Sinar Agama: Bismillaah: Hukum Menolak Wali Faqih Muthlaqah (inbox) Terharu terhadap penanya di inbox yang menunjukkan kepahamannya dalam membaca tulisan-tulisan si hina ini dan semoga ia selalu mendapatkan inayah dariNya dan perlindunganNya, begitu pula si hina ini dan semua teman-teman yang dimuliakan, amin. Sebagaimana biasa, saya akan menginisialkan namanya karena takut dia tidak rela dimuat di status:
Hari Ini (inbox)
Y: Ass wr wb, afwan ustad. Saya telah membaca diskusi antum tentang hukum penolakan wali faqih muthlak bagi orang Syi’ah. Dan saya alhamdulillah merasa memahami maksud antum (kalau salah tolong dikoreksi sebelum antum menjawab pertanyaan saya) bahwa menolak wali faqih mutlak itu adalah hal besar yang sekalipun belum dapat dipastikan kemurtadannya, akan tetapai ia merupakan hal yang sudah sampai ke derajat yang berbahaya sekali. Ini yang saya pahami dari penjelasan antum baik di asal penjelasannya atau dalam diskusi-diskusinya. Karena itu, saya juga melihat antum menolak mengomentari teman kita yang berisial Z.H, karena ia telah salah kira kepada antum. Ana memahami seperti itu ustad. Tolong kalau salah diluruskan.
Yang menjadi pertanyaan saya, sudikah kiranya antum menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya tentang masalah ini, supaya saya sendiri tidak sekedar berhati-hati sesuai dengan pesan antum, melainkan lebih jelas melangkah. Syukran ustad dan semoga antum sehat selalu dan sudi menerangkan pada ana yang ingin mendapatkan kepastian ini. Hari Ini (inbox)
Sinar Agama: Salam, ahsantum. Pemahaman antum sudah benar mengenai tulisanku itu. Yakni maksud saya untuk menghati-hatikan tindakan teman-teman supaya tidak sampai ke arah dan arena terebut karena sudah sangat berbahaya.
Menolak wali faqih muthlaqah itu, bisa bermacam bentuk seperti:
1- Bisa karena mujtahid yang memiliki pandangan tidak wajibnya wali faqih muthlaqah/muthlaq.
2- Muqallid (taqlid) pada yang mujtahid poin 1 di atas itu.
3- Jaahil, tidak tahu hukumnya.
4- Tahu bahwa hukum itu dari Islam dan menolaknya.
Hukumnya:
1- Tidak murtad, tapi haram membuat perpecahan di kalangan muslimin. Yang saya pahami seperti menghalang-halangi orang lain untum mempercayainya, atau membuat perseteruan dengan pengikutnya, atau memusuhi wali faqihnya itu sendiri.
2- Sama dengan hukum poin 1 di atas.
3- Sama dengan hukum poin 1 di atas.
4- Untuk poin 4 ini, ada dua pandangan dari sama-sama wakil Rahbar hf. Bagian fatwa bahasa Parsi mengatakan murtad. Dengan alasan karena sudah tahu hukum Islam akan tetapi terang-terangan menolaknya. Itu sama dengan menolak Islam. Ini penjelasannya. Bagian fatwa bahasa Arab, hanya mencukupkan kepada dosa dan tidak memurtadkannya. Saya juga kebetulan punya nomor telpon ayatullah Khatami hf, imam Jum’at Tehran dan mengatakan sama dengan yang bagian fatwa Parsi itu bahwa kalau seseorang tahu bahwa wali faqih muthlaq itu dari Islam dan ia menolaknya dan ia tahu bahwa penolakannya itu menolak Islam atau Nabi saww, maka ia murtad.
Kesimpulan: Kalau kita mau melakukannya, maka bentengilah diri kita ini dengan hukum yang berat itu, yakni murtad. Tapi kalau melihat orang lain melakukannya, maka hati-hatinya tidak perlu memurtadkannya. Hal itu karena di samping berbagai kemungkinan di atas itu, juga barang kali penjelasan bagian bahasa arab itu yang benar. Dan kita juga tidak rugi tidak memurtadkannya. Tapi kalau mau hati-hati tentang kenajisannya, asal tidak disebar-sebar ke orang lain, maka hal itu bagus dan sama sekali tidak bertentangan dengan agama.
Saya sendiri, dengan bekal informasi yang terlalu cetek/dangkal ini, memang memahami fatwa itu seperti yang dipahami wakil fatwa bagian bahasa Parsi itu. Akan tetapi, karena urusan memurtadkan seseorang itu tidak mudah, maka lebih baiknya kita hati-hati kalau berhubungan dengan orang. Karena barangkali sebenarnya ia belum tahu bahwa hal itu ada dalam Islam. Tapi kalau jelas ia mengatakan tahu bahwa hal itu ada dalam Islam, dan menolaknya, maka sekalipun tidak memurtadkannya kepada khalayak yang karena demi kehati-hatian itu, akan tetapi saya pikir, wajib kita berhati-hati pada kenajisannya untuk diri kita pribadi dan ingat, hati-hatinya juga tidak mengheboh-hebohkannya atau bahkan tidak mengatakannya kepada orang lain.
Kalau saya menulis ini, karena harus menjelaskan hukumnya. Sedang yang dibicarakan di atas itu, adalah masalah penerapannya manakala kita bertemu dengan penolak wali faqih muthlaq seperti yang terpahami di buku sms itu.
Karena itu, kembali ke tulisan sebelum-sebelumnya bahwa cukup mengatakan “bisa terhukumi murtad”, yakni tidak pasti murtad, dan sangat dianjurkan untuk tidak melakukannya dan tidak pula menghukumi orang lain.
Semoga suatu saat saya bisa menanyakannya langsung kepada Rahbar hf sendiri. Kalau antum masih penasaran dan tidak cukup dengan semua penjelasan di atas itu. Wassalam.
Sinar Agama: Syukur padaMu ya Rab, ada saja orang yang meringankan beban ini karena kejelian dan kecerdasan pahamannya, semoga Engkau sudi membantuku dan semua teman, untuk jeli, teliti dan cerdas dalam memahami apa-apapun hal sebelum Engkau ambil amanatMu ini, amin.
Abdurrahman Shahab: Maaf ustadz SA, point no 4 dan no satu memiliki ambiguitas yang sangat parah, seolah olah antum ingin mengatakan bahwa para mujtahid yang berada di point satu itu bukan islam...Mohon point no.4 antum koreksi kalimatnya agar antum tidak membuat perpecahan di kalangan kaum muslimin !!! Afuan sebelumnya...
Sinar Agama: Fahmi, opo gletek iku?
Bima Wisambudi: Apanya yang ambigu?
Abdurrahman Shahab: Semoga Ustadz SA diberi Allah ketulusan hati nya untuk dapat menjauhkan dari “kesombongan kaum berilmu” sehingga ia tidak pernah mau menundukkan hatinya dari nasehat dan peringatan...Afuan...
Ali Heyder: Maaf ustadz, apakah ada pandangan dari marja yang menyatakan bahwa wilayatul faqih itu bagian dari ushuluddin ?
Aries Wahyu Hidayat: Pembahasannya berat untuk saya yang bodoh ini.... semoga semua mendapat petunjuk dari Allah...... shalawat....
Sinar Agama: A.Sh dan lain-lainnya: Semua yang ditulis di atas itu sudah diambil dari fatwa. Misalnya
poin 1, Rahbar hf mengatakan:
نمز يف - اديلقت وا اداهتجا - ةقلطملا هيقفلا ةيلاوب داقتعلاا مدع)دئاقلا ديسلل لئاسملا ريرحـ( 14 :ةلأسم
ناهربلاو للادتسلاا هلصوا نمو زملاسلاا نع جورخلاو دادترلاا بجوي لا )هجرف للها لجع( ةجحلا ماملاا ةبيغ
نيملسملا نيب فلاخلاو ةقرفتلا ثب عل زوجي لا نكلو روذعم وهف اهب داقنعلاا مدع يلا
“Yang tidak meyakini wali faqih muthlaqah secara ijtihad atau taqlid, di masa ghaibahnya imam Mahdi (ajf) tidak membuatnya murtad dan keluar dari Islam. Siapa yang mendapatkan dalil dan argumentasi hingga penyimpulan tidak mesti meyakininya, maka ia ma’dzur (dimaafkan). Akan tetapi tidak boleh baginya untuk membuat perpecahan dan perbedaan di kalangan muslimin.”
Dan untuk nomor 4 itu kurasa sudah sangat terang benderang.
Sang Pencinta: Abdurrahman, hal itu sudah jelas, sepertinya antum sedikit emosi saat membacanya.
Mujtahid yang menolak WF mutlak sesuai ijtihadiiyahnya tidak menyebabkan murtad, coba lihat fatwa Rahbar berikut:
SOAL 59: Apakah orang yang tidak meyakini wewenang mutlak wali fakih dianggap muslim sejati?
JAWAB: Tidak meyakini wewenang mutlak wali fakih pada masa kegaiban Imamul Hujah (semoga jiwa-jiwa kita menjadi tebusannya), baik berdasarkan ijtihad atau taqlid tidak menyebabkan kemurtadan atau keluar dari Islam.
Sinar Agama: Ali, bukan bagian dari ushuluddin, tapi cabang dari ushuluddin. Rahbar hf sendiri berfatwa:
عمتجملا ةدايق نع ةرابع يهو نيدلاب فراعلا لداعلا هيقفلا ةموكح ينعت هيقفلا ةيلاو)لئاسملا ريرحت( 14 :ةلأسم
روذج اهلو يرشع ينثلاا بهذملا ناكرا نم نامزو رصع لك يف ةيملاسلاا ةملال ةيعامتجلاا لئاسملا ةراداو
.ةماملاا لصا يف
Masalah ke 41 (bagian pertama dan yang di nukilan kolom sebelum ini adalah bagian ke duanya): “Wali faqih adalah kekuasaan seorang faqih (mujtahid) yang adil (tidak melakukan dosa) dan mengerti betul agama. Wali faqih adalah kepemimpinan sosial dan pengaturan masalah-masalah kesosialan terhadap kaum muslimin di setiap waktu dan jaman, dan DARI RUKUN MADZHAB SYI’AH DUA BELAS IMAM, DAN JUGA MEMILIKI AKAR DI USHULUDDIN-IMAMAH.”
Ali Heyder: Apakah sama posisi Rahbar sebagai wali faqih dan sebagai marja? Wilayatul Faqih adalah urusan tata negara, berbeda dengan marja. Misalnya seorang Iran yang bertaqlid bukan pada Rahbar tetap terikat pada keputusan konstitusionil Wali Faqih. Vis a vis, seorang yang bertaqlid pada rahbar namun bukan warga Iran, berarti tidak ada keterikatan kenegaraan. Dari sini ada dikotomi fungsi antara marja dan wali faqih, mohon pencerahan.
Bima Wisambudi: Afwan, ustadz, bagaimana dengan sebelum adanya revolusi Iran? Apakah sudah ada WF? Afwan, saya pernah baca catatan ustadz mengenai hal ini namun lupa belum ketemu.
Sinar Agama: Bima, itu antum lupa mulu sih he he.... Wali faqih itu tidak beda dengan imam Makshum as itu sendiri. Mereka memiliki wilayah itu baik diakui orang atau tidak. Jadi, wali faqih itu selalu ada dan mengatur umat, tapi sebatas penerimaan umat itu sendiri. Di dunia, tidak ada paksaan seprti yang sudah sering dijelaskan. Karena itulah, saya katakan terlalu naif kalau ada orang membuat wali faqih ini momok untuk Indonesia. Sebab Nabi saww sendiri hidup dalam berbagai keadaan, berkuasa dan tidak berkuasa, Umat Nabi saww juga demikian, ada yang dalam kekuasaan Islam dan ada yang dalam kekuasaan lain. Pada jaman imam Makshum as, apalagi. Karena itu, jangan lupa mulu he he...
Sinar Agama: Ali, sepertinya antum harus baca lagi jawaban-jawabanku. Wali faqih itu dalam segala kondisi, tidak hanya negara. Lihat definisi yang diberikan Rahbar hf di atas itu. Antum simpan dulu ajaran orang, dan tatap ajaran Rahbar hf, nanti ketemu benang merahnya. Wali faqih itu seperti imam Makshum as, selalu ada dan wajib ditaati walau tidak ada negara Islam.
Ahmad Haidar:
ALito Alfian Mehmud: Abdurrahman Shahab, afwan silahkan antum pahami dulu kedudukan mujtahid dalam Syi’ah. Saya yakin jika antum pahami hal ini antum tidak akan berkomentar “....memiliki ambiguitas yang sangat parah.....” dan seterusnya. Apalagi sampai antum mengatakannya agar tidak membuat perpecahan di kalangan muslimin. Bagi saya pribadi apa yang disampaikan oleh beliau sangat jelas & tidak ada ambiguitas sama sekali. Apakah antum tidak mengetahui bahwa seorang yang telah sampai pada tingkatan mujtahid maka ia sudah harus mengambil keputusan sendiri berkenaan dengan hukum-hukum agama. Apabila dalam ijtihadnya yang benar-benar didasari qurbatan ilallah mereka benar maka dapat dua pahala & apabila salah dapat satu pahala. Olehnya itu bagi mereka sudah tidak dikenai lagi hukum dosa dalam apa-apa yang mereka ijtihadkan. Sedangkan pada poin 4 jelas-jelas berbeda di atas tertulis jelas coba antum perhatikan kalimatnya “,Tahu bahwa itu dari Islam dan menolaknya”. Ia mengetahuinya secara sangat yakin bahwa wilayatul faqih adalah wajib akan tetapi ia menolaknya/mengingkarinya. Maka bagaimana mungkin antum ini menilai hal ini ambigu.
Deddy Prihambudi: Salam. Teruslah diskusi. Jangan terputus. Terlepas apakah substansi diskusi ini kita terima atau kita tolak, namun KEBEBASAN untuk menyampaikan ide dan gagasan harus tetap dihormati, dan dijaga.
Sinar Agama: @Alito dan teman-teman lainnya, semoga antum semua dan saya yang terlalu hina ini, selalu dalam peluk hangat perlindungan Allah dan syafaat Nabi saww serta Makshumin as amin.
Bima Wisambudi: Afwan ustadz, bagaimana jika ada yang menerima WF namun menolak rahbar?
Sinar Agama: Ada teman seorang sayyid di inbox yang mengatakan “Ustadz, katakan yang haq itu haq dan yang batil itu batil, jangan menyembunyikan kebenaran.”
Dalam kondisi sesak dada seperti belakangan ini, karena tidak suka membahas buku sms itu akan tetapi karena terpaksa, maka sokongan sayyid luar Jawa itu, telah membuatku semakin merasa nyaman dan tenang. Rupanya hati-hati suci dan bersih yang tanpa kepentingan apapun, masih terlalu banyak di bumi pertiwi kita ini, syukur padaMu ya Rab.
Apapun itu, teman-teman tidak boleh keluar dari akhlak karimah walau panas dada sekalipun melihat Tuhan, Nabi saww, para imam as dan ulama dilecehkan. Kita memilih cara ilmiahnya saja yang indah tapi tefas seperti bunga merah.
Ali Heyder: Maaf ustadz, ana sudah baca, justru karena keterbatasan pemahaman ana minta penjelasannya. Ada definisi baru yang antum kemukakan dan baru buat ana, khususnya mengenai posisi wali faqih yang tidak terikat ada negara. Apakah mungkin terdapat beberapa wali faqih baik berbeda negara maupun di negara yang sama? Dan mengenai maulay Rahbar, ketika beliau naik menduduki jabatan wali faqih apakah benar beliau belum memproklamirkan marjaiyahnya? Hal tersebut menarik perhatian karena justru inilah yang membuat ana tiba pada kesimpulan bahwa wali faqih dan marjaiyah itu berbeda. Mohon pencerahannya ustadz.
Sinar Agama: @Bima, ana rasa bahasannya bercabang. Misalnya dia menolak Rahbar hf itu dengan alasan apa. Misalnya, apakah dia meyakini wali faqih yang lain? Misalnya apakah wali faqih yang lainnya itu mengaku wali faqih? ... dan seterusnya.
ALito Alfian Mehmud: Amien, terimakasih Pak Ustadz Sinar Agama....Btw, saya sangat berharap semoga suatu saat saya bisa bersahabat dengan antum di Fb ini. Apabila ada lowongan persahabatan sudilah antum memasukkan saya yang hina ini sebagai sahabat antum. Afwan....
Sinar Agama: Deddy, kita akan terus sesuai dengan fatwa marja’ in syaa Allah. Menjelaskan masalah merupakan tugas yang tahu. Setelah itu, maka terimalah dengan jelas, atau tolaklah dengan jelas. Bagi kami urusan di dunia ini hanya menjelaskan saja. Siapa yang mau tolak atau terima, maka hal itu sudah menjadi urusan masing-masing.
Bima Wisambudi: Semoga ustadz tidak keberatan menjelaskan di tengah kesibukan ustadz, dan semoga dirahmatiNya. Bagaimana bisa wali faqih yang lainnya itu mengaku sebagai wali faqih, sementara sudah ada rahbar yang disepakati ulama-ulama a’lam sebagai yang paling a’lam (wf)?
Sinar Agama: @Ali, silahkan merujuk ke catatan-catatan sebelumnya. Ringkasnya, wali faqih itu fungsinya adalah memberikan pengaturan umum, bukan fatwa khusus seperti ibadah-ibadah. Jadi, bersifat sosial dan politik. Dan di bidang sosial politik ini, sekalipun marja’, wajib mengikutinya.
Sebelum negara Islampun wali faqih ini ada, seperti pengharaman rokok oleh ayatullah Syirazai ra. Walhasil, kurasa tengok-tengok catatan yang sudah ada, bagus kalau antum ada waktu dan mau.
Sinar Agama: @Alito, apa antum sudah menjadi pendaftar?
Sinar Agama: Sebenarnya perndaftar pertemanan sampai sekarang masih sekitar seribu (900 lebih). Mungkin kalau antum sudah mendaftar, bisa dipertimbangkan untuk dikonfirmasi.
Ali Heyder Toyeb: Ustad, syukran atas waktunya wal afu.
Sinar Agama: @Ali, ahlan bikum.
ALito Alfian Mehmud: Afwan ya sayyidi, saya sudah sejak awal-awal dulu mencoba untuk menambahkan antum sebagai teman di fb ini. Akan tetapi saya bingung selalu ada pemberitahuan seperti ini dari fb : anda belum dapat menambahkan Sinar Agama sebagai teman anda saat ini. Afwan ya sayyidi, jadi saya belum bisa menjadi pendaftar.
Deddy Prihambudi: Salah satu ‘buku pengantar’ saya untuk memahami WF adalah 2 buku Kang Jalal itu, yang kini telah menjadi buku ‘klasik’ di antara kita. Sangat jelas sebenarnya. Seingat saya , yang awam ini, dahulu, Imam Khumayni QS, jika tidak keliru, memberikan syarat “mujtahid mutlak” untuk seorang Wali Faqih. Namun, karena beratnya beban syarat ini, konon syarat ini diubah menjadi agak lebih rendah. Jika saya keliru, mohon dikoreksi.
Deddy Prihambudi: Dan seingat saya pula, Imam Al Khamene’i HF tatkala ‘terpilih’ menjadi Wali Faqih, (atau menjadi Rahbar ? (mohon koreksi) juga belum sampai pada derajat Mujtahid. Bahkan konon, Imam Ali Khamene’i HF adalah pribadi yang sangat enggan untuk segera menjadi mujtahid.
Deddy Prihambudi: Saran saya : jika tema diskusi ini sudah dianggap cukup, maka tugas Sang Pencinta untuk merapikan semua tulisan, dikompilasi dengan baik, dan dijadikan buku. Agar semua diskusi ini menjadi “milik publik”. Salam.
Bima Wisambudi: Jangan buru-buru pak Deddy, masih menunggu jawaban ustadz.
Deddy Prihambudi: Ha ha ha... setuju ! Beta selalu ‘ingatkan’ agar kita semua menjadi peramu ilmu dengan baik. Dalam contoh sederhana yang pernah saya sampaikan di waktu lalu, perdebatan sengit antara almarhum Cak Nur dengan tokoh Masyumi Mohammad Roem, berhasil menjadi buku dengan baik. Dan publik mampu membacanya. Artinya : jadikan tradisi debat dan diskusi menjadi tradisi tulis dengan baik. Salam.
Dadan Gochir: Deddy Prihambudi, setahu ana ustad SA sudah menjelaskan bahwa rahbar hf sudah mujtahid, bahkan sebelum terpilih jadi Wali faqih.. mungkin Sang Pencinta bisa nukilkan..
Deddy Prihambudi: Ya, matursuwun pada Tuan Gochir. Mungkin benar Ustadz Sinar Agama sudah menjelaskan. Saya mungkin tidak menyimak kala itu, karena sedang terjadi ‘ketegangan’ yang tidak perlu tatkala item ini dibahas sehingga, saya ikut malas membacanya. Tapi, tetap saja terimakasih. Tetaplah bersuara, jangan takut !
Fahmi Husein: Sinar, gak tau nang bangil antum? Gletek, agak susah diartikan ke bahasa Indonesia. Yang ana maksud, sebelumnya dianggap murtad gak taunya tidak, gletek ae.
Satria Pmlg: Matur suwun ustadz.
ALito Alfian Mehmud: Salam Deddy Prihambudi dan juga teman-teman yang lainnya, silahkan antum merujuk kesini :
https://www.facebook.com/notes/sang-pencinta/rahbar-hf-imam-khumaini-qs-dan-shirazi-bersaudara/676398572410052
Dan juga kesini
https://www.facebook.com/notes/sang-pencinta/seluk-beluk-wilayatul-faqih/657291477654095
ALito Alfian Mehmud: Kesini :
https://www.facebook.com/sinar.agama/posts/138429356210985
Juga yang ini :
http://sinaragama.org/111-kesaksian-2-orang-adil-atas-ke-alam-an-rahbar-hf.html
Widodo Abu Zaki: Alhamudullah baru ngerti maksudnya.
Sinar Agama: Deddy, seperti yang telah diterangkan sekitar satu dua tahun lalu, dan juga yang dinukil Alito, Rhabar hf atau sayyid Ali Khamenei hf itu, sudah mujtahid muthlaq sejak 30 tahun sebelum diangkat menjadi Rahbar hf.
Wali faqih itu wajib mujtahid muthlaq. Yang dirubah itu bukan kemujtahidannya akan tetapi kemarja’annya. Artinya, yang dipilih itu tidak mesti dari marja’. Karena yang paling dipentingkan adalah wali faqih itu a’lam dari mujtahid lain termasuk marja’ dari sisi urusan-urusan sosial dan politik.
Sinar Agama: Fahmi, ahsantum tentang gleteknya.
Fahmi Husein: Sinar, sebelumnya ana tidak meneliti komentar-komentar, setelah ana baca dengan seksama, ada dua hal yang ingin ana tanggapi/tanyakan.1. Antum memuji ALito Alfian Mehmud dengan pernyataannya, mujtahid kalau salah dapat pahala satu kalau benar dapat dua. Ini bukannya di Sunny?? Emangnya di Syi’ah juga demikian?? 2. Tentang Sayyid yang antum juga puji karena sarannya (meneruskan katakan yang haq..). Apakah antum kira yang menolak kritikan antum pada buku sms itu karena ‘ras’-nya?? Bahwa ada kepentingan golongan?? Bukannya yang menolak kritikan antum pada buku tersebut banyak juga yang bukan Sayyid?? Dan afwan, satu orang yang berbicara juga di inbox kepada ana bahwa kalian (ustadz sa dan iip) tidak muhibbin (kurang dalam penghormatannya pada durriyah), ana balas dengan menanyakan daerah dia, setelah dia bilang dari daerah ini (afwan ana gak bisa sebutkan), ana tanggapi yang ana tahu dari daerahmu itu juga gak ada muhibbin. Perlu alfaqir perjelas, tiada Sayyid yang mengikuti ashobiyah jahiliyyah, hanya tuduhan nashibi saja. Dan perlu alfaqir ulang lagi, alfaqir menolak sikap/cara mengkritik, bukan kritikan terhadap buku tersebut. Dan itupun tidak merubah sikap penghormatan alfaqir kepada antum tentang keilmuan antum (merasa banyak hutang budi, semoga dibalasNya).
Chai Syahrie: .
Sinar Agama: @Fahmi:
1- Itu justru di Syi’ah, sebab di Sunni sudah tidak ada mujtahid.
2- He he,,,,terimakasih banget ya sayyid. Saya mengatakan seorang sayyid, karena hanya ingin menghormatinya saja. Bukan mau menjadikannya sebagai alat untuk berkelahi dengan sayyid lain, na’udzubillah. Atau bukan saya ingin mengatakan bahwa beberapa sayyid yang diskusi beberapa hari ini membantahku karena kesayyidan mereka.
Antum peka banget dan saya pikir itu baik karena antum merasa harus menjadi insan kamil dan menemani, mengayomi dan mengasihi selain sayyid. Dan saya juga tidak perlu mengatakan siapa saya sebenarnya, dalam masalah ini. Btw, terimakasih perhatiannya.
Terimakasih banget pula telah mendoakan, semoga diterimaNya untuk kita semua, amin.
3- Kalau saya dalam puisi kemarin mengatakan di sini Indonesia dan bukan Yaman, sebab menurut sejarah, para Syi’ah yang saadaat yang hijrah ke Yaman, melalukan taqiah habis-habisan hingga keturunannya sendiri, tidak tahu tentang kesyi’ahan aba mereka. Hal itu demi supaya tidak terbunuh.
Nah, di Indonesia yang tidak ada bunuh membunuhnya. Karena itu, saya meminta dalam puisi itu, untuk tidak meYamankan Indonesia dan meminta untuk menghormati budaya kami di sini yang tidak suka kepada pertikaian dan bunuh membunuh seperti arab-arab barbar kala itu di Yaman.
Fahmi Husein: Ke masalah nomer satu dulu, betul-betul ana baru tau neh (tentang mujtahid yang salah dapat pahala satu, dan benar pahala dua, karena itu yang kami kritiki selama ini), di Sunny sudah tidak ada mujtahid? Mujtahid versi Syi’ah kali?? Anggap benar (udah gak ada mujtahid), berarti dulu juga dapat pahala satu kalau salah? AUU itu? Ajib. Mohon lebih dijelaskan lagi (detail lagi) 3. Perlu antum ketahui (kalau belum tahu), yang hijrah ke Yaman (hadramaut) tetap Syi’ah, hingga Al-Faqih al-muqaddam yang bermula ‘pindah madzab’ yang emang para nashibi sangat menentang mereka pada jaman beliau. Betul antum taqiyah habis-habisan hingga keturunan mereka sendiri tidak tahu tentang kesyiahan kakek mereka. Masalah nashibi ini dimana-mana, Indonesia juga demikian, juga Syi’ahnya. Kalau aman jelas Imam Mahdi afs muncul, hanya perlu 313 orang saja kan?!
Fahmi Husein: Tentang Ijtihad dalam Sunny (kebetulan majlas dengan staf Mufti Kerajaan Brunei), Dalam Sunny menggunakan hukum hakam, kalau ada sesuatu perkara (yang tidak jelas hukum hakamnya) yang pertama merujuk pada Alqur’an, kalau tidak menemukan jawabannya maka merujuk kepada hadits, bila masih belum juga menemukannya maka merujuk pada Qiyas (contoh, al-homru muskirun, kullu muskiriin haram, fal homru haram. Disini tentang semua yang memabukkam itu haram. Tentang narkoba misalnya yang tidak ada dalam al-qur’an dan hadits), lalu bila tidak menemukan di qiyas baru ke ijmak (kesepakatan), setelah tidak ada di ijmak baru ijtihad. Contohnya merokok. Fatwa mufti brunei rokok haram. Kalau benar dapat pahala dua, kalau salah dapat pahala satu.
Sinar Agama: Fahmi, saya tidak merasa perlu menambahkan penjelasannya. Saya kalau menulis lagi, sama dengan yang tulisan sebelumnya itu.
Ida Faridah: Heuheu rafidhah...Allah Yahfadz...semoga Allah menjaga iman umat Islam agar tidak terperosok ke dalam kehinaan..aamiin Ya Rabb...
Ida Faridah: Imam jafar ash shadik..»jangan banyak bicara dengan kaum Syi’ah terutama rafidhah kerna di setiap perkataannya penuh dusta....
Fahmi Husein: Sinar, cukup dapatnya diberikan dalilnya (Al-Qur’an atau Hadits) bahwa Ijtihad mujtahid (dalam Syi’ah) kalau salah dapat pahala satu kalau benar dapat pahala dua. Karena sepertinya kontradiksi dengan status antum di atas, Mujtahid menolak WF, (salah, dapet pahala satu dong) ??
Fahmi Husein: Dalil al Quran tentang Mujtahid sebagai Pemimpin/Pembesar yang diikuti, kalau salah disiksa 2x lipat:
﴾ Al Ahzab:67 ﴾ Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).
﴾ Al Ahzab:68 ﴾Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar.
Nagie Alcatraz: Hmmm
ALito Alfian Mehmud: Fahmi Husein, afwan ya sayyid. Antum Sunni atau Syi’ah. Jika antum Sunni maka saya maklum dengan permintaan antum kepada Ustadz Sinar Agama mengenai dalil dari hal ihwal pahala seorang mujtahid. Namun jika antum Syi’ah maka sebagaimana yang sudah sering disampaikan oleh Pak Ustadz bahwa seorang tasyayyu tidak boleh asal minta dalil. Karena kalaulah diterangkan juga, maka kita tidak akan mengerti. Karena penjelasannya akan memakai semua alat dan perangkat ijtihad itu sendiri. Seperti ilmu-ilmu, bahasa Arab, Logika, Ushul fikih, Kaidah fikih, Hadits, Rijal, Tafsir.....dan seterusnya yang diringkas dalam 4 perkara, Qur’an, Hadits, Akal dan Ijma’. Nah apakah kapasitas kita (antum & saya juga yang lainnya yang belum mujtahid) sudah sampai atau menguasai semua perangkat itu....
Fahmi Husein: ALito, afwan, mungkin itu Syi’ah versi anda. Syi’ah versi saya mesti berdalil, dan apa-apa yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits jelas batil. Andaikan Fatimah mencuri niscaya aku potong tangannya. Syd Fatimah aja gak kebal hukum, apalagi ulama. Hanya karena ulama yang bilang gitu, ra’sye. Jadi keraknya neraka ulama yang ngaku-ngaku salah dapat pahala itu!!
Nagie Alcatraz: Kalau merasa Syi’ah ya harusnya malah kritis..bisa dicerna dengan logika akal sehat..Syi’ah kalau ga boleh minta dalil ga beda jauh dengan wahabi..ajarannya hanya penuh dengan doktrin,pokoknya kalau ustadnya sudah ngomong ya harus di iyakan, ga boleh banyak nanya...ckckck
ALito Alfian Mehmud: Fahmi Husein, ya sayyid nampaknya antum belum begitu memahami dengan apa yang saya nukilkan dari yang sering disampaikan oleh Ustadz Sinar Agama. Justru tidak dilarang meminta dalil asal sudah memenuhi atau menguasai perangkat-perangkat ijtihad tersebut di atas. Btw, saya tidak akan mengulanginya lagi karena kalau mengulanginya akan menulis sama seperti yang di atas & saya cukupkan hanya sampai disini. Syukron wa afwan ya sayyid.
Muhammad Zakariya: Kata siapa ga boleh minta dalil, yang disampaikan oleh marji’ itu bahasa yang sederhana yang dapat dicerna oleh pengikutnya.
Muhammad Zakariya: Kemudian nash dan dalilnya saya ingin tahu terkait wajib mengikuti WF. Kemudian kalau ga ikut maka murtad.
Muhammad Zakariya: Syarat seorang mujtahid itu apa sich? Kenapa kok bisa dikatakan dia mengeluarkan fatwa yang salah.
Muhammad Zakariya: Fatwa yang SA sampaikan ini mana teks aslinya kemudian dalil dan nashnya apa.
https://www.facebook.com/sinar.agama/posts/758563474197567
Artikel sebelumnya:
====================
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ