Jumat, 07 September 2018

Logika (Bgn 6)



Seri Tanya jawab Status Ustad. Muhsin Labib

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 Juli 2011 pukul 13:04




Status: Muhsin Labib: sebelum ada subjek, penilaian (predikat) apapun tidak berlaku.. 

Komentar-Komentar

Afrianto Afri : Apakah maksudnya, penting menemukan subyek sebelum menyebut-nyebut predikatnya ustad ? 

Muhsin Labib: Ya, itu kaidah yang berlaku dalam semua ilmu... 

D-Gooh Teguh: Subjek dalam angan maka predikat juga dalam angan. ^_^

Sinar Agama: Dilihat subyeknya (bc: tergantung subyeknya), kalau yang dimaksud subyek itu adalah maknanya atau ekstensinya (wujud luarnya), maka bisa dipredikati, sekalipun belum diberi nama. Misalnya mas Teguh yang jujur (he he ..) dan alim misalnya, serta cakap memimpin dan benar-benar pengayom. Tapi ia belum punya yayasan. Nah, kalau ia akan mendirikan yayasan, maka walaupun belum diresmikan yayasannya itu, maka kita bisa menghukumi bahwa yayasannya akan baik dan maju. 

Begitu pula kalau keadaan mas Teguh sebaliknya. Karena yang jadi ukuran dalam predikasi disini adalah hakikat luarnya walaupun belum ada subyek yang berwujud kata. Banyak lagi yang bisa dihukumi, seperti: Sekutu Tuhan itu tidak ada: Sekutu Tuhan itu pasti lemah, buta, kikir ...dan seterusnya. Ayah nabi Isa itu tak bisa berjalan. Atau misalnya: Tidak ada itu adalah tidak ada: Tidak ada itu mustahil ada: Kontradiksi tidak mungkin ada dan seterusnya. 

Contoh mencoloknya adalah status di atas: “Sebelum ada subyek, predikat apapun tidak berlaku.” 

Kalau premis ini benar (kita anggap benar), maka kalimat ini membantah isinya sendiri. Karena kalimat ini, terdiri dari subyek yang tidak ada, yakni “Sebelum ada subyek”. “Sebelum ada subyek” yang dijadikan subyek di proposisi ini, adalah sesuatu yang tidak ada. Karena itu, predikatnya dan predikasinya, akan salah. Karena itu, kalau kita membenarkan kalimat ini, maka berarti telah menyalahkan isi dari kalimat ini yang, pada akhirnya menyalahkan kalimat ini. 

Akan tetapi, kalau premis atau proposisi atau kalimat ini, kita anggap salah, maka maknanya dari asal memang tidak benar. Jadi, status di atas, mau dibenarkan atau mau disalahkan, tetap saja hasilnya ketidakbenaran status tersebut. Bedanya, kalau dari awal sudah disalahkan, maka ia disalahkan secara lansung. Tapi kalau di awalnya dibenarkan, maka akan menghasilkan ketidakbenarannya secara tidak langsung. Karena kesalahan status tersebut, akan merupakan konsekuensi dari pembenarannya itu. Jadi, kalau dibenarkan, akan menghasilkan penyalahannya. 

Muhsin Labib: ‎@sinar: terimakasih bila anda bermaksud menunjukan perspektif lain berdasarkan kategori haml (predikasi) karena masih mengkaitkan dengan sengketa status sebelumnya. Terimakasih juga bila bermaksud menunjukkan kepahaman anda tentang haml? Terimakasih juga bila bermaksud mengingatkan kebodohan saya tentang haml mafhum ala mafhum dan haml mafhum ala mishdaq. 

@sinar: borekallah... Anda selalu tampil sebagai penyelesai masalah, penyelamat, dan pemutus kata. Kepiawaian mendedah dengan kata tegas menunjukkan betapa kita makin jauh dari sinar agama yang sebenarnya... Terimakasih telah mengajarkan pada Kita tentang beda mafhum dan mishdaq, maudhu’ dan mahmul, dan lainnya...

Akmal Kamil: Maaf ikut nimbrung.. tapi dengan beberapa indikasi yang ada nampaknya maksud status di atas adalah predikasi konsep atas ekstensi (haml mafhum ‘ala mishdaq) sehingga ketika subyek tidak ada maka penilaian dan judenganment atas predikat tidak akan ada. Predikasi luaran ketika berkaitan dengan wujud luaran harus ada ketika ingin melakukan predikasi konsep atas ekstensi, obyek atau mishdaq.. Sehingga benar atau tidaknya proposisi dapat diafirmasi (tashdiq) dengan alam luaran.. 

Haml mafhum ala mafhum juga saya demikian adanya.. selama tidak ada subyek maka penilaian predikat juga tidak akan ada.. bukan begitu? 

Misalnya sederhana saja.. seperti proposisi yang dibangun oleh Sinar.. Mas Teguh itu Jujur.. di sini subyeknya adalah mas Teguh.. sehingga kalau tidak ada mas Teguh hukum kejujuran itu mau disandarkan kepada siapa? 

Sahaya Dahri: Kok dari ngerti (status ustad Labib) jadi gak ngerti ya saya (setelah komen Sinar), opo emang terlalu becek neh pikiran... 

Jon Ali: Wah, asik nih, para ahlinya pada muncul. Btw, buat saya yang akalnya pas-pasan, contoh ‘Mas Teguh itu jujur...’ dari Akmal Kamil sudah sangat menjelaskan mustahilnya predikat tanpa subjek. Walau pun saya agak ragu sebenarnya, apa benar subjek yang diidentifikasi D-Gooh Teguh itu ‘jujur’ beneran... hehehe.... 

Afrianto Afri: Sepakat dengan akmal Kamil kata Yayasannya itu mereffer ke subyek Teguh yang sudah jelas, tapi bila hanya Yayasan maka memang ini subyek yang masih bersifat umum sekaligus juga tidak/belum bisa diberi predikat. Even pengertian YAYASAN sudah ada konsepnya..CMIW. 

D-Gooh Teguh: Waduh kok jadi ke person sih... JUJUR seingatku saya ini hanya “tidak berbohong” tetapi kalau jujur kayaknya bakalan ajur deh. ^_^

Sinar Agama : ML: Ustadz ... sayyid .... mungkin ana ini pengikut nafsu, tapi GR-ku hanya murni tidak mau mengabaikan kemungkinan seterkecil apapun kewajiban yang saya sendiri mungkinkan. Karena itu, kalau ana rasa harus turun, maka ana turun, karena takut ana ini benar dan wajib mengingati. Ana tidak merasa pasti benar, tapi kalau pas benar, lalu apa kewajiban yang tahu di hadapanNya? Sudah pasti mengingatkan yang tahu tapi lupa atau yang memang belum tahu. Ana biasanya akan berhenti kalau sudah dikatakan “tak usah ingati aku”. Karena kalau sudah seperti itu, berarti kewajiban yang secara GR ana rasakan tapi yang ana mungkinkan bisa benar di hadapanNya itu, sudah gugur. Antum bukan tidak tahu, karena bisa saja antum yang benar, tapi ana yang belum melihat karena hijab ananiyyah dan kebodohan ana, sekalipun bisa saja antum lupa dan semacamnya atau salah tulis. Karena maklum saja, status ini kan sekedar menulis pikiran melayang. 

Ana, karena melihat antum sebagai ustadz yang selalu mengajarkan keilmiahan dan keterbukaan dan keharusan menghormati pandangan orang itulah yang membuat ana dengan penuh kerilekan mengomentari tulisan-tulisan antum yang ana ingin mengomentarinya. Ana yakin antum yang selalu mengajarkan tentang kelapangan itu tidak mungkin tidak gila kepada kebenaran dan argumentatif. 

Masalah yang kemarin dan sekarang ini, sebenarnya merupakan yang boleh dikatakan gampang- gampang susah. Setidaknya dalam menjabarkannya. Banyak orang tahu kalau Tuhan itu satu, tapi dalam argumentnya salah-salah. 

Di sini, anggap ada yang salah (ana atau antum) tapi kemungkinan besar hanya dalam penjabarannya, bukan pada maksudnya. Memang di status ini terlihat lebih sulit ditakwil dari sebelumnya itu. Jadi, ampuni alfakir ini kalau salah berhusnuzhzhan pada antum dan antum terasa terganggu. 

Sinar Agama: Kamil: Koment ana itu justru ketika ia berupa predikasi konsep atau ekstensi. Coba antum lebih teliti lagi. Tentang contoh mas Teguh itu, bukan pada predikasi atas mas Teguhnya yang sudah ada, akan tetapi pada yayasan yang akan ia bentuk. Jadi, sebelum ada itu bisa dipredikasi dengan keyakinan kebenarannya (tashdiiq) walau ia belum ada.

D-Gooh Teguh: Menurut pikiran keawaman saya, kasih contoh yang lebih tegas lagi: pemerintahan “politis” AlMahdi as khan belum mewujud juga tetapi telah dipredikati. Maaf, kalau awur-awuran saja. Dari pada mencontohkannya pun berandai-andai pula...

Sinar Agama: Sahaya: Kalau malah pembahasan hakikat pikiran, subyek dan predikat itu sesederhana yang dibahas dalam ilmu bahasa, maka tidak perlu adanya Aresto, Plaato, Ibnu Sina, Mulla Shadra, Thaba Thabai, Muthahhari, Jawadi ...dan seterusnya. Jadi, tidak usah putus asa. Kalau antum memang minat maka pelajari secara seksama, logika dan filsafat. Memang bukan jaminan, seperti diantara kami-kami yang belasan tahun atau ada yang puluhan tahun belajar, semua itu bukan jaminan memang. Akan tetapi sudah selayakanya hamba-hamba yang ingin mengerti berusaha untuk mengetahuinya. 

Jadi, sebenarnya, debat yang sering menggojlok perasaan dan ego ini, bukanlah makanan yang enak untuk harga diri. Akan tetapi, apalah daya kita penggila kebenaran. Biarlah diri ini kalah di dunia ini, karena kekalahan itu adalah hidayah kepada kebenaran atau, setidaknya kepada yang lebih kuat untuk sementara sebelum diketahui salahnya di kemudian hari. Ya... Allah Engkau menjadi saksi atas kerdilnya jiwaku ini, tapi ijinkanlah kupaksakan untuk tidak kuperhatikannya demi restuMu, karena itu ijinkanlah kutabrakkan yang kutahu dengan apapun demi kulihat kekuatannya atau kesalahannya supaya aku bisa mendapatkanMu. 

Sinar Agama: Afri: Antum mungkin benar, tapi predikati itu terjadi pada subyek yang belum ada. Itu tidak bisa diingkari. Sedang alasan ketidakpengingarannya adalah si keberadaan mas Teguh. Itu tandanya adalah bahwa subyek itu tidak harus ada dalam ekstensi. Karena alasan pembolehannya itu bisa ke arah wujud lain seperti mas Teguh itu, tapi bisa kepada hakikat lain yang justru sangat mustahil untuk ada, seperti “kontradiksi itu mustahil bertemu” dimana kontradiksi ini, sampai di akhirat pun tidak akan pernah ada. 

Sinar Agama: Mas Teguh: Afwan ana contohkan antum dalam hal ini, karena sebelum koment mata ana fokus pada gambar antum yang selalu senyum itu, dan juga teringat pada gerakan yang akan antum adakan yang bernama “Gerakan tanpa partai” itu. he he he ... 

D-Gooh Teguh: Hahahaha... doanya ustad Sinar dan ustad Labib insayaAllah ampuh... ini khan Gerakan Government 7.0, yang mana AlMahdi as mungkin wujud dari Government 8.0 atau 9.0 atau 10.0, ^_^ 1.0: family only –no government, 2.0: kepala suku, 3.0: majelis suku, 4.0: monarki absolute, 5.0: monarki konstitusional, 6.0: multiparty / bi-party, 7.0 : peopulae / direct democracy, 8.0, 9.0, 10.0 beyond my thought. ^_^

Muhsin Labib: @sinar: saya tidak kesulitan utuk menangkap maksud dari pilihan-pilihan kata antum dalam comment-comment beruntun itu. Meski terheran-heran dengan klarifikasi antum, saya menduga antum “terganggu” oleh terimakasih saya. Sebenarnya, status saya di atas tidak terkait dengan contoh Teguh maupun yayasan apapun. Itu sebuah premis umum yang bisa disikapi dengan perspektif haml mafhum ala mafhum atau haml mafhum ala mishdaq, dengan dua konsekuensi masing-masing. Saya khawatir antum merasa perlu menertibkan lalu lintas comment karena khawatiran terjadinya kesalahan dalam logika yang lebih fatal di balik sebuah premis. 

Antum tidak akan pernah dilarang melaksanakan tugas ilmiah dan ruhaniah untuk menjabarkan mafahim falsafiyah, mahawiyah dan manthiqiyah dan semua ilmu yang harus diketahui orang lain. Tapi ada baiknya antum berGR bahwa kami juga memiliki pemahaman yang sama namun (hampir pasti) pilihan dan selera diksi kita berbeda. Meski jauh dari sumber ilmu, antun tidak perlu khawatir soal kesalahanpikir dan konsep-konsep basic... 

Mohon kesudian antum memaafkan kebodohan, keegoan, kesoktahuan ana. Hijab-hijab telah membuat saya, yang tidak beruntung, terpuruk jauh hingga soal “mafhum” dan “mishdaq”, “haml”, “maudhu’” dan “mahmul” aja perlu penjelasan panjang lebar. Ini mungkin bisa jadi bahan pertimbangan untuk menyadari bahwa saya sudah expire, apalagi tidak pernah belajar sesuai prosuder baku, jenjang yang ajek, dan hanya baca krepelan, apalagi memang hanya “transit” di hauzah... Tugas keumatan memang mestinya dipegang oleh orang yang dekat dengan oase ilmu, bukan pemulung-pemulung yang ga jelas...! 

Jon Ali: D-Gooh Teguh: haha..., hanya becanda aja, boss! Biar gak terlalu keriting otakku yang pas- pasan, nih ngliatin para pakar beraksi...! Btw, jujur gak jujur tergantung situasi dan kondisi, lah! Tapi secara eksistensial, jujur = MANJUR, gak jujur = AJUR! ^_^

Sinar Agama: ML: He he he sepertinya kalau diskusi ini diteruskan, maka messege yang terpahami, kalau tidak terselip, akan lebih bisa terlihat. Ok yang masalah ini kita lewatkan saja karena memang tidak ada yang pasti. Namun demikian, diskusi sehat dan transparan sudah pasti merupakan tuntutan setiap insan yang insaf dan apalagi gandrung ilmu. Seseorang seGR apapun dia (seperti saya) tidak boleh jengah dengan sebuah diskusi dan debatan. Karena dunia ini luas. Mungkin saya guru bagi seiribu orang, tapi tidak pada semilyard lainnya. Tak ada keinginan dari kami-kami ini, kecuali itu. Tapi kalau pakai nyengat-nyengat, atau setidaknya seperti menyengat, maka sudah tentu bayan dan penjelasan yang akan dipakai bukan argument dalam istilah logika lagi, tapi mungkin debat dan pengembalian masalah. Karena itu harapan ana sebagai pembaca tulisan-tulisan antum, adalah kelapangan dada, baik dalam benar atau salah. 

Karena hal-hal di luar premis itu yang terlihat mencorai masalahnya, maka diskusi kita tentang status antum itu jadi hilang. Bahkan sepertinya antum sendiri sudah kehilangannya. Karena sudah sekian banyak bayanku, tapi hasil kesimpulan antum masih mengatakan “sama” dan hanya beda selera dan diksi. 

Btw, saya sudah berusaha, dan selain itu tidak ada lagi keharusan akal. Apapun hasilnya, kembali kepada kita masing-masing. Harapanku dari antum untuk ke depan, adalah rilek saja dikritiki orang seperti antum rilek menkritiki orang lain. Supaya saya juga enak nulis komentnya dan enak membaca koment-koment antum.

Billy Joe Hernandez: Semoga saya bisa mengerti semua komen-komen ini, amin:) Yang saya pahami dari status ini adalah peletakan predikasi (penilaian) itu harus setelah subjek dan ini bersifat umum, jadi maksud “ada” dalam status ini menunjukkan posisi dari subjek pada premis yang harus ada di posisi depan sebuah premis sebelum mempredikati, afwan bila komen saya yang awam dan fakir ini cukup ngawur, tidak karu-karuan dan tidak mengikuti kaidah logika... 

Akmal Kamil: @ Sinar.. predikasi konsep atau ekstensi keduanya memerlukan sebuah subyek. Dalam sebuah proposisi sederhana semisal proposisi kategoris ketika subyeknya tidak ada maka bangunan proposisinya tidak memiliki hukum dan penilaian. Karena jantung proposisi kategoris, atributif pada subyeknya ketika ingin menginferensi sebuah hukum. Pada kasus status Ust. ML di atas, saya melihatnya sebagai sebuah kerangka proposisi kategoris yang sederhana bahwa tanpa ada subyek penilaian tidak akan berlaku. Atau dalam bahasa teknisnya saliba bi intifai al-maudhu secara formal proposisi. Maksudnya ketika tidak ada maudhu hukum akan menjadi mentah dengan sendirinya..

Muhsin Labib: Mestinya status saya dipahami seperti comment ust Akmal. Ini juga mungkin mirip dengan hukum al-adam al-muthlaq la yukhbaru anhu. Ala kulli hal, penjelasan filosofis mistik ust Sinar, termasuk bagian yang menyangkut pribadi saya, saya terima sekaligus mengamalkan pesannya agar berlapang dada.

Sinar Agama: Nah, ini baru enak nih diskusi, murni ilmu. Terimakasih untuk ust ML. Semoga selalu diselimutiNya dengan KasihNya. 

@Kamil: Mungkin antum benar. Tapi akibatnya kalau antum benar, maka berarti antum telah menolkan status di atas. Karena status itu tidak memiliki maudhu yang eksis. Karena dari awal sudah dikatakan bahwa “tiadanya maudhu membuat predikat itu tidak berarti”. Karena itu maka maudhu’nya disini adalah ketiadaan. 

Kalau antum mau mengatakan bahwa maudhu’nya itu dalam pahaman, seperti yang diisyaratkan ustadz ML seperti dalam memahami ketiadaan mutlak, maka antum sudah lari dari konsep pertama antum yang menafsirkan bahwa status di atas memandang subyek yang di luar akal, yakni keberadaan nyata. Nah, konsekuensinya, kalau tidak punya keberadaan nyata, maka predikat apapun tidak bisa berlaku. Kan begitu? Nah, konsekuensi dari ini, berarti antum sudah menyalahkan status itu sendiri. Karena status itu tidak memiliki wujud luar. 

Dan salibah bi intifaa-i al-maudhu’ itu bukan hukum yang hanya terdiri dari satu ayat saja, tapi ada hukum-hukum lainnya dimana kalau antum perhatikan contoh-contoh di atas itu, seperti ayah nabi Isa, kontradiksi ..dan seterusnya maka akan antum dapatkan jawabannya. 

Saya sebenarnya mau menerangkan bahwa status di atas itu melanggar dirinya sendiri kalau dimaknai mutlak-mutlakan. Intinya, dan ringkasnya, apapun yang tidak ada itu bisa dipredikati dengan apapun asal bersifat penolakan, persis seperti status di atas itu. “Yang tak ada tak bisa diberitakan”, “Ayah nabi Isa tidak punya kaki, tidak bisa jalan.” “Kontradiksi tidak pernah ketemu” 

.... dan seterusnya. Intinya, saya ingin memberitahu teman-teman bahwa subyek yang tak ada itu bisa diberi keterangan dan predikat kalau bersifat negatif, tapi tidak bisa kalau positif. 

Akan halnya mas Teguh itu, adalah bab lain yang bisa dimasukkan dalam suyek yang tidak ada dan dihukumi positif, tapi ketidakadaannya dalam waktu defakto, akan tetapi ia dekat dengannya. Jadi walaupun tidak bisa dipastikan tentang yang akan dibentuknya itu, akan tetapi bisa dikatakan seperti itu sebagai perkiraan kuat, harapan dan doa misalnya. Walhasil karena ia memiliki batu loncatan yang ada, yakni mas Teguhnya itu, maka proposisi seperti itu masih dibolehkan. Tapi btw intinya yang pertama itu, yaitu ketiadaan subyek tidak melarang prikasi negatif.

Muhsin Labib: Ok, saya yang bonek ini dan pelajar level pemulung ini berusaha untuk berusaha mengambil bagian dalam dikusi ilmiah, meminjam istilah Ust. Sinar. Semoga Allah memberkati setiap lintasan pikiran dan ketukan jari kita. 

1. Saya kira persoalannya enteng, cuma ditanggapi semangat ketajaman folosofis yang ber- lebihan sehingga ceroboh menabrak demarkasi disipulainer. 

2. Tesis yang saya ajukan adalah hukum logika, bukan hukum filsafat. 

3. Dalam logika, ada banyak pembagian predikasi dari aspek subjek, predikat dan kopula. Dalam logika, tidak dibicarakan soal ada-tidaknya sesuatu. (bersambung) 

Dalam logika, segala sesuatu dipandang sebagai realitas mental, yakni logical intellectus sekunda (ma’qul tsani mantiqi), habitat konsep ini ada di mental (dhihn) yang tidak mengacu pada mishdaq (referen) selain konsep yang ada di mental. Jadi, saya ingin kembali ke ashlul matlab, sebelum ada subjek, penilaian (predikat) apapun tidak berlaku. Dalam logika, predikasi apa pun hanya akan tegak (ma’qud) jika memadai segenap anasirnya. Dalam logika, anasir itu ada tiga: subjek, predikat, dan kopula. Ini kaidah logika. Ingat, mari kita tetap konsisten pada konteks studi di sini, yakni konteks logika, supaya tidak diperlakukan kaidah “awam” melebihi kelugasan logisnya, apalagi dicampuradukkan dengan ketajaman filosofis yang mubazir ibarat memasukkan puluhan bola ke keranjang basket. (bersambung) 

Karena konteksnya adalah logika, maka kata “ada” di awal kaidah itu diperlakukan sesuai konteks dan habitat logisnya, yakni mental. Semua contoh/referen subjek yang diajukan sebagai conterexampulae, sekalipun secara filosofis/ontologis tidak ada secara konkret, tetap saja ada secara abstrak di mental (dhihn) sebagai bagian dari realitas-realitas dzihni yang menjadi materi studi-studi logika. Bagi pelajar pemula saja, gejala tak nyaman ini biasanya dikenal dengan sebutan “mughalatah” atau al-khalth bayna mafhum wa mishdaq” (jus logika dan ontologi). (bersambung) 

Tambahan: status yang saya jadikan sebagai status di atas rupanya terkesan diperalat jadi senjata makan tuan. Perhatikan! “Sebelum ada subyek, predikat apapun tidak berlaku.” Sebelum kaidah ini dikriminalisasi, sebaliknya hakim kita belajar dulu macam-macam proposisi (qodhiyyah), lalu amati kaidah ini: dari macam proposisi apa lalu bandingkan dengan proposisi salibah bi intifa’ almaudhu’. Betulkah ada hubungannya, ataukah dihubung-hubungkan, atau qiyas ma’a alfariq alias ga nyambung. Ini mughalathah kedua. (bersambung) 

Dengan segenap respect dan apresiasi, saya tetap berterima kasih atas tanggapan apapun, sekalipun ga ngena. Juga terima kasih atas pembelaan dari sebagian orang yang dalam kata-kata Khajeh Thusi, “Tasholuh ghoyr mardhiyyun ‘inda shohibihi”. Ciao! (selesai) 

Diskusi ini bikin saya kena musibah... Saya menulis status “gara-gara khusayauk diskusi soal logika predikasi di status, saya nenggak teh yang ternyata sudah jadi danau semut... rasanya “manis asem asin”, rrrrgggghhhh..”

Akmal Kamil: Status di atas, pertama dan utama, harus ditinjau dari sudut pandang tekstual logis bukan kontekstual filosofis. So, memang tidak nyambung ketika Sinar mengealobrasi status di atas dengan tinjauan kontekstual filosofis dan memandangnya sebagai sebuah hal yang tidak benar. Ketika terjadi benturan penafisran mana yang harus dikedepankan? Tentu kita memegang kaidah penulis atau penyusun sentral (muallif mehwar) karena ia yang mengeluarkan teks. Bukan diserahkan sepenuhnya kepada pembaca atau penafsir untuk melakukan upaya bongkar teks dengan tinjauannya. 

Bangunan proposisi kategoris seperti yang diungkap oleh Ust. ML di atas adalah terdiri dari subyek, predikat dan copula (nisbah atau hukum) yang terjalin di antara keduanya. Sehingga ketika status di atas dipreteli dengan pendekatan filosofis ontologis mungkin elaborasi Sinar ada benarnya. Perbedaan tinjauan mengamati sebuah masalah tentu akan menimbulkan kesalahan penghukuman atas satu atau dua persoalan. Allamah SA meninjau masalah ini dengan perspektif kontekstual filosofis ontologis semantara Ust. ML menelisiknya dengan angle teksual logis formal.. Jadi kelihatannya benar apa yang ditasbihkan oleh Ust. ML.. gak ngena atau ga nyambung.. Afwan. 

Jon Ali: Hehe... angle logika vs angle filsafat, ya? Asayaik-asayaik..., biar kata versi pemulung, kalo mulungnya dapet intan-permata kan rejeki nompulaok, tuh! LANGJUTTT...!!!! Btw, turut berduka untuk ustad ML yang sudah ‘dikriminalisasi’ premisnya, ‘dikriminalisasi’ juga tehnya oleh semut... 

- - 

Sinar Agama: ML: Antum jangan masuk ke situ ustadz. Kalau antum masuk ke dzihni/mafhuum antum justru jatuh lebih parah. Karena makna tulisan antum akan menjadi “yang tidak terbayang tak mungkin dipredikasi-i”. Lah, kata-kata ini tidak ada manfaatnya sama sekali. Karena ia akan merupakan pemberitaan terhadap tidak mungkinya tergambarnya pridikasi yang disebabkan dengan tidak tergambarnya subyeknya. Dan ini akan menjadi kata-kata tidak bermakna. 

Padahal antum ingin menafikan apapun predikat, sebelum adanya subyek. Artinya, prikasi itu sudah ada tapi tidak berlaku. Nah, kalau prikasi itu sudah ada, berarti subyek juga sudah ada dalam benak kita. Jadi, yang benar kaidah yang dipakai untuk status antum itu adalah “Bolehnya menghaml atau mempredikasi-i subyek yang tidak ada, kalau predikasinya merupakan predikasi negatif.” 

Tentang alfakir itu mau meninjau dari sudut pandang apa, itu tidak bisa disalahkan dan tetap berguna. Karena di statusnya tidak dikatakan bahwa dalam rangka kaidah logika dan, katakanlah haram menyorotinya dengan filsafat, he he he. Koment apapun, tidak ada larangan. Jangankan yang dimungkinkan benar, salah juga nggak masalah, asal terbuka didiskusikan tanpa emosi dalam menyalahkan dan membenarkan. Bahkan, sungguh, ana ini telah mengira bahwa status di atas itu bernuansa politik dengan kelahiran ABI. Tapi ana tetap berusaha komitmen dengan prasangka ilmiah dan tidak memastikan ini dan itu. Pemahaman ana terhadap status itu bukan tanpa dasar, walau bisa salah perkiraan. Karena satu dan dua hari ini kan terlihat ada pro dan kontra terhadap ABI. Nah, kalau benar niat itu untuk ABI, kalau benar, maka artinya “Jangan hukumi apapun tentang ABI itu sebelum eksis di lapangan” atau “Apapun kritikan tentang ABI tidak berlaku karena belum eksis.” Ini pesan yang bisa tertangkap dari status di atas. Orang namanya dzihn dan akal, kan bisa saja. Tapi sudah pasti haram untuk memastikan makna itu dalam status tersebut, karena tidak adanya dalil. Karena itu, saya mencoba memaparkan tentang filsafatnya selain kaidah logikanya. Tanpa memastikan apapun terhadap lintasan-lintasan pikiran- pikiran yang datang tanpa bisa manusia mengendalikannya itu. 

Jadi, bahasan filosofisnya sungguh sangat berguna kalau muatan status di atas adalah ABI. Karena makna dari komentarku akan menjadi “Tidak dosa orang menghakimi (dengan yang tak pasti) tentang ABI itu, karena subyek tak langsungnya ada di lapangan dan kita kenal sepak terjangnya selama ini”. Tapi tetap dosa, kalau dipastikan, karena apapun kekuarangan orang di masa lalu (itupun kalau benar-benar ada dan bukan kesalahan informasi) maka untuk ke depan bisa saja berbuat yang baik. Di sinilah alfakir contohkan dengan mas Teguh yang tidak punya yayasan, tapi yayasannya yang akan dibuat bisa dihukumi, walau tetap dalam keraguan dan ketidakpastian, akan tetapi predikasi itu sudah benar-benar boleh dilakukan dalam kaidah logika dalam bentuk proposisi (tentu saja contoh mas Teguh tentang pemerintahan imam Mahdi as yang belum ada tapi bisa dihukumi dengan “pasti adil”, atau “pasti benar dan baik”....dan seterusnya....adalah contoh yang lebih mengena dan mudah dipahami).

Sinar Agama: Kamil: Kita sudah tabayun dengan koment-koment itu, tapi tidak ada penjelasan kecuali barusan itu dari penulis. Jadi, belum ada benturan penjelasan. 

Tambahan logikanya: Subyek dan pridikat itu adalah dua pahaman yang saling menyangkut di mana tidak mungkin satu dipahami tanpa yang lain. Jadi kalau orang tidak membayangkan subyek dalam akal, maka jelas tidak mungkin membayangkan predikat.. 

Jadi sungguh tidak ada artinya kita mengatakan bahwa predikat apapun yang terbayang dalam akal tidak mungkin berlaku pada subyek yang tak ada di akal. Karena predikat itu juga tidak akan ada dalam akal seiring dengan tidak adanya subyek dalam akal. 

Sinar Agama: Kamil: Kita sudah tabayun dengan koment-koment itu, tapi tidak ada penjelasan kecuali barusan itu dari penulis. Jadi, belum ada benturan penjelasan dan yang ada hanya benturan dakwa, persis ketika antum koment yang tidak cocok dengan maunya penstatus itu, he he.. Antum tidak bisa disalahkan, karena itu wajar-wajar saja orang memahami apapun dari siapapun. Cocok tidaknya, itu masalah belakangan, bukan masalah nyambung dan tidak nyambungnya. Terlebih kata-katanya mutlak dan multi tafsir. Nah, kalau Qur'an dan hadits, maka di sini kita tidak boleh main perspektif walau perspektif itu pasti muncul sesuai fitrah, tapi harus dipandu kepada mauNya melalui penjelasanNya di ayat-ayat atau hadits-hadits NabiNya. Tapi kalau seperti pernyataan orang lain, maka tidak ada dalil untuk mengkebiri pemahaman mutlak itu sesuai dengan kemutlakannya, walau si pengata atau penulis atau penstatusnya, menginginkan yang tidak mutlak itu. Wassalam. 

Muhsin Labib: Ana akui bahwa kepiawaian antum dalam soal menggiring konotasi dan detonasi status di atas menjadi tema yang menurut antum bersifat politis (cihui untuk yang satu ini), dari tema logika menjadi tema real kemudian dikerucutkan ke tema pilitis. Yang juga mengagumakaan adalah kemantapan hati antum utuk “menduga” (baca: menghadirkan mishdaq sesuai mindset antum) bahwa penulis status berposisi mewakili lembaga ABI (yang sama sekali tidak tertera) dalam semua bahasan baik dalam status maupun comment), meskipun tidak dilarang secara rasional untuk itu. 

Kekhawatiran antum bahwa penulis status berusaha untuk memberikan justifikasi apalogotik terhadap ABI menurut saya, (afwaaaaan) beraroma “judenganment”, “reduksional”, dan “jumping to natijah”. Untungnya, antum tidak menganggap itu “pasti” karena seperti menurut antum masalalu orang-orang yang antum duga berada di dalamnya mungkin saja sekarang sudah “membaik”. Saya agak terganggu dengan kalimat “masalalu” orang-orangnya, karena tercium aroma generalisasi, dan kesan menganggap lembaga itu identik dengan orang-orang tertentu. Ada baiknya, antum menghemat energi dengan menduga-duga apalagi ana yakin antum belum punya data valid tentang “orang-orang” itu dan lembaga ini. Selain itu, dugaan (negatif) tersebut andaikan tepat, (dan itu tidak menggugurkan lembaganya) tidak berpahala, dan bila meleset, pasti berdosa. (Lagi-lagi ini menurut al-afqar bainakum, lho). 

Sebelum wassalam, saya mau beri pengakuan bahwa saya senang dan banyak belajar dari antum, akhi Akmal dan friends lain. Bahkan berkat polemik ini, saya bisa menemukan mishdq (wujud khariji) di balik mafhum “sinar agama” Ini jelas predikasi konsep atas fakta, hehehehe... Salah satu indikasinya, “diksi”. Frase ini masih mengiang saat saya Sinar Agama sempat berdiskusi di sebuah kota, ya kan? Sayaukran all...

Sinar Agama: ML: he he he antum ini bisa saja tentang mishdaqku yang tiada artinya ini yang tiap hari harus menendangi keegoan dan kecongkakan dan keriaya’an ini. Biarlah itu menjadi rahasiaku saja bib. Kalau aku pandai menyembunyikan diri, maka aku pasti akan memakai bahasa orang yang menurutku sama ilmu dan sifat-sifatnya denganku. Kalau aku ceroboh, maka aku akan menelanjangi diriku dalam setiap tulisan-tulisanku. 

Habibi .. sayyidi ... doakan satu hal untuk yang paling hina ini untuk dapat mengerti dan meresapi kehinaanya. Kadang bolak baliknya hati dan rayuan nafsu ego, sungguh ... gaya tariknya jauh melebihi wanita-wanita cantik sekalipun. Karena itu, bantulah afkir mengatasi ini dengan doa yang aplikatif dari antum dan teman-teman lainnya. Berkelahilah denganku sebagai saudara dengan hujatan argument yang tajam dan kuat, walau terasa pedas, karena aku tidak ingin menghadapi adzabNya yang jauh lebih pedas dan panas. Oh... betapa hina ... betapa hina ... diri yang hanya bisa bangga dengan apa yang sebenaranya milikNya. Ya ... Tuhan di malam-malam Rajab ini ,,, muluskanlah dadaku yang selalu bergelora ini, hingga pada akhirnya aku berhasil membakar berhalaku ini .... Tuhan .... Engkau telah berikan aku segalanya, wujud, iman dan setetes ilmu, ijinkanlah aku untuk tidak pernah merasa memilikinya karena ... semua itu tetap milikMu. Ya Tuhan ... ijinkanlah kudekap saudara-saudaraku dengan penuh rasa cinta yang dalam, namun tidak mengenyampingkan apapun yang namanya ilmu argumentatif, tegas tapi saling sayang 

...Demi KebersaranMu dan kesucian NabiMu saww serta kebenaran Ahlulibat as, amin ... 

Setelah dengan deraian air mata dosa kutulis isi hati itu, semoga tidak mengganggu jalannya diskusi, maka ijinkan sedikit alfakir ini menjawab tulisan antum walau ana rasa sudah tidak ada lagi perkara mendasar tentang keilmuan yang kita bahas, kecuali kalau kang Kamal atau yang lainnya nanti menyusulinya dengan koment lain. 

Demi Tuhan yang ana tulis itu bib, hanya sambaran ide yang muncul secara fitrawi. Jadi bukan direncanakan. Karena itulah, karena ketidakpastian itulah, ana sangat berhati-hati dan hanya menggambarkan dalam bentuk lain hingga membuat contoh mas Teguh itu. Jadi dari sisi ini, ana sama sekali tidak menyalahi kode etik dan agama. Ana menjelaskan tentang fungsi filosofisnya itu karena antum dan Kamil dan yang lainnya sudah mengira bahwa alfakir ini sudah di luar bahasan karena premis logika dimaknai dengan filsafat sehingga dianggap itu mubadzdzir. Karena itulah akhirnya ana menceritkan apa yang ada di balik semua itu. Jadi, benar-benar bukan dramatisir, tapi benar-benar muncul dalam linatasan pikiran dan sudah kuungkapkan dengan jujur kepada semua. Kalau mendramatisirnya, maka tidak mungkin ana ungkap. Jadi, penjelasan filosfis itu benar-benar hanya ingin menjelaskan bahwa ana serasa tidak berlebihan dalam menjabarkan tulisan antum itu ke ranah filsafat. 

Sedang untuk prediksi tentang ABI itu, ana juga tidak memukul rata dan juga tidak mamastikan. Tapi mungkin hampir semua orang yang ada di petingginya ana kenal dengan mata mahjub ini. Karena itulah ana katakan, kalaulah berita dan pemandangan yang kita lihat selama ini adalah benar dan tidak salah info/melihat, maka bisa diprediksi begini dan begitu. Tapi tetap ana katakan bahwa hal ini tidak bisa dipastikan. Jadi, kalau dipastikan, maka ia adalah fitnah. 

Jadi, kalau dipastikan, maka ia adalah fitnah kalau tidak benar, dan bisa jadi ghibah kalau benar (kalau bukan aib yang terang-terangan). 

Tapi karena tidak dipastikan, maka ia adalah prasangka dan zhan. Dan ini, juga dosa kalau tidak ada tanda-tanda. Sementa saya mengisyaratkan adanya tanda-tanda itu dan bahkan mengatakan dalam bentuk sejarah (walau tetap berupa sejarah dalam prediksi yang tidak pasti karena takut salah lihat dan info tadi). Jadi, ramalan seperti itu yang ana dapat ketahui dari sedikit info agama yang ana pinjam dariNya ini, tidak melanggar etis dan agama serta akal.. 

Tapi ingat, bahwa yang diprediksikan ini bukan masalah-masalah pribadi seperti berbuat dosa dan semacaamnya. Bukan itu sorotannya. Tapi menyoroti nuansa politik, dan merenungi masa depan AB Indonesia dengan AB yang sekarang di mana ia datang dari AB yang kemarin yang kita kenal secara global atau rinci itu (tergantung kepada pengetahuan masing-masing). Jadi, sorotannya bisa hanya berfokus pada kelaikan dan kelayakan pengurus-pengurusnya dan sejauh mana ia akan memberikan efek positif dan negatifnya pada umat muslim Indonesia. Tentu saja dengan bukti-bukti sejarah yang sudah ana bilang itu. Sebagian bukti-bukti itu sudah ana tulis dalam menjawab pertanyaan Bintang Ali di statusku. Karena itu, ana pikir belum ada yang kelepasan dari kontrol kesadaranku walau ana sendiri bisa salah tentunya. Tapi niat dan usaha aplikasinya, sudah ketat secara GR-nya. Terimakasih atas kesempatan yang diberikan dan nasihat-nasihatnya. 

Tentang mewakili ABI-nya antum, ana sudah katakan tidak dipastikan dan hanya terbesit begitu saja, mengingat satu dua hari ini kan kita juga lihat pesan-pesan langsung atau tidak dari antum tentang ABI. Nah, lompatan pikiranku itu, lompatan yang lumrah dan wajar (he he). Tapi tetap tidak ana pastikan karena takut terhadap kecongkakan akal yang nempel di kepalaku ini. Ana tidak mau berkata bahwa itu adalah firasat dan kasyaaf hati tentang niat antum, karena ana sampai sekarang belum bisa membedakan bisikan hati yang datang dari syaithan, atau Tuhan. Karena itulah, semua ana tulis tidak dalam kepastian, untuk mengambil jalan fikih dan akhlak. Karena itu, kalau masalah isykal yang dikatakan bahwa ana telah salah sambung tentang memahami status logika antum dengan filsafat, maka apakah hal itu adalah lintasan akal atau hawa nafsu atau firasat Tuhan, saya tidak akan pernah menjelaskannya. He hehe he yang jelas, kita-kita sudah punya dosa sama antum karena saking seriusnya hadapi koment-koment kita sampai-sampai minum teh-semut he he he afwan ya habibi ... ya habibi ... 

Firdaus Said:==Biarlah itu menjadi rahasiku saja bib. Kalau aku pandai menyembunyikan diri, maka aku pasti akan memakai bahasa orang yang menurutku sama ilmu dan sifat-sifatnya denganku. Kalau aku ceroboh, maka aku akan menelanjangi diriku dalam setiap tulisan-tulisanku. 

Sahaya Dahri: Sinar: karena banyak “awam”, khususnya saya, yang baca komen-komen antum yang sudah belasan/puluhan tahun belajar filsafat, agaknya tak salah bahkan akan lebih elegan kalo antum menurunkan bahasanya jadi lebih enteng dan ceria, ketimbang suram, berat, dan berdebam... juga njlimet hehehe. 

Sinar Agama: Said: Serasa sedikit ringan kemarin setelah kutulis curhatan umum, terlebih setelah membaca doa antum, semoga kita semua sudi dan berhasil menapaki apapun kesempurnaan, terutama ilmu dan amal, amin. 

Dahri: Terimakasih usulnya, tapi berusahalah untuk bertahan dengan setiap bahasa dan pantang mudur. Sebab beratnya itu terkadang karena belum biasa aja. Kalau antum perhatikan semua tulisanku dengan yang lainnya, mungkin paling awamnya tulisan, aku hampir tidak pernah menggunakan istilah asing. Memang karena diskusi di atas menjawab yang pakai istilah arab, maka aku mengikuti. Kalau ada yang bisa ana bantu, maka tidak usah segan, tanyakan saja mana bahasa kita yang terkunci itu. Biarkan kami membantu antum dan yang lainnya. Baiklah kusertakan sedikit kamus istilah di atas itu seingat apa yang ada di kepalaku (tanpa membaca lagi ke atas): 

1. Wujud Dzihni = pahaman, ide, ilmu, info, tashawwur, wujud dalam akal. 

2. Ekstensi = wujud luar akal, mishdaq, nyata, eksis. 

3. Haml = pridikasi, berita, menghukumi. 

4. Mahmuul = predikat, hukum, menerangkan (lawan diterangkan dihukum DM). 

5. Maudhu’ = subyek, diterangkan. 

6. Predikasi pertama = haml awwali = predikasi yang mengandalakan kesamaan dalam pahaman atau esensi, baik seluruh esensi atau sebagaiannya. Kan dalam definisi harus ada kesamaan antara definisi dan defined atau antara subyek dan pridikat. Sebab kalau asing kan definisinya atau ketarangannya atau predikatnya akan menjadi keterangan yang asing dan tidak mengena dengan subyeknya? Nah, kalau kesamaannya itu dalam pahaman, maka disebut Predikasi pertama. Seperti manusia itu adalah manusia, atau binatang rasional. Atau relatif itu adalah relatif. Atau relatif itu bukan mutlak. 

7. Predikasi ke dua = haml tsanawi = predikasi yang mengandalkan kesamaan subyek dan predikatnya atau definisi dan definednya (yang didefinisi) di luar akal. Seperti Manusia itu adalah Sahaya Dahri, Husain ..dan seterusnya. Atau relatif itu adalah mutlak. Karena di penerapan dan di luar akal yakni di alam nyata, si Sahaya dan Husain itu manusia. Begitu juga relatif itu mutlak dipakai ke maknanya sendiri. Tapi dalam pahaman Sahaya dan Husain lain dengan manusia, begitu pula relatif dengan mutlak. Yakni di akal tidak ketemu tapi di luar akal ketemu. 

Tika Chi Sakuradandelion, Hendy Laisa, Agoest Irawan dan 72 lainnya menyukai ini. 


Rido Al’ Wahid: Mesti dibaca ulang-ulang biar paham.... copy dan print. 

Bande Husein Kalisatti: Wah..mantap.. mantap.. mantap.. .. kalau para pendekar ilmu sudah turun ana jadi kecipratan, walaupun cuma jadi tukang pungut ilmu.. terimaksih ustad Labib.. ustad Kamal.. ustad Sinar.. 

Bintang Ali: Ternyata dunia ini luas ya,. di atas langit masih ada langit. 

Anggelia Sulqani Zahra: Bang BA.. Maksudnya..? 

Bintang Ali: Maksudnya ya begitu deh,. saya nyimak diskusi ini langsung di statusnya ustad Muh Labib.. seru juga dua ustad saling ngasih pandangan dan ustad Muh Labib sempet shock..) 

Irwan Samson Gaus: Wuiihhh..., 

Achmad Khisnurrobbie: MANTAAAB... 

Anwar Latammu: Bagian.1 - 5 nya? 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad. 

Muh Kasim: Alhamdulillah,, bisa dibantu dengan Kosa kata bagi pemula seperti saya. 

Widodo Abu Zaki: Alhamdulillah tidak ketinggalan untuk yang ini. Kalau saya dapet batu koralnya bukan permatanya juga dah syukur. Ilmu mudah-mudahan bisa diaplikasikan. 

Widodo Abu Zaki: Dari komennya Anggelina saya sepertinya sudah mulai tahu, Aggelina kay- aknya teman dekat saya. Hehehehe ini bukan mata batin tapi prediksi. Hhihihih ikut-ikut ustad SA. 

Zahra Herawati Kadarman: Masya Allaaaaaaaaaaaaaah dua ustad kesayanganku - sump- aaaaaaaaaaaah aku gak ngerti.............. buaca lagi baca lagi dari akhir tahun...........sampai seka- rang teteeep gak ngerti ustaaad. 

Aco Abudzar Abudzar: Menarik,,,, memperkaya persfektif,,, sedari awal memang harus dibatasi pembicaraan,,, namun perluasan pembicaraan ini menurutku sangat bermanfaat..... thanks us- tad-ustad YM. 

Sinar Agama: Zahra: Memang sulit belajar logika dan filsafat itu. Kalau memang minat maka baca dari awal, supaya tidak salah mengerti. Kadang walau kita sudah khatam berulang-ulang masih saja salah mengerti. 

Sinar Agama: Aco: Sebenarnya bisa dikatakan bahwa tidak ada peluasan sama sekali. Karena semua itu masih pembahasan logika. Kalau logikanya masih salah, sekalipun di tahapan lain, maka jelas logikanya (tata pikirnya) yang salah, karena kebenaran ilmu lain itu ditentukan ke- benaran logikanya. Nah, kalau logikanya tidak menghasilkan yang benar di penerapannya, yaitu di tempat lain, maka berarti memang logikanya yang tidak benar. Btw, bahasan di atas itu tidak ada peluasannya. 

Mata Hati: Yang saya fahami dalam bahasa awamnya ustad SA seolah hendak mengatakan “ka- lau memang belum ada subjeknya bagaimana pula hendak memberikan predikat kepada sesuatu yang tidak ada wujud luarnya”, sedang dari ustad ML mungkin beliau bermaksud mengatakan “janganla... 

Sinar Agama: Mata: Sepertinya pemahaman antum terbalik. Lagi pula, di samping itu statusnya itu sendiri telah mempredikati yang tidak ada. Kan berarti statementnya itu telah menyangkal dirinya sendiri. Ini kalau mau dikatakan bahwa subyek itu harus ada di wujud luar sebelum dipre- dikati. 

Fahmi Husein: Filsafat vs Logika ? Berarti Filsafat bukan bagian dari logika? Dapat dijelaskan us- tad Sinar Agama? 

Sang Pencinta : Fahmi Husein, http://www.facebook.com/.../21057069.../doc/379050932139709/, 
http://www.facebook.com/.../21057069.../doc/404613572916778/ Berlangganan Catatan2 Sinar Agama

Fahmi Husein: Yang lebih tepat pembahasan perbedaan Logika & Filsafat di https://www.face- book.com/.../2105706.../doc/404613572916778/

Tapi mesti di ulang-ulang kayaknya biar faham, susah untuk dimengerti, dan bahasanya rada as- ing. Btw, Sang Pencinta sukron. 

Berlangganan Catatan2 Sinar Agama

Zainab Nining Aqielah: Wooww...... Statusnya 2 baris .. Komennya. 100 halaman,,, yang seder- hana dibuat rumit ... Hehe, tapi asyik ko bacanya... Sama-sama pinteeerrr sama-sama hebaattt .. salam ustadz SA .. Salam ustadz ML .. WaRahmahmatullahh wabarrakatuh .. 

Sinar Agama: Zainab, kalau antum lebih teliti, akan dapat dilihat bahwa diskusi itu bukan mem- perumit yang sederhana. 

Zainab Nining Aqielah: Ustadz SA, ,,, bagi ana rumiiiiit. 

Raymond Kamil:

Ancha Wallacea: waduh pembahasan dari Tahun 2 masih gini sampe sekarang....mudah-muda- han yah jadi Rausyanfikr semua ditunggu saja implementasi sosialnya.. 

Hendy Laisa: Ini lagi bung Roy Khan. 

Ganendra Erol Bin Saduq: Hmm, 

Nadi Utomo: Amat sangat terasa diriku posisinya jauh dari kata awam... 

D-Gooh Teguh: Waduh... aku sudah gak paham lagi, masih muncul namaku. *_* 

Sang Pencinta: Mas guh, resiko mas, komen di arsip ustad Sinar, sepanjang masa tercantum dan diinget orang, hehe. 

Wishnu Adji: Wuihhh bahasan jeglerr tenan ki. Bagi ustad yang tahu bedanya logika dan filsafat itu apa ya? 

Fredoomandirindependenetral Freedomandirindependenetral: Alangkah awamnya diriku ini 

Joko Kendil: Wong cuma mbulat mbulet thok kok ya jadi rujukan .... Mending jadi rujak an aja nak 

.... Xixixi. 

Ehm. هرينتو غنوان

Dahliani Dwi Putri: Aku nggak tau mana di sini predikatnya. 

Giri Sumedang: sebenarnya logika dari proposisi “sebelum ada subjek, penilaian (predikat) apap- un tidak berlaku..” ini sudah sangat gamblang dan jelas sekali kak. Kita bisa memandang proposisi di atas dari dua kategori, pertama imma ia sebagai ekstensi yang bersifat esensial? Atau kedua, ia sebagai esensi yang eksistensial? Mana mau dipilih kak? 

30 November pukul 9:01 · Telah disunting · Suka


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Logika (Bgn 5)



Seri Tanya jawab Status Ustad. Muhsin Labib 


Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 Juli 2011 pukul 13:34


Status: Muhsin Labib: “relatif” itu mutlak? Komentar-Komentar : 

Sabara Putra Borneo: Tetapi mutlak itu tidak relatif... hehehehehe. 

Mustafa Muhammad Ba’abud: Bukankah kebenaran mutlak hanya Milik Allah dan manusia diciptakan dengan serba relatif? Mohon pencerahan ustad. 

Muhsin Labib: Andai pengertian “relatif” tidak mutlak, maka tidak ada sesuatu yang bisa disebut “relatif”.

Sinar Agama : Relatif itu adalah relatif dan bukan mutlak, karena makna keduanya jauh berbeda. Ini kalau kita definisikan relatif dengan zat-zat dirinya dan hakikat dirinya dalam pahaman kita. Definisi seperti ini adalah definisi esensi dan hakikatnya dimana letak kesamannya ada dalam pahaman. Karena definisi harus sama dengan yang didefinisi. Jadi kalau dikatakan mutlak, maka ia adalah definisi yang salah. Akan tetapi ada lagi definisi yang tidak menerangkan zat- zat dan hakikat dirinya, akan tetapi hanya mengandalkan penerapan di luar akal. Di sini relatif bisa dikatakan mutlak. Yakni relatif termasuk salah satu mishdaq atau ekstensi dari pahaman mutlak. Definisi pertama biasa disebut dengan definisi pertama atau awwali, sedang yang ke dua ini disebut dengan definisi kebanyakan. Pertemuan dan kesamaan pada definisi pertama itu dalam pahaman dan esensinya, tetapi pada yang ke dua pada ekstensinya atau wujud luarnya. Kalau dicontohkan dengan esensi manusia, maka untuk definisi pertama dikatakan “manusia adalah manusia” atau “manusia adalah binatang rasional”. Tetapi contoh definisi untuk definisi kebanyakan dikatakan “manusia adalah Hasan, Husian ...dan seterusnya”.

Muhsin Labib: @sinar: tanpa menafikan penjelasan antum, status di atas berkaitan dengan pola haml (predikasi) primer dan sekunder... Ini soal “awwalan wa bidz-dzat”...

Sinar Agama: Benar, ana cuma menjelaskan pada orang yang belum tahu atau yang lupa. Ahsantum cuma tetap perkataan antum: Ini soal “awwalan wa bidz-dzat”... tetap sulit dicerna. Karena definisi sekunder itu tidak bisa bidzdzat artinya tidak melihat sama tidaknya, dan hanya melihat bertemu tidaknya di luar akal.

Muhsin Labib: @sinar; memang, konteks “relatif” (dengan tanda petik itu mutlak) mengacu pada kemutlakan dan universalitas pengertian relatif.

Sinar Agama: Ustadz, relatif itu pengertiannya adalah relatif, bukan mutlak, dan bahkan justru lawan dari mutlak. Dan keuniversalannya itu tidak bisa mengeluarkannya dari makna relatif. Seperti manusia yang keuniversalannya tidak meliputi makna yang berlawanan dengannya seperti kuda misalnya. Jadi manusia adalah manusia dan bukan bukan manusia. Mutlak juga begitu, ia lawan relatif dari sisi makna dan zatnya serta pengertiannya. Akan tetapi dari sisi penerapan, maka ralatif bisa dimasukkan ke dalam ekstensi mutlak. Yakni bahwa pemaknaan dari relatif yang bermakna relatif dan bukan mutlak ini, dan bahkan bukan makna yang lainnya, termasuk dari ekstensi makna mutlak. Jadi, yang mutlak itu bukan relatifnya, tetapi pemaknaan relatif dengan relatif dan bukan dengan mutlak itu. Mungkin saja antum yang benar. Ini sekedar sumbang sih, itupun kalau benar. Afwan.

Muhsin Labib: Ya akhi “SA” mestinya antum tidak perlu bermurah hati memberikan klarfikasi tentang masalah yang sangat jelas ini. Saya tahu bahwa relatif itu tidak mutlak. Konteks saya menulis status itulah yang mungkin tidak tertangkap oleh antum. Bila makna “relatif” itu relatif maka dia pada dirinya adalah relatif dan karenanya tidak dapat dijadikan parameter.

Sinar Agama: Yah... kalau ghitu afwan deh.. ana tidak koment lagi, sebab masih beda... nggak apa-apa ustadz silahkan saja. 


Tika Chi Sakuradandelion, Hendy Laisa, Agoest Irawan dan 22 lainnya menyukai ini. 


Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad. 


Hendy Laisa: simak bung Roy Khan

Jayadhy: SA senang lihai benar memancing perdebatan, walau sebenarnya SA ngerti maksd dari Ust. ML dari sudut pandang apa status itu ditulis. (Mudah mudahan tidak salah. hehehe). Tapi mantap kok!!! Lanjutkan!!! 

Hendy Laisa: Mohamed Matona> Tolong jangan mengedit catatan dalam grup. 

Hendy Laisa: Mudah-mudahan Anggelia Sulqani Zahra menengok hal ini, afwan. 

Melvin Andrian Tanjung: Mantap !! Ketika Ustad Intelektual beradu ilmu (berdebat)... kita-kita hanya menyimak saja.. 

Wibi Wibo de Bowo: Sepakat dengan ML ! 

Zaranggi Kafir: Sepakat dengan SA !!! 

Yudhas Kopula: Mantap. 

Alie Sadewo: Mantau. 

Bande Husein Kalisatti: Ya..gitulah.. 

Wahyu Nugroho: Aku gak mudeng yang kaya gini-gini.... jadi aku ambil langkah sederhana ajalah.... 

Giri Sumedang: Filosof memandang relatif itu tidak mutlak, para arifin memandang relatif itu ber- asal dari yang mutlak, sehingga ia menempel total pada kemutlakannya (sebagai asas atau prinsip dari realitas dan hukumnya) maka ia tidak bisa dipisahkan dari kemutlakannya sendiri. Atau dengan kata lain “si relatif” itu juga telah meminjam baju eksistensi “si mutlak” tadi. Sebab kalau tidak kak, kita tidak bisa mendifinisikan apa pun dari semua kemaujudan ini. Sekarang kita mau pakai sudut pandang apa dan dari mana untuk melihat realitas ini? 

Mau mencoba memisahkan secara dikotomis kemutlakan dari yang relatif adalah mustahil ya kan kak? Atau mencoba mengontradiksikan ke-dua hal tersebut juga perbuatan sia-sia. Bahwa kedua hal tersebut dalam makna itu berbeda, jelas ya. Kalau tidak berbeda, wah repot kita kak, ya kan. Mending pakai satu term aja.. pakai relatif atau sekalian mutlak semua. Tapi justru itu tidak menjadi sempurna ia sebagai realitas, walaupun ia hadir sekedar sebagai pahaman, hukum, konsepsional, dan esensial lainnya.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Logika (Bgn 4) “Akal Pahaman dan Akal Amali”



Oleh Ustad Sinar Agama 

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:25



ENg’guh Al Ghifari : Salam ustad,, terima kasih banyak ustad atas jawabannya, afwan ustad saya ingin bertanya lagi, apakah benar ilmu bukan untuk di pahami dan pemahaman yang hakiki tardapat pada pelaksanaan hidup, itu baru makna suatu keilmuan. (Pertnyaan ini dari jawaban teman saya ustad, teman saya sendri memahami tntang ilmu yang dia pahami sperti itu.) Syukran ustad.

Sinar Agama : Salam dan terima kasih pertanyaannya, Ilmu jelas untuk dipahami. Dan ilmu, bukan gambaran akal atau keyakinan tanpa dalil, kecuali memang tidak ada predikatnya, seperti putih, panas, manusia, api, gunung dan seterusnya. Tetapi kalau mengandung hukum atau predikat, dan tidak tergolong ilmu mudah seperti api itu panas, maka harus memiliki dalil. Dan dalilnya harus bermuara pada ilmu mudah.

Dengan dua poin di atas itu dapat diketahui bahwa tidak mudah mengatakan ilmu pada sesuatu yang tidak mudah. Karena harus memiliki dalil yang bermuara pada proposisi atau stattement mudah seperti “api panas” itu. Dalam Qur'an dan hadits terlalu banyak yang memerintah kita untuk mencari ilmu, dimana kalau ilmu itu adalah ilmu agama maka yang mati di jalannya adalah mati syahid, dan selalu mendapat karuniaNya. Sampai-sampai dikatakan dalam suatu riwayat: “Orang yang beramal tidak diatas dasarkan pada ilmu, maka ibarat musafir yang tidak berjalan di atas jalannya.

Karena itu, kecepatan jalannya, tidak akan menambah apapun kecuali semakin jauhnya dari tujuannya.” Karena itu salah satu kewajiban yang termasuk terbesar dalam Islam, adalah kewajiban belajar ilmu akidah dan fikih.

Orang yang tidak belajar fikih keseharian adalah dosa hukumnya. Namun demikian, walau ilmu dan menuntutnya agama itu adalah kewajiban dan memiliki pahala yang tinggi dan yang mati di jalannya adalah mati syahid, akan tetapi dalam tingkatan yang lebih tinggi, ia adalah hijab. Artinya hijab yang berupa cahaya dan petunjuk.


Karena ilmu adalah hidayah dan petunjuk, seperti manual bagi setiap barang elektronika yang kita beli. Namun, kalau ia tidak diamalkan, dan dicintainya tanpa menyintai aplikasinya, maka ia adalah hijab. Artinya hijab bagi tingkatan yang lebih tinggi itu. Saking ditekankannya aplikasi itu, hingga imam Ali as. mengatakan bahwa: “Orang yang tahu tapi tidak beramal, maka ia tidak tahu.”. Hal itu karena kalau tahu itu ada tahu akli yakni pemahamannya, dan tahu/ilmu amali yakni yang menyuruh kita mengaplikasikannya. Yakni akal itu ada dua: akal pahaman dan akal amali.

Karena itu maka konsekwenan akal yang berupa ilmu, juga akan ada dua, yaitu ilmu pahaman dan ilmu amalan (bc: ilmu kita yang menyuruh bahwa ilmu yang benar itu harus diaplikasikan dalam kehidupan). Dengan penjelasan di atas itu, maka ilmu dan mencari ilmu itu adalah syarat bagi keselamatan. Namun demikian ia tidak lengkap kecuali dengan aplikasinya. Wassalam.

Tika Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin dan 5 orang lainnya menyukai ini. 


Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Logika (Bgn 3)



Seri Tanya Jawab : Billy Joe Hernandez dan Ustad Sinar Agama 

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:24



Billy Joe Hernandez : Salam Ustad, Mohon di jelaskan tentang substansi beserta bagian-bagiannya yang lima itu yaitu : 
  1. Matter (material) 
  2. Form 
  3. Benda 
  4. Jiwa/ruh dan 
  5. Akal Shukron ustadz. 
Sinar Agama : Salam dan terima kasih pertanyaannya:

1. Matter/matrial adalah dimensi material dari setiap keberadaan materi. Artinya ia adalah pembawa sifat potensi yang ada pada setiap keberadaan material. Misalnya mani yang dari sisi substansialnya terdiri dari dua hal, material dan formnya sebagai mani (bukan batu, pohon dan seterusnya). Mani jelas memiliki sifat yang dikenal dengan potensi, yakni potensi menerima form lain selain kemaniannya, misalnya darah, daging dan janin. Seluruh keberadaan materi, seperti pohon, kucing dan seterusnya, di samping memiliki formnya sebagai pohon dan kucing, ia juga memiliki material yang memikul sifat potensi menerima form/bentuk yang lainnya.


Nah, pembawa sifat potensi menerima form lain itulah yang dikatakan Matter/material. Sedang formnya, atau speciesnya, seperti pohonnya pohon (bukan materialnya pohon) sudah pasti tidak akan menerima form lain seperti tanah, atau api. Karena form ketika dalam keadaan eksis, maka artinya ia bukan form yang lain. Beda halnya dengan material pohon yang bisa menerima form tanah atau api dan/atau form-form yang lain.

2. Form adalah bentuk, tetapi bukan bentuk yang dipakai pada benda hingga berarti melingkar, kerucut dan semacamnya. Tetapi bermakna species dari setiap wujud materi. Seperti pohon, maka pohonnya pohon adalah formnya yang, karena itu ia dapat dibedakan dengan form lain seperti, air, batu, mani dan seterusnya. Atau manusia, maka akal atau manusianya manusia, adalah formnya, dan badannya yang membawa potensi menerima wujud form lain seperti tanah (kalau sudah mati) adalah matternya.

3. Benda adalah setiap apa saja yang menerima panjang, lebar dan tebal. Biasanya, setiap benda ini, selalu membawa matter dan form. Tetapi akal dapat membedakan apa yang disebut “benda” yang, biasa dilawankan dengan non benda atau non materi.

4. Jiwa atau ruh, adalah non materi secara zatnya tetapi material secara aktifitasnya. Seperti ruh binatang, ruh manusia, ruh pohon, ruh batu....dan seterusnya. Semua ruh-ruh itu, pada hakikat zatnya, adalah non materi, akan tetapi dalam aktifitasnya memerlukan pada materi. Karena itu, pohon untuk mengeluarkan zat asam, memerlukan badan pohonnya. Begitu pula ruh binatang dan manusia, untuk beraktifitas seperti gerak ikhtiarinya dan semua geraknnya itu, perlu kepada material atau benda.

5. Sedang akal, adalah yang non materi secara zat dan aktifitas. Seperti malaikat Barzakh dan malaikat Akal.

Wassalam. 


Chi Sakuradandelion dan 4 orang lainnya menyukai ini. 

Khommar Rudin : Allohumma Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad Wa ‘Ajjil Farojahum.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 26 Agustus 2018

Logika (Bgn 2)



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:22


Saepul Rochman : Assalamu’alaykum. wr.wb. Ustadz Sinar, mohon dijelaskan mengenai epis- temologi, cara-cara, kaidah-kaidah penafsiran/takwil Al-qur’an menurut Ahlu Bait dan bagaimana pendapat ustadz tentang Kritik Teks (naqd An-nash) Ali Harb, saya sedang belajar dan masih terasa kering jika berbicara tentang Islam yang sebenarnya, Wassalamu’alaykum.wr.wb.

Sinar Agama : Salam dan terimakasih pertanyaannya. Pertanyaan antum ini perlu jawaban sebuku setidaknya. Tetapi alfakir akan berusaha memberikan gambaran ringkasnya, tetapi tolong sabar, karena sudah beberapa jam belum selesai. Nanti baru akan dikirimkan di koment ini, doakan.

Salam dan terimakasih pertanyaannya : Pertanyaan antum ini memerlukan jawaban dalam satu buku, setidaknya. Hem. Tetapi karena kata orang Arab: Kalaulah tidak terjangkau keseluruhannya, jangan ditinggalkan semuanya. Jadi saya akan coba saja.

Tentang Mengenal ilmu al-Qur'an, maka perlu diketahui bahwa Qur'an itu adalah ilmu juga seperti ilmu-ilmu lainnya. Karena Qur'an diturunkan oleh Tuhan untuk membimbing manusia ke jalan yang benar. Artinya sesuai dengan alamiah ciptaan dan sistemNya. Karena itulah Qur'an menjelaskan semua hal, terutama yang berkenaan dengan diri manusia, alam sekitarannya yang berhubungan dengannya, dan tujuan penciptaannya, seperti Tuhan, surga, insan kamil dan semacamnya.

Karena itulah Qur'an adalah informasi terhadap hakikat sesuatu, baik dari mananya, di mana- nya dan kemananya. Yakni dari mana berasal, dan memiliki potensi apa, serta bagaimana menggunakannya. Walhasil Qur'an adalah manual alam semesta ini, baik yang berurusan dengan manusia atau makhluk yang lainnya. Jadi, dari sisi ini, maka Qur'an tidak beda dengan ilmu-ilmu lainnya yang menginfokan keniscayaan, potensinya dan cara penggunaannya untuk mencapai tujuan penciptaannya, yakni kesempurnaan.

Ilmu yang lain dari ilmu Qur'an, maksudnya adalah yang didapat dengan cara selain Qur'an, banyak sekali bentuknya. Bisa melalui Panca Indra yang ilmunya biasa dikenal dengan Ilmu Panca Indrawi. Ada yang dengan insting yang biasa dikenal dengan Perasaan. Ada yang dengan akal, yang biasa dikenal dengan ilmu-argumentatif-akliah. Ada juga yang dengan eksperiment yang bisa dikenal dengan Ilmu Laboratoris. Ada juga ilmu yang dicapai dengan pembersihan jiwa tingkat biasa yang disebut dengan Kasyaf dan ilmu Ladun. Ada yang lewat meditasi. Ada yang lewat bertapa. Dan semacamnya.

Sedang Qur'an sendiri itu, diturunkan lewat renungan yang dibarengi dengan pembersihan jiwa tingkat sangat tinggi hingga ruh seseorang (Nabi saww.) menjadi menjadi kertas putih yang layak untuk dijadakan lembaran-lembaran yang di atasnya Tuhan menuliskan beberapa ilmuNya yang perlu diketahui manusia yang, dikenal dengan Wahyu-syariat, yakni Qur'an dalam hal ini. Dan kalau tingkatan pembersihannya sama akan tetapi bukan syariat, maka dikatakan wahyu ilmu (bc: bukan syariat).

Beda ilmu yang ada dalam Qur'an dengan ilmu-ilmu lainnya setidaknya ada beberapa hal:

(a). Dari sisi kelengkapan obyek bahasan ilmunya. Yakni bahwa di Qur'an sudah dijelaskan semua sesuatunya, terlebih yang menyangkut nilai prilaku manusia, baik yang dibahasakan dalam bentuk hukum/fikih (sebagai dasar hidup yang wajib dan minimal) atau dalam bahasa akhlak (yang tidak wajib dan hanya pelengkap dan maksimalnya hanya dianjurkan) atau bahkan dalam bentuk Irfan/wahdatulwujud (yang semakin tidak wajib dan tidak dianjurkan secara umum).

Jadi, dalam Qur'an apapun yang ada di alam ini, khususnya yang secara naturalnya, dan potensi yang dikandung di dalamnya, dari masa lalu, sekarang dan akan datangnya, semua, sudah dijelaskan. Artinya natural dan potensinya yang berhubungan dengan prilaku dan ikhtiar manusia. Jadi, apa saja yang menyangkut makhluk dan potensinya, terutama yang berhubungan dengan ikhtiar dan karakter manusia, sudah diterangkan. Karenanya, yang bisa menguaknya hanyalah orang-orang yang spesialis mengkajinya. Ada obyek lain yang tak kalah pentingnya dan bahkan dasar dari semua yang diterangkan di dalam Qur'an. Yaitu tentang Tuhan itu sendiri. Baik ZatNya, Sifat ZatNya, Sifat Fi’ilNya, PerbuatanNya dan seterusnya. Sementara ilmu-ilmu selain Qur'an tentu saja tidak menyeluruh dan berkembang sesuai dengan kemampuan setiap masanya.

(b). Beda lainnya adalah dari sisi kepastian benarnya. Mengapa al-Qur'an pasti benar informasinya? Sudah tentu karena penginfonya, penulisnya dan penurunnya adalah Allah swt sendiri yang mencipta alam ini dengan segala sistem yang ada dimana Ia pasti tahu seluk beluknya. Karena itulah ilmu yang ada dalam Qur'an pastilah benar. Namun demikian, kebenarannya adalah kebenarannya. Artinya Qur'an yang benar itu adalah Qur'an yang Qur'an. Yakni Qur'an yang dimaksudkan olehNya, bukan Qur'an yang kita pahami.

Karena Qur'an yang kita pahami, sangat-sangat belum tentu sesuai dengan maksudNya. Jadi, Qur'an yang kita pahami ini, bisa benar dan bisa juga salah. Dan yang benarnya, bisa di tingkatan bawah, dan bisa di tingkatan tengah dan bisa pula di tingkatan atas.

Begitu pula, ilmu yang bukan dari Qur'an itu tidak mesti salah atau apalagi pasti benar. Tidak demikian. Jadi, ilmu selain dari Qur'an bisa salah dan bisa benar juga. Dengan demikian, Qur'an dan selainnya sama-sama menunjukkan kepada kenyataan, tetapi yang pertama pasti benar dan yang ke duanya belum tentu benar. Tetapi yang pertamapun harus Qur'an yang Qur'an, bukan yang salah pemahamannya.

Karena itulah maka Qur'an yang Qur'an dan ilmu-ilmu lainnya yang benar, sama-sama obor, sama-sama cahaya yang menerangi akal dan ruh kita untuk mengetahui obyek ilmunya atau kenyataan yang sesungguhnya. Kalau terjadi perbedaan antara ilmu Qur'an dan ilmu lainnya, maka bisa saja ilmu Qur'annya yang salah dan bisa juga ilmu lainnya, dan bisa saja sama-sama salah, dan bisa saja sama-sama benar yang belum diketahui titik temunya.

Semua ilmu, baik Qur'an dan bukan, ada yang mudah dan ada pula yang perlu dipikir. Tentu saja perbandingan di sini ini adalah antara Qur'an yang kita ketahui, artinya yang belum tentu sesuai dengan yang dimaksudkan Allah dan Rasul saww. atau para imam maksum as.

Pertentangan keduanya itu bisa dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:

(a). Ilmu Qur'an yang mudah lawan ilmu lain yang juga mudah. Di sini, sulit ditemukan kejadiannya. Karena secara fitrah dan seyogiyanya, akal dan keAdilan serta keBijakan Tuhan, keduanya harus seiring. Artinya, tidak mungkin Tuhan tidak meyakini-i atau menge- ya-i ilmu-ilmu mudah kita, seperti panasnya api, bahayanya harimau, cairnya air, padatnya batu, adanya marah dalam hati, cinta, rindu dan dendamnya, dan seterusnya. Karena itulah Tuhan mengatur semua itu. Coba bayangkan kalau Tuhan belum mengiyakan ilmu-ilmu mudah kita itu, maka Tuhan harus menerangkan dulu maksud marah dan baru bisa memberikan hukumnya, menerangkan dulu maksud makan dan minum baru menerangkan hukumnya dan seterusnya.

Nah, karena ilmu mudah itu adalah diperlukan seperti nafasnya manusia, maka pernyataan Tuhan dalam Qur'an yang berpijak pada hal-hal mudahpun pasti mauNya adalah yang dipahami manusia itu. 

Memang, ilmu mudah ini tidak mesti diketahui oleh setiap manusia dan/atau disadarinya. Karena itu ia memiliki beberapa syarat: Tidak dipikir; Sehat panca indra; Tidak gila; Tidak berpenyakit ragu; Disadari (konsen/fokus).

Yang dimaksudkan dengan “lawan” adalah “kontradiktif” atau saling menolak. Tetapi kalau hanya berbeda saja, maka sangat mungkin sama-sama benar.

(b). Ilmu mudah Qur'an lawan (bertentangan) ilmu sulit (yang perlu renungan) atau sebaliknya, yakni ilmu mudah selainnya (akal) lawan ilmu sulit Qur'an. Di sini, kita seyogyanya mengambil yang ilmu mudahnya. Apakah Qur'an atau selainnya. Dan meninggalkan yang sulitnya, apakah Qur'an atau selainnya.

Akan tetapi, untuk lebih hati-hatinya, maka harus ditengok ulang terlebih dahulu, apakah kemudahan ilmunya itu –Qur'ani atau selainnya itu- sudah benar-benar demikian, atau kita yang salah menerka hingga mengatakan bahwa ilmu pikir itu sebagai ilmu mudah. 

(c). Ilmu sulit Qur'an berlawanan dengan akal gamblang. Disini kita harus ambil yang akal gamblangnya. Kemudian mencarikan jalan keluar bagi pemahaman akan Qur'annya itu, dengan dalil-dalil akal gamblang tadi. Seperti., di dalam Qur'an dikatakan bahwa Tuhan mencipta nabi Adam as. dengan dua tanganNya. Di sini, kalau tangan ini dimaknai dengan arti yang biasa dipakai sehari-hari secara lebih banyak, maka Tuhan akan menjadi Benda. Karena akal gamblang mengatakan bahwa kalau punya tangan pasti punya tubuh, kepala dan semacaamnya. Karena itu pasti terangkap seperti yang diyakini Kristen (satu dalam tiga dan sebaliknya).

(d). Kalau sama-sama sulitnya, maka dilihat, mana yang memiliki dasar argument yang berakhir pada ilmu-mudah dan gamblang. Kalau salah satunya memiliki, maka ialah yang kita ambil. Dan kalau sama-sama, tidak memiliki karena belum ditemukan, maka tugas kita adalah tawaqquf, yakni no koment dulu.

Sementara untuk memahami Qur'an, maka banyak sekali syaratnya. Seperti bahasa Arabnya (termasuk sastranya), akal sehat, dalil sehat, asbabunnuzulnya, sejarah, hadits- hadits, ayat yang berhubungan.....dan seterusnya.

Sedang Untuk Pendekatannya:

(a). Bisa memakai metologi Pemahaman Qur'an lewat Qur'an. Yakni, bisa dikatakan metologi konstektual. Yaitu membandingkan ayat yang mau dipahaminya dengan ayat-ayat lain yang berhubungan, dan melihat kondisinya. Jadi tidak bisa memahami Qur'an hanya dengan tekstualnya saja. Yakni memahami satu ayat dan tidak membandingkannya dengan ayat-ayat lainnya.

(b). Bisa memakai metodologi Hadits. Yakni melihat penjelasannya dari hadits-hadits yang ada, baik menyangkut langsung atau tidak langsung. 

(c). Bisa memakai metodologi ilmu Kalam. Yakni memakai dasar-dasar pemikiran dan konsep yang ada dan sudah teruji di ilmu Kalam, lalu menerapkannya pada pemahama ayat-ayat Qur'an.

(d). Bisa juga memakai metologi Filsafat. Yakni memakai kaidah-kaidah dan konsep-konsep yang sudah diyakini kebenarannya di filsafat sesuai dengan dalil gamblangnya, lalu menerapkannya kepada pemahaman ayat-ayat.

(e). Bisa juga memakai metodologi Irfan. Yakni menggunakan nilai-nilai dasar yang ada dalam Irfan, lalu menerapkannya pada pemahaman ayat Qur'an.

(f). Dan lain-lain metodologi, seperti sejarah dan seterusnya.

Pendekatan paling bagusnya adalah memakai semua metodologi yang ada. Karena semua itu tidak bertentangan, akan tetapi bisa saling melengkapi.

Tentang buku kritikan terhadap penafsiran teks itu saya tidak bisa koment, karena harus cari bukunya dulu dan membacanya dengan bijak. Tetapi kalau yang dimaksudkan teks itu adalah teks ayat tanpa mengkomparasikannya dengan ayat-ayat lain setidaknya, maka penafsiran seperti itu, memang lebih menyesatkanya dari benarnya, kecuali kalau hal-hal yang terbukti mudah.

Saepul Rochman : Terima kasih jawabannya, ustadz. Afwan jika saya bertanya lagi, tidak bermaksud mendebat, karena apa yang ustadz katakan memang benar adanya. Hanya kegelisahan saja. Akhir-akhir ini sering muncul persoalan-persoalan, seperti “membebaskan Al-qur’an dari sejarah turunnya”, atau “asbabun nuzulnya hari ini”, “membahasakan Al-qur’an sebagai asas-asas teori sosial”. Kemudian saya pernah membaca Teorinya Asghar Ali tentang pendekatan teologi sosial, yang saya pahami adalah mendekati ayat-ayat teologis sebagai analogi dari proses sosial. Menurut ustadz sendiri tentang persoalan tersebut bagaimana...??. ,. Wassalam.

Sinar Agama: Saepul, Tak masalah antum bertanya atau berdebat. Yang diutamakan adalah memakai dalil, dan terlihat mencari kebenaran. Karena saya sendiri juga dalam pencarian yang tidak pernah henti. Memang, kalau debatannya itu dibahasakan yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing orangnya, maka akan lebih nyaman.

Membebaskan Qur'an dari Asbabunnuzulnya, bukan berarti mensosialkan bahasanya. Karena kedua- nya itu, tidak bertentangan, tetapi bahkan saling teriring. Kecuali kalau maksud pensosialisaiannya itu, adalah sosial sekarang. Karena, sosial sekarang, banyak yang tidak sama dengan sosial masa diturunkannya Qur'an. Karena itu, kalau sosial sekarang ini dijadikan tolok ukur pemahamannya, maka sudah pasti Qur'an akan keluar dari maknanya. 

Namun demikian, sosial manusia di setiap jaman tetap bisa menjadi pertimbangan makna Qur'an. Akan tetapi setelah memaknai terlebih dahulu dengan kondisi diturunkannya Qur'an itu. Artinya, kita harus tahu dulu makna asalnya. Setelah itu, baru menyesuaikannya dengan kondisi sekarangan. Hal itu agar tidak terjadi penyelewengan makna, dan tidak pula terjadi penyesuaian liar terhadap kondisi sekarang.

Kalau ulama, sudah sangat mengerti apa yang harus dilakukan. Karena dari masa ke masa hanya mengkaji Qur'an dan hadits-hadits. Jadi, mereka mengerti makna awal diturunkannya Qur'an itu yang tentu disesuaikan dengan kondisi sosial di masa turunnya Qur'an. Setelah itu, mereka mencoba mengerti makna sesungguhnya yang, biasa dikenal dengan ‘ilalusysyaraayi’ (filsafat atau sebab hukum). Dan setelah itu, ditranfusikan dari ulama sebelumnya ke ulama setelahnya secara akademis dan sistematis sampai pada hari ini. Jadi, penyesuaian itu sangat dilakukan dengan hati-hati pada setiap estafet sosial masyarakat, alias tidak sembarangan. Karena itulah yang tidak membidangi agama, mesti ikut mereka yang membidanginya.

Misalnya, dulu kita tahu bahwa yang memabokkan itu hanya ada satu macam, yaitu khamer (minuman memabokkan) yang juga telah dihukumi dengan haram. Tetapi kita juga tahu bahwa pengharamannya itu karena kemabokannya itu, bukan karena minuman kerasnya semata. Misalnya dengan adanya hadits yang mengatakan bahwa “Minuman keras itu diharamkan karena memabokkan.” Maka dengan ini kita menjadi tahu bahwa yang diharamkan itu bukan minuman keras itu sebagai minuman keras, tetapi sebagai sesuatu yang memabokkan (menghilangkan kesadaran).

Karena itulah maka apapun yang memabokkan, hukumnya adalah haram. Apakah ia beer, heroin, ganja ...dst. memabokkan. Jangan lupa, bahwa pembahasan sosial itu, adalah sebab dasar ke dua setelah akidah dari diturunkannya Qur'an. Artinya, hukum-hukum Tuhan itu diturunkan untuk menata sosial. Jadi, bahasa Qur'an memang sosial. Jadi, justru Qur'an itu untuk menata sosial kita manusia. Tentu saja dengan memahaminya terlebih dahulu dengan cara di atas itu.

Tentang teori teologi menuju sosiologi, itu memang inti dari Qur'an seperti yang diterangkan di atas itu. Artinya, apa arti kita bertauhid, kalau dalam urusan-urusan sosial kita mengambil dari hukum dan tata cara selain dariNya. Apa gunanya kita mengatakan Allah Maha Alim, Tahu, Kuasa, Kasih, Penyayang, Adil, Bijaksana......dan seterusnya, tetapi aturan hidup bersosial, berpolitik, berseni, berekonomi, berdakwah, .......dan seterusnya mengambil dari kocek sendiri, budaya sendiri dan, apalagi dari barat yang kafir? 

Wassalam.


Tika Chi Sakuradandelion, Bande Husein Kalisatti, Khommar Rudin, dan 13 orang lainnya menyukai ini.

Ammar Dalil Gisting: Shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad..

Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad.

Saifulbahrein Abdullah: http://www.facebook.com/.../Melawan.../434230616597552 Melawan Propaganda Musuh Membina Kesatuan Islam

Saifulbahrein Abdullah: Afwan enggak tahu mahu dikongsi dimana. Afwan. 

Daris Asgar: Allohumma Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad Wa ‘Ajjil Farojahum. 

Khommar Rudin: Allohumma Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad Wa ‘Ajjil Farojahum. 

20 April pukul 17:36 · Suka



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ