Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri Akal satu. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri Akal satu. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

Selasa, 09 Oktober 2018

Isra’ Mi’raj Dalam Tinjauan Naql dan Akal

Isra’ Mi’raj Dalam Tinjauan Naql dan Akal 

(Perjalanan dengan Badan dan Ruh, atau Ruh saja atau terinci dari keduanya?!!)



by Sinar Agama (Notes) on Sunday, July 3, 2011 at 7:08 pm



Isra’ Mi’raj dalam Tinjauan Naql dan Akal (perjalanan dengan badan dan ruh, atau ruh saja atau terinci dari keduanya?!!) 


Banyak pertanyaan dari teman-teman tentang hakikat Isra’ Mi’raj ini. Saya sendiri kurang tertarik membahasnya. Karena terkadang sebagian orang hanya ingin tahu saja, atau bahkan ada yang bertanya karena mau menulis di sebuah buletin. Belajar yang model ini –model ingin tahu apa ceritanya atau ingin menuliskannya ke orang lain- sulit melahirkan ketaqwaan. Karena itu saya kurang tertarik menuliskannya. Terlebih lagi, karena untuk menguak hakikatnya perlu kepada pembahasan filsafat, maka saya semakin tidak tertarik. Karena disamping hakikat ini tidak wajib diketahui secara detail, bisa-bisa pembahasan filosofisnya ini bahkan menjadikan diri kita bangga saja. Sementara kebanggaan seperti ini (hanya tahu, yakni tidak untuk diimani dan diamalkan) adalah kebanggaan yang kering dan kosong. Karena jelas, setinggi apapun argumentasinya, maka ia tetap merupakan Ilmu Hushuli yang akan hilang dikala kita mati. Tapi kalau untuk diimani dan diamalkan, maka ia jelas akan menjadi Ilmu Hudhuri yang akan dibawa mati. 

Baiklah saya akan coba memberikan sedikit penjelasan tentang Isra’ Mi’raj itu sesuai kemampuan, ruang dan waktunya. 

Namun, sebagai anjuran, hendaknya kita membuat sistematika pembelajaran Islam. Setidaknya supaya kita tidak mempelajari Islam tergantung dengan situasi dan kondisi. Ini yang pertama. 

Yang ke dua, hendaknya pandai-pandai memilih obyek pengetahuan Islam yang mau dipelajari, hingga bisa mendahulukan yang memang perlu didahulukan, dan dan mengenyampingkan yang tidak darurat atau setidaknya kurang emergency. 

Ke tiga, penjelasan Isra’ Mi’raj ini, akan sangat tergantung pada penjelasan-penjelasan saya sebelumnya tentang makhluk sesuai dengan pandangan filsafat. Karema itu saya akan memberikan ulasan ulang sedikit tentang hal tersebut: 

Tatanan Wujud Ciptaan atau Gradasi Ciptaan 


Sebelum ini, sudah sering saya jelaskan tentang gradasi alam semesta (bukan gradasi wujud) atau makhluk Tuhan. 

Ringkasnya sebagai berikut: 

(1-a). Golongan pertama, makhluk Tuhan yang dikenal dengan Akal. Makhluk Akal ini dimulai dari Akal-pertama, ke dua, ke tiga ...dan seterusnya sampai pada Akal-akhir. 

Definisi makhluk Akal ini adalah keberadaan non materi mutlak dengan makna pertama, yaitu yang tidak mengandungi apapun kehinaan rangkapan materi, baik rangkapan materialnya atau sifat-sifatnya. 

Rangkapan, merupakan kehinaan bagi wujud, karena menkonsekwensi-i keterikatan pada masing-masing rangkapannya itu. Karenanyalah maka semakin banyaknya rangkapan yang dikandungi sesuatu itu, akan membuatnya semakin terikat. Sedang wujud yang semakin terikat, dalam hakikat dan filsafat, dikatakan semakin hina dalam gradasi wujudnya. Karena semakin banyaknya keterikatan dalam wujudnya, walau hanya pada bagian-bagian dirinya, akan membuatnya semakin tergantung pada bagian-bagiannya tersebut. Inilah makna hina dalam wujud dan filsafat, bukan dalam akhlak. 

Jadi, ketergantungan sesuatu pada bagian-bagiannya, sama dengan ketergantungannya pada sebab pewujudnya. Karena bagian-bagiannya itu juga sebab bagi keberadaannya dimana kalau tidak ada bagiannya, pasti tidak akan penah ada keseluruhannya. Jadi, disamping sesuatu itu tergantung pada sebab adanya, ia juga tergantung pada sebab bagiannya. Dan semakin sesuatu itu memiliki banyak ketergantungan ini, maka hal itu akan menyebabkannya semakin rendah dalam derajat wujudnya. 

Sedang Wujud Akal yang tidak memeiliki rangkapan itu, sudah pasti merupakan wujud yang barada di maqam yang paling tinggi di antara makhluk-makhluk lainnya. Dan karena ketinggian mereka itulah maka mereka juga disebut dengan surganya orang-orang yang didekatkan (muqarrabun yang jauh di atas surganya mukminin). Dan, hanya yang paling tinggi diantara merekalah, yakni Akal-pertama yang hanya layak disentuh tangan Tuhan dan menjadi makhlukNya secara langsung. Karena itu, yang lainnya, seperti Akal-dua, tiga, empat ... dan seterusnya diciptaNya melalui yang sekelas di atasnya. Misalnya Akal-dua, diciptaNya dengan perantaraan Akal-satu. Akal-tiga dengan perantaan Akal-dua ...dan seterusnya. 

Beda antara Tuhan yang tidak berangkap wujud-wujud Akal yang juga tidak berangkap itu adalah pada keterbatasan mereka dan ketidak terbatasanNya (dan jarak ini tidak sedikit, bahkan juga tidak terbatas). Yang ke dua, mereka terikat padaNya dan pada sebab-sebab perantaranya (bagi selain Akal-pertama) sekalipun tidak terikat pada bagian-bagian diri mereka yang dikarenakan ketidak punyaan mereka terhadap rangkapan-rangkapan diri tersebut. 

Sebagai tambahan: 

Akal-pertama juga dikenal dengan Nur Muhammad; Akal-akal itu dikenal dengan Jabaruut atau Jannatulmuqarrabiin atau Surga yang didekatkan padaNya; Akal-akhir juga disebut ‘Arsy atau Maqam pertama di atas surga atau Lauhu al-Mahfuzh. Dan dalam Qur'an juga biasa dikenal dengan Malaikat ‘Aaliin/tinggi: 


قَال يَا إِبْلِيسُ مَا منَعَكَ أَنْ تَسْجُد لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ



“Berkata –Allah: ‘Wahai iblis, apa yang membuatmu tidak bersujud kepada –Adam- yang telah Kubuat dengan kedua tanganKu sendiri. Apakah karena kamu sombong atau karena kamu tergolong dari yang tinggi?’” (QS: 38: 75) 

Ayatullah Jawadi Omuli, walau tidak terlalu memastikan dalam pelajaran Filsafat dan Irfannya, mengatakan bahwa memang ada kemungkian terhadap adanya malaikat tinggi yang tidak diperintah sujud kepada nabi Adam as. Karena itu Allah berfirman: 

“Apakah karena engkau sombong atau karena kamu tergolong dari yang tinggi kedudukan- nya? 

Dalam hadits juga banyak diriwayatkan yang secara lahiriahnya berbeda akan tetapi bisa dipadukan setelah kita mengenali kaidah akal. Hadits-hadits yang dimaksud seperti berikut: 

في سئواالت الشامي عن أميرالمؤمنين أخبرني عن أول ما خلق اهلل تبارك وتعالى فقال: النور 

“Yang termasuk pertanyaan orang Syam (Suriah) kepada imam Ali as adalah: ‘Beritahukan padaku tentang apa yang pertama kali dicipta Allah?’ Beliau menjawab: ‘Cahaya.’.” (Biharu al- Anwaaar, jld. 1, hlm. 96) 

قال النبي) صلى الله عليه وآله: (أول ما خلق الله نوري

“Nabi saww bersabda: ‘Pertama kali yang dicipta Allah adalah cahayaku.’.” (Bihaaru al-Anwaar, jld 1, hal. 97) 

وفي حديث آخرأنه ) صلى اهلل عليه وآله (قال: أول ما خلق اهلل العقل 

Dalam hadits yang lain Nabi saww bersabda: “Pertama kali yang dicipta Allah adalah Akal.”  (Biharu al-Anwaar, jld 1, hal. 97) 

Saya tidak akan menjelaskan tentang masalah Akal-pertama dan mengapa bisa diterapkan hadits Cahaya, Cahayaku atau Akal di atas. Karena memang kita sekarang tidak sedang membahasnya dan, apalagi sepertinya saya dulu sudah pernah menuliskannya. 

Dalil filosofisnya: Sudah sering pula saya jelaskan tentang dalil mengapa Tuhan mesti mencipta satu makhluk dulu, baik di keterangan-keterangan filsafat dan Irfan atau, bahkan di penjelasan tentang akidah. 


Intinya adalah: Kalau Tuhan mencipta dua atau lebih makhluk secara langsung, maka Ia akan menjadi terpetak. Dan keterpetakanNya ini akan membuatNya terbatas dimana kalau Ia menjadi terbatas maka Ia pun akan menjadi makhluk, bukan Tuhan. 



Penjelasannya: 

(1-a-1). Antara sebab dan akibat mesti memiliki kesejenisan (bc tidak asing). Karena itu mani manusia hanya akan menjadi manusia; biji jagung hanya menumbuhkan pohon jagung; api hanya melahirkan panas; es hanya menyebabkan dingin ....dan seterusnya. 

(1-a-2). Kalau Tuhan mencipta dua atau lebih makhluk yang berbeda secara hakikat dan esensi secara langsung, maka masing-masing esensi itu pastilah keluar dari KuasaNya tersendiri. Misalnya mencipta langit dan bumi. Karana kedua makhluk/ esensi ini saling berbeda, dan karena antara sebab dan akibatnya harus memiliki kesejenisannya, maka sudah pasti langit dan bumi tersebut diakibatkan oleh dua KuasaNya, bukan satu KuasaNya. Karena kalau diakibatkan oleh satu KuasaNya, maka salah satu dari keduanya itu sudah pasti tidak diakibatkan oleh akibat yang senafas dengannya. 

Misalnya, kalau bumi yang diakibatkan oleh Kuasa kebumianNya, maka keluarnya langit dari sumber atau Kuasa yang sama membuatnya juga diakibatkan oleh Kuasa Kebumian tersebut. Dan, kalau hal ini terjadi, berarti langit diakibatkan oleh akibat yang asing dan tidak sejenis atau senafas dengannya. Ini berarti, kita telah mengingkari keharusan adanya kesejenisan antara sebab dan akibat. Akibatnya, sama saja dengan kita mengatakan bahwa telur ayam telah menetaskan anak harimau atau ikan paus atau manusia atau pohon jagung. 

Tambahan penjelasan: Dari semacam penjelasan di atas itulah yang kemudian muncul teori yang sangat kesohor di filsafat yang mengatakan: “Satu hanya melahirkan satu”, atau “Satu hanya akan diakibatkan dari satu”. 

Sudah tentu satu disini adalah satu yang hakiki, bukan yang mengandungi rangkapan seperti mani dan seterusnya. Karena kelau mengandungi rangkapan seperti mani tersebut, maka ia juga akan mengakibatkan banyak (tidak satu), baik banyak yang dalam rangkapan atau bisa saja banyak yang terurai atau yang cerai berai. 

Simpulan penjelasan tentang makhluk Akal: 

Dengan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa Akal-akal ini, khususnya Akal satu, tidak hanya dicipta sebagai makhluk pertama sebagai makhuk pertama saja dan makhluk-makhluk lainnya juga akan diciptakanNya secara langsung seperti dia setelah menciptanya. Karena kalau hal ini terjadi, maka kita harus mengingkari keharusan adanya kesenyawaan dan kesejenisan antara sebab dan akibat sebagaimana maklum. Akan tetapi ia (Akal-pertama), dan siapapun yang dicipta mendahului yang lainnya (tentu yang ada dalam satu garis, seperti mani yang telah menjadi kita, bukan mani yang telah menjadi kakek tetangga dengan diri kita yang lahir setelahnya), maka ia adalah sebab perantara baginya. Inilah makna mendahului dalam filsafat. Yakni menjadi sebab bagi keberadaan wujud berikutnya. 

Dengan demikian, maka satu-satunya makhluk Tuhan hanyalah Akal-pertama tersebut. Dan yang lainnya diciptakanNya melaluinya secara berurut dan beruntun. Jadi, dari Akal- pertama akan tercipta Akal-dua, dari Akal-dua tercipta Akal-tiga ...dan seterusnya sampai kepada Akal-akhir yang juga disebut ‘Arsy ini. Lalu dari Akal-akhir muncul makhluk Barzakh sebagaimana yang akan dijelaskan di bawah ini. 

Tambahan simpulan: 

Karena Akal-pertama atau Akal-satu itu adalah makhluk yang telah diberikanNya kesempurnaan akan munculnya makhluk-makhluk berikutannya secara beruntun dan tertib, dan juga yang akan terus saling terikat disebabkan sistem sebab-akibat itu (lihat penjelasan lebih lanjut di makhluk Golongan ke dua alias Barzakh), maka perkataan bahwa Tuhan hanya mencipta Akal-pertama secara langsung itu, sama dengan mengatakan bahwa Tuhan mencipta alam ini dengan sekali ciptaan. Atau dapat dikatakan bahwa ketika Tuhan mencipta Akal-pertama, maka berarti Ia telah mencipta semua alam dengan segala susunannya, keterikannya dan kepengaturannya itu. Karena itulah, maka Akal-satu juga dikenal dengan Alam-Jaami’, Alam-Lengkap dan Alam-sempurna. Ia satu makhluk, tapi karena ia adalah sebab, pengikat dan pengatur bagi semua wujud yang berada di bawahnya (langsung dan tidak langsung), maka ia adalah hakikat semesta itu sendiri. Terlebih ketika ditambahkan kaidah lain yg (yang) mengatakan bahwaakibat itu tidak akan pernah berpisah dari sebabnya. 

(1-b). Golongan ke dua adalah Makhluk Barzakh. Hakikat Barzakh ini adalah non materi mutlak dalam arti kedua (yaitu yang zat dirinya non materi dan kerja-kerjanya tidak memerlukan kepada materi. lawan dari ruh –seperti ruh manusia- yang zat dirinya non materi tapi dalam kerja-kerjanya memerlukan materi –non materi tidak mutlak). Yaitu wujud non materi dalam arti tidak memiliki material atau matter, akan tetapi memiliki sifat-sifatnya. Hakikatnya persis seperti api, apel, singa, pohon, ....dan seterusnya yang ada dalam benak dan ide/khayal kita atau yang kita lihat dalam mimpi. Jadi, walaupun ia hakikat non materi, akan tetapi tidak terlalu bersih darinya. Karena itu ia memiliki warna, bentuk, rasa ..dan seterusnya. Walhasil memiliki semua sifat materi selain matter dan bendawiahnya. 

Karena itulah Barzakh ini juga disebut dengan Alam-Khayal (bukan khayalan manusia) disamping disebut dengan Alam-ide, Alam-mitsaal, tuhan-species-materi, kitab qada’ dan qadar, ..dan seterusnya. 

Keberadaan Barzakh ini terwujud dari Akal-akhir. Saya tidak akan ceritakan adanya perbedaan beberapa filosof tentang hakikat Barzakh ini dari sisi hubungannya dengan Akal-akhir. Saya hanya mau membahas yang umum saja tentang asalnya, yaitu bahwa dia berasal dari Akal-akhir. Dan ia juga yang nantinya akan melahirkan Alam Materi sebagai susun akhir dari Tata Wujud Makhluk atau Gradasi Makhluk ini. 

Wujud Barzakh ini, selain terikat dengan Tuhan sebagai pencipta aslinya, ia juga terikat dengan sebab-sebab perantara di atasnya dan, tentu saja ia juga terikat dengan bagian- bagiannya walaupun belum berupa bagian-bagian material dan hanya berupa sifat-sifat materi saja. Akan tetapi, karena ia memiliki bagian-bagian itu, maka ia sudah mulai terikat kepada bagian-bagian dirinya dimana hal ini tidak ada pada makhluk Akal. 

Dalam al-Qur'an, ia disebut dengan alam malaikat, malakut atau malaikat pengatur semesta (mudabbiraati amran) seperti dalam QS: 79: 5: 


فَالْمُدَبِّرَاتِ أَمْرًا



“Demi (malaikat-malaikat) yang mengatur segala urusan-urusan –dunia.” 

Tambahan keterangan penamaan: 

Di atas telah dikatakan bahwa Akal-akhir dikatakan juga sebagai ’Arsy Allah atau Singgasana Allah. dalam QS: 10: 3, Allah berfirman

إِنّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالَْرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّام ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُالَْمْرَ


“Sesungguhnya Tuhan kalian adalah Allah yang telah mencipta langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Ia duduk di atas Singgasana –‘Arsy- mengatur semua urusan.” 

Manusia, dengan akal yang diberikanNya, dapat mengerti kaidah-kaidah gamblang keberadaan yang, biasanya dibahas dalam suatu ilmu yang dikenal dengan Filsafat. Maka ia mengerti susunan tiga alam tersebut (Akal, Barzakh dan Materi). Di lain pihak Tuhan juga memberikan penjelasan untuk membantu yang tidak biasa berfikir filsafati, dengan penjelasan-penjelasan ayatNya di atas itu. Karena itulah dapat disimpulkan bahwa Akal- akhir itu adalah ‘Arsy, karena setingkat di bawahnya terdapat Barzakh sebagai Pengatur Alam Materi (dunia). 

Kata Ayatullah Jawadi Omuliy, Allah swt telah mengumpamakan PengaturanNya dengan para pengatur negara yang disebut raja yang duduk di kursi singgasananya dan mengatur negara/rakyatnya dimana dalam pengaturannya itu jelas tidak langsung, akan tetapi dengan memerintahkan menteri-menterinya. Allah juga, sesuai dengan ayat-ayat di atas, duduk (menguasai, bukan duduk material) di atas (maqom dan bukan tempat materi) ‘Arsy untuk memberikan instruksi-instruksiNya kepada para malaikat mudabbir tersebut (mudabbiraati amran). 

Tambahan penjelasan tentang pengaturan: 

Pengaturan dalam wujud semesta, tidak sama dengan pengaturan sosial manusia. Karena pengaturan dalam sosial manusia, satu sama lain sama-sama mandiri dari sisi wujud, tapi terikat hanya dari sisi sosial dan kesepakatan. Karena itu, presiden, tidak mengakibatkan ada dan wujud rakyatnya. Akan tetapi karena dalam kesepakatan ia telah dipilih oleh rakyatnya untuk mengatur mereka, maka ia mengatur mereka. 

Akan tetapi dalam kepengaturan wujud atau eksistensi, dimulai sejak awal wujud atau keberadaan yang akan diaturnya itu. Jadi, yang akan diaturnya itu adalah akibatnya sendiri. Artinya suatu wujud yang terlahir dari dirinya atas aturan Tuhannya. Dengan kata yang lebih gamblang, bahwa wujud pengatur itu adalah hakikat sebab wujud dan keberadaan bagi yang akan diaturnya tersebut. 

Keberadaan atau wujud, kalau tidak memiliki keterikatan sebab akibat, seperti pohon kelapa di depan rumah dengan pohon jagung yang ada di kebun, maka keduanya akan saling asing dan tidak berhubungan. Karena itu tidak bisa saling terikat dan apalagi mengatur secara wujud, bukan sosial. Begitu pula antara satu makhluk dengan makhluk lainnya. Karena itu, maka bagaimana mungkin bisa saling berhubungan secara wujud dan mengaturnya? 

Karena itulah, karena keterikatan wujud itu, hanya dengan dan hanya dalam, sistem sebab- akibat, maka sebuah wujud hanya akan terikat dengan sebabnya. Dan karena keterikatan kepada sebabnya itulah maka apapun yang terjadi padanya, hanya melalui pengaturan sebabnya, baik dari awal keberadaannya sampai kepada kesinambungan wujudnya. 

Akan tetapi, karena sebab yang juga akibat itu sebenarnya juga tergantung kepada sebabnya sejak dari awal wujudnya sampai kepada kesinambungannya dan seluruh aktifitasnya, dan karena sebab hakiki yang tidak bersebab itu hanyalah Allah, maka Dia- lah penyebab dan pengatur hakiki itu. Dan yang lainnya hanyalah sebab dan pengatur perantara. 

Karena itulah, kadang Tuhan mengatakan: “Aku Mencipta dan menurunkan hujan, ...”, tapi kadang mengatakan: “Kami Mencipta dan menurunkan hujan.” 

Artinya, ketika Tuhan mengatakan “Aku” maka Ia ingin mengatakan bahwa pencipta dan penyebab serta pengatur hakiki itu adalah Dia. Tapi ketika mengatakan “Kami”, maka Tuhan ingin mengatakan bahwa penciptaan kita dan pengaturannya itu tidak langsung. Artinya memakai perantara atau wasilah. 

Karena itulah dalam sistem doa dan berhubungan denganNya, sistem ini juga ada. Yakni sistem wasilah dan perantara ini, dan bahkan Tuhan sangat menekankan tentangnya. Karena itu dalam QS: 5: 35, Ia berfirman: 

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ

“Wahai orang-orang yang beriman, berperantaraanlah kalian untuk mendekatiNya!” 

Artinya, kalau dalam Tatanan Wujud Ciptaan, wujud yang ada di derajat lebih bawah menjadi ada/wujud karena wujud yang berada di derajat yang labih atas darinya, maka dalam mendekatiNya juga demikian. Yang berada di derajat iman dan ketakawaan yang lebih rendah “wajib” bertawassul dan berperantara dengan orang yang iman dan taqwanya lebih tinggi darinya. 

(1-c). Golongan ke tiga (akhir) adalah Alam-materi. Hakikatnya adalah keberadaan yang memiliki matter atau bendawiah serta sifat-sifatnya. Yaitu alam yang terhampar di hadapan kita ini dimana kita termasuk di dalamnya. 

Ciri khusus materi adalah memiliki panjang, lebar dan tebal alias volume (isi) dan, tentu saja waktu (volume gerak). 

Kalau keberadaan non materi mutlak (Akal dan Barzakh) adalah wujud yang hanya memiliki kebaikan mutlak, artinya tidak memiliki keburukan apapun, akan tetapi kalau Alam Materi sebaliknya. Karena ia juga memiliki keburukan. Akan tetapi keburukannya lebih sedikit dari kebaikannya. Karena itulah maka ia dikenal dengan keburukan di dalam al-Qur'an (seperti): “....dari keburukan apa-apa yang telah Ia cipta”), dan dikenal dengan efek samping di dalam filsafat. 

Efek samping ini tidak bisa dihilangkan karena derajat wujud materi memang tidak bisa lepas darinya. Hakikat dan esensi Alam Materi, adalah suatu hakikat yang terikat dengan ruang (baca: volume/isi) dan waktu disamping keterikatan-keterikatan yang lain. Dan karena hakikatnya yang demikian itulah maka ia memiliki banyak kekurangan dimana kekurangannya itu yang dikatakan efek samping. Misalnya, manusia yang hakikatnya adalah suatu wujud yang bernafas dengan paru-paru, maka ia sudah pasti tidak akan bisa bernafas di dalam air. Jadi, kalau kekurangannya ini harus ditiadakan, maka sama halnya dengan tidak mencipta Alam Materi sama sekali. Karena yang tidak terikat dengan volume (panjang, lebar dan tebal) dan waktu hanyalah wujud-wujud non materi (Akal dan Barzakh). 

Dan sudah tentu kalau Tuhan tidak menciptakannya, sudah pasti Ia akan terbatas. Karena Ia akan menjadi kikir, bakhil, zhalim, tidak mengetahui (jahil), tidak bijaksana .... dan seterusnya. Hal itu karena Ia telah meninggalkan kebaikan yang banyak disebabkan keburukan yang sedikit. Ini berarti kezhaliman dan ketidak bijakan yang nyata. Mengapa demikian? Karena kalau Tuhan meninggalkan 90 % kebaikan supaya terhindar dari 10 % keburukan, maka sama halnya Ia telah melakukan keburukan 90 % demi melakukan kebaikan 10 %. Karena meninggalkan kebaikan sama dengan melakukan keburukan. Begitu pula sebaliknya. 

Karena itulah, maka Alam Materi yang penuh dengan batasan ini, dan mengandungi keburukan yang pada hakikatnya adalah efek samping, mesti dicipta. Hal itu karena ke- Bijakan, ke-Murahan, ke-Maha Kasih, ke-Maha PandaianNya ...dan seterusnya. Jadi, tidak benar kalau ada orang berkata, mengapa Tuhan mencipta alam atau mencipta aku yang tidak memintanya??!!! 

(2). Derajat Alam atau Makhluk Barzakh 

Makhluk Barzak ini dikatakan Barzakh atau “Antara”, karena ia menempati posisi tengah antara Alam Non Materi Mutlak (Akal) dan Materi Mutlak. Mirip dengan alam kubur yang disebut Barzakh (Antara kehidupan dunia dan akhirat). 

Dalam filsafat, telah dibuktikan bahwa Makhluk Barzakh ini adalah Asal dari Alam Materi ini. Karena itu ia disebut juga “Tanah Asal” atau “Negeri Asal” atau “Tanah Air” yang dimaksudkan dalam hadits yang berbunyi: 

“Cinta tanah air/asal adalah bagian dari iman.” 

Dengan demikian, maka esensi atau spesies apapun yang ada di dunia materi ini, sudah pasti berasal dari Barzakh. Karena itu pulalah ia disebut juga dengan “Alam Mitsal” (alam contoh dari semua spesies materi). 

Kita melihat di dunia materi ini milyaran spesies makhluk, dari atom sampai ke manusia sebagai makhluk materi yang paling afdhal. Makhluk Materi ini, diadakan dan diatur oleh Makhluk Barzakh sebagai Pengatur atau Mudabbiraat-nya. 

Akan tetapi, karena Makhluk Barzakh ini adalah wujud non materi mutlak dan merupkan satu wujud global-mencakup (bukan global pahaman), dan karena Alam Materi adalah materi mutlak dan satu wujud yang banyak (individu), maka ia memerlukan kepada perantara dan barzakh lagi. Barzakh ke dua inilah yang dikenal dengan Ruh, Jiwa dan semacamnya. Karena itulah pada setiap wujud atau setiap spesies, diletakkannya wujud Non Materi Tidak Mutlak Dengan Makna Ke Dua (zat dirinya non materi akan tetapi dalam kerja-kerjanya memerlukan kepada materi atau Non Materi Individu (syakhshi atau tasyakhkhush). 

Dengan penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa tidak ada satu wujud materipun kecuali ia memiliki ruh yang mengatur jalannya gerak dan apapun proses yang menyangkut dirinya, walau hanya gerakan putaran-putaran atomnya. 

Ruh yang ada di Alam Materi ini memiliki 4 tingkatan: Ruh Tambang; Ruh Nabati; Ruh Hewani dan Ruh Akli (akal manusia). Terkadang, satu materi hanya memiliki satu tingkatan Ruh saja, seperti benda-benda yang nampak mati yang hanya memiliki Ruh-tambang. Akan tetapi ada yang memiliki dua tingkatan ruh, seperti Ruh Nabati yang sudah pasti juga memiliki Ruh-Tambang. Hal itu karena tidak ada Nabati apapun yang tidak memiliki badaniahnya atau matternya atau materialnya yang perlu kepada pengaturan seperti putaran-putaran atomnya. Dan ada juga yang memilki tiga tingkatan (yaitu binatang atau hewani) dan bahkan ada yang memiliki empat tingkatan, yaitu manusia. Tingkatan-tingkatan ruh itu, kalau ada dalam satu materi (spesies), biasanya disebut dengan Quwwah atau Daya. 

(3). Hakikat Surga-Neraka 

Surga-neraka ini, merupakan ajaran agama langit yang dibawa oleh para nabi dan rasul. Surga- neraka ini, juga merupakan akibat atau hasil dari buah perbuatan manusia. Sudah tentu, sebab tunggalnya adalah karena manusia memiliki daya ruh yang dikatakan dengan akal dan pikiran. 

Karena surga-neraka merupakan akibat dari wujudnya akal, dan akal ini hanya dimiliki oleh manusia, maka sudah tentu kesurgaan surga dan kenerakaan neraka diukur dari sesuai tidaknya kedua makhluk itu (surga-neraka) dengan manusia dan akalnya. Artinya, surga yang merupakan kenikmatan, adalah kenikmatan diukur dari manusia. Begitu pula neraka yang merupakan tempat siksa. Makanan segar dan enak, merupakan salah satu kenikmatan surga. Padahal ia merupakan makanan yang tidak enak bagi wujud lain yang bernama bakteri. Tikus yang merupakan makanan enak bagi ular, tidak akan ditemui di dalam kenikmatan surga. 

Dan karena surga-neraka ini berada di jalan balik manusia menuju Tuhan (dengan mati dan kiamat), maka sudah tentu ia berada di tingkatan yang lebih tinggi dari Alam Materi dan, sudah tentu keduanya berada di Alam Barzakh atau Makhluk Barzakh. Karena itu keduanya merupakan kenikmatan dan siksa yang jauh melebihi kenikmatan dan siksa yang ada di Alam Materi. Hal itu, karena Barzakh adalah sebab bagi Alam Materi. 

Dengan kata yang lebih ilmiah dalam pandangan filsafat, dapat dikatakan bahwa tuhan-tuhan spesies atau malaikat-malaikat pengatur dari spesies-spesies yang ada di Alam Materi inilah yang dikatakan sebagai surga-neraka dan “Negeri Balik” atau “Tempat Balik” atau “Negeri Asal”. Surganya, adalah malaikat-malaikat spesies dari spesies apa saja yang sesuai dengan akal dan manusia, sedang Nerakanya, adalah asal spesies-spesies yang tidak sesuai, seperti api, duri, ular, babi, anjing ...dan seterusnya. 

Di dunia materi ini, hal-hal yang tidak sesuai dengan akal dan manusia itu, tetap diperlukan oleh manusia sebagai bekal hidupnya, baik langsung, seperti api, atau tidak langsung, seperti ular. Tapi di kehidupan setelah mati, maka yang tidak sesuai dengan akal dan manusia itu, terlebih sebabnya dan asalnya dimana kedudukannya pasti lebih tinggi dan kuat, maka akan semakin lebih menyiksanya. 

Dan karena hal-hal yang tidak sesuai dengan akal dan manusia itu adalah wujud-wujud yang tidak berkesesuaian dengan akal manusia, maka sudah tentu derajatnya dibawah wujud-wujud yang sesuai dengan akal manusia. Karena itu, Surga berada di atas Neraka. Artinya, Surga lebih dekat kepada Allah sebagai sumber segala keindahan dan kesempurnaan, sedang Neraka sebaliknya. 

Tapi kalau dilihat dari Alam Materi yang berada dibawah keduanya (surga-neraka), maka Neraka berada setahap di atas wujud Materi, sementara Surga berada di atas derajat Neraka. 

Akal, sebegitu hebatnya, hingga dapat menerima percikan Cahaya-cahayaNya hingga banyak mengetahui rahasia alam ini dengan akalnya dalam bentuk akal-gamblang atau dalil-gamblang. 

Dan Allahpun merestuinya serta membimbing yang lainnya yang tidak terlalu senang berfikir keras, dengan ayat-ayatNya, seperti, QS: 7: 176, dikala Tuhan mensifat orang-orang sesat yang sudah tentu ahli neraka. Yakni yang masuk ke Neraka karena tidak mau dinaikkan ke Surga. Dan penyebabnya, karena mereka tidak mau naik dan bahkan memilih untuk tetap bertahan di bumi/ materi. Akhirnya, karena mereka yang bertahan di bumi ini harus mati, maka tidak ada jalan lain kecuali mereka masuk ke dalam Neraka yang berada diantara Surga dan Bumi (Alam Materi) tersebut: 



وَلَو شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الَْرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَل الْكَلْبِ




“Dan kalau Kami menghendaki, maka Kami angkat –derajatnya- dengannya –ayat-ayat- akan tetapi ia mengekalkan dirinya ke dunia (memilih dunia) dan mengikuti hawa nafsunya, maka ia seperti anjing ....” 

Begitu pula Tuhan berfirman: 

ثم الجحيم صلوه ثم في سلسلة ذرعها سبعون ذراعا فاسلكوه

“Kemudian masukkanlah ia ke dalam Jahim –neraka. Kemudian ikatlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta!” (surat Al-Haaqah, 31-32) 

Nabi tercinta saww bersabda: 

لو أن حلقة واحدة من السلسلة التي طولها سبعون ذراعا، وضعت على الدنيا لذابت الدنيا من حرها

“Kalau saja satu mata rantainya saja dari rantai yang panjangnya 70 hasta –yang ada di neraka itu- diletakkan di dunia, maka dunia ini akan melebur/meleleh karena panasnya.” (Bihaaru al-Anwaar, 8: 280.) 

Nabi saww diutus Tuhan untuk menyelamatkan manusia. Baik manusia ini adalah filosof atau orang biasa. Karena itulah, hakikat-hakikat filosofis disampaikannya dalam bentuk kalimat- kalimat sederhana karena tujuannya adalah supaya manusia mudah memahaminya dan mudah mengimani dan menjalaninya hingga mencapai keselamatan dan terangkat ke derajat yang layak. Yaitu Surga kenikmatan dan, yang terpenting, maqam keridhaan Tuhan. 

Dan sudah tentu maqam Surga dan keridhaan ini, adalah maqam yang sesuai dengan akal manusia. Karena itu, hal-hal yang jauh dari nilai-nilai akal argumentatif gamblang, akan jauh pula dari maqam tersebut. Dan bahkan sebaliknya, ia adalah kedudukan yang cocok untuk menempati maqam Neraka. Oleh sebab itulah, gunakanlah akal itu untuk memahami segala hal terutama Tuhan dan agamaNya, walau mungkin tetap bisa dikatakan relatif, akan tetapi jalan tersebut adalah jalan paling selamat menuju Surga dan keridhaanNya. 

Tambahan: 


Karena Alam Materi adalah wujud paling rendah, maka penyintanya adalah orang-orang yang lebih cocok untuk masuk ke Neraka. Karena ia harus meninggalkan Materi ketika mati, akan tetapi ruhnya tidak bisa naik ke Surga karena sejak ia masih hidup di dunia tidak mau mengangkat martabatnya. 

Sementara yang tidak menyintainya, lebih cocok untuk masuk ke Surga. Karena dari sejak hidupnya, ia tidak menyintainya dan tidak menyukai yang bersifat kebumian dan kematerialan. Manusia seperti ini lebih suka kepada kebenaran akal dan agama serta ke-Maha BenaranNya. 

Neraka, sudah tentu memiliki derajat-derajat yang tidak terhingga karena penyinta dunia materi ini juga memiliki berbagai tingkatan yang tidak terhingga (hiperbolik) pula. Sedang Surgapun juga seperti Neraka. Memiliki derajat-derajat yang juga bisa dikatakan tidak terhingga. Dimulai dari satu derajat di atas Neraka, sampai kepada martabat dan maqam menjelang ‘Arsy atau Akal- akhir, atau bahkan maqam di atas semua itu dimana dikenal dengan Surga Muqarrabun, atau kenikmatan makhluk-makhluk Akal tersebut. 

(4). Langit dan Tingkatannya 

Akal manusia hanya bisa menjabarkan bahwa Neraka dan Surga itu memiliki Tingkatan-tingkatan. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa setiap manusia memiliki karakternya tersendiri yang terbentuk dari perbuatan-perbuatannya dimana satu sama lain pasti berbeda. Dan disebabkan pula oleh kenyataan akan kembalinya manusia ke arah sebabnya dengan karakter-karakternya itu. Karena itulah manusia datang dari wathan atau Negeri asalnya yang bernama Barzakh dalam keadaan bersih dari pengaruh kebaikan dan keburukan perbuatannya, dan akan kembali kepadanya dengan masing-masing perbuatannya. Jadi, kembali ke Barzakh dan dengan amalan- amalan dan karakter-karakter yang saling beda itulah yang menjadi salah satu bukti dari keberadaan tingkatan Surga dan Neraka tersebut. 

Dan Tuhan serta NabiNya saww, memberikan gambaran secara global tentang Tingkatan- tingkatan tersebut. Misalnya dengan mengatakan bahwa langit itu ada tujuh tingkat. Misalnya dalam QS: 23: 86: 

قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ

“Katakan: ‘Siapa Tuhan ketujuh langit dan Tuhan ‘Arsy –singgasana- yang agung itu?” 

Di ayat ini nampak jelas bahwa ‘Arsy itu di atas ketujuh langit. Sebagaimana juga telah dijelaskan oleh Nabi saww dalam peristiwa mi’raj dengan sabdanya: 

حملت على جناح جبرئيل حتى انتهيت إلى السماء السابعة فجاوزت سدرة المنتهى عندها جنة المأوى حتى 
...........تعلقت بساق العرش فنوديت من ساق العرش: إني أناالله لا


“Aku dibawa di atas sayap Jibril as sampai ke langit ke tujuh, lalu kulewati Sidratu al-Muntahaa yang terdapat surga Ma’waa, hingga pada akhirnya aku sampai di kaki ’Arsy, kemudian aku diseru: Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan kecuali Aku ...” (Tafsir al-Miizaan, tafsir surat Isra’). 



Secara global Tujuh Langit itu bisa dibagi kepada dua bagian: 

(4-a). Bagian Pertama, adalah Langit Pertama yang biasa disebut dengan Langit Dunia atau Langit Alam Materi. Langit ini bisa dipahami sebagai akhir Alam Materi atau batas akhir darinya. Allah berfirman: 

إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ

“Sesungguhnya Kami hiasi Langit Dunia, dengan keindahan bintang gemintang.” (QS: 37: 6) 

(4-b). Bagian ke dua, adalah langit ke dua sampai langit ke tujuh. Disini hampir dapat dipastikan bahwa yang dimaksudkan adalah Alam Non Materi. Karena dalam hadits Isra’ Mi’raj, Nabi saww bertemu dengan nabi Isa as dan Yahya di langit ke dua ini (sebagaimana nanti akan dijelaskan di kronologis Isra’ Mi’raj insyaAllah). 

Dan karena Allah berfirman dalam QS: 53: 14-15: 

عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى * عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى

“Di Sidratu al-Muntahaa * Di dalamnya terdapat Surga Ma’wa.” 

Dan juga berfirman di QS: 51: 22: 


وفي السماء رزقكم وما توعدون



“Dan di langitlah rejeki kalian dan apa-apa yang telah dijanjikan kepada kalian –surga” 

Sementara dalam kronologis Isra’ Mi’raj (sebagaimana yang akan dijelaskan di bawah nanti) dinyatakan bahwa Sidratu al-Muntaha itu setelah langit ke tujuh, maka dapat dipastikan bahwa Surga itu adalah Wujud Non Materi dan, sudah tentu Barzakhi, karena masih di bawah ‘Arsy. Dan batasan akhir surga itulah yang dikatakan dengan Sidratu al-Muntahaa (sebagaimana akan jelas di kronologis Isra’ Mi’raj nanti). 

(5). Kronologis Isra’ Mi’raj 

Peristiwa isra’ Mi’raj ini merupakan kejadian yang tidak bisa diingkari karena terurai dalam al- Qur'an dan Hadits-hadits yang mutawatir, baik di Syi’ah atau di Sunni. Dalam Tafsir al-Mizaan, karya Allaamah Thaba Thabai ra telah diriwayatkan hadits yang panjang tentang Isra’ Mi’raj ini. Karena menerjemahkan secara detail tidak diperlukan untuk bahasan kita ini, karena bahasan kita ini hanya ingin mengetahui apakah Nabi saww telah melakukan Isra’ Mi’raj dengan badan atau hanya dengan ruh atau dengan dua-duanya atau ada perincian lain, maka yang perlu sekali di terjemahkan adalah kronologisnya, bukan detail-detail kejadian dan apa-apa saja yang telah dilihat Nabi saww dalam peristiwa tersebut. Karena itu ringkasan kronoligisnya sebagai berikut: 

(5-1). Datangnya malaikat Jibril as kepada Nabi saww yang ditemani dengan malaikat Miikaaiil as dan Israafiil as dengan membawa Buraq. 

(5-2). Isra’nya Nabi saww (perjalanan malam) bersama malaikat Jibril as dari Makkah ke Bait Lahm (tempat lahirnya nabi Isa as) dan melakukan shalat dua rokaat. Dalam riwayat yang lain, ke Madinah dulu dimana setelah Nabi saww melakukan shalat dua rokaat sesuai perintahNya, diberitahu bahwa tempat tersebut adalah Madinah yang akan dihijrahi di kemudian hari. Sudah tentu dalam perjalanan beliau itu, beliau banyak melihat hal-hal yang memiliki makna serta takwilan-takwilan. Begitu pula pada perjalanan-perjalanan berikutnya. Akan tetapi saya hindari, supaya catatan ini tidak terlalu panjang. 

(5-3). Isra’nya Nabi saww dari Bait Lahm ke Masjidu al-Aqshaa di Palestina dan melakukan shalat dengan para nabi dengan imam shalatnya beliau sendiri. 

(5-4). Mi’raj Nabi saww dari Masjidu al-Aqshaa ke langit dunia. Di perjalanan ke Langit Dunia ini, beliau banyak menyaksikan sesuatu yang memiliki makna dan takwilannya. 

Di Langit Pertama ini beliau saww melihat Neraka. Dengan pendekatan yang lalu, dapat ditafsirkan bahwa Neraka yang Non Materi ini berada di akhir-akhir Langit Dunia Materi, atau di Awal-awal Langit ke dua. 

Di Langit Pertama ini juga beliau saww melihat nabi Adam as. Karena nabi Adam as adalah di alam Barzakh yang non materi dan karena langit dunia itu dihiasai dengan bintang- bintang, maka dapat dipahami bahwa peristiwa penyaksian tersebut terjadi di penghujung 

Langit Pertama atau di Awal-awal Langit ke dua. Atau bisa juga dimaknai sebagai batinnya langit pertama. Akan tetapi tafsiran pertama itu lebih cocok. 

(5-5). Meneruskan Mi’raj ke Langit ke dua dimana bertemu dengan nabi Isa as dan Yahya as. 

(5-6). Meneruskan perjalan Mi’raj beliau saww ke Langit ke tiga dimana beliau saww bertemu dengan nabi Yusuf as. 

(5-7). Meneruskan Mi’raj ke Langit ke empat dimana beliau saww bertemu dengan nabi Idriis as. 

(5-8). Meneruskan Mi’raj ke Langit ke lima dimana beliau saww bertemu dengan nabi Harun as. 

(5-9). Meneruskan Mi’raj ke Langit ke enam dimana beliau saww bertemu dengan nabi Musa as. 

(5-10). Meneruskan Mi’raj ke langit ke tujuh dimana beliau saww bertemu dengan nabi Ibarahim as. 

(5-11). Meneruskan Mi’raj sampai ke Baitu al-Ma’muurdan melakukan shalat. 

(5-12). Menerruskan Mi’raj sampai ke Kautsar (telaga di surga). 

(5-13). Meneruskan Mi’raj hingga memasuki surga. 

Perlu diketahui bahwa kronologis di atas itu berdasarkan pada lahiriah riwayatnya yang, kemungkinan besar memang tidak ingin mendetailkan semuanya karena tidak dianggap perlu. Karena itu, bisa saja Ruh-ruh nabi yang ditemui oleh Nabi saww itu menunjukkan derajat- derajat surga mereka, atau bisa saja dalam penyambutan mereka terhadap Nabi saww. Bisa saja Ruh para Nabi saww itu memang belum masuk ke surga dengan sebenar-benarnya karena kiamat dan hisab atau hari perhitungan, sebagai syaratnya masuk surga secara hakiki, belum tiba. 

Untuk masalah Baitu al-Ma’muur terdapat banyak riwayat. Diantaranya mengatakan suatu tempat di Langit Dunia, ada juga yang megatakan di Langit ke Empat. Akan tetapi di hadits Isra’ Mi’raj di atas (yang saya ringkas dalam bentuk kronologis itu) nampak bahwa Baitu al-Ma’muur itu setelah Langit ke tujuh. 

Perbedaan itu bisa disebabkan kesalahan penukilan. Intinya, bisa menguatkan perkiraan ke dua di atas (bahwa) Langit ke dua sampai dengan Langit ke tujuh itu, merupakan tingkatan barzakh atau tengah antara dunia dan surga sesungguhnya). Dengan demikian, maka surga itu sangat mungkin setelah Langit ke tujuh. 

Apapun itu, apakah Surga itu di Langit ke dua, atau setelah Langit ke tujuh, maka tetap merupakan Wujud Non Materi Barzakhi. 

Akan tetapi tidak bisa juga menafikan kemungkinan lain yang mengatakan bahwa surga itu memang sejak dari Langit ke dua, karena adanya riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa nabi Ibrahim as, di Surga, bersama anak-anak kaum mukminin yang mati masih kecil. 

Jalan paling bijaksana, adalah bahwa mereka di surga dalam artian belum seutuhnya. Hal itu karena surga seutuhnya itu hanya akan dimasuki oleh manusia setelah kiamat tiba dan selesai hisab di padang Makhsyar kelak telah selesai dilakukan. Jadi, dari satu sisi mereka tidak di surga, tapi dari sisi lainnya mereka di dalam surga. 

(5-14). Meneruskan Mi’raj sampai ke Sidratu al-Muntahaa. Yakni akhir Surga dan Awal ‘Arsy yang disebut dalam hadits sebagai Kaki ‘Arsy. Nabi saww bersabda: 

وانتهيت إلى سدرة المنتهي ............. فكنت منهاكما قال اهلل تعالى “ قاب قوسين أو أدنى” فناداني 

“.... dan aku berhenti di Sidratu al-Muntaha. ..... maka aku kala itu seperti yang dikatakan Tuhan: ‘Sedekat dua busur atau lebih dekat lagi –dengan Tuhan.’.” 

(5-15). Mendapat perintah shalat 50 kali. Lalu dengan tawassulnya nabi Musa as kepada nabi Muhammad saww untuk kaum mukminin yang merupakan umat Nabi saww, dan dengan diterimanya tawassul itu oleh Nabi saww, maka pada akhirnya Nabi saww mensyafaati kita (kaum muslimin) hingga meminta keringanan kepada Allah swt. 

Pada permintaan pertama itu diturunkan 10 shalat. Lalu peristiwa itu terulang lagi, hingga akhirnya hanya tinggal sepuluh shalat saja. Lalu setelah itu permohonan keringanan itu terulang lagi dan akhirnya diturunkan lagi hingga yang tersisa hanya lima shalat. Sudah tentu dengan pahala yang 50 shalat, karena Tuhan dalam QS: 6: 160, berfirman: 

“Barang siapa berbuat kebaikan, maka ia akan mendapatkan sepuluh kali lipatnya.” 

Rincian dan filsafat tentang tawar menawar shalat ini, mesti dibahas dalam topik tersendiri yang, sepertinya saya sudah pernah menjelaskan dan menuliskannya. 

Hasil Kesimpulannya: 

(1). Dengan berbagai mukaddimah dan keterangan di atas itu, dapat disimpulkan bahwa Isra’ Nabi saww dilakukan dengan Ruh dan Badan beliau saww. Begitu pula Mi’raj beliau yang ke Langit Pertama atau Langit Dunia. 

(2). Sedang Mi’raj beliau saww dimulai dari Langit ke dua, atau akhir Langit pertama, ke seterusnya, dan dilakukan beliau dengan Ruh saja. Akan tetapi bukan berarti lepas dari badan. Melainkan persis dengan perjalanan ruhani manusia yang menjalani hidup taqwa dan irfan yang tinggi atau perjalanan ruhani orang mukmin sejati yang melakukan shalat dengan khusyu’ karena disebutkan dalam hadits bahwa shalat itu mi’rajnya mukmin. 

Perjalanan ruhani ini dapat diyakini keruhaniahannya karena yang didatangi, seperti para nabi as dan Neraka serta Surga, adalah wujud-wujud non materi sebagaimana maklum. Karena itulah perjalanan badani Nabi saww hanya berakhir di akhir Dunia Materi ini. Dan selanjutnya perjalanannya diteruskan dengan ruhani. 

Artinya, ruhani Nabi saww yang Daya Tambang, Nabati dan Hewaninya, tetap mengurusi perputaran badaniah beliau, sementara Daya Akalnya, terus melesat sampai ke Sidratu al- Muntahaa tersebut, tanpa adanya saling ganggu antara Ruh beliau yang Daya Akal dengan Ruh beliau yang Daya di bawahnya itu. Persis seperti ketika Nabi saww melakukan shalat di dunia ini, dimana Ruh Daya Tambang, Nabati dan Hewaninya tetap mengatur mobilitas badannya, sementara Ruh bagian Daya Akalnya melesat ke Sidratu al-Muntahaa. 

Dan ingat, karena Ruh manusia itu satu dan non materi, maka Daya-daya tadi tidak dalam bentuk bagian-bagian dan petakan-petakan. Akan tetapi ia benar-benar berupa satu wujud yang non materi dan tak berbagi, namun dapat mengatur dirinya baik di tingkatan badaniah dan akliahnya secara rapi dan teratur tanpa adanya saling ganggu. Tentu saja, tarik menarik di antara Daya-daya itu tetap ada, manakala manusia belum menempati posisi Fana’ atau setidaknya belum menempati maqam Mati Sebelum Mati. 

(3). Sedang pendapat yang mengatakan bahwa sejak dari Isra’nya saja sudah dilakukan Nabi saww dengan ruh saja, maka hal ini tidak perlu banyak ditanggapi. Karena Isra’ Mi’raj ini termasuk dalam katagori Mu’jizat dimana perlu kepada perjalanan badani. Karena perjalanan ruhani bukanlah mu’jizat yang dapat mencengangkan pada Kuasa Tuhan dan Kebenaran Nabi saww. 

Catatan: 

(1). Terdapat perbedaan dalam waktu terjadinya Isra’ Mi’raj ini. Yang dikuatkan di madzahab Syi’ah adalah tanggal 17 Ramadhan. 

(2). Dan di Sunni lebih menguatkan tanggal 27 Rajab. 
Di Syi’ah, kejadian Isra’ Mi’raj ini terjadi sebanyak dua kali (setidaknya). 

Wassalam. 

Ali Al Hussain and 37 others like this. 

Saleh Aljufri:

اللهم صلي على محمد المصطفى وعلي المرتضى وفاطمة الزهراء والحسن والحسين واهل بيتهم اجمعين 

والحجه القائم -عج-سالم اهلل عليهم اجمعين... 

Bulan Bintang Merah: ini penjelasan paling cerdas ihwal peristiwa itu. sayang sekali bila terhapus. bisakah diulang ke dalam inbox saya ? terimakasih. 

Young Mesa: Salam.... izin nge-save ya ust..afwan. 

Bulan Bintang Merah: iya, mau saya save jadi tulisan indah, dan akan saya kirim via email ke teman teman. gimana caranya ? sebarkan ilmunya dong.... 

Sinar Agama: Salam dan trim atas semua jempol dan komentnya: 

Bulan Bintang Merah: ditunggu di inbox... 

Sinar Agama: Bulan: Tolong usahakan ambil sendiri dulu yah .. karena saya sudah teler dengan penulisannya, jadi bantulah aku dengan mengambilnya sendiri. Tapi kalau nanti ternyata kesulitan, bilang saja mungkin kubantu. afwan 

Dharma N TP: (Ustadz, ijin share, copy, save, dll .... syukron :)) 

Sutan Ferdian: Ijin re-share, Ustadz. Sinar. Terimakasih. 

Sugianto Sahaja: banyak Begitu penjelasannya. 

Sinar Agama: salam dan trim sekali lagi atas jempol dan koment-komentnya. Tulisanku asal untuk kebaikan dan tidak untuk bisnis, gratis untuk dipakai dengan cara apa saja, asal tetap dengan nama sinar agama ini. Karena takut ada pertanyaan dari pembaca, maka biar mereka bertanya kepada alfakir ini. 

Sinar Agama: Bintang: Kan tinggal save saja untuk mengambil catatan ini? Kenapa harus di inbox? 

Eri Medan: Ana ijin copas dan tag ya ustadz, syukran salam wa rahmah. 

Sinar Agama: Eri: ok, silahkan 

Sinar Agama: wa’alaikum salam wr wb 

Arly Aprinaldo Aziz: Assalamu’alaikum, ustadz lagi tolong dong bantu ngambl teks nya,.terima- kasih uztadz. Wassalamu’alaikum. 

Syair Pengembara: ustadz sinar agama, bisakah menjelaskan pengertian “ mati sebelum mati ?” 

Ali Al Hussain: Terima kasih. Sangat bermanfaat. 

Weni Alatas: Syukron ustadz, sangat bermanfaat. 

Sinar Agama: Arly, coba dulu ambil sendiri ya.... karena sudah sangat sibuk ini dan itu nih ... nanti kalau masih tidak bisa, maka bisa hubungi lagi aku. Kan tinggal save saja bukan? 

Sinar Agama: Syair: Mati natural adalah tidak adanya apapun ikhtiar pada manusia. Dari sejak perbuatan menarik nafas sampai pada aktifitas yang besar, seperti mencari nafkah, ibadah dan jihad. Tapi mati ikhtiari, adalah membunuh ikhtiar berbuat buruk dengan pedang ikhtiar berbuat baik/taat. Dan, begitu seterusnya sampai pada tingkatan yang lumayan tinggi hingga seperti orang mati. Yakni tidak cinta apapun dunia ini, baik yang buruknya atau yang halalnya. Inilah maqam yang diperintahkan oleh Nabi saww dalam haditsnya: “Matilah kalian sebelum mati!” Atau dalam hadits lain yang berkata: “Orang mukmin itu dalam sehari -setidaknya- mati 70 kali.” 

Nah, kalau kita latihannya dalam sehari mati 70 kali, maka tidak terlalu lama kita akan mati ikhtiari dimana sudah tentu mendahului mati naturali. 

Sinar Agama: Kasih dan Senja: Ok, sama-sama. 

Syair Pengembara: apakah bisa diartikan bahwa mati 70 kali dalam sehari, sama dengan kita membunuh 70 kali keinginan terhadap dunia ? atau tidak memanjangkan angan angan ?, mohon bimbingannya ustadz. 

Sinar Agama: Syair: Benar demikian: Pertama yang dibunuh adalah kebodohan tentang hukum- hukum Tuhan, karena itu harus belajar fikih supaya tahu mana yang wajib dan mana yang haram/ dosa. Begitu pula membunuh kebodohan tentang akidah. Setelah itu membunuh dosa-dosa. Lalu setelah itu membunuh kesukaan kita pada dunia ini dan seterusnya seperti yang sudah dijelaskan di kajian-kajian irfan (lihat catatan-catatan wahdtul wujud dll-nya). 

Syair Pengembara: ustadz, mohon penjelasannya mengapa sholat itu mi’rojnya mukmin, bukan muslim ?. 

Sinar Agama: Syair: Karena kalau memang khusyu’, maka ia akan melanglangi yang dilanglangi Nabi saww, walau dalam bentuk yang lebih rendah dilihat dari sisi rincian dan kejelasannya. Artinya yang sudah shalatnya khusyu’ akan sampai pada perjumpaan denganNya (tapi jelas tidak dalam bentuk bayangan dan apalagi bentuk dan kebendaan). 

Herry Yuli Sunarno: salam...terimakasih ustadz...sudah saya baca namun masih perlu diulang saya bacanya...pusink gue ustadz kl sudah bcr pusing saya ustadz kalau sudah bicara alam non materi...oke ustadz syukron....semoga antum senantiasa bersama syafaat muhammad dan keluarga muhammad...ilahi amin. Allahumma shalli ala muhammad wa aali muhammad.... 

Mujiburrahman Psy: Saya ijin nge-save, ustadz. syukron. 

Brandal Loka Jaya: ngaji fiqih bisanya cumak tau haram halalnya ja.......kalau leh tau haram, halal bisa di lihat dri apa........??????? 

Karbala: ijin copas. 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alaa muhammad wa aali muhammad. 

June 12, 2012 at 5:34 pm



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ


Senin, 30 Juli 2018

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 1)



Seri Tanya – Jawab: Anggelia Sulqani Zahra dan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, December 14, 2010 at 8:31pm 


Anggelia Sulqani Zahra” dan Ustad’ Sinar Agama 

Anggelia Sulqani Zahra: Ustad. Apa hubungan antara wahdatul wujud dalam pandangan Ibnu Arabi dan Filsafat Hikmah Mulla Shadra..? 



Sinar Agama : Karena kebetulan saya sudah mempelajari buku Mulla Shadra yang 9 jilid itu dan begitu pula Ibnu Arabi, yakni Fushushnya. 


Untuk Mulla Shadra, dalam bukunya itu memiliki banyak peringkat penjelasan tentang hakikat/ ada yang umum diketahui orang tentang konsepnya tentang wahdatul wujudnya adalah bahwa wujud itu memiliki satu makna. 

Pohon ada, manusia ada, air ada... dan seterusnya, menggambarkan adanya dua hal, ada dan kepohonan pohon yang biasa disebut esensi. Jadi, setiap sesuatu yang terbatas memiliki 2 hal, ada dan esensinya, sekarang, ada itu yang ditanyakan, memiliki satu makna atau banyak makna sebanyak esensinya? 

Dengan argument yang panjang lebar dibuktikan memiliki ”satu makna”, karena lawannya juga satu makna, yakni ”tiada”, karena kalau ”tiada” memiliki banyak makna, berarti berbeda dan yang berbeda pasti ”ada”, bukan ”tiada”. 

Dengan demikian, karena ”tiada” itu satu dan dia lawan ”ada”, maka berarti ”ada” ini juga satu. 

Inilah yang disebut dengan ”Wahdatulwujud” dalam filasafat Mulla Shadra. Dari sinilah teori ini mengepakkan sayapnya ke-mana-mana. 

Seperti Gradasi Wujud, ...dan seterusnya. Dari teori ini, dapat dipahami bahwa Wujud ini satu, tetapi dalam satunya itu bergradasi dan bertingkat, dimana yang tertingginya adalah Tuhan sebagai wujud yang tidak terbatas. Di sin wujud, dalam satunya terdapat banyak, dan dalam banyaknya terikat dengan satu makna. Tetapi wahdatul wujud dalam irfan, adalah wujud itu hanya satu dan tidak ada tingkatan di dalamnya. 

Dalam teori irfan wujud itu hanya satu dan tidak bertingkat, Dialah Allah, dan yang lainnya tidak ada, karena mereka hanya esensi belaka. 

Jadi, wujud esensi yang dikira milik esensi dalam filsafat, dalam irfan adalah milik Tuhan. Jadi, esensi tidak ada, dan yang ada hanya Dia. 

Ini sekelumit tentang beda keduanya. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad. Jika esensi tidak ada lalu dimana dapat dikenali wujud-wujud partikular....? Terus apakah dengann seperti itu predikat air, manusia, hewan tumbuhan, sesuatu yang tidak memiliki relitas...? 

Sinar Agama : Kalau tulisanku itu dibaca dengan baik, maka dapat dengan mudah memahami akan dua hal yang terkandung dalam setiap esensi atau wujud-wujud terbatas, dan bisa mengatasi dua tanyamu ini. 

Jawaban untuk yang pertama bagian pertama, sama dengan pertanyaanmu yang ke dua, yakni esensi-esensi itu sama sekali tidak memiliki wujud atau realitas. 

Jawab untuk tanyamu yang pertama bagian ke dua adalah kita dapat mengenali esensi- esensi itu di alamnya sendiri, yakni di akal dan di kewajahannya bagi wujud. 

Dalam akal kita dapat mengenali semua esensi-esensi tersebut. Ini mudah. Tetapi mengenali kewajahannya bagi wujud, mungkin tidak terlalu mudah. Ketika esensi-esensi itu kita jauhkan dari wujud, karena dia memang bukan wujud dan wujud bukan pula esensi, karena keduanya adalah dua hal yang berbeda, maka jelas esensi tidak lagi memiliki makna wujud. 

Dengan demikian keberadaan atau kewujudan esensi seperti pohon, adalah bukan esensi yang wujud atau pohon yang wujud, karena, sekali lagi, esensi itu bukan wujud sebagaimana maklum. 

Terus apa? Jawabannya adalah ”wajah” dari pada ”wujud”. Jadi, kalau orang biasa melihat pohon, dia akan berkata bahwa ”pohon itu ada/wujud”. Tetapi kalau seorang arif melihat pohon, maka dia akan berkata ”Wujud itu di sini berwajah dengan pohon” atau ”wujud itu di sini mengenalkan dirinya dengan pohon”. 

Dengan demikian dapat dipahami bahwa esensi-esensi itu tidak memiliki realitas/wujud, tetapi menjadi wajah, bayang, cerita dan cermin dari pada wujud itu sendiri. 

Dalil wahdatu al-wujud ala irfan seperti irfannya Ibnu ’Arabi: 

Dalilnya sangat mudah dipahami, tetapi sangat sulit diterima, yaitu ketidakterbatasan wujud Tuhan. Kalau Wujud Tuhan itu tidak terbatas, maka tidak mungkin ada wujud lain yang terbatas. 

Karena adanya wujud lain yang terbatas, akan membatasi ketidakterbatasan wujudNya. Ketika ada air yang tidak terbatas, bisakah ada air lain segelas, setetes atau seperseribu tetes? Atau mungkinkah ada gelas, pohon, manusia, ikan, dan seterusnya..? 

Dengan demikian wujud itu hanya satu, yaitu ”WujudNya”, dan semua esensi itu hanyalah ”BayangNya”, ”WajahNya”,”IdentitasNya”, ”CerminNya”. Semua nama-nama ini tidak dikarang oleh para ’arif, tetapi diangkat dari ayat-ayat dan riwayat, walau dari sisi dalil akalnya, jelas juga bahwa tidak ada masalah dengan penyebutan-penyebutan itu. 

Dengan penjelasan-penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Wahdatulwujud Mulla Shadra beda jauh dengan Wahdatulwujud irfan. 

Tetapi bukan berarti Mulla Shadra anti Wahdatul wujudnya irfan. Justru beliu/Mulla Shadra satu- satunya filosof yang bisa membuktikan kebenaran Wahdatul wujud ala irfan itu. 

Makanya beliau dikenal dengan ”pembertemu” filsafat dengan irfan. Tetapi pembertemuannya itu bukan di Wahdatul wujud filosofis itu. Karena yang dalam filosofis itu, dimana saya sudah menjelaskan di atas, jauh beda dengan yang di irfan. Karena yang dimaksudkannya di filsafat adalah ”wahdah/satu” dalam ”Makna Wujud” yang, mengandungi banyak sekali wujud-wujud yang banyak, hal mana beliau menyebutnya, ”Satu dalam Banyak dan Banyak dalam satu”. Dan dari sinilah beliau lalu membedakan wujud-wujud yang banyak dalam satu itu, dengan derajat wujud itu sendiri, bukan dengan esensi yang sudah di tendangnya keluar dari gelangang wujud sebagaimana sudah diterangkan di atas. 

Dan dari sinilah konsep beliau mencuat ke permukaan bumi pengetahuan apa yang dikenal dengan ”Gradasi Wujud”. Maksudnya ”Wujud-wujud yang Berderajat yang mana Beda Derajatnya itu Dibedakan dengan Tingkatan Wujudnya dan bukan dengan Esensinya”. Sebagian orang yang tidak lengkap belajarnya hanya mengira bahwa ”Gradasi Wujud”nya Mulla Shadra, hanyalah ”Tingkatan Wujud”, padahal ”Tingkatan Wujud Karena Wujud dan Bukan Karena Esensi”. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad. Tolong dijelaskan maksud anda: 

Wahdatulwujud Mulla Shadra beda jauh dengan Wahdatulwujud irfan. Tetapi bukan berarti Mulla Shadra anti Wahdatul wujudnya irfan’ Justru beliu/Mulla Shadra satu-satunya filosof yang bisa membuktikan kebenaran Wahdatul wujud ala irfan itu. Apakah tidak berkontradiksi...? Lalu apa perbedaannya dengan konsep pantheisme......? 

Sinar Agama : Terus dimana Mulla Shadra membuktikan Wahdatul wujudnya irfan? Di jilid 2 buku Asfaru al-Arba’ahnya. Yakni di bab tentang ”Sebab-akibat”. 

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sebelum Mulla Shadra wahdatul wujud irfan tidak bisa dibuktikan dengan dalil-dalil akal, dan hanya dengan ”Kasyf”. 

Sebenarnya mereka sudah banyak berusaha membuktikannya dengan akal, tetapi belum mampu karena mereka biasanya rata-rata tidak mementingkan selain mencapai ”fanaa’ ” hingga kurang mendalami teori-teori akal. 

Ibnu ’Arabi sebenarnya bisa dikata telah banyak mengilhami Mulla Shadra hingga mencapai penemuannya itu. Dan Mulla Shadra sangat hormat dan mengguru kepadanya melalui kitab- kitabnya. 

Tetapi sekali lagi, bukan di wahdatul wujud ala filsafat itu Mulla Shadra membuktikan kebenaran Wahdatulwujud ala irfan, tetapi di bab ”Sebab-akibat”, dan maksud Mulla Shadra mencuatkan Wahdatulwujud ala filsafat itu bukan untuk membuktikan kebenaran wahdatulwujud ala irfan ini, bukan sama sekali. 

Jadi, keduanya berbeda jauh dan tidak saling berhubungan. Walau demikian dapat pula dijadikan pengantar, agar lebih mudah untuk memahami wahdatulwujud ala irfan. Yakni kalau seseorang memahaminya secara filsafat maka akan lebih mudah memahaminya secara irfan, tetapi bukan sama dan berhubungan. 

Dengan dalil ”Ketidak Terbatasan Wujud Tuhan” yang saya bawa di sini, adalah penemuan Guru Besar saya yang tidak bisa saya sebutkan namanya di sini. Beliau seorang penerus dari Mulla Shadra yang juga mengguru pada Ibnu Arabi melalui kitab-kitabnya. 

Sebenarnya, kalau anda teliti dan melepaskan dulu pikiran-pikiran atau info-info sebelumnya dan mencoba untuk memahami yang saya urai dengan maksud saya sesuai dengan mukaddimah- mukadimahnya, bukan sesuai info-info anda, maka saya rasa sangat mudah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan anda tersebut. 

Apapun itu, kalau ternyata memang masih ada hal, silahkan komentar lagi, semoga saya bisa membantunya. Sekali lagi cobalah untuk memahami yang saya tulis tanpa memaknainya dengan info-info sebelumnya dari yang anda dapat. 

Dengan penjelasan-penjelasan di atas dapat dipahami jauhnya konsep wahdatulwujud irfan ini dengan panteisme. Karena yang pertama menyatakan bahwa hanya Tuhan yang Ada yang, berarti menyatakan ke-Tiadaan alam/esensi dan hanya menyisakan kewajahanNya bagi Ada, dengan yang ke dua menyamakan alam denganNya dimana berarti menganggapnya ada sebagaimana Dia atau 

bahkan menyatakan ke-Tuhan-an alam/esensi. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad. mohon dijelaskan perbedaan : 
yang dimaksudkannya di filsafat adalah ”wahdah/satu” dalam ”Makna Wujud” yang, mengandungi banyak sekali wujud-wujud yang banyak, hal mana beliau menyebutnya, ”Satu dalam Banyak dan Banyak dalm satu”. 
dengan : phanteisme: menyamakan alam denganNya dimana berarti menganggapnya ada seba- gaimana Dia atau bahkan menyatakan ke-Tuhan-an alam/esensi.? 
Bukankah keduanya berakhir pada wujud eksistensi...? 

Sinar Agama : Maksud pernyataan pertama adalah: Mengakui keberadaan Tuhan dan lainnya, walau dalam makna wujud adalah sama dan satu. Inilah yang disebut dengan wahdatulwujud ala filsafat yang berakhir pada eksistensi. Tetapi ingat, bahwa berakhir pada eksistensi yang banyak yang, satu sama lain dibedakan derajat wujudnya, bukan dengan esensi sebagaimana maklum. 

Sementara pernyataan ke dua adalah: Tidak mengakui adanya apapun kecuali Tuhan yang karena ketidak pahaman mereka mengatasi kenyataan alam ini, mereka lalu mengatakan bahwa alam ini adalah Tuhan. Jadi, jauh beda dari kedua pernyataan itu walau keduanya berakhir pada wujud. 

Akan tetapi yang pertama, pada wujud yang banyak, dan yang ke dua pada wujud yang satu. Sekalipun panteisme ini, sebagaimana yang sampai kepada kita-kita, pada akhirnya tidak mampu menyelesaikan konsekwensi dari wahduatulwujudnya. Yakni ketika ditanya, kalau ada itu hanya Tuhan, terus kita-kita dan alam ini apa? Mereka menjawab, Tuhan. 

Beda halnya dengan irfan Ibnu ’Arabi dan Mulla Shadra, mereka mengatakan bahwa kita dan alam ini adalah tajalliNya, WajahNya. Ingat, semua orang memang membahas wujud dan akan berakhir kepada wujud, tetapi beda semua ilmu-ilmu itu. 

Bukan di wujud itu, tetapi di banyak dan satunya wujud tersebut. Dan beda sufisme (seperti panteisme) dengan irfan atau sufi yang hakiki seperti yang dibawa Ibnu Arabi dan Mulla Shadra, bukan terletak di ada yang satu, tetapi di bagaimana menjawab tentang alam ini. 

Dimana di panteisme dikatakan Tuhan hingga muncul perkataan Ana al-haq/saya tuhan”, sementara di Ibnu Arabi dan Mulla Shadra dikatakan sebagai ”Tajalli dan WajahNya”. Dan ingat juga, bahwa yang kita bicarakan ini hanyalah kata-kata belaka, bukan irfan yang sesungguhnya. 

Karena kita yang masih suka dunia halal, surga dan kebaikan-kebaikan, tidak mungkin merindukan ”ketiadaan”. 

Dan supaya tidak kepalang tanggung, tolong baca sekalian diskusiku tentang antologi yang dibawa amran abstrack di statusku. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ apakah ada perbedaan pengetahuan/pemahaman dengan yang diketahui/dipahami...? 

Sinar Agama : Pertama, kalau tidak beda berarti tidak perlu ditanyakan. Pertanyaan anda ini menunjukkan secara fitrah kepada adanya perbedaan itu. Namun, dilihat dari eksistensinya, bukan dari esensinya. Karena kalau beda dalam esensi, berarti semua informasi kita, salah semua. Dan kalau tidak tidak beda maka kita segera akan mati kala mengerti dan membayangkan api. 

Ilmu yang saya terangkan barusan ini adalah ilmu-ilmu Hushuli atau Gambaran, bukan Hudhuri atau kehadiran. Jadi, dalam ilmu tersebut yang hadir dalam akal kita adalah gambaran dan copy- annya, bukan asli obyeknya. 

Ke dua, kalau ilmu-ilmunya itu adalah Hudhuri, yakni obyek ilmunya yang hadir dalam akal, maka ilmu dan obyeknya adalah sama, karena yang hadir sebagai penginfo bukan gambarannya, akan tetapi dianya sendiri. 

Ke tiga, wahdatulwujud ala Mulla Shadra dalam filsafatnya adalah dari golongan ilmu Hushuli atau ilmu/info yang datang ke akal kita melalui gambaran obyek infonya, bukan infonya sendiri secara langsung. Tetapi wahdatulwujud ala Mulla Shadra dalam irfannya adalah dari golongan ilmu Hudhuri alias yang penginfoannya melalui obyeknya langsung. 

Allah dalam banyak ayat-ayatNya seperti QS:2:126; 2:285 dan sekitar 21 ayat lainnya menggunakan kata Mashir (menjadi) untuk kembalinya manusia kepadaNya, bukan masir (berjalan/menuju). Tentu ayat-ayat ini saya bawa di sini sebagai penguat dalil akal kita ini, bukan sebagai pemaksa anda untuk terima, tetapi hanya sebagai pereda ketakutan akan kebenaran dalil akal kita ini manakala hal itu terjadi, supaya tidak seperti para wahhabi yang terus anti pati dan mengecam para arif. Allah dalam ayat-ayat tadi, baik bagi orang yang akan ke neraka atau ke surga, memakai kata-kata Mashir alias menjadi. Hal itu karena memang kembalinya manusia itu kalau bukan menjadi hakikat murkaNya, akan menjadi hakikat RidhaNya. Jadi, dua-duanya menjadiNya. Tetapi karena Tuhan mengatakan (dan akal juga mengatakan hal yang sama) bahwa ”menjadi kepadaNya”, bukan ”menjadiNya”, maka selamanya manusia tidak akan pernah mencapaiNya, sekalipun menjadi kepadaNya, bukan menujuNya. 

Simpulan, semua ilmu, apa saja, baik tentang alam, agama, akhirat dan Tuhan, manakala kita membahasnya, bukan mencapainya, maka berarti ilmu-ilmu kita itu adalah Hushuli alias info yang melalui gambaran obyek infonya, sekalipun ilmu-ilmu kita itu adalah wahdatulwujud irfani. 

Oleh karena itu cocok sekali dikatakan pahaman. Di sini, sudah pasti obyek pahaman dan pahamannya berbeda, tentu dalam eksistensinya, bukan pada esensinya sebagaimana sudah diterangkan. 

Akan tetapi, kalau ilmu-ilmu itu bukan dalam bahasan dan lamunan, tetapi dalam capaian, maka ilmu-ilmu tersebut termasuk wahdatulwujudnya itu, sudah pasti sama dengan obyeknya. Yakni ilmu = hakikat obyek ilmunya. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ jadi apakah perbedaan wujud satu dengan wujud lain harus dikembalikan kepada persamaannya...? 

Sinar Agama : Kamu bertanya apakah perbedaan wujud itu harus dikembalikan pada persamaannya? 

Jawab: Wujud yang mana dan ala siapa dan dalam tingkatan apa?. Kalau dalam tingkatan umum yang mungkin seperti kita-kita ini, atau juga ilmu Kalam, maka perbedaannya dikembalikan kepada esensi. Tetapi kalau Mulla Shadra di filsafatnya maka dikembalikan ke derajat wujud itu sendiri, dan inilah yang dikatakan Gradasi/tasykik. Akan tetapi kalau Mulla Shadra di irfannya, maka tidak ada perbedaannya, karena wujud hanya satu, titik. Yakni tidak tidak ada tingkatannya, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ jika Kebenaran adalah : bersesuaiannya antara ide/pikiran/ konsep manusia dengann realitas.....? bagaimana maksud dari bersesuainya......? 

Sinar Agama : Kamu bertanya apa maksud berkesesuaiannya ilmu dengan realitas itu. 
Jawab: realitas itu adalah hakikat dan dia memiliki dua macam, pertama adalah esensi sebagai realitas batasan atau ilmu atau ide atau juga nyata kalau berbaju kenyataan karena tidak semua esensi memilikinya seperti gunung berlian, dan yang ke dua adalah eksistensi sebagai realitas nyata. 

Ilmu itu dikatakan benar manakala esensi yang ditangkap akal persis sama dengan esensi yang ada di alam nyata. Dan akan dikatakan salah manakala sebaliknya. Dan hal seperti ini hanya ada di ilmu-ilmu Hushuli yang memang memiliki kemungkinan salah. Karena yang datang dan ditangkapnya adalah copy-an dari esensi nyatanya. Tetapi kalau dalam ilmu-ilmu Hudhuri, maka tidak mungkin salah karena yang datang dan tertangkap adalah hakikat nyata dari esensinya itu. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ maaf..... Akan tetetapi, kalau ilmu-ilmu itu bukan dalam bahasan dan lamunan, tetapi dalam capaian, maka ilmu-ilmu tersebut termasuk wahdatulwujudnya itu, sudah pasti sama dengan obyeknya. 

Dan kalau tidak tidak beda maka kita sgr akan mati kala mengerti dan membayangkan api. 

Sinar Agama : Anda bertanya bukankah kita akan mati kalau kita memiliki ilmu hudhuri tentang api? 

Jawab: Ilmu Hudhuri itu adalah ilmu yang mendatangkan hakikat obyek yang diketahui. Penghadiran seperti ini, kebanyakannya, hanya dapat didapat oleh sebab terhadap akibatnya. 

Walaupun Mulla Shadra ra ada dua jalan lagi yang tidak perlu dibahas di sini karena tidak nyangkut. Nah, ketika manusia memiliki ilmu-ilmu Hudhuri dengan suluknya atau proses ”menjadi kepadaNya’ tadi itu, maka berarti manusia sudah mencapai derajat sebab dari ilmu-ilmunya itu. 

Dengan demikian mana mampu akibat membunuh sebabnya? Mana mampu yang namanya akibat mengalahkan sebabnya? 

Oleh karena itulah Nabi saww dikatakn dalam Qur'an sebagai Rahmatan lil ’alamin yakni rahmat bagi semua alam (materi dan non materi, di masa lampau atau akan datang, dunia atau akhirat) karena beliau saww sudah mencapai derajat yang tidak ada lagi derajat lain di atasnya. 

Jadi, beliau adalah sebab bagi semua alam, artinya sebab perantara Tuhan untuk menyentuh yang dibawahnya. Kalau sudah demikian, mana mungkin yang namanya akibat bisa berefek pada sebabnya? Apalagi membunuhnya? 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ bukankah perbedaan derajat wujud tersebut bukan hal lain selain wujud itu sendiri....? sehingga perbedaannya dikembalikan pada persamaannya yakni wujudnya... 

karena esensi tersebut jika dipadang dalam kontes wahdat al wujud adalah wujud itu sendiri.... 

Sinar Agama : Esensi yang dipandang sebagai wujud dalam pandangan wahdatulwujud, adalah sufi panteis yang jelas-jelas tidak ada dasarnya. Anda mau lari dari panteis atau mau memasukinya? Anjuran saya, print tulisan-tulisan saya itu dan baca sambil direnungi, supaya dapat dipahami berbagai pandangan tentang wujud tersebut.? 
Tentang lari dan panteis: 

Dan sekarang saya akan Jawab pertanyaan-pertanyaanya. Tentang panteis itu kan anda sendiri dalam mendebat dalil saya mengatakan ”..lalu apa bedanya dengan konsep panteisme?” 

Kata-kata anda ini menunjukkan tidak setujunya Anda dengan panteisme dan, sudah tentu Anda lari darinya. Tetapi ketika Anda mengatakan bahwa: ”bukankah perbedaan derajat wujud tersebut bukan hal lain selain wujud itu sendiri....? sehingga perbedaannya dikembalikan pada persamaannya yakni wujudnya...karena esensi tersebut jika dipadang dalam kontes wahdat al wujud adalah wujud itu sendiri....”, di sini, berarti telah memasuki panteisme itu sendiri, karena telah menyamakan semua esensi dengan wahdatulwujud yang, dengan kata lain adalah Tuhan. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ para filosof sering menamakan Nur Muhammad sebagai Akal-1, menurut anda....? Kenapa bisa dikatakan akal...? 

Sinar Agama : Kalau saya bertanya kepada Anda, dimana dan siapa yang mengatakan bahwa Akal-1 itu adalah Nur Muhammad? apakah anda mampu menjelaskannya? 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ okey kita lupakan saja tentang akal 1..... 

Sinar Agama: Dalam riwayat setidaknya ada dua keterangan tentang awal ciptaan ini, ada yang mengatakan Nur Nabi saww, ada yang mengatakan Akal yang diperintah berpaling maka dari berpaling begitu pula sebaliknya. 

Terlalu rumit bagi anda kalau saya jelaskan semuanya, karena mengerti semua ini sebenarnya memerlukan perjalanan ilmu kurang-lebih 30-35 tahun, itupun yang tiap hari dibimbing guru dengan segala argumentasinya. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ berdasarkan apa ada katakan : Terlalu rumit bagi anda kalau saya jelaskan semuanya,...? Jika demikian...mohon maaf atas keterbatasan ilmuku..... 

Bisakah anda mengurai kerumitan-kerumitan yang saya akan hadapi dalam memahami penje- lasan-penjelasan anda ? apakah jumlah waktu tersebut merupakan persyaratan mutlak....? 

Sinar Agama : Dasar yang harus dimiliki oleh orang yang ingin tahu secara benar hakikat wahdatulwujud adalah: Mempelajari bahasa arab (karena buku aslinya bahasa arab) dan Logika yang, biasanya dicapai dalam 4 tahun. Lalu belajar ilmu Kalam (supaya kuat ilmu-ilmu lahiriah Islamnya) secara ringkas, sedang dan rinci yang, biasanya paling cepat dicapai dalam waktu 3-4 tahun. Lalu setelah itu belajar filsafat (supaya kuat pengetahuan dalil-dalil akalnya) secara ringkas, sedang dan rinci yang, paling cepat dicapai dalam waktu 11-18 tahun, baru setelah)itu belajar irfan yang ringkas dan rinci paling tidak 5-7 tahun. 

Pelajaran agama, jauh lebih ketat dari sekolah modern. Buku-buku yang tertera sama sekali tidak akan dapat dipahami oleh yang tidak memiliki mukaddimah-mukaddimah dengan benar dan baik. Dan maksud ”Paham” di sini bukan secara ”Gambaran”, tetapi benar-benar tahu sesuai dengan argument-argument yang ada dan merasakan karena tahu dasar-dasar pijakan argument- argumentnya itu. Bukan ”Tahu” dalam artian menggambarkannya yang, biasanya kalau ditanya dan didebat, tidak tahu harus menjawab apa, dan bisanya mengambil dari koceknya sendiri. Dan hal itulah yang telah membuat ajaran irfan dan shufi yang hakiki yang dibawa Ibnu Arabi menjadi ajaran-ajaran yang jauh dari yang diajarkan dan jauh dari akal dan agama. Mulla Shadra menjuluki mereka dengan ”Sok Shufi”, yakni ”Sok Ngerti ke-Shufian” 

Penjelasan saya ini bukan berarti mau membuat orang pesimis dan melarang diskusi, karena dari awal saya sudah mengajak Anda dan pembaca yang lain untuk berdiskusi tentang ini. Tetapi bukan pula berarti saya harus mengatakan bahwa semua tulisan-tulisan ini dapat dimengerti dengan baik dan argumentatif sampai ke akar-akarnya, dan dapat dirasakan lantaran tahu dasar- dasar argumentnya itu. Misalnya tahu dasar argument irfannya ini adalah filsafat fulan, dan dasar filsafatnya ini adalah Kalam dan Logika fulan. 

Memang untuk sekedar mencapai keyakinan diri dan jadi modal bersuluk, diskusi-diskusi ini bisa dijadikan modal, karena ianya sudah terbekali dengan argument-argument akal yang sudah diusahakan sesederhana mungkin dengan menghindari istilah-istilah yang sesungguhnya karena setiap istilah yang ada perlu kepada penjelasan dan argument. 

Sebenarnya, saya hanya ingin memberitahukan bahwa bahasan kita ini bukan mainan dan bisa dianggap enteng serta dapat dikuasai dengan baik tanpa mukaddimah-mukaddimah tadi. Bahasa kasarnya, harus tawadhu menghadapinya, dan jangan sesekali mengatakan sudah memahaminya dengan baik. Itu saja. Bahasan kita ini, dilihat dari ketidaklayakannya, jauh melebihi pembahasan kedokteran tentang bedah otak diantara orang-orang agama atau teknik mesin. Lalu apakah kalau kita membahasnya, yakni bedah otak atau jantung, kita akan mengerti sekalipun bahasanya Indonesia? 

Bahasa premannya (kasarnya), tawadhu’lah dan jangan merasa paham. Afwan. 

Dalam hal awal penciptaan ini ada beberapa kemungkinannya. Kalau hadits yang mengatakan akal tadi, berarti dia tidak bisa dikatakan sebagai Akal yang dikenal dalam filsafat. Karena dalam filsafat, Akal adalah Tenang dan Tsabit dan Tidak Memiliki Proses (perubahan dalam jaman), sementara Akal yang dalam riwayat, adalah wujud yang menerima perintah-perintah Tuhan dalam artian proses, seperti kemarilah dan berpalinglah dalam riwayat tersebut. Jadi, Akal-filsafat tidak sama dengan Akal-riwayat. 

Dan kalau dua hadits itu diterapkan, maka artinya Nabi saww adalah Akal-riwayat yang merupakan ciptaan pertama Allah, bukan Akal-filsafat. 

Padahal dalam filsafat Akal seperti itu adalah Akal-manusia, bukan Akal-filsafat atau Akal-Jabaruut. Dan posisi Akal-manusia itu ada di tingkatan Barzakh yang paling atas, yakni setingkat di bawah Akal-Terakhir, dan sangat jauh dari Akal-Satu. 

Namun demikian, walau apapun isyarat-isyarat hadits itu, tidak akan pernah mengurangi fadhilah Nabi saww, karena kalaulah benar adanya tafsir ini, berarti Tuhan ingin menjelaskan kepada kita bahwa yang pertama kali dicipta dari ”Makhluk”, bukan dari ”Urusan”. Yakni pertama kali yang dicipta dari ”alam materi” atau yang menyangkutnya/barzakh, bukan ”alam non materi”. 

Dalam filsafat ”alam non materi” tidak disebut ”makhluk”, tetapi disebut ”Amrun” atau ”Urusan” Tuhan, karena ”makhluk” artinya ”Bentukan” atau ”Membentuk”, sementara ”non materi” tidak berbentuk, terkhusus Akal-Akhir sampai dengan Akal-Satu. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ kalau bisa lanjutkan penjelasannya... 

Sinar Agama : Jadi, apapun makna dari makhluk pertama itu, dan apapun kenyataan wujud- wujud itu, tidak dapat mempengaruhi fadhilah Nabi saww. Karena Nabi saww bergerak ”Menjadi” dari tanah ini menuju Tuhan dan menjadi hakikat derajat-derajat yang dicapainya sampai tidak ada lagi ciptaan melebihi dekatnya dengan WujudNya. Dengan ini, mau ditafsir apapun hadits tersebut, dan apapun kenyataan sesungguhnya dari keberadaan ini, tetap Nabi saww merupakan ”Yang Awal dalam Fadhilah” yang, oleh karenanya ”Yang Awal dalam Ciptaan”. 

Karena ketika seseorang mencapai yang tertinggi dan awal, seperti Akal-Pertama, mk ia menyatu dengannya, karena maqam-maqam dan derajat-derajat ini bukan kesepakatan, tetapi ”capaian”, ”menjadi” dan ”mashir”, apalagi ”Non Materi’ yang hukumnya adalah satu ditambah satu atau dikurangi seribu tetap satu karena tidak terikat dengan volume. Dan karena semua itu harus dicapai dengan ikhtiar, maka mungkin karena itulah Nabi saww mengatakan kepada Jabir ra ketika 

bertanya tentang Awal Ciptaan, bahwa yang pertama kali dicipta adalah ”Nur Muhammad”, yakni ”Hakikat yang dicapai Muhammad yang pada waktu belum diciptakannya Berupa Ilmu Tuhan alias Nur Muhammad”. 

Bahasa brutalnya adalah, yang pertama kali dicipta Allah adalah ”Maqam Nabi saww yang akan dicapainya nanti” yang, dibahasakan dengan Nur. Sedangkan dengan) mengapa Nabi saww yang jadi fokus dan bukan Akal-Satu? 

Jawabannya mudah, karena Akal-Satu memilikii maqam tersebut dengan kejadiannya, tanpa melakukan usaha apapun. Tetapi Nabi saww mencapainya dengan usaha yang gigih dengan modal yang sama dengan yang dimiliki orang lain. Oleh karenaanya jawaban Nabi saww terhadap pertanyaan Jabir as itu sudah benar, karena mengandung pendidikan dan merangsang orang untuk mencintai dan meniru Nabi saww. Silahkan kalau masih ada yang mau ditanya, tetapi usahakanlah untuk memahami sekalipun tidak menerimanya. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ lalu apa perbedaan Irfan teoritis dan Irfan praktis....? 

Sinar Agama : Irfan Teori dengan Irfan Praktis adalah sama, yakni sama-sama Teori. 
Yang pertama ”Teori Pembuktikan Wahdatulwujud”, dan yang ke dua ”Teori Bimbingan Mencapai Wahdatulwujud” 

Orang yang mengerti seluk beluk, sekali lagi, seluk beluk ”Teori Pembuktian Wahdatulwujud” ini, bisa dikatakan sebagai ”Arif dalam Ilmu”. Dan orang yang memperaktikkan ”Irfan Teori” bisa disebut ”Pesuluk”. Dan orang bisa melakukan ini hanyalah orang-orang yang sudah bersih dari dosa, makruh, semua yang halal dan semua keutamaan-keutamaan seperti karomat, kasyaf dan surga. Yakni bersih dari dosa dan makruh harus bersih hati dan badannya, dan dari halal dan keutamaan-keutamaan itu harus bersih hatinya, yakni dari rasa suka. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ maaf...Kalau Bisa Saya Dijelaskan Tentang : diktum yang ber- bunyi “al-majâz qantar al-haqiqah” 

Sinar Agama : Qantar atau qanthar? 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ Qantar atau qanthar? yang mana yang tepat...? silahkan... 

Sinar Agama : Saya rasa Qanthar? 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ iya,, mohon penjelasannya... 

Sinar Agama: Di tempatku signal/sinyal sering nggak bagus. Yang benar adalah Qantharatun yang bisa dibaca Qantharah yang berarti jempatan. Jadi, artinya Majazi adalah Jempatan Hakikat Sepertinya banyak juga masalah di dalamnya. Karena sepertinya banyak juga yang salah mengarti- kan dan menggunakannya. Ada juga bagian-bagiannya. 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ bisa saya dijelaskan: Sepertinya banyak juga masalah di dalam- nya. Karena sepertinya banyak juga yang salah mengartikan dan menggunakannya. Ada juga bagian-bagiannya. 

Sinar Agama : Asal kata Majazi adalah sesuatu yang bukan hakikatnya. Seperti kata ”Singa” yang dipakai untuk orang berani manakala kita berkata ”Saya bertemu Singa ketika sedang belanja di pasar”. Di sini kata ”Singa” tidak dimaksudkan hakikinya yang berarti binatang buas dan ganas, tetapi Majazinya yaitu ”orang pemberani”. Dengan penjelasan) ini dapat dimengerti pula makna ”Hakiki”nya, yakni suatu makna yang diambil dari asal ”kata” itu sendiri yang diletakkan atau disepakati pertama kalinya secara asal. Ini asal muasal Hakiki dan Majazi. 

Nah, dari sini baru meluas kemana-mana seperti ilmu-ilmu irfan atau ke-Tuhanan dalam tingkat tinggi ini. Yakni ketika semua sudah ketahuan bahwa selain Tuhan tidak ada, berarti yang kita lihat ini adalah ”Majazi”, karena Ada itu milikNya, tetapi kita nisbahkan/hubungkan kepada selainNya. Dengan demikian penisbahan wujud kepada selainNya adalah Majazi dan kepadaNya adalah Hakiki. 

Dalam hal ini masih benar, kalau ada orang berkata bahwa ”SelainNya adalah Jempatan Menuju- Nya”, yakni kalau diartikan bahwa ”SelainNya adalah WajahNya yang untuk mengenali atau menyadari keberadaanNya”. Atau juga dipakai dalam ilmu selain keTuhanan. Dikatakan bahwa ”Ilmu-ilmu selainNya, seperti matematika ...dst, juga wajib dipelajari karena mempelajari selainNya berarti mempelajariNya karena selainNya pada hakikatnya tidak ada yang, oleh karenanya mempelajari selainNya akan menjadi jempatan mengenaliNya”. Kata-kata dalam dua kategori di atas masih bisa dibenarkan. 

Akan tetapi, sepertinya, ada kelompok yang tidak memahami artinya atau sengaja menyelewengkan- nya untuk menutupi auratnya sendiri. Yakni yang mengatakan bahwa ”Untuk mencapaiNya perlu menggunkan selainNya, yaitu dengan mencintai dan melezati selainNya supaya dapat mencintai dan melezatiNya”. 

Jadi, bisa dikatakan bahwa yang golongan pertama dan ke dua, yakni menjadikan selainNya atau ilmu selainNya sebagai jempatan menujuNya adalah benar dan irfan serta sufi yang hakiki. Tetapi yang ke tiga, bisa ditakan sufi yang nyasar yang, bisa dijuluki dengan mutashawwifah, alias sok sufi, kata Mulla Shadra ra. Ada pertanyaan lagi? 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’ pada saat saya membaca buku-buku akhlak dan irfan Saya menjumpai beberapa istilah teknis seperti “syariat”, “tarikat”, “hakikat”. bisa jelaskan ke tiga hal tersebut dan hubugan ke tiganya..? 

Sinar Agama : Bismillaah. Nabi saww dalam hadits Mustadraku Wasailu al-Syi’ah, juz: 11, hal: 173, hadits ke 12672, bersabda +/-: 

”Syariat itu adalah kata-kataku, Thariqat itu adalah perbuatanku, Haqiqat adalah keadaanku, Ma’rifat itu adalah modalku, Akal adalah dasar agamaku,... Cinta adalah dasarku, Kerinduan adalah tumpanganku, Takut adalah temanku, Ilmu adalah senjataku, Lembut adalah sahabatku, Tawakkal adalah bekalku, Qana’ah adalah harta karunku, Jujur adalah rumahku, Yakin adalah tempat berlindungku, Kemiskinan adalah kebanggaanku dan dengannya aku melebih banggakan dari segenap nabi-nabi dan rasul-rasul." 

Dalam tiga potong pertama hadits di atas, Anda dapati apa yang Anda tanyakan itu: Syari’at, Thariqat dan Hakikat. Pada tingkatan pertama adalah Syari’at yang, dita’birkan oleh beliau saww sebagai Kata-katanya. 

Kita bisa memahaminya sebagai ajarannya. Ajaran disini bisa mencakupi kata-kata dan perbuatan yang berposisi sama dengan kata-kata, yakni yang bersifat ajaran. Misalnya shalat beliau yang memiliki posisi sama dengan kata-kata beliau yang terucap dengan ”Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat”. Di sini tentu Nabi saww, tidak memaksudkan kekhusukan beliau, karena jelas kita- kita tidak akan mencapainya. Tetapi yang dimaksudkannya adalah hukum-hukum lahiriahnya. Dengan demikian maka Syari’at adalah ajaran dan hukum-hukum yang telah diajarkan Nabi saww, baik melalui perkataan atau melalui contoh-contoh perbuatan yang berposisi sebagai kata-kata. 

Sedangkan Thariqat/jalan adalah peringkat setelahnya yang, memiliki makna perbuatan Nabi saww. Di sini yang dimaksud perbuatan, bukanlah perbuatan yang berposisi sebagai kata-kata alias pengajaran. Tetapi perbuatan yang memiliki kekhususan beliau. 

Oh....betapa... amal-amalan beliau dapat menyejukkan gelora api neraka sekalipun, apalagi sekedar kekurangan-kekurangan akhlak lingkunganya. Tentu bagi yang mau mengambil ibrah dan barakah. Tidak seperti wahhabi yang lontang lantung dengan sama sekali tidak peduli terhadap lingkungan dan udara yang dihimbuskan amal-amal Nabi saww, lalu berteriak sana-sini seakan merekalah nabi-nabi itu. 

Dengan uraian di atas, dapat dipahami bahwa tingkatan ke dua adalah amal-amal Nabi saww sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, bukan sebagai penjelas hukum sebagaimana peringkat pertama. Sedangkan dengan) peringkat ke tiga adalah keadaan Nabi saww atau Capaian dan Hal beliau saww. 

Oh... Ya Nabiyallah, percikkanlah setetes saja, atau sepersejuta tetes saja dari sejuta butiran air matamu, demi redakan kehinaanku yang bergejolak ini, yang membakari segala kebaikan sampai ke akar-akarnya. Kehinaan yang berawal dari kehinaan ilmu yang, dalam pada itu juga masih melahirkan keyakinan dan kebanggaan serta percaya diri. 

Oh ...ya Nabiyyallah, andai aku jadi pasir-pasir yang diatasnya engkau menginjakkan kaki, maka sudah cukuplah untukku, untuk kuyakini sebagai kebaikanku, dari pada kehinaanku sekarang ini, sekarang ini. 

Ya Nabiyyallah, kuhingarkan dan kubingarkan kesyi’ahanku, seakan aku sudah ada di dalam barisanmu dan barisan Ahlulbaitmu dari keduabelas imam makshummu. 

Kegenderangkan beduk wahdatulwujudmu seakan aku sudah tenggelam di dalamnya, padahal aku masih menyukai butir-butir nasi yang kumakan setiap hari, terlebih lauknya. Afwan kalau jawabanku ini bercampur keluhan hati, afwan. 

Dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Keadaan atau Hal Nabi saww adalah capaiannya. Artinya capaian-capaian yang telah diperoleh Nabi saww dengan semua apa-apa yang telah dilakukannya dengan hukum yang benar dan prasyarat-prasyarat lahir batin yang benar pula, serta berada pada tahap paling tingginya syarat-syarat dan kondisi. Semua itu adalah syarahan pendek tentang makna dan arti dari masing-masing tingkatan. Sedangkan dengan hubungannya, sebenarnya, sangat jelas. Yaitu bahwa tingkatan awal/pertama dan/sebelumnya, adalah tingkatan dasar dan pondasis bagi tingkatan-tingkatan setelahnya. 

Artinya... orang yang belum mengamalkan syariat dengan benar, maka dia tidak akan pernah menyentuh tingkat ke dua, bagitu seterusnya. Karena darimana dan dengan dasar apa dia akan melakukan hal itu yang, katakanlah salah satu dari sejuta keadaan itu seperti khusyu’. Apa yang akan dia khusyu-i kalau tidak tahu dengan benar hukum-hukum dari amalan-amalan yang akan dilakukannya. 

Dengan demikian, maka syariat akan menjadi batu dasar bagi pijakan pesuluk. Mungkin ada orang bertanya, bahwa kalau sudah sampai di tingkat thariqat apa masih diperlukan syariat? 

Pertanyaan ini sebenarnya muncul dari ketidakpahaman hubungan antara sebab-akibat. Perta- nyaan ini persis seperti, menanyakan pondasi bangunan gedung bertingkat, bahwa setelah bangunan itu berdiri, apakah masih memerlukan pondasi? 

Dengan pendekatan ini maka jelas dapat dipahami bahwa pondasi dan/atau tingkatan sebelumnya akan selalu diperlukan pada tingkatan ke dua atau tingkatan-tingkatan berikutnya. 

Dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa syariat adalah dasar selamanya bagi thariqat dan hakikat, begitu pula thariqat bagi hakikat. Oleh karena itu seorang yang ingin menjadi pesuluk, maka harus belajar fikih dengan benar, baik taqlid atau ijtihad, dan selamanya perbuatannya harus diatas dasarkan pada hukum-hukum yang telah dipelajarinya itu. 

Dan jangan sesekali mengira bahwa tanpa fikih atau tanpa kesinambungannya, akan bisa mencapai thariqat atau langgeng di dalamnya. Karena kalau belum sampai, tanpa fikih yang benar, tidak akan pernah sampai, dan kalalu sudah sampai dengan fikih yang benar tapi tidak dipertahankannya maka amalan-amalannya akan batal seketika dan akan runtuh serta jatuh ke peringkat sebelumnya secara seketika pula, karena fikih adalah sebabnya. 

Tuhan dalam membuat hukum-hukum itu tidak kalaulah sia-sia dan permainan. Oleh karenanya semakin seseorang itu meningkat dalam suluknya, maka dia semakin taat dan bagus dalam berfikihnya. 

Oleh karena itulah sampai-sampai kaki Nabi saww bengkak karena kebanyakan shalat. Bagaimana mungkin, tanpa ketaatan hukum seseorang bisa mencapai peringkat setelahnya, atau bagaimana mungkin tanpa ketetapan hukum seseorang bisa tetap berada di tingkat setelahnya? 

Maksiat yang dapat menghancurkan manusia di peringkat syariat, dia juga menghancurkan siapa saja yang berada di tingkat setelahnya. Begitu pula tanpa mengerti hukum yang benar yang dapat mengganjal manusia melesat ke peringkat setelahnya, begitu pula dapat menurunkannya dari peringkat yang lebih tinggi itu kalau tidak dilanggengkan kedisiplinan hukumnya. 

Apa yang akan dikhusyu-i, dan apa dan bagaimana khusyu’ itu, perlu kepada pengertian hukum. Begitu pula tentang kelanggengan dan keistiqomahannya. Begitu pula hal-hal lain selain kekhu- syukan, seperti jujur, ikhlash, murah hati, memaafkan, thaharah, suci badan dan hati .dan seterusnya. 

Dengan semua penjelasan di atas dapat dipahami, bahwa kalau seseorang ingin melakukan suluk maka harus belajar fikih dengan benar dan mengamalkannya. Setelah itu atau dalam pada itu ia harus belajar dimensi batin dari hukum-hukum itu dengan benar pula, supaya bisa tahu dan mengejarnya, seperti ikhlash, khusyu’,tawadhu’....dst dimana hal-hal ini merupakan usaha mengetahui dan mencontoh perbuatan Nabi saww yang disebut dengan Thariqat. 

Kalau kedua hal itu dilakukan maka ia akan menyentuh apa-apa yang disebut Hal atau Keadaan. Tentu saja semua itu harus dilakukan dengan ikhlash, yakni bukan untuk mencapai apapun kecuali Allah. Sering orang ketika sedikit saja dibukakan tabir, atau seperti karomat-koramat keci/besar, dia sudah bangga dan merasa jadi musrsyid bagi yang lainnya. Seperti seorang raja dia telah membangun perguruannya. Padahal dengan semua itu dia berarti tergolong ke dalam penyinta dunia, sekalipun dunia di sini adalah batin, yakni semacam karomat-karomat atau kasyaf-kasyaf itu. 

Karena semua itu masih disenanginya di dunia ini. Pesuluk hakiki, sekalipun mampu melakukan yang tidak lumrah, tanpa perintah Tuhan dengan ilhamnhya, maka mereka tidak akan pernah melakukannya. Karena mereka selalu dalam latihan untuk tidak melihat diri, alias melatih diri untuk fanaa’ dan selalu dalam fanaa’. Bagaiamana mungkin seseorang akan mencapai fanaa’, ketika bisa sedikit saja melakukan keajaiban, dia sudah bertengger di situ? 

Anggelia Sulqani Zahra : Ustad’maaf.......jika saya bertanya lagi.....insya Allah saya akan meluangkan waktu untuk melakukan renungan atas jawaban-jawaban ustad..semoga Allah memberikan hida- yahNya agar saya dapat masuk dalam hikmahNya.... 

jika boleh saya bertanya lagi...: 
Apa yang menjadi latar belakang penolakan kaum teolog atas doktrin wahdat al-wujud? 

Sinar Agama : salam, kirain sudah tidur, apa masih bangun sekarang? bisa jawab? 

Anggelia Sulqani Zahra : okey...dilanjut.... 

Sinar Agama : Bismillaah. Saya tanya karena kukira sudah tidur. Tetapi kalau sudah tidur atau mau tidur, maka jangan tunggu jawabanku,. 

Biar kujawab terus dan baca besok. Saya tadi tanya hanya agak heran karena belum tidur dan ingin menyapa saja. 

Oh iya, jawabannya pendek-pendek karena lagi gangguan signal/sinyal. Kamu tidak usah menjawab apa-apa, kalau tidak tidur, 

Ada tahapan ilmu dalam mencari hakikat ke-Tuhanan, Teologi/Kalam, Filsafat dan Irfan/Gnosis. 

Teologi adalah cara memahami hakikat, termasuk Tuhan, melalui naql, yakni Qur'an dan Hadits. 

Teolog bisa dikatagorikan pada yang ekstrim, sedang dan ilmiah. Yang ekstrim, mengingkari semua ilmu lain. Mereka menolak semua cara selain Qur'an-hadits. Mereka juga menolak cara lain dari yang lahiriah dalam memahami keduanya. Mereka mengira bahwa yang mereka pahami tentang keduanya adalah benar-benar keduanya. Mereka ini biasanya gampang sekali menyalahkan dan menyesatkan orang lain, dan, mungkin juga menkafirkannya. 

Sebagian orang-orang sunni salafi, adalah bagian dari golongan ini, termasuk wahhabi yang munculnya beberapa ratus tahun yang lalu. Sedangkan golongan sedang berani menggunakan akal dalam memahami keduanya, tetapi keakalannya hanya sebatas yang umum-umum diantara manusia-manusia berakal yang, biasa disebut dengan akal-’urf/umum. 

Sedangkan dengan yang ilmiah, mereka berani menggunakan kaidah logika dan filsafat untuk memahami keduanya. Namun demikian, penggunaannya hanya di tempat-tempat yang mereka merasa harus memakainya, tidak di semua tempat. Oleh karenanya, di tempat-tempat yang merasa bahwa cukup dengan menggunakan akal-umum, mereka hanya menggunakan akal- umum dan tidak merasa perlu menggunakan logika-filsafat. 

Dengan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa ciri Kalam adalah berdasar kepada Qur'an dan Hadits dalam memahami hakikat. Sementara filsafat adalah metologi memahami hakikat dengan kaidah-kaidah akal-gamblang. Sebenarnya, bisa dikatakan sebagai pengemabangan logika. Kare- na logika cara menyusun pikiran, dan filsafat, adalah memahami hakikat dengan pikiran yang tersusun. Ringkasnya, filsafat adalah ilmu akal yang tujuannya memahami hakikat wujud. 

Kalau orang Kalam, merasa harus selalu menjaga lahiriah Qur'an dan hadits, hingga kalaulah menggunakan akal, maka sebatas yang diperlukan. Tetapi kalau filosof sebaliknya. Yang jadi pedoman adalah kaidah-gamblangnya. Yakni kaidah akal yang gamblang alias berbobot ilmu- mudah. Seperti kita ada, alam ada, kita dan alam sama-sama terbatas dst. Mereka yakin, bahwa tidak mungkin Qur’an dan hadits bertentangan dengan akal-mudah ini. 

Karena keduanya diturunkan untuk dipahami manusia dan akal kita ini dicipta Allah sebagai alat untuk memahami keduanya. Oleh karenanya para filosof menjadikan akal dasar dari pencariannya, dan kalau menjumpai Qur'an-hadits bertentangan dengan akal, maka mereka tidak ragu menak- wilnya. tidak seperti para Teolog. 

Sedangkan irfan, dulu, adalah cara untuk memahami hakikat dengan membersihkan hati dari cinta dunia. Tetapi sejak Mulla Shadra ra, temuan-temuannya sudah bisa membuktikan dengan filsafat dan akal. Tentu saja beda rasa diantara temuan keduanya. Artinya temuan irfan lebih afdhal karena dengan pencapaian, sementara dengan filsafat hanya pemahaman. 

Nah, setelah kita tahu semua itu, perlu diketahui, bahwa wahdatulwujud ini hanya temuan irfan/ sufi hakiki. Sementara filsafat, tidak dapat menjangkaunya, kecuali filsafat Mulla Shadra ra yang dikenal dengan Hikmah Muta’aliyah. Itupun hanya beberapa baris dari kitabnya yang 9 jilid itu. Jadi, tidak heran kalau ada pengajar filsafat Mulla Shadra tetapi anti pada wahdatulwujud irfani. 

Jadi, jangan dikira bahwa filsafat Mulla Shadra berisi wahdatulwujud irfan. Dia penuh dengan filsafat dan paling tingginya hanya wahdatulwujud filsafat. 

Maksud dengan penuh dengan filsafat yakni penuh dengan bahasan seperti sebab-akibat, esensi, substansi dan aksiden, gerak....dst..dimana merupakan bahasan filsafat. Maksudnya, penuh dengan pembuktian dan pembahasan mereka alias tentang semua wujud yang, di dalamnya termasuk wujud Tuhan. Jadi, filsafat, sekalipun filsafat Mulla Shadra, secara umum, mengakui dan membuktikan semua keberadaan selainNya. Oleh karenya, secara umum, filsafat tidak dapat menerima kenyataan wahdatulwujud irfani ini. 

Sekarang baru sampai kepada jawaban pertanyaan Anda: Bahwa kalau filsafat saja nasibnya seperti itu, maka Kalam dan Teologi sudah tentu lebih parah darinya. Oleh karenanya, secara umum, para Teolog menolak konsep wahdatulwujud ini. Oleh karenanya, Teologi tidak memiliki pendekat untuk menerima konsep wahdatulwujud ini dan bahkan menganggapnya sebagai konsep sesat yang bertentangan dengan akal dan Qur'an-hadits. Sekian.... Terima kasih 

Al-Fatihah- sholawat.. 


Sinar Agama: Salam, maaf Anggelia, terpaksa kuterbitkan lagi karena banyak yang mau, dan sepertinya sulit mencari di tempatmu, sepertinya sudah ada orang yang pakai namamu sebagai akun, dan lain-lain.





اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ