Tampilkan postingan dengan label Ahlak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ahlak. Tampilkan semua postingan

Minggu, 14 Oktober 2018

Pendidikan Anak



Seri tanya jawab Sang Pecinta dengan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Thursday, April 26, 2012 at 4:02 pm


Sang Pecinta: Salam, saya banyak melihat fenomena yang terjadi dalam keluarga muslim yang bisa dikatakan tidak bagus, sering kali orang tua merasa digurui ketika si anak memberikan masukan yang positif, orang tua merasa lebih tahu tentang segala sesuatunya ketika orang tua sering memarahi anaknya yang masih kecil, walaupun kesalahan anak itu kecil seperti memecahkan gelas, sehingga karena sering dimarahi anak itu tumbuh dengan emosi yang tidak stabil, dan ketika anak sulungnya memberi masukan, orang tua itu tidak terima. Ketika orang tua berbohong di depan anak-anaknya dan sang anak memberitahu dan beliaupun tidak terima. Terus saya melihat banyak orang tua sering memaksakan pendapatnya tanpa melibatkan diskusi dengan sang anak, akibatya sang anak merasa tertekan emosinya dan tetap melakukannnya dengan hasil yang kurang baik. 

Bagaimana tanggapan ustadz tentang hal ini? Apakah sang anak berdosa ketika orang tua tidak menerima masukan anak? Saya merindukan keluarga muslimin yang demokratis dimana anggota keluarga mengemukakan pendapat dengan santun, orang tua mendidik anaknya dari detik pertama anaknya lahir sesuai dengan tuntunan Rosul dan AB, bukankah kualitas suatu bangsa ditentukan oleh kualitas keluarga ya ustadz ? Imam Khomeini berkata Ibu merupakan madrasah bagi anak-anaknya. *sharing saya ini tidak mengurangi rasa hormat saya kepada para orang tua yang telah membesarkan putra-putrinya dengan kasih sayang yang tak akan tergantikan. 

Sang Pecinta: Beberapa tahun lalu saya melerai seorang bapak yang akan menampar dan memukuli anak gadisnya, alasan sederhananya sang anak belum sempat mengunjungi bapaknya karena tugas deadline dari kampus, sang bapak tanpa memberikan kesempatan kepada si anak untuk berbicara langsung emosional..saat ini hubungan anak & bapak itu tidak dekat, seperlunya saja.. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya atau sharingnya: 

(1). Sejauh yang saya tahu dan bisa ditulis secara global, adalah bahwa orang tua sudah semestinya mendidik anaknya dengan ajaran Islam

(2). Islam menganjurkan dari nol tahun sampai tujuh tahun, anaknya dibiarkan bagai raja yang bebas. Dan hanya mengawasinya supaya tidak celaka atau terluka. Tapi kalaulah main pisaupun, tidak boleh serta mengambilnya dengan kasar, kecuali kepepet dan dalam keadaan bahaya. Jadi, mengambilnya dengan lembut dan dengan memberi pengertian sesuai kondisinya. Misalnya, mencoba menusukkan sedikit dari ujung pisau itu supaya dia merasakannya. Tapi kalau tidak mau, maka jangan dipaksakan. 

(3). Dari umur 7 tahun sampai 14 tahun, dianjurkan untuk mendidik anaknya dengan ketat hingga menjadi hamba Tuhan yang taat. Istilahnya dididik menjadi budak Tuhan. Tentu dengan membarenginya dengan pengertian-pengertian yang bisa ditangkapnya. 
Dari umur 14 tahun sampai 21 tahun, diajak bermusyawarah dalam memecahkan masalah- masalah keluarga atau dalam mengatur keluarga secara bersama-sama. Akan tetapi, kepe- mimpinan tetap di tangan ayah. Jadi, kalau ada perbedaan pendapat, maka semua harus mengikuti keputusan ayah. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 29 September 2018

Akhlak dan Fiqih



Seri tanya jawab: Zainab Nainawa dan Sinar Agama


Zainab Naynawaa: Salam, semoga ustad senantiasa diberikan keberkahan... Afwan Ustad pertanyaan banyak nich. Apakah ahlak dan fiqih bisa dipisahkan? Jika akhlak tidak dibarengi pengamalan fiqih yang benar apakah akan mencerminkn ahlak yang baik? Jika pengamalan fiqihnya benar mungkinkah tidak memiliki ahlak baik? 

Hidayatul Ilahi: Adakalanya fiqih di atas akhlak, dan adakalanya akhlak di atas fiqh....fiqh dan akhlak saling menghargai.....(kata seorang teman)....afwan. 

Salam sejahtera untuk uztad sinar agama....salam juga dari kakanda saya,,salam sejahtera untuk ukhti zainab.... 

ALLAHUMMA SHALLI ‘ALA MUHAMMAD,WA AALI MUHAMMAD. 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

(1). Sepertinya saya sudah sering menjelaskan hal ini. 

(2). Akhlak, kalau yang dimaksudkan dalam hadits Nabi saww yang bersabda: “Aku diutus Tuhan untuk menyempurnakan Akhlak”, maka akhlak ini mencakup semua ajaran Islam. Karena itulah yang dibawa Nabi saww. Jadi, masuklah akidah, fikih, akhlak, politik, ekonomi, budaya, ilmu-ilmu Qur'an dan hadits .....dan seterusnya. Karena semua itu adalah akhlak kita pada Allah, diri sendiri, keluarga dan sosial serta negara dan dunia internasional. 

(3). Akhlak, kalau yang dimaksudkan adalah ilmu akhlak yang merupakan bagian-bagian ilmu keIslaman, seperti akidah, fikih, sejarah ...dan seterusnya, maka ia memiliki makna tersendiri. 

Makna umum dan awamnya adalah berakhlak baik, baik pada diri sendiri, Tuhan, keluarga dan sosial kita. Tentu saja yang dimaksudkan adalah hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan halal dan haram serta wajib. Artinya diluar ketentuan fikih yang dalam artian halal, haram dan wajib. Artinya yang bersifat baik dalam sikap dan akhlak, bukan wajib atau haram. Gampangannya yang bagian fikih tapi yang sunnah-sunnahnya. Seperti senyum pada orang, memaafkan orang, mendahului mengucap salam, menghormati orang (sopan), mengalah, tidak emosian, pemurah, mendahulukan orang lain ....dan seterusnya. 

Makna ilmiahnya adalah karakter manusia, baik itu karakter baik atau karakter buruk. Jadi, akhlak di sini tidak lagi bermakna yang baik-baik, tapi maknanya adalah kebiasaan seseorang. Akhalk di sini bermakna “karakter”. 

(4). Untuk Akhlak makna pertama di bagian ke dua ini, yakni sebagai ilmu yang berdampingan dengan akidah dan seterusnya, dan yang bermakna berlaku baik pada orang lain atau diri sendiri ini, maka posisinya sudah tentu di bawah fikih sebagaimana ia juga dibawah akidah. Karena itu, tidak akan berarti akhlak seseorang kalau akidahnya atau fikihnya belum beres. 

Senyum pada orang, atau mengucap salam terlebih dahulu, sekalipun memiliki pahala kesunnahan, akan tetapi kalau akidahnya atau fikihnya belum benar, seperti tidak shalat, atau shalatnya tidak benar, atau wudhu’nya atau cara membersihkan najisnya belum benar sehingga shalatnya batal, maka pahala senyuman dan mendahului salam itu tidak akan pernah mengatrol dosa atau kekurangan yang diakibatkan oleh batal shalatnya itu. 

(5). Untuk Akhlak dalam arti karakter yang tidak terikat dengan kebaikan saja, maka sudah tentu akhlak di sini adalah bagian ilmu psikologi. Artinya dalam posisi aplikatifnya, tidak bisa dibandingkan dengan akidah dan akhlak. Ringkasnya Akhlak dalam makna ke dua di golongan ke dua ini hanya bersifat ilmu tentang karrakter manusia dan bagaimana bisa membuat karakter bagus dan menghindari karakter buruk. Jadi ia adalah teori yang tidak layak dibandingkan dengan akidah dan fikih yang aplikatif tersebut hingga kemudian bisa dinilai apakah ia di atas keduanya atau di bawah keduanya. 

(6). Untuk Akhlak dalam makna golongan pertama, maka ia adalah Islam itu sendiri. Artinya ia bukan bagian dari ajarannya hingga dibandingkan dengan yang lainnya. Yakni ia bukan bagian seperti akidah, fikih, tafsir, psikologi islam, hadits ...dan lain-lainnya. Tapi ia adalh semua semua itu. Karena itu Nabi saww datang untuk menyempurnakan semua itu dengan Islam tersebut. 

Dengan semua penjelasan itu, maka akhlak yang dimaksud dalam pertanyaan Anda itu adalah akhlak yang bermakna umum dan di golongan ke dua (bukan yang bermakna islam secara utuh sebagai ajaran penyempurna akhlak yang dibawa Nabi saww). Yakni berbuat baik yang, biasa dikatakan dalam fikih sebagai sunnah-sunnah. 

Nah posisi akhlak yang bermakna demikian ini, kalau dibanding fikih, maka jelas ia berada di atas fikih. Karena ia di atas halal dan haram. Artinya ia adalah hukum sunnah itu. Artinya perbuatan lebih dan tambahan dari seorang hamba setelah melakukan kewajibannya. Nah, dari sisi ini, akhlak ini jelas di atas fikih, yakni di atas wajib (Akan tetapi, dari sisi bahwa sunnah itu juga termasuk fikih, maka akhlak yang seperti ini, juga bagian dari fikih. InsyaAllah, di bahasan berikutnya –di bawah- akan kita bahas lagi tentang akhlak ini, bahwa ia adalah dimensi lain dari cara memandang masalah perbuatan manusia. Sebab akhlak dalam bahasan ini, adalah pandangan kita terhadap perbuatan manusia, dilihat dari sisi baik-tidaknya saja, tanpa membawa-bawa pahala, surga dan neraka. Karena logikanya, hanya apa yang dianggap baik dan buruk dari perbuatan manusia, bukan hukumnya, pahalanya atau dosanya. Btw.). 

Akan tetapi dilihat dari masing-masingnya, yakni kalau kita tidak melihat akhlak tersebut sebagai pelengkap dari fikih yang bermakna wajib dan halal, maka jelas akhlak ini berada di bawahnya. Karena tanpa melakukan kewajiban, dan tanpa memperhatikan halal dan haramnya, maka akhlak ini tidak akan ada gunanya. Seperti orang yang suka senyum dan mencium tangan orang yang lebih tua atau mendahului dalam mengucap salam, tapi ia tidak shalat, atau shalat tidak dengan wudhu yang benar, atau shalat tapi dengan harta yang belum dibayarkan zakat dan khumusnya,.... dan seterusnya, maka jelas pahala yang akan didapat dari akhlaknya itu sama sekali tidak akan bisa menutupi lubang pelanggarannya atau kekurangannya terhadap fikih tersebut. Wassalam. 

Tambahan

Sebenarnya tidak ada perbuatan apapun yang tidak diatur oleh fikih. Karena itu akhlak yang umumnya kebaikan lebih inipun ada fikihnya, yaitu sunnah, atau kalau melakukan yang kurang baik tapi tidak haram, disebut makruh. Jadi, akhlak yang berarti melakukan perbuatan baik bisa dihukumi sunnah, dan akhlak yang bermakna meninggalkan keburukan yang tidak haram, seperti ke masjid dengan bercelana pendek atau selutut bisa dihukumi sunnah (bc: meninggalkan makruh). 

Dengan demikian, maka jelas tidak ada perbuatan apapun dari manusia ini kecuali sudah diatur dalam fikih. Akan tetapi biasanya, orang yang menghadapkan akhlak dengan fikih, atau fikih dengan akhlak, adalah wajib lawan sunnah itu, atau haram lawan makruh itu. Jadi, mereka yang mengharuskan pendahuluan akhlak di atas fikih, maknanya adalah sekalipun sesuatu itu wajib, tapi kalau menyakiti orang lain karena dianggap tidak sopan, maka “tinggalkanlah demi akhlak”. Begitu pula kalau hal itu haram, akan tetapi kalau kita tinggalkan membuat orang lain yang tidak sepaham sakit hati, maka ”lakukanlah demi ahlak”. 

Nah, membela sunnah dan makruh, dengan meninggalkan kewajiban dan/atau melakukan haram, maka ia tidak akan memiliki arti apapun di hadapan Tuhan. Apalagi kalau hanya demi membela akhlak yang bersifat budaya, seperti tidak menyakiti orang yang tidak sepaham atau tidak seiman. Ingat, menyakini di sini, bukan menyakini yang bermakna umum, melainkan hanya karena kita melakukan apa-apa yang kita yakini dari yang tidak sama dengan keyakinan, agama (kalau lain agama) atau fikih mereka (kalau sesama muslim). 

Misalnya, kalau kita shalat tidak sedekap (karena wajib tidak sedekap) bisa membuat tuan rumah yang kita kunjungi itu tersinggung, maka shalatnya dilakukan dengan sedekap. Atau ketika mau berbuka dengan hanya tenggelamnya matahari dimana hal itu jelas haram, tapi karena bisa membuat tersinggung orang yang mengundang kita berbuka, dimana hal itu makruh atau tidak akhlaki (menurut akhlak khayali mereka), maka makan buka bersama tuan rumah di waktu matahari tenggelam tanpa menunggu hilangnya mega merah di sebelah timur sampai ke atas kepala kita, adalah merupakan kemestian yang wajib dilakukan. 

Kedua amalan di atas jelas, tidak benar dan salah serta dosa. Karena itu shalatnya batal dan harus diulang lagi, sedang puasanya, juga batal dan harus diqadhaa’ serta harus pula membayar kaffarah (misalnya puasa 2 bulan berturut-turut). 

Memang kalau kita shalat dengan tangan lurus bisa dibunuh, dipukuli, diperkosa atau dirampas harta kehidupan kita (empat sebab taqiah), maka kita bisa shalat dengan sedekap dan berbuka puasa bersamaan waktu dengan waktu berpuka mereka. Tapi walaupun tidak dosa dan shalatnya syah, tetap saja puasanya harus diqadhaa’ lagi (walau tidak dosa dan tidak harus bayar kaffarat). Namun demikian, hal ini bukan lagi diatur akhlak. Yakni kebolehan bertakiahnya itu. Tapi sudah diatur fikih di bagian halal-haram atau wajib tidaknya. Wassalam lagi.

Tambahan lagi

Mungkin Anda bertanya bahwa kalau akhlak itu adalah sunnah itu, mengapa tidak dibahas di fikih saja, dan akhlak dihapus saja?

Jawabnya

Akhlak Islam, adalah suatu pendidikan Islam tentang berkarakter baik. Jadi pandangannya bukan dari sudut hukumnya. Tapi dari sudut perbuatan yang baik untuk diri sendiri, Tuhan, keluarga, tetangga dan sosial serta negaranya. Artinya, Islam memiliki aturan akhlaki dan perbuatan baik ini dalam segala lapisan manusia. Jadi, ketika membahas ini, maka tidak lagi membahas dari sudut pandang fikihnya, tapi hanya melihat baik dan tidaknya suatu perbuatan itu. Karena itu, sering juga masuk ke dalam pembahasan akhlak sekalipun ia adalah wajib dilihat dari sudut pandang fikihnya. Atau kadang haram secara fikih, tapi masuk ke dalam bagian pelajaran akhlak, yakni bagian-bagian perbuatan yang harus dihindarkan. 

Misalnya, dalam akhlak, kita dilarang mengghibah atau iri. Di sini hukumnya jelas haram dari sisi fikihnya. Tapi akhlak Islam ketika membahas akhlak, hanya melihat dari sisi tidak baiknya perbuatan itu dan efek-efek buruknya bagi manusia dan sosialnya. Begitu pula tentang menolong orang. Kadang kala dan bahkan seringnya menolong orang ini hukumnya wajib dalam fikirh, seperti menolong orang yang jatuh, tenggelam dsb. Akan tetapi ketika dibahas di akhlak, maka ia hanya menyoroti dari sudut pandang baiknya perbuatan itu dan efek baiknya pada diri dan sosialnya. Karena itulah, maka akhlak Islami ini sama sekali tidak layak dan tidak memiliki kelayakan untuk dihadapkan dengan fikih atau disejajarkan dan, apalagi dilebihkan. 

Memang, kalau semua kewajiban seseorang dari sisi fikihnya sudah lengkap dan sempurna, maka akhlak ini akan menjadi sangat berarti dan menjadi pelengkapnya, yakni melebihtinggikan derajatnya. Tapi kalau fikihnya masih amburadul, apalagi mengorbankan yang wajib atau melakukan yang haram, maka akhlak ini tidak lebih dari nyanyian syetan yang menyesatkan. Apalagi mengatakan untuk tidak melakukan fikih demi akhlak, maka ini jelas kesesatan yang nyata. Wassalam lagi. 

Hidayatul Ilahi: Alhamdulillah....syukron penerangannya ustadz,, jadi bagaimana dengan kata teman saya itu ustadz??? 

Zainab Naynawaa: Syukron atas penjelasannya. 

Sinar Agama: Ok, sama-sama. Wassalam. 

HenDy Laisa, Haidar Dzulfiqar and 23 others like this. 

Aufa Opa: Maaf ustadz.. Mau tanya benar atau tidak pernyataan salah satu ulama ini, apakah Beliau ulama syiah apa bukan ; Ibnu Babawaih Al -Qummi yang dijuluki Ash-Shaduuq – yang selalu berkata benar – mengatakan: “Keyakinan kami bahwa taqiyah adalah wajib, meninggalkan taqiyah sama seperti meninggalkan shalat, tidak boleh ditinggalkan hingga keluarnya Imam Mahdi, siapa yang meninggalkan taqiyah sebelum keluarnya Imam Mahdi maka telah keluar dari agama Allah (Islam), keluar dari agama Imamiyah dan menyelisihi Allah, Rasul dan para imam.” (Kitab Al-I’tiqadat, hal. 114) 

Ana sudah coba bertanya dengan asatidz..namun kurang puas mohon penjelasannya syukron. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih atas semua jempol dan komentarnya. 

Sinar Agama: Aufa: 

(1). Apapun pernyataan beliau itu, atau bahkan pernyataan Tuhan dalam Qur'an dan para makshum as dalam hadits, tidak boleh dijadikan pijakan berbuat oleh orang Syi’ah secara umum. Karena orang Syi’ah itu wajib bertaqlid pada marja’. Jadi, semua amalan, baik shalat, puasa, jihad, haji, zakat, khumus ....dan apa saja, kalau dilakukan tidak berdasarkan fatwa marja’nya, maka hukumnya batal. 

(2). Untuk memahami ayat-ayat dan hadits-hadits fikih saja diperlukan waktu yang tidak sedikit. Kira-kira 30 tahun untuk mencapai derajat ijtihad atau mujtahid itu. Dan hauzah atau sekolah untuk itu, dibuka untuk umum dan bertebaran di muka bumi ini. 

(3). Dalam Syi’ah kalau ada orang yang bukan mujtahid menyimpulkan hukum atau mengatakan- nya, dan dia bersandar pada ayat atau riwayat, sementara hukum yang ia pahami dan katakan itu ternyata memang benar di sisi Allah, maka tetap saja orang tersebut melakukan dosa. Yakni dosa nekad dan tajarri. 

(4). Sekarang setelah adanya beberapa mukaddimah di atas itu, maka saya akan menjelaskan perkataan syaikh Shaduuq itu.. 

(5). Yang dimaksud kata-kata diatas itu adalah takiah itu merupakan salah satu kewajiban. Artinya ia merupakan suatu hukum yang harus ditaati. Dan hukum ketaatan tentang taqiah ini harus dengan syarat, sesuai dengan ayat taqiah dan hadits-hadits taqiah lainnya. Yaitu dengan sebab yang empat itu (takut dibunuh, dipukuli, diperkosa dan diambil harta kehidupannya). Jadi, taqiah itu bukan disembarang tempat, tapi di empat kondisi itu. 

(6). Ketika sudah terkondisi dengan satu saja dari empat kondisi di atas, maka seseorang boleh taqiah, tapi tidak wajib taqiah. Jadi, yang dilarang itu bukan tidak melakuakn taqiah, tapi mengangkat hukum taqiah dan mengatakan taqiah itu bukan ajaran Islam, misalnya. 

Kesimpulan: Boleh tidak taqiah itu harus mengikuti fatwa yang telah diambil dari ayat dan hadits dengan derajat ijtihad. Dan taqiah itu hanya di empat kondisi itu, kecuali Rahbar hf dan beberapa marja’ lain, yang menambahkan satu lagi untuk persatuan (jadi shalatnya misalnya, harus dengan cara Syi’ah tapi jamaa’ahnya bisa dengan Sunni). Kemudian yang diperangi oleh Ahlulbait as dan para ulama itu adalah orang-orang yang ingin menghapus taqiah dari ajaran Islam sebagaimana mut’ah. Jadi, bukan mewajibkan taqiah dengan maksud kalau tidak taqiah maka mati bodoh dan bukan syahid. 


Aufa Opa: Terima kasih ustadz,, doa kami selalu biar ust tetap sehat,,,, 

Sinar Agama: Zahar dan Aufa: Terimakasih banget perhatian dan doa serta shalawatnya, semoga kita selalu tidak henti-hentinya mecari dan mencari kebenaran setinggi-tingginya, dan semoga mencapai yang selalu menunggui kita dan selalu menyinari dan melapangkan jalan kita, amin... 

Bani Masyithah: Semoga berkah Allah tercurah kepadamu juga. 

Sinar Agama: Bani, terimakasih doanya, semoga Dia juga menyelimutimu dan teman-teman yang lain, amin. 

Bande Husein Kalisatti: Syukron..ustadz. 

Sinar Agama: Bande, ok, sama-sama. 

Sinar Agama: Muhammad (karena sudah terhapus dari komentar, saudara kita Muhammad ini, memberikan komentarnya bahwa yang dimaksudkan meninggalkan fikih untuk mendahulukan akhlak, yaitu seperti meninggalkan fikih tidak wajibnya memberitahu istri yang dicerai demi akhlak, yaitu dengan memberitahukannya), Antum telah membuat istilah sendiri dalam mendahulukan akhlak di atas fikh ini. Karena yang dimaukan oleh pengistilah sebelumnya adalah meninggalkan fikih. Artinya, diperintahkan untuk mengamalkan akhlak dan meninggalkan fikih demi pengamalan akhlak itu. 

Nah, kalau antum mau mendahulukan akhlak di atas fikih dalam istilah yang sebelum antum itu, dan dalam kontek antum itu (contoh), maka berarti antum hanya boleh memberitahukan istri antum telah dicerai akan tetapi tidak mencerainya. Karena harus meninggalkan fikih cerai dengan hanya mendahulukan akhlak cerai, bukan tidak melaksanakan ketidakwajiban memberitahunya. 

Yang kedua, kalau maksudnya itu adalah tidak meninggalkan fikihnya, maka itulah yang kami inginkan. Artinya, mau berakhlak kek atau tidak, yang jelas fikihnya harus dilaksanakan. Apalgi kami sudah sering menjelaskan bahwa akhlak itu nilai positif dan melebihi fikih, akan tetapi dengan syarat bahwa fikihnya harus dilaksanakan. Karena, apa artinya senyam senyum akhlaki, kalau kita tidak shalat. Apa artinya, kita suka mendahulukan salam kalau tidak puasa Ramadhan? 

Karena itulah, maka akhlak itu kalau mampu maka bisa dilaksanakan, akan tetapi setelah mengamalkan fikihnya. Dan tanpa fikih, maka akhlak tersebut tidak bisa mengimbangi dosa-dosa yang diakibatkan meninggalkan fikih tersebut. 

Lagi pula, yang dimaksudkan fikih bahwa tidak wajib memberitahu istri itu, dalam hubungannya dengan syah atau tidaknya talaq. Artinya, mentalaq istri itu, akan menjadi syah kalau sekalipun tidak memberitahu istrinya dan tanpa ridhanya sekalipun. Perhatikan fatwanya: 

مسألة 9 : ال يعترب ىف الطالق إطالع الزوجة عليه فضال عن رضاها به 

“Masalah 9: Tidak disyaratkan dalam syahnya talaq, pengetahuan istri dan apalagi ridhanya terhadap talaqnya tersebut.” 

Lagi pula, ketika fikih mengatakan bahwa tidak menjadi syarat tentang syahnya talaq, untuk mem- beritahu bekas istrinya dan mendapatkan ridhanya, maka bukan berarti tidak memberitahukan- nya bahwa ia sudah diceraikannya. Karena itu, sudah semestinya memberitahunya bahwa ia sudah diceraikan, untuk melakukan apa-apa yang menjadi kewajibannya, seperti memulai meng- hitung masa iddahnya, bahwa suaminya sudah bukan lagi suaminya dan bukan mahramnya dan seterusnya.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ


Minggu, 09 September 2018

Taqiah Harus, Tapi Mut’ah Jalan Terus? (diskusi ringan tentang mut’ah, fikih, akhlak dan taqiah)



by Sinar Agama (Notes) on Thursday, June 9, 2011 at 3:47am



Sinar Agama: Dari dulu sekali aku benar-benar merasa aneh. Karena sebagaian AB, kalau disuruh berfikih, selalu berkelit dengan alasan dakwah lah, dahulukan akhlak lah ...dst. Akan tetapi mut’ah mereka jalan terus dan salah-salah lagi. Lah ... mana yang lebih mengacaukan, shalat dengan tidak sedekap, atau memut’ahi anak orang tanpa ijin yang, di Sunni dan di Syi’ah hal itu diyakini zina? 


Herwan Budijanto, Hendy Al-Qaim, Mas Kubiel dan 36 lainnya menyukai ini. 

Shakira Bahesyti: Ustadz, saya amat sepakat dengan pendapatnya. Pada akhirnya banyak pe- rempuan syiah yang menikah dengan lelaki Sunni berakhlak baik ketimbang lelaki ab yang jum- lahnya limited edition, yang akhlaknya baik udah milik orang dan biasanya pemiliknya pencem- buru. Afwan. 

Sinar Agama: Ya ... Allah lindungilah saudari-saudariku dari rayuan ghombal lelaki jalang ber- kedok agama, dan lindungilah ikhwan-ikhwanku hingga tidak tertipu dengan premis yg sangat sederhana dan nyata dalam salahnya (seperti yg kumaksud dalam status). Ya ... Allah berilah kami kesempatan untuk merubah diri ini, sosial ini, cara berfikir ini, cara bergaul ini, cara mendamba akhirat ini, cara melihat dunia ini ....Ya Allah ... bermurahlah sebagaimana dari dulu Engkau ber- murah pada kami semua..... Ya ....Allah .... ya ...Allah .... demi keAgunganMu, Nabi-Mu, Ahlulbati- nabiMu ...., amin... 

Shakira Bahesyti: Amin ya Ilahi... 

Agoest D. Irawan: Ilahi Amin Ya Rabb....Salam, keif hal ya ustadz.... :) 

Muhammad Ali Husain: Ya Allah, saya bingung ustadz.. 

Bahar Fth: Afwan ust ana mengerti dan paham dalam makna doakan ana bisa merubah diri amin sholu ’ala nabi wa aalihi. 

Sinar Agama: Mas Agoest, pa kabar, ana baik terimakasih, antum keif, kok lama nggak ngunjungi ana di fb ini? Senangnya antum komentar. Jangan marah kalau ana kurang menyapa, karena sungguh pertanyaan semakin banyak, begitu pula masalahnya, juga maaf kalau selalu satu arah, afwan, yang jelas ana terhibur sekali kalau disapa, karena berarti kita masih nyambung dalam per- temanan dan silaturrahim serta ana kurang merasa sendirian. Ada lagi yang selalu ingin kutahu, yaitu, sejauh mana pandangan-pandangan yang kuanggap murni untuk membenahi masyarakat kita ini memiliki efek yang baik. Terimakasih sekali lagi. 

Sinar Agama: Muhammad, bingung itu tanda ada rasa taqwa dalam diri. Karena itu lanjutkan dengan kehidupan lepas dari nafsu dan ikuti argument dan ulama yang memang membidangi agama walau tidak makshum karena hal itu wajar seperti antum pergi ke dokter yang juga tidak makshum itu. 

Sinar Agama: Bahar, diriku adalah dirimu, karena cinta murni tidak bisa dibatasi dengan badan dan jauhnya tempat. Karena itu di samping aku juga orang yang terbutuh di dunia ini, aku juga menganggap diri antum semua sebagai diriku juga. Sedihmu sedihku, hancurmu hancurku, dan majumu adalah majuku juga. Ingat, akhirat itu berat sekali, tidak bisa kita di sana asal bunyi, tapi benar-benar semua isi hati dan pikiran serta rahasia-rahasia kita akan dibuka di sana. Mari kita maju bersama, jangan pernah merasa lelah dan putus asa. 

Sinar Agama: Satu lagi wahai Indonesiaku, sebesar apapun pengaruh kita dan huru hara, dan semegah apapun yang kita punya dalam penampilan, sejauh apapun penghormatan keilmuan yang diberikan orang,...dst tapi kalau semua itu tidak benar dan tidak argumentatif sejati serta tidak dengan niat yang tulus karena Allah dan tidak dengan melepaskan diri dari segala riya dan kepentingan, maka kita akan tergulung sejarah dan sebelum di akhiratpun hakikat kita akan ter- buka. Kalau begitu, mengapa kita berlomba memasukinya? 

Sinar Agama: Ketahuilah, banyak orang mungkin bisa ditipu, tapi tidak mungkin semuanya. Dan kalau tipuan itu adalah argument yang palsu, atau tidak sejati, maka sudah pasti tidak akan be- rumur melebihi beberapa tahun saja, lalu mengapa kita harus mengisi sejarah itu dengan wajah buruk kita demi kepentingan sesaat? 

Agoest D. Irawan: Alhamdulillah ya ustadz, begitu pula ana, berkat doa antum juga. Afwan ya ustadz, ana mungkin tidak meninggalkan komen atau jejak pada fb Antum (atau di Mekarsari) tapi ana tekun mengumpulkan artikel-artikel/diskusi antum. Semoga ini tidak mengurangi keutamaan silaturahmi ana dengan antum. Sekali lagi, afwan. Ana belajar dari antum atas banyak hal. Tidak saja (jawaban) atas masalah tapi juga bagaimana cara antum menanggapinya. Semoga Allah mamanjangkan umur Antum agar kami terus dapat mengambil manfaat dari Antum. Bi haqqi MUHAMMAD wa aali MUHAMMAD... 

Bahar Fth: Terimakasih atas segala argumentnya ustad sungguh diriku dengan kehinaan merasa malu bila dikatakan setara dengan antum ustad karena banyak sudah kejelekan amalku dan tak ada yg mengelilingi aku selain apiny yang menyala dan budakny kalau salah melangkah akan ter- jerumus selamanya dan sekali lagi ana mohon doanya ustad agar bisa menuju tempat rasul saaw dan imam bersama-sama. 

Dan afwan ustad satu hal antum doakan ana agar cepat menikah dan bersegera bekeluarga dan doanya untuk bapak ana yang sakit berkepanjangan agar segera disembuhkan dan selalu berada dalam kebaikan. 

Sinar Agama: Mas Agus, sampai memerah mataku membaca tulisan antum, demi Allah. Terima- kasih sekali. Itu dia mas, puluhan tahun aku menuntut ilmu Ahlulbait as dan ingin sekali berteriak menyampaikannya pada antum semua. Walau tentu lamanya belajar itu tidak menjadi jaminan, tapi maksudku kalaulah aku hanya dapat setetes, maka yang setetes itu kita keroyokin. Yang je- las, kita harus mencoba dan mencoba untuk serius menghadapi hidup ini, tidak berhura-hura menjadi Syi’ah atau Islam, tapi meresapi dan mengaplikasikannya dengan penuh ketegasan dan kesantunan di lain pihak. Artinya tegas pada diri sendiri, dan santun pada orang lain (namun da- lam argument harus tetap jelas dan gamblang). 

Sinar Agama: Bahar, syarat utama menjadi orang baik itu adalah tidak henti belajar agama disela-sela kesibukan kuliah atau kerja. Nah kalau itu dilakukan maka doa kita untuk menjadi orang bak akan menjadi terkabul in syaa Allah. Karena baik itu harus profesional atau ilmiah, bukan perasaan tanpa dalil. Ana akan doakan antum segera menikah dengan penuh rahmah, dan begitu pula ayah antum semoga cepat sembuh dan dalam hidayahNya selalu, amin. 

Bande Huseini: Ada yg bilang akhlaq adalah fiqh itu sendiri ust..? Betul ga ..afwan.. 

Sinar Agama: Bande, kalau secara umum, biar akidah juga akhlak, yakni akhlak batin. Akan tetapi manakala akhlak itu dihadapkan kepada akidah dan fikih, maka ia tidak lagi mencakupi kedunya, tapi menjadi bagian yang sejajar dengannya. Misalnya dikatakan bahwa Islam memiliki banyak disiplin ilmu, seperti akidah, fikih, akhlak, irfan, tafsir, hdits, rijal, ushulfikih, psikologi, politik, bu- daya, rumah tangga, sosial, kenegaraan, ketentaraan ....dan seterusnya. Maka dalam hal ini, maka akhlak bukan fikih dan begitu pula sebaliknya. 

Dan ketahuilah bahwa akhlak itu bukan karakter bagus, bukan, tapi karakater saja. Jadi ilmu akhlak adalah ilmu tentang karakter, esensinya, terbentuknya dan cara membentuknya kepada yang baik. 

Tentu akhlak yang saya katakan ini adalah akhlak yang sebagai ilmu. Tapi kalau dalam percakapan sehari-hari, maka akhlak adalah adab dan tatakrama. 

Dan dlam akhlak yang berarti tata krama itulah maka semuanya bisa masuk ke dalamnya, seperti akidah (tata krama dengan Tuhan secara batin), atau fikih (tata krama dengan Tuhan secara lahir dan tata krama dengan diri, keluarga, sosial dan negara, karena hukum fikih itu lengkap), atau politik (tata krama politik Islam), atau keluarga (tata krama keluarga Islam) ....dan seterunya. 

Namun, demikian, apapaun maksud akhlak itu (ilmu atau adab) kalau sudah dihadapkan kepada akidah dan fikih (sebagai bagian dalam keIslaman, bukan dihadapkan untuk dipertentangkan), maka akidan dan fikih sudah tidak masuk lagi di dalamnya. Jadi, makna akhlak di sini bermakna adab dan sopan santun. 

Ketika akhlak itu sudah berupa sopan santun, maka biasanya dipengaruhi oleh budaya setempat. Jadi sopan santun orang muslim di suatu negara atau suku, bisa akan sangat berbeda dibanding dengan negara atau suku lainnya. Padahal sama-sama mengaku Islam. 

Nah, adab yang demikian itu, yakni yang berbeda-beda itu masih dibolehkan oleh Islam dengan syarat, tidak melanggar akidah dan fikih. Jadi, apapun adab atau adat istiadat yang tidak berten- tangan dengan akidah dan fikih, maka dibolehkan dalam Islam. Karena itu kalau orang Korea atau China masuk Islam, maka tidak boleh menghormati orang dengan sujud, karena melanggar fikih dan bisa merusah akidah. 

Bande Huseini: Yang dimaksud dalam alqur’an ”nabi diturunkan untuk memperbaiki akhlaq”.. akhlaq yang dimaksud berarti mencakakup semua hal ust,,hukum..politik, kemasyarakatan..tata krama.. dan seterusnya..begitu ustadz..? Afwan. 

Sinar Agama: Kalau hal-hal kecil saja sudah tidak boleh dilakukan kalau bertentangan dengan akidah dan fikih, apalagi pernyataan dahulukan akhlak dari pada fikih. Karena pernyataan ini, bu- kan lagi tidak sesuai dengan fikih, tapi memerangi fikih. Dan kalau orangnya yang menyatakan itu sadar bahwa pernyataannya ini sama dengan menolak Islam itu sendiri, maka ia dihukumi kafir dan najis, sekalipun orang Syi’ah. 

Bande Huseini: Yang dimaksud menyatakan”dahulukan akhlaq ketimbang fiqh ” dan pernyataan itu dilakukan dengan sadar, maksudnya sadar apa ustaz..? Sehingga bisa dikatakan kafir or najis..? Afwan. 

Sinar Agama: Yang saya jelaskan ini adalah yang ada dalam fatwa yang berbunyi: ”Siapa saja yang menolak fikih yang mudah dipahami, dan ia tahu bahwa penolakannya itu sama dengan menolak Islam itu sendri, maka ia dihukumi kafir dan najis.” Lihat di semua fatwa marja’ dalam bab najisnya orang kafir. Contohnnya menolak hukum wajibnya shalat dan puasa. Karena mema- hami kewajiban keduanya itu mudah karena ditransfer dari Nabi saww ke kita secara aklamasi muslimin. Begitu pula memahami bahwa orang Syi’ah harus mengamalkan fikih Syi’ah, adalah hal yang mudah diketahui oleh semua orang tanpa berfikir sekalipun, yakni ilmu mudah dan dharuri. Nah, kalau dalam dua golongan contoh ini, pelakunya memahami bahwa penolakannya itu sama dengan menolak Islam, maka ia dihukumi kafir dan keringatnya menjadi najis. 

Beda halnya dengan orang yang tidak shalat, dan/atau orang Syi’ah yang tidak berfikih Syi’ah. Dia hanya berdosa besar dan shalatnya harus diganti atau diqadhaa’. Karena dia tidak menging- kari kewajiban hukumnya. Dia hanya tidak melaksanakan hukumnya. Tentu saja, kalau dalam keadaan takiah karena empat sebab itu (kemungkian dipukuli, kemungkinan dibunuh, kemuing- kinan keluarganya diperkosa dan kemungkinan hartanya yang dijadikan kehidupannya itu diam- bil), maka orang Syi’ah yang tidak beramal Syi’ah tidak dosa dan tidak perlu mengulang dan atau mengqadhaa’’nya. 

Mujahid As-Sakran: Yang sangat menyedihkan bertaqiyah karena takut urusan dunianya hilang. 

Aziz Letta: Bagaimana kalau diusulkan dalam KTP identitas agama: Islam Sunni atau Islam Syii seperti Kristen dan Katolik? 

Sinar Agama: Mujahid, kalau harta yang diperlukannya untuk hidup itu bisa terancam hilang kalau tidak takiah, agama membolehkan dia takiah. Artinya kalau shalat di depan mereka. Tapi anehnya itu biasanya mereka secara keseluruhan meremehkan fikih walau di rumah. Lah, kalau di rumah mau takiah sama siapa? Tapi kalau makan ada dan tidak masalah, lalu kalau tidak takiah umat tidak ngaji lagi ke dia, maka takiah seperti ini jelas tidak boleh dan batal. Mungkin yang an- tum maksud jenis yang terakhir ini. Kalau benar, maka benar yang antum tulis itu. 

Sinar Agama: Aziz, mungkin tidak perlu, karena negara kita bukan negara Islam. Karena masalah ke dalam Islam itu hanya bersangkutan kepada hukum-hukum yang berbeda. Misalnya, kalau jan- da dan lelaki berdua mengaku mut’ah, ketika ditangkap polisi agama, maka bisa melihat ktp-nya, kalau Sunni maka bohong, tapi kalau Syi’ah maka benar. Atau kalau suatu kelurga ribut karena yang satu mau membangun kuburan ibunya, dan yang lain menolaknya sampai jadi perkelahian dan mengadu ke hakim agama Islam, maka dilihat, kalau ktp mereka Muhammadiah, maka di- benarkan yang menolak membangun, dan kalau NU maka dibernarkan yang membangun. Jadi, intinya, kalau negara kita belum negara islam, maka serasa belum perlu penulisan madzhab di ktp itu. 

Sinar Agama: Bande, ketika Nabi saww bersabda: ”Aku diturunkan untuk menyempurnakan akhlak” Artinya semua hal termasuk akidah sebagai akhlak dengan Tuhan, hukum fikih yang men- cakup seluruh kehidupan baik pribadi, keluar atau negara. Kalau yang dimaksud akhlak dalam arti lawan dari akidah dan fikih, yakni tatakrama yang tidak fikihis, seperti senyum, tidak emosian, pemaaf, sedekah, .... dst, maka semua itu tidak akan ada gunanya. Karena semua akhlak itu kalau tidak dibangun di akidah yang benar dan didasari fikih yang benar, maka menjadi hangus dan tidak benguna. Misalnya seorang penyantun tapi kafir, atau penyantun tapi tidak shalat, atau pe- nyantun tapi tidak bayar zakat dan khumus. Maka semua itu tidak akan ada gunanya. 

Ketika Nabi saww bersabda: ”Aku tidak diutus kecuali menyempurnakan akhlak”, dan yang dibawanya adalah tauhid, fikih dan semuanya termasuk pemerintahan yang dipimpimnya, maka akhlak adalah Islam itu sendiri. Yakni Islam yang lengkap dengan akidahnya, fikihnya ...dst. Pen- dek kata, makaarimu al-akhlak itu adalah Qur'an dan hadits. 

Haera Puteri Zahrah: Mohon doanya ustadz agar aku dan akhwat lain tidak terjerumus oleh sebuah pernikahan yang kebabblasan. 

Sinar Agama: Haera, he he Saya tidak paham apa maksudnya kawin kebablasan. Aku mendoakanmu dan akhwat yang lain agar terjauhkan dari kawin yang tanpa ijin yang jelas dari ayahnya (baik jelas tentang suaminya atau waktu kawinnya dan waktu berakhirnya kalau mut’ah), karena hal itu sama dengan zina. Karena telah menyengaja kepada pekerjaan yang batal itu setelah tahu hukumnya. 

Kidung Cinta: Semoga masih inline dengan jalur status dan diskusi, hukum-hukum fikih mana sajakah yang diperbolehkan takiyah? Saya pernah mendengar, contohnya sedekap dalam sholat tidak diperbolehkan takiyah. Bagaimana dengan aturan sholat yang lain (misal menoleh saat asalamualaikum, ato mengangkat tangan saat doa qunut)? Syukron. 

Sinar Agama: Kidung, semua hukum itu boleh ditaqiyahi asal ada sebabnya yang empat itu. Maksud dari taqiah yang tidak boleh sedekap itu kalau taqiahnya mengikut fatwa Rahbar hf yang menambahi satu sebab lagi pada empat sebab itu, yaitu demi persatuan. Nah, kalau taqiahnya demi persatuan, maka yang ditaqiahi hanyalah berjamaah pada Sunni, tapi semua cara shalatnya harus Syi’ah. Namanya saja persatuan Sunni dan Syi’ah. Akan tetapi kalau tidak berani turunkan tangan karena takut dipukuli atau tiga sebab lainnya itu (dibunuh, diperkosa dan dirampas har- tanya yang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari), maka taqiahnya tidak bisa dengan alasan persatuan, tapi karena keamanan. Jadi, dalam kondisi ini bisa melakukan taqiah. Tapi kalau untuk persatuan, maka tidak boleh melakukan shalat dengan cara Sunni. Jadi bukan hanya tidak boleh sedekap, tapi juga tidak boleh pakai sajjadah yang bukan dari tanah. 


Wassalam. 

Arie Risnandha: Salam, Afwan ustadz, melanjutkan masalah taqiyah ini... ana bertugas di Oman yang notabenenya orang-orang ibadiyah/khawariz (mudah-mudahan gak salah). Kalo gak sedekap bisa karena mereka juga gak sedekap sholatnya, cuman masalah sujud di tanah ini yang ana agak ragu/takut...Apakah kira-kira yang sebaiknya ana lakukan... mohon penjelasan... Sukron... 

Besse Tanra Wajo: Salam Ustd. Izin copas. 

Sinar Agama: Arie, terharu melihat teman-teman berada di berbagai tempat. Di Oman itu juga sebenarnya banyak orang Syi’ah. Aku punya teman yang berasal dari sana. Berkenaan dengan sujud, kan tidak harus pakai tanah sebagaimana makna bahasanya. 

Tanah di sini adalah makna fikihanya, yaitu tanah dan apa-apa yang dari tanah yang tidak untuk pakaian dan makanan serta bukan barang tambang. 

Jadi, kertas boleh, sajjadah yang dari tanaman seperti tikar juga boleh. Nah, ada yang bisa antum buat alasan. Kalau pulang ke Indonesia, carilah sajjadah yang dari tangakai pohon yang harum yang namanya aku lupa. Itu enak bisa dibuat alasan untuk memakainya. BTW, kalau memang ada kekhawatiran dianiaya, maka bisa taqiah dimanapun antum berada. Tentu saja dalam keadaan seperti itu, usahakan untuk shalat di rumah/kamar. 

Sinar Agama: Besse: silahkan saja. 

Pandan Wangi: Tolong bimbing kami agar bisa bertemu dengan Imam Mahdi as. 

Sinar Agama: Pandan, bertemu imam Mahdi as itu bisa di hati dan bisa di lahir. Bertemu di hati, sering lebih bermakna. Karena ia adalah pertemuan hakiki. Tapi yang di lahir, belum tentu hatinya bertemu. Dan untuk bertemu di hati, taqwalah, dan tinggalkan semua dosa besar dan kecil, serta jangan sesekali meninggalkan ketaatan dan kewajiban. Pelajari akidah dan fikih yang benar, se- perti tahu mana yang salah dan benar, supaya tahu yang sesat dan hidayat, supaya tahu mana yang wajib dan mana yang haram. 

Arie Risnandha: Sukron Ustadz atas waktunya menjawab pertanyaan ana, iya selama ini ana usahakan sholat di kamar sebisa mungkin supaya lebih nyaman dan tenang. InsyaAllah ana cari sajjadah tersebut, sekiranya ustadz teringat suatu saat nama sajjadah tersebut, mohon kiranya memberikan informasi kepada ana bila berkesempatan... afwan. Semoga keselamatan, keseha- tan dan keberkahan selalu bersama ustadz... 

Sinar Agama: Arie, sudah ingat, namanya kayu cendana. Antum bisa cari tikar itu dan bisa di- bawa-bawa kemana-mana biar ke dalam masjid tanpa dicurigai orang karena alasannya harum. 

Sinar Agama: Cari yang besarnya seperti sajjadah, karena memang ada di pasaran 

Arie Risnandha: Sukron ustadz, ana segera cari. Tadi ana google-google juga, kayaknya ada yang dari akar wangi dan kulit gaharu... I-Allah banyak pilihan.... 

Al Aulia: Salam. Saya ada kardus biasa untuk tidur ustad, boleh tidak dipakai untuk sholat? 

Sinar Agama: Aulia, kenapa tidur di kardus sayang ... tapi memang anget sih... tentu saja kardus bisa dibuat sujud karena ia adalah kertas 

Al Aulia: Alhamdulillah..syukron ustad. Yang ada sekarang kardus hangat itu, hehee.. 

Haidar Dzulfiqar: Salam Ustadz... Mohon izin share ya Tadz...? Terimakasih banyak sebelumnya dan atas semua tambahan ilmunya yang sangat luar biasa ini...! Semoga Allah Swt senantiasa menjaga jiwa dan raga, Lahir dan Bathin Antum.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Selasa, 21 Agustus 2018

Lensa (Bgn 15): Apa Benar Nabi saww Mengharamkan Yang Dihalalkan Tuhan?



Oleh: Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:17


Ayat tahrim ini sebenarnya ayat kecaman Tuhan kepada dua istri Nabi saww. Artinya, Tuhan tidak rela Nabi-nya mengalah terus kepada dua istrinya itu. Kita tahu bahwa Nabi saww. selalu memaafkan orang, apalagi istrinya. Artinya selama masih memiliki hak untuk memaafkannya. Nah, disini, sekalipun Nabi saww. memiliki hak untuk memaafkannya, akan tetapi Tuhan tidak memaafkannya.

Baik di sunni atau di syi’ah, sebab turun ayat itu, adalah berkenaan dengan sesuatu yang dikerjakan Nabi saww. terhadap salah satu istrinya. Lalu kedua istrinya yang lain, tidak menyukainya dan bersepakat untuk menyakiti Nabi saww. Lalu ketika mereka beraksi, maka Nabi saww mengatakan bahwa beliau saww. tidak akan melakukannya lagi. Yakni tidak akan melakukan sesuatu yang dihalalkan Tuhan itu.

Jadi, haram di ayat itu bukan haram yang bermakna hukum Islam, tetapi yang bermakna kata yang, dalam bahasa Arab artinya, mencegah. Yakni Nabi saww. mengatakan bahwa beliau akan mencegah dirinya untuk tidak melakukannya lagi. Tentu saja, karena Nabi saww, sesuai dengan akhlaknya yang mulia itu, karena beliau selalu memaafkan orang yang berbuat buruk padanya selama masih bisa dimaafkan.

Dalam kejadian itu, Tuhan tidak lagi bisa menerima perlakuan buruk pada NabiNya itu. Karena itu Tuhan sendiri yang mengkondisikan (taqyid) maaf Nabi saww. ini, seperti di ayat lain yang mengatakan bahwa: “Kamu sekalipun memintakan ampun 70 kali tetap mereka tidak diampuni” (ini nukilan makna, bukan harfiah).

Dengan keterangan di atas itu, dapat dipahami, bahwa Nabi saww. bukan hendak mengharamkan secara hukum fikih yang berarti kalau dikerjakan mendapat dosa/siksa, terhadap hal-hal yang dihalalkan Tuhan. Akan tetapi bermakna, mencegah dirinya dari hal-hal yang dihalalkan Tuhan demi meredam gangguan kedua istrinya itu. Jadi, Nabi saww. tidak membuat kesalahan, seperti membuat hukum baru dan beda dari hukum Tuhan.

Dari keterangan itu pula, dapat dipahami bahwa hal-hal yang Nabi saww. mencegah diri darinya, adalah bukan sesuatu yang diwajibkan. Artinya, sekalipun Nabi saww. mencegah dirinya karena mengalah dan memaafkan buruk akhlak kedua istrinya itu, akan tetapi bukan mencegah diri dari hal-hal yang diwajibkan Tuhan. Jadi, hanya pada hal-hal yang dihalalkan,. bukan wajib. Jadi, Nabi saww. dalam hal ini juga tidak melakukan kesalahan. 

Dari keterangan di atas itu juga dapat dipahami bahwa Nabi saww. juga tidak melakukan  kesalahan dari sisi memaafkan atau mensyafaati itu. Karena dalam sunnatullah yang diterangkan dalam Qur'an, semua yang punya hak syafaat, tetapi Nabi saww, tidak akan bisa mengaktifkan syafaatnya itu kecuali dengan ijinNya. Nah, ayat di atas, befungsi pengikraran Tuhan bahwa syafaat Nabi saww untuk kedua istrinya itu tidak mendapat ijinNya.

Dari semua keterangan itu, dapat diketahui betapa agungnya akhlak Nabi saww yang berkenan memaafkan kedua istrinya yang menyakitinya dan memprotes perbuatan halalnya itu. Jadi, ayat itu, bukan saja tidak menceritakan kesalahan Nabi saww, tetapi justru menceritakan keagunangan akhlak Nabi saww.

Di lain pihak, ayat itu menceritakan betapa buruknya perlakuan kedua istri Nabi saww. tersebut. Bayangkan saja, sudah punya suami Nabi saww. tetapi tidak menghormatinya sebagaimana mestinya. Padahal, sekalipun suaminya itu bukan nabi Tuhan, sudah pasti mengganggu suaminya dalam hal-hal yang dihalalkan Tuhan itu adalah dosa, apalagi kalau suaminya itu adalah seorang nabi dan nabi pilihan lagi, yakni paling afdhalnya Nabi saww.

Dapat diraba dari ayat dan peristiwa itu bahwa sangat mungkin kedua istri tersebut, sering menyakiti Nabi saww. Karena biasanya, kalau hanya salah sekali, mungkin tidak langsung diancam dengan semacam peperangan dan juga talak. Coba baca terusan ayat di atas itu sampai ayat 3 (QS: 66: 1-3). Di ayat tiga itu, Tuhan mengancam kedua istrinya itu kalau tidak taubat.

Mungkin ada yang bertanya, kalau keduanya tidak bagus, mengapa dikawini dan mengapa tidak diceraikan saja? Jawabnya, bahwa mencari istri yang baik itu adalah kewajiban bagi kita yang lemah iman dan akhlak. Yakni kita, orang biasa, kalau punya istri yang buruk perangai maka bisa bertengkar, terpengaruh menjadi buruk juga dan atau terjadi cerai. Tetapi kalau Nabi saww. dan para nabi yang lain as., maka keharusan itu terangkat dari mereka. Karena mereka tidak akan terpengaruh, baik dalam keburukannya, atau dalam reaksinya hingga keluar dari ajaran agama. Kalau perlu, mereka mesti mencari yang terburuk untuk dijinakkan dan tidak menebarkan keburukannya kepada orang lain. Tentu saja, buruknya yang tidak sampai kepada tingkat pengkhianatan keluarga (selingkuh). Jadi, keburukan yang berkisar akhlak buruk, khianat yang bukan bermkana selingkuh, seperti membocorkan rahasia dan seterusnya.

Ayat ini, juga menjadi saksi bagi kecerobohan yang menafsirkan ayat QS: 33: 33, dimana disana Tuhan membersihkan dosa keluarga Nabi saww (Ahlulbait), sebagai istri-istri Nabi saww. Yakni mereka mengatakan bahwa keluarga yang disucikan itu, adalah istri-istrinya. Padahal ayat di pembahasan kita ini adalah ayat yang menunjukkan kedua istri Nabi saww sedang melakukan dosa besar, dan obyeknya juga tidak tangung-tanggung, yaitu Nabi saww. sendiri, yakni bukan suami biasa yang diganggunya.

Wassalam. 



Tika Chi Sakuradandelion, Agoest Irawan, Sarah Soraya dan 16 lainnya menyukai ini.

Kamal AvicenNa: Ali bin Abi Thalib a.s pernah mengatakan bahwa, kekeruhan jama’ah jauh lebih baik daripada kejernihan individu. Kecerdasan individual pun tak akan pernah dapat mengalahkan kecerdasan sebuah jama’ah. Memang benar, perbedaan bukan sesuatu yang mustahil, namun yang diharapkan walaupun mempunyai kepentingan sendiri, jangan sampai menutupi kepentingan bersama untuk menegakkan qalam Ilahi di muka bumi.

Edo Saputra: Dengan mengikuti nabi dan ahlulbaytnya pasti kita selamat...

Aziz Laparuki: Ustadz, sama ada sedikit tanda tanya dalam hati. Dari penjelasan antum di atas seolah olah Nabi SAWW tidak maksum!? Dalam pikiranku perkataan dan tindakan nabi bahkan gerak gerik hati Nabi SAWW pun akan selalu seiring sejalan dengan kehendak Tuhan! Tolong penjelasannya Ustadz. Terimakasih...

Sinar Agama: Aziz: Baca lagi dan baca lagi, dan jangan lupa membaca Bismillaah dan shalawat sebelumnya. Kalau belum tembus juga, kalau perlu dalam keadaan berwudhu dan mengucap salam dulu pada imam Mahdi as. Semoga dapat dipecahkan. Karena menurutku dengan membacanya dengan teliti, maka problem antum bisa diselesaikan. Ingat, jangan baca tulisanku atau tulisan siapa saja, dengan gemuruh pemahaman antum dan gemuruh menolaknya. Tapi baca dulu dengan berusaha memahami yang kita maukan, baru setelah paham benar, bisa ditanyakan atau didiskusikan atau bahkan didebatkan. Tapi berusahalah dulu memamahi sesuai dengan maunya penulis.

Padil Fadilah: Allah hummasoli alla Muhmmad waalli Muhammad. 


28 Mei 2012 pukul 14:28 · Suka



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Lensa (Bgn 14): Tentang Benci



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:14


Benci sebagaimana sudah saya sering berikan contohnya, di catatan-catatan atau koment alfakir selama ini, adalah sifat yang ada di hati manusia, yang, secara filsafat dikatakan ada di ruh bagian daya-hewani. Artinya benci adalah kerja hati seperti cinta.

Nah, benci hati ini, tidak boleh diletakkan kepada makhluk Tuhan dari sisi kemakhlukanNya, seperti jeleknya, hitamnya, cebolnya, baunya, ganasnya (seperti harimau dan ular) dan seterusnya. Dan karena itu benci itu hanya bisa diletakkan kepada Karekter Ikhtiari Manusia atau jin (seperti Iblis). Ingat sekali lagi amal-amal ikhtiari atau akhlak-akhlak ikhtiari. Maksud akhlak disini adalah kebiasaan, bukan akhlak baik. Jadi dalam pembahasan akhlak, akhlak itu adalah kebiasaan, baik kebiasaan baik atau buruk.

Nah, benci itu hanya bisa diletakkan ke atas akhlak buruk seseorang dari sisi akhlak buruknya itu. Jadi kalaulah membenci pelakunya, jangan karena jelek rupanya, tetapi benar-benar karena akhlak buruknya itu. Ini baru boleh, dan bahkan merupakan keharusan. Karena kalau kita tidak membencinya, bisa mengakibatkan kebagian dosanya. Karena itulah dalam Islam dikenal dengan Tabarri, alias berlepas diri. Yakni berlepas diri dari keburukan orang yang dibenci karena keburukannya itu. Dan Rasulpun saww bersabda: “Kalau di ujung timur dunia ada yang membunuh orang tanpa kebenaran, dan di ujung barat ada yang mendengar dan dia rela terhadap perbuatannya itu, maka ia telah mendapatkan dosanya juga.”.

Namun demikian benci ini tetap berupa amal hati, bukan badani nan aplikatif. Karena kita baru membahas tinjauan hatinya. Nah, benci di hati ini, sekalipun merupakan keharusan ketika tempatnya sudah benar secara argumentatif gamblang, bisa dibarengi dengan amal-amal hati lainnya. Tentu selain amal hati yang berkata “Aku berlepas diri dan tidak suka pada perbuatannya”. Yaitu amal-amal hati seperti harapan dan doa akan perubahan terhadap pelaku amal buruk itu. Semua itu tergantung kepada besar-kecilnya keburukan seseorang dan tergantung kepada tekak tidak tekaknya (bc: keras tidaknya kepalanya).

Tentu saja ukuran keras kepala ini tidak mudah dinilaikan. Karena sering orang karena di debat sekali dua kali saja sudah mengecap lawan bicaranya sebagai keras kepala. Walhasil, kalau memang keras kepala sekalipun, tetap bisa dilihat, apakah karena lingkungan yang membentuknya menjadi orang-orang yang nampak bodoh seperti para Wahhabi yang terhitung latah, atau karena dia sendiri telah menjadi keras kepala dengan penuh kesadaranya dalam memilih jalan buruk itu. Walhasil, dengan modal agama yang tidak bisa sedikit, seseorang akan mampu dengan ijinNya, melihat derajat-derajat obyek bencinya itu dan hatinya diselaraskan sesuai dengan ilmu Islam yang argumentatif agamis dan aklis itu, bukan argumentatif perasaanis yang dipaksakan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits.

Tapi ingat, bahwa sekalipun ada perasaan harap itu, maka perasaan benci akan perbuatannya itu, harus tetap ada di hati. Karena hilangnya itu akan membuat kerusakan pada diri kita sendiri. Akibat awal yang paling sederhana tetapi memiliki kadar luar biasa besarnya, adalah tidak jelasnya nilai hidup dan budaya. Coba lihat di Indonesia. Korupsi dan zina misalnya. Sebenarnya, dalam tinjauan sosialnya, korupsi dan zina itu bukan suatu yang besar. Karena ia merupakan penyakit pelakunya.

Tetapi ketika yang lain tidak membencinya, atau membenci karena tidak kebagian (seperti di Indonesia yang secara lahir melakukuan reformasi terhadap KKN, yakni memperbaiki KKN hingga menjadi adil dan rata), maka budaya yang akan muncul adalah “biasa” menghadapi keduanya. Dan kalau sudah “biasa” atau “hal biasa”, terlebih dibumbui lagi dengan “Manusia itu tempatnya salah dan doa” dan “tidak tega”, maka langkah berikutnya adalah kita sendiri akan jatuh di dalamnya.

Jadi, maksiat pribadi, seperti korupsi dan zina, tidak sebesar maksiat sosial yang sudah mengang- gapnya hal biasa. Bayangin saja budaya kita, kalau ada anak hamil di luar nikah, orang tuanya, tidak marah dari awal ketika ia tidak pakai hijab atau ketika ia pacaran. Tetapi marahnya, kenapa sampai hamil dan membuat malu. Artinya hubungan maksiat sebelumnya, asal tidak sampai hamil, maka dianggap biasa. Nah, budaya seperti ini, yang timbul dari tidak bencinya pada keburukan dan maksiat itu adalah seburuk-buruk budaya dan bisa dikatakan tidak memiliki harapan di masa depan.

Karena itulah, sebagian orang berkata bahwa Arab Jahiliyyah masih jauh lebih bagus dari budaya kita. Karena di jahiliyyah, kejujuran masih disanjung tinggi, kesatriaan dan membela yang lemah jadi pujaan. Tetapi kita, oh..betapa malangnya kita... yang memiliki budaya tidak ke barat dan tidak ke timur ini. Indonesia, akan menjadi baik, kalau budayanya dirubah. Dan perubahan itu, tidak bisa terjadi kecuali dengan pengawasan seorang alim tentang agama yang mencakupi filsafatnya, sosiologinya, psikologinya.

Tentang aplikasi bencinya: Dalam aplikasi benci ini, agama dan akal-gamblang, telah memberikan cara-caranya secara rinci. Namun ingat, dengan tetap menjaga perasaan benci itu. Penanganan terhadap obyek yang dibenci itu sangat banyak dan sangat rinci. Kadang dengan merengutkan alis saja, kadang dengan ucapan. Dan ucapan ini bisa banyak gradasinya. Bisa dengan argument, yakni ketika ia memiliki potensi untuk memahami argument. Argument adalah proposisi-proposisi yang disusun sebagai dalil yang dikenal dengan Premis.

Argument adalah memakai premis yang memiliki kebenaran yang sudah teruji dengan argu- mentasi. Artinya, kebenarannya itu adalah hakiki dan niscaya, baik diterima orang atau tidak. Seperti 1+1=2; yang terbatas pasti diadakan; rangkapan terbatas juga keterbatasan;.....dan seterusnya. Akan tetapi, kalau pelaku buruk itu tidak mengerti hal ihwal argumentasi dan premisnya itu, maka bisa memakai cara debat. Debat adalah premisnya memakai hal-hal yang diakui oleh lawan bicaranya. Misalnya orang syi’ah berdalil tentang 12 imam maksum as,. dari kitab Bukhari yang diterima sunni (sekalipun syi’ah tidak menerimanya).

Jadi, apapun yang diterima lawan bicaranya dijadikan dalilnya. Inilah yang dikatakan debat. Ada juga yang pakai setengah umpatan. Seperti kamu tidak belajar dengan baik, kamu tidak membidangi agama secara akademis, kamu banyak bicara terhadap hal-hal yang tidak kamu tahu, dan seterusnya. Semua itu akan menjadi sesuai dengan obyeknya, manakala seseorang telah benar-benar alim dan berhati mulia. Artinya setiap langkahnya hanya mengikuti argument, agama dan dengan niat ridhaNya.

Ada juga dengan cara-cara yang lebih kelihatan keras, seperti meninggalkannya. Yang ke tiga ini dikenal dengan amar makruf dengan badan. Artinya, sejauh yang diijinkan agama. Bukan menamparnya dan semacamnya. Karena menyakiti orang lain secara fisik, di samping merupakan dosa besar, ia juga memiliki kaffarah, apakah hanya memar, atau luka, atau luka sampai ke tulang, atau luka sampai melukai tulang...dan seterusnya seperti yang sudah diterangkan di kitab fikih.

Jadi, aplikasi kebencian itu diterangkan dalam amar makruf dan nahi mungkar. Begitu pula syarat- syaratnya. Karena itulah maka kita tidak bisa sembarang melakukan amar makruf dan nahi mungkar yang biasa kita kenal dengan “Dakwah”. Terlebih Dakwah Sosial dan Media Masa dimana yang dihadapi bukan seseorang yang jauh lebih gampang diketahui psikologinya.

Penjelasan tentang aplikasi benci di atas belum hanya berupa gambaran umum dan tidak mencakupi semua bagiannya. Karena ada yang kadang kala memakai cara perang, dan pengrusakan, manakala diperlukan dan sudah difatwai dengan bijak oleh seorang mujtahid yang bersih dari dosa. Hal mana seperti itu memang jarang sekali terjadi. Dan biasanya ketika sudah sangat terpaksa untuk melawan kemungkaran dan kekafiran.


Wassalam.



Tika Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin, Ammar Dalil Gisting dan 7 lainnya menyukai ini.

Jaid Alfarizi: Akhsantum....Allahumma shalli alaa Muhammad wa alaa Aali Muhammad bihaqqi Aali Muhammad wa ajjil farajahum.

Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad.

Ammar Dalil Gisting: Salam. Syukran Ustadz.. Jazakallahu khaeran katsir... Ooh,. Ternyata masih dan masih banyak yang kurang peduli dan mengerti dalam hal Tabarri..?! Pantas saja penyakit sosial bertambah hari bukannya berkurang malah bertambah ‘gila’... 

Ya Rasullah..! Ya Amiril mukminin..! Tolong dan bantulah kami untuk bisa bersikap dan ber akhlak sebagaimana yang kau ajarkan... Ya Rabbiy karuniai hamba ilmu yang bermanfaat.. Ilahi amin.. 


27 Mei 2012 pukul 22:59 · Suka



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 18 Agustus 2018

Lensa (Bgn 3) : Ilmu Akhlak



Oleh : Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 18:50


Akal selalu sejalan dengan hukum Tuhan (fikih). 

Tetapi akal disini adalah yang argumentatif gamblang, bukan yang samar. 

Nah, semua kebaikan (akaliah & fikhiyyah itu) itulah yang dikatakan akhlak yang baik. Sudah tentu masih banyak lagi yang dikategorikan akhlak namun mengapa fiqh sulit diterjemahkan dalam akal, kalau memang dikatakan fiqh itu sejalan dengan akal. 

Contoh : “Mengapa sholat subuh mesti dua rokaat..?” (apakah ini perintah dari Tuhan “dipaksa” harus dua rokaat atau akal bisa menjelaskannya). 

Akal adalah Argumentatif gamblang sebagaimana sudah diterangkan sebelumnya. 

Nah, argumen gamblang ini memerlukan pada premis-premis argumentnya yang juga gamblang. 

Dengan itu, ketika akal tidak memiliki premis-premis itu, mana mungkin ia bisa mengetahui sesuatu yang dimaksud? 

Akal tidak akan mampu memecahkan banyak rahasia fiqih. Sebabnya hanya satu, yaitu tidak memiliki premis-premis untuk dijadikan dalil. Misalnya ada di waktu subuh itu? Apa shalat itu? Apa rokaat-rakaat itu dan seterusnya. 

Maksudnya: Misalnya ada apa di waktu subuh itu? 

Dalam kehidupan ini banyak yang tidak diketahui akal karena tidak memiliki premis-premis atau mukaddimah-mukaddimah dalilnya. Atau tidak memiliki data untuk dijadikan dalil. Jadi, bukan fikihnya tidak masuk akal, tetapi akalnya belum mengerti rahasia fikihnya. 

Seperti dokter yang membelah dada orang yang dioprasinya. Pekerjaan itu sangat tidak masuk akal bagi orang bodoh yang mungkin akan segera menyerang si dokoter dengan parang. 

Jadi, yang dimaksud akal oleh agama dan para Nabi serta imam kebanyakan adalah bermaksud yang memiliki kelengkapan data dan tidak memiliki halangan seperti gila atau cinta dunia dan seterusnya. 

Itu makna akal pertama. Ada lagi akal ke dua, yakni adanya data-data lain yang menghasilkan kesimpulan lain. Misalanya, Allah Maha Tahu dan Bijak, Allah menurunkan Syariat, Allah meme- rintahkan Shalat yang diriwayatkan secara lebih mutawatir yang tidak mungkin salah, dengan demikian akal akan menyimpulkan bahwa subuh dua rokaat dan seterusnya itu sudah pada tempatnya yang kalau dirubah akan menyimpang dari kebaikan. 

Kalau kita perhatikan Qur'an, dan riwayat-riwayat, sering Allah dan Nabi saww mengatakan apakah kalian tidak menggunakan akal? Akal di sini bisa memiliki dua makna tersebut. Tentu saja masih banyak lagi maksud akal dalam syariat sesuai dengan konsteknya. 

Jadi, tugas akal adalah mengerti rahasia agama dan akhlak, tetapi kalau tidak bisa maka ia bertugas mencari kebenaran ajarannya bahwa memang dari Tuhan, lalu pasrah di hadapan Tuhannya. 

Banyak orang Indonesia yang berjubel dengan agama-agama lain seperti Hindu, telah mengambil konsep energi Yoga mereka. Hingga menafsirkan bahwa di subuh memiliki banyak energi matahari yang cukup diambil seukuran dua rokaat dan semacamnya. 

Hal ini tidak diajarkan dalam agama tidak bisa diakalkan karena 2 hal: 

1. Akal tidak memiliki data-datanya yang gamblang; 

2. Syariat tidak hanya bernafaskan badani dan materi, tetapi terlebih memiliki dimensi ruhani atau ukhrowi. 

Jadi shalat itu tekanannya di ruhaniah filosofis/hakikinya, bukan filosofis badaniahnya, sekalipun tentu memiki hikmah-hikmah badani. Oleh karena itulah maka untuk fikih ini disediakan akal ke dua, yakni dibukanya pintu ijtihad untuk menguatkan kebenaran datangnya, bahwa ianya datang dari agama, hingga orang yang awam tentang agama harus bertaqlid pada para mujtahid. 

Di sini akal pertama banyak tidak berfungsi. Yakni untuk mengerti folosofis badani dan ruhani dari fikih. Justru karena itulah maka para filosof dan orang-orang berkal mengatakan bahwa perlu Nabi dan rasul untuk mengarahkan manusia atau akal manusia untuk menata seluruh kehidupannya yang mengandungi dimensi dunia-akhirat. 

Jadi, kalau ada orang yang mengadu domba antara filosof dan para Nabi, dengan mengatakan bahwa para foosof itu tidak perlu Nabi, sebenarnya, dibuat oleh orang-orang yang anti filsafat. 

Karena dalam filsafat sangat jelas bahwa akal kita yang tidak memiliki data-data apapun kecuali sangat sedikit ini, harus dibimbing wahyu untuk hidup dengan baik secara dunia-akhirat. 

Tidak ada akal orang-orang berakal atau filosof yang tidak tunduk tawadhu dihadapan agama. 

Maka itu yang di tanah air kita, yang tidak mengatakan filosof kecuali pada seseorang yang sudah hidup ala orang gila dan stres atau menigggalkan agama, sudah penyimpangan dari akal dan filsafat itu sendiri. Tentu mungkin saja mereka dikategorikan filosof tetapi di filsafat materi. 

Filsafat materi ini hanyalah alat penunjang bagi teknologi materialis, bukan filsafat yang membhas setiap hal sesuai dengan keadaan sebenarnya walau tidak memiliki dalil atau data materi. Seperti shalat tadi, kalau di filsafat materi hanya memperlajari gerak gerik, waktu dan semacamnya dari yang berhubungan dengan materi, mereka menolak apapun hakikat yang tidak bisa dilacak dengan materinya. 

Nah, banyak orang-orang muslim, terutama wahhabi yang terjerumus pada filsafat materialis ini. Padahal, kalau kita lihat dengan kacamata tadi, bahwa shalat diriwayatkan secara lebih dari mutawatir, yang membuktikan bahwa shalat dari Tuhan; Tuhan Maha Bijak: Tujuan syariat bukan hanya lahir/dunia saja dan seterusnya, dapat disimpulkan bahwa dalam shalat ada dimensi- dimensi ruhani/ukhrowi yang pasti baik untuk manusia di ruhaniahnya dan di akhiratnya, tentu di samping hikmah-himah dunia/badani yang dapat dijangkau dari hikmah-hikmah gerakannya seperti yang diterangkan oleh para dokter atau ahli kesehatan. 

Semua ini adalah kata-kata akal, bukan agama. Yakni yang mengatakan bahwa akal tidak banyak tahu, bahwa akal perlu agama, bahwa agama harus dibawa orang maksum, bahwa agama terakhir harus dijaga maksum sampai kiamat dan seterusnya, semua ini bukan doktrin agama.

Tentu saja agama juga mengatakannya. Tetapi bukan sebagai pendoktrin atau pengajar bagi akal, apalagi pemaksa, tapi sekedar mengingatkan akal saja. oleh karena itu dalam agama dikenal hal yang menyangkut ajaran-hukum (tasyri’i) ada lagi yang bersifat mengarahkan saja (irsyadi).

Kita ambil contoh puasa.

Apa sih rahasia puasa itu? Ada yang bilang supaya merasakan laparnya orang miskin, terus untuk apa? Dibilang supaya kita tidak sombong, bisa toleransi dan membantu mereka.

Nah sekarang kalau kita sudah tidak sombong, lalu toleran serta membantu, apa sudah tidak wajib puasa, karena sudah sampai ke tujuan puasa, tentu saja tidak. Begitu pula dengan tujuan- tujuan takwa, mengingat lapar di akhirat dan lain-lain. Yakni kita tetap puasa sekalipun sudah mencapai tujuan-tujuan itu.

Mengapa kita tetap puasa sekalipun tak paham rahasia puasanya?

Karena kita terima penuh Kebijakan Tuhan setelah yakin bahwa Ia yang perintahkan puasa itu. Inilah akal ke dua yang dimaksudkan.

Sekian. Terima kasih. Al-fatihah -sholawat.

Haladap Saw menyukai ini


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ