Tampilkan postingan dengan label Wahdatul Wujud. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Wahdatul Wujud. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Agustus 2018

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 14)




by Sinar Agama (Notes) on Saturday, February 19, 2011 at 1:08 am


Abdul Azis Baeha: Assalamualaikum, Hamdalah Wa Shalawat. Semoga Ustad tetap dan selalu dalam keRidhaan Allah SWT...Izinkan ana bertanya Ustad tentang hakikat Ajaran Takwini dan pengaruhnya dalam ibadah kita keseharian...... 

Pertanyaan ana ini terilhami dari cerita anak ana yang baru duduk di kelas III SD, tentang perjalanan antara Nabi Allah Idris AS dan Nabi Allah Musa AS yang mengisahkan pembunuhan anak kecil karena diketahui akan durhaka kepada ke 2 orang tuanya kelak, pembocoran perahu seorang nelayan yang akan dicuri orang kelak, dan perbaikan dinding rumah di sebuah desa orang-orang sombong yang menyimpan harta karun di bawahnya. 

Dalam kisah ini tentu kesimpulan setiap orang akan berbeda sebagaimana kadar ilmu yang diperolehnya. Akibatnya anak saya yang masih kelas III itu menjadiakn Nabi Musa dalam posisi bodoh dan tidak tahu apa-apa tentang kejadian masa depan sebagaimana pengatahuan Nabi Idris. 

Demikian Ustad sementara ini, Syukron, Wassalam, Wa Shalawat. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

1. Peristiwa itu, antara nabi Musa as. dan nabi Khidhr as. 

2. Sudah berkali-kali saya terangkan di tulisan-tulisan sebelumnya bahwa Perjalanan Suluk itu ada 4 tingkatan: Dari Makhluq ke Khaliq; Dari Khaliq ke Khaliq; Dari Khaliq ke Makhluq Bersama Khaliq; Dari Makhluq ke Khaliq bersama Makhluq. 

3. Sudah diterangkan pula bahwa yang sudah menyelesaikan perjalanan 3, adalah terminal akhir untuk mencapai derajat 4 yang diistilahkan pula dengan Maqam Kenabian. Karena maqam 4 itu adalah maqam mengajak makhluk lain kepadaNya. 

4. Untuk mencapai derajat kenabian itu, tidak disyarati dengan apapun kecuali suluk dan amal serta makrifat. Jadi, lelaki atau perempuan, sebelum kenabian nabi Muhammad saww atau setelahnya, tua atau muda, tanpan atau tidak, cantik atau tidak, kaya atau miskin, dari keturunan yang baik atau tidak, punya keluarga baik atau tidak....dst, tidak mempengaruhi capaian suluk dan derajat-derajatnya. 

5. Tidak semua yang sampai ke derajat kenabian itu pasti diangkat menjadi nabi atau rasul. Karena maqam kenabian itu adalah maqam ikhtiari yang dicapai oleh manusia secara pribadi. Sementara pangkat kenabian atau kerasulan adalah maqam sosial dan dakwah untuk mengajak manusia kepadaNya dimana sudah tentu diharapkan keberhasilannya dimana pasti menuntut metodologi, cara-ara, alat-alat dan syarat-syarat yang standart. Karena itu maka untuk maqam kerasulan ini, tidak cukup ketinggian derajat seseorang secara pribadi. Tapi diperlukan syarat-syarat lainnya seperti badani, keluarga dan sosialnya. Tentu saja kenabian dan kerasulan yang diangkat Tuhan ini adalah yang mengajak manusia kepadaNya dengan formal. Sementara yang tidak diangkat menjadi rasul/nabi formal, ia tetap memiliki derajat kenabian itu dan tetap wajib mengajak manusia kepadaNya dengan cara-cara kasyaf/ ilham/wahyu-ilmu yang ia dapatkan, tapi bukan dengan wahyu syariat. 

6. Jadi maqam kenabian adalah hasil ikhtiar manusia, tapi pangkat kenabian dan kerasulan yang bermakna utusan Tuhan untuk mengajak manusia secara formal itu, adalah pemberian Tuhan. 

7. Orang yang sangat tinggi derajat suluknya, secara pribadi, kalau tidak memiliki syarat-syarat lainnya, seperti badannya standart, keluarganya juga demikian, dari keturunan yang juga standart, tidak pernah salah sebelumnya....dst, maka tidak mungkin diangkat menjadi rasul utusan yang formal. Karena kalau dijadikan, maka ia bukan saja tidak akan berhasil dalam dakwahnya, tapi akan membuat manusia mengejeknya, menertawakannya dan semacamnya, sekalipun dengan ketidakadilan, karena masalah-masalah badani tidak berhubungan dengan akhlak atau karena masalah-masalah yang tidak menyangkut dirinya secara langsung (seperti keluarga, orang tua...dan seterusnya). 

8. Ketidakpengangkatan Tuhan seorang yang tinggi secara pribadi untuk menjadi rasul itu, bukan didasarkan kepada ke-Adilan-Nya. Karena dari timbangan keadilan, yang menjadi tolok ukurnya adalah setiap individu dan akhlaknya atau nilainya sendiri secara langsung, bukan badani atau keluarga dan lingkungannya. Karena itu Tuhan berhak mengazab orang yang tidak menaati atau yang mencela rasul yang cacat badannya atau keluarganya. Karena hal- hal itu tidak menyangkut nilai dan syariat. Akan tetapi Luthf-Nya, atau ke-Lembutan-Nya atau Kasih Sayang dan RahimNya, tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi. Artinya sudah pasti dari tinjuan ke dua itu, Tuhan akan menghindarkan manusia dari yang mempermudah memaksukkannya ke neraka, dan akan mempermudah untuk memasukkannya ke dalam surga. Karena itu tidak mungkin pesuluk hebat yang cacat badannya, pernah berbuat salah sebelumnya, cacat keluarganya...dan seterusnya, tidak akan pernah diangkat menjadi utusan formalNya, sekalipun tetap merupakan utusan tidak formalNya. 

9. Setiap yang sampai ke derajat kenabian (Perjalanan 4, bukan formalnya), bahkan derajat Perjalanan Ke Tiga-pun, secara umum, adalah sama ilmu dalam hal-hal yang berhubungan dengan makhluk dan rahasia-rahasianya, begitu pula tentang nilai-nilai dan akhlak serta syariatnya. Misalnya mereka sama-sama tahu mengapa pohon itu seperti itu, syariat itu seperti itu, shalat itu seperti itu, manusia itu seperti itu... dan seterusnya. 

10. Perbedaan yang bisa digambarkan bagi mereka-mereka para pesuluk itu, hanyalah di tingkatan Perjalanan Ke Dua, yakni di Asma-asma Tuhan, sebagaimana juga sudah sering saya jelaskan, baik dari sisi jumlah Asma-asmaNya atau Keluasan capaian dari masing-masing Asma-asmaNya itu. 

11. Kalaulah terjadi perbedaan, maka di rahasia makhluk, bukan di Asma-asma Khaliq. Itupun kalau terjadi. Kalau terjadi, maka bisa saja disebabkan oleh takaran ijin yang diberikan olehNya, baik tentang rahasianya atau tentang aksi yang harus diambil. Karena bagi yang sudah selesai Peralanan Pertama, yakni Fanaa’ dalam fanaa’, maka diri seorang pesuluk sudah tidak terlihat lagi. Sementara setelah ia mencapai Perjalanan Ke Tiga, ia kembali dengan Tuhan. Artinya matanya, telah menjadi MataNya, tangannya telah menjadi TanganNya...dst. Karena itulah sejauh mana mata, hati dan ruhnya bisa meliputi makhluk, akan ditentukan oleh IjinNya itu. Akan tetapi perkiraan ini (beda ilmu tentang makhluk), sangat lemah. Karena bagi yang sudah sampai ke Akal-Akhir saja, semua rahasia Barzakh dan Materi sudah ada dalam genggamannya. Apalagi yang sudah sampai ke tingkat Akal-Satu dan Fanaa’ serta sudah melanglangi Asma-asma Tuhan sesuai dengan kapasitas dan ijinNya, lalu sekarang ia kembali ke makhluk denganNya, maka rasanya sudah tidak ada lagi yang tidak diketahui oleh pesuluk yang sudah sampai ke tingkat ke 3 ini. 

12. Dengan semua mukaddimah di atas itu dimana sebenarnya merupakan ringkasan dari catatan-catatan yang telah lalu, seperti di wahdatulwujud, dan ditambah dengan tidak adanya perbedaan nabi dan rasul dilihat dari kepengutusan Tuhannya untuk manusia (karena bedanya di Syi’ah, hanya dari sisi melihat atau tidaknya dalam jaga, malaikat pembawa wahyu kepadanya dimana kalau melihat dalam jaga adalah rasul dan kalau hanya dalam mimpi maka ia adalah nabi) maka peristiwa kedua nabi as di atas itu dapat disimpulkan atau diperkirakan (setidaknya) sebagai berikut: 

a. Nabi Musa as adalah yang mencapai deraja kenabian dan diangkat menjadi nabi/rasul (nabi/rasul formal), sedang nabi Khidhr as adalah hanya mencapai derajat kenabian (nabi natural) akan tetapi tidak diangkat menjadi nabi/rasul (formal). 

b. Semua kata dan perbuatan kedua nabi itu, sudah tidak lagi punya diri mereka sendiri. Jadi, semuanya adalah ucapan dan perbuatanNya. 

c. Ucapan dan perbuatan keduanya yang berbeda itu, disebabkan oleh ijin dan tajalliNya. Artinya, maqam tajalliNya bagi keduanya, tidak sama. Semua itu, demi mengajari manusia (umat) agar dapat mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut. 

d. Ucapan dan perbuatan nabi Musa as itu, adalah bahasa dan amal syari’at (hukum-syari’at), sementara ucapan dan perbuatan nabi Khidr as itu, adalah Hukum-alamiah. Artinya tajalli Tuhan di dua tingkatan. 

e. Beda tajalli itu akan membuat yang fanaa’ yang menjadi alurannya tersebut, terbawa kepada masing-masing sifat dari tajallinya itu. Artinya, kalau tajalli Tuhan pada nabi Musa as itu adalah tajalli kerasulan, yakni hukum-karakter atau aturan hukum-syari’at, maka yang ditajalli-i akan terpengaruh dan terbawa kepadanya. Yakni, sekalipun ia tahu rahasia dibalik suatu peristiwa itu, akan tetapi ucapan dan amalnya akan tetap mewakili tajalliNya kepadanya hukum syariatnya itu. 

Jadi, nabi Musa as. sekalipun tahu terhadap rahasia ucapan dan perbuatan nabi Khidhr as., akan tetapi kekuatan tajalli kerasulan itu bisa menelan tajalli-alam tsb. Karena itulah, maka rasul itu, sebelum menjadi rasul adalah Hamba atau Budak, karena ia telah tidak memiliki apapun dan sekarang ia tidak lebih dari penyalur mauNya saja. 

f. Kedakhsyatan kekuatan masing-masing tajalli Tuhan yang berbeda pada kedua nabi itulah yang menyebabkan perdebatan mereka di peristiwa yang ditanyakan Anda itu, bukan pada perbedaan ilmu dan derajat keduanya (sekalipun mungkin kedua nabi as itu memiliki perbedaan derajat di tingkatan Perjalanan ke dua sebagaimana maklum). 

Wassalam. 

Haidar Dzulfiqar, Bande Husein Kalisatti and 28 others like this. 

Anwar Mashadi: Alhamdulillah... syukran li-Allah.... Tuhan... bimbing aku melalui tajalli terbesarmu saat ini.. Salam alaika ya Aba Shalih... ya Aba Shalih tolong haturkan salam terbaikku pada kakekmu, atas kelahiran beliau saw... salam..salam.. salam... 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya. Selamat atas lahirnya junjungan kita nabi besar Muhammad saww senin besok tgl 17 R.Awal. 

Heri Widodo: ALLAH HUMMA SHOLI ALA MUHAMMAD WA ALI MUHAMMAD. Banyak yg tdk paham bahwa dgn Izin NYA Manusia mampu di Maqam Kenabian. 

Sinar Agama: Heri: Cara dan sistem penyempurnaan yang dibentangkanNya adalah ijinNya, karena itu ambillah ijinNya itu, jangan menunggu ijin, karena menunggu ijin tidak diijinkan olehNya. 

Heri Widodo: Mengambil Karunia (Sistem) yang sudah dibentangkan kalau tidak mendapat Biidznillah walau manusia berikhtiar maksimal tidak bisa bisa. 

Roman Picisan: Ustadz bagaimana pendapat ustadz tentang Ahmadiyyah, kalau membaca note ustadz dimana maqam kenabiyan adalah ikhtiyari dan semua orang bisa mencapai maqam tersebut jadi bisa saja Mirza Ghulam Ahmad mencapai maqam kenabian...? Afwan kalau pemahaman saya pada note ustadz salah... Syukron. 

Cut Yuli: Izin share ya Ustad. 

Sinar Agama: Heri, apakah tidak mengambilnya juga ijinNya atau bukan? Kalau ijinNya berarti maksud ijin adalah sistem dan pengikhtiarannya (yang juga bagian sistem karena sistem peneyempurnaan itu juga diiringi dengan sistem pemilihan yang ikhtiari). Dan inilah yang benar dan yang kumaksud. Tapi kalau tidak dengan ijinNya, yakni karena yang ijin itu hanya dalam pengambilannya, maka antum sudah menyekutukanNya. Artinya ada wujud yang berupa perbuatan tidak memilih untuk menyempurna, yang tidak terjadi di bawah kontrol dan ijinNya. Ketahuilah bahwa ijinNya itu tidak terpisah semua kejadian baik dan buruk, karena semua bermuara dariNya. 

Dan ketidakterpisahannya itu sangat natural. Yakni memilih atau tidaknya kita terhadap ijinNya sama persis dengan panas dan membakarnya api terhadap ijinNya. Bedanya api dalam membakar tidak bertanggung jawab, tapi kita dalam memilih tidaknya bertanggung jawab karena salah satu sistemNya adalah ikhtiar itu. 

Dan ikhtiar ini karena akal kita. Lagi pula kalau memilih menyempurnanya itu harus dengan ijin tersendiri dan terpisah, maka sama dengan hidayah. Yakni yang tidak dalam hidayah karena Tuhan tidak memberinya hidayah atau tidak mengijinkannya mengambil hidayah. Kalau ini yang terjadi maka Tuhan harus bertanggung jawab terhadap semua kesesatan dan ketidak penyempurnaan. Wassalam. 

Sinar Agama: Roman: yang menjadi masalah ahmadiah bukan maqam kenabiannya, tapi pangkatnya. Karena itulah ia juga mengaku Isa as sekaligus. 

Sinar Agama: Cut: silahkan saja.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 04 Agustus 2018

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 13)




by Sinar Agama (Notes) on Sunday, February 6, 2011 at 6:54 am


Jajar Genjang: Sinar Agama, Salam. 

1. Dalam penjelasan mengenai perjalanan irfan, dikatakan bahwa makhluk sanggup mencapai tingkat ke akal pertama. Sedangkan akal pertama adalah non materi mutlak, dimana tidak terjadi gerak dan proses. Padahal pencapaian makhluk hingga ke akal pertama merupakan sebuah proses. Hal ini sepertinya berkontradiksi. Mohon penjelasannya! 

2. Apa yang dimaksud dengan alam lahut? Sedang susunan alam besar ada 3, yakni; jabaruut, malakut kemudian nasut. 

3. Apakah pahaman-pahaman yang ada di akal juga dikatakan derajat ”ada” dalam pandangan filsafat, atau setidaknya tajjaliah dari ”ada” dalam pandangan irfan, sebagaimana ’’ada’’ yang ada di balik aksiden dan substansi? 

4. Apakah metode-metode dan persoalan teknis dalam ajaran islam yang dibawa nabi saw dalam ilmu makrifat tidak begitu menyeluruh menyentuh segala aspek alat pengetahuan pada manusia sehingga para filosof muslim mengadopsi metode-metode yang dipakai filosof Yunani? Terima kasih! 

Jajar Genjang: Maaf sebelumnya, tulisannya saya singkat karena ternyata untuk menulis di dinding jumlah hurufnya dibatasi. Terima kasih! 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih atas pertanyaannya: Semoga Tuhan menaufiki kita untuk selalu mencari dan bertahan dalam KepenunjukanNya, amin. 

1a. Salah satu keunggulan manusia yang paling menonjol dari malaikat tertinggi sekalipun adalah karena kenonmaterian ruhnya menyatu (secara alami dan fitrawi) dengan badan dimana badan adalah materi dan materi adalah satu-satunya pembawa potensi. 

b. Keberadaan potensi pada materi adalah kenyataan bisa berubahnya materi dari satu esensi seperti mati, atau biji padi, kepada esensi yang lain seperti manusia atau pohon padi. Atau padi, menjadi pohon padi, pohon padi membuahkan biji-biji padi, biji-biji padi menjadi nasi, nasi menjadi mani, mani menjadi darah, darah menjadi daging, daging menjadi bayi dan bayi menjadi manusia. Manusia ini, badannya, menjadi sakit dan mati, lalu menjadi tanah, tanahnya menjadi pohon padi kalau ditanami padi setelah berabad tahun, lalu pohon padinya menjadi mani kambing (kalau dimakan kambing) lalu maninya, menjadi darah, daging, bayi kambing dan akhirnnya menjadi kambing. Begitu seterusnya dan begitu pula yang terjadi pada benda-benda lainnya. Dengan demikian, maka hanya materi yang bisa menjadi esensi lain dan berubah. 

c. Perubahan yang dimaksud dalam kata ”Proses” adalah perubahan dalam waktu dan jaman, secepat apapun dia. Keterprosesan materi tidak lain, disamping kenyataan perubahan tadi, adalah kemestian terikatnya dengan tempat/volume dan waktu. Jadi yang tidak memiliki volume dan waktu, non materi, sama sekali tidak akan pernah mengalami proses, alias perubahan dalam waktu. 

d. Yang dimaksud dengan ”waktu” dalam filsafat, bukan menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan abad. Karena waktu yang demikian itu adalah waktu yang disepakati bersama dari gerakan yang bisa dilihat secara bersama pula, yakni gerakan matahari. Jadi, waktu dalam filsafat adalah ”Ukuran Gerak”. Ketika semua benda memiliki gerak dalam dirinya (atom- atomnya), atau dalam esensinya, seperti esensi substansi (dari mani ke bayi) atau aksidentnya seperti putih ke merah, kecil ke besar), maka masing-masing benda memiliki waktunya sendiri. Artinya, memiliki ukurannya sendiri, bukan diukur dengan gerak matahari. Jadi, kalau gerak atom-atom dua pohon padi dari sejak ditanamnya biji padinya, ketika keduanya menjadi tinggi setengah meter, maka mereka telah menempuh jarak jangkau yang sama, sekalipun mungkin waktunya berbeda. Misalnya yang satu setelah seminggu mencapai setengah meter itu, dan yang lainnya setelah dua minggu. Nah, ketika jarak tempuh yang dicapai biji padi pertama itu seminggu (setengah meter), dan yang lainnya masih seperempat meter misalnya, maka gerak padi pertama lebih cepat dari padi ke dua. Jadi, sebenarnya gerakan mereka dihitung dengan gerakan proses mereka sendiri, tidak diukur dengan gerakan matahari. 

Disinilah mengapa orang yang belum syi’ah selalu menggaris bawahi imam makshum yang masih berumur lima tahun dsb. Mereka tidak sadar bahwa waktu 5 tahun itu adalah waktu matahari, bukan waktu mereka. Padahal waktu mereka sendiri adalah yang dicontohkan dalam Qur'an surat al-Insan itu. Dimana asbabun nuzul surat tsb adalah berkenaan dengan puasa nadzarnya imam Ali as dan siti Fathimah as. Karena telah sembuhnya imam Hasan as. dan Husain as. Yang kala itu sedang tidak punya uang, hingga berhutang tepung gandum untuk makanan seukuran 3 hari dengan sekali makan. Akan tetapi setiap mau makan setiap harinya selalu ada orang mengetuk pintu dan mengatakan beberapa hari tidak makan dimana mereka menyerahkan roti mereka dan akhirnya mereka tidak makan selama tiga hari puasa. Jadi mereka buka sahurnya hanya dengan air saja. 

Yang ingin saya ceritakan bukan mereka berdua, tapi imam Hasan dan Husain as yang masih kesil dan tidak ikut bernadzar. Tapi ikut puasa dan menyerahkan rotinya dalam tiga hari itu. Padalah umur mereka baru sekitar 3-5 tahunan untuk ukuran gerakan matahari. Bayangin, gerakan taqwa dan proses ruh mereka itu, dalam keadaan masih muda untuk ukuran matahari itu, sangat-sangat tidak bisa diikuti oleh kita-kita sekalipun telah berumur 200 tahun sekalipun. 

Kembali ke masalah kita, maka dengan penjelasan di atas itu, dapat dilahami bahwa setiap benda memiliki waktunya sendiri karena waktu adalah ukuran atau volume gerak dari benda itu sendiri, bukan matahari. 

e. Nah, ketika ruh manusia memiliki 3 atau 4 daya, tambangi, nabati, hewani, dan akli, dan ianya menyatu secara fitrah dengan materi, maka ia memiliki kesempatan untuk menyempurna. Tidak seperti malaikat baik Malakut (Barzakh) atau Jabaruut (Akal) yang seluruh kesempurnaan mereka diberikan dalam sekali jadi dan sekali beri di awal penciptaannya. 

f. Dengan potensi yang ada itulah manusia bisa menyempurna melanglangi kesempurnaan
seperti yang sudah dijelaskan di wahdarulwujud 1-12 dan di tempat-tempat lainnya. Artinya manusia dengan ruhnya yang bisa berproses dalam waktu itu, bisa melanglangi derajat- derajat wujud dari dirinya sendiri ke Barzakh, lalu ke Akal dan ke Asma-asma Allah dalam Perjalanan ke Dua itu. 

g. Dengan penjelasan-penjelasan di atas itu dapat dipahami bahwa perubahan ruh manusia di tingkat Akal-akal yang tidak mengenal proses dan perubahan apapun itu adalah DIMOTORI dengan kepotensiannya karena masih bersama badan, dan perubahan yang terjadi di puncaknya sana adalah perubahan tidak dalam waktu, alias perubahan kun fayakun. Persis nanti ketika manusia di akhirat berubah posisi dari neraka ke surga. Artinya tidak dalam waktu, tapi dalam pewujudan non materi dan di luar jaman/waktu, seperti kalau antum mimpi berjalan, keluar rumah, nikah, makan,..dst dimana semua kejadian di dalam mimpi antum itu tidak terjadi dalam waktu. Begitu pula kalau antum melamun dari satu hal ke hal lainnya dan semacamnya. 

h. Dengan semua penjelasan itu, semoga dapat ditangkap hal mudah yang dibingungkan antum itu, yakni kontradiksi antara Akal non prosesi dengan ruh yang mencapainya yang masih dalam naungan prosesi.

2. Lahut adalah susunan alam pertama, yaitu ILMU ALLAH YANG TIDAK BISA DIMITSALKAN/ DIUMPAMAKAN. 

Yang biasa diterangkan tentang susunan alam adalah 3 alam, karena secara umum memang hanya itu, yaitu, Jabaruut, Malakuut dan Naasuut. Sementara kalau mau disebutkan semuanya adalah Laahuut sebagai susunan teratas dan pertama. Tapi hal ini tidak terlalu dibahas karena hanya berkenaan dengan Tuhan, yaitu sebagai IlmuNya yang mana hanya Dia-lah yang tahu. 

3. Pahaman-pahaman juga termasuk susunan alam keberadaan. Akan tetapi derajatnya tidak terlalu tinggi manakala tidak dilakukan secara konsisten hingga menjadi substansi yang tahu. Artinya ilmu-ilmu itu, karena masih berupa argumentasi, maka ia tidak memiliki kedudukan yang terlalu tinggi. Hal itu karena ketika masih berupa argumentasi, maka ia masih berupa ilmu Gambaran saja, seperti Gambaran tentang manisnya kurma dengan dalil-dalil yang akurat dan gamblang. Akan tetapi manakala sudah berupa ilmu-Hudhuri atau pewujudan, yakni dengan mengamalkannya bertubi-tubi dan tidak pernah berhenti, maka ia akan memiliki derajat yang layak dan sesunggunya dan juga jauh lebih tinggi. Karena ilmu-tashawwurinya atau ilmu-gambarannya itu telah menjadi ilmu-Hudhuri atau pewujudan dalam diri atau substansi diri. Kalau ilmu pertama seperti tahu tentang manisnya kurma, sekarang ini ia telah memakan kurma itu. Jadi, jangan terlalu bangga dengan keluasan ilmu apapun, baik Qur'an, Hadits, agama, akidah, akal, irfan...... dst dari yang dimiliki kita kalau belum diamalkan. Karena semua itu akan sirna manakala ruh kita sudah berpisah dari badan. Karena ilmu gambaran itu masih tergolong ruhani badani, sementara kematian dan akhirat adalah ruhani ruhani, bukan ruhani badani. 

Akan tetapi, ilmu argumentatif itu harus dicari dengan susah payah, karena tanpanya, apapun yang dilakukan manusia akan sia-sai, karena tidak di atas ilmu yang benar. Kata Imam Ja’far as. ”Orang beramal tidak dengan ilmu, seperti musafir yang tidak berjalan di atas jalannya, maka semakin cepat ia berjalan (semakin banyak melakukan taat), maka akan semakin cepat jauh dari tujuannya”. 

Jadi ilmu argumentatif itu harus dicari karena menjadi penentu selamatnya kita dan sampainya pada tujuan. Begitu pula harus disyukuri keberadaannya, karena tanpa pertolongan Tuhan semua itu tidak akan terjadi sekalipun kita telah bersusah payah berusaha menjangkaunya. Karena usaha itu tidak lain hanyalah sebab-potensi atau sebab-pendekat bagi kita untuk mencapai kebenaran dan hakikat, bukan sebab-pemberi, karena satu-satunya pemberi hanya Dia, tapi sudah tentu kita harus berusaha. Btw ilmu inipun adalah ilmu yang merupakan derajat sekalipun tidak terlalu tingi, tapi harus dicari dan disyukuri. 

4a. Agama Tuhan itu mengajarkan hal yang sama, yakni tentang tauhid dan pencapaiannya. Akan tetapi karena peradaban manusia seiring dengan bertambahnya jaman, selalu dalam, proses perubahan peradaban. Karena itulah maka cara pencapaiannya, kadang, satu agama dengan agama lainnya berbeda sekalipun sama-sama dari Tuhan. 

b. Dengan penjelasan itu, maka dapat dimengerti bahwa agama apapun memiliki ruh yang sama. Dan para nabi yang berjumlah 124.000 orang itu adalah mengajarkan agama dan aturan Tuhan sesuai dengan peradaban masing-masing yang, sudah tentu memiliki ruh yang sama. 

c. Karena itulah, karena pernyataan para filosof lama itu sangat argumentatif dan masuk akal serta tidak berubah sampai sekarang, maka para filosof Islam mengatakan bahwa mereka itu mustahil dari golongan orang-orang biasa, artinya, kalau bukan nabi maka pastilah murid nabi, seperti hakim/filosof/bijak seperti Lukman as. 

d. Dengan penjelasan di atas itu, maka jelas bahwa agama Tuhan itu, semakin diturunkan untuk manusia yang semakin beradab, atau setidaknya memiliki potensi untuk beradab dengan adab yang lebih tinggi, maka agamanya pasti labih sempurna. 

e. Begitu pula, ketika agama itu memiliki posisi yang terakhir, seperti agama kita ini, maka ia pasti merupakan agama yang tertinggi dan terlengkap dari agama-agama sebelumnya. 

f. Dan karena agama Islam kita ini adalah agama tertinggi, maka ia akan sesuai dengan peradaban tertinggi sekalipun. Karena itulah maka kecanggihan apapaun yang dicapai manusia dalam teknologi dan semacamnya, masih dalam naungan keperundangan Islam. Artinya, Islam yang sebagai agama pengaturan hidup bagi manusia yang memiliki alat-alat kehidupan tercanggih pun, maka ia tetap dalam ketinggian peradabannya dari sisi mental dan kepengaturan serta kesepernafasan pencapaian insan kamil itu. Dengan bahasa yang lebih ekstrim, Islam tetap mampu mengatur manusia tercanggih sekalipun, karena ia adalah agama yang mengatur kehidupan berakidah dan berakhlak dengan baik hingga bisa mencapai insan kamil. Ia bukan agama yang mengajari membuat alat-alat hidup seperti komputer, pesawat dan semacamnya. 

g. Ketika agama Islam kita ini adalah agama tertinggi, maka pedoman apapun di masa lalu, asal masih sesuai dengan peradaban masa kini, maka ia akan tetap ada dalam ajaran Islam kita sekarang ini. Jadi, ajaran para nabi terdahulu dan bahkan yang paling dahulupun seperti nabi Adam as, akan tetap terpakai dalam ajaran kita ini asalkan masih sesuai dengan syarat sesungguhnya pencapaian insan kamil. 

h. Dengan penjelasan di atas, maka kita tidak usah merasa aneh, kalau ajaran Islam kita ini memiliki kesamaan dengan Yahudi atau Nasrani, karena agama-agama itu adalah agama Tuhan, dan tidak hancur secara keseluruhan, yakni hanya tercampur kebatilan. Jadi, bisa saja ada kesamaan. 

i. Ketika agama-agama terdahulu itu merupakan agama-agama dari Tuhan dan orang-orangnya merupakan nabi-nabi utusan Tuhan, begitu juga murid-murid para nabi itu adalah murid kesayangan dan alim di dalamnya, maka mereka sudah pasti saudara kita, guru kita, contoh kita...dst. Artinya, kita tidak mesti menolak mereka dengan alasan bukan umat Nabi saww. Karena itulah Tuhan banyak mengisahkan mereka dalam Qur'an yang menjelaskan kepada kita bahwa Tuhan menginginkan dari kita untuk meniru mereka, karena Qur'an bukan kitab sejarah. Jadi, hukum dan akhlak yang diajarakan Tuhan kepada kita lewat Qur'an, tidak mesti berupa perintah, anjuran atau larangan, tapi bisa berupa contoh-contoh kehidupan orang- orang terdahulu dari orang-orang yang dicintai Tuhan atau yang dimusuhiNya. 

j. Penjelasan di atas adalah sebuah dukungan bagi kenyataan bahwa Islam ini memiliki ajaran yang paling lengkap dan tinggi. Tapi dari sisi kelengkapan cara pencapaiannya, yakni dari sisi syariatnya. Akan tetapi dari sisi tauhidnya, sudah pasti sama dengan ajaran-ajaran sebelumnya. 

k. Ketika ajaran tauhid kita sama dengan orang-orang terdahulu, lalu mengapa harus mera- sa rendah berguru kepada orang-orang hebat di jaman sebelum Islam? Apakah Islam mengajarkan membumi hanguskan kebenaran? Atau melarang kita belajar kebenaran yang argumentatif dari para nabi atau wali sebelum Islam? Kalau begitu lalu buat apa Tuhan sering menyebut mereka dalam Quran? 

l. Dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pedoman apapun kalau tidak betentangan dengan akal-argumentatif-gamblang, maka ia adalah ajaran Islam, baik Islam Nabi saww atau islam nabi-nabi atau wali-wali sebelumnya. 

m. Memang, Islam adalah agama terhebat, Nabi saww dan para imam as adalah orang terhebat, akan tetapi umat islam bukan umat terhebat. Artinya umat Islam, sebagai manusia yang bercampur antara bodoh dan pandainya, baik dan bejatnya, memilki potensinya sendiri. Artinya, kalau tidak belajar , ya....biar agamanya islam, maka tetap bodoh dan tidak tahu apa-apa. Jadi, keunggulan Islam dari agama terdahulu, tidak menjadi dalil bagi keunggulan umatnya dari umat terdahulu. Karena itulah, maka ketika orang-orang Masehi melihat kepala imam Husain as maka mereka berkata ”Kalau kami yang punya nabi kalian itu, maka jangankan anaknya, bekas kakinyapun akan kami tabarruki” (terjemahan ruh dan maksudnya, bukan matannya). 

Antum lihat, Nabi saww masih baru wafat dan badannya masih hangat, umatnya sudah meninggalkannya sampai 3 hari baru datang untuk menguburkannya. Mereka lebih memilih ribut pemiluan yang tidak diajarkan Islam, ketimbang meminta wasiat dan petunjuk Nabi saww. Bahkan, karena Nabi saww sudah menunjuk khalifahnya dan meminta kertas untuk menuliskannya tapi mereka menentangnya dan mengatakan bahwa Nabi saww telah mengi- gau seperti yang diriwayatkan di Bukhari dan Musalim, maka jelas sahabat-sahabatnya itu paling buruknya shahabat sepanjang sejarah kenabian. Nah, dengan kenyataan ini, maka umat Islam tidak bisa berdalil bahwa ia lebih hebat dari umat sebelumnya dan lebih pandai. 

n. Dari sisi lain, setiap kebenaran, bisa dijangkau dengan dua hal, akal dan Qur'an. Memang jumlah jangkauannya bisa berbeda. Akan tetapi keduanya adalah alat untuk mencapai kebenaran, karenanya dikatakan ilmu. Yakni Qur'an adalah ilmu dan akal juga ilmu. 

o. Dengan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Qur'an adalah Qur'an, artinya, lengkap, tinggi dan paling sempurna. Tapi kita, umat Islam adalah umatnya, bukan Qur'an. Jadi, kalau kita ingin tahu Qur'an, maka harus meningkatkan daya pikir dan daya tangkap kita serta memperbanyak argument. Karena itulah Tuhan dalam Qur'an menyuruh kita merenungi Qur'an, alam, dan Tuhan sendiri. Yakni MERENUNGI, bukan hanya membaca Qur'an dan apalagi MEMBANGGAKAN Qur'an. Memang, bangga boleh dan harus, tapi bukan itu yang meninggikan kita secara sesungguhnya, karena bangga itu baru merupakan langkah awal dalam mengimani Qur'an dan ketinggian serta kelebihannya dari agama lainnya. Dan hakikat ketinggiannya dalam kita, bukan dalam Qur'an, adalah ketika kita memahaminya dengan akal kita dalam kemasan argument yang jelas, kuat dan gamblang. 

p. Ketika Tuhan Qur'an, Nabi saww dan para imam suci as, tidak bisa dipahami penjelasannya dengan baik, lantaran mereka berbahasa sesuai dengan umat yang dihadapinya (beda kalau menghadapi Plato), yakni umat yang kebanyakan kasar dan tidak pandai, maka sudah jelas mereka mengemas ajarannya dalam bentuk bahasa yang bisa dipahami secara gradasi. Karena itulah dalam ilmu Ushulfikih dikatakan bahwa dalam memahami hukum harus merujuk ke peradaban bahasa waktu adanya para makshum, bukan sekarangan. Hal itu supaya dapat kita pahami di waktu sekarangan ini, apa maksud sebenarnya di waktu dulu sesuai dengan maksud pengucapnya, yakni Tuhan, Nabi saww dan para imam makshum as. 

q. Ketika mereka (Tuhan, Qur'an, Nabi saww dan para imam makshum as) mengajar dalam bentuk bahasa yang bergradasi, dan di lain pihak mewajibkan kita menggunakan perenungan akal dan dalil, maka dalam ajaran-ajaran yang berupa makrifat, yakni yang bukan hukum, maka kita harus menggunakan rumus dalil-dalil kebenaran yang gamblang. Dari manapun dalil-dalil itu. Baik ditemukan kita, atau umat terdahulu, seperti benda lebih besar tidak bisa masuk ke dalam benda yang lebih kecil. 

r. Nah, ketika kita melihat, bahwa ilmu-ilmu dari umat terdahulu itu, sebagiannya memiliki rumus-rumus dalil yang akurat dan gamblang (filsafat), maka layak sekali untuk dijadikan alat memahami ajaran mereka itu (Tuhan ...dan seterusnya itu itu). 

s. Karena itulah kalau kita melihat secara seksama, betapa kayanya agama kita dan betapa hebatnya. Bayangin, dulu dikala hanya para filosof yang mengerti bahwa Tuhan hanya mencipta satu makhluk dari satu itu mencipta yang lainnya, dalam Islam dengan mudah dapat dijumpai hadits yang mengatakan bahwa makhluk pertama adalah Akal, Nur Muhammad.... dst, atau ”Aku dan Ali dari pohon yang sama”.....dan seterusnya. 

t. Akan tetapi umat Islam, karena belum terlalu tinggi berpandangan ilmu kala itu, maka sudah tentu yang ditonjolkan dalam ajaran-ajaran makrifat alias selain fikih itu mendasarkannya kepada keimanan dan kepercayaan kepada Rasul saww sekalipun tidak paham dengan sejelas-jelasnya apa yang dimaksudkan Nabi saww. 

u. Karena itulah maka rumus pemikiran, asal jelas dan gamlang, bisa digunakan untuk menguak ajaran-ajaran makrifat itu, bukan fikih. 

v. Jadi, Islam sama sekali tidak perlu kepada ilmu umat terdahulu, tapi untuk memahaminya bisa dikatakan perlu seperti dimakrifat dan bisa dikatakan tidak perlu seperti di fikih. Dan ingat, yang perlu itu adalah kita, bukan Nabi saww dan para imam makshum as, karena mereka sudah mencapai tingkat sesungguhnya Qur'an itu dengan kesucian dari dosa yang mereka ikhtiari-i yang ditempuh dalam waktu yang super cepat dan yang tidak bisa dijangkau oleh yang lainnya. 

w. Ilmu-ilmu terdahulu itu, tidak beda dengan ilmu-ilmu sekarang yang didapat dari umat Islam atau barat yang kafir. Artinya, kalau ia benar dan argumentatif, maka mengapa tidak dijadikan alat memahami Islam? Apakah dulu ada pelajaran matematika, fisika, kedokteran, ushulfikih, kalam, hadits, tafsir, metodologi tafsir...dst? Nah, kalau kita mengatakan bahwa Islam ternoda karena telah memakai ilmu-ilmu orang terdahulu, maka ia juga ternoda karena telah mengambil dari umatnya sendiri atau orang kafir pada masanya. Anda akan berkata bukan, bahwa semua itu adalah alat menjabarkan Islam? Nah, seperti itu pula posisi ilmu-ilmu terdahulu. 

x. Sementara untuk metode pencapaiannya, bukan makrifatnya, baik yang berupa hukum atau akhlak atau irfan, maka jelas Islam memiliki jalan yang lebih lengkap. Karena itulah maka bagi yang pandai menggalinya, akan menjadi setingkat dengan nabi-nabi as terdahulu. Karena itulah maka dalam suluk atau cara pencapaian, Islam memiliki ajaran yang kaya yang bisa dipahami dengan lebih mudah dari ajaran makrifatnya. Karena itulah suluk dalam Islam sangat lengkap dan hebat serta tinggi. 

Wassalam. 

Jajar Genjang: Luar biasa! Terima kasih banyak atas penjelasan yang begitu terperinci. Hal sangat bermanfaat bagi para awamis seperti saya. Semoga anda senantiasa berada dalam kasih & sayang Allah swt. Amin. Terima kasih. 

Sinar Agama: Salam, terimakasih atas doanya, semoga meliputi antum dan semua teman- teman fb lainnya juga, amin. Semoga antum menerbitkannya untuk umum ketika mengirimkan pertanyaan antum hingga bisa dilihat orang lain di beranda umum, bukan hanya saja di beranda saya.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 12)




Seri Tanya Jawab: Sulaim Hilmi dan Ustad Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, January 26, 2011 at 7:26 am


Sulaim Hilmi: Assalamualaikum ustadz, Afwan ana mau bertanya: 

1. Apakah benar nabi Muhammad buta huruf (nabi yang ummi) sampai akhir hayatnya, lantas bila benar penulisan segala simbol huruf terhadap yang dimaksud oleh beliau siapa yang mengontrolnya? 

2. Banyak sekali kitab keilmuan yang ditulis Imam Ali seperti Najhul Balaghah yang menunjukkan beliau tidak buta huruf, siapa guru beliau dalam hal kemampuan sastra yang demikian tinggi. 

Sinar Agama: Salam wr wb: 

1. Rasul saww memang buta huruf karena berbagai alasan dan hikmah. Misalnya kalau pandai menulis orang akan mengira bahwa Qur'an itu adalah tulisannya. Setidaknya akan perlu proses panjang untuk meyakinkan masyarakat dimana akan mengganggu pangajaran aga- ma, itupun kalau pada akhirnya ada yang percaya, dan kalau tidak ada, maka sampai akhir kandungan Qur'an tidak bisa diajarkan. 

2. Nabi tidak perlu baca-tulis, karena Nabi saww mencapai ilmu dengan tanpa melalui baca-tulis. Jadi walau buta huruf bagi kita adalah kekurangan, tapi bagi Nabi saww, bukan kekurangan, karena Nabi saww tahu semua itu dan bahkan hati kita tanpa melalui huruf dan tulisanya. Ibarat Nabi saww tidak punya pancing tapi punya ikan sebanyak alam semesta, jadi bukan aib kalau Nabi saww tidak punya pancing. Begitu pula tentang alat mencari ilmu ini, yakni baca tulis. 

3. Mungkin saja guru baca tulis imam Ali as itu adalah ayahnya Abu Thalib, dan mungkin juga sebelum Islam. 

4. Nabi saww yang nafas-nafasnya adalah wahyu Tuhan lebih sastrais dari imam Ali as. Jadi Rasul saww berada di peringkat pertama dalam segala hal. Akan tetapi karena mungkin supaya orang-orang bisa lebih konsen kepada ajarannya, karena di masa-masa awal turunnya agama, maka Nabi saww lebih cenderung tidak menonjolkan sastranya. 

Sulaim Hilmi: Syukron ustadz atas penjelasannya.. bila diijinkan ana mau teruskan bertanya. Dari hikmah keadaan umminya rasul dan kedalaman ilmu sastra Imam Ali (yang ustadz belum tau pasti siapa ”guru”nya dan siapa yang mengontrol kualitas rangkaian huruf dari naskah Al-Quran pada masa itu), sedangkan saya sempat berasumsi semua pendidikan ilmu yang dimiliki Imam Ali diperoleh dari Nabi SAW, menjadikan saya ingin bertanya lanjut tentang bberapa hal: 

1. Apa makna dan hikmah dari ayat pertama ”Iqra” yang turun kepada nabi, dari sisi makna perintah kepada nabi maupun kita umatnya selanjutnya? 

2. Dengan merujuk penjelasan dari ustadz pada catatan wahdatul wujud maupun tahap-tahapan suluk, menunjukkan bahwa tahap-tahap kesempurnaan diri hingga pada puncak fana mestilah dengan jalur akademis hingga ilmu dan hal-hal yang dialami dalam perjalanan dan strategi diri dalam menuntaskan tiap-tiap tahap mesti terarah sesuai dengan ilmu yang baku oleh para ulama. Lantas ”bagaimana pendapat ustadz tentang pandangan bahwa kita dapat meniru jejak rasul dalam beriktiar mencari dan mencapai Kebenaran sejati (Al-Haq) dengan secara mandiri lewat perilaku berkhalwat (mohon penjelasannya juga mengenai riwayat tentang amalan apa yang dikerjakan Rasul selama berikhtiar khalwat di goa hira tersebut)? ” 

3. Sebagaimana saya menyinggung mengenai hal ”guru” di pertanyaan saya sebelumnya , saya mohon penjelasan ustadz tentang arti penting kedudukan Guru ”Mursyid”, yang di kalangan para pelaku tarekat begitu fundamental dalam upaya mendekatkan diri kita dan memastikan bahwa jalur kita menuju fana kepada Allah bakal terjadi. 

4. Apakah bila kita pengikut Ahlul Bait mengenal dan memberlakukan mengenai ”Mursyid” ini lantas siapakah mursyid kita? Apakah Imam Mahdi as? Allahumma solli ala Muhammad wa aali Muhammad fa ajjil farajahum wa ahlik aduwahum minnal jinni wal innsi minal awwalin wal akhirin... afwan. 

Sinar Agama: Salam, Terima kasih atas perhatian dan pertanyaannya: 

1a. Tentang Iqra’ yang harus diketahui adalah tidak mesti membaca tulisan, akan tetapi bisa dengan diktean. Jadi Nabi saw, di sini membaca melalui diktean Jibril as. 

1b. Membaca, memiliki hikmah yang besar bagi semua manusia yang pada umumnya menuntut ilmunya melalui tulisan. Jadi hikmah Iqra’ bagi kita manusia adalah menyuruh kita belajar, dan belajar dimulai dengan belajar tulis menulis alias membaca. Jadi membaca adalah ilmu pertama untuk mencapai ilmu-ilmu lainnya. 

1c. Sekali lagi, karena Nabi saw mendapat ilmunya dari membaca ayat-ayat nyata Tuhan, baik alam ini atau diri beliau saw dan telah sampai ke tingkat mengetahui semua yang bisa diketahui manusia, maka sudah tentu beliau saww tidak perlu lagi belajar tulis-menulis. Beliau saww tahu bahkan suara hati dan niat kita. Semua perbuatan manusia disajikan padanya dan tidak ada yang tidak diketahuinya ( QS: 9: 105) Allah berfirman: “Dan katakanlah pada mereka, berbuatlah kalian sesuka hati, karena Allah akan melihat perbuatan kalian itu, dan RasulNya dan orang-orang mukmin”. Jadi, Nabi saww, dan para imam sebagai hakikat mukmin, melihat semua perbuatan manusia baik lahirnya atau batinnya. Karena yang di- dan-kan pada Nabi saww dan para mukmin itu adalah ”ke-melihatan” Allah yang sudah tentu melihat lahir dan batinnya. 

1d. Dan jangan lupa bahwa ilmu itu bukan gambaran dan ide, tetapi ide yang disertai dalil dan argument. Dengan demikian salah satu hikmah Iqra’ adalah mencari ilmu dengan dalil, karena kalau tidak dengan dalil, maka akan tergolong dakwaan, sangkaan, perkiraan, keyakinan palsu, dan seterusnya. 

Untuk pertanyaan ke 2: 

2a. Melakukan suluk itu memang benar harus dengan mursyid, karena hal itu lebih aman dan terarah. Setidaknya dengan kitab-kitab yang telah diterangkan oleh para ulama. Karena bagaimana bisa seseorang mengamalkan Qur'an dan Hadits, dan diyakininya sebagai jalan yang benar dan pemahaman yang benar, sementara ia tidak mempelajarinya sesuai dengan cara yang akliah dan umum, yakni menimba dari spesialisnya yakni ulamanya? 

Memang, dalam penjelasan ulama, juga diterangkan akan adanya wali-wali Abdal, yakni yang mencapai ketinggian derajat tanpa melalui mursyid, akan tetapi, hal itu, bukan jalan yang dianjurkan, terutama dengan adanya banyak ulama dan kitab. 

Jadi, abdal itu adalah jalan yang dibuka Tuhan bagi orang yang jauh dari mursyid dan buku- buku yang benar. Jadi karena RahmatNya tidak terbatas, maka bagi yang tulus ikhlash (profesional) berusaha mencapaiNya, maka Dia-pun pasti akan mendatangiNya. Akan tetapi kalau orang malas belajar dan mencari guru dan mursyid, maka orang seperti itu telah menjauhi PetunjukNya, maka bagaimana mungkin orang tersebut akan dikatakan telah berusaha mendatangiNya?. 

2b. Pertanyaan antum di soalan ke dua ini, nafasnya seperti menentang nafas dari pertanyaan antum yang pertama. Karena nafas di pertanyaan pertama adalah menyemangati belajar, sampai-sampai Rasul pun seakan-akan disuruh belajar, tetapi di pertanyaan ke dua nafasnya adalah anti belajar, dan mau melanglang ke Fanaa’ dengan tanpa ilmu dan usaha. 

2c. Berlaku berkhalwati itu, akan banyak ditaburi wahyu-wahyu syethan. Artinya kita tidak akan tahu mana kebenaran sejati dan mana yang bukan. Lalu apa yang akan dijadikan hujjah ketika mendapat ilham dari khalwatnya itu? Sementara Nabi saww telah memberikan petunjukknya, yakni dengan Qur'an dan Hadits, dimana telah terkandung dengan nyata supaya bertanya tentang keduanya itu kepada Ahlulbait as dan para ulama pewaris mereka. 

Nah, berlaku khalwat itu menentang Islam yang diajarkan Nabi saww. Tentu saja khalwat yang bertentangan ini adalah khalwat yang antum tanyakan, yakni lawan dari belajar. Tetapi kalau khalwat yang didasari dengan belajar dulu dan melakukan khalwatnya sesuai dengan pelajaran Islamnya yang argumentatif itu, maka sudah pasti khalwat seperti ini sangat dianjurkan dalam Islam. Nabi besar kita saww telah memberikan jalannya kepada kita semua dengan sabdanya: ”Syariat itu adalah perkataannku (bc:ajaranku), dan Tharikat itu adalah perbuatanku, sedang Hakikat itu adalah capaianku, dan Makrifat (mengerti) itu adalah modalku, dan akal itu adalah dasar agamaku, dan cinta itu adalah dasarku, dan kerinduan itu adalah tumpanganku, dan takut itu adalah temanku, dan ilmu itu adalah senjataku”(Ghuraru al-Hikam: 698; Bihar: 78: 83; Mustadraku al-Wasaail: 11: 173 hadits ke 12672; dan lain-lain). Nah, inilah petunjuk Rasul saww, lalu bisakah kita memilih jalan lain? 

2d. Sedang apa yang dikerjakan Nabi saww di gua Hiraa’, maka harus diketahui bahwa Nabi saww mewarisi agama tauhid dari ayah-ayahnya dari nabi Ibrahim as. Jangan dikira bahwa orang Makkah sudah pada murtad dan musyrik semua. Masih sangat banyak orang Arab yang pada waktu itu masih bertauhid dan beragama dengan agama nabi Ibarahim as. Kalau kita lihat ceramah nikahnya Abu Thablib dalam pernikahan Rasulullah saww dengan siti Khadijah as, maka kita tidak akan mendapatkan sepotong kecilpun darinya kata-kata yang mengandung kemusyrikan. Semua berisi tauhid kepada Allah. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa kenyataan sejarah pada waktu itu memang masih banyak yang beragama dengan agama nabi Ibrahim as. Karena itulah maka shalat Nabi saww sebelum datangnya perintah shalat dari Allah kepada beliau saww, berbeda dengan setalah Isra’ mi’raj itu. Artinya shalat sebelum isra’ mi’raj adalah shalat yang diterima dari ajaran nabi Ibrahim as. Seingat saya, shalatnya tidak pakai rukuk. 

Dengan demikian, maka jelas bahwa Nabi saww ketika berkhalwat di gua Hiro itu, telah memiliki ilmu agama yang diwarisinya dari nabi Ibarahim as. Ini yang pertama, yakni dengan ilmu. Yang ke dua, beliau sudah pasti di gua itu melakukan semuanya sesuai dengan agama Allah yang diturunkan kepada nabi Ibrahim as tersebut. Tentu saja, selain beribadah, beliau saww membaca dan merenungi semua ayat-ayat Tuhan, baik alam atau dirinya sendiri. Dan tentu saja juga merenungi tentang Tuhannya. 

Untuk pertanyaan 3: 

3a. Guru atau mursyid adalah pembimbing yang dapat membimbing murid karena telah terbuka baginya jalan kebenaran. Yakni, karena dia sudah mencapai Fanaa’ maka semua jalan menuju ke Fanaa’ diketahuinya dengan baik secara ilmu Hudhuri, yakni Kehadiran, bukan lagi ilmu teori atau argumentasi. Jadi ilmunya adalah kasyaf kepada hakikat. 

3b. Dengan pertimbangan itulah maka salah satu arif yang saya tanya tentang keharusan mursyid ini beliau mengatakan bahwa harus pakai mursyid. Tentu saja, maksudnya semaksimal mungkin, artinya tanpa udzur tidak boleh berjalan sendiri. Tetapi bagi ayatullah Bahjat ra, beliau ketika ditanya apakah harus pakai mursyid, beliau menjawab: ”Harus pakai ilmu”. Artinya yang paling penting adalah ilmu yang, sudah tentu argumentatif. Mungkin beliau ingin menjelaskan bahwa mencari mursyid yang benar-benar mursyid itu tidak mudah, karena bisa saja palsu. Yakni ianya dengan bisa terbang sudah dianggap mursyid. Seperti ketika beliau ditanya apakah beliau bisa terbang, beliau menjawab ”Seperti lalat?”. Artinya, terbang itu bukan menunjukkan kewalian, karena lalat saja bisa terbang. Kalau terbang itu ukuran kewalian dan kesempurnaan, maka lalat lebih afdhal dari manusia. Nah, terbang saja bukan ukuran kewalian, apalagi karamat yang dibawahnya. 

Kesimpulannya: Mursyid itu sangat diperlukan kalau ada, dan kalau tidak ada maka yang penting ilmu yang argumentatif, dan kalaulah mau memilih mursyid, maka harus yang benar- benar mursyid, dan hal ini tidak ada yang tahu. 

Jadi harus hati-hati dengan mursyid gadungan yang hanya memiliki beberapa kesaktian. Menurut saya yang banyak hijab ini, maka mursyid itu akan dapat kita terima, kalau semua ajarannya sesuai dengan Islam yang argumentatif, bukan Islam yang dakwaan. 

Untuk pertanyaan 4: 

4a. Imam Mahdi as/ajf, adalah mursyidnya para mursyid. Beliau sudah tentu, mursyid yang tdak ada keraguan di dalamnya. Akan tetapi maksud dari mursyid dalam irfan, bukan hanya beliau as, akan tetapi semua yang sudah mencapai Fanaa’ setidaknya. 

4b. Anjuranku, untuk jaman sekarang, terkhusus di Indonesia, maka bagi yang Syi’ah, jangan sesekali bermursyid. Karena bagi ana yang banyak hijab ini, tidak ada mursyid di Indonesia. Memang yang punya karamah ada dan mungkin banyak, terutama karamah yang diminta dari Allah swt. Saya sendiri dulu bisa menjawab pertanyaan ghaib, seperti apa yang ada di rumah antum, apa yang antum makan sebulan yang lalu dan dimana dan dengan siapa, dst. Semua itu aku capai dengan ijin Allah swt dengan berwirid, berpuasa dan Meminta Kepadanya. Jadi hal-hal seperti itu sebenarnya bahkan dibawah karamat, karena diminta. Yang tidak diminta saja, tetapi yang disukai, dikatakan sebagai main-main atau lalat terbang, apalagi yang diminta. Jadi dari pada tertipu, maka jangan memilih siapapun menjadi mursyid. 

Tetapi jelas, jangan menuduh siapapun dengan tuduhan mursyid palsu. Jadi, kita dalam keadaan tidak memfitnah atau bahkan buruk sangka terhadap siapapun (dengan suara hati), tidak memilih siapapun menjadi mursyid. Kalau saya dipercaya, maka saya akan menjawab secara teori apa-apa yang diketahui dan dialami teman-teman dalam suluk ini, tapi sebatas argument yang memang itu yang telah saya pelajari bertahun-tahun. 

Setelah saya menjadi Syi’ah, maka guru yang saya punya, dan amalan-amalan yang saya lakukan untuk mencapai kekuatan dakhsyat itu, dengan rasa malu yang sangat dalam, saya tinggalkan. Karena para urafa di Syi’ah mengatakan bahwa semua itu adalah permainan dan cinta dunia (yang berupa ghaib). 

Sekian. Terima kasih. Al-fatiha-sholawat. Wassalam. 

Adzar Alistany Kadzimi: Tidak bermursyid...? Menyesatkan..... Tidak bermusyahadah.....? Menyedihkan.... 

Marlin Tigor: Salam . .. hehe jadi inget acara dua dunia - dunia lain di tv indo. Berkomunikasi dan berinteraksi dengan dunia gaib, bahkan bisa menarik benda pusaka. Mohon penjelasannya Ust SA. Apa iya itu ? ... Sekaligus penasaran bagaimana mekanisme mahluk gaib itu berinteraksi dengan manusia, misalnya cara setan mempengaruhi kita .. terimakasih. Wasalam. 

Sinar Agama: Martin: Sebagian soalanmu bisa dijawab dengan tulisan di atas, dan yang lainnya, tentang syethan menggoda manusia, bisa dilihat di catatanku pada hari Ghadir, kalau nggak salah berjudul surga nabi Adam as. Kalau saya jawab di sini maka akan jadi satu. 

Haerul Fikri: Afwan ustad. 

Sepertinya saya kurang sependapat dengan pernyataan bahwa nabi Muhammad saw adalah sorang yang buta huruf, tidak bisa baca dan tulis. Nabi Muhammad saw yang merupakan kota ilmu sudah tentu memiliki pengetahuan sempurna di segala bidang. Baca dan tulis juga adalah pengetahuan, jika nabi Muhammad saw tidak memiliki pengetahuan tentang hal ini, berarti ada pengetahuan yang tidak terdapat di kota ilmu namun bertebaran di luar kota ilmu, yakni pengetahuan baca dan tulis. Qs al- ankabut 48; dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya sesuatu kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu, andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar- benar ragulah orang yang mengingkari(mu). Ayat ini menjelaskan bahwa rasulullah saw tidak pernah membaca dan menulis. Tidak membuktikan bahwa beliau tidak bisa baca dan tulis. Apakah tidak pernah sama dengan tidak bisa? Apakah tidak melakukan sesuatu, niscaya tidak punya pengetahuan tentang sesuatu itu? Begitu banyak orang yang tidak menulis tapi berkemampuan menulis, mohon tanggapannya, ustad.. 

Sinar Agama

(1). Mengapa antum hanya menggaris bawahi ”kamu tidak pernah membaca” dan tidak menggaris bawahi juga ”niscaya mereka akan meragukanmu”?. Yang antum lakukan ini, sama dengan ayat yang mengatakan ”jangan dekati shalat” dan memotong sebagiannya yang mengatakan ”dikala mabok”. 

(2). Antum tidak bisa dengan hanya menelaah terjemahannya, dan itupun dipotong-potong, lalu menyimpulkan pahaman. Jadi, harus dikaji semuanya, termasuk gaya bahasa Arabnya, ayat- ayat lainnya, hadits-hadits mengenainya, sejarah mengenainya....dst. Jadi, dengan semua yang ada dalam ayat-ayat, hadits-hadits dan sejarahnya, tidak ada keraguan bahwa Nabi saww, tidak bisa baca tulis. 

(3). Entahlah, apa yang membuat antum harus tetap punya pancing dikala ikan-ikan di laut berlomba menari-nari di meja makan antum? Apa yang membuat antum harus mengatakan bahwa orang yang tidak mengerti ucapan dan tulisan, adalah kurang ilmu, sementara ilmu sudah ada di tangannya, termasuk maksud orang yang mengucap dan menulis? Mengapa harus dikatakan kurang ilmu karena tidak bisa bahasa cina, melayu, bahasa kucing, anjing... dst sementara mengerti apa yang dimaksudkan ucapan cinanya, melayunya, ngeongnya, gonggongannya...dan seterusnya. ? 

(4). Kalau antum diberi ilmu oleh Allah swt yang bisa memahami maksud gongongan anjing, dan antum juga diberi kuasa olehNya untuk bisa menyampaikan maksud antum lewat suara hati, apa antum masih mau belajar fasih mengongong supaya tidak dikata kekurangan ilmu? 

(5). Ilmu itu adalah gambaran yang ada di akal yang sesuai dengan yang di luar akal. Jadi, yang tidak punya gambaran dikatakan tidak tahu, dan yang punya gambaran tapi salah, dikatakan tidak tahu dobel (jahil murakkab). Nah, sekarang Nabi saww punya gambaran dari ucapan dan tulisan semua bahasa yang dilihat dan didengarnya tentang suatu makna/maksud, lalu makna yang ada di gambaran Nabi saww itu cocok dengan yang ada diluar akalnya, yakni yang ada dimaksud hati pengucap dan penulisnya, apakah hal itu tidak dikatakan sebagai ilmu? 

(6). Bahasa itu adalah kesepakatan, baik ucapannya atau tulisannya. Jadi dia bukan ilmu. Keilmuan bahasa itu dilihat dari pemaksudan dari ucapan dan tulisannya. Nah, ketika Nabi saww sudah tahu maksudnya sebelum mengucp dan menulis, maka di sini bukan saja Nabi saww kekuarangan ilmu, tapi bahkan memiliki ilmu yang lebih sempurna bahkan dari pembuat bahasa itu sendiri. 

(7). Allah juga tidak bisa bahasa Arab dan mnulis Arab, atau tidak bisa bahasa Indonesia. Artinya karena Allah itu non materi, maka tidak perlu menggunakan materi. Sementara bahasa, adalah materi, bahkan kesepakatan dari materi. Apakah Anda mau mengatakan bahwa Allah swt kekurangan ilmu dan kesempurnaan?. Kalau Anda punya semuanya yang bisa dibeli dengan uang, tapi Anda tidak punya uang, apakah anda kekuarangan harta? sementara apa saja yang anda inginkan sekejab mata ada di depan anda? miskinkah anda? kekurangankah anda karena uang adalah kesempurnaan dan anda tidak memilikinya? Atau Anda akan dikatakan orang sebagai orang gila (maaf) manakala setiap yang anda ingin tersedia dalam sekejab mata, tapi anda masih berkeringat-keringat mencari uang supaya bisa membeli sesuatu?!!!! 

Wassalam. 

Lukman Hadi: Benar apa adanya, kabarkan.. adakah kisah-kisah orang terdahulu tentang ke fana an kepada Allah? 

Haerul Fikri: Terima kasih, ustad. Saya memahami bahwa nabi muhammad saw memamerkan diri sebagai seorang yang buta huruf karena berbagai alasan untuk memudahkan dakwah agama. Namun, bagi saya yang jahil double luar biasa ini, hal itu tidak meniscayakan bahwa beliau tidak tahu atau tidak memiliki pengetahuan baca dan tulis. Yang saya maksud bukan menjadikan kemampuan baca dan tulis sebagai alat untuk menjaring pengetahuan, tapi tanpa perlu berpayah- payah untuk itu, nabi mengetahui makna di balik setiap simbol dan maksud bahasa. Misalnya ; Nabi tidak perlu belajar penambahan dan pengurangan agar bisa melakukan pembagian dan perkalian. Nabi tidak perlu ke negeri China dan berkawan dengan kucing untuk mengerti bahasa mereka semua. Nabi tidak pernah menimba ilmu dari seorang guru karena seluruh kesempurnaan nabi bersumber dari inayah ilahi yg dgn itu maka terbuka semua hijab di balik makna simbol dan maksud bahasa. Jika begitu, apakah nabi Muhammad tetap dikatakan tidak bisa membaca dan menulis? Apakah Tuhan tidak tahu makna di balik huruf Alif, Lam, Wa, Ha, yang mana Dia menjadikan huruf tersebut sebagai simbol akan kebesaran-Nya, dalam bahasa, arab khususnya. 

Misal, jika rasulullah saw dihadapkan dengan secarik kertas berisikan rangkaian huruf-huruf tertulis, Apakah beliau hanya melihat huruf-huruf tersebut sebagai simbol-simbol acak dan asing tanpa mengetahui makna dibaliknya? Jika tahu, maka tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa nabi Muhammad tidak bisa baca dan tulis. Jika tidak, maka hal itu adalah sebuah aib dan kekurangan. 

Sinar Agama: Saya rasa, saya sudah menjelaskannya dengan jelas, dan belum ada ide lagi untuk membuat antum lebih jelas. Sekedar untuk tambahan, bahwa di perjanjian Hudaibiyyah, ketika para kafir tidak mau dengan julukan Rasulullah untuk Nabi saww dalam tulisan itu, dan mereka meminta Nabi saww menghapusnya dan mencukupkan dengan Muhammad saja, maka ketika Nabi saww menyetujinya, tidak ada yang berani menghapuskan kalimat itu dari kertas kulit perjanjian itu. Lalu Nabi saww berkata pada imam Ali as untuk meletakkan tangannya di tulisan itu dan menghapuskannya sendiri. Sekarang kuserahkan antum pada Tuhanku Yang Maha Lembut dan Kasih. Aku dalam hal ini sepertinya hanya setakad/seukuran ini kemampuanku menjelaskannya. Coba renungi, kalau mau, apa-apa yang kutulis sebelumnya di atas itu, dan cobalah keluar dari patokan berfikirmu. cobalah keluar sebentar saja dan membacanya lagi, semoga dapat antum temukan titiknya, amin. 

Haerul Fikri: Apakah dalam kasus ini, tidak terjadi ikhtilaf di antara para mujtahid besar? Apakah saya harus memaksakan akal budi saya untuk menerima ini.. Entahlah, mungkin saya bersalah bahkan berdosa beranggapan bahwa nabi saw bisa baca tulis. Wallahualam, terima kasih ustad! 

Sinar Agama: Tidak ada khilaf di sunni dan syi’ah tentang buta hurufnya Rasulullah saww sebelum kenabian, tapi setelah kenabian di Syi’ah ada dua pendapat, yang paling sedikit yang mengatakan tahu huruf karena seringnya melihat, bukan belajar. Tapi itupun sedikit sekali. Renungi saja yang kutulis itu baik-baik. Ia terang bagai matahari, asal kamu tidak memaksakan pandanganmu yang tanpa dalil itu. Yakni yang mengatakan bahwa orang tidak bisa baca tulis (seperti tidak bisa mengonggong) itu adalah kekurangan. Wassalam. 

Haerul Fikri: Iya ustad, keamburadulan dalil saya mungkin karena keterbatasan dan kejahilan semata. Saya akan coba memahami hujjah yang dibawakan di atas, kalau saya tetap belum menangkap saya akan balik. Terima kasih! 

Linda Herlinda: Maaf pertanyaannya di luar materi pelajaran... Ustadz ko bisa pinter dan sholih, apa yang sudah kedua orangtua ustadz berikan dan ajarkan kepada ustadz? Afwan wa syukran... 

*Saya sedang belajar menjadi orangtua yang baik buat anak-anak* 

Sinar Agama: Mbak Linda, bisa nggak ditulis di dindingku, dan dikirim untuk semua orang, biar bisa dilihat orang lain dan dalam pembahasan mandiri, saya baru melihat hari ini, karena catatan di atas sudah lama, untung juga saya lihat-lihat barusan. Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 11)






Seri Tanya Jawab : Herry Yuli Sunarno dan Ustad Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, January 26, 2011 at 7:16 am


Herry Yuli Sunarno: Salam ustadz.... afwan ana ingin bertanya lagi, mohon jawaban dari antum.. syukron. Tentang Firman Allah swt: ”Hai, jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan” (Qs. Ar Rahmaan : 33). Apa ya maknanya..? 

Sinar Agama: Bismillaah… 

1. Penjuru langit dan bumi itu, ada dua hal, materi dan non materinya. Materinya yang kita kenal dengan Alam-Materi yang dibatasi dengan langit pertama. Karena Tuhan mengatakan bahwa langit pertama dihiasiNya dengan bintang-bintang. Jadi, galazi-galazi itu berakhir di langit pertama. Memang hal ini tidak pasti seratus persen, tapi Ayatullah Jawadi Omuli hf sangat memungkinkan hal tersebut. 

Tuhan berfirman dalam QS: 37: 6, ”Dan Kami hiasi langit dunia dengan keindahan bintang- gemintang”. Jadi, kemungkinan besar, selama masih materi, yakni dunia, maka ia dibatasi dengan langit pertama. Ini yang materinya atau Alam materinya. 

2. Yang ke duanya adalah non materinya, yakni non materi langit dan bumi. Inipun ada dua: 

a. Non materi yang ruh, yakni ruh setiap materi. Sudah sering saya menulis pembuktian adanya ruh pada setiap materi ini (lihat catatan2 sebelumnya). 

Nah, setiap materi, termasuk bumi dan langit, memiliki wujud nom materi yang me- ngatur dirinya secara langsung seperti manusia, binatang, tumbuhan, bebatuan dan seterusnya. Ruh materi ini disebut juga dengan Malakuuti al-Samaa’i wa al-Ardhi, yakni dimensi non materi dari langit dan bumi yang pernah dilihat nabi Ibrahim as (QS: 6: 75), dimana kita juga diperintahkan untuk melihatnya (QS: 7: 185). 

b. Sedang (b)-nya adalah non materi yang tanpa ikatan materi sama sekali. Inipun ada dua: b-1. Non materi Barzakhi, yaitu non materi yang hanya tidak memiliki beban materi tetapi masih memiliki sifat-sifat lainnya. 

b-2. Non materi Akli atau Akal, yaitu non materi yang sama sekali tidak memiliki sifat- sifat apapun dari materi. 

3. Dalam pembuktian adanya akhluk Akal atau malaikat tinggi ini, dan juga non materi Barzakhi, sudah sering saya katakan bahwa yang Akal adalah sebab bagi Barzakh dan Barzakh bagi materi (pembuktiannya bisa dilihat di catatan-catatan sebelum ini)..Yang ingin saya katakan sekarang, adalah bahwa setiap sebab itu atau sebabnya sebab, maqamnya lebih tinggi dari akibatnya, akan tetapi bukan tempat, tetapi posisi. Artinya tanpa sebab, akibat tidak mungkin terwujud. Nah, ketinggian posisi ini, ada di dalam akibat itu sendiri. Yakni sebab itu, ada di batinnya akibat, dan sebabnya sebab ada di batinnya batin akibat. 

Jadi, untuk mencari sebab, akibat harus mencarinya di dalam dirinya sendiri. Tentu saja, kalau sebabnya itu non materi, maka keberadaan di dalamnya itu bukan berarti tempat dan waktu. 

4. Setelah kita tahu tentang hakikat alam ini, yakni langit dan bumi ini, yakni bahwa memiliki lahir badani dan batin ruhi dan malakuti, kita sekarang akan lebih mengerti apa arti ayat yang ditanyakan itu, yakni peluang yang diberikan Tuhan kepada kita untuk melanglangi langit dan bumi. Begitu juga akan lebih dimengerti akan arti kemampuan di sini. 

5. Untuk obyek pelanglangannya, yakni langit dan buminya, berarti ada dua yang bisa dilanglangi, materi dan non materi. Untuk melanglangi materinya, maka bisa dengan dua cara. Dengan cara materi pula, seperti teknologi, dan bisa dengan non materi yang kita katakan ruh manusia itu. 

Jadi, untuk menelurusi bumi dan langit materi, manusia memiliki dua potensi tersebut, yakni potensi teknologi dan potensi pembersihan ruh dari materi hingga menjadi kuat ke-non materiannya. Yang teknologi jelas bagi setiap orang. Tetapi yang non materi ini mungkin tidak jelas bagi semua. Resepnya, siapa saja yang mengurangi keterhubungannya dengan materi, maka ruhnya akan menjadi semakin kuat dari sebelumnya. Baik jalannya sesuai Islam atau tidak. Kekuatan yang sesuai Islam itu dikatakan mukjizat dan karomah, sedang yang tidak sesuai itu dikatakan sihir dan/permainan. 

Misalnya orang dengan bertapa menjadi kuat ruhnya dan melanglangi bumi/langit materi. Atau dengan wirid-wirid dalam Islam, ia juga bisa melanglangi bumi/langit, tetapi masih tergolong permainan, bukan Islam yang Islam. Karena bagi islam, semua kemampuan batin itu bukan tujuan penciptaan, dia hanya berupa kemampuan, tetapi pencipataan dan kemampuannya ditujukan untuk yang jauh lebih sempurna, yaitu Insan Kamil dimana melewati Akal-Satu sekalipun. Dan perlu dikatahui bahwa kalau manusia sudah mati, maka ia sangat bisa melanglangi bumi/langit materi ini. Jadi, kemampuan petapa atau pemain-main dengan gaya karamat itu, sebenarnya orang yang lengah terhadap tujuan hidupnya dan buru-buru ingin melangnginya sebelum mati. Tetapi para Nabi dan aulia, sekalipun mereka mampu, tetapi kemampuannya itu tidak dicarinya, dan tidak pula digunakannya kecuali dengan perintahNya. 

6. Contoh Islam yang Islamnya, adalah mi’raj Nabi saww. Dimana pelanglangan beliau di tingkat materi ini, jelas dengan kemampuan Ruh beliau saww, dimana telah membawa badannya ke Palestina, ke antariksa dan sampai kepada langit pertama sebagai batasan alam atau dunia ini. Sedang contoh permainan atau juga karomatnya (karena keduanya terlihat sama dan yang membedakan hanya cara mencapai kekuatannya dan niat pelaksanaannya) seperti salah satu wali di jaman nabi Sulaiman as yang mengangkat singgasana ratu Balqis hanya dengan sekedip mata. Atau para penyihir yang terbang kesana kemari seperti Leyak (di Bali), dan lain-lainnya. 

Sedang contoh Islam yang bukan Islam hakikinya, adalah orang-orang yang terbang ke sana kemari, tanpa perintah Tuhan. Yakni yang hanya berdasar pada kemampuan yang didapat dari wirid dan semacam bertapa dan berdasar pada ayat di atas terhadap kehalalannya. Biasanya tentang mereka ini, kita mendengarnya di beberapa wali-wali di Indonesia atau di Yaman. Tetapi sudah tentu tidak ada yang pasti terhadap posisi sebenarnya setiap orang, apakah ia wali yang wali atau wali yang suka main-main. 

7. Sedang untuk dimensi malakuutinya langit dan bumi, maka dengan ruh yang ada pada manusia, manusia memiliki kemampuan untuk itu. Tetapi tetap saja ada dua cara, Islam yang Islam dan ada juga yang bukan islam atau Islam yang tdak hakiki tadi. Tetapi yang bukan islam dan Islam yang tidak hakiki, memiliki keterbatasan penembusan di langit dan bumi yang batin atau non materi ini. 

Contoh untuk Islam yang Islam, adalah para nabi dan imam serta wali yang wali. Mereka bisa menembus Barzakh tempat ilmu Allah tentang liku-liku semua alam materi termasuk ikhtiar dan perbuatan manusia dan akhir yang akan dicapai masing-masing orangnya (dimana dikenal dengan kitab takdir yang, berarti takdir Tuhan terhadap semua alam materi dan takdir Tuhan untuk berikhtiarnya manusia,,serta ilmu-ilmu pasti Tuhan terhadap pilihan, perubahan, pilihan akhir dan akibat atau hasil dari masing-masing ikhtiar manusia). Dan setelah itu, menembusi ’Arsy atau Akal-Akhir yang juga dikenal dengan al-Lauhu al-Mahfuzh dimana terdapat ilmu Tuhan tentang apa saja secara detail dan pasti dan tidak ada perubahan serta kebermacam-macaman yang dalam artian berdimensi. Jadi dia adalah wujud paling bawah dari yang tidak memiliki dimensi nyata, dan dimensinya hanya berupa i’tibar atau ide. Dan setelah itu terus sampai ke Akal-akal yang lainnya sampai ke Akal-satu, dan ke makam Asma-asma Tuhan seperti yang sudah sering saya katakan dan argumentasikan di catatan lainnya terkhusus tentang Wahdatulwujud 1-10. 

Sedang contoh yang tidak Islaminya, seperti Iblis yang karena pengabdiannya sebelum ingkar kepada perintah Tuhan tentang sujud dan kesombongannya di depan Tuhan serta merasa benarnya sampai sekarang dan merasa salahnya-Tuhan sampai sekarang pula, maka karena pengabdiannya yang luar biasa sebelumnya itu, Tuhan tetap memberikan kemampuan menembusi beberapa langit. 

Kalau Tidak salah sampai pada masa nabi Nuh as ia bisa menembusi langit ke lima, dan pada masa nabi Isa as ia hanya bisa menembusi langit ke 3 dan pada masa nabi Muhammad saww, tinggal satu langit saja. Tentu saja jumlah langit itu bisa salah, tetapi turun bertahapnya benar. Dan langit-langit ini sangat mungkin adalah langit batin atau non materi, bukan materi. Karena langit ke tujuh itu adalah sebelum ’Arsy. 

Jadi, langit pertama adalah materi, lalu langit ke dua dan sampai ke tujuh adalah non materi. Keberadaan langit ke dua ke atas ada di Barzakh, dan paling tingginya adalah langit ke tujuh dimana paling tingginya surga mukminin, menjelang ’Arsy dan Surganya Mukqarrabun atau Akal-akhir sampai ke atas. 

8. Sedang untuk alatnya, jelas juga ada dua, materi dan non materi. Yang materi untuk langit bumi materi seperti teknologi. Tentu saja teknologi inipun tetap bertopang pada ruh manusia karena dicapai dengan kemampuan akal dalam mengolah materi, dan akal salah satu daya ruh manusia. Sedang alat non materinya adalah ruh manusia dalam menembusi langit dan bumi, apakah materinya yang melalui alat akal dalam mengelolah materi itu atau non materinya langsung dalam membawa badannya ke seantero materi dan non materi langit- bumi. Dan cara pencapaiannya yang Islami adalah dengan syariat dan apa-apa yang telah diterangkan dalam teori seperti Suluk Ilallah yang ada dalam catatan alfakir itu. 

9. Yang perlu diperhatikan di sini, pelanglangan ke alam non materi, yakni ke alam sebab kita, yakni Barzakh dan Akal, yakni ke alam dan wujud di atas kita, karena bukan tempat dan waktu, dan karena sebab adalah batin akibat, maka pelanglangannya bukan dari tempat ke tempat, tetapi dari maqam ke maqam. Dan karena itu berarti pelanglangannya itu di dalam diri kita sendiri. Yakni semakin kita mencapai maqam yang tinggi berarti kita telah mencapai maqam yang lebih dalam, dalam batin kita. Jadi, mencarinya di dalam diri sendiri, bukan di luar ruh kita. Itulah mengapa imam Ali as mengatakan ”Apakah kamu kira bahwa kamu adalah sesuatu yang kecil, padahal di dalam dirimu terbentang alam yang lebih luar dari alam ini?” 

10. Sedang Isra’ dan Mi’rajnya Nabi saww, adalah dua-duanya, yakni pelanglangan dari materi ke materi, dari Masjidilharam ke Masjidilaqasha dan dari sana ke langit pertama (katakanlah batas alam materi). Dan dari batas alam materi inilah isra’ mi’raj itu dilakukan dengan ruhani saja, tapi tanpa meninggalkan badannya. Yakni yang naik itu adalah ruhnya saja. Dan ingat bahwa naik yakni menukik ke dalam diri, bukan ke luar sebagaimana maklum. Dalam hal ini, yakni mengapa harus dengan badan dulu sampai ke batas dunia materi, hanya Tuhan yang tahu hikmahnya. Kalau boleh diraba adalah sebagai tambahan pengetahuan kepada Nabi saww, sebagai rahmat buat beliau dan tanda kasih sayangNya, serta hujjah untuk umat manusia, baik umat terdahulu atau super modern sekarang ini. 

Kalau tanpa itu semua, maka isra’ mi’raj cukup dilakukan di rumah, karena yang melanglang itu adalah ruhnya, dan ke dalam diri, bukan ke luar. Karena itulah Nabi saww bersabda ”Shalat itu mi’rajnya mukmin”. Yakni dalam keadaan dia di kamar atau masjid, ruhnya melanglang sampai pada shidratulmuntaha. 

Catatan: Tentang kemampuan syethan melanglangi langit itu, dari sisi jumlah langitnya saya bisa salah, karena sudah tidak ingat lagi secara pasti berapa-berapanya dimasa-masa sebelum nabi Nuh as dan nabi Isa as. Tetapi barusan saya berusaha cari di hadits, baru ketemu bahwasannya sebelum lahirnya nabi Muhammad saww, syethan masih bisa menjangkau langit ke 3. Wassalam, sudah selesai. Silahkan simak dan komentar. Bagi yang tanya tentang energi prana, saya mengharap jelaskan dulu apa maksud energi itu. Karena kalau energi itu adalah energi yang umum, yakni yang materi, maka jelas ianya adalah materi. 

Herry Yuli Sunarno: Luar biasaa... Timbul pertanyaan baru ustadz... Bagaimana caranya kita menemukan alam yang lebih luar dari alam ini yang terdapat dalam diri kita...? 

Sinar Agama: Globalnya, adalah lakukan semua kewajiban dengan benar, tinggalkan semua maksiat, tinggalkan semua makruh, semua itu dengan hati dan raga. Kemudian tinggalkan dengan hati saja, apa-apa yang mubah, yang baik, karomat, ilmu, ibadah, surga, kasyaf, al- lauhu al-mahfuuzh....dst sampai ke Akal-satu. Yakni lakukan semua itu tetapi bukan karena suka, tetapi karena Allah swt semata. Dan jangan melirik semua selainNya. Ini cara Global dari yang Islami (benar). Dan rincinya bisa dipelajari catatan alfakir tentang Suluk Ilallah itu. Tetapi cara tidak Islaminya, maka kurangi keaktifan ruh kita dengan badan kita dan materi lainnya, seperti bertapa...dan seterusnya. 

Maka walau tidak terlalu tinggi, maka akan dapat menguak beberapa diantaranya. Tetapi kemampuan yang tidak Islami ini, bukan kemuliaan, karena nanti kalau kita sudah pada mati maka akan sakti semua dan berkaromah semua. 

Bedanya yang nerakais kesaktiannya menyembur-nyemburkan api, nanah, duri...dst, dan yang surgais mewujudkan kenikmatan-kenikmatan sesuai dengan tingkatannya. Jadi orang mukmin di surga jarinya juga akan mengeluarkan susu kalau dimaui. 

Sekian. Terima kasih. Al-fatiha- sholawat. Wassalam. 

In this note: Sinar Agama, Herry Yuli Sunarno 
Heriyanto Binduni dan 19 orang lainnya menyukai ini. 

Sinar Agama: Salam, belum selesai kok sudah dimuat? Tolong lengkapi tuh. 

Alexander Rofiq Zulkarnain detikcom - Teheran, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad mengingatkan Israel, Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri Tunisia dan Libanon. Hal itu disampaikan Ahmadinejad dalam pidatonya di depan warga Iran di Kota Yazd seperti diberitakan media Iran, Press TV, Kamis (20/1/2011). 

Menurut Ahmadinejad, negara-negara Barat bermaksud mengambil hak-hak warga Tunisia melalui perang psikologis. Kerusuhan massal dan aksi-aksiprotes telah melanda Tunisia dalam satu bulan terakhir. Kerusuhan pecah di Tunisia menyusul aksi pembakaran diri seorang pedagang buah berumur 26 tahun, Muhammad Bouazizi, yang membakar dirinya setelah polisi menyita barang dagangannya. Ahmadinejad menyerukan para politikus Tunisia untuk menerapkan kewaspadaan di tengah intervensi asing dan memperhatikan kebutuhan dan suara rakyatnya. Menurut Ahmadinejad, rakyat Tunisia menginginkan pemerintahan Islam. 

Dalam pidatonya, Ahmadinejad juga mengecam pengadilan PBB yang didukung Barat yang menyelidiki pembunuhan mantan Perdana Menteri Libanon Rafiq Hariri. Ahmadinejad mendesak AS dan sekutu-sekutu Eropanya untuk berhenti ikutcampur di Libanon. Libanon saat ini dalam kebuntuan politik menyusul bubarnya pemerintahan Perdana 

Menteri Saad Hariri yang ditandai dengan mundurunya 11 menteriterkait Hizbullah. Pengunduran diri 11 menteri itu terkaitpertikaian soal Pengadilan Khusus untuk Libanon (STL),yang menyelidiki pembunuhan Hariri pada tahun 2005.Pengadilan yang didukung AS itukabarnya akan memvonis beberapa anggota Hizbullah dalam kasus pembunuhan Hariri. Padahal gerakan perlawanan Libanon tersebut selama ini dengan tegas menolak tuduhan keterlibatan pembunuhan Hariri.20 Januari jam 6:18 · Suka · 3 

Anggelia Sulqani Zahra: Iye. ustad. Maaf..udah dilengkapi... 

Sinar Agama: Anggelia, kamu apa kabar? Sekali hilang tidak tahu kemana juntrungannya. Eh ... sekali datang ... terus nulis...he he he...semoga selalu dalam jalanNya. 

Alexander Rofiq Zulkarnain: Marilah Kita Bersatu Melawan Israel. 

Herry Yuli Sunarno: Waduhhh kok termuat di sini yaaa....pertanyaan lanjutan ana di dinding antum belum terjawab ustadz.. afwan. Shalawat dulu ahh.... 

الّلهمَّ صلِّ على محمَّد وآل محمَّد

Anggelia Sulqani Zahra: ustad..mohon maaf... saya setiap saat mengikuti diskusi-diskusi ustad di fb.. mencoba memahami catatan dan komentar-komentar ustad. Sesuai yang diinginkan setiap goresan ilmu ustad, sungguh dengan keterbatasan logika saya.. (yang hanya belajar dari rekaman-rekaman kajian ustadku, semoga Allah merahmatinya) membutuhkan ketenangan diri dan ketawadhuan untuk menangkap hikmahnya. Mohon maaf ustad... 

Muhammad Romeo Alweni: duuh.. udah pada main politik nih.. emank barusan hilang.. pada belajar di sospol ya? Ana sarankan mendingan kita belajar agama aja,biar gak sesat.. kan rugi, hidup cuma sekali.. dibodohin lagi.. 

Fatimah Zahra: Salam ustad,,, ini yg selalu jadi bahan renungan saya yang tidak ada habis- habisnya mohon jawab ya ustad.. Tentang perbuatan luar biasa manusia.. yaitu ada yang dari Tuhan (seperti mukjizat dan karomah yang diberikan oleh manusai yang suci) dan ada yang BUKAN DARI TUHAN. Saya baca di catatan ustad saya kutip pernyataan : ”contoh Islam yang bukan Islam hakikinya, adalah orang-orang yang terbang ke sana kemari, tanpa perintah Tuhan. Lantas atas perintah atau izin siapa kah perbuatan luar biasa yang di dapatkan manusia itu di dapat? 

Taruhlah seperti di buku yang saya baca, itu di dapatkan dari iblis, orang yang bersekutu dengan iblis.. nah di point ini lah saya yang lemah akal ini kebingungan,, Di mana peran Tuhan pada kejadian ini? Apa Tuhan serta merta tidak ada campur tangan sedikit pun di sini, padahal Tuhan itu sumber kausalitas,, 

Sinar Agama: Ok kalau ghitu, tolong juga diskusi lanjutannya di sana juga dimasukin kalau bisa dan tidak merepotkan. Terimakasih. Aku pamit dulu, tolong mas Herry lihat jawabku, dan untuk Fathimah tulis saja di komentarnya mas Herry itu pertanyaanmu, nanti setelah aku pulang I-Allah akan akan jawab. Mohon doa selalu wassalam ana harus keluar dulu. 

Fatimah Zahra: Baik ustad, saya tunggu jawaban ustad... 

Herry Yuli Sunarno: Iya ustadz... sudah ku lihat dan cukup mumet kepalaku.. panas rasanya baca dan mencoba memahami kalimat antum yang penuh dengan hikmah itu.... 

Komar Komarudin: Afwan PAK HERI perlu mukadimah baca panduan logika muslim dulu karya Ust Hasan Abu amar, terbitan mulla Shadra, sepertinya kayanya antum aga susah dapatkan buku itu, sudah tidak dicetak, kalau mau aku pinjamkan photo copi aja.. yah. Setelah itu tidak berhenti sampai di situ, harus ada pembimbing yang mengarahkan isinya alias ustadnya, baru bisa faham, dan ada ujiannya, saya aja beberapa kali ikut sama ustad dinyatakan lulus test hanya sampai bab EMPAT PERHUBUNGAN. Insyaa Allah saya mau lengkapi sampai selesai ..... 

D-Gooh Teguh: Om Komar: saya dicopykan dunk... sama dikirimken. Saya ganti biaya fotokopi dan jilidnya juga ongkirnya... jika bersedia inbox saya ya... sama nomer rekening dan besarnya... terimakasih... 

Fatimah Zahra: Om teguh saya juga mau dong hehehhee. 

D-Gooh Teguh: Yang punya om Komar gitu kok... kasih info urusan yang kuinboxkan... hadiah bersyarat. Hehehehe... nanti kukopikan dan kirimkan kalau om Komar bisa membantu kopi dan kirimken... 

Sinar Agama: Fatimah Zahra apa syarat hadiahnya?? Hehehehe 

D-Gooh Teguh: Mumetz... 

D-Gooh Teguh: Urusan yang diinbox itu to... sedang mencari jalan tersingkat untuk beroleh kesaktian... 

Fatimah Zahra: Kendalikan diri mu anak muda!!! Tapi jika om masih ingin buru-buru sesuai inbox itu baik. Lah.. In box no hp mu om. Biar aku pandu dari jauh mekanismenya.. 

Ariaan Teoh Abdullah Ariaan: Hurmmm... 

Sinar Agama: Betapa cintaku pada antum semua, saling berbicara seperti pada saudaranya sendiri, semoga Tuhan selalu menjaga kita semua, amin.... 

Sinar Agama: Ya... Anggelia, yang tanya jawab dengan Sulaim Hilmi itu bisa dijadikan Wahdatul- wujud-12, terimakasih, buruan ya... he he he 

Fatimah Zahra: Subhanallah...Kita pun cinta kepada ustad..Yang tak mengharap pamrih berbagi ilmu. 

Sinar Agama: Fathimah: ada dua padeng pamrihku: 

(1) Takut diazab Tuhan karena tidak membagi ilmuNya (tentu kalau ilmu yang benarnya), sebab dalam Qur'an dikatakan bahwa ilmu agama itu harus dibagikan (wajib). 

(2) Ingin mendapat pahalaNya, cintaNya, RidhaNya dan ampunanNya., maka itu sambung doa ma-ki’ (logat Sulawesi). hem.... 

Anggelia Sulqani Zahra: Salam. Terima kasih atas bimbingannya ustad. WW Bgn 12 udah terbit...



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ