Tampilkan postingan dengan label Sahabat Nabi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sahabat Nabi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 November 2018

Shahabat Bagai Bintang Petunjuk di Langit Bagi Shahabat ?!



Seri tanya jawab Zaranggi Kafir dengan Sinar Agama
by Sinar Agama on Sunday, December 30, 2012 at 3:40 am

Zaranggi Kafir mengirim ke Sinar Agama: Salam Ustadz, bisa dijelaskan ke ana dengan bahasa yang gampang ana ngerti tentang perbandingan hadits: ”Ahlulbaitku bagaikan bintang di langit” dan hadits: ”Shahabatku bagaikan bintang di langit”. 

Soalnye banyak ane baca ntuh tafsir abal-abal dari orang-orang yang gak berhak menafsirkan dan ana jadi tambah gak paham dimane letak kekuatan serta kelemahannye hehehe, maaf nih Ustadz kalau bahasa ana tidak sopan-sopan sedikit... semoga Ustadz tidak bosen dengan ana, salam. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Saya sudah menulis tentang ini (seingatku). Ringkasnya, hadits yang tentang shahabat itu jelas palsunya. Karena haditsnya berbunyi: 

“Shahabat-shahabatku itu bagaikan bintang di langit. Barang siapa dari kalian yang mengambil hidayah/petunjuk darinya, maka kalian akan mendapat hidayah/petunjuk.” 

Hadits ini akan bermakna seperti ini: 

“Wahai shahabat-shahabatku, shahabat-shahabatku itu (yakni kalian), bagaikan bintang- bintang di langit. Barang siapa dari kalian yang mengambil petunjuk dari bintang- bintang itu (yakni dari diri kalian sendiri), maka kalian terhidayahi/tertunjuki.” 

Siapa yang bisa menerima perkataan seperti ini diucapkan oleh kanjeng Nabi saww yang tidak berbicara kecuali dengan wahyu???!!! 

Bande Husein Kalisatti: Iya, kalimat hadits itu jadi tumpang tindih, syukron ilmu logikanya. 

Zaranggi Kafir: hehehe ini baru ajib, sekarang ane ngerti dah. Penjelasan Ustadz sangat ane ngerti soalnye gamblang gak belok kanan kiri tapi langsung pade masalah, makasih yee Ustadz, ane selalu doakan Ustadz selalu dalam kebaikan. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 18 November 2018

Shahabat dan Perang Jamal






Seri tanya jawab Sufyan Hossein dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Thursday, December 20, 2012 at 12:35 am



Sufyan Hossein: Rabu: 26-9-2012, 

Salaamun alaikum... Ya ustadz Sinar Agama dan Akhi Sang Pencinta... 

Kemarin saya sudah membaca link-link diskusi dan catatan ustadz Sinar mengenai sejarah dan kronologi, dimulai sejak wafatnya Baginda Rasul SAWW, Pengangkatan khalifah pertama (yakni Abu Bakar), proses penyerbuan dan pembakaran rumah sayyidah Fatimah az zahra (as) sampai syahidnya Az Zahra (as)... Salam atasmu Ya Zahra... 

Kemarin ketika saya membaca sejarah itu, hati saya seperti terhenyak dan tersayat melihat penderitaan Ahlul Bayt(as) sepeninggal Rasul SAWW... 

Jika benar yang terjadi seperti itu, maka kecelakaan besarlah bagi orang yang menyakiti Ahlul Bayt (as)... Sungguh, saya baru mendengar kisah tragis ini, karena saya ini seorang Sunni, dan guru- guru saya ketika saya tanyakan tentang hal ini, beliau menjawab : Para shahabat ra adalah alim dan adil, baik ketika Rasulullah SAWW masih hidup maupun ketika Beliau SAWW telah wafat, dan pengangkatan dan pembaiatan khalifah, dari Abu Bakar , Umar, Utsman adalah ijma’ (kesepakatan) seluruh shahabat , termasuk Imam Ali as dan Hz Fatimah as... Dan ketika saya tanya kepada guru saya tentang sebab terjadinya perang jamal, beliau menjawab: setelah terbunuhnya khalifah Utsman, Aisyah menuntut kepada Imam Ali as, bahwa pembunuh Utsman harus segera diadili, namun Imam Ali as, berpendapat bahwa harus menunggu situasi kondusif dulu, baru pembunuh Utsman tersebut diadili... Menurut literatur Sunni, Imam Ali as dalam posisi yang benar... 

Namun ketika Aisyah menyadari kesalahannya ia lalu bertaubat. Di antaranya sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam : Artinya : “Tidaklah terjadi kiamat itu sampai berperangnya dua kelompok besar dan dakwa (seruan) mereka satu.” (HR Bukhori dan Muslim).. 

Itulah salah satu tanda kecil kiamat kubro yang diprediksikan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam-, bahwa akan terjadi peperangan antara 2(dua) kelompok muslim. Dan itu terjadi pada perang Jamal dan perang Shiffin. - Terjadinya Perang Jamal. Ketika amirul mukminin Utsman bin Affan terbunuh, keesokan harinya, orang-orang mendatangi Ali bin Abi Tholib untuk membaiatnya menjadi khalifah, akan tetapi Ali menolaknya. Ali berkata : sampai berkumpulnya manusia. Kemudian berkumpullah orang-orang, di antaranya Thalhah dan Az-Zubair. mereka membaiat Ali sebagai khalifah. 

Diriwayatkan bahwa Thalhah dan Az-Zubair meminta izin dari Ali untuk pergi umrah. dan ketika itu juga istri-istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam- baru menjalankan umrah dan kemudian tinggal di Mekkah karena terjadinya fitnah sampai terbunuhnya Utsman - rodhiallahu ‘anhu. kemudian Thalhah dan Az- Zubair menemui ‘Aisyah untuk dimintai pendapat mengenai hak atas darah Utsman. Maka ‘Aisyah setuju untuk menuntut hak pembalasan bagi para pembunuh Utsman. Kemudian datang Ya’la bin Umayyah dari Yaman ke Mekkah, dia adalah orang yang diangkat Utsman sebagai wakilnya di Yaman. dan mereka sepakat untuk pergi ke Basrah guna menuntut pembalasan atas para pembunuh Utsman. ‘Aisyah, Thalhah, Az- Zubair dan Ya’la dan 1000 pengendara kuda yang lain pergi ke Basrah. dan menyusul mereka 2000 orang lagi. ‘Aisyah menaiki onta yang diberi nama Askar yang ditelakkan di atasnya seperti rumah- rumahan. 

Suatu ketika mereka berhenti di salah satu sumber air milik Bani ‘Amir. kemudian ‘Aisyah mendengar lolongan suara anjing. ‘Aisyah bertanya kepada salah seorang dari mereka : telah sampai manakah kita? Maka dijawabnya : kita telah sampai “Jauab”. setelah mendengarnya ‘Aisyah berkata : lebih baik kita kembali. Orang- orang berkata : bagaimana anda kembali sedangkan menyetujui untuk pergi ke Basrah. Dan semua orang berharap agar anda dapat menyelesaikan masalah yang terjadi di antara kita. ‘Aisyah tetap bersikeras meminta semuanya untuk kembali. Ditanya kenapa ingin kembali? ‘Aisyah menjawab: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam- pernah menyampaikan kepada para istrinya bahwa salah satu dari kita akan pergi dan menjadi peserta dalam perang Jamal. Keluar dan sebagai tandanya adalah lolongan suara anjing di sumur “Jauab” yang akan terbunuh di kanan dan kirinya banyak orang. Diriwayatkan bahwa Ali telah pergi bersama 900 penunggang kuda lainnya. Ali ingin meminta pertanggungjawaban Thalhah dan Az-Zubair karena mereka telah membaiatnya akan tetapi sekarang malah pergi tanpa persetujuan darinya. 

Diriwayatkan sebelum dimulainya peperangan, Ali menemui Az-Zubair dan berkata: aku bersumpah kepada Allah, apakah kamu tidak ingat ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam- berkata kepadamu bahwa suatu ketika kamu akan memerangi Ali sedangkan kamu dalam posisi yang salah (dholim). Az-Zubair berkata : aku lupa sejak dikatakan seperti itu. Maka aku sekarang tidak akan memerangimu. Az- Zubair kemudian pergi dan tidak ikut dalam peperangan. Abu bakrah pernah ditanya : kenapa anda tidak ikut pergi ketika orang pada pergi? Beliau berkata : aku pernah mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam- bersabda : “akan keluar sekelompok kaum yang akan binasa yang pemimpinnya adalah perempuan di neraka. 

“Hudzaifah bin Al-Yaman berkata : bagaimana kalian suatu ketika akan membiarkan orang-orang di antara kalian akan saling membunuh dalam dua kelompok? Orang- orang bertanya : wahai Abu Abdillah, apa saran anda jika kami ada ketika itu? Hudzaifah berkata : lihatlah kepada kelompok orang yang membela Ali, karena sesungguhnya mereka di atas kebenaran. 

Kesimpulan: Perang Jamal terjadi sebagai akibat dari perbedaan pendapat orang-orang pada masa itu tentang penuntutan balas atas terbunuhnya Utsman dan pendapat Ali yang lebih mendahulukan untuk menata kembali negara yang telah berpecah setelah terjadinya fitnah. Para Ulama sepakat bahwa Ali berada pada posisi yang benar. Akan tetapi telah banyak riwayat yang meriwayatkan bahwa Aisyah dan para sahabat lainnya yang menentang Ali telah bertaubat setelah itu. Dan para ulama melarang kita untuk menyalahkan salah satu dari mereka karena mereka adalah para sahabat Nabi –shalallahu ‘alaihi wasallam- dan mereka telah bertaubat. Dan karena sulitnya keadaan waktu itu, karena fitnah sedang menyebar di antara mereka. # Rujukan 

Fath Al-Bari fi Shohih Al-Bukhori, karya Ibnu Hajar Al-Asqolani. Al-Bidayah Wa An-Nihayah, karya Ibnu Katsir, 

Mohon Pencerahan ya ustadz, Jazakallah khairan 

— dengan Sinar Agama dan Sang Pencinta

Sufyan Hossein: Tentu saya tidak taqlid buta terhadap peristiwa di atas, saya ingin sekali dan berharap dapat penjelasan dari ustadz Sinar tentang kronologi perang Shiffin menurut pemahaman mazhab Ja’fari.. Supaya akal sehat saya dapat menimbang mana yang mendekati kebenaran.. 

Sang Pencinta: Sembari menunggu respon ustadz Sinar, izinkan saya komentar sedikit, secara logika sederhana jika ada dua pihak yang berperang, maka satu pihak berada di kebenaran, pihak lain salah, apala... 

{**}Ghadir Khum{/**} 

arsipsinaragama.com 

Sufyan Hossein: Salah seorang sahabat bercerita, “Suatu hari Rasulullah saw pergi bertamu. Di tengah jalan tampak Husain sedang bermain-main dengan anak sebayanya. Rasulullah menghampirinya karena ingin memangkunya, tapi Husain malah berlarian ke sana kemari. Rasulullah saw tertawa- tawa dan akhirnya berhasil menangkap Husain as. Kemudian Rasulullah mencium bibir Husain sambil mengatakan, ‘Husain bagian dariku dan aku bagian dari Husain. Sesiapa yang mencintai Allah pasti mencintai Husain as “’. 

Jabir mengatakan, “Aku melihat Hasan dan Husain sedang duduk di atas punggung Rasulullah saw. Rasulullah kemudian berjalan-jalan di atas tangan dan lututnya sambil mengatakan, ‘Unta kamu adalah unta terbaik dan barang yang dibawanya adalah barang yang ”terbaik”. Rasulullah saw adalah penyayang anak-anak bahkan ketika melakukan shalat pun beliau tidak mau mengecewakan anak-anak kecil. Salah seorang sahabatnya bercerita, “Kami sedang bersama-sama Rasulullah saw melaksanakan shalat, tiba- tiba Husain masuk. Ketika Rasulullah sujud, Husain menunggangi punggung Rasulullah. Rasulullah kemudian dengan hati-hati mendudukkan Husain di sampingnya. Setelah selesai shalat, kami bertanya kepada Rasulullah, Rasul menjawab bahwa Husain as adalah wewangianku.” 

Anas bin Maalik bertanya kepada Nabi saww: “Ahlulbait yang mana yang paling kamu cintai?” Nabi saww menjawab: “Hasan dan Husain.” (lihat riwayat-riwayat seperti ini atau semakna di: Shahih Turmudzii, jld. 2, hal 306; Faidhu al-Qadiir, jld. 1, hal. 138; Thabari dalam Dzakhaaitu al-’Uqbaan ya, hal 122; Kunuuzu al-Haqqaiq , hal. 5; Majma’ Haitsamii, jld 9, hal 175) 

Sufyan Hossein: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad. 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya. Dengan membaca pertanyaan di atas secara cepat dan global, maka sekedar untuk menambahi yang sudah-sudah: 

a- Sudah sering saya katakan bahwa ‘Aisyah itu salah satu pembenci Utsman dan sampai-sampai menyuruh orang-orang untuk membunuhnya. Misalnya riwayat-riwayat sebagai berikut: 

فلقد قالت عائشة: اقتلوا نعثال فقد كفر 

Berkata ‘Aisyah: “Bunuhlah Na’tsal (si Bodoh, maksudnya Utsman) karena ia telah kafir!” 

Lihat di: al-Futuuh, karya Ibnu A’tsam, 1/64; al-Mustarsyid, karya Ibnu Jariir Thabari, 165 (di sini malah ada sumpah ‘Aisyah bahwa ia bersaksi bahwa Utsman itu adalah bangkai di shiraathalmustaqiim); Taariikh Ibnu Atsiir, 2/206; al-Siiratu al-Halabiyyatu, 3/286; Tafsiir Aluusii, 16/108; Taariikh Thabari, 3/477; al-Kaamil fi al-Taariikh, 2/28, 3/100; 

Coba perhatikan kata-kata ‘Aisyah di tafsiir Aluusi ini (16/108): 


Ia -’Aisyah- adalah orang yang merangsang umat untuk membunuh Utsman dan berkata: 

“Bunuhlah si bodoh itu, karena ia telah berbuat fajir seperti orang-orang Yahudi dan dijuluki si bodoh.” 

Hingga ketika ia -Utsman- terbunuh dan umat membaiat Ali, ia -’Aisyah- berkata: 

“Aku tidak perduli apakah langit akan jatuh ke bumi, demi Allah, ia -Utsman- telah dibunuh secara teraniaya dan aku adalah orang yang menuntut darahnya.” 

Karena itulah, salah satu shahabat yang lain yang bernama Ibnu Ummu Kilaab mendebat ‘Aisyah. Perhatikan nukilan sejarah Sunni (yang di atas itu juga semuanya riwayat Sunni) Tariikh Thabari, 3/477 dan al-Kaamil Fii al-Taariikh, 2/28 dan 3/100 ini: 

.....kemudian ia -’Aisyah- menuju Makkah dan berkata: 

“Demi Allah, Utsman telah dibunuh secara aniaya, demi Allah aku menuntut darahnya.” Berkata kepadanya Ibnu Ummu Kilaab: 

“Demi Allah, mengapa demikian? Bukankah kamu yang pertama kali berpaling darinya -Utsman- dan kamu berkata: ‘Bunuhlah si bodoh karena ia sudah kafir?” 

Ia -’Aisyah- menjawab: 

“Sesungguhnya orang-orang itu memintanya bertaubat kemudian membunuhnya. Aku memang pernah berkata seperti itu dan orang-orang juga berkata seperti itu. Akan tetapi kata-kataku yang akhir ini, lebih bagus dari kata-kataku yang pertama.” 

Kemudian Ibnu Ummu Kilaab berkata padanya: 

“Dari kamu permulaannya dan dari kamu juga perubahannya ....”. 

b- Kalau diperhatikan, maka permusuhan ‘Aisyah dengan Utsman itu hakiki hingga karena itu ia menyuruh orang-orang untuk membunuhnya. Dan perlu diketahui, bahwa banyak sekali shahabat yang tidak mau kepemimpinan Utsman dan bahkan tidak mau shalat di belakangnya (lihat semua sejarah Sunni). 

Akan tetapi, karena umat berbondong-bondong membaiat Imam Ali as setelah terbunuhnya Utsman, di mana beliau as ini musuh paling utamanya ‘Aisyah, sebagaimana tertuang di hadits-hadits dan sejarah-sejarah Sunni, maka ‘Aisyah berubah haluan dari membenci Utsman menjadi membelanya. 

c- Ketika Imam Ali as menjadi khalifah, sudah seharusnya ditaati oleh semua orang. Kalau di jaman Abu Bakar, orang yang tidak bayar zakat ke pusat pemerintahan Abu Bakar dan membaginya sendiri saja, sudah dianggap kafir dan diperangi serta sebagian mereka dibakar hidup-hidup oleh jenderalnya Abu Bakar, yaitu Khalid bin Walid, maka bagaimana dan apa hukumnya bagi orang yang tidak ikut kebijakan Imam Ali as dan bahkan memeranginya dengan pedang dan pasukan? 

d- Tidak terima kepada keputusan khalifah yang syah, di samping sudah merupakan pelanggaran, kalaulah dianggap kebenaran juga, bukan berarti tuntutannya adalah melawan dengan pedang dan perang, hingga paling sedikitnya korban yang jatuh di perang jamal itu, sesuai dengan tariikh Sunni, sebanyak 13.000 shahabat dan taabi’iin. 

e- Sejarah hitam ini, merupakan kenyataan yang tidak bisa disangkal. Sementara taubat masing- masing orangnya, merupakan hal yang masih diperselisihkan. Terlebih lagi, taubat dari darah (membunuh), adalah qishash (dibunuh), bukan istighfaar. 

f- Ketika para shahabat itu saling berperang dan berbunuh-bunuhan dalam peperangan, bukan dalam perkelahian, di mana jelas ribuan orang melawan ribuan orang dan terjadi beberapa kali, maka yang paling sedikit bisa ditarik pelajaran darinya adalah bahwa mereka tidak bisa lolos sensor hadits. Karena sekali bohong saja haditsnya sudah dianggap dha’if, apalagi membunuh. Mengkritisi shahabat saja sudah dibilang kafir, apalagi membunuh dan bahkan membakar hidup-hidup shahabat. 

Maksud saya, adalah kita tidak bisa memukul rata bahwa semua riwayat yang ada dari mereka itu dikatakan shahih hanya dengan alasan bahwa mereka itu shahabat Nabi saww. 


g- Perkataan bahwa hal itu sudah diprediksi Nabi saww dan sebagai tanda-tanda hari kiamat, bukan berarti peperangan itu direstui Nabi saww dan sama-sama benar. Dengan demikian, maka kritikan dan kejelian terhadap masalah-masalah di atas, sangat diperlukan, karena kita harus memilih hadits mana yang mau kita ikuti dan hadits mana yang tidak boleh kita ikuti. Yakni hadits dari kelompok mana yang harus diikuti dan yang mana harus ditolak atau, setidaknya tidak dikomentari tapi tidak diikuti. Apakah kita akan mengikuti riwayat-riwayat yang diperangi atau yang memerangi, yang membunuh atau yang dibunuh...dan seterusnya. 

Intinya, kita tidak boleh mengorbankan akhirat kita hanya dengan semboyan-semboyan belaka walau, sudah tentu kita harus saling menghormati dalam arti tidak mencemooh dan tidak menindas orang-orang yang berpendapat lain. 

h- Taubat para penyerbu kepada Imam Ali as, kalaulah benar, hanya dijadikan sebagai pengesah keshalihan mereka oleh para pengikut mereka. Tapi tidak dijadikan ibrat dan penerapan secara konsekuensi kepada kehidupan beragama kita. Buktinya, tetap saja ketika berbicara tentang perang Jamal (misalnya), mereka-mereka ini tetap mengangkat dalil-dalil para penyerbu itu. Sementara ketika mereka-mereka ini mengatakan bertaubat, kan mestinya bertaubat dari semua jalan berfikir sampai kepada penyerbuan itu. Tapi anehnya, taubat itu hanya dijadikan supaya para shahabat itu tetap dihormati, tapi di lain pihak, ucapan dan dalil-dalil mereka untuk berontak itu, tetap dipakai sampai sekarang ini.

i- Semua shahabat alim dan semacamnya, sangat-sangat tidak relevan sama sekali. Kok bisa sama-sama alim saling berperang dan berbunuh-bunuhan dan, itupun sering kali dan dalam peperangan antara ribuan shahabat dengan ribuan yang lainnya (baca: bukan perkelahian biasa dan personal). Lah, kalau alim sama alim seperti ini, maka sebaiknya kita jangan menjadi orang alim, supaya tidak saling bunuh.

j- Kronologis setiap peperangan, hampir sama, baik yang diriwayatkan Sunni atau Syi’ah. Yang beda itu adalah cara menatap sejarah tersebut. Kalau di Syi’ah ditatap sebagai suatu kejadian yang harus diambil ibrat/pelajaran terutama dalam penyaringan hadits shahih dan tidak. Tapi di Sunni, biasanya dijadikan peristiwa masa lalu yang tidak boleh dibahas lagi karena mereka sama-sama adil, sama-sama alim dan sama-sama masuk surga. Walhasil.... 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 17 November 2018

Ada Apa Dengan Shahabat



Seri tanya jawab Orlando Banderas dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Thursday, December 13, 2012 at 11:18 pm

Orlando Banderas mengirim ke Sinar Agama: Minggu 9-9-2012, 

Salam. Ustadz mau tanya. Apa yang melatarbelakangi peperangan yang terjadi dalam sejarah perkembangan Islam ? Apakah semua peperangan itu karena diperangi oleh pihak kafirin (jadi sifatnya defensif) atau karena tidak mau bayar zakat bagi yang tidak memerangi? Sebegitu pentingkah membayar zakat sehingga harus memerangi bagi yang tidak membayar zakat? Atau ada alasan lain ? Kenapa Islam dianggap oleh orang kafir sampai sekarang sebagai agama yang haus darah ? Tolong penjelasannya. Terima kasih. Salam. 

Sattya Rizky Ramadhan: salam ijin nyimak.. 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: 

  1. Islam itu tidak membolehkan perang kecuali defensif atau bertujuan mengangkat penghalang yang menghalangi dakwah Islam. 
  2. Peperangan Nabi saww seluruhnya defensif dalam arti kedua makna di atas. 
  3. Peperangan antar shahabat itu banyak sekali dan korbannya dalam satu peperangan saja, seperti Perang Jamal (pemberontakan ‘Aisyah terhadap Imam Ali as) di mana paling sedikitnya yang ditulis sejarah Sunni (Muruuju al-Dzahab), sebanyak 13.000 orang shahabat dan tabi’iin. 
  4. Peperangan antar shahabat itu jelas tidak bisa disyahkan semuanya atau semua kelompoknya yang berseteru. Karena Islam, sekali lagi, tidak membolehkan membunuh siapapun manusia kalau bukan karena menangkal serbuan atau qishash (hukum bunuh untuk pembunuh). Jadi, keshahabatan shahabat, tidak bisa dijadikan penghalang bagi keberdosaan pembunuhan tersebut, terlebih dalam puluhan ribu jumlah. 
  5. Peperangan antara Abu Bakar dan Shahabat-shahabat suku Bani Tamim, dimana mereka adalah satu suku dan berjumlah satu kaum, adalah bukan masalah zakat. Tapi masalah penyerahan langsung zakat pada yang berhak dan tidak disetor ke pemerintahan Abu Bakar yang mendakwa diri sebagai khalifah Nabi saww. Di penyerbuan tersebut, yaitu dengan mengutus Khalid bin Walid sebagai panglimanya, Khalid ini telah berani membakar beberapa shahabat Nabi saww hidup-hidup di depan umum (lihat sejarah Sunni, Muruuju al-Dzahab) untuk membuktikan kekuasaan Abu Bakar. 
  6. Sudah sering saya nukilkan hadits Nabi saww di Bukhari bahwa Nabi saww tidak khawatir shahabatnya menjadi kafir lagi, akan tetapi sangat khawatir mereka mengejar dan bersaing tentang dunia dan mengorbankan akhirat. 

Misalnya Nabi saww pernah memberikan segolongan dari bagian-bagian baitul maal, tapi anshar memprotes keras di belakang Nabi saww. Lalu Nabi saww menjelaskan kepada mereka dan sekaligus mengabarkan bahwa para shahabat itu akan menjumpai hal sangat besar setelah kemangkatan beliau saww dan menganjurkan sabar hingga tidak memilih dunia dan memilih Nabi saww (baca: Islam). Tapi kata sang perawinya, yakni Anas: “Akan tetapi kami tidak sabar” (Lihat shahih Bukhar, hadits ke: 3147, 3146, 377, 3793, 4331, 4333, 4334, 4337, 5860, 6762 dan 7441). 

Di antara pertanyaannya adalah: 

a- Apa hal besar itu? 

b- Hal besar itu jelas dapat menyimpangkan shahabat dari Islam hingga karena itu Nabi saww menganjurkan untuk tidak memilihnya dan hanya memilih Islam, dengan sabdanya: “Sabarlah hingga kalian bertemu Allah dan NabiNya saww.” 

c- Dan Anas, sebagai perawi yang memahami maksud hadits, menyaksikan bahwa pa- ra shahabat, tidak sabar. Artinya telah melanggar Nabi saww dan memilih fitnah/ penyimpangan. 

d- ....dan lain-lain. 

7. Kesimpulannya, belasan atau puluhan ribu shahabat dan tabi’iin mati dalam berbagai peperangan di mana hal ini, jelas tidak bisa dikatakan benar dan Islami. Karena itu, maka kita harus memilih dari mana kita mendapatkan riwayat-riwayat Islam yang kita jadikan agama ini. 


8. Ahlulbait as yang makshum, yang dimakshumkan di Qur'an dan hadits-hadits Nabi saww, merupakan jalan satu-satunya yang harus dipegangi periwayatannya dalam meriwayatkan dan bahkan memaknai Islam kepada umat sejagat ini. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 14 Oktober 2018

Siapa dan Mengapa Ummu Kultsuum Istri Umar bin Khaththaab ?!




Seri tanya jawab Muhammad Dudi Hari Saputra dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Thursday, May 10, 2012 at 12:19 am



Muhammad Dudi Hari Saputra: Salam ustadz,,, Apa kabar ustadz?? Semoga sehat selalu.. ^_^

Ustadz,, pertanyaan filsafat saya belum dibalas,,hhe dan mohon bantuannya teman-teman apakah ada yang menyimpan arsip mngenai pernikahan Umar bin Khattab dengan Umi Kalsum (putri Imam Ali).. mohon bantuannya.. syukron ya afwan.,.. 


Hamidah Nurjamilah Adiwijaya: “Ummu kulthum yang di nikahi Umar bin khattab meninggal sebelum tahun 50 hijriyah, hasan bin Ali As, Abdullah bin Umar dan Sa’ad bin Abi Waqash diminta Umar untuk menyolatinya. 




Sejarah mencatat bahwa ummu kulthum binta Ali As ikut dalam rombongan karbala dan menjadi saksi pembantaian Putra Suci As Syahidu Syabab As pada tahun 61 hijriyah.

Dan juga sejarah mencatat bahwa setelah peristiwa duka tersebut Ummu kulthum binta Ali As menikah dengan Abdullah bin Jafar At thayyar.”. 



SIAPA AJA ISTRI UMAR (yang tercatat di Kitab al-Faruq) 


Umar Khottob mempunyai 7 orang istri, yang pertama bernama zainab saudari dari uthman bin mazun

Istri yang ke dua bernama qariba putri dari Ibn Umait al makzami dan saudara dari Ummul mukminin ummu Salamah ra. Qariba bercerai dari Umar pada tahun 6 sebelum masehi setelah perjanjian hudabiyah

Istri ketiga bernama malaika anak dari Jarul al khuzai yang juga dipanggil Ummu kulthum, karena ia menolak islam maka malaika (ummu kulthum binta jarul) ini pun di ceraikan pada tahun yang sama (tahun 6 sebelum masehi).

Istri yang ke empat bernama Jamila anak dari Asim bin Thabit. Nama asli jamila adalah Asya yang kemudian oleh Rasul Saww diganti rasul Saww menjadi Jamila saat ia di dalam ISLAM.

Istrinya yang lain adalah ummu Hakim anak dari Al harith bin hisyam al makhzumi dan lainnya adalah Fukhia yamania dan Atika putri dari Zaid bin Amr bin naf

Muhammad Dudi Hari Saputra: Jadi Ummu Kulthum yang di maksud sebagai isteri Umar bukanlah Ummu Kulthum binti Ali tetapi adalah Ummu Kulthum binti Jarul..?

Syukron..

Hamidah Nurjamilah Adiwijaya: Iya, smoga ustadz bisa memberikan penjelasan lebih baik.

Sang Pecinta: Salam, Penjelasan” umi kulstum putri Imam Ali menikah dengann Umar bin khatab? Oleh Ustad Sinar Agama,

http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/243413822370088/

Berlangganan Catatan-catatan Sinar Agama: Sang Pecinta: terkait dengan Imam Ali dan Umar... http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/236093706435433/

Berlangganan Catatan-catatan Sinar Agama


Sinar Agama: Salam dan terimakasih atas tagihan dan pertanyaannya. Karena menjawab perta- nyaan ini agak panjang, harap sabar. Mungkin nanti malam kalau tidak ada pertanyaan masuk.

Sang Pecinta: @Ustadz: jawaban tentang Umi Kultsum sudah saya tukilkan di atas ustadz, afwan..

Muhammad Dudi Hari Saputra: Terima kasih sebesar-besarnya untuk ustadz Sinar Agama dan Sang Pencinta dan juga teman-teman yang lain,, semoga bisa berkumpul bersama kalian di saat ma’ad kelak,, ^_^

Sinar Agama: Hdh Ummu Kultsuum as (hdh Zainab as): 
Bismillaah:

(1). Masalah Ummu Kultsum ini terjadi perbedaan pendapat baik di sunni atau di syi’ah.

(2). Di Syi’ah sendiri, ada tiga pendapat:

a. Mengingkari keberadaannya sebagai putri imam Ali as dan hdh Faathimah as.

b. Tidak mengingkari keberadaannya akan tetapi mengingkari perkawinannya dengan Umar bin Khaththab. Kelompok ini seperti Syaikh Mufiid ra dalam kitabnya al-Masaailu al-‘Ubkariyyah dan Sayyid Naashir Husain al-Hindii dalam kitabnya, Ifhaamu al-A’daa’ wa al-Khushuum.

c. Tidak mengingkari keberadaan dan perkawinannya dengan Umar akan tetapi dalam keadaan terpaksa. Kelompok ke tiga ini seperti Sayyid Murtadhaa dalam kitabnya, Tan- ziihu al-Anbiyaa’, dan seperti riwayat-riwayat yang ada di al-Kaafii-nya al-Kulaini ra.

(3). Dari ketiga pandangan itu, yang paling kuat, sebagaimana akan dijelaskan kemudian, adalah pandangan yang pertama, yaitu yang mengatakan tidak adanya putri imam Ali as dan hdh Faathimah as yang bernama Ummu Kultsuum.

(4). Dalil-dalil pandangan pertama:

a. Sebenarnya, siapapun yang menuliskan bahwa anak-anak imam Ali as dengan hdh Faathimah as itu 5 orang, imam Hasan as, imam Husain as, Muhsin (yang gugur dari kandungan dalam penyerbuan Abu Bakar dan Umar), hdh Zainab ra dan Ummu Kul- tsuum, hanya menyimpulkan dari riwayat-riwayat yang ada. Artinya, riwayat-riwayat itu tidak pernah menyebut dua nama terakhir itu dalam satu periwayatan. Karena itu, dapat dipahami bahwa hdh Zainab ra dan Ummu Kultsuum itu sebenarnya satu orang. Hdh Zainab ra adalah namanya dan Ummu Kultsuum adalah julukannya yang, memang diberikan oleh Nabi saww.

b. Ibnu Bathuuthah (w 779 H), dalam kitabnya, Rihlatu Ibnu Bathuthah, 1/113, cetakan Muassasah al-Risaalah, Bairuut, th 1405 H Q, menuliskan: 



وبقرية قبلي البلد وعلى فرصخ منها مشهد أم كلثوم بنت علي بن أبي طالب من فاطمة عليهم السالم

ويقال أن اسمها زينب وكناها النبي صلى اهلل عليه وسلم أم كلثوم 



“Dan menjelang kota, sekitar satu farsyakh (5,6 km) sebelumnya, terdapat makam Ummu Kultsuum bintu Ali bin Abii Thaalib (as) dengan Faathimah (as) dan dikatakan bahwa namanya adalah Zainab yang dijuluki Nabi saww dengan Ummu Kultsuum.”

c. Di kitab Taariikh Damasyq, 2/309, juga dikatakan bahwa dia itu (yang dikubur di makam tersebut), adalah Ummu Kultsuum. Akan tetapi mengatakan bahwa penulis tidak tahu putri imam Ali yang mana. Karena Ummu Kultsuum yang putrinya imam Ali yang dikawin Umar, meninggal di Madinah.

d. Shahih Bukhari, 5/1963, meriwayatkan: 




وَجَمَعَ عبد اللَّهِ بن جَعْفَرٍ بين ابْنَةِ عَلِيٍّ وَامْرَأَةِ عَلِيٍّ



“Dan Abdullah Bin Ja’far telah mengawini keduanya dari putri Ali dan Janda Ali.”

Dalam syarah hadits ini, ulama Sunni mengatakan bahwa putri imam Ali as yang dimaksud- kan itu adalah Zainab, sementara jandanya adalah Lailaa bintu Mas’uud (Mukaddimatu Fathu al-Baarii, 1/321).

Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa putri yang dimaksud itu adalah Ummu Kultsuum (Sunanu al-Baihaqii al-Kubraa, 7/167).

Ulama sunni, supaya terlepas dari masalah bertentangannya dua riwayat ini, memberikan jalan keluar. Bahwa kedua-dua putri tersebut, yaitu Zainab dan Ummu Kultsuum, sama- sama dikawin oleh Abdullah bin Ja’far, akan tetapi dalam waktu yang berlainan (Fathu al-Baarii, 9/155).

Padahal riwayat-riwayat sunni meriwayatkan bahwa Ummu Kultsuum ikut menyolati kedua saudaranya (imam Hasan as dan imam Husain as) ketika keduanya syahid. Begitu pula diriwayatkan di sunni dan syi’ah bahwa hdh Zainab as dikawin Abdullah bin Ja’far di jaman hidupnya imam Ali as sampai wafatnya –hdh Zainab- setelah kesyahidan imam Husain as.

Karena itu, apakah maksud Ibnu Hajar, yang mengatakan bahwa Zainab dan Ummu Kultsuum dikawini Abdullah bin Ja’far di dua jaman yang berlainan, adalah mentalak hdh Zainab langsung setelah syahidnya imam Ali as, lalu setelah itu langsung mengawini Ummu Kultsuum, lalu setelah itu kawin lagi dengan hdh Zainab as setelah wafatnya Ummu Kultsuum? Bukankah mereka telah sepakat bahwa hdh Zainab menjadi istri Abdullah bin Ja’far sejak imam Ali as masih hidup sampai akhir hayatnya setelah syahidnya imam Husain as??!!!

e. Di sejarah imam Ali as, semua mengatakan bahwa di malam syahidnya imam Ali as, berbuka di rumah Abdullah bin Ja’far suami hdh Zainab as. Dan di riwayat yang lain dikatakan di berada di rumah Ummu Kultsuum.

Kesimpulan semua dalil terdahulu: 


1. Dengan semua dalil-dalil di atas itu, tidak bisa tidak, dapat diyakini bahwa hdh Zainab as dan Ummu Kultsuum adalah satu orang adanya, bukan dua orang.

2. Dari satu sisi, kita tahu bahwa Umar sama sekali tidak pernah kawin dengan hdh Zainab as.

3. Karena itu maka riwayat yang mengatakan bahwa Umar mengawini Ummu Kult- suum bintu imam Ali as itu adalah tidak benar. Jadi, Umar sebenarnya kawin dengan Ummu Kultsuum yang lain, sebagaimana nanti akan dibuktikan.

f. Siapa Ummu Kultsuum ini sebenarnya?

Di dalam riwayat-riwayat, sebenarnya tidak ada yang mengatakan bahwa Ummu Kul- tsuum ini adalah putri imam Ali as dengan hdh Faathimah as. Yang ada hanya mengatakan bahwa Ummu Kultsuum yang ada di rumah imam Ali as-lah yang dikawini Umar. Bisa saja Ummu Kultsuum ini memang ada, akan tetapi merupakan putri imam Ali as dengan istri- istri yang lain. 

Karena itu poin berikut ini baik diketahui: 


f-1- Ulama-ulama sunni, tentang Zaid bin Umar bin Khaththab, mengatakan bahwa Zaid adalah putra Umar dengan Ummu Kultsuum bintu Jarwal/Jaruul yang sewaktu Umar masuk Islam, ia tidak mau masuk islam hingga ditalak oleh Umar.

Dikatakan di Taariikh Madinati Damasyq, 38/58, bahwa Umar memiliki anak ber- nama Zaid al-Ashghar (kecil) dan ‘Ubaidillah yang keduanya terbunuh di perang Shiffiin ketika bersama Mu’awiyyah memerangi imam Ali as.

Sebagian sunni berusaha menakwil-nakwil dan mengatakan bahwa Zaid Al-Ashghar memang anak Umar bersama Ummu Kultsuum bintu Jarwal/Jaruul akan tetapi Zaid yang lain adalah putra Umar bersama Ummu Kultsuum bintu imam Ali as.

Akan tetapi takwilan ini jelas diada-adakan, karena Zaid yang pertama disebut dengan al-Ashghar, yakni lebih kecil. Lalu bagaimana ia menjadi lebih kecil dari Zaid yang lahir dari perkawinan Umar dengan Ummu Kultsuum bintu imam Ali as yang dikawininya di masa khilafahnya –Umar???!!! Bagaimana mungkin anak yang lahir di jaman Jahiliyyah lebih kecil dibanding dengan anak yang lahir dari istrinya yang dikawin di masa ia menjadi khalifah?

f-2- Ulama besar pensyarah shahih Muslim yang bernama Nawawi, dalam kitabnya Tahdziibu al-Asmaa’, 2/1224, mengatakan bahwa ‘Aisyah memiliki dua saudari yang bernama Asmaa’ dan Ummu Kultsuum yang dikawin oleh Umar bin Khaththaab. 

4221 - أختا عائشة: اللتان أرادهما أبو بكر الصديق ، رضى اهلل عنه ، بقوله لعائشة : إنما هما أخواك وأختاك ، قالت : هذان أخواى ، فمن أختاى ؟ فقال : ذو بطن بنت خارجة ، فإنى أظنها جارية . ذكر هذه القصة فى باب الهبة من المهذب ، وقد تقدم بيانهما فى أسماء الرجال فى النوع الرابع فى األخوة ، وهاتان األختان هما أسماء بنت أبى بكر ، وأمكلثوم ، وهى التىكانت 
حمالً ، وقد تقدم هناك إيضاح القصة ، وأمكلثوم هذه تزوجها عمر بن الخطاب، رضى اهلل عنه . 

f-3- Masih ada lagi cerita-cerita buatan yang berkeinginan memaksakan perkawinan Umar dengan Ummu Kultsuum bintu imam Ali as. Yaitu yang bermula bahwa Umar meminang Ummu Kultsuum bintu Abu Bakar. Tapi ‘Aisyah menolaknya karena Umar terkenal kasar pada wanita. Akan tetapi ‘Aisyah berkata bahwa ia akan memilihkan perempuan lain yang juga bernama Ummu Kultsuum dari putra imam Ali as dan hdh Faathimah as (al-Kaamil fii al-Taariikh, 3/54-55; Taariikh Thabari, 3/270).

Sebegitu memaksanya permainan politik di jaman itu hingga tetap saja ingin menggandengkan Umar dengan Imam Ali as untuk menutupi kudeta kekhalifaan hingga sebegitu memaksakannya hingga apa-apa yang tidak mungkin dilakukan ‘Aisyah sendiri, dipaksakannya juga, yaitu dia sendiri tidak ingin dicelakai Umar tapi mencelakakan keluarga Rasul saww yang bernama Ahlulbait as yang ia sendiri menyaksikan di shahih Muslim dan lain-lain-nya bahwa mereka (imam Ali as, hdh Faathimah as, imam Hasan as dan imam Husain as) adalah yang diumumkan kemakshumannya oleh Tuhan di Qur'an di ayat Tathhiir.

Dengan penjelasan-penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Ummu Kultsuum yang ada di rumah imam Ali as itu adalah putri dari Abu Bakar, bukan putri imam Ali as. Jadi ada dua Ummu Kultsuum sesuai dengan riwayat-riwayat sunni di atas, yang pertama adalah putri Jarwal/Jaruul yang memiliki anak benama Zaid dan lain-lain- nya dan yang ke dua putri dari Abu Bakar.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa Ummu Kultsuum ini ada di rumah imam Ali as? Jawabnya adalah, karena setelah Abu Bakar meninggal, sebagian dari istri-istri Abu Bakar dikawin oleh imam Ali as. Karena itulah maka sebagian anak Abu Bakar juga menjadi anak Imam Ali as seperti Muhammad bin Abu Bakar yang besar di rumah imam Ali as. Salah satu dari anak-anak itu adalah Ummu Kultsuum putri Abu Bakar ini.

Jadi, para pemamrih dalam perawian sejarah ingin menyalahgunakan kesamaan nama Ummu Kultsuum itu. Artinya, keberadaan Ummu Kultsuum di rumah imam Ali as, walau ia adalah anak Abu Bakar, tetap saja ingin dijadikan Ummu Kultsuum yang menjadi istri Ummar. Padahal mereka tahu bahwa Ummu Kultsuum yang menjadi istri Umar itu adalah putri Jarwal/Jaruul

f-4- Pertama kali orang membawa cerita tentang kawinnya Umar dengan Ummu Kult- suum bintu imam Ali as adalah Ibnu Sa’ad (w 230 H): 

أمكلثوم بنت علي بن أبي طالب بن عبد المطلب بن هاشم بن عبد مناف بن قصي وأمها فاطمة بنت رسول اهلل وأمها خديجة بنت خويلد بن أسد بن عبد العزى بن قصي تزوجها عمر بن الخطاب وهي جارية لم تبلغ فلم تزل عنده إلى أن قتل ولدت له زيد بن عمر ورقية بنت عمر ثم خلف على أمكلثوم بعد عمر عون بن جعفر بن أبي طالب بن عبد المطلب فتوفي عنها ثم خلف عليها أخوه محمد بن جعفر بن أبي طالب بن عبد المطلب فتوفي عنها فخلف عليها أخوه عبد 
اهلل بن جعفر بن أبي طالب بعد أختها زينب بنت علي بن أبي طالب . 

الطبقات الكبرى، محمد بن سعد، ج 8، ص 264 - .364 

“Ummu Kultsuum bintu Ali bin Abii Thaalib bin Abdu al-Muththallib....dan ibunya Faathimah bintu Rasul saww dari istri beliau saww yang benama Khadiijah as bintu....., yang –Ummu Kultsuum- dikawin oleh Umar bin Khaththaab yang waktu itu belum baligh. Ia menjadi istri Umar sampai Umar terbunuh, dan ia memiliki anak dari Umar itu yang bernama Zaid bin Umar dan Ruqayyah bintu Umar. Kemudian setelah itu ia kawin dengan ‘Aun bin Ja’far bin Abii Thaalib... yang kemudian meninggal setelah itu. Lalu ia kawin lagi dengan saudara ‘Aun yang bernama Muhammad bin Ja’far bin Abi Thaalib yang kemudian meninggal juga. Lalu setelah itu ia kawin dengan Abdullah bin Ja’far bin Abi Thaalib setelah cerai dengan saudarinya Zainab.”

Bayangin, sebegitu berusahanya sejarah fiktif ini ingin menghubungkan Umar dengan imam Ali as. Syukurlah karena Tuhan tidak membiarkan orang-orang seperti ini, baik sengaja atau tidak. Karena itulah ahli sejarah inipun, telah melupakan sejarah yang nyata. Di dalam riwayat ini dikatakan bahwa Ummu Kultsuum kawin dengan ‘Aun dan Muhammad dan yang lainnya setelah maninggalnya Umar. Sementara sejarah bersepakat bahwa ‘Aun dan Muhammad ini meninggal di peperangan Syuster (Suster) tahun 16 atau 17 Hijriah di jaman khalifah Umar itu sendiri.

Ibnu Hajar di kitabnya al-Ishaabah, 4/619, menulis:

“Abu Umar berkata: ‘ ‘Aun bin Ja’far syahid di peperangan Suster di jaman khalifah Umar dan ia tidak meninggalkan anak.’.”

Ibnu ‘Abdu al-Bir dalam kitabnya al-Istii’aab, 3/1247, berkata:

“.....’Aun bin Ja’far dan saudaranya Muhammad bin Ja’far, syahid di perang Suster dan keduanya tidak meninggalkan anak.”

Dengan semua penjealan ini, lalu bagaimana mungkin Ummu Kultsuum kawin dengan orang yang telah meninggal sebelumnya, yakni di masa ia masih di rumah suaminya yang sekarang, yaitu Umar??!! Atau bagaimana mungkin Abdullah bin Ja’far mengawini dua orang yang bersaudari sekaligus? Karena sejarah mengatakan bahwa hdh Zainab as menjadi istri Abdullah bin Ja’far sampai meninggalnya dan, itupun setelah tragedi Karbala di tahun 65 H???!!!

g. Pemaksaan perkawinan ini, jelas menabrak semuanya, termasuk perbedaan umur. Baya- ngin Umar yang sudah berumur 57 tahun mengawini Ummu Kultsuum yang berumur 7 tahun. Tentu saja, kalau mau dipaksakan bahwa Ummu Kultsuum yang ada di rumah imam Ali yang dikawini Umar.

Hal itu karena Ummu Kultsuum lahir di akhir-akhir masa kenabian Nabi saww, sementara pinangan Umar di tahun ke 17 H sebagaimana dikatakan oleh: Ya’quubi dalam kitab Taariikhnya, Ibnu Sa’ad dalam kitabnya, Thabaqaatu al-Kubraa, 8/462-463 yang mengatakan “Umar mengawini Ummu Kultsuum yang masih berupa anak-anak yang belum baligh”

Ibnu Sa’ad ini juga menulis di kitab tersebut, 8/464: 

لما خطب عمر بن الخطاب إلى علي ابنته أم كلثوم قال يا أمير المؤمنين إنها صبية 

“Ketika Umar meminang anaknya Ali yang bernama Ummu Kultsuum, Ali berkata: ‘Wahai amirulmukminin, sesungguhnya ia masih anak-anak yang belum baligh.”

Sementara itu ketika Umar terbunuh di tahun ke 23 H, ia berumur 63 tahun. Jadi, waktu di tahun 17 H itu meminang Ummu Kultsuum, berarti usianya adalah 57 tahun. Nah, apakah mereka-mereka para pembuat sejarah itu begitu pentingnya menghubungkan Umar dengan Imam Ali as hingga menyepelekan Umar dengan mengatakan bahwa Umar mengawini anak umur 7 tahun sementara ia sendiri berumur 57 tahun?

Memang, mereka mengharap umat melupakan tahun dan umur, karena menutupi kudeta itu adalah sangat penting dan menjadi nomor pertama bagi kelanggengan pandangan dan madzhabnya.

Bayangin saja, di atas dikatakan bahwa Umar terkenal sangat kasar pada wanita hingga ditolak ‘Aisyah tapi ia memilihkan putri imam Ali as, dimana riwayat ini telah memburukkan ‘Aisyah dan Umar sendiri dan, di sini dikatakan bahwa Umar yang 57 tahun tega mengawini anak yang berumur 7 tahun. Padahal Umar adalah penentang perkawinan yang beda umur seperti ini: 

اتقوا اهلل ولينكح الرجل لمته من النساء ، ولتنكح المرأة لمتها من الرجال يعني شبهها . 

“Bertaqwalah kalian kepada Allah, karena itu hendaknya para lelaki mengawini perempuan yang sama umurnya dan hendaklah para wanita kawin dengan lelaki yang sama umurnya (Taariikhu al-Madiinah, 2/769; Kanzu al-‘Ummaal, 15/716, hadits ke: 42857)

Apakah Umar melupakan ayat ini: 

أَ تَأُْمُرو َن النَّا َس بِالْبِّر َو تَن َسْو َن أَنُف َس ُك ْم َو أَنتُ ْم تـَتـْلُو َن الْ ِكتَا َب أَ فََال تـَْعِقلُون 

“Apakah kalian menyuruh orang-orang untuk berbuat baik sementara kalian sendiri melupakan diri kalian, padahal kalian membaca al-Kitaab, apakah kalian tidak berakal?”

Lah, anehnya lagi anaknya juga bernama Zaid. Karena itulah mereka memaksakan bahwa Zaid yang dari Ummu Kultsuum bintu Jarwal/Jaruul itu adalah ashghar (lebih kecil) dan yang dengan Ummu Kultsuum bintu Ali as adalah yang lebih besar. Lah, bagaimana mungkin anak yang lahir di jaman Jahiliyyah lebih kecil dari anak yang lahir setelah wafatnya Nabi saww?

Karena itulah, maka Ummu Kultsuum istri Umar itu hanya satu saja, yaitu bintu Jarwal/ Jaruul itu dan anaknya yang bernama Zaid juga hanya satu.

h. Umar sendiri mengatakan bahwa imam Ali as menganggapnya sebagai pembohong, lalu apakah mungkin imam Ali as mengawinkan putrinya dengan pembohong? Dalam kitab shahih Muslim, 5/152, di kitab Huduud diriwayatkan bahwa Umar berkata kepada imam Ali as dan Abbas: 


ثُمَّ توُُفِّيَ أَبُو بَكْرٍ وَأَنَا وَلِيُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَوَلِيُّ أَبِي بَكْرٍ فَرَأَيْتُمَانِي كَاذِبًا آثِمًا غَادِرًا خَائِنًا


“Kemudian meninggallah Abu Bakar dan aku adalah wali Rasulullah saww dan wali dari Abu Bakar, akan tetapi kalian berdua melihat aku sebagai pendusta, pendosa, perusak dan pengkhianat.”

Dengan demikian, anggap memang ada yang namanya Ummu Kultsuum di rumah imam Ali as, walaupun anak Abu Bakar, atau anaknya sendiri, tapi apakah beliau as akan memberikan kepada orang yang disifatinya seperti di atas itu?

i. Dalam beberapa riwayat di syi’ah seperti di Ushuulu al-Kaafii, meriwayatkan seperti ini: 



محَمَّدُ بْنُ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ سَالِمٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ عليه السلام قَالَ لَمَّا خَطَبَ إِلَيْهِ قَالَ لَهُ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّهَا صَبِيَّةٌ قَالَ فَلَقِيَ الْعَبَّاسَ فَقَالَ لَهُ مَا لِي أَ بِي بَأْسٌ قَالَ وَ مَا ذَاكَ قَالَ خَطَبْتُ إِلَى ابْنِ أَخِيكَ فَرَدَّنِي أَمَا وَ اللَّهِ لَُعَوِّرَنَّ زَمْزَمَ وَ لَ أَدَعُ لَكُمْ مَكْرُمَةً إِلَّ هَدَمْتهَُا وَ لَُقِيمَنَّ عَلَيْهِ شَاهِدَيْنِ بِأَنَّهُ سَرَقَ وَ لََقْطَعَنَّ يَمِينَهُ فَأَتَاهُ الْعَبَّاسُ فَأَخْبَرَهُ وَ سَأَلَهُ أَنْ يَجْعَلَ الَْمْرَ إِلَيْهِ فَجَعَلَهُ إِلَيْهِ



Muhammad bin Abii ‘Umair meriwayatkan dari Hisyaam bin Saalim dari Abii ‘Abdillah as yang berkata: “Ketika ia –Umar- meminang kepadanya –imam Ali as- imam Ali berkata kepadanya: ‘Ia –Ummu Kultsuum- masih anak-anak balita.’ Kemudian ia –Umar- bertemu dengan Abbas dan berkata: ‘Ada apa denganku, apakah aku ada celanya?’ Ia –Abbas- menjawab: ‘Ada apa gerangan?’ Ia –Umar- menjawab: ‘Aku meminang pada sepupumu –imam Ali as- tapi ia menolakku. Demi Allah akan kupenuhi zamzam (ditutup) dan akan kuhilangkan semua kehormatan kalian, serta akan kuangkat dua orang untuk bersaksi bahwa ia –Imam Ali as- mencuri hingga kupotong tangan kanannya.’ Lalu ia – Abbas- datang kepadanya –imam Ali as- dan mengabarkan tentang hal tersebut seraya meminta untuk menyerahkan urusan itu kepadanya –Umar. Lalu kemudian ia –imam Ali- menyerahkan kepadanya -Umar.” 

Keterangan hadits: 


i-1- Anggap riwayat ini benar adanya, tetap tidak menunjukkan bahwa Ummu Kultsuum yang dimaksud adalah putri imam Ali as dengan hdh Faathimah. Karena bisa saja putri Abu Bakar sebagaimana maklum atau dari istri-istri yang lain.

i-2- Orang sunni tidak akan menggunakan hadits-hadits syi’ah ini karena semuanya yang ada meriwayatkan tentang buruknya hubungan dari perkawinan tersebut, sementara saudara-saudara sunni ingin membuat hubungan baik antara keduanya dengan menjadikan Umar sebagai mantu imam Ali as.

i-3- Di riwayat-riwayat sunni sendiri, telah diriwayatkan tentang pemaksaan ini, seperti: i-3-1- Mu’jamu al-Kabiir, 3/45, karya Thabrani dan Majma’u al-Zawaa-id, 4/272, karya Haitsami, diriwayatkan:

“Ketika imam Ali as meminta pendapat ‘Aqiil, Abbas dan imam Hasan tentang masalah pinangan itu, ‘Aqiil menentang pendapat imam Ali as dan berkata bahwa kalau kamu menolaknya akan begini dan begitu. Lalu imam Ali as berkata: ‘Demi Allah, ia tidak memberi nasihat, akan tetapi ketakutannya kepada Umarlah yang membuatnya seperti itu.’.”

1-3-2- Ibnu Mas’uud dalam kitabnya al-Thabaqaatu al-Kubraa, 8/464, meriwayatkan:

“Ketika Ali menolak Umar dengan alasan bahwa Ummu Kultsuum masih anak balita, Umar berkata: ‘Demi Allah aku tahu bahwa engkau menolakku bukan karena itu, akan tetapi ada hal lainnya.’.”

i-3-3- Thabraanii dalam kitabnya Mu’jamu al-Kabiir, 3/45, dan Haitsamii dalam kitabnya, Makma’u al-Zawaa-id, juga meriwayatkan:

Ketika Umar mendengar bahwa ‘Aqiil menentang pendapat imam Ali as , Umar berkata: 



ويح عقيل ، سفيه أحمق 



“Dasar si ‘Aqiil itu memang seorang yang cacat pikiran dan bodoh..”.

i-3-4- Ahmad bin Abdullah al-Thabarii dalam kitabnya, Dzakhaa-iru al-‘Uqbaa, hal 167-168, meriwayatkan:

Ketika Umar meminang Ummu Kultsuum kepada Ali, ia berkata kepada Umar: “Sesungguhnya ia masih balita.” Lalu Umar menjawab: “Tidak demikian, akan tetapi demi Allah aku tahu bahwa kamu hanya ingin menolakku.”

Kesimpulan poin (i):


Dengan semua penjelasan di atas itu, kalaulah Ummu Kultsuum benar-benar ada dalam sejarah, sekalipun ia anak tiri imam Ali as atau anak sungguhan dari istri manapun, maka jelas tergambarkan bahwa Umar sebagai penguasa kala itu telah memaksa imam Ali as hingga membuat beliau as tidak berdaya.

Dengan demikian, lalu masih adakah sisa-sisa keinginan sebagian saudara- saudara sunni yang ingin mengatakan bahwa hubungan keduanya sangat dekat karena yang satu mertua dan yang lainnya menantu?

Bahkan jelas sebaliknya, dengan mengumpulkan semua data-data di riwayat- riwayat sunni dapat dipahami bahwa hubungan keduanya adalah berseteru sepanjang masa dan, kalaulah perkawinan itu terjadi, maka dengan sangat jelas sebagai pemaksaan dan penjajahan.

j. Kritikan Hadits Sunni.

Dalam hadits-hadits sunni banyak sekali perawian yang menunjukkan Umar memiliki istri dari keluarga Rasul saww, yakni Ummu Kultsuum. Misalnya seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam shahihnya, dalam Kitaabu al-Jihaadi wa al-Sairi, bab: 66, bab: Hamlu al-Nisaa’ al-Qiraba ilaa al-Naasi fi al-Ghazwi: 


حَدَّثَنَا عَبْدَانُ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَاب [ زهري ]، قَالَ ثَعْلَبَةُ بْنُ أَبِي مَالِك إِنَّ 
عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رضى الله عنه قَسَمَ مُرُوطًا بَيْنَ نِسَاء مِنْ نِسَاءِ الْمَدِينَةِ، فَبَقِيَ مِرْطٌ جَيِّدٌ فَقَالَ لَهُ بَعْضُ 
مَنْ عِنْدَهُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَعْطِ هَذَا ابْنَةَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الَّتِي عِنْدَك  
يُرِيدُونَ أُمَّ كُلْثُوم بِنْتَ عَلِيّ  فَقَالَ عُمَرُ أُمُّ سَلِيط أَحَقُّ  وَأُمُّ سَلِيط مِنْ نِسَاءِ الأَنْصَارِ، مِمَّنْ بَايَعَ رَسُولَ 
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  قَالَ عُمَرُ فَإِنَّهَا كَانَتْ تَزْفِرُ لَنَا الْقِرَبَ يَوْمَ أُحُد  قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ تَزْفِرُ تَخِيطُ



‘Abdaan meriwayatkan kepada kami, dari Abdullah dari Yuunus dari Ibnu Sihaab (Zuhri), berkata Tsa’labah bin Abi Maalik: “Umar bin Khaththaab membagi-bagi baju kepada wanita-wanita Madinah. Lalu tersisa satu baju yang bagus sekali. Satu orang yang ada di sisinya berkata kepadanya: “Wahai khalifah, berikan ia kepada putri Rasulullah saww yang ada di rumahmu.’ Maksudnya adalah Ummu Kultsuum bintu Ali. Berkata Umar: ‘Ummu Saliith lebih berhak.’ Dan Ummu Saliith dari wanita Anshaar yang berbaiat kepada Rasulullah saww. Umar berkata lagi: ‘Karena ia di perang Uhud menjahit Qirbah (tempat air dari kulit) yang robek.’

Dalam riwayat ini ada orang yang benama Syihaabuddin Zuhri. Ia termasuk orang- orangnya Bani Umayyah bagian pembuat hadits-hadits palsu sebagaimana ditulis oleh ulama sunni, seperti:

- Ibnu ‘Asaakir di kitabnya Taariikhu Madinati Damasyq, 42/228:

Diriwayatkan kepada kami oleh Ibnu Ibrahiim al-Ja’farii yang berkata: “Aku berada di sisi al-Zuhri dan mendengarkan perkataannya. Lalu ada perempuan tua yang mendekatinya dan berkata: ‘Wahai Ja’farii, jangan tulis apa-apa yang ia katakan. Karena ia cenderung kepada Bani Umayyah dan penerima hadiah-hadiahnya.’ Aku bertanya kepada al-Zuhri: ‘Siapa wanita ini?’ al-Zuhri menjawab: ‘Ia adalah saudariku yang tersesat.’ Ia menjawab: ‘Yang tersesat itu adalah kamu karena kamu telah menutup-nutupi keutamaan keluarga Muhammad.’.”

- Hakim pengarang kitab al-Mustadrak, menukil dari Ibnu Mu’iin yang berkata: “Paling bagusnya sanad adalah A’masy dari Ibraahiim dari ‘Aqamah dari Abdullah.” Seseorang yang ada di sekitarnya bertanya kepadanya: “Apakah A’masy seperti Zuhrii?” Ibnu Mu’iin menjawab:

“Amit-amit kalau A’masy seperti Zuhrii. Karena Zuhri mencari dunia, harta dan mencari hadiah-hadiah serta bekerja untuk Bani Umayyah. Sedang A’masy adalah orang yang miskin, sabar, menjauhi para pejabat, wara’ dan alim tentang Qur'an.”

- Dzahabi dalam kitabnya Sairu A’laami al-Nubalaa’, 5/337, berkata tentang Zuhrii:

“Zuhrii memiliki harta dan uang yang banyak sekali dan memiliki nama serta kehormatan di pemerintahan Bani Umayyah. Ketika Abdu al-Malik meninggal ia menempel pada anaknya, al-Waliid, kemudian menempel ke Sulaimaan, kemudian Umar bin Abdu al- Aziiz, kemudian Yaziid dimana pada jaman Yaziid ini ia menjabat sebagai Hakim Agama.”

- Hasan Segaaf, dalam kitabnya yang berjudul Tanaaqodhaatu al-Baani al-Waadhihaat (Kontradiksi Yang Terang Dari al-Baanii), 3/336, berkata:

“Zuhri adalah orang yang suka menyisipkan kata-katanya sendiri di hadits-hadits Nabi saww, dari pahamannya sendiri atau tafsirannya sendiri. Bukhari telah memperingati hal tersebut sebagaiman imam-imam hadits yang lain seperti Rabii’ah, syaikh dari imam Maalik......”

- Ibnu Hajar dalam kitabnya, Fathu al-Baarii, 2/23, berkata:

“.............. kata-kata itu kalau bukan tambahan dari kata-kata Bukhari, atau Anas atau Zuhri sebagaimana kebiasaannya.”

Banyak sekali ulama sunni yang mengatakan bahwa Zuhri ini memiliki kebiasaan menyi- sipkan kata-katanya sendiri di tengah-tengah kalimat hadits-hadits Nabi asww. Karena itu, maka kata-kata: “Yang mereka maksudkan adalah Ummu Kultsum bintu Ali.” Di dalam riwayat yang menceritakan bahwa Umar sedang membagi-bagi baju pada para wanita- wanita Madinah, adalah tambahan dari Zuhri ini.

- Ibnu Hajar al-‘Askalaani, dalam kitabnya, Ta’riifu Ahli al-Taqdiis Bi Maraatibi al-Maushuu- fiina Bi al-Tadliis, hal. 109, mengatakan bahwa Zuhri adalah orang peringkat ke tiga di dalam golongan tukang palsu hadits (tadliis). Dan maksud golonga ke tiga adalah: “Orang yang terlalu banyak menipu hadits, karena itu maka para imam-imam hadits tidak ada yang mengambil haditsnya kecuali yang dijelaskan bahwa hanya menukil yang didengar. 

Akan tetapi sebagian imam-imam hadits, menolak secara mutlak hadits-hadits mereka (penipu golongan tiga).

- Ibnu Abi al-Hadiid, dalam kitabnya Syarhu Nahji al-Balaaghah, 4/102, mengatakan bahwa Zuhri ini bermusuhan dengan imam Ali as.

Masih terlalu banyak ulama yang mencela Zuhri dan tidak mengambil hadits-haditsnya.

Kesimpulan:


1. Perkawinan Umar dengan Ummu Kultsuum bintu imam Ali as itu adalah dongeng yang dibuat di siang bolong. Baik tujuannya untuk menutupi kudeta Umar terhadap imam Ali as, yaitu dengan berusaha mendekatkannya dengan imam Ali as atau karena memang merupakan tangan-tangan Bani Umayyah yang mengafirkan dan melaknati imam Ali as di mimbar-mimbar Jum’at sampai 40 tahun lamanya.

2. Kalaulah Ummu Kultsuum itu ada, maka ia adalah hdh Zainab as itu sendiri karena Ummu Kultsuum julukan yang diberikan Nabi saww kepada beliau as. Kalaulah mau dipaksakan ada juga dan bukan hdh Zainab as, maka ia adalah putrid Abu Bakar atau putri imam Ali as dengan selain hdh Faathimah as. Siapapun dia, jelas bukan istri Umar. Karena Ummu Kultsuum yang istri Umar itu adalah putri Jarwal/Jaruul.

3. Dan kalaulah pula sebagian orang ingin memaksakan bahwa Umar kawin dengan Ummu Kultsuum ke dua (walau tidak ada sejarah yang berkata seperti ini, karena Ummu Kultsuum istri Umar hanya satu orang), maka tetap saja tidak akan bisa dijadikan sebagai bukti hubungan baik antara imam Ali as dan Umar. Karena riwayat-riwayat yang ada, walau sulit dishahihkan, tetap saja mengatakan bahwa perkawinan itu adalah dengan paksa dan ancaman.

Peringatan:


1. Pada tulisan-tulisan yang telah lalu, alfakir pernah menjelaskan ajaran Islam dan filsafat perkawinan Umar atau Utsman dengan keluarga Nabi saww atau imam Ali as. Semua itu, berdasarkan ajaran Islamnya atau filosofisnya dimana tidak mesti seseorang itu kawin dengan yang setingkat dalam ketaqwaan atau maqam-maqamnya, bukan dilihat dari pembahasan historisnya.

2. Dengan penjelasan-penjelasan ini, dan begitu pula dengan penjelasan mengenai sejarah hdh Khadiijah as, maka dapat dipahami bahwa dengan adanya berbagai bentuk sejarah, akan tetapi kita meyakini bahwa yang benar itu adalah yang menjelaskan tidak adanya hubungan Umar dengan imam Ali as atau Utsman dengan Nabi saw.

3. Jadi, pembahasan filosofis dan agamis tentang perkawinan Umar dan Utsman itu, adalah pembahasan yang terjadi pada obyek yang berupa anggapan. Yakni anggap bahwa per- kawinan itu memang benar-benar terjadi.

4. Dengan demikian maka rute pembahasannya menjadi jelas. Pertama, tidak benarnya per- kawinan-perkawinan tersebut. Ke dua, kalaulah benar pula, penjelasan agama Islamnya dan filosofisnya adalah seperti yang sudah ditulis sebelum-sebelumnya itu. 



Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ