https://www.facebook.com/notes/sang-pencinta/tentang-olok-mengolok-di-media- sosial/790003391049569
Sang Pencinta: Salam, titipan lagi ustadz.
Saat ini via fb ini pengaku dirinya Syi’ah banyak sekali tanpa bisa dibendung, tapi disayangkan Syi’ah yang ada kok jadi begini ya ? Saling bales status dengan cara mereka saling menjatuhkan. Kalau adu argumen sudah biasa, tapi ini malahan saling memperolok olok dan sebagainya. Ana pribadi sedih dan malu dengan keadaan ini, susah juga jadi Syi’ah militan idealis padahal keinginan hanya 1 menjadi Syi’ah Ali as yang sesuai dengan aturanNya. Dengan kesedihan dan rasa malu ana minta ustadz mmberikan petunjuk, apakah pengikut Syi’ah Ali as yang saling mmperolok orang-orang yang mengeritik sesuatu yang dianggap salah fatal? Atau pengikut Syi’ah Ali as yang mmbenarkan ketidakbaikan dalam menajalankan aturan Tuhan dianggap bener? Atau pengikut Syi’ah yang hanya berpangku tangan diam membisu hanya memantau keadaan tanpa berbuat apa-apa? Mohon ustadz Sinar Agama memberikan petunjuk. Afwan.
Zainab Naynawaa: Afwan nyimak.
Agus Susmoro: .
Meyo Yogurt: Salam ijin nyimak sekaligus beropini. Menurut saya dalam bidang-bidang yang amat mengandalkan rasionalitas, seperti dalam dunia ilmu pengetahuan dan juga agama khususnya madzhab Syi’ah yang rasional , sangat wajar terjadi perdebatan sengit hingga saling menjatuhkan. Seperti perdebatan antara sir huxley vs pendeta wiburforce yang menyebabkan seorang wanita pingsan, boltzman dan para fisikawan di jamannya yang menyebabkan dia bunuh diri dan lain-lain. Karena itu tidak usah terlalu dipermasalahkan dan biarlah masing-masing mendapat manfaat dari hal tersebut. Sambil menunggu jawaban ustadz.
Putra Rafidah: Salam.
Ahmad Yunus Prasetyo: Salam ijin nyimak.
Akuy Junior: Hese jeung anu baroga kepentingan mah,,, jadi lain ilmu nu di polemikeun teh tapi pengikut, saha nu loba pengikut na eta nu paling bener di banding jeung nu sakola taunan di qom....
Zainab Naynawaa: Sumuhun kitu Akuy@
Razai Razak: Salam.
Yudhas Kopula: Salam.
Dhan Pakaya: Salam...
Fizzie Al Hurr: Salam.
Sasando Zet A: Afwan brow...Persepsi itu terbentuk dari ilmu-ilmu yang masuk ke dalam pemikiran seseorang. Ilmu-ilmu itu akan membentuk warnakarakter tiap orang.. nah karena lahir, tumbuh, besar, berkembang, bergaul, didikan dan sebagainya, yang beda-beda,, maka pasti karakter yang terbentuk juga beda... Karena beda maka persepsi tiap orang tentang masalah yang sama sekalipun pasti ada bedanya.. Beda dikit-dikit sampai pada beda banyak bahkan bertolak belakang...Yah,,kalau sanggup hadapi, biarkan saja berjalan seperti itu. Kalau terasa ribet ya tinggalkan... Tapi kalau mau belajar dikit- dikitsabar,, ya senyum-senyum saja ngadapi nya.. ,hmmmm Itulah dinamika.... Pertanggungjawabannya sendiri-sendiri nanti... Asal niat dan cara kita sudah benarsebatas yang kita mampu.. Maka Bismillaah... Jalan, aja brow.. Saling doakan biar tambah kuat jalani hidup ini.... Hmmmmm.
Fitri Ar: Ikut nyimak.
Yuyun Karawang: Salam. Mau ikut juga.
Nur Fajarial: Salam semuanya, ijin menyimak...
Nazriel Adam Ygselalucyangkkakninna: Bagian tersulit bukanlah menjdikan orang itu Syi’ah tapi paling sulit mensyi’ah kan orang Syi’ah.
Irawati Vera: Salam.
Bobsha Ikhsan: Yang paling sulit men-Syi’ahkan diri sendiri.
Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:
1- Pengaku Syi’ah di media umum ini, tidak mesti orang Syi’ah, bisa saja wahabi yang berkedok Syi’ah. Saya sempat mengunjungi satu orang diantaranya yang bisa dikatagorikan pencela imam Makshum as secara lahiriahnya.
Putra Rafidah: Salam.
Ahmad Yunus Prasetyo: Salam ijin nyimak.
Akuy Junior: Hese jeung anu baroga kepentingan mah,,, jadi lain ilmu nu di polemikeun teh tapi pengikut, saha nu loba pengikut na eta nu paling bener di banding jeung nu sakola taunan di qom....
Zainab Naynawaa: Sumuhun kitu Akuy@
Razai Razak: Salam.
Yudhas Kopula: Salam.
Dhan Pakaya: Salam...
Fizzie Al Hurr: Salam.
Sasando Zet A: Afwan brow...Persepsi itu terbentuk dari ilmu-ilmu yang masuk ke dalam pemikiran seseorang. Ilmu-ilmu itu akan membentuk warnakarakter tiap orang.. nah karena lahir, tumbuh, besar, berkembang, bergaul, didikan dan sebagainya, yang beda-beda,, maka pasti karakter yang terbentuk juga beda... Karena beda maka persepsi tiap orang tentang masalah yang sama sekalipun pasti ada bedanya.. Beda dikit-dikit sampai pada beda banyak bahkan bertolak belakang...Yah,,kalau sanggup hadapi, biarkan saja berjalan seperti itu. Kalau terasa ribet ya tinggalkan... Tapi kalau mau belajar dikit- dikitsabar,, ya senyum-senyum saja ngadapi nya.. ,hmmmm Itulah dinamika.... Pertanggungjawabannya sendiri-sendiri nanti... Asal niat dan cara kita sudah benarsebatas yang kita mampu.. Maka Bismillaah... Jalan, aja brow.. Saling doakan biar tambah kuat jalani hidup ini.... Hmmmmm.
Fitri Ar: Ikut nyimak.
Yuyun Karawang: Salam. Mau ikut juga.
Nur Fajarial: Salam semuanya, ijin menyimak...
Nazriel Adam Ygselalucyangkkakninna: Bagian tersulit bukanlah menjdikan orang itu Syi’ah tapi paling sulit mensyi’ah kan orang Syi’ah.
Irawati Vera: Salam.
Bobsha Ikhsan: Yang paling sulit men-Syi’ahkan diri sendiri.
Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:
1- Pengaku Syi’ah di media umum ini, tidak mesti orang Syi’ah, bisa saja wahabi yang berkedok Syi’ah. Saya sempat mengunjungi satu orang diantaranya yang bisa dikatagorikan pencela imam Makshum as secara lahiriahnya.
2- Jangankan di medsos, di lapangan juga demikian.
3- Di medsos ini, ada yang pakai nama samaran seperti saya dan ada yang memakai nama betulan. Akan tetapi, yang betulan itu, juga belum tentu nama dia yang di KTP.
4- Apapun itu, menjadi Syi’ah, bukan ditentukan pengakuan dan nama KTP atau tidaknya, melainkan dari kebenaran ilmu dan perbuatannya.
5- Siapa yang benar dan taqwa, maka dialah yang Syi’ah. Dan yang selainnya, yakni yang salah dan tidak taqwa, kalaulah tidak mau dikatakanMuhibbiin seperti yang disabdakan Nabi saww seperti yang sudah saya nukil haditsnya beberapa hari yang lalu, dan tetap mau dikatakan Syi’ah, maka bukan Syi’ah yang hakiki. Karena itulah, sering saya katakan mari kita sama- sama berusaha untuk mencapai Syi’ah yang hakiki ini. Karena kita tidak punya dalil apapun terhadap kehakikian kesyi’ahan kita ini. Semua hanya dakwaan diri kita saja. Di hadapan Allah, Nabi saww dan imam-imam Makshum as, belum tentu diakui sebagai Syi’ah. Semoga saya dan antum semua, bisa menjadi Syi’ah yang hakiki ini.
6- Olok mengolok, tidak boleh. Dan kalau boleh tetap harus ada batasnya supaya sekalipun mungkin tidak dianjurkan, tidak masuk ke dalam yang diharamkan.
Mengolok itu, tidak dilarang agama asal tepat dan karena Allah. Karena olok itu, kadang merupakan cambuk bagi yang diolok. Tapi tetap harus memiliki batasan yang ketat.
Misalnya, orang yang layak diolok adalah kalau dia tidak mau mengajukan argumentasi dan hanya main tolak atau dukung saja dalammembantah orang lain. Kalau diperingati satu dua kali tidak mau, maka ia layak diolok. Akan tetapi, olokannya juga tidak boleh terlalu besar dan tidak boleh keluar dari bahasan. Misalnya, kalau kamu diskusinya seperti itu, maka itu namana mau benar sendiri. Atau lebih kerasnya, maka diskusi dengan kamu ini, seperti berdiskusi dengan anak-anak. Dan semacamnya.
Saya selama ini, berusaha untuk tidak mengolok kecuali sangat halus atau lumayan nampak terasa, tapi bagi yang keterlaluan. Saya masih ingat orangnya, seperti yang bernama Nur, sering saya hozak atau sedikit gojlok dia, seperti “nggak pintar-pintar”. Atau ada Hasan yang orang Pamekasan Madura itu. Tapi, sepertinya, saya masih menjaga untuk tidak menaikkannnya.
7- Menjadi Syi’ah, tidak cukup dengan keinginan terucap dan tertulis. Mana ada mau jadi Syi’ah tapi tidak mau teliti dalam ilmu. Mana ada mau jadi Syi’ah, tapi tidak taqwa dan berlidah kasar.
Jadi, kalau ada orang mengaku bahwa dia adalah Syi’ah atau ingin menjadi Syi’ah, maka pengakuannya itu, mesti diamalkan dalam setiap kehidupannya.
Satu lagi, mana ada mau menjadi Syi’ah, tapi sok tahu. Melarang ini dan itu, menyuruh ini dan itu, sementara dia bukan marja’. Belajar agama saja kagak/nggak.
Mana ada orang mau jadi Syi’ah, sementara ia memasukkan selera suka tidak sukanya pada agama dan umat Islam, hingga berkata inimaslahat dan itu tidak maslahat. Yakni yang sesuai dengan dirinya adalah maslahat, tapi kalau tidak sesuai, maka tidak maslahat.
Mana ada orang mau jadi Syi’ah dan mengatasnamakan Syi’ah, akan tetapi menampik taqlid pada marja’, baik keseluruhan atau dimensi politisnya.
Mana ada orang mau jadi Syi’ah, tapi group-groupan dalam melihat masalah keilmuan hingga membenarkan kalau satu group dan menyalahkan kalau tidak satu group.
Kita semua bisa salah dan itu wajar. Karena itu, kita mesti mengamalkan perintah imam Ali as yang bersabda (nukilan makna):
“Belalah saudaramu itu, baik dia dalam keadaan benar atau salah. Kalau benar, maka dukunglah dan kalau salah, maka nasihatilah!”
Lah, mana ada mau jadi Syi’ah, kalau hanya mau dan mitan didukung? Mana ada ....mana ada.....dan mana ada .................dan seterusnya.
8- Kalau ingin menjadi Syi’ah, harus ikut marja’ dalam segala hal. Yang menjadi penyakit kita, adalah mengira bahwa ikut marja’ itu hanya dalam bab shalat, puasa dan semacacmnya. Padahal, marja’ sudah merinci, bagaimana KEWAJIBAN DAN LARANGAN, dalam berdakwah, Apa itu sesat, apa itu lurus. Bagaiman cara menanggapi masalah pribadi, dan bagaimana yang sosial.
Contoh kecil seperti SMS ini. Kan lucu kalau ada yang mengatakan harus diskusi di forum tertutup dan tidak boleh di medsos. Lah, wong bukunya sudah di sosial kok. Lagi pula, klarifikasi itu, kan kalau tidak jelas dan belum ada bukti. Lah, wong sudah ditulis kok masih mau klarifikasi lagi? Pembaca tidak wajib klarifikasi walau pahamannya tidak mesti benar.
Coba perhatikan ilustrasi berikut ini, tanpa memaksudkan penulis SMS:
3- Di medsos ini, ada yang pakai nama samaran seperti saya dan ada yang memakai nama betulan. Akan tetapi, yang betulan itu, juga belum tentu nama dia yang di KTP.
4- Apapun itu, menjadi Syi’ah, bukan ditentukan pengakuan dan nama KTP atau tidaknya, melainkan dari kebenaran ilmu dan perbuatannya.
5- Siapa yang benar dan taqwa, maka dialah yang Syi’ah. Dan yang selainnya, yakni yang salah dan tidak taqwa, kalaulah tidak mau dikatakanMuhibbiin seperti yang disabdakan Nabi saww seperti yang sudah saya nukil haditsnya beberapa hari yang lalu, dan tetap mau dikatakan Syi’ah, maka bukan Syi’ah yang hakiki. Karena itulah, sering saya katakan mari kita sama- sama berusaha untuk mencapai Syi’ah yang hakiki ini. Karena kita tidak punya dalil apapun terhadap kehakikian kesyi’ahan kita ini. Semua hanya dakwaan diri kita saja. Di hadapan Allah, Nabi saww dan imam-imam Makshum as, belum tentu diakui sebagai Syi’ah. Semoga saya dan antum semua, bisa menjadi Syi’ah yang hakiki ini.
6- Olok mengolok, tidak boleh. Dan kalau boleh tetap harus ada batasnya supaya sekalipun mungkin tidak dianjurkan, tidak masuk ke dalam yang diharamkan.
Mengolok itu, tidak dilarang agama asal tepat dan karena Allah. Karena olok itu, kadang merupakan cambuk bagi yang diolok. Tapi tetap harus memiliki batasan yang ketat.
Misalnya, orang yang layak diolok adalah kalau dia tidak mau mengajukan argumentasi dan hanya main tolak atau dukung saja dalammembantah orang lain. Kalau diperingati satu dua kali tidak mau, maka ia layak diolok. Akan tetapi, olokannya juga tidak boleh terlalu besar dan tidak boleh keluar dari bahasan. Misalnya, kalau kamu diskusinya seperti itu, maka itu namana mau benar sendiri. Atau lebih kerasnya, maka diskusi dengan kamu ini, seperti berdiskusi dengan anak-anak. Dan semacamnya.
Saya selama ini, berusaha untuk tidak mengolok kecuali sangat halus atau lumayan nampak terasa, tapi bagi yang keterlaluan. Saya masih ingat orangnya, seperti yang bernama Nur, sering saya hozak atau sedikit gojlok dia, seperti “nggak pintar-pintar”. Atau ada Hasan yang orang Pamekasan Madura itu. Tapi, sepertinya, saya masih menjaga untuk tidak menaikkannnya.
7- Menjadi Syi’ah, tidak cukup dengan keinginan terucap dan tertulis. Mana ada mau jadi Syi’ah tapi tidak mau teliti dalam ilmu. Mana ada mau jadi Syi’ah, tapi tidak taqwa dan berlidah kasar.
Jadi, kalau ada orang mengaku bahwa dia adalah Syi’ah atau ingin menjadi Syi’ah, maka pengakuannya itu, mesti diamalkan dalam setiap kehidupannya.
Satu lagi, mana ada mau menjadi Syi’ah, tapi sok tahu. Melarang ini dan itu, menyuruh ini dan itu, sementara dia bukan marja’. Belajar agama saja kagak/nggak.
Mana ada orang mau jadi Syi’ah, sementara ia memasukkan selera suka tidak sukanya pada agama dan umat Islam, hingga berkata inimaslahat dan itu tidak maslahat. Yakni yang sesuai dengan dirinya adalah maslahat, tapi kalau tidak sesuai, maka tidak maslahat.
Mana ada orang mau jadi Syi’ah dan mengatasnamakan Syi’ah, akan tetapi menampik taqlid pada marja’, baik keseluruhan atau dimensi politisnya.
Mana ada orang mau jadi Syi’ah, tapi group-groupan dalam melihat masalah keilmuan hingga membenarkan kalau satu group dan menyalahkan kalau tidak satu group.
Kita semua bisa salah dan itu wajar. Karena itu, kita mesti mengamalkan perintah imam Ali as yang bersabda (nukilan makna):
“Belalah saudaramu itu, baik dia dalam keadaan benar atau salah. Kalau benar, maka dukunglah dan kalau salah, maka nasihatilah!”
Lah, mana ada mau jadi Syi’ah, kalau hanya mau dan mitan didukung? Mana ada ....mana ada.....dan mana ada .................dan seterusnya.
8- Kalau ingin menjadi Syi’ah, harus ikut marja’ dalam segala hal. Yang menjadi penyakit kita, adalah mengira bahwa ikut marja’ itu hanya dalam bab shalat, puasa dan semacacmnya. Padahal, marja’ sudah merinci, bagaimana KEWAJIBAN DAN LARANGAN, dalam berdakwah, Apa itu sesat, apa itu lurus. Bagaiman cara menanggapi masalah pribadi, dan bagaimana yang sosial.
Contoh kecil seperti SMS ini. Kan lucu kalau ada yang mengatakan harus diskusi di forum tertutup dan tidak boleh di medsos. Lah, wong bukunya sudah di sosial kok. Lagi pula, klarifikasi itu, kan kalau tidak jelas dan belum ada bukti. Lah, wong sudah ditulis kok masih mau klarifikasi lagi? Pembaca tidak wajib klarifikasi walau pahamannya tidak mesti benar.
Coba perhatikan ilustrasi berikut ini, tanpa memaksudkan penulis SMS:
Penulis:
“Saya sudah menulis buku dan sudah saya sebarkan di masyarakat, baik dengan dijual atau hadiah.”
Pembaca:
“Apakah Anda menulis buku itu, untuk dipajang atau dibaca dan dipahami?”
Penulis:
“Jelas untuk dibaca dan dipahami.”
Pembaca:
“Apakah Anda menulis buku itu dengan bahasa yang bagus hingga jelas bagi pembaca?”
Penulis:
“Benar, sudah tentu dengan bahasa yang jelas. Mana ada menulis buku dengan bahasa yang tidak jelas.”
Pembaca:
“Kalau begitu, maka siapapun akan paham secara umumnya dan tidak perlu klarifikasi lagi tentunya?”
Penulis:
“Sudah tentu. Mana ada penulisan buku masih diklarifikasi lagi. Karena sudah ditulis dengan jelas, sudah diedit sebelum terbit dan bahkan sudah disebarkan kepada beberapa koliga untuk melihatnya.”
Catatan Ilustrasi terdahulu: Dari islustrasi ini, jelas bahwa memahami buku itu, sesuai dengan pembaca dan sudah tidak logis mengadakan klarifikasi. Yang ada adalah memahami dengan benar atau salah. Itu saja. Karena itu, kalau mendiskusikan suatu buku, maka boleh-boleh saja danadu argumentasi sesuai dengan bahasa dan bahasan yang dimuat di buku tersebut.
Lanjutan Ilustrasi: Pembaca:
“Apakah Anda memaksudkan tanpa perlu klarifikasi itu, hanya pada pendukung saja, atau yang tidak mendukung isi tulisan Anda?”
Penulis:
“Sudah tentu, bagi keduanya. Mana ada keberpihakan hingga memestikan klafirikasi pada yang berbeda pendapat? Kalau tidak mau dikritik di media atau dimana saja, maka tidak selayaknya saya menulis suatu buku.”
Pembaca:
“Apakah buku yang sudah menyebar di sosial itu, harus dibahas secara tertutup supaya kalau ada kesalahan, Anda tidak menjadi tercemar?”
Penulis:
“Kalau saya tidak mau tercemar, maka mengapa saya menuliskannya. Kan tidak logis kalau seseorang menulis yang membuat dirinya tercemar, akan tetapi tidak mau tercemar. Tentu saja harus dengan pembuktian, bukan dengan dakwaan saja.”
Pembaca:
“Apakah kalau mengkritiki buku Anda, lalu Anda memaknai orang itu benci pada Anda. Atau kalau tulisan Anda dikatakan sudah mendekati kekufuran, apakah Anda memaknai bahwa Anda yang dikafirkan?”
Penulis:
“Tentang niat seseorang, itu rahasia masing-masing. Akan tetapi, membahas karya saya, apa hubungannya dengan suka bencinya kepada saya? Kalau tulisan saya memuat kekufuran atau setidaknya dianggap oleh orang sebagai suatu kekurufan atau mendekatinya, maka sudah tentu hal itu berkenaan dengan tulisan saya saja. Apa hubungannya dengan saya, wong kafir dan iman itu ada di dada. Karena semua orangtahu bahwa iman dan kafir itu ada di dada, maka apapun bahasa tentang ke duanya di sebuah buku atau medsos, otomatis terbatasi dengansebuah tulisan saja. Emangnya kalau seorang itu bertauhid, lalu ucapannya dan tulisannya, sudah pasti sesuai dengan tauhid? Betapa banyaknya orang bertauhid tapi syirik, seperti melakukan dosa, mengumpat, makan korupsi, zina, tidak shalat...dan seterusnya. Bukankah pada hakikatnya yang bermaksiat itu syirik dan menyukutukan Tuhan dalam perintahNya walaupun yang bermaksiat itu mentauhidkannya dalam Dzat dan Sifat- sifatNya?
Pembaca: “Syukran, semoga Anda selalu dalam hidayah, rahmat dan ridhaNya, amin.”
Catatan Ilustrasi: Karena saya sudah berkali-kali menerangkan hakikat ilustrasi di atas itu, akan tetapi tetap saja tidak mau dimengerti, maka saya tulis dalam bentuk di atas itu. Barangkali lebih mudah dimengerti bagi teman-teman yang agak sulit menerima perbedaan, agak sulit meredam perasaan, agak sulit meredam cela, agak sulit memahami bahwa urusan ilmu itu tidak ada hubungannya dengan orang dan apalagi perpecahan umat....dan seterusnya. Wassalam.
Tambahan: Seingatku, saya sudah pernah mengatakan wejangan guru arifku dan para ulama yang lain, yang menyuruh taqwa dan berdoasupaya kalau imam Mahdi as keluar, bisa dapat mengenali beliau as dan membantu beliau as.
Sungguh, saya tercengang ketika mendengar itu. Karena bagi saya, sekitar 30 th lalu itu, bahwa kalau kita sudah beriman pada imam 12 dan imam Mahdi as, maka akan mudah mengenal beliau as.
Tapi kata guru, nanti akan timbul fitnah yang bisa menyulitkan pilihan sikap.
Ingat dengan semua itu, lalu melihat yang kita hadapi sekarang, seperti dalam masalah buku SMS ini, sudah jelas mengatakan bahwa taqlid marja’ itu tidap wajib, dan menaati wali faqih dalam politik itu juga demikian, apalagi imamah yang sudah dihabisi tidak tersisa sama sekali itu,olok-olok pada ulama sepanjang sejarahnya....dan seterusnya..., masih juga ada dualisme pandangan tentang isinya, dan banyak-isme dalam bersikap pada buku tersebut.
Wallaahi, apa yang dikatakan guruku itu, tampak banget dalam peristiwa kita sekarang ini. Yang kita kira mudah, tidak mudah. Yang kita kira jelas, super rumit.
Apapun itu, saya hanya bisa mengajurkan ketelitian dan taqwa. Itu saja.
Zainab Naynawaa: Subhanaallah,,,
Sinar Agama: TAMBAHAN SANGAT PENTING TENTANG OLOK MENGOLOK:
Karena takut salah dan salah dipahami, maka perlu penambahan berikut ini, yaitu:
Secara global, olok mengolok itu, dalam fatwa-fatwa ulama, termasuk dosa besar. Dan diolok orang, tidak bisa dijadikan penghalal olokan balasannya. Ini yang umum difatwakan ulama. Yakni dosa besar.
Dan taubatnya, di samping harus berhenti dan menyesali, juga harus meminta keridhaan yang dicela.
Ilustrasi: Saya ingat sebuah hadits yang kurang lebihnya mengatakan bahwa menyakiti hati seorang mukmin, dosanya lebih besar dari menghancurkan ka’bah.
Jadi, maksud saya boleh mengolok di sebelum tulisan ini, yakni di jawaban sebelumnya, adalah semacam olokan yang mendidik dan tidak menjatuhkan harga diri seseorang dan tidak menyakiti hatinya tanpa hak.
Mandala Langit: Salam Ya Sang Pencinta dan Sinar Agama
Sinar Agama: Mandala, alaikum salam.
Bima Wisambudi: Semoga kami bisa mengambil pelajaran dari ini semua, dari ulasan ustadz, dari responsifnya pihak lain, dan dari kerenggangan yang ada. Salam ustadz.
Sang Pencinta: Mandala, salam.
Sridi Yanti: Siip...ustadz SA.
Juliant Very: Menurut saya petuah-petuah ustadz SA ibarat obat pencahar yang sangat mudah diterima & berguna sepanjang seseorang itu jujur & ikhlas hanya untuk mencari kebenaran dengan memaksimalkan potensi akal, tapi bagi orang yang keberagamaannya itu modus,, ada kepentingan/ pamrih duniawi yaa bisa dipastikan masuk angin & kejet-kejet badannya.
Daris Asgar: Allohuma Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad Wa ‘Ajjil Farojahum.
Bersambung, .....
=====================
“Saya sudah menulis buku dan sudah saya sebarkan di masyarakat, baik dengan dijual atau hadiah.”
Pembaca:
“Apakah Anda menulis buku itu, untuk dipajang atau dibaca dan dipahami?”
Penulis:
“Jelas untuk dibaca dan dipahami.”
Pembaca:
“Apakah Anda menulis buku itu dengan bahasa yang bagus hingga jelas bagi pembaca?”
Penulis:
“Benar, sudah tentu dengan bahasa yang jelas. Mana ada menulis buku dengan bahasa yang tidak jelas.”
Pembaca:
“Kalau begitu, maka siapapun akan paham secara umumnya dan tidak perlu klarifikasi lagi tentunya?”
Penulis:
“Sudah tentu. Mana ada penulisan buku masih diklarifikasi lagi. Karena sudah ditulis dengan jelas, sudah diedit sebelum terbit dan bahkan sudah disebarkan kepada beberapa koliga untuk melihatnya.”
Catatan Ilustrasi terdahulu: Dari islustrasi ini, jelas bahwa memahami buku itu, sesuai dengan pembaca dan sudah tidak logis mengadakan klarifikasi. Yang ada adalah memahami dengan benar atau salah. Itu saja. Karena itu, kalau mendiskusikan suatu buku, maka boleh-boleh saja danadu argumentasi sesuai dengan bahasa dan bahasan yang dimuat di buku tersebut.
Lanjutan Ilustrasi: Pembaca:
“Apakah Anda memaksudkan tanpa perlu klarifikasi itu, hanya pada pendukung saja, atau yang tidak mendukung isi tulisan Anda?”
Penulis:
“Sudah tentu, bagi keduanya. Mana ada keberpihakan hingga memestikan klafirikasi pada yang berbeda pendapat? Kalau tidak mau dikritik di media atau dimana saja, maka tidak selayaknya saya menulis suatu buku.”
Pembaca:
“Apakah buku yang sudah menyebar di sosial itu, harus dibahas secara tertutup supaya kalau ada kesalahan, Anda tidak menjadi tercemar?”
Penulis:
“Kalau saya tidak mau tercemar, maka mengapa saya menuliskannya. Kan tidak logis kalau seseorang menulis yang membuat dirinya tercemar, akan tetapi tidak mau tercemar. Tentu saja harus dengan pembuktian, bukan dengan dakwaan saja.”
Pembaca:
“Apakah kalau mengkritiki buku Anda, lalu Anda memaknai orang itu benci pada Anda. Atau kalau tulisan Anda dikatakan sudah mendekati kekufuran, apakah Anda memaknai bahwa Anda yang dikafirkan?”
Penulis:
“Tentang niat seseorang, itu rahasia masing-masing. Akan tetapi, membahas karya saya, apa hubungannya dengan suka bencinya kepada saya? Kalau tulisan saya memuat kekufuran atau setidaknya dianggap oleh orang sebagai suatu kekurufan atau mendekatinya, maka sudah tentu hal itu berkenaan dengan tulisan saya saja. Apa hubungannya dengan saya, wong kafir dan iman itu ada di dada. Karena semua orangtahu bahwa iman dan kafir itu ada di dada, maka apapun bahasa tentang ke duanya di sebuah buku atau medsos, otomatis terbatasi dengansebuah tulisan saja. Emangnya kalau seorang itu bertauhid, lalu ucapannya dan tulisannya, sudah pasti sesuai dengan tauhid? Betapa banyaknya orang bertauhid tapi syirik, seperti melakukan dosa, mengumpat, makan korupsi, zina, tidak shalat...dan seterusnya. Bukankah pada hakikatnya yang bermaksiat itu syirik dan menyukutukan Tuhan dalam perintahNya walaupun yang bermaksiat itu mentauhidkannya dalam Dzat dan Sifat- sifatNya?
Pembaca: “Syukran, semoga Anda selalu dalam hidayah, rahmat dan ridhaNya, amin.”
Catatan Ilustrasi: Karena saya sudah berkali-kali menerangkan hakikat ilustrasi di atas itu, akan tetapi tetap saja tidak mau dimengerti, maka saya tulis dalam bentuk di atas itu. Barangkali lebih mudah dimengerti bagi teman-teman yang agak sulit menerima perbedaan, agak sulit meredam perasaan, agak sulit meredam cela, agak sulit memahami bahwa urusan ilmu itu tidak ada hubungannya dengan orang dan apalagi perpecahan umat....dan seterusnya. Wassalam.
Tambahan: Seingatku, saya sudah pernah mengatakan wejangan guru arifku dan para ulama yang lain, yang menyuruh taqwa dan berdoasupaya kalau imam Mahdi as keluar, bisa dapat mengenali beliau as dan membantu beliau as.
Sungguh, saya tercengang ketika mendengar itu. Karena bagi saya, sekitar 30 th lalu itu, bahwa kalau kita sudah beriman pada imam 12 dan imam Mahdi as, maka akan mudah mengenal beliau as.
Tapi kata guru, nanti akan timbul fitnah yang bisa menyulitkan pilihan sikap.
Ingat dengan semua itu, lalu melihat yang kita hadapi sekarang, seperti dalam masalah buku SMS ini, sudah jelas mengatakan bahwa taqlid marja’ itu tidap wajib, dan menaati wali faqih dalam politik itu juga demikian, apalagi imamah yang sudah dihabisi tidak tersisa sama sekali itu,olok-olok pada ulama sepanjang sejarahnya....dan seterusnya..., masih juga ada dualisme pandangan tentang isinya, dan banyak-isme dalam bersikap pada buku tersebut.
Wallaahi, apa yang dikatakan guruku itu, tampak banget dalam peristiwa kita sekarang ini. Yang kita kira mudah, tidak mudah. Yang kita kira jelas, super rumit.
Apapun itu, saya hanya bisa mengajurkan ketelitian dan taqwa. Itu saja.
Zainab Naynawaa: Subhanaallah,,,
Sinar Agama: TAMBAHAN SANGAT PENTING TENTANG OLOK MENGOLOK:
Karena takut salah dan salah dipahami, maka perlu penambahan berikut ini, yaitu:
Secara global, olok mengolok itu, dalam fatwa-fatwa ulama, termasuk dosa besar. Dan diolok orang, tidak bisa dijadikan penghalal olokan balasannya. Ini yang umum difatwakan ulama. Yakni dosa besar.
Dan taubatnya, di samping harus berhenti dan menyesali, juga harus meminta keridhaan yang dicela.
Ilustrasi: Saya ingat sebuah hadits yang kurang lebihnya mengatakan bahwa menyakiti hati seorang mukmin, dosanya lebih besar dari menghancurkan ka’bah.
Jadi, maksud saya boleh mengolok di sebelum tulisan ini, yakni di jawaban sebelumnya, adalah semacam olokan yang mendidik dan tidak menjatuhkan harga diri seseorang dan tidak menyakiti hatinya tanpa hak.
Mandala Langit: Salam Ya Sang Pencinta dan Sinar Agama
Sinar Agama: Mandala, alaikum salam.
Bima Wisambudi: Semoga kami bisa mengambil pelajaran dari ini semua, dari ulasan ustadz, dari responsifnya pihak lain, dan dari kerenggangan yang ada. Salam ustadz.
Sang Pencinta: Mandala, salam.
Sridi Yanti: Siip...ustadz SA.
Juliant Very: Menurut saya petuah-petuah ustadz SA ibarat obat pencahar yang sangat mudah diterima & berguna sepanjang seseorang itu jujur & ikhlas hanya untuk mencari kebenaran dengan memaksimalkan potensi akal, tapi bagi orang yang keberagamaannya itu modus,, ada kepentingan/ pamrih duniawi yaa bisa dipastikan masuk angin & kejet-kejet badannya.
Daris Asgar: Allohuma Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad Wa ‘Ajjil Farojahum.
Bersambung, .....
=====================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar