Sabtu, 15 Desember 2018

‘Allaamah Hilli dan Sulthaan Muhammad Khudaabandeh



Seri menjawab Fitnahan Ilham Kadir
by Sinar Agama (Notes) on Monday, March 18, 2013 at 10:43 pm


Ilham Kadir: Sayang ya tak dimuat, kalau dimuat kan pasti saya tanggapi lagi, padahal saya ingin sekali menulis cerita di bawah ini: Mohammad Reza Pahlavi, Shah Iran yang lahir di Tehran, Iran, 26 Oktober 1919 – meninggal di Kairo, Mesir, 27 Juli 1980 pada umur 60 tahun adalah kaisar Iran dari 16 September 1941 hingga Revolusi Iran pada 11 Februari 1979. Beliau pernah berhasrat untuk mendamaikan Syiah dan Sunni, maka diundanglah para ulama kedua aliran yang tidak akan pernah akur itu. Sampai waktu dimulainya acara pertemuan, ulama Syiah sudah para datang, namun sayang dari pihak Sunni belum ada yang terlihat kecuali satu orang tua bungkuk menjepit sandal jepit diketiaknya. Ulama-ulama Syiah bertanya kepada ulama Sunni itu. Apa yang kamu jepit di ketiakmu? “Sandal” jawabnya. “Kenapa Kamu bawa-bawa sandal jepit kesini?” tanya ulama Syiah kembali. “Karena saya mendengar di zaman Rasulullah ada orang Syiah pernah mencuri sandal!”, jawab ulama Sunni itu. Mendengar pernyataan itu, para ulama syiah serentak menjawab, “Mana ada Syiah di zaman Rasulullah?”, ulama Sunni yang bijak itu berkata,”Cukuplah, selesai sudah pertemuan ini. Darimana kalian mengambil agama kalian?” 

Ismail Amin: Akhi ust. Ilham, antum peneliti ilmiah, dari mana sumbernya cerita antum di atas? Kita sudah terlalu banyak dicekoki berita-berita tanpa sumber, dan itu tanpa beban disebar sedemikian mudahnya apalagi jika itu berkaitan dengan Iran dan syiah. Syah Reza baru puluhan tahun lewatnya, belum ratusan tahun. 

Dimasanya sudah ada koran, tv dan media-media lainnya sehingga apapun kegiatan penting yang dia lakukan bisa dengan detail diketahui. Kapan pertemuan itu terjadi? Di mana? Siapa orang tua bungkuk yang mewakili sunni itu? Dan siapa juga nama ulama-ulama yang mewakili syiah? Di media mana berita tentang pertemuan itu dimuat dan seterusnya... Jangan berdalih dengan menggunakan ‘katanya’, sebagaimana kebanyakan ikhwan yang sering menyebar fitnah negatif tentang Iran, tapi tidak mampu membuktikan... Silahkan, ada baiknya kita diskusinya di sini saja, jika antum berkenan dan punya waktu.. 

Ilham Kadir: Saya pernah baca di salah satu majalah berbahasa Arab, saya sedang berusaha carikan nama majalahnya, karena barang itu ada di Sinjai, rumah salah seorang ustadz... saya sudah pesan 2 minggu yang lalu tapi belum ada kabar... insya Allah apa yang saya sampaikan itu bisa saya pertanggungjawabkan. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih tag-annya. Saya sebenarnya, karena banyak pertanyaan di dinding dan inbox yang sampai puluhan pertanyaan tiap hari, tidak ingin ikut campur urusan diskusi antara akhi Ismail dengan akhinaa Ilham ini. Akan tetapi karena cerita karangan dari Ilham sepintas dipercaya oleh akhi Ismail, maka saya perlu membantu keduanya mendapatkan cerita yang sebenarnya. Saya katakan sepintas karena saya memang tidak membaca semua diskusinya. 

Bantuanku untuk mereka adalah

1- Cerita yang ditulis oleh Ilham itu jelas merupakan dikarang Ilham sendiri dan kalaulah ia menukil, maka menukil dari pengarang cerita yang jelas-jelas tanpa bukti. 

2- Kepalsuan cerita itu tampak dari isi ceritanya yang tampak dari jawaban ulama syi’ah terhadap dalil si bungkuk yang mengatakan bahwa ia membawa sandalnya karena di jaman Nabi saww ada orang syi’ah mencuri sandal. Lalu ulama syi’ah mengatakan bahwa di jaman Nabi saww tidak ada syi’ah. Ini jelas jawaban syi’ah ala khayalan si Ilham. Karena jangankan di hadits- hadits syi’ah, di hadits-hadits sunnipun dinyatakan bahwa kata-kata syi’ah itu, pertama kali dikatakan oleh Nabi saww Saya sering kali menukil hadits-hadits sunni ini, misalnya: 
  • 2-a- Rasul saww bersabda +/-: (a): “ Engkau (Ali) dan syi’ahmu (pengikutmu) mendatangiku di telaga (di akhirat)”, dan yang semacamnya (al-Majma’ dari Thabari: 9:131; Kunuzu al- Haqoiq 188; al-Isti’ab2:457; Mustadrak 3:136; Tarikh Baghdad 12:289; al-Shawaiqu al- Muhriqoh 66;). 
  • 2-b- Rasul saww bersabda: “ Engkau (Ali) dan syi’ahmu di surga.”, dan semacamnya (Hilyatu al-Auliya’ 4:329; e): Tarikh Baghdad, 12:289, 358; Majma’ 9:173 dari Abu Hurairah; al- Shawaiqu al-Muhriqoh 96; al-Ryadhu al-Nadhrah karya Thabari 2:209; Kanzu al-‘Ummal, 2:218; al-Muntukakhob min Shehhatu al-Sittah 257;). 
  • 2-c- Rasul saww bersabda: “Mereka adalah kamu -Ali- dan syi’ahmu.” ketika menjelaskan khairu al-bariyyah (paling bagusnya manusia QS: 98:7). (Lihat di: Syawahidu al-Tanzil 2:356-366 hadits ke: 1125 – 1149; al-Shawaiqu al-Muhriqoh 96; Tafsir al-Durru al-Mantsur 6:379; Tafsir Thabari, 30:146; dan lain-lain). 
Dan banyak lagi kata-kata syi’ah (pengikut) dimana sekitar 200 kata-kata “Syi’ah Ali as” (Pengikut Ali as) yang keluar dari lisan suci Rasul saww dan yang ada di riwayat-riwayat sunni yang mana Nabi saww mengabarkan tentang barbagai hal, seperti Paling afdhalnya manusia, masuk surga, diridhai, yang ...dan seterusnya. Yaitu di kitab-kitab sunni di bagian yang menerangkan sekitar tentang ayat atau kata yang berbunyi “Khairu al-Bariyyah”, “al- Faaizuun”, “Radhiallah ‘Anhum”, yakni dari yang terjangkau saya. Dan diantaranya seperti kitab-kitab: Tafsir al-Durru al-Mantsur; Tafsir al-Muharriru al-Wajiz; Tafsir al-Alusiy; Tafsir Thabari; Tafsir Haqqu; Tafsir Ruhu al-Ma’ani; Tafsir Fathhu al-Qodir; Bashairu al-Tamyiz; al-Shawaiqu al-Muhriqoh; al-Muntukaqa; Nazhmu Durari … dan seterusnya. 

3- Dengan semua penjelasan itu, maka jelas bahwa Pengasas dan pendiri syi’ah Ahlulbait yang makshum, adalah Allah melalui kenjeng Nabi saww. Karena itulah, maka keterlaluan sekali khayalan si Ilham yang mengatakan bahwa di jaman Nabi saww tidak ada syi’ah, sementara Nabi saww sendiri mengatakan bahwa syi’ah Ali as (Ahlubait as) adalah yang akan selamat dan akan mendatangi beliau di telaga yang berada di surga, atau syi’ah itu paling afdhalnya manusia, atau yang akan selamat ...dan seterusnya. seperti yang hadits-haditsnya sudah dinukilkan di atas. 

4- CERITA YANG SEBENARNYA

Sebenarnya, siapapun pengarang cerita di atas itu, mau meniru kejadian sejarah masuknya raja Iran yang masuk syi’ah yang tadinya sunni. Si pengarang itu sakit hati, hingga mengarang apa yang dinukilkan si Ilham itu. 

Suatu jaman Iran dipimpin oleh raja sunni yang bernama Sulthaan Muhammad Khudaabandeh. Ia merupakan raja ke 11 dari silsilah Ilkhaaniyaan yang masuk syi’ah di tangan ‘Allaamah al- Hilliy di tahun 709 H. 

Sejarah ini ada di setiap kitab sejarah dan kitab ulama yang menerangkan tentang Iran dan kerajaan-kerajaan Islam yang ada di sana. Suatu hari sang raja, karena emosi, mencerai istrinya tiga kali sekaligus. Setelah, marahnya hilang, ia sedih. Karena ia tidak bisa kembali lagi ke istrinya tanpa dikawinkan dulu dengan orang lain dan orang lain itu mencerainya atau mati. Sebagaimana maklum ketika istri dicerai tiga kali, maka suaminya tidak boleh kembali lagi kecuali kalau istrinya itu kawin dengan orang lain dan menjadi janda setelah itu (baik dicerai atau ditinggal mati suami barunya itu). 

Akhirnya ia memanggil semua ulama 4 madzhab sunni yang merupakan mayoritas madzhab yang dianut di Iran kala itu. Semua ulama madzhab sunni, karna ikut Umar dalam tiga kali cerai dalam satu majils ini, maka mereka semua mengatakan bahwa memanglah harus dikawinkan dulu dengan orang lain dan baru setelah cerai maka bisa kembali lagi, karena cerainya itu sudah dikatakan cerai Baain sebagaimana ditentukan di fikih. 

Sebagaimana dimaklumi dalam sejarah cerai tiga kali sekaligus ini, adalah ciptaan Umar bin Khathab ketika jadi khalifah. Dengan tujuan supaya para suami tidak gampang-gampang mengucapkan cerai ketika marah. Padahal, di Qur'an, diwajibkan adanya 2 orang saksi adil kalau mau cerai (QS: 65: 2). Begitu pula, cerai tiga kali ini dimana suami tidak bisa lagi rujuk kecuali kalau istrinya sudah kawin lagi dengan orang lain dan menjadi janda setelah itu, dan dimana diistilahkan sebagai “Cerai Baain”, harus diselangi dengan rujuk sang suami yang menceraikannya dalam setiap kali cerai. Artinya, cerai pertama harus ada rujuk dulu dari suaminya sebelum iddahnya habis. SEtelah rujuk, kalau cerai lagi, maka bisa lagi rujuk sebelum iddahnya habis. Tapi cerai ke tiga, maka tidak boleh lagi rujuk dan harus menunggu istrinya kawin dengan orang lain dan menjadi janda, baru setelah itu ia bisa kawin lagi dengannya (bukan rujuk yang tidak pakai aqad nikah). 

Karena si Sulthaan ini pusing, maka tanya-tanya lagi ke penasehatnya apakah masih ada lagi golongan lain dari Islam yang bisa ditanyai pendapatnya. Akhirnya dipresentasikannyalah sang ‘Allaamah al-Hilliy ra yang merupakan orang alim syi’ah kala itu. 

Ketika beliau ra diundang untuk dipertemukan dengan para ulama sunni itu, maka terjadilah peristiwa membawa sandalnya di jepitan ketiaknya itu. 

Ketika ditanya mengapa beliau ra membawa sandal, ia berkata takut dicuri sunni, karena dulu sandal Nabi saww dicuri Abu Hanifah (imam madzhab sunni Hanafiah). Sang ulama Hanafiah yang sudah datang duluan itu marah-marah dengan mengatakan “Tidak mungkin Abu Hanifah mencuri sandal Nabi saww karena ia belum lahir kala itu.” ‘Allaamah Hilli ra mengatakan: “Oh saya salah, yang benar dicuri Ahmad Bin Hanbal (imam madzhab sunni Hanbaliah).” Karuan saja ulama yang dari madzhab sunni Hanbali marah-marah dan berucap seperti yang dikatakan ulama sunni Hanafiah itu. Begitu seterusnya ‘Alaamah Hilli menyebutkan satu persatu dua imam lainnya dari imam madzhab sunni, yakni imam Maalik dan Syaafi’ii yang sudah tentu diiringi dengan kemarahan mereka dan pengulangan dalil ulama pertama yang mewakili Hanafiah itu. 

Akhirnya ‘Allaamah Hilli mengatakan kepada Raja

“Nah, itulah raja, mereka telah mengatakannya sendiri bahwa mereka telah mengikuti imam yang tidak pernah melihat Nabi saww. Bid’ah apa ini hingga mereka mengatakan bahwa 4 orang imam itu yang harus diikuti hingga kalau ada orang lain yang lebih alimpun kalau berfatwa beda dengan mereka maka tidak diikutinya? Sementara kami orang-orang syi’ah, berimam kepada imam Ali as yang merupakan jiwa Nabi saww sendiri dan saudaranya serta washinya.” 

Setelah itu sang Sulthaan bertanya: “....apakah talaq tiga dalam satu majlis itu telah jatuh talaq tiga? 

‘Allaamah Hilli bertanya: “Apakah ada saksinya waktu itu? ” Sulthaan menajawab: “Tidak.” 

‘Allamah berkata: “Kalau begitu talaq Anda batal karena tidak memenuhi syarat.” dan seterusnya. 

Akhirnya Sulthaan menyuruh ‘Allamah Hili ra untuk berdiskusi dengan mereka berempat. 

Akhir sejarah, sang Sulthaan masuk syi’ah dan sejak saat itulah maka syi’ah di Iran menjadi tumbuh kembali dan akhirnya menjadi mayoritas di Iran. 

Saya mungkin tidak akan masuk lagi dalam diskusi ini, ‘Allaahu A’lam. Semoga saja catatan kecil ini bermamfaat bagi semuanya. 

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Irfan Boleh Dipahami Tapi Tidak Boleh Dirasakan

Irfan Boleh Dipahami Tapi Tidak Boleh Dirasakan (bagi yang bukan pesuluk)




Seri tanya jawab Heri Widodo dengan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Monday, March 18, 2013 at 10:38 pm


Heri Widodo mengirim ke Sinar Agama: Rabu (12-12-2012), 

Assalam..wb.Ustad, afwan; Apakah seorang Irfan sangat Ikhlas terhadap apapun yang menimpa dirinya, & ruhaninya sangat ber- gantung total kepada Allah? Mohon penjelasan dan lain-lain. 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Irfan itu tidak melakukan dosa sama sekali, baik besar atau kecil. Tidak melakukan makruh sama sekali. Tidak menyukai apapun selain Tuhan. 

Nah, kalau kita masih punya dosa, maka jangan sesekali ingin mengejawantahkan perilaku orang- orang irfan ke dalam diri kita. 

Ketika jauh-jauh sebelum jadi irfan sudah meninggalkan semua dosa sebagaimana sering dijelaskan, maka apapun yang menimpa dirinya sebelum jadi irfan itu akan dilihat mengapa hal buruk itu menimpa. Apakah karena kesalahannya hingga ia karenanya telah melakukan dosa. Jadi, kalau hal buruk menimpa, orang yang ingin lepas dari dosa (jauh-jauh sebelum menjadi murid pesuluk dan murid irfan), akan melihat siapa-siapa yang salah dalam hal tersebut, bukan menerimanya. Tapi melihat dengan teliti jangan sampai dirinya sendiri yang salah. Kalau ternyata salah, maka ia harus bertaubat dan memperbaikinya serta kalau berkenaan dengan orang lain, maka ia harus mengqadhaa’ hak orang tersebut, seperti kalau menabrak orang lantaran ngantuk tapi tetep menyetir, atau bisnis sembarangan hingga membuat pemodal yang bekerja dengan kita menjadi bangkrut..... dan seterusnya. 

Antum dan siapa saja, tidak akan pernah mengerti perasaan irfan kalau masih melakukan dosa, makruh dan menyukai dunia. Karena itu, tugas antum adalah menghafal fikih keseharian dan tidak melanggarnya. Kalau sudah mampu maka tinggalkan dengan meninggalkan makruh. Kalau sudah mampu, maka jangan menyukai yang mubah dan apa-apa selain Allah. 

Tapi kalau hanya ingin mengerti tentang orang-orang irfan, maka hal itu tidak sulit. Semua orang bisa mengertinya. Akan tetapi harus mengosongkan diri dari pengkhayalan penerapannya pada diri sendiri. 

Menurut saya yang banyak dosa dan hijab ini, dan dengan disertai permintaan maaf dan kehalalan antum, terlihat dari pertanyaan-pertanyaan antum selama ini, sepertinya, antum ini ingin merasakan yang dirasakan orang arif/irfan. Hal ini yang membuat antum sulit memahami penjelasan-penjelasan alfakir. Karena itu, jangan memaksa diri untuk merasakan yang mereka rasakan. Kalau antum percaya kepada ana dan guru-guru ana, maka lakukan apa yang ana sarankan itu. Hafalkan fikih keseharian dan amalkan hingga antum bebas dari dosa. 

Orang mengira, bahwa fikih itu hanya menjaga najis, wudhu, mandi, shalat dan puasa. Hingga sering mengetatkan diri hanya dalam hal-hal seperti itu. Ini adalah permainan syaithan. Karena seringnya, orang seperti ini sangat-sangat melalaikan fikih yang lain, seperti fikih keluarga. 

Betapa kulihat sebagian orang, ketat dalam thaharah, shalat, puasa...dan seterusnya...hingga kalau perlu perang dengan semua orang yang beda pandangan dengan-nya tentang najis, buka puasa.....dan seterusnya. Akan tetapi, ia sama sekali tidak bertanggung jawab kepada anak dan istrinya. Padahal kewajiban keluarganya itu adalah kewajiban fikih yang justru lebih berat dari fikih-fikih pribadi itu. Karena kalau dosa yang menyangkut orang lain tersebut (anak dan istri) tidak dimaafkan, maka sangat-sangat sulit untuk lepas dari dosa kecuali kalau diqadhaa’nya. Fikih mengatakan bahwa belanja pada keluarga (istri) itu wajib dan kalau tidak dipenuhi akan terhitung hutang yang wajib dibayar (diqadhaa’) kalau sudah mampu. 

Kadang ada lelaki kalau dituntun belanja oleh istrinya, mengatakan bahwa istrinya cinta dunia. Emangnya dunia itu hanya uang dan pakaian? Malah bekerja, fb-an dalam keadaan menelantarkan keluarga...dan seterusnya...adalah cinta dunia yang nyata yang bukan hanya irfan yang mengecamnya, tapi bahkan fikih mengecamnya. 

Kadang ada lelaki yang mengatakan bahwa kalau istrinya tidak melayaninya akan dilaknat malaikat, akan tetapi ia tidak merasa dilaknat seluruh alam ketika bisa tidur dengan nyaman tanpa memenuhi tanggung jawab keluarganya. 

Saya tahu semua itu benar, yakni thaharah, shalat, puasa....dan seterusnya..itu memang harus ketat. Begitu pula seorang istri yang menolak untuk melayani suami akan mendapat laknat dalam tidurnya itu sampai terbangun besok paginya. Akan tetapi, ini hanya separuh saja dari kewajiban- kewajiban fikih itu. Karena lelaki atau seorang muslim, juga masih memiliki kewajiban fikih yang seambrek yang semua itu harus dikerjakan dengan ketat. Mengapa mau mengucap takbir saja waswas tapi kalau membentak istrinya tidak waswas????!!! 

Karena itulah saya sering mengatakan bahwa bawalah kitab fikih itu kemana saja dan baca walau dalam kesempatan yang sedikit tiap kesempatan itu ada. Karena di dalam fikih itu, terdapat uraian terhadap semua kewajiban, baik pribadi, keluarga, sosial, budaya dan politik. Semua ada di fikih. 

Anjuran tertulusku pada antum mas Heri, hadapi dunia ini dengan pemahaman dan perasaan fikih itu. Nanti kalau sudah berhasil meninggalkan semua dosa, maka baru nanti berusaha merasakan peninggal-kan makruh. Kalau sudah, maka nanti akan ana arahkan untuk merasakan peninggal-kan mubah. 

Atau kalau antum mau mengaji ilmunya saja dan tidak mencampurkan rasa dan penerapan, artinya dalam mengkaji irfan antum bisa mengosongkan diri dari pentajallian rasa irfani pada diri antum (yang kukira ada itu, semoga salah), maka ana akan menjawab dengan rinci sesuai dengan keluasan fb ini. Tentu kalau belum saya terangkan di wahdatu al-wujud yang sudah ada. 

Jawaban soalan

Ikhlash secara fikih itu harus profesional. Karena itu, kalau keburukan menimpa kita, maka kita harus melihat secara profesional (sesuai dengan fikih) hingga kita tahu siapa yang salah. Kalau kita yang salah, maka harus taubat dengan cara membenahi dan kalau berhubungan dengan ibadah atau orang lain, maka harus diqadhaa’. Jadi, ikhlash di fikih, bukan menerima yang menimpa, tapi berusaha tidak menyalahi aturan Tuhan yang sudah tertuang di fikih. 

Ikhlash secara irfan, sudah tidak khalash dari dirinya. Khalash yakni sudah selesai dari dirinya sendiri, yakni sudah fanaa’. Jawaban ini tidak akan pernah bisa dipahami kalau tidak disertai penjelasan-penjelasan lain seperti yang sudah diterangkan di wahdatu al-wujud. Jadi, ikhlash di irfan adalah sudah tidak melihat wujud siapapun selain Allah karena selain Allah, hakikatnya tidak ada dan yang terlihat dan yang terjadi hanya berkisar pada esensi saja. Jadi, tidak ada yang terjadi padanya, karena ia tidak ada. Tidak ada yang ia perlu ikhlashkan, karena ia tidak ada. Tidak ada yang perlu ia rasakan, baik sabar atau emosi, karena ia tidak ada. Nah, perasaan-perasaan seperti ini, kalau dilakukan oleh kita-kita yang masih punya maksiat dan dosa, doyan makruh dan apalagi mubah dan karamat serta surga, maka akibatnya.......tidak bisa dibayangkan lagi... Selain kesesatan nyata dan total, tidak ada lagi yang akan bisa kita raih. Na’udzubillah. Wassalam. 

Vito Balataw: Syukron ustadz atas penjelasannya, walau sebenarnya ana malu baca penjelasan ustadz, karena apa yang antum tulis semua ada dalam diri ana, kalau boleh berkata kasar diri ini hanya memikir perut dan di bawah perut semata. 

Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Rabu, 12 Desember 2018

Sujud di Atas Tanah dan Tanah Karbala (Bag: 3 (berakhir))

Sujud di Atas Tanah dan Tanah Karbala, Seri Nukilan dari Buletin Al-Muraasalaat 16, (Bag: 3 (berakhir))



by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, February 26, 2013 at 10:55 pm

Fadhilah Tanah Karbala 

Karbala adalah nama dari salah satu kota di Irak. Ia adalah nama yang sering disebut Nabi SAWW dari sejak Imam Husain as. masih bayi dan kecil. Seakan nama itu memang disiapkan Tuhan untuk menjemput cucu suci dan makshum Nabi SAWW tersebut. Sebab Karbala itu merupakan rangkapan dari “ Karbun “ dan “ Balaa’ “, yakni “ Kesusahan “ dan “ Bencana “.

Sementara yang akan mendapat “ Kesusahan “ dan “ Bencana “, yakni yang akan dikepung tanpa air di padang yang panas itu; yang akan dibantai dan dicabik-cabik; yang akan dipotong kepalanya dan diarak dengan ditancapkan di atas tombak sampai ke negeri Suria; yang keluarga dan pengikutnya juga akan menghadapi nasib yang sama; yang keluarga perempuannya dimana merupakan cucu-cucu Nabi SAWW akan dijadikan tawanan dan diarak sampai ke Suria sambil diperlihatkan kepada mereka kepalanya dan kepala para keluarganya yang laki-laki ( sebanyak 23 kepala ); yang akan menghadapi pengkhianatan umat Nabi SAWW kakeknya sendiri; yang akan dibantai hanya karena tidak mau baiat kepada pemerintahan zhalim dan tidak memiliki nas dan dalil agama sementara beliau adalah imam dan khalifah yang sah menurut agama sebagaimana tertera dalam banyak riwayat karena beliau termasuk salah satu imam dua belas yang makshum ( lihat buku kami yang berjudul: Imam Mahdi Menurut Ahlussunnah ); yang....yang......dan seterusnya., belum lahir ke dunia. 

Sungguh, yang demikian ini merupakan kenyataan yang tidak bisa dikatakan kebetulan. Perha- tikanlah nanti bagaimana Nabi SAWW menyimpan dan menciumi tanah tersebut dari sejak imam Husain as. masih bayi. 

Semua riwayat yang akan kami nukil di sini adalah riwayat-riwayat Ahlussunnah Waljama’ah. Riwayat yang menceriterakan fadhilah tanah Karbala ini tergambar dalam riwayat-riwayat yang menceriterakan tentang akan terbunuhnya imam Husain oleh umat Nabi SAWW sendiri yang diberitakan oleh para malaikat yang berkunjung kepada Nabi SAWW. 

Yang demikian itu terjadi berulang-ulang pada Nabi SAWW dan terjadi di berbagai tempat. Hal itu menunjukkan betapa penting dan besarnya hal itu. Sebab imam Husain as. bukan hanya sebagai cucu Nabi SAWW, tapi cucu yang makshum dan diangkat Tuhan menjadi salah satu imam dua belas yang wajib diikuti umat Islam. 

1- Malaikat Jibril as. Membawa dan Menghadiahi Nabi SAWW Tanah Karbala. 

Berkata ‘Aisah istri Nabi SAWW: “ Suatu hari ketika Rasulullah SAWW bersama malaikat Jibril as. di rumahku, bersabda kepadaku: Jagalah pintu!, dan akupun melakukannya. Kemudian Husain bin Ali masuk, dan Rasulullah SAWW memangkunya di pangkuannya. Jibril as. bertanya: Apakah engkau mencintainya?, Nabi SAWW menjawab: Tentu. Berkata Jibril as.: Sesungguhnya umatmu akan membunuhnya. Rasulullahpun meneteskan air mata. Jibril as. berkata: Apakah engkau ingin kutunjukkan tanah dimana ia dibunuh? Lalu malaikat Jibril as. mengeluarkan tanah-Thof yang warnanya kemerahan ( Thof, Nainawa adalah nama lain dari Karbala, red. ) “ 

Turunnya malaikat Jibril as kepada Rasulullah SAWW dalam rangka pemberitaannya tentang terbunuhnya imam Husain as. di tangan umat Nabi SAWW sendiri di masa yang akan datang, dan pemberiaannya tanah Karbala kepada beliau, sering terjadi. Terjadi di rumah beliau sendiri, di rumah istri-istri beliau seperti ‘Aisyah, Ummu Salamah dan Zainab bintu Jahsy. Dan perawinya banyak sekali, seperti istri-istri beliau ini, imam Ali as., Ibnu Abbas, Ummu al-Fadhl bintu al-Haarits, Saiyd bin Jamhaan, Abi Amamah, dan lain-lain. 

Memang bentuk hadits-haditsnya tidak sama, karena terjadinya memang bukan sekali sebagaimana yang kami katakan. Misalnya ketika peristiwa itu terjadi, di rumah Ummu Salamah, ia berkata: 

............Jibril as. berkata: Ya Muhammad, umatmu akan membunuh anakmu ini setelahmu -sambil memberi isyarah kepada Husain. Maka menangislah Rasulullah SAWW sambil memeluknya (Husain) ke dadanya. Lalu ia ( Jibril as. ) memberi Rasulullah SAWW tanah, dan beliau menciumnya sambil bersabda: Angin Kesedihan ( Karbun ) dan Bencana ( Balaa’ ) -yakni tanah Karbala. Dan setelah itu Nabi SAWW bersabda kepadaku: Wahai Ummi Salamah, simpanlah tanah ini sebagai amanat di sisimu, dan kalau nanti telah berubah menjadi darah maka ketahuilah bahwa Husain telah terbunuh ....” 

(diriwayatkan dalam banyak riwayat bahwa Ummu Salamah selalu melihat tanah tersebut, khususnya ketika imam Husain as. keluar dari Madinah pada masa kekhalifaan Yazid. Dan ketika ia melihat tanah tersebut menjadi darah pada tanggal 10-Muharram, beliaupun berteriak-teriak menangis keluar rumah, sampai orang-orang Madinah mengerumuninya dan menanyakan perihal tangisannya itu, dan beliaupun mengabarkan bahwa imam Husain as. telah terbunuh karena tanah Karbala yang diberikan kepadanya oleh Nabi SAWW telah menjadi darah, dan Madinahpun menjadi berduka, sebelum berita dari orang lain sampai kepada mereka ). 

Atau seperti yang diriwayatkan oleh imam Ali as. sesuai dengan yang diceriterakan oleh Najiy al-Hadhramiy. Suatu hari ia berjalan bersama imam Ali as.. Ketika sampai di sekitar Nainawa ( nama lain dari Karbala, red. ) yaitu suatu tempat persimpangan menuju Shiffin ( kota di Irak ), Ali berseru: 

Sabarlah wahai Aba ‘Abdillah ( julukan imam Husain as. ) di pinggiran sungai Furat ( sungat yang membentang di Irak, Suria dan Turki dimana Karbala berada di salah satu pinggirannya, red. ) “. Aku berkata kepadanya: “ Apa maksudmu? “. 

Ia ( Ali ) berkata: “ Suatu hari aku mengunjungi Rasulullah SAWW dan aku melihat kedua matanya mengalirkan air mata “. Aku bertanya: “ Ya ..Rasulullah, apakah ada seseorang yang telah membuatmu murka? Mengapa engkau menangis? “. 

Rasulullah SAWW menjawab: “ Baru saja malaikat Jibril as. pergi dari sisiku. Ia membawa berita bahwa Husain akan dibunuh di pinggiran sungai Furat. Ia ( Jibril as. ) berkata: Apakah engkau ingin mencium tanahnya?. Aku menjawab: Ia. Lalu ia ( Jibril as. ) membentangkan tangannya dan mengambil segenggam tanah dan memberikannya kepadaku. Oleh karena itulah aku menangis “. 

Atau seperti yang diriwayatkan Sa’iyd bin Jamhaan, ia berkata: 

“Suatu hari malaikat Jibril as. mendatangi Rasulullah SAWW dan memberinya tanah dari suatu desa dimana Husain akan dibunuh. Dikatakan bahwa nama daerah itu adalah Karbala. Lalu Nabi SAWW bersabda: Karbun wa Balaa’ ( Kesedihan dan Bencana )“. 

Sementara hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para shahabat di atas itu sangat banyak tersebar di kitab-kitab hadits Ahlussunnah sendiri, seperti: Ibnu Katsir dalam al-Bidaayah dan al-Nihaayahnya, 6: 230; Ibnu Hajar, dalam Tahdzibnya, 2: 346, dan al-Shawaa’iqnya, hal: 191; Mizaanu al-I’tidaal, 1: 8; Ibnu Atsir dlm Jaami’u al-Ushuul, 2: 13; Ibnu Maajah dlm Sunannya, 2: 289; al-Mustadrak, karya Hakim, 4: 398; Baihaqiy, dalam Dalaailu -al-Nubuwwahnya, 6: 468; Thabariy, dalam Dzakhairu al-’Uqbaanya, hal: 147; Thabraniy dalam al-Mu’jamnya, 3: 109, no: 2821, 23: 252-253; al-Tirmidziy dalam Jaami’u al-Shahiih, 5: 620; Thabaqoot Ibnu Sa-ad, hal: 48; Majma’u al- Zawaaid, 9: 187; Musnad Ahmad bin Hambal, 2: 60; Ibnu Maghaziliy dalam Manaqibnya, hal: 397; Suyuthiy dalam Khashoishnya, 2: 451-452; Tarikh al-Dzahabi, 3: 10, 11, 13: 655; Kanzu al-’Ummal, 7: 106, 12: 126, 13: 111; dll.. 

Ini semua hanya sebagian kecil dari alamat-alamat hadits di atas. 

2- Malaikat Hujan Memberi Nabi SAWW Tanah Karbala. 

Hadits tentang turunnya malaikat Hujan as. ini hampir sama dengan peristiwa turunnya malaikat Jibril as. di atas. Kami hanya akan menyebut sebagian perawinya dan alamatnya. Turunnya malaikat ini menambah pentingnya peristiwa terbunuhnya imam Husain as. dan tanah Karbala ini. 

Perawinya adalah shahabat Anas bin Malik dan Abi al-Thufail. 

Alamatnya di Musnad Ahmad bin Hambal, 3: 242, 265; Ibnu Katsiyr dlm al-Bidaayah wa al- Nihaayahnya, 6: 229; Suyuuthiy dlm al-Khashaishnya, 2: 450; Dzahabi dlm Taarikhnya, 3: 10; Thabari dm Dzakhaairi al-’Uqbaanya, hal: 146; Thabraniy, dlm Mu’jamnya, 3: 106; Qurthubiy, dlm al-Tadzkirahnya, hal 563; Daailu al-Nubuwwah, hal: 202; Ibnu al-Maghooziliy, dlm al-Manaaqibnya, hal: 376; dll. 

3- Malaikat dari Langit yang Tinggi Memberi Nabi Tanah Karbala 

Di antara salah satu riwayat hadits tentang turunnya malaikat ini diceritakan bahwa ia belum pernah menziarahi Nabi SAWW dan sangat ingin melakukannya. Setelah mendapat ijin dari Allah, iapun diperintah untuk mengabari Nabi SAWW bahwa cucunya Husain akan dibunuh umatnya. Akhirnya si malaikat tadi mengadu kepada Allah sebab setelah ia bahagia mendapat ijin bertemu Nabi SAWW ia mesti membawa kabar duka itu. Tapi Allah tetap memerintahkannya turun, dan iapun mentaatinya. 

Perawi hadits ini adalah ‘Aisyah, Ummu Salamah dan al-Musawwir bin Makhramah. 

Hadits-haditsnya dapat dijumpai di: Musnad Ahmad bin Hambal, 6: 294; Thabraniy, dlm Mu’jamnya, 3: 107; Tariykh Ibnu ‘Asaakir, hal: 177; Dzahabi dlm Taarikhnya, 3: 10; Ibnu Katsir dlm al-Bidaayah wa al-Nihaayahnya, 8: 199; Suyuuthiy dlm al-Haaik fi Akhbaari al-Maaik, hal: 44; Kanzu al-’Ummaal, 13: 113: al-Haitsamiy, dlm Majma’nya, 9: 187; dan lain-lain.. 

4- Malaikat Laut Memberi Nabi SAWW Tanah Karbala 

Riwayat ini datang dari Syarahbiyl bin Abi ‘Aun. Ia berkata bahwa malaikat laut yang bernama al- Faraadiys ketika turun ke laut berteriak: “ Wahai makhluk laut, hendaknya kalian memakai baju kesedihan karena anak Muhammad akan terbunuh dan disembelih “. Kemudian ia mendatangi Nabi SAWW dan mengabarinya akan hal itu sambil memberikan tanah Karbala. Lalu Nabi SAWW menangis sambil menciumi tanah tersebut. 

Hadits ini ada di Maktalu al-Husain karya al-Muwaffaq bin Ahmad al-Khurazamiy al-Hanafiy, 1; 162, ia menukil dari Taariykh Ibnu A’tsam al-Kuufiy. 

5- Semua Malaikat Memberi Nabi SAWW Tanah Karbala 

Riwayat ini memiliki alamat yang sama dengan point no: 4 di atas ini, yaitu di Maktalu al-Husain karya al-Khurazamiy seorang ulama Ahlussunnah bermadzhab Hanafiy. 

Diceriterakan dalam riwayat yang panjang bahwa: 

.......... Ketika Husain berumur satu tahun penuh, datanglah dua belas malaikat kepada Nabi SAWW dalam bentuk yang bermacam-macam. ......... Mereka berkata kepada beliau: Wahai Muhammad akan terjadi kepada anakmu Husain apa yang terjadi pada Haabiyl (Habil putra nabi Adam as. red.) ........ 
.... .... Kemudian datang seluruh malaikat langit mengucapkan ta’ziah ( bela sungkawa ), mengabarkan tentang pahalanya dan memberikan tanah Karbala kepadanya “. 

Komentar

1. Semua hadits yang kami nukil ini adalah hadits-hadits Ahlussunnah Waljamaah, dan tak satupun dari hadits Syi’ah, sekalipun banyak juga terdapat di sana.

2. Berulangnya dan beragamnya pengkabaran tentang akan terbunuhnya imam Husain as. dan pemberian tanah Karbala oleh para malaikat itu menunjukkan pentingnya peristiwa tersebut, bukan menunjukkan pertentangannya sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang seperti Doktor Muhammad Khaliyl Haros. Sebab, imam Husain as. adalah salah satu imam dua belas yang makshum yang syahidnya paling menyedihkan dari imam-imam lainnya. 

Pentingnya keimamahan ini sama dengan pentingnya kenabian nabi Muhammad SAWW. itu sendiri. Sebab tanpa imam-makshum, maka lenyaplah apa yang dikatakan Islam asli, murni, seratus persen, Shirathulmustaqim, hakiki dan sempurna. Oleh karena itu tidak percuma kalau Nabi SAWW bersabda: 

“Barang siapa mati dan ia tidak tahu imamnya ( tidak baiat pada imamnya ), maka matinya sama dengan matinya orang-orang jahiliyah“ ( Shahih Bukhori, bab: Fitan, 5: 13; Shahih Muslim, 6: 21-22/ 1849 ). 

Tentu, imam atau pemimpin di sini bukan sekedar pemimpin. Tapi pemimpin yang makshum dan bersih dari segala dosa dan kesalahan yang dijamin oleh Allah dan Nabi SAWW sendiri melalui al-Qur'an dan hadits-hadits yang shahih. Sebab adanya pemimpin yang tidak tahu Qur'an seratus persen bukan hanya tidak akan pernah menjaga Islam yang Mustaqim/lurus, tapi ia malah akan merusak Islam itu dari dalam dan atas nama Islam itu sendiri. Oleh karena itu Nabi SAWW telah banyak menitipkan hal keimamahan ini di samping hadits di atas itu. Seperti: 

"Setelah aku ada dua belas pemimpin, semuanya dari Quraiysy “ ( Shahih Bukhoriy, 4: 164, bab: Istikhlaaf; Shaih Muslim, 2: 119, kitab: Imaaroh; dan lain-lain yang banyak sekali ) 

Dan seperti (+/-): “Kutinggalkan dua perkara, kitab Allah dan keluargaku dimana keduanya tidak akan berpisah sampai berjumpa aku di Haudh ( telaga di surga, tidak berpisahnya keduanya itu menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah keluarga yang suci dan makshum, bukan sembarang keluarga dan keturunan, red. )“ ( Hadits seperti ini dan yang serupa, dapat dijumpai di Shahih Muslim, 2: 362; tafsir Ibnu Katsiyr, 4: 113; Thabariy dlm Dzakhooiru al-’Uqbaanya, hal: 16; Musnad Ahmad bin Hambal, 3: 17, 26, 59, 4: 366, 371; tafsir al-Durru al-Mantsuur, 2: 60; tafsir Khoozin 6: 102; Kanzu al-”Ummaal, 1: 158, 799; dan lain-lain dari puluhan kitab-kitab Ahlussunnah dimana di sana diriwayatkan oleh 35 orang shahabat ). 

Dan seperti (+/-): “Ya... Jabir, sesungguhnya pengganti-penggantiku dan para pemimpin umatku setelah aku ada dua belas orang. Yang pertama Ali, kemudian anaknya Hasan, kemudian saudara Hasan yaitu Husain, kemudian anak Husain yang bernama Ali yang dijuluki Zaina al-’Abidin dan setelah itu anak Ali ini yang bernama Muhammad yang dijuluki Baqiru ‘Ilmu al-Nabiyyiyn, kemudian anak Muhammad ini yang bernama Ja’far yang dijuluki al-Shoodiq, kemudian anak Ja’far ini yang bernama Musa yang dijuluki al-Kaazhim, kemudian anak Musa ini yang bernama Ali yang dijuluki al-Ridha, kemudian anak Ali ini yang bernama Muhammad yang dijuluki al-Taqiy, kemudian anak Muhammad ini yang bernama Ali yang dijuluki al-Naqiy, kemudian anak Ali ini yang bernama Hasan yang dijuluki al-’Askari, kemudian anak Hasan ini yang bernama Muhammad yang dijuluki al-Mahdi. Ketahuilah bahwa yang terakhir ini akan ghaib dalam waktu yang sangat lama sekali sehingga orang untuk mengimaninya terasa berat, lalu setelah itu ia akan keluar untuk meratakan keadilan di muka bumi setelah dipenuhinya dengan kezhaliman “. 

Jabir bertanya: “ Apakah bermanfaat ketika imam Mahdi itu ghaib?” 

Rasul SAWW menjawab: “Tentu. Ia akan tetap memberikan manfaat seperti matahari yang tertutup awan“ ( Yannabi’u al-Mawaddah, karya al-Qanduuziy al-Hanafiy, 3: 170, bab: 93; dll hadits yang banyak sekali, lihat juga buku kami Imam Mahdi menurut Ahlussunnah ). 

Pembaca budiman, ketahuilah bahwa Islam bisa bertahan bukan karena bertahannya al- Qur'an saja. Sebab, bertahannya al-Quran yang tidak dipahami seratus persen oleh umatnya atau setidaknya salah satu umatnya, tidak akan bisa memberikan banyak manfaat dilihat dari sisi kemurnian ajaran Islam yang diamalkan oleh umatnya. 

Ia ( Qur'an ) memang tanda Islam yang sejati dan murni yang tidak bisa diragukan lagi. Tapi ia tidak akan pernah menjamin penganutnya kalau mereka tidak memahaminya dan mengamalkannya persis sebagaimana Nabi SAWW memahami dan mengamalkannya. Oleh sebab itu, tidak adanya imam makshum yang dijamin Tuhan dan Nabi SAWW setelah masa beliau, pertanda tidak bertahannya Islam murni yang dikatakan Shiroothu al-Mustaqiym tersebut. Karena itu tidak heran kalau Nabi SAWW bersabda: 

"Husain dari aku dan aku dari Husain“ ( lihat alamat di atas ) 

Untuk memahami bahwa imam Husain as. dari Rasulullah SAWW sangat mudah, karena imam Husain as. putra Fathimah as. dan beliau putri Nabi SAWW. Dan Nabi SAWW bersabda yang maknanya : 

"Semua keturunan dari ayahnya kecuali keturunanku dan keturunan nabi Ibrahim as. yang dari Maryam“ 

Maka dari itu putra-putra Fathimah terhitung putra/cucu Nabi SAWW dan nabi Isa as. terhitung putra/cucu nabi Ibrahim as. ( QS: 6: 83-85 ). 

Begitu pula, kalau kita lihat diri sisi agama. Sebab sudah tentu bahwa Islam imam Husain as. dari Rasulullah sebagai perantara Tuhan kepada seluruh umat manusia dimana termasuk imam Husain as. sendiri. 

Tapi bagaimana memahami bahwa Nabi SAWW dari imam Husain as.? Untuk menjawab hal ini tidak mudah. Salah satu jawaban yang umum dari pertanyaan tersebut berkenaan dengan pembahasan kita di sini. Yaitu, bahwasannya munculnya kembali agama Nabi SAWW yang murni, dari imam Husain as. 

Maksudnya, setelah Nabi SAWW wafat agama mesti dipegang dan dipimpin oleh orang makshum dengan alasan di atas. Sementara dua orang makshum sebelumnya, imam Ali as. dan imam Hasan as. disia-siakan oleh umat Nabi SAWW sendiri. Sampai suatu hari kepemimpinan umat dipegang oleh orang yang semua muslim tahu bahwa ia adalah pemabuk, pembunuh, keji, ........ dan seterusnya. 

Ia adalah Yazid bin Mu’awiyah. Kejadian besarnya saja, pada tahun pertama kekhilafaannya, ia membunuh imam Husain as. dan sekitar dua puluh tiga cucu dan karobat Nabi SAWW yang lain, serta sekitar lima puluh shahabatnya yang diantaranya shahabat Nabi SAWW; tahun ke dua menyerbu Mekkah sehingga Mekkah banjir darah dan Ka’bah sempat retak karena meriam Yazid ini; tahun berikutnya menyerbu Madinah dan menghalalkan semua yang ada, sehingga dikatakan dalam kitab-kitab sejarah bahwa pada tahun itu lahir sekitar tujuh puluh ribu anak haram yang diakibatkan pemerkosaan tentara Yazid. Entah berapa ribu dari shahabat-shahabat Nabi SAWW yang terbunuh ditangan pemerintahan Yazid ini. 

Walhasil, padajamankeimamahanimam Husain as. dimanabertepatandenganpemerintahan Yazid ini, Islam betul-betul terancam sirna sama sekali, sehingga bukan saja Islam seratus persen, Islam lima persen saja terancam sirna. Sebab semua shahabat atau tabi’iyn yang baik pasti terancam pembunuhan dan/atau penjara, sehingga tidak akan tersebarkan agama Islam kecuali yang telah diselewengkan. 

Di sinilah imam Husain as. sebagai salah satu makshum, memiliki peranan penting untuk menolong Islam sehingga tidak terancam sirna. Yaitu dengan bangkit menentang Yazid dengan pedang sekalipun tidak memiliki penolong kecuali sekitar tujuh puluh tiga orang atau lebih ( kalau dilihat dari yang terbunuh di luar Karbala ). 

Sekalipun dalam perhitungan bisa saja muslimin membantu imam Husain as. karena beliau keluarga-Suci Nabi SAWW ( bukan sekedar keluarga atau cucu saja ), dan bisa saja orang yang memeranginya berbalik membantunya ( bertaubat ), tapi tidak mustahil pula bahwa mereka tetap nekad memilih dunia ketimbang akhirat. 

Namun demikian, imam Husain as. meneruskan perjuangannya dan tidak gentar sedikitpun. Kalau kemungkinan pertama yang terjadi, maka lenyaplah pemerintahan zhalim yang mengancam sirnanya Islam. Tapi kalau kemungkinan ke dua yang terjadi, maka imam Husainpun akan tetap memetik kemenangan dari kebangkitannya itu. 

Yang dimaksud kemenangan dalam kemungkinan ke dua di atas adalah, terang-terangannya cucu Nabi SAWW dibantai di Karbala dimana akan menyebabkan mata semua orang terbelalak dan akan bangun dari tidurnya. Kalau imam Hasan as. ( cucu-Suci Nabi SAWW ) dibunuh dengan taktik racun oleh Muawiyah melalui istri imam Hasan as. sendiri, dengan janji akan dikawinkan dengan Yazid yang kala itu sebagai putra mahkota, sehingga karena taktiknya itu orang-orang tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi dibalik terbunuhnya imam Hasan as. itu, tapi terbunuhnya imam Husain as. yang keluar rumah dan menjemput lawan di medan terbuka ( padang pasir Karbala ), tidak akan bisa ditutup-tutupi. 

Oleh karena itu setelah peristiwa terbunuhnya imam Husain as., keluarga dan shahabat- shahabatnya, dimana para perempuan dari keluarga mereka dirantai, disandra dan diarak dari Irak sampai ke Suria ( khususnya keluarga imam Husain as. dan cucu serta karobat Nabi SAWW yang lain ), dimana kepala imam Husain as. dan dua puluh tiga cucu dan karobat Nabi SAWW yang lain dipancung, ditancapkan di atas tombak dan diarak dari Irak sampai ke Suria ( istana Yazid ) bersama tawanan-tawanan itu, maka umat Islam jadi terkejut, gempar dan terjungkal dari tidurnya. 

Sehingga timbullah kebangkitan-kebangkitan Islam di mana-mana menentang kezhaliman kerajaan dimana pada akhirnya mereka pada bertumbangan. Baik yang di tangan Bani Umayyah ( keturunan/keluarga Umayyah ) atau yang di tangan Bani Abbas. 

Tujuan imam Husain as. bukan hanya tumbangnya kerajaan-kerajaan itu. Sebab semua itu terhitung kecil dan bukan tujuan asli. Ia hanya merupakan sampingan saja. Tujuan yang sesungguhnya adalah membuat muslimin tahu mana yang Islam dan mana yang bukan; mana ajaran Nabi SAWW dan mana yang bukan; mana ajaran murni dan mana yang bukan; mana yang mesti dimengerti dan dipertahankan dengan segala upaya dan mana yang bukan. 

Ringkasnya, tujuan imam Husain as. adalah mempertahankan Islam Nabi SAWW yang murni dimana telah banyak mengalami penodaan dan penyelewengan. Sudah tentu sekalipun mesti dengan kesyahidan beliau. Sungguh tujuan itu tergambar dalam ucapan beliau sendiri yang mengatakan: 

"Seandainya agama kakekku tidak lurus kecuali dengan terbunuhnya aku, maka wahai pedang- pedang, ambillah aku“ 

Inilah yang dikenal dengan “ Menangnya Darah Atas Pedang “. Dengan demikian, kalau diri/ darah dan agama imam Husain as. dari Nabi SAWW, di sini tegaknya atau lurusnya kembali agama Nabi SAWW adalah dengan imam Husain as. 

Nah, peristiwa besar yang memiliki peranan yang sangat penting seperti di atas ini, sudah tentu mesti diagung-agungkan sekalipun peristiwa itu belum terjadi. Sebab tujuannya menyadarkan kaum muslimin akan Islam yang seratus persen dimana sedang mengalami ancaman sirna, bukan menang atas kerajaan. Apalagi kalau Nabi SAWW sendiri yang memberitakannya, itupun secara berulang-ulang. Atau malaikat Jibril as. dan para malaikat yang lain, itupun secara berulang-ulang. Atau Allah melalui para malaikatnya itu, itupun secara berulang-ulang. 

Dengan perincian ini dapat dimengerti bahwa perbedaan hadits yang banyak mengenai pemberitaan akan terbunuhnya imam Husain as. dan pemberian tanah Karbala kepada Nabi SAWW itu, tidak menunjukkan perbedaan yang membawa kepada kelemahan hadits tersebut. Tapi justru menunjukkan kepada kejadian yang berulang-ulang di berbagai waktu dan tempat serta melalui berbagai malaikat, demi mengagungkan peristiwa tersebut karena tetapnya Islam yang murni tergantung kepada peristiwa itu. 

Maka dari itu tidak heran kalau dalam berbagai hadits, kita dapat menjumpai bahwa para nabi terdahulu seperti Nuh as., Ibrahim as., dllnya memberitakan peristiwa Karbala tersebut. Mengapa tidak heran? 

Sebab peristiwa itu berfungsi persis seperti fungsi yang dikandung dalam peristiwa per- mulaan turunnya Islam dan kenabian nabi Muhammad SAWW sendiri. Karena kedua-duanya berfungsi sebagai tegaknya dan tersebarnya Islam yang lurus seratus persen yang dijamin Allah dan Nabi SAWW sendiri. 

Nah, kalau kita tidak heran bahwa turunnya Islam di masa datang dan akan datangnya nabi besar dan nabi terakhir yang bernama Muhammad SAWW diberitakan oleh para nabi sebelumnya, mengapa kita heran bahwa peristiwa besar yang dapat mempertahankan agama terakhir itu diberitakan juga oleh mereka as.? 

3. Berulangnya pemberian tanah Karbala kepada Nabi SAWW oleh beberapa malaikat dan bah- kan pemberian yang dilakukan oleh semua malaikat, tidak membuat kota Karbala itu lenyap. Dan pengulangan itu tidak lain menunjukkan keutamaan dan fadhilah tanah Karbala. 

Mungkin ada yang berfikir bahwa kalau semua malaikat memberi Nabi SAWW tanah Karbala, sementara jumlah mereka tidak terhitung karena banyaknya, sebagaimana difirmankan Tuhan : “Tidak ada yang tahu jumlah tentara Tuhanmu kecuali Dia“ ( QS: 74: 31 ), maka sudah pasti bahwa tanah kota Karbala itu akan lenyap sampai ke inti buminya sekalipun. 

Untuk membatalkan pikiran seperti ini kita mesti ingat bahwa setiap sesuatu itu memiliki unsur lahir atau materi dan memiliki unsur batin atau ruh atau hakikat kehidupan. Sebab, sebagaimana di buletin-buletin terdahulu sering dibahas, bahwa setiap materi tidak akan mampu mengatur dirinya walaupun sekedar putaran atomnya dari setiap wujud materi. Putaran proton atas netron yang tidak pernah berubah baik dari segi jarak atau kecepatan, menunjukkan adanya kehidupan ruhani atau non-materi. 

Oleh karena itu Tuhan berfirman: 

“Bertasbih kepadaNya langit yang tujuh dan bumi dan yang ada di antara mereka. Sungguh tak satupun dari keberadaan kecuali bertasbih dengan memujaNya akan tetapi kalian tidak mengerti tasbih mereka itu. Sungguh Ia Maha Penyantun dan Maha Pengampun“ ( QS: 17: 44 ). 

Sebagian orang mengartikan bahwa tasbihnya binatang, pepohonan, bumi, bebatuan, air, matahari, bulan, ........ dan seterusnya dari selain manusia itu adalah bergerak dan berputar sesuai dengan hukum alam. Tafsiran semacam ini jelas tidak benar. Sebab, dalam ayat itu diterangkan bahwa kita tidak mengetahui tasbih mereka itu. Sedang kita mengetahui bahwa gerak air dari atas ke bawah, kalau terkena panas menguap, kalau terkena dingin sampai ke titik bekunya ia akan membeku, dan lain-lain adalah termasuk dari hukum air. Begitu pula, kita tahu hukum-hukum alam yang lain daripada air itu. 

Mereka ini menafsir sesuka hati dan menyesuaikan ayat-ayat Tuhan dengan akalnya yang sangat pendek. Sehingga mengingkari kehidupan semua wujud yang diciptakan Allah. Yakni mengingkari wujud ruh atau non-materi dari setiap benda yang nampak mati seperti batu, bumi, air dan lain-lainnya itu. Padahal Tuhan berfirman: 

“Tak satupun dari binatang yang melata di muka bumi dan burung-burung yang berterbangan dengan sayap-sayapnya kecuali umat seperti kalian juga, dan Kami tidak meluputkan sesuatupun di dalam al-Kitab ( Qur'an ), kemudian mereka itu akan dikembalikan kepada Tuhan mereka“ (QS: 6: 38 ). 

“Kemudian Ia ( Allah ) berfirman kepadanya ( langit ) dan bumi: Datanglah kalian dengan suka rela atau terpaksa. Mereka berkata: Kami datang dengan suka rela“ (QS: 41: 11). 

Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami dengan jelas bahwa apapun benda materi yang ada ini, apakah ia manusia atau batu dan benda mati, semua dan semua memiliki ruh-kehidupan. Ini bukan animisme, tapi kenyataan yang dipaparkan al-Qur'an. Dan nanti, di akhirat, mereka semua akan menyaksikan perbuatan manusia di depan Tuhan, sebagaimana kulit-kulit kita. 

Dengan penjelasan yang pendek ini dapat disimpulkan bahwa setiap benda memiliki ruh, baik benda yang kelihatan hidup atau mati. 

Dan pembaca tahu bahwa yang namanya ruh itu adalah wujud non-materi. Sebab materi sebagaimana materi, tidak dapat mengetahui, mendengar dan berbicara apalagi bertasbih. Manusia, binatang, pepohonan yang ditinggalkan ruhnya, mereka tidak bisa lagi melakukan apa-apa yang bisa dilakukan seperti semasa mereka masih hidup atau memiliki ruh. Begitu pula dengan air atau bebatuan dan benda-benda yang kelihatan mati lainnya, sekalipun kita tidak mengetahui dan merasakannya. 

Memang, bisa saja setiap benda yang kelihatan mati itu hanya akan mati sewaktu hari Qiamat nanti, sehingga sekarang mereka tidak akan mati sekalipun dibakar, dihancurkan dan seterusnya. Seperti batu yang dijadikan semen, air yang diuapkan, tanah yang dibakar dan menjadi bata,...... dan seterusnya. Namun yang jelas, menurut ayat Tuhan dan akal-filsafat, semuanya itu memiliki ruh kehidupan sendiri-sendiri. 

Kalau semua itu telah dipahami, maka kita akan mudah memahami pernyataan yang mengatakan bahwa semua malaikat memberi tanah Karbala kepada Nabi SAWW. Kita tidak akan bingung mendengar pernyataan ini. Sebab, kita tahu bahwa malaikat adalah wujud non-materi, dan ketika turun ke Nabi SAWW turun kepada Ruh-Nabi SAWW yang juga non- materi yang mana seringnya dikatakan di dalam hadits-hadits atau ayat sebagai Hati-Nabi SAWW ( Lihat QS: 2: 97, dimana dikatakan bahwa malaikat Jibril as. turun ke hati Nabi SAWW), maka jelas sekali bahwa kalau malaikat itu memberikan tanah Karbala kepada Nabi SAWW adalah hakikat tanah tersebut, yakni ruh atau wujud non-materinya. 

Memang, terkadang malaikat menjelma dalam bentuk dhahir dan materi dengan ijin Allah. Seperti dikala malaikat Jibril as. datang kepada Nabi SAWW dalam bentuk manusia dan menanyakan kepada Nabi SAWW tentang Islam dan iman serta ihsan, di depan para shahabat, sebagaimana sering hadits ini dinukil dalam buku-buku atau ceramah-ceramah. 

Tapi ingat! bahwa hal itu bukan bentuk dan hakikat Jibril as. yang sesungguhnya. Sebab, bentuk sesungguhnya hanya bisa dilihat Nabi SAWW dengan mata hatinya, baik di gua Hiro’ atau di Mi’roj beliau. Yang biasanya malaikat Jibril as. dilukiskan dalam bentuk bersayap dan semacamnya. Di mana kalau dalam filsafat bentuk inipun merupakan bentuk Barzakhnya atau Mitslanya, bukan materi-kasar. Yakni bentuk yang tidak bermateri-kasar, yakni non-materi yang paling bawah, yakni non-materi yang masih memiliki sifat materi, yakni non-materi yang berada di bawah Akal-Pelaku, .....dan seterusnya. (lihat buletin-buletin terdahulu). 

Dengan penjelasan di atas ini, maka sebanyak apapun tanah Karbala yang diberikan malaikat kepada Nabi SAWW., tidak akan pernah menggangu tanah Karbala yang berupa materi-kasar yang berada di kota Irak itu, ini yang pertama

Yang ke dua, sebanyak apapun tanah yang diberikan kepada Nabi SAWW tidak akan pernah mengurangi ruh dari tanah Karbala tersebut. Sebab, yang namanya materi tidak bisa dibatasi dengan ruang dan waktu, sehingga ia berkurang atau tambah kecil. Karena besar-kecil, bertambah-berkurang, hanyalah hal-hal yang bisa terjadi pada materi-kasar yang dibatasi dengan ruang atau volume. Begitu pula halnya dengan tanah yang ada di tangan-ruh Nabi SAWW ketika menerimanya, bukan di tangan badan-materinya.. 

Yang ke tiga, memang, terkadang malaikat dengan ijin Allah memberikan kepada Nabi SAWW tanah Karbala yang berupa materi kasarnya, seperti yang dititipkan ke Ummu Salamah di atas ( lihat riwayat Ummu Salamah di sub judul: Fadhilah Tanah Karbala ). Tapi riwayat lainnya kebanyakan adalah jelmaannya saja sebagaimana ketika malaikat Jibril as. menjelma dalam bentuk manusia sehingga kelihatan oleh banyak orang selain Nabi SAWW, Allahu a’lam. 

Kalau pembaca sudah tidak memiliki masalah dengan hal di atas, maka tinggal satu, yaitu buat apa pemberian itu berulang-ulang? Kalau pengulangan pengkabaran tentang terbunuhnya imam Husain as. sudah jelas, yakni demi mengagung-agungkan masalah itu demi bertahannya Islam yang murni, tapi pengulangan pemberian tanahnya bermaksud apa? 

Untuk menjawab hal ini memang hanya Allah yang berhak, karena Ia-lah yang tahu segalanya. Tapi yang jelas kita dapat memperkirakan bahwa di balik peristiwa itu ada sesuatunya yang penting yang berkenaan dengan tanah tersebut. Sebab Tuhan tidak akan melakukan atau mengijinkan malaikat-malaikatnya melakukan sesuatu kecuali ada hikmah dan fadhilah di baliknya. Hal ini saja sudah cukup untuk membuktikan FADHILAH TANAH KARBALA. 

Dengan demikian apakah salah orang-orang Syi’ah bertabarruk dengan tanah Karbala itu untuk dijadikan ALAS SUJUD SAJA dan bukan untuk disembah? Dimana Nabi SAWW dalam riwayat-riwayat Sunni di atas suka menciumnya, dan menangisi Husainnya setelah itu? Bukankah dengan ini berarti mencium tanah Karbala dan menangisi Husain as. menjadi Sunnah hukumnya? Bukankah Nabi SAWW menyuruh Ummu Salamah untuk menjaga dan menyimpan tanah tersebut sebagai amanat di sisinya? 

Di lihat dari hadits-hadits Ahlussunnah saja sudah cukup untuk membuktikan kebenaran dan KEBOLEHAN SUJUD DI ATAS TANAH KARBALA. Apalagi ditambah dengan hadits-hadits Syi’ah. Sebab di sana sesuai dengan ilmu-ilmu Islam Nabi SAWW yang diberikan kepada imam-imam dua belas yang makshum dan suci as., sujud di atas tanah Karbala itu bukan saja boleh sebagaimana sujud di atas tanah yang lain, tapi justru Sunnah hukumnya. Dan banyak sekali riwayat yang mengatakan bahwa tanah Karbala dapat menyembuhkan segala macam penyakit, baik penyakit dhahir atau batin, dan lain-lain. fadhilah yang lainnya. 

Sejarah Mesjid dan Sejadah-Kain 

Sebenarnya, masjid di jaman Nabi SAWW dan khalifah yang empat, lantainya tidak dihampari dengan kain/karpet, bahkan tidak juga dengan tikar-daun yang boleh disujudi. Hal ini bukan berarti tidak umum dan mereka tidak punya ide untuk itu, tapi karena tidak bolehnya sujud kecuali di atas tanah langsung dan menjaga sunnah Nabi SAWW yang wajib dicontoh serta menganggap perbuatan itu adalah bid’ah. Oleh sebab itu para shahabat kalau panas memilih menggenggam batu-batu kecil supaya dingin dan setelah sujud dijadikan alas sujudnya. Di sini kami akan menambahkan sedikit riwayat-riwayat Ahlussunnah yang lain yang berkenaan dengan dan menunjukkan bahwa masjid-masjid tidak dihampari kain/karpet dari kain dan bahkan tidak pula dari daun: 

Berkata Ibu Abbas: “ ........ Kemudian Rasulullah SAWW mendatanginya ( imam Ali as. ) di mesjid. Beliau menjumpainya tidur dan penutup punggungnya lepas/tersingkap sehingga punggungnya dipenuhi tanah. Lalu beliau sambil membersihkan tanah yang menempel di punggungnya itu beliau bersabda: Duduklah wahai Abu Turoob ( Ayah tanah, sejak itu imam Ali as. dijuluki Abu Turoob, red. ) “ ( Shahih Bukhari, 1: 92, kitab: Shalat, bab: Tudur di mesjid; dan di 5: 18-19, 8: 45, 8: 63; Shahih Muslim, bab: Fadhilah Ali bin Abi Tholib; Tarikh Thabari, 8: 28; dan lain-lain ). 

Berkata Abu al-Waliyd: “Aku bertanya kepada Ibnu ‘Umar bin Khoth-thob tentang permulaan melantai/menghampari mesjid dengan batu-batu kecil ( yakni di atas tanahnya, red. ). Ia ( Ibnu ‘Umar ) berkata: Pada suatu malam turun hujan dan ketika pagi kami keluar ke mesjid untuk melakukan shalat subuh. Salah satu orang ada yang melewati sungai yang banyak batu kecilnya, lalu ia membawa batu-batu kecil itu dengan bajunya dan dijadikannya alas dia shalat. Dan ketika Rasulullah SAWW melihatnya beliau bersabda: Betapa bagusnya bisaath ini. Itulah awal dari penghamparan tanah mesjid dengan batu-batu kecil itu“ ( Sunan Abu Dawud, kitab: al-Shalat, bab: membatui mesjid; Baihaqiy, dlm Sunan al-Kubro, 2: 440 ). 

Komentar: Hadits ini juga bisa menjadi dalil bahwa tidak semua kata Bisaathun atau Thinfasatun/ Thanfisatun bermakna hamparan permadani sekalipun kata-kata ini bisa dipakai untuk makna itu, khususnya pada jaman sekarang ini ( lihat kamus Arab-Indonesia, karya Mahmud Yunus ). Bahkan menjadi dalil bahwa kalau kedua kata itu dipakai dalam riwayat yang berkenaan dengan shalat dan alas shalat, maka akan bermakna Hamparan Batu-batu dan/atau Tikar-daun, bukan hamparan dari kain atau bulu binatang. 

Berkata Umar bin Khoth-thoob sewaktu memugar mesjid Nabawi: “Aku tidak tahu mesti kita hampari apa mesjid kita ini“. Ada yang berkata: “Hampari saja dengan tikar“. Ia berkata: “Ini adalah lembah yang diberkati ( maksudnya salah satu lembah yang ada di Madinah, red. ), sesungguhnya Rasulullah bersabda: Aqiq adalah lembah yang diberkati“ ( Samhuudiy, dlm Wafaa’ al-Wafaa’ Biakhbaari Daari al-Musthafaa, 1: 473 ). 

Berkata Hasan al-Bashriy: “ Suatu hari ‘Utsman bin ‘Affaan berpidato di depan kami ( maksudnya di mesjid dan di jaman khalifahnya). Lalu orang-orang memotong ucapannya itu dan melemparinya dengan batu-batu kecil ..... ( maksudnya yang ada di mesjid itu ) “ ( al-I’tishoom, karya al-Syaathibiy, 1: 64 ). 

Komentar: Di lihat dari hadits-hadits terdahulu dan yang baru saja lewat ini, dapat dipahami bahwa sampai ke masa para khalifahpun mesjid masih tidak dihampari permadani atau karpet dari kain, bahkan tidak pula dari tikar-daun sekalipun bisa dijadikan alas sujud sebagaimana maklum. Sedang aqiq yang dimaksud dalam riwayat khalifah Umar bin Khoth-thoob itu bukan batu aqiq yang sekarang umum dipakai. Tapi maksudnya batu aqiq yang masih berserakan di salah satu lembah yang ada di Madinah pada waktu itu dan belum tergosok halus sehingga layak dipakai cincin dan sebagainya. Jadi masih berupa batu-batu biasa. 

Oleh karena itu tidak heran kalau banyak yang menafsirkan ayat yang berbunyi “Mereka memiliki tanda bekas sujud di muka mereka“ ( QS: 48:29 ) dengan mengatakan bahwa di muka/dahi mereka ada bekas tanah atau pasir bekas sujud ke tanah. Lihat Tafsir Qurthubiy, 16: 293; Zubaidiy dlm Ittihaafu al-Saadati al-Muttaqiyn, 3: 31; dan lain-lain. ). 

Setelah pembaca ketahui semua itu, coba lihat apa yang dikatakan imam Ghozali dalam kitabnya Ihyaa-u ‘Uluumi al-Diyn, 1: 80: 

“Sesungguhnya dari dulu menghampari mesjid terhitung bid’ah. Dikatakan bahwa hal itu (meng- hampari mesjid) adalah dari bid’ahnya al-Hajjaaj, sebab orang-orang terdahulu jarang sekali yang menjaraki antara dahinya dengan tanah (maksudnya di rumah-rumah mereka dan dengan tikar daun, dan kalaulah dengan kain-baju tapi kalau berhalangan sebagaimana maklum, red.)“. 

Komentar: Hajjaaj adalah salah satu gubernur kerajaan/kekhalifaan Bani Umayyah. Ia pernah dijadikan panglima perang menghancurkan pemerintahan Abdullah bin Zubair yang memerintah di Mekkah kala itu dan melempar peluru-peluru api ( buntalan yang dibakar ) dengan Manjaniq ( meriam masa itu ) ke Ka’bah dan menjadikannya rusak. Ia ( Hajjaaj ) disifati oleh banyak ahli sejarah Sunni dengan Kejam dan Penumpah darah ( Muruuju al-Dzahab, karya Ma’uudiy, 3: 91; dan lain-lain ). Mas’uudiy menambahkan dalam Muruujnya itu di 3:166-167, bahwa selama Hajjaaj jadi gubernur Irak ia membunuh 120.000 orang muslim di selain perang, dan ketika ia mati dipenjaranya masih ada 50.000 muslimin dan 30.000 muslimat dimana 16.000 mereka dipenjara dengan keadaan telanjang. Ia pernah menyiksa dengan membakar tangan shahabat seperti Jaabir bin ‘Abdullah al-Anshariy, Anas bin Malik dan Sa-ad bin Saa’idiy ( Taarikh Ya’quubiy, yang disyarahi Sayyid Muhammad Shadiq, 3: 27-29; Muhammad bin Sa-ad dalam Thabaqootu al-Kubro, 5: 220; al-Kaamilu fi al-Taariykh, karya Ibnu Atsiyr, 4: 359; dan lain-lain ). 

Sampai di sini sejarah mesjid dapat diketahui, bahwa dari jaman Nabi SAWW sampai dengan jaman sebelum Hajjaaj jadi gubernur dari kerajaan Bani Umayyah yaitu ‘Abdulmalik bin Marwan, raja ke lima dari raja-raja Bani Umayyah ( berkuasa th. 65-86 H ). Baru setelah masanya itu mesjid dihampari dengan tikar, sekalipun masih berupa tikar-daun. Itupun masih sebagiannya saja, yakni di kota ia berkuasa. Sedang di kebanyakan masjid muslimin dunia masih memakai batu-batu kerikil atau tanah. Oleh karena itu berkata Sakhoowi dalam kitabnya al-Tuhfatu al-Lathiyfatu, 1: 376, bahwa mesjid-mesjid sampai dengan tahun 131 H. atau 132 H. tetap memakai tanah atau batu-batu kecil ( kerikil ), sampai pada akhirnya mesjid Nabawi dihampari dengan batu-batu sungai ( Rodhroodh ). 

Sedang sejarah sejadah dapat diketahui dari Ensiklopedi Islam yang berjudul Daairatu al-Ma’aarifi al-Islaamiyah 11: 275, yang menuliskan ( di sini kami akan menukil yang berhubungan dengan sejadah ini dan rinciannya bisa dilihat sendiri di sana ): 

" Kata Sajjaadatun ( sejadah ) tidak dapat ditemui di ayat-ayat Qur'an atau di kitab-kitab hadits shahih ( maksudnya kitab hadits Shahih yang enam, red. ). ..... ......... Kata ini dapat dijumpai seabad setelah masa penulisan Hadits shahih yang enam. .. .. .. .. Dinukilkan dari Ibnu Bathuuthoh di dalam kitab Rehlatu Ibnu Bathuuthoh 1: 72-73, bahwa ia mengatakan bahwasannya orang-orang pinggiran kota Cairo Mesir, terbiasa menampakkan diri ketika pergi untuk menunaikan shalat Jum’at. Sebab, masing-masing pembantu mereka membawakan dan menghamparkan sejadah untuk shalat mereka. Ibnu Bathuuthoh mengatakan bahwa sejadah mereka terbuat dari pelepah pohon kurma. Dikatakan bahwa setiap orang dari penduduk Mekkah pada jaman sekarang shalat di mesjid jami’ dengan sejadah. Orang-orang yang pulang haji banyak membawa sejadah buatan Eropa yang bergambar dan mereka tidak perhatian terhadap gambarnya ( ? ) .. .. .. . .. .... Sejadah masuk ke Mesir diinport ( juga ) dari Asia-kecil, untuk dipakai shalat oleh orang-orang kaya dimana di dalamnya digambari mihrob yang mengarah ke Kiblat. ... ... “. 

Berkata Murtadho al-Zubaidiy, pengarang Taaju al-’Aruus Bisyarhi al-Qoomuus ( beliau wafat tahun 1205 H. ) di dalam kitabnya yang berjudul Ittihaafu al-Muttaqiyn Bisyarhi Ihyaa-i ‘Uluumu al-Diyn, 3: 201 ( kitab yang menerangkan atau mensyarahi kitab Ihyaa’ milik imam Ghozaliy ): 

“Sebab ke tujuh: Hendaknya menjauhi shalat di atas permadani/sejadah yang dihiasi/digambari dengan warna-warni yang menyenangkan. Sesungguhnya hal itu membuat orang tidak khusyu’ dalam shalatnya dan memperhatikan warna-warna dan keelokannya. Kita telah terbala-i ( dapat bencana ) dengan permadani-permadani ( karpet/hambal ) dan bantalan-bantalan dari Roma yang dipakai di mesjid-mesjid dan rumah-rumah. Sehingga kebiasaan itu membuat orang yang shalat di tempat lain ( dari permadani/hambal itu ) dianggap sia-sia, tidak akhlak dan kurang beradap, laa haula walaa quwwata illa billah. 

Aku mengira dengan kuat bahwa semua ini akibat dari ulah orang-orang bule/barat semoga laknat Allah ke atas mereka. Sebab mereka telah memasukkan sesuatu ke dalam kaum muslimin sedang muslimin sendiri lengah terhadap hal itu. Lebih aneh lagi aku pernah melihat di suatu mesjid permadani/hambal/karpet yang bergambar. Di dalam gambar itu terdapat gambar salib ( inilah yang dimaksud oleh kitab Daairatu al-Ma’aarifi al-Islaamiyah di atas bahwa muslimin tidak perhatian terhadap gambar sejadah yang dari Eropa di atas, red. ). Oleh karena itu semakin besarlah terkejutku. Dan aku yakin bahwa semua ini dari kerjaan dan gangguan orang-orang Kristen, dan Allahu a’lam “. 

Komentar: Dari semua ini dapat diketahui bahwa kata sejadah ini baru dibuat seratus tahun setelah penulisan kitab hadits shahih yang enam. Itupun dikatakan kepada alas shalat yang dibuat dari tikar-daun, bukan kain. Sampai kira-kira selepas abad ke sepuluh Hijriyah barulah muslimin banyak yang memakai sejadah kain yang bergambar yang, tidak jarang mengandung salib. Khususnya orang-orang yang pulang dari haji. 

Padahal, kain dan hambal/permadani ada sejak jauh-jauh sebelum Rasulullah SAWW dan kakek- kakek beliau belum lahir ke dunia, maksudnya sangat jauh sebelum Rasulullah SAWW menjadi Rasul. Kalau shalat memakai permadani itu boleh, maka tidak mungkin Rasulullah melarang diri dan shahabatnya untuk memakainya dalam shalat. Atau menghamparkannya dalam mesjid dimana hal itu dapat memperindah mesjid, dan menjaga pengunjungnya dari kotoran tanah atau debu, terlebih lagi kalau ada yang mengunjungi beliau dari pembesar-pembesar utusan luar negeri atau pedagang-pedagang kaya. 

Subhanallah, semua itu tidak dilakukannya karena beliau tahu dari Allah bahwa hal itu adalah terlarang dalam Islam. 

Terserah Kepada Anda 

Setelah pembaca memperhatikan secara seksama tulisan kami ini, maka kini terserah kepada anda. Apakah anda masih akan memakai sejadah kain atau daun atau bahkan tanah dan batu- batu. Laa iqrooha fi al-diyn, tidak ada paksaan dalam beragama, apalagi berpendapat. 

Sekedar Anjuran 

Karena kami merasa wajib memberikan anjuran, kalaulah bukan nasehat, kepada saudara sesama muslimin, maka anjuran kami adalah pakailah alas shalat yang dibenarkan Islam di atas itu ( tanah, batu atau tikar-daun ). Setidaknya untuk alas dahi, dan setidaknya untuk kehati-hatian kalau anda tidak meyakini kewajibannya. Sebab shalat adalah tiang agama dimana kalau diterima maka akan diterima pula amal-amal yang lain, tapi kalau sebaliknya dan tidak diterima, maka amal-amal lain yang manapun tidak akan diterima oleh Allah. 

Kalau anda tidak mau, itu masalah anda. Tapi setidaknya, jangan katakan bahwa orang-orang Syi’ah menyembah batu atau menyembah Husain as.. Sebab Nabi SAWW bersabda: 

“Barang siapa mengkafirkan seorang muslim maka dialah yang kafir“ 

Kalau hadits ini memang betul-betul shahih sebagaimana diyakini banyak orang, dan anda mengatakan bahwa orang-orang Syi’ah menyembah batu/Husain as. padahal mereka menyembah Allah dengan sujudnya itu, dan justru meng-alaskan dahinya ke atas tanah, batu atau tikar-daun karena merasa diwajibkan olehNya melalui Nabi SAWW., maka posisi anda di hadapan Tuhan menjadi terancam sendiri. 

Kalaulah anda tidak mau menerima pendapat Syi’ah atau hadits-hadits di atas itu, setidaknya jagalah persatuan Islam dengan tidak saling ganggu, dan janganlah anda keluar dari pernyataan atau ayat yang mengatakan “ Tidak ada paksaan dalam agama “ ( QS: 2: 256 ). Kalau orang kafir saja tidak anda ganggu dengan keyakinannya itu, mengapa sesama muslim mesti saling ganggu? 

Sekian tulisan ini, semoga diterima Allah dan semoga diridhai Rasulullah SAWW dan keluarganya yang suci. Begitu pula semoga kekurangan dan kesalahannya dimaafkan dan ditutupiNya, amin, serta dimaafkan pula oleh para pembaca yang budiman, semoga.


Catatan Sebelumnya:



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sujud di Atas Tanah dan Tanah Karbala (Bag: 2)

Sujud di Atas Tanah dan Tanah Karbala, Seri Nukilan dari Buletin Al-Muraasalaat 16, (Bag: 2)



by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, February 26, 2013 at 10:50 pm

Hikmah Sujud di Tanah 

Sesungguhnya hanya Allah yang tahu persis hikmah dari semua perintah-perintahNya. Jadi, di sini kami hanya akan mencoba mengira-ngira saja akan hikmah tersebut, demi melakukan perintah Tuhan yang lain, yaitu perintah berfikir atau bertadabbur untuk mengambil pelajaran dari semua keberadaan ( QS: 2: 164 ). 

1- Puncak Kehinaan di Hadapan Sang Kuasa. 

Sebab, ketika lambang kemuliaan yang paling tinggi dari manusia dan merupakan simbol harga dirinya, yaitu dahi/muka, di letakkan di tanah yang berposisi rendah dan hina secara lahir dan ianya berposisi sebagai simbol kerendahan karena tempat kaki berpijak, maka sudah jelas hal ini akan mempengaruhi manusia yang melakukannya. 

Yaitu, ia akan meletakkan dan melupakan semua kemulian-majazi yang dimilkinya dan begitu pula posisinya di masyarakat, dan hanya akan mengingat dan meninggikan ke-Agungan dan ke-Muliaan-Hakiki Tuhannya. Baik kemuliaan-majazinya itu seperti ke-Rasulan atau sekedar kemulian-dunia seperti presiden, guru, orang tua, mentri, dan lain-lain. Sebab seluruh kemuliaan- kemuliaan itu datang dan diberi oleh Tuhan pemilik semua kemuliaan secara hakiki. 

Nah, melucuti seluruh harga diri di hadapan Tuhan yang Maha Tinggi, merupakan tugas utama manusia, karena hal itu merupakan hakikat dan kenyataan yang tidak bisa diingkari. Inilah yang bisa dikatakan tugas tauhid dan keimanan manusia. Yakni tauhid yang dijelmakan dalam kehidupan. Jelasnya, pengakuan akan ke-Agungan Tuhan secara perbuatan yang dijelmakan dari rasa iman di hati akan hal itu. Sementara shalat adalah alat paling utama untuk menjelmakan rasa iman tersebut. Dengan demikian maka seseorang akan merasa semakin khusyu’ dan rendah serta hina di hadapan Sang Kuasa yang disembahnya itu, tentu ketika ia meresapi hikmah sujudnya itu. 

Semua ini tidak bisa dicapai -setidaknya sulit- manakala manusia sujud di atas permadani, sejadah dan keramik yang indah. Sebab ia justru bangga meletakkan dahinya ke atas semua itu, sehingga dengan demikian maka kuranglah rasa hinanya di hadapan Tuhannya. Orang yang menghiasi tempat sujudnya ( sejadahnya ) dengan aneka ragam warna yang indah-indah dan dibuat dari bahan yang mahal ( baca: berharga ), maka ia tidak sujud di atasnya kecuali dengan kebanggaan dan mungkin sampai ke tingkat kesombongan. Nah, orang yang masih sempat melihat kemuliaan dirinya dari sisi keduniaan ini, sesedikit apapun hal itu, maka ia tidak akan bisa menjadi hina-dina ( khusyu’ ) di hadapan Tuhannya. 

Sementara itu, hikmah lain yang bisa didapat oleh manusia yang shalatnya khusyu’ ( dina ) adalah rasa hinanya di hadapan Tuhannya secara mutlak. Yakni baginya tidak akan berbeda apakah ia di dalam shalat atau di luarnya. Sebab Tuhannya tetap ada dan Agung sekalipun dalam keadaan ia tidak menyembahNya. 

Orang yang selalu merasa hina di hadapan Tuhannya ini tidak akan pernah menyombongkan diri sedikitpun sebab ia tidak akan pernah merasa memiliki apa-apa yang bisa dijadikan kesombongan, sebab Tuhan yang Agung dan Mulia dan yang memiliki seluruh kebaikan dan kemuliaan secara hakiki itu dirasakannya lebih dekat dari urat nadinya sendiri. 

Begitu pula, orang yang seperti ini tidak akan pernah menyia-nyiakan hidupnya dengan mengejar kemulian dunia. Sebab kemulian itu adalah kemuliaan yang tidak hakiki dan abadi. Oleh karena itu ia akan mengejar dengan gigih dan sungguh-sungguh ketaatan kepada Tuhan dan menjauhi dengan sungguh-sungguh laranganNya. Sehingga dengan itu ia akan mencapai apa yang dikatan bersih atau makshum dari dosa dan kemungkaran. 

Jangan katakan bahwa makshum dari dosa itu mustahil dicapai, sebab kalau pembaca budiman berkata demikian , berarti pembaca tidak meyakini kebenaran al-Qur'an yang mengatakan bahwa Tuhan tidak memberi tugas kepada manusia kecuali sesuai dengan kemampuannya ( QS: 2: 286 ). 

Nah, kalau Tuhan memberi tugas kepada kita sesuai dengan kemampuan kita, dan Tuhan meng- haramkan semua dosa sehingga kita wajib menjauhinya ( sebab Haram hukumnya adalah wajib dijauhi ), berarti kita mampu menghindarinya. Dan kalau kita mau dan menghindarinya, berarti kita bersih dari dosa tersebut. 

Bukankah ini adalah makshum dari dosa? Dan bukankah dengan demikian bukan saja makshum itu mustahil dicapai, tapi bahkan wajib dicapai? Oleh karena itu tidak heran kalau Tuhan menjamin orang shalat (tentu yang shalat khusu’ dan diterima) bahwa ia akan jauh dari segala kemungkaran atau kesalahan yang tidak diridhai Tuhan. Allah berfirman: 

"Sesungguhnya shalat itu mencegah seseorang dari perbuatan-perbuatan keji dan tidak diridhoi ( oleh Tuhan )“ ( QS: 6: 45 ). 

Orang seperti di atas itu, tidak hanya akan hanya menyia-nyiakan umurnya untuk mencari kemulian dunia yang justru hina ini, tapi ia bahkan tidak akan pernah merasakan bahwa ia memiliki kemulian-kemulian maknawinya itu. Sebab semua itu dari tuannya dan tetap menjadi miliknya, yakni Tuhannya. Karena yang hakikatnya hina akan tetap hina. Oleh sebab itu ia akan menjadi hamba, budak dan abdi Tuhan yang sejati sepanjang jaman dan abadi, sebab ia tidak pernah merasa mulia, baik dengan kemulian dunia ataupun akhirat. Dia tidak akan merasa semakin mulia ketika kaya, begitu pula ketika ia taat dan banyak ibadat, atau bahkan menjadi seorang Rasul. 

Ringkasnya, ia tidak akan pernah merasa memiliki apa-apa yang dicapainya itu. Inilah hamba atau budak Tuhan ( ‘Abdullah ) yang hakiki. Sebab seorang budak tidak memiliki apapun kecuali milik tuannya. Tidak heran kalau dalam hadits-hadits kita dapat menjumpai hal ini ( ciri hamba Tuhan yang hakiki ). 

Bayangkan saja, kalau seseorang itu mencapai kemakshuman dari dosa, tidak pernah maksiat dan selalu taat, tapi ia tidak pernah merasa mulia karena ia merasa selalu di hadapan Tuhannya yang memiliki semua kemuliaannya secara hakiki ( dimana perasaan ini dicapai berkat pengertiannya terhadap hikmah sujud ke tanah itu, dan karena dilakukannya berulang kali setiap harinya ) dan bahkan Tuhannya dirasakannya lebih dekat dari urat nadi dan hidupnya, maka jelas orang seperti ini tidak akan pernah sombong sedikitpun sepanjang masa dan jaman. 

2- Ingat ke-Agungan Tuhan. 

Dengan memperhatikan tanah yang boleh dikata rendah, tapi keluar daripadanya seluruh kehidupan dunia ini, maka seseorang akan ingat pada Tuhan yang menciptakannya. Hal ini tidak lain kecuali hanya menggambarkan betapa Agung dan Kuasanya Sang Pencipta itu. Hal ini akan membuat orang tersebut selalu bersyukur karena memiliki Tuhan yang Agung, Kuasa dan Pemurah. Sebab Ia telah memberinya kehidupan dan keimanan serta ketaatan. 

Ia akan semakin khusyu’ dalam shalatnya dan selalu akan mengingatNya setiap ia melihat sembarang ciptaanNya. 

Jadi, disamping ia mendapatkan kekhusyukan di dalam shalatnya, di luar shalatnya ia akan selalu mengagungkan Tuhannya dan mensyukuriNya. Pengagungannya itu akan membuatnya selalu ingat Tuhannya, dan syukurnya terhadap dunianya itu akan membuatnya selalu Qona’ah ( menerima dan berterima kasih atas semua pemberian, yakni tidak kufur dan ingkar ) di dunia, serta syukurnya terhadap iman dan maknawiahnya akan membuat Tuhannya menambahinya selalu sesuai dengan janjiNya sendiri ( QS: 14: 7 ). 

3- Ingat Tempat Asal. 

Tanah adalah asal manusia, apakah secara langsung seperti nabi Adam as., atau tidak langsung seperti kita-kita ini. Sebab, semua mani dari makanan, dan makanan dari binatang dan pepohonan. 

Pepohonan, sudah jelas dari tanah. Sedang binatang juga dari yang dimakannya, baik binatang lain atau pepohonan. Wal hasil, semuanya berasal dari tanah secara pasti. 

Nah, ketika manusia ingat akan asal dirinya , yakni tanah yang rendah, maka ia tidak akan pernah merasa mulia sedikitpun. Oleh karena itu ia akan merasa rendah ( khusyu’ ) di hadapan Tuhannya ketika ia sujud di atasnya, dan ketika ia selesai dari shalatnya akan bertekad untuk selalu hidup mengabdi dan taat kepada Tuhannya. 

Tentu saja ketaatan di sini mencakupi dunianya juga disamping akhiratnya. Seperti mencari nafkah, menjaga kesehatan, menolong orang atau bangsanya, dll. dari yang kelihatan duniawi. Namun yang tetap mesti diingat adalah bahwa semuanya itu dilakukannya karena perintah Tuhannya dan ia tidak akan pernah mencintai semua yang didapatkannya itu. Begitu pula ia tidak akan pernah merasa memilikinya sehingga dengan sangat mudah ia gunakan di jalan Allah sesuai dengan perintahNya. Ia tidak akan pernah merasa khawatir dan takut miskin esok harinya ketika mesti menolong orang hari ini dengan seluruh yang dimilikinya. Ia tidak akan pernah sedih ketika tak punya, dan tidak akan pernah merasa bahagia ketika sebaliknya. Sebab, semuanya bukan miliknya. Dan kebahagiaannya hanya terletak bagaimana ia mentaati perintah-perintah Tuhannya. 

Dunia seperti ini, di dalam agama Islam tidak terhitung sebagai dunia, tapi justru terhitung akhirat yang tinggi. 

4- Ingat Tempat Kembali. 

Dengan melihat tanah seseorang bisa teringat bahwa ia akan kembali kepadanya, alias mati. Ketika manusia ingat bahwa kalau ia mati akan kembali ke tanah, dimana mungkin sehabis shalat hal itu terjadi, maka ia shalat dengan sepenuh perhatiaannya. Sebab, mungkin shalatnya itu adalah akhir shalat yang dapat dilakukannya. Dengan demikian maka ia akan selalu khusyu’ dalam shalatnya. 

Di samping itu, di luar shalat, ia tidak akan pernah tinggal diam tanpa berusaha meminta ampun kepada Tuhannya secara terus menerus, dan berusaha terus secara sungguh-sungguh untuk meningkatkan taatnya kepada Tuhannya itu. Sebab, ketika mati semua kemuliaan-majazinya akan ditinggalkan dan yang tersisa hanyalah ketaatan dan keshalehannya serta kemuliaan akhlaknya. 

Oleh karena itu tidak heran kalau para ulama akhlak mengatakan bahwa paling mulianya dzikir setelah dzikir-tauhid ( la ilaaha illallaah ) adalah dzikir-mati, yakni mengingat terus akan mati. Sebab, dengan mengingat mati seseorang tidak akan pernah diam tanpa usaha untuk memperbaiki akhiratnya. Oleh sebab itu mereka mengatakan bahwa, minimalnya, orang yang ingat mati memiliki dua alamat, usaha terus memperbaiki akhiratnya dan menyederhanakan kehidupan dunianya. 

5- Tawadhuk dan Tidak Sombong. 

Orang yang selalu meletakkan lambang harga dirinya ( dahi ) ke atas tanah yang rendah, dan dia tahu bahwa dia berasal dan akan kembali kepadanya, dengan kata lain, orang yang selalu melucuti seluruh harga dirinya, selau ingat bahwa dia dari barang hina, selalu ingat bahwa ia akan mati dimana semua kemuliaannya akan ditinggalkan kecuali akhlak mulianya, maka dia akan berusaha terus untuk taat dan memuliakan dirinya dengan akhlak-akhlak mulia, bukan dengan kesombongan dan akhlak-akhlak keduniaan. 

Orang seperti ini, jangankan melakukan kesombongan, berfikir untuk itupun tidak akan pernah dilakukannya. Dan bahkan dia tidak akan pernah punya waktu untuk itu, sebab semuanya ia persiapkan untuk akhiratnya. 

Mungkin ia lebih kaya, lebih alim, lebih taat, lebih tua, lebih tinggi posisinya ( seperti guru, ustadz, orang tua, petinggi, presiden, dll ), lebih tampan, lebih biru darahnya, dll. dari yang orang lain, tapi ia tahu bahwa hakikat zatnya adalah sama dan di hadapan Tuhan semua telanjang dan hina serta yang mulia justru ketika seseorang membajui dirinya dengan ketaatan dan kerendahan serta keikhlasan di hadapan Tuhannya ditambah dengan baju ketawadhuan dan kasih sayang yang hakiki di hadapan makhlukNya, bukan ketawadhuan yang palsu dan memancing penghormatan orang lain. 

6- Kesederhanaan di Dunia. 

Orang yang tidak memperhatikan kemuliaan-majazinya ( karena selain Tuhan tidak memiliki kemuliaan yang hakiki ) dan selalu ingat akan matinya, maka ia akan menyederhanakan keperluan dunianya secara pasti. Ia tidak akan pernah menumpuk kekayaan dan bahkan tidak akan sempat berfikir untuk itu. Kalau ia berusaha gigih dalam mencari harta, tidak lain hanya untuk keperluaan sederhananya dan keluarganya. Sedang selebihnya -dari ukuran sederhananya itu- selalu akan diinfakkan untuk agama dan masyarakatnya. Kesenangan dan kesedihannya terletak pada kesedihan dan kesenangan agama dan orang-orang miskin serta yatim. 

Dunia seperti ini akan dihitung oleh agama sebagai bagian dari “ Kebaikan Dunia “ atau “ Fi al-Dun- ya Hasanah “, bukan kekayaan atau kesehatan sebagaimana kebanyakan orang mengimaninya. 

Sebab maksud dari doa kebaikan dunia atau fiddun-ya hasanah adalah iman dan taat, baik dikala kaya atau miskin, dikala sehat atau sakit. 

7- Hikmah Kesehatan. 

Walaupun hal ini bukan tujuan asli agama, karena agama ber-orientasi akhirat, tapi karena Tuhan tidak mungkin mencelakakan hamba-hambaNya di dunia dengan perintah-perintahNya serta Ia Maha Hakim dan Bijaksana, maka sudah pasti perintah sujud ke tanah ini memiliki hikmat dunia juga. 

Sebagaimana perintah tayammum dengan tanah yang juga berhikmah dapat membersihkan anggota badan kita dari kotoran penyakit yang melekat padanya, dengan kandungan-kandungan yang dimiliki tanah-bersih, maka di sinipun demikian. Ia bisa membersihkan kaki, muka dan tangan kita dari bakteri-bakteri penyakit. Mungkin karena itulah, maka banyak sekali diriwayatkan dalam hadits bahwa Nabi SAWW melarang menghapus bekas debu yang melekat di dahi sehabis shalat, atau meniup tempat sujud sebelum sujud. 

Sujud di Tanah Karbala 

Di depan telah kami sebutkan, setidaknya dua tabi-’iyn yang bertabarruk dengan gunung Marwah, sehingga memakai batunya untuk alas sujud. Hal tersebut jelas tidak salah apalagi musyrik. Tidak salah karena sujud di tanah dan batu manapun adalah sah dan bahkan wajib sebagaimana maklum. Tidak syirik karena batu atau tanah tersebut tidak disembahnya, tapi hanya dijadikan alas sujud dimana sujudnya untuk Allah semata, persis seperti orang lain yang sujud ke sejadah dimana mereka tidak bermaksud menyembah sejadahnya. 

Nah, kalau sebagian tabi’iyn bertabarruk dengan gunung Marwah sebagai bagian dari tanah suci Mekkah, lalu apa salahnya orang-orang Syi’ah bertabarruk dengan salah satu tanah yang juga dianggap suci, seperti Karbala? Tanah dimana cucu-makshum ke dua Rasulullah SAWW dan keluarga serta shahabatnya dibantai dan dicincang-cincang di sana. Kalaulah hal itu menurut Ahlussunnah dianggap salah (dalam bertabarruknya), setidaknya sesuai dengan hadits-hadits di atas, hal itu tidak membuat mereka batal sujudnya apalagi syirik. Tapi mengapa sebagian saudara Ahlussunnah menstempel orang-orang Syi’ah dengan membuat bid’ah dan bahkan melakukan kesyirikan. 

Seandainya orang Syi’ah mewajibkan sujud di tanah Karbala itu, maka hal ini bisa dikatakan bid’ah. Begitu pula, seandainya orang Syi’ah menyembah tanah tersebut atau imam Husain as., maka hal ini jelas bisa dikatakan syirik. Tapi kenyataannya tak satupun dari mereka beraqidah dan berkeinginan seperti itu. Mereka hanya menganggap tanahnya itu sebagai alas dahi ( seperti sejadah dan karpetnya orang Sunni ) dan menganggap sebagai tanah suci yang layak ditabarruki. 

Kami akan merinci sedikit tentang masalah kesucian tanah secara umum, dan tanah Karbala secara khusus, menurut hadits-hadtis Ahlussunnah Waljama’ah sendiri. 

Kesucian Tanah 

Kesucian sebagian tanah dan kemuliaannya dari sebagian yang lain, disebabkan oleh beberapa faktor. Namun yang jelas semua itu dilihat dari kacamata agama dan fungsinya dalam agama, 

bukan dari kemauan dan sesuka-suka manusia. Jadi, pada asalnya semua tanah itu sama. Tapi setelah adanya penisbahan atau penghubungan sesuatu yang dianggap mulia dalam agama kepada sebagiannya, maka sebagian tanah tersebut akan dikatakan mulia dan suci. 

Di bawah ini akan kami sebutkan beberapa penyebab kesucian tanah: 
  • Penisbahan Ka’bah. Salah satu penisbahan yang mensucikan tanah itu adalah penisbahan/ penghubungan Ka’bah kepadanya. Dengan penisbahan Ka’bah, tanah biasa akan menjadi suci menurut agama. Sebab Ka’bah sebagai rumah yang dinisbahkan kepada Tuhan karena kemuliaannya yang disebabkan tempat menyembahNya, maka tanah tersebut akan menjadi mulia juga. Oleh karena itu tidak heran kalau salah satu tabi’iyn yang bernama ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas bertabarruk dengan batu gunung Marwah ( untuk alas sujud ) sebagai bagian dari tanah Mekkah yang menjadi suci lantaran Ka’bah tersebut. 
  • Penisbahan Mesjid. Salah satu penisbahan itu adalah penisbahan mesjid kepada tanah. Ketika suatu tanah dijadikan tempat ibadah secara khusus, yakni mesjid, maka ia akan menjadi suci dan akan memiliki hukum fiqih yang lain dan baru dari hukum fiqih sebelumnya. Yang tadinya orang boleh saja kencing di situ, kini sudah menjadi haram hukumnya. 
  • Penisbahan Ibadah Khusus Seorang Nabi dan Turun Wahyu Pertama. Kalau mesjid menjadi mulia karena di sana mukminin beribadah kepada Allah, maka begitu pula tempat-tempat yang dijadikan tempat ibadah seorang nabi, seperti Gua Hira’. Sungguh gua itu berbeda jauh dari sebelum Nabi Muhammad SAWW bertirakat/menyepi secara khusus di sana dan menerima wahyu pertama, dengan yang setelahnya. Fiqihnyapun akan menjadi berbeda karena kesucian yang didapatnya itu. Atau seperti tempat ibadah nabi Ibrahim as. dimana tempat berdirinya terkenal sekali dengan nama Maqom Ibrahim as. Atau tempat lari-lari siti Hajar as. di antara Shofa dan Marwah. Tempat ini bukan hanya menjadi suci lantaran lari-larinya itu, tapi setiap muslim yang pergi haji mesti melakukan lari-lari kecil tersebut dan bahkan ianya merupakan salah satu rukun dan falsafah wajibnya haji. Atau seperti air yang dinisbahkan kepada kaki seorang nabi sekalipun masih kecil seperti air Zam-zam. Ia tidak bisa disamakan dengan air lain. Ia menjadi mulia karena keluar dari bekas gerakan kaki nabi Ismail as. sewaktu beliau masih bayi. 
  • Penisbahan Mayat Mukminin. Salah satu dari penisbahan di atas adalah penisbahan mayat kaum mukminin kepada sebuah tanah. Ketika tanah kosong diisi dengan tubuh mayat mukmin, maka tanah itu sudah menjadi terhormat dan memiliki hukum berbeda. Misalnya di sana disunnahkan mengucapkan salam kepada mukminin yang dipendam, orang haid tidak boleh lewat atau masuk di atasnya ( menurut sebagian pendapat ), tidak boleh kencing/berak, dan lain-lain. 
  • Penisbahan Mayat Nabi dan Wali. Kalau penisbahan mayat mukmin saja sudah bisa merubah tanah dari biasa menjadi suci sekalipun dalam tingkat tertentu, apalagi penisbahan seorang nabi atau wali. Di sini jelas bahwa tanah ke dua ini akan lebih mulia dan suci ketimbang yang pertama yang di dalamnya hanya terpendam seorang mukmin biasa. 
Kota Madinah menjadi suci dan mulia serta diziarahi oleh milyaran mukminin dari sejak dahulu kala, karena Nabi SAWW telah dikubur di sana. Begitu pula kuburan-kuburan para wali yang bertebaran di muka bumi ini. 

Semua ini bukan bid’ah, kesalahan/penyimpangan dan apalagi kesyirikan. Sebab penisbahan ini banyak dinukil dalam al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi SAWW. Seperti penisbahan kuburan siti Hajar as. dimana mesti diputari dalam tawaf dan kalau bertawaf di antara Ka’bah dan kuburannya itu tawafnya menjadi batal; penisbahan pelemparan batu di Mina ( sebagai ibadah taat kepada Tuhan dalam memerangi syetan ) oleh nabi Ibrahim as.; penisbahan Miiqoot nabi Musa as. sehingga beliau diwajibkan mencopot sandalnya; dan lain-lain yang banyak sekali. 

Imam Husain as adalah Nabi SAWW 

Kalau kewalian seseorang itu bisa menyebabkan tanah dimana ia dikuburkan menjadi mulia, padahal wali tersebut belum tentu wali menurut Tuhan -sekalipun orang yang mewalikannya itu tidak dianggap salah dan berdosa menurut Islam kalau memang tidak melihat kejanggalan di masa hidup walinya itu- apalagi kalau kewaliannya itu dijamin Tuhan atau Nabi SAWW sendiri. Sudah tentu tanah yang diisi wali yang sesungguhnya tersebut akan terjamin kemuliannya. Terlebih lagi kalau wali tersebut dianggap Nabi SAWW sebagai diri Nabi SAWW sendiri, maka sudah jelas kedudukannya. 

Nabi SAWW bersabda: 

“Husain dari aku dan aku dari Husain. Allah mencintai orang yang mencintai Husain.” 

“Al-Husain penghulu para Syuhada’.” 

“Husain dari aku dan aku darinya, Allah akan mencintai orang yang mencintainya".

Hadits-hadits jaminan kewalian imam Husain di atas ini dapat ditemui di: 

Bukhari dalam kitabnya al-Adabu al-Mufrodu, 1: 455, no: 364, dan dalam kitab Taariykhu al- Kabiyrnya, 8: 414-415; Sunan Tirmidziy, 5: 658; Sunan Ibnu Maajah, no: 144; Musnad Ahmad bin Hambal, 4: 172; Mu’jamu al-Thabraniy, 3: 20-22; al-Mustadrak, 3: 177; Ibnu al-Atsir dalam Usdu al-Ghaabahnya, 2: 19, 5: 130; Kanzu al-’Ummaal, no: 34289, 34264...; Ibnu Katsiyr dalam al-Bidaayah wa al-Nihaayahnya, 8: 206; al-Suyuuthiy dalam al-Jaami’u al-Shaghiyrnya, 1: 370; dan lain-lain dari banyak kitab Ahlussunnah dimana sampai melebihi 54 kitab mereka ( yang ingin melihat masing- masing kitab dan halamannya, lihatlah kitab al-Sujuud ‘Ala Turbati al-Husainiyah, karya Sayyid Muhammad al-Muusawiy, hal: 262-264 ). 

(berlanjut ke Fadhilah Tanah Karbala......!!!)


Catatan Lanjutan dan Sebelumnya:


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ