Jumat, 25 Oktober 2019

Perdebatan Buku SMS - Antara Tanggung Jawab dan Gradasi Keilmuan

2. Perdebatan Buku SMS - Antara Tanggung Jawab dan Gradasi Keilmuan

https://www.facebook.com/notes/sang-pencinta/perdebatan-buku-sms-antara-tanggung- jawab-dan-gradasi-keilmuan/790001671049741

Sang Pencinta: Salam, titipan lagi dari ikhwan sekaligus kado ultah buat ustadz katanya,

Perdebatan Buku SMS: Antara Tanggung Jawab dan Gradasi Keilmuan

Di sela-sela pro kontra buku SMS, sikap naïf nampaknya masih kerap bergentayangan, semisal menggunggat tentang identitas palsu dan menudingnya sebagai tidak gentle, pengecut dan sebagainya. Hingga gelar pun mereka usik, mengapa identitas palsu harus pake gelar Doktor segala?

Apakah mereka lupa atau pura-pura polos ? Padahal sejak media sosial yang bernama facebook merambah dengan kecepatan fantastis menyapa ke segenap pelosok jagad raya ini, para users (penggunanya) dari mulai Chicago di AS hingga Cicadas di Bandung atau pun dari Beijing di China hingga Bojong di Bogor, setidaknya sudah sepakat pada dua hal secara tidak tertulis : “Bahwa siapapun bebas menggunakan account palsu bahkan dengan multi account sekalipun. Dan juga bebas menyematkan identitas asli se asli-aslinya. Semua pilihan tergantung selera dan tujuan masing- masing.” Dan kesepakatan tidak tertulis kedua, yang tak kalah penting adalah:” siapapun bebas menuangkan opini, uneg-uneg, kegalauan, bahkan argumentasi ilmiah di wall-nya dengan kesiapan untuk dikomentari, dari taraf dipuja-puji hingga dicibir dan dilecehkan”..

Dan gelar Dr Ushul Fiqih yang disematkan oleh ustadz Sinar Agama, saya kira hanya bertujuan sebagai clue (petunjuk) akan kredibilitas ilmu yang beliau emban dan pertanggung-jawabkan pada audiens yang siap untuk bertanya apa saja, dari sejak fikih najis, konsultasi konflik keluarga, obrolan tentang obat penumbuh rambut, cara membuat sambal kemiri, hingga masalah filsafat wujud.

Bagi siapa saja yang meragukan pencapaian ilmu beliau, dengan menggunakan standar kurikulum Hauzah Qom, setidaknya kita bisa mendeteksinya daritulisan-tulisan tersirat ustadz Sinar Agama saat menjawab beberapa pertanyaan dari ikhwan; semisal..“ Kalau hanya ingin memahami filsafat Mulla Shadrara dan Irfan tiori, maka 30-35 tahun sudah bisa. Dan waktu tersebut bahkan bisa diperpendek bahkan sampai setengahnya. Dengan syarat, ia belajar dua kali dalam sehari dan terus menerus seperti itu. Saya sendiri, kalau hanya dilihat lahiriahnya (tanpa melihat apa yang saya pahami benar atau tidak) -dengan ijin Allah secara lahiriah pula- baru bisa dapat menyelesaikan filsafat Mulla Shadra ra dan Irfan yang dipelajari di hauzah tersebut, dalam waktubeberapa belas tahun. Tapi saya sungguh seperti dihujani kekuatan fisik dan psikologi yang luar biasa selama beberapa belas tahun itu. Karena sayadalam sehari, bisa belajar dari berbagai guru filsafat dan dalam pelajaran filsafatnya saja, hampir sepuluh (10) jam sehari. Yakni di tengah-tengah kesibukan pelajaran wajib hauzah yang memerlukan 7 jam sehari dalam 7 materi pelajaran. Nah, ditambah masak, cuci, ke pasar untuk belanja, ....dan seterusnya., maka otomatis tidurku tidak sampai 5 jam sehari. Syukur padaNya yang telah memberikan, setidkanya, taufik lahiriah ini. Semoga saja, batiniah dan hakikinya, juga diberikanNya pada si hina ini hingga juga dapat tersalurkan pada semua teman-teman yang mau.”(https://www.facebook.com/notes/teguh-bin-suhedi/penjelasan-ttg-pencapaian-derajat-irfan-filosof-dan-mujtahid-sekaligus-oleh- pela/10152577340733937)

Tanpa dilambari ujub dan sombong, beliau jelaskan bagaimana pergulatan menyauk ilmu dari para guru besar hauzah, terutama dalam perjuangannya menamatkan filsafat Mulla Shadra, dengan proses waktu yang intens, 10 jam sehari di tengahkesibukan pelajaran wajib hauzah yang memerlukan 7 jam sehari dalam 7 materi pelajaran. Sehingga dengan ikhtiar dan izin-NYa, beliau mampu menguasai filsafat Mulla Shadra , hanya dalam belasan tahun. Dari waktu normal yang diperlukan, yaitu 30-35 tahun. Perhatikan kata dari “berbagai guru filsafat”, Kalau kita tengok sejenak para guru besar filsafat Hauzah Qom masa kini yang kita kenal, setidaknya adalah ayatullah Jawadi Amuli hf, dan ayatollah Hasan Zaadeh Amuli hf dan almarhum ayatollah Taqi Bahjat al-Fumani ra. Ketiganya merupakan permata-permata dari asuhan Imam Khomeini ra dan ayatullah Thabathabai ra. Semestinya kita bersyukur memiliki pewaris ilmu rantai emas sejak Imam Khomeini ra ; ayatullah Thabathabai ra, ayatullah marja Taqi Bahjat Fumani ra hingga ayatullah Jawadi Amuli hf.. Mengapa kita tidak mengalap berkah dari beliau. Minimal bagi para sarjana filsafat atau bahkan untuk tingkat doctoral sekalipun, ustadz Sinar Agama-- saya kira-- bisa menjadi sparring partner mumpuni untuk diskusi yang lebih menukik perihal filsafat Mulla Shadra dan komparasi pendapat dari para guru besar tersebut..

Dengan prestasi tersebut, maka tidaklah kaget jika ustad Sinar Agama dengan santai berkomentar, bahwa: “..... tidak mudah mewarisi filsafat Mulla Shadra ra. Kalau orang-orang seperti ayatullah Mishbah Yazdi hf saja, kurang berhasil, maka apalagi orang lain.” (https://www.facebook.com/notes/ sang-pencinta/mengenal-ayt-jawadi-omuli-hf/573725662677344).

Dalam kesempatan lain, ketika Muhsin Labib, seorang Doktor filsafat Indonesia begitu greget dan terpesona oleh pemikiran ayatullah Syeikh Gholam Reza Fayyazi, sebagaimana yang beliau tulis di status facebook:

“Sebuah ledakan besar mengguncang dunia filsafat Hawzah Qom. Sebuah madzhab filsafat baru muncul di tengah dominasi berabad Sadraisme... Pencetusnya adalah filosof yang cukup muda, Ayatullah Syeikh Gholam Reza Fayyazi... Dia menolak prinsp-prinsip dasar eksistensialisme Mulla Sadra... (Sayang tema filsafat, yang mestinya menjadi OS pandangan dunia, ideologi, paradigma insan pemikir, tidak laku di sini...).”

Ustadz Sinar Agama membantahnya dengan biasa-biasa saja bahwa: \Salam:

(1). Sebenarnya tidak bisa dikatakan besar, karena sejak belasan tahun lalu syaikh Fayyadhi hf ini mengikrarkan padangannya, terlalu sedikit, kalautidak bisa dikatakan “tidak ada”,orang yang tertarik pada pandangannya.

(2). Pandangan baliau hf itu, bukan pandangan baru, karena sudah lama hal itu ada yang bisa dikatakan sudah ratusan tahun lalu. Tapi karena dalilnya lemah, maka pemikiran itu, tidak ada yang meneruskannya dan hanya diungkap di kelas-kelas filsafat sebagai sejarah yang pernah ada saja.

(3). Hal lain yang membuat tidak tertariknya orang pada pandangan beliau hf, di samping lemahnya, karena beliau hf mengatakan bahwa yang beliau hf katakan itulah pandangan Mulla Shadra ra yang Sebenarnya.

Pembahasan lebih lanjut silakan tengok linknya:http://sinaragama.org/1107-penjelasan-singat-atas- pandangan…

Dari dua komentar tentang ayatullah Taqi Misbah Yazdi hf dan ayatollah Syeikh Fayyadi di atas, setidaknya kita bisa meraba dan menempatkan posisi ustad Sinar Agama selevel dengan kedua ayatullah hf tersebut dalam penguasaan filsafat Mulla Shadra ra

Catatan Tambahan: Lantas sudah level manakah ustadz Sinar Agama dalam standard kurikulum

Hauzah Qom? Anda bisa membandingkannya dalam uraian di bawah ini: http://sinaragama.org/412- title-keilmuan-hauzah.html; http://sinaragama.org/959-tahapan-belajar-untuk-menjadi-muj…;http:// sinaragama.org/656-tentang-batshul-kharij.html

Bagi orang yang getol menuding bahwa ustad Sinar Agama hendak menjadi marja, telah beliau sangkal bahkan mengkritik orang-orang yang menyebarkan gosip tersebut:

“Sedangkan issu orang Indonesia sudah jadi marja’, maka sebenarnya issu ini kadang keluar dari orang yang belajarnya pendek (sesuai salah satu indo yang tsiqah) yang kurang suka dengan orang-orang yang belajarnya lama dan semacam tidak rela, hingga karena itu terucap kata-kata kasar seperti ‘Dia sudah mengaku mujtahid dan jadi marja’.’ (http://sinaragama.org/656-tentang-batshul-kharij.html).”

Maka, ketika ustadz Sinar Agama begitu keras berkomentar terhadap buku SMS, hanyalah merupakan wujud dari tanggung jawab seorang ulama yang dibesarkan dalam madrasah Ahlul Bait as, yaitu Hauzah Qom demi menjaga ajaran-ajaran Syi’ah untuk tidak ditafsirkan secara manasuka. Terutama buku dengan embel-embel “menurut Syi’ah”. Karena pada faktanya, gradasi keilmuan di Syi’ah dan di mana pun adalah nyata tersaji di depan mata kita.

Dan prinsip gradasi adalah suatu keniscayaan dalam dimensi apapun, meski dengan ragam dan kualifikasi yang berbeda serta mempunyai aturan tersendiri yang mengikat. Di dunia para pendekar samurai jaman dulu misalnya, ketika dua orang jagoan bertemu sebelum duel. Masing-masing cukup dengan mengambil sejumput rumput lantas dilontarkan ke atas untuk selanjutnya ditebas. Hasil dari tebasan rumput tersebut akan menentukanseberapa terampil lawannya memainkan katana/pedang. Dan yang merasa kalah akan mundur teratur tanpa memaksakan diri untuk ngotot mempertaruhkan nyawanya.

Sedangkan dalam dunia-keilmuan, kita tidak dituntut seperti para pendekar samurai kala duel. Pertarungan di medan laga ke-ilmuan setidaknya mesti dilengkapi dengan: Argumentasi yang kokoh dan tidak menimbulkan makna ambigu serta dengan istilah-istilah yang disepakati bersama dalam objek kajian….serta referensi buku-buku terkait. Adapun dari sisi pengkaji saya serahkan pada Anda semua, pada level manakah tim penulis SMS dibandingkandengan kritikus, yaitu ustadz Sinar Agama. Apakah diibaratkan antara dokter umum dengan dokter spesialis atau santri-santri yang masih berada padalevel menengah dengan santri yang berada pada level atas ? Sehingga akan mencuatkan perspektif yang sangat berbeda secara tajam, terutamaberkenaan dengan kata….Menurut Syi’ah?

Dan facebook sebagai media social, tetap menjadi alternative yang bagus untuk ajang diskusi-ilmiah (tanpa mengaitkan dengan masalah perpecahan dan sebagainya) , karena media social facebook, punya daya jangkauan yang luas dan dapat dinikmati oleh beragam level dari kaum alit hingga kaum elit, serta kalangan kaum awam (seperti penulis) maupun kalangan khusus (ilmuwan).

Sebagai penutup, saya teringat dengan idiom-idiom yang dilontarkan oleh mas Viki di televisi tempo hari bahwa : Diskusi ilmiah ini jangan sampai menjadi pencitraan konflik atau pun indoktrinasi kebencian, tapi jadikanlah sebagai apresiasi kasih sayang…dan biarkanlah retorika waktu yang akan menjawabnya.

Terimakasih ustadz Sinar Agama

*****
Abdurrahman Shahab: Luar biasa.... “Ayatullah” SA sudah selevel Ayatullah Taqi Misbah. Maaf kang SP, kalau boleh dikutipkan Ayatullah mana saja yang telah meresensikan tentang keseteraan ini, dan buku apa saja yang telah ditulis mengenai filsafat yang sudah dikeluarkan dan dijadikan rujukan oleh para pencinta filsafat yang telah ditulis oleh Ayatullah SA. Makasih jika berkenan menjawab.

Vicky Manggala: Terharu biru mendengar nama saya disebut... mudah indoktrinasi akal lebih diutamakan daripada indoktrinasi kebencian yang menyebabkan frustasinya nalar sehingga bertebaran kata-kata tak bernalar yang tidak mesti terjadi di antara kita-kita sebagai pecintah...piss mudah-mudahan idiom-idiom saya bisa menyinari akal-akal kita yang sedang terinfeksi hama....

Azmy Alatas: Di iya kan saja deh... panjang lebar ta pikir nulis apa, ga taunya promosi minta pengakuan keilmuan.... Lanjut..kang..

Rudi Suriyanto: Saya jamin santri-santri kampungan yang ilmunya luas tak bertepi tidak akan bisa memahami apa yang Sang Pencinta tuliskan di atas. Lanjutkan !

Said Hasniza: Rudi Suriyanto, Saya setuju dengan komentar anda, tulisan di atas hanya akan jadi bahan ghibahnya santri kampung yang ngaku-ngaku berilmu luas tak bertepi. Hehe.

Muhammad Assagaf: Mudah-mudahan bisa rukun kembali seperti sedia kala.

Filzah Fatinah: Sebagai al fakir, aku hanya bisa berharap semua masalah bisa diselesaikan dengan bijak... sedih, prihatin dengan sikon saat ini, karena kalian semua adalah saudara-saudara aku, kalian adalah orang-orang berilmu, aku yakin kalian bisa menggunakan akal kalian dalam menyelesaikan masalah ini, untuk tidak saling ejek, tidak saling caci sesama pecinta, dan lebih sakit lagi saat ada beberapa oknum yang justru bahagia dan memanfaatkan situasi ini..

Sinar Agama: Salam dan terimakasih curhatan dan hadiahnya. Terlepas dari benar-tidaknya tulisan di atas, melirik baik sangkanya, tak kuasa menahan tamak ini dari Allah, agar hendaknya mewujudkan kepada si fakir ini, karena memang sudah terlalu lama belajar walau tak seujung rambutpun yang tergapai. Karena itu, setidaknya menjadi doa buatku.

Kalau fikih saya belum ayatullah karena ayatullah adalah mujtahid mutlak sementara saya, kalau boleh merefrensikan raport sekolah, belum mutlak.

Tapi kalau filsafat dan irfan, secara lahir mungkin tidak ada yang dipelajari mereka yang tidak kupelajari di pelajaran kelasnya, sudah tentu. Seandainya sayamemilih menepis awan penutupku, maka mungkin antum akan kaget kalau saya sebutkan bawah saya sekelasan dengan siapa. Ada dua tokoh yang antum sangat kenal mereka dan antum kagumi yang, betul-betul merupakan teman kelasku. Tentu saja, mereka adalah murid hebat dan saya murid keruco dan cetek yang layak hanya jadi penyemir sepatu mereka saja.

Saya hanya ingin menyinggung sedikit tentang kebertemanan dalam satu kelasnya, bukan kesederajatan ilmunya.

Ini tentang adab sosialnya. Tapi dalam tarap argumentasi, maka tidak perduli itu teman sekelas atau tidak, guru besar atau tidak, maka harus adu argumentasi dan kenyataan yang berbicara. Artinya, ilmu yang nur di dalam dada, hanya Tuhan yang tahu. Tapi ilmu argumentatif, maka harus diadu argumentasinya. Itu saja.

Karena itu, kalau saya mengkritiki ayt Fayyadhi hf itu, karena memang sangat bisa dikritik dan dalam batasan ilmu. Saya sudah pernah mengatakan bahwa beliau hf gagal mewarisi filsafat Mulla Shadra ra. Karena itu, termasuk salah satu pengingkar wahdatulwujud. Kalau ayatullah Mizbaah hf, memang filosofmasa kini. Akan tetapi, tidak terlalu berhasil mewarisi Mulla Shadra ra, terutama dalam masalah gerak dan lain-lainnya. Pewaris agung Thaba Thaba’i ra, ketika menulis kitab Bidaayah dan Nihaayah, ketika ayt Mizbaah hf mengajarkan kitab Nihaayah, sepertinya tidak satu halamanpun yang tidak dikritikinya. Buku kritikan dan kaset-kaset beliau hf, banyak sekali di dunia ini. Bayangin hampir tidak ada halaman kecuali dikritiknya.

Padahal, Nihaayah itu adalah ringkasan dari filsafat Mulla Shadra ra. Nah, kalau begitu, apakah masih bisa dikatakan berhasil mewarisi?

Mungkin beliau hf filosof tersendiri, akan tetapi saya hanya ingin mengatakan bahwa beliau hf tidak terlalu berhasil mewarisi filsafat Mulla Shadra ra.

Di hauzah, sepaham dan tidak sepaham, hal yang terlalu wajar seperti wajarnya makan minum. Karena itu, tidak ada kebencian. Kemarin, yakni hari Senin,salah satu guru kita, ayatullah Anshaari Syiiraazii ra, sebagai salah satu pewaris Mulla Shadra ra melalui ayt Thaba Thabai ra, meninggal dunia dan, yang menjadi imam shalatnya adaslah ayatullah ‘uzmaa Makaarim Syiraazi hf. Bayangin, yang meninggal seorang filosof dan yang menyolati orang Kalam.Padahal di kelas, ayat Anshaari ra kadang mengkritiki tafsirnya ayatullah Makaarim hf. Karena keduanya, beda jalan ilmu makrifat, beda dengan ilmu fikih dan ushulfikih yang sama saja. Yang satu filosof dan irfan (ahli filsafat dan irfan) dan yang lainnya adalah mutakallim (ahli ilmu Kalam). Semua berjalansesuai dengan hujjah masing-masing. Beda yang ada, tidak bisa menjadi alat saling tidak menyintai, saling mendoakan dan saling menolong.

Dulu saya ketika masih belajar awal-awal filsafat, merasa tidak ada yang lebih hebat dari ayt Mizbaah Yazdi hf. Bayangin, setiap halaman dari karya alaamah Thaba Thabai ra tidak lepas dari kritikannya. Akan tetapi, setelah Allah swt mengijinkan saya belajar yang beliau pelajari (Kitab Asfarnya Mulla Shadra ra), maka saya baru tahu, kalau beliau hf, kurang berhasil mewarisi kalau tidak boleh dikatakan kurang berhasil memahami (afwan).

Kalau ayt Fayyadhi yang seumuran dengan kita-kita, apalagi. Beliau hf memang kesayangan ayat Jawadi hf dan ayat Mizbaah hf. Karena akhlaknya memang bagus dan tawadhuu’. Tapi dari sisi kepewarisan ilmu Mulla Shadra ra, maka beliau hf lebih condong dan lebih mirip dengan ayat Mizbaah hf, kalau tidak boleh dikatakan lebih parah (afwan).

Saya menulis ini, hanya ingin berkisah-kisah sebagai salah satu istirahat malam, habis kelelahan menjawab soalan.

Sepertinya tulisan ini sudah dimuat beberapa hari lalu tapi saya tidak membacanya karena kepanjangan. Hari ini, karena dimuat lagi, akhirnya saya tertarik membacanya dan akhirnya saya juga menambahi kepanjangannya.

Beda itu hal biasa. Yang penting semua karena Allah dan karena memang pahamannya yang beda, bukan sudah tahu kebenaran orang lain tapi hanya ingin beda dengannya.

Kalau saya katakan bahwa mereka (Ayatullah Mishbah hf dan HujjatulIslam Fayyadhhi hf) tidak berhasil menjadi pewaris Mullas Shadra ra, bukan berarti hina dan celaka. Sebab Mulla Shadra ra bukan Makshumin yang wajib dijadikan pedoman hidup.

Memang, bagi saya dan bagi para pewarisnya, sungguh tidak akan bisa mencapai derajat ilmu Mulla Shadra ra itu, kecuali seperti Mulla Shadra ra. Yaitu yang jenius, tekun belajar dan mengejar serta mengamalkan irfannya dalam kehidupan nyata. Jangankan ziarah baitullah dan maqam imam Makshum as, ke haram hdh Faathimah Ma’shuumah ra saja, yakni yang tidak berkedudukan seperti Makshumin as, tidak pernah naik kuda dan selalu berjalan kaki walau harus menempuh perjalanan puluhan km.

Kurang lebih tujuh kali ke haji, tidak pernah naik kendaraan dan selalu jalan kaki hingga pada akhirnya meninggal di tengah jalan, semoga ruhnya tentram bersama kekasih-kekasihnya.

Saya yang secara GR hanya merasa memahami warna kulit kitabnya saja, sudah bangga dan bersyukur kepadaNya dan, itupun dengan belajar belasan tahun dan berjam-jam dalam seharinya seperti yang sudah dinukil penulis di atas. Lah, bagaimana lagi kalau saya mampu memahami judul bukunya dan, apalagi isi kitabnya.

Kalau ayatullah Jawaadi Aamuli hf (Jawadi Omuli hf) mengatakan bahwa beliau hf belajar filsafat 50 tahun hanya memahami isyarat-isyaratnya saja, lahapalagi yang hanya belasan beberapa puluh tahun seperti saya ini dan, itupun dengan ketidakcerdasannya dan ketidaktaqwaannya.

Itu semua adab sosialnya. Adab ilmunya, adalah setiap orang wajib mengutarakan kepadahaman dan dalilnya, manakala duduk dalam diskusi dengan siapapun dan dalam bentuk apapun. Tentu kalau memahami masalah yang dihadapinya dan memiliki dalil terhadapnya.

Teman-teman tidak perlu khawatir, bahwa saya akan bermusuhan dengan yang kukritiki. Sebab kalau saya lakukan itu, berarti saya tidak hormat padaagama dan guru-guru yang mengajarkan lain. Ini adab sosialnya. Sementara keilmuan, maka harus terbuka.

Kalau masalah buku SMS itu, memang saya tidak akan berhenti kecuali kalau buku itu sudah ditarik atau saya kelelahan dan lemah iman. Untuk yang ini, saya ada baiknya, menukilkan tanya jawab hari ini berkenaan dengan sikap saya terhadap buku SMS itu. Tapi ingat, tidak ada hubungan permusuhan antara sesama kitanya, sebab hanya masalah keilmuan saja dan tanggung jawab masing-masing.

KARENA ITU, KALAU PENERBIT BUKU SMS MERASA WAJIB UNTUK TERUS MEMPERTAHANKAN BUKUNYA DI PASARAN, MAKA ITU HAK MEREKA DI DUNIA INIDAN, SAYAPUN AKAN TERUS MELAKUKAN

NAHI MUNGKAR SEMAMPUNYA WALAU KELELAHAN SEKALIPUN (perhatikan nukilan diskusiku hari ini di bawah ini):

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Saya sudah menjelaskan bahwa untuk setiap langkah manusia di muka bumi ini, ada peraturan hukum fikihnya. Karena itulah, usahakan untuktidak banyak melarang dan menyuruh, kalau tidak tahu fatwanya. Bertanya, memang merupakan hal yang paling wajib, manakala tidak tahuhukum fikihnya. Tapi bentul-betul bertanya, bukan bertanya yang bermaksud melarang atau menyuruh.

2- Sasaran nahi mungkar itu tergantung dosa dan kesalahan yang dilakukan oleh pelakunya, seperti:

a- Kesalahan Pribadi: Kesalahan pribadi seperti zina, ghibah, onani, ...dan seterusnya, bisa dinahi mungkari secara pribadi pula. Akan tetapi kalau tidak bisa atau dari awal merasa tidak mampu, maka bisa meminta tolong kepada yang diyakini mampu dan bisa.

b- Kesalahan Sosial:

b-1- Sosial selain agama, maka bisa berbagai cara, baik dari cara yang paling ringan seperti menasihatinya secara pribadi, atau sampai pada tingkat mendemonya di jalan- jalan sebagai protes.

b-2- Sosial Agama. Dalam hal ini, dilihat bentuk kesalahannya. Kalau tulisan, maka mesti dihadapi dengan tulisan. Kalau suara seperti suara pidato dan rekaman dan semacamnya, maka bisa dinahi mungkari dengan media medsos apa saja.

Catatan: Harus dibedakan antara orang berzina dengan menghalalkan zina. Cara nahi mungkarnya jauh berbeda. Kalau penzina, maka dengan menasihati orangnya. Akan tetapi menghalalkan zina, jelas harus dilawan dengan apa saja yang bisa dijadikan tandingan supaya umat mengetahui kesalahan hukumnya tersebut. Buku SMS ini termasuk dari jenis ini. Yakni mengingkari hukumnya, bukan perbuatannya. Sebab jelas-jelas mengingkari kemestian maqam imamah dalam kepengurusan dunia (horizontal), kewajiban pengamalan fatwa marja’ dan semacamnya.

3- Dari kemarin-kemarin saya menyayangkan teman-teman yang kurang akrab dengan tulisanku. Sebab dalam catatan-catatanku, sudah pernah atau sering dijelaskan tentang syarat-syarat amr makruf dan nahi mungkar itu. Nah, teman-teman yang biasa tidak taqlid, akan sangat mudah memberikan teori ini dan itu, melarang ini dan itu, maslahat ini dan itu. Tapi teman-teman yang sudah biasa dengan fatwa dan taqlid, maka sudah tahu bahwa ucapannya itu, akan terhitung keterlaluan dalam agama (tajarri) dan berdosa serta akan mendapat adzab kelak di akhirat.

Akan tetapi saya juga tahu siapalah saya ini hingga terlalu GR mengharapkan semua teman-teman fb membaca tulisanku. Karena itulah, maka saya sering tidak menghentikan pengulangan. Dulu sebelum Tuhan memberikan Sang Pencinta dan teman-teman lainnya, maka betapa sulitnya aku mengulang jawaban yang sudah pernah diberikan. Hal itu, karena mencari juga memerlukan waktu dan, apalagi menulisnya kembali. Syukur padaMu ya Rob yang sering memanjakanku dengan persaudaraan-persaudaraan yang memiliki kecekatan, kesabaran, ketaqwaan dan kikhlashan. Terimalah kami semua, baik yang menjawab, yang membantu dan yang bertanya, sebagai ibadah kepadaMu, amin.

4- Untuk mengulan fatwa amar makruf dan nahi mungkar, maka saya nukilkan sebagai berikut:

و هى أمور : االول أن يعرف االمر أو الناهى أن ما تركه المكلف أو ارتكبه معروف أو منكر ، فال يجب
على الجاهل بالمعروف و المنكر، و العلم شرط الوجوب كاالستطاعة فى الحج.
الشرط الثانى : أن يجوز و يحتمل تأثير االمر أو النهى، فلو علم أو اطمأن بعدمه فال يجب.
الشرط الثالث : أن يكون العاصى مصرا على االستمرار فلو علم منه الترك سقط الوجوب.
الشرط الرابع : أن ال يكون فى إنكاره مفسدة.

Inti dari 4 syarat di atas adalah:

a- Yang mau melakukan amr makruf dan nahi mungkar, tahu permasalahannya, baik dari sisi hukumnya atau obyeknya.

b- Dimungkinkan akan berefek atau menerima. Kalau yakin tidak akan terima, maka sudah tidak wajib.

c- Diketahui bahwa pelakunya akan terus melakukan dosanya itu. Tapi kalau sudah diyakini berhenti, maka sudah tidak wajib.

d- Tidak menimbulkan mudharat bagi dirinya, keluarganya atau muslimim, seperti dipukuli, dibunuh dan semacamnya.
....................dan seterusnya dari perincian-perincian syarat-syarat amar makruf dan nahi mungkar tersebut.

Akan tetapi manakala sudah masuk dalam bab bid›ah, yakni mengatakan agama apa-apa yang bukan agama dan mengingkari keagamaansesuatu yang merupakan bagian dari agama, seperti imamah yang semestinya vertikal dan horisontal yang dikatakannya hanya vertikal, atau taqlid yang wajib dikatakannya tidak wajib, atau wali faqih mutlak yang merupakan bagian agama dikatakannya sebagai bukan kewajiban seperti yang terlihat di buku SMS, maka akan masuk bagian fatwa berikut ini:

مسألة 7 : لو وقعت بدعة فى االسالم و كان سكوت علماء الدين و رؤساء المذهب أعلى اهلل كلمتهم موجبا لهتك االسالم و ضعف عقائدالمسلمين يجب عليهم االنكار بأية وسيلة ممكنة سواء كان االنكار مؤثرا فى قلع الفساد أم ال، وكذا لو كان سكوتهم عن إنكار المنكرات موجبا لذلك، و ال يالحظ الضرر و الحرج بل تالحظ االهمية.مسألة 8 : لو كان فى سكوت علماء الدين و رؤساء المذهب أعلى اهلل كلمتهم خوف أن يصيرالمنكر معروفا أو المعروف منكرا يجب عليهم إظهار علمهم، و ال يجوز السكوت و لو علموا عدم تأثير إنكارهم فى ترك الفاعل، و ال يالحظالضرر و الحرج مع كون الحكم مما يهتم به
الشارع االقدس جدا.

Masalah ke 7: Kalau terjadi bid’ah dalam Islam (penambahan atau pengurangan agama) dan diamnya ulama (yang tahu) dan tokoh agama/madzhab semoga Tuhan meninggikan derajat mereka, bisa membuat agama menjadi terhina dan atau melemahkan akidah kaum muslimin, MAKA WAJIB BAGI MEREKA UNTUK MENGINGKARINYA DENGAN CARA APAPUN YANG MEMUNGKINKAN BAIK PENGINGKARANNYA ITU BEREFEK POSITIP DALAM MENARIK KEMUNGKARAN ITU (BID’AH ITU) ATAU TIDAK. Begitu pula kalau diamnya mereka bisa menyebakan hal tersebut (terhinanya agama dan lemahnya akidah muslimin). DAN TIDAK PERLU LAGI MEMPERHATIKAN MUDHARATNYA DAN KESULITANNYA. KARENA YANG HARUS DIPERHATIKAN ADALAH KELEBIHPENTINGANNYA.

5- Itulah mengapa setiap teman yang bersaran tentang ini dan itu, saya tidak pernah menanggapinya. Hal itu karena di samping bertentangan dengan fatwa marja’, juga ingin memberitahu mereka bahwa dalam agama dan Syi’ah, semuanya sudah ada fikihnya, baik dakwa atau metodologi dan caranya.

Kasarnya, saya ingin mengatakan bahwa jangan asal berfatwa kalau bukan mujtahid karen hal itu dosa. Itulah mengapa saya selalu menyindir mereka dengan berkata:

“Kalau antum marja’ saya, maka saya akan ikuti. Akan tetapi, antum bukan marja’ saya.”

Jadi, bagi yang biasa berteori dalam urusan dakwah, baik menyarankan datang ke penerbit, jangan di medsos, jangan memaksa, ...danseterusnya, maka tolong jauhi dosa seperti itu. Hal itu, karena antum seperti memberi saran, wudhu’ begini dan begitu, shalat begini dan begitu, akan tetapi antum bukan mujtahid dan, apalagi marja’.

6- Penutup: Dalam fatwa-fatwa amar makruf itu, dijelaskan bahwa kalau mengulang-ulangnya dapat menghentikan kemungkaran, maka wajib diulang-ulang sampai kemungkaran itu berhenti. Jadi, jangan katakan kami memaksa, karena kami hanya menjalankan perintah fatwa. Kami akan terus mengulang sampai buku itu ditarik dari peredaran. Kalau tidak, kita tidak bisa memaksa dan, karena itu, hanya bisa mengulang sesuai kewajiban, Perhatikan fatwa berikut ini:

مسألة 5 : لو علم أو احتمل أن أمره أو نهيه مع التكرار يؤثر وجب التكرار.

Masalah 5: Kalau diketahui atau diperkirakan bahwa kalau larangannya (dari kemungkaran) atau anjurannya (pada kebaikan) itu akan memberikan efek positip kalau diulang, MAKA WAJIB MENGULANG-ULANGNYA.

7- Pelengkap: Kalau menggabungkan wajibnya mengulang dan wajibnya menyampaikan manakala terjadi bid’ah, MAKA NAHI MUNGKARTERHADAP BUKU SMS INI WAJIB DILAKUKAN DI MEDSOS DAN APA SAJA YANG MEMUNGKINKAN DAN WAJIB DIULANG-ULANG.

Wassalam.

Iik Fikri Mubarok: Salam ustadz Sinar Agama...syukran atas ulasan-nya..
insya Allah...setelah kesibukan saya selesai, saya akan belajar kepada antum, dengan model menanggapi komentar antum...
Afwan jiddan..saya harus segera OTW ke Jakarta..untuk memenuhi urusan saya...insya Allah kalau sudah nyampe saya akan belajar sama anda, dengan gaya menanggapi komentar-komentar anda... Salam.....

Melancholy Rose: Sesama pencinta kok gontok-gontokan ya..... di medsos lagi yang setiap orang bisa melihatnya .... mungkin orang yang di luar pecinta AB akan bertepuk tangan melihat hal ini .... apa ga bisa tuh diselesaikan secara langsung saja ?

Elok ZA: Ribut kok dinikmati yaaaa.

Muhammad Assagaf: Baca baik-baik poin ini:
Jadi, bagi yang biasa berteori dalam urusan dakwah, baik menyarankan datang ke penerbit, jangan dimedsos, jangan memaksa, ... dan seterusnya, maka tolong jauhi dosa seperti itu. Hal itu, karena antum seperti memberi saran, wudhu’ begini dan begitu, shalat begini dan begitu, akan tetapi antum bukan mujtahiddan, apalagi marja’.

Abdurrahman Shahab: Maaf beribu maaf ustadz Sinar Agama, menjadi pertanyaan besar “kami” adalah, mengapa sebuah karya ilmiah yang lebih ditujukan untuk sebuah REKONSILIASI terhadap saudara-saudara suni/umat islam/pemerintahan di Indonesia yang sekaligus untuk mengcounter berbagai macam fitnahan terhadap Syi’ah dan pemikirannya Ustadz tanggapi dengan cara yang sangat MENUSUK dengan menggunakan kata-kata HARAM/MURTAD/BID’AH/PERLAWANAN TERHADAP KEMUNGKARAN/PEMAKSAAN dan lain-lain, sementara ada kelompok-kelompok lain di tengah-tengah kita juga yang jelas-jelas SERING MELAKUKAN PENGHINAAN DAN OLOK-OLOKAN SERTA MELAKNAT kepada marja’ taqlid mutlak Rahbar HF dan pemerintahan Iran yang mana ustadz ketahui dengan pasti siapa-siapa saja orangnya dan siapa-siapa saja di balik mereka, serta mereka juga secara terus menurus berupaya mengobarkan PERMUSUHAN DAN BAHAYA BESAR bagi permusuhan yang menjurus pada PERTUMPAHAN DARAH Sunni-Syi’ah di Indonesia dengan setiap hari melaknat figur-figur utama suni yang telah dilarang Rahbar...Kami ingin tanyakan, mana nahi mungkar dan kewajiban lain apa saja yang telah ustadz lakukan secara TERUS MENERUS DAN BERULANG-ULANG kepada mereka-mereka yang jelas-jelas dan nyata adalah sebagai musuh dalam selimut yang paling berbahaya. Bahkan yang selama ini kami lihat dalam medsos (mungkin dalam dunia nyata) ustadz masih menjalin persahabat mesrah dengan mereka yang menunjukkan bahwa ustadz sama sekali tidak memiliki konsistensi dalam memperjuangkan dakwah dan bahkan seolah memiliki “dendam” pribadi kepda ABI dan ustadz ML afuan sebelumnya...

Sang Pencinta: Abdurrahman, antum kemana aja? Antum sepertinya luput memperhatikan nahi mungkar ustadz SA dan kami terhadap sindikat laknat itu. Sering-seringlah (alih-alih mengatakan selalu) maen ke pekarangan kami baru mengomentari ini dan itu.

Abdurrahman Shahab: Afuan SP, apa yang dilakukan ustadz hanya sebagai sosialisasi terhadap fatwa rahbar, bukan kepada usaha TERUS MENURUS untuk MENDAKWAI serta NAHI MUNGKAR kepada para laknat tersebut, karena yang kami lihat bahkan mereka sering masuk (bertanya/ berkomentar) dalam status ustadz SA yang memancing permusuhan di kalangan internal, dimana ustadz tetap menjalin “persahabatan” dan bersuka cita kepada mereka..

Muhammad Assagaf: Yang dilakukan ustadz SA hanyalah sebatas kritikan atas tulisan dalam buku SMS. Namun yang saya lihat justeru terdapat pihak-pihak yang dengan semangat menggiring kepada penghinaan ustadz ML. Padahal saya sangat yakin bahwa ustadz ML tidaklah merasa seperti yang digambarkan oleh pihak-pihak tadi. Sungguh aneh, berbicara seolah-olah dia adalah juru bicara ustadz ML.

Sinar Agama: Abd, saya tidak bertanggung jawab kepada orang yang melakukan perpecahan. Karena itu, saya sudah pernah atau sering mengatakan bahwa yang memecah Syi’ah dan selainnya, bukanlah dari keduanya.

Tapi saya tidak akan mengurusi mereka karena di samping sudah jelas masalahnya, juga kalau bertamu di tempatku, mereka taat pada peraturan rumah. Jadi, sampai sekarang saya belum blokir.

Jangan dikira saya ridha dengan langkah akun Rudi misalnya. Karena itu, sekali ia membawa hal pemecah seperti mengupload gambar dua menara kemarin itu di tempat kita, maka segera kita hilangkan.

Lagi pula, bagi saya perpecahan yang dilakukan SMS itu tidak kalah hebatnya dari mereka-mereka itu. Karena mereka-mereka memecah Sunni Syi’ah dan SMS memecah antara Syi’ah dan antara akidah Syi’ah dengan orang Syi’ah.

Kalau bahaya para pengumpat dan pemecah itu, sangat mudah dimengerti umat. Orang Sunni juga tidak simpati pada mereka, apalagi Syi’ah. Mereka itu tidak lebih dari hitungan jari. Walhasil, mereka mudah dipantau dan ditangkal. Tapi yang mengaku dan mengatasnamakan Syi’ah ini dan sok ilmiah ini yang sulit dipahami dan dimengerti umat yang notabennya tidak tahu keaslian Syi’ahnya itu.

Ada lagi yang saya tidak bisa cerita di sini mengapa saya tidak menblokir yang kadang terlihat mata sebagai pemecah.

Tugas kita bukan berantem, melainkan memberikan penjelasan secara ilmiah dan terbuka. Ini tugas pertama dan utama. Tentu kalau kita mampu. Doakan kita bisa mendapatkan cara yang baik memberikan peringatan terhadap teman-teman yang suka membuat keruh di kalangan muslimin.

Antum kalau baca tulisan pedasku beberapa tahun lalu, in syaa Allah tidak akan tega menulis seperti di atas itu. Kemarin itu saya sampai meminta teman-teman yang tahu nama asli dari para pengkeruh itu untuk mendatanya hingga kalau ada apa seperti mengamuknya sebagian Sunni, maka mungkin kitaakan berikan nama-nama itu supaya Syi’ah yang lain tidak terkenakan getahnya. Tentu saja, semua nanti akan dimintai konfirmasi dulu dengan marja’. Saya sampai sekeras itu.

Saya tidak segera menblokir mereka diantaranya supaya mereka tahu, hujjah-hujjah Syi’ah Rahbari, yang memang sangat masuk akal, cocok dengan Qur an, hadits dan kemanusiaan serta, apa yang biasa dikatakan teman-teman keIndonesiaan. Btw. mungkin suatu saat saya akan memblokirnya manakala saya sudah putus asa terhadap mereka.

Apapun itu, tolong jangan sangkutnya saya dengan mereka hanya karena sama dalam menanggapi buku SMS itu. Tolong masalahnya dibedakan. Itupun kalau antum mau dan sepaham. Btw.

Siti Munawaroh: Saya berharap semua diterapkan pada porsinya, dilihat dengan kacamata dan neraca yang adil, apapun namanya kritikan, informasi, pasti ada positif dan negatifnya tinggal mau melihatnya dari sisi mana? Hal teradil adalah argumentasinya, melalui argumentasi bisa dilihat kritik itumerupakan pemecah atau kasih sayang sesama saudara (pil pahit yang menyehatkan). Kita tinggal tunggu proses selanjutnya yakni klarifikasi dari yang dikritik. Mau lewat medsos ya ngak apa-apa wong ada Undang-undang juga berarti legal. Kalau mau dicetak tinggal kumpulkan print jadi buku juga. Medsos ini mempermudah bukan mempersulit. Jangan di politisasi nanti seolah ada pihak yang terzolimi kemudian kasihan malah banyak yang ikut karena kasihan bukan karena argumentasi ini yang saya takutkan karena bisa merusak tatanan yang mau.

Deddy Prihambudi: Di Indonesia ini, betapa masih rendahnya kadar “kebebasan akademik” dan “kebebasan mimbar akademik”. Sekian puluh tahun kita merdeka, masih saja kita tiada mampu berdebat dengan cerdas. Pro kontra buku SMS, polemik “pribadi” antara Sinar Agama dan Muhsin Labib Assegaf, mestinya bisa dinikmati sebagai sebuah pendadaran kesadaran untuk membiasakan diri mengikuti polemik dengan cakap. Sayang sekali, hal ini tidak terwujud.

Deddy Prihambudi: Saya kira, ini memang ‘trend’ di Indonesia saja. Dalam kasus lain misalnya, gagasan-gagasan “biasa biasa saja” dari Cak Nur,misalnya, atau Gus Dur, mendapatkan respons yang beragama. Sebagian masih masuk dalam kategori polemik akademik. Lainnya sudah masuk ranah debat ideologis.

Deddy Prihambudi: Sayang sekali, hatta Sunni dan Syi’i di Nusantara ini masih belum mampu memiliki ‘tradisi’ debat yang elegant. Dugaan saya, mungkin, sebagian mereka ini. Yang kini sedang berhadap hadapan, tidak pernah mengenyam pendidikan di kampus kampus ‘sekuler’ di Indonesia. Atau, mungki pula, mereka tak pernah menikmati pendidikan kaderisasi di berbagai organisasi kemahasiswaan yang ada. Tradisi beda pendapat, kebiasaan ‘saling lempar buku’ sudah jamak terjadi pada komunitas kemahasiswaan itu.

Deddy Prihambudi: Yang ketiga, yang saya khawatirkan adalah, jangan-jangan mereka yang sedang ‘adu jotos’ ini adalah mereka-mereka yang telah nyaman duduk sebagai (calon) ‘ruhaniwan’, sehingga, kecenderungan-kecenderungan untuk ‘tidak mau didebat’ menjadi tidak disadari.

Deddy Prihambudi: Dulu, sekali lagi, dulu..... perdebatan dengan tema “tidak ada Negara Islam” antara tokoh Masyumi Mohammad Roem dan Cak Nur,berhasil kami bukukan dengan baik. Generasi Muslim pada zaman kami, dan pada zaman-zaman setelahnya, mampu menelaah dengan gembira, dan menjadi pembelajaran bagi umat. Sayang sekali, ‘faksi SMS’ versus ‘faksi Sinar Agama’ malah dibiarkan terjadi seperti ini. Eman-eman.

Deddy Prihambudi: Jangan arogan dengan ilmu kalian. Jutaan Muslim Syi’i “new comer” tidak selalu bisa menangkap apa yang sedang kalian bincangkan. Mereka bodoh semua? No....... jangan-jangan kalian yang bodoh. Tidak memiliki prioritas tinggi, mana-mana yang diperlukan komunitas, danmana- mana yang layak untuk dianggap sebagai “agenda sekunder” dari seluruh pergumulan komunitas Imamiyah yang masih sangat kecil, dan rentan ini.

Deddy Prihambudi: Sebagai bukan santri, saya hanya mampu berucap ; “wallahul muwafiq ila aqwamiththariq.....

Rief Sy: Kata mas jokowi, prioritas utama bangsa adalah revolusi mental, jadi membiasakan berdebat secara ilmiah (seberapa besar kadarnya), saya kira merupakan salah satu elemen- vital dari program revolusi mental...tetapi pada saat debat ilmiah atau akademik dibumbui dengan pelecehan, olok-olok dan sebagainya (di luar konteks pembahasan), maka jargon revolusi mental yang mesti dimulai dari revolusi berfikir, berbahasa dan menulis secara ilmiah...menjadi nihil.. (padahal mayoritas ikhwan AB--, kayaknya--para pencoblos mas jokowi....)...kembali saya akan mengutip curhatan di atas yang bagian terakhir (sebagai pengingat:) : Sebagai penutup, saya teringat dengan idiom-idiom yang dilontarkan oleh mas Viki di televisi tempo hari bahwa : Diskusi ilmiah ini jangan sampai menjadi pencitraan konflik atau pun indoktrinasi kebencian, tapi jadikanlah sebagai apresiasi kasih sayang…dan biarkanlah retorika waktu yang akan menjawabnya...peace!!!!

Neo Hiriz: Tampaknya perlu tanya ke Rahbar apakah hukumnya membincangkan buku Syi’ah menurut Syi’ah yang selalu menimbulkan caci makian di FB.

Rief Sy: Sekaligus jadi bahan pertanyaan buat ustadz Sinar Agama bagaimana fiqih mengenai perilaku dalam debat ilmiah...menurut fatwa Rahbar hf, mudah-mudahan bisa menjadi panduan bagi para audiens...terima kasih...

Neo Hiriz: Bagi saya SA jumping to conclusion

Sinar Agama: Reif, sebagaimana sudah saya katakan di fb ini, bahwa pembicaraan keilmuan itu harus terjalin dengan ilmiah dan argumentatif. Teman-teman yang menyayangkan celaan-celaan di diskusi sekitar buku sms ini, tidak menyadari dirinya sendiri yang mesti disayangkan. Sebab mereka menyorot ejekan-ejekannya. Seperti ingat kulit lupa kacangnya.

Lah, kalau memang orang dewasa, maka mesti memilih dan mengetepikan olokannya dan mencari saripatinya. Lah, mana ada dengan bermodal anti olokan bagai malaikat penghakim. Yakni perkataan seperti “Kalian mengolok, maka pembahasan ini, tidak menarik.” He he .....

Kan yang mengolok itu urusan si pengolok sementara yang berdalil, mengapa dikategorikan yang dikesampingkan seperti pengolok?

Orang yang beriman dan takut salah, maka walau dari dalam gonggongan anjing sekalipun, kalau masih terdapat kalimat yang argumentatif, akan tetap diperhatikannya. Hal itu, karena takut ada kebenaran di dalamnya dan kesalahan pada dirinya yang sudah dituhankan sebagai serba benar dalam menilai apapun yang, sering dirinya juga menyelimutinya dengan kata “awam”. Ini adalah tawadhu’ yang hanya bersifat kata dan tidak aplikatif.

Btw, wong namanya berpendapat, maka halal-halal saja toh? Karena mereka. Mereka tidak tahu bahwa semua pendapatnya yang tidak bersumber pada fatwa marja’nya, sudah pasti dosa sekalipun kebetulan benar. Apalagi salah. Tentu pendapat yang menjurus pada boleh tidaknya sesuatu, benar tidaknya sesuatu dalam hal-hal yang menyangkut agama.

Jawaban Soal:

Kritikan terhadap buku/kitab/tulisan, sering difatwakan Rahbar hf sebagai kebolehan asal dengan dalil. Bahkan suatu keharusan manakala memang wajib ditanggapi. Yang dilarang Rahbar hf adalah kalau hanya mencukupkan dengan penyesatan dan pengharaman, tanpa dalil ilmiah. Akan tetapi kalau dengan dalil ilmiah, maka jelas dibolehkan. Rahbar hf, pernah berkata (berfatwa) di depan para ruhaniwan:

“Kalau ada buku (tulisan dan pernyataan) yang menyesatkan, di masyarakat, kalian jangan hanya berkata: “Hal itu sesat, menyimpang dan semacamnya”. Itutidak cukup (baca: tidak boleh). Jadi, jawablah dengan tulisan, kata dan ucapan yang berargumentasi. Jangan cekoki umat dengan pernyataan dan dakwa, akan tetapi dengan argumentasi yang gamblang.”

Saya sudah menukilkan di atas fatwa tentang menanggapi bid’ah. Sebegitu wajibnya, sampai- sampai tidak perlu melihat kondisinya sekalipun dan tidak boleh melihat hasilnya. Dan wajib untuk menanggulanginya dengan berbagai cara yang memungkinkan (seperti dengan tulisan, ceramah dan semacamnya yang bukan kekerasan).

Bayangin dan lihatlah logika para pendukung sms itu. Mereka bukan hanya sama sekali dari awal tidak pernah membantah dalil kita, akan tetapi berlogika dengan berbagai cara supaya kita diam. Misalnya, semua pernyataannya, bukan hanya tidak bersumber fatwa, juga terlalu tidak masuk akal, seperti:

a- Mengapa tidak konfirmasi pada penulis.

Lah, buat apa buku ditulis kalau masih perlu konfirmasi? Kalau untuk dipahami, berarti tidak perlu konfirmasi. Kalau perlu konfirmasi, lalu buat apa ditulis dan dipasarkan? Atau mengapa di depan bukunya tidak ditulis seperti ini saja:

“SYI’AH MENURUS SYI’AH, TAPI KONFIRMASI DULU PADA PENULIS TERHADAP SEMUA KATA DAN KALIMATNYA”

Kan bagus judul seperti ini menurut logika penganjur pertama ini??!!

b- Konfirmasi dong, sebab wahabi kita suruh konfirmasi juga tentang isi kitab.

Lah, wong kamu yang anjurin kok, bukan saya. Kamu nganjurin seperti itu karena kamu tidak bisa menjawab nukilan kitab Syi’ah oleh wahabi itu. Nah,mengapa cara kamu diwajibkan ke atas kami?

Wahabi itu sering menipu dan memelintir dalam menukil. Karena itu, jawaban yang paling tepatnya adalah membongkar kebohongannya itu. Nah, buku sms ini, tidak terlalu jauh dengan nukilan-nukilan wahabi itu, bahkan lebih keji dalam beberapa hal, sebab:

• Sebagian nukilannya, tidak benar dan fitnah.

• Sebagian nukilannya sudah benar, akan tetapi dibantainya sendiri untuk mengokohkan pandangannya sebagai Syi’ah. Seperti masalah imamah yang hanya divertikalkan dan mengolok para tokoh Syi’ah dimana berarti termasuk imam-imam Makshum as lantaran juga menghorisontalkan imamah.

Jadi buku sms ini, selain dia banyak mengandungi bid’ah seperti tidak mewajibkan taqlid dan wali faqih mutlak (sebagaimana terlihat jelas dalam tulisan-tulisannya itu dan sudah kita bahas sebelum ini) dan mengkebiri imamah itu, dia lebih bahaya dari buku wahabi-wahabi itu sendiri. Hal itu, karena wahabi memakai lebel wahabi sementara sms ini, memakai lebel Syi’ah dalam penghancuran Syi’ahnya itu.

c- Jangan buka-buka, nanti dicatat wahabi.

Lah, kok wahabi yang ditakutkan, tapi sesatnya orang Syi’ah tidak ditakutkan? Ajib, berguna juga wahabi buat mereka-mereka ini. Senangnya wahabi dijadikan benteng oleh pendukung- pendukung sms tersebut.

d- Jangan buka-buka di medsos, malu dilihat orang.

Lah, wong nulis bukunya di medsos kok, terlebih dipromosikan di berbagai medsos dan bahkan dibedah sendiri di berbagai kesempatan,seperti di UIN Jakarta dan di Makassar yang, tidak luput dari pemberitaan di medsos.

e- Kritikan orang fiktif, tidak perlu diperhatikan.

Lah, mereka itu mau menfiktifkan argumentasi nyata hanya karena penulisnya fiktif? Padahal mereka biasa menukil hadits imam Ja’far as yangmengatakan:

“Ambillah argumentasi yang kuat itu (hikmah) dari mana saja datangnya!”

f- Jangan rebutan pamor/maqam dong, malu sama orang. Ternyata rebutan pamor dan derajat sosial (cetusnya).

Lah, mana ada orang fiktif rebutan pamor? Ini kan bertentangan dengan poin di atas yang disuarakannya sendiri itu. Karena itu, jelas dipaksakan.

g- Jangan berbicara kesalahan buku itu, karena membuat pecahnya umat.

Lah, sejak kapan membongkar kesalahan dakwa (ngaku-ngaku) ilmiah yang disebarkan di masyarakat, dengan ilmiah yang sebenarnya, membuat perpecahan bagi umat?

Kalau umat tidak dewasa, maka umatnya yang diberitahu, bukan kebenarannya yang dihentikan. Apa lagi malah dipanas-panasi dengan kata-kata yang keluar dari bahasa dan keilmuan.

Para marja’ dan Rahbar hf selalu mengatakan bahwa ilmu harus terbuka di umat, tidak boleh hanya menyesatkan saja. Karena memberikan penjelasan gamblang termasuk lebih mendewasakan umat dan menjaga keutuhan dan persatuan. Yakni justru ilmu itu yang menjaga persatuan, bukan hanya saling dakwa/ngaku atau berdakwa saja.

h- Konfirmasi isinya ke penulis.

Selain jawaban di atas itu, maka apakah si penganjur ini sudah mengkonfirmasi isinya dan kritikan kita ke penulis atau, apakah penulis sudahmengkonfirmasi tulisannya ke kita setelah adanya berbagai kritikan ini?

i- Perlu bertanya tentang pembahasan buku sms ke Rahbar hf.

Lah, emangnya sudah menganjurkan penerbit untuk meminta ijin Rahbar hf dalam menulis, mengatasnamakan Syi’ah, menghabisi Syi’ah, menolak taqlid, menolak Rahbar hf, menolak wali faqih, membuat fitnah terhadap Syi’ah dan ulama Syi’ah serta para kaum Syi’ah dan membuat perpecahan umat hingga caci maki kadang menjadi timbul dari pendukung dan pengkritiknya?................dan seterusnya.

Saya sudah tidak ingat lagi apa-apa yang dikatakan mereka yang tidak setuju terhadap pembahasan buku itu, di medsos. Yang ra’syih, bahwasannyamereka sama sekali tidak bersandar fatwa dan bahkan berfatwa sendiri, akan tetapi menyuruh orang untuk meminta fatwa. Sementara fatwanya sudahjelas. Dan tidak lain keinginannya itu hanya untuk mencari jawaban lain dari yang sudah ada dan demi terus bisa leluasa menyebarkan kesesatannya.

Kalaulah dari kata-kata mereka (penasihat) itu ada yang benarnya, seperti jangan saling mengejek, maka yang paling tepat untuk menjadi orang yang dianjurkan dengan kata-katanya sendiri itu, adalah diri mereka sendiri. Karena kami, tidak melakukannya dan melarang melakukannya. Sedangkan kalau yang dimaksudkan adalah kata-kata bid’ah, dusta, menghabiskan Syi’ah dan ulama-ulama serta imam- imam Makshumnya as, fitnah, haram dibaca dan dijual, maka jelas merupakan hal tidak keluar dari keilmiahan dan masih dalam kategorinya asal membawa argumentasi dan, kami telah membawakannya dengan jelas, baik dalil akal, agama atau fatwa.

Lagi pula, yang lebih cocok untuk dianjurkan untuk semua itu, seperti jangan sombong dan jangan mencela, adalah buku sms itu sendiri yang juga berisikan kesombongan dan pengolokan seperti mengolok tokoh-tokoh Syi’ah (ulama dan para imam Makshum as) dengan gontok-gontokan lantaran mengajarkan bahwa imamah itu meliputi horisontal juga (pemerintahan) di selain vertikal (keagamaan).

Wassalam.


Bersambung, ....
====================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar