Sabtu, 04 Agustus 2018

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 12)




Seri Tanya Jawab: Sulaim Hilmi dan Ustad Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, January 26, 2011 at 7:26 am


Sulaim Hilmi: Assalamualaikum ustadz, Afwan ana mau bertanya: 

1. Apakah benar nabi Muhammad buta huruf (nabi yang ummi) sampai akhir hayatnya, lantas bila benar penulisan segala simbol huruf terhadap yang dimaksud oleh beliau siapa yang mengontrolnya? 

2. Banyak sekali kitab keilmuan yang ditulis Imam Ali seperti Najhul Balaghah yang menunjukkan beliau tidak buta huruf, siapa guru beliau dalam hal kemampuan sastra yang demikian tinggi. 

Sinar Agama: Salam wr wb: 

1. Rasul saww memang buta huruf karena berbagai alasan dan hikmah. Misalnya kalau pandai menulis orang akan mengira bahwa Qur'an itu adalah tulisannya. Setidaknya akan perlu proses panjang untuk meyakinkan masyarakat dimana akan mengganggu pangajaran aga- ma, itupun kalau pada akhirnya ada yang percaya, dan kalau tidak ada, maka sampai akhir kandungan Qur'an tidak bisa diajarkan. 

2. Nabi tidak perlu baca-tulis, karena Nabi saww mencapai ilmu dengan tanpa melalui baca-tulis. Jadi walau buta huruf bagi kita adalah kekurangan, tapi bagi Nabi saww, bukan kekurangan, karena Nabi saww tahu semua itu dan bahkan hati kita tanpa melalui huruf dan tulisanya. Ibarat Nabi saww tidak punya pancing tapi punya ikan sebanyak alam semesta, jadi bukan aib kalau Nabi saww tidak punya pancing. Begitu pula tentang alat mencari ilmu ini, yakni baca tulis. 

3. Mungkin saja guru baca tulis imam Ali as itu adalah ayahnya Abu Thalib, dan mungkin juga sebelum Islam. 

4. Nabi saww yang nafas-nafasnya adalah wahyu Tuhan lebih sastrais dari imam Ali as. Jadi Rasul saww berada di peringkat pertama dalam segala hal. Akan tetapi karena mungkin supaya orang-orang bisa lebih konsen kepada ajarannya, karena di masa-masa awal turunnya agama, maka Nabi saww lebih cenderung tidak menonjolkan sastranya. 

Sulaim Hilmi: Syukron ustadz atas penjelasannya.. bila diijinkan ana mau teruskan bertanya. Dari hikmah keadaan umminya rasul dan kedalaman ilmu sastra Imam Ali (yang ustadz belum tau pasti siapa ”guru”nya dan siapa yang mengontrol kualitas rangkaian huruf dari naskah Al-Quran pada masa itu), sedangkan saya sempat berasumsi semua pendidikan ilmu yang dimiliki Imam Ali diperoleh dari Nabi SAW, menjadikan saya ingin bertanya lanjut tentang bberapa hal: 

1. Apa makna dan hikmah dari ayat pertama ”Iqra” yang turun kepada nabi, dari sisi makna perintah kepada nabi maupun kita umatnya selanjutnya? 

2. Dengan merujuk penjelasan dari ustadz pada catatan wahdatul wujud maupun tahap-tahapan suluk, menunjukkan bahwa tahap-tahap kesempurnaan diri hingga pada puncak fana mestilah dengan jalur akademis hingga ilmu dan hal-hal yang dialami dalam perjalanan dan strategi diri dalam menuntaskan tiap-tiap tahap mesti terarah sesuai dengan ilmu yang baku oleh para ulama. Lantas ”bagaimana pendapat ustadz tentang pandangan bahwa kita dapat meniru jejak rasul dalam beriktiar mencari dan mencapai Kebenaran sejati (Al-Haq) dengan secara mandiri lewat perilaku berkhalwat (mohon penjelasannya juga mengenai riwayat tentang amalan apa yang dikerjakan Rasul selama berikhtiar khalwat di goa hira tersebut)? ” 

3. Sebagaimana saya menyinggung mengenai hal ”guru” di pertanyaan saya sebelumnya , saya mohon penjelasan ustadz tentang arti penting kedudukan Guru ”Mursyid”, yang di kalangan para pelaku tarekat begitu fundamental dalam upaya mendekatkan diri kita dan memastikan bahwa jalur kita menuju fana kepada Allah bakal terjadi. 

4. Apakah bila kita pengikut Ahlul Bait mengenal dan memberlakukan mengenai ”Mursyid” ini lantas siapakah mursyid kita? Apakah Imam Mahdi as? Allahumma solli ala Muhammad wa aali Muhammad fa ajjil farajahum wa ahlik aduwahum minnal jinni wal innsi minal awwalin wal akhirin... afwan. 

Sinar Agama: Salam, Terima kasih atas perhatian dan pertanyaannya: 

1a. Tentang Iqra’ yang harus diketahui adalah tidak mesti membaca tulisan, akan tetapi bisa dengan diktean. Jadi Nabi saw, di sini membaca melalui diktean Jibril as. 

1b. Membaca, memiliki hikmah yang besar bagi semua manusia yang pada umumnya menuntut ilmunya melalui tulisan. Jadi hikmah Iqra’ bagi kita manusia adalah menyuruh kita belajar, dan belajar dimulai dengan belajar tulis menulis alias membaca. Jadi membaca adalah ilmu pertama untuk mencapai ilmu-ilmu lainnya. 

1c. Sekali lagi, karena Nabi saw mendapat ilmunya dari membaca ayat-ayat nyata Tuhan, baik alam ini atau diri beliau saw dan telah sampai ke tingkat mengetahui semua yang bisa diketahui manusia, maka sudah tentu beliau saww tidak perlu lagi belajar tulis-menulis. Beliau saww tahu bahkan suara hati dan niat kita. Semua perbuatan manusia disajikan padanya dan tidak ada yang tidak diketahuinya ( QS: 9: 105) Allah berfirman: “Dan katakanlah pada mereka, berbuatlah kalian sesuka hati, karena Allah akan melihat perbuatan kalian itu, dan RasulNya dan orang-orang mukmin”. Jadi, Nabi saww, dan para imam sebagai hakikat mukmin, melihat semua perbuatan manusia baik lahirnya atau batinnya. Karena yang di- dan-kan pada Nabi saww dan para mukmin itu adalah ”ke-melihatan” Allah yang sudah tentu melihat lahir dan batinnya. 

1d. Dan jangan lupa bahwa ilmu itu bukan gambaran dan ide, tetapi ide yang disertai dalil dan argument. Dengan demikian salah satu hikmah Iqra’ adalah mencari ilmu dengan dalil, karena kalau tidak dengan dalil, maka akan tergolong dakwaan, sangkaan, perkiraan, keyakinan palsu, dan seterusnya. 

Untuk pertanyaan ke 2: 

2a. Melakukan suluk itu memang benar harus dengan mursyid, karena hal itu lebih aman dan terarah. Setidaknya dengan kitab-kitab yang telah diterangkan oleh para ulama. Karena bagaimana bisa seseorang mengamalkan Qur'an dan Hadits, dan diyakininya sebagai jalan yang benar dan pemahaman yang benar, sementara ia tidak mempelajarinya sesuai dengan cara yang akliah dan umum, yakni menimba dari spesialisnya yakni ulamanya? 

Memang, dalam penjelasan ulama, juga diterangkan akan adanya wali-wali Abdal, yakni yang mencapai ketinggian derajat tanpa melalui mursyid, akan tetapi, hal itu, bukan jalan yang dianjurkan, terutama dengan adanya banyak ulama dan kitab. 

Jadi, abdal itu adalah jalan yang dibuka Tuhan bagi orang yang jauh dari mursyid dan buku- buku yang benar. Jadi karena RahmatNya tidak terbatas, maka bagi yang tulus ikhlash (profesional) berusaha mencapaiNya, maka Dia-pun pasti akan mendatangiNya. Akan tetapi kalau orang malas belajar dan mencari guru dan mursyid, maka orang seperti itu telah menjauhi PetunjukNya, maka bagaimana mungkin orang tersebut akan dikatakan telah berusaha mendatangiNya?. 

2b. Pertanyaan antum di soalan ke dua ini, nafasnya seperti menentang nafas dari pertanyaan antum yang pertama. Karena nafas di pertanyaan pertama adalah menyemangati belajar, sampai-sampai Rasul pun seakan-akan disuruh belajar, tetapi di pertanyaan ke dua nafasnya adalah anti belajar, dan mau melanglang ke Fanaa’ dengan tanpa ilmu dan usaha. 

2c. Berlaku berkhalwati itu, akan banyak ditaburi wahyu-wahyu syethan. Artinya kita tidak akan tahu mana kebenaran sejati dan mana yang bukan. Lalu apa yang akan dijadikan hujjah ketika mendapat ilham dari khalwatnya itu? Sementara Nabi saww telah memberikan petunjukknya, yakni dengan Qur'an dan Hadits, dimana telah terkandung dengan nyata supaya bertanya tentang keduanya itu kepada Ahlulbait as dan para ulama pewaris mereka. 

Nah, berlaku khalwat itu menentang Islam yang diajarkan Nabi saww. Tentu saja khalwat yang bertentangan ini adalah khalwat yang antum tanyakan, yakni lawan dari belajar. Tetapi kalau khalwat yang didasari dengan belajar dulu dan melakukan khalwatnya sesuai dengan pelajaran Islamnya yang argumentatif itu, maka sudah pasti khalwat seperti ini sangat dianjurkan dalam Islam. Nabi besar kita saww telah memberikan jalannya kepada kita semua dengan sabdanya: ”Syariat itu adalah perkataannku (bc:ajaranku), dan Tharikat itu adalah perbuatanku, sedang Hakikat itu adalah capaianku, dan Makrifat (mengerti) itu adalah modalku, dan akal itu adalah dasar agamaku, dan cinta itu adalah dasarku, dan kerinduan itu adalah tumpanganku, dan takut itu adalah temanku, dan ilmu itu adalah senjataku”(Ghuraru al-Hikam: 698; Bihar: 78: 83; Mustadraku al-Wasaail: 11: 173 hadits ke 12672; dan lain-lain). Nah, inilah petunjuk Rasul saww, lalu bisakah kita memilih jalan lain? 

2d. Sedang apa yang dikerjakan Nabi saww di gua Hiraa’, maka harus diketahui bahwa Nabi saww mewarisi agama tauhid dari ayah-ayahnya dari nabi Ibrahim as. Jangan dikira bahwa orang Makkah sudah pada murtad dan musyrik semua. Masih sangat banyak orang Arab yang pada waktu itu masih bertauhid dan beragama dengan agama nabi Ibarahim as. Kalau kita lihat ceramah nikahnya Abu Thablib dalam pernikahan Rasulullah saww dengan siti Khadijah as, maka kita tidak akan mendapatkan sepotong kecilpun darinya kata-kata yang mengandung kemusyrikan. Semua berisi tauhid kepada Allah. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa kenyataan sejarah pada waktu itu memang masih banyak yang beragama dengan agama nabi Ibrahim as. Karena itulah maka shalat Nabi saww sebelum datangnya perintah shalat dari Allah kepada beliau saww, berbeda dengan setalah Isra’ mi’raj itu. Artinya shalat sebelum isra’ mi’raj adalah shalat yang diterima dari ajaran nabi Ibrahim as. Seingat saya, shalatnya tidak pakai rukuk. 

Dengan demikian, maka jelas bahwa Nabi saww ketika berkhalwat di gua Hiro itu, telah memiliki ilmu agama yang diwarisinya dari nabi Ibarahim as. Ini yang pertama, yakni dengan ilmu. Yang ke dua, beliau sudah pasti di gua itu melakukan semuanya sesuai dengan agama Allah yang diturunkan kepada nabi Ibrahim as tersebut. Tentu saja, selain beribadah, beliau saww membaca dan merenungi semua ayat-ayat Tuhan, baik alam atau dirinya sendiri. Dan tentu saja juga merenungi tentang Tuhannya. 

Untuk pertanyaan 3: 

3a. Guru atau mursyid adalah pembimbing yang dapat membimbing murid karena telah terbuka baginya jalan kebenaran. Yakni, karena dia sudah mencapai Fanaa’ maka semua jalan menuju ke Fanaa’ diketahuinya dengan baik secara ilmu Hudhuri, yakni Kehadiran, bukan lagi ilmu teori atau argumentasi. Jadi ilmunya adalah kasyaf kepada hakikat. 

3b. Dengan pertimbangan itulah maka salah satu arif yang saya tanya tentang keharusan mursyid ini beliau mengatakan bahwa harus pakai mursyid. Tentu saja, maksudnya semaksimal mungkin, artinya tanpa udzur tidak boleh berjalan sendiri. Tetapi bagi ayatullah Bahjat ra, beliau ketika ditanya apakah harus pakai mursyid, beliau menjawab: ”Harus pakai ilmu”. Artinya yang paling penting adalah ilmu yang, sudah tentu argumentatif. Mungkin beliau ingin menjelaskan bahwa mencari mursyid yang benar-benar mursyid itu tidak mudah, karena bisa saja palsu. Yakni ianya dengan bisa terbang sudah dianggap mursyid. Seperti ketika beliau ditanya apakah beliau bisa terbang, beliau menjawab ”Seperti lalat?”. Artinya, terbang itu bukan menunjukkan kewalian, karena lalat saja bisa terbang. Kalau terbang itu ukuran kewalian dan kesempurnaan, maka lalat lebih afdhal dari manusia. Nah, terbang saja bukan ukuran kewalian, apalagi karamat yang dibawahnya. 

Kesimpulannya: Mursyid itu sangat diperlukan kalau ada, dan kalau tidak ada maka yang penting ilmu yang argumentatif, dan kalaulah mau memilih mursyid, maka harus yang benar- benar mursyid, dan hal ini tidak ada yang tahu. 

Jadi harus hati-hati dengan mursyid gadungan yang hanya memiliki beberapa kesaktian. Menurut saya yang banyak hijab ini, maka mursyid itu akan dapat kita terima, kalau semua ajarannya sesuai dengan Islam yang argumentatif, bukan Islam yang dakwaan. 

Untuk pertanyaan 4: 

4a. Imam Mahdi as/ajf, adalah mursyidnya para mursyid. Beliau sudah tentu, mursyid yang tdak ada keraguan di dalamnya. Akan tetapi maksud dari mursyid dalam irfan, bukan hanya beliau as, akan tetapi semua yang sudah mencapai Fanaa’ setidaknya. 

4b. Anjuranku, untuk jaman sekarang, terkhusus di Indonesia, maka bagi yang Syi’ah, jangan sesekali bermursyid. Karena bagi ana yang banyak hijab ini, tidak ada mursyid di Indonesia. Memang yang punya karamah ada dan mungkin banyak, terutama karamah yang diminta dari Allah swt. Saya sendiri dulu bisa menjawab pertanyaan ghaib, seperti apa yang ada di rumah antum, apa yang antum makan sebulan yang lalu dan dimana dan dengan siapa, dst. Semua itu aku capai dengan ijin Allah swt dengan berwirid, berpuasa dan Meminta Kepadanya. Jadi hal-hal seperti itu sebenarnya bahkan dibawah karamat, karena diminta. Yang tidak diminta saja, tetapi yang disukai, dikatakan sebagai main-main atau lalat terbang, apalagi yang diminta. Jadi dari pada tertipu, maka jangan memilih siapapun menjadi mursyid. 

Tetapi jelas, jangan menuduh siapapun dengan tuduhan mursyid palsu. Jadi, kita dalam keadaan tidak memfitnah atau bahkan buruk sangka terhadap siapapun (dengan suara hati), tidak memilih siapapun menjadi mursyid. Kalau saya dipercaya, maka saya akan menjawab secara teori apa-apa yang diketahui dan dialami teman-teman dalam suluk ini, tapi sebatas argument yang memang itu yang telah saya pelajari bertahun-tahun. 

Setelah saya menjadi Syi’ah, maka guru yang saya punya, dan amalan-amalan yang saya lakukan untuk mencapai kekuatan dakhsyat itu, dengan rasa malu yang sangat dalam, saya tinggalkan. Karena para urafa di Syi’ah mengatakan bahwa semua itu adalah permainan dan cinta dunia (yang berupa ghaib). 

Sekian. Terima kasih. Al-fatiha-sholawat. Wassalam. 

Adzar Alistany Kadzimi: Tidak bermursyid...? Menyesatkan..... Tidak bermusyahadah.....? Menyedihkan.... 

Marlin Tigor: Salam . .. hehe jadi inget acara dua dunia - dunia lain di tv indo. Berkomunikasi dan berinteraksi dengan dunia gaib, bahkan bisa menarik benda pusaka. Mohon penjelasannya Ust SA. Apa iya itu ? ... Sekaligus penasaran bagaimana mekanisme mahluk gaib itu berinteraksi dengan manusia, misalnya cara setan mempengaruhi kita .. terimakasih. Wasalam. 

Sinar Agama: Martin: Sebagian soalanmu bisa dijawab dengan tulisan di atas, dan yang lainnya, tentang syethan menggoda manusia, bisa dilihat di catatanku pada hari Ghadir, kalau nggak salah berjudul surga nabi Adam as. Kalau saya jawab di sini maka akan jadi satu. 

Haerul Fikri: Afwan ustad. 

Sepertinya saya kurang sependapat dengan pernyataan bahwa nabi Muhammad saw adalah sorang yang buta huruf, tidak bisa baca dan tulis. Nabi Muhammad saw yang merupakan kota ilmu sudah tentu memiliki pengetahuan sempurna di segala bidang. Baca dan tulis juga adalah pengetahuan, jika nabi Muhammad saw tidak memiliki pengetahuan tentang hal ini, berarti ada pengetahuan yang tidak terdapat di kota ilmu namun bertebaran di luar kota ilmu, yakni pengetahuan baca dan tulis. Qs al- ankabut 48; dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya sesuatu kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu, andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar- benar ragulah orang yang mengingkari(mu). Ayat ini menjelaskan bahwa rasulullah saw tidak pernah membaca dan menulis. Tidak membuktikan bahwa beliau tidak bisa baca dan tulis. Apakah tidak pernah sama dengan tidak bisa? Apakah tidak melakukan sesuatu, niscaya tidak punya pengetahuan tentang sesuatu itu? Begitu banyak orang yang tidak menulis tapi berkemampuan menulis, mohon tanggapannya, ustad.. 

Sinar Agama

(1). Mengapa antum hanya menggaris bawahi ”kamu tidak pernah membaca” dan tidak menggaris bawahi juga ”niscaya mereka akan meragukanmu”?. Yang antum lakukan ini, sama dengan ayat yang mengatakan ”jangan dekati shalat” dan memotong sebagiannya yang mengatakan ”dikala mabok”. 

(2). Antum tidak bisa dengan hanya menelaah terjemahannya, dan itupun dipotong-potong, lalu menyimpulkan pahaman. Jadi, harus dikaji semuanya, termasuk gaya bahasa Arabnya, ayat- ayat lainnya, hadits-hadits mengenainya, sejarah mengenainya....dst. Jadi, dengan semua yang ada dalam ayat-ayat, hadits-hadits dan sejarahnya, tidak ada keraguan bahwa Nabi saww, tidak bisa baca tulis. 

(3). Entahlah, apa yang membuat antum harus tetap punya pancing dikala ikan-ikan di laut berlomba menari-nari di meja makan antum? Apa yang membuat antum harus mengatakan bahwa orang yang tidak mengerti ucapan dan tulisan, adalah kurang ilmu, sementara ilmu sudah ada di tangannya, termasuk maksud orang yang mengucap dan menulis? Mengapa harus dikatakan kurang ilmu karena tidak bisa bahasa cina, melayu, bahasa kucing, anjing... dst sementara mengerti apa yang dimaksudkan ucapan cinanya, melayunya, ngeongnya, gonggongannya...dan seterusnya. ? 

(4). Kalau antum diberi ilmu oleh Allah swt yang bisa memahami maksud gongongan anjing, dan antum juga diberi kuasa olehNya untuk bisa menyampaikan maksud antum lewat suara hati, apa antum masih mau belajar fasih mengongong supaya tidak dikata kekurangan ilmu? 

(5). Ilmu itu adalah gambaran yang ada di akal yang sesuai dengan yang di luar akal. Jadi, yang tidak punya gambaran dikatakan tidak tahu, dan yang punya gambaran tapi salah, dikatakan tidak tahu dobel (jahil murakkab). Nah, sekarang Nabi saww punya gambaran dari ucapan dan tulisan semua bahasa yang dilihat dan didengarnya tentang suatu makna/maksud, lalu makna yang ada di gambaran Nabi saww itu cocok dengan yang ada diluar akalnya, yakni yang ada dimaksud hati pengucap dan penulisnya, apakah hal itu tidak dikatakan sebagai ilmu? 

(6). Bahasa itu adalah kesepakatan, baik ucapannya atau tulisannya. Jadi dia bukan ilmu. Keilmuan bahasa itu dilihat dari pemaksudan dari ucapan dan tulisannya. Nah, ketika Nabi saww sudah tahu maksudnya sebelum mengucp dan menulis, maka di sini bukan saja Nabi saww kekuarangan ilmu, tapi bahkan memiliki ilmu yang lebih sempurna bahkan dari pembuat bahasa itu sendiri. 

(7). Allah juga tidak bisa bahasa Arab dan mnulis Arab, atau tidak bisa bahasa Indonesia. Artinya karena Allah itu non materi, maka tidak perlu menggunakan materi. Sementara bahasa, adalah materi, bahkan kesepakatan dari materi. Apakah Anda mau mengatakan bahwa Allah swt kekurangan ilmu dan kesempurnaan?. Kalau Anda punya semuanya yang bisa dibeli dengan uang, tapi Anda tidak punya uang, apakah anda kekuarangan harta? sementara apa saja yang anda inginkan sekejab mata ada di depan anda? miskinkah anda? kekurangankah anda karena uang adalah kesempurnaan dan anda tidak memilikinya? Atau Anda akan dikatakan orang sebagai orang gila (maaf) manakala setiap yang anda ingin tersedia dalam sekejab mata, tapi anda masih berkeringat-keringat mencari uang supaya bisa membeli sesuatu?!!!! 

Wassalam. 

Lukman Hadi: Benar apa adanya, kabarkan.. adakah kisah-kisah orang terdahulu tentang ke fana an kepada Allah? 

Haerul Fikri: Terima kasih, ustad. Saya memahami bahwa nabi muhammad saw memamerkan diri sebagai seorang yang buta huruf karena berbagai alasan untuk memudahkan dakwah agama. Namun, bagi saya yang jahil double luar biasa ini, hal itu tidak meniscayakan bahwa beliau tidak tahu atau tidak memiliki pengetahuan baca dan tulis. Yang saya maksud bukan menjadikan kemampuan baca dan tulis sebagai alat untuk menjaring pengetahuan, tapi tanpa perlu berpayah- payah untuk itu, nabi mengetahui makna di balik setiap simbol dan maksud bahasa. Misalnya ; Nabi tidak perlu belajar penambahan dan pengurangan agar bisa melakukan pembagian dan perkalian. Nabi tidak perlu ke negeri China dan berkawan dengan kucing untuk mengerti bahasa mereka semua. Nabi tidak pernah menimba ilmu dari seorang guru karena seluruh kesempurnaan nabi bersumber dari inayah ilahi yg dgn itu maka terbuka semua hijab di balik makna simbol dan maksud bahasa. Jika begitu, apakah nabi Muhammad tetap dikatakan tidak bisa membaca dan menulis? Apakah Tuhan tidak tahu makna di balik huruf Alif, Lam, Wa, Ha, yang mana Dia menjadikan huruf tersebut sebagai simbol akan kebesaran-Nya, dalam bahasa, arab khususnya. 

Misal, jika rasulullah saw dihadapkan dengan secarik kertas berisikan rangkaian huruf-huruf tertulis, Apakah beliau hanya melihat huruf-huruf tersebut sebagai simbol-simbol acak dan asing tanpa mengetahui makna dibaliknya? Jika tahu, maka tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa nabi Muhammad tidak bisa baca dan tulis. Jika tidak, maka hal itu adalah sebuah aib dan kekurangan. 

Sinar Agama: Saya rasa, saya sudah menjelaskannya dengan jelas, dan belum ada ide lagi untuk membuat antum lebih jelas. Sekedar untuk tambahan, bahwa di perjanjian Hudaibiyyah, ketika para kafir tidak mau dengan julukan Rasulullah untuk Nabi saww dalam tulisan itu, dan mereka meminta Nabi saww menghapusnya dan mencukupkan dengan Muhammad saja, maka ketika Nabi saww menyetujinya, tidak ada yang berani menghapuskan kalimat itu dari kertas kulit perjanjian itu. Lalu Nabi saww berkata pada imam Ali as untuk meletakkan tangannya di tulisan itu dan menghapuskannya sendiri. Sekarang kuserahkan antum pada Tuhanku Yang Maha Lembut dan Kasih. Aku dalam hal ini sepertinya hanya setakad/seukuran ini kemampuanku menjelaskannya. Coba renungi, kalau mau, apa-apa yang kutulis sebelumnya di atas itu, dan cobalah keluar dari patokan berfikirmu. cobalah keluar sebentar saja dan membacanya lagi, semoga dapat antum temukan titiknya, amin. 

Haerul Fikri: Apakah dalam kasus ini, tidak terjadi ikhtilaf di antara para mujtahid besar? Apakah saya harus memaksakan akal budi saya untuk menerima ini.. Entahlah, mungkin saya bersalah bahkan berdosa beranggapan bahwa nabi saw bisa baca tulis. Wallahualam, terima kasih ustad! 

Sinar Agama: Tidak ada khilaf di sunni dan syi’ah tentang buta hurufnya Rasulullah saww sebelum kenabian, tapi setelah kenabian di Syi’ah ada dua pendapat, yang paling sedikit yang mengatakan tahu huruf karena seringnya melihat, bukan belajar. Tapi itupun sedikit sekali. Renungi saja yang kutulis itu baik-baik. Ia terang bagai matahari, asal kamu tidak memaksakan pandanganmu yang tanpa dalil itu. Yakni yang mengatakan bahwa orang tidak bisa baca tulis (seperti tidak bisa mengonggong) itu adalah kekurangan. Wassalam. 

Haerul Fikri: Iya ustad, keamburadulan dalil saya mungkin karena keterbatasan dan kejahilan semata. Saya akan coba memahami hujjah yang dibawakan di atas, kalau saya tetap belum menangkap saya akan balik. Terima kasih! 

Linda Herlinda: Maaf pertanyaannya di luar materi pelajaran... Ustadz ko bisa pinter dan sholih, apa yang sudah kedua orangtua ustadz berikan dan ajarkan kepada ustadz? Afwan wa syukran... 

*Saya sedang belajar menjadi orangtua yang baik buat anak-anak* 

Sinar Agama: Mbak Linda, bisa nggak ditulis di dindingku, dan dikirim untuk semua orang, biar bisa dilihat orang lain dan dalam pembahasan mandiri, saya baru melihat hari ini, karena catatan di atas sudah lama, untung juga saya lihat-lihat barusan. Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 11)






Seri Tanya Jawab : Herry Yuli Sunarno dan Ustad Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, January 26, 2011 at 7:16 am


Herry Yuli Sunarno: Salam ustadz.... afwan ana ingin bertanya lagi, mohon jawaban dari antum.. syukron. Tentang Firman Allah swt: ”Hai, jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan” (Qs. Ar Rahmaan : 33). Apa ya maknanya..? 

Sinar Agama: Bismillaah… 

1. Penjuru langit dan bumi itu, ada dua hal, materi dan non materinya. Materinya yang kita kenal dengan Alam-Materi yang dibatasi dengan langit pertama. Karena Tuhan mengatakan bahwa langit pertama dihiasiNya dengan bintang-bintang. Jadi, galazi-galazi itu berakhir di langit pertama. Memang hal ini tidak pasti seratus persen, tapi Ayatullah Jawadi Omuli hf sangat memungkinkan hal tersebut. 

Tuhan berfirman dalam QS: 37: 6, ”Dan Kami hiasi langit dunia dengan keindahan bintang- gemintang”. Jadi, kemungkinan besar, selama masih materi, yakni dunia, maka ia dibatasi dengan langit pertama. Ini yang materinya atau Alam materinya. 

2. Yang ke duanya adalah non materinya, yakni non materi langit dan bumi. Inipun ada dua: 

a. Non materi yang ruh, yakni ruh setiap materi. Sudah sering saya menulis pembuktian adanya ruh pada setiap materi ini (lihat catatan2 sebelumnya). 

Nah, setiap materi, termasuk bumi dan langit, memiliki wujud nom materi yang me- ngatur dirinya secara langsung seperti manusia, binatang, tumbuhan, bebatuan dan seterusnya. Ruh materi ini disebut juga dengan Malakuuti al-Samaa’i wa al-Ardhi, yakni dimensi non materi dari langit dan bumi yang pernah dilihat nabi Ibrahim as (QS: 6: 75), dimana kita juga diperintahkan untuk melihatnya (QS: 7: 185). 

b. Sedang (b)-nya adalah non materi yang tanpa ikatan materi sama sekali. Inipun ada dua: b-1. Non materi Barzakhi, yaitu non materi yang hanya tidak memiliki beban materi tetapi masih memiliki sifat-sifat lainnya. 

b-2. Non materi Akli atau Akal, yaitu non materi yang sama sekali tidak memiliki sifat- sifat apapun dari materi. 

3. Dalam pembuktian adanya akhluk Akal atau malaikat tinggi ini, dan juga non materi Barzakhi, sudah sering saya katakan bahwa yang Akal adalah sebab bagi Barzakh dan Barzakh bagi materi (pembuktiannya bisa dilihat di catatan-catatan sebelum ini)..Yang ingin saya katakan sekarang, adalah bahwa setiap sebab itu atau sebabnya sebab, maqamnya lebih tinggi dari akibatnya, akan tetapi bukan tempat, tetapi posisi. Artinya tanpa sebab, akibat tidak mungkin terwujud. Nah, ketinggian posisi ini, ada di dalam akibat itu sendiri. Yakni sebab itu, ada di batinnya akibat, dan sebabnya sebab ada di batinnya batin akibat. 

Jadi, untuk mencari sebab, akibat harus mencarinya di dalam dirinya sendiri. Tentu saja, kalau sebabnya itu non materi, maka keberadaan di dalamnya itu bukan berarti tempat dan waktu. 

4. Setelah kita tahu tentang hakikat alam ini, yakni langit dan bumi ini, yakni bahwa memiliki lahir badani dan batin ruhi dan malakuti, kita sekarang akan lebih mengerti apa arti ayat yang ditanyakan itu, yakni peluang yang diberikan Tuhan kepada kita untuk melanglangi langit dan bumi. Begitu juga akan lebih dimengerti akan arti kemampuan di sini. 

5. Untuk obyek pelanglangannya, yakni langit dan buminya, berarti ada dua yang bisa dilanglangi, materi dan non materi. Untuk melanglangi materinya, maka bisa dengan dua cara. Dengan cara materi pula, seperti teknologi, dan bisa dengan non materi yang kita katakan ruh manusia itu. 

Jadi, untuk menelurusi bumi dan langit materi, manusia memiliki dua potensi tersebut, yakni potensi teknologi dan potensi pembersihan ruh dari materi hingga menjadi kuat ke-non materiannya. Yang teknologi jelas bagi setiap orang. Tetapi yang non materi ini mungkin tidak jelas bagi semua. Resepnya, siapa saja yang mengurangi keterhubungannya dengan materi, maka ruhnya akan menjadi semakin kuat dari sebelumnya. Baik jalannya sesuai Islam atau tidak. Kekuatan yang sesuai Islam itu dikatakan mukjizat dan karomah, sedang yang tidak sesuai itu dikatakan sihir dan/permainan. 

Misalnya orang dengan bertapa menjadi kuat ruhnya dan melanglangi bumi/langit materi. Atau dengan wirid-wirid dalam Islam, ia juga bisa melanglangi bumi/langit, tetapi masih tergolong permainan, bukan Islam yang Islam. Karena bagi islam, semua kemampuan batin itu bukan tujuan penciptaan, dia hanya berupa kemampuan, tetapi pencipataan dan kemampuannya ditujukan untuk yang jauh lebih sempurna, yaitu Insan Kamil dimana melewati Akal-Satu sekalipun. Dan perlu dikatahui bahwa kalau manusia sudah mati, maka ia sangat bisa melanglangi bumi/langit materi ini. Jadi, kemampuan petapa atau pemain-main dengan gaya karamat itu, sebenarnya orang yang lengah terhadap tujuan hidupnya dan buru-buru ingin melangnginya sebelum mati. Tetapi para Nabi dan aulia, sekalipun mereka mampu, tetapi kemampuannya itu tidak dicarinya, dan tidak pula digunakannya kecuali dengan perintahNya. 

6. Contoh Islam yang Islamnya, adalah mi’raj Nabi saww. Dimana pelanglangan beliau di tingkat materi ini, jelas dengan kemampuan Ruh beliau saww, dimana telah membawa badannya ke Palestina, ke antariksa dan sampai kepada langit pertama sebagai batasan alam atau dunia ini. Sedang contoh permainan atau juga karomatnya (karena keduanya terlihat sama dan yang membedakan hanya cara mencapai kekuatannya dan niat pelaksanaannya) seperti salah satu wali di jaman nabi Sulaiman as yang mengangkat singgasana ratu Balqis hanya dengan sekedip mata. Atau para penyihir yang terbang kesana kemari seperti Leyak (di Bali), dan lain-lainnya. 

Sedang contoh Islam yang bukan Islam hakikinya, adalah orang-orang yang terbang ke sana kemari, tanpa perintah Tuhan. Yakni yang hanya berdasar pada kemampuan yang didapat dari wirid dan semacam bertapa dan berdasar pada ayat di atas terhadap kehalalannya. Biasanya tentang mereka ini, kita mendengarnya di beberapa wali-wali di Indonesia atau di Yaman. Tetapi sudah tentu tidak ada yang pasti terhadap posisi sebenarnya setiap orang, apakah ia wali yang wali atau wali yang suka main-main. 

7. Sedang untuk dimensi malakuutinya langit dan bumi, maka dengan ruh yang ada pada manusia, manusia memiliki kemampuan untuk itu. Tetapi tetap saja ada dua cara, Islam yang Islam dan ada juga yang bukan islam atau Islam yang tdak hakiki tadi. Tetapi yang bukan islam dan Islam yang tidak hakiki, memiliki keterbatasan penembusan di langit dan bumi yang batin atau non materi ini. 

Contoh untuk Islam yang Islam, adalah para nabi dan imam serta wali yang wali. Mereka bisa menembus Barzakh tempat ilmu Allah tentang liku-liku semua alam materi termasuk ikhtiar dan perbuatan manusia dan akhir yang akan dicapai masing-masing orangnya (dimana dikenal dengan kitab takdir yang, berarti takdir Tuhan terhadap semua alam materi dan takdir Tuhan untuk berikhtiarnya manusia,,serta ilmu-ilmu pasti Tuhan terhadap pilihan, perubahan, pilihan akhir dan akibat atau hasil dari masing-masing ikhtiar manusia). Dan setelah itu, menembusi ’Arsy atau Akal-Akhir yang juga dikenal dengan al-Lauhu al-Mahfuzh dimana terdapat ilmu Tuhan tentang apa saja secara detail dan pasti dan tidak ada perubahan serta kebermacam-macaman yang dalam artian berdimensi. Jadi dia adalah wujud paling bawah dari yang tidak memiliki dimensi nyata, dan dimensinya hanya berupa i’tibar atau ide. Dan setelah itu terus sampai ke Akal-akal yang lainnya sampai ke Akal-satu, dan ke makam Asma-asma Tuhan seperti yang sudah sering saya katakan dan argumentasikan di catatan lainnya terkhusus tentang Wahdatulwujud 1-10. 

Sedang contoh yang tidak Islaminya, seperti Iblis yang karena pengabdiannya sebelum ingkar kepada perintah Tuhan tentang sujud dan kesombongannya di depan Tuhan serta merasa benarnya sampai sekarang dan merasa salahnya-Tuhan sampai sekarang pula, maka karena pengabdiannya yang luar biasa sebelumnya itu, Tuhan tetap memberikan kemampuan menembusi beberapa langit. 

Kalau Tidak salah sampai pada masa nabi Nuh as ia bisa menembusi langit ke lima, dan pada masa nabi Isa as ia hanya bisa menembusi langit ke 3 dan pada masa nabi Muhammad saww, tinggal satu langit saja. Tentu saja jumlah langit itu bisa salah, tetapi turun bertahapnya benar. Dan langit-langit ini sangat mungkin adalah langit batin atau non materi, bukan materi. Karena langit ke tujuh itu adalah sebelum ’Arsy. 

Jadi, langit pertama adalah materi, lalu langit ke dua dan sampai ke tujuh adalah non materi. Keberadaan langit ke dua ke atas ada di Barzakh, dan paling tingginya adalah langit ke tujuh dimana paling tingginya surga mukminin, menjelang ’Arsy dan Surganya Mukqarrabun atau Akal-akhir sampai ke atas. 

8. Sedang untuk alatnya, jelas juga ada dua, materi dan non materi. Yang materi untuk langit bumi materi seperti teknologi. Tentu saja teknologi inipun tetap bertopang pada ruh manusia karena dicapai dengan kemampuan akal dalam mengolah materi, dan akal salah satu daya ruh manusia. Sedang alat non materinya adalah ruh manusia dalam menembusi langit dan bumi, apakah materinya yang melalui alat akal dalam mengelolah materi itu atau non materinya langsung dalam membawa badannya ke seantero materi dan non materi langit- bumi. Dan cara pencapaiannya yang Islami adalah dengan syariat dan apa-apa yang telah diterangkan dalam teori seperti Suluk Ilallah yang ada dalam catatan alfakir itu. 

9. Yang perlu diperhatikan di sini, pelanglangan ke alam non materi, yakni ke alam sebab kita, yakni Barzakh dan Akal, yakni ke alam dan wujud di atas kita, karena bukan tempat dan waktu, dan karena sebab adalah batin akibat, maka pelanglangannya bukan dari tempat ke tempat, tetapi dari maqam ke maqam. Dan karena itu berarti pelanglangannya itu di dalam diri kita sendiri. Yakni semakin kita mencapai maqam yang tinggi berarti kita telah mencapai maqam yang lebih dalam, dalam batin kita. Jadi, mencarinya di dalam diri sendiri, bukan di luar ruh kita. Itulah mengapa imam Ali as mengatakan ”Apakah kamu kira bahwa kamu adalah sesuatu yang kecil, padahal di dalam dirimu terbentang alam yang lebih luar dari alam ini?” 

10. Sedang Isra’ dan Mi’rajnya Nabi saww, adalah dua-duanya, yakni pelanglangan dari materi ke materi, dari Masjidilharam ke Masjidilaqasha dan dari sana ke langit pertama (katakanlah batas alam materi). Dan dari batas alam materi inilah isra’ mi’raj itu dilakukan dengan ruhani saja, tapi tanpa meninggalkan badannya. Yakni yang naik itu adalah ruhnya saja. Dan ingat bahwa naik yakni menukik ke dalam diri, bukan ke luar sebagaimana maklum. Dalam hal ini, yakni mengapa harus dengan badan dulu sampai ke batas dunia materi, hanya Tuhan yang tahu hikmahnya. Kalau boleh diraba adalah sebagai tambahan pengetahuan kepada Nabi saww, sebagai rahmat buat beliau dan tanda kasih sayangNya, serta hujjah untuk umat manusia, baik umat terdahulu atau super modern sekarang ini. 

Kalau tanpa itu semua, maka isra’ mi’raj cukup dilakukan di rumah, karena yang melanglang itu adalah ruhnya, dan ke dalam diri, bukan ke luar. Karena itulah Nabi saww bersabda ”Shalat itu mi’rajnya mukmin”. Yakni dalam keadaan dia di kamar atau masjid, ruhnya melanglang sampai pada shidratulmuntaha. 

Catatan: Tentang kemampuan syethan melanglangi langit itu, dari sisi jumlah langitnya saya bisa salah, karena sudah tidak ingat lagi secara pasti berapa-berapanya dimasa-masa sebelum nabi Nuh as dan nabi Isa as. Tetapi barusan saya berusaha cari di hadits, baru ketemu bahwasannya sebelum lahirnya nabi Muhammad saww, syethan masih bisa menjangkau langit ke 3. Wassalam, sudah selesai. Silahkan simak dan komentar. Bagi yang tanya tentang energi prana, saya mengharap jelaskan dulu apa maksud energi itu. Karena kalau energi itu adalah energi yang umum, yakni yang materi, maka jelas ianya adalah materi. 

Herry Yuli Sunarno: Luar biasaa... Timbul pertanyaan baru ustadz... Bagaimana caranya kita menemukan alam yang lebih luar dari alam ini yang terdapat dalam diri kita...? 

Sinar Agama: Globalnya, adalah lakukan semua kewajiban dengan benar, tinggalkan semua maksiat, tinggalkan semua makruh, semua itu dengan hati dan raga. Kemudian tinggalkan dengan hati saja, apa-apa yang mubah, yang baik, karomat, ilmu, ibadah, surga, kasyaf, al- lauhu al-mahfuuzh....dst sampai ke Akal-satu. Yakni lakukan semua itu tetapi bukan karena suka, tetapi karena Allah swt semata. Dan jangan melirik semua selainNya. Ini cara Global dari yang Islami (benar). Dan rincinya bisa dipelajari catatan alfakir tentang Suluk Ilallah itu. Tetapi cara tidak Islaminya, maka kurangi keaktifan ruh kita dengan badan kita dan materi lainnya, seperti bertapa...dan seterusnya. 

Maka walau tidak terlalu tinggi, maka akan dapat menguak beberapa diantaranya. Tetapi kemampuan yang tidak Islami ini, bukan kemuliaan, karena nanti kalau kita sudah pada mati maka akan sakti semua dan berkaromah semua. 

Bedanya yang nerakais kesaktiannya menyembur-nyemburkan api, nanah, duri...dst, dan yang surgais mewujudkan kenikmatan-kenikmatan sesuai dengan tingkatannya. Jadi orang mukmin di surga jarinya juga akan mengeluarkan susu kalau dimaui. 

Sekian. Terima kasih. Al-fatiha- sholawat. Wassalam. 

In this note: Sinar Agama, Herry Yuli Sunarno 
Heriyanto Binduni dan 19 orang lainnya menyukai ini. 

Sinar Agama: Salam, belum selesai kok sudah dimuat? Tolong lengkapi tuh. 

Alexander Rofiq Zulkarnain detikcom - Teheran, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad mengingatkan Israel, Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri Tunisia dan Libanon. Hal itu disampaikan Ahmadinejad dalam pidatonya di depan warga Iran di Kota Yazd seperti diberitakan media Iran, Press TV, Kamis (20/1/2011). 

Menurut Ahmadinejad, negara-negara Barat bermaksud mengambil hak-hak warga Tunisia melalui perang psikologis. Kerusuhan massal dan aksi-aksiprotes telah melanda Tunisia dalam satu bulan terakhir. Kerusuhan pecah di Tunisia menyusul aksi pembakaran diri seorang pedagang buah berumur 26 tahun, Muhammad Bouazizi, yang membakar dirinya setelah polisi menyita barang dagangannya. Ahmadinejad menyerukan para politikus Tunisia untuk menerapkan kewaspadaan di tengah intervensi asing dan memperhatikan kebutuhan dan suara rakyatnya. Menurut Ahmadinejad, rakyat Tunisia menginginkan pemerintahan Islam. 

Dalam pidatonya, Ahmadinejad juga mengecam pengadilan PBB yang didukung Barat yang menyelidiki pembunuhan mantan Perdana Menteri Libanon Rafiq Hariri. Ahmadinejad mendesak AS dan sekutu-sekutu Eropanya untuk berhenti ikutcampur di Libanon. Libanon saat ini dalam kebuntuan politik menyusul bubarnya pemerintahan Perdana 

Menteri Saad Hariri yang ditandai dengan mundurunya 11 menteriterkait Hizbullah. Pengunduran diri 11 menteri itu terkaitpertikaian soal Pengadilan Khusus untuk Libanon (STL),yang menyelidiki pembunuhan Hariri pada tahun 2005.Pengadilan yang didukung AS itukabarnya akan memvonis beberapa anggota Hizbullah dalam kasus pembunuhan Hariri. Padahal gerakan perlawanan Libanon tersebut selama ini dengan tegas menolak tuduhan keterlibatan pembunuhan Hariri.20 Januari jam 6:18 · Suka · 3 

Anggelia Sulqani Zahra: Iye. ustad. Maaf..udah dilengkapi... 

Sinar Agama: Anggelia, kamu apa kabar? Sekali hilang tidak tahu kemana juntrungannya. Eh ... sekali datang ... terus nulis...he he he...semoga selalu dalam jalanNya. 

Alexander Rofiq Zulkarnain: Marilah Kita Bersatu Melawan Israel. 

Herry Yuli Sunarno: Waduhhh kok termuat di sini yaaa....pertanyaan lanjutan ana di dinding antum belum terjawab ustadz.. afwan. Shalawat dulu ahh.... 

الّلهمَّ صلِّ على محمَّد وآل محمَّد

Anggelia Sulqani Zahra: ustad..mohon maaf... saya setiap saat mengikuti diskusi-diskusi ustad di fb.. mencoba memahami catatan dan komentar-komentar ustad. Sesuai yang diinginkan setiap goresan ilmu ustad, sungguh dengan keterbatasan logika saya.. (yang hanya belajar dari rekaman-rekaman kajian ustadku, semoga Allah merahmatinya) membutuhkan ketenangan diri dan ketawadhuan untuk menangkap hikmahnya. Mohon maaf ustad... 

Muhammad Romeo Alweni: duuh.. udah pada main politik nih.. emank barusan hilang.. pada belajar di sospol ya? Ana sarankan mendingan kita belajar agama aja,biar gak sesat.. kan rugi, hidup cuma sekali.. dibodohin lagi.. 

Fatimah Zahra: Salam ustad,,, ini yg selalu jadi bahan renungan saya yang tidak ada habis- habisnya mohon jawab ya ustad.. Tentang perbuatan luar biasa manusia.. yaitu ada yang dari Tuhan (seperti mukjizat dan karomah yang diberikan oleh manusai yang suci) dan ada yang BUKAN DARI TUHAN. Saya baca di catatan ustad saya kutip pernyataan : ”contoh Islam yang bukan Islam hakikinya, adalah orang-orang yang terbang ke sana kemari, tanpa perintah Tuhan. Lantas atas perintah atau izin siapa kah perbuatan luar biasa yang di dapatkan manusia itu di dapat? 

Taruhlah seperti di buku yang saya baca, itu di dapatkan dari iblis, orang yang bersekutu dengan iblis.. nah di point ini lah saya yang lemah akal ini kebingungan,, Di mana peran Tuhan pada kejadian ini? Apa Tuhan serta merta tidak ada campur tangan sedikit pun di sini, padahal Tuhan itu sumber kausalitas,, 

Sinar Agama: Ok kalau ghitu, tolong juga diskusi lanjutannya di sana juga dimasukin kalau bisa dan tidak merepotkan. Terimakasih. Aku pamit dulu, tolong mas Herry lihat jawabku, dan untuk Fathimah tulis saja di komentarnya mas Herry itu pertanyaanmu, nanti setelah aku pulang I-Allah akan akan jawab. Mohon doa selalu wassalam ana harus keluar dulu. 

Fatimah Zahra: Baik ustad, saya tunggu jawaban ustad... 

Herry Yuli Sunarno: Iya ustadz... sudah ku lihat dan cukup mumet kepalaku.. panas rasanya baca dan mencoba memahami kalimat antum yang penuh dengan hikmah itu.... 

Komar Komarudin: Afwan PAK HERI perlu mukadimah baca panduan logika muslim dulu karya Ust Hasan Abu amar, terbitan mulla Shadra, sepertinya kayanya antum aga susah dapatkan buku itu, sudah tidak dicetak, kalau mau aku pinjamkan photo copi aja.. yah. Setelah itu tidak berhenti sampai di situ, harus ada pembimbing yang mengarahkan isinya alias ustadnya, baru bisa faham, dan ada ujiannya, saya aja beberapa kali ikut sama ustad dinyatakan lulus test hanya sampai bab EMPAT PERHUBUNGAN. Insyaa Allah saya mau lengkapi sampai selesai ..... 

D-Gooh Teguh: Om Komar: saya dicopykan dunk... sama dikirimken. Saya ganti biaya fotokopi dan jilidnya juga ongkirnya... jika bersedia inbox saya ya... sama nomer rekening dan besarnya... terimakasih... 

Fatimah Zahra: Om teguh saya juga mau dong hehehhee. 

D-Gooh Teguh: Yang punya om Komar gitu kok... kasih info urusan yang kuinboxkan... hadiah bersyarat. Hehehehe... nanti kukopikan dan kirimkan kalau om Komar bisa membantu kopi dan kirimken... 

Sinar Agama: Fatimah Zahra apa syarat hadiahnya?? Hehehehe 

D-Gooh Teguh: Mumetz... 

D-Gooh Teguh: Urusan yang diinbox itu to... sedang mencari jalan tersingkat untuk beroleh kesaktian... 

Fatimah Zahra: Kendalikan diri mu anak muda!!! Tapi jika om masih ingin buru-buru sesuai inbox itu baik. Lah.. In box no hp mu om. Biar aku pandu dari jauh mekanismenya.. 

Ariaan Teoh Abdullah Ariaan: Hurmmm... 

Sinar Agama: Betapa cintaku pada antum semua, saling berbicara seperti pada saudaranya sendiri, semoga Tuhan selalu menjaga kita semua, amin.... 

Sinar Agama: Ya... Anggelia, yang tanya jawab dengan Sulaim Hilmi itu bisa dijadikan Wahdatul- wujud-12, terimakasih, buruan ya... he he he 

Fatimah Zahra: Subhanallah...Kita pun cinta kepada ustad..Yang tak mengharap pamrih berbagi ilmu. 

Sinar Agama: Fathimah: ada dua padeng pamrihku: 

(1) Takut diazab Tuhan karena tidak membagi ilmuNya (tentu kalau ilmu yang benarnya), sebab dalam Qur'an dikatakan bahwa ilmu agama itu harus dibagikan (wajib). 

(2) Ingin mendapat pahalaNya, cintaNya, RidhaNya dan ampunanNya., maka itu sambung doa ma-ki’ (logat Sulawesi). hem.... 

Anggelia Sulqani Zahra: Salam. Terima kasih atas bimbingannya ustad. WW Bgn 12 udah terbit...



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ


Kamis, 02 Agustus 2018

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 10)






Seri Tanya Jawab : Oman Picisan dan Ustad Sinar Agama Oleh Anggelia Sulqani Zahra 
by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, January 26, 2011 at 7:13 am



Oman Picisan : Assalamu ’alaikum. Ustadz tolong jelasin maksud Amr dalam Innama amruhu idza arada Allah syai-an an yaquula lahu kun fayakun, apakah Amr di situ Khusus Amr-nya Allah ataukah manusia jua mampu memiliki amr tersebut? 

Sinar Agama : Bismillaah. Setidaknya ada dua macam makna yang saling bergesekan dan bersentuhan yang dapat diartikan dari Amr di ayat yang Anda tanyakan itu. Yang jelas amr di sini bermakna ”Urusan”, bukan perintah. Jadi, jamaknya adalah ”Umur”, bukan ”Awamir” yang berarti ”perintah-perintah”. 

Setelah kita tahu bahwa ”Amr” di sini adalah yang berjamak ”Umur” atau ”Urusan-urusan”, maka kita bisa meraba dua hal: 

1. Umur adalah Dimensi Keberhubungan dan Keterikatan serta Ketergantungan dan Kepencip- taan. Dimensi ini berhadapan dengan Dimensi ”Keterciptaan”. ”Keterprosesan”, ”Keterukuran” ”Keterjadian” dan ”Kemakhlukan”. Hal ini dapat diambil dari pahaman ayat QS:7:54 yang berbunyi -/+ : ”Sesungguhnya Tuhan kalian adalah Allah yang mencipta langit dan bumi dalam 6 hari yang kemudian Dia menempati ’arsy, Dia menutupi siang dengan malam yang mengikutinya dengan cepat, dan matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada Amru- Nya/UrusanNya. Ingatlah, sesungguhnya Penciptaan dan Pengurusan adalah hanya milikNya. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. 

Dengan penjelasan ringkas di atas, dapat dipahami bahwa makhluk ini memiliki dua di- mensi, pertama kejadiannya atau keterciptaannya, ke dua dimensi kepengurusan dan keterhubungannya dengan Khaliknya. Ini makna pertama yang bisa kita raba atau mengerti dengan kata Urusan atau Amru di ayat tersebut. 

2. Amru-Umur adalah Non Materi. Makna ini juga berhadapan dengan Khalaqa. Kata ”Khalaqa” makna asalnya adalah ”Ketentuan”, ”Keterkadaran”, ”Keterukuran” dan”Ketakaran”. Karena, ”Keterkadaran” ini memiliki pengertian menambahkan sesuatu ke atas sesuatu, yakni menam- bahkan ukuran ke atas yang terukur, atau bahkan menambhakan sesuatu yang terlihat asing, seperti Darah ke atas Mani dan Daging ke atas Darah sebelum kemudian ditambahkannya Janin sebagai proses berikutnya, maka ”Khalaqa” ini memiliki makna ”Materi”. Sedang ”Amru” sebaliknya sebagaimana di ayat yang ditanyakan tersebut ”Sesungguhnya UrusanNya adalah, ketika Dia menginginkan sesuatu, maka berkatalah kepadanya ”Jadilah”, maka ”Jadilah” ia”. 

Dengan penjelasan ringkas ke dua ini, dapat dipahami bahwa penciptaan itu ada dua macam dan model. Pertama penciptaan yang melalui proses atau waktu (walupun secepat kilat dan sinar atau lebih cepat lagi), seperti langit-bumi dan isi keduanya serta dintara keduanya. Inilah yang dikenal dengan Alam Materi. Ke dua, penciptaan yang tidak melalui proses jadi, atau waktu. 

Makhluk- Makhluk ini dikenal dengan Non Materi atau Sekali Jadi atau Kun Fayakuni atau Kejadian Mendadak dan semacamnya. Oleh karena itu Alam Nasut atau Materi ini disebut Makhluk, sedang Alam Malakut dan Jabaruut atau Alam Barzakh dan Akal (bukan akal manusia) disebut dengan Alam Amr dan tidak disebut Makhluk atau Keterangkapan. Tambahan: Ruh manusia juga termasuk Non Materi. Karena ketika orang-orang bertanya kepada Rasul saww tentangnya, Allah mengatakan ”katakan bahwa Ruh itu adalah dari Urusan Tuhanku”. 

Sementara Allah sendiri menerangkan UrusanNya ini dalam ayat yang Anda tanyakan itu. Dengan penjelasan di atas, dapat diterapkan kepada pertanyaan Anda. Yaitu, apakah Amr itu hanya milik Allah atau juga selainNya? Jawabnya adalah, kalau makna pertama, yakni ketergantungan, keterikatan, kepengurusan, kepemilikan, keterhubungan, keterurusan dan semacamnya, maka dalam hal ini pastilah hanya Allah pemilikinya. 

Karena semua tergantung dan terurus olehNya. Sedang dengan makna ke dua, maka bukan hanya Allah yang non materi. Sebab makhluk-makhluk Akal (malaikat tinggi) dan Barzakh (malaikat di bawah yang tinggi itu) adalah juga wujud-wujud Non Materi. Tetapi dari sisi kepemilikan dan kepengurusannya tetap hanya milik Allah. 

Pelengkap

Karena makhluk Tuhan itu bertingkat, dari Akal-satu ke Akal-dua begitu serterusnya sampai ke Akal-akhir dan Akal-akhir ke Barzakh sebelum kemudian ke Alam Materi, maka kepengurusan Allah itu ada dua macam. Ada yang langsung, yakni manakala mengurusi Akal-satu. Dan ada yang tidak langsung, yaitu manakala mengurusi makhluk-makhluk dari Akal-dua sampai dengan Materi. 

Oleh karenanya ada perantara dalam KepengurusanNya itu. Dan Perantara ini, banyak sedikitnya, tergantung pada sejauh mana yang diurus tadi memiliki jarak kesempurnaan denganNya. Kalau berjarak satu, seperti Akal-dua, maka perantaranya hanya satu, yaitu akal-satu. Tetapi kalau banyak, seperti Materi, maka banyak pula perantaranya, mulai dari Akal-satu sampai dengan Barzakh. 

Oleh karenanya Malaikat Barzakh (barzakh yakni antara makhluk Akal dan alam materi) disebutNya dalam Qur'an sebagai ”Mudabbirati Amra” yakni ”Pengurus Segala Urusan” (QS: 79:5). Dengan penjelasan ini dapat dipahami bahwa ada makhluk yang hanya diurus Allah dan ada pula yang diurus oleh Allah tetapi melalui makhlukNya. Begitu pula ada makhluk yang di samping Diurus, dia juga Mengurus. 

Kemudian, yang Mengurus ini, ada yang Sederhana dalam arti tidak terlalu tinggi, dan ada pula yang tinggi seperti Akal-akal itu. Kemudian, karena manusia dicipta sedemikian rupa hingga bisa melampaui Akal-satu (dengan fanaa’ dan 3 perjalanan lainnya, lihat 4 perjalanan manusia dalam Wahdatul wujud 1-6), maka Insan Kamil, sudah pasti akan memandati Kepengurusan ini secara otomatis. 

Oleh karena itulah, sebenarnya hanya manusia Kamil inilah yang bisa menjadi ”Khalifatullah”. Yakni ”Mengurusi Semua Makhluk”. Karena dengan memanjangnya Jati Diri Manusia Kamil, dari Materi sampai ke Akal-satu, maka ia akan menjadi KhalifahNya dan WakilNya serta TanganNya dalam mengurusi semua makhluk secara langsung. 

Tingkatan Barzakhnya manusia Kamil ini akan mengurusi Malaikat Barzakh dan tingkatan Akal- nya akan mengurusi malaikat Akal/tinggi (QS: 38:75). Sementara seperti Akal-satu, hanya bisa mengurusi Akal-dua, Akal-dua hanya mengurusi Akal-tiga dan seterusnya. 

Jadi, semua makhluk hanya bisa mengurusi satu tingkat di bawahnya, tetapi kalau Manusia Kamil dapat mengurusi semua makhluk dalam semua tingkatannya. Inilah Maqam Khalifatullah yang semua malaikat menginginkannya dengan mengajukan diri mereka dengan berkata ”Sementara Kami Selalu Memujamu Dan Mensucikanmu”. Yakni mengapa Kamu akan jadikan Khalifahmu itu dari manusia yang akan membuat kerusakan dan saling bunuh, sementara kamilah yang lebih cocok karena kami selalu mensucikan dan memujaMu, yakni kami lebih cocok untuk menjadi Khalifahmu Karena Kami Selalu Taat Kepadamu. Dan Allah pun tidak menerangkan kepada mereka sebab tidak dipilihnya malaikat jadi KhalifahNya itu, dengan sebab-sebab tertentu, dan hanya mengatakan bahwa ”Aku tahu apa-apa yang kalian tidak tahu”. Salah satu sebabnya adalah yang sudah diterangkan itu, bahwa malaikat hanya bisa mengatur satu tingkatan makhluk yang ada dibawahnya saja. 

Tentu, malaikat juga tidak bisa mengurusi malaikat atau makhluk yang ada di atasnya. Tetapi manusia, sekalipun dari tanah, tetapi dengan ruhnya, ia bisa mengoptimalkan safar dan pelanglangan kesempurnaannya sampai ke tingkat Akal-satu, hingga ruhnya menalari semua derajat-derajat itu dan kemudia mengurusinya dengan ijin dan perintahNya. 

Dan Maqam Kepengurusan Secara Otomatis Itulah Yang Dikatakan Maqam Wilayah Atau Kekuasaan Atau Kepengurusan, sementara kalau dibarengi dengan pangkat sosialnya akan menjadi RASUL, NABI atau IMAM. Tetapi bisa saja tidak dibarengi dengan pangkat sosialnya, sekalipun tetap memiliki ke-wilayahannya. 

Sekian. Terima kasih. Al-fatihah- sholawat. Wassalam. 

In this note: Sinar Agama, Haerul Fikri, Gusti Zulkifli Halim 

Bande Huseini dan 15 orang lainnya menyukai ini. 

Hafiz Pewee: Hmmm..




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 9)




Seri Tanya Jawab : Hawra Insiyyah dan Ustad Sinar Agama, Oleh Anggelia Sulqani Zahra 
by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, January 26, 2011 at 6:58 am



Hawra Insiyyah: Salaam ustad.. Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad wa ajjil faraja al Mahdi wa al Masih ba’dah.. 

Afwan ustad.. mau menanyakan sabda-sabda suci ini : 

=> wallahi, kami / ahl bayt adalah asmaul husna. 

=> aku adalah ahmad tanpa mim. 

Mohon disyarahi, sebab bagi awam ini, ucapan suci itu masih terlampau agung untuk difahami.. 

...O iya ustad, kalau tidak keberatan ke dua ucapan suci tersebut sumber rujukannya apa ya? Sebab selama ini hanya dengar-dengar di ta’lim-a’lim saja, afwan Ustad. Kalau di ijinkan, bolehkah mengcopi catatan antum tadz? Semoga semua ini menjadi amal shalih bagi ustad yang bisa membuat sayidah Zahra tersenyum... bihubbi Zahra... Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad. 

Sinar Agama : Bismillaah. Salam. 

Peringatan

1. Saya sangat tidak menganjurkan bagi siapapun untuk membaca tulisan ini. 

2. Yang saya tulis ini adalah apa yang ada dalam buku-buku Irfan dan ke-Shufian yang sesungguhnya, bukan yang sok shufi. 

3. Tidak mempercayai Wahdatu al-Wujud tidaklah haram dan apalagi masuk neraka. Jadi, kalau tidak paham, maka tinggalkan saja. 

4. Saya hanya mengangkat dari kitab-kitab, termasuk argumentasinya. Sementara saya sendiri, percaya atau tidak, maka hal itu adalah urusan saya secara pribadi dengan Tuhan. Jadi, tulisan ini tidak menggambarkan kepercayaan saya. 

5. Saya hanya menuliskan sebagai kewajiban menjawab pertanyaan, hingga kalau ilmu ini adalah benar menurut Allah, maka saya hanya mengharapkan Ridha dan PahalaNya. 

6. Saya sangat tidak rela tulisan ini dan begitu pula catatan lainnya tentang Irfan (bag: 1-7 dst), dijadikan trendi-trendian hingga dicuplak-culpik dijadikan status untuk bergaya-gaya, seperti yang saya lihat di beberapa status yang menulis secara nyentrik, masalah-masalah Filsafat, walaupun untuk membuat orang lain berfikir dan memancing perhatian dalam artian positif. 

7. Dalam tulisan ini, kata ganti Nya dengan N besar, diperuntukkan untuk Nama-nama Husna Allah, dari Nama Allah itu sendiri sampai kepada Nama Sifat Zat dan Perbuatan. Jadi, untuk menentukan apakah Nya itu sebagai katan ganti Allah atau seluruh Nama HusnaaNya, harus dilihat kontek kalimatnya. 

8. Tulisan ini, kalau benar menurut Allah swt, hanyalah sebagai penjelasan terhadap Insan Kamil. Jadi, jangan coba-coba mengkhayal untuk mencapainya. 

9. Mencapai insan-kamil, diperlukan setidaknya seribu maqam dimana maqam ke tiganya saja sudah harus bersih dari dosa. Jadi, yang akan sampai ke maqam yang tertulis dalam jawaban saya ini, adalah orang yang telah meninggalkan haram, makruh dan kesukaan pada: halal, karamat, kasyaf, ilmu, surga, al-lauhu al-mahfuzh, akal-satu dan fana’. Jadi, bukan dengan dzikir, seperti Allah-Allah, Huwa-Huwa atau Hu-Hu dan seterusnya. 

Jawaban Pertanyaan

1. Kalimat pertama adalah hadits dari makshumin as.: “Demi Allah kami adalah Nama-nama husna/baik Allah”. Terdapat di berbagai tempat: 

al-Kafi: 1: 144 (babu al-nawadir); 

Mustadraku al-wasail: 5: 230; Mustadraku Safinatu al-Bihar: 2: 391;Biharu al-Anwar: 91: 

6;Tafsir al- ‘Ayyasyi : 2: 42;Tafsir al-Shafi: 1: 114, 2:256;Tafsir al-Amtsal: 5: 307; dan lain-lain. 

2. Dalam catatan yang telah lalu tentang Wahdatul Wujud bag: 6 tentang dalil Naqlinya, telah diterangkanbahwaal-Asmaual-Husnaatau Nama-nama Baik Tuhan, adalah suatu keberadaan, bukan kata-kata. Karena Yang Melindungi dari Nama “Pelindung” adalah Maknanya, bukan kata-katanya. Begitu pula dengan Nama-nama yang lainnya seperti “Pencipta”, “Pemberi Rejeki”, “Penyembuh”, “Yang Melihat”, “Yang Mendengar”...dan seterusnya. 

3. Nama-nama Tuhan itu adalah Tajalli dari Maqam Tertinggi, Tergelap, Tertidak Tersentuh, Ter- Maha Ghaib, Ghaibnya Ke-Ghaiban (Ghaibu al-Ghuyub), yaitu maqam “Huwa” atau “Dia”. 

Maqam ini tidak dibahas sama sekali dalam Irfan. Jadi, kalau kita mengatakan Tuhan, maka yang dimaksud adalah Nama-nama itu. Jadi, pada hakikatnya Nama-nama itu dalam Irfan adalah Tajalli dari Tuhan Yang Huwa, bukan Tuhan Yang Huwa itu sendiri. Karena Yang Huwa ini, sama sekali tidak terjangkau oleh akal dan suluk serta kasyaf. Jadi, maqam ini tidak dibahas lagi. 

4. “Ada” atau “Satu Ada” atau “Wahdatu al-Wujud” yang dibahas dalam Irfan, adalah Tuhan yang terjangkau dengan akal (walau hanya maknanya, bukan penyelimutannya) ini. Yakni Nama- nama Husna tersebut, bukan “Huwa”. 

5. Dengan pembuktian akal dan suluk serta kasyaf, “Ada” adalah hanya “Satu” dan Dia adalah Tuhan, sebagaimana sudah dibahas di catatan-catatan sebelumnya. Dan Tuhan di sini, sekali lagi, bukan Huwa. 

6. Nama-nama baik ini dibagi tiga, “Nama Zat”, “Nama Sifat Zat” dan “Nama Sifat Perbuatan”. Yang pertama adalah “Nama Allah”, yang ke dua adalah Nama-nama dari sifat-sifatNya yang dimilikinya tanpa dihubungkan dengan yang lainnya, seperti Nama Ada, Qidam, Baqa’, Hidup, Kuasa, Ilmu, Murid ..dst, sedang yang ke tiga adalah Nama-nama yang dimilikiNya setelah Dia melakukan sesuatu atau dipahami setelah menghubungkanNya dengan selainNya, seperti Nama Pencipta, Pemberi Rejeki, Pengampun...dan seterusnya. 

7. Dalam istilah Irfan, setelah maqam Huwa itu, adalah maqam Ahadiyyah (Satu yang Esa atau tidak terangkap), dan setelah Ahadiyyah adalah maqam Wahidiyyah (Satu yang Kesatuan/ rangkapan). 

8. Ketiga maqam di atas itu adalah Maqam Ke-Tuhanan yang, biasanya tidak disebut Tajalli, sekalipun pada hakikakatnya adalah Tajalli. Yakni Allah adalah Tajalli Huwa; Nama-nama Sifat Zat adalah Tajalli Nama Allah; Dan Nama-nama Sifat Perbuatan adalah Tajalli dari Nama Sifat Zat. 

9. Tajalli Tuhan dimulai dari Akal-satu, lalu melaui Akal-Satu, Tuhan meneruskan TajalliNya ke Akal-Dua .....dan seterusnya sampai ke Barzakh dan Alam Materi, sebagaimana sudah sering dijelaskan. 

10. Akal disebut juga Jabaruut, dan Barzakh sebagai Malakut, sedang Materi disebut Nasut. Akal dan Barzakh juga disebut al-‘Alamu al-Amr (sekali jadi, non materi dan non proses/perubahan waktu), sedang Alam Materi disebut al-‘Alamu al-Khalq (pengkadaran, pembentukan, pem- batasan). Sekalipun, sekali lagi, bahwa sejak dari Akal-Satu itupun sudah al-Khalq atau Pembatasan. Akan tetapi karena susah dijangkau maka al-Khalq (bukan ciptaan sebagaimana maklum) itu diistilahkan untuk Alam Materi. 

11. Karena “Ada” hanya satu, maka “Ada” yang membentang dari Nama Allah sampai ke Alam Materi ini, disebut al-Nafasu al-Rahmani. Yakni Nafas Ke-Maha Kasih-an. Diserupakan dengan nafas yang belum membentuk huruf-huruf. Sementara Nama Allah sampai ke Alam Materi disebut dengan al-Huruf atau al-Kalimat. Karena Sang Nafas/wujud telah membentuk huruf dan kalimat yang, dalam hal ini adalah makna Allah sampai ke Alam Materi itu, bukan kata- katanya, sebagaimana maklum. 

12. Dalam catatan yang telah lalu tentang Wahdatu al-Wujud ini, sudah diterangkan bahwa pesuluk memiliki 4 perjalanan: 

a. Dari makhluk ke Khaliq, yakni dengan meninggalkan maksiat, makruh, suka dunia halal, suka karamat, suka kasyaf, suka Barzakh, suka surga, suka Akal-Terakhir atau al-Lauhu al-Mahfuzh, suka ini dan itu....dst, sampai meninggalkan kesukaan pada Akal-Akhir, hingga Fana’ dan meninggalkan kemerasaFanaa’annya. 

Ketika sudah sampai di Fanaa’nya Fanaa’ ini, maka seorang pesuluk sudah meninggalkan selain Tuhan dan sudah sampai kepada Maqam Kebodohan Mutlak (Zhaluman Jahulan yang dipujikan kepada manusia oleh Tuhan dalam Qur'an). Hal itu karena yang dihadapinya sekarang hanyalah Tuhan Yang Tidak Terbatas yang, karena ke-tidak TerbatasanNya membuatnya tidak tahu sama sekali tentangNya. 

Karena kalau Tuhan itu Maha Luas, maka bisa diketahui walau sedikit. Tapi ketika Tuhan itu Tidak Terbatas, maka tidak ada kata sedikit yang bisa diketahui. Karena kalau ada sedikitNya, maka ada BanyakNya alias LuasNya. Dan kalau ada LuasNya, maka pasti ada BatasanNya, sekalipun Maha Luas. Jadi, karena lawan Tidak Terbatas adalah terbatas, bukan sedikit, maka Tuhan tidak lagi bisa diketahui olehnya. Sementara kita-kita yang merasa tahu ini, adalah kebodohan di atas kebodohan. 

b. Dari Khaliq ke Khaliq, yakni setelah seseorang tidak melihat dan menyukai apapun sekali- pun dirinya dan kefanaa’annya, dan hanya melihat dan merasakan AdaNya, maka sekarang ia bisa melanglangiNya, dimulai dari Nama-nama Sifat PerbuatanNya sampai ke Nama ZatNya, sesuai kemampuannya. 

Masing-masing salik atau pesuluk, dalam hal ini memiliki kemampuannya sendiri-sendiri. Maka sesuai dengan kemampuannya itulah seseorang bisa menyentuh berapa Nama dan sejauh apa dari masing-masing Nama yang disentuhnya itu. 

c. Dari Khaliq ke Makhluk, yakni setelah seseorang melanglangi Nama-namaNya, maka sesuai dengan KehendakNya, ia akan turun lagi ke selainNya. Namun, turunnya sekarang ini sudah bukan dirinya lagi, tapi sebagai alatNya. Kalau Fanaa’ adalah maqam “Mabuk” dan “Pingsan” (Mahwun), maka maqam ke tiga ini adalah maqam “Sadar Setelah Pingsan” atau “Siuman” (Shahwun). Namun, kesadarannya sudah bukan kesadaran sebelum Fanaa’ lagi, karena waktu itu, ia sendirilah yang melakukan suluk, sedang sekarang ia sudah menjadi alatNya, MataNya, TanganNya,KakiNya, MulutNya dst. 

d. Dari Makhluk ke Khaliq bersama makhluq, yakni setelah seseorang melakukan perjalanan ke tiga ini, baginya menjadi jelas apa saja tentang rahasia keberadaan ini (bc: tajalli). Oleh karenanya dia tahu juga rahasia agama dan mengapanya serta mengapa pada masing- masing ajarannya. 

Lalu dalam perjalanan ke empat ini, ia dengan MauNya, mengajak semua selainNya kepadaNya. Inilah yang dalam istilah dikatakan sebagai Maqam Kenabian. Jadi, semua pesuluk yang sampai ke maqam ini, maka ia, secara batin, sudah menempati posisi maqam kenabian. Namun, siapa yang akan ditunjuk menjadi Rasul olehNya, artinya yang akan dikehendaki sebagai RasulNya, maka tergantung kepada Mau dan IradahNya. 

Tentu saja, akan disesuaikan dengan semua kondisinya. Oleh karena itu, yang buta, cacat, tidak baiknya turunannya dst tidak akan diangkat menjadi RasulNya, karena akan membuat orang lain lari dan menjauh darinya. Hal mana yang seperti ini, sekalipun kalau Allah mengazab mereka tetap Adil dan Bijaksana, akan tetapi Tuhan, akan keluar dari sifat Lembutnya (Lathif) dimana maknanya adalah memudahkan hambaNya untuk taat dan menyulitkannya untuk maksiat. 

13. Salah satu konsep filsafatnya non materi, adalah 1+1=1. Hal itu karena non materi tidak lagi dibatasi dengan volume yang merupakan konsekuensi dari kebendaan. 

14. Pesuluk atau Salik yang sampai kepada wujud-wujud non materi itu, maka mereka, kalau sudah sempurna, akan menyatu dan menjadi si yang dicapainya itu. Kalau Barzakh, maka ia akan menjadi Barzakh itu, begitu pula kalau Akal-Akhir atau Akal-Satu. 

15. Pesuluk yang sampai ke maqam Nama-nama, juga demikian. Mereka akan menyatu dengan Nama-nama itu sesuai kemampuannya sendiri-sendiri, baik dari sisi jumlahnya atau keluasan masing-masingnya. 

16. Dengan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa maqam-maqam setelah Fanaa’ adalah Wahidiyyah (Sifat Fi’liyyah dan Zatiyyah) dan Ahadiyyah. 

17. Ahadiyyah, yakni Allah, karena Dia dalam Irfan adalah Nama dan Tajalli dari Huwa Yang Maha Tidak Terbatas dan Ghaibu al-Ghuyub, maka Dia adalah Terbatas. Namun demikian, tidak ada yang tahu batasanNya. Oleh karena itu dalam pembicaraan dan tulisan, selalu dikatakan sebagai Yang Maha Tidak Terbatas. Terlebih lagi, setelah kita tahu bahwa maqam Huwa yang di atasNya, sama sekali tidak bisa tersentuh. Jadi, penisbatan atau penghubungan atau pensifatan Tidak Terbatas, selalunya ditetapkan ke “Nama Allah”, bukan ke Huwa/Dia. 

18. Karena Nama Allah itu hanya Huwa yang tahu batasanNya, dan bahkan Nama-nama Sifat Zat dan Sifat Perbuatanpun hanya Huwa yang mengetahui batasannya, maka siapapun yang melanglangi Maqam Nama-nama Baik/Husna ini, tidak akan ada yang tahu batasanNya. 

19. Orang yang sampai ke maqam Nama-nama Baik itu, karena dari sisi Ruh-nya yang non materi, dan ke-non-materian Nama-nama tersebut, maka rumus 1+1=1 itu berlaku. Yakni mereka men-satu dengan Nama-nama tersebut. 

Namun, sekali lagi, bahwa tidak ada yang bisa dikatakan bahwa dia telah sampai ke semua batasan atau kesempurnaan Nama yang dicapainya itu. 

20. Sekalipun pen-satuan yang sampai kepada Nama-nama Husna itu tidak bisa dikatakan telah mencapai seluruh kesempurnaan dari Nama yang dicapainya, akan tetapi sudah bisa dikatakan sebagai NamaNya. Setidaknya, sebagai Tajalli Nama yang dicapainya itu. 

21. Ke-men-satu-an yang sampai kepada Nama-nama Baik Allah itu, dalam Qur'an diterangkan sebagai “Menjadi”, yakni “Menjadi Tuhan” atau “Menjadi Nama-nama HusnaNya” yang, bahasa Arabnya adalah al-Mashir. 

Dalam QS: 2: 285: “...dan meraka berkata: Kami mendengar dan kami taat (mereka berdoa): Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah menjadi (terjamahan DEPAG: ..kembali)”. Kalau Allah memakai kata “Turja’un”, seperti di ayat lain, maka bermakna “kembali”. Akan tetapi di sini memakai kata “Mashir” atau “Menjadi”, jadi tidak bisa diterjemahkan dengan “kembali”. 

Dalam QS: 3: 28: “...dan kepada Allah menjadi/dijadikan”. Lihat juga QS: 5: 18; 24: 42; 31: 14; 35: 18; dll-nya yang banyak sekali. 

Tentu saja kalau kemenjadiannya itu ke tempat lain, terkhusus neraka, maka ia juga adalah ke- men-satu-an dengan neraka. Oleh karenanya dalam Qur'an dikatakan sebagai “Bi’sa al-Mashir” atau “Se-buruk2 tempat menjadi”. Lihat QS: 2: 126; 3: 162; 8: 16; dll-nya yang juga banyak sekali. Rahasianya, karena neraka adalah non materi. Karena itu konsep 1+1=1 juga berlaku. Akan tetapi, karena manusia yang menyatu dengan apa-apa yang tidak sesuai dengan esensinya, seperti api-barzakhi, maka ia akan merasakan secara Hudhuri panasnya dan akan tersiksa karenanya. 

22. Namun demikian, sebagaimana sudah dijelaskan di atas, bahwa yang sampai ke maqam Nama-nama Baik itu, tidak bisa dikatakan bahwa ianya telah sampai ke seluruh batasan atau kesempurnaan Nama yang dicapainya itu. Hal itu karena hanya Huwa yang tahu secara hakiki. Dan karena ketidak bisaan seseorang mencapai NamaNya itulah maka Tuhan dalam Qur'an memakai kata “ilaihi”, yakni “KepadaNya” atau “Kepada Allah” atau “KepadaMu”, dalam ayatNya yang berbunyi “mashir” atau “menjadi” atau “dijadikan” itu. Perhatikan contoh ayat di atas, QS: 2: 285 dan 3: 28. Maka disana dan di tempat lain, sebelum mengatakan “menjadi”, telah dipakai kata “kepada”. 

Artinya, bahwa sejauh apapun ke-men-satu-an yang dicapai manusia, maka ianya tetap merupakan “ke-menjadian kepadaNya”, bukan “ke-menjadianNya”. 

23. Dengan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa yang mencapai maqam Nama-nama Husna itu, dari satu sisi bisa dikatakan “men-satu”, dan dari sisi lainnya dikatakan “tajalliNya”, atau “bukanNya”. 

24. Kegamblangan dalil terhadap ke-Tajalli-an yang sampai itu, bahwasannya ianya tidak-men- jadiNya atau tidak men-satu secara hakiki dengan Nama-namaNya atau “kemenjadian kepadaNya”, adalah Wahdatu al-Wujud itu sendiri. 

Artinya, ketika Wujud itu hanya satu dan ia adalah Nafas Rahmani itu, maka Sang Wujud Mutlak itu tetap langgeng dan tidak pernah bergeser dan/atau berubah. Jadi, hiruk pikuk perjalanan Salik/Pesuluk dan wujud-wujud Materi, Barzakhi, Akli dan Nama-nama Husna itu, sebenarnya hanyalah dalam Tajalli itu. 

Dan karena bahasan (irfan teori) atau capaian (irfan amali yang amali) tertinggi manusia adalah Nama Zat, yakni Nama Allah, maka Nafas Rahmani (wujud) itu dihubungkan kepada Allah. Jadi, Allah-lah pemilik Nafas Rahmani itu secara hakiki dalam Irfan dan selainNya adalah TajalliNya, baik berupa Nama-nama HusnaNya, atau Akal, Barzakh dan Materi. 

Kalau demikian halnya, yakni kalau wujud itu, semuanya adalah Dia dan hanya MilikNya yang, dalam arti DiriNya sendiri, maka keselainanNya adalah TajalliNya. Jadi, gradasi yang bermakna tingkatan, dan kehiruk-pikukan itu hanya di TajalliNya saja, bukan di Wujud. Walaupun demikian, yakni walaupun selalu dalam Tajalli, akan tetapi tetap saja yang sampai kepada Tajalli Nama-nama Baik itu, tidak akan sampai kepada seluruh batasan atau kesempurnaan Nama yang dicapainya tersebut, sebagaimana sudah diterangkan. 

25. Dengan demikian, maka yang sampai kepada Nama-nama Husna itu, bisa dikatakan seba- gai Nama-nama Husna karena ke-mensatu-an yang diakibatkan oleh kesamaan ke-non materiannya itu. Walaupun tetap tidak bisa dikatakan sepenuhnya “menjadiNya” yang dikarenakan “kemenjadian kepadaNya” itu, yakni bukan “kemenjadiNya”. 

26. Dan karena Rasul saww dan Ahlulbait adalah paling afdhalnya manusia dan tajalli, hingga dikatakan sebagai Rahmat bagi segenap alam-alam, maka sudah tentu, mereka adalah Nama-nama Husna itu. Inilah yang dimaksudkan oleh hadits yang ditanyakan. Allahu A’lam. 

27. Dan karena semua insan Kamil, terutama para nabi dan washi-washi sebelum Rasul saww adalah secara yakin telah sampai kepada Perjalanan ke Empat, maka sudah pasti mereka juga merupakan orang-orang yang melanglangi maqam Nama-nama Husna tersebut. 

28. Namun demikian, karena kita melihat dari ayat-ayat, dinyatakan bahwa Nabi saww adalah rahmat bagi segenap alam semesta (QS: 21: 107), dan Ahlulbait as juga adalah diri beliau saww, sebagaimana dalam ayat-ayat (QS: 3: 61) dan riwayat-riwayat yang banyak sekali, maka pastilah maqam mereka as di tingkatan Nama-nama Husna ini berada di paling tingginya dan paling sempurnanya. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pembeda insan kamil dengan insan kamil lainnya, nabi dengan nabi lainnya, imam dengan imam lainnya dst, ada di maqam Nama-nama Husna ini, bukan di Jabaruut dan apalagi di bawahnya. 

Catatan untuk point 24: Irfan Teori artinya adalah ilmu yang membuktian kebenaran Wahdatu al-Wujud. Seadang Irfan ‘Amali adalah ilmu yang membahas teori pencapaiannya, bukan pencapaiannya itu sendiri. Oleh karena itu saya tulis dalam kurung di atas sebagai “amali yang amali”. Artinya capaian dan ke-men-satu-an-nya, bukan teori pencapaiannya. 

29. Dengan semua penjelasan di atas, maka kalimat ke dua dari yang ditanyakan tersebut di atas, dapat dipahami. Sekalipun hadits itu, sepertinya, tidak termuat kecuali dalam satu kitab saja. Yaitu kitab Khuthbatu al-Iftikhar yang, masih banyak yang menyangsikan keshahihannya. Arti “Aku Ahmad tanpa mim” adalah “Aku Ahad”, yakni “Aku telah sampai di maqam Ahadiyyah”. 

30. Sekali lagi jangan lupa, bahwa yang dimaksudkan dari “Aku Ahad” tetap saja adalah Tajalli Si Empunya Wujud, bukan Wujud itu sendiri, oleh karenanya “Selalu KepadaNya”, bukan “MenjadiNya”. 

Semoga bermamfaat dan sekian terima kasih. Al-fatihah – sholawat. Wassalam. 

Sinar Agama: Sinar Agama salam, terimakasih banget, maaf sering direpotin, afwan. 

Anggelia Sulqani Zahra: Ustad. Apalah diri ini dibandingkan kami sering bertanya pada ustad, dan masyaAllah ustad di antara kesibukannya dengan tulusnya melayani pertanyaan-pertanyaan kami,,.. sungguh benar-benar Sinar Agama... 

Sinar Agama: syukur kalau kamu tidak marah kala kumintai tolong. Aku kadang lupa basa-basi, hingga terasa seperti kurang sopan, jadi afwan banget. Semoga kita termasuk kafilah-kafilah yang berhijrah kepadaNya danRasulNya saww amin, begitu pula temen-teman lainnya. 

Pencinta Ali: afwan ingin penjelasan, di kala kita mengutip perkataan imam Ali: wa Allahi nahnu Ahlulbayt asma’ul husna. Sedangkan kita mengetahui bahwa di antara asmaul husna ada Allah, yg menjadi pertayaan apa mereka Allah? 

Sinar Agama: Pencinta: Kurasa saya sudah menjelaskannya di atas, mohon diperhatikan, jangan buru-buru. Nanti kabari lagi, afwan. 

Pencinta Ali: Ali Ruhullah, Ali ruhnya Allah dan Muhammad jasadnya jiwa tanpa ruh maka tak hidup. 

Sinar Agama: Pencinta Ali Ali ruhullah, Ali ruhnya Allah dan Muhammad jiwa, jiwa tanpa ruh maka tak hidup. 

Sinar Agama: Pencinta: Ali Ruhullah itu tidak ada hubungannya dengan pembahasan kita. Ruhullah itu seperti baitullah, janntullah, ...dan seterusnya. Jadi penisbatan kepemilikan. Emangnya bisa Allah dikatakan memilki ruh, dan ianya adalah Ali as? Kalau Ali as Ruh Rasul saww, itu bukan maknanya Rasul saww adalah jasadnya dan Ali as adalah ruhnya. Itupun kalau kalimat itu ada dalam riwayat. Maksud Ali as adalah ruh Nabi saww, artinya karena tanpa Ali as dan makshumin as lainnya, ajaran Nabi saww tidak akan ada gunanya dan akan hilang setelah masa beliau saww. Karena kalau agama tidak dijaga orang makshum maka semua orang akan memahminya dengan akal tidak makshumnya dan akhirnya agama akan menjadi amburadul tidak karuan. 

Jadi, ruh disini adalah Majazi/simbolik, bukan hakiki. Yakni Ali as dan para imam makshum as adalah penyemangat Nabi saww. Atau bisa diartikan bahwa Ali as dan imam makshum lainnya as adalah ruh agama Nabi saww. Jadi, makna dari kata Ali as adalah ruh Nabi saww adalah Ali as adalah ruh agama Nabi saww. Seperti Husain as dariku dan aku dari Husain as. Dan kalaulah memiliki makna hakiki, tentu saja imam Ali as sama sekali tidak akan pernah mengunguli Rasul saww. 

Jadi, makna dari Ali as adalah ruh Nabi saww, adalah Ali as adalah milik Nabi saww atau ruh yang dimiliki Nabi, yakni ruh yang dibentuk Nabi saww dan menjadi miliknya, sebagaimana Tuhan mengatakan telah menghembuskan RuhNya kepada janin yang sudah siap menerimanya. 

Jadi, ruh di sini, adalah ruh yang dibuat Tuhan dan milikNya. Biasanya, penisbahan ini dikarenakan kemulian atau keagungan masalah atau makhluk tsb. Seperti ruh, ka’bah ..dst. begitu juga imam Ali as terhadap Rasul saww sebagai pendidiknya, pemiliknya dan kesayangannya. 

Sinar Agama: Jadi, karena Rasul saww adalah pendidik dan penyayang Ali as, maka Ali as adalah milik beliau saww. Dan karena Ali as bukalah apa-apa kecuali kemuliaan ruhnya, bukan badaniahnya, maka ruh Ali as sama dengan Ali as. Dan ianya adalah ruh Rasul saww, yakni MILIK DAN KESAYANGAN RASUL SAWW. Sebagaimana ruh-Tuhan yang dihembuskan itu. Jadi, dimensi ke- ruh-an ruh kepada Allah atau ke ruh-an Ali as kepada Nabi saww adalah dimensi kedimilikiannya, bukan kememilikiannya. 

Pencinta Ali: anda pahami dulu kontek ruhullah, mengapa bukan rosul yang mendapatkan julukan tersebut, bahkan dalam hadis mufakhoro imam Ali mengatakan aku wahnya Allah di langit. 

Iday Sampaey: justru itulah personafikasinya dari majas tersebut,, dan secara subjektif, saya katakan, oleh karena Ali yang mampu mentransformatifkan nilai-nilai dan pengetahuan pasca Rosul, sehingga ini hanya kontinu imanensi kesempurnaan bagi setiap pertanyaan dan masalah keadaan jaman dan seterusnya... kecuali kalau saya yang salah koment. 

Sinar Agama: Pencinta: komentar alfakir ini sudah jelas, terimakasih. Jadi pandai-pandailah menerapkannya. 

Sinar Agama: Iday: kagum sama kecerdasannya. Sebagai tambahan, ketika siapa saja sampai ke maqam non materi, maka semua menjadi semua, artinya jadi satu. Jadi, siapapun boleh mengatakan sebagai wahyu, ’arsy, lauhu al-mahfuzh, ilmu Tuhan, kehendak tuhan, Mata Tuhan ....dst. Jadi tidak ada pengkhususan lagi di sana, karena maqam itu maqam yang bisa dicapai semua orang. Kekhususan masing-masing orang itu, terutama para nabi as dan imam makshum as, adalah di maqam Nama sebagaimana yang sudah dijelaskan di catatan dengan jelas. 

Namun, demikian tetap saja semua orang yang di sana bisa mengatakan sebagai Nama-nama Husna itu, karena 1+1=1 dalam non materi. Tapi dari sisi jumlah Nama Husna yang dicapai, dan berapa keluasan dari masing-masing Nama yang dicapainya itu, hanya Allah dan dirinya yang tahu. Jadi, hanya di maqam Nama itulah adanya perbedaan di samping persamaannya. Artinya maqam setelah Fanaa’ dimana semua itu di atas Akal-Satu. Sementara ’Arsy, lauhu al-mahfuzh, wahyu, kitab Qada dan qadar (bc: ilmu Tuhan sebagaimana sering dijelaskan, yakni bukan nasib manusia)....dst jutaan tingkatan dibawah Akal-Satu. 

Sementara semua derajat sampai ke Akal-satu itu adalah derajat yang tidak beda bagi yang sampai. Jadi, semua yang Fanaa’ bisa dikatakan satu derajat. Beda itu terjadi manakala di maqam Asma/Nama-Husna, yakni di Perjalanan ke dua (dari Tuhan ke Tuhan). 

Sinar Agama: Mengenai Nabi saww, beliau adalah pengajar pertama Islam. Maka itu dikatakan beliau saww berperang sesuai turunnya ayat (lahiriah ayat) dan imam Ali as berperang sesuai takwilnya ayat. 

Jadi, pada awal-awal ke Islaman Nabi saww tidak diperkenankan Allah untuk mengatakan yang batin-batin kepada manusia kecuali kepada murid khususnya seperti imam Ali as. Ekstrimnya, setinggi apapun imam Ali as, tetap dalam genggaman Nabi saww. 

Maka itu tidak heran kalau imam Ali as yang dikenal dengan singa padang pasir itu, yang membelah Ibnu Wud pendekar Mekkah menjadi dua, mengatakan +/-: ”Kalau perang sudah sangat dakhsyat, kami berperang sambil di balik punggung Nabi saww (yakni berbenteng Nabi saww)”. Artinya tidak ada yang bisa mendahului Nabi saww. 

Jadi, dalam perang diri, juga tidak ada yang bisa mendahuluinya hingga orang lain punya sesuatu kemudian beliau saww tidak memilikinya. Imam Ali as menjadi imam Ali as, karena Nabi saww. Imam Ali as menjadi ’Arsy, wahyu, ilmu Tuhan...dst adalah karena dibimbing Nabi saww. Karena Nabi saww adalah Nabinya, gurunya dan mursyidnya. Tentu saja sekaligus penyintanya, pembelanya, jiwanya, harapannya, penyemangatnya (terkhusus untuk ke depan sebagaimana sudah diterangkan), jiwanya, hatinya, jantungnya, cintanya....dan seterusnya. 

Pencinta Ali: andai kata anda mengetahui siapa sosok Ali sebenarnya, maka anda akan menjadi orang yang seperti saya, dan mungkin ini lama untuk mendapatkannya. 

Sinar Agama: Pencinta: Komentarku sudah jelas. Kuanjurkan segera melakukan taubat. Atau bangun argument antum dan paparkan kepada kita. Jangan hanya mendakwa. Kita di  sini, bebas berpandangan dan tanggung jawabnya sendiri-sendiri di dunia dan akhirat. Yang sangat diharapkan adalah adu dalil dan argument, bukan kokoh-kokohan berdakwa. Tafadhdhol kalau antum berdalil, maka kita akan lihat secara bijak. Saya sih sementara ini tetap sebagai Syi’ah 12 imam, yang meyakini bahwa siapapun dari para imam as, tak terkecuali adalah imam Ali as, semuanya, adalah murid Rasul saww dan ada di bawah beliau saww (derajatnya). 

21 Desember 2010 jam 9:35 · Suka · Hapus




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ