Sabtu, 29 September 2018

Mut’ah Dalam Perebutan Pengumbar Nafsu (ifraath) dan Anti-pati (tafriith)

Mut’ah Dalam Perebutan Pengumbar Nafsu (ifraath) dan Anti-pati (tafriith), melengkapi 4 catatan sebelumnya tentang Mut’ah




by Sinar Agama (Notes) on Monday, June 27, 2011 at 4:37 am



Tulisan ini dibuat untuk melengkapi catatan yang sudah beberapa kali muncul dari saya tentang kawin mut’ah ini. Jadi, sangat baik untuk mendapat wawasan yang jelas, membaca semua catatan-catatan saya yang sudah terbit sebelumnya. Yaitu: 

1. Jawaban Atas Kesamaan Mut’ah Ala Spesies Syi’ah Ame Zina_Oleh Sinar Agama · 09 Oktober 2010 

2. Jawaban Terhadap Pertanyaan Salafi Tentang Mut’ah (seri percobaan)_Oleh Sinar Agama· 03 April 2011 

3. Mut’ah dan filsafatnya serta liku-likunya (seperti apakah sunnahnya bisa bertahan ditekan hukum wajib yang melawannya?)_Oleh Sinar Agama· 08 Juni 2011 

4. Taqiah Harus, Tapi Mut’ah Jalan Terus? (diskusi ringan tentang mut’ah, fikih, akhlak dan taqiah) Oleh Sinar Agama· 09 Juni 2011

Mukaddimah Pertama:


Sebagaimana sudah tidak samar lagi bahwa Mut’ah adalah kawin dalam jangka waktu tertentu. Dan sudah pula saya sering menerangkan tentang syarat-syaratnya (sesuai fatwa-fatwa para marja’), seperti bahwa bagi yang bukan janda (janda adalah yang sudah nikah dengan syah dan dikumpuli setelah itu, lihat catatan tentang “Definisi perawan dan janda menurut agama” !!!) harus ijin walinya dengan jelas, seperti siapa calon suaminya, kapan tanggal nikahnya dan kapan tanggal berakhirnya serta apa/berapa maskawinnya (silahkan rujuk ke 4 catatan di atas itu). 

Pembahasan berikut ini adalah untuk melengkapi keterangan-keterangan sebelumnya. Dan sudah tentu lebih tertata karena bukan berupa jawaban terhadap pertanyaan dan/atau serangan. Namun demikian, catatan yang terdahulu itu, jelas bisa lebih mengena ke inti masalah, karena ia langsung menanggapi pertanyaan atau serangannya. 

Kemudian, tidak seperti biasanya, dalam tulisan ini dibubuhkan ayat dan banyak riwayat. Semua itu hanya sekedar sebagai wawasan saja, bukan sandaran hukum. Karena kalau kita menyan- darkan hukum ke atasnya, sementara kita bukan mujtahid, maka jangankan salahnya, benarnya juga akan didosa oleh Tuhan. Yaitu dosa nekad atau tajarri terhadap hukum-hukum Tuhan. Jadi, jangan sampai pemaparan ayat dan hadits-hadits itu dijadikan sandaran hukum. Karena memang tujuan kita adalah membahas hikmah atau filsafat dari mut’ah ini, bukan hukumnya yang sudah kita yakini kehalalannya melalui fatwa-fatwa marja’. Tapi untuk lebih memahami fatwa-fatwa marja’ tsb, dan lebih meresapi tujuan hukum halalnya nikah mut’ah ini, maka ayat dan hadits-hadits itu disertakan dalam tulisan ini. Dan bagi yang ingin lebih rinci dan dalam bentuk pemaparan yang lain, pembaca bisa merujuk ke kitab yang dikarang oleh ayatullah syahid Muththahhari yang berjudul: “Hak-hak Wanita dalam Islam”. 

Mukaddimah ke dua

Yang diinginkan dalam penulisan ini adalah ingin mendudukkan tujuan dan kefilsafatan hukum mut’ah. Atau setidaknya “meraba hikmah yang sebenarnya”. Karena bagi orang lain agama, atau saudara-saudara muslim yang tidak menerimanya, hukum ini dikiranya sebagai jalan pengumbaran nafsu kebinatangan (sex), sementara di lain pihak, yakni bagi sebagian orang yang menerima- nya, terkadang dijadikan kesempatan untuk menyalurkan nafsu sexnya untuk mencoba berbagai wanita sebelum mati merenggutnya (dianggapnya sebagai kesempatan emas). 

Kedua tatapan itu, jelas telah membuat agama ini jatuh dari pandangan manusia yang menatapnya (baik muslim atau bukan). Karena dengan tatapan pertama, khususnya bagi muslimin yang mengharamkannya, telah banyak melahirkan banyak perzinaan (baik zina kecil atau besar) di masyarakat muslim. Dan yang lebih mengenaskan, bukan lagi perzinaannya, tapi pergaulan bebas tsb sudah merupakan hal yang wajar dan tidak buruk lagi. Karena itu, maka orang tua tidak marah lagi pada anaknya yang SMP atau SMA yang melakukan pacaran dan jalan bareng dengan teman lelakinya. Nah, budaya ini, benar-benar telah menjadi semacam penyakit AID bagi masyarakat kita, dimana kalau bukan karena mengharap rahmat Allah, sebenarnya sudah sampai ke tingkat “tidak bisa lagi dibenahi”. Karena itulah imam Ali as bersabda: 

“Kalau Umar tidak mengharamkan mut’ah, maka tidak ada orang berzina kecuali yang benar-benar keterlaluan”. 

Jatuhnya agama di hadapan penatapnya yang diakibatkan oleh kelompok pertama ini (yang mengharamkan mut’ah), adalah karena Islam itu ternyata tidak memiliki jalan keluar bagi banyak kebutuhan sex yang memang tidak bisa disalurkan melalui kawin permanen (seperti pada poin 6 di atas) dan, akibatnya menyebabkan jatuhnya Islam ke dua kalinya di hadapan mereka (penatap dan penilainya), karena telah membuat masyarakat sosial muslim sudah tidak beda lagi dengan sosial barat yang anti agama sekalipun. 

Artinya, dengan adanya budaya gaul yang sudah kronis dan sudah seperti AID yang membunuh budaya Islam yang sehat itu sendiri. Dan, akibat akhirnya, bukan hanya muslimin tidak kenal lagi dengan budaya Islam yang mengatur pergaulan (seperti hijab, rias, senyam senyum, gaul, dan lain-lainnya), akan tetapi bahkan merasa aneh dengan adanya aturan Islam tsb dan anti pati ter- hadapnya. Dan bahkan tidak jarang yg mengumpat aturan-aturan tsb sebagai “Keterikatan” dan “Kekolotan” serta “Ketertinggalan”. Karena itulah, kalau dikatakan pada seorang muslim bahwa dia bukan orang gaul, maka ia akan merasa minder dan rendah diri karena merasa memiliki ke- kurangan. 

Sedang dari ulah kelompok ke dua, yakni yang menjadikan hukum kehalalan mut’ah sebagai pembuka kesempatan untuk mencicipi berbagai wanita, telah membuat jatuhnya pamor Syi’ah di masyarakat. Karena itu, tidak heran kalau seorang Syi’ah tidak mengijinkan anak-anak perempuan mengikuti training ini dan itu, karena takut dimut’ah oleh guru atau temannya (terlebih mut’ah yang kacau dan salah karena tanpa ijin yang jelas dari walinya). Karena itu pula, maka tidak heran kalau banyak orang anti pati terhadap madzhab Syi’ah ini, karena ulah sebagian pengulah itu. Karena itu pula, maka tidak heran kalau terjadi korban-korban pelecehan terhadap para wanita syi’iyyah (Syi’ah) dan mukminah (tapi bodoh) oleh teman sekegiatannya sendiri. Karena itu pula, tidak heran kalau sebagian Syi’ah cerai sana dan kawin sini. Walhasil, benar-benar memusingkan dan membuat kita malu sementara mereka tertawanya lega dengan hanya kesana kemari bermo- dal satu hukum saja, yaitu bahwa “mut’ah itu halal”. 

Mukaddimah ke tiga

Untuk sekedar mengingatkan kepada dalil halalnya, Allah dalam QS: 4: 24, setelah menerangkan tentang wanita-wanita yang tidak boleh dikawini, berfirman: 


وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ  فَرِيضَةً وَلَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيم اتَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ  الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ ع لَِيم احَكِيمًا

Terjemahan Departemen Agamanya: 

.... dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian –wanita-wanita yang diharamkan pada ayat 23- (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban, dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu (menambah atau mengurangi atau tidak mem- bayar sama sekali maskawin yang telah ditetapkan). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” 

Terjemahan Bebas Kami: 

... dan dilhalalkan bagi kalian selain yang demikian itu –wanita-wanita yang diharamkan pada ayat 23- (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka kalau kalian telah mut’ah (kawin dalam waktu tertentu) dengan sebagian mereka, berikanlah upah (maskawin) mereka sebagai suatu kewajiban. Dan tidak mengapa bagi kalian -berdua- untuk saling rela (yakni kalau mau menambah waktu mut’ahnya dengan persetujuan yang baru dari sisi waktu dan upahnya/maharnya) setelah kewajiban –pertama- itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.” 

Tidak cocoknya terjemahan pertama dan cocoknya yang ke dua:

1. Nafas ayat ini dapat diketahui dengan jelas bahwa ia ingin menjelaskan nikah mut’ah. Karena ia menjelaskan hukum mencari kesenangan dengan wanita melalui harta. 

2. Tuhan juga terlihat menekankan bahwa hal ini adalah kawin dan bukan zina. Yakni mencari kesenangan dengan harta melaui kawin mut’ah ini. Karena kalau kawin permanen tidak mesti dengan maskawin harta dan tidak perlu juga penekanan bahwa ini kawin. Karena sejak jaman jahiliyyah kawin permanen itu memang sudah ada. Artinya tidak perlu khawatir terhadap salah pahamnya umat terhadap hukum ini. Tapi ketika Tuhan sendiri menekankan bahwa hal ini adalah kawin, maka jelas ingin menangkal kesalahpahaman orang terhadap hukum ini yang mungkin akan mengatakan bahwa kawin seperti ini –yakni dengan harta dan dalam waktu tertentu- adalah zina.

3. Setelah mut’ah (kenikmatan) maka berikanlah upahnya. Di sini jelas, mendukung ke makna kawin sementara. Karena memberikan upah setelah kesenangannya itu. Jadi, pemberian upah setelah selesai kesenangannya. 

Allah di sini memakai kata UPAH atau UJUUR, maka ini juga bisa menguatkan kepada makna kawin sementara. Walaupun ia maknanya adalah maskawin karena pakai akad nikah, tapi ketika dipakai kata UPAH menandakan bahwa kawinnya itu adalah sementara atau setidaknya cenderung ke makna tsb, karena tabadur atau pahaman langsung begitu mendengar kata-katanya (upah). 

Tafsir Kasysyaaf, karya Zamakhsyari, juga mengisyaratkan pada makna upah yang dalam bahasa arabnya juga dikatakan tsawaab. Lihat di tafsirannya terhadap ayat mut’ah: 


وأجورهن مهورهن لأن المهر ثواب على البضع

“Dan ujuur mereka (para istri yang dikawini) adalah maharnya, karena mahar adalah upah/ tsawaab atas kemaluan-wanita.” 

Tafsir Aluusii juga menulis: 


وسمي المهر أجراً لأنه بدل عن المنفعة لا عن العين

“Mahar itu dikatakan upah/ajrun, karena ia balasan dari mamfaat, bukan barang (sehingga dikatakan harga/qiimah, penj.).” 

Tafsir Fakhru al-Raazii: 


وإنما سمي المهر أجراً لأنه بدل المنافع ، وليس ببدل من الأعيان ، كما سمي بدل منافع الدار والدابة أجرا
والله أعلم،

“Mahar itu dikatakan upah/ajrun karena berupa balasan dari mamfaat, bukan dari barang, sebagaimana disebut seperti itu (ajrun/upah) sebagai balasan dari mamfaat rumah (menyewa rumah) dan binatang (menyewa kendaraan), Allaahu A’lam.” 

5. Kemudian Allah mengatakan bahwa kalau setelah kewajiban itu (yang perempuan sudah melaksanakan tugas keistriannya dan yang lelaki sudah memberikan upahnya), maka tidak mengapa kalau mau saling rela lagi. Saling rela ini jelas dua arah. Sementara kalau mengikut terjemahan pertama, jelas satu arah. Karena merelakan maskawin itu bukan dari arah suami. Masak suami yang sudah sepakat di awal kawin untuk memberikan maskawinnya, lalu setelah itu menawar (misalnya), kemudian tawarannya ini dikatakan rela. Kan tidak klop. 

Rela itu apabila istrinya menerima tawaran suaminya, atau dari awal memang ingin merelakan maskawinnya. Ini baru klop. Tapi kalau suaminya, dari awal sudah rela memberikan seluruh maskwinnya sesuai dengan kesepakatan akad nikahnya, maka dia tidak lagi punya hak rela atau tidak, karena dari awal sudah rela. Dan kalau setelah itu dituntut sepenuhnya oleh istri, tidak ada kata rela buatnya. Karena ia, rela atau tidak, harus memberikannya. Apalagi kalau diberi keringanan oleh istrinya, maka suaminya ini jauh sekali dari kata dan istilah rela. 

Dan begitu pula, kalau si istri merelakannya, baik sebagian atau keseluruhannya, ini namanya hadiah dari istri, bukan bisnis dan mu’amalah yang tawar menawar. Artinya, tidak ada saling rela dari dua arah. Jadi, yang merelakan itu adalah istrinya, sedang suami hanya memiliki mau atau tidak saja, dalam menerima perelaan istrinya itu. Itu saja. Artinya, tidak bisa dikatakan bahwa mau dan tidaknya suami itu dikatakan sebagai rela menerima hadiah atau perelaan. Mau menerima hadiah itu bukanlah rela untuk menerima. Karena rela itu menyembunyikan hak yang direlakan. Sedang menerima hadiah, tidak mengandungi hak dan kewajiban yang ada di tangan orang lain. 

6. Perlu diketahui bahwa pemberian maskawin penuh itu (yakni setelah kawin permanen dan setelah dikumpuli) adalah kesepakatan Syi’ah dan Sunni. Karena itulah maka kalau cerai sebelum dikumpuli hanya wajib memberikan separuhnya. 

Nah, terjemahan pertama itu mengatakan bahwa hukum dalam ayat di atas itu adalah dalam rangka menerangkan hukum tsb. Padahal, jelas tidak terdukung konteknya. Karena dalam ayat tsb mengatakan “berikan maskawinnya”, bukan “berikan secara penuh maskawinnya”. Karena itu, maka lawan dari perintah tsb, yakni kalau pisah sebelum menikmatinya, adalah “tidak memberikan maskawinnya”. Karena lawan memberikan maskawin adalah tidak memberikan maskawin. Nah, karena lawan dari pemberian maskawin itu adalah tidak memberi maskawin, bukan tidak memberikan secara penuh, maka jelas hukum ini adalah untuk kawin sementara dan bukan permanen (karena dalam permanen wajib memberikan separuhnya, bukan tidak memberi keseluruhannya). Karena itulah dalam kawin mut’ah, kalau istrinya itu tidak melayani maka maskawinnya tidak wajib diberikan. Ini yang pertama

Yang ke dua, Allah mengatakan bahwa saling rela itu setelah kewajiban. Artinya yang wanita sudah menjalani kewajiban keistriannya, dan lelakinya SUDAH PULA MEMBERIKAN MASKAWINNYA ATAU UPAHNYA. Jadi, saling rela lagi itu, tidak bisa dikatakan bahwa si lelaki menawar maskawin dan si wanitanya merelakan sebagian atau keseluruhan maskawin. Artinya, tidak bisa dikatakan bahwa tawar menawar itu dalam kawin permanen (daim) setelah dikumpuli. Karena kalau dalam kawin daim, dan setelah dikumpuli, maka yang telah melakukan kewajiban itu baru istrinya, dan suaminya masih belum melaksanakan kewajibannya (memberi maskawin). Jadi, baru satu arah saja yang sudah melakukan kewajiban. Sementara Tuhan mengatakan bahwa tidak masalah kalian saling rela lagi setelah kewajiban itu. Yakni setelah kewajiban pemberian maskawin setelah menikmati. Artinya setelah keduanya melakukan kewajibannya masing-masing. 

Bayangin saja, Allah jelas mengatakan: “Kalau sudah bersenang-senang dengan wanita-wanita itu, maka berikan upahnya SEBAGAI KEWAJIBAN” lalu setelah itu mengatakan “Tidak mengapa kalau SETELAH KEWAJIBAN itu kalian saling rela lagi”, kemudian dikatakan bahwa maksudnya tidak mengapa untuk saling rela terhadap maskwinnya itu untuk diberikan semuanya, sebagiannya atau tidak sama sekali. Ini kan tidak klop sama sekali??!! Karena hukum saling rela lagi ini JELAS SETELAH PEMBERIAN MASKAWIN YANG WAJIB TERSEBUT??!!! 

Mukaddimah ke empat

Untuk penguat tafsir di atas, bisa merujuk ke tafsir-tafsir Sunni seperti: 

Al-Durru al-Mantsuur; Ibnu Katsiir; al-Zamakhsyari; al-Aluusii; al-Baidhaawii; al-Tsa’aalibii; a-Tsa’la- bii; a-Fakhru al-Raazii; al-Thabarii; al-Qrthubii; al-Manaar; dll bahkan hampir semua tafsir Sunni. Artinya, walaupun mereka menafsirkan yang sesuai dengan pandangan mereka seperti yang ter- tera pada terjemahan pertama di atas itu, akan tetapi selalu menyertakan pandangan kelompok yang menghalalkan seperti pada terjemahan ke dua itu. 

Bahkan sebagian tafsir-tafsir itu dengan jelas mengatakan bahwa mut’ah ini, di awal Islam, adalah merupakan kesepakatan para ulama. Yakni ayat di atas itu sabagai penghalalan mut’ah di awal Islam. Akan tetapi setelah itu dihapus oleh Nabi saww. Seperti: 

وقد استدل بعموم هذه اآلية على نكاح المتعة، وال شك أنه كان مشرو ًعا في ابتداء اإلسالم، ثم نسخ بعد ذلك 

“Dan bisa saja ayat di atas, dilihat dari sisi keumumannya, menunjukkan kepada nikah mut’ah. Dan memang, tidak ada keraguan bahwa ia adalah halal di awal Islam, akan tetapi kemudian di- hapus –nasakh- (lihat tafsir Ibnu Katsiir). 

Anehnya, bagaimana ayat bisa dihapus oleh hadits?!! Sebagaimana yang dikatakan oleh tafsir al-Qurthubii: 

وقال الجمهور : المراد نكاح المتعة الذيكان في صدر اإلسالم وقرأ ابن عباس وأبي و ابن جبير : فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسمى فآتوهن أجورهن ثم نهى عنها النبي صلى اهلل عيه وسلم 

“Jumhur –semua ulama atau setidaknya umumnya ulama- berkata: Maksud dari ayat ini adalah nikah mut’ah yang ada pada awal-awal turunnya Islam. Dan bahkan Ibnu Abbas membaca ayat itu seperti ini: ‘Dan apabila kamu bermut’ah dengan sebagian wanita itu SAMPAI BATAS WAKTU TERTENTU, maka berikanlah upahnya.’ Akan tetapi setelah itu Nabi saww melarangnya.” (lihat tafsir Qurthubii). 

Keanehan yang lain adalah mereka yang menafsirkan ayat di atas itu sesuai dengan penghara- man mut’ah, sementara ayat tsb adalah penghalalan mut’ah. Artinya, semestinya, mereka mene- rangkan maksud ayat itu tergantung penghalalan mut’ahnya, lalu setelah itu baru mengatakan bahwa mut’ah ini atau penjelasan ini, sudah tidak berlaku lagi karena sudah dihapus oleh Nabi saww. Tapi enehnya, mereka menafsir ayat itu sesuai dasar pengharaman mut’ah, hingga pema- hamanya menjadi jauh dari lahiriah ayatnya. Misalnya, ketika menafsirkan istamta’a (bermut’ah), upah dan saling rela lagi setelah kewajiban pemberian upah. 

Dan sudah tentu pelarangan Nabi saww itu, selain tidak bisa mengangkat dan menghapus hukum Qur'an, artinya bahwa hadits itu tidak bisa menasakh Qur'an, hadits-hadits tersebut juga berten- tangan dengan hadits-hadits shahih lainnya yang sangat banyak yang menyatakan bahwa para shahabat melakukan mut’ah itu di jaman Nabi saww, Abu Bakr dan Umar, dan bahwasannya yang melarang mut’ah itu adalah Umar, bukan Nabi saww. Ada lagi yang memaksakan diri untuk meng- hapus ayat mut’ah ini dengan ayat waris. Ini namanya pemaksaan. Karena tidak adanya warisan bagi anak dari kawin mut’ah itu merupakan qarinah dan qaid (kecuali) pada ayat waris itu, bukan sebaliknya. Yakni ketika Tuhan mengatakan bahwa anak dari nikah itu adalah ahli waris ayahnya, dan ketika di kawin mut’ah itu tidak ada pewarisan (karena misalnya kawinnya itu disebabkan keterpaksaan dan hanya semacam menyewa karena kawin dalam waktu sementara saja), maka hukum waris itu telah dikondisikan dengan hukum mut’ah ini. Artinya, waris yang mutlak itu di- batasi dengan kawin mut’ah. Jadi, bunyi hukum warisnya itu adalah: “Anak itu mewarisi ayahnya kecuali kalau anak dari hasil mut’ah.” 

Bukan dibalik. Misalnya, karena kawin mut’ah itu tidak ada pewarisan, dan karena anak dari kawin itu ada pewarisan, maka kawin mut’ah itu menjadi bukan kawin dan menjadi zina. Tidak bisa seperti ini. Karena waris itu adalah hukum yang diakibatkan oleh nikah daim. Jadi dia, tidak bisa menghapus hukum nikah lain yang sejajar dengan hukum nikah yang telah mengakibatkannya –waris- itu (daim). 

Mukaddimah ke lima

Untuk menguatkan tafsir di atas, yakni bahwa ayat tsb menerangkan tentang mut’ah, halalnya dan caranya, bisa juga melihat ke hadits-hadits Sunni yang banyak sekali, seperti: 

Shahih Bukhari, 3: 246; 4: 278; Shahih Muslim, 2: 1022; 2: 1023; 2: 1061; Musnad Ahmad bin Hanbal, 3: 22; 3: 26; 3: 95; 3: 304; 4: 47-51; Syarhu Ma’aanii Aatsaar, 3: 24-25; al-Maghaazii, 3: 37; Sunan Baihaqii, 7: 200-201; 7: 237; Musnad imam Syaafi’ii, 162-286; Tahdziibu al-Tahdziib, 10: 371; Kanzu al-‘Ummaal, 8: 294; Sunan Abu Daawud, 7: 217; Sunanu al-Kubraa, 7: 205; al-Ishaabah, 4: 333; dll. Dan contoh haditsnya seperti: 

روى البخاري بسنده ، عن جابر بن عبد اهلل ، وسلمة بن األكوع ، قاال : كنَّا في جيش ، فأتانا رسول رسول 
اهلل صلّى اهلل عليه وآله وسلّم ، فقال : إنَّه قد أُِذن لكم أ ْن تستمتعوا 

Dari Jaabir bin ‘Abdullah dan Salamah bin al-Akwa’, keduanya berkata: 

“Kami dalam suatu kamp ketentaraan. Lalu datang kepada kami Rasulullah saww dan bersabda: ‘Kalian telah diijinkan untuk melakukan mut’ah.’” (Bukhari, 4: 278 ) 

روى مسلم بسنده ، عن أبي الزبير قال : سمعت جابر بن عبد اهلل يقول : كنا نستمتع بالقبضة ِمن التمر والدقيق األيَّام ، على عهد رسول اهلل صلّى اهلل 

عليه وآله وسلّم وأبي بكر ، حتَّى نهى عمر عنه ..... 

..... Jabir berkata: 

“Kami melakukan kawin mut’ah dengan –upah- segenggam kurma dan tepung gandum, di jaman Rasulullah saww, Abu Bakr sebelum kemudian Umar melarangnya -di masa kekhalifaannya- .......” (Muslim, 2: 1022 ; Tahdzibu al-Tahdziib, 10: 371; Sunan Baihaqii, 7: 237; Kanzu al-‘Ummaar, 8: 294: ) 

Mukaddimah ke enam

Untuk menguatkan tafsir di atas, bisa juga dilihat dari hadits-hadits Sunni yang mengatakan bahwa mut’ah itu halal sejak jaman Nabi saww dan dilakukan di masa beliau, begitu pula di jaman kekhalifaan Abu Bakr sebelum kemudian dilarang oleh Umar di jaman kekhalifaanya. Lihat hadits sbb: 

Shahih Muslim, 2: 1022-1023; Sunanu al-Baihaqii, 7: 200-201; 7: 206; Musnad imam Syaafi’ii, 132; Musnad Ahmad bin Hanbal, 1: 52; 3: 325-326; Syarhu al-Ma’aanii, 2: 142; 2: 146; 3: 24; 3: 25; Kanzu al-‘Ummaal, 8: 293-294; Thabari, 293-294; Sunan Baihaqii, 5: 21; 7: 205-206; 7: 273; Sunan Abu Daawud, 8: 247; Mafaatiihu al-Ghaib, 10: 51; al-Ishaabatu, 1: 333; Musnad Ahmad bin Hanbal, 3:304; Tahdziibu al-Tahdziib, 10: 371; dll. 

Contoh haditsnya seperti: 

روى مسلم بسنده ، عن أبي نضرة قال : كن ُت عند جابر بن عبد اهلل ، فأتاه آ ٍت ، فقال : إ َّن ابن عباس ، وابن 
الزبير اختلفا في ال ُمتعتين ـ يعني ُمتعتي ال َح ِّج والنساء ـ فقال جابر : فعلناهما مع رسول اهلل صلّى اهلل عليه وآله 
وسلّم ، ث ّم نهانا عنهما عمر . فلم نَعد لهما 

Abu Nadhrati berkata: Aku bersama Jabir, lalu datang seseorang mendekatinya dan berkata: “Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Zubair berbeda pandangan tentang dua mut’ah –haji tamattu’ dan kawin mut’ah.” Jabir berkata: “Kami melakukan keduanya di jaman Rasulullah saww sebelum kemudian dilarang oleh Umar –di jaman kekhalifaannya- dan kamipun tidak melakukannya.” (Shahih Muslim, 2: 1023) 

َح ِّج كانتا ُمتعتان على عهد رسول اهلل صلّى اهلل عليه وآله وسلّم، وأنا أنهى عنهما ، وأُعاقب عليهما ، أحديهما ُمتعة النساء ، وال أقدر على ر ُجل تزَّوج امرأة إلى أجل ، إالَّ غيَّبته بالحجارة ، واألُخرى ُمتعة ال 

Umar berkata: “Ada dua mut’ah di jaman Nabi saww –haji tamattu’ dan kawin mut’ah- akan tetapi aku sekarang melarangnya dan akan menghukum bagi pelakunya. Salah satunya adalah kawin mut’ah. Sungguh aku tidak mampu melihat seorang lelaki yang kawin mut’ah dengan seorang wa- nita kecuali kurajam dia dengan batu, dan yang lainnya adalah haji tamattu’.” (Kanzu al-‘Ummaal, 8: 293 ; Sunan Baihaqii, 5: 21 dan 7: 206) 

Mukaddimah ke tujuh

Hadits-hadits Syi’ah tentang mut’ah ada tiga golongan: Menerangkan halalnya; Merangsang untuk melakukannya; Melarang melakukannya: 

(a). Hadits-hadits yang hanya menerangkan halalnya mut’ah. Seperti di kitab Ushuulu al-Kaafii, hadits ke: 9942-9948. Misalnya yang berbunyi: 

Abi Bashiir berkata: Aku bertanya tentang mut’ah pada imam Abu Ja’far as. Beliau menjawab: “Telah diturunkan hukumnya di dalam al-Qur'an yang berbunyi: ‘Maka kalau kalian telah bermut’ah dengan sebagian wanita itu, berikanlah upahnya sebagai kewajiban, dan tidak masalah bagi kalian untuk saling rela setelah kewajiban tsb.’ “ 

(b). Hadits2 yang merangsang untuk melakukan mut’ah. Seperti yang ada di kitab Wasaailu al- Syi’ati, hadits ke: 26388-26403. Misalnya yang berbunyi: 

وبإسناده عن صالح بن عقبة، عن أبيه، عن أبي جعفر عليه السالم قال: قلت: للمتمتع ثواب؟ قال: ان كان يريد بذلك وجه اهلل تعالى وخالفا على من أنكرها لم يكلمها كلمة إال كتب اهلل له بها حسنة، ولم يمد يده إليها إال كتب اهلل له حسنة، فإذا دنا منها غفر اهلل له بذلك ذنبا، فاذا اغتسل غفر اهلل له بقدر ما مر من 

الماء على شعره ...... 

Ayah Shaalih bertanya kepada imam Abu Ja’far as: “Apakah kawin mut’ah itu memiliki pahala?” Beliau menjawab: 

“Kalau pelakunya, dalam melakukan mut’ahnya itu, berniat karena Allah dan dalam rangka menentang yang melarangnya, maka tidaklah ia berbicara dengan istri mut’ahnya itu kecuali mendapat kebaikan (pahala); Tidaklah ia mengulurkan tangannya kepada istrinya itu kecuali ia mendapat kebaikan (pahala); Kalau ia mendekat padanya, Allah akan mengampuninya; Kalau dia mandi setelah itu maka Allah akan mengampuni dosanya sebanyak rambut yang terkena air -mandinya. .....” (hadits ke: 26390). 

Hadits-hadits yang Melarang mut’ah
Yang melarang ini ada dua golongan: 

Golongan pertama, adalah yang memang mengharamkan mut’ah dalam arti mutlak. Maka di sini, jelas bisa dikatakan sebagai hadits yang diucapkan dalam rangka taqiyyah. Seperti hadits ke: 26387 dari kita Wasaailu al-Syii’ati: 

محمد بن الحسن بإسناده عن محمد بن أحمد بن يحيى، عن أبي جعفر، عن أبي الجوزاء، عن الحسين بن علوان، عن عمرو بن خالد، عن زيد بن علي، عن آبائه عن علي عليهم السالم قال: حرم رسول اهلل صلى 
اهلل عليه وآله يوم خيبر لحوم الحمر االهلية ونكاح المتعة. 

Imam Ali as berkata: “Rasulullah saww telah mengharamkan daging keledai yang dipelihara dan nikah mut’ah diwaktu perang Khaibar.” 

Karena itu di penjelasan hadits di atas ini, dikatakan bahwa pengarang kitab dan lain-lainnya mengatakan bahwa hadits tsb adalah hadits taqiyyah. Karena mut’ah adalah ijma’ semua ula- ma Syi’ah dan hadits tentang halalnya terlalu banyak dan melebihi mutawatir. Atau bisa saja dimaknai bahwa mut’ah tidak dianjurkan (makruh) kalau membawa mafsadah (ketidak baikan). 

Golongan ke dua, adalah hadits yang melarang mut’ah kalau memang sudah tidak diperlukan lagi. Yakni bagi yang sudah memiliki istri dan berada dalam jangkauannya. Hadits-hadits di go- longan ini, walaupun tidak bisa diartikan sebagai haram, akan tetapi dapat ditangkap bahwa mut’ah itu kurang disukai oleh imam as dan Islam kalau dilakukan oleh yang tidak memerlu- kannya (baca hanya ingin mengumbar syahwat). 

Dalam kitab-kitab hadits, bahkan diterakan judul tentang pelarangan mut’ah bagi yang tidak perlu ini. Misalnya, di kitab Ushuulu al-Kaafii terdapat judul: 

باب أنه يجب ان يكف عنها من كان مستغنيا 

“Bab: Keharusan Untuk Tidak Melakukannya –mut’ah- Bagi Yang Tidak Memerlukannya.” (lihat Sub Judul untuk hadits ke: 9957-9960) 

Dan di kitab Wasaailu al-Syii’ati terdapat judul: 

باب كراهة المتعة مع الغنى عنها واستلزامها الشنعة أو فساد النساء 

“Bab: Kemakruhan Mut’ah Ketika Tidak Memerlukannya dan Mengakibatkan Keburukan atau Rusaknya Wanita.” (lihat Sub Judul untuk hadits ke: 26420-26425). 

Contoh haditsnya: 

علي بن يقطين قال: سألت أبا الحسن عليه السالم عن المتعة؟ فقال: ما أنت وذاك قد أغناك اهلل عنها 

Ali bin Yaqthiin berkata: Aku bertanya tentang mut’ah kepada imam Abu al-Hasan as. Beliau menjawab: “Ada apa kamu menanyakannya sementara kamu sudah tidak lagi memerlukan- nya (karena sudah kawin dan istrinya ada dalam jangkauannya)??!” (Ushuulu al-Kaafii, hadits ke: 9957; Wasaailu al-Syii’ati, hadits ke: 26420) 

كتب أبو الحسن عليه السالم إلى بعض مواليه ال تلحوا على المتعة انما عليكم إقامة السنة فال تشغلوا بها 
عن فرشكم وحرائركم فيكفرن ويتبرين ويدعين على اآلمر بذلك ويلعنونا. 

Imam Abu al-Hasan as menulis surat kepada sebagian pengikutnya: 

“Jangan membuat cela mut’ah (karena dihamburkan), hendaknya kalian melakukannya demi –menjaga- sunnah saja (sekali saja). Karena itu janganlah kalian menyibukkan diri dengan mut’ah itu di atas permadani kalian dan memuas-muaskan diri, hingga wanita-wanita itu men- jadi ingkar, berlepas diri dan mendoakan buruk pada yang memerintahkannya –makshumin as- serta melaknati kami.” (Wasaailu al-Syii’ati, hadits ke: 26423) 

Mukaddimah ke delapan (pelengkap)

Dalam fatwa-fatwa marja’ Syi’ah, telah diterangkan pula bahwa perempuan bisa memberi syarat kepada calon suami mut’ahnya. Seperti tidak pakai tidur, tidak pakai pegangan, dan semacamnya. 

Kesimpulannya


Dengan melihat semua ayat dan hadits-hadits di atas, baik Syi’ah atau Sunni, maka dapat disimpulkan sbb: 

1. Mut’ah ini halal dan berlaku sejak jaman Nabi saww sampai hari kiamat, walau dilarang oleh Umar. Karena Umar bukanlah penerima atau penerus syariat yang makshum. 

2. Kehalalan mut’ah ini melalui ayat, sedang penghapusannya dari riwayat Nabi saww yang ada di hadits-hadits Sunni atau hadits imam Ali as yang ada di Syi’ah itu. Karenanya tidak dapat menghapus hukum yang ada di Qur'an. Justru sebaliknya, bahwa hadits yang bertentangan dengan Qur'an sudah jelas ia adalah hadits yang palsu, karena Qur'an adalah ukuran untuk mengukur hadits shahih atau palsu. 

3. Kalaulah beberapa hadits-hadits pelarangan itu masih mau dipaksakan juga, maka ia tertolak oleh hadits-hadits lain yang shahih, baik di Sunni atau Syi’ah, yang mengatakan bahwa mut’ah itu dilakukan sejak dari jaman Nabi saww, Abu Bakar dan Umar dan setelahnya. Begitu juga bertentangan dengan hadits-hadits yang shahih dan sangat banyak di Sunni, bahwa yang me- larang mut’ah itu sebenarnya adalah Umar di masa pemerintahnnya. 

4. Pengahapusan ayat mut’ah dengan ayat waris, adalah pemaksaan yang tidak masuk akal sebagaimana sudah diterangkan di atas. 

5. Mut’ah adalah hukum yang terpaksa diadakan. Artinya demi menutupi ketidakmampuan penanganan kawin daim/permanen. Karena kawin permanen hanya bisa menangani beberapa masalah saja tentang hubungan lelaki dan wanita, tapi tidak semuanya. Karena orang yang diperjalanan, di peperangan, atau belum mampu menafkahi istri sementara ia sudah tidak bisa menanggulangi nafsunya karena sudah berumur agak tua ...dst dari sebab-sebab keter- paksaan itu, tidak bisa diselesaikan dengan hukum kawin daim/permanen. 

6. Tujuan atau hikmah mut’ah adalah di tempat-tempat yang tidak bisa diisi dengan kawin daim itu, seperti: 

(a). Suami yang sedang jauh dari istrinya. 

(b). Lelaki yang sudah cukup tua tapi belum mampu memberi nafkah kepada istrinya kalau ia kawin. 

(c). Perawan (bc: bukan janda, dan janda adalah yang sudah pernah kawin dengan syah dan sudah pernah dikumpuli setelah kawinnya itu) yang sudah mendapatkan calon suami daim/permanen dan sudah mendapat ijin dari walinya, namun ingin saling kenal lebih jauh supaya tidak salah pilih, maka keduanya melakukan kawin mut’ah yang juga dengan ijin walinya dengan jelas dan dengan syarat-syarat tidak melakukan apapun kecuali berbincang –misalnya- untuk saling mengenal lebih jauh.

(d). Memberikan jalan keluar pada janda yang sudah tidak dipilih lagi oleh para lelaki untuk dijadikan istri permanen untuk memenuhi kebutuhan nafsunya walau tidak untuk seumur hidupnya. Atau janda yang sudah terlalu lama tidak berhubngan dengan lelaki karena sudah ditinggal mati atau dicerai suaminya. Hingga dengan ini ia tidak terjerumus ke dalam zina (baik besar atau kecil). Tentu saja dengan lelaki yang dalam keadaan dharurat di atas itu.

7. Dengan mengerti tentang hikmah/tujuan kawin mut’ah ini, ditambah dengan tidak umumnya ulama dan orang-orang shalih melakukannya kalau tidak terpaksa, ditambah dengan larang- an-larangan dalam hadits bagi yang tidak memerlukannya karena sudah punya istri yang da- lam jangkauannya, maka jelas bahwa mut’ah ini bukan hukum yang ditujukan untuk penyalu- ran nafsu birahi bagi pemburu nafsu. 

Karena itu, maka sekalipun tidak mengharamkan pekerjaan mereka, akan tetapi sangat tidak disukai para imam Makshum as. Karena itulah maka imam Makshum mengatakan, seperti: Janganlah kalian menghamburkan mut’ah ini hingga membuat para wanita (begitu pula masy- arakat seperti di hadits-hadits lainnya) anti pati pada imam Makshum as dan mengumpati ajarannya. Lihat hadits ke: 26243, dari kitab Wasaailu al-Syii’ati di atas itu. 

8. Dengan poin no 7 ini dan ditambah dengan poin 1 sebelumnya, dapat dipahami, bahwa ha- dits-hadits Syi’ah yang merangsang kawin mut’ah ini (golongan ke dua hadits Syi’ah), adalah untuk menjaga supaya hukum Tuhan ini tidak terhapus oleh penghapusan Umar yang diiku- ti kebanyakan kaum muslimin, terutama pada jaman-jaman imam Makshum as. Jadi, kalau imam menganjurkan, itu hanya agar supaya hukum ini tidak hilang dari agama Islam. Karena itu maka terlihat jelas diperijinan para imam Makshum as, adanya anjuran sekali saja (dalam melakukannya) dan hanya demi menjaga sunnah ini, yakni sunnatullah atau agama Allah ini (lihat hadits ke: 26243 dari kitab Wasaailu al-Syii’ati di atas itu). 

Dan, sudah tentu, pahala yang bersar itu bukan hanya timbul dari nikah mut’ah ini, akan tetapi karena pelakunya memiliki dimensi berjuang mempertahankan hukum yang ingin dihapus Umar dan pengikutnya ini. Jadi, pelaku ini, yakni yang memerlukan ini, yakni karena jauh dari istrinya ini atau belum mampu kawin ini, dirangsang untuk melakukan mut’ah untuk mengata- si dirinya dan menjadi pejuang mempertahankan hukum Tuhan. Jadi, dia memiliki dua pahala sekaligus. 

9. Dengan mengerti poin 8 ini dan ditambah dengan poin2: 1, 2 dan 3, maka kedua perebutan yang dilakukan dua kelompok terhadap kawin mut’ah ini, dimana yang satu memburu untuk mengharamkannya, dan yang lainnya memburu untuk mengumbar nafsunya, dapat divonis dengan poin 5 dan 6. Artinya, hukum kehalalan kawin mut’ah ini ditujukan secara utamanya, bagi yang terpaksa melakukannya sebagaimana sudah dijabarkan di poin 6. 

10. Pengharaman terhadap mut’ah adalah menentang hukum Qur'an yang telah disepakati ada- nya dan menentang hadits-hadits shahih yang mutawatir secara makna -setidaknya. Sementa- ra menghamburkan nafsu dengan mut’ah adalah menjatuhkan pamor agama dan para imam Makshum as serta tidak disukai imam Makshum as. 

Pelengkap

Untuk melengkapi tulisan di atas, perlu kiranya kita merenungi hadits yang berisi ucapan imam Ali as (seperti di tafsir al-Kabir, karya Fakhru al-Raazii) dan imam-imam Makshum as lainnya (seperti yang bertebaran di hadits-hadits Syi’ah), serta shahabat-shahabat lainnya seperti Ibnu Abbaas (di tafsir al-Durru al-Mantsuur), yang berbunyi: 

لوال أ َّن عمر نهى الناس عن ال ُمتعة ؛ ما زنى إالَّ َشق ٌّي 

“Kalau Umar tidak melarang umat dari kawin mut’ah, maka tidak akan ada yang berzina kecuali yang keterlaluan.” 

ولو ال نهيه عنها ما احتاج إلى الزنا إالَّ شق ٌّي 

“Dan kalaulah bukan karena larangannya (larangan Umar) terhadapnya (kawin mut’ah), maka sudah tentu tidak perlu lagi kepada zina kecuali yang keterlaluan.” 

Para pemburu nafsu, yakni golongan ke dua dari dua golongan yang berebut di atas itu, selalu menggunakan hadits ini untuk menyalurkan nafsunya, hingga tidak memperdulikan lagi terhadap tercelanya agama dan para imam as. Mereka berdalil bahwa mut’ah ini mesti dikembangkan demi mengurangi zina. 

Padahal, kalau diperhatikan, orang yang melakukan zina itu dikarenakan tidak dapat membendung syahwatnya. Artinya, karena syahwatnya tidak mendapat penyaluran yang halal, maka ia nekad melakukan penyaluran yang tidak halal, yakni zina. 

Jadi, pandangan yang hanya sepihak itu, yaitu yang mengatakan bahwa kita mesti mempromosi- kan mut’ah dan tidak usah malu-malu karena Tuhan saja tidak malu, karena demi memberantas zina, adalah apologi yang kurang waras dan sangat tidak aklis serta tidak mengenal Qur'an, hadits dan para imam makshum as. Artinya, pengata ini, mungkin disebabkan gelora nafsunya yang sedikit liar, atau karena kurang mengerti hikmah dan kebijakan Islam, maka ia telah membuat statmen dan pernyataan seperti itu. Dan, penyata seperti itu, tidak sedikit. 

Padahal mereka, penyata dan pelaku ini, sudah memiliki istri-istri yang selalu siap melayaninya. Dan terkadang, justru mut’ah ini telah membuat keluarganya berantakan dan terkadang berak- hir pada penceraian. Keluarga jadi korban dan agama serta madzhabpun jadi cemohan. Apalagi cewek-cewek murahan yang melakukan ini tanpa ijin walinya dengan jelas dimana bukan hanya dirinya yg jadi korban nafsunya sendiri, tapi bahkan agama dan para imam makshum as yang diikutinya juga terkorban (karena ajaran Syi’ah jadi cemohan masyarakat seperti yang ditakuti para imam makshum as). 

Padahal, kalau kita perhatikan semua penjelasan di atas itu dan poin-poin kesimpulannya, serta ditambah lagi dengan adanya penyaluran syahwat bagi yang sudah memiliki istri hingga tidak akan memilih zina karena syahwatnya terkontrol dan tersalurkan, maka jelas maksud imam Ali as dalam hadits di atas, bukan orang-orang yang punya istri. 

Jadi, maksud hadits imam Ali as tsb adalah mempromosikan kawin mut’ah bagi yang tidak men- dapatkan penyaluran syahwatnya. Tentu saja, dengan syarat-syaratnya, bukan sembarang orang. Artinya hal tsb bukan hanya tidak menyangkut yang punya keluarga, tapi juga tidak menyangkut wanita-wanita yang bukan janda. Karena separuh dari diri mereka milik walinya. 

Karena itu, tanpa ijin walinya dengan jelas, baik siapa calon suaminya, atau kapan tanggal kawin dan tanggal berakhirnya serta maskawinnya, maka mut’ah mereka ini tidak syah dan dihukumi zina. 

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, baik di dunia ini (dengan adanya peruba- han kesadaran dan aplikasi) atau di akhirat kelak, amin. Wassalam. 


Arina Rien: Tag saya ustadh.. 

Aan Ruslan Anwar: Assalamu’alaikum Wr Wb yaa ustadz, tag ana ya.. Syukran. 

Shellya Agatha: Maha Suci A££AH, A££AH Maha Pemurah lagi Maha Bijaksana,, syukron ustadz ... 

Hidayatul Ilahi: Terjawab sudah semuanya....ALHAMDULILLAH.....ALLAHUMMA SHALLI ‘ALA MUHAMMAD,WA AALI MUHAMMAD,WA ‘AJJIL FARAJAHUM. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya: Kuiringi antum semua dengan munajat hina ini: 

Ya Alllah .. tiada aku, tiada jagat, tiada cahaya dan tiada gelap, tiada ilmu dan tiada kejelasan, tiada lipatan-lipatan duka dan pekikan derita, tiada kebanggaan, tiada kemuliaan, tiada dan tiada, tiada dan tiada... kecuali keharusan menatapMu, memujaMu, dan membakar diri ini dan diri ini, sekali, dua kali dan berkali-kali hingga tak terhingga sampai diri dan semesta ini jadi arang dan arangnya arang, hingga tak pernah lagi tampak kemilau kecuali AsmaMu, WajahMu, JatiMu. 

Ya ...Allah .. kalau aku tak sudi tinggalkanku dan jagatku dan bahkan mayaku, maka sudilah ulur- kan tangan kasih nan lembutMu tuk selamatkan aku, hingga aku selamat dari diriku sendiri, hingga aku lari dari diriku sendiri, hingga aku terbakar dalam AgungMu dan menjadi debu tak berharga yang menempel di kaki para musafir yang bersemangat menujuMu. 

Ita Soetrisno: Terima kasih.. 

Hari Dermanto: Thanks atas penjelasannya ustadz sungguh sangat memberikan manfaat, semo- ga Allah mengkaruniakan kepada anda umur yang panjang dan ilmu yang bermanfaat, sehingga kami bisa mengambil manfaat. Salam izin share. 

Sinar Agama: Ita, terimakasih sama-sama, jaga diri baik-baik nah ... begitu pula teman-teman yang lain, jangan gampang percaya pada Islam atas nama atau Ahlulbait atas nama. Hargailah diri Anda sesuai dengan perintahNya, begitu pula teman-teman yang lain. 

Sinar Agama: Kidung: Kalau antum sudi, maka ikutlah menyebarkan tulisan ini sebanyak-bany- aknya, supaya tercapai harapan antum. Oh iya, terimakasih sebelumnya kalau berkenan ikut me- nyebarkannya. 

Sinar Agama: Syahzanan: Bersaksilah di hadapan hdh Fatimah as kelak, bahwa aku yang hina ini telah berjuang ingin menyelamatkan cucu-cucu dan kaum wanitanya dari penyalahgunaan nafsu- nafsu kurang terhormat, terimakasih dan tolong doakan. 

Sinar Agama: Hari, terimakasih perhatian dan doanya, sebarkanlah kalau memang sepakat bahwa ia adalah tulisan yang baik. Supaya kita sama-sama bisa mendapatkan pahalanya i-Allah, afwan dan terimakasih. 

Khadijah Gany: Salam.. mohon saya juga dtag-kan ustad sangat bermanfaat, syukran.. 

Sinar Agama: Khadijah, apa kamu tidak bisa mengcopynya? Kalau bisa tolong diusahakan dulu ya... dan kalau tidak bisa hubungi lagi aku. Namamu sudah kumasukkan ke group supaya mudah mengakses catatan-catatanku. 

June 28, 2011 at 2:09am · Like

Mut’ah dan Filsafatnya serta Liku-likunya

Mut’ah dan Filsafatnya serta Liku-likunya
(seperti apakah sunnahnya bisa bertahan ditekan hukum wajib yang melawannya?)



by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, June 7, 2011 at 11:17 pm



Haera Puteri Zahrah: Salam, ustadz boleh tanya dari sisi afdalnya untuk saling menjaga yang mana lebih baik jika dua orang bersama bukan muhrimnya dalam waktu tertentu puasa atau mut’ah. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

1. Mut’ah bagi yang bukan janda itu wajib ijin pada walinya (ayahnya) dan kalau tidak maka mut’ahnya tidak syah dan jadi zina.
2. Mengapa bisa seorang wanita harus berbareng dengan lelaki yang bukan muhrimnya? Maksud saya adalah keluarlah dari kondisi itu hingga tidak membuat pilihan yang dirancang sama lelaki hidung belang. Karena terkadang mereka sering menjebak dan mengatakan ”Dari pada kita semobil ini dosa, maka kita mut’ah saja”. Lah .. mestinya mengatakan ”Kita bukan muhrim maka jangan semobil.”, atau mengatakan: “Dari pada kita semobil ini dosa, maka kita lebih baik jangan semobil saja.” 

3. Dan ingat, kalau ijin ayahnya, harus jelas bahwa wakinnya adalah kawin mut’ah yang dimulai dari tanggal sekian dan berakhir tanggal sekian. Tidak boleh ada bahasa diplomasi yang bisa ditakwil dengan berbagai versi atau yang multi tafsir. 

4. Jadi, pilihan dari dua pilihan yang diberikanmu itu, bisa memilih puasa, dan bisa memilih tidak bareng. Karena bareng adalah haram, kalau bisa membuat maksiat. Apalagi tidak pakai hijab, atau senyam senyum, manis-manis kata dan sikap, bermake up (berbedak dan lain-lain), pakai parfum (wanitanya) ...dan semacamnya dimana semua itu jelas haram. 

Nasihat: Kalau Anda seorang wanita, maka peliharalah hati, dan tubuh Anda itu dari tangan-tang- an jahil dan kotor penuh nafsu, untuk disajikan kepada suami Anda kelak ketika sudah kawin, hingga anda tidak menyajikan tubuh yang sudah pernah terjamah kepadanya. 


Haera Puteri Zahrah: Syukron ustadz. 

Aziz Letta: Ustad, permudahlah pernikahan itu (mut’ah maupun daim). Sekiranya bukan karena Umar yang mengharamkan mut’ah maka tidak adalah orang yang berzina kecuali benar-benar orang celaka! Banyak jalur yang disediakan Tuhan untuk menghindari zina. Lagipula tidak semua orang berada pada kondisi dan situasi yang sama persis! 

Sinar Agama: Aziz, sudah cukup penjelasanmu untukmu, silahkan saja pilih cara hidup yang an- tum maukan. Antum mau kawin banyak, makan banyak, minum banyak, tidur banyak, ngobrol banyak, fb-an banyak, duduk di rumah banyak, mau bisnis banyak, mau berenang di laut banyak, makan coto banyak, makan cabe banyak, merokok banyak, minum coca cola banyak, minum teh banyak, olah raga banyak, baca Qur'an banyak, belajar agama banyak, malas banyak, baju hitam di siang hari, keluar rumah pakai celana pendek, keluar rumah pakai kaos singlet, mau jalan me- rangkak, mau jalan loncat-loncat, mau jalan cepat, mau jalan lambat, mau ngebut bermotornya, mau lambat bermotornya, mau bisnis cabe rawit, mau bisnis tarik becak, mau jadi kenet kopaja, mau jadi orang kantoran, mau jadi peminta di jalanan, mau jadi ...... apa saja terserah antum. Terserah karena tidak ada larangan. Karena itu kita tidak ada hak melarangnya. Terlebih kalau melarang, antum akan bilang, ”mengapa dilarang yang ini dan yang itu -mengemis misalnya- pa- dahal tidak dilarang Tuhan?” 

Jadi, untuk kami kehidupan kami dan begitu pula kehidupan antum. Tapi ijinkan saya mendoakan antum tiap hari sebagaimana kudoakan ikhwan-akhwat lainnya. Dan, semoga saja antum bukan penyaji wanita-wanita bekas rabaan antum kepada para lelaki ikhwan antum sendiri. 

Aziz Letta: Terimakasih banyak doanya ustadz. Kok ”penyaji wanita-wanita rabaan antum kepada para lelaki ikhwan antum sendiri” maksudnya apa utasdz” perjelas. Memangnya wanita-wanita itu makanan siap saji apa? Saya cuma ingin agar ikhwan dan akhwat yang sudah layak dan kebelet nikah yang diberikan kemudahan begitu. 

Haera Puteri Zahrah: Mengapa pakai kata kebelet, apakah pernikahan hanya di diidentikkan dengan penyaluran nafsu atau sebgai pelengkap perjalanan. 

Aziz Letta: Zahra, maksudku kebelet, mau sekalian menikah untuk menyalurkan sahwatnya den- gan halal. Pernikahan jelas bukan hanya untuk melampiaskan nafsu secara syari, tapi banyak yang lainnya. Misalnya mencari keturunan dll. 

Sinar Agama: Aziz, kalau itu maksud antum, maka benar. Karena bagi yang sudah kerja dan ber- kecukupan sangat disunnahkan kawin dan kalau tidak kawinnya bisa membuat maksiat, maka hukum kawinnya menjadi wajib. 

Saya tadinya masih menafasi tulisan antum itu dengan gaya berfikir kemarin-kemarin yang per- nah terjadi diskusi denganku itu. Kalau pikiran itu sudah antum tinggalkan, yakni memudahkan mut’ah yang dilakukan tanpa melindungi dan menyantuni wanita dimana akan ditinggalkan se- telah itu hingga ia akan menjadi wanita bekas-an untuk ikhwan atau saudara seiman yang lain, terlebih kalau kawinnya salah-salah karena tidak ijin walinya dimana semua hubungannya sama dengan zina, semua pikiran-pikiran itu sudah antum tinggalkan, maka memang harus memaha- mi lain dari tulisan antum di atas itu. Karena ana membacanya sesuai dengan pikiran antum sebelumnya, maka komentarku seperti di atas ini. Ok, afwan dan ana ikut bahagia antum sudi kembali pada jalan fatwa dan ajaran murni Islam dimana melarang hanya melihat satu sisi saja. 

Aziz, sekarang, dengan penjelesan maksud antum yang semoga tulus itu, tidak melakukan kesa- lahan berfikir dan menulis. Tidak seperti kemarin-kemarin itu, yang tega menggertakku dengan mau menyerahkan anaknya kepadaku untuk dimut’ah dan setelah itu rela ditinggalkan dimana tentu tega juga pada anaknya sendiri... he he he... 

Aziz, maju terus. Tataplah Islam dengan ajarannya yang agung itu. Idamkanlah dalam tiap saat akhlak yang agung itu. Jangan hanya membayangkan dan mengenang hukum mut’ah yang antum sendiri belum tahu sepenuhnya, hingga tidak jatuh korban seperti yang kutulis di atas itu. 

Sinar Agama: Haera, tujuan pertama kawin memang bagi umumnya orang, adalah menyalurkan syahwatnya. Dan yang lainnya itu adalah tujuan dan hikmah berikutannya. Memang, bagi sebagian orang yang sudah tidak dipengaruhi syahwatnya, maka orang-orang seperti ini, yakni yang lebih dekat kepada manusia dari binatang ini, yakni yang ukuran hidupnya bukan sekedar halal dan haram, yakni yang tatapannya dari berbagai dimensi ajaran Islam, maka orang-orang seperti ini bisa sangat mungkin niat kawinnya itu, bukan karena syahwatnya. 

Aziz Letta: Sinar Agama, menurutku yang jelas mut’ah itu halal, tentu dengan syarat-syaratnya. Siapapun boleh melakoninya. Hatta hanya untuk bersenang-senang sehari atau dua hari. 

Sinar Agama: Aziz, silahkan saja, yang jelas kalau belum janda (pernah kawin dan dikumpuli sete- lahnya) harus ijin walinya dengan jelas baik orangnya, maskawinnya, tanggal mula dan akhirnya. Dan kalaulah antum mendapat medan seperti itu, maka silahkan saja kalau antum mau melaku- kannya (tentu saja para imam as tidak menyukai yang tidak darurat, sebagaimana akan dijelaskan di tulisan-tulisan berikutnya. 

Akan tetapi kami, yang merasa harus menyantuni wanita sebagai amanat Tuhan yang harus dil- indungi, dan mengingat nanti akan habis masa waktunya dan dia akan kawin dengan orang lain, maka kami tetap tidak akan melakukannya. Karena kami tidak ingin memakan tanaman yang ha- rus dikasihi dan dilindungi dan tidak ingin memproduksi wanita bekas rabaanku kepada saudara sekajianku, seperjuanganku (tanpa mereka tahu). Karena itu, maka sudah jelas apa yang kupaha- mi di komentar awalku itulah, adalah yang benar tentang diri antum (smg Tuhan belum menutup hidayahNya untuk antum). 

Bukalah mata hati antum itu, jangan dikira bahwa Syi’ah itu hanya memiliki satu ajaran yang na- manya mut’ah. Tapi juga mengajari kebijakan, seperti perlindungan terhadap wanita yang tidak matang dan terbuai nafsu hingga mengajak kita mut’ah padahal ia belum janda yang juga belum diberi ijin walinya. Karena itu, belajarlah yang benar tentang agama, hingga tahu apa itu agama dan kemuliaan. Jangan pasang tutup mata, telinga dan hati dengan menempel hukum halalnya mut’ah di dahi kita lalu kita lontang lantung di dunia bagai nabi yang tidak memiliki kesalahan dan kekurangan yang tahunya hanya satu hukum yang belum dirinci, yakni “halalnya mut’ah”. 

Ingat, wanita pernah zina itu tetap dihitung bukan janda. Artinya tetap diwajibkan/disunnahkan (tergantung marja’nya yang ditaqlidi) ijin pada walinya secara jelas sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Saya tulis ini, setidaknya kalau antum tega memakan tanaman sendiri atau tega menye- diakan anak belum janda antum padaku atau siapa saja, dan tega membuat wanita-wanita bekas di dunia ini, dan tega menghancurkan hati wanita setelah itu, dan tega membuat kenangan-ken- angan manis/pahit di benak mereka dan benak antum dalam kehidupan rumah tangga antum dan mereka, dan tega akan munculnya ingatan bersama ketika ketemu lagi dengan keluarga ma- sing-masing,..... dan seterusnya, setidaknya, dengan tulisan ini, antum tidak masuk neraka karena dosa. 

Semoga karakter itu belum mensubstansi hingga masih bisa berubah dan tidak membuat kacau anak-anak antum yang akan menirunya. 

Aziz Letta: Terimakasih saran saran dan nasihat-nasihatnya. Saya pikir ajaran Islam bukan hanya untuk orang orang selevel antum yang sangat amat menjaga ”kesuciian perasaan”. Tapi juga orang orang yang selevel denganku yang jauh di bawah maqam antum. Mengenai kenangan-kenangan yang antum maksud, bagaimana dengan suami istri yang cerai (baik cerai mati maupun hidup). Kemudian apakah setiap mut’ah mengharuskan adanya hubungan seks? Mengenai anak-anakku, sepanjang mereka tidak berzina saya ok ok saja. Saya tidak akan malu atau merasa malu karena mereka suka mut’ah. Tuhan saja yg MAHA SUCI tidak malu menjelaskan dan menghalalkan mut’ah. 

Saya melihat antum hanya menerima teori nikah mut’ah tapi tidak mau menerima realita prak- teknya. Saya pikir karena Tuhan itu amat sangat menyayangi hambaNYA dan tidak ingin melihat mereka berzina, maka ditunjukkanlah jalan MUT”AH. Prinsipnya Mut’ah Yes, Zina No.... 

Sinar Agama: Aziz,:

(1). Susah nian membuatmu tunduk pada argument. Entah apa yang bisa saya bantu untukmu. Tapi akan kucoba lagi, semoga bisa masuk ke akalmu yang mungkin sedang kacau pikiran itu hingga tidak bisa memahami tulisanku dengan baik. Cobalah kosongkan pikiran antum itu dari nafsu benar sendiri itu, dan baca sekali lagi tulisan-tulisan di atas dan yang dulu kita pernah debat itu. Renungkanlah baik-baik sebelum anak-anak antum menjadi korban dari kekurangjernihan pikiran antum itu. Tentu saja, sambil meminta petunjukNya.

(2). Kedudukan setiap orang, hanya Tuhan yang tahu. Kalau kita diskusi dan menasihati, bukan berarti yang menasihati sudah di atas dan yang dinasihati. Karena diskusi atau saling menasihati, sekedar mengandalkan argumentasi. Sebab yang benarpun, kalau tidak melaksanakannya, hanya ibarat penyanyi agama yang mencari dunia, alias pengamen. 

(3). Pikiran antum ini, sungguh-sungguh berbahaya. Karena mengijinkan anak perempuan antum mut’ah sana sini sejak gadisnya. Sungguh-sungguh keluar dari seorang ayah yang sudah pasti eror batinnya DILIHAT DARI KACA MATA ISLAM, bukan kacamataku dan maqamku. Tapi tanyakanlah pada lingkungan antum, marja’ antum, atau diri antum ketika antum di sisi anak perempuan antum yang lagi nyenyak-nyenyaknya tidur, coba tanyakan sekali lagi, apakah antum akan mengijinkan dia kawin sana dan sini ketika sudah dewasa/baligh, yakni sejak kelas 6 SD, atau kelas 1 SMP, atau kelas 1 SMA dengan alasan karena Tuhan membolehkannya? 

Emangnya antum sekarang duduk di jalanan mengemis atau akan meyuruh anak antum mengemis di jalanan dengan alasan Tuhan saja membolehkannya?
(4). Islam itu memiliki berbagai hukum dan ajaran. Ada yang haram dan ada yang makruh. Ada yang wajib dan ada yang sunnah. Ada juga yang sunnah yang tidak dianjurkan untuk dilakukan, sekalipun ia sunnah. Kenapa? Karena tidak maslahat ke depannya. Dan hal itu, yakni tidak menganjurkan itu, juga dari Islam. Contohnya seperti apa? Seperti mengijinkan anak perempuannya yang masih kelas 6 SD atau 1 SMP atau perawan, untuk melakukan nikah mut’ah sana sini, yakni tanpa kepastian daim yang sudah direncanakan dengan matang. Karena akal ijtima’i/sosial, atau akal normal manusia, tidak mengijinkan hal ini. Dan kawin seperti ini sudah pasti tidak diinginkan Islam sekalipun dalam hukumnya ia adalah sunnah. 

Jadi, dasar hukum dalam Islam itu, masih bisa dikondisikan lagi dengan ajaran-ajaran lainnya yang bisa mengkondisikannya (mengqaidnya). Seperti keharusan orang tua untuk menjaga anaknya dari kerancuan dan ketidakkaru-karuan hidup, dari ketidakpunyaan sasaran hidup yang benar, dari ketidakberencanaan hidup yang sehat, dari sekedar mengumbar nafsu seks yang halal dan sunnah sekalipun dan dari kerancuan sosial yang akan ditimbulkan dari hubungan halal sana sini itu. 

Begitu pula, orang tua harus membimbing anaknya ke arah kehidupan yang sehat yang tidak hanya mengandalkan seks dan nafsu ....dst dimana hal seperti itu terlalu banyak bisa didaptkan di Qur'an dan hadits-hadits makshumin as. Camkan baik-baik, karena antum adalah awam dalam agama. Jangan merasa sok sudah penuh dengan hanya membawa satu hukum kehalalan mut’ah. Karena itu, janganlah mengijinkan anak antum yang masih SD, SMP, SMA, kuliah, untuk mut’ah dengan orang yang belum siap berumah tangga, hanya dengan dalil bahwa Tuhan menghalalkannya. Jangan sampai, anak antum yang masih SMP itu, diijinkan mut’ah karena kalau tidak mengijinkan nanti didebat anak antum bahwa antum hanya menerima konsep mut’ah akan tetapi pada kenyataannya, tidak menerima mut’ah. 

(5). Kenangan yang muncul akibat cerai atau ditinggal mati suaminya itu, jauh beda dengan yang diakibatkan mut’ah. Bedanya seperti langit dan dasar sumur. Karena kawin, pada dasar dan awal tujuannya, adalah membangun keluarga sakinah. Yakni setidaknya merupakan tujuan ke dua setelah penyaluran syahwatnya. Dari awal dia sudah merencanakan hidup bahagia, keluarga sakinah, punya anak-anak yang sehat yang dinaungi ajaran Islam dalam seluruh ajarannya (bukan hanya mut’ah), ...dst. Akan tetapi di tengah jalan, karena tidak kuat dengan cobaan yang dihadapi, maka mereka cerai. Beda halnya dengan mut’ah yang dari awal memang bertujuan mengumbar nafsu. Nah, hal ini, sekalipun bagi yang bukan janda itu dan sudah dengan ijin walinya, tetap beda manakala tidak ada rencana pasti untuk ke kawin daim. Apalagi antum yang pernah mengatakan mau kawin mut’ah dalam beberapa tahun (di diskusi kita di tempat lain). Jadi, beda antara kawinnya pemburu nafsu seks dengan orang yang mengejar filsafat kawin yang salah satunya membentuk keluarga sakinah yang diperintahkan Islam. 

(6). Kenangan kawin daim yang cerai itu, juga beda jauh dengan kenangan dari kawin mut’ah walau hanya pegangan dan hubungan selain seks. Karena yang pertama adalah pemburu keluarga sakinah yang diridhai/dianjurkan Tuhan, sedang yang ke dua adalah pemburu nafsu di selain hubungan seks yang hanya dibolehkan Tuhan (tentu kalau sudah ijin walinya). 

(7). Antum mengatakan, Tuhan saja tidak mengharamkan mut’ah, lah... memang benar begitu, tapi Tuhan tidak suka antum mengijinkan anak perempuan antum main mut’ah sana dan sini sejak SD atau SMP atau tanpa perencanaan daim yang pasti. 

(8). Saya memberi contoh kelas 6 SD atau kelas 1 SMP, karena sejak umur 9 tahun penuh, seorang wanita sudah bisa kawin dengan ijin walinya dalam artian sudah boleh jimak setelah kawin dengan seijin walinya. Nah, kalau antum hanya mengandalkan SATU KEMAUAN TUHAN, dan TIDAK MEMPERHATIKAN KEMAUANNYA YANG LAIN, maka sudah pasti antum harus mengijinkan anak perempuan antum itu mut’ah sana sini dan gonta-ganti pasangan sejak masih kelas 6 SD.

(9). Dengan penjelasan di atas, antum tidak bisa lagi mengatakan bahwa antum tidak malu karena Tuhan saja tidak malu dan telah menghalalkan mut’ah. Karena dengan penjelasan di atas itu, dapat dipahami bahwa kemauan Tuhan itu banyak. Diantaranya tidak menginginkan kita mengijinkan anak-anak kita kawin mut’ah sana sini mengumbar nafsu tanpa perencenaan untuk membangun rumah tangga dan keluarga sakinah. Karena keluarga sakinah, dan mengatur hidup dan semacamnya yang sudah diterangkan di atas itu, merupakan kehendakNya yang lain dalam ajaranNya yang lain. Dan kehendak ini, kalau dilihat dari ilmu ushulfiqih, dapat menumpangi dan mengalahkan kemauan pertamaNya yang menghalalkan mut’ah bagi anak wanita yang sudah baligh kalau seijin walinya walaupun untuk kawin satu jam. Pahamilah ya akhi supaya tidak bikin malu orang Syi’ah dan para imam makshum as. 

(10). Mungkin ada orang yang lambat berfikirnya karena ditumpangi syahwatnya (bukan tidak cerdas) hingga tidak memahami penjelasan di atas itu dan bertanya: ”Kalau memang Tuhan itu tidak menginginkan kawin mut’ah sana sini bagi anak umur 9 tahun, lalu mengapa membolehkannya dan bahkan mensunnahkannya?” 

Jawabnya: Hukum yang diberikanNya itu bertingkat dan berkondisi. Dan hanya orang alim yang bisa tahu seluk beluknya. Karena itu mendengarkan orang yang ahli dalam agama, 


merupakan kewajiban setiap manusia, seperti merujuk ke dokter dikala sakit. 

Tuhan melihat ribuan kondsi manusia tentang kawin mut’ah ini dimana tidak mungkin dirinci satu-satu karena tidak akan membuat masyarakat umum secara rata-rata, tidak akan mampu mengembannya. Karena itu, hukum yang Ia turunkan itu bisa saling memberikan kondisi atau qarinah hingga dengan mudah dapat dipahami misi utama perkawinannya itu. 

Misalnya: Dalam satu rumah, tinggal juga orang yang bukan muhrim, akan tetapi mukmin (dapat dipercaya). Supaya sang ibu tidak perlu pakai hijab terus dalam rumahnya, maka suami sang ibu itu mengawinkan anaknya yang 6 SD atau bahkan lebih muda lagi dengan lelaki mukmin yang ada di rumah itu dan mensyaratinya dengan tidak boleh menyentuhnya (karena dalam mut’ah boleh diadakan syarat). Nah, dengan kawinnya itu, maka si anak kecil yang baru berumur 9 tahun atau lebih itu, dan begitu pula ibunya, tidak perlu lagi harus pakai hijab yang ketat. Maka di rumah, bisa memakai baju yang sopan dan normal, tanpa harus pakai jilbab dst. 

Ini salah satu tujuan dan hikmah dari kebolehan kawin mut’ah bagi anak kecil yang tanpa perencanaan kawin daim itu (yang seijin walinya itu). Jadi, bukan merupakan hukum yang tanpa tujuan. ATAU BUKAN HUKUM KAWIN YANG BIASA YANG UNTUK MENYALURKAN NAFSU SEKS SANA-SINI. 

(11). Saya tidak akan menuntut antum di hadapan Tuhan karena telah mengatakan ana tidak mau mau menerima praktek hukumNya. Walaupun ana layak menuntut antum karena sudah panjang lebar kujelaskan di atas. 

(12). Bacalah buku-buku Islam tentang perkawinan yang ditulis oleh para ulama seperti aytullah Muthahhari ra dan lain-lainnya. Jangan hanya berbekal satu hukum, lalu tabrak sana dan sini. Dan di atas itu sudah kujelaskan sekelumitnya. Semoga saja antum teliti membacanya. 

(13). Ketika antum melihat kawin hanya dari dimensi penyaluran syahwat, atau menyelipkan hal itu, maka sudah pasti antum akan selalu mengarahkan hikmah kawin itu kepada penyaluran syahwat. Padahal banyak sekali hikmah-hikmah lain dari kawin itu, bahkan sekalipun mut’ah dimana diantaranya sudah saya berikan contohnya di atas sebagaimana saya ambil contoh umum di kitab-kitab fikih.

(14). Nah, kesalahan antum pada langkah awalnya, menyebabkan antum jatuh ke jurang berikutnya. Karena itu, antum melihat sebagai kasih sayang Tuhan manakala antum menyantapkan anak perempuan antum yang baru berumur 9 tahun itu, untuk dinikmasti teman-teman kelasnya secara bergiliran dengan dijaraki iddahnya masing-masing. Lah, ... kalau ini adalah kasih sayang Tuhan, maka bagaimana MurkaNya???!!! Na’uzhubillah. Antum mesti taubat dan beristighfaar kepadaNya karena telah menghubungkan sesuatu padaNya yang salah dan tanpa ilmu. 

Sungguh antum ini merupakan ujian bagi kita semua dengan keras pemikiran dan hati yang antum miliki. Semoga saja tidak seperti kata ayatullah Jawadi Aamuli hf yang mengatakan: 

”Kalau seserang itu sudah tidak mau menerima nasihat (tentu nasihat yang argumentatif), maka malaikat Jibril as sekalipun yang turun, ia tidak akan pernah mengambilnya.” 

Ya akhi, carilah ilmu dengan merasa tidak tahu. Atau kalau memang antum harus merasa tahupun, sesuaikanlah perasaan tahu antum itu, dengan yang antum tahu saja, jangan lebih. Misalnya tahu halalnya mut’ah hanya dari kata orang sana sini dan sangat-sangat tidak rinci. Karena kalau tidak, maka akan membuat antum keras hati dan kepala (afwan). Misalnya, belajarlah dengan hanya merasa tahu satu hukum mut’ah saja. Atau belajarlah dengan merasa tahu karena sudah pernah baca beberapa buku yang sekarang sudah dilupkan isinya (artinya harus kosong lagi), atau belajarlah dengan merasa tahu karena pernah mendengar orang bicara tapi tidak tahu argumentnya hingga tidak tahu bisa tidaknya dipertanggungjawabkan 

....dst. Itupun kalau antum harus dan harus, merasa tahu Islam. Wassalam. 

Aziz Letta: hehehehehehe, terimakasih.... terimakasih. Saya bukannya keras kepala atau keras hati. Tapi memang saya awam masalah agama. Tapi saya suka membenturkan isi kepala/hatiku tentunya dengan argumentasi yang saya tahu, agar kebenaran yang lebih tinggi (karena katanya kebenaran itu bertingkat-tingkat). Saya juga tidak akan ngotot untuk mempertahankan argumen- tasiku yang lemah dari segi agama. 

Saya salut dengan antum yang begitu sabar dan sopan menuntun saya (dan juga tentunya pem- baca debat/dialog kita berdua atau bertiga) hehehehehe. Terimakasih....terimakasih. Tapi satu permintaaku jagn bosan bosan kalau sewaktu waktu kita akan kembali ”berbenturan” pada te- ma-tema yang lain. Ok. Saya menerima kebenaran argumentasi antum. Tapi tentunya dengan se- mentara. Siapa tahu suatu saat saya menemukan argumentasi yang menggugurkan argumentasi antum. hehehehehe...... 

Foto antum cocok, bahwa sinar matahari itu memberikan sinarnya kepada bumi tanpa berharap balasan. Tapi saya berdoa kepada Allah agar antum diberi tambahan ilmu biar bisa diajarkan kepadaku dan kepada setiap orang, juga kesehatan dan umur yang panjang. Tentunya saya juga berharap diberikan yang serupa.....allahumma shalli ala muhammad waali muhammad waajjil farajahum. Alhamdulillah. 

Sinar Agama: Aziiz, komentar ana untuk antum akan kutulis dalam munajat hinaku di bawah ini: 

“Syukurku padaMu ya Tuhan, yang mengurangi beban yang melilit jiwaku selama dua pekan ini. Karena sudah hampir dua minggu serasa tersita umur ini lantaran diskusi di dua tempat yang seperti tak kunjung padam, yang seakan menembus kabut tebal yg tiada bertepian. 

Aku ya ... Allah kadang dengan dada sesakku karena sempitnya, dengan air mataku, dengan emosi kalbuku yang kutahan, dengan jemariku yang sering penat dan kram, kucoba bertahan dan kula- lui. Sungguh hanya demiMu dan demi mauMu yang menyuruh sampaikan agamaMu dengan dalil dan hikmah. 

Ya .. Allah tiada aku sesali hidup seperti ini. Yang pasti akan kussesali adalah, kalau Engkau tiada sudi memaafkanku dan memaafkan saudara-saudara seimanku yang mungkin kadang terlihat nakalan seperti saudaraku Aziz ini. Ya ... Allah, tiada apapun yang bisa kami sajikan padaMu ke- cuali tangisan. 

Ya ... Allah bimbinglah kami semua kepada agama yang lengkap dan komplit, bukan agama yang kurang dan sempit. Dan berilah kesabaran pada semua ikhwan dan akhwatku hingga memaaf- kanku manakala kadang kuselentik dengan sedikit kata tak lembut, yang terpaksa kulakukan demi memecahkan kerasnya hati yang diakibatkan gelora hawa nafsu dan tak terbangunnya dengan argumentasi yang tertata cantik. Amin.” 

Terakhir: Terimakasih telah meringankanku mengerjakan yang lainnya. Kalau nanti ketemu argu- ment yang lebih kuat silahkan ajukan lagi. Tapi sebelum itu ada, maka antum tidak boleh meng- aplikasikan kecuali yang sudah antum terima dengan argumentasi ini. Semoga kita semua bisa menjaga kesucian agama Islam dan terutama madzhab Ahlulbait as dengan pikiran, pemahaman dan aplikasi yang baik di tengah masyarakat, amin. 

Aziz Letta: Ana juga minta maaf karena kebodohanku yang dibalut nafsu dunia yang hina telah membuat antum membuang waktu dan umur untuk memberiku setitik pencerahan dalam hidupku yang diliputi kegelapan. Ya Allah demi kemuliaan Nabi Terakhir Muhammad SAAW dan Ahlulbaitnya, persatukanlah hati hati kami dalam melangkah melewati dunia ini menuju padaMU. Ya Allah mudahkannlah kami untuk menlaksanakan ketaatan kepadaMU, Tolonglah kami ya Allah untuk menghindari kemaksiatan kepadamu. Allahumma shalli ala muhammad waali muhammad waajjil farajahum. Alhamdulillah. 

Maya Zahra: Salam wa rahmah ustadz.. saya mau bertanya. apakah seorang laki-laki mut’ah maksimal 4 wanita seperti hukum dipoligami? Dan dari yang saya baca (buku hak-hak wanita, murthada muthahhari) bahwa seorang suami yang sudah Daim tidak boleh mutah kecuali ia se- dang berada dalam jarak yang jauh dengan istrinya sehingga tidak bisa berkumpul. Bagaimana hukumnya? Af1 ustad, mohon penjelasannya mungkin saya salah menafsirkan kata-kata dalam buku tersebut. Syukron ustadz... 

Sinar Agama: Azis, kuamini doamu dengan tambahan: 

“Permudahlah kami untuk taat padaMu dengan mengerti hakikat hukum dan mauMu sebelumnya, hingga tidak menggunakan sebait hukumMu sebagai hakikat agama dan mauMu. Tunjukkan ke- benaranMu sebagai mana ia dan berikan kekuatan untuk mengamalkannya. Hindarkan kami dari agama yang semu, pahaman yang semu, ketaqwaan semu, yaitu yang hanya berdasar pada satu bait syariatMu di tengah-tengah jutaan bait syariatMu. Bimbinglah kami kepadaMu melalui Nabi saww dan Qur'anMu, bimbinglah kami kepada Nabi saww dan Qur'anMu melalui imam-imam makshumMu as, dan bimbinglah kami kepada imam makshumMu as melalui para ulama/marja’ yang dengan sepenuh hati telah mengorbankan hidupnya untuk memahami dan menaati aga- maMu, serta hindarkanlah kami dari merasa menjadi nabi, imam makshum atau ulama yang me- mahmi MauMu. Amin.” 

Aziz, selamat berjuang, jangan putus asa. Aku selalu ada di sisimu untuk selalu menengkarimu dengan santun (pertengkaran ilmiah dan persaudaraan, bukan permusuhan) melalui dalil-dalil, manakala aku diperlukan dan sertakan aku dalam doamu, terimakasih. 

Sinar Agama: Maya, mut’ah itu tidak dibatasi jumlahnya dilihat dari sisi hukumnya. Jadi boleh saja lebih dari empat dan kapan saja. Asal semuanya memenuhi syarat diantaranya adalah si wanita- nya itu janda (sudah pernah kawin dan dikumpuli setelah itu, bukan tidak gadis karena diperkosa misalnya). Dan kalau wanitanya itu belum janda, maka wajib ijin dengan ayahnya dengan jelas. Ini dari sisi hukum. 

Yang kita debatkan di atas itu bukan dari sisi hukumnya, dalam arti satu hukum ini saja. Karena Islam itu luas ajarannya. Termasuk hukum wajib yang ada di tangan orang tua untuk menjaga anaknya dari ketidakterarahan hidup. Karena itu, maka sungguh tidak layak bagi orang tua yang mengijinkan anaknya mut’ah sana sini sejak masih kelas 6 SD. Karena sekalipun boleh, dan bah- kan sunnah dalam mengawinkan anaknya itu, baik daim atau mut’ah, akan tetapi hal ini berten- tangan atau bertabrakan dengan hukum wajib yang lain. Yaitu wajibnya orang tua untuk menga- rahkan dan memimpin anaknya itu kepada hidup yang terarah dan keluarga sakinah. 

Karena itu, maka kalau di antara para orang yang ngerti agama, masalah seperti ini tabu dibahas. Karena masalahnya, sudah jelas. Mana mungkin islam menganjurkan orang tua untuk mengijin- kan anaknya yang masih SD atau SMP dst untuk mut’ah sana-sini tanpa tujuan hidup yang jelas dimana akan membuat kehidupannya di kemudian hari akan menderita. Orang yang tidak ngerti, dikira hal ini termasuk yang dianjurkan dengan alasan hukum kawin itu adalah sunnah. Padahal 

hukum sunnah ini telah bertabrakan dengan hukum wajib yang lain, yaitu wajibnya orang tua untuk memimpin anaknya kepada kehidupan terarah yang tidak mengutamakan syahwat. 

Karena itu maka hukum mut’ah bagi yang anak-anak kecil ini, adalah hukum yang bisa dipakai dalam kondisi-kondisi tertentu yang dianggap darurat, seperti yang saya contohkan di atas, yaitu hidup di rumahnya seorang yang bukan muhrim (yang juga karena terpaksa), atau mau menitip- kan ke orang yang bukan muhrim untuk digendong di hutan yang gelap atau jalanan yang terjal 

....dan seterusnya. 

Maya Zahra: Melihat dari apa yang terjadi, terkadang dari sisi hukumnya saja banyak yang tidak tahu, sehingga banyak juga remaja yang menyalahgunakannya. Contohnya saja masih banyak yang tidak tahu bahwa mut’ah seorang gadis harus denga) ijin ayahnya, alasan mereka karena ada fatwa marja lain yang membolehkan tanpa ijin dari ayahnya (kalo tidak salah mereka merujuk pada Hasan Fadollah, af1...kalo tidak salah ingat seperti itu), padahal ia bermarja pada rahbar. Dan selama ini yang saya kira pun bahwa laki-laki yang sudah daim walaupun tidak berada berjau- han dengan istrinya, maka ia bebas melakukan mut’ah. Lalu saat saya baca buku tsb, ternyata malah tidak diperbolehkan seorang suami yang sdh daim melakukan mutah kecuali ia berada jauh dengan istri daimnya. Untuk itu saya mohon penjelasan ustadz, sekiranya hukum ini jelas semoga tidak ada oknum-oknum yang menyalahgunakan hukum tsb. Maaf jika pertanyaan saya merepotkan...syukron... 

Sinar Agama: Maya,:

(1). Seseorang itu tidak bisa menyandarkan fatwa kepada seorang marja’ hanya dengan kata- katanya. Ini pertama. 

(2). Dan kalaulah fatwa sayyid Fadhlullah itu ada, maka tidak bisa diikuti oleh orang yang tidak taqlid padanya. 

(3). Kalaulah ada fatwa itu, maka ia untuk wanita yang Rasyidah, bukan wanita yang hanya mencapai dewasa. Dan rasyidah/rosyiah itu adalah matang. Artinya wanita yang tidak mengejar nafsu dan tahu kemaslahatan dirinya di masa kini dan masa datang. Artinya tidak bisa ditipu nafsunya dan apalagi orang lain dan cowok ghombal yang cari mangsa sejak SMA atau Kuliah. 

(4). Wanita yang masih bisa dengan mudah digombali, dipacari, diajak nonton, diajak jalan, dibonceng motor, dicumbu, disebtuh....dst dengan hanya sebuah kata “aku cinta kamu dan relah sehidup semati”, tidak bisa disebut wanita yang matang atau rosyidah, akan tetapi ia adalah wanita yang malang yang mengorbankan kemaslahatannya demi nafsunya. 

(5). Nah, walaupun mau merujuk ke ayatullah Fadhlullah, kalaulah fatwa itu ada, maka pasti kepada wanita rasyidah/matang, karena hal ini sudah kaidah fikih dan tempatnya kemungkinan bedanya fatwa, bukan di wanita yang tidak matang/rasyidah. Malah sebagian marja’ seperti ayatullah Khui, mensyaratkan kemandiriannya dari sisi kehidupan dan ekonomi, terlebih dahulu selain masalah kerasyidahannya tersebut. 

(6). Dan sekarang beliau sudah meninggal, dimana tidak bisa lagi diikutinya. Jadi walaupun ada wanita yang sudah matang banget, maka tidak boleh merujuk kepadanya karena sudah meninggal, walaupun ingin taqlid kepadanya. 

(7). Untuk jumlah dan syarat lelaki mut’ah itu, sudah saya jawab di atas. Silahkan rujuk lagi. Dan dimana anti/Anda membaca tidak bolehnya mut’ah bagi lelaki yang berada di dekat istrinya? 

Maya Zahra: Saya baca di buku Perempuan dan hak-haknya dalam islam karya muthadha 
muthahhari (penerbit lentera). Nanti kalo saya bawa bukunya saya tuliskan hadisnya. Syukron penjelasannya ustadz. 

Haera Puteri Zahrah: Ustadz bagaimana pernikahan yang beda paham bisa atau tidak? 2) Jika sekiranya dalam mut’ah itu terlahir anak apakah anak itu berhak juga mendapat warisan dari orang tuanya. Syukron sebelumnya. 

Sinar Agama: Maya: Ok, ana tunggu. 

Sinar Agama: Haera,:

(1). Kalau lelakinya Syi’ah maka tidak masalah, tapi kalau wanitanya yang Syi’ah maka ada yang tidak membolehkan dan ada yang memakruhkan, tergantung marja’nya. 

(2). Anak dari mut’ah tidak beda dengan anak dari kawin daim, termasuk hak nafakah (seperti makan, baju dan sekolah dan lain-lain) yang harus dipenuhi oleh ayahnya dan begitu pula ia berhak mendapatkan warisan orang tuanya. 

Bande Husein Kalisatti and 28 others like this. 

Haladap Saw: SALAM USTAD izin share, ya. 

Halimah Aliyah Az-Zahra: Jazakallah, Ustadz... 

Yusuf Salam: Terimakasih, dokumentasi diskusi yang bagus...izin copas ustaz... 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya. Tulisanku selama untuk kebaikan dan tidak untuk bisnis, maka silahkan digunakan dalam bentuk apapun, baik sha- re, copy, print dan seterusnya. 

Besse Tanra Wajo: Salam Ustad. Izin copas... 

Sinar Agama: Besse: SIlahkan saja. 

Besse Tanra Wajo: Syukron Ustad. 

Sinar Agama: Maya, salam dan terimakasih perhatiannya, maaf karena kelupaan hingga tidak terjawab. 

(1). Sepertinya Maya harus lebih teliti membaca buku tsb. Karena ruh dari pada buku itu bukan melarang mut’ah bagi orang yang sudah punya istri dan istrinya dalam jangkauannya. Tapi menerangkan folosofis dari diturunkannya hukum mut’ah itu. Yakni bahwa Islam bukan agama yang merangsang penghamburan nafsu sex. Jadi, maksud awal dari halalnya mut’ah itu adalah untuk yang belum mampu kawin daim (tapi dengan janda, sebab kalau dengan bukan janda harus ijin ayahnya dengan jelas) atau yang sudah punya istri tapi jauh dari istrinya. Ini maksud pertama hukum mut’ah itu. Akan tetapi bukan berarti ia melarang orang yang mau menghamburkan nafsunya. Mirip dengan makan, maka Islam menghalalkan makanan akan tetapi bukan untuk makan ini dan itu sepuas-puasnya. Makan dalam Islam adalah untuk kese- hatan dan seperlunya dan kalau perlu sederhana. Akan tetapi tidak melarang orang yang ingin menjadi mirip binatang yang hanya mengandalkan halal lalu makan terus dan makan terus. 

(2). Jadi syahid Muthahhari ra sedang berusaha menjelaskan kepada kafirin bahwa Islam bukan agama yang menganjurkan nikah mut’ah bagi yang tidak perlu hingga mengorbankan para wanita. Tapi tujuan pertamnya adalah memudahkan yang kepepet. Jadi, Islam mengajarkan kezuhudan akan tetapi juga memberikan jalan keluar bagi kebuntuan, bukan mengajarkan dan merangsang umat untuk menjadi pemburu nafsu sex. Nah, itu yang diterangkan oleh beliau ra. Bukan mau menerangkan haramnya bagi yang tidak perlu. 

(3). Tentang hadits imam Ja’far as itu sudah jelas tekanannya kepada ketidakdiharapkannya seseorang yang tidak kepepet untuk melakukan mut’ah. Yakni bukan pengharaman. Itulah mengapa Maya harus berhati-hati membaca buku itu, yakni harus fokus dan menyambungkan atau menghubungkan semua kata-kata di buku itu dari mukaddimahnya sampai ke akhirnya. Jangan hanya di ambil satu halaman lalu melupakan halaman lainnya. Dan, karena itu pulalah mengapa seseorang yang bukan mujtahid harus taqlid kepada marja’. Karena sudah pasti tidak akan memahami hadits-hadits para makshum as karena tidak punya alatnya. Contohnya di hadits ini. Artinya sergahan imam kepada muridnya itu, bermakna kemakruhan atau ketidakafdhalan, bukan pengharaman.

(4). Buku beliau ra itu juga dalam rangka ingin menangkis serangan kafirin yang mengatakan bahwa Syi’ah sangat merangsang mut’ah seperti berpahala ini dan itu, begini dan begitu ...dan seterusnya. Karena itulah hadits-hadits rangsangan terhadap mut’ah itu dihadapkan dengan hadits-hadits yang terlihat melarang atau tidak merangsang mut’ah. Artinya, serangan ransangan itu ditangkal dengan hadits larangan (makruh) atau tidak utama, bukan haram. 

(5). Dari dua hadits yang nampak bertentangan itu, yaitu hadits rangsangan mut’ah dan larangan bagi yang tidak perlu dan kepepet, lalu ditambah dengan pelarangan Umar, maka dapat disimpulkan bahwa maksud dari hadits rangsangan itu sekedar memerangi dakwah sebagian orang yang telah mengharamkan mut’ah. Artinya untuk menangkal penghapusan hukum ini. Karena itu maka dikatakan misalnya, pahala mut’ah itu seperti syahid (seingat saya) dan semacamnya. Yakni yang mut’ah itu berarti berjuang mempertahankan hukum Tuhan yang diturunakn kepada Nabi saww dimana sedang diusahakn oleh sebagian orang untuk dihapus. 

Jadi ruh buku itu adalah mau mendudukkan hadits rangsangan itu, pada poin perjuangannya, bukan para rangsangan pengumbaran syahwat binatangnya. Akan tetapi di lain pihak, bukan untuk mengharamkannya. Jadi kalau didapat kata tidak boleh, berarti tidak diutamakan atau makruh. Pahaman seperti ini akan dapat dipahami manakala semua buku itu dihubungkan semuanya, artinya tidak dipenggal-penggal. 

(6). Untuk hadits imam Ali as itu (yang melarang mut’ah), maka Maya fatal di sini. Karena syahid Muthahhari ra benar-benar menolak hadits yang diriwayatakn Sunni itu karena bertentangan dengan hadits-hadits lainnya sebagaimana dikutip sendiri oleh beliau ra di kitabnya itu. Yakni beliau menerangkan mengapa hadits larangan mut’ah dari imam Ali as yang diriwayatkan Sunni itu tidak bisa dipakai. 

Tapi beliau ra mengatakan bahwa kalaulah mau dishahihkan, yakni kalaulah, maka maknanya bukan ini dan itu sebagaimana yang diterangkan oleh penukil hadits yang beliau nukil itu (Sunni), akan tetapi maknanya begini dan begitu menurut beliau ra dan para ulama Syi’ah lainnya. Begitulah yang ada di kitab tsb. 

Kesimpulan: Beliau tidak mau menerangkan haramnya mut’ah bagi yang tidak kepepet, akan tetapi mau menerangkan bahwa Islam bukan ajaran yang merangsang umat untuk menghambur- kan syahwatnya seperti binatang dengan menghamburkan mut’ah yang tidak perlu walau sudah dengan janda atau dengan perawan yang sudah diijinkan walinya sekalipun. Itu saja. Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ