Tampilkan postingan dengan label Tawassul. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tawassul. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Agustus 2018

Kedudukan Fantastis Imam, Bag: 5-b (Bahwa imam memegang pemerintahan langit dan bumi)



by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, September 15, 2010 at 8:32 pm

Melanjutkan jawaban terhadap permasalahan yang dibawa Abd Bagis, yaitu poin (d) tentang:

IMAM MEMEGANG PEMERINTAHAN LANGIT DAN BUMI

Jawaban-2-a Untuk Poin (e)

Sebenarnya, setelah melewati jawaban-1 (e), sudah dapat diketahui bahwa para imam/khalifah memegang pemerintahan langit dan bumi, sekalipun mereka tidak punya ikhtiar apapun kecuali hanya sebagai perantara Allah mengatur para malaikat yang mengatur alam ini. Dan sekalipun mereka harus hidup sebagaimana mestinya sebagai seorang manusia yang memiliki taklif. 

Dalam banyak ayat dan riwayat telah mengisyaratkan kepada ketinggian derajat mereka di sisi Allah, tapi banyak muslimin hanya memahaminya sebagai semacam pangkat kesepakatan sosial- politik seperti presiden, bukan sebagaimana pangkat hakiki. Padahal, pangkat yang diberikan Allah kepada hambanya adalah hakiki. Oleh karena itulah mereka menafsir al-Mashir dalam Qur'an selalu sebagai “tempat kembali” (QS:2:126; 2:285), bukan “menjadi”. 

Padahal, makna “menjadi” lebih dekat dengan makna “kembali”. Oleh karenanya makna dari “Wa ilaihi al-Mashiir” adalah “Dan kepada Dia-lah menjadi”. Yakni kepada Allah-lah menjadi, bukan tempat kembali seperti kembalinya manusia ke kota aslinya dimana ia tidak menjadi kota tsb. Tentu saja, karena Allah mengatakan “kepada”-Nya-lah, menjadi, maka tidak akan pernah menjadi Allah, walau bagaimanapun. Karena “menjadi kepadaNya” jauh beda dengan “menjadiNya”. Yang jelas bahwa semua maqam itu bukan diduduki manusia, tapi manusia telah menjadi maqam- maqam tsb. 

Berikut ini saya akan nukilkan ayat-ayat atau riwayat-riwayat yang ada dalam Sunni saja yang melukiskan pangkat-pangkat dan derajat-derajat itu supaya saudara-saudara Sunni tidak meng- klaim bahwa hal seperti itu hanya ada di Syi’ah. Tentu saja penukilan itu hanya sebagian kecil dari yang ada di berbagai bidang dan maqam. Dan insyaaAllah pembahasan (e) ini akan diakhiri dengan bahasan filosofisis di jawaban-3. Nukilan-nukilan naql tsb adalah: 

1. Allah berfirman “Kami tidak mengutusmu kecuali rahmat bagi sekalian alam” (QS: 21:107). Sekalian alam di sini sudah pasti dunia-akhirat dan dari sebelum nabi Adam as sampai hari kiamat dan akhirat. Rahmat di sini sudah tentu bukan hanya seperti hujan, karena hujan juga mendapat rahmat dari Nabi saww. Bukan pula hanya seperti syariat karena sebelum Nabi saww tidak dibimbing beliau secara langsung, dan syariat sebelum beliau berbeda dengan syariat beliau kecuali dalam tauhid dan beberapa ajarannya sekalipun agama mereka juga bagian dari alam ini yang juga mendpt rahmat dari beliau saww. Tentu juga tidak hanya seperti surga karena surga juga mendapat rahmat dari keberadaannya. Begitu seterusnya. Apapun yang kita sebut sebgai rahmat, dia juga mendapat rahmat dari Allah melalui Nabi saww. Sebenarnya, hal itu adalah pengaturannya atas semuanya. Ringkasnya, beliaulah khalifah tertinggi Allah hingga para khalifatullah yang lain juga dalam pengaturannya. 

2. Firman-firman Allah tentang Isra’-Mi’raj Nabi saww dan semua riwayat yang telah memenuhi semua kitab-kitab tafsir dan hadits di Ahlussunnah, yang menerangkan bahwa beliau melewati maqam nabi-nabi Ulu al-‘Azm (Nabi yang dituruni Syari’at, nabi Muhammad saww, Isa as, Musa as, Ibrahim as dan Nuh as) dan ayahnya sendiri Adam as, sampai pada Sidratu al-Muntahaa, sampai tidak mampunya malaikat Jibril as untuk mengantar Nabi saww hingga kalau selangkah kecil saja maju akan terbakar, sampai pada menerima perintah shalat secara langsung dari Allah tanpa perantaraan Jibril as karena sudah tidak bisa ikut, ...dst, semua itu menandakan kelebih tinggian Nabi saww dari semua malaikat dan para nabi sendiri. Dan sekali lagi, ketinggian ini, bukan ketinggian majazi atau pangkat kesepakatan seperti presiden, tapi pangkat hakiki yang diakibatkan oleh perjalanan spiritual/ruhani seorang Muhammad saww. Oleh karenanya ketika Nabi saww menjadi lebih dekatnya makhluk kepada Allah, berarti semua makhluk yang lebih jauh atau di bawahnya berada dalam pengawasan dan pengaturannya, dan dia akan menjadi paling tingginya secara hakiki maqam khalifatullah itu. 

Jadi, semua rahmat yang turun kepada yang dibawahnya akan melalui beliau saww. Inilah makna paling tinggi dan paling dekat dengan Allah. 

3. Dengan penjelasan (2) di atas, maka tidak heran kalau dalam shahih Turmudzi 2:282 dari Abu Hurairah dan yang mirip dengannya di Mustadrak 2:600 dari Ibnu Sariyah, diriwayatkan dari Nabi saww bahwa kenabian nabi Muhammad telah diwajibkan dikala nabi Adam as masih antara ruh dan jasad, atau masih berupa tanah. Atau dalam Kanzu al-‘Ummal 6:108, telah meriwayatkan dari Nabi saww +/-: 

“Aku adalah penghulu semua rasul ketika diutus, mendahului mereka ketika masuk (bc: surga, Allahu A’lam), yang memberi kabar gembira ketika mereka putus asa, imam mereka ketika mereka sujud, lebih dekat dari mereka pada hari perkumpulan, aku berbicara dan Dia (Tuhan) membenarkanku, aku memberi syafaat maka Dia mensyafaatiku, aku meminta maka Dia memberiku”. 

4. Hidayah Rasul saww adalah paling bagusnya hidayah sebagaimana yang diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits seperti Muslim dalam Kitab al-Jum ah, Bab Takhfifi al-Shalat wa al-Jum’ah, dll-nya. Semua ini juga menunjukkan kelebihan Nabi saww dari para khlifatullah yang lain. 

5. Shahih Muslim juga bahkan telah membuat sub judul atau bab dalam shahihnya, Kitab al- Fadhail, dengan judul bab “Tafdhiilu Nabiyyinaa ‘Alaa Jamii’i al-Khalaaiq”, yakni bab “Kelebihan Nabi kita dari semua makhluk” dimana diantara riwayatnya adalah, Nabi saww bersabda +/-: 

“Aku penghulu manusia di akhirat”. 

Ini juga menunjukkan kelebihan Nabi saww dari khalifah-khalifah yang lain dari para nabi dan imam. 

6. Muslim juga, dalam shahihnya, kitab al-Masajid, hadits ke tujuh, meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi saww: “Aku dilebihkan dari semua nabi dengan 6 perkara; Aku diberi Jawaamii’u al-Kalim (semua Kalamullaah), .....”. Ini juga menunjukkan kelebihan beliau saww dari semua nabi as. 

7. Di Mustadrak 2:547 dan yang lainnya, diriwayatkan dari Abu Hurairah dan lainnya, bahwa Nabi saww bersabda +/-: 

”Penghulu para nabi itu ada lima dan aku penghulu dari yang lima”. 

8. Dalam banyak sekali tafsir-tafsir yang mengatakan bahwa salah satu makna dari Kalimat yang diberikan kepada nabi Adam as hingga beliau diampuni Allah swt setelah bertawassul dengan Kalimat itu, adalah kalimat “Muhammad”, hingga ketika nabi Adam as bedoa +/-: 

”Demi Muhammad ampuni aku”, Allah mengampuninya. Lihat tafsir-tafsir: Al-Tsa’labiy, Haqqiy, Al-Lubaab, Al-Qurthubiy, Al-Tsa’alibiy, Al-Alusiy, Ithfisy-‘ibaghiy, Al-samarqandi, Al-duuru al- mantsur, dll. 

9. Pengakuan nabi Adam as bahwa nabi Muhammad saww paling afdhalnya makhluk Allah swt. 

Dalam tafsir al-Durru al-Mantsur diriwayatkan bahwa ketika nabi Adam as berdoa dengan doa tadi (Aku bermohon ampunan padaMu demi Muhammad), Allah berfirman +/-: 

“Siapa Muhammad itu?” 

Nabi Adam as menjawab: 

“Ketika Engkau cipta aku, aku melihat ke langit dan kulihat di ‘Arsy tertulis ‘La ilaha illallah Muhammdan Rasulullah’, maka dari itu aku mengerti bahwa tidak ada makhluk yang lebih afdhal darinya hingga Engkau letakkan namanya bersama NamaMu”. 

10. Nabi Muhammad saww sebagai sebab diciptakannya nabi Adam as (tentu saja dengan segenap keturuannya dan para nabi dan alam ini karena Allah berfirman “Dialah yang mencipta untuk kalian semua yang di bumi ....” QS: 2:29). Dalam tafsir al-Duuru al-Mantsur di atas dalam menjawab nabi Adam as Allah berfirman: 

“Wahai Adam, dia –Muhammad- adalah akhir para nabi dari keturunanmu, andaikan bukan karena dia, maka Aku tidak menciptamu.” 

11. Imam Ali as sebagai diri Rasul saww. Allah berfirman +/-: 

" ... maka katakan pada mereka mari kita ajak anak kami/kamu dan wanita-wanita kami/kamu dan diri kami/kamu lalu kita bermubahalah agar laknat Allah menimpa orang-orang yang bohong”. (QS:3:61). 

Tidak ada mufassir yang tidak tahu bahwa Nabi saww mengajak imam Ali as. Padahal dalam ayat itu dinyatakan “diri kami” yang semua penafsir dan orang yang bisa bahasa Arab mengerti bahwa “diri kami/anfusana” adalah “Diri Pembicara” atau “Mutakallim”. Dengan ini dapat dipastikan bahwa diri imam Ali as adalah diri Rasul saww. Lihat semua tafsir Sunni; Shahih Muslim, kitab Fadhailu al-shahabah, bab Min Fadhaaili ‘Ali; Shahih Turmudzi 2:166; dll). 

12. Dalam Bukhari bab ‘Kaifa Yaktub’ dan dalam bab ‘Umratu al-Qadhaa’; Shahih Turmudzi 2:297; Abu Daud 3:111; Sunan Baihaqi 8:5; Sunan al-Nasai dalam Khoshoisnya 5; Musnad Ahmad 1:98; Turmudzi 2:297; Mustadrak 3:120; dll diriwayatkan bahwa Nabi saww bersabda +/-: 

“Ali dari aku dan aku dari Ali ” atau “ Kamu (Ali) dari aku dan aku dari kamu ”.

Dalam al-Riyaadhu al-Nadhrah 2:164 telah diriwayatkan dari Nabi saww +/-: 

“Aku dan Ali adalah satu cahaya selama 4 ribu tahun sebelum diciptakannya Adam as, dan ketika Allah mencipta Adam as maka cahaya itu dibagi menjadi dua bagian, satu bagian adalah aku dan yang lainnya adalah Ali”. 

Pengarangnya juga mengatakan bahwa hadits ini juga dikeluarkan juga oleh Ahmad bin Hanbal dalam al-Manaaqibnya. Lihat juga Mizaanu al-I’tidaal karya al-Dzahabi 1:235. 

Dalam Majma’ karya al-Haitsami diriwayatkan dari Rasul saww +/-: 

“ ...Ali dari aku dan aku dari dia, dia dicipta dari tanahku ...”. 

Dalam Tarikh Baghdad juga diriwayatkan dari Rasul saww +/-: 

“Aku, Harun, Yahya dan Ali dicipta dari satu tanah”. 

Dan dalam Hilyatu al-Auliyaa’ diriwayatkan dari Rasul saww +/-: 

“Barang siapa yang ingin hidup seperti hidupku, mati seperti matiku dan bertempat tinggal di surga ‘Adn yang ditanam oleh Tuhanku, maka hendaknya ia berwilayah/berimam pada Ali setelahku dan berimam pada penggantinya dan mengikuti para imam setelahku, karena mereka adalah ‘Itrahku, dicipta dari tanahku dan diberi rizki kepahaman dan ilmu....”. 

Rasul saww bersabda +/-: 

“Ya Ali, orang-orang dicipta dari pohon yang beraneka ragam sedang aku dan kamu dari satu pohon yang sama”. (Mustdarak 2:241; Kanzu al-‘Ummal 6: 154). 

Atau sabda beliau saww +/-: 

“Aku adalah Pohonnya, Fathimah cabangnya, Ali benihnya, Hasan dan Husain buahnya, syi’ah- syi’ah kami adalah daunnya. Pangkal pohonnya di surga ‘Adn.” (Mustadrak 3:160; Dzakhairu al-‘Uqba 16). 

13. Nabi saww bersabda bahwa: 

(a) Ali as paling afdhlanya makhluk. (Shahih Turmudzi 2:299; Nasai dalam Khashaaishnya, 5; Usdu al-Ghaabah 4:30; al-Dzakhaair 61; Mustadrak 3:130; Hilyatu al-Auliyaa’ 6:339; Taariikh al-Baghdaadi 3:171; Kanzu al-‘Ummaal 6:406; Dzakhaairu al-‘Uqbaa 61; dll). 

(b) Marah Ali as marah Nabi saww begitu pula sebaliknya . Yang dicintai Ali as dicintai Nabi saww dan Allah swt, begitu pula yang bermusuhan dengannya. (Mustadrak 3:128,130; Tarikh Baghdadi 4:40/13:32; al-Nasai dalam Khashoishnya 28; al-Riyaadhu al-Nadhrah 2:166; Kanzu al-‘Ummaal 6:157; dll). 

(c) Yang mengejek Ali mengejek Allah. (Mustadrak 1:121; Musnad Ahmad 6:323; al-Nasai dalam Khashaaishnya 24; Kanzu al-‘Ummaal 6:405; Dzakhaairu al-‘Uqbaa 66; dll). 

(d) Yang mengganggu Ali as mengganggu Nabi saww. (Mustadrak 3:122; Musnad Ahmad 3:483; Usdu al-Ghobah 4:113; al-Ishabah 4:304 dan berkata bahwa Bukhari juga manukil dalam Tarikhnya; dll). 

(e) Yang menjauh dari Ali as menjauh dari Nabi saww. (Mustadrak 3:123; Mizaanu al- I’tidaal 1:146; Thabari dalam al-Riyaadhu al-Nadhrahnya 2:167; Kanzu al-‘Ummaal 6:156; Thabrani dari Ibnu ‘Umar 156; dll).

(f) Ali as tahu semua ilmu dan hikmah Nabi saww sebagai pintu Hikmah dan Ilmu beliau saww (Shahih Turmudzi 2:299; Mustadrak 3:126; Taariikh Baghdaadi 4:348, 7:172, 11:38,49, 11:204; Kanzu al-‘Ummaal 6:401; Hilyatu al-Auliyaa’ 1:64; Thabari dalam al- Riyaadh al-Nadrahnya 2:200; Usdu al-Ghaabah 4:22; Tahdziibu al-Tahdziib 6:320, 7:427; Faidhu al-Qodiir 3:46; al-Shawaaiq 73; Syawaahidu al-Tanziil karya al-Haskalaani 1:334; Taariikhu al-Khulafaa’ karya al-Suyuuthii 170; al-Miizaan karya al-Dzhabii 1:415; al-Jamii’u al-Shaghiir 1:93; dll, sampai-sampai ada buku tersendiri yang dikarang ulama Sunni bernama al-Maghribi tentang keshahihan hadits ini dalam bukunya “Fathu al-Mulki al- ‘Ali bishehhati Haditsi Babi Madinati al-‘Ilmi Li-‘Ali”; dll). 

14. Nabi Adam as bertawassul dengan imam Ali as dan Ahlulbait yang lain as. Dalam tafsir al- Durru al-Mantsur karya al-Suyuuthi ketika menerangkan ayat “Kemudian Adam mendapat beberapa Kalimat dari Tuhannya, maka (dengannya, penerjemah) Allah menerima taubatnya” (QS: 2:37). 

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasul saww tentang “beberapa kalimat” dari Tuhannya itu hingga ia diterima taubatnya. Rasul saww bersabda: 

“Dia (Adam as) meminta: ‘Demi Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain hendaknya Engkau terima taubatku’, lalu Allah menerima taubatnya.” 

Dan dalam Kanzu al-‘Ummaal 1:234 diriwayatkan dari Nabi saww bahwa Kalimat-kalimat itu adalah: 

“Berkata (Jibril as kepada Adam as): Hendaknya kamu pegangi kalimat-kalmat ini niscaya Allah akan menerima taubatmu dan mengampuni dosamu. Katakanlah: Ya Allah aku memohon padaMu demi Muhammad dan Keluarga (Aali) Muhammad, Maha Suci Engkau, tiada tuhan selain DiriMu, aku telah berbuat kejelekan dan aku telah menganiaya diriku, maka berikanlah taubatMu, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Taubat, ...... Itulah kalimat-kalimat yang diberikan kepada nabi Adam as.” (Lihat juga di: Manaaqib Ali karya al-Maghaazilii al-Syaafi’ii 63; Yanaabi’u al- Mawaddah 97 dan 239; Kanzu al-‘Ummaal 1:234; Muntakhab Kanzu al-‘Ummaal 1:419; dll.) 

16 people like this.

Muhammad Amran: Syukron ustad.. 

Sinar Agama: Maaf signalku/sinyalku lagi kurang bagus. Untuk mas Eby_A: Terimakasih telah mempercayaiku untuk curhat. Saya tidak akan bisa memberi solusi sepenuhnya karena hal itu diperlukan data-data lengkap tentang kebimbangan yang dimaksud. Kalau mslh yang dihadapi itu masalah-masalah keyakinan, maka semua yang berbeda-beda itu diadu argumentasikan dalam akal. Lalu dipilih yang lebih kuat dalilnya. Setelah itu diajukan kepada yang dianggap mampu untuk melihat benar dan kuatnya tsb. 

Dalam masalah keyakinan dan agama, suara yang harus didengar adalah dalilnya, bukan lain- lain dari pada itu. Kalau masalah yang dihadapi itu adalah tentang kehidupan, maka diperjelas dulu dalam diri duduk masalahnya dan seluruh dalilnya. Setelah itu mencari orang yang dianggap tahu dalam masalah itu dan menambah info-info dengan menanyakan bidang-bidang tersebut. Setelah dianggap cukup, maka perbandingkan lagi dalam diri dan bisa diambil keputusan dengan Bismillaah. 

Yang harus diingat, setiap melakukan debat dalam diri, dalam hal apapun, tidak boleh cenderung pada yang disukai. Jadi, diskusinya betul-betul harus seru dan saling menjatuhkan dan tidak boleh ada rasa kasihan. Karena hal tersebut akan lebih mengarahkan kita pada kebenaran, dan cara terdekat pada hidayah. Inilah yang dikatakan ikhlas dalam berfikir itu. Yang terakhir, dan ini disertai beribu maaf, mungkin perlu koreksi akhlak-akhlak kita, dan kalau terdapat dosa, maka harus segera taubat dan menghentikannya. Tapi walau begitu, adu dalil dalam diri harus tetap dilakukan. 

Sinar Agama: Salam juga untuk mas K_K, terimakasih sekali atas doanya, dan terimakasih sekali atas perhatiannya sehingga merasa dekat dengan al-fakir. Saya memang punya teman, namanya qomaruddin, anak UNEM Makassar, apakah antum orang tersebut?

Dian Damayanti: Bib, terimakasih banyak atas tag-tagnya, juga dengan pencerahan-pencerahan- nya yang sangat mendalam, afwan. 

Komar Komarudin: Bukan akhi... anak asli Jambi, tapi kedua orang tua ana asli Bugis Bone tulen, catatan antum tentang bagaimana eksitensi dan peran Imam Mahdi sungguh sangat memberikan cahaya yang begitu terang untuk alfakir, sepertinya antum menguasai betul masalah ini, tidak hanya keluasan ilmu antum dalam memahaminya akan tetapi kedalaman ilmun antum juga miliki, ana teringat dengan guru ana yang pernah memberikan materi ini dalam majlis ta’lim, maupun dari diskusi sehari-hari selama ana pernah bergaul denganya, ini tidak jauh beda dengan cara mengupasnya dan nyaris sama, dan sampai sekarang-pun tulisan beliau saya simpan dengan rapi, bukunya berjudul = IMAM MAHDI MENURUT AHLUSUNNAH WALJAMAAH, Terbitan yayasan Mullah Shadra, Jakarta, cetakan 1 juli tahun 2000, mungkin antum pernah membacannya dan memilikinya sebagai refrensinya.?...........

Sinar Agama: Komar, benar, saya memiliki ratusan jilid buku tentang imam Mahdi as, dan salah satunya buku yang antum sebut itu. Referensi di rumah saya sekitar 90.000 jilid, Syi’ah-Sunnah, tapi yang paling penting adalah ilmu alatnya, bahasa arab, logika, filsafat, irfan, fikih berdalil, ushulfikih, rijal, tafsir ...dst. Kalau ilmu-ilmu alat ini tidak dikuasai, maka buku-buku yang kelas berat akan tinggal pajangan saja. Semoga, beliau dan penguasa-penguasa ilmu berat lainnya, yang dapat menyentuh nafas agamanya, yang mengerti keinginan Tuhannya dengan argumen- gamblang, selalu dijagaNya dan ditingkatkanNya, amin. 

Dan jangan lupa mas K_K juga ikut membantu dengan dukungan (bc:menerima/menolak dengan dalil) dan do’a untuk orang-orang seperti beliau, dan saya juga, sekalipun tidak ada apa-apaku dibanding mereka. Dan kita akan menjadi teman di fb ini dengan segala keikhlasan dan saling diskusi dengan tak kenal ampun dalam ajukan argumen. Semoga tanganku nan kotor ini dapat kiranya disambut dengan baik oleh antum dan teman-teman lainnya di fb ini. 

Sinar Agama: Untuk mas Eby kok nggak ada komentarnya ya...maaf kalau jauh dari mengena. 

Sinar Agama: Dan untuk mbak Dian, you well come, silahkan aja kalau mau komentar, tanya atau mempermasalahkannya untuk diskusi dan mencari ilmu yang dapat dipetahankan dengan argumentasi-gamblang. 

Sinar Agama: Mas Amran, tolong baca catatanku di Anggelia itu dan renungi, nanti baru ditanyain lagi apa-apa yang perlu ditanya atau didebatkan. Antum tinggal masuk di akunku dan cari komentarku terhadapnya Ingat, tak boleh menyerah.

Komar Komarudin: Sukron,, akhi... Atas penerimaan antum, dan ana sepakat disiplin Ilmu yang paling penting adalah ilmu alatnya, bahasa arab, logika, filsafat, irfan, fikih berdalil, ana sedang berikthiar sambil memohon pertolongan Allah SWT memulai belajar pelan-pelan yang saya mampu dengan sisa umur-ku, dan saya bersyukur mendapatkan teman belajar walaupun di dunia maya, mohon doanya.... 

Komar Komarudin: Kalau ada kesempatan, mohon ditag setiap pemikiran yang antum sampai- kan. Mungkin ana bisa menyerap penyampaian antum, dan sekali-sekali alfakir akan coba adu argument dengan antum, mohon dibimbing kalau ada yang salah dalam berdalil ana, sebab kalau ilmu tidak diuji dalam diskusi-diskusi akan sulit dikatakan benar, jangan-jangan selama ini yang kita anggap benar ternyata salah hanya karena ego kita tidak membuka diri, sementara guru yang terbaik adalah cermin dihadapan kita, yaitu cermin yang mempunyai otoritas, kapasitas disiplin keilmuan yang telah diakui kealimannya. 

Komar Komarudin: Jujur akhi... Bulan ini adalah bulan duka buat ana. Karena setelah yang pertama (beliaulah yang berjasa buat diri ana dala memberikan fondasi tentang ilmu-ilmu agama khusunya ahlul bait, doaku untuknya selalu) guru ana pergi memperdalam Ilmunya di Iran untuk menyelesaikan pelajarannya dan sampai saat ini belum kembali dan ana tidak tau sampai kapan selesainya, ditambah lagi guru ana yang kedua penganti beliau selama di Iran, yang selama ini memberikan pencerahan dalam kajian tafsir dan lain-lain, juga akan meninggalkan ana. Beliau rencana akan belajar Di najaf (Irak) karena gurunya sudah lama memanggilnya. Dan bulan ini terkabulkan doanya sehingga dapat memenuhi panggilannya. Kasusnya sama yaitu akan menyelesaikan studinya kalau dalam disiplin ilmu haujah tradisional dinamakan “Bahshul khouert”, kedua-duanya sangat konsen, perhatian dan haus akan Ilmu agama (Ahlul-bait). 

Mereka adalah guru yang sangat ana cintai dan begitu berarti dalam hidup-KU dan ana bersyukur kepada Allah SWT dengan Luthupnya bisa kenal denan mereka dan pernah belajar dengannya sekalipun belajarnya tidak sama sebagaimana mereka belajar di sana. .... Eh..eh Afwan ana kok jadi curhat ama antum, sekali lagi ana berlindung Pada Allah SWT semoga ini tidak dipandang sebagai Riya.. ana yang hina ini, tapi hanya karena semata menyampaikan karunia, nikmat yang Allah SWT berikan yang sudah sepatutnya di syukuri... Amin.

Sinar Agama: Allah berfirman +/-: 

“Beritakanlah nikmat-nikmat yang telah diberikatn padamu”

Saya senang mendengarnya. 

Dan senang mendapat kepercayaan curhat antum yang menyentuh juga hatiku. Semoga kedua guru antum bisa mendapatkan nafas Islam, bukan informasi/ilmu belaka, amin, hingga menghidupkan masyarakat Indonesia, baik menghidupkan jiwa mereka sendiri, keluarga dan masyarakat Indonesia pada umumnya, amin. Silahkan masukkan pertanyaan atau apa saja, kalau ada, ke akun ana, jangan di status ini, supaya lebih terlihat. 

Oh iya, tentang ilmu Islam itu ada 3 hal, alatnya (belajarnya harus dengan guru), referensinya dan ruh/nafasnya.





اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 11 Agustus 2018

Kedudukan Fantastis Imam, Bag: 4 (Bahwa Orang Syi’ah bertawassul kepada imam Mahdi as dengan surat yang diletakkan di kuburan-kuburan keluarga imam Ali as atau di padang sahara, dll)




by Sinar Agama (Notes) on Saturday, September 11, 2010 at 9:54 am


Melanjutkan permasalahan yang dibawa Abd Bagis, yaitu poin (d) tentang:

ORANG SYI’AH BERTAWASSUL KEPADA IMAM MAHDI AS DENGAN SURAT YANG DILETAKKAN DI KUBURAN-KUBURAN KELUARGA IMAM ALI AS ATAU PADANG SAHARA 

Setelah selesai dari pembahasan tentang masalah-masalah poin (a), (b) dan (c), maka sekarang kita akan lanjutkan ke masalah (d), yaitu bahwa orang Syi’ah bertawassul kepada imam Mahdi as dengan surat yang diletakkan di kuburan-kuburan keluarga imam Ali as atau padang sahara.

Jawaban-1 Untuk Poin (d): 


Orang Syi’ah dan Sunni di masa lalu dan sebagian yang sekarang, meyakini bahwa imam Mahdi as sudah lahir tahun 250 H, sebagai putra dari imam ke 11 as. Tapi kita sekarang tidak bisa berkirim surat seperti masih masih ada wakil yang 4 di abad-abad tiga dan empat itu. Jadi kirim suratnya lewat pekuburan-pekuburan keluarga imam Ali as seperti para imam Makshum as dll karena beliau pasti akan menziarahi ayah-ayahnya itu. Atau di padang sahara sebagai tanda keterhimpitan si penawassul hingga bisa lebih diperhatikannya. 


Begitu pula Qur'an 9:105 mengatakan bahwa Allah akan melihat semua perbuatan kita (lahir- batin) dan Rasul dan mukminin (tentu saja imam makshum rajanya para mukmin sejati). Jadi tawassul dengan kata-kata, surat, suara hati, dll tidaklah jadi masalah. 

Sedang untuk dalil umur panjangnya imam Mahdi as ini banyak disebut dalam kitab-kitab akidah. Di sini saya akan menukil beberapa saja, diantaranya: 

1a. Keharusan adanya imam makshum di setiap waktu, karena kalau tidak ada makshum berarti tidak ada shiratu al-mustaqim yang tidak mengandungi kesesatan sedikitpun (wa la al- dhaalliin). Sementara imam itu hanya 12 orang seperti yang diriwayatkan Bukhari-Muslim dll (Bukhari hadits ke: 7222, 7223, dll; Muslim hadits ke: 3393-3398,dll). Jadi imam ke 12 as ini harus bertahan sampai menjelang kiamat tiba. Karena imam 1-11 sudah pada dibunuhi oleh Khawarij, Bani Umayyah dan Bani Abbas.

1b. Dalam riwayat Sunni yang melebihi mutawatir diriwayatkan bahwa yang keluar dari imam/ jamaahnya, atau selangkah saja keluar dari itu dan mati maka dia mati jahiliyyah (Bukhari hadits ke: 7053, 7054, 7143, 6530, 6531, 6610, 6645, 6646, dll). 

Jadi, kalau imam tidak ada atau belum lahir, maka sepanjang 12 abad ini orang-orang muslim yang mati adalah mati jahiliyah (jahil dari imam yang membuat kehilangan Islam hakiki dan arah). Padahal wajib berimam supaya bisa dikatakan jamaah sebagaimana hadits-hadits tadi yang mengatakan kalau keluar dari imam berarti keluar dari jamaah. 

Lagi pula mana ada jamaah tapi tidak ada imamnya? Bisa nggak shalat jamaah tapi tidak ada imam di depannya. Jadi, kalau mau dikatakan “Ahlussunah Waljamaah”, maka hrs ikut sunnatullah dan sunnsatunnabi dalam segalanya termasuk imamah/khilafah ini, baik dari sisi jumlah dan orangnya serta sifatnya yang makshum, maka harus juga punya imam yang makshum. 

Nah, kalau wajib berimam + dengan tidak ada imam = 12 abad mati jahiliyyah = kewajiban Tuhan di atas kemampuan manusia = mustahil Allah lakukan = berarti imam ke 12 as ada dan nyata. 

1c. Ketika dalil-dalil tentang imam 12 itu sudah kuat secara Qur'an, hadits dan akal, maka tidak layak bagi seorang mukmin yang percaya akan Kuasa Allah untuk mempertanyakan tentang umur panjangnya imam Mahdi as. 

1d. Dalam Qur'an ada beberapa contoh umur panjangnya manusia: 

1d-1. Ashhaabu al-Kahfi yang tidurnya saja 309 tahun lebih (QS: 18:25). 

1d-2. Masa kenabian nabi Nuh as sampai ke datangnya badai topan saja sudah 950 tahun, belum lagi masa sebelum dan sesudahnya (QS: 29:14). 

1d-3. Nabi Isa as sendiri yang lahir kira-kira 500 tahun sebelum Nabi saww masih hidup dan akan turun untuk menaati imam Mahdi as ini (Bukhari : 4:205; Muslim: 1:136/244; dll). 

1d-4. Allah swt berfirman tentang nabi Yunus as bahwa kalau bukan karena beliau orang yang suka bertasbih maka sudah diletakkan di perut ikan sampai hari kiamat (QS: 37:143-144). Dari entah berapa ratus atau ribu tahun sebelum Nabi saww dan sampai hari kiamat yang, itupun di dalam perut ikan yang, sudah pasti lebih sulit dari di darat dan berarti ikannya juga umur panjang.

Kesimpulan

1. Imam Mahdi as sudah lahir sejak tahun 250 H. 

2. Kelahiran dan panjang umurnya didukung ayat-ayat, hadits-hadits Sunni dan akal. 

3. Imam Mahdi as rajanya mukminin yang bisa melihat lahir-batin perbuatan manusia sesuai QS: 9:105. 

4. Bertawassul dengan cara komunikasi apapun bisa dilakukan seperti surat dll. Sekian. Tunggu- lah untuk jawaban masalah (e) Bahwa imam memimpin langit-bumi. Tolong doanya. 


Catatan Lanjutan dan Sebelumnya:



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Kamis, 02 Agustus 2018

Hakikat Kesaksian atau Syahadat Kepada Nabi Muhammad saww (disempurnakan di akhirnya)





by Sinar Agama (Notes) on Saturday, December 4, 2010 at 2:15 am


Anwar Mashadi, bertanya kepada Sinar Agama

Assalamu’alaikum. Tak berlebihan jika kemajuan teknologi (seperti FB ini) mengungkap kebenaran ”lihatlah yang dkatakan, bukan siapa yang mengatakan...” Jika benar demikian maka pondasi utama untuk menguukur dinamika info (sistematis atau semrawut) yang diterima, menurut saya, cuma 1, yaitu argumentasi/akal gamblang, ilmu mudah & istilah semakna lain, (seperti kerap dismpaikan). Soal bagaimana selanjutnya, kembali pada masing-masing orang. Dan saya merasa banyak dapat inspirasi dari catatan-catatan & komen-komen Anda pada diskusi-diskusi yang berlalu. Oleh karena saya setuju dan juga yakin seperti itu, maka ingin juga minta Pak Sinar memmberi penjelasan untuk tanya saya sebagai berikut: 

(1) Meski saya masih haus dengan penjelasan-penjelasan lanjutan atau pendalaman tentang topik-topik tauhid, tetatpi saya minta (kali ini) Pak Sinar juga mau uraikn (secara filsafat dan irfan) tentang 

(2) syahadat ke-2: Muhammadar Rasulullah, lalu shalawat, salam pada Nabi saw, assalamu’alaina wa ’ala ibadillahissholihin, dan salam wr.wb. (Bacaan tasyahud akhir dalam fiqih/syariat Islam yang saya yakini. 

(3) Teks Ilahi, wahdini limahtulifa fihi minal haqqi bi-idznika, innaka tahdi man tasya’u ila shirotim mustaqim... 

Sinar Agama: Salam, tolong pertanyaannya diulang lagi dengan penomeran yang jelas. Terimakasih. Pertanyaannya saja, yang pertama tanya apa, ke dua juga begitu dan seterusnya. 

Anwar Mashadi: Salam, 

1. Pak Ustad, minta penjelasan tentang makna dan maksud Muhammadarrasulullah (sebagai sahadat ke-2 dalam tasyahud). 

2. Minta penjelasan tentang makna dan maksud shalawat dalam tasyahud. 

3. Minta uraian tentang makna dan maksud assalamu’alaika ayyuhannabi wr.wb. 

4. Mohon uraian tentang makna dan maksud assalamu’alaina wa ’ala ibadillahish-sholihiin. Dan assalamu’alaikum wr.wb. Terima kasih. 

Sinar Agama: Bismillaah. Salam. Nah, Sekarang baru mantap dan tidak ragu lagi terhadap pertanyaannya. Semoga jawabannya bisa mantap juga, sekalipun saya ragu tentang hal itu. 

1. Kesaksian lengkap kita kepada Nabi saww adalah "Aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hambaNya dan rasulNya" 

a. Kesaksian ini didahului dengan kesaksian terhadap kebudakan beliau saww kepada Allah. Dan hal ini adalah membuat beliau saww lebih menyukainya ketimbang mendahulukan kerasulannya terlebih dahulu. Mungkin, karena beliau ingin selalu tawadhu dihadapan Tuhannya dan segenap makhluk. Begitu pula, ingin mengajarkan kepada kita bahwa nilai terpenting itu adalah kehambaan seseorang. Yakni tanpa kehambaan, maka tidak mungkin seseorang itu mencapai maqam apapun, termasuk kenabian ini. 

b. Karena kenabian itu dicapai dari penghambaan (ketaatan mutlak), mk dapat dipahami bahwa kerasulannya itu dicapai dengan usaha, bukan karena pengangkatan yang semacam dilotre/diundi oleh Tuhan yang namanya keluar dalam undian itu. Atau bukan juga karena dadanya dibedah dan dikeluarkan syetannya sampai dua kali atau beberapa kali seperti di sebagian riwayat saudara kita ahlussunnah. 

c. Bahwa arti sesungguhnya hamba itu adalah ketidak ketidakpemilikan apapun (sekalipun dirinya sendiri) dan kepemilikan maula atau tuannya secara penuh. Jadi bukan hanya taat. Tapi tidak memiliki apapun karena pemiliknya adalah tuannya yang, dalam hal ini adalah Tuhannya. Jadi, Nabi saww itu sudah sampai ke tingkat ketidak merasa pemilikan apapun. 

d. Ketidakpemilikan apapun secara mutlak, adalah ke-fanaa’an mutlak. Jadi, Nabi saww berarti sudah jelas, bahwa sebelum menjadi rasul sudah sampai ke derajat fanaa’ dan fanaa’ dalam fanaa’, yakni ketidak ketidakmerasaan terhadap fanaa’ atau ketiadaannya itu sendiri. Hal ini, jelas menguatkan konsep filsafat dan Irfan. Jadi dalam syahadat tsb tersembunyi pelajaran filsafat dan irfan yang tinggi dan meyakinkan. 

e. Fanaa’ adalah maqam yang dicapai manakala orang sudah sampai ke Akal-Pertama dan tidak merasakan ke-Akalan-Pertamanya itu. Fanaa’ dalam Fanaa’ adalah ke-tidak- merasaan terhadap kefanaa’an atau ketiadaannya itu sendiri. Karena kalau seseorang itu masih merasa Fanaa’, berarti dia masih memiliki diri hingga ”merasa” tiada. Jadi Fanaa’ mutlak adalah ”Ketidak merasaan diri sekalipun dalam ketiadaannya sekalipun”. 

f. Sekali lagi, bahwa dalam syahadatain saja sudah terdapat pelajaran filsafat dan Irfan yang tinggi. Maksud saya bahwa hal seperti ini, yakni ilmu filsafat dan Irfan ini, atau yang biasa dikenal dengan makrifah ini, adalah ilmu yang diajarkan Islam. Namun, karena tidak semua orang memahaminya, maka secara lahiriah cukup dengan penyaksian akan kahambaan dan kerasulan beliau saww, tanpa harus berfikir dalam hubungan keduanya, yakni kehambaan dan kerasulan tersebut. 

g. Tentang tidak dibedahnya dada Rasul saww itu, karena kalau dibedah berarti keham- baannya itu tidak berfungisi sebagai sebab kerasulannya. Hal itu karena apapun ketaatan Nabi saww, baik sebelum atau sesudah kenabian, adalah akibat dari pencucian terhadap hatinya yang dioprasi malaikat Jibril as itu. Artinya ketaatannya karena kesucian hatinya, dan kesucian hatinya karena dicuci Jibril as, serta pencucian Jibril as karena diperintah Allah. Ini semua akan menghasilkan bahwa ketaatan Nabi saww adalah karena dipaksa Allah, bukan karena Ikhtiarnya. 

h. Kalau kebaikan Nabi saww karena paksaan Allah, maka sudah tentu beliau saww tidak layak lagi menjadi Uswatun Hasanatun. Karena yang lain melakukan segala perbuatannya dengan ikhtiarnya sendiri, artinya dengan hati yang kotor dan banyak syetannya, sedang Nabi saww dengan hati yang sudah dibersihkan. Jadi perintah bahwa kita harus mengikuti Nabi saww, adalah perintah yang akan menjadi perintah di atas kemampuan manusia. Karena manusia manapun tidak akan mempu menirunya, karena pencucian tadi. Dan kalau dikatakan bahwa kita diperintah mengikuti sebagiannya, maka kata-kata ini adalah karangan yang tidak ada sumbernya. Karena perintah mengikutinya itu adalah mutlak, bukan ”Ikuti Rasul saww semampu kalian”. 

Dan begitu pula, kalau ternyata ada yang mampu mencontohnya, walau dalam per- buatan kecil saja, maka orang tersebut akan melebihi pahala Nabi saww dalam hal tersebut. Karena si pengikut mengikutinya dengan modal nol dan dada kotor yang banyak syetan, artinya banyak melalui liku-liku jihad besar dan kecil, sementara Nabi saww tinggal lakukan saja. Jadi, mutu dan bobot perbuatannya, pasti lebih berat yang menirunya. Jadi, sudah selayaknya kalau dia yang mesti dicontoh Nabi saww, bukan sebaliknya, na’udzubillahh. 

i. Kalau saya menulis tentang Fanaa’, dan ada pembaca yang ingin tahu seluk beluknya, maka harus merujuk ke tulisanku sebelumnya, yaitu tentang Wahdatul Wujud dari bag 1-6 

j. Jadi maqam penghambaan itu bisa dikatagorikan dua tingkatan: Pertama maqam taat mutlak kepada Allah. Ke dua, melihat dirinya tidak memiliki apapun dan melihatnya semua yang ada pada dirinya adalah milikNya. Baik kepemilikan itu yang defakto, atau yang dalam amalan. Artinya ketaataannya itu hanya dikarenakanNya karena memang tetap milikNya, bukan milikNya yang dipinjamkan ke kita lalu penggunaannya kita niatkan untuk mendapat PahalaNya. Jadi tingkat inilah yang akan mengantar manusia ke maqam Fanaa’ itu. 

2. Tentang shalawat kepada Rasul saww 

a. Shalawatnya berbunyi “Allahumma Shalli ‘Ala Muhammadin wa aali Muhammadin”. 

b. Shalawat itu memiliki, setidaknya dua makna. Pertama memintakan kesejahteraan untuk Rasul saww dan keluarga sucinya dimana shalawat ini adalah shalawat kita dan para malaikat. Ke dua, memberikan kesejahteraan kepada Nabi saww dan keluarganya yang suci dimana shalawat ini adalah shalawat Tuhan. Karena dalam QS: 33: 56 diterangkan bahwa Allah dan para malaikat bershalawat kepada beliau saww, dan memerintahkan kita semua untuk bershalawat kepada beliau saww. 

c. Sebenarnya, permintaan shalawat kita kepada Allah untuk Nabi saww dan Ahlulbaitnya itu, adalah sesuai dengan derajat masing-masing orang. Karena kesejahteraan itu memiliki tingkatan yang terbentang dari kesejahteraan Dunia, Barzakh yang memiliki ribuan tingkatan, dan Akal yang juga memiliki ribuan tingkatan, serta Asma-Asma Allah yang juga memiliki ribuan tingkatan. 

Sebagaimana yang telah diterangkan di Wahdatul Wujud (bab-bab sebelumnya), alam ini memiliki tiga tingkatan global, Materi, Barzakhi (tempat surga-neraka) dan Akli/Aqli. Barzakhi dan Akli/Aqli tentu saja memiliki ribuan tingkatan. Jadi permintaan masing- masing orang, tidak akan melebihi kapasitas dirinya sendiri. Seperti orang yang ingin rejeki yang dipanjatkan dalam do’a pengemis, tukang kebun, pegawai tingkat 1 A, 3 A, bupati, mentri, presiden, konglomerat....dst. Artinya, ketika masing-masing orang berdo’a, maka yang akan tergambar dalam dirinya adalah apa-apa yang ada dalam dirinya. Jadi, kapasitanya itu menentukan isi dan muatan doanya tersebut. 

d. Ketika do’a seseorang tidak akan melebihi kapasitas ilmu dan taatnya (sebagai ukuran hakiki tingkatan manusia), maka sudah tentu semua tingkatan kita akan berada jauh di bawah tingkatan Nabi saww. Kalau demikian halnya, sama dengan memintakan Nabi saww kepada Allah uang satu rupiah sementara Nabi saww memiliki seluruh isi dunia ini. Berarti doa kita itu tidak ngangkat/ngatrol dan tidak akan memadahi. 

e. Mengapa berdo’a itu ditentukan kapasitas seseorang, dan bukan ditentukan bayangan- nya, hingga serendah apapun seseorang itu akan bisa mengkhayal ketinggian yang tertinggi sekalipun? Jawabnya adalah, 

Pertama, karena khayal yang akan dikhayalkan itupun tidak ada. Bagaiamana seseorang bisa mengkhayal kalau belum pernah melihat dan mengkasyafnya? Paling-paling hanya berupa lamunan gelap yang diringkas salam ”setinggi-tingginya”. 

Ke dua, karena do’a dalam kacamata hakikat dan filsafat adalah bukan bacaan do’a. Yakni bukan yang dilontarkan lewat hati dan mulut saja, karena itu, namanya membaca do’a atau berkretek do’a (do’a di hati). Sedang berdo’a, adalah ”Kehendak hati yang disuarakan lewat mulut dan diusahakan pencapaiannya lewat aplikasi dari isi ucapan atau do’anya itu”. Dengan demikian maka dapat dipahami, bahwa do’a masing-masing orang akan sangat ditentukan dengan kadar ilmu dan taatnya. 

f. Karena kita lebih rendah di bawah Rasul saww dan Ahlulbait as, maka do’a kita dan shalawat kita, tidak akan pernah mencapai diri mereka as. Karena tingkatan mereka as sudah di atas surga, di atas al-Lauhu al-Mahfuzh, di atas Akal-Pertama, di Asma-Asma tertinggi Tuhan yang, bahkan para anbiyaa’ dan rasul lainpun as tidak menjangkaunya. 

g. Kalau shalawat kita tidak naik kecuali di tingkatan kita dan tidak akan bisa menyentuh Nabi saww dan Ahlulbait as, maka untuk apa Allah mewajibkan kita shalawat kepada mereka as? Jawabnya bisa dari berbagai segi. 

Pertama, supaya manusia tetap punya hubungan dengan mereka as. Karena hubungan ini, walau hanya hubungan ingatan saja, atau di tinggakatan tajalli yang lebih rendah, akan tetap bermanfaat bagi kita, karena keingatan kita akan membuat semakin mencintai dan meniru mereka as. 

Ke dua, supaya kita tidak putus asa dalam menjangkau maqam tertinggi. Artinya Allah tidak pilih kasih kepada siapapun dan semua yang mencapai maqam tertinggi itu adalah hasil usahanya sendiri. Jadi semua manusia bisa berusaha mencapai maqam mereka as sekalipun. Artinya pintu tetap terbuka, walau Tuhan tahu tidak akan ada orang yang akan melebihi usaha mereka as. Akan tetapi, yang penting, Tuhan menyatakan bahwa maqam-maqam itu terbuka bagi siapapun. 

Ke tiga, supaya kita selalu berusaha mendekati mereka as. Artinya dengan merasa mengantarkan do’a sejahtera, akan membuat kita semakin dekat dengan maqam mereka as. Allamah Thaba Thabai ra mengatakan, ibarat kita berjalan di pinggir kebun bunga milik mereka as, dan karena kita mencari alasan untuk mendekati mereka yang sedang duduk-duduk di tengah kebun bunga mereka itu, maka kita beralasan dengan memberikan bunga kepada mereka as. Akan tetapi bunga yang kita petik dari kebun mereka as sendiri. Jadi, mengantar bunga yang juga miliki mereka kepada mereka, adalah alasan kita mendekati mereka. 

Ke empat, tentu saja kedekatan atau semakin dekatnya derajat kita kepada mereka, akan menaikkan derajat kita sendiri, bukan derajat mereka. Dan derajat ini, sudah pasti derajat hakiki, bukan kesepakatan seperti derajat presiden. Tapi hakiki yang membuat kita yang semakin dekat, benar-benar semakin menguat tingkatan kewujudan kita. 

Ke lima, shalawat kita itu adalah tawassul kita dengan meraka as kepada Allah swt. Jadi dalam do’a kita kepada mereka as itu terdapat bobot hakikat tawassul, bukan do’a, atau setidaknya bukan bobot do’a semata. Yakni supaya kita dilirik oleh mereka as dan disyafaati. Jadi, shalawat kita itu bukan sumbangan kita kepada mereka, tapi sumbangan kita pada diri kita sendiri. 

Ke enam, sebagai penguat dari yang sebelum-sebelumnya, adalah suatu kenyataan bahwa guru akan memiliki seluruh pahala muridnya yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya. Nah, karena mereka as adalah guru kita semua, maka apapun yang kita lakukan, termasuk shalawat ini, maka pahalanya akan mengalir kepada mereka as juga. Dengan demikian, maka anggaplah bahwa shalawat kita berpengaruh kepada mereka as, maka tetap hal itu merupakan pahala mereka as sendiri, bukan sumbangan kita. 

Ke tujuh, mungkin dengan hakikat ke enam ini maka shalawat itu akan mengalir kepada mereka sesuai dengan derajat mereka as sendiri. Artinya karena mereka mengajarkan shalawat kepada kita di tingkatan yang paling rendah sampai kepada tingkatan yang paling tinggi, maka sekalipun kita hanya melaksanakan di tinggkat yang paling rendah, tapi mereka as akan tetap mendapatkan yang paling tinggi tersebut, karena pahalanya disesuaikan dengan derajat mereka as sendiri. 

Ke delapan, kemungkinan ke tujuh itu, bagi alfakir ini sangat kecil, karena pelaksanaan yang dibawah tetap tidak akan mengusik yang di atas. Jadi, kemungkinan besarnya adalah tetap bahwa mereka as, tidak tersumbangi oleh kita dengan shalawat itu, akan tetapi malah kita dan para nabi sebelumnya yang tersumbangi dengan perintah shalawat ini. yakni dengan memgambil barakah dari mereka as. 

Ke sembilan, ketika semua derajat dibawahnya tersumbangi dengan shalawat yang dibawahnya kepada mereka as yang diatanya, maka hal ini cocok sekali dengan QS: 21: 107, bahwa Nabi saww (termasuk Ahlulbait as karena dirinya adalah diri mereka) adalah rahmat bagi segenap alam atau alam-alam. 

h. Ketika shalawat itu diwajibkan ke atas kita untuk mensholawati Nabi saww dan Ahlulbaitnya as, maka sudah tentu terdapat hikmah di idalamnya) Dan beberapa diantaranya sudah dijelaskan di poin sebelumnya. 

g. Oleh karena itu sangat diherankan bagi orang yang bershalawat kepada keluarga Nabi saww, akan tetapi tidak menghormati mereka as dan tidak pula mengikuti mereka as. tp bahkan mengikuti yang memerangii mereka as. 

Peringatan
kalau saya lagi nulis, maka saya tidak bisa melihat tulisan teman-teman yang di sela-sela, karena memang tidak kelihatan, jadi saya akan menulis terus sebelum lelah, dan akan keluar, lalu setelah itu masuk lagi maka akan ketahuan tulisan teman-teman dan baru nanti saya komentari lagi, in syaaAllah. 

3. Tentang salam pada Nabi saww dalam tasyahud shalat kita 

Seyogyanya, dalam shalat, sang pelaku sudah sampai ke tingkat Fanaa’ dalam Fanaa’. Artinya, kalau shalat seseorang itu khusyuk, maka dia tidak akan melihat apapun kecuali Allah. Dunia haram, lewat. Dunia halal, lewat. Kasyaf neraka, lewat. Kasyaf surga, lewat. Kashaf al-Lauhu al-Mahfuzh, lewat. Kasyaf ’Arsy Allah, lewat, Kasyaf Akal-Akal atau Malaikat tertinggi, juga lewat. Kasyaf Akal-Pertama, juga lewat. Jadi yg(yang) tersisa adalah Asma-AsmaNya sesuai dengan derajat kemampuannya menyerapi Asma-Asma tersebut. 

Ketika shalat itu seperti itu, maka sudah pasti pelaku sholatnya sudah mencapai Fanaa’ dan bahkan di atasnya. Mencapai Fanaa’ berarti ia lupa akan segalanya, selain Tuhan. Nah, ketika sudah selesai shalatnya, maka harus turun lagi ke alam materinya, supaya bisa hidup secara sosial sebagaimana mestinya orang hidup. 

Nah, ketika harus turun itulah kita harus berakhlak. Dan akhlaknya sudah tentu tidak mengucap salam kepada Allah, karena Allah adalah Hakikat Salam itu dan tidak terbatas dan tidak perlu dido’akan dengan keselamatan. Jadi, untuk turun ke bumi lagi, harus berpamitan dulu dengan maqam tertinggi setelah Allah. Itulah maqam Nabi saww. Jadi, kita harus mengucap salam dulu kepada beliau saww sebagai tanda ingin pamit turun ke bumi dan kehidupan lagi. 

4. Tentang salam kepada kita-sekalian " 'alaina" dalam shalat 

Setelah kita mengucap salam kepada Rasul saww sebagai maqam tertinggi, maka dalam kelanjutan proses turun ke bumi lagi, maka seorang yang Fanaa’ akan ingat dan menyadari kembali terhadap keberadaan dirinya lagi. Bagitu pula lingkungannya orang-orang yang terbang dalam kesempurnaan itu. Jadi Allah menyuruh kita untuk mengucapkan selamat atau do’a keselamatan kepada diri kita sendiri dan para penerbang yang terbang ke derajat kamal atau kesempurnaan itu. 

5. Tentang salam kepada "kamu sekalian" dalam shalat 

Adalah, setelah kita mengucap salam-akhlak kepada Nabi saww, dan salam-do’a kepada diri kita dan lingkungan kita yang ada di alam dan maqam tinggi itu, yakni di ketinggian ”Sadar” setelah Fanaa’ itu, dimana masih tetap maqam yang tinggi, dan sekarang mau hidup lagi di muka bumi atau materi yang posisinya lebih rendah secara derajat, maka kita mengucap salam kepada alam materi yang akan dimasuki ini. 

Jadi, salam kepada Nabi saww adalah salam-akhlak sebagai salam pamitan, salam kepada diri sendiri dan para penerbang lain di maqam itu adalah salam-do’a sebagai do’a kelanggengan dalam maqam tersebut yang juga berfungsi sebagai penyadar terhadap adanya diri kita dan orang-orang yang ada di tingkat itu, dan salam kepada kamu sekalian adalah salam kepada alam materi semuanya sebagai tanda masuk dimana terhitung akhlak ijin masuk dan doa kepada alam materi semuanya. 

Wassalam, semoga bermamfaat untuk dunia-akhiratku dan segenap pembaca. 

Pertanyaan: Apakah perlu tulisan ini dibuat catatan dan ditag ke antum-antum semua sebagaimana biasa???? 

Anto Cicak: Salam wa Rahmah bagi kita semua...., Melalui kemuliaan Muhammad dan keluarga sucinya, semoga Allah selalu memberikan Rahmat-Nya kepada kita semua...afwan, saya mengikuti pertanyaan dan jawaban ini, sangat mencerahkan ditambah dengan penyabaran yang logis dan menarik. ada baiknya, apa bila dibikin note sendiri ustadz...sehingga memudahkan untuk di share dan disave... wassalam. 

D-Gooh Teguh: Menurut istilah Jawa kerasulan dan sebagainya adalah ”Tumbu Ketemu Tutupe”. Jawaban berkali-kali alangkah baiknya jika disatukan dalam sebuah note. Tetapi sebaiknya tidak dengan sistem ”kiriman ke-x” karena untuk note yang sama sepertinya bisa men-tag sebanyak fren yang ada. Dengan demikian seluruh komen dan pertanyaanpun menyatu hanya di sebuah note dan tidak tersebar. 

Sinar Agama: A-C: ok terimakasih. 

Sinar Agama: Bisa diajari cara mentag ke semua teman? Wahai mas Teguh, maklum ana awam nih bener nih tentang fb, terimakasih. 

Penyempurnaan

Karena derajat ilmu, baik Hushuli atau Hudhuri setiap orang berbeda-beda, begitu pula dalam penghudhuriannya itu berbeda-beda sesuai dengan aplikasi masing-masing, maka sudah tentu kesaksian dan syahadat itu juga bertingkat. Secara global sebagai berikut: 

1. Kesaksian awam, alias kesaksian taqlid. Yakni yang imannya kepada Nabi saww dan apalagi kedudukannya, masih berupa kepengikutan terhadap atau kepada orang lain. Baik orang yang diikutinya itu adalah orang tua, guru atau makshumin as sekalipun. Jadi, orang seperti ini belum memahami dalil-gamblangnya kenabian Nabi saww dan apalagi kedudukannya. 

2. Kesaksian di atas awam. Kesaksian ini sudah disertai argumentasi terhadap kenabian Nabi saww. Tapi ilmunya masih memiliki kesemrawutan dan tidak rapi. Apalagi terhadap kedudukan Nabi saww, mungkin orang seperti ini sama sekali tidak mendengarnya. 

3. Kesaksian sedang. Yaitu yang kesaksiannya sudah disertai dengan dalil. Namun masih berupa dalil yang sopan yang biasanya disertai dengan taqlid. Biasanya orang seperti ini sudah mendengar tentang kedudukan Nabi saww, tapi masih global pula. 

4. Kesaksian Lumayan. Yaitu kesaksian yang sudah dibarengi dengan dalil yang gamblang yang telah mengalahkan keliaran dan ketidaksopanan sebelumnya. Biasanya orang seperti ini mementingkan dalil, dan tidak tunduk terhadap adat dan adab dalam berfikir. Memang, dia beradab dan beradat, yaitu dalil-gamblang. Memang orang seperti ini tidak kurang ajar terhadap orang lain, akan tetapi karena ketidak ketidakterikatannya kepada selain dalil, seperti guru, lingkungan, pengalaman, sejarah....dst, maka dia akan digolongkan oleh umat sebagai orang yang liar dan kurang sopan. 

5. Kesaksian agak tinggi. Yaitu yang dibarengi dengan dalil-dalil akal-gamblang terhadap kena- bian Nabi saww dan juga kedudukannya secara arif (berdalil), yakni maqam irfaninya Rasul saww. Dalam hati gelapku ini, mengatakan, bahwa yang memahami tulisanku ini, maka ia telah mencapai kesaksian yang agak tinggi ini. Ya ...Allah aku berlindung dari keburukanku sendiri kepadaMu yang Maha Melindungi Yang Mau Dilindungi. 

6. Kesaksian tinggi. Yaitu kesaksian yang dibarengi dengan penghudhurian tingkatan-tingkatan sabelumnya, terkhusus tingkatan ke 5 di atas ini. Karena semua tingkatan sebelumnya adalah tingkatan ilmu Hushuli atau kesaksian Hushuli yang berupa Aksidental. Yakni yang bisa pergi kapan saja kondisinya berubah. Nah, ketika kita mati, maka ruh kita akan menjadi non materi dan di non materi sudah tidak ada lagi ilmu-Hushuli itu. Jadi kesaksian itu tidak akan tersisa ketika kita mati nanti. Dan kesaksian yang ke 6 ini akan tersisa. Hal itu karena ianya telah menjadi hudhuri, yakni telah menjadi bagian substansi kita yang baru. Oleh karenanya akan terbawa mati dan ke alam akhirat kelak. 

Memang, karena kita juga menaati Rasul saww dalam kehidupan ini, maka kesaksian-kesaksian itu, dalam tingkatan masing-masingnya itu, akan terpengaruh oleh sejauh mana kita menaati Rasul saww, dan yang tertaati sampai mati itulah yang akan tersisa setelah kita mati nanti. 

Dan karena amalan dan aplikasi itu memiliki milyaran tingkatan dan landasan, baik secara lahir dan batinnya, maka sebanyak itu pula tingkatan kesaksian ini. Jadi, tingkatan itu terbentang dari sejak Materi sampai Barzakhi dan Akli, yakni Nasut, Malakut dan Jabaruut. Dan sekalipun sudah di atas Fanaa’, maka di sana masih terdapat milyaran tingkatan lagi. Yaitu di tingkatan Asma-asma) Allah swt. 

Memang, seorang wali dan nabi, setidaknya harus mencapai tingkatan Akal-Pertama dan iapun harus Fanaa’ di sana. Yakni batas pelanglangan kemakhlukan dalam kemakhlukan memang berakhir di Akal-Pertama itu. Akan tetapi di tingkatan Asma-asma Allah, masih terdapat milyaran tingkatan lagi. Dan tinggakan di sana justru jauh lebih banyak dan beragam dari tingkatan ke-tiga alam tsb. Dan, sudah tentu di sana tidak ada keseragaman dan akhiran dari pelanglangannya. Dan, di sana Kanjeng Nabi saww dan Ahlulbait as, tidak bisa disaingi oleh yang lainnya. 

Ya ...Allah....sudahkah kusebut AsmaMu, sudahkah aku mencintaiMu semata, sudahkah aku menyaksikan NabiMu saww, sudahkan aku berteduh di naungan Ahlulbait NabiMu as, sudahkah...sudahkah....Oh...sudahkah aku di Karbala HusainMu, sudahkan aku mengalir dalam darah HusaiMu yang dikorbankan, sudahkan aku tergorok hingga egoku terkubur bersama egoku,...sudahkah...sudahkah aku.....aku....aku....ya Tuhan.... ya Tuhan.... 

Anwar Mashadi: Syukran.. terima kasih..! 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua dan jempolnya serta komentarnya, semoga kebahagiaan antum semua dapat menghangatkanku di kuburanku kelak. 

D-Gooh Teguh: Wow... melanglang buana kemana-mana alam pikir dan khayalku... jauhnya diri dari yang diurai di atas... liarku masih mendominasiku. Jadi malu.... Semoga bisa menjadi debu di kaki para penapak jalan spiritual sejati yang menemui rasulullah saaw dan ahlulbaitnya as. Tak berani berharap terlalu banyak untuk menjadi sekadar debu di kaki makshumin. Mohon doanya untuk kebaikan akheratku. 

Akalku jauh meninggalkan diriku yang masih bergelut dengan keliaran kehidupan. :-(( 
Btw, bentuk pengiriman berkali-kali is oke saja... matur nuwun atas segala pencerahannya. 

Ksatria Alamaya: Sukron katsir. Allahumma sholli ’ala Muhammad wa ali Muhammad waajjil farojahu. 

Sinar Agama: Sekali lagi salam dan terimakasihku kupersembahkan untuk para teman atau saudara/i, semoga keridhaan dan kebahagiaan antum bisa menjadi selimutku dalam menhadapi dinginnya kuburku kelak. 

Sinar Agama: Untuk Mas Teguh, habisnya antum nggak ngajari-ngajari aku cara mentag untuk teman-teman biasanya minta ditag, katanya bisa ditag kesemua temen, tapi aku tanyakan ke antum, eh malah antum tidak jawab, jadi kukirim seperti biasa. Atau jangan-jangan antum sudah jawab disana tapi sayanya yang belum lihat? Btw, udah juga kelanjur, dan btw kalau memang ada cara mentag ke semua teman, maka terimakasih sekali kalau aku diajari. 

D-Gooh Teguh: Gak papa kok ustadz. Malah jadi baca berkali-kali. Jadi semakin lebih memahami. Saya pernah menulis dan men-tag ke banyak orang bisa. Standar saja. Di bagian tag nulis semua fren yang ingin di-tag. Tetapi no problemo. Malah jadi terundang untuk membaca berulang-ulang. Tulisan ustadz tidak cukup hanya dibaca sekali dua kali. Makin dibaca makin melayang-layang. 

Makin mengasyikkan. Kadang di pembacaan ke-X makin bisa memahami maksudnya. Tentunya dugaan dan pemahaman sesuai kapasitas diri saja yang mungkin salah mungkin benar. 

Sinar Agama: he he he akhirnya jawab juga, tapi aku belum paham, betul nih, karena yang kupahami untuk semua itu adalah tulisannya nongol di publikasi umum, tapi tidak nongol di akun teman-teman yang bisa minta di tag, akhirnya aku jadi malu nih kalau memang masuk ke akun antum secara berulang...wah....kirain tidak masuk ke akun...ghimana nih,,,taubat dan ampun nih kalau ghitu...hem... 

D-Gooh Teguh: [Write A Note] 

Title: 
Body: 
TAGS: ..........(ketik nama frend yang hendak ditags then klik done) Photos: agar lebih menarik diberi gambar yang suai dan tepat. 
Privacy: jika dipandang boleh dibaca seluruh orang (fren maupun bukan dan seterusnya), fren only, dan pilihan lainnya sesuai yang diinginkan. 
[Publish] [Preview] [Save Draft] [DIscard] 
Karena saya sering komen/tanya di status maka muncul di wall saya banyak pula. Tetapi hal ini tidak masalah sedikitpun. Kemarin masalah hanya karena saya lupa mengkomen di pengiriman keberapakah. Jadinya tidak dalam satu note dan tersebar. Padahal seringkali pertanyaan fren lain bisa memperkaya. Sayang jika terlewatkan. 

Sinar Agama: D-G-T: sepertinya yang antum ajarkan itu yang aku lakukan selama ini, btw berarti tag-nya tidak bisa langsung kesemua orang. Dan karena banyak yang minta ditag, maka terjadilah beberapa pengiriman. Oleh karenanya kalau tidak mau pusing, komentar aja yang ada di akun antum, jangan di beranda umum. Tapi bagi ana sih, nggak masalah, hanya antumnya yang bisa pusing-pusing sikit, hem... 

Tapi kalau memang ingin memperkaya dari komentar-komentar yang ada, jadinya ya....terpaksa antum membaca komentar di semua kiriman, masih mending ketimbang ana, yang biasanya habis nulis harus ngedit dulu karena tulisannya berjerawat banyak sekali tanda span, sampai mata ini mendelik-mendelik mencari dan menghapusnya, setelah itu masih harus ngirim lagi beberapa kali ke peminat dan pelanggan. Belum lagi nanti di akhriat kalau keliru yang disebabkan sejarah diri, ego, ngentengin orang lain,...dst, maka tinggal nunggu pentunganNya dan para tentaranya yang bernama malaikat. Jadi, hitung-hitung harus bersabar, kalau memang tidak bisa dicari jalan lain yang lebih mudah...hem...hari ini saja, hanya menangani pertanyaan pribadi, tulisan ini dan komentar di ust M Labib tentang keterikatan Tuhan terhadap hukum kausalitaspun sdh(sudah) memakan hampir 19 jam tanpa istirahat kecuali makan, ke kamar kecil dan shalat. Do’akan semua, do’akan,,,semoga semuanya menuju ke kemanisanNya dan/atau setidaknya ke pengampunanNya, amin. 

Eh ...sekitar 14 jam, bukan 19 jam, afwan 

D-Gooh Teguh: IC... dengan senang hati berpusing-pusing kok. Insyallah manfaat bagi kita semuanya. Dedikasi-nya insyallah akan dilirik oleh makshumin seluruhnya. Berkah untuk kita semuanya baik yang komen maupun yang tidak. MLM Ilmu dan Pahala. 

HenDy Laisa: Terimakasih tagnya..salam..izin share ya... 

Sinar Agama: D-G-T: Terimakasih atas perhatian dan do’anya, semoga Tuhan medengarnya, amin. Karena Tuhan Samii’u al-du’a’, yakni Maha Mendengar Doa, yakni Maha Mengabulkan Doa. 

Sinar Agama: Hendi: salam, silahakan gunakan tulisanku untuk kebaikan apa saja, selain bisnis. 

Sinar Agama: Y-A: ok sama-sama, tolong konfirmasi setiap ada tagku walau hanya jempol, terimakasih. 

Fayroz Chaneman: Salam warahmah ,, Sangat banyak Terimakasih “Sinar Agama” yang sudi menyertakan aku di majlash ini** 

Betapa dahsyatnya “Shalawat” kita sangat berkepentingan Sehingga Rosulullah saw mengingatkan & bersabda; “Doa akan selalu terhalangi Sehingga ia bershalawat Kpd~Ku (Kifayatul Atsar; 39 )** Imam Ali bin Abi Thalib sa berkata; “Semua Do’a akan terhalang sehingga ia berShalawat kepada Muhammad dan Keluarga Muhammad” (Majma ‘Uz Zawaid, 10, 160)** 

Sinar Agama: Salam dan terimaksih untuk semua dan semua jempol serta komentnya. 

Sinar Agama: F-C: semoga kebahagianmu dan teman-teman lainnya dapat menjadi selimutmu di kuburan nanti dari rasa dingin yg mencekam. Banar, betapa bermaknanya shalawat kita dan aplikasi dalam kehidupan kita, kubur dan bahkan akhirat kelak. 

Bin Ali Ali: Syukran katsir ya ustadz............. 

Rizal Alwy: Allahumma sholi ala Muhammad wa ala ali Muhammad, alhamdullilah sukron Ustad. 

Sinar Agama: Bin Ali dan M Rizal, terimakasih atas terimakasih serta senangnya, karena itu yang kuharapkan menjadi temanku di kesepian kuburku besok. 

Malik Al-Asytar: ALHAMDULILLAH SANGAT BERMANPAAT NEH... SUKRON UDEH MAO BERBAGI... ALLAHUMMA SHALLI ALA MUHAMMAD WA AALI MUHAMMAD... 

Sinar Agama: Ahlan al-akh Malik. 

Gunawan Harianto: Yaa Allah...senangnya diriku duhai Guru setelah membaca tulisan antum ini... kesenanganku bercampur rasa haru karena dari beberapa point di atas juga menjadi tanyaku selama ini terjawab sudah... semoga Allah selalu memberikan Rahmatnya kepada Guru... terima kasih atas sedekah guru untuk kami di sini, semoga menjadi amal ibadah guru kepada Tuhan semesta alam... 

Guru... saya pernah mendapatkan pertanyaan seperti ini : ”makna bersaksi adalah melihat/ berjumpa, ibarat dalam ilmu hukum saksi adalah yang mendengar, menyaksikan kejadian / perkara.. jika tidak ada syarat tersebut maka saksi tersebut dikatakan sebagai saksi palsu... lalu kaitannya dengan menyaksikan Ar Rasul saw sendiri padahal kita belum pernah berjumpa beliau secara fisik... lalu bagaimanakah tentang kesaksian kita tersebut?? 

Sudilah kiranya guru memberikan jawaban kepada diri yang pandir ini... Jazakumullah khairan katsiron... 

Dino Aja: Salam wa rahmah ... Ya ustadz sungguh pelajaran yang sangat berharga buat saya yang pemula ini , saya bahagia dan terharu membaca tulisannya ustadz, apalagi di bagian akhir kata-kata antum, sehingga membuat dada ini berdetak keras dan air mataku pun mengalir, saya berharap antum tidak bosan-bosan untuk selalu mentag saya. Allahumma shalli ala Muhammad wa Aali Muhammad wa ajjil farajahum. 

Sinar Agama: Gunawan-H, 

(1) Terimakasih atas komentar dan perhatian serta do’anya, semoga sejuta kali lipat kembali meliputi antum dan para teman yg lainnya, amin. 

(2) Sebenarnya, dalam tulisanku di atas itu sudah tertera secara inplisit dari apa-apa yang antum tanyakan itu. Kesaksian bagi seorang hakim adalah yang melihat dan mendengar dan kalau tidak demikian, maka kesaksiannya menjadi palsu. Ini benar. Mengapa demikian? Karena sang hakim adalah manusia yg tidak mengerti batin seseorang. 

(3) Hal ini jelas beda kalau kesaksian itu di depan Yang Maha Tahu Ghaib. Karena kesaksian di sini bukan untuk memberi informasi kepadaNya bahwa Muhammad saww adalah RasulNya. Akan tetapi justru kita ingin menyatakan kepadaNya bahwa kita telah beriman kepada kerasulan beliau saww. 

(4) Karena kita mau menyatakan keimanan kita terhadap kerasulan beliau saww itulah maka tingkatan pengetahuan yang Hushuli dan tingkatan pencapaian yang Hudhuri, akan sangat mempengaruhi nilai dari kesaksian tersebut. 

(5) Kalau dalam aqidah Syi’ah, sangat jelas bahwa dalam Ushuluddin atau Dasar Agama atau Ke- Imanan, tidak dibolehkan taqlid atau ikut-ikutan. Mengapa demikian? Karena ke-rasul-an itu adalah pangkat yang ghaib yang tidak bisa dilihat mata dan didengar telinga. Yang ke dua, nabi Muhammad saww, bagi umat setelahnya, adalah sesuatu yang juga bisa dikatakan ghaib, yakni tidak bisa dilihat mata dan didengar telinga. 

Nah, ketika beliau saww dan pangkat beliau saww adalah yang tidak bisa dilihat mata kita dan didengar telinga kita, maka sudah jelas untuk mengimani atau mempercayainya, wajib dengan dalil. Seperti mempercayai ada kebakaran di tempat yang jauh yang apinya tidak bisa dilihat mata tapi asapnya bisa terlihat. Jadi perpindahan dari asap ke api atau dari dalil apa saja ke Nabi saww dan pangkatnya, merupakan DALIL dalam peristilahan logika, agama, umum, dan filsafat. Karena DALIIL adalah PERPINDAHAN AKAL DARI SESUATU KE SESUATU YG LAINNYA. 

(6) Dengan demikian maka info dan ilmu yang apa saja yang mengantar kita kepada beliau saww dan pangkatnya itu, maka ia bisa dikatagorikan sebagai dalil kita terhadap keduanya. 

(7) Tingkatan dalil ini, seperti yang sudah dijelaskan di catatan di atas, memiliki milyaran tingkatan. Paling rendahnya adalah info yang biasa kita kenal dengan (taqlid itu. Yakni dari info ke Nabi saww dan pangkatnya. Ini yang terendah. Jadi kalau secara umum, orang hanya mendengar info ini dari turun temurun, dan mempercayainya, maka dia sudah bisa dikatakan orang beriman dan kesaksiannya tidak dusta sama sekali. Karena ia sudah berdalil. Yakni dengan info yang turun temurun tentang Nabi saww dan pangkat kenabiannya termasuk kebaikan akhlak dan mukjizatnya ditambah lagi dengan kepercayaannya kepada orang tua dan guru yg secara umum tidak mungkin menipunya (walau juga tentu bisa salah). 

(8) Dari tingkatan paling rendah itu, yakni yang sekedar berdalilkan info turun temurun yang secara umum tidak mungkin tipuan terhadap kenabian Nabi saww dan keberadaannya, maka mulailah makrifat tentang beliau saww dan pangkatnya serta hakikatnya beranjak meninggi, baik hanya ke tingkatan ilmunya saja, atau ilmu dan aplikasinya juga. Dan baik ilmu itu secara ilmu Awam, Kalam, Filsafat dan Irfan. Dan baik aplikasinya itu Awami, Kalami, Filsafati atau Irfani, sebagaimana juga sudah diterangkan di catatan di atas. 

(9) Jadi semua kesaksian itu benar dan tidak dusta serta tidak bohong, akan tetapi memiliki milyarand tingkatan sesuai dengan ilmu dan jenisnya serta sesuai pula dengan aplikasi dan jenis aplikasinya. Wassalam. 

Sinar Agama: Dino-S: Antum percaya atau tidak, bahwa akupun dalam menulis dan membaca komentar atau berkomentar, juga sering melinangkan air mata, karena aku benar-benar ingin Tuhan menerimaku dan begitu pula teman-teman semua. Aku memang merasa paling keras dan kadang tidak kenal ampun dalam berdalil, tapi itu semua demi mempertahankan kebenaran- relatif-terjangkau ini, dan demi melihat apakah memang yang kita tahu ini sudah benar. Jadi kalau aku menang diskusi, maka akan merasa senang karena yang diketahui secara relatif ini memiliki bau kebenaran, dan kalau kalah dalam adu argumentasi, maka aku juga merasa senang karena sebelum mati kutemukan kebenaran-repatif yang lebih kuat dan harus diambil dan dipertahankan secara profesional (fair). 

Jadi ketersentuhan batin antum tidak mustahil karena getaran dadaku yang bergemuruh ini sudah dapat antum rasakan lewat catatanku ini. Mungkin ini yang dikatakan bahwa dari hati akan menclok di hati. Tentu saja hati yang tulus dan profesional-argumentatif-gamblang. Semoga tanda yang kita rasakan ini, adalah tanda dari RestuNya. 

Tapi ingat ya akhi dan semua teman-teman yang lain, dalam ilmu, semua ikatan akhlak, sejarah, pengalaman, guru, orang tua...dst harus sedikit dikesampingkan. Yakni tidak boleh dicampurkan dalam dalil-dalil kita, karena akan membuat kita keluar dari ikhlash yang profesional dan Ilahiah. 

Jadi, terimalah dan tolaklah apa saja dengan dalil-gamblang (termasuk tulisanku dimana saja), serta jauhkan jiwa kita dari nuansa ta’ashshub terhadap pengalaman masing-masing semacamnya itu. 

Dalam sosial kita, kita harus hormati siapa saja yang harus dihormati. Yang kumaksudkan dalam tulisanku ini adalah, jangan campurkan penghormatan itu ke dalam dalil karena akan mengotori dalil tersebut dan mengotori keikhlashannya. 

Satu lagi, menolak dan menerima dengan dalil dalam segala hal itu, bukan berarti juga berarti dengan emosi. Jadi terimalah dan tolaklah dengan cermat dan manis (tanpa emosi). wassalam 

Gazali Rahman: Syukran Ust atas kesediaan untk tagg dan memberikan pencerahan yg sangat bermanfaat. Semoga antum selalu dlm petunjuk NYA. 

Sinar Agama: G-R: salam dan terimakasih buat antum dan semua teman, baik dukungannya (jempolnya) atau komentar dan apalagi do’anya, semoga kita semua selalu berusaha untuk mencari dan masuk tanpa keluar lagi dari selimut hangatNya yang memang tidak pernah Ia singkap dari kita semua.




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ