Dengan sedikit mukaddimah itu akan menjadi mudah mengembalikan masalahnya kepada hati yang dimaksudknannya. Dan, sudah tentu, qalbu yang menjadi pedoman hidup dan harus ditaati adalah yang bermakna akal, bukan perasaan. Dan bahkan yang perasaan ini harus dipimpin oleh akal, yakni oleh argument. Jadi, kalau bingung maka harus mencari dalil dan argumentnya, bukan kembali ke hati yang perasaanis ini.

5. Hati yang perasaanis ini bisa jadi ukuran kalau ia sudah bersih dari keinginan yang tidak diridhai Tuhan. Dan cara membersihkannya adalah dengan cara membiasakannya mengikuti akal (argument). Dan kalau sudah sampai ke tingkat tinggi, seperti maksum, maka ia bisa menjadi cermin bagi kebenaran di alam nyata. Tetapi sebelum itu, jangan sekali-kali mengikutinya, apalagi manakala dalam keadaan bertentangan dengan akal.

6. Memang, hati yang perasaanis ini, bisa dijadikan pengingat, baik kita punya dalil akan kebe- narannya atau tidak. Artinya pengingat agar kita lebih hati-hati dalam menyusun argument dan dalil. Tetapi pedoman terakhirnya tetap akal dan dalil itu.

7. Orang yang ikut akal dan dalil, kalau salah, asal bukan karena egois, sombong dan fanatik dan lain-lain sebab yang bisa mengeluarkan akal dari dalil, maka ia akan dimaafkan Allah, dan cara hidupnya akan dihitung sebagai ibadah dan dipahalai.

Tetapi kalau mengikuti perasaan dan dijadikan pedoman, maka kalau salah tidak akan mendapat ampunan dan kalau benar, belum tentu diberi pahala. Karena ia mengikuti yang ia suka, bukan kebenaran, dan menghindari yang ia tidak suka, bukan yang dilarang Tuhan.

Jadi, sebagaimana amal itu tergantung niatnya, maka pahala dan tidaknya pun akan tergantung niatnya ini, bukan hanya karena mengikut benarnya dan menghindari salahnya. Tetapi karena apa dan siapa mengikuti yang benar dan menghindari yang salah.

Wassalam.


Tika Chi Sakuradandelion, Ammar Dalil Gisting, Heriyanto Binduni dan 10 lainnya menyukai ini.


Kharisma Kahr: Salam.. maaf ustad, boleh bertanya.. maksud poin ke 6 itu bagaimana ustad? Boleh saya tau contohnya, hati yang perasaanis bisa dijadikan pengingat baik kita punya dalil ataupun tidak..

Zainal Syam Arifin: Ijinkan saya yang dhaif ini ikut berkomentar pak ustadz : Jika kita bahas makna kedua tentang qalbu maka yang lebih tepat adalah hearth (jantung) bukan liver (hati). Dan ini sangat sesuai dengan tafsiran ahlul bayt (Imam ‘Ali) yang menyebutkan segumpal daging dan pembuluh darah dan hanya jantung yang berbuat begitu. Begitu pula di al Qur’an qalbu selalu disebutkan di dalam dada, sedangkan liver (hati) letaknya di bawah rongga data sebelah kanan (bukan termasuk rongga dada). Maka sebaiknya kita mengikuti cara sebutan orang barat atau tetap memakai bahasa arab. Kalaupun mau pakai bahasa Indonesia kenapa tidak dipop- ulerkan dan dibiasakan untuk menyebut “jantung”? Afwan pak ustadz.

Sinar Agama: Sufa: Maksud hati di situ adalah Ruh yang berdaya Hewani. Ruh manusia itu kan memiliki 4 daya: Daya tambang; Daya nabati; Daya Hewani; dan Daya akal. Daya tambang adalah yang mengatur atom-atom badan. Daya Nabati adalah yang mengatur pertumbuhan badan. Daya hewani adalah yang mengatur rasa-rasa dan perasaan, seperti cinta, benci, marah, sakit hati, suka, tidak suka ..dan seterusnya. Sedang Daya akal adalah yang mengatur akal dan pemikiran kita. Ruh kita itu satu dan non materi, akan tetapi dalam satunya itu, memiliki 4 daya yang tidak bisa dipisah seperti bagian-bagian materi.

Nah, pada poin 6 itu, hati yang dimaksud adalah perasaan manusia tersebut. Jadi, kadang ia menjadi petunjuk bagi kita terhadap kebenaran. Misalnya menyintai orang shalih atau imam- imam as dan nabi-nabi as. Akan tetapi karena kebelumtentuan benarnya perasaan tersebut, maka harus terlebih dahulu dibangunkan argumentnya.

Sinar Agama: Mas Zainal: Untuk masalah hati dan Qalbu ini sepertinya saya sudah menjelaskan- nya di asal tulisan di atas.

Dan dada itu, tidak mesti bermakna dada yang terdiri dari tulang dan daging ini. Tapi bisa juga perasaan itu. Karena itu maka penyabar dikatakan lapang dada. Artinya perasaan emosinya dapat ditekan dan perasaan pemaaf dan penyabarnya dilapangkan.

Karena, hati atau jantung atau apa saja, kalau ia berupa bagian materi dari badan, maka tidak berhubungan dengan pengetahuan, perasaan dan pemilihan apapun. Ringkasnya tidak ada hubungannya dengan ikhtiar dan perbuatan manusia.


3 Agustus 2011 pukul 20:52 · Suka · 2


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ




Lensa (Bgn 28): Cara Menyatukan Akal dan Hati



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 Juli 2011 pukul 15:42


Adzar Alistany Kadzimi : Assallammu’alayka warrohmah, numpang nanya ustadz bagaimanakah cara menyatukan akal dengan hati yang sudah sedemikian lama terpisah,,,,?

Sinar Agama : Salam dan terimakasih pertanyaannya, Hati itu, kalau maksudnya tempat menyim- pannya rasa-rasa, seperti marah, benci, cinta, suka, tidak suka, sedih, jengkel, gemes, bahagia, meratap, percaya, tidak percaya... dan seterusnya memang ia tidak boleh dijadikan ukuran dan pedoman. Karena Islam dan akal melarang hal itu. Jadi, yang jadi pedoman kehidupan itu adalah akal yang dibersihkan dari perasaan yang ada di hati itu. Jadi, tugas kita adalah mencari ilmu gamblang dan argumentatif, lalu diamalkan, baik hati ini suka atau tidak. Hingga nanti hatinya bisa bermakmum sepenuhnya dengan akalnya. Dan di Qur'an, hati itu banyak yang bermakna akal (begitu pula dalam bahasa Arab). Hal ini yang semacam tidak diketahui oleh kebanyakan orang Indonesia. Karena itu mereka sering mengutamakan hati dari akal. Saya dulu sudah menjelaskan hal ini dengan ayat-ayat nya, tetapi sudah lupa. Coba tanya pada Anggelia Sulqani Zahra, tetapi yang foto kepalanya lebih kecil. Karena ada dua akun ini.

Adzar Alistany Kadzimi : Jazzakallah ahsana wa afdolal jaza yaa Ustadz, kemudian bagaimana dengan bisikan yang ada di kepala bagian atas tengah, atas kanan, dan atas kiri saya Ustadz apakah itu termasuk bagian dari akal? Tentang pengartian Qolbu dalam pengertian sebenarnya adalah akal dan bukan hati, ana sudah membacanya sekilas di tafsir Al-Amtsalnya Ayatullah Al- Udzma Syaikh Nashir Makarim As-Syirazi.

Sinar Agama : Bisikan itu bukan pada kepala, tetapi pada ruh kita. Tuhan tidak mengatakan bahwa iblis akan mendatangi kepala bagian depan, belakang, kanan-kiri. Tetapi mengatakan bahwa akan mendatangi manusia dari arah-arah tersebut. Lihat QS: 7: 17:

ثُمَّ لَتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَ تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

“Kemudian akan kudatangi mereka dari depan, belakang, samping kanan-kiri mereka, hingga Engkau tidak akan menemui kebanyakan mereka yang bersyukur”.

Dan yang dibisiki jin/iblis ini adalah ruh kita. Tentu saja tergantung apa yang akan dijejelkan kepada kita. Kalau tentang rasa-rasa dan perasaan, maka ia akan membisiki hati kita, dan kalau ilmu-ilmu menyesatkan akan membidik akal kita. Karena itulah saya sering mengatakan bahwa akal ini harus didasarkan pada dalil gamblang, bukan suka tidaknya, cenderung tidaknya kita, karena kalau kita sudah berusaha obyektif dan telah pula melihat argument yang kuat (tanpa pamrih) tetapi ternyata masih salah, Allah akan mengampuni kita. Tetapi kalau kita mengikuti suka tidaknya, yakni mengotori akal dan hati, maka kesalahannya tidak akan dimaafkanNya.

Ketahuilah bahwa agama ini diturunkan untuk manusia karena manusia punya akal, bukan hati. Karena binatang juga punya hati itu. Karena itu binatang juga menyayangi anaknya dan melindunginya. Tetapi mereka tidak dituruni syariat karena tidak memiliki akal.

Akal adalah kekuatan menyimpulkan universal dan menerapkan premis-premis universal kepada individunya, serta dapat mengembangkan info-info dan ilmu-ilmunya.


Tika Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin, Eman Sulaeman, dan 28 orang lainnya menyukai ini.


Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad. 

Eman Sulaeman: Allahumma Sholli ‘Ala Muhammad Wa Ali Muhammad. 

Matahari Senja: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad. 

Roni Tacconi: Istimewa.... Alafu, ijin share ya... 


16 Mei 2013 pukul 0:28 · Suka



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Kamis, 23 Agustus 2018

Kisah Penciptaan Ruh Manusia Menurut Filsafat dan Qur'an



Seri tanya-jawab antara Fan Malaka dan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Thursday, April 7, 2011 at 3:22 am



Fan Malaka: Assalamu alaikum ustads, saya mau bertanya tentang jiwa, saya pernah dapat referensi yang mengatakan bahwa jiwa itu bermula secara material dan berkelanggengan secara spritual.

Apa maksudnya itu, apakah jiwa itu merupakan materi? Terus dimana batasan antara materi dengan non materi? Tolong penjelasannya. Terimakasih sebelumnya.

Gonzalo ’nanda’ Higuain Haeruddin Syam Deejay Gany

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 



(1). Dalam bahasa Arab hal yang antum tanyakan itu dikenal dengan: ”Maadiyatu al-huduuts wa ruuhaaniyatu al-baqa’ ”, yakni bahwa ruh itu adalah materi secara keberadaannya dan ruhi secara kelanggenngannya. 

(2). Sebelum saya terangkan lebih jauh, perlu diketahui bahwa keyakinan para filosof sebelum Mulla Shadra ra, dan begitu pula para muslimin, meyakini bahwa ruh manusia itu sudah dicipta sebelum badan dan berada di alam ruh atau alam alastu (bukankah Aku Tuhan?). Mereka meyakini bahwa ruh itu ada sebelum badan dan baru setelah badan bayi di dalam perut sudah siap menerimanya, maka Tuhan melalui malaikatNya, meniupkan ruh itu ke dalam tubuh janin yang ada di dalam perut ibunya tsb, yakni sekitar kandungan berumur 4 bulan. 

(3). Dalil bagi para Filosof, adalah dari Plato yang telah membuktikan adanya ”alam mitsal” atau ”alam barzakh” atau ”alam mirip materi” atau ”alam khayal” atau ”alam ide” atau ”alam seperti mimpi” atau ”alam mirip materi selain materialnya atau matternya”. 

(4) Sedang dalil dari muslimin adalah QS: 7: 172, yang berbunyi: ”Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian dari jiwa mereka (seraya berfirman): ’Bukankah Aku ini Tuhan kalian?’ Mereka berkata ’Benar, kami menjadi saksi.’” 

(5) Karena itu, maka alam ruh itu dalam Islam dikenal dengan ”Alam Dzar” atau ”alam bibit” atau ”alam atom” atau ”alam ruh” atau ”alam alastu” (mengambil dari ayat di atas yang berbunyi ”alastu birobbikum”, yakni ”bukankah Aku Tuhan kalian”) karena itu muslimin juga mengistilahkan dengan nama ”alam alastu” yakni ”alam bukankah Aku” ...dst. 

(6). Sebelum saya meneruskan jawaban ini, saya perlu ingatkan Antum pada susunan tiga alam makhluk: Pertama makluk Akal dengan derajatnya yang banyak, yakni malaikat tinggi. Kedua, makhluk Barzakh yang disebut dengan malaikat tengah antara malakat tinggi dan alam materi. Ke tiga, alam materi. 

(7). Allah mencipta langsung hanya Akal-pertama, dan dari Akal-pertama itu, Allah mencipta Akal-ke dua, dan dari ke dua ke ke tiga, begitu seterusnya sampai ke Akal-akhir yang juga dikenal dengan ’Arsy dan Lauhu al-Mahfuzh. 

Dari Akal-akhir itu Allah mencipta malaikat tengah yang dikenal dalam Qur'an dengan ”mudabbiraati amran” atau ”pengatur semesta materi”, seperti malaikat Jibril, Mikail, malaikat hujan, bumi, langit, sungai, laut, angin, .... dan seterusnya dari semua makhluk materi. 

Kemudian dari malaikat Barzakh itu, Tuhan mencipta alam materi ini. 

Semua ini, sudah sering diterangkan di catatan-catatanku tentang filsafat dan irfan atau akidah dan Kalam. Jadi, kalau ingin tahu dalilnya, tentang megapa harus demikian, maka silahkan merujuk ke tempat-tempat itu. 

(8). Sebelum aku teruskan, orang seperti Moldiy (nama akun) itu pusing dengan keberasalan hadhrat Faathimah as bahwasannya beliau as dari jabaruut dan dikiranya hal itu sama dengan Kristen yang mengatakan bahwa Isa as dari titisan Tuhan, karena ketidakmengertiannya terhadap bahasa orang yang berbicara dan dimaknakannya dengan bahasanya sendiri dan ilmunya sendiri yang bak katak dalam tempurung. 

Ketahuilah, bahwa alam Akal itu disebut dengan Jabaruut. Jadi semua materi dari Barzakh yang juga disebut dengan Malaakut, dan Barzakh ini dari Jabaruut itu. Jadi, bukan hanya para nabi dan rasul atau makshumin atau hadhrat Faathimah yang dari jabaruut, tapi semua alam materi ini dari sana datangnya. Karena itulah Jabaruut itu juga disebut denga ”Gudang Tuhan”, atau ”Khazaain” (QS: 15: 21) yang kurang lebih bunyinya: ”Tidaklah setiap sesuatu apapun, kecuali dari gudang Kami, dan Kami menurunkannya sesuai ukurannya”. 

Jadi, kehebatan para makshum as itu bukan dari sananya, tapi ketika kembali dengan ikhtiar taqwanya itulah dimana mereka berhasil kembali lagi ke Jabaruut itulah yang dikatakan kehebatan. Karena manusia banyak mangkal di Barzakh bagian neraka (karena surga neraka bertempat di Barzakh itu), dan kalaulah agak hebat berada di Barzakh bagian surga. Tapi mereka melesat jauh sampai ke ’Arsy, dan di atasnya, sampai ke Akal-pertama dan Asma- asma HusnaNya. Nah, Ilmu Tuhan tentang keberhasilan mereka yang sampai ke tingkat tinggi itulah yang dikatakan bahwa mereka berasal dari sana. Karena Ilmu Tuhan sebelum kejadiannya, rinciannya lihat di Wahdatulwujud. Karena itulah Akal-satu itu dikatakan juga dengan Nur-Muhammad, yakni Ilmu Allah tentang keakan mencapainya Muhammad saww ke maqam itu. 

(9). Setelah kita ingat lagi akan susunan tiga alam itu, maka ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan alam ruh bagi yang mengimaninya, adalah alam barzakh itu. Jadi ruh-ruh manusia sudah dicipta di sana dan setelah ada janin yang siap menerimanya, maka ditiupkan ke dalamnya hingga bayi itu menjadi hidup. Nah, pertanyaan Tuhan itu, terjadi di alam ruh yang disebut dengan berbagai nama itu yang, kedudukan alamnya adalah alam Barzakh tersebut. 

(10). Sesuai dengan yang mengimani alam ruh ini, baik karena dalil filsafati atau dalil Qur'ani, maka ruh adalah ruhaaniyyatu al-huduuts dan baqaa’, yaitu bahwa ruh manusia itu adalah non materi secara awal kejadiannya dan begitu pula kelanggenannya. Karena sebelum ditiupkan adalah non materi (ruhi) dan setelah matinya nanti kembali lagi menjadi ruhi atau non materi. Jadi, baik awal kejadiannya atau kelanggengannya, ruh itu adalah ruhi atau non materi.

(11). Akan tetapi bagi Mulla Shadra ra, semua dalil itu, tidak benar dan kurang pada tempatnya. Dengan alasan, bahwa kalau ruh itu dari awal sudah ada, berarti dia hebat dan penuh pengetahuan. Karena sewaktu keberadaannya non materi, maka tidak ada yang terhijabi baginya kecuali keberadaan yang ada di atasnya. Dan karena itulah, mereka yang mengimani itu juga mengiyakannya dan mengatakan bahwa ketika ruh itu menyatu dengan badan maka semua ilmunya sirna karena terhijabi dengan badan. Dan karena itulah, kata mereka, kadang kita ketika melihat sesuatu seperti pernah melihatnya sebelumnya, sebenarnya kejadian itu karena memang sudah dilihatnya sewaktu di alam ruh itu tapi sudah lupa karena hijab badannya. 

Nah, ketika ruh itu tahu segalanya, lalu mengapa Tuhan menurunkannya ke materi hingga menjadi bodoh kembali? Bukankah semua perbuatan Tuhan itu memiliki hikmah? Lalu apa hikmah penurunan ruh yang hebat ini ke alam materi dan kebodohan ditambah dengan syahwat yang nantinya bisa masuk neraka? 

Jadi, bagi MS (kependekan Mulla Shadra ra), hal seperti itu tdk masuk akal karena tidak adanya hikmah dari penurunan itu. Lalu bagiamana menurutnay tentang penciptaa ruh yang non materi ini? 

MS mengatakan: ruh itu memang ditiupkan kepada badan ketika badan bayi sudah siap menerimanya. Akan tetapi yang ditiupkan kepadanya bukan ruh yang sudah ada, tapi pengadaan baru yang dilakukan dengan peniupan itu yang dilakukan oleh malaikat yang mengurusi manusia. 

Artinya, malaikat ruh itu, adalah wujud yang satu. Dia adalah tuhan spesies manusia atau pengatur manusia yang selalu mengontrol perkembangan ruh lemah ke ruh kuat yang biasa dikenal dengan ruh manusia ini dan siap menjadikannya, alias membentuknya menjadi ruh manusia yang de fakto. Jadi, malaikat ruh bukan membuat ruh-ruh yang banyak dan setelah itu meniupkannya ke bayi di dalam perut, bukan begitu. Akan tetapi ia sendiri yang satu itulah yang meniupkan ke dalam badan bayi yang sudah siap itu. Artinya, mewujudkan dan merestui perkembangan ruh yang dikontrolnya itu untuk menjadi manusia. 

Dengan penjelasan yang lain: Ketika seorang ayah makan daging kambing atau biji-bijian yang mengandung hormon, maka benda mati yang disebut materi itu menjadi semakin halus di dalam perut karena menjadi gizi. Di dalam kaidah dan dalil yang lain di filsafat, tidak ada benda yang tidak memiliki ruh. Batu, tanah, biji-bijian, daging, ... semuanya, memiliki ruh. Dalilnya lihat di catatan-catatan sebelumnya. 

Nah, ketika daging atau biji-bijian yang memiliki ruh daya tambang itu (karena kerja ruhnya hanya semacam memutar-mutar atom badaniahnya) menjadi gizi, disini ruh tambangnya belum berubah ke ruh yang lebih tinggi, baik nabati atau hewani. 

Akan tetapi, ketika sudah menjadi mani di kandung mani seorang calon ayah, maka benda mati atau yang hanya ber-ruh dengan ruh tambang itu, kini memiliki ruh yang lebih tinggi, yaitu ruh nabati (berkembang) dan bahkan hewani karena bisa bergerak dengan kehendak. 

Ketika ia bertemu dengan ovum yang juga memliki ruh daya tambang, nabati dan hewani, maka pertemuan kedua benda itu membuat kedua ruhnya juga bertemu. 

Ruh yang bertemu itu semakin hari semakin menguat. Hingga pada sekitar umur 4 bulan, ruh itu sebegitu menguatnya hingga bisa dikatakan ruh manusia. Artinya sudah mulai melakukan gerakan-gerakan manusia walau dalam bentuk keterbatasannya di dalam perut.

Memang, manusia itu dikatakan manusia ketika sudah bisa memahami universal. Akan tetapi karena kepotensian dia di dalam perut dan begitu pula nanti setelah lahir, bisa dikatakan sudah sangat dekat pada de faktonya itu. Karena itu, bayi di dalam perut dan yang sudah lahir tapi belum memahmi universalpun dapat dikatakan manusia, karena kedekatakan potensinya pada de faktonya itu. 

Arti peniupannya itu adalah restu yang berupa pewujudan pada pencapaian ruh pada estafet manusia yang paling dasar itu. Karena semua proses itu tidak bisa terjadi kecuali dengan pengaturan Tuhan yang melalui para malaikataNya itu. Begitu seterusnya berkembang menjadi pandai dan taqwa, atau bodoh tan fasik, atau alim dan fasik .... dan semacamnya, maka pada akhirnya ia mati. Artinya ruhnya meninggalkan badannya. 

Nah, ketika ia mati itulah ia menjadi ruh yang mutlak atau non materi yang mutlak alias tanpa campuran materi lagi. Jadi, Ruh Manusia itu pada awal kejadiannya adalah materi, tapi dalam kesinambungan dan kelanggengannya adalah non materi atau ruhi. 

Inilah yang diaktakan bahwa Ruh Manusia itu materi di awal kejadiannya dan non materi di kelanggengannya. Berbeda dengan yang sebelumnya yang mengatakan non materi atau ruhi di awal dan kesinambungannya. 

Karena itulah yang mngingkari Tuhan dikatakan Kafir, karena ia tidak bisa mengingkarinya. Kafir yakni Coverer atau ”yang menutupi”. Yakni menutupi apa-apa yang ada di hatinya tentang kepercayaannya terhadap adanya Tuhan. Yakni menutupinya dengan kata-katanya yang dusta dengan berkata ”aku tidak percaya adanya Tuhan”. 

Wassalam. 

Bande Husein Kalisatti and 36 others like this

Fatimah Zahra: Ustad, mantap!! Cuma yang jadi pertanyaan saya, apa kah ruh dan jiwa itu sama? Mohon pencerahannya ustad. Syukran... 

Mata Hati: Ustad saya mau tanya, peristiwa Adam dan pohon larangan itu apakah ada di alam mitsal? Dan kalau memang benar demikian tampaknya penciptaan Adam pun berproses melalui materi yang berevolusi sehingga menjadi manusia yang sadar, mohon penjelasannya!

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya. 

Sinar Agama: Fathimah: Ruh dan jiwa/nafsun itu sama saja. 

Ruh dikatakan ruh karena kecenderungannya pada kenonmaterian mutlak, yaitu Akal-akhir. Karena ruh dari dimensi daya akalnya (dari keempat daya ruh: tambang, nabati, hewani dan akli) bisa melesat sampai ke Akal-akhir dan bahkan Akal-pertama. 

Sedang Ruh dikatakan Nafsun atau Jiwa, karena kepengurusannya terhadap materi. Yakni karena dimensinya dalam mengatur materi atau badannya. Yaitu ruh yg dimensi daya tambangnya (mengatur putaran-putaran atom, darah dst), dimensi daya-nabatinya (mengatur pertumbuhan badannya dan beranak pinaknya) serta dimensi daya-hewaninya (yang mengatur gerak ikhtiari dari pada badannya).

Sinar Agama: Ricok, 

(1). Sebagian orang menafsirkan bahwa Ruh yang dimaksud itu adalah malaikat Jibril as. 

(2). Akan tetapi di tafsir al-Miizaan, dkatakan bahwa ia adalah yang dimaksud Tuhan dalam ayat yang lainnya yang berbunyi: 

“Katakan bahwa ruh itu adalah dari urusan Tuhan!” 

Jadi, Ruh disini adalah wujud non materi sebagaimana telah dijelaskan oleh pengarang tafsir tsb di tempat lain. 

(3). Dalam hadits yang diriwayatkan dalam tafsir di atas yang dinukil dari tafsir al-Burhaan, 

......
بإسناده عن أبي بصير قال∫ كنت مع أبي عبد الله عليه السلام فذكر شيئا من 
:أمرالإمام إذا ولد فقال 
استوجب زيادة الروح في ليلة القدر فقلت: جعلت فداك أ ليس الروح هو جبرئيل؟ فقال: جبرئيل من الملائكة
."و الروح أعظم من الملائكة أ ليس أن الله عز و جل يقول: "تنزل الملائكة و الروح

yang kurang lebih artinya: ...dari Abu Bashiir, berkata: Aku bersama Abu ‘Abdillah as. lalu beliau menerangkan tentang sesuatu yang berkenaan dengan imam dikala lahirnya. Beliaupun berkata: “Imam adalah yang wajib diziarahi oleh Ruh pada malam lailatu al-Qadr.” Aku berkata: “Maaf, bukankah Ruh itu adalah malaikat Jibril?” Beliau menjawab: “Jibril itu dari bangsa malaikat, sedangkan Ruh ini adalah lebih agung dari malaikat. Tidakkah Allah telah berfirman: ‘Turun malaikat dan Ruh. 



(4). Kalau boleh saya simpulkan dari penukilan di atas, maka Ruh yang dimaksud dalam surat al- Qadr yang turun bersama para malaikat dan ia lebih agung dari malaikat itu adalah Makhluk non materi yang mengurusi manusia yang biasa disebut dalam filsafat dengan tuhan spesies manusia. 



Alfakir juga sering mengatakan, terutama dalam menjelaskan tentang penciptaan nabi Adam as (lihat catatan berjudul: Peristiwa nabi Adam as. dalam Pandangan Filsafat -hadiah kecil hari ied al-Ghadiir), bahwa Malaikat yang mengatur manusia ini lebih tinggi dari malaikat-malaikat lainnya. Karena itu tingkatannya di alam Barzakh lebih tinggi dari yang lainnya. Yakni di atas neraka dan surga. Artinya makhluk Barzakh yang ada di kaki ’Arsy atau menjelang ke ’Arsy atau Lauhu al-Mahfuuzh. 



(5). Dalam pembahasan kita di atas, maka Ruh yang kita bahas adalah ruh yang ada pada manusia ini. Dan ruh yang dibahas di surat al-Qadr itu adalah peniup ruh yang ada di bahasan kita di atas itu. 

Semoga sudah jelas dan wassalam.

Sinar Agama: Anggelia, kamu sudah tidak perlu lagi meminta ijin, karena semua orang sudah dibolehkan menampilkan semua tulisanku selain yang berjudul “suluk ilallah” itu dimana saja dan dalam bentuk apa saja, asal untuk kebaikan dan tidak untuk bisnis. Ini dari sisi hukum halal- haramnya. Sedang dari sisi akhlaknya, yang tidak kuwajibkan juga dalam hal ini, maka memang meminta ijin itu adalah bagian dari akhlak. Jadi, jawabkanku, silahkan saja, he he he(.)

Sinar Agama: Abdul Hakim, aku sudah menjelaskan apa yang antum tanyakan itu di catatan- catatanku. Terutama di catatan yg berjudul ”Peristiwa nabi Adam as Dalam Pandangan Filsafat -hadiah kecil hari ied al-Ghadiir” itu. 

Intinya: Badan nabi Adam as dicipta dari tanah dan penciptaannya di bumi. Tentu saja karena dari tanah, maka pasti mengalami proses sesuai dengan hukum alam yang, mungkin kita sekarang belum bisa mengetahuinya. Proses yang tidak kita ketahui itu, yang pentingnya, adalah pengadaan calon badan nabi Adam as ini kepada badan yang layak mendapatkan ruh manusia. Karena itu, sudah pasti dari tanah itu terproses menjadi daging dulu, jantung dulu, darah dulu, mata dulu, paru-paru dulu ....dan seterusnya. 

Nah, setelah badan itu siap, maka ditiupkanlah ruh individu manusia oleh pengurus manusia itu yang juga disebut dengan Ruh A’zham atau Ruh Agung atau juga Ruh Universal dimana lawannya adalah Ruh Individu kita-kita ini. Namun, walaupun nabi Adam as sudah mulai bernafas dan hidup setelah peniupan ruh itu (dimana peniupannya ini juga dari dalam diri seperti yang sudah diterangkan di atas), akan tetapi karena ia adalah manusia pertama, maka Alah mengajarinya dalam wahyu mimpinya. 

Di atas telah dikatakan bahwa makhluk agung non materi yang mengurusi manusia ini menempati tempat atau maqam yang paling tinggi di alam barzakh. Artinya ada di atas surga. Karena itulah, maka nabi Adam as dapat melihat surga kalau Allah mengijinkannya. Dan begitulah yang terjadi. Demi pengajarannya itu. Maka terjadilah apa yang terjadi yang dimuat dalam kitab suci Al-Qur'an itu, sampai beliau dikeluarkan darinya. Yakni bangun dari tidurnya karena sudah lapar yang tidak tertahan dimana dalam Qur'an dikatakan dengan memakan buah terlarang itu. Yakni terlarang karena kalau memakannya menjadi bangun. Yakni terlarang makan buah itu, karena maksudnya adalah perutnya merasa lapar dan ingin makan serta memutusi makan. 

Nah, ketika nabi Adam as memutusi makan karena sudah lapar sekali secara fisik yang ia juga tidak tahu hal itu sebelumnya karena merupakan lapar pertama kalinya, yang telah digambarkan dengan tergiurnya pada buah terlarang itu, maka ia-pun makan buah terlarang tersebut. Tapi dalam mimpi wahyunya itu tergambar dengan tergiurnya yang teramat sangat (yakni gambaran lapar yang sangat) pada buah tsb. Maka terjadilah yang sudah terjadi itu. Yakni harus makan dan memakannya. Akhirnya, beliau as dikeluarkan dari surga, ALIAS bangun dari tidur dan mimpi wahyu pertamannya itu. Dan seterusnya. Wassalam.

Bande Husein Kalisatti: @Ustad SA : kalau boleh ana memahami dari penjelasan antum tentang makan buah khuldinya nabi Adam as, adalah saat Allah swt meniupkan ruh individu manusia (Ruh A’zham) maka metabolisme tubuh (jasad) Adam bekerja.. karena bekerja inilah maka muncul hawa lapar, haus dalam jasad Adam as.. nah karena utulah maka Adam as makan buah khuldi untuk menghilangkan rasa lapar tesebut.. afwan ustad..kalau salah tolong dioreksi.

Sinar Agama: Bande: Tuhan meniupkan ruh individu, yakni ruh Adam as itu melalui Ruh A’zham/ agung. Yang lainnya sudah benar. Karena perutnya lapar, maka nabi Adam as sudah tidak tahan untuk tidak makan buah Khuldi yang dilihatnya dalam mimpinya itu yang ada di dalam surga itu, tanpa ia pahami mengapa tidak bisa mengekang dirinya untuk tidak makan. 

Sedang waswas syethan itu hanyalah keinginan syethan untuk mempercepat bangunnya nabi Adam as supaya bisa cepat diganggunya dan anak keturunannya seperti ia dapat membuktikan kepada Tuhan bahwa ia benar tentang pandangannya bahwa ia lebih afdhal dari manusia.

Muhammad Nawawi Markarma: Dan setelah terbangun dari tidurnya yg pertama, ia melihat dirinya dlm keadaan tidak berpakaian, maka diambillah dedaunan untuk menutupi auratnya, bukan begitu ustad Sinar Agama?

Sinar Agama : Muhammad, benarlah begitu wahai saudaraku...... dan karena seluruh kebaikan atau kesesuaiannya dengan manusia yang ada di alam materi ini berasal dari surga (yang sesuai seperti api dari neraka), maka dedaunan duniapun bisa dikatakan dedauanan surga.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Rabu, 22 Agustus 2018

Lensa (Bgn 18): Ruh Para Nabi, Wali



Oleh Ustad Sinar Agama 

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:22



Imam Ja’far shadiq as berkata :

“Pada para nabi dan para wali terdapat lima ruh, yaitu Ruh Badan (kehidupan), Ruh Kudus, Ruh kekuatan, Ruh Syahwat, Ruh Keimanan sementara pada kaum mukminin terdapat 4 Ruh yakni Ruh Badan, Ruh Syahwat, Ruh Kekuatan, Ruh Keimanan. Dan pada kaum kafir terdapat tiga Ruh yakni Ruh badan, Ruh Syahwat dan ruh kekuatan Ruh Keimanan menyertai jasad kaum mukminin selama jasad itu tak melakukan dosa besar, bila dosa besar dilakukan maka ruh Keimanan meninggalkan jasadnya. Sementara orang yang padanya menetap ruh Kudus tidak akan melakukan dosa besar untuk selama- lamanya.“ ( Biharul Anwar, jil.25 hal 53 )


Sinar Agama: Maksud hadits itu adalah ruh-ruh yang ada itu sebagiannya dari Tuhan tanpa melalui ikhtiar manusia, seperti ruh badan (artinya daya tambang), dan ruh kekuatan (daya nabati dan gerak ikhtiari) serta ruh akal yang berarti kemampuan berfikir.

Tetapi sebagian ruhnya, yakni sebagian daya ruhnya, ada yang dari Tuhan tetapi melalui ikhtiar dan usaha manusia, seperti ruh Qudus atau ruh suci itu.

Jadi, ruh itu hanya satu, akan tetapi memiliki berbagai daya yang fitrawi atau naturalis, ada yang timbul setelah baiknya ikhtiar dan usahanya seperti ruh Qudus atau kesucian itu.

Dan ruh qudus itu dicapai dengan ruh daya akal yang akal secara hakiki. Yakni mengetahui dengan benar dan diikuti dengan benar pula. Karena itu, sangat diwajibkan dalam Islam untuk berdalil dalam segala kepercayaan kita dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Kalau semua itu sudah dilakukan, maka ruh daya qudus itu akan dicapai semua orang. Yakni bukan hanya nabi dan wali.

Jadi hadits di atas itu, hanya berfungsi memberikan kabar kepada kita bahwa kalau sudah jadi nabi artinya sudah mencapai derajat kenabian itu dengan ikhtiarnya, maka ia pasti sudah mencapaikan ruh daya akal natulisnya itu ke maqam akal suci atau qudus karena kebenaran ilmu dan amalnya.

Karena itu, maka ruh ikhtiari itu, yakni ruh yang berdaya dengan daya yang dicapai dengan ikhtiari itu, seperti iman dan qudus, bisa hilang dan pergi sesuai dengan apa yang dilakukan oleh pembawanya.

Tentu saja, bagi yang sudah sampai ke tingkat sangat tinggi seperti kenabian, bukan kewalian, maka biasa sudah tidak akan jatuh lagi. Karena syethan sudah tidak menjangkau keinginan mereka hingga dapat menipunya.

Tetapi kalau sekedar ruh daya ikhtiari yang sampai ke tingkat wali, maka ia masih bisa berubah menjadi rendah kalau perbuatannya berubah menjadi rendah.

Sebaliknya juga, ruh yang berada di tingkat bawah, ia juga bisa naik dengan ilmu dan aplikasinya. Karena itu tidak ada jalan untuk putus asa dan bangga bagi kita semua.

Jab Gamal Gamal : Berapa daya fitrawi ruhnya imam??? Kenapa yang disebuti cuma nabi dan wali???

Sinar Agama : Entah pertanyaan mas Jab ini ke siapa? Saya akan menjawabnya bahwa penjelasan yang datang dari para nabi dan imam, tidak mesti mencakup segala dimensi. Karena bisa saja dijelaskan di tempat lain. Ayat-ayat Tuhan juga seperti itu. Karena itulah memahami sebuah ayat atau hadits, tidak bisa hanya dengan dirinya sendiri tanpa dikomperasikan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits lainnya. Karena itu, maka dapat dikatakan bahwa ruh imam itu adalah ruh yang termasuk daya ikhtiari seperti nabi dan wali. Dan pangkat imam ini, karena ia merupakan maqam di atas maqam kenabian, maka sudah tentu ruhmya memiliki maqam lebih tinggi.

Namun demikian kelebihtinggiannya itu tidak mesti dengan nama lain dari qudus itu. Jadi ruh mereka adalah ruh suci dan qudus akan tetapi lebih tinggi dari maqam ruh kenabian.

Sudah tentu banyak sekali ruh nabi itu yang juga mencapi ruh imam ini. Seperti nabi Nabi Muhammad saww, atau nabi Ibrahim yang diangkat ke maqam imam ini setelah beliau sepuh (tua) dalam kenabian dan kerasulan.

Yang perlu diingat adalah bahwa semua ruh-ruh itu, yakni daya-daya itu adalah daya yang ada setelah ikhtiar. Maksudnya ruh kenabian dan keimamahan itu. Sebagaimana ruh wali juga demikian.



Wassalam.


Tika Chi Sakuradandelion dan 2 orang lainnya menyukai ini.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ