Tampilkan postingan dengan label Mut'ah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mut'ah. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 29 September 2018

Mut’ah dan Filsafatnya serta Liku-likunya

Mut’ah dan Filsafatnya serta Liku-likunya
(seperti apakah sunnahnya bisa bertahan ditekan hukum wajib yang melawannya?)



by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, June 7, 2011 at 11:17 pm



Haera Puteri Zahrah: Salam, ustadz boleh tanya dari sisi afdalnya untuk saling menjaga yang mana lebih baik jika dua orang bersama bukan muhrimnya dalam waktu tertentu puasa atau mut’ah. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

1. Mut’ah bagi yang bukan janda itu wajib ijin pada walinya (ayahnya) dan kalau tidak maka mut’ahnya tidak syah dan jadi zina.
2. Mengapa bisa seorang wanita harus berbareng dengan lelaki yang bukan muhrimnya? Maksud saya adalah keluarlah dari kondisi itu hingga tidak membuat pilihan yang dirancang sama lelaki hidung belang. Karena terkadang mereka sering menjebak dan mengatakan ”Dari pada kita semobil ini dosa, maka kita mut’ah saja”. Lah .. mestinya mengatakan ”Kita bukan muhrim maka jangan semobil.”, atau mengatakan: “Dari pada kita semobil ini dosa, maka kita lebih baik jangan semobil saja.” 

3. Dan ingat, kalau ijin ayahnya, harus jelas bahwa wakinnya adalah kawin mut’ah yang dimulai dari tanggal sekian dan berakhir tanggal sekian. Tidak boleh ada bahasa diplomasi yang bisa ditakwil dengan berbagai versi atau yang multi tafsir. 

4. Jadi, pilihan dari dua pilihan yang diberikanmu itu, bisa memilih puasa, dan bisa memilih tidak bareng. Karena bareng adalah haram, kalau bisa membuat maksiat. Apalagi tidak pakai hijab, atau senyam senyum, manis-manis kata dan sikap, bermake up (berbedak dan lain-lain), pakai parfum (wanitanya) ...dan semacamnya dimana semua itu jelas haram. 

Nasihat: Kalau Anda seorang wanita, maka peliharalah hati, dan tubuh Anda itu dari tangan-tang- an jahil dan kotor penuh nafsu, untuk disajikan kepada suami Anda kelak ketika sudah kawin, hingga anda tidak menyajikan tubuh yang sudah pernah terjamah kepadanya. 


Haera Puteri Zahrah: Syukron ustadz. 

Aziz Letta: Ustad, permudahlah pernikahan itu (mut’ah maupun daim). Sekiranya bukan karena Umar yang mengharamkan mut’ah maka tidak adalah orang yang berzina kecuali benar-benar orang celaka! Banyak jalur yang disediakan Tuhan untuk menghindari zina. Lagipula tidak semua orang berada pada kondisi dan situasi yang sama persis! 

Sinar Agama: Aziz, sudah cukup penjelasanmu untukmu, silahkan saja pilih cara hidup yang an- tum maukan. Antum mau kawin banyak, makan banyak, minum banyak, tidur banyak, ngobrol banyak, fb-an banyak, duduk di rumah banyak, mau bisnis banyak, mau berenang di laut banyak, makan coto banyak, makan cabe banyak, merokok banyak, minum coca cola banyak, minum teh banyak, olah raga banyak, baca Qur'an banyak, belajar agama banyak, malas banyak, baju hitam di siang hari, keluar rumah pakai celana pendek, keluar rumah pakai kaos singlet, mau jalan me- rangkak, mau jalan loncat-loncat, mau jalan cepat, mau jalan lambat, mau ngebut bermotornya, mau lambat bermotornya, mau bisnis cabe rawit, mau bisnis tarik becak, mau jadi kenet kopaja, mau jadi orang kantoran, mau jadi peminta di jalanan, mau jadi ...... apa saja terserah antum. Terserah karena tidak ada larangan. Karena itu kita tidak ada hak melarangnya. Terlebih kalau melarang, antum akan bilang, ”mengapa dilarang yang ini dan yang itu -mengemis misalnya- pa- dahal tidak dilarang Tuhan?” 

Jadi, untuk kami kehidupan kami dan begitu pula kehidupan antum. Tapi ijinkan saya mendoakan antum tiap hari sebagaimana kudoakan ikhwan-akhwat lainnya. Dan, semoga saja antum bukan penyaji wanita-wanita bekas rabaan antum kepada para lelaki ikhwan antum sendiri. 

Aziz Letta: Terimakasih banyak doanya ustadz. Kok ”penyaji wanita-wanita rabaan antum kepada para lelaki ikhwan antum sendiri” maksudnya apa utasdz” perjelas. Memangnya wanita-wanita itu makanan siap saji apa? Saya cuma ingin agar ikhwan dan akhwat yang sudah layak dan kebelet nikah yang diberikan kemudahan begitu. 

Haera Puteri Zahrah: Mengapa pakai kata kebelet, apakah pernikahan hanya di diidentikkan dengan penyaluran nafsu atau sebgai pelengkap perjalanan. 

Aziz Letta: Zahra, maksudku kebelet, mau sekalian menikah untuk menyalurkan sahwatnya den- gan halal. Pernikahan jelas bukan hanya untuk melampiaskan nafsu secara syari, tapi banyak yang lainnya. Misalnya mencari keturunan dll. 

Sinar Agama: Aziz, kalau itu maksud antum, maka benar. Karena bagi yang sudah kerja dan ber- kecukupan sangat disunnahkan kawin dan kalau tidak kawinnya bisa membuat maksiat, maka hukum kawinnya menjadi wajib. 

Saya tadinya masih menafasi tulisan antum itu dengan gaya berfikir kemarin-kemarin yang per- nah terjadi diskusi denganku itu. Kalau pikiran itu sudah antum tinggalkan, yakni memudahkan mut’ah yang dilakukan tanpa melindungi dan menyantuni wanita dimana akan ditinggalkan se- telah itu hingga ia akan menjadi wanita bekas-an untuk ikhwan atau saudara seiman yang lain, terlebih kalau kawinnya salah-salah karena tidak ijin walinya dimana semua hubungannya sama dengan zina, semua pikiran-pikiran itu sudah antum tinggalkan, maka memang harus memaha- mi lain dari tulisan antum di atas itu. Karena ana membacanya sesuai dengan pikiran antum sebelumnya, maka komentarku seperti di atas ini. Ok, afwan dan ana ikut bahagia antum sudi kembali pada jalan fatwa dan ajaran murni Islam dimana melarang hanya melihat satu sisi saja. 

Aziz, sekarang, dengan penjelesan maksud antum yang semoga tulus itu, tidak melakukan kesa- lahan berfikir dan menulis. Tidak seperti kemarin-kemarin itu, yang tega menggertakku dengan mau menyerahkan anaknya kepadaku untuk dimut’ah dan setelah itu rela ditinggalkan dimana tentu tega juga pada anaknya sendiri... he he he... 

Aziz, maju terus. Tataplah Islam dengan ajarannya yang agung itu. Idamkanlah dalam tiap saat akhlak yang agung itu. Jangan hanya membayangkan dan mengenang hukum mut’ah yang antum sendiri belum tahu sepenuhnya, hingga tidak jatuh korban seperti yang kutulis di atas itu. 

Sinar Agama: Haera, tujuan pertama kawin memang bagi umumnya orang, adalah menyalurkan syahwatnya. Dan yang lainnya itu adalah tujuan dan hikmah berikutannya. Memang, bagi sebagian orang yang sudah tidak dipengaruhi syahwatnya, maka orang-orang seperti ini, yakni yang lebih dekat kepada manusia dari binatang ini, yakni yang ukuran hidupnya bukan sekedar halal dan haram, yakni yang tatapannya dari berbagai dimensi ajaran Islam, maka orang-orang seperti ini bisa sangat mungkin niat kawinnya itu, bukan karena syahwatnya. 

Aziz Letta: Sinar Agama, menurutku yang jelas mut’ah itu halal, tentu dengan syarat-syaratnya. Siapapun boleh melakoninya. Hatta hanya untuk bersenang-senang sehari atau dua hari. 

Sinar Agama: Aziz, silahkan saja, yang jelas kalau belum janda (pernah kawin dan dikumpuli sete- lahnya) harus ijin walinya dengan jelas baik orangnya, maskawinnya, tanggal mula dan akhirnya. Dan kalaulah antum mendapat medan seperti itu, maka silahkan saja kalau antum mau melaku- kannya (tentu saja para imam as tidak menyukai yang tidak darurat, sebagaimana akan dijelaskan di tulisan-tulisan berikutnya. 

Akan tetapi kami, yang merasa harus menyantuni wanita sebagai amanat Tuhan yang harus dil- indungi, dan mengingat nanti akan habis masa waktunya dan dia akan kawin dengan orang lain, maka kami tetap tidak akan melakukannya. Karena kami tidak ingin memakan tanaman yang ha- rus dikasihi dan dilindungi dan tidak ingin memproduksi wanita bekas rabaanku kepada saudara sekajianku, seperjuanganku (tanpa mereka tahu). Karena itu, maka sudah jelas apa yang kupaha- mi di komentar awalku itulah, adalah yang benar tentang diri antum (smg Tuhan belum menutup hidayahNya untuk antum). 

Bukalah mata hati antum itu, jangan dikira bahwa Syi’ah itu hanya memiliki satu ajaran yang na- manya mut’ah. Tapi juga mengajari kebijakan, seperti perlindungan terhadap wanita yang tidak matang dan terbuai nafsu hingga mengajak kita mut’ah padahal ia belum janda yang juga belum diberi ijin walinya. Karena itu, belajarlah yang benar tentang agama, hingga tahu apa itu agama dan kemuliaan. Jangan pasang tutup mata, telinga dan hati dengan menempel hukum halalnya mut’ah di dahi kita lalu kita lontang lantung di dunia bagai nabi yang tidak memiliki kesalahan dan kekurangan yang tahunya hanya satu hukum yang belum dirinci, yakni “halalnya mut’ah”. 

Ingat, wanita pernah zina itu tetap dihitung bukan janda. Artinya tetap diwajibkan/disunnahkan (tergantung marja’nya yang ditaqlidi) ijin pada walinya secara jelas sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Saya tulis ini, setidaknya kalau antum tega memakan tanaman sendiri atau tega menye- diakan anak belum janda antum padaku atau siapa saja, dan tega membuat wanita-wanita bekas di dunia ini, dan tega menghancurkan hati wanita setelah itu, dan tega membuat kenangan-ken- angan manis/pahit di benak mereka dan benak antum dalam kehidupan rumah tangga antum dan mereka, dan tega akan munculnya ingatan bersama ketika ketemu lagi dengan keluarga ma- sing-masing,..... dan seterusnya, setidaknya, dengan tulisan ini, antum tidak masuk neraka karena dosa. 

Semoga karakter itu belum mensubstansi hingga masih bisa berubah dan tidak membuat kacau anak-anak antum yang akan menirunya. 

Aziz Letta: Terimakasih saran saran dan nasihat-nasihatnya. Saya pikir ajaran Islam bukan hanya untuk orang orang selevel antum yang sangat amat menjaga ”kesuciian perasaan”. Tapi juga orang orang yang selevel denganku yang jauh di bawah maqam antum. Mengenai kenangan-kenangan yang antum maksud, bagaimana dengan suami istri yang cerai (baik cerai mati maupun hidup). Kemudian apakah setiap mut’ah mengharuskan adanya hubungan seks? Mengenai anak-anakku, sepanjang mereka tidak berzina saya ok ok saja. Saya tidak akan malu atau merasa malu karena mereka suka mut’ah. Tuhan saja yg MAHA SUCI tidak malu menjelaskan dan menghalalkan mut’ah. 

Saya melihat antum hanya menerima teori nikah mut’ah tapi tidak mau menerima realita prak- teknya. Saya pikir karena Tuhan itu amat sangat menyayangi hambaNYA dan tidak ingin melihat mereka berzina, maka ditunjukkanlah jalan MUT”AH. Prinsipnya Mut’ah Yes, Zina No.... 

Sinar Agama: Aziz,:

(1). Susah nian membuatmu tunduk pada argument. Entah apa yang bisa saya bantu untukmu. Tapi akan kucoba lagi, semoga bisa masuk ke akalmu yang mungkin sedang kacau pikiran itu hingga tidak bisa memahami tulisanku dengan baik. Cobalah kosongkan pikiran antum itu dari nafsu benar sendiri itu, dan baca sekali lagi tulisan-tulisan di atas dan yang dulu kita pernah debat itu. Renungkanlah baik-baik sebelum anak-anak antum menjadi korban dari kekurangjernihan pikiran antum itu. Tentu saja, sambil meminta petunjukNya.

(2). Kedudukan setiap orang, hanya Tuhan yang tahu. Kalau kita diskusi dan menasihati, bukan berarti yang menasihati sudah di atas dan yang dinasihati. Karena diskusi atau saling menasihati, sekedar mengandalkan argumentasi. Sebab yang benarpun, kalau tidak melaksanakannya, hanya ibarat penyanyi agama yang mencari dunia, alias pengamen. 

(3). Pikiran antum ini, sungguh-sungguh berbahaya. Karena mengijinkan anak perempuan antum mut’ah sana sini sejak gadisnya. Sungguh-sungguh keluar dari seorang ayah yang sudah pasti eror batinnya DILIHAT DARI KACA MATA ISLAM, bukan kacamataku dan maqamku. Tapi tanyakanlah pada lingkungan antum, marja’ antum, atau diri antum ketika antum di sisi anak perempuan antum yang lagi nyenyak-nyenyaknya tidur, coba tanyakan sekali lagi, apakah antum akan mengijinkan dia kawin sana dan sini ketika sudah dewasa/baligh, yakni sejak kelas 6 SD, atau kelas 1 SMP, atau kelas 1 SMA dengan alasan karena Tuhan membolehkannya? 

Emangnya antum sekarang duduk di jalanan mengemis atau akan meyuruh anak antum mengemis di jalanan dengan alasan Tuhan saja membolehkannya?
(4). Islam itu memiliki berbagai hukum dan ajaran. Ada yang haram dan ada yang makruh. Ada yang wajib dan ada yang sunnah. Ada juga yang sunnah yang tidak dianjurkan untuk dilakukan, sekalipun ia sunnah. Kenapa? Karena tidak maslahat ke depannya. Dan hal itu, yakni tidak menganjurkan itu, juga dari Islam. Contohnya seperti apa? Seperti mengijinkan anak perempuannya yang masih kelas 6 SD atau 1 SMP atau perawan, untuk melakukan nikah mut’ah sana sini, yakni tanpa kepastian daim yang sudah direncanakan dengan matang. Karena akal ijtima’i/sosial, atau akal normal manusia, tidak mengijinkan hal ini. Dan kawin seperti ini sudah pasti tidak diinginkan Islam sekalipun dalam hukumnya ia adalah sunnah. 

Jadi, dasar hukum dalam Islam itu, masih bisa dikondisikan lagi dengan ajaran-ajaran lainnya yang bisa mengkondisikannya (mengqaidnya). Seperti keharusan orang tua untuk menjaga anaknya dari kerancuan dan ketidakkaru-karuan hidup, dari ketidakpunyaan sasaran hidup yang benar, dari ketidakberencanaan hidup yang sehat, dari sekedar mengumbar nafsu seks yang halal dan sunnah sekalipun dan dari kerancuan sosial yang akan ditimbulkan dari hubungan halal sana sini itu. 

Begitu pula, orang tua harus membimbing anaknya ke arah kehidupan yang sehat yang tidak hanya mengandalkan seks dan nafsu ....dst dimana hal seperti itu terlalu banyak bisa didaptkan di Qur'an dan hadits-hadits makshumin as. Camkan baik-baik, karena antum adalah awam dalam agama. Jangan merasa sok sudah penuh dengan hanya membawa satu hukum kehalalan mut’ah. Karena itu, janganlah mengijinkan anak antum yang masih SD, SMP, SMA, kuliah, untuk mut’ah dengan orang yang belum siap berumah tangga, hanya dengan dalil bahwa Tuhan menghalalkannya. Jangan sampai, anak antum yang masih SMP itu, diijinkan mut’ah karena kalau tidak mengijinkan nanti didebat anak antum bahwa antum hanya menerima konsep mut’ah akan tetapi pada kenyataannya, tidak menerima mut’ah. 

(5). Kenangan yang muncul akibat cerai atau ditinggal mati suaminya itu, jauh beda dengan yang diakibatkan mut’ah. Bedanya seperti langit dan dasar sumur. Karena kawin, pada dasar dan awal tujuannya, adalah membangun keluarga sakinah. Yakni setidaknya merupakan tujuan ke dua setelah penyaluran syahwatnya. Dari awal dia sudah merencanakan hidup bahagia, keluarga sakinah, punya anak-anak yang sehat yang dinaungi ajaran Islam dalam seluruh ajarannya (bukan hanya mut’ah), ...dst. Akan tetapi di tengah jalan, karena tidak kuat dengan cobaan yang dihadapi, maka mereka cerai. Beda halnya dengan mut’ah yang dari awal memang bertujuan mengumbar nafsu. Nah, hal ini, sekalipun bagi yang bukan janda itu dan sudah dengan ijin walinya, tetap beda manakala tidak ada rencana pasti untuk ke kawin daim. Apalagi antum yang pernah mengatakan mau kawin mut’ah dalam beberapa tahun (di diskusi kita di tempat lain). Jadi, beda antara kawinnya pemburu nafsu seks dengan orang yang mengejar filsafat kawin yang salah satunya membentuk keluarga sakinah yang diperintahkan Islam. 

(6). Kenangan kawin daim yang cerai itu, juga beda jauh dengan kenangan dari kawin mut’ah walau hanya pegangan dan hubungan selain seks. Karena yang pertama adalah pemburu keluarga sakinah yang diridhai/dianjurkan Tuhan, sedang yang ke dua adalah pemburu nafsu di selain hubungan seks yang hanya dibolehkan Tuhan (tentu kalau sudah ijin walinya). 

(7). Antum mengatakan, Tuhan saja tidak mengharamkan mut’ah, lah... memang benar begitu, tapi Tuhan tidak suka antum mengijinkan anak perempuan antum main mut’ah sana dan sini sejak SD atau SMP atau tanpa perencanaan daim yang pasti. 

(8). Saya memberi contoh kelas 6 SD atau kelas 1 SMP, karena sejak umur 9 tahun penuh, seorang wanita sudah bisa kawin dengan ijin walinya dalam artian sudah boleh jimak setelah kawin dengan seijin walinya. Nah, kalau antum hanya mengandalkan SATU KEMAUAN TUHAN, dan TIDAK MEMPERHATIKAN KEMAUANNYA YANG LAIN, maka sudah pasti antum harus mengijinkan anak perempuan antum itu mut’ah sana sini dan gonta-ganti pasangan sejak masih kelas 6 SD.

(9). Dengan penjelasan di atas, antum tidak bisa lagi mengatakan bahwa antum tidak malu karena Tuhan saja tidak malu dan telah menghalalkan mut’ah. Karena dengan penjelasan di atas itu, dapat dipahami bahwa kemauan Tuhan itu banyak. Diantaranya tidak menginginkan kita mengijinkan anak-anak kita kawin mut’ah sana sini mengumbar nafsu tanpa perencenaan untuk membangun rumah tangga dan keluarga sakinah. Karena keluarga sakinah, dan mengatur hidup dan semacamnya yang sudah diterangkan di atas itu, merupakan kehendakNya yang lain dalam ajaranNya yang lain. Dan kehendak ini, kalau dilihat dari ilmu ushulfiqih, dapat menumpangi dan mengalahkan kemauan pertamaNya yang menghalalkan mut’ah bagi anak wanita yang sudah baligh kalau seijin walinya walaupun untuk kawin satu jam. Pahamilah ya akhi supaya tidak bikin malu orang Syi’ah dan para imam makshum as. 

(10). Mungkin ada orang yang lambat berfikirnya karena ditumpangi syahwatnya (bukan tidak cerdas) hingga tidak memahami penjelasan di atas itu dan bertanya: ”Kalau memang Tuhan itu tidak menginginkan kawin mut’ah sana sini bagi anak umur 9 tahun, lalu mengapa membolehkannya dan bahkan mensunnahkannya?” 

Jawabnya: Hukum yang diberikanNya itu bertingkat dan berkondisi. Dan hanya orang alim yang bisa tahu seluk beluknya. Karena itu mendengarkan orang yang ahli dalam agama, 


merupakan kewajiban setiap manusia, seperti merujuk ke dokter dikala sakit. 

Tuhan melihat ribuan kondsi manusia tentang kawin mut’ah ini dimana tidak mungkin dirinci satu-satu karena tidak akan membuat masyarakat umum secara rata-rata, tidak akan mampu mengembannya. Karena itu, hukum yang Ia turunkan itu bisa saling memberikan kondisi atau qarinah hingga dengan mudah dapat dipahami misi utama perkawinannya itu. 

Misalnya: Dalam satu rumah, tinggal juga orang yang bukan muhrim, akan tetapi mukmin (dapat dipercaya). Supaya sang ibu tidak perlu pakai hijab terus dalam rumahnya, maka suami sang ibu itu mengawinkan anaknya yang 6 SD atau bahkan lebih muda lagi dengan lelaki mukmin yang ada di rumah itu dan mensyaratinya dengan tidak boleh menyentuhnya (karena dalam mut’ah boleh diadakan syarat). Nah, dengan kawinnya itu, maka si anak kecil yang baru berumur 9 tahun atau lebih itu, dan begitu pula ibunya, tidak perlu lagi harus pakai hijab yang ketat. Maka di rumah, bisa memakai baju yang sopan dan normal, tanpa harus pakai jilbab dst. 

Ini salah satu tujuan dan hikmah dari kebolehan kawin mut’ah bagi anak kecil yang tanpa perencanaan kawin daim itu (yang seijin walinya itu). Jadi, bukan merupakan hukum yang tanpa tujuan. ATAU BUKAN HUKUM KAWIN YANG BIASA YANG UNTUK MENYALURKAN NAFSU SEKS SANA-SINI. 

(11). Saya tidak akan menuntut antum di hadapan Tuhan karena telah mengatakan ana tidak mau mau menerima praktek hukumNya. Walaupun ana layak menuntut antum karena sudah panjang lebar kujelaskan di atas. 

(12). Bacalah buku-buku Islam tentang perkawinan yang ditulis oleh para ulama seperti aytullah Muthahhari ra dan lain-lainnya. Jangan hanya berbekal satu hukum, lalu tabrak sana dan sini. Dan di atas itu sudah kujelaskan sekelumitnya. Semoga saja antum teliti membacanya. 

(13). Ketika antum melihat kawin hanya dari dimensi penyaluran syahwat, atau menyelipkan hal itu, maka sudah pasti antum akan selalu mengarahkan hikmah kawin itu kepada penyaluran syahwat. Padahal banyak sekali hikmah-hikmah lain dari kawin itu, bahkan sekalipun mut’ah dimana diantaranya sudah saya berikan contohnya di atas sebagaimana saya ambil contoh umum di kitab-kitab fikih.

(14). Nah, kesalahan antum pada langkah awalnya, menyebabkan antum jatuh ke jurang berikutnya. Karena itu, antum melihat sebagai kasih sayang Tuhan manakala antum menyantapkan anak perempuan antum yang baru berumur 9 tahun itu, untuk dinikmasti teman-teman kelasnya secara bergiliran dengan dijaraki iddahnya masing-masing. Lah, ... kalau ini adalah kasih sayang Tuhan, maka bagaimana MurkaNya???!!! Na’uzhubillah. Antum mesti taubat dan beristighfaar kepadaNya karena telah menghubungkan sesuatu padaNya yang salah dan tanpa ilmu. 

Sungguh antum ini merupakan ujian bagi kita semua dengan keras pemikiran dan hati yang antum miliki. Semoga saja tidak seperti kata ayatullah Jawadi Aamuli hf yang mengatakan: 

”Kalau seserang itu sudah tidak mau menerima nasihat (tentu nasihat yang argumentatif), maka malaikat Jibril as sekalipun yang turun, ia tidak akan pernah mengambilnya.” 

Ya akhi, carilah ilmu dengan merasa tidak tahu. Atau kalau memang antum harus merasa tahupun, sesuaikanlah perasaan tahu antum itu, dengan yang antum tahu saja, jangan lebih. Misalnya tahu halalnya mut’ah hanya dari kata orang sana sini dan sangat-sangat tidak rinci. Karena kalau tidak, maka akan membuat antum keras hati dan kepala (afwan). Misalnya, belajarlah dengan hanya merasa tahu satu hukum mut’ah saja. Atau belajarlah dengan merasa tahu karena sudah pernah baca beberapa buku yang sekarang sudah dilupkan isinya (artinya harus kosong lagi), atau belajarlah dengan merasa tahu karena pernah mendengar orang bicara tapi tidak tahu argumentnya hingga tidak tahu bisa tidaknya dipertanggungjawabkan 

....dst. Itupun kalau antum harus dan harus, merasa tahu Islam. Wassalam. 

Aziz Letta: hehehehehehe, terimakasih.... terimakasih. Saya bukannya keras kepala atau keras hati. Tapi memang saya awam masalah agama. Tapi saya suka membenturkan isi kepala/hatiku tentunya dengan argumentasi yang saya tahu, agar kebenaran yang lebih tinggi (karena katanya kebenaran itu bertingkat-tingkat). Saya juga tidak akan ngotot untuk mempertahankan argumen- tasiku yang lemah dari segi agama. 

Saya salut dengan antum yang begitu sabar dan sopan menuntun saya (dan juga tentunya pem- baca debat/dialog kita berdua atau bertiga) hehehehehe. Terimakasih....terimakasih. Tapi satu permintaaku jagn bosan bosan kalau sewaktu waktu kita akan kembali ”berbenturan” pada te- ma-tema yang lain. Ok. Saya menerima kebenaran argumentasi antum. Tapi tentunya dengan se- mentara. Siapa tahu suatu saat saya menemukan argumentasi yang menggugurkan argumentasi antum. hehehehehe...... 

Foto antum cocok, bahwa sinar matahari itu memberikan sinarnya kepada bumi tanpa berharap balasan. Tapi saya berdoa kepada Allah agar antum diberi tambahan ilmu biar bisa diajarkan kepadaku dan kepada setiap orang, juga kesehatan dan umur yang panjang. Tentunya saya juga berharap diberikan yang serupa.....allahumma shalli ala muhammad waali muhammad waajjil farajahum. Alhamdulillah. 

Sinar Agama: Aziiz, komentar ana untuk antum akan kutulis dalam munajat hinaku di bawah ini: 

“Syukurku padaMu ya Tuhan, yang mengurangi beban yang melilit jiwaku selama dua pekan ini. Karena sudah hampir dua minggu serasa tersita umur ini lantaran diskusi di dua tempat yang seperti tak kunjung padam, yang seakan menembus kabut tebal yg tiada bertepian. 

Aku ya ... Allah kadang dengan dada sesakku karena sempitnya, dengan air mataku, dengan emosi kalbuku yang kutahan, dengan jemariku yang sering penat dan kram, kucoba bertahan dan kula- lui. Sungguh hanya demiMu dan demi mauMu yang menyuruh sampaikan agamaMu dengan dalil dan hikmah. 

Ya .. Allah tiada aku sesali hidup seperti ini. Yang pasti akan kussesali adalah, kalau Engkau tiada sudi memaafkanku dan memaafkan saudara-saudara seimanku yang mungkin kadang terlihat nakalan seperti saudaraku Aziz ini. Ya ... Allah, tiada apapun yang bisa kami sajikan padaMu ke- cuali tangisan. 

Ya ... Allah bimbinglah kami semua kepada agama yang lengkap dan komplit, bukan agama yang kurang dan sempit. Dan berilah kesabaran pada semua ikhwan dan akhwatku hingga memaaf- kanku manakala kadang kuselentik dengan sedikit kata tak lembut, yang terpaksa kulakukan demi memecahkan kerasnya hati yang diakibatkan gelora hawa nafsu dan tak terbangunnya dengan argumentasi yang tertata cantik. Amin.” 

Terakhir: Terimakasih telah meringankanku mengerjakan yang lainnya. Kalau nanti ketemu argu- ment yang lebih kuat silahkan ajukan lagi. Tapi sebelum itu ada, maka antum tidak boleh meng- aplikasikan kecuali yang sudah antum terima dengan argumentasi ini. Semoga kita semua bisa menjaga kesucian agama Islam dan terutama madzhab Ahlulbait as dengan pikiran, pemahaman dan aplikasi yang baik di tengah masyarakat, amin. 

Aziz Letta: Ana juga minta maaf karena kebodohanku yang dibalut nafsu dunia yang hina telah membuat antum membuang waktu dan umur untuk memberiku setitik pencerahan dalam hidupku yang diliputi kegelapan. Ya Allah demi kemuliaan Nabi Terakhir Muhammad SAAW dan Ahlulbaitnya, persatukanlah hati hati kami dalam melangkah melewati dunia ini menuju padaMU. Ya Allah mudahkannlah kami untuk menlaksanakan ketaatan kepadaMU, Tolonglah kami ya Allah untuk menghindari kemaksiatan kepadamu. Allahumma shalli ala muhammad waali muhammad waajjil farajahum. Alhamdulillah. 

Maya Zahra: Salam wa rahmah ustadz.. saya mau bertanya. apakah seorang laki-laki mut’ah maksimal 4 wanita seperti hukum dipoligami? Dan dari yang saya baca (buku hak-hak wanita, murthada muthahhari) bahwa seorang suami yang sudah Daim tidak boleh mutah kecuali ia se- dang berada dalam jarak yang jauh dengan istrinya sehingga tidak bisa berkumpul. Bagaimana hukumnya? Af1 ustad, mohon penjelasannya mungkin saya salah menafsirkan kata-kata dalam buku tersebut. Syukron ustadz... 

Sinar Agama: Azis, kuamini doamu dengan tambahan: 

“Permudahlah kami untuk taat padaMu dengan mengerti hakikat hukum dan mauMu sebelumnya, hingga tidak menggunakan sebait hukumMu sebagai hakikat agama dan mauMu. Tunjukkan ke- benaranMu sebagai mana ia dan berikan kekuatan untuk mengamalkannya. Hindarkan kami dari agama yang semu, pahaman yang semu, ketaqwaan semu, yaitu yang hanya berdasar pada satu bait syariatMu di tengah-tengah jutaan bait syariatMu. Bimbinglah kami kepadaMu melalui Nabi saww dan Qur'anMu, bimbinglah kami kepada Nabi saww dan Qur'anMu melalui imam-imam makshumMu as, dan bimbinglah kami kepada imam makshumMu as melalui para ulama/marja’ yang dengan sepenuh hati telah mengorbankan hidupnya untuk memahami dan menaati aga- maMu, serta hindarkanlah kami dari merasa menjadi nabi, imam makshum atau ulama yang me- mahmi MauMu. Amin.” 

Aziz, selamat berjuang, jangan putus asa. Aku selalu ada di sisimu untuk selalu menengkarimu dengan santun (pertengkaran ilmiah dan persaudaraan, bukan permusuhan) melalui dalil-dalil, manakala aku diperlukan dan sertakan aku dalam doamu, terimakasih. 

Sinar Agama: Maya, mut’ah itu tidak dibatasi jumlahnya dilihat dari sisi hukumnya. Jadi boleh saja lebih dari empat dan kapan saja. Asal semuanya memenuhi syarat diantaranya adalah si wanita- nya itu janda (sudah pernah kawin dan dikumpuli setelah itu, bukan tidak gadis karena diperkosa misalnya). Dan kalau wanitanya itu belum janda, maka wajib ijin dengan ayahnya dengan jelas. Ini dari sisi hukum. 

Yang kita debatkan di atas itu bukan dari sisi hukumnya, dalam arti satu hukum ini saja. Karena Islam itu luas ajarannya. Termasuk hukum wajib yang ada di tangan orang tua untuk menjaga anaknya dari ketidakterarahan hidup. Karena itu, maka sungguh tidak layak bagi orang tua yang mengijinkan anaknya mut’ah sana sini sejak masih kelas 6 SD. Karena sekalipun boleh, dan bah- kan sunnah dalam mengawinkan anaknya itu, baik daim atau mut’ah, akan tetapi hal ini berten- tangan atau bertabrakan dengan hukum wajib yang lain. Yaitu wajibnya orang tua untuk menga- rahkan dan memimpin anaknya itu kepada hidup yang terarah dan keluarga sakinah. 

Karena itu, maka kalau di antara para orang yang ngerti agama, masalah seperti ini tabu dibahas. Karena masalahnya, sudah jelas. Mana mungkin islam menganjurkan orang tua untuk mengijin- kan anaknya yang masih SD atau SMP dst untuk mut’ah sana-sini tanpa tujuan hidup yang jelas dimana akan membuat kehidupannya di kemudian hari akan menderita. Orang yang tidak ngerti, dikira hal ini termasuk yang dianjurkan dengan alasan hukum kawin itu adalah sunnah. Padahal 

hukum sunnah ini telah bertabrakan dengan hukum wajib yang lain, yaitu wajibnya orang tua untuk memimpin anaknya kepada kehidupan terarah yang tidak mengutamakan syahwat. 

Karena itu maka hukum mut’ah bagi yang anak-anak kecil ini, adalah hukum yang bisa dipakai dalam kondisi-kondisi tertentu yang dianggap darurat, seperti yang saya contohkan di atas, yaitu hidup di rumahnya seorang yang bukan muhrim (yang juga karena terpaksa), atau mau menitip- kan ke orang yang bukan muhrim untuk digendong di hutan yang gelap atau jalanan yang terjal 

....dan seterusnya. 

Maya Zahra: Melihat dari apa yang terjadi, terkadang dari sisi hukumnya saja banyak yang tidak tahu, sehingga banyak juga remaja yang menyalahgunakannya. Contohnya saja masih banyak yang tidak tahu bahwa mut’ah seorang gadis harus denga) ijin ayahnya, alasan mereka karena ada fatwa marja lain yang membolehkan tanpa ijin dari ayahnya (kalo tidak salah mereka merujuk pada Hasan Fadollah, af1...kalo tidak salah ingat seperti itu), padahal ia bermarja pada rahbar. Dan selama ini yang saya kira pun bahwa laki-laki yang sudah daim walaupun tidak berada berjau- han dengan istrinya, maka ia bebas melakukan mut’ah. Lalu saat saya baca buku tsb, ternyata malah tidak diperbolehkan seorang suami yang sdh daim melakukan mutah kecuali ia berada jauh dengan istri daimnya. Untuk itu saya mohon penjelasan ustadz, sekiranya hukum ini jelas semoga tidak ada oknum-oknum yang menyalahgunakan hukum tsb. Maaf jika pertanyaan saya merepotkan...syukron... 

Sinar Agama: Maya,:

(1). Seseorang itu tidak bisa menyandarkan fatwa kepada seorang marja’ hanya dengan kata- katanya. Ini pertama. 

(2). Dan kalaulah fatwa sayyid Fadhlullah itu ada, maka tidak bisa diikuti oleh orang yang tidak taqlid padanya. 

(3). Kalaulah ada fatwa itu, maka ia untuk wanita yang Rasyidah, bukan wanita yang hanya mencapai dewasa. Dan rasyidah/rosyiah itu adalah matang. Artinya wanita yang tidak mengejar nafsu dan tahu kemaslahatan dirinya di masa kini dan masa datang. Artinya tidak bisa ditipu nafsunya dan apalagi orang lain dan cowok ghombal yang cari mangsa sejak SMA atau Kuliah. 

(4). Wanita yang masih bisa dengan mudah digombali, dipacari, diajak nonton, diajak jalan, dibonceng motor, dicumbu, disebtuh....dst dengan hanya sebuah kata “aku cinta kamu dan relah sehidup semati”, tidak bisa disebut wanita yang matang atau rosyidah, akan tetapi ia adalah wanita yang malang yang mengorbankan kemaslahatannya demi nafsunya. 

(5). Nah, walaupun mau merujuk ke ayatullah Fadhlullah, kalaulah fatwa itu ada, maka pasti kepada wanita rasyidah/matang, karena hal ini sudah kaidah fikih dan tempatnya kemungkinan bedanya fatwa, bukan di wanita yang tidak matang/rasyidah. Malah sebagian marja’ seperti ayatullah Khui, mensyaratkan kemandiriannya dari sisi kehidupan dan ekonomi, terlebih dahulu selain masalah kerasyidahannya tersebut. 

(6). Dan sekarang beliau sudah meninggal, dimana tidak bisa lagi diikutinya. Jadi walaupun ada wanita yang sudah matang banget, maka tidak boleh merujuk kepadanya karena sudah meninggal, walaupun ingin taqlid kepadanya. 

(7). Untuk jumlah dan syarat lelaki mut’ah itu, sudah saya jawab di atas. Silahkan rujuk lagi. Dan dimana anti/Anda membaca tidak bolehnya mut’ah bagi lelaki yang berada di dekat istrinya? 

Maya Zahra: Saya baca di buku Perempuan dan hak-haknya dalam islam karya muthadha 
muthahhari (penerbit lentera). Nanti kalo saya bawa bukunya saya tuliskan hadisnya. Syukron penjelasannya ustadz. 

Haera Puteri Zahrah: Ustadz bagaimana pernikahan yang beda paham bisa atau tidak? 2) Jika sekiranya dalam mut’ah itu terlahir anak apakah anak itu berhak juga mendapat warisan dari orang tuanya. Syukron sebelumnya. 

Sinar Agama: Maya: Ok, ana tunggu. 

Sinar Agama: Haera,:

(1). Kalau lelakinya Syi’ah maka tidak masalah, tapi kalau wanitanya yang Syi’ah maka ada yang tidak membolehkan dan ada yang memakruhkan, tergantung marja’nya. 

(2). Anak dari mut’ah tidak beda dengan anak dari kawin daim, termasuk hak nafakah (seperti makan, baju dan sekolah dan lain-lain) yang harus dipenuhi oleh ayahnya dan begitu pula ia berhak mendapatkan warisan orang tuanya. 

Bande Husein Kalisatti and 28 others like this. 

Haladap Saw: SALAM USTAD izin share, ya. 

Halimah Aliyah Az-Zahra: Jazakallah, Ustadz... 

Yusuf Salam: Terimakasih, dokumentasi diskusi yang bagus...izin copas ustaz... 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya. Tulisanku selama untuk kebaikan dan tidak untuk bisnis, maka silahkan digunakan dalam bentuk apapun, baik sha- re, copy, print dan seterusnya. 

Besse Tanra Wajo: Salam Ustad. Izin copas... 

Sinar Agama: Besse: SIlahkan saja. 

Besse Tanra Wajo: Syukron Ustad. 

Sinar Agama: Maya, salam dan terimakasih perhatiannya, maaf karena kelupaan hingga tidak terjawab. 

(1). Sepertinya Maya harus lebih teliti membaca buku tsb. Karena ruh dari pada buku itu bukan melarang mut’ah bagi orang yang sudah punya istri dan istrinya dalam jangkauannya. Tapi menerangkan folosofis dari diturunkannya hukum mut’ah itu. Yakni bahwa Islam bukan agama yang merangsang penghamburan nafsu sex. Jadi, maksud awal dari halalnya mut’ah itu adalah untuk yang belum mampu kawin daim (tapi dengan janda, sebab kalau dengan bukan janda harus ijin ayahnya dengan jelas) atau yang sudah punya istri tapi jauh dari istrinya. Ini maksud pertama hukum mut’ah itu. Akan tetapi bukan berarti ia melarang orang yang mau menghamburkan nafsunya. Mirip dengan makan, maka Islam menghalalkan makanan akan tetapi bukan untuk makan ini dan itu sepuas-puasnya. Makan dalam Islam adalah untuk kese- hatan dan seperlunya dan kalau perlu sederhana. Akan tetapi tidak melarang orang yang ingin menjadi mirip binatang yang hanya mengandalkan halal lalu makan terus dan makan terus. 

(2). Jadi syahid Muthahhari ra sedang berusaha menjelaskan kepada kafirin bahwa Islam bukan agama yang menganjurkan nikah mut’ah bagi yang tidak perlu hingga mengorbankan para wanita. Tapi tujuan pertamnya adalah memudahkan yang kepepet. Jadi, Islam mengajarkan kezuhudan akan tetapi juga memberikan jalan keluar bagi kebuntuan, bukan mengajarkan dan merangsang umat untuk menjadi pemburu nafsu sex. Nah, itu yang diterangkan oleh beliau ra. Bukan mau menerangkan haramnya bagi yang tidak perlu. 

(3). Tentang hadits imam Ja’far as itu sudah jelas tekanannya kepada ketidakdiharapkannya seseorang yang tidak kepepet untuk melakukan mut’ah. Yakni bukan pengharaman. Itulah mengapa Maya harus berhati-hati membaca buku itu, yakni harus fokus dan menyambungkan atau menghubungkan semua kata-kata di buku itu dari mukaddimahnya sampai ke akhirnya. Jangan hanya di ambil satu halaman lalu melupakan halaman lainnya. Dan, karena itu pulalah mengapa seseorang yang bukan mujtahid harus taqlid kepada marja’. Karena sudah pasti tidak akan memahami hadits-hadits para makshum as karena tidak punya alatnya. Contohnya di hadits ini. Artinya sergahan imam kepada muridnya itu, bermakna kemakruhan atau ketidakafdhalan, bukan pengharaman.

(4). Buku beliau ra itu juga dalam rangka ingin menangkis serangan kafirin yang mengatakan bahwa Syi’ah sangat merangsang mut’ah seperti berpahala ini dan itu, begini dan begitu ...dan seterusnya. Karena itulah hadits-hadits rangsangan terhadap mut’ah itu dihadapkan dengan hadits-hadits yang terlihat melarang atau tidak merangsang mut’ah. Artinya, serangan ransangan itu ditangkal dengan hadits larangan (makruh) atau tidak utama, bukan haram. 

(5). Dari dua hadits yang nampak bertentangan itu, yaitu hadits rangsangan mut’ah dan larangan bagi yang tidak perlu dan kepepet, lalu ditambah dengan pelarangan Umar, maka dapat disimpulkan bahwa maksud dari hadits rangsangan itu sekedar memerangi dakwah sebagian orang yang telah mengharamkan mut’ah. Artinya untuk menangkal penghapusan hukum ini. Karena itu maka dikatakan misalnya, pahala mut’ah itu seperti syahid (seingat saya) dan semacamnya. Yakni yang mut’ah itu berarti berjuang mempertahankan hukum Tuhan yang diturunakn kepada Nabi saww dimana sedang diusahakn oleh sebagian orang untuk dihapus. 

Jadi ruh buku itu adalah mau mendudukkan hadits rangsangan itu, pada poin perjuangannya, bukan para rangsangan pengumbaran syahwat binatangnya. Akan tetapi di lain pihak, bukan untuk mengharamkannya. Jadi kalau didapat kata tidak boleh, berarti tidak diutamakan atau makruh. Pahaman seperti ini akan dapat dipahami manakala semua buku itu dihubungkan semuanya, artinya tidak dipenggal-penggal. 

(6). Untuk hadits imam Ali as itu (yang melarang mut’ah), maka Maya fatal di sini. Karena syahid Muthahhari ra benar-benar menolak hadits yang diriwayatakn Sunni itu karena bertentangan dengan hadits-hadits lainnya sebagaimana dikutip sendiri oleh beliau ra di kitabnya itu. Yakni beliau menerangkan mengapa hadits larangan mut’ah dari imam Ali as yang diriwayatkan Sunni itu tidak bisa dipakai. 

Tapi beliau ra mengatakan bahwa kalaulah mau dishahihkan, yakni kalaulah, maka maknanya bukan ini dan itu sebagaimana yang diterangkan oleh penukil hadits yang beliau nukil itu (Sunni), akan tetapi maknanya begini dan begitu menurut beliau ra dan para ulama Syi’ah lainnya. Begitulah yang ada di kitab tsb. 

Kesimpulan: Beliau tidak mau menerangkan haramnya mut’ah bagi yang tidak kepepet, akan tetapi mau menerangkan bahwa Islam bukan ajaran yang merangsang umat untuk menghambur- kan syahwatnya seperti binatang dengan menghamburkan mut’ah yang tidak perlu walau sudah dengan janda atau dengan perawan yang sudah diijinkan walinya sekalipun. Itu saja. Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 09 September 2018

Taqiah Harus, Tapi Mut’ah Jalan Terus? (diskusi ringan tentang mut’ah, fikih, akhlak dan taqiah)



by Sinar Agama (Notes) on Thursday, June 9, 2011 at 3:47am



Sinar Agama: Dari dulu sekali aku benar-benar merasa aneh. Karena sebagaian AB, kalau disuruh berfikih, selalu berkelit dengan alasan dakwah lah, dahulukan akhlak lah ...dst. Akan tetapi mut’ah mereka jalan terus dan salah-salah lagi. Lah ... mana yang lebih mengacaukan, shalat dengan tidak sedekap, atau memut’ahi anak orang tanpa ijin yang, di Sunni dan di Syi’ah hal itu diyakini zina? 


Herwan Budijanto, Hendy Al-Qaim, Mas Kubiel dan 36 lainnya menyukai ini. 

Shakira Bahesyti: Ustadz, saya amat sepakat dengan pendapatnya. Pada akhirnya banyak pe- rempuan syiah yang menikah dengan lelaki Sunni berakhlak baik ketimbang lelaki ab yang jum- lahnya limited edition, yang akhlaknya baik udah milik orang dan biasanya pemiliknya pencem- buru. Afwan. 

Sinar Agama: Ya ... Allah lindungilah saudari-saudariku dari rayuan ghombal lelaki jalang ber- kedok agama, dan lindungilah ikhwan-ikhwanku hingga tidak tertipu dengan premis yg sangat sederhana dan nyata dalam salahnya (seperti yg kumaksud dalam status). Ya ... Allah berilah kami kesempatan untuk merubah diri ini, sosial ini, cara berfikir ini, cara bergaul ini, cara mendamba akhirat ini, cara melihat dunia ini ....Ya Allah ... bermurahlah sebagaimana dari dulu Engkau ber- murah pada kami semua..... Ya ....Allah .... ya ...Allah .... demi keAgunganMu, Nabi-Mu, Ahlulbati- nabiMu ...., amin... 

Shakira Bahesyti: Amin ya Ilahi... 

Agoest D. Irawan: Ilahi Amin Ya Rabb....Salam, keif hal ya ustadz.... :) 

Muhammad Ali Husain: Ya Allah, saya bingung ustadz.. 

Bahar Fth: Afwan ust ana mengerti dan paham dalam makna doakan ana bisa merubah diri amin sholu ’ala nabi wa aalihi. 

Sinar Agama: Mas Agoest, pa kabar, ana baik terimakasih, antum keif, kok lama nggak ngunjungi ana di fb ini? Senangnya antum komentar. Jangan marah kalau ana kurang menyapa, karena sungguh pertanyaan semakin banyak, begitu pula masalahnya, juga maaf kalau selalu satu arah, afwan, yang jelas ana terhibur sekali kalau disapa, karena berarti kita masih nyambung dalam per- temanan dan silaturrahim serta ana kurang merasa sendirian. Ada lagi yang selalu ingin kutahu, yaitu, sejauh mana pandangan-pandangan yang kuanggap murni untuk membenahi masyarakat kita ini memiliki efek yang baik. Terimakasih sekali lagi. 

Sinar Agama: Muhammad, bingung itu tanda ada rasa taqwa dalam diri. Karena itu lanjutkan dengan kehidupan lepas dari nafsu dan ikuti argument dan ulama yang memang membidangi agama walau tidak makshum karena hal itu wajar seperti antum pergi ke dokter yang juga tidak makshum itu. 

Sinar Agama: Bahar, diriku adalah dirimu, karena cinta murni tidak bisa dibatasi dengan badan dan jauhnya tempat. Karena itu di samping aku juga orang yang terbutuh di dunia ini, aku juga menganggap diri antum semua sebagai diriku juga. Sedihmu sedihku, hancurmu hancurku, dan majumu adalah majuku juga. Ingat, akhirat itu berat sekali, tidak bisa kita di sana asal bunyi, tapi benar-benar semua isi hati dan pikiran serta rahasia-rahasia kita akan dibuka di sana. Mari kita maju bersama, jangan pernah merasa lelah dan putus asa. 

Sinar Agama: Satu lagi wahai Indonesiaku, sebesar apapun pengaruh kita dan huru hara, dan semegah apapun yang kita punya dalam penampilan, sejauh apapun penghormatan keilmuan yang diberikan orang,...dst tapi kalau semua itu tidak benar dan tidak argumentatif sejati serta tidak dengan niat yang tulus karena Allah dan tidak dengan melepaskan diri dari segala riya dan kepentingan, maka kita akan tergulung sejarah dan sebelum di akhiratpun hakikat kita akan ter- buka. Kalau begitu, mengapa kita berlomba memasukinya? 

Sinar Agama: Ketahuilah, banyak orang mungkin bisa ditipu, tapi tidak mungkin semuanya. Dan kalau tipuan itu adalah argument yang palsu, atau tidak sejati, maka sudah pasti tidak akan be- rumur melebihi beberapa tahun saja, lalu mengapa kita harus mengisi sejarah itu dengan wajah buruk kita demi kepentingan sesaat? 

Agoest D. Irawan: Alhamdulillah ya ustadz, begitu pula ana, berkat doa antum juga. Afwan ya ustadz, ana mungkin tidak meninggalkan komen atau jejak pada fb Antum (atau di Mekarsari) tapi ana tekun mengumpulkan artikel-artikel/diskusi antum. Semoga ini tidak mengurangi keutamaan silaturahmi ana dengan antum. Sekali lagi, afwan. Ana belajar dari antum atas banyak hal. Tidak saja (jawaban) atas masalah tapi juga bagaimana cara antum menanggapinya. Semoga Allah mamanjangkan umur Antum agar kami terus dapat mengambil manfaat dari Antum. Bi haqqi MUHAMMAD wa aali MUHAMMAD... 

Bahar Fth: Terimakasih atas segala argumentnya ustad sungguh diriku dengan kehinaan merasa malu bila dikatakan setara dengan antum ustad karena banyak sudah kejelekan amalku dan tak ada yg mengelilingi aku selain apiny yang menyala dan budakny kalau salah melangkah akan ter- jerumus selamanya dan sekali lagi ana mohon doanya ustad agar bisa menuju tempat rasul saaw dan imam bersama-sama. 

Dan afwan ustad satu hal antum doakan ana agar cepat menikah dan bersegera bekeluarga dan doanya untuk bapak ana yang sakit berkepanjangan agar segera disembuhkan dan selalu berada dalam kebaikan. 

Sinar Agama: Mas Agus, sampai memerah mataku membaca tulisan antum, demi Allah. Terima- kasih sekali. Itu dia mas, puluhan tahun aku menuntut ilmu Ahlulbait as dan ingin sekali berteriak menyampaikannya pada antum semua. Walau tentu lamanya belajar itu tidak menjadi jaminan, tapi maksudku kalaulah aku hanya dapat setetes, maka yang setetes itu kita keroyokin. Yang je- las, kita harus mencoba dan mencoba untuk serius menghadapi hidup ini, tidak berhura-hura menjadi Syi’ah atau Islam, tapi meresapi dan mengaplikasikannya dengan penuh ketegasan dan kesantunan di lain pihak. Artinya tegas pada diri sendiri, dan santun pada orang lain (namun da- lam argument harus tetap jelas dan gamblang). 

Sinar Agama: Bahar, syarat utama menjadi orang baik itu adalah tidak henti belajar agama disela-sela kesibukan kuliah atau kerja. Nah kalau itu dilakukan maka doa kita untuk menjadi orang bak akan menjadi terkabul in syaa Allah. Karena baik itu harus profesional atau ilmiah, bukan perasaan tanpa dalil. Ana akan doakan antum segera menikah dengan penuh rahmah, dan begitu pula ayah antum semoga cepat sembuh dan dalam hidayahNya selalu, amin. 

Bande Huseini: Ada yg bilang akhlaq adalah fiqh itu sendiri ust..? Betul ga ..afwan.. 

Sinar Agama: Bande, kalau secara umum, biar akidah juga akhlak, yakni akhlak batin. Akan tetapi manakala akhlak itu dihadapkan kepada akidah dan fikih, maka ia tidak lagi mencakupi kedunya, tapi menjadi bagian yang sejajar dengannya. Misalnya dikatakan bahwa Islam memiliki banyak disiplin ilmu, seperti akidah, fikih, akhlak, irfan, tafsir, hdits, rijal, ushulfikih, psikologi, politik, bu- daya, rumah tangga, sosial, kenegaraan, ketentaraan ....dan seterusnya. Maka dalam hal ini, maka akhlak bukan fikih dan begitu pula sebaliknya. 

Dan ketahuilah bahwa akhlak itu bukan karakter bagus, bukan, tapi karakater saja. Jadi ilmu akhlak adalah ilmu tentang karakter, esensinya, terbentuknya dan cara membentuknya kepada yang baik. 

Tentu akhlak yang saya katakan ini adalah akhlak yang sebagai ilmu. Tapi kalau dalam percakapan sehari-hari, maka akhlak adalah adab dan tatakrama. 

Dan dlam akhlak yang berarti tata krama itulah maka semuanya bisa masuk ke dalamnya, seperti akidah (tata krama dengan Tuhan secara batin), atau fikih (tata krama dengan Tuhan secara lahir dan tata krama dengan diri, keluarga, sosial dan negara, karena hukum fikih itu lengkap), atau politik (tata krama politik Islam), atau keluarga (tata krama keluarga Islam) ....dan seterunya. 

Namun, demikian, apapaun maksud akhlak itu (ilmu atau adab) kalau sudah dihadapkan kepada akidah dan fikih (sebagai bagian dalam keIslaman, bukan dihadapkan untuk dipertentangkan), maka akidan dan fikih sudah tidak masuk lagi di dalamnya. Jadi, makna akhlak di sini bermakna adab dan sopan santun. 

Ketika akhlak itu sudah berupa sopan santun, maka biasanya dipengaruhi oleh budaya setempat. Jadi sopan santun orang muslim di suatu negara atau suku, bisa akan sangat berbeda dibanding dengan negara atau suku lainnya. Padahal sama-sama mengaku Islam. 

Nah, adab yang demikian itu, yakni yang berbeda-beda itu masih dibolehkan oleh Islam dengan syarat, tidak melanggar akidah dan fikih. Jadi, apapun adab atau adat istiadat yang tidak berten- tangan dengan akidah dan fikih, maka dibolehkan dalam Islam. Karena itu kalau orang Korea atau China masuk Islam, maka tidak boleh menghormati orang dengan sujud, karena melanggar fikih dan bisa merusah akidah. 

Bande Huseini: Yang dimaksud dalam alqur’an ”nabi diturunkan untuk memperbaiki akhlaq”.. akhlaq yang dimaksud berarti mencakakup semua hal ust,,hukum..politik, kemasyarakatan..tata krama.. dan seterusnya..begitu ustadz..? Afwan. 

Sinar Agama: Kalau hal-hal kecil saja sudah tidak boleh dilakukan kalau bertentangan dengan akidah dan fikih, apalagi pernyataan dahulukan akhlak dari pada fikih. Karena pernyataan ini, bu- kan lagi tidak sesuai dengan fikih, tapi memerangi fikih. Dan kalau orangnya yang menyatakan itu sadar bahwa pernyataannya ini sama dengan menolak Islam itu sendiri, maka ia dihukumi kafir dan najis, sekalipun orang Syi’ah. 

Bande Huseini: Yang dimaksud menyatakan”dahulukan akhlaq ketimbang fiqh ” dan pernyataan itu dilakukan dengan sadar, maksudnya sadar apa ustaz..? Sehingga bisa dikatakan kafir or najis..? Afwan. 

Sinar Agama: Yang saya jelaskan ini adalah yang ada dalam fatwa yang berbunyi: ”Siapa saja yang menolak fikih yang mudah dipahami, dan ia tahu bahwa penolakannya itu sama dengan menolak Islam itu sendri, maka ia dihukumi kafir dan najis.” Lihat di semua fatwa marja’ dalam bab najisnya orang kafir. Contohnnya menolak hukum wajibnya shalat dan puasa. Karena mema- hami kewajiban keduanya itu mudah karena ditransfer dari Nabi saww ke kita secara aklamasi muslimin. Begitu pula memahami bahwa orang Syi’ah harus mengamalkan fikih Syi’ah, adalah hal yang mudah diketahui oleh semua orang tanpa berfikir sekalipun, yakni ilmu mudah dan dharuri. Nah, kalau dalam dua golongan contoh ini, pelakunya memahami bahwa penolakannya itu sama dengan menolak Islam, maka ia dihukumi kafir dan keringatnya menjadi najis. 

Beda halnya dengan orang yang tidak shalat, dan/atau orang Syi’ah yang tidak berfikih Syi’ah. Dia hanya berdosa besar dan shalatnya harus diganti atau diqadhaa’. Karena dia tidak menging- kari kewajiban hukumnya. Dia hanya tidak melaksanakan hukumnya. Tentu saja, kalau dalam keadaan takiah karena empat sebab itu (kemungkian dipukuli, kemungkinan dibunuh, kemuing- kinan keluarganya diperkosa dan kemungkinan hartanya yang dijadikan kehidupannya itu diam- bil), maka orang Syi’ah yang tidak beramal Syi’ah tidak dosa dan tidak perlu mengulang dan atau mengqadhaa’’nya. 

Mujahid As-Sakran: Yang sangat menyedihkan bertaqiyah karena takut urusan dunianya hilang. 

Aziz Letta: Bagaimana kalau diusulkan dalam KTP identitas agama: Islam Sunni atau Islam Syii seperti Kristen dan Katolik? 

Sinar Agama: Mujahid, kalau harta yang diperlukannya untuk hidup itu bisa terancam hilang kalau tidak takiah, agama membolehkan dia takiah. Artinya kalau shalat di depan mereka. Tapi anehnya itu biasanya mereka secara keseluruhan meremehkan fikih walau di rumah. Lah, kalau di rumah mau takiah sama siapa? Tapi kalau makan ada dan tidak masalah, lalu kalau tidak takiah umat tidak ngaji lagi ke dia, maka takiah seperti ini jelas tidak boleh dan batal. Mungkin yang an- tum maksud jenis yang terakhir ini. Kalau benar, maka benar yang antum tulis itu. 

Sinar Agama: Aziz, mungkin tidak perlu, karena negara kita bukan negara Islam. Karena masalah ke dalam Islam itu hanya bersangkutan kepada hukum-hukum yang berbeda. Misalnya, kalau jan- da dan lelaki berdua mengaku mut’ah, ketika ditangkap polisi agama, maka bisa melihat ktp-nya, kalau Sunni maka bohong, tapi kalau Syi’ah maka benar. Atau kalau suatu kelurga ribut karena yang satu mau membangun kuburan ibunya, dan yang lain menolaknya sampai jadi perkelahian dan mengadu ke hakim agama Islam, maka dilihat, kalau ktp mereka Muhammadiah, maka di- benarkan yang menolak membangun, dan kalau NU maka dibernarkan yang membangun. Jadi, intinya, kalau negara kita belum negara islam, maka serasa belum perlu penulisan madzhab di ktp itu. 

Sinar Agama: Bande, ketika Nabi saww bersabda: ”Aku diturunkan untuk menyempurnakan akhlak” Artinya semua hal termasuk akidah sebagai akhlak dengan Tuhan, hukum fikih yang men- cakup seluruh kehidupan baik pribadi, keluar atau negara. Kalau yang dimaksud akhlak dalam arti lawan dari akidah dan fikih, yakni tatakrama yang tidak fikihis, seperti senyum, tidak emosian, pemaaf, sedekah, .... dst, maka semua itu tidak akan ada gunanya. Karena semua akhlak itu kalau tidak dibangun di akidah yang benar dan didasari fikih yang benar, maka menjadi hangus dan tidak benguna. Misalnya seorang penyantun tapi kafir, atau penyantun tapi tidak shalat, atau pe- nyantun tapi tidak bayar zakat dan khumus. Maka semua itu tidak akan ada gunanya. 

Ketika Nabi saww bersabda: ”Aku tidak diutus kecuali menyempurnakan akhlak”, dan yang dibawanya adalah tauhid, fikih dan semuanya termasuk pemerintahan yang dipimpimnya, maka akhlak adalah Islam itu sendiri. Yakni Islam yang lengkap dengan akidahnya, fikihnya ...dst. Pen- dek kata, makaarimu al-akhlak itu adalah Qur'an dan hadits. 

Haera Puteri Zahrah: Mohon doanya ustadz agar aku dan akhwat lain tidak terjerumus oleh sebuah pernikahan yang kebabblasan. 

Sinar Agama: Haera, he he Saya tidak paham apa maksudnya kawin kebablasan. Aku mendoakanmu dan akhwat yang lain agar terjauhkan dari kawin yang tanpa ijin yang jelas dari ayahnya (baik jelas tentang suaminya atau waktu kawinnya dan waktu berakhirnya kalau mut’ah), karena hal itu sama dengan zina. Karena telah menyengaja kepada pekerjaan yang batal itu setelah tahu hukumnya. 

Kidung Cinta: Semoga masih inline dengan jalur status dan diskusi, hukum-hukum fikih mana sajakah yang diperbolehkan takiyah? Saya pernah mendengar, contohnya sedekap dalam sholat tidak diperbolehkan takiyah. Bagaimana dengan aturan sholat yang lain (misal menoleh saat asalamualaikum, ato mengangkat tangan saat doa qunut)? Syukron. 

Sinar Agama: Kidung, semua hukum itu boleh ditaqiyahi asal ada sebabnya yang empat itu. Maksud dari taqiah yang tidak boleh sedekap itu kalau taqiahnya mengikut fatwa Rahbar hf yang menambahi satu sebab lagi pada empat sebab itu, yaitu demi persatuan. Nah, kalau taqiahnya demi persatuan, maka yang ditaqiahi hanyalah berjamaah pada Sunni, tapi semua cara shalatnya harus Syi’ah. Namanya saja persatuan Sunni dan Syi’ah. Akan tetapi kalau tidak berani turunkan tangan karena takut dipukuli atau tiga sebab lainnya itu (dibunuh, diperkosa dan dirampas har- tanya yang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari), maka taqiahnya tidak bisa dengan alasan persatuan, tapi karena keamanan. Jadi, dalam kondisi ini bisa melakukan taqiah. Tapi kalau untuk persatuan, maka tidak boleh melakukan shalat dengan cara Sunni. Jadi bukan hanya tidak boleh sedekap, tapi juga tidak boleh pakai sajjadah yang bukan dari tanah. 


Wassalam. 

Arie Risnandha: Salam, Afwan ustadz, melanjutkan masalah taqiyah ini... ana bertugas di Oman yang notabenenya orang-orang ibadiyah/khawariz (mudah-mudahan gak salah). Kalo gak sedekap bisa karena mereka juga gak sedekap sholatnya, cuman masalah sujud di tanah ini yang ana agak ragu/takut...Apakah kira-kira yang sebaiknya ana lakukan... mohon penjelasan... Sukron... 

Besse Tanra Wajo: Salam Ustd. Izin copas. 

Sinar Agama: Arie, terharu melihat teman-teman berada di berbagai tempat. Di Oman itu juga sebenarnya banyak orang Syi’ah. Aku punya teman yang berasal dari sana. Berkenaan dengan sujud, kan tidak harus pakai tanah sebagaimana makna bahasanya. 

Tanah di sini adalah makna fikihanya, yaitu tanah dan apa-apa yang dari tanah yang tidak untuk pakaian dan makanan serta bukan barang tambang. 

Jadi, kertas boleh, sajjadah yang dari tanaman seperti tikar juga boleh. Nah, ada yang bisa antum buat alasan. Kalau pulang ke Indonesia, carilah sajjadah yang dari tangakai pohon yang harum yang namanya aku lupa. Itu enak bisa dibuat alasan untuk memakainya. BTW, kalau memang ada kekhawatiran dianiaya, maka bisa taqiah dimanapun antum berada. Tentu saja dalam keadaan seperti itu, usahakan untuk shalat di rumah/kamar. 

Sinar Agama: Besse: silahkan saja. 

Pandan Wangi: Tolong bimbing kami agar bisa bertemu dengan Imam Mahdi as. 

Sinar Agama: Pandan, bertemu imam Mahdi as itu bisa di hati dan bisa di lahir. Bertemu di hati, sering lebih bermakna. Karena ia adalah pertemuan hakiki. Tapi yang di lahir, belum tentu hatinya bertemu. Dan untuk bertemu di hati, taqwalah, dan tinggalkan semua dosa besar dan kecil, serta jangan sesekali meninggalkan ketaatan dan kewajiban. Pelajari akidah dan fikih yang benar, se- perti tahu mana yang salah dan benar, supaya tahu yang sesat dan hidayat, supaya tahu mana yang wajib dan mana yang haram. 

Arie Risnandha: Sukron Ustadz atas waktunya menjawab pertanyaan ana, iya selama ini ana usahakan sholat di kamar sebisa mungkin supaya lebih nyaman dan tenang. InsyaAllah ana cari sajjadah tersebut, sekiranya ustadz teringat suatu saat nama sajjadah tersebut, mohon kiranya memberikan informasi kepada ana bila berkesempatan... afwan. Semoga keselamatan, keseha- tan dan keberkahan selalu bersama ustadz... 

Sinar Agama: Arie, sudah ingat, namanya kayu cendana. Antum bisa cari tikar itu dan bisa di- bawa-bawa kemana-mana biar ke dalam masjid tanpa dicurigai orang karena alasannya harum. 

Sinar Agama: Cari yang besarnya seperti sajjadah, karena memang ada di pasaran 

Arie Risnandha: Sukron ustadz, ana segera cari. Tadi ana google-google juga, kayaknya ada yang dari akar wangi dan kulit gaharu... I-Allah banyak pilihan.... 

Al Aulia: Salam. Saya ada kardus biasa untuk tidur ustad, boleh tidak dipakai untuk sholat? 

Sinar Agama: Aulia, kenapa tidur di kardus sayang ... tapi memang anget sih... tentu saja kardus bisa dibuat sujud karena ia adalah kertas 

Al Aulia: Alhamdulillah..syukron ustad. Yang ada sekarang kardus hangat itu, hehee.. 

Haidar Dzulfiqar: Salam Ustadz... Mohon izin share ya Tadz...? Terimakasih banyak sebelumnya dan atas semua tambahan ilmunya yang sangat luar biasa ini...! Semoga Allah Swt senantiasa menjaga jiwa dan raga, Lahir dan Bathin Antum.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jawaban Terhadap Pertanyaan Salafi Tentang Mut’ah



by Sinar Agama (Notes) on Sunday, April 3, 2011 at 10:00pm


Oleh Hendy Al-Qaim pada 03 April 2011 jam 15:26 

Afwan... ada yang bisa jawab “attack” dari kelompok salafy ini..?? 

Keyakinan Syi’ah Tentang Nikah Mut’ah.. Beserta Sumbernya : 

1. Syi’ah meyakini mut’ah sebagai salah satu dasar pokok (ushul) agama, dan orang yang meng- ingkarinya dianggap sebagai orang yang ingkar terhadap agama. (Sumber: Kitab Man Laa Yahd- huruhu Al-Faqih, 3/366 dan Tafsir Minhaj Ash-Shadiqin, 2/495) 

2. Syi’ah menganggap mut’ah sebagai salah satu keutamaan agama dan dapat meredam murka Tuhan. (Sumber: Tafsir Minhaj Ash-Shadiqin, karya Al-Kasyani, 2/493) 

3. Menurut Syi’ah seorang wanita yang dimut’ah akan diampuni dosanya. (Sumber: Kitab Man Laa Yahdhuruhu Al-Faqih, 3/366) 

4. Syi’ah menganggap mut’ah sebagai salah satu sebab terbesar dan utama seseorang masuk ke dalam surga, bahkan dapat mengangkat derajat mereka hingga mereka mampu menyamai kedudukan para nabi di surga. (Sumber: Kitab Man Laa Yahdhuruhu Al-Faqih, 3/366) 

5. Syi’ah selalu menyebutkan bahwa orang yang berpaling dari mut’ah akan berkurang pahala- nya pada hari kiamat, mereka katakan: “Barangsiapa keluar dari dunia (meninggal) sedangkan dia belum pernah melakukan mut’ah maka pada hari kiamat dia datang dalam keadaan pin- cang yakni terputus salah satu anggota badannya.” (Sumber: Tafsir Minhaj Ash-Shadiqin, 2/495) 

6. Tidak ada batasan jumlah wanita yang dimut’ah, seorang laki-laki dapat melakukan mut’ah dengan wanita sesukanya sekalipun mencapai seribu wanita atau lebih. (Sumber: Al-Istibshar, karya Ath-Thusi, 3/143 dan Tahdzib Al-Ahkam, 7/259) 

7. Syi’ah beranggapan boleh melakukan mut’ah dengan gadis sekalipun tanpa izin dari walinya dan tanpa ada saksi atasnya. (Sumber: Syarai’ Al-Ahkam, karya Najmuddin Al-Hulli 2/186 dan Tahdzib Al-Ahkam, 7/254) 

8. Dalam Syi’ah diperbolehkan melakukan mut’ah dengan anak perempuan kecil yang belum baligh, dimana umurnya tidak kurang dari sepuluh tahun. (Sumber: Al-Istibshar, karya Ath-Thusi, 3/145 dan Al-Kafi fi Al-Quru’, 5/463) 

7. Dalam Syi’ah diperbolehkan liwath dengannya (perempuan kecil) dengan cara mendatang- inya di bagian belakangnya (duburnya). (Sumber: Al-Istibshar, karya Ath-Thusi, 3/243 dan Tahdzib Al-Ahkam, 7/514) 

8. Syi’ah memandang tidak perlu menanyakan terlebih dahulu kepada wanita yang akan dinikahi secara mut’ah, apakah wanita itu telah bersuami atau wanita pelacur. (Sumber: Al-Istibshar, karya Ath-Thusi, 3/145 dan Al-Kafi fi Al-Quru’, 5/463) 

9. Mereka juga beranggapan bahwa batasan minimal dalam melakukan mut’ah bisa dilakukan dengan sekali tidur saja bersama wanita, mereka menamakanya dengan (meminjamkan ke- maluan). (Sumber: Al-Istibshar, karya Ath-Thusi, 3/151 dan Al-Kafi fi Al-Quru’, 5/460) 

10. Wanita yang dinikahi secara mut’ah tidak mendapatkan harta waris dan tidak pula dapat mewariskan harta. (Sumber: Al-Mut’ah wa Masyru’iyatuha fi Al-Islam, karya sejumlah ulama Syi’ah, hal 116-121 dan Tahrir Al-Wasilah, karya Al-Khomeini, 2/288) 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya, Karena jawabanku tidak bisa masuk di komentarnya al-Qoim, maka kutulis di catatan ini saja: 

Sebenarnya, saya dulu sudah pernah membahas tentang mut’ah ini, yaitu di catatan yang berjud- ul “Jawaban Atas Kesamaan Mut’ah Ala Spesies Syi’ah Ame Zina” terbitan 09 Oktober 2010. Akan tetapi, karena ada kelainannya, maka sekalipun dengan sangat ringkas, maka saya akan mencoba menjawab permasalahan ini. 

Definisi Mut’ah: Mut’ah adalah kawin dengan ijab-qabul seperti kawin daaim/permanent, akan tetapi menyebutkan akhir waktunya. 

Syarat-syarat Mut’ah: Syarat-syarat mut’ah, sama dengan kawin permanen, seperti ijin wali bagi wanita yang bukan janda dan lain sebagainya.

Jawaban Soal

(1). Untuk soalan no satu, sebenarnya saya tidak perlu cek sumbernya karena maksudnya jelas, bahwa yang mengingkari hukum Tuhan dengan sengaja, yakni sudah tahu bukti-bukti kebenarannya bahwa hukum itu dariNya, maka ia termasuk mengingkari agama, walaupun setidaknya dalam hukum yang dimaksudkan itu. Semua musliminpun meyakini hal itu. Misalnya orang yang tidak shalat, tidak keluar dari agama, tapi kalau mengingkari kewajiban shalat, maka kalau sengaja, ia bisa keluar dari agama. Ini semua pandangan kaum muslimin. Karena itu Allah dalam Qur'an (QS: 5: 44) berfirman: “dan barang siapa yang tidak menghukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” 

Perlu diketahui, bahwa alamat pertama dari yang diberikan itu tidak benar. Karena di alamat tersebut membahas tentang kaffarahnya sumpah. Sedang alamat ke dua, untuk sekarang ini saya belum punya dan belum menjangkaunya. Dan kalaulah memang ada, tidak menjadi masalah, karena hukum seperti itu diyakini semua muslimin dan sesuai dengan Qur'an. Tapi bukan berarti dari dimensi terhitungnya mut’ah dalam ushuluddin atau keimanan. Karena jelas, hukum halal dan haram itu adalah hukum fikih alias furu’, bukan ushul. 

Penyerang itu, mengira bahwa orang yang dihukumi dengan kafir adalah hanya karena mengingkari akidah saja. Padahal dalam pandalangan Islam, mengingkari hukum Islam dengan sengaja (sudah tahu kebenaran hukum Islamnya tapi tetap mengingkari) terhitung mengingkari agama. 

Mirip dengan, kalau seseorang mengingkari adanya jin dengan sengaja yang mana bisa kafir. Padahal iman pada jin bukan ushuluddin, karena di sunni hanya 6 perkara. Kalau sang 

penyerang mengatakan bahwa mengingkari jin sama dengan mengingkari Qur'an (karena masalah jin ada di Qur'an) hingga menjadi kafir, maka kami akan mengatakan hal yang sama. Yakni mengingkari hukum Tuhan yang ada di dalam Qur'an (asal sengaja) maka sama dengan mengingkari Qur'an hingga bisa menjadi keluar dari agama. 

(2). Hukum kawin dalam syi’ah adalah sunnah, baik permanen atau temporer (mut’ah). Karena itu, siapa saja yang melakukannya akan mendapat pahala. Asal dengan benar, misalnya ijin ayah bagi wanita yang bukan janda. Dengan demikian, maka pahala ini, dan pahala apapun, sudah tentu dapat mengurangi dosa. Dan karena dosa itu adalah murka Tuhan, maka pahala berarti mengurangi murkaNya. 

Terlebih lagi, mut’ah ini diusahakn untuk diberangus oleh umat Islam itu sendiri sejak jaman shahabat yang dimulai oleh Umar sebagaimana di hadits-hadits sunni seperti riwayat Baihaqi, jilid 7, halaman 206, dimana Umar sendiri mengatakan bahwa mut’ah dengan perempuan ini adalah halal di jaman Nabi saww dan “aku” kata Umar, melarangnya dan akan menghukum pelakunya. Jadi, dengan usaha pemberangusan umat Islam sendiri terhadap halalnya Tuhan ini, maka melakukannya, bisa mendapat pahala tambahan. Misalnya pahala perjuangan mempertahankan agama dan hukum-hukum Tuhan. 

(3). Untuk soalan ke tiga ini juga, saya tidak perlu mengecek sumbernya, karena baik benar atau salah dalam penukilannya itu, tidak menyamarkan kejelasan hukum kawin dalam Syi’ah. Yaitu bahwa hukum kawin dalam syi’ah adalah sunnah, baik permanen atau mut’ah. Karena itu, siapa saja yang melakukannya dengan benar (sesuai syarat-syarat syahnya seperti ijin ayah bagi wanita yang bukan janda, dll-nya) maka sudah pasti akan mendapat pahala. Dan pahala, sudah tentu dapat mengurangi dosa. Jadi, hukum sunnah ini, meliputi lelaki dan wanita. Artinya, saya tidak perlu mengecek di tafsir Minhaju al-Shaadiqiin itu apakah dalam kalimatnya itu hanya menyebut pengampunan wanita pelakunya atau tidak. Karena pernyataan itu, bukan berarti menolak fadhilahnya bagi lelaki. 

(4). Untuk soalan ke 4 ini, kitab yang ada di saya, pada alamat yang diberikan itu, membahas tentang kaffarah sumpah, bukan seperti yang dikatakannya itu. Namun demikian, kalaulah hal itu ada (misalnya di lain tempat), maka tidak heran setelah kita paham tentang penjelasan pada jawaban no 2 di atas itu. Artinya, melakukan mut’ah pada masa setelah usaha pemberangusan hukum itu oleh umat Islam sendiri, merupakan perjuangan mem- pertahankan hukum-hukum dan agama Allah. Maka dari sisi ini, sama dengan para nabi yang berjuang untuk menyebar dan menegakkan hukumNya. Tentu saja, derajat itu hanya dilihat dari sisi perjuangannya, tidak dari segala dimensinya. 

(5). Untuk yang no 5 inipun, dengan memahmi hukum sunnahnya kawin, maka sudah terjawab dengan sendirinya. 

(6). Memang jumlah wanita dalam mut’ah tidak dibatasi dengan 4 atau angka lainnya. Jadi, bisa saja lebih dari 4, 9 dan seterusnya. Tentu saja asal dengan semua syarat-syarat syahnya seperti yang dijelaskan di semua kitab fikih. 

(7). Untuk no 7 itu saya tidak tahu orang tsb mengambil dari mana. Sepertinya, mengambil dari alam khayalnya. Karena dalam bab wali nikah, di kitab Syarayi’u al-islam, karangan Allamah al-Hilli itu (bukan al-Hulli sebagaimana yang ditulis dalam serangan di atas), dikatakan bahwa: 

وتثبت والية األب والجد لألب، على الصغيرة، وإن ذهبت بكارتها بوطء أو غيره، وال خيار لها بعد بلوغها على أشهر الروايتين 

“Kewalian ayah dan/atau kakek terhadap anak perempuan yang masih belum dewasa, adalah wajib (tsaabit), walaupun sudah tidak perawan lagi, baik karena pernah dikumpuli (seperti diperkosa orang) atau karena sebab lain. Dan ketika ia sudah dewasapun, tetap tidak ada pilihan baginya –yakni tetap wajib ijin wali- sesuai dengan lebih kuatnya hadits yang ada.” (Jilid 2, halaman 502. Tentang kewalian nikah ini tidak ada di alamat yang diberikan penyerang itu). 

Dengan keterangan ini, maka jelaslah bahwa si penyerang itu sangat mengada-ngada terhadap kitab yang dimaksud. Karena jangankan anak kecil yang masih suci, anak perempuan dewasapun, kalau belum janda, wajib ijin walinya dalam nikah (baik permanen atau temporer). 

(8). Untuk no 8 ini, maka tidak perlu saya cek penukilannya itu. Karena syi’ah dan sunni, hal seperti itu diperbolehkan. Yakni mengawinkan anak yang belum baligh, seperti ‘Aisyah yang dikawin Nabi saww sebelum 9 tahun. Akan tetapi jelas, bahwa sebelum baligh itu, tidak boleh dikumpuli. Dan setelah baligh, harus pula dengan keridhaan si anak. Karena dalam Islam, hak yang ada pada anak perawan adalah dibagi dua, dirinya sendiri dan walinya. Jadi, ayah tidak bisa memaksa anaknya dan begitu pula sebaliknya. Karena itulah, ketika ‘Aisyah sudah baligh, baru disuruh ayahnya, Abu Bakar, untuk mengantar anggur ke Nabi saww dan menyuruhnya berkata: “Ya Rasulullah, anggurnya sudah matang.” 

(9). Dengan jawaban no 8, no 9 ini sudah terjawab dengan sendirinya. Bahwa anak kecil sebelum baligh tidak boleh dikumpuli, sekalipun bisa dinikahi. Dan kumpul itu, dalam syi’ah, bisa dari depan dan bisa pula dari belakang. Dengan dalil QS: 2: 223 yang berbunyi +/-: “Istri-istri kamu itu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu annaa kamu sukai.” Sedang “annaa” bisa diartikan “dari mana” dan bisa diartikan “kapan”. Syi’ah mengambil makna “dari mana”, yakni: “ … datangilah dari mana saja yang kamu sukai.” 

Dengan demikian, maka hukum mengumpuli istri dari belakang itu adalah boleh, kalau dengan ridha sang istri. Tapi kalau tidak dengan ridhanya, maka makruh keras. Karena itu, maka pernyataan boleh meliwat anak kecil itu, adalah fitnah yang nyata dan tidak ada dalam alamat yang diberikan itu.
(10). Sedang untuk no 10 itu, maksudnya adalah menjelaskan hukum wajib-tidaknya percaya kepada pengakuan seorang wanita bahwasannya ia tidak mempunyai suami. Dalam hal ini, al-Kaafi, menyebut dua riwayat dimana yang pertamanya, bahwa imam ditanya tentang bertemunya seorang lelaki dengan perempuan yang diragukan statusnya, lalu apakah wajib mengetahui dengan jelas sebelum mengawininya? Imam Abu ‘Abdillah as. menjawab: 

ليس هذا عليك إنما عليك أن تصدقها في نفسها 

“Tidak wajib bagimu untuk mengetahui hal itu (baca: detailnya sampai yakin), akan tetapi kewajibanmu adalah mempercayai dia terhadap keadaan dirinya.” 

Dan riwayat ke dua menerangkan bahwa shahabat imam Abu ‘Abdillah as. bertanya kepada beliau as bahwa ia menjumpai wanita di perjalanan dan kemudian ia bertanya: 

هل لك زوج؟ فتقول :ال، فأتزوجها؟ قال :نعم هي المصدقة على نفسها 

“Apakah kamu mempunyai suami? Ia menjawab: ‘Tidak’, apakah aku boleh mengawininya? 

Imam as. Menjawab: Boleh, dia adalah saksi bagi kebenaran dirinya sendiri.” 

Kalau orang berakal dan tanpa emosi, memperhatikan dua riwayat di atas, maka dapat dengan mudah menangkap ruh keduanya. Yaitu bahwa kesaksian perempuan terhadap dirinya itu dapat dipercaya, baik kesaksian itu berupa kata-kata “Aku tidak punya suami”, atau berupa perbuatan, yaitu dengan menerima tawaran untuk dinikahi. 

(11). Untuk point 11, maka yang namanya mut’ah itu memang kawin dalam waktu tertentu. Maka dari itu, bisa panjang dan bisa pendek. Dan pendeknya bisa dalam waktu seukuran sekali tidur. Saya, tidak mendapatkan riwayat di alamat pertama yang diberikannya itu, sepertinya asal-asalan saja. Akan tetapi di alamat ke duanya, yakni yang ada di al-Kaafi maka benar adanya, dan di Syi’ah memang jelas bagi setiap orang, yakni tidak aneh. Akan tetapi jawaban imam as ketika ditanya “Apakah kawin mut’ah itu bisa dibatasi waktunya dengan sekali kumpul? Imam as. menjawab: “Boleh.” Yakni tanpa embel-embel penamaan “meminjamkan kemaluan”. Tentu saja di hadits yang lain diterangkan bahwa kalau sudah selesai kumpulnya, maka sang suami harus segera meninggalkannya dan tidak boleh melihat lagi kepadanya. 

(12). Kawin mut’ah itu memang tidak ada waris mewaris dengan suaminya. Sang penyerang itu sudah semakin pusing rupanya. Karena semestinya, justru kalau ada pewarisan yang harus dianggap aneh. Karena bagi mereka, mut’ah itu haram dan tidak syah. Bagaimana mungkin seseorang tidak percaya mut’ah, tapi mengkritiki mut’ah karena tidak adanya waris mewaris antara suami istri tersebut. 

Wasaslam. 

Haidar Dzulfiqar and 53 others like this.

Arwinsyah Pml: Salam ustad warahmatullahi wabarakatuh. Ijin Copy notenya yah ustad sebagai tambahan referensi, Afwan Wa Syukran. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya. 

Sinar Agama: Pml: Silahkan saja, tapi kalau bisa lengkapi dengan catatan lain yang sudah saya sebutkan judulnya dalam catatan ini, yaitu yang berjudul: ”Jawaban Atas Kesamaan Mut’ah Ala Spesies Syi’ah Ame Zina.” 

Sinar Agama: Tentu saja, semua tulisan itu, ala fb-kan, yakni ringkas sekali dan biasanya kurang teratur. 

Muhammad Hanafi: Note Antum Sebelumnya Yang Bahas Masalah Ini Udah Ana Baca, Copy & Jadi Rujukan. Syukran. 

Arwinsyah Pml: Syukran Katsiran ustad. 

Sinar Agama: Tolong teman-teman yang kucintai ikutan rajin. Yakni kumpulin komentar-komentar atau catatan-catatan alfakir ini, tentang mut’ah ini, karena terkadang alfakir untuk menulis satu baris saja, perlu meneliti kitab-kitab berjam-jam. Walau tetap tidak sempurna karena bahasa percakapan. Jadi, antum-antum kumpulkan sendiri, dan terutama poin-poin pentingnya seperti dalilnya, hadits sunninya atau pemahaman hadits syi’ahnya. Tolong bantu alfakir ini dengan ke- cerdasan dan fokus antum semua. Karena saya pasti kewalahan menjawab mereka sendirian. Tapi alfakir tetap saja tidak akan putus asa. Semoga jemari-jemariku ini tidak kelu karenanya. 

Sinar Agama: Pml. ok sama-sama. 

Aziz Enrekang: Hukum nikah (daim maupun mut’ah) saya pikir memang harus disebaluaskan, dan biarlah perzinahan bagi orang-orang yang suka berzina saja, yang suka menikah untuk yang suka menikah saja. 

Basuki Busrah: Ijab Kabulnya silahkan ambil di Aat Laparuki (ada versi laminatingnya)...hihi. 

Irsavone Sabit: Wah terimakasih Ustad, telah mencerahkan. 

Nurmandi Nurman: Ustad...orang-orang banyak yang berpikiran sempit, maksudnya kalau sudah mut’ah lantas harus di “kumpuli”, apakah cuma itu tujuan mut’ah itu? Cobalah orang itu berjalan bukan hanya kekuatan argumentasi ilmunya saja, tapi cobalah dengan argumentasi selain dengan ilmunya juga dengan argumentasi melalui perjalanan spiritualnya. Maaf apakah kaum salafi tidak ada yang ”BERJALAN”..? Syukron ustad. 

Nur Syamsul: Bagi dong kak Bas ame kak Aat...xixixixixix....... 

Ali Alaydrus: Ahsan jawaban !!! 

Yuddi Masaling Batam: Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa aali Muhammad wa ‘ajjil faraja aali Muhammad. 

Irsavone Sabit: Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa aali Muhammad wa ‘ajjil faraja aali Muhammad. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih sekali lagi atas jempol dan komentar serta perhatiannya. Saya sebenarnya kurang suka menulis hal ini, apalagi sudah beberapa kali, tapi karena mereka yang memulai, dan hal inipun adalah hukum Tuhan, nah.... Tuhan saja tidak malu, mengapa saya harus malu...? 

Karena itu kulenyapkan perasaaan diri dan kuberusaha menggantinya dengan mauNya, karena Dia yang Maha Tahu dan Bijak. Aku berpasrah kepadaNya. 

Haedar Alidar: Allahumma shalli Ala Muhammad wa Ali Muhammad wa’ Ajjil Farajahum... 

Abuzahra Gagah: MAHA BENAR ALLAH DGN SEMUA FIRMAN2NYA., ALLAHUMMA SHALLI’ALA MUHAMMAD WA AALI MUHAMMAD. 

Mujahid As-Sakran: Ya Allah masukkanlah kami kedalam golongan hambamu yang menghalal- kan apa yang engkau halalkan dan mengharamkan apa yang engkau haramkan. 

HenDy Laisa: Syukran... makasih banyak 1000x atas jawabannya ustad Sinar Agama..... 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih sekali lagi buat semua jempol dan komentarnya, serta baik sangka dan doanya. 

Sinar Agama: Hendy: ok, sama-sama. Aku kemarin sampai bisa dikatakan tidak tidur malam menjwab pertanyaanmu itu. Tapi setelah selesai dengan ringkas, kucoba untuk dimasukkan ke dalam komentarmu tapi tidak masuk. Dan sudah kutulis surat padamu di dindingmu, juga tidak ada jawaban. Akhirnya kubuat catatan sendiri seperti ini. 

HenDy Laisa: Afwan ustad.. saya barusan buka hari ini akunku karena baru hari ini ada kesem- patan.... 

Salim Madhi: APAKAH ANAKNYA SINAR AGAMA RIDHO DI MUT.AH 1 HARI SAJA.. ATAU ANAK- ANAK KAMU SEMUANYA. INI SAMA AJA CEK IN SATU MLM DI HOTEL. DAN KALAU HAMIL PUNYK ANAK, ANAKNYA TIDAK PUNYA BAPAK... GIMANA NAFKAHNYA.. SEDANG KAN SUAMI ADALAH PE- 

MIMIMPIN RUMAH TANGGA.? DAN SAYA TIDAK PERNAH DENGER ANAK-ANAKNYA USTAD SYIAH YANG DI MUT‘AH.. INI SAMA SAJA PEMUAS SEX. 

Salim Madhi: Dan gimana orang syiah yang selalu meninggikan akalnya tapi berbuat seperti itu... 

Mujahid As-Sakran: Nikah mut’ah itu jelas hukumnya, perkara kita mau atau tidak kita melakukannya, itu soal lain sama halnya dengan nikah daim boleh sampai 4 yang penting kehalalannya. 

Fazri Sukma Praja: Salam ustad. (Penjelasan untuk fikihnya udah bagus sayangnya penjelasan filosofis tentang pernikahan terasa kurang. Seperti bahwa nikah itu termasuk ”perkataan yang berat” karena wanita menyerahkan dirinya kepada suaminya di depan Tuhan. Sosiologisnya juga diliat jangan sampai perkataan seperti Salim Madhi itu ada lagi karena tidak menangkap esen- sinya karena lelaki terhormat itu haruslah dengan wanita yang terhormat. Niat kita apa jangan sampai menjadikan wanita merasa tertipu. Mungkin ustad bisa menjelaskan lebih detail. Karena ini sebatas pengetahuan saya yang dangkal. Nuhun ustad. 

Anandito Birowo: Mut’ah itu sesuatu hal yang hukum dasarnya HALAL tetapi bisa jadi HARAM jika dilakukan tidak sesuai syarat-syaratnya. Khalifah Umar mengharamkan mut’ah karena meli- hat banyak penyimpangan yang dilakukan oleh para pelaku mut’ah. Umat muslim di Iran banyak melakukan mut’ah sekedar untuk menghalalkan pacaran sebelum nikah da’im, dan itupun harus ada surat legalnya. Mereka juga pantang berhubungan sex selama mut’ah untuk mejaga kesucian diri. Tapi di Indonesia, sebagian ustad-ustad syiah kemaruk mut’ah sampai istri mut’ahnya ada yang mau bunuh diri karena hamil dan disuruh aborsi. Ini kisah nyata, bukan fitnah. Nah yang be- gini ini, yang haram dan berdosa adalah pelaku mut’ahnya yang semena-mena. Mut’ahnya tetap halal, pelakunya yang berdosa. SEBAGIAN UMAT SYIAH MEMANG TIDAK BISA MENJAGA KESUCIAN AJARAN AHLULBAIT AS, MUNGKIN MEREKA ITULAH YANG NANTI AKAN DIPERANGI PULA OLEH IMAM MAHDI AL MUNTAZHAR AS. KAMI BERLINDUNG PADA ALLAH DARI KEBURUKAN-KEBURUKAN SEPERTI ITU. Wallahu a’lam. 

Sinar Agama: Salim, sepertinya kamu tidak baca catatannya dengan cermat. Wong namanya kawin, yah....kalau ada anak, maka anak keduanya dan nafkah si anak ditanggung ayahnya. Persis seperti kalau ada orang kawin daim/permanet lalu setelah hamil terjadi perceraian. Nikah Mut’ah ini dibuat Allah, untuk yang darurat. Ini tujuan utamanya. Seperti lelaki yang sedang jauh dari keluarganya dan takut jatuh ke dalam yang haram. Itupun, harus dengan wanita yang syah, seperti tidak punya suami, tidak dalam keadaan iddah, janda, kalau bukan janda wajib ijin kepada walinya dengan jelas (seperti dengan siapa kawinnya, berapa maskawinnya, tanggal berapa kawin dan tanggal berapa selesainya). Btw, bahasan ini, akan diteruskan di kemudian hari in'syaaAllah.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ