Rabu, 03 Oktober 2018

Tanggapan Atas Status FITNAH : Abdul Malik Karim




Oleh Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 Juli 2011 pukul 14:51



Abdul Malik Karim: Muhammad Ali bin Ahmad Al Qarajah Daghi At Tibrizi Al Anshari. -seorang ulama syiah-mengatakan: 

Payudara Fatimah sangat panjang, dia meletakkan payudaranya di bahu, dan menjulur ke belakang punggungnya, dia menyusui anaknya dari belakang. 


Al Lum’ah Al Baidha’ hal 234, karya apa ini yang disebut cinta ahlul bait? Astaghfirullah apakah dia pernah mengintip fatimah waktu menyusui anaknya? 

Abdul Malik Karim: lihat text lengkap di link ini : http://www.yasoob.com/books/htm1/m025/29/no2921.html 
tekan ctrl+f lalu masukkan keyword ini: 

طويلني 

dan tekan enter. 

Bulan Bintang Merah : Oh gitu ya ? Jangan bikin fitnah. Jadilah ksatria. Silakan demo ke depan kedubes Iran. Katakan apa yang anda ketahui. Bila perlu panggil semua wartawan, agar DUNIA SADAR bahwa Syi’ah banyak bohongnya....... gimana ? Aku mendukungmu..... 

Ucu Anggriati: Maaf aku juga pernah dengar cerita ibu katanya waktu masih ada sewaktu itu sholat di masjid Madinah, kaget karena payudara orang Arab panjang dan besar seperti pepaya sholat sambil menyusui anaknya di punggungnya,,, 

Bulan Bintang Merah: Wow...... 

Sinar Agama: Abdul malik: Aku benar-benar kasihan sama kamu, bener deh. Coba kamu perhatikan tiga baris saja dari kalimat itu, dan kamu bersihkan pikiranmu dari ketidaksopanan, maka kamu akan dapatkan maunya penulis. Coba perhatikan bab ini: 


تتميم [ في خصائصها وبعض معجزاتها ] وكان لها خصائص ومعجزات مفصلة في مواضعها، وقد أشرنا إلى 

بعضها فيما مر، وذلك مثل كونها بعد ولادتها تنشأ في اليوم كالجمعة، وفي الجمعة كالشهر، وفي الشهر كالسنة، 

ومثل تنور جمالها، وظهور نور وجهها كل يوم لعلي (عليه†السلام) ثلاث مرات، على ما مر تفصيله في وجه 

تسميتها (عليها السلام) بالزهراء  وانها كانت أبدا بتولا عذراء، وكان ثدياها طويلين بحيث كانت تلقيهما من أعلى كتفيها على عقبها، وترضع أولادها من†وراء ظهرها، على ما ذكر بعضهم ذلك مسندا إلى الرواية (2 


Penulis, setelah menulis tentang sejarah siti Faathimah as dari lahir sampai hijrah dan kawinnya itu, beliau menulis : Pelengkap: “Kekhususan dan Mu’jizatnya”. 

Jadi, maksud penulis adalah beliau as itu dalam keadaan normal, akan tetapi ketika harus menyusui anaknya yang harus digendong sementara beliau as harus bekerja seperti menggiling gandum di rumahnya, beliau itu bisa menyusui dari belakang. Artinya dengan karamatnya beliau kalau terpaksa bisa menyusui seperti itu. 

Kalau kamu baca sebaris saja ke atasnya dari sub judul Pelengkap Tentang Mu’jizat/ karamat itu maka kamu akan dapatkan kata-kata Ummu Salamah ra istri Nabi saww sebagai berikut: 

قالت ام سلمة: تزوجني رسول اهلل (صلى اهلل عليه وآله) وفوض إلي أمر ابنته فاطمة (عليها السالم)، فكنت 

اءدبها، وكانت واهلل آدب مني وأعرف باألشياء كلها .(1

Dimana intinya, Ummu Salamah ra berkata: ketika aku dikawin Rasulullah saww beliau menyerahkan Faathimah kepadaku untuk kudidik, akan tetapi dia lebih tahu dari aku tentang adab/akhlak dan apapun juga. 

Artinya, penyusuan yang terjadi itu bukan di depan orang. Akan tetapi di dalam rumah. Apalagi pernah Rasulullah saww didatangi orang buta sementara hdh Faathimah di samping beliau. Hdh Faathimmah membenahi hijabnya yang dari awal memang sudah bagus. Artinya beliau memeriksanya lagi. Nabi saww dengan penuh senyum kasih sayang, ingin mengajarkan kepada orang lain tentang akhlak Ahlulbait as, maka beliau bertanya: “Ya Faathimah dia ini seorang yang tdk bisa melihat” Artinya, dia tidak bisa melihat tapi mengapa kamu merapikan dan memeriksa lagi hijabmu? Hdh Faathimah as menjawab: “Benar wahai ayah, akan tetapi aku menutupi diriku dari penciumannya”. 

Nah, inilah akhlak Ahlulbait as. Dengan demikian, maka menyusui sampai ke belakang itu terjadi di rumah yang terjadinya karena karamatnya. Karena siti Faathimah, walaupun kaya dengan kebun kurma Fadak yang diberi Rasulullah saww yang berasal dri hadiahnya orang Yahudi, akan tetapi siti Faathimah as tidak pernah mengenyamnya. Semua hasil kebunnya dimasukkan ke baitul maal untuk kepentingan perjuangan ayah handanya. Karena itu beliau sering jatuh kelaparan. Dan beliau juga menggiling gandum sendiri sambil megurus anak-anaknya. Nah, ketika harus menyusui anaknya yang harus diemong untuk tidur misalnya sementara itu beliau harus menggiling gandum atau bekerja lainnya, maka dikeluarkanlah karamat itu. Ini maksud dari kalimat kitab di atas. 

Kalau kamu melihat catatan kakinya, walau aku tidak terlalu setuju dengan ulama ini (sayyid Hasyim Miilaanii), ia menulis: 

(2) أقول: هذا كالم غريب ال يقبله العقل السليم. 

(2). Komentarku (Miilaanii): “Kalimat ini adalah kalimat aneh yang tidak bisa diterima oleh akal yang sehat.” 

Jadi kalau benar dari catatan kaki ini, maka penulis kitab itu sekedar menceritakan hadits tentang mu’jizat atau karamat siti Faathimah as, dan penilaiannya diserahkan kepada yang bsia menilainya dimana menurut ulama ini (sy Miilaanii) ini, hadits itu adalah gharib/aneh. Artinya tidak bisa dijadikan sandaran sesuai dengan ilmu hadits, baik di sunni atau di syi’ah yang bersepakat bahwa hadits ghariib itu tidak bisa dipakai. 

Akan tetapi penjelasanku terhadap tulisan di atas itu, mungkin bisa dijadikan pertimbangan dan menurutku memang lebih kuat. Tentu saja harus menggabung dengan akhlak Ahlulbait yang maksum, dan pensub judulannya di atas itu, yaitu yang sebagai mukjizatnya atau karamatnya.

Kesimpulannya, hal yang diceritakan tentang penyusuan dan lain-lainnya itu, adalah di rumah tanpa ada yang melihatnya, dan terjadi karena mukjizat atau karamatnya. Mirip seperti ketika tulunjuk Nabi saww mengeluarkan susu dan diminum ratusan atau ribuan orang tanpa habis- habisnya itu. Karena itu pahamilah setiap perkataan suatu kaum itu dengan maksud kaum tersebut, 
Sayyid Miilaanii mengatakan di catatan kaki itu sebagai kalimat yang gharib dan tidak masuk akal. Jadi bisa ambil keterangan ini karena hadits gharib/aneh itu tidak bisa dipakai dalil dan sandaran. Tapi bisa juga pakai keteranganku dengan dalil-dalil di atas itu sebagai dimensi masuk akalnya.


Bulan Bintang Merah: @SA: Tak perlu diladeni aliran sesat Salafi Wahabi terlalu terhormat bila Anda layani permintaannya. Sebaiknya kita infaq uang bagi Abdul Malik Karim, agar mampu beli kitab. Salam. 

Pencari Kebenaran: Sinar Agama & Bulan Bintang Merah : percuma ngomong sama orang idiot kayak si Abdul Malik Karim, kagak masuk-masuk ke otaknye ape hal yang benar maklum IQ nye jongkok . 

Abdul Malik Karim : wah definisi baru hadits gharib dari Sinar Agama. Apa hanya karena klaim dari Milani yang hidup di zaman ini, lalu kita bisa menolaknya? 

Lagian hal yang aneh-aneh banyak ditemukan dalam hadits syiah, apakah itu ditolak semua hanya karena satu orang bertaqiyah dan ngomong kali ini gharib? 

Omongan panjang anda tidak ada hubungannya dengan topik, yang jelas apakah payudara yang panjang merupakan mukjizat ? 

Apa tidak ada mukjizat lain nampak sekali anda kebingungan. 

Malikul Amin Teuboh Anabuki: sekali karomah, sekali gak setuju plin-plan neeh Sinar mas, doktoral kok bodoh kabeh.... 

Sinar Agama: malik ...malik: Kok kami dibilang kebingungan? Wong sudah diberi dalil kok kami dibilang bingung. Yang bingung itu kamu karena tidak tahu arti peristilahan ilmu hadits. Hadits gharib itu yang aneh dan diriwayatkan oleh satu orang. Nah hadits gharib ini jauh dari keshahihan. Mu’jizate kanjeng Nabi saw iku aneh opo ora? Lah ... nek ora aneh, opone seng mukjizat yo opone seng karomat? 

Herman Salman Kabir : Astagfirullah al-Azim,.... Sayang ini Bulan Rajab,....bulan ampunan Allah,... Hem,.... kalau tidak bisa kejadian nampar orang nich. Jahanam nt’ barang sampah kayak gini nt’ sharing,....biadab,.... logika akal tidak masuk... 

Tolol..... menangis ana tulis.. Kamu ini bener ra’syih. Nggak tahu istilah agama tapi sok pinter dan berdebat masalah-masalah agama. 

Amin: mukjizat itu biasanya terjadi sekali. Lah ...kenapa ora oleh kabeh? Opo kuwe ora percoyo bek. ini.... dasar,.....Demi Allah ana remove nt’ 

Malikul Amin Teuboh Anabuki: Sinar mas, pernah denganr hasan Gharib gak??, nah pan nt sendiri bilang itu Mujizat??, sekali nt tolak sekali nt bilang Mujizat, kalo palsu yach tolak pasal mukjizat ne..piye toh, ojo plin plan, wong plin plan burit ne dedel. 

Sinar Agama: Amin: Beginilah kalau cara berfikirmu itu cara bolduser seperti wahhabi yang biasa dengan satu hadits keluar fatwa hatta hadits lemah dan/atau gharib. 

Perhatikanlah dengan pikiran antum dengan bijak dan tanpa nafsu. Bahwa dalam menafsir hadits atau ayat, bisa menggunakan beberapa ihtimaalaat atau kemungkinan-kemungkinan yang masih bisa. 

Kalau antum pahami dari cara argumentku di atas itu dengan baik, maka akan dapat dari pendalilan. Artinya, tidak bisa dijadikan dalil karena hadits gharib adalah yang jauh dari keshahihan. Ini yang pertama. Disimpulkan seperti ini: 

(1). Hadits itu adalah hadits Gharib hingga jatuh dan tidak bisa dijadikan hujjah (ini pendapat semua ahli hadits Sunni dan Syi’ah serta akal sehat). 

(2). Ketika hadits itu terhitung hadits Gharib, maka dia sudah keluar dari gelanggang percakapan dalam diskusi. 

Malikul Amin Teuboh Anabuki : jadi itu riwayat mungkar or Mujizaat??, itu aje yg ane tanya. 

Malikul Amin Teuboh Anabuki : ooh kaedah hadist syiah begitu?? Oke dah saya terima, gorib ntu apa yach maknanya?? Ooh buat kaedah ke-2 berati di keluar dari area percakapan?? So ini hadist sah alias. 

Sinar Agama

(3). Kalau antum perhatikan si Malik di statusnya itu, dia bukan menerima isi dari hadits itu. Artinya bisa dikatakan bahwa pendapatnya sama denganku dan dengan Miilaani yang telah mengatakan dengan jelas bahasa hadits itu adalah gharib dan tidak bisa dipakai (memang Malik karena tidak tahu agama ia tidak mempermasalahkan gharibnya itu). Akan tetapi Malik mengolok-ngolok orang Syi’ah dalam mencintai dan menyanjung Ahlulbait as. 

Nah, dengan demikian maka jawabanku tentang mukjizat itu adalah jawaban bagi serangan si Malik ini yang menyerang dan mengejek cara orang Syi’ah mencintai Ahlulbait as. 

Yaitu, bahwa maksud dari penulis buku itu dan maksud perawi haditsnya yang dinukil secara makna oleh penulis buku itu, adalah menyanjung siti Faathimah as itu dengan menyebutkan sedikit mukjizat atau karamatnya itu. 

Nah, dimensi inilah yang tidak dipahami oleh si Malik hingga ia menyerang dan kemudian kujawab itu. 

(4). Itu maksud penjelasanku tentang mukjizat itu. 

(5). Hadits gharib, memang tidak bisa dibuat dalil dan hujjah serta landasan berpendapat. Akan tetapi bukan berarti ia pasti salah. Sebagaimana hadits shahih yang boleh dijakan dalil, ia juga belum tentu benar. 

(6). Dalam Syi’ah, hadits shahih itu hanya bisa dijadikan dalil dan landasan berpijak, tapi belum tentu ia benar bahwa telah diucapkan oleh makshumin as. Karena maksud dari hadits shahih itu adalah semua perawinya tsiqah atau jujur. Tapi apakah orang jujur itu tidak bisa salah memahami dan tidak mungkin salah salam mengucapkan? Tidak bisa begitu bukan? Jadi hadits shahih dalam Syi’ah hanya bisa dibuat pijakan, tapi belum tentu ia benar secara 100 persen. 

(7). Ketika hadits shahih bisa dijadikan dalil, artinya, kalau nanti ternyata hadits itu salah di hadapan Tuhan di hari persidangan akhirat, tetap saja si ulama ini akan mendapat ampunan. Karena ia tidak main-main dalam mengomentari hadits dan dalam berpendapat dan berpijak kepada hadits. Tapi sudah mengikuti hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang boleh dan harus dipercaya. 

(8). Jadi, arti hadits shahih adalah hadits yang bisa dijadikan dalil oleh agama dan dalam mema- hami agama dimana kalau ternyata salah, karena perawinya tidak paham atau salah paham atau salah menukilkan hadits, maka pendalil dengan hadits shahih ini akan dimaafkan Tuhan. Itulah mengapa kalau seorang marja’ atau mujtahid keliru dalam berfatwa maka ia tetap mendapat satu pahala. Yaitu pahala usaha dan kejujurannya serta kebenaran jalannya yang mengambil hadits shahih itu. Tapi kalau benar maka dua pahala karena usaha dan benarnya.

(9). Hadits gharib atau tidak shahih juga seperti itu. Dia tidak boleh dijadikan dalil dan yang menjadikannya dalil, walau benar, tidak akan mendapat pahala karena bukan profesional tapi nekat dan kebetulan saja. Nah, nekatnya itu yang akan melahirkan dosa. Karena nekat dalam agama adalah haram hukumnya. Yang diistilah dengan tajarri. Jadi, menggunakan dalil dhaif terlebih gharib, merupakan dosa sekalipun ternyata benar (karena nekat/tajarrinya itu), apalagi kalau memang salah. 

(10). Akan tetapi, bukan berarti hadits dhaif itu atau gharib itu pasti salah. Karena arti hadits dhaif atau gharib itu adalah diriwayatkan oleh orang yang tidak jujur dan/atau satu orang. Akan tetapi apakah pembohong itu pasti bohong dalam semua kata-katanya? Tidak bukan? 

(11). Jadi, hadits dhaif atau lemah atau tidak shahih belum tentu salah secara hakiki. 
Jadi maksud sebenarnya hadits dhaif itu adalah hadits yang tidak bisa dibuat dalil dan kalau dibuatnya, maka ia nekat dan berdosa kalaulah benar. 

(12). Nah, jawabanku itu, yakni yang menjelaskan tentang kemukjizatannya itu, adalah mencoba memeberi penjelasan dari kemungkinan benarnya itu. Artinya hadits itu kalaulah benar, maka tidak terlalu mustahil. Karena memiliki dimensi yang masuk akal. Memang tidak semua yang masuk akal itu pasti benar. Misalnya sangat masuk akal kalau antuk sekarang sedang minum teh, artinya tidak mustahil. Tapi secara nyata, mungkin antum sekarang dalam keadaan tidur dan atau malah tidak pernah minum teh karena tidak suka atau alergi. 

Jadi, penjelasan saya tentang mukjizat itu adalah dimensi kemungkinannya, dan bukan jaminan demikiannya. Artinya, sangat mungkin hal itu tidak pernah terjadi, walau bisa saja hal itu terjadi. Wassalam. 

Malikul Amin Teuboh Anabuki: jadi hadist batil apa Mukjizaat???..dua aja jawabannya, kalo munkar yach wess..tak terima, kalo mujizat juga ora opo-opo hehehe.. gitu aja kok repotz ?? 

Abdul Malik Karim : mukjizat berguna untuk menetapkan sebuah kebenaran, seperti mukjizat para Nabi. 

Pertanyaannya, kebenaran apa yang dibuktikan dengan payudara Fatimah yang segitu panjang? 

@herman salman kabir, 

Itu saya hanya menukil dari ulama syiah, bukan dari kantong saya sendiri. Saya sekedar share saja, marahlah pada ulama anda sendiri :P 

Sinar Agama: Amin: Baca lagi kamu akan memahaminya, tapi kosongkan dulu pikiranmu itu supaya bisa memahami kata-kata orang sesuai dengan maksud orang itu, bukan dengan apa-apa yang ada diakalmu. Tulisanku sudah jelas. 

Sinar Agama: Malik: Sudah cukup penjelasanku di atas, kalau kamu mau memahminya. Mukjizat itu adalah kekuatan luar biasa yang dibarengi dengan pengakuan sebagai nabi. Ini makna hakikinya. Tapi makna majazinya (yang tidak hakiki) adalah semua kekuatan yang melampaui kekuatan wajar pada umumnya yang keluar dari para aulia Allah. Jadi, makna majazi mukjizat adalah karamat. Dan satu lagi di sini, bahwa terlalu banyak karamat Ahlulbait as dan, sudah tentu demi membuktikan kebenaran mereka as. 

Untuk menyusui yang seperti itu adalah sangat mudah mencarinya dalam kondisi-kondisi yang terpaksa, misalnya anaknya sedang menangis, dan Rasulullah akan makan berbuka di rumah beliau as, dimana masaknya sudah menjelang buka yang tidak bisa ditunda ...dan seterusnya. Tengok lagi itu penjelasan di atas. Kalau akalmu itu tidak kamu isi dengan hawa nafsu, maka akan memahami dimensi kemukjizatan ini dari sisi yang tepat. 

Hal ini tidak beda dengan kondisi dharurat dimana Hdh Faathimah sudah tidak makan beberapa hari hingga keadaannya sangat lemah, lalu ketika imam Ali as bertemu Rasulullah saww beliau saww berkata kepada imam Ali as, bahwa beliau saww ingin makan di rumahnya. 

Imam Ali as walau sudah tidak makan beberapa hari, tapi tidak sanggup menolak keinginan Rasulullah saww. 

Ketika sudah waktunya makan Rasulullah saww melihat siti Faathimah sedang shalat dengan wajah yang pucat dan lemah. Rasulullah tahu keadaan sebenarnya dan menengadah ke langit sambil bermunjat: Ya Allah inilah keluarga Muhammad (maksudnya sabar menanggung segala cobaan). 

Dalam pada itu, Rasulullah saww pun melihat di samping Faathimah as makanan yang lengkap dan imam Ali as pun sejak masuk sudah terkejut tentang adanya makanan itu. Setelah shalat Rasulullah saww bertanya (tentu beliau sudah tahu) : “Dari mana makanan ini wahai putriku?” Siti Faathimah as menjawab: “Ia adalah dari sisi Tuhan”, persis dengan jawaban yang diberikan hfh Maryam as kepada nabi Zakariyya as. 

Nah, mukjizat atau karamat ini, sungguh ketika dalam keadaan terpaksa, apakah untuk membuktikan kebenaran seorang wali, atau karena pertolongan Tuhan yang diberikan kepada para walinya yang sudah sangat kepepet karena berbagai hal. Nah, kalaulah hadits penyusuan di atas itu mau dibenarkan juga setelah ia gharib dari sisi sanad dan lafazh, kalau dilihat dari sisi ini, yakni keterpaksaan, maka jelas tidak memiliki kemusykilan dan keanehan sedikitpun. Seperti pernah seorang ayah di padang sahara yang harus menyelamatkan anaknya yang masih bayi yang ibunya sudah tidak ada. Anaknya menangis hampir mati. Lalu sang ayah berdoa dan bertawassul 

kepada imam Ridha as yang dikubur di kota Masyhad, lalu seketika susu sang ayah tadi gatal luar biasa. Susunya digaruk-garuk dan ternyata keluar air susu. Nah, dengan air susu ayahnya itu anak bayi tadi diselamatkan oleh Tuhannya. 

Bagi umat Islam hal itu tidak mesti menjadi keanehan. Bepata banyaknya contoh-contoh di Qur'an, seperti ketika kaki nabi Ismail as yang masih bayi dapat mengeluarkan air dari dalam tanah dengan gerakan kakinya dimana hal itu karena keterpaksaan juga. Atau kakinya nabi Isa as selagi kecil karena ibunya kehausan di padang sahara yang dengan gerakan kakinya yang bergerak otomatis sewaktu bayi itu, dapat mengeluarkan air dari dalam tanah. 

Pertolongan-pertolongan seperti ini dapat dilihat dalam sepanjang sejarah manusia, tanpa harus adanya keanehan sedikitpun. Tentang siapa yang ditolong dan rahasianya apa hingga ia mendapat pertolongn seperti itu, dan mengapa hanya wali atau orang-orang mukmin sejati, maka hanya Allah yang tahu. 

Bahkan pernah terjadi juga pada orang kafir (tapi yang tidak mendapat penjelasan Islam). Seperti di Portugis. Di sana ada kota yang namanya Fatima. Kota itu diganti nama dengan nama siti Faathimah, karena ada tiga bersaudara yang sakit yang tidak bisa sembuh yang kemudian sembuh karena didatangi cahaya putih yang dalam dialognya cahaya itu mengatakan “saya adalah Faathimah”. Ketika ketiga anak itu sembuh, maka rumahnya dijadikan tempat ibadah orang Kristen dan sampai sekarang tiap tahun diperingati. Tiap tahun ribuan orang Masehi datang ke tempat itu ingin mendapat berkah. Sampai-sampai banyak yang saya lihat mereka berjalan dengan lututnya di daerah suci itu demi menghormati siti Faathimah as itu.. 

Abdul Malik Karim : Dalam text hanya disebutkan payudara Fatimah panjang, tidak ada keterangan itu adalah mukjizat atau apa. Jadi memang payudaranya panjang setiap waktu. 

Astaghfirullah, jangan-jangan ulama-ulama ini penyusup yang pura-pura mencintai ahlulbait tapi mereka hakekatnya membenci ahlulbait, syiah-syiah sekarang ini hanya korban, korban penipuan atau korban yang memilih untuk menjadi korban, hanya karena beberapa puluh lembar uang ratusan dolar. 

Di sini Sinar Agama percaya bahwa payudara Fatimah sangat panjang. 

Semua orang bisa bikin makna majazi semaunya, bahkan payudara panjang pun kalo mau bisa juga dibikin makna majazi. 

Keadaan apa yang memaksa Fatimah untuk perlu payudara panjang? 

Malikul Amin Teuboh Anabuki : Pikiran ane udah kosong neeh jadi neeh hadist Mungkar apa bisa diterima ??? (9). Hadits gharib atau tidak shahih juga seperti itu. Dia tidak boleh dijadikan dalil dan yang menjadikannya dalil, walau benar, tidak akan mendapat pahala karena bukan profesional tapi nekat dan keberulan saja. Nah, nekatnya itu yang akan melahirkan dosa. Karena nekat dalam agama adalah haram hukumnya. Yang diistilah dengan tajarri. Jadi, menggunakan dalil dhaif terlebih gharib, merupakan dosa sekalipun ternyata benar (karena nekat/tajarrinya itu), apalagi kalau memang salah. opan disitu di tulis “walau benar”-----> jadi disni saudara Doktor bilang hadist ini batil, dlaif, dkk, oke tak terima di satu sini Doktor Sinar mas (kayak margarin tulis 10). Akan tetapi, bukan berarti hadits dhaif itu atau gharib itu pasti salah. Karena arti hadits dhaif atau gharib itu adalah diriwayatkan oleh orang yang tidak jujur dan/atau satu orang. Akan tetapi apakah pembohong itu pasti bohong dalam semua kata-katanya? Tidak bukan? 

Jadi, hadits dhaif atau lemah atau tidak shahih blm tentu salah secara hakiki.----tuh pan dikate belum tentu salah, plin plan juga nt yech wkwkwkkwkw.....so mumet tanpa essensi neeh, jadi neeh hadist Mungkar apa bener ???? 

Sinar Agama: Malik: Ternyata kamu dari dulu memang tidak cerdas, karena itu tidak bisa memahmi kata-kata yang sangat jelas. Aku hanya berusaha menerangkannya, dan apapun itu kembali pada dirimu. Dan ingat kalau kamu bermaksud tidak baik dalam status itu, hanya kepada Allah aku berpasrah diri dan menyerahkan urusan antum ini. 

@Amin: baca tulisanku itu dengan baik, maka kamu akan dapatkan jawabannya. 

Anjuranku pada kalian berdua: Jangan banyak bicara kalau tidak bisa memahami penjelasan agama yang sudah jelas dan diulang-ulang. Karena bisa membuat antum sendiri malu. Ntar dibilang lambat memahami. Jadi, bagusnya, renungkan beberapa kali. 

Malikul Amin Teuboh Anabuki: jadi neeh hadits Mungkar apa Mujizat ????..kekekek.. 

Abdul Malik Karim: wong si ulama bilang payudara Fatimah panjang, tanpa keterangan mukjizat dan sebagainya, tapi DR NURDIN bilang ini mukjizat. 

Abdul Malik Karim: Anda yang tidak cerdas pak doktor, kalo anda cerdas tidak mungkin anda membuat statemen yang kontradiktif. 

Cara anda menolak hadits ini juga nampak sekali tidak cerdas. Anda cuma copas dari alur berpikir guru-guru anda. 

Sinar Agama: Malik malik...kamu ini seperti maling teriak maling. Orang berargument kok bilang copas. Sementara kamu sendiri yang copas dan tidak mengerti argumen, tapi bilang cerdas dan tidak copas???!!! he he he he kasihan. Kamu dimana saja tdk akan bisa merusak Syi’ah. Semuanya akan kembali kepada dirimu sendiri. Dan dunia melihat dengan jelas hal itu. Tentu dunia yang cerdas dan mau berfikir. 

Malik ... malik ... masih juga kamu tidak mengerti tulisanku yang seperti matahari terangnya itu? Kasihan banget kamu ini. Kayak Malik aja he he he kasihang (logat Sulawesi). 

Malikul Amin Teuboh Anabuki: jadi neeh hadist mungkar apa bentuk Mujizat???..nyang teges dunks kalo Punye gelar Doktoral??..ckckckckck... 

Ibnu Zaki: He he, tanpa substansi yak, omongan Sinar Agama di atas itu. 

Neh riwayat dikatanye kaga usah dijadikan landasan berpijak, tapi juga maknanya belum tentu salah. jika, diliat dari kategori mu’jizat. itu pun masih perlu lagi dikeluarkan dari konteks asalnye. 

Hahha. Ngelesnye udeh berlipet lipet neh. Kalau di ruangan diskusi udeh d bata empat kali ame audiens. 

Abdul Malik Karim: anda cuma copas dari alur berpikir guru-guru anda. Pak doktor, maksudnya adalah copas pemikirannya, bukan copas textnya. 

Kasihan banget kamu ini pak doktor, rupanya kuliah jauh-jauh cuma begini hasilnya, buang-buang duit tuh Iran nyekolahin kamu. 

Pak doktor, apakah anda cerdas dan mau berpikir? Jika anda cerdas, bukan begini jawaban anda. 

Jika anda cerdas, anda tidak akan percaya pada klaim bahwa Fatimah Azzahra pernah nampak di Portugis. 

Itu semua karena anda tidak lagi bisa berpikir jernih, dolar Iran telah menutup jaringan otak anda. 

Sinar Agama: Oww Zaki...Zaki, ikutan juga nih.. he he ... kirain sudah pandai, rupanya tetap seperti dulu ... baca lagi tuh berulang-ulang supaya bisa paham. 

@Malik: Tulisanku itu bahasa Indonesia, tapi memang agak ilmiah, jadi sulit dipahami orang yang kurang terbiasa berfikir ilmiah. Bacalah lagi, dan berenung. Saya tidak mungkin berbahasa dengan bahasamu yang wahabis dan awam. 

Untuk hadh Fathimah itu muncul di puluhan ribu orang, jadi lebih mutawatir dari mutawatir yang ada. Ana tahu kamu tidak akan percaya karena agama Islammu yang wahabi itu ala materialis yang hanya percaya sama benda-benda kasat mata. Sungguh kalau kamu ada di jaman Nabi saww sangat mungkin tidak akan percaya kalau jemari beliau mengeluarkan susu yang diminum ribuan orang. Pasti kamu bilang khurafat. Allah yahfazh... 

Em Syaikhul Islam : Jadi ntuh gorip yeh? 

Ibnu Zaki: “Tulisanku itu bahasa Indonesia tapi memang agak ilmiah.” 

Xixiixix.. kegeeran gitu die, udeh jelas tulisannye nyablak kemane mane. tanpa kesimpulan yang jelas pula. Agak nyadar dikit dok. Hehheh. 

Ibnu Zaki: Doktor lepel Persia kek gini semuanye neh, bagel. Bagusan Saleh Lapadi dari pade lo din. hahha! 

Akan meningkat, kata kata menyingkat. Lah elu? Panjang-panjang nulis tapi isinye nonsen. 

Mukjizat bagi Rasulullah biasa, wajar dan penting. Lah bagi Fatimeh? Memanjangnya susunye [die] buat membuktikan apaan doktor nurdin? 

Abdul Malik Karim : maksudnya hadits payudara Fatimah yang panjang adalah hadits mutawatir? 

Sinar Agama : Zaki: he he he ...kumat lagi yah ...memang sulit merubah karakter orang kalau tidak dikehendakinya sendiri. 

@Malik, maksudnya tentang mukjizat kehadiran Hdh Faathimah as di Portugis itu yang mutawatir. Kamu ini kok semakin mengasihani saja? Wong dari awal hadits tentang payu dara itu sudah dikatakan Gharib kok mau dimutawatirkan. Gharib itu aneh dan dalam istilah ilmu Hadits, tidak bisa dipakai karena tidak shahih. Malah nanya lagi “mutawatir”. Wallahi tidak biasa berbahasa dan membahas agama, sok gumenter mbahas dan ngotot mbantah lagi (logat Jawa).


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 30 September 2018

Ummu Daud Pada Amalan Tanggal 15 Rajab



Oleh Ustad Sinar Agama 

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 Juli 2011 pukul 14:29



Nita Ahmad mengirim ke Sinar Agama: 

Salam ustadz mohon pencerahan tentang siapa Ummu Daud pada amalan tanggal 15 rajab ?


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: Ummu Daawud adalah ibu dari Daawud salah satu dari shahabat imam Shaadiq as. Ada yang mengatakan anak dari al-Husain bin Ali bin Abi Thaalib, tapi ada yang mengatakan anak dari al-Hashiin al-Asadii. Dan yang lebih kuat adalah yang ke dua ini. Ibunya -Ummu Daawud- diajari oleh imam Shaadiq as doa yang kemudian dikenal dengan “amalan Ummu Daawud” itu untuk terlepasnya anaknya dari penjara.

Nita Ahmad : Syukran .. mohon pencerahan tentang keistimewaan amalan ini. 

Sinar Agama : Untuk meminta perlindungan Tuhan dari segala macam bahaya yang mengancam. 

Syaiful Bachri : Ustadz bisa minta teks arab dan terjemahannya amalan ummu daud...., syukron.

Sinar Agama: Syaiful: Amalannya banyak sekali, termasuk doanya, tunggu mungkin bisa di copy.



الخامس : دعاء أمّ داوُد وهو اهمّ أعمال هذا اليوم ومن آثاره قضاء الحوائج وكشف الكروب ودفع ظُلم

الظالمين، وصفته على ما أورده الشّيخ في المصباح هي انّ من أراد ذلك فليصم اليوم الثّالث عشر والرّابع

عشر والخامس عشر : فاذا كان عند الزّوال من اليوم الخامس عشر اغتسل، فاذا زالت الشّمس صلّى الظّهر

والعصر يحسن ركوعهما وسجُودهما، وليكن في موضع خال لا يشغله شاغل، ولا يكلّمه انسان، فاذا فرغ من

الصّلاة استقبل القبلة وقرأ الحمد مائة مرّة، والاخلاص مائة مرّة، وآية الكرسي عشر مرّات، ثمّ يقرأ بعد ذلك
سُورة الانعام، وبني اسرائيل، والكهف، ولقمان، ويس، والصّافات، وحم، السّجدة وحم، عسق وحم، الدّخان،
والفتح، والواقعة، والملك، ون، و (اذا السّماء انشقّت)، وما بعدها الى آخر القرآن، فاذا فرغ من ذلك قال
وهو مستقبل القبلة

Ringkasnya: Doa ini disebut dengan Ummu Daawud, doa untuk kabul hajat dan menghilangkan bencana dan terlepas dari penganiayaan yang zhalim. Doa ini didahului dengan puasa tiga hari di bulan Rajab, yaitu hari tgl 13, 14 dan 15. Di hari 15, di waktu zhuhur, maka mandilah (seperti mandi janabah tapi dengan niat sunnah) kemudian setelah wudhu melakukan shalat zhuhur dan asyr. Lakukan shalat itu di tempat sepi hingga tidak terganggu oleh orang hingga mengajak bicara. Lakukan shalat tadi dengan baik dan khusyu’ tertama ruku’ dan sujudnya. Setelah selesai shalat dengan tetap menghadap kiblat, membaca 100 x surat fatihah dan surat tauhid, lalu 10 x ayat kursi, kemudian membaca surat al-An’aam, Bani Israail, al-Kahf, Luqmaan, Yaasiin, al-Shaaffaat, Haa’ miim al-Sajdah, Haa’ miim ‘aiin siin qaaf, Haa’ miim dukhaan, al-Fath, Waaqi’ah, Mulk, Nuun, wa idza al-samaa-u insyaqqat ..dan seterusnya sampai akhir Qur'an..


Lalu membaca doa ini:


صَدَقَ اللهُ الْعَظيمُ الَّذي لا اِلهَ إِلاّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ، ذُو الْجَلالِ وَالاِكْرامِ، الرَّحْمنُ الرَّحيمُ، الْحَليمُ الْكَريمُ، الَّذي
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّميعُ الْعَليمُ الْبَصيرُ الْخَبيرُ، شَهِدَ اللهُ اَنَّهُ لا اِلهَ إِلاّ هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَاُولُو الْعِلْمِ قائِماً
بِالْقِسْطِ لا اِلهَ إِلاّ هُوَ الْعَزيزُ الْحَكيمُ، وَبَلَّغَتْ رُسُلُهُ الْكِرامُ وَاَنَا عَلى ذلِكَ مِنَ الشّاهِدينَ، اَللّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ،
وَلَكَ المَجْدُ، وَلَكَ الْعِزُّ، وَلَكَ الْفَخْرُ، وَلَكَ الْقَهْرُ وَلَكَ النِّعْمَةُ، وَلَكَ الْعَظَمَةُ، وَلَكَ الرَّحْمَةُ، وَلَكَ الْمَهابَةُ، وَلَكَ
السُّلْطانُ، وَلَكَ الْبَهاءُ، وَلَكَ الاِمْتِنانُ، وَلَكَ التَّسْبيحُ، وَلَكَ التَّقْديسُ، وَلَكَ التَّهْليلُ، وَلَكَ التَّكْبيرُ، وَلَكَ ما يُرى،
وَلَكَ ما لا يُرى، وَلَكَ ما فَوْقَ السَّمواتِ الْعُلى، وَ لَكَ ما تَحْتَ الثَّرى، وَلَكَ الاَرَضُونَ السُّفْلى، وَلَكَ الاْخِرَةُ
وَالاُولى، وَلَكَ ما تَرْضى بِهِ مِنَ الثَّناءِ وَالْحَمْدِ وَالشُّكرِ وَ النَّعْماءِ،
اَللّهُمَّ صَلِّ عَلى جَبْرَئيلَ اَمينِكَ عَلى وَحْيِكَ، وَالْقَوِيِّ عَلى اَمْرِكَ، وَالْمُطاعِ في سَمواتِكَ، وَمَحالِّ كَراماتِكَ الْمُتَحَمِّلِ
لِكَلِماتِكَ النّاصِرِ لاَنْبِيائِكَ الْمُدَمِّرِ لَِعْدائِكَ، اَللّهُمَّ صَلِّ عَلى ميكائيلَ مَلَكِ رَحْمَتِكَ، وَالْمَخْلُوقِ لِرَأْفَتِكَ،
وَالْمُسْتَغْفِرِ الْمُعينِ لَِهْلِ طاعَتِكَ، اَللّهُمَّ صَلِّ عَلى اِسْرافيلَ حامِلِ عَرْشِكَ، وَصاحِبِ الصُّورِ الْمُنْتَظِرِ لَِمْرِكَ،
الْوَجِلِ الْمُشْفِقِ مِنْ خيفَتِكَ، اَللّهُمَّ صَلِّ عَلى حَمَلَةِ الْعَرْشِ الطّاهِرينَ، وَعَلى السَّفَرَةِ الْكِرامِ الْبَرَرَةِ الطَّيِّبينَ، وَعَلى
مَلائِكَتِكَ الْكِرامِ الْكاتِبينَ، وَ عَلى مَلائِكَةِ الْجِنانِ، وَخَزَنَةِ النّيرانِ، وَمَلَكِ الْمَوْتِ وَالاَعْوانِ، يا ذَا الْجَلالِ وَالاِكْرامِ،
اَللّهُمَّ صَلِّ عَلى اَبينا آدَمَ بَديعِ فِطْرَتِكَ الَّذي كَرَّمْتَهُ بِسُجُودِ مَلائِكَتِكَ، وَاَبَحْتَهُ جَنَّتَكَ، اَللّهُمَّ صَلِّ عَلى اُمِّنا
حَوّاءَ الْمُطَهَّرَةِ مِنَ الرِّجْسِ، الْمُصَفّاةِ مِنَ الدَّنَسِ، الْمُفَضَّلَةِ مِنَ الاِنْسِ، الْمُتَرَدِّدَةِ بَيْنَ مَحالِّ الْقُدْسِ، اَللّهُمَّ صَلِّ
عَلى هابيلَ وَشَيْث وَاِدْريسَ وَنُوح وَهُود وَصالِح وَ اِبْراهيمَ وَاِسْماعيلَ وَاِسْحاقَ وَيَعْقُوبَ وَيُوسُفَ وَالاَسْباطِ وَلُوط
وَشُعَيْب وَاَيُّوبَ وَمُوسى وَهارُونَ وَيُوشَعَ وَميشا وَالْخِضْرِ وَذِى الْقَرْنَيْنِ وَيُونُسَ وَاِلْياسَ وَالْيَسَعَ وَذِي الْكِفْلِ وَطالُوتَ
وَداوُدَ وَسُلَيْمانَ وَزَكَرِيّا وَشَعْيا وَيَحْيى وَتُورَخَ وَمَتّى وَاِرْمِيا وَحَيْقُوقَ وَدانِيالَ وَعُزَيْر وَعيسى وَشَمْعُونَ وَجِرْجيسَ
وَالْحَوارِيّينَ وَالاَْتْباعِ وَخالِد وَحَنْظَلَةَ وَلُقْمانَ،
اَللّهُمَّ صَلِّ عَلى مُحَمَّد وَآلِ مُحَمَّد، وَارْحَمْ مُحَمَّداً وَآلَ مُحَمَّد، وَبارِكْ عَلى مُحَمَّد وَآلِ مُحَمَّد، كَما صَلَّيْتَ
وَرَحِمْتَ وَبارَكْتَ عَلى اِبْرهيمَ وَآلِ اِبْرهيمَ اِنَّكَ حَميدٌ مَجيدٌ، اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى الاَوْصِياءِ وَالسُّعَداءِ وَالشُّهَداءِ وَاَئِمَّةِ
الْهُدى، اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى الاَبْدالِ وَالاَوْتادِ وَالسُّيّاحِ وَالْعُبّادِ وَالْمُخْلِصينَ وَالزُّهّادِ وَاَهْلِ الجِدِّ وَالاِجْتِهادِ، وَاخْصُصْ
مُحَمَّداً وَاَهْلَ بَيْتِهِ بِاَفْضَلِ صَلَواتِكَ وَاَجْزَلِ كَراماتِكَ، وَبَلِّغْ رُوحَهُ وَ جَسَدَهُ مِنّي تَحِيَّةً وَسَلاماً، وَزِدْهُ فَضْلاً وَشَرَفاً
وَكَرَماً، حَتّى تبَُلِّغَهُ اَعْلى دَرَجاتِ اَهْلِ الشَّرَفِ مِنَ النَّبِيّينَ وَالْمُرْسَلينَ وَالاَفاضِلِ الْمُقَرَّبينَ،
اَللّهُمَّ وَصَلِّ عَلى مَنْ سَمَّيْتُ وَمَنْ لَمْ اُسَمِّ مِنْ مَلائِكَتِكَ وَاَنْبِيائِكَ وَرُسُلِكَ وَاَهْلِ طاعَتِكَ، وَاَوْصِلْ صَلَواتي اِلَيْهِمْ
133
وَاِلى اَرْواحِهِمْ، وَاجْعَلْهُمْ اِخْواني فيكَ وَاَعْواني عَلى دُعائِكَ، اَللّهُمَّ اِنّي اَسْتَشْفِعُ بِكَ اِلَيْكَ، وَبِكَرَمِكَ اِلى كَرَمِكَ،
وَبِجُودِكَ اِلى جُودِكَ، وَبِرَحْمَتِكَ اِلى رَحْمَتِكَ، وَبِاَهْلِ طاعَتِكَ اِلَيْكَ،
وَاَساَلُكَ الّلهُمَّ بِكُلِّ ما سَأَلَكَ بِهِ اَحَدٌ مِنْهُمْ مِنْ مَسْأَلَة شَريفَة غَيْرِ مَرْدُودَة، وَبِما دَعَوْكَ بِهِ مِنْ دَعْوَة مُجابَة غَيْرِ
مُخَيَّبَة، يااَللهُ يارَحْمنُ يا رَحيمُ يا كَريمُ يا عَظيمُ يا جَليلُ يا مُنيلُ يا جَميلُ يا كَفيلُ يا وَكيلُ يا مُقيلُ يا مُجيرُ يا خَبيرُ
يا مُنيرُ يا مُبيرُ يا مَنيعُ يا مُديلُ يا مُحيلُ يا كَبيرُ يا قَديرُ يا بَصيرُ يا شَكُورُ يا بَرُّ يا طُهْرُ يا طاهِرُ يا قاهِرُ يا ظاهِرُ يا
باطِنُ يا ساتِرُ يا مُحيطُ يا مُقْتَدِرُ يا حَفيظُ يا مُتَجَبِّرُ يا قَريبُ يا وَدُودُ يا حَميدُ يا مَجيدُ يا مُبْدِئُ يا مُعيدُ يا شَهيدُ يا
مُحْسِنُ يا مُجْمِلُ يا مُنْعِمُ يا مُفْضِلُ يا قابِضُ يا باسِطُ يا هادي يا مُرْسِلُ يا مُرْشِدُ يا مُسَدِّدُ يا مُعْطي يا مانِعُ يا دافِعُ
يا رافِعُ يا باقي يا واقي يا خَلاّقُ يا وَهّابُ يا تَوّابُ يا فَتّاحُ يا نَفّاحُ يا مُرْتاحُ يا مَنْ بِيَدِهِ كُلُّ مِفْتاح، يا نَفّاعُ يا رَؤوفُ
يا عَطُوفُ يا كافي يا شافي يا مُعافي يا مُكافي يا وَفِيُّ يا مُهَيْمِنُ يا عَزيزُ يا جَبّارُ يا مُتَكَبِّرُ يا سَلامُ يا مُؤْمِنُ يا اَحَدُ يا
صَمَدُ يا نُورُ يا مُدَبِّرُ يا فَرْدُ يا وِتْرُ يا قُدُّوسُ يا ناصِرُ يا مُؤنِسُ يا باعِثُ يا وارِثُ يا عالِمُ يا حاكِمُ يا بادي يا مُتَعالي
يا مُصَوِّرُ يا مُسَلِّمُ يا مُتَحَّبِّبُ يا قائِمُ يا دائِمُ يا عَليمُ يا حَكيمُ يا جَوادُ يا بارِىءُ يا بارُّ يا سارُّ يا عَدْلُ يا فاصِلُ يا
دَيّانُ يا حَنّانُ يا مَنّانُ يا سَميعُ يا بَديعُ يا خَفيرُ يا مُعينُ يا ناشِرُ يا غافِرُ يا قَديمُ يا مُسَهِّلُ يا مُيَسِّرُ يا مُميتُ يا مُحْيي
يا نافِعُ يا رازِقُ يا مُقْتَدِرُ يا مُسَبِّبُ يا مُغيثُ يا مُغْني يا مُقْني يا خالِقُ يا راصِدُ يا واحِدُ يا حاضِرُ يا جابِرُ يا حافِظُ يا
شَديدُ يا غِياثُ يا عائِدُ يا قابِضُ، يا مَنْ عَلا فَاسْتَعْلى فَكانَ بِالْمَنْظَرِ الاَعْلى، يا مَنْ قَرُبَ فَدَنا وَبَعُدَ فَنَأى، وَعَلِمَ
السِّرَّ وَاَخْفى، يا مَنْ اِلَيْهِ التَّدْبيرُ وَلَهُ الْمَقاديرُ، وَيا مَنِ الْعَسيرُ عَلَيْهِ سَهْلٌ يَسيرٌ، يا مَنْ هُوَ عَلى ما يَشاءُ قَديرٌ، يا
مُرْسِلَ الرِّياحِ، يا فالِقَ الاَصْباحِ، يا باعِثَ الاَرْواحِ، يا ذَا الْجُودِ وَالسَّماحِ، يا رادَّ ما قَدْ فاتَ، يا ناشِرَ الاَمْواتِ، يا
جامِعَ الشَّتاتِ، يا رازِقَ مَنْ يَشاءُ بِغَيْرِ حِساب، وَيا فاعِلَ ما يَشاءُ، كَيْفَ يَشاءُ وَيا ذَا الْجَلالِ وَالاِكْرامِ، يا حَيُّ يا
قَيُّومُ، يا حَيّاً حينَ لا حَيَّ، يا حَيُّ يا مُحْيِيَ الْمَوْتى يا حَيُّ لا اِلهَ إِلاّ اَنْتَ بَديعُ السَّماواتِ وَالاَرْضِ،
يا اِلهي وَسَيِّدي صَلِّ عَلى مُحَمَّد وَآلِ مُحَمَّد، وَارْحَمْ مُحَمَّداً وَآلَ مُحَمَّد، وَبارِكْ عَلى مُحَمَّد وَآلِ مُحَمَّد، كَما
صَلَّيْتَ وَبارَكْتَ وَرَحِمْتَ عَلى اِبْرهيمَ وَآلِ اِبْرهيمَ اِنَّكَ حَميدٌ مَجيدٌ، وَارْحَمْ ذُلىّ وَ فاقَتي وَفَقْري وَانْفِرادي وَوَحْدَتي
وَخُضُوعي بَيْنَ يَدَيْكَ وَاعْتِمادي عَلَيْكَ، وَتَضَرُّعي اِلَيْكَ، اَدْعُوكَ دُعاءَ الْخاضِعِ الذَّليلِ الْخاشِعِ، الْخائِفِ الْمُشْفِقِ
الْبائِسِ، الْمَهينِ الْحَقيرِ، الْجائِعِ الْفَقيرِ، الْعائِذِ الْمُسْتَجيرِ، الْمُقِرِّ بِذَنْبِهِ الْمُسْتَغْفِرِ مِنْهُ، الْمُسْتَكينِ لِرَبِّهِ، دُعاءَ مَنْ
اَسْلَمْتَهُ ثَقِتُهُ، وَرَفَضَتْهُ اَحِبَتُّهُ، وَعَظُمَتْ فَجيعَتُهُ، دُعاءَ حَرِق حَزين، ضَعيف مَهين، بائِس مُسْتَكين بِكَ مُسْتَجير،
اَللّهُمَّ وَاَساَلُكَ بِاَنَّكَ مَليكٌ، وَاَنَّكَ ما تَشاءُ مِنْ اَمْر يَكُونُ، وَاَنَّكَ عَلى ما تَشاءُ قَديرٌ، وَاَساَلُكَ بِحُرْمَةِ هذَا الشَّهْرِ
الْحَرامِ، وَالْبَيْتِ الْحَرامِ، وَالْبَلَدِ الْحَرامِ، وَالرُّكْنِ وَالْمَقامِ، وَالْمَشاعِرِ الْعِظامِ، وَبِحَقِّ نَبِيِّكَ مُحَمَّد عَلَيْهِ وَآلِهِ السَّلامُ،
يا مَنْ وَهَبَ لاِدَمَ شِيْثاً، وَلِِبْراهيمَ اِسْماعيلَ وَاِسْحاقَ، وَيا مَنْ رَدَّ يُوسُفَ عَلى يَعْقُوبَ، وَيا مَنْ كَشَفَ بَعْدَ الْبَلاءِ
ضُرَّ اَيُّوبَ، يا رادَّ مُوسى عَلى اُمِّهِ، وَ زائِدَ الْخِضْرِ في عِلْمِهِ، وَيا مَنْ وَهَبَ لِداوُدَ سُلَيْمانَ، وَلِزَكَرِيّا يَحْيى، وَلِمَرْيَمَ
عيسى، يا حافِظَ بِنْتِ شُعَيْب، وَيا كافِلَ وَلَدِ اُمِّ مُوسى، اَساَلُكَ اَنْ تُصَلِّيَ عَلى مُحَمَّد وَآلِ مُحَمَّد، وَاَنْ تَغْفِرَ لِي
ذُنُوبي كُلَّها، وَتُجيرَني مِنْ عَذابِكَ، وَتُوجِبَ لي رِضْوانَكَ وَاَمانَكَ وَاِحْسانَكَ وَغُفْرانَكَ وَجِنانَكَ، وَاَساَلُكَ اَنْ تَفُكَّ
عَنّي كُلَّ حَلْقَة بَيْني وَبَيْنَ مَنْ يؤُْذيني، وَتَفْتَحَ لي كُلَّ باب، وَتلَُيِّنَ لي كُلَّ صَعْب، وَتُسَهِّلَ لي كُلَّ عَسَير، وَتُخْرِسَ
134
عَنّي كُلَّ ناطِق بِشَرٍّ، وَتَكُفَّ عَنّي كُلَّ باغ، وَتَكْبِتَ عَنّي كُلَّ عَدُوٍّ لي وَحاسِد، وَتَمْنَعَ مِنّي كُلَّ ظالِم، وَتَكْفِيَني كُلَّ
عائِق يَحُولُ بَيْني وَبَيْنَ حاجَتي، وَيُحاوِلُ اَنْ يفَُرِّقَ بَيْني وَبَيْنَ طاعَتِكَ، وَيثَُبِّطَني عَنْ عِبادَتِكَ، يا مَنْ اَلْجَمَ الْجِنَّ
الْمُتَمَرِّدينَ، وَقَهَرَ عُتاةَ الشَّياطينِ، وَاَذَلَّ رِقابَ الْمُتَجَبِّرينَ، وَرَدَّ كَيْدَ الْمُتَسَلِّطين عَنِ الْمُسْتَضْعَفينَ، اَساَلُكَ بِقُدْرَتِكَ
عَلى ما تَشاءُ، وَتَسْهيلِكَ لِما تَشاءُ كَيْفَ تَشاءُ اَنْ تَجْعَلَ قَضاءَ حاجَتي فيما تَشاءُ


Kemudian sujud, lalu menempelkan pipinya ke tanah dan membaca ini:

اَللّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ، وَبِكَ امَنْتُ، فَارْحَمْ ذُلّي وَفاقَتي، وَاجْتِهادي وَتَضَرُّعي، وَ مَسْكَنَتي وَفَقْرى اِلَيْكَ يا رَبِّ



Dikatakan bahwa usahakan ketika membaca doa ini untuk khusyu’, khususnya ketika sujud dan menempelkan pipi ke tanah (alas sujud), dan usahakan untuk meneteskan air mata.




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ


Peristiwa Pengorbanan Nabi Ismail Oleh Nabi Ibrahim dalam Pandangan Filosofis


Seri Tanya Jawab Haerul Fikri dan Ustad Sinar Agama


Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 Juli 2011 pukul 14:13


Haerul Fikri: Salam, ustad.. Bagaimana penafsiran secara filosofis mengenai peristiwa pengor- banan yang dilaksanakan Nabi Ibrahim as dengan menyembelih anaknya, yakni nabi Ismail as. Sementara, pengetahuan para Nabi meliputi setiap kejadian tanpa batasan ruang dan waktu. Dengan begitu, apakah pengorbanan dalam kasus di atas masih bermakna? Terima kasih, ustad..

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

(1). Perlu diperhatikan dalam masalah penyembelihan itu, bukan pengorbanan yang menjadi titik beratnya. Karena pengorbanan itu adalah akibatnya, bukan sebabnya.

(2). Sebab dari terjadinya penyembelihan itu adalah perintah Tuhan. Jadi, nabi Ibrahim as. bukan berinisiatif sendiri membunuh anaknya. Kalau beliau berenisiatif sendiri, maka lebih menonjol pengorbanannya. 

(3). Karena Tuhan yang memerintahkan, maka titik beratnya adalah perintah Tuhan dan ujianNya. 

(4). Sedang titik berat yang ada di sisi nabi Ibrahim as. adalah ketaatan, ketabahan dan kesabarannya, bukan pengorbanan.

(5). Baru ketika nabi Ibrahim as dan nabi Ismail as, sama-sama taat akan perintah itu, maka pekerjaan itu disebut dengan kurban atau pengorbanan. Yakni pengorbanan yang timbul karena ketaatannya itu.

(6). Ketika kita melihat peristiwa kurban itu dengan seperti ini, maka jelas bahwa apa yang dikerjakan oleh nabi Ibrahim as itu karena perintahNya, bukan idenya sendiri. 

(7). Ketika mengikuti perintahNya, maka perintah membunuh anak itu tidak mungkin merupakan perintah yang serius dariNya. Artinya bisa saja serius tapi bisa saja tidak. Karena itu, perintah itu adalah ujian bagi nabi Ibrahim as, bukan perintah serius. Tapi ujian bagi beliau as apakah tetap taat padaNya dalam perintah itu atau tidak. Dan, sudah tentu nabi Ibrahim as lulus dalam ujian ini. 

(8). Ketika perintah itu ujian, maka sudah pasti tidak akan memiliki makna kalau yang diuji sudah tahu kalau itu hanya ujian dan tidak serius. Artinya, kalau nabi Ibrahim as. sudah tahu bahwa perintah menyembelih anak itu hanya ujian baginya dan akhirnya ia akan diperintah menyembelih kambilng sebagai gantinya, maka sudah pasti ujian itu tidak akan memiliki nilai sama sekali. 

(9). Karena itu dapat dipastikan bahwa nabi Ibrahim as tidak tahu akan hakikat ujian itu dan yang diketahuinya adalah perintah tersebut. Itu saja.

(10). Dengan uraian itu dapat dipastikan bahwa Tuhan memang menutup hakikat ujian itu dari nabi Ibrahim as. 

(11). Dari penjelasan di atas itu, dapat dipahami bahwa seberapapun hebatnya ilmu seorang nabi saww, maka bukan berarti sudah diketahui semua. Tapi tergantung ijinNya. Karena itulah maka Nabi saww sering mengatakan “dengan ijin Allah” dan semacamnya. Hal itu karena memang tergantung kepada ijinNya secara nyata. 

(12). Kesimpulannya: Ujian yang dihadapi nabi Ibrahim as itu memiliki nilai yang tinggi yang, karenanya dapat mengantarkannya ke maqam imamah untuk manusia. Semoga syafaat beliau as meliputi kita semua, amin. Wassalam. 


Haerul Fikri: Terima kasih, ustadz. Amin ya Rabb.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 29 September 2018

Sekelumit Tentang Wilayatulfakih

Sekelumit Tentang Wilayatulfakih {lanjutan catatan: Taqlid dan kelebihpandaian (a’lam) marja}





Seri tanya-jawab Al Louna dan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Saturday, June 18, 2011 at 11:33 pm




Adlh Murid Sejati: Salam wr. wb. ...mau tanya tentang konsep wilayatul faqih, syukron jawabannya. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

(1). Wilayatul fakih itu adalah wewenang para fakih. Pendek kata wewenang para marja’. 

(2). Marja’ adalah orang yang mencapai derajat ijtihad dan adil (tidak melakukan dosa besar dan kecil). Orang seperti ini, adalah wakil imam Makshum as yang ditunjuk dengan kriteria. Yakni mujtahid, adil dan tidak serakah pada dunia. 

(3). Sekarang, wewenangnya ini sejauh apa? Ada dua pandangan: Pertama, Mutlak (merupakan fatwa mayoritas mujtahid). Yakni marja’ itu menempati posisi imam makshum as dalam sosial karena memang mewakili mereka as. Karena itu harus mengatur masyarakat sejauh masyarakatnya menginginkannya, karena tidak ada paksaan dalam Islam. Karena itu, harus melakukan seruan perjuangan (sesuai dengan kondisi masing-masing tempat dilihat dari keluasan oyek yang akan diperjuangkannya) bila ada penindasan terhadap Islam dan masyarakat. Baik diikuti atau tidak. Dan kalau diikuti, maka harus membuat perjuangan membela Islam dan yang lemah sesuai dengan hukum-hukum islam. Dan kalau sudah berhasil dalam perjuangannya, dan telah pula membuat negara Islam (karena didukung masyarakat), maka harus pula menerapkan hukum Islam seperit qishash dan apa saja dalam sebuah sosial dan negara islam. Jadi, kewajibannya adalah menyeru kepada perjuangan membela Islam dan muslimin tanpa paksa, dan kalau diikuti orang dan berhasil, maka harus membuat negara Islam yang juga tidak boleh tanpa paksa.

(4). Ke dua, Tidak Mutlak. Yaitu yang mengatakan bahwa marja’ itu hanya memiliki wewenang memberi fatwa dan mangatus sedikit tentang sosil yang berupa pengaturan khumus, zakat, wakaf dan semacamnya. Jadi kalau dia berfatwa bahwa pembunuh itu harus dibunuh, bukan berarti harus dibunuh betulan. Tapi harus menunggu imam Mahdi as. Karena bagi mereka perjuangan membela Islam dan muslimin itu tidak boleh dan, apalagi mendirikan negara Islam. 

(5). Jadi, walaupun mereka -yang tidak mutlak itu- melihat para wanita diperkosa dan muslimin dibunuhi, maka mereka tidak boleh mengumandangkan suara perjuangan dan apalagi menegakkan negara Islam. Dan kalau berteriak dan berjuangpun, hanya untuk membela hak diri dari perkosaan dan pembunuhan itu. Artinya, kalau orang zhalim itu tidak memperkosanya dan tidak membunuhnya, sudah cukup, sekalipun di dunia ia melakuakn kekejaman dan kemungkaran. Inilah kira-kira pandangan wilayah faqih yang tidak mutlak itu.

(6). Kalau mereka ini melakukan hal seperti itu memang disebabkan ijtihadnya, yakni murni ijtihad dan bukan karena rasa takut, dengki kepada wali faqih dan semacamnya, atau karena menaklidi mujtahid yang seperti itu (bagi yang tidak ijtihad), maka masih tergolong muslim dan Syi’ah. Artinya di dunia ini, kita tidak bisa menghukumi mereka apa-apa. Jadi urusannya kita serahkan kepada Allah. Entah bagaimana mereka nanti menghadapi wanita-wanita yang diperkosa di depan mata mereka dan orang-orang yang dibunuhi itu, serta bagaimana menghadapi pertanyaan Tuhan terhadap kekacauan hukum sosial dan negara karena mereka tidak membolehkan membuat sistem negara yang sesuai Islam dan hukum Tuhan itu. 

(7). Akan tetapi bagi yang mutlak, keyakinan ini sangat dalam dan mendasar, bahwa Islam diturunkan Tuhan untuk mengatur umat manusia seperti menegakkan keadilan di segala bidang (ekonomi, budaya, politik ...dan seterusnya) dan memberantas kebatilan serta penganiayaan. Tentu saja tanpa dengan usaha-usaha pemaksaan seperti para terorist itu. Jadi, mengajak umat dengan bijak dan argumentatif tanpa boleh ada paksaan sedikitpun. Sementara masalah imam Mahdi as itu adalah masalah janji Tuhan untuk kemenangan di seluruh permukaan bumi ini. Jadi, jauh beda antara tugas di setiap tempat sesuai dengan kondisinya masing-masing, dengan imam Mahdi as yang merupakan janji Tuhan untuk kemenangan di seluruh dunia, bukan hanya di tempat-tempat tertentu. 

Artinya, bukan berarti sekarang tidak boleh berjuang. Jadi, kewajiban sekarang dalam membela Islam, sama persis dengan kewajiban membela islam ketika nanti imam Mahdi as telah datang. Dan, jangan dikira, orang yang tidak berjuang sekarang, nanti pasti berjuang dengan imam Mahdi as. Karena bisa saja ada keraguan di dalam hatinya terhadap beiau yang membuatnya tidak mau berjuang bersama beliau as. 

Misalnya, beliau as mengatakan bahwa perjuangan sebelum beliau as adalah kewajiban yang mereka tidak laksanakan. Nah, kalau mereka menerima teguran ini dan bertaubat, maka ia akan masuk di dalam tentaranya, tapi kalau tidak, maka sebaliknya. Semoga saja Allah membimbing kita ke jalan imam Mahdi as yang hakiki, . 

Tambahan: Dalam urusan agama Islam dan selainnya, yang penting adalah Islam. Dalam urusan madzhab antara Syi’ah dan lainnya, yang penting Syi’ah (tentu bagi pengikutnya). Tapi dalam Syi’ah taqwa dan peduli dengan lingkungannya sesuai dengan hukum-hukum Islam yang tidak pernah libur, dengan yang lainnya, maka di sini tidak bisa dikatakan bahwa yang penting adalah Syi’ah, sehingga dengan demikian para penakut dan penyinta dunia yang tidak peduli dengan derita islam dan umatnya (dari orang-orang Syi’ah) menyembunyikan dirinya. Karena itu, ketahuilah bahwa Syi’ah itu bukan satu-satunya ukuran masuk surga, tapi ketaatan di dalamnya dan kepedulian kepada Islam dan muslimin adalah ukurannya. 

Wassalam. 

Dadan Gochir: Salam, berarti untuk indonesia yang saya tangkap dari catatan ustadz adalah tidak mutlak (4) ya..terus untuk menjadi marja/marja yang lebih a’lam dan adil harus ada kesaksian dari mujtahid lain, bagaimana kita tau atau mujtahid lain tau seorang marja tidak melakukan dosa besar&kecil, karena kita tau dosa bisa dilakukan sendirian..apakah dikembalikan kepada Allah atau gimana? 

Atau yang a’lam dan adil meniscayakan tidak mungkin melakukan dosa sedikitpun, karena pengetahuan mereka akan dosa..atau gimana ustad , afwan. 

Sinar Agama: Gochir, Antum salah memahaminya: Wilyatulfakih mutlak itu tidak mengenal batasan-batasan negara dan tidak mengenal batasan penerapan. Persis seperti imamah itu sendiri. Apakah kalau imam tidak memegang kekuasaan dan tidak memiliki negara Islam (karena tidak didukung umat), lalu konsep keimamahannya atau ketaatannya menjadi terbatas pada masalah-masalah selain politik? 

Dengan demikian, karena wilayatulfakih ini adalah wakil mutlak imam makshum as (tentu selain memulai perang), dan karena ketaatan pada imam makshum as itu tidak dibatasi kekuasaan, maka taat pada wilayatulfakih itu juga demikian. Karena itu kita mesti menaati wilayatulfakih secara mutlak, baik pribadi atau politik, baik mereka memiliki kekuasaan/negara atau tidak, dan baik mereka itu senegara dengan kita atau tidak serta baik di negaranya negara islam dan di negara kita bukan negara Islam. 

Nah, dari sisi ketaatan kita kepada wilayatulfakih itu tidak beda dan tidak bisa dibedakan dengan bedanya keadaan wilayatulfakih atau bedanya keadaan para pengikutnya. 

Yang berbeda itu hanyalah perintah wilayatulfakih itu. Artinya, beliau sebagai marja’ dalam segala bidang, maka akan memberikan fatwa-fatwanya dalam urusan politik, sesuai dengan keadaan para pengikutnya. Misalnya, di Iran wajib mempertahankan negara Islam Iran dan maju perang ketika diserang musuh. Tapi kewajiban itu tidak ada pada Syi’ah di Indonesia sekalipun sama- sama taqlid kepada satu marja’ yang disebut wilayatulfakih itu (yang dalam hal ini adalah Rahbar hf). Akan tetapi ada fatwa-fatwa agama yang berkenaan dengan sosial dan politik Islam yang memang tidak mengenal batas negara dan keadaan. Misalnya muslimin diwajibkan untuk bersatu dan menjaga persatuan dimana kalau membuat perpecahan maka telah melakukan dosa besar. Nah, fatwa politik Islam ini, wajib dilakukan oleh orang-orang yang ada di Iran dan di lain Iran, seperti Indonesia. 

Dengan penjelasan di atas, maka pemahaman antum tidak benar dalam memahami wilayatulfakih itu. Harap teliti. 

Untuk kesaksian akan dosa tidaknya seseorang, ...(dilanjutkan di catatan no. 83. Beda adil dan makshum - seri tanya-jawab antara Dadan Gochir dan Sinar Agama) 

Abdul Malik Karim: Maaf boleh tanya, siapa wali faqih setelah wafatnya wakil imam Mahdi terakhir dan sebelum Khomeini? 

Dadan Gochir: Amin, Terimakasih ustadz ilmunya..semoga ustadz selalu dalam lindungan Allah. 

Dadan Gochir: Ustadz ada wahaboy datang..perusak acara. 

Abdul Malik Karim: Loh orang tanya kok dianggap merusak? Bertanya salah satu cara mencari ilmu, 

Tuan Taajiir: A.M. Karim @ pepesan kosong ngapain di tanggepin, entar ketularan sakit nt wkwkwkwkwkwk. 

Sinar Agama: Malik: he he masih aktif nih,,, kalau antum baca tentang tulisan di atas, maka sudah jelas jawabannya. Karena semua marja’ itu adalah walifakih. Akan tetapi karena belum punya pemerintahan yang disebabkan belum adanya dukungan, maka mereka seperti para imam makshum as yang tidak punya negara. Karena itulah dalam Syi’ah menjadi mujtahid itu adalah wajib kifayah. Karena tidak boleh ada jaman yang tidak ada mujtahidnya. Artinya tidak boleh ada jaman yang tidak ada wilayatulfakihnya. 

Sinar Agama: Kidung, di Syi’ah, belajar 20-30 tahun belum tentu bisa jadi mujtahid, padahal mujtahid itu hanya dalam bidang fikih. Belum lagi kalau mau menguasai filsafat dan lain-lainnya. 

Yang fikih keseharian itu adalah ilmu dasar yang membuat tidak berartinya lmu-ilmu lain tanpanya. Biar membahas filsafat dan irfan dan apa saja, tapi fikih kesehariannya tidak kuat dan apalagi tidak diamalkan, maka semuanya itu sia-sia. Beda halnya kalau fikih kesehariannya dipelajari dengan benar sesuai dengan fatwa marja’nya, lalu diamalkan, maka ia akan mendapatkan banyak ilmu rasa. Artinya ia bisa ke irfan dan makna-makna, walau tidak mengerti peristilahan ilmiahnya. 

Dadan Gochir: Ikut bertanya fikih, ustad maksud terbit matahari waktu akhir subuh..apakah terbit matahari itu mulai terlihatnya matahari di ufuk timur atau bagaimana, bagaimana kalau yang jauh dari laut..sekalian waktu awal subuh apakah ada perbedaan suni dan syiah? 

Sinar Agama: Akhir shubuh adalah munculnya matahari di ufuk timur, baik di lihat dari pinggiran laut atau tidak. Sedang awal shubuh antara Syi’ah dan Sunni tidak ada perbedaan kecuali di tanggal 13-22 setiap bulan hijriah, maka untuk shalatnya diakhirkan sekitar 15 menit, tapi untuk imsak puasa harus dari sejak adzan yang umum di Sunni itu. Tapi di lain tanggal itu sama saja baik shalat atau imsak puasa. Tentu saja mendahulukan imsak dari adzan shubuh sangat dianjurkan. 

Dadan Gochir: Terimakasih ustadz.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ