Tampilkan postingan dengan label Logika. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Logika. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 September 2018

Logika (Bgn 5)



Seri Tanya jawab Status Ustad. Muhsin Labib 


Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 Juli 2011 pukul 13:34


Status: Muhsin Labib: “relatif” itu mutlak? Komentar-Komentar : 

Sabara Putra Borneo: Tetapi mutlak itu tidak relatif... hehehehehe. 

Mustafa Muhammad Ba’abud: Bukankah kebenaran mutlak hanya Milik Allah dan manusia diciptakan dengan serba relatif? Mohon pencerahan ustad. 

Muhsin Labib: Andai pengertian “relatif” tidak mutlak, maka tidak ada sesuatu yang bisa disebut “relatif”.

Sinar Agama : Relatif itu adalah relatif dan bukan mutlak, karena makna keduanya jauh berbeda. Ini kalau kita definisikan relatif dengan zat-zat dirinya dan hakikat dirinya dalam pahaman kita. Definisi seperti ini adalah definisi esensi dan hakikatnya dimana letak kesamannya ada dalam pahaman. Karena definisi harus sama dengan yang didefinisi. Jadi kalau dikatakan mutlak, maka ia adalah definisi yang salah. Akan tetapi ada lagi definisi yang tidak menerangkan zat- zat dan hakikat dirinya, akan tetapi hanya mengandalkan penerapan di luar akal. Di sini relatif bisa dikatakan mutlak. Yakni relatif termasuk salah satu mishdaq atau ekstensi dari pahaman mutlak. Definisi pertama biasa disebut dengan definisi pertama atau awwali, sedang yang ke dua ini disebut dengan definisi kebanyakan. Pertemuan dan kesamaan pada definisi pertama itu dalam pahaman dan esensinya, tetapi pada yang ke dua pada ekstensinya atau wujud luarnya. Kalau dicontohkan dengan esensi manusia, maka untuk definisi pertama dikatakan “manusia adalah manusia” atau “manusia adalah binatang rasional”. Tetapi contoh definisi untuk definisi kebanyakan dikatakan “manusia adalah Hasan, Husian ...dan seterusnya”.

Muhsin Labib: @sinar: tanpa menafikan penjelasan antum, status di atas berkaitan dengan pola haml (predikasi) primer dan sekunder... Ini soal “awwalan wa bidz-dzat”...

Sinar Agama: Benar, ana cuma menjelaskan pada orang yang belum tahu atau yang lupa. Ahsantum cuma tetap perkataan antum: Ini soal “awwalan wa bidz-dzat”... tetap sulit dicerna. Karena definisi sekunder itu tidak bisa bidzdzat artinya tidak melihat sama tidaknya, dan hanya melihat bertemu tidaknya di luar akal.

Muhsin Labib: @sinar; memang, konteks “relatif” (dengan tanda petik itu mutlak) mengacu pada kemutlakan dan universalitas pengertian relatif.

Sinar Agama: Ustadz, relatif itu pengertiannya adalah relatif, bukan mutlak, dan bahkan justru lawan dari mutlak. Dan keuniversalannya itu tidak bisa mengeluarkannya dari makna relatif. Seperti manusia yang keuniversalannya tidak meliputi makna yang berlawanan dengannya seperti kuda misalnya. Jadi manusia adalah manusia dan bukan bukan manusia. Mutlak juga begitu, ia lawan relatif dari sisi makna dan zatnya serta pengertiannya. Akan tetapi dari sisi penerapan, maka ralatif bisa dimasukkan ke dalam ekstensi mutlak. Yakni bahwa pemaknaan dari relatif yang bermakna relatif dan bukan mutlak ini, dan bahkan bukan makna yang lainnya, termasuk dari ekstensi makna mutlak. Jadi, yang mutlak itu bukan relatifnya, tetapi pemaknaan relatif dengan relatif dan bukan dengan mutlak itu. Mungkin saja antum yang benar. Ini sekedar sumbang sih, itupun kalau benar. Afwan.

Muhsin Labib: Ya akhi “SA” mestinya antum tidak perlu bermurah hati memberikan klarfikasi tentang masalah yang sangat jelas ini. Saya tahu bahwa relatif itu tidak mutlak. Konteks saya menulis status itulah yang mungkin tidak tertangkap oleh antum. Bila makna “relatif” itu relatif maka dia pada dirinya adalah relatif dan karenanya tidak dapat dijadikan parameter.

Sinar Agama: Yah... kalau ghitu afwan deh.. ana tidak koment lagi, sebab masih beda... nggak apa-apa ustadz silahkan saja. 


Tika Chi Sakuradandelion, Hendy Laisa, Agoest Irawan dan 22 lainnya menyukai ini. 


Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad. 


Hendy Laisa: simak bung Roy Khan

Jayadhy: SA senang lihai benar memancing perdebatan, walau sebenarnya SA ngerti maksd dari Ust. ML dari sudut pandang apa status itu ditulis. (Mudah mudahan tidak salah. hehehe). Tapi mantap kok!!! Lanjutkan!!! 

Hendy Laisa: Mohamed Matona> Tolong jangan mengedit catatan dalam grup. 

Hendy Laisa: Mudah-mudahan Anggelia Sulqani Zahra menengok hal ini, afwan. 

Melvin Andrian Tanjung: Mantap !! Ketika Ustad Intelektual beradu ilmu (berdebat)... kita-kita hanya menyimak saja.. 

Wibi Wibo de Bowo: Sepakat dengan ML ! 

Zaranggi Kafir: Sepakat dengan SA !!! 

Yudhas Kopula: Mantap. 

Alie Sadewo: Mantau. 

Bande Husein Kalisatti: Ya..gitulah.. 

Wahyu Nugroho: Aku gak mudeng yang kaya gini-gini.... jadi aku ambil langkah sederhana ajalah.... 

Giri Sumedang: Filosof memandang relatif itu tidak mutlak, para arifin memandang relatif itu ber- asal dari yang mutlak, sehingga ia menempel total pada kemutlakannya (sebagai asas atau prinsip dari realitas dan hukumnya) maka ia tidak bisa dipisahkan dari kemutlakannya sendiri. Atau dengan kata lain “si relatif” itu juga telah meminjam baju eksistensi “si mutlak” tadi. Sebab kalau tidak kak, kita tidak bisa mendifinisikan apa pun dari semua kemaujudan ini. Sekarang kita mau pakai sudut pandang apa dan dari mana untuk melihat realitas ini? 

Mau mencoba memisahkan secara dikotomis kemutlakan dari yang relatif adalah mustahil ya kan kak? Atau mencoba mengontradiksikan ke-dua hal tersebut juga perbuatan sia-sia. Bahwa kedua hal tersebut dalam makna itu berbeda, jelas ya. Kalau tidak berbeda, wah repot kita kak, ya kan. Mending pakai satu term aja.. pakai relatif atau sekalian mutlak semua. Tapi justru itu tidak menjadi sempurna ia sebagai realitas, walaupun ia hadir sekedar sebagai pahaman, hukum, konsepsional, dan esensial lainnya.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Logika (Bgn 4) “Akal Pahaman dan Akal Amali”



Oleh Ustad Sinar Agama 

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:25



ENg’guh Al Ghifari : Salam ustad,, terima kasih banyak ustad atas jawabannya, afwan ustad saya ingin bertanya lagi, apakah benar ilmu bukan untuk di pahami dan pemahaman yang hakiki tardapat pada pelaksanaan hidup, itu baru makna suatu keilmuan. (Pertnyaan ini dari jawaban teman saya ustad, teman saya sendri memahami tntang ilmu yang dia pahami sperti itu.) Syukran ustad.

Sinar Agama : Salam dan terima kasih pertanyaannya, Ilmu jelas untuk dipahami. Dan ilmu, bukan gambaran akal atau keyakinan tanpa dalil, kecuali memang tidak ada predikatnya, seperti putih, panas, manusia, api, gunung dan seterusnya. Tetapi kalau mengandung hukum atau predikat, dan tidak tergolong ilmu mudah seperti api itu panas, maka harus memiliki dalil. Dan dalilnya harus bermuara pada ilmu mudah.

Dengan dua poin di atas itu dapat diketahui bahwa tidak mudah mengatakan ilmu pada sesuatu yang tidak mudah. Karena harus memiliki dalil yang bermuara pada proposisi atau stattement mudah seperti “api panas” itu. Dalam Qur'an dan hadits terlalu banyak yang memerintah kita untuk mencari ilmu, dimana kalau ilmu itu adalah ilmu agama maka yang mati di jalannya adalah mati syahid, dan selalu mendapat karuniaNya. Sampai-sampai dikatakan dalam suatu riwayat: “Orang yang beramal tidak diatas dasarkan pada ilmu, maka ibarat musafir yang tidak berjalan di atas jalannya.

Karena itu, kecepatan jalannya, tidak akan menambah apapun kecuali semakin jauhnya dari tujuannya.” Karena itu salah satu kewajiban yang termasuk terbesar dalam Islam, adalah kewajiban belajar ilmu akidah dan fikih.

Orang yang tidak belajar fikih keseharian adalah dosa hukumnya. Namun demikian, walau ilmu dan menuntutnya agama itu adalah kewajiban dan memiliki pahala yang tinggi dan yang mati di jalannya adalah mati syahid, akan tetapi dalam tingkatan yang lebih tinggi, ia adalah hijab. Artinya hijab yang berupa cahaya dan petunjuk.


Karena ilmu adalah hidayah dan petunjuk, seperti manual bagi setiap barang elektronika yang kita beli. Namun, kalau ia tidak diamalkan, dan dicintainya tanpa menyintai aplikasinya, maka ia adalah hijab. Artinya hijab bagi tingkatan yang lebih tinggi itu. Saking ditekankannya aplikasi itu, hingga imam Ali as. mengatakan bahwa: “Orang yang tahu tapi tidak beramal, maka ia tidak tahu.”. Hal itu karena kalau tahu itu ada tahu akli yakni pemahamannya, dan tahu/ilmu amali yakni yang menyuruh kita mengaplikasikannya. Yakni akal itu ada dua: akal pahaman dan akal amali.

Karena itu maka konsekwenan akal yang berupa ilmu, juga akan ada dua, yaitu ilmu pahaman dan ilmu amalan (bc: ilmu kita yang menyuruh bahwa ilmu yang benar itu harus diaplikasikan dalam kehidupan). Dengan penjelasan di atas itu, maka ilmu dan mencari ilmu itu adalah syarat bagi keselamatan. Namun demikian ia tidak lengkap kecuali dengan aplikasinya. Wassalam.

Tika Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin dan 5 orang lainnya menyukai ini. 


Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Logika (Bgn 3)



Seri Tanya Jawab : Billy Joe Hernandez dan Ustad Sinar Agama 

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:24



Billy Joe Hernandez : Salam Ustad, Mohon di jelaskan tentang substansi beserta bagian-bagiannya yang lima itu yaitu : 
  1. Matter (material) 
  2. Form 
  3. Benda 
  4. Jiwa/ruh dan 
  5. Akal Shukron ustadz. 
Sinar Agama : Salam dan terima kasih pertanyaannya:

1. Matter/matrial adalah dimensi material dari setiap keberadaan materi. Artinya ia adalah pembawa sifat potensi yang ada pada setiap keberadaan material. Misalnya mani yang dari sisi substansialnya terdiri dari dua hal, material dan formnya sebagai mani (bukan batu, pohon dan seterusnya). Mani jelas memiliki sifat yang dikenal dengan potensi, yakni potensi menerima form lain selain kemaniannya, misalnya darah, daging dan janin. Seluruh keberadaan materi, seperti pohon, kucing dan seterusnya, di samping memiliki formnya sebagai pohon dan kucing, ia juga memiliki material yang memikul sifat potensi menerima form/bentuk yang lainnya.


Nah, pembawa sifat potensi menerima form lain itulah yang dikatakan Matter/material. Sedang formnya, atau speciesnya, seperti pohonnya pohon (bukan materialnya pohon) sudah pasti tidak akan menerima form lain seperti tanah, atau api. Karena form ketika dalam keadaan eksis, maka artinya ia bukan form yang lain. Beda halnya dengan material pohon yang bisa menerima form tanah atau api dan/atau form-form yang lain.

2. Form adalah bentuk, tetapi bukan bentuk yang dipakai pada benda hingga berarti melingkar, kerucut dan semacamnya. Tetapi bermakna species dari setiap wujud materi. Seperti pohon, maka pohonnya pohon adalah formnya yang, karena itu ia dapat dibedakan dengan form lain seperti, air, batu, mani dan seterusnya. Atau manusia, maka akal atau manusianya manusia, adalah formnya, dan badannya yang membawa potensi menerima wujud form lain seperti tanah (kalau sudah mati) adalah matternya.

3. Benda adalah setiap apa saja yang menerima panjang, lebar dan tebal. Biasanya, setiap benda ini, selalu membawa matter dan form. Tetapi akal dapat membedakan apa yang disebut “benda” yang, biasa dilawankan dengan non benda atau non materi.

4. Jiwa atau ruh, adalah non materi secara zatnya tetapi material secara aktifitasnya. Seperti ruh binatang, ruh manusia, ruh pohon, ruh batu....dan seterusnya. Semua ruh-ruh itu, pada hakikat zatnya, adalah non materi, akan tetapi dalam aktifitasnya memerlukan pada materi. Karena itu, pohon untuk mengeluarkan zat asam, memerlukan badan pohonnya. Begitu pula ruh binatang dan manusia, untuk beraktifitas seperti gerak ikhtiarinya dan semua geraknnya itu, perlu kepada material atau benda.

5. Sedang akal, adalah yang non materi secara zat dan aktifitas. Seperti malaikat Barzakh dan malaikat Akal.

Wassalam. 


Chi Sakuradandelion dan 4 orang lainnya menyukai ini. 

Khommar Rudin : Allohumma Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad Wa ‘Ajjil Farojahum.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 26 Agustus 2018

Logika (Bgn 2)



Oleh Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:22


Saepul Rochman : Assalamu’alaykum. wr.wb. Ustadz Sinar, mohon dijelaskan mengenai epis- temologi, cara-cara, kaidah-kaidah penafsiran/takwil Al-qur’an menurut Ahlu Bait dan bagaimana pendapat ustadz tentang Kritik Teks (naqd An-nash) Ali Harb, saya sedang belajar dan masih terasa kering jika berbicara tentang Islam yang sebenarnya, Wassalamu’alaykum.wr.wb.

Sinar Agama : Salam dan terimakasih pertanyaannya. Pertanyaan antum ini perlu jawaban sebuku setidaknya. Tetapi alfakir akan berusaha memberikan gambaran ringkasnya, tetapi tolong sabar, karena sudah beberapa jam belum selesai. Nanti baru akan dikirimkan di koment ini, doakan.

Salam dan terimakasih pertanyaannya : Pertanyaan antum ini memerlukan jawaban dalam satu buku, setidaknya. Hem. Tetapi karena kata orang Arab: Kalaulah tidak terjangkau keseluruhannya, jangan ditinggalkan semuanya. Jadi saya akan coba saja.

Tentang Mengenal ilmu al-Qur'an, maka perlu diketahui bahwa Qur'an itu adalah ilmu juga seperti ilmu-ilmu lainnya. Karena Qur'an diturunkan oleh Tuhan untuk membimbing manusia ke jalan yang benar. Artinya sesuai dengan alamiah ciptaan dan sistemNya. Karena itulah Qur'an menjelaskan semua hal, terutama yang berkenaan dengan diri manusia, alam sekitarannya yang berhubungan dengannya, dan tujuan penciptaannya, seperti Tuhan, surga, insan kamil dan semacamnya.

Karena itulah Qur'an adalah informasi terhadap hakikat sesuatu, baik dari mananya, di mana- nya dan kemananya. Yakni dari mana berasal, dan memiliki potensi apa, serta bagaimana menggunakannya. Walhasil Qur'an adalah manual alam semesta ini, baik yang berurusan dengan manusia atau makhluk yang lainnya. Jadi, dari sisi ini, maka Qur'an tidak beda dengan ilmu-ilmu lainnya yang menginfokan keniscayaan, potensinya dan cara penggunaannya untuk mencapai tujuan penciptaannya, yakni kesempurnaan.

Ilmu yang lain dari ilmu Qur'an, maksudnya adalah yang didapat dengan cara selain Qur'an, banyak sekali bentuknya. Bisa melalui Panca Indra yang ilmunya biasa dikenal dengan Ilmu Panca Indrawi. Ada yang dengan insting yang biasa dikenal dengan Perasaan. Ada yang dengan akal, yang biasa dikenal dengan ilmu-argumentatif-akliah. Ada juga yang dengan eksperiment yang bisa dikenal dengan Ilmu Laboratoris. Ada juga ilmu yang dicapai dengan pembersihan jiwa tingkat biasa yang disebut dengan Kasyaf dan ilmu Ladun. Ada yang lewat meditasi. Ada yang lewat bertapa. Dan semacamnya.

Sedang Qur'an sendiri itu, diturunkan lewat renungan yang dibarengi dengan pembersihan jiwa tingkat sangat tinggi hingga ruh seseorang (Nabi saww.) menjadi menjadi kertas putih yang layak untuk dijadakan lembaran-lembaran yang di atasnya Tuhan menuliskan beberapa ilmuNya yang perlu diketahui manusia yang, dikenal dengan Wahyu-syariat, yakni Qur'an dalam hal ini. Dan kalau tingkatan pembersihannya sama akan tetapi bukan syariat, maka dikatakan wahyu ilmu (bc: bukan syariat).

Beda ilmu yang ada dalam Qur'an dengan ilmu-ilmu lainnya setidaknya ada beberapa hal:

(a). Dari sisi kelengkapan obyek bahasan ilmunya. Yakni bahwa di Qur'an sudah dijelaskan semua sesuatunya, terlebih yang menyangkut nilai prilaku manusia, baik yang dibahasakan dalam bentuk hukum/fikih (sebagai dasar hidup yang wajib dan minimal) atau dalam bahasa akhlak (yang tidak wajib dan hanya pelengkap dan maksimalnya hanya dianjurkan) atau bahkan dalam bentuk Irfan/wahdatulwujud (yang semakin tidak wajib dan tidak dianjurkan secara umum).

Jadi, dalam Qur'an apapun yang ada di alam ini, khususnya yang secara naturalnya, dan potensi yang dikandung di dalamnya, dari masa lalu, sekarang dan akan datangnya, semua, sudah dijelaskan. Artinya natural dan potensinya yang berhubungan dengan prilaku dan ikhtiar manusia. Jadi, apa saja yang menyangkut makhluk dan potensinya, terutama yang berhubungan dengan ikhtiar dan karakter manusia, sudah diterangkan. Karenanya, yang bisa menguaknya hanyalah orang-orang yang spesialis mengkajinya. Ada obyek lain yang tak kalah pentingnya dan bahkan dasar dari semua yang diterangkan di dalam Qur'an. Yaitu tentang Tuhan itu sendiri. Baik ZatNya, Sifat ZatNya, Sifat Fi’ilNya, PerbuatanNya dan seterusnya. Sementara ilmu-ilmu selain Qur'an tentu saja tidak menyeluruh dan berkembang sesuai dengan kemampuan setiap masanya.

(b). Beda lainnya adalah dari sisi kepastian benarnya. Mengapa al-Qur'an pasti benar informasinya? Sudah tentu karena penginfonya, penulisnya dan penurunnya adalah Allah swt sendiri yang mencipta alam ini dengan segala sistem yang ada dimana Ia pasti tahu seluk beluknya. Karena itulah ilmu yang ada dalam Qur'an pastilah benar. Namun demikian, kebenarannya adalah kebenarannya. Artinya Qur'an yang benar itu adalah Qur'an yang Qur'an. Yakni Qur'an yang dimaksudkan olehNya, bukan Qur'an yang kita pahami.

Karena Qur'an yang kita pahami, sangat-sangat belum tentu sesuai dengan maksudNya. Jadi, Qur'an yang kita pahami ini, bisa benar dan bisa juga salah. Dan yang benarnya, bisa di tingkatan bawah, dan bisa di tingkatan tengah dan bisa pula di tingkatan atas.

Begitu pula, ilmu yang bukan dari Qur'an itu tidak mesti salah atau apalagi pasti benar. Tidak demikian. Jadi, ilmu selain dari Qur'an bisa salah dan bisa benar juga. Dengan demikian, Qur'an dan selainnya sama-sama menunjukkan kepada kenyataan, tetapi yang pertama pasti benar dan yang ke duanya belum tentu benar. Tetapi yang pertamapun harus Qur'an yang Qur'an, bukan yang salah pemahamannya.

Karena itulah maka Qur'an yang Qur'an dan ilmu-ilmu lainnya yang benar, sama-sama obor, sama-sama cahaya yang menerangi akal dan ruh kita untuk mengetahui obyek ilmunya atau kenyataan yang sesungguhnya. Kalau terjadi perbedaan antara ilmu Qur'an dan ilmu lainnya, maka bisa saja ilmu Qur'annya yang salah dan bisa juga ilmu lainnya, dan bisa saja sama-sama salah, dan bisa saja sama-sama benar yang belum diketahui titik temunya.

Semua ilmu, baik Qur'an dan bukan, ada yang mudah dan ada pula yang perlu dipikir. Tentu saja perbandingan di sini ini adalah antara Qur'an yang kita ketahui, artinya yang belum tentu sesuai dengan yang dimaksudkan Allah dan Rasul saww. atau para imam maksum as.

Pertentangan keduanya itu bisa dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:

(a). Ilmu Qur'an yang mudah lawan ilmu lain yang juga mudah. Di sini, sulit ditemukan kejadiannya. Karena secara fitrah dan seyogiyanya, akal dan keAdilan serta keBijakan Tuhan, keduanya harus seiring. Artinya, tidak mungkin Tuhan tidak meyakini-i atau menge- ya-i ilmu-ilmu mudah kita, seperti panasnya api, bahayanya harimau, cairnya air, padatnya batu, adanya marah dalam hati, cinta, rindu dan dendamnya, dan seterusnya. Karena itulah Tuhan mengatur semua itu. Coba bayangkan kalau Tuhan belum mengiyakan ilmu-ilmu mudah kita itu, maka Tuhan harus menerangkan dulu maksud marah dan baru bisa memberikan hukumnya, menerangkan dulu maksud makan dan minum baru menerangkan hukumnya dan seterusnya.

Nah, karena ilmu mudah itu adalah diperlukan seperti nafasnya manusia, maka pernyataan Tuhan dalam Qur'an yang berpijak pada hal-hal mudahpun pasti mauNya adalah yang dipahami manusia itu. 

Memang, ilmu mudah ini tidak mesti diketahui oleh setiap manusia dan/atau disadarinya. Karena itu ia memiliki beberapa syarat: Tidak dipikir; Sehat panca indra; Tidak gila; Tidak berpenyakit ragu; Disadari (konsen/fokus).

Yang dimaksudkan dengan “lawan” adalah “kontradiktif” atau saling menolak. Tetapi kalau hanya berbeda saja, maka sangat mungkin sama-sama benar.

(b). Ilmu mudah Qur'an lawan (bertentangan) ilmu sulit (yang perlu renungan) atau sebaliknya, yakni ilmu mudah selainnya (akal) lawan ilmu sulit Qur'an. Di sini, kita seyogyanya mengambil yang ilmu mudahnya. Apakah Qur'an atau selainnya. Dan meninggalkan yang sulitnya, apakah Qur'an atau selainnya.

Akan tetapi, untuk lebih hati-hatinya, maka harus ditengok ulang terlebih dahulu, apakah kemudahan ilmunya itu –Qur'ani atau selainnya itu- sudah benar-benar demikian, atau kita yang salah menerka hingga mengatakan bahwa ilmu pikir itu sebagai ilmu mudah. 

(c). Ilmu sulit Qur'an berlawanan dengan akal gamblang. Disini kita harus ambil yang akal gamblangnya. Kemudian mencarikan jalan keluar bagi pemahaman akan Qur'annya itu, dengan dalil-dalil akal gamblang tadi. Seperti., di dalam Qur'an dikatakan bahwa Tuhan mencipta nabi Adam as. dengan dua tanganNya. Di sini, kalau tangan ini dimaknai dengan arti yang biasa dipakai sehari-hari secara lebih banyak, maka Tuhan akan menjadi Benda. Karena akal gamblang mengatakan bahwa kalau punya tangan pasti punya tubuh, kepala dan semacaamnya. Karena itu pasti terangkap seperti yang diyakini Kristen (satu dalam tiga dan sebaliknya).

(d). Kalau sama-sama sulitnya, maka dilihat, mana yang memiliki dasar argument yang berakhir pada ilmu-mudah dan gamblang. Kalau salah satunya memiliki, maka ialah yang kita ambil. Dan kalau sama-sama, tidak memiliki karena belum ditemukan, maka tugas kita adalah tawaqquf, yakni no koment dulu.

Sementara untuk memahami Qur'an, maka banyak sekali syaratnya. Seperti bahasa Arabnya (termasuk sastranya), akal sehat, dalil sehat, asbabunnuzulnya, sejarah, hadits- hadits, ayat yang berhubungan.....dan seterusnya.

Sedang Untuk Pendekatannya:

(a). Bisa memakai metologi Pemahaman Qur'an lewat Qur'an. Yakni, bisa dikatakan metologi konstektual. Yaitu membandingkan ayat yang mau dipahaminya dengan ayat-ayat lain yang berhubungan, dan melihat kondisinya. Jadi tidak bisa memahami Qur'an hanya dengan tekstualnya saja. Yakni memahami satu ayat dan tidak membandingkannya dengan ayat-ayat lainnya.

(b). Bisa memakai metodologi Hadits. Yakni melihat penjelasannya dari hadits-hadits yang ada, baik menyangkut langsung atau tidak langsung. 

(c). Bisa memakai metodologi ilmu Kalam. Yakni memakai dasar-dasar pemikiran dan konsep yang ada dan sudah teruji di ilmu Kalam, lalu menerapkannya pada pemahama ayat-ayat Qur'an.

(d). Bisa juga memakai metologi Filsafat. Yakni memakai kaidah-kaidah dan konsep-konsep yang sudah diyakini kebenarannya di filsafat sesuai dengan dalil gamblangnya, lalu menerapkannya kepada pemahaman ayat-ayat.

(e). Bisa juga memakai metodologi Irfan. Yakni menggunakan nilai-nilai dasar yang ada dalam Irfan, lalu menerapkannya pada pemahaman ayat Qur'an.

(f). Dan lain-lain metodologi, seperti sejarah dan seterusnya.

Pendekatan paling bagusnya adalah memakai semua metodologi yang ada. Karena semua itu tidak bertentangan, akan tetapi bisa saling melengkapi.

Tentang buku kritikan terhadap penafsiran teks itu saya tidak bisa koment, karena harus cari bukunya dulu dan membacanya dengan bijak. Tetapi kalau yang dimaksudkan teks itu adalah teks ayat tanpa mengkomparasikannya dengan ayat-ayat lain setidaknya, maka penafsiran seperti itu, memang lebih menyesatkanya dari benarnya, kecuali kalau hal-hal yang terbukti mudah.

Saepul Rochman : Terima kasih jawabannya, ustadz. Afwan jika saya bertanya lagi, tidak bermaksud mendebat, karena apa yang ustadz katakan memang benar adanya. Hanya kegelisahan saja. Akhir-akhir ini sering muncul persoalan-persoalan, seperti “membebaskan Al-qur’an dari sejarah turunnya”, atau “asbabun nuzulnya hari ini”, “membahasakan Al-qur’an sebagai asas-asas teori sosial”. Kemudian saya pernah membaca Teorinya Asghar Ali tentang pendekatan teologi sosial, yang saya pahami adalah mendekati ayat-ayat teologis sebagai analogi dari proses sosial. Menurut ustadz sendiri tentang persoalan tersebut bagaimana...??. ,. Wassalam.

Sinar Agama: Saepul, Tak masalah antum bertanya atau berdebat. Yang diutamakan adalah memakai dalil, dan terlihat mencari kebenaran. Karena saya sendiri juga dalam pencarian yang tidak pernah henti. Memang, kalau debatannya itu dibahasakan yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing orangnya, maka akan lebih nyaman.

Membebaskan Qur'an dari Asbabunnuzulnya, bukan berarti mensosialkan bahasanya. Karena kedua- nya itu, tidak bertentangan, tetapi bahkan saling teriring. Kecuali kalau maksud pensosialisaiannya itu, adalah sosial sekarang. Karena, sosial sekarang, banyak yang tidak sama dengan sosial masa diturunkannya Qur'an. Karena itu, kalau sosial sekarang ini dijadikan tolok ukur pemahamannya, maka sudah pasti Qur'an akan keluar dari maknanya. 

Namun demikian, sosial manusia di setiap jaman tetap bisa menjadi pertimbangan makna Qur'an. Akan tetapi setelah memaknai terlebih dahulu dengan kondisi diturunkannya Qur'an itu. Artinya, kita harus tahu dulu makna asalnya. Setelah itu, baru menyesuaikannya dengan kondisi sekarangan. Hal itu agar tidak terjadi penyelewengan makna, dan tidak pula terjadi penyesuaian liar terhadap kondisi sekarang.

Kalau ulama, sudah sangat mengerti apa yang harus dilakukan. Karena dari masa ke masa hanya mengkaji Qur'an dan hadits-hadits. Jadi, mereka mengerti makna awal diturunkannya Qur'an itu yang tentu disesuaikan dengan kondisi sosial di masa turunnya Qur'an. Setelah itu, mereka mencoba mengerti makna sesungguhnya yang, biasa dikenal dengan ‘ilalusysyaraayi’ (filsafat atau sebab hukum). Dan setelah itu, ditranfusikan dari ulama sebelumnya ke ulama setelahnya secara akademis dan sistematis sampai pada hari ini. Jadi, penyesuaian itu sangat dilakukan dengan hati-hati pada setiap estafet sosial masyarakat, alias tidak sembarangan. Karena itulah yang tidak membidangi agama, mesti ikut mereka yang membidanginya.

Misalnya, dulu kita tahu bahwa yang memabokkan itu hanya ada satu macam, yaitu khamer (minuman memabokkan) yang juga telah dihukumi dengan haram. Tetapi kita juga tahu bahwa pengharamannya itu karena kemabokannya itu, bukan karena minuman kerasnya semata. Misalnya dengan adanya hadits yang mengatakan bahwa “Minuman keras itu diharamkan karena memabokkan.” Maka dengan ini kita menjadi tahu bahwa yang diharamkan itu bukan minuman keras itu sebagai minuman keras, tetapi sebagai sesuatu yang memabokkan (menghilangkan kesadaran).

Karena itulah maka apapun yang memabokkan, hukumnya adalah haram. Apakah ia beer, heroin, ganja ...dst. memabokkan. Jangan lupa, bahwa pembahasan sosial itu, adalah sebab dasar ke dua setelah akidah dari diturunkannya Qur'an. Artinya, hukum-hukum Tuhan itu diturunkan untuk menata sosial. Jadi, bahasa Qur'an memang sosial. Jadi, justru Qur'an itu untuk menata sosial kita manusia. Tentu saja dengan memahaminya terlebih dahulu dengan cara di atas itu.

Tentang teori teologi menuju sosiologi, itu memang inti dari Qur'an seperti yang diterangkan di atas itu. Artinya, apa arti kita bertauhid, kalau dalam urusan-urusan sosial kita mengambil dari hukum dan tata cara selain dariNya. Apa gunanya kita mengatakan Allah Maha Alim, Tahu, Kuasa, Kasih, Penyayang, Adil, Bijaksana......dan seterusnya, tetapi aturan hidup bersosial, berpolitik, berseni, berekonomi, berdakwah, .......dan seterusnya mengambil dari kocek sendiri, budaya sendiri dan, apalagi dari barat yang kafir? 

Wassalam.


Tika Chi Sakuradandelion, Bande Husein Kalisatti, Khommar Rudin, dan 13 orang lainnya menyukai ini.

Ammar Dalil Gisting: Shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad..

Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad.

Saifulbahrein Abdullah: http://www.facebook.com/.../Melawan.../434230616597552 Melawan Propaganda Musuh Membina Kesatuan Islam

Saifulbahrein Abdullah: Afwan enggak tahu mahu dikongsi dimana. Afwan. 

Daris Asgar: Allohumma Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad Wa ‘Ajjil Farojahum. 

Khommar Rudin: Allohumma Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad Wa ‘Ajjil Farojahum. 

20 April pukul 17:36 · Suka



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Logika (Bgn 1)



Oleh Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:20


Fluktuasi Manusia = Ketika manusianya manusia itu ditentukan akalnya, maka dalam hal apapun, seperti tentang dirinya, Tuhannya, agamanya, keluarganya, tetangganya, temannya, lingkungannya, negaranya, dunianya, bisnisnya, seninya, ilmunya, hukumnya, politiknya, kerjanya… dst.. Haruslah diukur dengan akalnya. Jadi, kapan saja ia tinggalkan AKAL dan masuk dalam INGIN, maka kala itulah ia bukan lagi manusia.

Dan AKAL = DALIL GAMBLANG.

Bento B D’Blueisland : Bagaimana dengan daya imajinasi & daya khayal ustadz? Termasuk dalam Akal atau Ingin? Atau malah tidak ada hubngan sama sekali? Mohon penjelasannya. Terima kasih.

Mujahid As-Sakran : Ustad, kaitannya dengan qalbu gimana? Sering disalahfahami antara aqal dengan qalbu, mohon pencerahannya, syukran.

Sinar Agama
Jawaban untuk Bento:

1. Khayal itu ada dua makna, filosofis dan umum. Kalau Filosofis, semua gambaran yang ada di akal itu adalah khayal. Khayal ini dibagi dua, memiliki hukum (subyek predikat) atau tidak, yang tidak dikatakan Gambaran/khayal, dan kalau memiliki hubungan hukum atau diterangkan menerangkan dan diyakini kebenaran atau kesalahannya maka dikatakan Yakin, dan kalau tidak diyakini keduanya, dikatakan Gambaran/khayal. Sedang makna umumnya adalah pikiran yang melantur.

2. Dengan sedikit mukaddimah itu, maka ketahuilah bahwa Akal secara filosofis adalah: Pahaman universal. Tapi makna tersiratnya adalah: Pahaman Universal dan penerapannya pada individunya serta memajukan khazanahnya dan memperbaiki kekeliruan info dan argumentnya.

3. Jadi, selain itu, maka ia adalah bagian dari Ingin atau Rasa atau Nafsu. Artinya, gambaran yang ada di akalnya itu hanyalah sebuah gambaran bagi kepengaturan daya-daya ruh yang dibawahnya, seperti hewani, nabati dan tambangi. Walaupun maksudnya di sini adalah yang hewani karena ia adalah rasa dan gerakan ikhtiar.

4. Resep umumnya, seperti yang kutulis di status itu bahwa Akal = Dalil Gamblang. Yakni Akal yang dimaksudkan dalam status tersebut adalah yang argumentatif gamblang.

Jawaban Untuk Mujahid:

1. Qalbu itu dalam bahasa Arab bisa bermakna Akal. Ini makna bukan kiasan atau majazi atau simbolik dan semacamnya, tetapi memang secara hakikinya. Jadi, makna itu ada dalam kitab-kitab kamus bahasa arab, Qur'an, Hadits, syair-syair arab dan percakapan keseharian arab.

2. Makna ke duanya, adalah hati. Yang dimaksudkan hati di sini adalah yang memompa darah. Dan ini tidak ada hubungannya dengan ilmu kecuali ilmu kesehatan.

3. Makna ke tiganya adalah hati. Yang dimaksud dengan hati di sini adalah tempat rasa dan perasaan manusia, seperti cinta, benci, marah, sabar, rindu, ...dan seterusnya.

4. Dengan sedikit mukaddimah itu akan menjadi mudah mengembalikan masalahnya kepada hati yang dimaksudknannya. Dan, sudah tentu, qalbu yang menjadi pedoman hidup dan harus ditaati adalah yang bermakna akal, bukan perasaan. Dan bahkan yang perasaan ini harus dipimpin oleh akal, yakni oleh argument. Jadi, kalau bingung maka harus mencari dalil dan argumentnya, bukan kembali ke hati yang perasaanis ini.

5. Hati yang perasaanis ini bisa jadi ukuran kalau ia sudah bersih dari keinginan yang tidak diridhai Tuhan. Dan cara membersihkannya adalah dengan cara membiasakannya mengikuti akal (argument). Dan kalau sudah sampai ke tingkat tinggi, seperti maksum, maka ia bisa menjadi cermin bagi kebenaran di alam nyata. Tetapi sebelum itu, jangan sekali-kali mengikutinya, apalagi manakala dalam keadaan bertentangan dengan akal.

6. Memang, hati yang perasaanis ini, bisa dijadikan pengingat, baik kita punya dalil akan kebe- narannya atau tidak. Artinya pengingat agar kita lebih hati-hati dalam menyusun argument dan dalil. Tetapi pedoman terakhirnya tetap akal dan dalil itu.

7. Orang yang ikut akal dan dalil, kalau salah, asal bukan karena egois, sombong dan fanatik dan lain-lain sebab yang bisa mengeluarkan akal dari dalil, maka ia akan dimaafkan Allah, dan cara hidupnya akan dihitung sebagai ibadah dan dipahalai.

Tetapi kalau mengikuti perasaan dan dijadikan pedoman, maka kalau salah tidak akan mendapat ampunan dan kalau benar, belum tentu diberi pahala. Karena ia mengikuti yang ia suka, bukan kebenaran, dan menghindari yang ia tidak suka, bukan yang dilarang Tuhan.

Jadi, sebagaimana amal itu tergantung niatnya, maka pahala dan tidaknya pun akan tergantung niatnya ini, bukan hanya karena mengikut benarnya dan menghindari salahnya. Tetapi karena apa dan siapa mengikuti yang benar dan menghindari yang salah.

Wassalam.


Tika Chi Sakuradandelion, Ammar Dalil Gisting, Heriyanto Binduni dan 10 lainnya menyukai ini.


Kharisma Kahr: Salam.. maaf ustad, boleh bertanya.. maksud poin ke 6 itu bagaimana ustad? Boleh saya tau contohnya, hati yang perasaanis bisa dijadikan pengingat baik kita punya dalil ataupun tidak..

Zainal Syam Arifin: Ijinkan saya yang dhaif ini ikut berkomentar pak ustadz : Jika kita bahas makna kedua tentang qalbu maka yang lebih tepat adalah hearth (jantung) bukan liver (hati). Dan ini sangat sesuai dengan tafsiran ahlul bayt (Imam ‘Ali) yang menyebutkan segumpal daging dan pembuluh darah dan hanya jantung yang berbuat begitu. Begitu pula di al Qur’an qalbu selalu disebutkan di dalam dada, sedangkan liver (hati) letaknya di bawah rongga data sebelah kanan (bukan termasuk rongga dada). Maka sebaiknya kita mengikuti cara sebutan orang barat atau tetap memakai bahasa arab. Kalaupun mau pakai bahasa Indonesia kenapa tidak dipop- ulerkan dan dibiasakan untuk menyebut “jantung”? Afwan pak ustadz.

Sinar Agama: Sufa: Maksud hati di situ adalah Ruh yang berdaya Hewani. Ruh manusia itu kan memiliki 4 daya: Daya tambang; Daya nabati; Daya Hewani; dan Daya akal. Daya tambang adalah yang mengatur atom-atom badan. Daya Nabati adalah yang mengatur pertumbuhan badan. Daya hewani adalah yang mengatur rasa-rasa dan perasaan, seperti cinta, benci, marah, sakit hati, suka, tidak suka ..dan seterusnya. Sedang Daya akal adalah yang mengatur akal dan pemikiran kita. Ruh kita itu satu dan non materi, akan tetapi dalam satunya itu, memiliki 4 daya yang tidak bisa dipisah seperti bagian-bagian materi.

Nah, pada poin 6 itu, hati yang dimaksud adalah perasaan manusia tersebut. Jadi, kadang ia menjadi petunjuk bagi kita terhadap kebenaran. Misalnya menyintai orang shalih atau imam- imam as dan nabi-nabi as. Akan tetapi karena kebelumtentuan benarnya perasaan tersebut, maka harus terlebih dahulu dibangunkan argumentnya.

Sinar Agama: Mas Zainal: Untuk masalah hati dan Qalbu ini sepertinya saya sudah menjelaskan- nya di asal tulisan di atas.

Dan dada itu, tidak mesti bermakna dada yang terdiri dari tulang dan daging ini. Tapi bisa juga perasaan itu. Karena itu maka penyabar dikatakan lapang dada. Artinya perasaan emosinya dapat ditekan dan perasaan pemaaf dan penyabarnya dilapangkan.

Karena, hati atau jantung atau apa saja, kalau ia berupa bagian materi dari badan, maka tidak berhubungan dengan pengetahuan, perasaan dan pemilihan apapun. Ringkasnya tidak ada hubungannya dengan ikhtiar dan perbuatan manusia.


3 Agustus 2011 pukul 20:52 · Suka · 2


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ