Tampilkan postingan dengan label Marja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Marja. Tampilkan semua postingan

Rabu, 07 November 2018

Metode Mengambil Informasi Fikih Yang Berbeda-beda dari Satu Marja’



Seri tanya jawab Muhammad Dudi Hari Saputra dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Thursday, October 18, 2012 at 1:19am


Muhammad Dudi Hari Saputra: 10 Agustus, Salam ustadz,,, 

Saya sedikit resah dalam hal penerapan fiqih, terutama di kalangan muqalaf yang mengalami kebingungan Ustadz tentang aturan fiqih yang mana harus diikuti dan dijalankan,, 


Saya sangat senang kita memiliki Rahbar sekaligus marja’ sekaliber Ayatullah al-Uzhma Ali Khamenei, dan mayoritas di Indonesia menjadikan beliau sebagai marja’. Namun di kalangan umat masih saja terjadi perbedaan ustadz bahkan antara (dari sini saya tambahkan sendiri kalimatnya karena terputus dan saya sadari ketika edit akhir yang rada sulit mencari ke sumber asalnya sebab kekurangnnya sudah dari sejak saya membuat catatannya, sa) sesama yang taklid kepada Rahbar sendiri dan para pengajarnya (ustadznya).

Irsavone Sabit: Nyimak. 

Bande Husein Kalisatti: Hal ini pernah ditanyakan oleh seseorang kepada salah satu ulama yang datang dari Iran tentang perbedaan penafsiran fiqh di kalangan ustadz-ustadz..jawab beliau (ulama). “kalau terjadi perbedaan, tanyakan pada guru mereka”. 

Zakky Adam LovestHawa: NyiMak” 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: 
Metode memahami fikih itu jelas baku, tapi tidak semua yang tahu kebakuan tersebut, karena harus banyak tahu hukum fikih dan berbagai ilmu hingga tahu maksud sebenarnya fikih tersebut. 
Untuk menjawab pertanyaan ke dua antum, saya nukilkan dialog di bawah ini: 

Sang Pencinta mengirim ke Sinar Agama 

Salam ustadz, sedikit uneg-uneg ya ustadz, yang saya tahu ustadz-ustadz AB yang terjun ke masyarakat banyak yang belajar dari hauzah Qom, apakah ketika beliau-beliau itu sebelum terjun ke lapangan tidak melalui tes penyaringan atau katakanlah dibaiat sehingga apa yang disampaikannya sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh marjanya, sehingga keorisinilan ajaran AB tidak sampai pada kita-kita yang awam/ tidak ke hauzah? Terima kasih wa afwan. 

Neo Quisling, Khommar Rudin dan 5 orang lainnya menyukai ini. 

Irsavone Sabit: nyimak 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: 
Pendidikan di sana itu bertingkat dimana semakin lama belajar maka akan semakin paham pelajaran yang telah lalunya sekalipun. 

Kan sudah dibilang bahwa 4 tahun - 5 tahun pertama itu adalah mukaddimah. Tahun-tahun ke 6 sampai ke 12 atau ke 14, adalah tingkatan tengah dan dari tahun ke 14 itu masuk ke pelajaran tinggi yang dikenal dengan Bahtsu al-Khoorij. 

Sekarang ini, dengan tetap memperhatikan dasar-dasar pendidikan hauzah, sudah dibuat sistem penjurusan bagi yang tidak ingin mencapai ijtihad dalam fikih dan ushulfikih. Karena itu ada s1, s2 dan s3. Dan jurusannya banyak sekali, seperti filsafat, madzhab-madzhab, fikih, ushulfikih, sejarah, bahasa arab, tafsir, keperempuanan, ...... dan seterusnya. 

5 tahun pertama bisa menyelesaikan s1, kira-kira 4 tahun atau 5 tahun kemudian bisa menyelesaikan s2, dan 5 tahun kemudian bisa menyelesaikan s3. 

Di sana, juga ada ujian-ujian dalam setiap pelajaranya di mana kalau tidak lulus dalam satu pelajaran, maka harus mengulang atau mengulang ujiannya setidaknya di akhir semester depan. 

Saking ketatnya ujian, maka untuk masuk ke peringkat yang lebih tinggi (misalnya dari s1 ke s2, dari s2 ke s3), juga diuji dengan berat di mana kalau tidak lulus dua kali, akan disuruh pulang dan banyak juga yang gagal di sini. Saya bicara untuk semua murid-murid dunia, bukan hanya Indonesia. Dan bahkan sudah ada yang kabur duluan sebelum disuruh pulang setelah menyelesaikan satu peringkatnya, seperti s1 atau s2-nya. 
Bahasa dipulangkan atau DO, yang dipakai di sana adalah “disuruh tabligh”. 

Sedang untuk yang jurusan ijtihad, maka cara di poin dua itu yang dipakai dan di Bahtsu al-Khoorij itu dibagi dua untuk pelajar luar negeri yang mau ikut programnya, yaitu menjadi 5 tahun. Kalau lulus di 5 tahun pertama, ia dikatakan Mujtahid Mutajazzi’ (mujtahid belum lengkap) dan kalau lulus di 5 tahun ke dua, di mana sampai sekarang belum ada lulusannya dan bahkan muridnya sampai sekarang baru 12 orang, maka ia akan disebut Mujtahid Penuh (ayatullah). 

Tentu saja, yang jurusan fikih atau ushulfikih, atau bahkan jurusan lainnya, dari yang lulus s2, kalau ingin merubah jurusannya dan ingin menjadi mujtahid, maka bisa masuk ke program ijtihad ini.
 
Ujian yang dihadapi murid-murid tingkat empat, yaitu yang di 5 tahun pertama Bahtsu al-Khoorij itu, adalah, tiap bulan menghadapi satu mujtahid dan di akhir tahun harus menghadapi dua mujtahid yang mengeroyoknya. Begitu seterusnya sampai 5 tahun. 

Yang lulus di peringkat empat itu, selain disebut Mujtahid Mutajazzi’ juga disebut Doktor atau sejajar dengan Doktor. 

Ada juga orang yang belajarnya bebas seperti sistem lama ketika belum revolusi, yaitu belajar sendiri sesuai dengan tahapan-tahapan yang ada di nomor dua di atas itu, lalu ujian sendiri pada guru-gurunya setelah belajar kitabnya itu atau ujian ke sekolahnya. Dan kalau sudah sampai di Bahtsu al-Khoorij itu, terserah dia untuk mengujikan dirinya. Apakah per tahap atau keseluruhan. Kalau nanti sudah dinyatakan lulus oleh mujtahid, maka ia akan dinyatakan sebagai mujtahid, baik penuh atau sebagian/mutajzzi’ itu. 

Tapi cara ini, tidak dipakaikan untuk orang-orang luar negeri. Karena itu, ujian-ujian mereka harus tetap ke sekolah yang mengurusnya dan baru dikatakan bisa bebas, kalau sudah selesai dari tingkat empat atau sudah menjadi Mujtahid Mutajazzi’. 

Ada satu dua orang, yang karena alasan-alasan tertentu, dia dibolehkan tetap tinggal di Iran, walaupun tidak ikut dalam pelajaran-pelajaran dan ujian-ujian formal tersebut. Misalnya sebagai penulis, peneliti dan semacamnya. Tapi orang-orang, kalau pelajar asing di sana, benar-benar hanya satu dua orang saja. 

Untuk pelajaran-pelajaran ilmu Kalam dan Filsafat, maka jenjangnya sudah saya terangkan di catatan yang menulis tentang Kurikulum Hauzah di mana untuk selesai sampai Irfan, diperlukan 35 tahun secara normalnya. Tapi kalau belajarnya berjam-jam sehari dan kuat hingga misalnya belajar dua kali lipat kecepatannya atau lebih, maka ukuran waktu tersebut bisa diperpendek menjadi separuhnya atau lebih cepat. 

Islam dan Ahlulbait as itu, tidak bisa dibahas dalam satu dimensi dan, apalagi dibatasi pembahasannya. Karena itu, semakin lama orang belajar, maka sudah tentu akan semakin tahu dengan ijinNya. Karena di sana, selalu dipantau dengan ujian-ujian sebagaimana sudah dijelaskan. 

Karena itu, para ulama mengatakan bahwa taklid kepada yang lebih pandai itu adalah wajib. Nah, dilihat dari sisi ini, maka mereka juga menasihati bahwa belajar agama juga demikian, terutama manakala terjadi perbedaan penjelasan. Yakni belajar kepada yang lebih pandai dan lebih banyak tempuhan pembelajarannya. Karena akal dan agama yang menyuruh demikian, terlebih ketika yang lebih pandai itu dapat menjelaskan dengan gamblang teori- teori yang disampaikannya dan terlebih lagi, tidak bisa dibantah oleh yang di bawahnya atau yang tidak lebih pandai darinya atau tidak lebih tinggi darinya dalam jenjang tempuhan pendidikannya itu. 

Tambahan: 


Karena agama, terutama dalam masalah akidah dan pemikiran, tidak ada taklid menaklid, maka di sini, siapa saja bisa mengajukan pendapat yang disertai dalil-dalilnya. Karena itu, medannya lebih terbuka dari bidang-bidang agama yang lebih spesifik seperti tafsir, fikih, ushulfikih, hadits, ..dan seterusnya. Karena itu, dalam hal akidah bisa dengan pengajuan dalil dan tidak memperhatikan jenjang capaian pelajaran itu, tapi dalam bidang-bidang lainnya, sudah seyogyanya memperhatikan dengan bijak, paparan yang lebih alim tersebut. 

Ayatullah Jawodi Omuli hf dalam menafsirkan kata-kata Imam Ali as yang mengatakan (sesuai yang dinukil ke kita dan dengan terjemahan yang menyebutkan inti-intinya): 

“Kalau kalian ingin tahu mutu seseorang, maka lihatlah makanannya.” 


Beliau hf menjelaskan bahwa makanan itu ada dua macam, makanan badan dan makanan ruh. Makanan badan adalah makanan sehari-hari itu. Dalam hal ini, kalau ingin melihat mutu seseorang, maka lihatlah hartanya itu, apakah ia adalah harta halal atau tidak, dibayarkan khumusnya atau tidak, korupsi atau tidak ...dan seterusnya. Kalau halal dan tidak ada tercampur apapun keharaman seperti khumus/zakat yang tidak diberikan, maka ia orang baik dan kalau tidak, maka sebaliknya. 

Beliau hf meneruskan: Kalau makanan ruh itu adalah ilmu. Karena itu, lihatlah apa ilmu, dari mana ia mendapatkannya, siapa gurunya, seberapa banyak ia mengambilnya (dengan bahasa sekarangan, kitab apa saja yang ia khatamkan dari gurunya itu).......dan seterusnya. 

Anjuran Gamblang

Kalaulah tidak mau memperhatikan semua yang dijelaskan di atas itu, setidaknya, dalam belajar, jangan mencampur dengan kecenderungan dan kesamaan karakter dengan pengajarnya, apalagi masalah kelompok dan keturunan. Jadi, carilah semua ilmu dalam kehingaran informasi itu, dengan melihat dalilnya yang lebih gamblang, bukan yang lebih cocok dengan rasa, perasaan dan kecenderungannya. 

Kalaulah dengan hal itu, belum juga terobati karena berbagai hal seperti tidak bisa memahami dengan baik dalil-dalil yang terungkap, maka setidaknya, pilihlah yang lebih hati-hati dan lebih berat. Karena memilih yang lebih berat, walau ada kesalahannya, maka ruginya hanya sedikit berat di dunia saja, tapi di akhirat sudah pasti lolos. Tapi kalau nekad memilih yang lebih ringan lalu salah, jangankan di akhirat, di dunia ini sudah pasti akan menghadapi banyak masalah seperti qodho, kaffarah dan semacamnya. 

Rabaan yang Sangat Mungkin

Sebenarnya, tingkatan-tingkatan itu tidak terlalu mencampuri urusan kehingar-bingaran informasi di Indonesia ini. Yang sangat mungkin, adalah bahwa dalam masalah Ahlulbait as di Indonesia ini, sama dengan masalah-masalah yang dihadapi saudara-saudara Sunni. Yaitu, tidak adanya spesifikasi dalam bidang para penyampainya dan, yang tidak lebih kalah parahnya, adalah tidak adanya spesifikasi dalam jenjang pelajarannya itu. Karena itu, semua orang atau penyampai, bisa menjelaskan semua masalah sekalipun tidak pernah ia pelajari di masa ia menempuh pendidikan, baik karena bukan bidangnya atau bukan tingkatannya. 

Memang tidak ada dan bahkan tidak boleh menindak siapapun yang memahami fikih dan mengajarkannya. Jadi, kita hanya bisa adu argumentasi dalam memahami fikh tersebut dan, semua mukallaf dibebaskan memilih yang terkuat dan, kalau hal itupun masih salah juga, maka dalam berbagai hal, tetap saja diwajibkan mengulang perbuatannya atau mengqodho’nya atau bahkan membayar kaffarah. 

Pilih yang terkuat dan terberat. Misalnya ada perbedaan antara haram dan halal, maka pilih yang haram. Antara najis dan suci, maka pilih yang najis. Antara sudah masuk bulan puasa atau belum, maka pilih yang belum. Antara sudah imsak atau belum, maka pilih yang sudah imsak. 

Perintah ini, memang dianjurkan di fikih supaya tidak merepotkan diri sendiri di kemudian hari. Wassalam. 

Muhammad Dudi Hari Saputra: Syukron atas penjelasannya ustadz.. 

Ustad menjelaskan bahwa jika tetap terjadi kesalahan maka kita wajib mengqodho’ bahkan membayar kaffarah, bisa dijelaskan lebih rinci ustadz apa yang dimaksud dengan qodho dan kaffarah itu? Dan dalam kondisi apa saja kita harus melaksanakannya?? 

Kemudian di atas jika kekeliruan yang dialami oleh mukallaf,, namun bagaimana dengan tanggung jawab seorang ustadz yang salah/ keliru menyampaikan aturan fiqihnya ustadz? Dan kemudian muqallaf mengikuti beliau karena ketidaktahuan muqallaf itu sendiri tentang aturan fiqih yang benar ,, syukron. 

Sang Pencinta: 940. Macam-macam Kaffarah Dan Waktu Pelaksanaannya, oleh Ustadz Sinar Agama = 

http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/438351299543005/

Berlangganan Catatan-catatan Sinar Agama 

Muhammad Dudi Hari Saputra: Syukron mas pencinta,, 

Oh iya mas pencinta ada menyimpan data tentang macam-macam kontradiksi/ fallacy menurut ustadz Sinar Agama? Syukron. 

Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhamamd wa aali Muhammad. 

Sang Pencinta: @Dudi, mungkin antum bisa dapatkan di file dengan judul ‘logika’. Saya sendiri belum mencek secara detail. Afwan.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 29 September 2018

Sekelumit Tentang Wilayatulfakih

Sekelumit Tentang Wilayatulfakih {lanjutan catatan: Taqlid dan kelebihpandaian (a’lam) marja}





Seri tanya-jawab Al Louna dan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Saturday, June 18, 2011 at 11:33 pm




Adlh Murid Sejati: Salam wr. wb. ...mau tanya tentang konsep wilayatul faqih, syukron jawabannya. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

(1). Wilayatul fakih itu adalah wewenang para fakih. Pendek kata wewenang para marja’. 

(2). Marja’ adalah orang yang mencapai derajat ijtihad dan adil (tidak melakukan dosa besar dan kecil). Orang seperti ini, adalah wakil imam Makshum as yang ditunjuk dengan kriteria. Yakni mujtahid, adil dan tidak serakah pada dunia. 

(3). Sekarang, wewenangnya ini sejauh apa? Ada dua pandangan: Pertama, Mutlak (merupakan fatwa mayoritas mujtahid). Yakni marja’ itu menempati posisi imam makshum as dalam sosial karena memang mewakili mereka as. Karena itu harus mengatur masyarakat sejauh masyarakatnya menginginkannya, karena tidak ada paksaan dalam Islam. Karena itu, harus melakukan seruan perjuangan (sesuai dengan kondisi masing-masing tempat dilihat dari keluasan oyek yang akan diperjuangkannya) bila ada penindasan terhadap Islam dan masyarakat. Baik diikuti atau tidak. Dan kalau diikuti, maka harus membuat perjuangan membela Islam dan yang lemah sesuai dengan hukum-hukum islam. Dan kalau sudah berhasil dalam perjuangannya, dan telah pula membuat negara Islam (karena didukung masyarakat), maka harus pula menerapkan hukum Islam seperit qishash dan apa saja dalam sebuah sosial dan negara islam. Jadi, kewajibannya adalah menyeru kepada perjuangan membela Islam dan muslimin tanpa paksa, dan kalau diikuti orang dan berhasil, maka harus membuat negara Islam yang juga tidak boleh tanpa paksa.

(4). Ke dua, Tidak Mutlak. Yaitu yang mengatakan bahwa marja’ itu hanya memiliki wewenang memberi fatwa dan mangatus sedikit tentang sosil yang berupa pengaturan khumus, zakat, wakaf dan semacamnya. Jadi kalau dia berfatwa bahwa pembunuh itu harus dibunuh, bukan berarti harus dibunuh betulan. Tapi harus menunggu imam Mahdi as. Karena bagi mereka perjuangan membela Islam dan muslimin itu tidak boleh dan, apalagi mendirikan negara Islam. 

(5). Jadi, walaupun mereka -yang tidak mutlak itu- melihat para wanita diperkosa dan muslimin dibunuhi, maka mereka tidak boleh mengumandangkan suara perjuangan dan apalagi menegakkan negara Islam. Dan kalau berteriak dan berjuangpun, hanya untuk membela hak diri dari perkosaan dan pembunuhan itu. Artinya, kalau orang zhalim itu tidak memperkosanya dan tidak membunuhnya, sudah cukup, sekalipun di dunia ia melakuakn kekejaman dan kemungkaran. Inilah kira-kira pandangan wilayah faqih yang tidak mutlak itu.

(6). Kalau mereka ini melakukan hal seperti itu memang disebabkan ijtihadnya, yakni murni ijtihad dan bukan karena rasa takut, dengki kepada wali faqih dan semacamnya, atau karena menaklidi mujtahid yang seperti itu (bagi yang tidak ijtihad), maka masih tergolong muslim dan Syi’ah. Artinya di dunia ini, kita tidak bisa menghukumi mereka apa-apa. Jadi urusannya kita serahkan kepada Allah. Entah bagaimana mereka nanti menghadapi wanita-wanita yang diperkosa di depan mata mereka dan orang-orang yang dibunuhi itu, serta bagaimana menghadapi pertanyaan Tuhan terhadap kekacauan hukum sosial dan negara karena mereka tidak membolehkan membuat sistem negara yang sesuai Islam dan hukum Tuhan itu. 

(7). Akan tetapi bagi yang mutlak, keyakinan ini sangat dalam dan mendasar, bahwa Islam diturunkan Tuhan untuk mengatur umat manusia seperti menegakkan keadilan di segala bidang (ekonomi, budaya, politik ...dan seterusnya) dan memberantas kebatilan serta penganiayaan. Tentu saja tanpa dengan usaha-usaha pemaksaan seperti para terorist itu. Jadi, mengajak umat dengan bijak dan argumentatif tanpa boleh ada paksaan sedikitpun. Sementara masalah imam Mahdi as itu adalah masalah janji Tuhan untuk kemenangan di seluruh permukaan bumi ini. Jadi, jauh beda antara tugas di setiap tempat sesuai dengan kondisinya masing-masing, dengan imam Mahdi as yang merupakan janji Tuhan untuk kemenangan di seluruh dunia, bukan hanya di tempat-tempat tertentu. 

Artinya, bukan berarti sekarang tidak boleh berjuang. Jadi, kewajiban sekarang dalam membela Islam, sama persis dengan kewajiban membela islam ketika nanti imam Mahdi as telah datang. Dan, jangan dikira, orang yang tidak berjuang sekarang, nanti pasti berjuang dengan imam Mahdi as. Karena bisa saja ada keraguan di dalam hatinya terhadap beiau yang membuatnya tidak mau berjuang bersama beliau as. 

Misalnya, beliau as mengatakan bahwa perjuangan sebelum beliau as adalah kewajiban yang mereka tidak laksanakan. Nah, kalau mereka menerima teguran ini dan bertaubat, maka ia akan masuk di dalam tentaranya, tapi kalau tidak, maka sebaliknya. Semoga saja Allah membimbing kita ke jalan imam Mahdi as yang hakiki, . 

Tambahan: Dalam urusan agama Islam dan selainnya, yang penting adalah Islam. Dalam urusan madzhab antara Syi’ah dan lainnya, yang penting Syi’ah (tentu bagi pengikutnya). Tapi dalam Syi’ah taqwa dan peduli dengan lingkungannya sesuai dengan hukum-hukum Islam yang tidak pernah libur, dengan yang lainnya, maka di sini tidak bisa dikatakan bahwa yang penting adalah Syi’ah, sehingga dengan demikian para penakut dan penyinta dunia yang tidak peduli dengan derita islam dan umatnya (dari orang-orang Syi’ah) menyembunyikan dirinya. Karena itu, ketahuilah bahwa Syi’ah itu bukan satu-satunya ukuran masuk surga, tapi ketaatan di dalamnya dan kepedulian kepada Islam dan muslimin adalah ukurannya. 

Wassalam. 

Dadan Gochir: Salam, berarti untuk indonesia yang saya tangkap dari catatan ustadz adalah tidak mutlak (4) ya..terus untuk menjadi marja/marja yang lebih a’lam dan adil harus ada kesaksian dari mujtahid lain, bagaimana kita tau atau mujtahid lain tau seorang marja tidak melakukan dosa besar&kecil, karena kita tau dosa bisa dilakukan sendirian..apakah dikembalikan kepada Allah atau gimana? 

Atau yang a’lam dan adil meniscayakan tidak mungkin melakukan dosa sedikitpun, karena pengetahuan mereka akan dosa..atau gimana ustad , afwan. 

Sinar Agama: Gochir, Antum salah memahaminya: Wilyatulfakih mutlak itu tidak mengenal batasan-batasan negara dan tidak mengenal batasan penerapan. Persis seperti imamah itu sendiri. Apakah kalau imam tidak memegang kekuasaan dan tidak memiliki negara Islam (karena tidak didukung umat), lalu konsep keimamahannya atau ketaatannya menjadi terbatas pada masalah-masalah selain politik? 

Dengan demikian, karena wilayatulfakih ini adalah wakil mutlak imam makshum as (tentu selain memulai perang), dan karena ketaatan pada imam makshum as itu tidak dibatasi kekuasaan, maka taat pada wilayatulfakih itu juga demikian. Karena itu kita mesti menaati wilayatulfakih secara mutlak, baik pribadi atau politik, baik mereka memiliki kekuasaan/negara atau tidak, dan baik mereka itu senegara dengan kita atau tidak serta baik di negaranya negara islam dan di negara kita bukan negara Islam. 

Nah, dari sisi ketaatan kita kepada wilayatulfakih itu tidak beda dan tidak bisa dibedakan dengan bedanya keadaan wilayatulfakih atau bedanya keadaan para pengikutnya. 

Yang berbeda itu hanyalah perintah wilayatulfakih itu. Artinya, beliau sebagai marja’ dalam segala bidang, maka akan memberikan fatwa-fatwanya dalam urusan politik, sesuai dengan keadaan para pengikutnya. Misalnya, di Iran wajib mempertahankan negara Islam Iran dan maju perang ketika diserang musuh. Tapi kewajiban itu tidak ada pada Syi’ah di Indonesia sekalipun sama- sama taqlid kepada satu marja’ yang disebut wilayatulfakih itu (yang dalam hal ini adalah Rahbar hf). Akan tetapi ada fatwa-fatwa agama yang berkenaan dengan sosial dan politik Islam yang memang tidak mengenal batas negara dan keadaan. Misalnya muslimin diwajibkan untuk bersatu dan menjaga persatuan dimana kalau membuat perpecahan maka telah melakukan dosa besar. Nah, fatwa politik Islam ini, wajib dilakukan oleh orang-orang yang ada di Iran dan di lain Iran, seperti Indonesia. 

Dengan penjelasan di atas, maka pemahaman antum tidak benar dalam memahami wilayatulfakih itu. Harap teliti. 

Untuk kesaksian akan dosa tidaknya seseorang, ...(dilanjutkan di catatan no. 83. Beda adil dan makshum - seri tanya-jawab antara Dadan Gochir dan Sinar Agama) 

Abdul Malik Karim: Maaf boleh tanya, siapa wali faqih setelah wafatnya wakil imam Mahdi terakhir dan sebelum Khomeini? 

Dadan Gochir: Amin, Terimakasih ustadz ilmunya..semoga ustadz selalu dalam lindungan Allah. 

Dadan Gochir: Ustadz ada wahaboy datang..perusak acara. 

Abdul Malik Karim: Loh orang tanya kok dianggap merusak? Bertanya salah satu cara mencari ilmu, 

Tuan Taajiir: A.M. Karim @ pepesan kosong ngapain di tanggepin, entar ketularan sakit nt wkwkwkwkwkwk. 

Sinar Agama: Malik: he he masih aktif nih,,, kalau antum baca tentang tulisan di atas, maka sudah jelas jawabannya. Karena semua marja’ itu adalah walifakih. Akan tetapi karena belum punya pemerintahan yang disebabkan belum adanya dukungan, maka mereka seperti para imam makshum as yang tidak punya negara. Karena itulah dalam Syi’ah menjadi mujtahid itu adalah wajib kifayah. Karena tidak boleh ada jaman yang tidak ada mujtahidnya. Artinya tidak boleh ada jaman yang tidak ada wilayatulfakihnya. 

Sinar Agama: Kidung, di Syi’ah, belajar 20-30 tahun belum tentu bisa jadi mujtahid, padahal mujtahid itu hanya dalam bidang fikih. Belum lagi kalau mau menguasai filsafat dan lain-lainnya. 

Yang fikih keseharian itu adalah ilmu dasar yang membuat tidak berartinya lmu-ilmu lain tanpanya. Biar membahas filsafat dan irfan dan apa saja, tapi fikih kesehariannya tidak kuat dan apalagi tidak diamalkan, maka semuanya itu sia-sia. Beda halnya kalau fikih kesehariannya dipelajari dengan benar sesuai dengan fatwa marja’nya, lalu diamalkan, maka ia akan mendapatkan banyak ilmu rasa. Artinya ia bisa ke irfan dan makna-makna, walau tidak mengerti peristilahan ilmiahnya. 

Dadan Gochir: Ikut bertanya fikih, ustad maksud terbit matahari waktu akhir subuh..apakah terbit matahari itu mulai terlihatnya matahari di ufuk timur atau bagaimana, bagaimana kalau yang jauh dari laut..sekalian waktu awal subuh apakah ada perbedaan suni dan syiah? 

Sinar Agama: Akhir shubuh adalah munculnya matahari di ufuk timur, baik di lihat dari pinggiran laut atau tidak. Sedang awal shubuh antara Syi’ah dan Sunni tidak ada perbedaan kecuali di tanggal 13-22 setiap bulan hijriah, maka untuk shalatnya diakhirkan sekitar 15 menit, tapi untuk imsak puasa harus dari sejak adzan yang umum di Sunni itu. Tapi di lain tanggal itu sama saja baik shalat atau imsak puasa. Tentu saja mendahulukan imsak dari adzan shubuh sangat dianjurkan. 

Dadan Gochir: Terimakasih ustadz.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Beda Adil dan Makshum






Seri tanya-jawab antara Dadan Gochir dan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, June 22, 2011 at 2:36 am



Dadan GochirSalam, ..................................., terus untuk menjadi marja/marja yang lebih a’lam dan adil harus ada kesaksian dari mujtahid lain, bagaimana kita tau atau mujtahid lain tau seorang marja tidak melakukan dosa besar & kecil, karena kita tau dosa bisa di dilakukan sendirian..apakah dikembalikan kepada Allah atau gimana?


Atau yang a’lam dan adil meniscayakan tidak mungkin melakukan dosa sedikitpun, karena pengetahuan mereka akan dosa..atau gimana ustad , afwan.



Sinar AgamaUntuk kesaksian akan dosa tidaknya seseorang, baik ia orang biasa yang akan jadi saksi cerai, saksi pengadilan, imam shalat, marja’, wilayatulfakih mutlak ...dan seterusnya, sama dengan kesaksian ilmu di atas. Akan tetapi justru lebih mudah. Karena kalau untuk kesaksian tentang ijtihadnya atau kelebih a’lamannya harus disaksikan oleh ulama dan mujtahid yang biasa disebut dengan Ahlulkhibrah, akan tetapi dalam kesucian dari dosa besar dan kecil ini cukup disaksikan oleh semua orang, baik awam atau alim.

Artinya, semua orang bisa menjadi saksi dan tidak harus ulama. 



Namun kesaksian ini adalah kesaksian manusia. Artinya yang diwajibkan Allah untuk menyaksikan keadilannya, adalah kesaksian lahiriah dan sejauh bisa dikenali. Jadi tidak menyangkut hati seperti riya’ tidaknya, atau tidak menyangkut hal-hal yang pribadi seperti ketika ia sendiri di dalam kamar misalnya. 

Salah satu beda antara adil (tidak melakukan dosa besar dan kecil) yang biasa disebut dengan makshum dari dosa ini dengan makshumnya para nabi as dan imam as, adalah bahwa ketidakberdosaan adil adalah bersifat lahiriah, dan ketidakberdosaan makshum adalah lahir batin. 

Bukan maksud dari lahiriah dan lahir batin itu adalah yang adil tidak dosa lahiriah tapi batinnya berdosa, dan makshum itu tidak dosa lahir batin. Bukan itu. Tapi maknanya, keyakinan kepada ketidakberdosaan kita kepada adil itu bisa disandarkan kepada lahiriahnya saja, tapi pada yang makshum tidak bisa hanya menyandarkan diri pada lahiriahnya saja. 

Jadi, kalau adil, cukup kesaksian lahiriah, tapi kalau makshum harus mencari data-data yang bisa menembus batin mereka, seperti ayat-ayat dan hadits-hadits yang menyaksikan kemakshuman mereka (para nabi dan imam). 

Memang, dalam penerapan adil, bermacam-macam. Misalnya orang yang tahu dirinya tidak adil karena masih melakukan dosa, baik besar atau kecil, tapi kalau diyakini orang lain sebagai adil dan mereka ingin bejamaa’ah dengan kita dengan alasan keyakinan mereka itu, maka bisa dilayani. Artinya, dia yang tahu dirinya tidak adil itu, bisa melakukan shalat jama’ah dan shalatnya tidak batal dengan syarat diyakini makmumnya sebagai adil. 

Akan tetapi adil dalam penceraian, harus adil hakiki. Yakni di samping kesaksian lahiriah orang yang ingin menjadikannya saksi cerai, ia juga harus yakin dengan keadilan dirinya sendiri. Karena kalau adil yang dipakai disaksi cerai harus hakiki dimana kalau tidak, maka cerainya batal. Jadi, kalau yang dipercaya adil itu tahu dirinya tidak adil, maka ia telah melakukan dosa dan ia tahu kalau cerai itu batal dan kalau si istri kawin lagi, maka ia tahu kalau itupun batal dan zina. 

Akan halnya siapa yang akan menanggung dosanya, maka bukan yang meyakini itu. Karena ia telah melakukan sesuai dengan perintah agama, yakni meyakini keadilan saksi tersebut karena sudah melihat lahiriahnya tiap saat. Jadi, orang lain, termasuk yang cerai, selama belum tahu bahwa 2 orang saksinya itu tidak adil, maka ia syah dalam cerainya dan si perempuannya boleh kawin lagi. Tapi kalau ternyata nanti tahu bahwa pada waktu menjadi saksi itu kedua orang itu atau salah satunya, tidak adil, maka ia harus membatalkan kawin ke duanya itu dan menuntut suami pertamanya untuk menceraikannya lagi. Jadi, semua dosa dari hubungan itu, yang tidak dosa bagi pelakunya karena tidak tahu, sangat mungkin akan ditanggung saksinya yang tahu dirinya tidak adil itu. 

Tapi merepotkan orang, terutama si istri, yang harus membatalkan kawinnya dengan suami ke dua yang mungkin sudah punya anak itu, dan meminta suami pertamanya untuk menceraikannya lagi, maka semua kerepotan ini yang menurut saya jelas dosa, sudah pasti akan ditanggung oleh saksi-saksi palsu itu. 

Salah satu beda antara adil dan makshum adalah kalau adil cukup bersih dari dosa (dimana hal ini juga dapat dikatakan makshum dari dosa atau makshum shaghir atau makshum kecil), akan tetapi kalau makshum, atau makshum kabir, atau makshum besar, adalah harus bersih dari dosa dan kesalahan lainnya yang tidak dosa sekalipun. 

Maksudnya, kalau seseorang melakukan kesalahan, tapi tidak sengaja (tahu hukum tapi tidak tahu obyeknya, misalnya tahu bahwa makan harta orang lain itu haram, tapi ia telah memakannya dengan ketidaktahuannya bahwa harta tersebut milik orang lain), dan tidak semi sengaja (tidak tahu hukum hingga salah dalam prakteknya, dimana biasanya dosa dari hal ini tidak diangkat, misalnya ia makan riba dan tidak tahu kalau riba itu haram), maka ia sudah bisa dikatakan adil hakiki dan tidak melakukan dosa secara hakiki. Karena kesalahannya itu tidak disengaja, karena ia telah belajar dan tahu hukum, tapi salah dalam melihat obyeknya, seperti shalat dengan keyakinan bajunya bersih dari najis yang dia ketahui macam-macam najis dan hukumnya itu, akan tetapi tidak tahu kalau di bajunya itu ada salah satu najis yang menempel di bajunya. Atau seorang mujtahid yang telah berijtihad dengan segala persyaratannya dan sudah melakukan kehati-hatian, akan tetapi secara tidak sengaja, fatwanya salah. Begitu pula para muqallid yang taqlid kepadanya. Mereka ini, tetap dikatakan adil, karena tidak melakukan kesalahan dengan sengaja hingga tidak bisa dikatakan berdosa. 

Akan tatapi makshum, tidak bisa hanya mencukupkan diri dengan bersih dari dosa itu. Karena makshum ini sifat yang harus ada pada pembawa syariat, baik pencetus seperti nabi atau penerus seperti imam. Artinya, kalau mereka tidak bersih dari kesalahan yang tidak sengaja ini, maka tak seorangpun di muka bumi ini yang bisa meyakini bahwa ajarannya itu benar-benar dari Tuhan seratus persen tanpa kesalahan sedikitpun, baik disengana atau tidak. Karena itu mereka harus makshum dari kesalahan yang sengaja atau semi sengaja (dosa) dan dari kesalahan yang tidak sengaja sekalipun. 

Untuk bersih dari dosa bagi yang adil dan makshum itu, harus dari ikhtiarnya sendiri-sendiri, karena kalau tanpa ikhtiar, maka tidak layak menjadapat pujian dan pangkat. Tapi bersih dari kesalahan yang tidak sengaja, seperti lupa, maka bisa saja dijaga oleh Allah dan tidak mengurangi sedikitpun fadhilah dan keutamaan orang makshum dari yang tidak makshum. 

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa bersih dari dosa itu tidak hubungannya dengan tingginya ilmu seseorang seperti mujtahid atau ilmu makshumin. Yang diperlukan hanyalah tahu hukum fikih dari amal-amal dan perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan sehari-hari. Karena itu semua orang harus makshum dari dosa yang disengaja atau semi sengaja ini. Karena itulah dalam Syi’ah belajar fikih keseharian itu wajib hukumnya dan yang tidak belajar maka ia telah melakukan dosa, bukan hanya tidak melakukan yang utama, tapi benar-benar telah melakukan dosa. 

Semoga penjelasan ini dapat membuka benang bulet (bc: kekurangpahaman) yang antum hadapi, amin dan wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Selasa, 07 Agustus 2018

Wilayatulfakih Dalam Diskusi Lagi






Seri tanya-jawab: Giri Sumedang dan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, August 9, 2011 at 5:42 am


Giri Sumedang: Salam kak sinar.. aku mau nanya...semalam aku bertemu orang yang dari Qum dan telah belajar di sana selama hampir 6 tahun. Dia bilang bahwa dalil atau hadits tentang wilayah alfaqih itu tidak ada. Yang ada hanya dalil akal saja (atau asholatul ishlah atau kemendasaran pada mashlahat) padahal kan ada ”man kana minal fuqoha, shoinan linafsihi, hafidzon lidinihi, falil awam anyuqoliduhu”.. ini bagaimana ya kak penjelasannya? 

Widodo Abu Zaki, Siti Handayatini, Teratai Di Rawa Pasee dan 7 lainnya menyukai ini.

Sinar Agama: Kalau masalahnya akidah, maka dengan dalil akal yang gamblang karena memang tidak boleh taqlid. Tapi kalau tentang fikih maka dalilnya adalah fatwa. Dan pemahaman fatwanya, juga dengan dalil ’uruf dan akliah yang gamblang.

Giri Sumedang: Ya kak makasih... dalam beberapa hal sih giri nyambung banget gitu lho ama kak sinar secara eksistensial apa-apa yang telah kakak paparkan. Makasih ya kak.

Sinar Agama: Dalam hadits yang kamu bawa itu, yang mengatakan bahwa imam Mahdi as, mewajibkan kita mengikuti mujtahid yang menjaga diri dari maksiat, melakukan taat dan tidak serakah kepada dunia, sangat cukup untuk membuktikan bahwa ketaatan pada marja’ itu tidak hanya dalam hal-hal najis, wudhu, mandi, shalat dan puasa atau hal-hal lainnya dari ibadah- ibadah sehari-hari.

Tidak hanya itu saja. Tapi imam Mahdi as mengatakan ”fa lil’awam an yuqalliduhu”, disini tidak ada pembatasan kepada ibadah-ibadah pribadi.


Karena itu, yang membatasinya itu benar-benar memang belum menguasai dalil-dalil fikih. Dan, di hauzah, memang dengan beberapa tahun saja tidak akan mengerti dalil-dalil ini. Karena memang belum sampai.

Nah, kata-kata imam Mahdi as yang mengatakan ”maka bagi orang awam harus menaqlidinya -mujtahid”, tidak ada pembatasan kepada ibadah-ibadah pribadi. Akan tetapi ”muthlaq” (mut- lak), dalam istilah ushulfiqih. Yakni mutlak dan meliputi semuanya. Karena itu, selama tidak dikondisikan oleh hadits shahih lainnya yang membatasinya, maka ia harus diterima sebagai yang mutlak dan mencakup. Karena itu, maka hadits tersebut mencakupi seluruh ketaatan dalam masalah-masalah pribadi, keluarga, sosial, politik, ekonomi, kenegaraan dan dunia. Walhasil meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Dan hal seperti ini, merupakan hal yang sangat jelas bagi semua atau mayoritas ulama Syi’ah.

Giri Sumedang: Apakah ada referensi dari ayatullah atau setingkat marja’ dengan apa yang telah kakak katakan, sebab kalau ini diungkapkan pada dia.. dia akan ngomong apa dasarnya? Siapa yang ngomong? Marja’ atau bukan? Kalau bukan marja’ maka tidak wajib kita ikuti, begitu kak pernyataannya. Lucu sih kak orangnya.. jauh-jauh ke Qum eh malah begitu statemennya..he.

Sinar Agama: Uwwah ... kalau ditambah lagi dengan ayat-ayat yang mengatakan bahwa siapa yang menghukum tidak dengan hukum Tuhan maka ia telah kafir, taat pada pemimpin (yang juga mutlak), menegakkan keadilan agama dalam segala sisi kehidupan, ................. dan seterusnya, maka hadits itu akan sangat gamblang dan mudah dipahami tentang keumumannya itu. 

Uwwah ... kalau ditambah lagi dengan hadits-hadits yang mengatakan bahwa kalau ada dua orang saja diantara kalian harus ada satu yang menjadi imam, maka hadits dari imam Mahdi as itu, sangat mudah dipahami.

Kalau dia mengatakan seperti itu, yakni dari siapa, marja’ atau bukan, maka balas juga kamu tanya pada dia. Bahwa yang kamu katakan, yakni bahwa hadits imam Mahdi as itu hanya untuk ibadah- ibadah pribadi dan tidak mencakupi semua ketaatan, maka yang kamu katakan itu dari mana? Dari marja’ atau dari kamu? Kalau dari kamu yah ... berarti tidak harus didengarkan. Kalau dari marja” maka tanyakan marja’ siapa dan di dalam kitab apa?

Giri Sumedang: Ya kak dia kan ustadz.. jadi Giri masih punya adab mau berkata seperti itu.. he.

Sinar Agama: Itu untuk debatannya. Yakni dengan mengembalikan masalah kepadanya. Dan untuk penjelasannya, maka sudah cukup apa yang ditulis oleh para marja’ dalm semua kitab fikihnya. Karena semua marja’ menulis hukum-hukum fikih itu dari masalah-masalah pribadi ke masalah-masalah negara dan politik. Artinya, banyak hal yang difatwai itu yang tidak bisa dilaksanakan kecuali kalau memiliki negara Islam. Seperti hukum qishash, hukum cambuk, ...dan seterusnya. Nah, dengan adanya fatwa-fatwa itu, maka sudah jelas apa yang dimaksudkan hadits imam Mahdi as di atas itu.

Yang ke dua, banyak sekali kitab tentang wilayatulfaqih ini. Yang sudah di Indonesiakan sudah ada, yaitu alhukumah al-Islamiyyah karya imam Khumaini ra. Dan masih banyak lagi kitab-kitab yang ada bahkan yang berjilid-jilid hanya menerangkan tentang wilayatulfakih ini seperti karya Muntazhiri. Ada lagi karya ayatullah Jawadi Omuli hf...dan lain-lainnya.

Giri Sumedang: Oo begitu ya kak.. wah Giri kayaknya harus baca kitab itu.

Sinar Agama: Terkahir, katakan ke ustadznya itu, bahwa dalil taat yang ada di hadits imam Mahdi as di atas itu adalah mutlak. Trus antum menkondisikannya, atau mentaqyidnya, dengan dalil apa? Pertanyaan ini kelihatan lebih sopan.

Giri Sumedang: Giri sudah sampaikan kitab dari Javadi Amoli.. eh dia mengatakan saya tidak tahu.. karena saya belum baca.. lucu sih kak orangnya he.

Sinar Agama: Kitab itu seingat saya terbitan Cahaya.

Giri Sumedang: Dia bilang karena Javadi Amoli bukanlah seorang maroji’... he.

Sinar Agama: Lah .. kalau dia tidak tahu, kok bisa menkondisikan hadits mutlak tadi???? Ya ampun ngawur banget dia itu he he he ...ayatullah Jawadi hf itu sudah lama jadi marja’.

Dan yang ingin taqlid kepada beliau, beliau menyuruhnya merujuk kepada fatwa-fatwa Imam Khumaini ra.

Giri Sumedang: Dia asal saja mengatakan bahwa kesepakatan seluruh ulama Iran bahwa hadits itu tidak untuk dijadikan dasar adanya wilayatul faqih.

Sinar Agama: he he ... kesepakatan dimana? Tanya saja dimana ada kata sepakat itu?

Giri Sumedang: Jadi dia ustadz yang tergolong ngawur ya kak?

Sinar Agama: iyalah pasti ... tentu saja dalam hal ini, tapi dalam hal-hal lain mungkin tidak. Dan ketahuilah, bahwa 5-6 tahun di Qom itu memang tidak akan mengerti hal ini. Memang belum dipelajari fikih berdalil yang agak tinggi. Baru dasar-dasarnya saja. Apalagi kalau jurusannya bukan fikih atau ushulfikih, maka sangat mungkin memang tidak akan mempelajarinya.

Giri Sumedang: ooo begitu.. he memang sih kak tidak semuanya dia ngawur.. maaf perkataan Giri tadi.

Sinar Agama: Nah, itu dia, belajarlah ke siapa saja, tapi dengan dalil yang gamblang. Memang belajar ke yang lebih ahli tentu lebih afdhal. Tapi kalau tidak ada, yah .... apa mau dikata. Tapi asal dengan dalil gamblang tadi.

Hormat sih boleh tetap, karena demi menjaga tatanan sosial. Tapi berdiskusi dengan ustadz itu harus dibiasakan karena tidak terhitung kurang ajar di hadapan Islam.

Giri Sumedang: Terus kak, dia nanya apakah ada wilayatul faqih sebelum imam Khumaini ra? Wilayatul faqih itu secara konsep betul harus ada tapi orangnya tidak wajib ada.. itu kata dia kak? Jadi Giri semakin aneh aja ngelihat cara berpikir dia kak he. Dia bilang konsep nabi dan rosul itu harus ada tetapi nabi dan rosulnya boleh tidak ada gitu katanya kak..he.

Sinar Agama: He he he he ketika konsep wilayatul fakih itu ada, maka ini yang menjadi ukuran bagi kita untuk diikuti. Bukan ada tidaknya orangnya. Ini yang pertama

Yang ke dua: ketidak adaan wilyatul fakih sebelum imam Khumaini ra itu, dikarenakan tidak adanya umat yang menerimanya hingga melakukan revolusi dan mendirikan negara Islam. 



Persis seperti imam-imam makshum as sebelum imam Mahdi as. Apakah karena mereka tidak memegang tampuk pemerintahan, lalu konsep imamah itu kita ingkari dan orangnya juga kita ingkari? Kan malah wilayatulfakih itu masalah negara. Artinya, tidak hanya berdiri dengan satu tiang yang namanya pemimpin, baik makshum as atau wilyatulfakih? Tapi berdiri dengan dua tiang dimana yang satunya lagi adalah umat? 



Nah, di umat ini, jangankan wilayatulfakih, imam makshum as saja tidak diikuti hingga membuat negara? Lah ... imam Mahdi as itu untuk apa ghaib kalau diikuti umat dan bisa mendirikan negara di dunia ini? Lah ... apakah kalau para imam makshum as itu tidak menegakkan negara. Begitu pula para nabi-nabi sebelumnya, atau para wilyatulfakih itu juga tidak menegakkan negara, lalu konsepnya salah dan orangnya yang nabi, yang imam makshum atau yang fakih itu, juga tidak ada?

Giri Sumedang: Giri sih paham kak.. tapi ustadz itu tetep mengatakan bahwa wilayatul faqih boleh tidak diikuti dan tidak menjadikan kita kafir atau keluar dari keimanan kita kak, begitu katanya he 

Sinar Agama: Nah, dari para nabi itu hanya segelintir yang sempat mendirikan negara, misalnya nabi Sulaiman as, nabi Muhammad as, nabi Yusuf as, dan beberapa nabi lainnya. Begitu pula para imam makshum, hanya imam Ali dan imam Hasan yang sempat mendirikan negara. Begitu pula para mujtahid, yang katakanlah hanya imam Khumaini ra yang sempat mendirikan negara. Lah .... apakah mereka itu terus diingkari konsep kebenarannya dan keberadaannya?????? 



Kan tidak???? Karena punya negara atau tidak itu tergantung kepada umat yang mau mendukung atau tidaknya. Kalau didukung, maka berdirilah negara. 



Tambahan: Konsep wilayatul fakih ini terkadang bisa dicuatkanwalau tidak ada negaranya. Seperti ayatullah Syirazi yang mengharamkan rokok kepada seluruh umat dan bahkan marja’-marja’ketika petani tembakau Iran dizhalimi Inggris sebelum adanya negara Islam di Iran.

Giri Sumedang: Setuju kak.. ini baru kakak ku he. 

Sinar Agama: Nah, itu salah satu bukti dari adanya konsep wilayatulfakih dan adanya orangnya juga, yaitu para mujtahid tersebut. Tentu saja, yang menjadi wilayatulfakih hingga bisa membuat para marja’pun taat itu adalah yang a’lam. 



Giri Sumedang: Wah sangat mencerahkan sekali kak..he..kayaknya mendingan kakak aja dech yang jadi ustadz giri he..bercanda kak maaf he. 



Sinar Agama: he he he ... nggak apa-apa kalau kamu mau jadi murid he he he ... 



Widodo Abu Zaki: Pemikiran seperti ini makin banyak di Indonesia. Ternyata sudah merasuk kemana-mana ya? Padahal menunggu Imam Mahdi lebih baik aktif apa pasif pasti semua menjawab aktif. Tidak bakalan ada yang berani jawab pasif. Dengan pasif instrument hukum kan libur. Anehnya banyak yang ikut. Maaf ustadz saya ikut nyela, habisnya gerah dengan hal-hal seperti ini, kalau tidak karena Revolusi Islam dan Imam Khomeinii Mustahil ana syiah. 

Giri Sumedang: Hai kak Zaki apa kabar?? Ya begitulah kak.. eh tapi kak, biasanya yang punya ide juga harus ikut bertanggung jawab lho.. he maksudnya ikut membangun dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara ini..cek ila.. ambil sistem yang ada dimana kakak gelutin saat ini.. hatta itu cuma peran di yayasan pendidikan ya kan kak he....

Sinar Agama: Abu: Benar yang antum katakan, benar ... semoga antum selalu dalam bayang sang imam besar revolusi itu... 

Sinar Agama: Giri: benar begitu, asal tidak menolak yang keseluruhannya. Jadi, walau aktif kayak apapun seperti di pendidikan (yang memang hanya seperti ini yang digeluti mereka-mereka itu), tapi kalau menolak yang universal (seperti menolak berjuang mencerahkan dan menegakkan hukum-hukum Islam tanpa paksa), maka semua itu bisa tidak berguna. Bagaimana bisa berguna, kalau kamu mengajar di sekolah yang disampingnya muslimat-muslimat diperkosa zionist, atau di sampingnya banyak bangkai muslimin yang dibunuh zionist, atau di sebelahnya banyak perumahan-perumahan muslim digusur zionist, atau di sampingnya banyak kezhaliman yang berlaku ke atas muslimin dan muslimat .... dan seterusnya??????!!!!! 



Wassalam.







اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 05 Agustus 2018

Taqlid dan Kelebihpandaian (a’lam) Marja’






Seri Tanya-Jawab Al Louna dan Sinar Agama 

by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, June 7, 2011 at 1:20 pm

Al Louna: Salam ustadz, tolong jelaskan apa yang di maksud dengan taqlid? Apakah saya diwajibkan untuk bertaqlid? Jika iya bagaimana caranya? Dan siapa saja yang harus di ditaqlidi? Afwan ustadz tolong jelaskan bahasa yang sederhana, afwan ya ustadz. Syukron.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih atas perhatian dan kepercayaannya: 

1. Yang benar adalah taqlid, bukan taklib. Artinya mengikuti fatwa mujtahid (ulama yang sampai ke derajat ijtihad) dalam segala urusan keseharian, baik ibadah pribadi atau sosial politik dan apa saja. 

2. Taqlid/taqlid ini, hukumnya adalah wajib bagi siapa saja yang tidak mencapai derajat ijtihad tersebut, dimana kalau mau belajar di hauzah (pesantren) sekitar 20-30 tahun dan bahkan bisa lebih (baru mencapai derajat ijtihad). Nah, kalau sudah belajar dengan tahapan-tahapan yang sudah ada di hauzah dan lulus ujian, maka bisa dikatakan mujtahid, yakni orang yang sampai ke derajat ijtihad. 

3. Ijtihad, adalah tingkatan ilmu dimana seseorang itu bisa menyimpulkan hukum dari sum- bernya secara langsung, yakni Qur'an, hadits, akal dan ijma’ ulama (yang ada di jamam makshumin as atau dekat dengan jaman mereka as hingga dapat diyakini bahwa ijma’nya tersebut memang dari para imam makshum as. 

4. Kalau yang sampai ke tinggat ijtihad itu banyak orang, seperti sekarang yang terdiri dari ribuan orang (atau setidaknya lebih dari satu orang), maka dipilih yang paling pandai. Memang, tidak semua mujtahid itu menjadikan dirinya sebagai rujukan. Dan yang menjadikan dirinya rujukan, disebut dengan marja’ atau tempat rujukan. 

5. Menilai seseorang itu sampai ke tingkat ijtihad atau paling alim (a’lam) diantara mujtahid hingga bisa disebut sebagai a’lam (paling pandai), bisa dengan cara melihatnya sendiri (kalau ia juga alim), atau mendengar setidaknya dari kesaksian dua orang alim yang tidak melakukan dosa besar dan kecil (adil). 

6. Untuk sekarang-sekarang ini, yang tergolong marja’ yang paling a’lam adalah Rahbar hf. 

7. Jadi, kamu bisa taqlid kepada beliau hf. Rahbar adalah pemimpin tertinggi di Iran sekarang ini. 

8. Untuk melakukan taqlid, cukup dengan niat mengikutinya dan merujuk kepada fatwa-fatwanya. Wassalam. 

Al Louna: Wa’alaikumsalam...Shukron katsir Ustadz, afwan... 

Syaiful Bachri: Salam, ust mau tanya ada ngga kira-kira mujtahid dari Indonesia? 

Satu lagi pertanyaan, bisa ngga kita pindah marja’, apakah boleh berpindah marja’ semau kita? Ada ngga persyaratannya? Syukron. 

Reza Saqer: Afwan ust, bagamana Rahbar dikatakan paling a’lam sedangkan dalam banyak masalah kita masih disuruh rujuk ke tahrir Imam Khomeini? 

Sinar Agama: Bachri, Indonesia baru memiliki mujtahid yang mutajazzi’, artinya belum penuh/ mutlak. Jadi tidak bisa dijadikan marja’. Untuk pindah marja’ itu bisa kalau sama-sama a’lam, dan wajib kalau dari yang bukan a’lam ke a’lam. Untuk Rahbar hf dan Sistani itu sama-sama ada kesaksian a’lamnya, tapi anjuran saya ikut Rahbar hf, karena jelas lebih lengkap dan tidak diam menghadapi penjajahan dan tidak meliburkan hukum Islam sesuai dengan konsep wilayatulfakih mutlak. 

Sementara Sistani kita dan hampir semua ulama tidak tahu pendapatnya. Walau dengan diamnya (tidak bangkit) di depan kezhaliman amerika yang mencabik-cabik Iraq dengan pembantaian dan perkosaan, atau tidak adanya perintahnya untuk membuat negara Islam setelah merdeka dari amerika, dapat dijadikan rabaan terhadap pandangannya (misalnya wilayatulfakih yang tidak mutlak yang melarang kebangkitan dan mendirikan negara Islam). 

Ada lagi marja’ baru di Qom tapi ijtihadnya sudah lama sekali bahkan sejak sebelum revolusi, yaitu ayatullah Jawadi Omuli hf yang menyolati almarhum Ayatullah Bahjat ra dimana biasanya yang nyolati itu adalah a’lam setelahnya (secara tidak langsung dan dipahami dengan qorinah atau kondisi). Dan kalau mau taqlid ke beliau, maka tinggal merujuk fatwa-fatwa imam Khumaini ra. Tentu saja fatwa politik harus tetap ke Rahbar hf sebagai a’lam mutlak dalam fatwa-fatwa politik. 

Pindah marja’ itu tidak bisa seenaknya sebagaimana memilih di waktu pertamanya juga tidak bisa seenaknya. Dan caranya sudah diterangkan di atas itu. Jadi cara memilih pertamanya salah, maka harus segera diperbaiki. Dan pindah dari yang tidak a’lam kepada yang a’lam itu, hukumnya adalah wajib. 

Syaiful Bachri: Ustadz, mana tanya lagi, a’lam mana antara Rahbar dengan Sistani ? 

Sinar Agama: Reza, kea’laman itu tidak bertentangan sama sekali dengan perintahnya untuk merujuk ke Tahrir. Kata-kata yang antum ucapkan ini biasa dikeluarkan oleh orang-orang dan tangan-tangan marja’ yang anti wilayatulafakih mutlak untuk merendahkan dan melecehkan Rahbar hf. Padahal dirinya juga tahu -kalau berilmu- bahwa hal itu tidak bertentangan. Tapi untuk menipu orang-orang awam, maka ia permainkan kebodohan orang dengan tujuan-tujuannya pribadi atau kelompoknya. 

Kalau al-Qaedah menggerogoti muslimin dari dalam dengan jualan syirik kemana-mana dan meneror orang dimana-mana hingga mempermudah kaum kafir menjajah dan merampas negara, harga diri dan kekayaan kaum muslimin, maka mereka-mereka ini juga hampir sama dengan para peneror itu. Memang tidak sampai bunuh sana dan sini, tapi selalu berusaha mengkikis Syi’ah yang mengikuti wilayatulfakih mutlak yang mengusung harga diri dan martabat Islam dengan perjungan yang masuk akal dimana bagi mereka hal ini adalah bid’ah karena bagi mereka adalah hak imam Mahdi as semata. Jadi, mereka ini, benar-benar telah melancarkan kejahatan kaum kafir secara langsung atau tidak, karena telah mengharamkan perjuangan itu sendiri. Jadi, harap hati-hati dengan semua itu. 

Seorang mujtahid itu tidak sembarangan berkata. Jadi, kalau Rahbar hf membolehkan penaklidnya merujuk ke Tahrirnya imam Khumaini ra, maka sudah pasti telah dipelajari fatwa perfatwa dan telah dianggap sesuai dengan fatwanya sendiri. Ayatullah yang sangat senior sekarang di Qom dan seorang filosof dan arif besar, ayatullah Jawadi Omuli hf juga memerintahkan yang mau taqlid kepada beliau untuk merujuk ke Tahrir wasilahnya imam KHumaini ra, sementara beliau adalah mujtahid terkenal sejak sebelum kemerdekaan Iran dan pengajar bahtsulkhorij yang kawakan di hauzah Qom. 

Kata-kata yang antum katakan itu adalah kata-kata yang juga pernah keluar dari Ayatullah Muntazhiri yang merasa kalah saingan dimana ia katakan dalam rangka mengejek Rahbar hf. Padahal orang berilmu itu jelas tahu apa arti kata-kata suruhan merujuk tsb. Tapi dia, seperti orang-orang yang anti wilayatulfakih mutlak yang selalu mendatangi orang-orang yg baru Syi’ah akibat imam Khumaini ra, untuk mengeruk keuntungan pribadi dan golongan. 

Sementara banyak orang Syi’ah dan Sunni di dunia ini yang diperkosai, disembelihin dan dijajah di depan mata dunia dan kamera tv secara terang-terangan, akan tetapi mereka-mereka ini justru mengelukan haramnya perjuangan karena wilayah fakih itu tidak mutlak. Semoga Tuhan menjaga kita dari tuntutan para syahid dan korban perkosaan dan penjajahan di dunia dan akhirat kelak, amin. 

Reza Saqer: Afwan ust, antum kok lari ke wilayatul faqih mutlak or gak mutlak, itukan hanya beda presepsi lagi pula kalo gak meyakini wf ga mutlak juga gak meruntuhkan keIslaman dan kesyiaahan, bagi saya itu adalah perbedaan sudut pandang. Kalo ana lihat antum kebakaran jenggot dengan yg ana tanyakan, anggap saja ana ini wahabi atau kristen yang gak ada urusan dengan Montazeri, Sistani atau Rahbar. Lagi pula Rahbar sendiri aja gak punya risalah amaliah seperti Sistani atau marja lainnya, jadi bagaimana orang mau dibimbing untuk taqlid kalau dia gak punya risalah amaliah..? Tolong pertanyaan ana jangan diartikan agenda kafir atau zionist ya!!! Ana hanya mempertanyakan orang kok dianggap paling pandai tapi tidak mandiri dalam fatwanya. 

Sinar Agama: Reza, jawabku sudah jelas di atas. Lagian kamu ini ra’syih bagaimana mungkin mengingkari banyak kitab fatwa Rahbar hf yang dibuat di sela-sela kesibukannya mengatur negara Islam menghadapi semua tekanan dunia, dimana bahkan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang terdiri 2 jilid tebal. Di rumahku saja ada beberapa model fatwa beliau hf, baik bahasa Arab atau bahasa Parsi. 

Reza Saqer: Saya gak mengingkari kitab rahbar kok, yang saya permasalahkan predikat ”paling alim” itu aja kok repot sih???? Lagi pula jawaban ust gak jelas, neko sana , neko sini sampe urusan wilayatul muthlaq atau tidak... yang raksyih itu antum ust,,, coba antum baca ulang jawaban antum..walhasil ana ini korban pembodohan ulama Sunni ... sekarang masuk syiah ketemu lagi gaya yang sama. Maaf ust,,,, jelek-jelek gini saya kuliah walaupun bukan di Iran dan saya diajarkan oleh lingkungan pendidikan saya untuk menghargai pendapat orang sekaligus punya hak untuk mengkritisi jika diindikasikan tidak logis. Jadi yang saya heran kok ada orang di bilang ”paling tau” tapi realitanya bilang ke muridnya agar merujuk ke buku lain.... bagi saya kalo begitu biasa aja lah.... gak usah lebay pake dibilang ”paling alim”. 

Sinar Agama: Reza, kamu ini benar-benar ra’syih. Mau dijelasin berapa kali kepada antum ini supaya paham. Perintah perujukan ke kitab yang ditulis oleh orang lain itu, tidak mengurangi kelebihpandaiannya dari yang lain. Antum tahu, menjadi Rahbar di Iran itu dipilih oleh lebih dari 70 mujtahid. Kea’laman, kelengkapan, ...dst itu merupakan nilai-nilai yang harus diperhatikan dalam memilih pemimpin tertinggi. Antum tahu, menjadi Rahbar itu adalah menjadi orang nomor satu setelah imam Mahdi as dimana jangankan orang awam agama, mujtahid dan marja’pun harus taat padanya. 

Perintah perujukan ke kitab yang tidak ditulisnya, itu bkn berarti bonceng. Ini kera’syihanmu. Bagaimana mungkin seorang mujtahid bonceng fatwa pada orang lain? Mujtahid itu adalah yang bisa mengeluarkan pendapat dan harus mengeluarkan pendapatnya manakala membimbing yang taqlid kepadanya. Kesangat ra’syihanmu itu adalah bagaimana mungkin kamu tidak mengerti posisi seorang marja’? Marja’ adalah berfatwa dengan fatwanya untuk yang taqlid kepadanya. Nah, pengembalian kepada kitab yang ditunjuknya, pertanda kebolehnannya beramal kepada kitab itu sebagai fatwanya, bkn sebgai fatwa pengarang aslinya. 

Perintah perujukan ke kitab lain itu tidak mengurangi kea’laman dan kelebihpandaian seseorang dari orang lain. Karena bisa disebabkan banyak hal hingga tidak menulisnya sendiri, seperti dianggapnya tidak perlu adanya tulisan baru, atau dianggapnya tulisan yang ada itu sudah dianggap sama dengan pandangannya, atau tidak ada waktu karena banyaknya urusan yang dihadapi memimpin negara yang setiap detik perlu fatwa sosial politiknya, atau karena hal-hal lain. 

Kunci dan dasar dari permasalahan itu bukan ada pada apa yang kamu tahu, tapi keadaan nyata dari keadaan yang kita bahas itu sesuai dengan nilai-nilai yang sudah disepakati di lingkungan yang kita bahas itu. Kalau antum melihat keadaan ulama, seperti Rahbar hf, tapi dengan ilmu antum yang sudah pasti tidak spesifik dan apalagi belum lama belajarnya, artinya tidak melihatnya dengan kacamata kehidupan ulama dan hauzah yang sudah umum dan dikenal semua orang yang belajar secara spesifik, maka antum sungguh tidak akan pernah menyentuhnya. 

Karena itu, berusahalah memahami tulisan orang yang menasihatimu dengan dalil secara seksama. Jangan hanya main tolak. Karena kalau hanya bisa main tolak dan memaksakan pandangannya, maka dijelasin berkali-kali juga tidak ada gunanya. Karena itu, kalau tidak ada gunanya dalil-dalil itu, maka antum tetap akan berkata ”menyuruh merujuk ke fatwa orang itu adalah menunjukkan ketidak-a’lamannya”. Dan kata-kata ini, akan antum ulang terus dengan tanpa dalil sedikitpun, sampai antum menjumpaiNya. Dan kalau itu terjadi, maka apa alasan dari kata-kata antum itu kalau Dia sendiri nanti yang akan menanyakannya? 

Reza, mujtahid atau paling alim itu, bukan selera-seleraan, tapi harus mendengar kesaksian minimal dua orang alim (atau mujtahid) yang tidak melakukan dosa. Ijtihad dan paling alim ini sangat penting dalam Syi’ah. 

Karena taqlid/taqlid atau merujuk ke marja’ itu, kalau marja’nya banyak, yakni lebih dari satu, maka wajib mengikuti yang paling alim. Nah, paling alim ini penting dalam Syi’ah. Dan Rahbar hf dipilih oleh 70 lebih mujtahid yang ada di majlis Ahlulkhibrah, dan ratusan ulama dan mujtahid atau bahkan ribuan yang berada di luar majlis itu. Karena beliau adalah mujtahid yang harus ditaati oleh bahkan mujtahid dan marja’ sekalipun. Nah, orang yang seperti ini, jelas lebih dapat diyakini kelebih-alimannya yang wajib ditaqlidi itu. 

Reza, kamu pernah menjadi korban Sunni, itu adalah sejarahmu yang dulu yang alhamdulillah kini sudah keluar dari sejarah itu. Tapi yang disayangkan, kamu sekarang menjadi korban dari dirimu sendiri dan bisa jadi dari lingkungan yang terkini itu. 

Kalau kamu tidak ingin menjadi korban dirimu dan lingkungan terkinimu itu, maka bangunlah argument pada setiap dakwamu/pernyataanmu. Seperti dakwa di atas, bahwa ”marja’ yang menyuruh yang taqlid padanya untuk merujuk ke fatwa mujtahid lain itu adalah tidak a’lam”. Nah kalau hanya main dakwa tanpa dalil, maka yah...dikasih sejuta dalil juga tidak ada gunanya. Dan kebersikerasan antum itu akan membuat diri antum menjadi korban diri antum sendiri. 

Para ahli agama dan mujtahid dan para marja’ tidak ada yang memandang perintah perujukan itu sebagai kelemahan karena memang tidak ada hubungannya, sementara mereka itu para ahli yang seluruh umurnya digunakan dalam belajar agama secara spesifik, karena itu mereka menaati pilihan mereka itu, lah ...antum yang merasa punya fadhilah karena kuliah dan berlingkungan hebat (entah kayak apa) mempermasalahkannya dan mengatakan tidak masuk akal kalau dianggap paling alim...kan ra’syih...masih mending kalau menyebutkan dalilnya... 

Abu Musa: Ana setuju dengan ustadz....bang Reza perlu antum tahu kalau antum ditanya tentang hal/soal yang sudah dijawab dengan mantap oleh orang lain maka menjawabnya adalah sia- sia... yang santun dan beradab adalah mempersilahkan penanya merujuk pada penjawab yang pertama...dan bisanya penjawab tadi menjawab menunjukkan keluasan ilmu ahlul bayt namun kealiman orang yg paling alim gak berubah walau banyak ulama lain yg mendahului fatwanya... mengingat fatwa fiqih adalah situasional....afwan. 

Abu Musa: Sopanlah dalam bertanya dan mempertanyakan dan bersabarlah atas jawaban- jawabannya.... bang Reza ustadz Syi’ah atau Sunni bisa khilaf tapi kita gak boleh cepat-cepat menyangkal dan menghukumi keberadaan para ustadz/muballigh/da’i adalah berkahNya....setuju... 

Abu Musa: Dalam konsep belajar di Syi’ah dikatakan bahwa siapapun bisa jadi mujtahid tapi mustahil jadi Imam.... 

Reza Saqer: Afwan ana gak tau kalo antum ini ustadz sebab ustadz kok takut ga mau nunjukin identitas, pake nama samaran, dari sini aja antum sudah tidak layak didengar. 

Bagi ana, realitasnya tidak ada orang yang di anggap a’lam dalam dunia dan disiplin ilmu manapun saat ini..... 

Tidak ada dokter yang paling a’lam, montir yang paling a’lam, atau insinyur yang paling a’lam dan faqih yang paling a’lam. Yang ada adalah seorang dokter, insinyur, montir atau faqih yg sudah memenuhi syarat dalam menjalankan profesinaya dan keilmuan itu pandai tidaknya adalah relatif. 

Nah ini dalil akal saya, gampang kan? Gak perlu neko-neko ke sana kemari.... 

Yang kedua: Kalau sudah ada statment atau opini yang mengatakan marja A lebih a’lam maka otomatis yang lainnya tidak a’lam atau keilmuannya di bawah si marja A. 

Padahal kita disuruh taqlid sama yang paling a’lam. 

Nah konsekwensinya yg lain gak jadi marja’ dong karena para mukallid sudah dan diharuskan taqlid sama yang a’lam. 

Sinar Agama: Reza,: 

1. Katanya antum ini orang cerdas dan intelek (secara makna dari komentar-komentar antum di atas) akan tetapi ra’syihnya, antum tidak menggubris argument dan mengejar merk atau lebel. Ana ini ustadz atau bukan, kuliah atau bukan, apa arti semua itu kalau pernyataannya tidak dibarengi dengan argument? Karena itu, pertama, aku ini mau ngaku diri atau tidak, itu adalah hak ana pribadi. Ke dua, antum mau dengar atau tidak, itu terserah kepada antum, baik dengan disertai dalil atau tidak, sebagaimana pernyataan-pernyataan antum sebelum ini. 

2. Ketika antum mengatakan ”bagi ana”, itu tandanya dakwaan tanpa dalil, dan terus ngotot seperti itu dari awal sampai akhir. Lah ... kan orang lain bisa juga mengatakan ”bagi saya”???!!!. Lah ... akhirnya yah ... ”menurut” melawan ”menurut” dan ... diskusinya juga kayak rel kereta api yang terus sejajar tanpa toleh dan tidak akan pernah ketemu. Kalau sudah demikian, lalu apa gunanya orang berdiskusi???!!! Bukankah kemenurutan-kemenurutan atau kebagi- bagian-ana-an itu bertentangan dengan komunikasi diskusi, karena ketika orang melakukan diskusi itu kan tandanya mau saling dengar dalil dan bukan kemenurutan-kemenurutan-ana- an itu bukan???!!! 

3. Ketika antum katakan “masa sekarang tidak ada dokter yang paling a’lam, montir yang paling a’lam ....” maka ini adalah dakwaan mas...., bukan dalil. Apa beda pernyataan antum yang sekarang ini dengan yang sebelumnya kecuali lebih banyak contohnya saja? Katanya kuliahan, tapi kok berargument dengan dakwaannya? 

4. Ketika antum mengatakan tidak ada dokter yang a’lam, lah ...kan akhirnya kita ragu apa antum ini kuliahan atau atau tidak. Karena dalam pendidikan kampus yang saya tahu, di situ ada dokter umum, ada juga spesialis, ada juga yang semacam profesor dan semacamnya. Begitu juga dalam bidang-bidang lainnya. Atau di antara dedengkotnya itu, misalnya profesornya itu, ada yang menulis makalah ribuan dan dicetak di media terkemuka di dunia, ada yang hanya lokalan ...dst. Nah...apakah semua itu bukan urutan kelebihpandaian? ra’syih. 

5. Para marja’ menjadi marja’ itu, bukan tren-trenan, tapi kewajiban. Jadi mereka itu hanya melakukan apa yang diperintahkan agama. Karena itu, dalam Syi’ah, kalau tidak ada lagi mujtahid yang bisa menjadi marja’ di dunia ini, maka semua orang Syi’ah harus belajar agama hingga muncul setidaknya satu mujtahid. Karena dalam Syi’ah belajar agama itu fardhu kifayah dengan sasaran tercapainya ke tingkat mujtahid. Jadi, kalau tidak ada satupun mujtahid di dunia ini, maka semua orang Syi’ah harus belajar agama. 

6. Ijtihad adalah kemampuan menyimpulkan hukum dari sumbernya langsung, yakni Qur'an, hadits, akal dan ijma’ (yang di jaman makshumin as atau sangat dengan masa mereka as). 

7. Sampainya ke tingkat ijtihad itu, harus dengan ujian. Mujtahid yang lebih dulu menguji calon mujtahid yang akan datang, bukan diuji apakah ia paham pelajaran sang guru yang mujtahid sebelum itu atau tidak. Tapi yang diuji adalah sejauh mana ia mampu mengambil kesimpulan hukum dan mengajukan dalil. 

8. Jadi, dalam ujian itu, bisa saja terjadi perdebatan sengit dan perbedaan penyimpulan. Akan tetapi, kalau argument yang diajukan muridnya itu sudah benar, maka akan tetap diluluskan. Jadi, kelulusan di sini adalah kemampuan berijtihad, bukan meniru dalil gurunya. 

9. Dengan adanya ujian ujian seperti itu, maka seorang murid bisa saja menyalahkan gurunya. Kalau antum pernah datang di pelajaran tinggi ini saja (bahtsulkhorij), maka antum akan lihat bagaimana mereka kadang seperti bertengkar dalam arti adu argument dengan gurunya. Nah, apalagi di dalam ujian keijtihadannya dimana setelah menempuh pelajarnya setidaknya 30 tahun. 

10. Maksud cerita saya itu, adalah ketika seseorang sudah diluluskan menjadi mujtahid oleh mujtahid sebelumnya, maka sangat mungkin ia melihat gurunya itu salah atau lemah dalam berargumentasi. Kasarnya lebih lemah dari dalil-dalil dirinya. Karena itu bisa saja, tanpa kesombongan, dia merasa bahwa dia lebih a’lam dari gurunya atau bekas gurunya itu. 

11. Dengan demikian, maka setiap mujtahid sangat bisa menulis fikih untuk ditaqlidi orang yang mau taqlid kepadanya. 

12. Akan tetapi, karena kelebihpandaian itu bisa relatif dan memang relatif, maka dia tidak boleh melarang orang lain taqlid pada gurunya itu. Sebab bisa saja orang alim lainnya melihat bahwa gurunya itu lebih pandai darinya dan/atau bisa saja dia sendiri salah dalam argumen- argumennya yang dianggap lebih kuat dari argument gurunya dikala masih belajar dulu atau sewaktu ujian kemujtahidannya itu. 

13. Karena itulah, maka setiap mujtahid berhak menulis fikih dan menjadi marja’ serta tidak boleh ada orang atau mujtahid lain melarangnya. 

14. Sedang dari pihak yang mau taqlid, juga demikian. Artinya, karena kelebiha’laman yang diumumkan oleh ratusan mujtahid lainnya itu sangat bisa berbeda dan tidak ada yang berhak menyalahkan penilaiannya. Karena itulah maka kesaksian untuk kelebihpandaian ini dicukupkan dua orang alim, bukan kesepakatan atau muttafakun alaihi karena hal itu hampir sangat mustahil. 

15. Ketika seorang yang mau taqlid mendengar kesaksian dua alim (ahli khibrah), maka baginya sudah cukup untuk dijadikan dasar taqlidnya. Tapi kalau dua saksi lawan dua, artinya saling menyalahkan kesaksiannya, maka tidak boleh mendengar kesaksian mereka yang empat itu. Semua ini sudah diatur dalam fikih Islam. Akan tetapi kalau kesaksian empat orang itu hanya berbeda, dan tidak saling menyalahkan, maka kita boleh memilih salah dua dari empat kesaksian itu. 

16. Dengan penjelasan di atas itu, maka seberapapun marja’ yang ada, tidak menjadi susah memahami kenyataannya bahwa hal itu sangat logis dan Islamis. 

17. Masalah lainnya, dalam liku-liku ijtihad dan memberi fatwa, kadang seorang marja’ tidak berani ambil keputusan fatwa. Dalam bahasa kitabnya seperti kata-kata ”hal itu isykaal/ susah”, ”hal itu masalah”, ”hal itu problem” ...dst. Atau mengatakan ”hal itu tidak jelas tapi hati-hatinya haram” dan semacamnya. 

18. Jadi, bisa saja marja’ yang a’lam itu tidak mengambil keputusan hukum/fatwa seperti di atas, atau menganjurkan kehati-hatian (ihtiyaath). 

19. Sementara di lain fatwa semua marja’ dikatakan bahwa kalau yang a’lam tidak berfatwa atau berhati-hati (ihtiyaath), maka harus merujuk ke marja’ no. 2, kalau yang nomor 2 ini juga berhati-hati atau tidak berfatwa, maka ke marja’ no 3 ...dst. 

20. Dengan penjelasan di atas itu, maka sekalipun sudah kesepakatan terhadap kelebihaliman satu orangpun dimana termasuk kesepakatan marja’-marja’ lainnya (yang mana hampir mustahil), maka yang tidak a’lam pun bisa terus mengeluarkan fatwanya dan tetap menjadi marja’. Apalagi kalau kesaksiannya itu memang ada perbedaan dan bukan merupakan kesepakatan semua ulama dan mujtahid. 

21. Kera’syihan antum ini menumpuk. Lah ...orang yang tidak tahu hukum taqlid menaklid seperti antum ini saja, sudah bantah-bantah dan tanpa dalil lagi. Mbok kalau tidak tahu tanya ghitu. Semua yang saya tulis di atas itu ada dalam hukum taqlid pada setiap fikih yang ditulis para marja’. 

22. Nah, Rahbar hf yang dipilih secara resmi oleh lebih dari 70 orang mujtahid yang ada di anggota majelis ahlu al-khibrah yang setiap orang anggotanya dipilih rakyat dalam pemilihan umum majelis para ahli ini. Kemudian, pilihan majelis para ahli ini, didukung oleh ratusan mujtahid yang tidak duduk dalam majelis para ahli itu (karena memang tidak ikut pemilihan anggota majlis ahli atau karena memang anggota majlis ahlinya dibatasi sebagaimana majlis- majlis MPR dan lain-lainnya di setiap negara), dan didukung oleh ribuan ulama, serta belasan marja’ yang ada di dunia ini. 

23. Memang, tekanan pemilihan Rahbar hf itu terletak pada dimensi politiknya. Akan tetapi, ketika seseorang itu lebih pandai dari yang lain dalam hukum-hukum atau (fatwa-fatwa politiknya, tentu lebih mudah menerima kesaksian ulama terhadap kelebihpandaiannya dalam bidang- bidang lainnya dari marja’marja’ lainnya. Karena, konsep yang dipakai beristimbat atau menyimpulkan hukum itu, atau alatnya, adalah sama. Yakni apakah kita mau menghukumi masalah-masalah ibadah pribadi seperti shalat atau masalah-masalah politik, maka alat atau ilmu yang dipakainya itu sama. Misalnya ushulfikih. Nah, ketika Rahbar hf lebih pandai dari yang lain dalam hukum sosial-politik dan disaksikan oleh ribuan ulama, maka menerima kelebihalimannya dari marja’ lain sungguh lebih mudah. 

24. Namun demikian, karena Islam itu menghargai pandangan dan pendapat spesialis, bukan pandangan awam agama (sekalipun profesor di bidang lainnya), maka walaupun demikian tingginya nilai lebih yang ada pada Rahbar hf itu, tetap saja tidak boleh memaksakan kesaksian atau dalil ini pada orang lain. Karena itu di masyarakat Syi’ah, adanya mujtahid, atau adanya hukum fikih tentang kewajiban mengikuti yang lebih pandai ini, tidak pernah membuat aneh, ribut, ruwet, pusing, renggang persaudaraan ...dst. 

25. Anjuranku, jangan berpendapat dalam hal apa saja, sebelum mempelajarinya dengan baik dan sebelum menjadi spesialis di dalamnya. Bukan berarti saya melarang antum berdebat. Tapi maksud ana, adalah berdebatlah dengan dalil dan harga yang tidak mati. Tapi kalau antum sudah berpendapat tanpa dalil karena belum belajar, maka ia akan menjadi debat dengan harga mati. Artinya, seminggu diskusi, tapi yang diomongkan tetap sama. Kemarin bilang putih, hari ini juga demikan. Artinya dakwaannya putih dan dalilnya juga putih. Kan kurang bijak, kalau ada yang berkata ”menurut saya warnanya putih dan bukan hitam”. Dan ketika ditanya dalilnya, mengatakan ”karena menurut saya putih dan bukan hitam”. Akhirnya semua kata-kata marja’ yang mewajibkan taqlid kepada yang lebih pandai (a’lam), ditolaknya karena tidak sesuai dengan pandangannya yang ditopang hanya dengan dakwaannya itu. Wong para marja’ mewajibkan taqlid a’lam, kok kamu bilang tidak ada yang a’lam dan bahkan dalam ilmu apapun. Wassalam. 

Reza Saqer: Saya bingung kok ada ustadz menanggapi orang bodoh seperti saya dengan koment yang panjang, pasti kepanasan dan kegerahan seperti ini.... gahar campur gemas.... 

Antum bilang gak perlu saya tahu identitas antum, padahal antum katakan untuk taqlid saja kita perlu tahu siapa orang yang kita ikuti itu, ini point yg bertolak belakang dengan jawaban antum. 

Setahu saya kata a’lam berarti paling pandai, kalo sudah paling pandai yang masak bilang gak tau, atau hati-hati atau silahkan merujuk kitab lain dan seterusnya???? ini logikanya, antum mau bantah lagi ya silahkan namanya juga Sinar Agama pasti harus menyinari orang-orang seperti saya sebab nama kan membawa pesan. Kalo masih gahar juga jangan pake nama Sinar Agama.... pake aja nama SINAR PERASAAN. 

Antum bilang Rahbar dipilih 70 ulama, ini dipilih dalam kapasitas marja atau pemimpin poitik Iran??? Harus jelas jangan dicampuradukkan,,,, antum ini raksyih. 

Setahu ana rahbar jadi marja saja sudah instan, waktu Imam masih hidup saja dia bukan Ayatulloh. Kok tiba-tiba jadi a’lam, bagaimana ini?? Sementara banyak marja yang sudah jadi marja tahunan melebihi dia. 

Lalu kalau alasannya sibuk ngurus negara terus gak ada risalah amaliah dan bagi mukallidnya disuruh merujuk ke kitab ya lebih baik low profile lah. 

Saya tertawa geli mendengar antum berdalil dokter yang alim itu ada seperti dokter spesialis misalnya. Justru dengan adanya dokter spesialis itu menunjukkan ketidak a’laman seorang dokter, kenapa? Dia hanya menekuni sebuah spesialisasi tertentu saja sedangkan kedokteran memiliki ratusan dan ribuan item yang harus dipelajari. Jadi seorang dokter hanya dapat dibilang ahli atau spesialis mata misalnya, tapi kalo mau operasi tulang ya pergi ke dokter tulang. 

Saya juga terserah antum mau menaggapi koment ana apa tidak, saya tidak terlalu wah melihat ustadz dari Iran atau dari Mesir. Apalagi yang suka bikin ”njelimet” orang awam.... yang diperlukan sekarang umat adalah ustadz yang bisa menerjemahkan dengan bahasa yang dimengerti dan difahami semua golongan. 

Contohnya aja buku-buku terjemahan sangat sulit dipahami padahal dalam bahasa aslinya sangat mudah, nah ini contoh juga buat orang seperti saya bisa saja dalam suatu risalah amaliah itu mudah tapi para ustadz yang sok-sok ana bikin ”njelimet” orang awam kalau ada yang seperti ini.. kelaut aja deh. 

Sinar Agama: Reza,: 

1. Kepanasan atau kedinginan, itu masalah saya. Begitu pula menanggapi orang pandai karena kuliahan itu. 

2. Antum ini seperti orang Sunni yang main qiyaas. Lah akun fb kok disamakan dengan cara dan syarat taqlid? Kan ra’syih. 

3. Antum ini ra’syih, apa hubungannya orang a’lam dengan ketidaktahuan? He he he, a’lam itu adalah lebih tahu dari yang lain, bukan tahu semuanya. Kalau makshum memang tidak masuk akal kalau tidak tahu. Tapi kalau a’lam tidak ada hubungannya, karena semua marja’ banyak memiliki ketidakfatwaan ini. Lagi pula sudah saya bilang bahwa cara berijtihad itu berbeda-beda. Jadi, kalau satu orang berfatwa dan yang lainnya tidak berfatwa, sangat mungkin justru yang tidak berfatwa itu yang lebih a’lam. Kenapa? Karena dia justru lebih tahu bahwa dalil yang dipakai dalam fatwanya itu tidak kuat dan semacamnya, hingga kalau membuat kesimpulan fatwa dalam kondisi tersebut justru tidak bijaksana. Tapi karena yang tidak a’lam tadi, tidak tahu akan hal itu hingga dia berfatwa. 

4. Tidak berfatwanya seorang marja’ bukan karena ketidaktahuannya. Tapi bisa karena keti- dakcukupan riwayat-riwayat yang shahih yang memadai. Misalnya dalam satu masalah hukum, hadits-haditsnya yang ada yang dapat dijadikan rujukan dalil, sama-sama memiliki cela dalam sanadnya, yakni tidak shahih. Akhirnya fatwanya tidak bisa diberikan. Dan ketidakshahihannya itu terdapat pada perawi yang namanya Fulan -misalnya. Jadi dia tidak berfatwa dan hanya menghati-hatikannya yang, biasanya mengambil hukum yang lebih berat, tapi tidak dalam bentuk fatwa, melainkan dalam bentuk kehati-hatian atau ihtiyaath. Atau sama sekali tidak punya arahan apapun karena tidak adanya pilihan untuk yang hati- hatinya itu, alias yang lebih berat itu. Akhirnya fatwanya tidak keluar dan mengatakan ”Dalam masalah ini hukumnya musykil/problem”. 

Akan tetapi, bisa saja perawi yang dilemahkannya itu bagi mujtahid lain yang tidak a’lam, diyakini sebagai hadits atau dalil yang kuat dan shahih hingga ia berfatwa sesuai kandungan riwayat tersebut. 

Dengan ini, maka ketidakadaan fatwa itu bukan ketidaktahuan akibat tidak tahu ilmunya, melainkan justru bisa karena kedalaman ilmunya itulah yang telah membuatnya tahu bahwa dalilnya itu, memiliki masalah. 

Ke dua, keberfatwaan marja’ ke dua (lainnya yang tidak a’lam), bukan karena lebih a’lam, tapi karena justru ia tidak tahu kelemahan perawi yang dimaksud kerena telah mengikuti dalil penguat yang kalau didebat sebanyak 30 langkah misalnya orang tersebut menjadi ketahuan ketidakshahihannya. 

5. Antum ini, lagi-lagi mera’syihkan diri. Sudah dibilang di atas bahwa Rahbar hf itu dipilih untuk memimpin negara Islam yang di dalamnya terdapat ribuan mujtahid dan belasan marja’. Artinya, kepemimpinan politiknya itu juga kepemimpinan Islam karena negaranya negara Islam yang penuh dengan ribuan hukum dan fatwa. Nah, ketika satu orang dipilih oleh ratusan mujtahid dan belasan marja’ untuk memimpin mereka dalam kenegaraan Islam, artinya ia memiliki kelebihan dari orang lain dari dimensi fatwa-fatwa tentang hukum-hukum sosial politik dan kenegaraan serta dunia internasional yang juga memiliki ribuan fatwa itu. Dan penyimpulan fatwa itu, harus memiliki kemampuan sampai ke derajat ijtihad dalam alat- alatnya, yakni Qur'an, hadits, akal dan ijma’ yang, juga dipakai untuk fatwa-fatwa selain sosial politik dan kenegaraan. 

Di atas sudah dikatakan bahwa dalam kondisi seperti ini, maka menerima kesaksian kea’lamannya yang sudah disaksikan oleh beberapa mujtahid seperti ayatullah Jannati dan lain-lainya, maka lebih mudah menerima kesaksian ini dari kesaksian lainnya. Karena itu, bukan saya yang mencampur masalahnya, tapi antum yang sedikit kacau memahaminya hingga tercampur. 

6. Banyak sekali di Iran, karena tawadhu’, orang yang sudah ayatullah, tidak mau dipanggil ayatullah dan hanya mencukupkan diri pada hujjatul Islam, seperti Rahbar hf dan Rafsanjani hf atau A’rafi (rektor Jaami’ahtulmushthafa) dan ratusan atau bahkan ribuan ayatullah yang tidak mau dipanggil ayatullah dan hanya mau dipanggil hujjatul Islam. Antum tahu, marja’ besar yang yang sudah meninggal yang bernama Ayatullah al-‘Uzhmaa Langgaroni ra, salah satu marja’ paling senior dan sudah meninggal dan salah satu guru Rahbar hf, ketika orang- orang Iran juga bertanya-tanya tentang keijtihadan Rahbar hf sewaktu diipilih pertama kalinya untuk menjadi pemimpin tertinggi agama dan negara di Iran, beliau ra mengeluarkan kesaksian bahwa Rabhar hf itu sudah mujtahid sejak 30 tahun yang lalu (yakni sekitar 52 tahun yang lalu dari sekarang). Dan imam Khumaini ra ketika menjelang wafat beliau, telah memberi isyarat bahwa Rahbar hf layak menjadi penggantinya. Padahal menjadi Rahbar itu harus a’lam dari yang lainnya. Dan kalau antum menyaksikan kesaksian para marja’ senior, walau gurunya ayatullah Sistani hf sendiri, yakni ayatullah Khui ra, dimana sampai-sampai mempersembahkan salam ... dll-nya, maka antum yang berkata seperti itu, akan dimarahi oleh para marja’ senior itu. 

7. Kea’laman itu, hanya diketahui oleh para alim dan bukan dari buku fatwanya, karena mungkin tidak punya buku karangan/fatwa yang disebabkan karena memang tidak mau menuliskannya karena belum merasa wajib. Melainkan bisa dilihat dari kedalaman cara bicaranya dalam mengulas masalah-masalah hukum, Qur'an dan hadits (misalnya ketika mengajar di kelas). Jadi, orang awam agama seperti antum sama sekali tidak akan memahami siapa yang mujtahid dan siapa yang a’lam. Karena itulah bagi orang awam agama, harus mendengar kesaksian setidaknya 2 orang ulama/mujtahid yang adil (tidak melakukan dosa besar dan kecil). Dan pilihan ribuan ulama akan kea’laman Rahbar hf itu, walau setidaknya dalam masalah sosial politik, tapi karena alat yang dipakai beristimbat hukum fikih, baik fikih sosial-politik atau pribadi itu, adalah sama, seperti ilmu rijal, ushulfikih ...dst, maka lebih mudah memahami dan menerima kesaksian kea’laman Rahbar hf dari kesaksian lainnya. Antum ini sangat kurang teliti membaca tulisanku. 

8. Apa spesialisasinya antum ini adalah agama hingga mengatakan “setahu ana”, dan “Setahu ana” antum ini dijadikan dalil dalam memahami agama oleh antum sendiri? Yakni apa hak antum memakai dalil dari pendapat antum sendiri itu? Apakah agama telah memerintahkan antum untuk mengikuti pendapat antum? 

9. Bagi orang awam agama seperti antum (bc: bukan terpelajar dalam agama secara spesialis), ukuran sesuatu itu memang lahiriahnya. Makanya kalau kitabnya terlihat tebal, dianggap sebagai a’lam. Tapi bagi ulama, melihat jurusnya dalam penyimpulan dalil-dalil hingga dimunculkannya sebuah fatwa. Karena itu low profil ala antum ini hanya milik antum semata, dan sama sekali tidak ada dalil ilmiahnya. 

10. Aku tobat-tobat sama antum ini. Kok bisa contoh yang gamblang seperti kedokteran itu tidak bisa dipahami. Lah masak dokter tulang dibanding sama dokter mata. Eh .. mas, seseorang itu sebelum jadi dokter spesialis, dia harus jadi dokter umum dulu. Nah, yang saya bandingkan itu antara dokter umum dengan spesialis yang sudah tentu yang a’lamnya adalah yang spesialis. Yang ke dua, yang spesialis ini juga bertingkat lagi, ada yang sekelas s2, ada s3 ada prof dan ada yang lebih tinggi lagi. Artinya dalam jurusan yang sama. Nah, kera’syihan antum ini benar-benar bikin waktuku habis karena semudah itu tidak bisa antum pahami? Ana akan terus berusaha menerangkan, selama masih ada waktu dan dada ini masih kuat. Tapi mbok ya ... tanya kek kalau nggak tahu. Antum tidak tahu agama tapi berdebat seperti ahli agama, yakni gaya bahasanya, tapi orang yang baca sudah pasti tahu nilainya seperti apa. Masak contoh kedokteran saja nggak dipahami? 

11. Antum mau atau tidak, tidak ada urusan denganku. Yang penting bagiku adalah adu dalil, bukan adu dakwa. 

12. Untuk buku jlimet itu, juga sependapat. Tidak suka membuat orang lain jelimet. Akan tetapi dilihat dulu ilmu apa yang dibahas. Karena setiap ilmu memiliki istilahnya sendiri-sendiri. Karena itu, seperti esensi, substansi (di filsafat), atau musykil, ahwat (di fikih), atau majhul, matruk (di hadits), atau partikulir, universal (dalam logika) ....dan seambrek contoh lainnya, sering tidak bisa dan/atau tidak cocok kalau diterjemahkan harfiahnya. Misalnya “musykil”, dasar katanya bermakna ”problem/repot’. Bagi antum, ketika marja’ mengatakan ”repot”, maka ia tidak a’lam. Ini karena antum memahaminya dengan bahasa awam agama. Tapi kalau dalam bahasa ilmiahnya, terjemahannya mesti diberi keterangan bahasa, misalnya, ”keterangan atau dalil yang ada belum memadahi untuk dijadikan pijakan fatwa”. Jadi, ”problem” di awam (seperti yang antum pahami) adalah tidak tahu hukumnya, tapi problem di ilmiah, artinya ”tidak cukup datanya yang shahih dan valid”. Nah, kan jauhnya seperti langit dan bumi bukan? 

13. Kalau orang awamnya merasa berpendidikan -seperti antum ini- dan merasa bahwa antum tahu dan lebih bijak dari ustadz-ustadz yang ada, maka jelas antum, seperti di komentar- komentar antum di atas itu, akan mengatakan bahwa kita orang ini adalah orang yang jelimet lah, menyulit-nyulit lah, .....dst dari umpatan-umpatan yang tidak layak dikeluarkan orang yang bukan bidangnya. 

14. Ana mungkin salam beberapa tulisan, kalau berulang-ulang dalam menghadapi orang seperti antum ini, kadang memang agak keras karena ingin mengingatkan dengan gaya bahasa yang memberikan perangah. Artinya, walau bahasaku begitu, tapi aku merasa sangat menyintai semua. Dan semua yang kutulis itu, seperti seorang kakak kepada adiknya yang sedikit nakal. Nakal, karena tidak tahu masalah tapi mendebat, dan mengulang dakwaan serta tidak pernah memberi argumentasi. Intinya, maafkan ana kalau telah menyakitkan hatimu. Tapi terlepas dari semua itu, renungilah yang kutulis itu, karena walau aku tidak makshum dan sangat mungkin bisa salah, tapi semua kutulis tidak dengan nafsu dan sembarangan. Dia adalah hasilku belajar puluhan tahun yang tanpa mengerjakan pekerjaan lainnya. Ingat, lamanya belajar bukan jaminan, karena yang jaminan itu adalah dalill gamblang. Jaminan dalil gamblang inipun bukan untuk kebenarannya, tapi setidaknya, untuk maafNya. Karena kalau sudah mengikuti dalil gamblang, tapi tetap salah, maka sudah pasti dijanjikan ampunanNya. Renungilah akhir dan kurangi rasa gelimu terhadap yang kamu tidak tahu itu. Wassalam. 

Habibi Muhammad Alhamdulillah: Syukron Ustad Sinar Agama, inilah yang saya cari. Syukron penjelasannya. 

Reza Saqer: Tapi rahbar jadi marja kan ekspress setelah itu jadi a’lam. 

Sinar Agama: Reza saudaraku, Reza adikku yang kudoakan setiap hari dan selalu didoakan hatta di makam-makam suci, makna a’lam itu a’lam dalam ilmu, sementara makna marja’ itu, adalah jadi rujukan karena mau dirujuk (misalnya menulis buku fikih). Jadi, ilmu dan kemarjaan itu tidak ada kemestiannya. Jadi, bisa saja a’lam tapi tidak mau jadi marja’. 

Dulu ketika Rahbar hf dipilih oleh puluhan ulama dalam majelis para ahli itu, beliau hf sempat maju ke depan dan mengatakan ”Pokoknya saya tidak setuju dipilih jadi wilayatulfakih”. Tapi karena maqam walifaqih itu adalah tugas, dan anggota majelis ahli itu tetap memilih beliau, maka secara syar’i, sudah tidak bisa ditolak. 

Begitu pula ketika beliau hf sudah menjadi wilayatulfakih, semua rakyat Iran meminta beliau menulis fikih. Lalu beliau muncul di TV, saya lihat sendiri siaran TV-nya itu, beliau sambil menepuk- nepuk bahunya dengan tangan kirinya (karena yang kanan sudah cacat karena pernah terkena ledakan bom), beliau mengatakan: 

”Saya tidak mau jadi marja’, jangan bebani lagi bahuku dengan tanggung jawab yang berat lainnya. Sementara masih banyak marja’ di Qom.” 

Itulah adikku, ketawadhuan yang ikhlash, bukan dibuat-buat dan diplomatik. Karena mengatur negara yang selalu dimusuhi dari dalam dan luar negeri, dan membimbing supaya maju sampai ke antariksa dengan penuh kehalalan (fatwa) dan keberkahan itu, adalah sangat berat. Bayangin kalau negara menghukum bunuh seseorang dengan salah, atau qishas-qishas lainnya. Atau ber- fatwa perang, padahal menurut Tuhan tidak boleh atau belum waktunya, misalnya. Lah ...siapa yang akan menanggung ribuan korban yang berjatuhan. 

Jadi, sekali lagi, a’lam itu bisa saja dimiliki seseorang tanpa ia menjadi marja’. Artinya, begitu ia menulis fikih, maka yang taqlid kepada yang tidak a’lam itu harus segera pindah ke yang a’lam tadi. Tentu kalau tidak ada perbedaan persepsi pada ulama-ulama yang menjadi saksi sesuai dengan yang sudah dijelaskan di atas itu. Jadi, sehari saja jadi marja’ sudah bisa menga’lami yang lainnya. Karena kea’lamannya itu sudah dimilikinya bertahun-tahun sebelumnya, karena a’lam itu sifat dari ilmu, bukan dari kemarja’an. 

Bande Husein Kalisatti, Ali Al Hussain and 26 others like this. 

Ki Fuat Damahcom Gaikutenentangaruz: Terimakasih untuk semuanya, sangat bermanfaat. 

Aira Salsabilla: Afwan ustadz...menambah ilmu saya.. 

Kebenaran Yang Hilang: Ahsantum... 

Estu Ja’far Suherman: Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa aali Muhammad. Wa’ajjil farajahu,...., warham Imaamana al-Khomeini, wahfadz qooidana al-Khamenei. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya. Bagi yang sudah ambil catatan ini, tolong ambil lagi karena ada tambahan pada jawaban dari pertanyaan mas Syaiful Bachriy. 

Bande Husein Kalisatti: Syukron. 

Franco Nero: Ustadz kalo masalah kita ga boleh pindah marja’ seenaknya itu gimana ustad bisa dikasih contohnya ?? Afwan misalkan pada marja ini kita setuju atau pas pendapat marja’ yang satu ini tapi dalam hal lain kurang pas dengan keadaan kita misalkan yang hidup di negara lain, bagaimana itu ustad? Afwan apakah kita boleh mengambil pendapat marja’ yang satu terus mengambil pendapat marja’ yang lain dalam hal yang berbeda masalah ?? Afwan ustad. 

GatutKoco Indo: Ust, bagaimana halnya yang sudah ikut dengan Sistani mau pindah ke Rahbah, bolehkah? Bukankah syarat pindah marja harus dari yang a’lam ke yang lebih a’lam? Sedangkan antara Sistani dengan Rahbar sama-sama a’lam, gimana ust? 

Sinar Agama: Nero, yang kamu tanyakan itu bukan pindah taqlid seenaknya, tapi taqlid yang kacau yang jelas salah dan tidak boleh. Karena taqlid itu harus pada satu orang. Kecuali masing- masing atau beberapa marja’ punya kelebihpandaian dalam bidang-bidang tertentu. Kalau demi- kian halnya, maka pada masing-masing bidangnya itu harus taqlid pada masing-masing marja’ yg ia a’lam di dalamnya. 

Bisa juga mengambil fatwa orang lain ketika ia taqlid kepada satu marja’ manakala marja’ a’lam yang ditaqlidinya itu tidak mengeluarkan fatwa atau mengeluarkan fatwa kehati-hatian (ihtiyaath). 

Sinar Agama: Bachri, pindah taqlid dari ayatullah Sistani hf ke Rahbar hf itu jelas boleh, karena dari sisi fikih pribadinya (selain politik), keduanya sama-sama memiliki kesaksian a’lam, akan tetapi Rahbar hf jelas lebih lengkap ke a’lamannya, yaitu di bidang fatwa-fatwa atau hukum-hu- kum sosial politiknya. Malah bagi pendapat saya yang saya pahami dari selama belajar, pindah taqlid dalam kondisi yang ditanyakan itu, adalah sangat bijak dan dianjurkan akal dan agama. 

Disebabkan kelebiha’laman tadi dan, disebabkan tidak/belum jelasnya pandangan ayatullah Sis- tani tentang politik (boleh tidaknya berpolitik dan berjuang menegakkan hukum-hukum Islam sebelum imam Mahdi as datang) dimana kalau kebetulan dia itu termasuk yang menentang wilayatulfakih mutlak, maka bukan saja Rahbar hf a’lam dari sisi hukum politik tsb darinya, akan tetapi malah dia akan menentang semuanya. Karena itu, pindah taqlid, sangat dianjurkan akal dan agama.

Haidar Husein: Terima kasih banyak ustad atas penjelasan yg menambah wawasan bagi kami.... 

Haidar Husein: Ustad, afwan sebelumnya....saya mau tanya....sampai saat ini karena kurangnya pengetahuan saya tentang marja’ (tidak terlalu mengenal marja’-marja’ baik yang ada di Iran, Syiria, Iraq ataupun Lebanon, membuat saya kadang bingung dalam menentukan taqlid kepada siapa...semisal, tentang keputusan hari Iedul fitri....mohon penjelasannya, syukron... 

Sinar Agama: Husein, anjuranku antum taqlid ke Rahbar hf saja. Untuk masalah ru’yat hilal itu, biasanya dikembalikan kepada saksi-saksi yang tidak mungkin dusta. Akan tetapi tidak boleh ikut hisab. Yang diikuti oleh Syi’ah adalah yang berdasarkan ru’yat. 

Haidar Husein: Syukron Ustad atas penjelasannya. 

Sinar Agama: Ok, sama-sama. 

Besse Tanra Wajo: Salam Ustad, izin copas... 

Sinar Agama: Besse, silahkan saja. 

Besse Tanra Wajo: Syukran Ustadz.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ