Minggu, 26 Agustus 2018

Lensa (Bgn 28): Cara Menyatukan Akal dan Hati



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 Juli 2011 pukul 15:42


Adzar Alistany Kadzimi : Assallammu’alayka warrohmah, numpang nanya ustadz bagaimanakah cara menyatukan akal dengan hati yang sudah sedemikian lama terpisah,,,,?

Sinar Agama : Salam dan terimakasih pertanyaannya, Hati itu, kalau maksudnya tempat menyim- pannya rasa-rasa, seperti marah, benci, cinta, suka, tidak suka, sedih, jengkel, gemes, bahagia, meratap, percaya, tidak percaya... dan seterusnya memang ia tidak boleh dijadikan ukuran dan pedoman. Karena Islam dan akal melarang hal itu. Jadi, yang jadi pedoman kehidupan itu adalah akal yang dibersihkan dari perasaan yang ada di hati itu. Jadi, tugas kita adalah mencari ilmu gamblang dan argumentatif, lalu diamalkan, baik hati ini suka atau tidak. Hingga nanti hatinya bisa bermakmum sepenuhnya dengan akalnya. Dan di Qur'an, hati itu banyak yang bermakna akal (begitu pula dalam bahasa Arab). Hal ini yang semacam tidak diketahui oleh kebanyakan orang Indonesia. Karena itu mereka sering mengutamakan hati dari akal. Saya dulu sudah menjelaskan hal ini dengan ayat-ayat nya, tetapi sudah lupa. Coba tanya pada Anggelia Sulqani Zahra, tetapi yang foto kepalanya lebih kecil. Karena ada dua akun ini.

Adzar Alistany Kadzimi : Jazzakallah ahsana wa afdolal jaza yaa Ustadz, kemudian bagaimana dengan bisikan yang ada di kepala bagian atas tengah, atas kanan, dan atas kiri saya Ustadz apakah itu termasuk bagian dari akal? Tentang pengartian Qolbu dalam pengertian sebenarnya adalah akal dan bukan hati, ana sudah membacanya sekilas di tafsir Al-Amtsalnya Ayatullah Al- Udzma Syaikh Nashir Makarim As-Syirazi.

Sinar Agama : Bisikan itu bukan pada kepala, tetapi pada ruh kita. Tuhan tidak mengatakan bahwa iblis akan mendatangi kepala bagian depan, belakang, kanan-kiri. Tetapi mengatakan bahwa akan mendatangi manusia dari arah-arah tersebut. Lihat QS: 7: 17:

ثُمَّ لَتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَ تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ

“Kemudian akan kudatangi mereka dari depan, belakang, samping kanan-kiri mereka, hingga Engkau tidak akan menemui kebanyakan mereka yang bersyukur”.

Dan yang dibisiki jin/iblis ini adalah ruh kita. Tentu saja tergantung apa yang akan dijejelkan kepada kita. Kalau tentang rasa-rasa dan perasaan, maka ia akan membisiki hati kita, dan kalau ilmu-ilmu menyesatkan akan membidik akal kita. Karena itulah saya sering mengatakan bahwa akal ini harus didasarkan pada dalil gamblang, bukan suka tidaknya, cenderung tidaknya kita, karena kalau kita sudah berusaha obyektif dan telah pula melihat argument yang kuat (tanpa pamrih) tetapi ternyata masih salah, Allah akan mengampuni kita. Tetapi kalau kita mengikuti suka tidaknya, yakni mengotori akal dan hati, maka kesalahannya tidak akan dimaafkanNya.

Ketahuilah bahwa agama ini diturunkan untuk manusia karena manusia punya akal, bukan hati. Karena binatang juga punya hati itu. Karena itu binatang juga menyayangi anaknya dan melindunginya. Tetapi mereka tidak dituruni syariat karena tidak memiliki akal.

Akal adalah kekuatan menyimpulkan universal dan menerapkan premis-premis universal kepada individunya, serta dapat mengembangkan info-info dan ilmu-ilmunya.


Tika Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin, Eman Sulaeman, dan 28 orang lainnya menyukai ini.


Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad. 

Eman Sulaeman: Allahumma Sholli ‘Ala Muhammad Wa Ali Muhammad. 

Matahari Senja: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad. 

Roni Tacconi: Istimewa.... Alafu, ijin share ya... 


16 Mei 2013 pukul 0:28 · Suka



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 24 Agustus 2018

Lensa (Bgn 27): Qada dan Qadar dalam pandangan Syiah dan Sunni



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 Juli 2011 pukul 15:39


Yustanur Jambak: Salam ustad, jumpa lagi... Saya berkesimpulan perbedaan yang mendasar antara shiah dan suni adalah tentang Qada dan Qadar .. bagai mana menurut pendapat ustad..?

Sinar Agama : Salam dan terimakasih pertanyaannya: Bukan disitu letak beda dasarnya, tetapi di imamah. Yaitu kemestian diteruskannya kepemimpinan setelah Nabi saww oleh orang maksum di ajaran Syi’ah, tetapi sebaliknya di Sunni. Kalau kita mau bicara isi, biar tentang Tuhan, juga banyak perbedaan. Misalnya Tuhan di pandangan sunni bisa dilihat dengan mata, baik di dunia (bagi sebagian shufi dan ahli thariqat) atau di surga (secara muttfakun ‘alaihi). Tetapi menurut syi’ah, Tuhan itu tidak akan pernah bisa dilihat dengan mata di alam manapun juga.

Nabi saww juga begitu, kalau di pandangan sunni (walau mungkin tidak semua) kemaksumannya hanya di waktu ketika beliau mengajar agama, tetapi dalam menjadi suami, pemimpin negara, pemimpin perang, waktu makan, tidur, kawin ...dan seterusnya tidak maksum. Tetapi di syi’ah harus maksum dalam segala hal. Karena semua hal itulah yang dijadikan hadits sebagai rukun ke dua setelah Qur'an untuk mengerti Islam.

Qur'an juga begitu. Menurut sunni disusun oleh selain Tuhan tetapi oleh tim yang dipimpin oleh Utsman (walau ada juga saudara sunni yang sama dengan syi’ah) dan Bismillaahnya tambahan (berarti ada tambahan 112 ayat dalam Qur'an). Tetapi kalau menurut syi’ah susuran ayat dan surat Qur'an jangankan Utsman, Nabi saww saja tidak boleh menyusunnya, tetapi harus Tuhan sendiri sebagaimana di QS: 75: 17, yang mengatakan: “Sesungguhnya hanya Kami yang berhak mengumpul dan membacakannya -Qur'an.”

Masih banyak perbedaan lainnya. Akan tetapi kesamaannya juga sudah tentu lebih banyak dari perbedaannya. Karena itu, kalau ingin tahu beda kedua ajaran ini (sudah tentu tidak sebanyak persa- maannya), bisa merujuk ke kitab yang berjudul “Ma’aalimi al-Madrasatain”, “Ajaran dua sekolah.”

Catatan: yang melakukan perpecahan di kalangan kaum muslimin, di saat Palestina, Iraq, Afghanistan, negara-negara Arab dan dunia Islam pada umumnya masih dalam jajahan militer, negara, politik, ekonomi dan sosial, oleh kafir-kafir barat yang bergandeng tangan dengan para wahhabi, adalah dosa besar yang taubatnyapun sulit diterima (kata Rahbar hf) karena akibat yang ditimbulkannya biasanya sulit untuk dihapus (kata Rahbar hf). Maksud kata-kata beliau hf ini adalah, menghapus akibat dosa kita di dunia, merupakan syarat diterimanya taubat. Misalnya kalau kita mencuri ayam tetangga, maka syarat diterimanya taubatnya adalah mengembalikan ayam itu ke tetangga yang dimaksud. Tetapi kalau taubat dari membuat perpecahan, dimana mungkin sudah terjadi jatuh korban, atau sehari saja bertambahnya umur penjajahan zionis di Palestina, dan semacamnya, maka akibat-akibat buruk itu tidak biasanya tidak mungkin bisa dihapuskan. Karena itulah maka taubat dari membuat perpecahan ini sulit diterima Tuhan. Memang, bagi pelakunya harus segera berhenti. Tetapi dosa yang telah lalu, hanya bisa diharapkan pengampunanNya, tetapi bisa dipastikan di dunia ini. 

Wassalam.


Yustanur Jambak : Terimakasih ustad, banyak hal yang belum saya ketahui tentang sunni apalagi shiah... menyimak dari uraian ustad di atas amat lah mustahil terciptanya persatuan antara keduanya, seperti yang sudah lama sekali diimpikan banyak orang. Bagaimana menurut pendapat ustad ..?

Sinar Agama: Yustanur: Apa arti persatuan buat antum? Apa sama pendapat? Itu mah ...satu namanya, bukan persatuan. Persatuan itu justru ketika berbeda.

Yustanur Jambak : Ha ha saya senang kalau ustad berfilsafat... Kembali ke pertanyaan saya, kapan islam mencapai kejayaan...

Sinar Agama : Kejayaan Islam sepertinya sudah mulai sejak berdirinya negara Islam di Iran yang seperti jaman Nabi saww yang mengayomi semua manusia, baik seagama atau tidak, semadzhab atau tidak, asal tidak memerangi Islam dan membuat kekacauan terhadap hukum Islam yang sudah disepakati bersama sebanyak 98 persen rakyatnya.

Kini negara-negara Arab sudah menggeliat, sudah sampai ke Maroko. Dan kata Rahbar hf, tuntutan keadilan ini akan menyeruak sampai ke Eropa. Karena itulah Obama sudah menyatakan perang cybery untuk menanggulanginya. Tetapi kita punya hati dan perasaan serta bukti di depan mata. Karena itu berhati-hatilah menghadapi perang cybery yang memang dimulai secara praktiknya beberapa tahun lalu. Karena mereka bisa memuat apa saja, termasuk foto pengkhianatan dari orang-orang yang setia. Menipu data dan memalsu berita tetapi nampak seperti benar-benar ada. Mengatasnamakan negara atau dubes atau apa saja bagi suatu negara tetapi tidak ada. Seperti kejadian kemarin di Suriah itu. Semua orang yang mengaku begini dan begitu di Suriah, dan dengan nama wanita, dan dianiaya, ternyata dia adalah lelaki Amerika yang ketahuan setelah itu, yakni agen-agen Amerika.

Pastinya, Tuhan telah berjanji dengan kemenangan internasional. Yakni ketika imam Mahdi as telah mengenalkan dirinya. Tanda-tanda itu walau kita tidak dapat pastikan, sudah bergulir, seperti revolusi Qom (Iran sekarang), kebangkitan Yaman dan lain-lainnya, semoga saja kiraan hati ini benar adanya.

Yustanur Jambak : Terimaksih ustad.. mohon diulas lagi pertanyaan saya, apakah sebab yang fundamental penyebab islam itu menjadi berjaya selain itu memang sudah dijanjikan Allah swt..? (dalam bentuk ikhtiar kalau bukan takdir) dalam pandangan sar'i ... maaf agak nyinyir he he he.

Sinar Agama : Sudah tentu ikhtiar donk, jadi hakikat janji itu adalah beritaNya. Kalau taqdir, buat apa dibanggakan Tuhan? Bukankah Tuhan dari dulu bisa memenangkan agamanya? Jadi, yang dimaksud dengan kemenangan akhir jaman adalah kemenangan hamba-hambaNya.

Jadi, dengan adanya kebangkitan menuntut keadilan di dunia yang mulai menyeruak di berbagai negara itu ... bisa dijadikan indikasi (walau tak pasti) bahwa umat dunia ini sudah semakin siap untuk menerima kedatangan imam Mahdi as.

Tika Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin, dan Roni Astar menyukai ini.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Kamis, 23 Agustus 2018

Shalat Ayat & Filsafatnya Dan Hukum Mengambil Berita Fikih dari Sinar Agama



Seri tanya jawab Ali Assegaf & Widodo dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, September 7, 2011 at 8:26 am



Ali Assegaf Dpd Jatim : Tanya : Mohon penjelasan awal waktu dan batas akhir waktu kewajiban- nya Solat ayat dalam shia dan apakah keterlambatan melakukannya tergolong orang yang melalaikan solat dan wajib menqadhaa’ solat ? Jika ada kelalaian - apa juga ada kaffarah yang harus dibayarkan. (tambah lagi mendapat jawaban dari facebook dengan seorang yang tak kita ketahui namanya seperti Sinar Agama bisa dijadikan hujjah sebagai orang yang tsiqoh dalam dien untuk di ambil kesaksiannya dalam mengikuti fatwa rahbar sah?)

Paidi Bergitar dan Agoest D. Irawan menyukai ini.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Shalat ayat adalah salah satu shalat yang diwajibkan dalam Islam dimana meninggalkannya atau melalaikannya adalah dosa besar, karena dosa meninggalkan shalat itu adalah dosa besar. Dan, shalat ayat adalah satu dari shalat-shalat wajib itu.

(2). Penyebab shalat ayat adalah: Gempa bumi, gerhana bulan, gerhana matahari, angin taupan dan petir dan lain-lainnya dari kejadian-kejadian alam yang umumnya menakutkan.

(3). Waktu shalat ayat yang disebabkan oleh gerhana bulan atau matahari, maka dimulai dari sejak gerhana dimulai sampai ke waktu menghilangnya. Misalnya, kalau gerhananya itu 100%, maka ketika ia mulai berkurang, katakanlah 1%, maka itulah akhir waktunya. Atau kalau gerhananya 80%, maka ketika mengurang menjadi 79% itulah akhir waktunya.

(4). Kalau shalat ayat karena hal-hal lainnya, seperti gempa bumi dan semacamnya, maka dimulai sejak kejadiannya sampai kapanpun. Jadi, kalaulah tidak menyegerakan diri, maka shalatnya tetap adaa-an, dan bukan Qodhoo-an.

(5). Mungkin lebih hati-hatinya, kalau shalat ayat yang disebabkan kedua gerhana itu, dilakukan di luar waktunya, maka diniatkan saja sebagai ”shalat yang ada dalam tanggungan”. Artinya, kalau adaa-an, maka adaa-an, tapi kalau qadaa-an, ma qadhaa-an. Dalam istilah fikih, niat seperti di atas itu (yakni tidak menentukan secara pasti adaa-an atau qadhaa-an-nya) disebut dengan “Maa fii al-dzimmati” atau “Qashdu al-Qurbati al-muthlaqati”.

(6). Menerima fatwa marja’ sudah diatur dalam semua kitab fikih mereka. Yaitu bisa dari 2 orang adil (tidak melakukan dosa besar dan kecil), atau 1 orang adil, atau dari orang yang jujur yang tidak mungkin berbohong (meyakinkan).

Karena itu yang diutamakan itu adalah sifatnya, bukan namanya, terutama di orang ke tiga di atas. Dan, nama, juga tidak harus nama KTP. Jadi, kalau ada nama di fb, lalu ia jujur hingga membuat hati menjadi tentram alias muthmain dan yakin akan kebenarannya, maka boleh dijadikan transferer bagi fatwa marja’ yang ditakdilinya.

Dan kalau belum yakin, maka tidak boleh mengambilnya. Tapi boleh menanyakan nukilan fatwanya. Karena itu, kalau si sinar agama ini, telah diyakini kejujurannya dalam menukil fatwa dan kebenarannya dalam memahmi fatwa, maka antum bisa mengambilmya.

Keyakinan seperti itu dapat dilihat dari tingkah lakunya di fb selama ini. Misalnya, kalau diminta menukilkan fatwanya bisa langsung memberikannya. Dan kalau berdalil tentang kepahamannya ia bisa membuktikannya dengan uraian yang logis yang diambil dari paduan- paduan fatwa marja’nya .....dan seterusnya.

Tapi kalau antum belum yakin, maka belum bisa mengambil dari sinar agama ini. Tapi antum bisa membuat diri antum yakin, dengan meminta padanya, misalnya nukilan-nukilanfatwa marja’ yang antum inginkan.

Tapi kalau antum juga tidak yakin dengan kejujurannya walaupun sudah menukilkan fatwanya, apapun alasannya, maka antum jelas tidak bisa mengambil dari sinar agama ini.

Ali Assegaf Dpd Jatim: Wkwkwk -- Ihwan seluruh FB -- Saksikan Ali Assegaf -- telah mengambil saksi bagi dirinya untuk fatwa rahbar dari Sinar agama ini -- Syukron, insya Allah ana akan teruskan pertanyaan-pertanyaan ini -- agar dapat berfungsinya Sinar Agama dalam melayani Ummat.

Sinar Agama: Ahlan wa sahlan, terimakasih atas baik sangka antum, semoga diwujudkanNya untukku hingga alfakir ini bisa menjadi orang yang amanat dalam menyampaikan agamaNya. Walaupun antum agak lambat beberapa bulan dalam hal ini, sungguh-sungguh tidak masalah bagi ana, karena kita baru saja saling berkenalan.

Karena teman-teman antum yang lain, sudah menjalin hubungan persaudaraan dan kajian serta diskusi ini, sudah lama sekali. Dan masalahnya juga tidak terikat di fikih saja, bisa Kalam, filsafat, irfan dan semacamnya. Ana benar-benar membuka pintu fb alfakir ini untuk antum sebesar- besarnya seperti kepada yang lainnya. Sekali lagi ahlan wa sahlan.

Ali Assegaf Dpd Jatim, Tanya : Mohon penjelasan -- cara melakukan solat ayat. Berapa rokaat dan surat yang disyaratkan di dalamnya. (informasi gempa di Aceh Singkil apa bagian dari kewajiban solat ayat ini ? -- mohon kejelasan, apa kewajiabn solat ayat itu oleh sebab gempa itu jika terjadi dalam 1 negeri (maka semua penduduk negri tersebut, baik yang sedang di dalam negeri atau di luar negeri saat kejadian) - atau diukur dalam jarak ( seperti Malaysia lebih dekat dari Aceh juga berkewajiban) atau diukur dalam sampainya berita ? (tak dibatasi kejadiannya). Aditya Budi Setyawan menyukai ini.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:
Seingat saya, alfakir sudah merincikan shalat ayat ini di catatan-catatan sebelumnya.

(1). Yang terkena kewajiban shalat ayat ini hanyalah daerah yang terkena gempa, gerhana dan semacamnya itu. Jadi, tidak mesti meliputi satu negeri.

(2). Cara shalatnya:

a. Jumlahnya 2 rokaat dan salam.

b. Pada masing-masing rokaatnya melakukan lima kali ruku’ dengan diselingi masing-masing- nya dengan membaca alfatihah dan surat.

c. Setelah melakukan ruku’ ke lima, maka kembali tegak dan mengucap takbir untuk ke sujud.

d. Rokaat ke dua juga demikian. Dan membaca qunut (sunnah) sebelum rukuknya yang ke lima di rokaat ke duanya ini (yakni rukuk’ ke 10 dari semuanya).

Cara pendek:

Setelah membaca alfatihah dan berniat membaca surat terntentu (ingat di setiap shalat, niat membaca surat tertentu ini wajib dilakukan sebelum membaca Bismillaahnya. Jadi, niat pilih surat, baru memulai membaca Bismillaah), maka jangan baca seluruhnya. Tapi baca satu ayatnya saja, yakni Bismillaahnya saja. Lalu pergi ruku’. Setelah bangun, tidak perlu membaca alfatihah lagi, dan tinggal meneruskan ayat ke dua dari surat yang dipilih itu. Lalu pergi ruku’. Begitu seterusnya sampai selesai dari ruku’ ke empat. Setelah itu tinggal meneruskan ayatnya dari surat yang dipilih itu (tanpa alfatihah tentunya) sampai ke akhir surat. Lalu melakukan ruku’ ke lima. Setelah ruku’ ke lima, tegak kembali (i’tidaal), lalu pergi ke sujud.

Dengan cara pendek ini, maka alfatihannya hanya dua kali dan begitu pula suratnya setelah alfatihah itu. Kalau memilih surat setelah alfatihah itu yang berjumlah ayat lima ayat, seperti surat tauhid (Qul huwallaahu ahad), maka pada masing-masing bacaan ayat sebelum rukuk, maka cukup satu ayat saja. Tapi kalau memilih surat yang lebih dari lima ayat, maka dalam satu atau dua pembacaannya sebelum ruku’ harus membacanya dua atau beberapa ayat tergantung panjang pendeknya surat. Tapi kalau ingin mudah, baca saja terusannya itu di akhir bacaan sebelum ruku’ ke lima. Misalnya, suratnya terdiri dari sepuluh ayat. Setelah ruku’ ke empat, maka tinggal 6 ayat yang belum terbaca. Karena itu, 6 ayat tersebut dibaca pada bacaan terakhir sebelum ruku’ ke lima tersebut.

Peringatan untuk cara pendek:

Baik suratnya yang dipilih itu 5 ayat atau lebih, tapi kalau pembacaannya kelewatan dari satu ayat hingga membuat suratnya habis sebelum ruku’ ke empat atau sebelumnya, maka bacaan suratnya tidak boleh mundur dan/atau digagalin. Jadi, harus diteruskan. Dan ketika suratnya habis di sebelum ruku’ ke empat atau bahkan sebelumnya, maka ketika sudah berdiri tegak dari sujudnya, harus membaca alfatihah lagi dan membaca satu surat lagi seperti semula. Yakni bisa dibaca habis atau dicicil juga. Yang jelas, sebelum ruku’ ke lima, bacaan surat tersebut harus habis sampai pada akhir ayatnya.

Yang Taqlid/taqlid Rahbar hf:

Pada shalat apa saja tidak mesti meniatkan dulu untuk membaca surat tertentu sebelum memulai membaca Bismillaah. Jadi, bisa saja membaca bismillaah .... dan baru berniat membaca surat tertentu sebelum kemudian membacanya. Ini yang pertama. Yang ke dua, bacaan bismillaah pada setiap surat, tidak bisa dihitung sebagai ayat pertama. Jadi, kalau mau membaca surat yang dipecah-pecah pada shalat ayat, maka bismillaah-nya tidak bisa dihitung sebagai ayat pertama. Artinya, sekalipun bismillaah itu adalah ayat pertama, akan tetapi dalam penghitungan ayat pada shalat ayat tersebut, tidak cukup dihitung sebagai ayat pertama. Karena itu mesti diteruskan dulu pada ayat berikutnya.

Widodo Abu Zaki: Salam ustadz, berkenaan dengan gerhana baik bulan maupun matahari, juga dengan banyaknya bencana. Apa hikmah dan falsafahnya shalat ayat yang wajib? Dan sejauhmana kewajiban itu, apakah hanya yang berdampak saja? Makasih ustadz.

Sinar Agama: Salam dan trim pertanyaannya:

1. Kewajiban shalat ayat itu adalah dikala alam mengalami kejadian yang pada umumnya menakutkan. Seperti gempa bumi, gerhana, taufan, tsunami ...dan seterusnya.

2. Saya tidak tahu apa falsafahnya yang pasti. Karena yang tahu adalah yang membuat syariat (Allah swt). Akan tetapi karena memerintahkan kita untuk merenungi apa saja, maka kita bisa merenungi hukum-hukumNya asal tidak memastikannya.

3. Kalau kita lihat nama shalatnya, yaitu shalat ayat, artinya tanda-tanda dan dalil-dalil, maka mungkin maksud shalat ayat adalah shalat yang menyangkut dengan dalil-dalil Tuhan atau ayat-ayat Tuhan, alias tanda-tanda Kebesaran Tuhan.

4. Kalau kita beranjak dari Kebesaran Tuhan itu, maka lawannya adalah kerendahan dan ketidak berartian. Yakni ketidak berartian kita manusia dan siapa/apa saja.

5. Dengan beberapa point di atas itu dapat diperkirakan bahwa falsafah shalat ayat adalah menyambut keAgunganNya. Karena itu sudah semestinya kita merendahkan diri yang memang rendah ini. Artinya mengakui keAgunganNya dan kekecilan diri kita.

6. Artinya, Tuhan ingin kita ini selalu merasa dan meyakini kekecilan dan ketidak berartiannya di setiap saat dengan mengingatkannya melalui ayat-ayat alam tersebut. Karenanya hiduplah, melangkahlah, berbicaralah, berkegiatanlah, beraktifislah, berceramahlah, menulislah...dan seterusnya dengan keyakinan diri sebagai budak tak berarti.

7. Ketika semua sudah dilakukan dengan keyakian kecil itu, maka harus taat penuh dengan semua peraturan dan hukum-hukumNya. Artinya lakukan semua aspek kehidupan itu di bawah naungan fikihNya. 

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Doa, Ikhtiar, Tawassul, Syafaat dan Berkah



Seri tanya jawab: Bintang Ali dan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, June 21, 2011 at 12:49 pm 




Bintang Ali : Salam ustad, semoga ustadz diberi kelapangan dan ridhoNya beserta keluarga ustad.. Stad, apa relasinya antara ihktiyar dan doa? Apakah ikhtiyar seseorang bisa di dilancarkan/ digagalkan dengan doa? Apakah Ikhtiyar dan doa itu sejajar? Gimana menjelaskan ikhtiyar orang non muslim padahal dia tidak berdoa kepada Allah? Mohon penjelasannya stad.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Saya sudah pernah merinci ini, tapi entah dimana. Sekali lagi kalau si Anggelia aktif, maka mungkin bisa ditanyakan ke dia. Tapi sayang dia sepertinya sudah tidak aktif lagi dan membuatku juga kehilangannya.

(2). Tidak ada yang sulit untuk mengerti doa dan ikhtiar. Karena doa itu bagian dari ihkhtiar itu sendiri.

(3). Pada prinsipnya kan kita sebagai orang Syi’ah tidak meyakini adanya takdir Tuhan yang bermakna penasiban manusia. Karena dalam Islam ajaran seperti itu tidak ada dan adanya hanya dalam agama-agama seperti Kristen, Yahudi atau Hindu. Karena itu, semua yang akan menyangkut manusia, yakni tentang seluk beluk kehidupannya, akan ditentukan oleh ikhtiarnya.

(4). Akan tetapi ikhtiar manusia ini, tidak mansidi hingga menjadi penentu satu-satunya terjadinya perbuatan manusia. Karena itu ada ikhtiar ke dua di balik ikhtiar pertama. Misalnya kita sudah tidur sebelum setir mobil supaya tidak tidur di mobil. Ini adalah ikhtiar pertama.

Tapi di tengah jalan ternyata kita tabrakan, karena sopir lain dalam ikhtiarnya tidak memilih tidur hingga ia menabrak kita. Nah, dalam peristiwa ini, ikhtiar pertama kita sudah benar, yaitu istirahat yang cukup. Tapi apakah tabrakan ini tidak menyangkut ikhtiar kita hingga kita kembalikan ia kepada ketentuan Tuhan? Tidak sama sekali. Karena kita ketika memilih menyetir mobil, sekalipun kita sudah tidur dengan cukup, tetap saja akal kita mengatakan bahwa tetap sangat mungkin terjadi tabrakan dengan sopir lain yang tidur dan menabrak kita. Akan tetapi kita terus saja memilih turun ke jalan dan menyetir mobil sambil berkata ”itu sudah resiko”. Nah, tetapnya kita turun ke jalan itulah yang disebut dengan ikhtiar ke dua. Yakni kita tidak ingin secara perasaaan untuk tabrakan, tapi karena tetap turun ke jalan, maka secara filosofis berarti kita menginginkannya yang, kemudian kita katakan resiko.

(5). Sebelum kuteruskan, barangkali perlu sekali antum merujuk ke catatanku yang berjudul “Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah.” bagian ke 2-a dan 2-b.

(6). Doa adalah bagian dari ikhtiar kita. Terutama kita dalam memilih masing-masing ikhtiar kita, diselimuti dengan jutaan ikhtiar orang lain (seperti sopir lain yang ketiduran itu) atau diselimuti jutaan hukum alam (seperti berlayar mencari ikan dengan pikiran tidak akan ada gelombang karena cerah). Nah, dalam masing-masing ikhtiar kita diselimuti dengan jutaan ikhtiar orang lain atau hukum-hukum alam. Karena itulah dikatakan bahwa manusia itu lemah dan tiada berdaya.

Dalam keadaan seperti itulah maka manusia berdoa kepada Allah, agar seandainya ikhti- arnya yang dikira baik itu ternyata tidak baik dan menjurus kepada kecelakaan, dapat dihindarkan olehNya. Dan apapaun yang akan dilakukan Tuhan, karena doa kita itu, maka ia bagian dari ikhtiar kita tsb. Tentu saja doa yang maqbul dan diterima. Misalnya, ketika sudah tidur cukup, lalu ketika keluar rumah berdoa kepada Allah untuk diselamatkan sampai tujuan, maka kalau doa kita itu qabul, bisa saja Tuhan memberikan sedikit energi kepada sopir yang akan ketiduran manakala ia akan salipan dengan kita di jalan itu. Atau Tuhan memberikannya ilham dan rasa takut hingga ia berhenti di pinggir jalan dan tidur sejenak. Atau membuat bayinya di rumahnya nangis-nangis terus hingga ia -calon sopir yang akan menabrak kita itu- tidak jadi keluar rumah dan menyetir dalam keadan mengantuk tsb. Jadi berbagai cara dan sejuta cara untuk mengadakan pencegahan.

Itulah mengapa orang shalih bisa mensyafaati orang lain, walau masih di dunia ini, walau tidak dimintanya. Seperti contoh di atas itu. Sopir ke dua yang nekad itu, menjadi selamat karena doa orang pertama terhadap dirinya sendiri. Tapi berkah doanya untuk dirinya itu bisa menyelimuti sopir ke dua tersebut.

Karena itu tidak heran manakala malaikat pencabut nyawa kebingungan dikala mau mencabut wali-wali Tuhan. Karena kalau tidak dicabut, tidak akan bertambah dekat dengan Tuhannya dan menunda pertemuannya. Tapi kalau dicabut, berkahnya akan hilang di dunia ini.

(7). Tentu saja tidak ada doa yang ditolak oleh Allah swt. Karena Dia sendiri sudah berjanji di dalam Qur'an untuk menerima doa kita dan Dia pasti akan memenuhi janjiNya. Dalam QS: 40: 60, Tuhan berfirman:

”Dan Tuhan kalian berkata: ’Mintalah kepadaku niscaya Aku pasti mengabulkannya!’”

Di sini Tuhan tidak memberikan syarat-syarat apapun untuk pengqabulan doa tersebut.

Akan tetapi karena pengqabulanNya, sesuai dengan sifat-sifatNya seperti Bijaksana, Kasih dan semacamanya, maka tidak mesti berupa apa yang kita minta kepadaNya. Misalnya kita minta mobil, tapi kalau Ia tahu mobil itu akan membuat kita celaka dunia-akhirat, maka bisa saja, sekali lagi, bisa saja, Dia tidak akan memberikannya. Tapi sudah tentu akan memberikan atau menggantikan dengan yang lainnya, seperti pahala, pangampunan dosa, sawah atau rumah dan semacamnya.

(8). Karena itu maka tawassul dan perbuatan-perbuatan baik lainnya, yang yang dianjurkan oleh agama untuk dilakukan sebelum berdoa demi membuat doa menjadi istijabah/diterima, adalah untuk mengistijabahkan yang didoakannya, bukan doa itu sendiri. Seperti minta mobil pada contoh di atas. Artinya, tawassul, shalawat, sedekah, wudhu, shalat sunnah, menangis ...dan seterusnya itu adalah mukaddimah doa hingga doanya diterima sesuai yang diminta (seperti mobil dalam contoh di atas) dengan tanpa adanya resiko dan efek-efek sampingannya.

Jadi, kalaulah kita banyak dosa dimana doa kita itu tidak mustajab dalam bentuk yang diminta dan digunakan oleh Tuhan untuk menghapus dosa kita sebagai pengabulanNya, maka dengan mukaddimah-mukaddimah doa tadi, dosa kita sudah terhapus hingga doa minta mobil itu tidak lagi ada halangannya. Atau kalau minta mobil itu memiliki resiko, maka mukaddimah-mukaddimah itu diharapkan bisa menghilangkan resikonya.

(9). Untuk orang-orang kafir, maka biasanya mereka akan lebih lancar dalam masalah-masalah dunianya. Karena pemberian-pemberian Tuhan itu dimaksudkan mengingatkannya akan kepapaan mereka. Artinya, mereka bukanlah orang yang dipilihkasih-i olehNya dalam pemberian. Hal itu karena memang kelas mereka di situ saja. Yakni bahwa Allah tidak menghambatirikan mereka dari kaum beriman. Jadi, mereka akan teruji dengan pemberian- pemberian itu dan tidak lebih. Dan bagi kafirin yang doanya dan hajat-hajatnya tidak terpenuhi, maka dimaksudkan supaya sadar akan kelemahannya dan mengimani yang Maha segala-galanya sebelum kemudian menaatiNya.

Akan tetapi muslimin, yakni telah menerimaNya, maka mereka berarti siap untuk diuji dengan ujian-ujian lainnya. Karena itu, maka muslimin bisa sangat lebih menderita dan menghadapi ujian yang bertubi-tubi. Tentu saja tidak semua musibah itu dariNya. Karena bisa saja dari kesalahan kita sendiri dalam memilih ikhtiar yang salah, seperti menyetir dalam keadaan ngantuk itu.

Nah, kalau ada musibah yang memang dari Tuhan, seperti banjir yang bukan karena sampah di sungai dan bukan karena penebangan hutan, dan lain-lain sabab yang bersumber dari tangan manusia, maka hal itu disebabkan karena Tuhan ingin menaikkan derajat kita. Persis seperti kelas di sekolah yang mana kalau kelas bawah ingin naik ke kelas atas harus menghadapi ujian terlebih dahulu.

Nah, muslimin itu adalah orang-orang yang mendaftar ke kelas-kelas itu dan mendaftar untuk diuji. Sementara orang-orang kafir ibarat orang yang tidak sekolah dan tidak mendaftar untuk diuji. Jadi sudah pasti ujian muslimin akan jauh lebih besar dari kafirin.

Jadi, seorang muslim yang ada sedikit iri dan cemburu dengan kekayaan kafir, biasanya disebabkan ketidak mengertiannya tentang hal ini. Sudah tentu kalau muslim dan kafirnya di sini sudah selevel. Artinya dalam kecerdasan, usaha dan ikhtiar-ikhtiarnya. Misalanya sama hebat dalam berbisnis dan menentukan moment serta menentukan partner. Tapi kalau muslimnya bahlol (maaf), ya .... karena memang keburukan ikhtiarnya yang malas belajar ilmu (bisnis misalnya) dan malas berusaha gigih. Jadi, dalam konsidi seperti ini, irinya dia itu benar tidak pada tempatnya. Tapi kalau sama-sama hebat, tapi yang muslim tidak berhasil tapi yang kafir berhasil, maka bisa saja karena ia telah mendaftar untuk menjadi murid yang akan diujiNya, dan, sudah tentu si muslim tadi sedang menumpuk pahala dan keberhasilan akhiratnya dalam tanpakan ketidak berhasilannya di dunianya.

Misalnya, ia tidak korupsi untuk cepat berhasil. Ia juga tidak menyoigok untuk berhasil. Ia tidak menipu orang dalm bisnis hingga tidak menjaul barang kecuali yang baik. Ia sangat cinta dengan hukum Tuhan walau ia akan mengalami ketidak berhasilan. Nah, di sini ia bisa tidak berhasil di dunia, tapi ia di Mata Tuhan, di dunia ini justru telah berhasil. Karena di MataNya, berhasil di dunia itu bukan kaya, tapi beramal sesuai dengan nilai-nilaiNya.

Penutup: Fiddun-ya hasanah (di dunia mendapat kebaikan), bukan berarti dapat harta, sehat badan, dan ketentraman. Akan tetapi menjalani hidup sesuai dengan kemauanNya yang telah dituangkan dalam syariatNya (akidah dan fikih). Wassalam.


Bintang Ali: Syukran stadz..sangat memuaskan,,hehe.

Bande Huseini: Syukron..telah menambah keyakinanku.

Maryam Bunda Isa Almasih: Iya Ustad, dengan memahami bahwa kita dalam posisi Di Uji, meringankan beban kita. Terima kasih Pencerahannya.

Aufa Opa: Maaf ustad.. Mau tanya tentang ayat yang mengisaratkan dan menunjukkan bahwa Allah telah merıdhoı sahabat (al-fath : 19) dımana jelas Allah berfırman bahwa DIA telah meredhoı mereka yang berbaiat ”tahtasy syajarah”... Dimana dalam ayat tersebut termasuk Abu Bakar, Umar dal lain-lain,, benarkah, atau bagaimana ??? Mohon penjelasannya ustad,,,

Sinar Agama: Aufa,:

(1). Bukan ayat itu yang biasa dijadikan dalil tentang keridhaan Tuhan pada shahabat, tapi surat Taubah ayat 100 yang berbunyi: ”Dan orang-orang terdahulu dari muhajrin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah meridhai mereka dan mereka juga meridhaiNya. Dan Allah menjanjikan kepada mereka surga-surga yang mengalir sungai di bawahnya. Mereka kekal abadi di dalamnya. itulah kemenangan yang agung.”

(2). Sebagian muslimin dengan ayat tersebut, terus mengunci mati apapun yang bisa membuat para shahabat itu bisa celaka. Artinya, ayat tersebut sudah harga mati dan tidak bisa diganggu gugat. Yakni bahwa semua shahabat itu dan siapapun yang mengikuti mereka akan mendapat kemenangan agung itu (surga).

(3). Padahal, kalau kita merujuk ke berbagai tafsir dan ayat-ayat lainnya, maka hal seperti itu tidak ada dalam Islam. Karena itu siapa saja yang shalih diantara shahabat itu, maka dialah yang akan masuk surga.

(4). Bukti yang sangat nyata adalah, bahwa para shahabat itu saling berperang dan membunuh sampai-sampai di perang Jamal saja (perang antra imam Ali as dan ‘Aisyah) jatuh korban 7000 orang yang setidaknya bisa diperkirakan bahwa separuh mereka adalah shahabat. Belum lagi peperangan di jaman Abu Bakar dimana sampai jenderalnya yang bernama Khalid bin Walid bahkan membakar hidup-hidup beberapa shahabat di depan umum.

Lihat sejarah Sunni tentang korban yang terbunuh di Perang Jamal, antara Imam Ali as dan ‘Aisyah:

Muruuju al-Dzahab, Al-Ma’uudii, 2/367, menyatakan ada 20.000 korban. Al-Muntazhim, Ibnu Jauzii, 2/99, menyatakan ada 10.000 korban.

Taariikh Thabari, Thabarii, 5/542-555, menyatakan ada 15.000 korban. Taariikh Khaliifah, Bin Khiyaath, menyatakan ada lebih dari 6.000 korban.

Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 7/546 dan Fathu al-Baarii, 13/62, menyatakan ada 32.000 korban.

Catatan: Keterangan pertama, ke tiga, ke empat dan ke lima, diambil dari kitab Siiratu Amiiru al-Mukminiin Ali bin Abi Thalib, karya Ali Muhammad Muhammad al-Shulaabii, dicetak pertama kali tahun 2005. Tentu saja, penulisnya hanya menukil sebelum menolaknya dengan hitung-hitungan khayalnya dan tanpa melalui data sejarah. Untuk keterangan ke dua, saya ambil sendiri dari kitab yang telah disebutkan di atas itu.

(5). Baiklah, biarkan dulu hal pahit di masa lalu itu. Walaupun ia bagus dibahas secara ilmiah karena bisa melahirkan segala macam persepsi terhadap Islam sekarang yang kita pahami ini. Bayangin saja, orang Syi’ah dikafirin hanya karena kritis walau terhadap shahabat, padahal.. para shahabat itu bukan hanya mengkritisi satu sama lain, akan tetapi saling mengafirkan dan saling bunuh dan banyak kali peperangan yang dilakukan diantara mereka sendiri. Nah, kalau mengkritisi saja kafir, atau anggap deh mengecam shahabat itu kafir, lah ... bagaimana dengan yang mengafirkan dan membunuh shahabat?

(6). Kembali kepada masalah ayat di atas itu (Taubah:100), maka sebenarnya masalahnya sangat mudah, asal dada ini dikosongkan dulu dari doktrin yang diatasnamakan Islam itu.

(7). Study gampangannya, baca saja terus ayat berikutnya. Nih kalau ditulis lengkap seperti ini:

”Dan orang-orang terdahulu dari muhajrin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah meridhai mereka dan mereka juga meridhaiNya. Dan Allah menjanjikan kepada mereka surga-surga yang mengalir sungai di bawahnya. Mereka kekal abadi di dalamnya. itulah kemenangan yang agung.”

”Dan di sekitar kalian dari orang-orang pinggiran (desa) terdapat orang-orang munafik. Dan bahkan orang-orang yang ada di kota, mereka keterlaluan dalam kemunafikan. Kalian tidak bisa mengenali mereka, tapi Kami mengenali mereka. Kami akan mengazab mereka dua kali sebelum Kami ceburkan mereka ke dalam azab yang agung.”

”Dan sebagian mereka telah mengakui bahwa mereka mencampur perbuatan baik dan buruk. Semoga saja Allah kembali kepada mereka dan mengampuni mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Kasih.”

”Ambillah sebagian harta mereka sebagai sedekah (seperti zakat) untuk membersihkan dan mensucikan meraka. Dan berterimakasihlah dan berdoalah untuk mereka karena hal itu menenangkan hati mereka. Dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”

”Apakah mereka tidak tahu bahwa Allah itu menerima taubat dan menerima sedekah, dan bahwasannya Allah itu Maha Penerima taubat?”

”Dan katakan -Muhammad: ’Berbuatlah kalian sesuka hati kalian, karena sesungguhnya Allah, Rasul saww dan orang-orang mukmin (sejati) akan melihat perbuatan kalian itu, dan kemudian kalian akan dikembalikan ke alam ghaib dan syahadah (akhirat) lalu dikabarkan kepada kalian apa-apa yang telah kalian lakukan.”

”Dan sebagian mereka, urusannya, diserahkan kepada Allah, apakah akan mengazab mereka atau mengampuni mereka. Dan sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui dan Bijaksana.”

(8). Kalau kita baca terus ayat 100 itu sampai dengan 106, maka jelas bahwa keridhaan yang dimaksud Tuhan itu mestilah memiliki kondisi. Artinya tidak mutlak. Yakni baik kondisi orangnya atau perbuatan yang telah membuat ridha Tuhan itu. Kalau melihat orangnya, banyak mufassir yang menafsirkan bahwa mereka itu adalah Muhajirin dan Anshar yang melakukan baiat Ridwan. Ada lagi yang juga tafsir Sunni, yang mengatakan bhw mereka itu adalah Muhajirin dan Anshar yang shalat di dua kiblat. Jadi tidak semua Muhajarin dan Anshar.

(9). Kemudian ayat 100 itu sendiri telah menerangkan perbuatan yang membuat Allah ridha, baik baiat atau shalat bersama Nabi saww itu. Yaitu ”kebaikan”. Baik ditafsirkan dengan ”mengikuti mereka dengan baik”, atau ditafsirkan dengan ”mengikuti kebaikan mereka”. Artinya, kalau ditafsirkan dengan yang pertama ini, maka ayatnya akan berbunyi bahwa:

”Tuhan ridha kepada Muhajirin dan Anshar KARENA TELAH MELAKUKAN KEBAIKAN BERUPA PERJUANGAN DAN BAIAT SAMPAI PADA BAIAT RIDWAN ATAU TABAH BERJUANG DENGAN NABI SAMPAI KEPADA BERUBAHNYA KIBLAT, dan yang mengikuti mereka dengan baik DALAM KEBAIKANNYA ITU.”

Atau kalau dengan makna ke duanya, akan bermakna seperti ini:

”Tuhan telah ridha kepada Muhajirin dan Anshar karena telah melakukan kebaikan berupa perjuangan dan baiat sampai pada baiat Ridwan dan/atau sampai pada berubahnya kiblat, DAN ORANG-ORANG YANG MENGIKUTI KEBAIKAN MEREKA.”

Kalau kita lihat kedua makna itu, maka tekanan ridha Tuhan itu pada perbuatan baik, seperti Islam, iman, berjuang, tabah, baiat dan semacamnya. Jadi, ia adalah keridhaan yg(yang) bergantung kepada sesuatu, yaitu kebaikan dan perbuatan baik. Jadi tidak mutlak keridhaan tanpa melihat apapaun. Dan kalau kita memutlakkannya maka kita telah menjadikan Tuhan bebas nilai dan syariatNya ini adalah palsu. Bukankah Tuhan mengatakan siapa berbuat kebaikan akan mendapat pahala dan yang berbuat jelek mendapat dosa? Nah, kalau keridhaan ini dimutlakkan, yakni semua shahabat diridhai, tanpa alasan apapun, maka berarti ajaran Islam yang berdasar pada keadilan balasan itu, menjadi roboh sampai ke akar- akarnya. Dan tidak ada satu orang Sunnipun yang akan berkata seperti itu.

Jadi keridhaan Tuhan itu, walau pada shahabat, adalah karena kebaikan dan ketaatannya. Tidak lain dan tidak bukan.

(10). Sekarang, kalau keridhaan Tuhan itu karena kebaikan, dan memang seperti itu, maka pertanyaannya, bagaimana kalau kebaikan itu berubah jadi keburukan, atau dicampur dengan keburukan? Jawabnya jelas akan keluar dari keridhaan pertama ini. Karena itulah kalau ayat 100 itu diteruskan maka akan terlihat dengan nyata, bhw diantara mereka itu terdapat orang-orang munafik dan bahkan dikatakan bahwa mereka keterlaluan dalam kemunafikannya itu. Yakni sebegitu rupa mereka dapat menyembunyikan kemunafikan mereka hingga SEMUA MUSLIMIN DAPAT DITIPUNYA KECUALI ALLAH. Karena itulah Alllah mengatakan bahwa ”kalian tidak mengetahui mereka tapi Kami mengetahui mereka”. Ini karena kehebatan mereka dalam menyembunyikan kemunafikan mereka sampai-sampai TAK SEORANGPUN DARI KAUM MUSLIMIN YANG MENGETAHUI MEREKA.

(11). Dengan keterangan poin 10 dapat diketahui bahwa munafikin keluar dari keridhaan Tuhan ini. Jadi tidak semua shahabat diridhai.

(12). Kalau diteruskan lagi ayatnya, maka kedapatan bahwa sebagian mereka (shahabat) ini telah mencampur taat dengan maksiat. Nah, golongan ini sudah jelas keluar dari ridha dan janji Tuhan di atas. Urusan mereka ini nanti terserah kepada mereka atau terserah kepada Tuhan. Yang jelas Tuhan merangsang mereka untuk taubat, tapi siapa yang taubat dan siapa yang tidak, hanya Tuhan yang tahu. Artinya, dengan ini kita tidak bisa mengatakan bahwa semua shahabat diridhai dan dijanjikan surga.

(13). Kalau diterusin lagi ayatnya, maka Tuhan menyuruh Nabi untuk mengambil sedekah (zakat) dari mereka untuk mensucikan mereka dari dosa-dosa mereka. Di sini juga bisa dipahami bahwa ridha dan janji Tuhan itu, masih harus diteruskan dengan perbuatan baik lainnya dari sekedar Islam, iman , berjuang ...dan seterusnya yang sampai ke masa pergantian Kiblat atau baiat ridhwan. Artinya, terlihat sekali bahwa ridha dan janji itu sangat bisa berubah. Yakni kalau tidak bayar zakat dan semacamnya. Kalau dalam bahasa ilmiah keridhaan dan janji di ayat 100 itu masih Muta’alliq, yakni berkondisi dan bergantung. Yaitu bergantung kepada ketaatan-ketaatan yang lain seperti zakat ini. Jadi, walau sudah diridhai sampai pada waktu itu, akan tetapi tidak bayar zakat, maka dosa mereka tidak bersih dan akan masuk neraka.

(14). Ketika zakat dapat mengeluarkan mereka dari ridha dan janji surga itu, maka ibadah-ibadah lainnya juga demikian. Seperti shalat, puasa, murtad ...dan seterusnya. Artinya, KERIDHAAN DAN JANJI ITU TIDAK BAKU DAN BISA BERUBAH KAPAN SAJA.

(15). Dan kita dengan melihat sejarah dan banyaknya pertempuran diantara shahabat dengan shahabat dapat dipastikan bahwa keadaan mereka sudah berubah. Dan betapa agungnya perubahan mereka. Karena bukan hanya tidak shalat dan tidak bayar zakat, tapi bahkan saling mengafirkan dan saling bunuh dan bahkan membakar hidup-hidup mereka.

(15). Ketika sudah kita yakini terjadi perubahan itu, MAKA SUDAH SELAYAKNYA BAGI KITA UNTUK MENYELEKSI MEREKA-MEREKA ITU HINGGA MENGIKUTI YANG BAIK -bi ihsaan- DAN MENINGGALKAN YANG TIDAK BAIK -berubah.

(16). Terakir dari ayat di atas adalah, kalau diterusin lagi, maka kita akan melihat dengan jelas ANCAMAN TUHAN PADA PARA SHAHABAT ITU, dengan firmanNya:

”Dan katakan -Muhammad: ’Berbuatlah kalian sesuka hati kalian, karena sesungguhnya Allah, Rasul dan orang-orang mukmin (sejati) akan melihat perbuatan kalian itu, dan kemudian kalian akan dikembalikan ke alam ghaib dan syahadah (akhirat) lalu dikabarkan kepada kalian apa-apa yang telah kalian lakukan.”

Di sini jelas bahwa Tuhan mengancam para shahabat Nabi saww bahwa siapa saja yang akan berubah dan/atau berbuat kejahatan, maka Tuhan akan mengazabnya.

(17). Kalau kita hubungankan dengan ayat lain di surat lain seperti: di surat Fath ayat 10 yang berbunyi:

”Sesungguhnya yang berbaiat padamu -Muhammad- adalah berbaiat pada Allah, maka barangsiapa yang mengkhianati baiatnya setelah itu, maka ia telah mengkhianati dirinya sendiri, dan yang setia maka Allah akan mengganjarnya dengan pahala yang besar.”, maka jelas akan terlihat, bahwa siapaun yang beriman dan Islam serta berjuang di jaman Nabi saww sampai pada baiat Ridhwan atau berubahnya Kiblat itu, memiliki dua kemungkinan. Artinya bisa tetap setia dan bisa saja berkhianat.

Yang setia pada iman, Islam, Tuhan dan Nabi saww sampai akhir hayatnya, maka merekalah yg telah diridhai dan dijanjikan surga oleh Tuhan tanpa mengalami perubahan.

Yang tidak setia dan khianat pada iman, Islam, Tuhan dan Nabi saww, setelah itu, maka mereka yang telah diridhai dan dijanjikan surga oleh Tuhan, tapi sudah mengalami perubahan. Artinya ridha dan janji Tuhan itu berubah menjadi murka dan neraka, dikarenakan perubahan mereka sendiri.

Dan sudah tentu, dengan adanya berbagai perang dan pengkafiran, pembunuhan serta pembakaran diantara mereka, maka sudah jelas telah terjadi perubahan.

Terakhir: Kalau digabung dengan ayat lain seperti QS: 47: 38, yang berbunyi:

”.... dan kalau kalian -shahabat- berubah, maka Allah akan mengganti kalian dengan umat yang lain, DAN MEREKA TIDAKLAH SEPERTI KALIAN.”

Lihatlah ayat ini dengan seksama.

Pertama: ia mengatakah ”Kalau kalian berubah”. Maka ini jelas menggambarkan bahwa mereka sangat mungkin berubah.

Ke dua: ayat ini, walaupun terlihat hanya menggambarkan akan bisanya terjadi perubahan, akan tetapi kalau direnung-renung, seperti memang mengabarkan akan terjadinya peru- bahan itu. Karena itulah Tuhan mengatakan akan mengganti kalian dengan umat lain YANG TIDAK SEPERTI KALIAN.

Ke tiga: Tuhan dalam ayat ini benar-benar memburukkan shahabat itu karena telah mengatakan DAN MEREKA TIDAK SEPERTI KALIAN. Artinya, apakah memang akan terjadi, atau dalam perumpamaan, maka bisa dikatakan bahwa mereka mencela shahabat-shahabat itu. Apalagi celaan ini dapat dipastikan mengingat golongan ayat pertama dari surat Taubah itu dimana menceritakan bahasa sebagian mereka munafik, sebagian mencampur dengan maksiat dan secara umum mereka diancam Tuhan dengan mengatakan :

”Berbuatlah kalian sesuka hati karena Allah, Nabi dan mukminin (sejati) akan melihat perbuatan kalian itu dan kalian akan dikembalikan ke alam ghaib dan kemudian akan dikabarkan kepada kalain apa-apa yang telah kalian lakukan.”

Celaan itu juga dapat dipastikan karena sebenarnya ayat di atas memberikan kabar tentang akan munculnya umat yang lebih baik dari mereka para shahabat di akhir jaman. KARENA DIKATAKAN DALAM HADITS-HADITS SUNNI YANG BANYAK DIMUAT DALAM BANYAK TAFSIR- TAFSIR SUNNI BAHWA UMAT PENGGANTI ITU ADALAH IRAN.

Lihat tafsir: Al-Durru al-Mantsuur, karya Suyuuthi; Kasysyaaf, karya Zamakhsyarii; Ibnu Katsiir; al-Aaluusii; Baidhaawii; al-Tsa’aalibii; Tsa’labii; Fakhru al-RAaazii; Thabarii; Qurthubii; dan lain-lainnya.

Penutup: Saya tidak halalkan siapa saja yang menggunakan tulisan saya tentang shahabat ini untuk perpecahan umat muslim (Sunni dan Syi’ah). Karena tulisan ini hanya untuk kajian semata sesuai dengan salah satu tinjuannya yang saya yakini kebenarannya dimana keyakinan saya ini tidak menjamin kebenaran di sisiNya. Jadi, ia hanya bersifat kajian untuk direnungkan, bukan untuk dikobar-kobarkan dimana bisa menimbulkan kesalahpahaman dan perpecahan. Keyakinan yang saya maksud adalah bahwa shahabat itu adalah umat seperti umat-umat lainnya yang, bisa diridhai Tuhan dan bisa dimurkai, bisa juga diridhai tapi setelah itu dimurkai ..dst. Artinya ayat 100 surat Taubah itu bukan jaminan bagi shahabat dan bukan perintah mutlak kepada kita untuk mengikuti shahabat secara mutlak. Jadi, yang diridhai Tuhan dan dijanjikan surga adalah shahabat yang baik dan kebaikannya itu tidak berubah, begitu pula orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan mereka itu. Wassalam.

Aufa Opa: Terima kasih ustad...

Komarudin Tamyis: Ahsan wa syukran.

Sinar Agama: Aufa + Tamyis: ok, sama-sama. 



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ