Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan

Senin, 08 Oktober 2018

Filsafat Doa



Seri Tanya jawab “ Anggelia Sulqani Zahra dan Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:06


Anggelia Sulqani Zahra: Assalamu alaikum Uastadz. 

Allahumma sholli alaa Muhammad wa alaa aali Muhammad. Ustadz, mohon penjelasannya tentang FILSAFAT DO’A. 


Sinar Agama : Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Setiap mau membicarakan filsafat sesuatu, apapun itu, harus selalu mengingat kembali posisi filosofis atau kenyataan dari obyek yang akan dibahas. Karena itu terpaksa, untuk mengingatkan dan/atau memberi tahu teman-teman yang tidak terbiasa dengan filsafat, merangkum kembali apa-apa yang telah ditulis sebelumnya. 

Doa, adalah akibat yang muncul dari sebab yang bernama manusia. Dan karena doa itu ditujukan kepada Allah swt., maka di sini, minimal, mesti merangkum posisi filsafatnya dari tiga hal itu. 

Karena akan dikatakan, tentang Tuhan, bahwa: Ia adalah Wujud Mutlak. Artinya tidak memiliki esensi. Artinya tidak memiliki batasan. Karena itu, ketika Ia adalah Wujud seperti itu, maka Ia tidak akan pernah mengakibatkan keburukan apapun, baik yang berupa bencana, kesesatan atau bahkan siksa neraka. Karena kalau mengeluarkan satu saja keburukan itu, maka sudah pasti akan bermuara pada keterbatasanNya. Karena itu Ia adalah Cahaya Mutlak, Hidayah Mutlak, Keindahan Mutlak, ....dan seterusnya. 

Karena Ia seperti itu, maka Kuasa Yang dimilikiNya, tidak membuatnya menjadi ternodai hingga menjadi penyiksa, penyesat, penipu dan seterusnya. Artinya KeMaha KuasaNya, tidak berarti melakukan semua keburukan dan keterbatasan tersebut. 

Mungkin Anda bertanya, bukankah dalam Qur'an Tuhan mensifati Dirinya dengan Penyesat (Mudhil), Penipu bagi penipu (Khairu Maakiriin), Penyiksa (Muntaqim)....dan seterusnya? 

Untuk menjawab hal itu, maka bisa dengan berbagai jawaban yang diantaranya: 

(a). Bukan Tuhan yang menyesatkan yang keterlaluan, dan bukan Tuhan yang menyiksa yang harus disiksa, serta bukan Tuhan yang menipu para penipu terhadap kebenaran itu, dan seterusnya. Akan tetapi mereka sendirilah yang keluar dari Hidayah, Kejujuran, dan NikmatNya. Artinya, siksa itu sebenarnya tidak lebih dari keluarnya seseorang dari NikmatNya, sesat itu tidak lebih keluarnya seseorang dari HidayahNya, dan tertipu itu tidak lebih keluarnya seseorang dari kejujuran dirinya sendiri. Ringkasnya, siksa, tertipu, sesat, buruk, gelap dan semacamnya yang timbul pada seorang hamba yang secara lahir sebagai hukuman dariNya, semua itu, tidak lebih dari keluarnya seseorang dengan ikhtiarnya sendiri dari Cahaya MutlakNya itu. 

(b). Jawaban (a) itu adalah jawaban yang sesungguhnya. Artinya sesuai dengan kenyataannya. Akan tetapi, mungkin bagi yang belum terbiasa sabaran menelaah dan merenungi tentang kenyataan setiap sesuatu, masih bertanya, dan memang bisa dikatakan layak bertanya bahwa: Bukankan sekalipun merupakan pilihan kita, yakni kesesatan, ketersiksaan dan ketertipuan dan semacamnya itu adalah sesuatu yang buruk dan nyata dimana karena setiap kenyataan atau keberadaan itu datang dariNya, maka berarti juga bersumber padaNya, hingga dengan demikian berarti semua keburukan itu adalah juga merupakan akibatNya? 

(c). Keburukan, dalam kenyataan, tidak memiliki keberadaan. Hal itu karena semua sebab keburukan itu adalah ketiadaan sesuatu atau ketiadaan kesempurnaan. Jadi, apapun yang dikatakan jelek atau buruk, sebabnya adalah ketidak pemilikan suatu keberadaan. Seperti tak berilmu, tak berbadan lengkap, tak sehat, tak akhlak, tak kawin (zina), tak adil, tak … dan seterusnya). Artinya, semua tidak dan tiada-tiada itulah yang membuat kita mengatakan hal tersebut adalah jelek dan buruk. Tak adanya kenyamanan di neraka, adalah penyebab buruknya neraka. Tak adanya hidayah dan jalan benar pada setiap kesesatan, adalah penyebab dari keburukan sesat. Begitu seterusnya.
 
(d). Dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa semua keburukan dan kejelekan itu disebabkan ketiadaan sesuatu atau ketiadaan kebaikan atau ketiada kesempurnaan. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa keburukan itu tidak ada. Hal itu karena ketiadaan sebabnya. 

Jadi, semua yang kita lihat dari keburukan itu, sebenarnya penilaian pikiran dan tidak ada keberadaannya. Persis seperti satu bagi dua, yang mestinya hasilnya dua, dikatakan setengah. Atau akhir dari garis adalah titik, dimana pada hakikatnya, titik itu adalah garis kecil yang, membuatnya tegolong kepada hakikat garis juga. Padahal titik itu, yang definisinya adalah akhir garis, merupakan ketiadaan. Karena ia di luar garis. Dan karena itu ia tidak ada sekalipun bisa ditunjuk dan diisyarati dengan disini dan disana. Begitu pula dengan satu benda dibagi menjadi dua adalah dua keberadaan. Sementara setengah itu tidak ada wujudnya. Yakni kewujudan setengah itu hanya di alam akal kita yang mengatakan bahwa dua benda ini adalah setengah kalau dibanding dengan benda pertama yang sudah tiada itu. 

Pendekatan di atas, tidak mesti sama dalam setiap dimensi. Penyamaan disini hanya ingin mengatakan dan menguatkan, bahwa betapa banyaknya sesuatu yang tidak ada tetapi dianggap ada oleh akal kita.Begitu pula halnya dengan buruk ini. Ia, keberadaannya, hanyalah di dalam akal dan berupa perbandingan dan komparatif. Yakni dibanding yang adanya, atau adanya kesempurnaannya, maka hal ini adalah jelek atau buruk. 

Jadi, buruk tidak ada dan tidak memiliki kenyataan karena dua hal, pertama karena sebabnya adalah tiada, dan ke dua karena ia berupa perbandingan akal hingga keberadaannya hanyalah di dalam akal. 

Keberadaan dalam akal inilah yang dikatakan dengan nilai atau akhlak, atau hukum atau kesepakatan, atau undang-undang dan semacamnya. 

(e). Sedang kebaikan, karena sebabnya adalah keberadaan sesuatu atau kesempurnaan, maka sebabnya adalah ada dan keberadaan. Dan karena sebabnya keberadaan, maka akibatnya yang bernama kebaikan, ia juga ada dan nyata. Seperti semua keberadaan di alam ini. Apapun keberadaan di alam ini, karena nilai baiknya disebabkan keberadaan, maka nilai itu tidak hanya berada di akal, akan tetapi juga ada di alam nyata dan hakikat. Inilah yang dikatakan dengan kenyataan atau filosofis. Filosofis, yakni nyatais. Filsafat yakni Ilmu Kenyataan. 

(f). Dengan penjelasan di atas itu, dapat dipahami bahwa kenyataan itu adalah baik dilihat dari sisi keberadaannya. Tidak shalat, tidak kawin, pembunuhan...dan seterusnya semua itu, adalah kebaikan dilihat dari kenyataan wujudnya. Yakni merupakan kesempurnaan. Zina, adalah kesempurnaan wujud dari dua jenis manusia yang memiliki semua kesempurnaan badani dan kenormalan jasmani. Karena itu, pertemuannya itu adalah kebaikan wujud atau kebaikan alami dan naturali. Begitu pula dengan perbuatan buruk yang lainnya. Semuanya, dari sisi naturalinya, adalah kebaikan dan kesempurnaan naturali. Pedang yang tajam, leher yang bisa luka, tenaga yang ada pada pengayun pedang dan seterusnya hingga terjadi pembunuhan dan penganiayaan, adalah kebaikan dan kesempurnaan wujudi, alami dan naturali. 

Sedang keburukannya, dilihat dari ketiadaan kawin, ketiadan hak membunuh, ketiadaan hidayah dan seterusnya yang, membuat semuanya itu tidak ada dalam wujud nyatanya, alaminya, naturalnya. 

(g). Akan tetapi, sebagai manusia berakal, tidak boleh menganggap semua keburukan karakter dan tanpa hukum serta tanpa akhlak itu sebagai sesuatu yang remeh temeh dan tidak perlu diperhatikan. Hal itu karena, penyepelehan itu akan membuat kita, artinya membuat keberadaan kita sebagai manusia yang bukan akliah saja tetapi bahkan nyata, menjadi wujud yang menurun dari hakikat kemanusiaan nyatanya itu. Artinya, kalau kita membunuh orang yang tidak layak dibunuh, atau berzina dan semacamnya dari hal-hal yang buruk di dalam akal dan baik di luar akal (nyata, karena ada), maka akan membuat keberadaan alami dan naturali dari manusia ini menjadi naturalinya keberadaan yang lebih rendah seperti binatang. 

Karena itu, hal-hal yang sekalipun keberadaannya hanya di dalam akal, atau kitab, atau kesepakatan, atau hukum atau undang-undang, atau Qur'an dan seterusnya, tetap harus diperhatikan karena membuat keberadaan alami manusia itu menjadi keberadaan yang lebih rendah derajatnya seara alami. 

(h). Memang, lebih rendah, lebih buruk ..dan seterusnya itu tetap akan berpulang kepada ketiadaan lagi. Artinya dikatakan buruk dan tidak baik karena ketiadaan lagi. Artinya keburukannya tetap tidak ada karena keburukannya disebabkan oleh ketiadaan sebab keburukannya. Karena itu manusia yang menjadi binatang, yang masuk neraka, dan seterusnya tetap merupakan kebaikan karena kalau dilihat dari sisi wujudnya, semuanya adalah kebaikan, seperti panasnya neraka, terbakarnya badan (karena kalau seperti besi badan tidak akan bisa berkembang dan bergerak), begitu pula menjadi binatang yang bisa bergerak, kawin alami (zina) makan harta orang, dan seterusnya adalah kesempurnaan keberadaan. 

Memang demikian halnya. Karena itulah maka semua yang ada sekalipun neraka itu, adalah kebaikan dan rahmatNya yang layak disyukuri. 

Akan tetapi, manusia yang masuk ke dalamnya, ia akan menderita. Artinya ia mendapatkan keberadaan dan kebaikan alami, yang baginya adalah penderitaan. Jangan jauh-jauh, kalau kita sandra Mas Indra Gunawan atau Mas Herry (he he he, hanya contoh), lalu memaksanya untuk masuk ke sekolah TK dimana harus pakai celana pendek seragam TK, dikalungi botol teh untuk minum, disuruh duduk bersama anak-anak TK yang lain, disuruh taat sama ibu gurunya yang menyuruhnya menyanyi, main sepor-seporan (kereta-kereta apian), menari dengan tari bebek, dan seterusnya, maka sudah dapat dipastikan kedua Mas itu akan tersiksa dan dalam waktu seminggu saja keduanya harus dimasukkan ke rumah sakit “tidak sehat akal” (bc: gila). 

Padahal kita tahu, bahwa sekolah TK itu adalah baik dan rahmat bagi keberadaan. Akan tetapi kalau yang memasukinya itu adalah keberadaan yang derajatnya melebihi derajat rahmat itu, maka rahmat tersebut akan menjadi balak dan bencana yang, tentu tetap merupakan kebaikan. Karena sebab kebaikannya adalah keberadaan dan bukan keburukan karena sebab keburukannya tidak ada.
 
(i). Karena itulah semua keberadaan itu adalah baik dan sudah disiapkan untuk keberadaan yang sesuai. Karena itulah Tuhan menurunkan manualNya yang berupa syariat yang untuk mengatur semua aspek kehidupan manusia, semua itu, agar manusia tidak menempati tempat yang bukan tempatnya. 

Nah, menempati tempat yang bukan tempatnya itulah yang terus dikatakan binatang, kesesatan, ketertipuan, neraka, siksa, sakit psikologi, sakit jiwa, gila, terlaknat, gelap, dhalliin, dan seterusnya. 

(j). Karena itulah manual itu benar-benar rahmatNya, bukan taklif atau tugas atau beban. Jadi, kalau manusia sadar akan kemanusiaannya, maka ia tidak akan pernah menatap syariatNya itu sebagai beban dan, apalagi malah mengatakannya sebagai sesuatu yang tidak meliputi segala aspek kehidupan dan tidak meliputi semua jaman serta keadaan dan, lebih apa lagi tidak mengatakan bahwa hukumku lebih dari hukumNya. Yakni tidak mungkin seperti itu. Karena tiga hal itu akan menurunkannya ke derajat lebih buruk dari binatang. 

Mungkin untuk yang pertama, tidak sampai seperti itu. Artinya, orang yang melihat bahwa hukum-hukumNya itu adalah beban dan taklif, tidak akan sampai dosa dan menjadi binatang atau masuk neraka. Akan tetapi, dia akan selalu atau hampir selalu, dalam melaksanakan ketaataannya, akan merasa berat, beban dan bisa saja terpaksa (sudah tentu terpaksa jauh lebih baik dari tidak melakukan, karena terpaksa ini juga bisa masuk surga). Namun, ketaatan seperti itu bisa gampang berhenti dan berubah ke arah lainnya yang biasa dikatakan maksiat. 

Beda halnya kalau menatap syariat itu sebagai rahmatNya, IndahNya, KasihNya, PerhatianNya, KeadilanNya...dan seterusnya, maka ia akan manis dan asik masyuk dalam melakukan semua kewajibannya dan sungguh-sungguh akan sangat membenci keburukan akhlak dan ketidak teraturan. 

Akan tetapi kedua lainnya, yakni mengatakan hukum-hukumNya tidak meliputi semua aspek kehidupan manusia baik dari sisi niscaya dan jamannya, atau mengatakan bahwa hukumku atau undang-undangku lebih baik dari hukum dan undang-undangNya, maka kedua hal ini benar-benar bisa mengantar manusia ke neraka jahim. 

Kepengakuan Fir’un sebagai Tuhan, sudah tentu bukan dari penciptaan. Karena dapat diketahui dengan nyata bahwa dia tidak mencipta air yang ia minum. Akan tetapi, yang jauh lebih menonjol, adalah di Ketuhanannya dari sisi perundangan dan hukum ini yang, karenanya ia mengatakan “Aku juga membuat manusia hidup dan mati”, yakni kuhukum hidup atau mati.

Dengan semua penjelasan di atas itu, maka dapat dipahami dengan argumentasi gamblang bahwa Tuhan hanyalah sumber kebaikan, kehidayahan, kebenaran, cahaya dan semacamnya. 

Dengan penjelasan di atas itu pula, dapat diketahui bahwa keburukan itu tidak ada, dan yang ada hanyalah penurunan derajat kebaikan ke kebaikan yang lainnya yang, bagi yang diturunkan, akan menjadikannya tersiksa karena ketidakcocokannya itu. Seperti api neraka yang baik kalau ditempati manusia yang turun ke derajat api itu yang sekalipun tetap baik, akan tetapi akan membuatnya tersiksa. 

Dan tersiksa itu, juga kebaikan yang lain dilihat dari dimensi wujud dan keberadaannya. Karena sebab semua kebaikannya adalah keberadaan dan kesempurnaan. Sementara sebab keburukannya adalah ketiadaan yang, membuat keburukan itu tidak ada. 

Karena itulah maka neraka itu tergolong rahmat Tuhan yang besar, karena membuat orang yang tidak suka padanya secara filosofis/hakiki, menjadi menaati manualNya dan bagi yang suka secara hakiki tetap mendapatkannya. Artinya, yang di dunia suka zina, korupsi, aniaya . dan seterusnya, semua itu akan mendapatkan apa-apa yang meraka suka tersebut (neraka). Karena itulah dalam Qur'an: 7: 156, dikatakan bahwa “dan rahmatKu meliputi segala sesuatu”. Artinya nerakapun merupakan rahmatNya. Seperti rumah sakit gila, rumah morfinis, rumah pelacuran, istana kezaliman, sarang perampok, majlis para koruptor, kantor pengadilan yang penipuan, penjara, dan seterusnya. semua itu merupakan kebaikan bagi pemilihnya. 

Jadi, pertama Allah sudah menurunkan manualNya atau syari’atNya, itu sudah kebaikan dan rahmat yang agung. Kalau diamalkan maka ia adalah kebaikan yang lainnya. Menjadi manusia yang baik dan bermoral, serta kemudian menjadi penegak keadilan dan masuk surga, merupakan kebaikan yang bersumber dari taat pada manualNya itu. 

Dan bagi yang tidak taat pada manualNya itu, maka ia berarti memilih kezaliman, kegelapan, ketidak bermoralan, dan api neraka, semua itu, juga merupakan rahmatNya. 

Jadi tergantung kepada manusia mau memilih rahmatNya yang mana. Mau memilih rahmatNya yang membuatnya senang dan bahagia serta sehat secara hakiki, atau memilih rahmatNya yang akan membuatnya menderita secara hakiki walau di dunia ini Nampak bahagia dan senang, na’udzubillah. 

Sampai disini, kita sudah membicarakan Tuhan dari dimensi DiriNya dan sehubungan dengan kebersumberanNya terhadap semua kebaikan. 

Sekarang, kita akan membahas DiriNya sebagai sebab. Artinya bukan sebab dari apa sebagaimana yang sudah dibahas, tetapi arti sebab itu sendiri. Karena itu maka layak dikatakan bahwa: 

Sebab, adalah suatu sifat bagi suatu wujud dimana wujud itu mewujudkan wujud lain. Tentu saja pembahasa sebab seperti ini, bukan pembahasan puncak. Tetapi nanti mungkin kita akan sampai ke tingkatan puncaknya. Tergantung rejekiku dalam menulis, dan rejekimu dan pembaca yang lain dalam membaca. 

Pada tahap ini, cukup dikatakan bahwa sebab itu adalah suatu wujud yang mewujudkan wujud lain. Dan Tuhan, sebagai sumber dari segala keberadaan, maka Ia adalah sebab bagi semuanya. 

Sebab pewujud itu, bukan berarti mewujudkan sesuatu yang sebelumnya tidak wujud. Karena tidak wujud, adalah tiada. Dan tiada tidak bisa diapa-apakan. Dia hanya bisa dimengerti, akan tetapi tidak bisa diapa-apakan. Satu-satunya yang bisa diapa-apakan padanya, adalah berita atau predikat. Artinya, semuanya hanya dalam akal saja. Yakni di luar, tiada itu tidak ada. Karena itu, maka Tuhan mengadakan semua yang ada ini, tentu dari keberadaan juga. 

Karena semua yang ada ini bersumber dari keberadaan juga, dan karena sumber segala sumber itu hanyalah Tuhan, maka semua kebedaraan ini, berasal dari WujudNya. 

Karena itulah maka keberadaan alam ini dikatakan sebagai Makhluuq, yakni yang berasal dari Khalaqa, yakni dikadar dan dibentuk. Jadi, makhluk ini adalah kadaran dan bentukan dari WujudNya yang Maha Tidak Terbatas itu. 

Dari sisi lain, sebab, adalah sebab bagi keberadaan sesuatu secara hakiki. Yakni dalam hal ini sebab keberadaan. Artinya bukan seperti sebab pendekat, seperti ayah ibu yang mendekatkan sebab hakiki badan (mani-ovum), atau tukang yang mendekatkan sebab hakiki bagi tembok. Karena kalau sebab itu bukan sebab hakiki dan hanya pendekat misalnya, maka ia hanya mendekatkan saja dan tidak ada urusan setelah yang didekatkannya itu terjadi. Yakni sebab pendekat ini akan tetap terpisah darinya, karena memang dari awal bukan bagian dari akibatnya itu. 

Akan tetapi, sebab hakiki atau sebab pewujud, maka ialah yang mewujudkan akibatnya itu. Artinya, ketika ia yang mewujudkannya, maka iapun akan tetap menjaganya selama ia mau menjaganya. Artinya, karena wujud akibat ini benar-benar disebabkan oleh sebabnya itu, maka keperluan akibat tersebut, sudah tentu tidak hanya pada awal keberadaannya. Akan tetapi dalam kebersinambungan keberadaannya. Karena kalau sebab keberadaan itu berpisah dari akibat yang ada itu, maka karena akibat yang ada ini dari sebab yang ada itu, maka akibat yang ada ini pasti akan menjadi tiada. Yakni sebagaimana keberadaan akibat benar-benar hanya dari sebabnya, maka keberadaannya memerlukan kepada sebabnya itu. Karena kalau terpisah dari sebab keberadaannya, maka keberadaannya akan menjadi tanpa sebab. Dan, tanpa sebab itu adalah sesuatu yang sangat mustahil. Karena itu akibat yang sudah ada itu, sudah ada karena dan bersama sebabnya. Karenanya kalau berpisah, maka ia akan menjadi tanpa sebab keberadaan. Yakni menjadi tiada kembali. 

Dan karena akibat itu adalah takaran dari diri sebab, maka ketiadaan akibat maknanya kembali kepada sebabnya lagi. 

Dengan semua uraian di atas itu, kita sudah mengerti bahwa apa makna Tuhan itu sebab dan sumber dari segala sesuatu. Artinya sebagai sumber dari apa? Dan juga sudah mengerti apa arti sebab dan kesumberanNya itu. 

Sekarang mari kita lihat apa arti akibat yang manusia ini dan doa itu. 


Karena sebab adalah penakar dari hakikat keberadaan akibat, maka manusia yang sebagai akibat Tuhan, adalah takaran dari keberadaanNya. Artinya, ia adalah kebaikan semata, walaupun memiliki keterbatasn dimana keterbatasannya ini disebakan oleh ketertakarannya itu. 

Sedang arti keakibatan manusia ini, adalah hakikat ketergantungan pada sebabnya. Karena bukan hanya di awal keberadaannya yang bergantung pada sebabnya, akan tetapi, pada kesinambungan wujudnya juga memerlukan sebabnya. Hal itu, karena berpisah dari sebabnya berarti berpisah dari sebab wujudnya dan, itu berarti tanpa sebab dimana ketanpasebabannya ini berarti ketiadaannya kembali. 

Jadi manusia itu, dalam setiap atom badannya, dalam setiap detak jantungnya, dalam setiap nafasnya, dan seterusnya selamanya begantung padaNya, seperti bergantungnya pijaran lampu listrik kepada arus yang mengalirinya hingga terpijar. 

Karena itu, apapun yang akan menimpa manusia, baik berupa kebaikan atau keburukan (tolong ingat pelajaran di atas hingga tidak salah mengartikan keburukan ini), maka akan mengalir padanya dari dalam dirinya sendiri. Artinya, semua yang akan terjadi pada manusia itu, sebenarnya, akan datang dari sebabnya. Dan karena sebabnya adalah hakikat batinnya, maka semua yang akan datang padanya itu dilarikan melalui jati dirinya sendiri. Artinya dari sumbernya yang berupa 

sebab itu menuju kepada manusia, seperti arus listrik yang mengalir lewat dalam lampu dan membuatnya terpijar. 

Dengan penjelasan ini, maka taufik dan petaka itu dari dalam diri manusia itu sendiri. Karena itulah maka apapun yang datang dari luar manusia itu, hanyalah pendekat dan instrument bagi munculnya sebab hakiki atau sebab wujudnya itu. 

Misalnya, perempuan bersoleh nan cantik dan istri orang. Ia bukan sebab manusia untuk men- duduki kebaikan lebih rendah dari kebaikan manusia yang kita katakan sebagai kebaikan binatang sebagaimana yang sudah dibahas di atas. Karena perempuan cantik yang menggodanya itu, hanyalah pendekat dan instrument bagi kebejatannya atau kebaikan lebih rendahnya itu. 

Nah, sebab hakiki bagi kemerosotannya itu, adalah gelora yang tidak dikendalikannya yang berada di dalam dirinya itu. Nafsu yang juga baik itu (baik hewani dan naturali), tidak dipandunya dengan akalnya yang juga keberadaan dan kebaikan yang lebih tinggi karena sesuai dengan derajatnya sebagai manusia. 

Ketika terjadi perzinaan (na’udzubillah min su-i anfusina), maka ia telah melakukan kebaikan naturali. Akan tetapi naturali hewani. Sedang dari tinjuan naturali akli, ia telah melakukan hal yang tidak sesuai dengannya. Yakni tidak sesuai dengan naturali akli yang berada di tingkatan yang lebih tinggi dari naturali hewani itu. 

Dengan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa semua yang akan menimpa manusia itu, berasal dari dalam dirinya sendiri. Artinya dirinya adalah sebab bagi keburukan atau kebaikannya. 

Inilah yang dikenal dengan Ikhtiar dalam ajaran Islam. 

Dengan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kebaikan dan keburukan manusia itu berasal dari dirinya sendiri. Dan inilah yang dikatakan sebagai ikhtiar dan pilihan. 

Dan karena wujud manusia sendiri itu merupakan kadaran dari WujudNya, maka manusia, sekalipun sebab bagi semua yang akan menimpanya, akan tetapi ia dilihat dari sebabnya adalah akibat. Karena itu, akibat manusia itu adalah akibat pula bagi sebabnya. Karena itu, maka kebaikan dan keburukan manusia itu adalah kadaran Tuhan juga. Yakni makhluuq Tuhan juga. Karena itulah maka kabaikan dan “keburukan” juga bersumber padaNya. 

Kebersumberan inilah yang memisahkan freewillnya Syi’ah dari Mu’tazilah. Karena, katanya, kalau di Mu’tazilah itu Tuhan tidak lagi ikut campur urusan manusia karena sudah memberinya segala potensi untuk jadi baik dan buruk serta sudah memberinya syariat. Akan tetapi kalau di Syi’ah, manusia, tetap bergantung padaNya dari dalam diriNya, bukan dari luar yang kemudian diberi atau tidak olehNya dari luar dirinya. Tidak seperti itu. Tetapi justru dari dalam dirinya sendiri. 

Akan tetapi, sekalipun akibat manusia itu adalah akibatNya juga secara hakiki, namun, yang bertanggung jawab itu adalah manusia itu sendiri. Hal itu, karena manusia bukan sebab naturali tanpa ikhtiar pada akibatnya seperti harimau yang memakan mangsanya. Akan tetapi karena manusia sudah diberikan akal, maka ikhtiarnya itulah yang harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Artinya, karena makhluk Tuhan yang lewat perantaraan manusia itu lewat ikhtiar manusia, maka manusialah yang harus mempertanggung jawabkannya, bukan Dia. 

Setelah kita ketahui semua perbuatan manusia itu adalah akibatnya dan akibatNya, dan setelah kita ketahui pula bahwa pemberiaanNya melaluinya -manusia- sendiri, maka sekarang kita akan melihat apa arti doa itu. 

Doa berasa dari Da’aa-yad’uu yang berarti memintai, mengingini dan mengharapkan. 

Dari arti bahasa ini, dapat dimengerti arti istilahnya yang sebenarnya tidak keluar dari makna katanya itu. Yaitu menginginkan sesutu atau mencarinya atau mengharapkannya. 

Ingin dan mengharap serta mencari adalah suatu rasa yang dirasakan oleh manusia dalam dirinya. 

Ingin dan mengharap serta mencari ini adalah suatu rasa yang dirasakan oleh manusia dalam dirinya. Artinya ia berupa sesuatu yang tersembunyi di dalam diri manusia itu sendiri. 

Ingin dan meminta serta mengaharap itu sendiri, yakni yang berada dalam jati diri manusia itu sendiri, bisa diaktualkan dalam dua bentuk, kata-kata (termasuk isyarat), bisa juga dalam bentuk perbuatan. 

Aplikasi kata yang keinginan itulah yang dikatakan “Membaca Doa”, yakni mengucapkan keinginan- nya. 

Ingin yang diucapkan itu, sudah tentu bukan merupakan aplikasi yang sebenarnya. Karenya aplikasi yang sebenarnya adalah aplikasi terhadap yang diinginkannya itu, bukan terhadap kata- katanya. Karena ia dari awal tidak ingin terhadap kata-kata keinginannya itu. Orang yang ingin hidayah dan surga, adalah ingin mengambilnya dan mencapainya, bukan ingin mengatakan “ingin padanya” atau mengatakan “Berikan padaku” atau “Hidayahilah aku” atau “Masukkanlah aku ke surga” dan semacamnya. Bukan seperti itu bukan?. 

Dengan demikian dapat dimengerti bahwa doa itu pada hakikatnya adalah aplikasi usaha, bukan aplikasi kata-kata. Dan inilah yang kita katakan bahwa apapun yang akan menimpa manusia itu datang dari dalam dirinya sendiri yang sudah tentu juga dalam kontrol sebabnya yang telah ikut mewujudkan kebaikan dan keburukannya itu. 

Jadi, doa yang berupa kata-kata itu, tidak lain hanyalah sebab luar dan pendekat saja. Karena ia berfungsi mengingatkan manusia dan memicunya. Tentu saja ingat baru doa, bukan sebaliknya, tetapi yang saya maksudkan disini, adalah ketika manusia terbiasa dengan doanya, maka kebiasannya itu akan membuatnya ingat akan apa yang akan diucapkannya dalam doanya itu hingga menjadi ingat pada isi dan keinginannya, seperti yang biasa membaca doa Kumail. 

Tentu saja, karena doa bacaan itu adalah instrument, maka ia juga menghasilkan pahala dan perubahan pada diri manusia. Akan tetapi perubahan yang berkisar ingin dan kemantapannya saja, bukan pencapaian terhadap apa-apa yang diinginkannya itu. 

Dengan penjelasan di atas, doa yang sebenarnya adalah usaha mencapainya. Tentu saja, doa bacaan ini, berfungsi sebagai dzikir, syiar dan pengingat diri sebgaimana maklum. Jadi dia tetap penting dalam kehidupan manusia baik sendiri atau bersosial. 

Akan tetapi, doa yang akan mencapaikan manusia, adalah keinginan yang filosofis dan nyata alias hakiki. Yakni yang disertai usaha gigih, profisional dan tak kenal lelah. 

Dan karena pencarian dan usaha pencapaian itu, tidak bisa dicari kecuali dalam kadaranNya, dan melalui dirinya sendiri dari dalam dirinya, maka doa ini, merupakan ketaklukan yang penuh terhadapNya. 

Jadi, doa bacaan juga bisa berfungsi sebagai ucapan ketaklukan kepada Allah seperti syahadatain yang berupa pernyataan terhadap tauhid, bukan tauhid itu sendiri. Karena hanya pengucapannya. Tetapi hal itu penting dilihat dari berbagai dimensi seperti yang sudah dijelaskan di atas. 

Kalau doa ucapan itu adalah ikrar bagi kepapaan kita dan keserbapunyaanNya, maka doa yang aplikatif perbuatan atau usaha ini adalah hakikat dari padanya. Yakni hakikat dan keyakinan terhadap kepapaannya dan keserbapunyaanNya. 

Dengan demikian, doa, dari dua sisinya di atas, merupakan ketaklukan penuh kepadaNya, penyer- ahan diri padaNya serta harapan satu-satunya padaNya. 

Karena itu, orang yang berdoa dengan segala dimensinya itu, akan terjauhi dari bergantung dan mengharap dari selainNya. 

Tentu saja, ketergantungan padaNya itu, bukan berarti meninggalkan selainNya. Karena meninggal- kan selainNya berarti meninggalkanNya juga, karena selainNya adalah kekadaranNya. 

Tetapi hakikat meninggalkan selainNya itu, adalah dalam diri dan keyakinan serta tatapannya. Artinya, ia melihat semua keberadaan itu adalah instrumentNya. Karena itu kesukaan kepada selainNya itu bukan kesukaan kepadanya, tetapi kepadaNya. Dan memang begitu dalam pan- dangannya. 

Jadi dia hanya menghormati selainnya tetapi tidak mengagungkannya. Dia tidak mencitainya melainkan hanya mencintaiNya. Tidak mencelanya, tetapi tidak mencintainya. 

Orang yang hanya bermain pemahaman dalam point 40 itu, sama sekali tidak akan mendapatkan manisnya pencapaian walau ia merasa mencapainya. Orang yang hanya bermain kata-kata dan ucapan serta untaian tulisan kata dalam makalah atau catatan fb., tidak akan pernah merasakan keindahan IndahNya, kecahayaan CahayaNya, kehidayahan HidayahNya. Karena itu kita semua mesti berhati-hati memahami tulisan ini dan sungguh-sungguh dalam mengamalkannya. Semoga Tuhan selalu menyertai usaha kita, amin. 

Dengan semua uraian itu dapat dipahami dengan akal gamblang, bahwa doa adalah usaha dari dalam yang kadang menggunakan instrument dari luar, yang diaplikasikan dalam ucapan dan usaha, untuk mencapai apa-apa yang diinginkannya. 

Dan semua itu, terjadi seiring dengan keakibatan manusia terhadap kesebaban Tuhannya. Jadi, semua terjadi dalam dirinya dan DiriNya, dan datang dari dalam dirinya dan DiriNya. 

Wassalam. 


Chi Sakuradandelion, Agoest Irawan, Khommar Rudin dan 5 lainnya menyukai ini. 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad. 

8 Juli 2012 pukul 10:29 · Suka


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Filsafat Kesempurnaan



Seri Tanya Jawab Ustad Sinar Agama

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:04


ENg’guh Al Ghifari: Salam ustadz, afwan sebelumnya, begini ustad saya dapat pertanyaan dari teman saya, pertanyaan seperti ini ustad: sempurna: 

  1. Tuhan itu Maha Sempurna?
  2. Manusia itu makhluk yang sempurna?
  3. Islam itu agama yang sempurna? 

Dengan apa untuk membuktikan bahwa sempurna itu dapat di ketahui? Apakah sempurna itu perlu adanya proses? Syukron ustad. 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Sempurna itu adalah pemahaman yang jelas alias badihi. Karena itu maka kalau seseorang tidak paham akan arti sempurna, maka ia tidak akan bertanya “Dengan apa untuk membuktikan sempurna itu dapat diketahui?” Yakni kalau makna pertanyaannya adalah bagaimana mengerti sempurna. Nah, kalau pertanyaannya adalah demikian, yakni dengan apa mengerti sempurna? Maka jawabannya adalah apa sempurna yang anda tanyakan? Artinya anda mengerti tentang sempurna itu atau tidak? Kalau tidak mengerti berarti anda bertanya tentang sesuatu yang tidak ditanyakan. Misalnya saya bertanya tentang Z, tetapi karena saya tidak membayangkan apa arti Z itu sama sekali, maka saya bertanyanya seperti bertanya di kala tidur. Yakni tidak mengerti dan membayangkan apa yang ditanyakan. 

Akan tetapi kalau maksud pertanyaannya adalah dengan apa membuktikan kesempurnaan Tuhan, manusia, agama dan semacamnya, maka berarti kita sudah mengerti dan membayangkan apa arti sempurna itu. Karena itu, jawaban pertamanya, sebagai mukaddimahnya, adalah bah- wa sempurna itu adalah tidak memiliki kekurangan. Akan tetapi ketidak pemilikan terhadap kekurangan itu harus sesuai dengan derajat dan keberadaannya sendiri. Artinya sesuai dengan jati dirinya. 

Karena itulah maka dalam Islam atau Qur'an, dikatakan bahwa Tuhan itu Sempurna, dan Semua makhluk (bukan hanya manusia) adalah sempurna. 

Bukti kesempurnaan Tuhan adalah di ilmu Kalam bab Tauhid. Silahkan merujuk ke sana. Intinya, karena semua keberadaan yang kita lihat ini adalah terbatas, maka semua memerlukan kepada sebab yang tidak terbatas, baik langsung atau tidak. Karena kalau tidak ada sebab yang tidak terbatas, maka semua keberadaan adalah terbatas. Dan kalau demikian maka semuanya memiliki awal dan akhir dimana sebelum permulaannya itu, semua keberadaan ini adalah tidak ada. Kalau demikian halnya, maka dari mana keberadaan ini, sementara semuanya pernah tidak ada, dan tidak ada keberadaan yang selalu ada yang, berarti tidak memiliki batasan awal dan akhiran. Dengan demikian dapat diketahui dengan yakin, yaitu dengan adanya kenyataan wujud terbatas ini, maka berarti ada wujud yang tidak terbatas yang telah menyebabkannya. 

Dengan demikian kesempurnaan Tuhan adalah ketidak terbatasannya dan ketidak pemilikanNya terhadap apapun kekurangan. 

Dan karena perubahan pada DiriNya, rangkapan pada DiriNya, ketidaktahuan, kebakhilan, ketidak adilan, kelupaan, kengantuan, kelengahan, kebosanan, kelelahan, kebendaan, kedilangitan, kedi’arsy-an, .....dan seterusnya adalah bentuk-bentuk keterbatasan, maka Tuhan bersih dari semua itu. Itulah makna kesempurnaan Tuhan. 

Tentang kesempurnaan semua makhluk, adalah bahwa Tuhan yang tidak terbatas itu, tidak mungkin mencipta apapun dengan yang tidak utama. Karena kalau masih ada kucing yang lebih hebat dari kucing yang ada ini, begitu pula pohon pisang, pohon jagung, air, manusia, ular.... dan seterusnya tapi Tuhan tidak menciptakannya, berarti Tuhan yang tidak menciptakannya itu bisa karena kikir, bakhil, tidak tahu, lengah, takut disaingi, takut merusak, takut ini dan itu ...dan seterusnya dimana semua hal itu bertentangan dengan hakikat DiriNya Yang Tidak Terbatas itu. 

Begitu pula tentang agamaNya. Tentu saja setelah kita sudah yakin bahwa agama itu atau madzhab itu adalah agamaNya dan madzhabNya. 

Tentu saja, kesempurnaan itu harus yang benar-benar sempurna. Artinya, kesempurnaan yang sesuai dengan eksistensi dan hikmah dari eksistensinya itu. Inilah qadar yang tidak bertentangan dengan ikhtiar dan agama. Yakni qadar yang ada pada setiap esensi suatu eksistensi atau pada setiap species. Misalnya, kesempurnaan api adalah membara dan membakar dan mati kalau terkena air. Kesempurnaan air adalah cair, mendinginkan tenggorokan dan menguap kalau terkena panas. Kesempurnaan badan manusia adalah tumbuh dengan natural dan luka terkena pedang yang tajam. Begitu seterusnya. Yakni kesempurnaannya itu sesuai dengan takaran atau qadar keberadaannya yang sesuai dengan hikmah penciptaannya. Karena itu kalau leher manusia tidak tertebas pedang, maka leher itu tidak sempurna. 

Agama juga demikian. Yakni kesempurnaannya harus kesempurnaan. Yakni harus sesuai dengan jaman diturunkannya. Karena kalau tidak, berarti kesempurnaan itu menjadi kehinaan. Seperti anda mengajar filsafat kepada anak TK. Atau menyuruh anak TK untuk puasa dan berjihad di jalan Allah dengan membawa pesawat tempur. 

Kesempurnaan-kesempurnaan yang ada di makhluk Tuhan itu, semuanya bisa menyempurna lagi kecuali kalau non materi dengan sebab yang sudah dijelaskan di ilmu filsafat dan ada juga di catatan-catatanku yang entah berjudul apa (bisa dicari di ruang catatan). Semua kesempurnaan yang ada pada setiap makhluk yang juga mengandung unsur materi ini, masih menyempurna lagi. Dan penyempurnaan selain manusia adalah menjadi manusia. Dan kesempurnaan manusia bisa terus melanglang ke derajat sebab, dari sebab dekat kepada sebab yang lebih jauh, dan begitu seterusnya sampai kepada Akal-satu dan Asma-asma Allah, seperti yang sudah sering dijelaskan di irfan. 

Dengan demikian maka kesempurnaan yang naturalis berproses sesuai dengan alamiahnya. Karena ia datang dariNya secara proses. Maka itu sudah tentu dengan proses (tentu selain non materi). 


Dan kesempurnaan yang alami ini masih bisa berproses untuk menyempurna lagi. Kalau penyempurnaan dari kesempurnaan selain manusia kepada manusia, maka juga melalui proses alamiah. Sedang kesempurnaan alamiah seperti manusia, yang masih bisa berproses untuk menyempurna selama masih dengan badannya, maka di sini prosesnya adalah ikhtiari alias bukan natural lagi. 

Agama juga berproses seiring dengan proses perkembangan daya pikir dan daya tangkap serta potensi aplikasinya yang ada pada manusia secara sosial. Tentu saja juga merupakan proses dari awal turunnya sekalipun. Jadi dari awal turunnya sudah dengan proses, seperti dari Tuhan ke materi, seperti proses yang ada pada calon penerima pertamanya yakni rasulnya (karena tanpa potensi ikhtiari manusia tidak bisa menjadi rasul utusan), begitu juga proses dari umat yang mau menerimanya. 

Kesimpulan:
Kesempurnaan itu adalah tidak adanya kekurangan. Akan tetapi ketidak adaan kekuarangan ini harus sesuai dengan ekstensinya masing-masing. Kalau ekstensinya tidak terbatas, maka kesempurnaannya adalah tidak adanya kekurangan apapun sekalipun perubahan. Dan kalau terbatas alias terqadar, maka sempurnanya adalah tidak adanya kekuarangan sesuai dengan qadarnya itu. 


Wassalam. 


Chi Sakuradandelion, Agoest Irawan, Khommar Rudin dan 4 lainnya menyukai ini 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad. 


8 Juli 2012 pukul 10:22 · Suka




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 06 Oktober 2018

Filsafat Laknat Allah



Seri Tanya Jawab : Bande Huseini dan Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra, pada 28 Juni 2011 pukul 20:56



Bande Huseini: Sinar Agama semoga antum dan keluarga selalu dalam perlindungan Allah swt dan antum tak bosan membimbing kami..ana mau tanya ustadz: Apa makna atau falsafah “laknat Allah atas orang-orang yang zholim “ dalam alqur’an atau di dalam ziarah asyuro..? afwan.. 

Sinar Agama: Bismillahirrahmanirahiim. 

Falsafah Laknat

Laknat dari bahasa Arab, yaitu La’ana yang berarti menjauhkan dari kebaikan. Jadi, laknat Allah kepada orang zhalim berarti menjauhkannya dari kebaikan. 


Dari penjelasan kata di atas, dapat diketahui, bahwa kepenjauhan orang zhalim dari kebaikan oleh Allah itu, jelas sebagai hukuman terhadapnya, bukan kesemena-menaanNya. Dan bahkan, tidak semua orang zahlim yang dilaknatiNya, tetapi yang sudah keterlaluan. 

Kalau dilihat dari kacamata filsafat, yakni hakikat atau niscayanya, maka hal itu sulit diterima akal yang sudah terdidik dengan ilmu-ilmu hakikat tersebut. Karena dalam hakikatnya, Allah adalah Zat yang sudah tentu tidak terbatas. Artinya, Dia tidak akan mengalami perubahan, baik dari ridha ke murka atau sebaliknya. Ini yang pertama

Yang ke dua, Dia yang sebagai keberadaan tidak terbatas itu, sudah pasti tidak akan memiliki kekurangan apapun. Karena itu, tidak mungkin Dia mengeluarkan gelap, sesat dan semacamnya. Jadi, bukan hanya tidak berproses atau berubah atau bereaksi atau berinteraksi. 

Mengapa yang tidak terbatas itu tidak berubah dan tidak mengeluarkan keburukan sama sekali? Karena kalau berubah, misalnya dari satu kondisi ke kondisi yang ke dua (seperti dari ridha ke murka), maka di dalam ZatNya akan ada bagian-bagian. Yaitu dari sini ke sana, atau dari kondisi itu ke kondisi yang ini dan semacamnya. Itu berarti di dalam ZatNya ada bagian-bagian. Dan kalau ada bagian-bagian itu, maka sudah pasti masing-masing bagiannya terbatas, karena masing-masing saling membatasi. Kalau demikian halnya, maka ZatNya merupakan kumpulan dan gabungan dari hal-hal yang terbatas. Dan kalau demikian, seluas dan sebanyak apapun rangkapan itu, hasilnya tetap akan terbatas. Dan kalau Tuhan terbatas, berarti memiliki awal dan akhir dimana sebelum awal pasti tidak ada. Dan kalau sebelum awal Dia tidak ada maka pasti diadakan. Dengan demikian Dia keluar dari keTuhanan dan masuk ke dalam golongan makhluk. Padahal Dia adalah Tuhan. 

Begitu pula kalau Tuhan memiliki kekurangan, seperti gelap, salah, sesat dan seterusnya. Karena ketika memiliki kekurangan jelas ZatNya menjadi terbatas. Dan kalau dmikian maka Dia memiliki awal dan akhir yang akhirnya berakhir pada kemakhlukanNya, bukan ke TuhananNya. Padahal 

Dia adalah Tuhan. 

Dengan penjelasan di atas itu, dapat dipahami bahwa Tuhan adalah Zat yang tidak terbatas. Dan karenanya Dia hanya memiliki kesempurnaan dan tidak memiliki kekurangan sedikitpun. Karena itu, Dia selalu menyinari, menghidayahi, menyantuni, merahmati dan seterusnya dan tidak pernah sebaliknya. 

Dengan demikian pahaman laknat, menyesatkan, murka dan semacamnya, harus dicarikan makna yang sepadan dengan ZatNya. Artinya, yang sesuai dengan kesucianNya yang tidak terbatas dan tidak terangkap itu. 

Pemaknaan yang paling tepat dalam hal ini, adalah bahwa sekalipun Tuhan selalumenyinari dan merahmati serta meberikan kebaikan, akan tetapi bukan berarti manusia ini dipaksa untuk menerimanya. Tentu selain kebaikan badani, seperti tubuh, sehat dan semacamnya. Kita kan sekarang lagi membahas akhlak dan prilaku. Jadi, fokus pembahasannya kepada moral manusia. Jadi kebaikan di sini yang berupa hidayah. 

Nah, hidayah ini, sekalipun tidak pernah putus dari sumbernya, yakni Allah, dan Allah juga tidak pernah mengeluarkan hal lain selain hidayah ini (bc: tidak pernah melahirkan dan mengeluarkan kesesatan), akan tetapi tergantung kepada manusianya sendiri, apakah ia akan menerimanaya atau tidak. Karena itulah orang yang tidak menerimanya itu, berarti ia telah menolak kebaikan dan rahmat Tuhan. Yakni menolak dengan ikhtiarnya sendiri. 

Dan menolak rahmat Tuhan, itu maknanya menjauhkan diri dari rahmatNya. Menolak hidayah Tuhan, itu maknanya masuk dalam kesesatan. Jadi, masuk tidak masuknya seseorang ke dalam hidayah dan rahmat, itu tergantung pada manusianya itu sendiri. 

Dengan keterangan di atas dapat dipaami, bahwa bukan Tuhan yang menjauhkan manusia dari rahmat dan hidayahNya, tetapi manusia itu sendiri. 

Akan tetapi karena keberadaan dan sistemnya ini, semuanya bersumber dariNya, termasuk keluarnya manusia dari rahmat dan hidayahNya, atau masuknya manusia ke dalam sesat dan jauh dari rahmat, maka sering dalam Qur'an dikatakan bahwa Allah-lah yang menghidayahi yang mendapat hidayah dan yang menyesatkan orang yang keterlaluan atau melaknat orang zhalim (menjauhkan dari rahmatNya). Wassalam. 

Haura Samira: Ketidakberbatasan Allah dipersepsikan dalam keterbatasan hamba. Artinya bahwa seorang hamba berusaha menggambarkan kemutlakanNya dalam framenya yang sangat terbatas. Maka dalam pemahaman ini dapat menciptakan jarak antara seorang hamba dan Allah. Dan hamba (manusia) dalam segala keterbatasan sifat kemakhlukannya tidak mungkin menjangkau kesempurnaan Allah dan mengenalNya, kecuali Allah memperkenalkan diriNya. Dia tidak memiliki sifat buruk secara substansial sebab hal tersebut menunjukkan keterbatasan. Dan ini berarti juga bahwa laknat Allah bersifat aksidensial bagaimana dengan pemahaman seperti ini ustadz? 

Sinar Agama: Haura: Dalil akal itu tidak memiliki perkecualian. Jadi kalau akal mengatakan bahwa akal itu tidak bisa menjangkauNya, maka apapun itu tetap tidak bisa menjangkau. Jadi, sekalipun Tuhan mengenalkan DiriNya juga tidak akan bisa dijangkaunya. 

Tapi dalil akal tidak mengatakan bahwa akal tidak menjangkau. Karena yang ingin dijangkau akal bukan hakikat kesempurnaanNya, tetapi pemahaman terhadapNya. Jadi, akal tidak mengatakan harus menjangkau ketidakterbatasanNya itu, tetapi hanya mengharuskan memahami dan meyakini ketidakterbatasanNya tersebut dengan dalil akal. 

Allah itu bukan substansi dan apalagi aksidental. Karena substansi dan aksidental itu adalah dua bagian esensi. Sedang esensi adalah batasan dan juga rangkapan yang terdiri dari genus/ jenis dan deffrentia/ pembeda. Sementara Allah tidak memiliki batasan apapun. Karena itulah dikatakan dalam filsafat bahwa “Tuhan tidak ber-esensi dan hanya ber-eksistensi.” Atau untuk basa basi dikatakan “Esensi Tuhan adalah EksistensiNya itu sendiri.” Sedang selain Tuhan memiliki dua hal, eksistensi dan batasannya yang, biasa disebut dengan esensi. 


Dengan semua penjelasan ini, maka apa yang sudah kuterangkan di jawabanku di atas itu, sudah pada tempatnya dan sesuai dalil gamblangnya. 

Wassalam. 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad wa ajjilfarajahum.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Kamis, 04 Oktober 2018

Kufu’ dasar dan filsafatnya Menjawab Soalan



Seri tanya-jawab Teguh dan Sinar Agama



Kufu’ dalam Syi’ah tidak sama dengan kufu’ dalam Sunni. Karena kalau di Sunni, kalaulah tidak pada semua madzhab mereka itu, kufu’ itu merupakan kewajiban yang harus dipenuhi dalam nikah, khususnya kalau kufu’ ini sudah menyangkut masalah darah syarifah/sayyidah. Akan tetapi dalam Syi’ah, kufu’ hanya berlaku kalau seorang wali tidak mengijinkan anaknya kawin dengan lelaki pilihannya. Dan kufu’ ini, tidak hanya menyangkut agama, akan tetapi juga menyangkut ‘urfi/ umum sosial, seperti kaya-miskinya, cacat-tidaknya, sayyid-tidaknya ...dan seterusnya. 




Diskusi tentang kufu’ ini terjadi di komentar terhadap catatan sebelumnya tentang Definisi Perawan-Janda Menurut Agama dan Umum. Kemungkinan, membaca diskusi ini akan memakan waktu dan kelelahan otak. Tapi kalau sabar membacanya, maka insyaAllah akan mendapatkan manfaatnya. Karena pendek, maka saya nukilkan kembali di sini sebelum meneruskan ke dalam diskusinya: 



56. Definisi Perawan-Janda Menurut Agama dan Umum 


http://www.facebook.com/home.php?sk=group_210570692321068&view=doc&id=210588938985910 

Definisi perawan dan janda 


1- Menurut bahasa: 

a- Dalam al-Qomuus, “al-Tsayyib (janda) adalah wanita yang dicerai suaminya atau yang sudah dikumpuli olehnya”. 

b- Dalam al-Shahhah “Tsayyib adalah yang sudah dikummpuli”. 

c- Dalam Mufrodaat, “Tsayyibah dari Tsaubun yang bermakna al-rujuu’ (artinya kembali, yang berasal dari tsaaba, penerjemah) yaitu yang dicerai suaminya hingga ia kembali seperti perawan”. 

2- Menurut Umum/’Urfun/’uruf: Janda adalah yang hilang keperawanannya (karena dikumpuli atau sebab-sebab lain). 

3- Menurut riwayat: Janda, lebih banyak yang bermakna yang sudah dikawini, baik telah dikum- puli atau tidak (al-Wasaail 14:204 hadits ke 4, dll). Jadi tidak temasuk yang pernah zina (na’udzubillah), diperkosa atau hilangnya keperawanan karena sebab-sebab lain seperti loncat, masuknya benda, jatuh dan seterusnya. Tapi ada juga riwayat yang mengatakan harus dikumpuli setelah dikawini (al-wasaail 14:215 hadits ke 8). 

4- Menurut Ulama’: Hampir mayoritas mengatakan yang sudah dikawini dan/atau dikumpuli setelah kawin (‘Urwatu al-Wutsqo jilid 2, juz 3, hal 66; Anwaaru al-Faqoohatu hal 285 atau 270; 

Mustanadu al-Syi’ah 16:123; Minhaaju al-Shalihin lil-Khu-iy masalah ke 70; al-Fiqhu al-Islaami Ahkoome Khonewodeh, jilid 1,hal 1; kami merasa pernah baca fatwa yang sama dari Imam Khumainiy ra tapi belum ketemu lagi yang di bahasa arabnya seperti Tahriiru al-Wasiilah, sedang di kitab bahasa Parsinya, kalau perawannya hilang karena jimak syubhat/keliru atau zina –bukan karena hal-hal selain ikhtiarnya seperti diperkosa dan semacamnya- dan wanitanya dihitung sebagai rasyiidah –lebih hati-hatinya demikian sebab dalam pembahasan lanjutan dari masalah rasyiidah dimana rasyiidah artinya adalah dapat mengerti kebaikan dan keburukan bagi kehidupannya dan bukan yang mudah ditipu dan semacamnya- maka secara hati-hatinya dihitung perawan; dan lain-lain). 

Kesimpulan: Dengan penjelasan di atas itu dapat diketahui bahwa menurut agama (secara global), janda adalah yang sudah kawin dan/atau sudah dikumpuli setelah kawin. Dan perawan adalah sebaliknya, sekalipun sudah tidak berselaput dara karena zina, diperkosa, jatuh dan lain-lain. Jadi, kalau agama mengatakan bahwa perawan harus ijin walinya kalau mau kawin (permanen/ temporer) adalah perawan menurut agama ini, bukan uruf/umum (tidak berselaput karena zina dan lain-lain). Sudah tentu, kalau seorang lelaki mau kawin dan mensyarati calon istrinya dengan perawan, maka yang dimaksud di sini adalah yang berselaput dara, bukan yang agami. 

Pelengkap: Wajibnya ijin wali bagi wanita, biasanya ada beberapa bahasan seperti: 


- Pertama, anak wanita yang sudah dewasa, akan tetapi belum mencapai rasyiidah. 

- Ke dua, anak wanita yang sudah dewasa dan rasyiidah. Rasyiidah adalah yang tahu kemaslahatan dirinya baik sekarang atau masa depan, bukan wanita yang mudah dikibuli rayuan lelaki hingga menyerahkan diri, terutama yang mudah ditipu oleh teman sekelasnya atau teman seperkulihaannya yang memang hanya untuk main-main serta tidak bermaksud memproses untuk segera menikah secara syar’ii.

- Ke tiga, walaupun diantara ribuan ulama/marja’ itu, kadang ada satu dua yang mentidakwajibkan ijin wali, bukan bagi yang dewasa. Akan tetapi bagi yang sudah rasyiidah tersebut dan, sebagian- nya bahkan menegaskan kemandirian dari orang tuanya. Jadi, wanitanya mesti dewasa, rasyiidah dan juga mandiri. 

- Ke empat, bagi yang perawannya hilang karena zina atau kumpul syubhat/keliru (seperti mengira kawinnya sudah syah akan tetapi ternyata tidak syah), bukan karena sebab lain, tidak terlalu ada pembahasannya (karena itu, seyogyanya digolongkan ke dalam perawan). Akan tetapi bagi yang taqlid imam Khumaini ra, disunnahkan juga ijin wali. Akan tetapi, yang dapat dipahami dari fatwanya itu, adalah bagi anak wanita yang bukan hanya dewasa (baligh) saja, melainkan juga rasyiidah. Hal itu, karena pembahasan bagi yang tidak perawan karena zina dan kumpul/jimak keliru ini, setelah pembahasan rasyiidah. 

Wassalam. 


D-Gooh Teguh:

1- Walinya yang dimaksudkan di situ kan ayahnya atau kakeknya dari pihak ayahnya? 

2- Maka kalau keduanya sudah tidak ada, syarat ijin wali yang dimaksudkan gugur? 
Kalau tidak diijinkan...? 

3- Kalau yakin 1000% tidak akan diijinkan? 

Sebenarnya syarat ijin wali dalam pernikahan itu muncul karena upaya compromize dengan situasi sosial ataukah memang dari sananya (hukum asalnya) demikian? Karena terdengar bertentangan kaedah umum “perempuan jika telah dewasa dan berakal sehat berhak atas dirinya sendiri”. 

Aziz Letta: Kemudian pertanyaannya apakah wajib bagi laki-laki untuk menanyakan kepada wanita yang hendak dinikahinya (mut’ah) apakah masih gadis atau sudah janda? 

Muhammad Adib: saya butuh yang ini... Buka masalah sayyidah Khodijah ustadz. 

Sinar Agama: Habib, bukan hanya nikah daim, tapi nikah yang syah. Jadi kalau mut’ahnya diijinkan dengan jelas oleh walinya, jelas tentang lelakinya, tanggal mula dan berakhirnya serta maskawinnya, maka wanita yang kawin mut’ah ini kalau dikumpuli setelah itu, dihukumi janda. Tapi kalau kawinnya tanpa ijin, maka dihukumi seperti zina karena tidak syah. Karena itu ia tetap dihukumi bukan janda dan harus ijin secara jelas kalau mau kawin lagi, baik daim atau mut’ah. 

Sinar Agama: Teguh: 

(1). Kalau sudah tidak ada dua-duanya dan begitu pula ke atas (ayahnya kakek), maka sudah tidak punya wali. Akan tetapi sangat dianjurkan untuk merembukkan dengan keluarganya kalau ingin menikah. Dan kalau belum rasyiidah, maka ada kemungkinan wajib meminta ijin syar’i ke marja’nya. 

(2). Kalau tidak diijinkan setelah minta ijin, maka kalau kawinnya daim (hati-hatinya), dan perempuannya sudah matang/rasyiidah (tahu maslahatnya dan tidak gampang dikibuli lelaki hingga tidak pernah pacaran, tidak pernah dibonceng tidak pernah dicumbu dan apalagi menyerahkan kesuciannya hanya dibeli dengan janji-janji kosong lelaki perayu yang masih kuliah atau bahkan sekolah atau lelaki yang suka ganti pasangan dan suka pacaran), dan lelakinya sekufu’ (selefel baik agama atau sosial), maka ia setelah itu bisa melakukan kawinnya walau tanpa restu walinya.

(3). Kalau yakin 100 % tidak diijinkan maka tidak boleh kawin dengan lelakinya itu. Tapi kalau ingin kawin, maka harus minta ijin dan kalau tidak diijinkan baru bisa ada kemungkinan bisa kawin dengan syarat-syarat di jawaban no 2 di atas itu. 

Ijin wali bagi bukan janda ini adalah hukum Tuhan (dari sononya), bukan karangan kita. Karena itu yang terdengar oleh antum tentang kemandiriannya itu adalah salah (memang ada yang mensyaratkan kemandirian seperti ayt Sistani, tapi setelah syarat-syarat sebelumnya itu, yaitu minta ijin –yang tidak diijinkan itu- wanitanya rasyiidah dan lelakinya sekufu’, baru setelah itu ada syarat lain yang berupa bahwa wanitanya harus mandiri dari orang tua atau walinya, jadi lebih berat lagi). Karena dalam Islam, hak bagi wanita yang bukan janda itu dibagi dua, separuh punya dirinya dan separuh lainnya milik walinya. Karena itulah maka tidak ada yang bisa saling paksa diantara keduanya dalam masalah kawin ini. 

Habibi Muhammad: Syukron ustad atas penjelasanya. 

D-Gooh Teguh: Kufu level sosial ini tidakkah diskriminatif...? 

Sinar Agama: Aziz, status janda itu kan nampak sekali dalam masyarakat kalau wanitanya wanita baik-baik, sepeti sudah pernah kawin atau tidak. Tapi kalau wanitanya tidak baik dan/atau memang tidak dikenali oleh lelakinya, maka jelas harus ditanya, karena khususnya di Indonesia banyak yang tidak tahu fikih. Setidaknya wajib menjelaskan kepadanya bahwa kawin daim atau mut’ah bagi yang belum jenda, disyarati dengan ijin walinya dengan jelas, baik dari sisi siapa lelakinya, berapa maskawinnya dan tanggal berapa kawinnya serta tanggal berapa selesainya -kalau mut’ah. Kewajiban ini, dilihat dari sisi wajibnya beramar makruf dan nahi mungkar dalam hal yang sudah kita tahu ketidaktahuan wanita yang mau dimut’ah atau dikawini daim, terhadap hukum-hukum kawin. 

Sinar Agama: Adib, saya kurang paham apa yang antum maksudkan. 

Muhammad Adib: Khodijah janda/tidak sebelum kawin dengan Nabi saww? 

Sinar Agama: Teguh, kufu’ itu ada dalam Islam dan Syi’ah, TAPI manakala walinya tidak menyetujuinya. Bukan diskriminatif, tapi justru kebebasan memilih. Kalau antum hilangkan hal itu, berarti antum yang diskriminatif dan diktator (kepada para ayah/wali yang merawat dan menjaga anaknya dari sejak dalam kandungan), he he he he 

Tapi kalau walinya menyertujuinya, maka dengan yang paling tidak sekufu’pun dibolehkan dan kawinnya menjadi syah. 

D-Gooh Teguh: Kufu’ level sosial itu seperti apakah...? Indikator sekufu dan tidak sekufu secara sosial itu apakah? 

Sinar Agama: Muh Adib, oh itu, seingat saya memang ada dua pandangan. Ada yang mengatakan janda dan ada yang mengatakan bukan janda. Tapi yang lebih kuat, yang mengatakan bukan janda. Mungkin setelah ini, akan dibahas lagi. 

Sinar Agama: Teguh, indikatornya adalah ‘urf, yakni penilaian umum. Misalnya kalau anak pejabat maka dengan anak pejabat atau yang selevel seperti orang kaya dan semacamnya. Kalau anak syarifah maka dengan sayyid. Walhasil indikasinya adalah ukuran umum orang-orang berakal di masyarakat. 

D-Gooh Teguh: Berarti ‘urf itu bisa berbeda dari satu golongan dan golongan lainnya meski dalam masyarakat yang sama. Maaf, menurut hemat saya yang miskin-ilmu ini: ketentuan tersebut diskriminatif. Saya memang hanya membacai hasil-hasil ijtihaad dan bukan dari sumbernya. Sampai saat ini saya menyimpulkannya: Kufu’ seorang mukminat adalah mukmin lain dan atau muslim lain yang tidak menentang wilayah dan tidak menghalangi istrinya kemudian. Sedangkan kufu secara sosial yang dikaitkan dengan atribut-atribut duniawi tersebut adalah diskriminatif. 

Tetapi dalam prakteknya memang tidak ada masalah karena kalau sudah coba minta ijin tidak diberikan khan bisa tetap jalan selama perempuan dan laki-lakinya dewasa dan berakal sehat sebagaimana ustad jelaskan di atas. 

Di kalangan sayyid di indonesia khususnya di jawa maka syarifah ya dengan sayyid. Di kalangan saya di kampung bahkan beda agama pun dianggap wajar2 saja. 

Ada juga saya pernah mendengar dari seorang ustad: ’Urf adalah pandangan seolah tidak memiliki pengetahuan spesialistnya. Bukan pandangan dari kalangan ke kalangan. 

Ada juga seorang ustadz yang sayyid: No problem syarifah dan ahwal. Tetapi faktanya giliran sodaranya hehehehe... tahu sendiri. Diharamkan menginjak rumahnya. Nah lho... ^_^ 

Sinar Agama: Teguh, antum salah memahami penjelasanku. Kalau tidak diijinkan walinya, maka yang tidak sekufu’ itu tidak bisa jalan terus. 

Justru kalau diijinkan maka yang tidak sekufu’ itu bisa jalan (meneruskan kawinnya). Tapi kalau tidak diijinkan walinya maka tidak bisa jalan terus. 

Adlh Murid Sejati: Ustadz...menurut saya walo janda/perawan, dalam menikah perlu ada musyawarah dengan keluarga, dan untuk mut’ah, janda harus dapat mengukur diri dan kebutuhannya, jika dirasa tidak memerlukan mut’ah lebih baik tidak lakukan, afwan karena di lingkungan kita janda bak gulali karena dia bisa menikahkan dirinya sendiri sehingga beberapa ada yang memanfaatkannya. 

D-Gooh Teguh: Nah, terlebih di situ. Maka hal ini sudah jelas diskriminatifnya terlebih jika sekufu didefinisikan sebagaimana tersebut di atas. Anak pejabat dengan anak pejabat. Syarifah dengan sayyid. Pangeran/Raden/Mas dengan Raden Ayu/Raden Ajeng/BRA dan sejenisnya. 

Sinar Agama: Orang yang bisa jalan terus setelah minta ijin tapi tidak diijinkan itu memiliki 3 syarat: 

(1). Sudah minta ijin tapi tidak diijinkan. 

(2). Wanitanya matang/rasyiidah (tahu maslahatnya dunia akhirat dan tidak mudah ditipu rayuan). 

(3). Lelakinya SEKUFU’, baik agama atau sosial. 

Jadi, sekufu’ itu justru kalau sedang tidak diijinkan. Dan hal itu adalah hak setiap orang. Memangnya antum mau kawin dengan wanita yang tidak punya hidung (hidunganya keroak, afwan) atau nenek yang sudah tua? Lalu kalau antum tidak mau apakah antum diskriminatif???!!! 

D-Gooh Teguh: Perempuannya mau kok. Sama-sama mau dan sama-sama suka, hanya tidak sekufu sosial dan tidak mendapatkan ijin. 

D-Gooh Teguh: Yang tidak mau khan pihak lainnya yang kebetulan “diberikan kuasa” perijinan. 

Sinar Agama: Kan itu hak antum. Diskriminatif itu adalah memilih-milih sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak antum. Misalnya antum jadi manager perusahan. Disuruh memilih karyawan. Nah, di sini walau memilihnya ada di tangan antum, tapi antum tidak bisa memainkan hak pribadi. Karena itu harus memakai kriteria perusahaan untuk memilih karyawan. Di sini antum tidak bisa memilih yang cantik, yang kaya, yang keluarga ....dan seterusnya. Ini namanya diskriminatif. Tapi kalau antum sendiri mau pilih istri yang kaya, yang cantik, yang tinggi, yang langsing yang putih yang milyuner ...dan seterusnya maka di sini hak antum sepenuhnya dan tidak dikriminatif sama sekali. Nah, orang tua yang punya hak atas anaknya, juga begitu. Dia mau pilih suami seperti apa, itu adalah haknya. Seperti si anak perempuannya itu. Nah, kalau terjadi kesepakatan dari keduanya, maka jalan, dan kalau tidak, maka agama telah memberikan jalannya. Seperti 3 syarart di atas itu. 

Oh malah ada lagi syarat ke 4 di fatwa Rahbar hf (untuk bisa kawin tanpa ijin wali setelah minta ijin dan tidak diijinkan itu), yaitu TIDAK ADA LAGI LELAKI YANG MEMADAHI/SEKUFU’. Jadi kalau orang tuanya tidak setuju, maka dengan 4 syarat itu baru boleh menerjang walinya. Tapi kalau tidak, yah 

.. mengapa harus ada paksaan kepada wilayah orang lain? 

D-Gooh Teguh: Terima kasih atas informasinya. 

Sinar Agama: Teguh, Islam itu tidak memandang bulu, tapi hanya memandang taqwa dan ketaqwaan. Akan tetapi ia juga menghormati hak orang lain. Antum sendiri sudah pasti tidak mau wanita cebol, hitam pekat, cacat ...dan seterusnya. Itu hak antum dan Islam menghormatinya. Antum ini sekarang ibarat/seperti orang cebol yang berteriak diskriminatif karena tidak dipilih antum, nah ... lho ... 

D-Gooh Teguh: Di situlah pangkal keberatan saya. Perempuan itu sendiri menjadi tidak berhak atas dirinya sendiri. 

1- Terdengar bertentangan dengan doktrin “perempuan yang dewasa dan berakal sehat berhak atas dirinya sendiri”.

2- Kufu sosial sebagaimana tersebut di atas terdengar bertentangan dengan penghapusan diskriminasi ras, asal usul, apakah kemudian tingkat kesehatan juga akan dimasukkan dalam indikator kufu, dan sebagainya.

3- Hak wali atas pilihan hidup anak perempuan mengapa hingga menghapuskan hak atas dirinya? 

D-Gooh Teguh: Bukan begitu ustad. Di sini ada si cebol yang disukai si cantik, syarifah bani hasyim (biar makin kentara kejelasan soalnya) dan sebaliknya si cebol pun demikian pula. Maka mengapa ada hak wali yang melampaui hak perempuan atas dirinya sendiri? 

D-Gooh Teguh: Pertentangan di sini adalah Hak Perempuan Merdeka vs. Hak Wali. Bukan masalah lain-lainnya... 

Jika ada pertentangan ‘urf (jika menggunakan definisi lazimnya suatu kalangan) maka yang dimenangkan juga ‘urf pihak yang manakah? 

Jadi dalam hal terjadi konflik antara hak wali dan hak anak maka mana yang harus didahulukan dan mengapa demikian...? Di situlah letak dilema yang saya maksudkan. 

Sinar Agama: Teguh, antum ini diskriminatif sekali membaca penjelasanku. Orang aku mengajak antum kepada si cebol yang tidak dipilih antum, kok antum ajak saya ke cebol yang disukai antum? Karena itu tidak ketemu. Coba antum jangan diskriminatif, tapi baca tulisanku dengan mau dan maksudku, maka mungkin bisa ketemu. 

Nah, setelah ketemu mauku, maka setelah itu hak antum juga untuk memilihnya atau tidak. 

Semua yang antum tanyakan ini, sudah saya jawab di atas. Coba antum lihat lagi dan setelah itu kalau masih ada yang mau didiskusikan silahkan. Tapi untuk setakat (seukuran) ini, dari semua poin yang antum tanyakan ini, sudah kujawab di atasnya. 

D-Gooh Teguh: ya sudah... terima kasih atas penjelasannya... Simpulan saya: 

1> Ustadz berpendapat bahwa agama ini memilih untuk mengedepankan hak wali daripada hak anak perempuan yang dewasa dan berakal sehat dalam hal terjadi konflik pilihan, 

2> Kufu sosial seperti anak pejabat dengan anak pejabat, syarifah dengan sayyid, kaya dengan kaya, terpandang dengan terpandang menurut pandangan ustad sebagai bukan diskriminasi dan tidak bertentangan dengan doktrin Islam tidak pandang bulu, 

3> Dalam hal terjadi pertentangan ‘urf antara dua kelompok belum dijawab yang mana yang didahulukan/dimenangkan. *Jika simpulan saya atas pandangan ustad ada yang keliru mohon diluruskan. 

D-Gooh Teguh: Jika simpulan saya di atas dibenarkan maka saya juga mohon maaf karena berbeda pandangan. 

Sinar Agama: Teguh, harus berapa kali dijelasin? Mengapa antum tidak/kurang teliti?

(1). Wanita bukan janda itu dimiliki dua orang dalam pandangan agama. Dirinya dan walinya yang telah melahirkan dan membesarkannya. Karena itu, harus ada kesepakatan diantara keduanya dan tidak boleh ada saling paksa dalam memilih pasangan anak.

(2). Kufu’ dan kewajiban sekufu’nya itu, terjadi ketika ada beda pilihan antara anak dan walinya. Artinya, si anak tidak bisa menembus hak ayahnya kalau tidak sekufu’ sekufu’ (tentu dengan 3 syarat lainnya itu). Jadi, kalau walinya dari awal sudah setuju, maka dengan siapapun anaknya bisa kawin walau tidak sekufu’. 

D-Gooh Teguh: Maaf, berapa kali pula harus saya tanyakan: Jika ada pertentangan pilihan antara anak perempuan dan walinya maka mana yang didahulukan. Dan ustad telah menjawab WALI. 

Jelas dari penjelasan ustad bahwa si anak tidak boleh berkahwin dengan pilihannya jika tidak diijinkan walinya (dalam hal tidak sekufu menurut pengertian di atas). 

Dengan demikian “tidak boleh ada saling paksa” adalah tidak tepat karena ustad mengijinkan pemaksaan wali pada anaknya. “Memaksa untuk tidak boleh berkahwin dengan pilihan anaknya yang dipandang tidak sekufu”. 

Sinar Agama

Dan kufu’ ini jelas menurut agama dan akal, tidak diskriminatif, karena tidak ada hubungannya dengan sosial. Dia mutlak merupakan hak pilih bagi setiap orang yang memiliki hak untuk itu. Seperti kita yang tidak memilih wanita cebol. Nah, karena si anak dan si wali sama-sama memiliki hak pilih, maka mereka bisa memilih sesuai dengan yang disukainya dengan syarat tidak saling paksa. Jadi, kalau walinya maukan anaknya kawin dengan orang kaya yang cebol dan anaknya tidak mau, maka walinya juga tidak bisa memaksanya, persis seperti kalau anaknya memiliki pilihan yang tidak disukai walinya. Tapi justru kalau untuk anak ini, maka sekalipun tidak disukai walinya, asal sekufu’ dan dilengkapi 3 syarat lainnya, maka ia boleh kawin lari. 

(3). ‘Urf itu, adalah keumuman, dan kalau beda, namanya bukan ‘urf. Karena itu, kalaulah terjadi perbedaan juga, maka yang diambil adalah yang lebih ‘urf atau lebih umum dan dikenal. Dan kalau mau lebih hati-hati maka diambil yang lebih berat. Ini teori yang diberikan di fikih. 

D-Gooh Teguh: Dengan demikian intinya ustad hendak mengatakan: “intinya adalah kesepakatan antara wali dan anaknya”. 

Kesepakatan antara wali dan anaknya dalam hal tidak sekufu. Padahal jelas, urusan itu adalah lebih kepada urusan pilihan hidup anaknya. Bagaimana kehidupannya akan dijalaninya. 

Sinar Agama: Teguh, intinya adalah bahwa ayah yang telah merawatnya itu memiliki separuh hak terhadap anak perempuannya. Dan ayah dalam Islam, tidak bisa berlepas diri dari anaknya walau sudah dewasa dan bahkan matang sekalipun karena ia di samping telah membesarkannya dari merah, ia lebih memiliki pengalaman hidup dan tahu trik-trik lelaki. Jadi, ia harus terus melindungi anaknya dari kesalahan termasuk salah pilih ini selama anaknya belum bestatus janda. Namun demikian, karena separuh lagi hak anaknya milik anaknya, maka orang tua tidak boleh memaksakan pilihannya kepada anaknya. Jadi, harus ada saling setuju. Tapi anak lebih luas terbuka. Karena walau tidak dapat persetujuan ayahnya, asal ke 4 syarat di atas itu dipenuhi, maka ia bisa meninggalkan kehakan ayahnya. 

D-Gooh Teguh: Yups... saya hanya masih mikir tentang kufu sosial dan jika tidak sekufu sosial saja. Tentang hal-hal lainnya beres... sudah jelas. Terima kasih. *meski tidak umum, trik perempuan juga ada lho... ^_^ 

Sinar Agama: he he he: Coba saja antum renungi masalah kufu’ itu dari sisi si cebol yang antum tolak cintanya itu dan sedang patah hati itu serta sedang membuat kidung-kidung patah hatinya itu yang diberi judul “diskriminatif cinta Teguh” he he he... Oh iya yang trik wanita itu yang kayak/ seperti apa, ana belum paham .. 

D-Gooh Teguh: Catatan saya: 

1> Tentunya bukan karena menghidupi dan soal trik karena jelas jika karena menghidupi maka bisa saja dihitung dan diganti si anak. Juga bukan karena trik karena kalau ayahnya, ibunya, kakek dari pihak ibu juga mengetahui urusan ini. Tetapi toh tidak diperhitungkan dalam hukumnya. 

2> Kufu sosial sebagaimana ustad sebutkan bagi saya jelas bertentangan dengan doktrin Islam tidak memandang bulu. Maaf. 

D-Gooh Teguh: Ad catatan: 

1>Bahkan di anak tak pernah minta dilahirkan. Bahkan proses pembuatannya pun menyenangkan orangtuanya pula. 

Sinar Agama: Teguh: Antum yang mengerti Islam, tolong dijelaskan dimana kufu’ itu telah bertentangan dengan Islam? Tolong tunjukkan! Karena antum mengatakan bertentangan dengan Islam. Kalau bertentangan dengan antum itu mah... tidak masalah. Tapi kalau dengan Islam, tolong dimana dan di ayat mana serta hadits mana atau fatwa mana? 

Sinar Agama: untuk no 1 dan 3 saya tidak paham. 

D-Gooh Teguh: Pertama-tama: Peace Ustad... ini dalam rangka agar semakin mantab di hati saja. Daripada ada unek-unek to... ^_^ 

0> Tentang kufu sosial, sebagai contoh bukankah saudara sepupu kalau gak salah dinikahkan dengan budak. Yang menurut ‘urf kala itu jelas bertentangan dengan ‘urf kala itu (‘urf Jahiliyyah maksudnya). 

1> Ustadz khan bilang hak ini karena ayah menghidupi dan tahu trik nakal laki-laki. Menurut hemat saya pada dasarnya bukan karena itu jika ada hak harus sepakat. Karena kalau karena menghidupi maka bisa dibuat catatan-catatan pengeluarannya khan. Maka jika si anak mengganti pengeluaran hidupnya di kala kecil (yang mana telah diwajibkan Tuhan atas ayahnya) maka hak itu bisa hilang dunk. Tetapi nyatanya tidak demikian. 

3> Tidak ada nomor tiga dalam komentar saya. Ad maksudnya additional (tambahan untuk nomor satu yang tertulis di komen sebelumnya). 

D-Gooh Teguh: Tetapi permasalahan harus bersepakat ini kita tangguhkan dulu. Karena lebih penting urusan kufu sosial karena di sinilah basis daripada boleh mengabaikan hak wali atau tidaknya. 

DAN saya tekankan lagi: Bukan saya mengerti Islam tetapi sedang mencari tahu tentang Islam maka muncullah pertanyaan-pertanyaan. Dan jika menggunakan bahasa menyangkal maka itu hanya bentuk lain agar mendapatkan jawaban. 

Sinar Agama: Teguh, Antum boleh menguneg-nguneg dan tidak ada masalah kalau atas nama diri antum, tapi kalau atas nama Islam, maka harus pakai dalil Islam. Karena itu ana minta dalil antum ketika masalah kufu’ ini antum katakan sebagai bertentangan dengan Islam. 

D-Gooh Teguh: Saya tidak mengatakan bertentangan dengan Islam. Tetapi kufu sosial yang ustad ungkapkan bertentangan dengan pernyataan ustad sendiri tentang Islam “tidak pandang bulu”. 

Sinar Agama: Saya tidak mengerti tentang bekas budak dan sepupu itu. Usahakan pakai dalil yang tegas jangan yang kalau nggak salah, karena kalau dalilnya kalau nggak salah, maka kesimpulan argument antum juga harus kalau nggak salah. Dan debatan antum yang kalau nggak salah, maka tidak wajib ana jawab. Karena bisa saja “kalau salah”??!!! 

D-Gooh Teguh: Khan ustadz yang bilang: 

1> Islam tidak pandang bulu. 

2> Harus kufu sosial padahal katanya “taqwa” yang membedakan. Sedangkan taqwa tidak disebut-sebut dalam hukum perkawinan. 

Sinar Agama: Lagi pula, siapa mau dikawinkan dengan siapa itu, tidak ada urusan. Karena yang penting bahwa anak wanitanya, anak lelakinya dan wali wanitanya mengijinkannya. Dan bekas budak itu telah membuatnya sekufu dalam arti karena sudah sama-sama merdeka. 

D-Gooh Teguh: Khan fakta sejarah: Bekas budak Nabi yang kemudian menjadi anak angkat yang bekas budaknya yang diberikan oleh Siti Khadijah as. Saya hanya agak lupa-lupa masalah nama saja. Hanya lupa nama bukan berarti tidak pasti. Atau kisah sejarah itu hanya bualan saja? 

Sinar Agama
(1). Hak ayah itu karena ia telah melahirkannya ke dunia dan telah merawatnya dari kecil. Saya tidak mengatakan membiayainya. Dan antum tidak akan pernah bisa membayar kasih sayang orang tua yang telah merawat antum. Kasih sayang mereka yang merawat kita dan menjaga kita dengan nyawanya dikala perlu, tidak bisa dinilai dengan uang. 

Ada seorang shahabat yang melayani ibunya, dari sejak menuntunnya, menggendongnya, mencebokinya, memamahnya ketika sudah tidak bisa mengunyah lagi. Walhasil sejak dari setengah lumpuh sampai ke lumpuh total. Dirawat dengan sepenuh hati dan tanpa keberatan. Digendongnya kemana ia mau pergi. Setelah itu datang ke Nabi saww dan bertanya, apakah ia sudah membayar hutang jasa ibunya? Nabi saww menjawab, semua yang kamu kerjakan itu belum bisa membayar satu Oh..... saja ketika ia oh-kan waktu melahirkanmu. 

D-Gooh Teguh: Perempuan Bani Hasyim menikah dengan bekas budak di kala Nabi sawa hidup. Setelah bercerai perempuan itu pun dinikah Nabi sawa. Bukankah contoh ini menunjukkan kufu sosial tidaklah prinsipil. 

(2). Saya heran kepada antum yang sulit menerima kufu’ ini. Karena itu hak pilih orang. Islam mengajarkan tidak ada beda dari manusia kecuali dengan taqwa. Tapi Islam juga memberi hak pada siapa saja untuk memilih yang disukainya. Mengapa antum tidak bisa menerima orang tua yang tidak setuju dengan pinangan orang yang dia tidak suka, karena misalnya tidak sekufu, sementara antum menolak lamaran si cebol tadi? 

D-Gooh Teguh: Dan ibunya tidak diperhitungkan dalam hukum nikah. Padahal sama saja. 

Sinar Agama: Antum baca lagi dengan renungan, semoga bisa lebih memudahkan. 

D-Gooh Teguh: Lupakan urusan itu. Karena bukan hal krusial. Tetapi masalah kufu sosial-lah yang menjadi tanda tanya besar di benak saya. 

Jika kufu sosial maka si anak boleh melanggar hak walinya. Jika tidak kufu sosial maka tidak boleh melanggar hak walinya. (Dgn syarat-syarat itu). Mengapa ada pembedaan karena status sosial? 

Sinar Agama: Misalnya nanti antum punya anak perempuan, karena antum kurang mendidiknya dengan baik, maka ia bergaul bebas (dalam batas tutup aurat saja). Lalu dia senang dengan orang cebol dan wahhabi. Lalu antum tidak mengijinkannya, apakah antum diskriminatif Islamic? 

D-Gooh Teguh: WAHABBI artinya tidak kufu agama. Dengan orang cebol tetapi mukmin maka terserah anak saya saja. 

Sinar Agama: Antum harus juga meresapi apa arti diskriminatif itu, dan kenapa ia jelek? Masak antum pakai istilah dikriminatif itu pada hak memilih orang yang hanya menyangkut dirinya dan keluarganya? 

Kalau antum berfikir seperti itu, maka antum tidak boleh marah ketika penjual bakso demo di depan rumah antum karena antum tidak suka bakso. Begitu pula penjual batik. Begitu pula penyanyi dangdut. Begitu pula orang partai (karena antum anti partai). Antum menurut mereka dengan teori antum ini adalah diskriminatif karena telah menolak partai. Tentu saja semuanya, seperti bakso, batik, dangdut ...dan seterusnya itu. 

D-Gooh Teguh: Masalah yang masih menjadi tanya besar hanya KUFU SOSIAL. Jelas ada pem- bedaan menurut yang ustad katakan: Kalau kufu agama dan sosial maka si anak boleh melanggar hak walinya. Meski kufu agama tetapi tidak kufu sosial si anak haraam melanggar hak walinya. Jelas ada pembedaan karena status sosial di sini. Nah, ini yang saya tanyakan mengapa bisa demikian. 

Syaiful Bachri: Ustadz.., mau urun rembuk.., ana mau kasih contoh, misalnya ada seorang ahwal mau nikah dengan seorang syarifah dan walinya tidak setuju karena alasan calonnya bukan sayyid.., apakah mereka boleh kawin lari... ? 

D-Gooh Teguh: Pembedaan khan istilah lainnya diskriminasi. Nah, bagaimana bisa pembedaan/ diskriminasi hukum “melanggar hak wali” karena status sosial bisa dibenarkan? Itu saja inti dari pertanyaan saya. 

D-Gooh Teguh: Saiful Bachri, ya itu yang benak saya keberatan. Mengapa bisa jika sayyid juga maka boleh kawin lari, dan jika ahwal tidak boleh. 

Syaiful Bachri: Ust.., Bukankah di Syiah masalah pernikahan akhwal dengan Syarifah diboleh- kan...? Bukankah syarat pernikahan yg terpenting adalah masalah ketaqwaan. Kalo kufu sosial didahulukan bukannya tidak ada bedanya dengan pengikut faham materialism. 

Karena masalah kufu sosial di Indonesia banyak muslimah yang dipaksa kawin dengan pilihan orang tuanya hanya sekedar calon juga sederajat dari status sosialnya tidak memandang dari sisi ketaqwaan... 

Sinar Agama: Syaiful, walau wanitanya/syarifahnya Syi’ah, maka ia tidak boleh kawin dengan yang bukan sayyid kalau tidak disetujui walinya. Tapi ayahnya juga tidak bisa paksa dia untuk kawin dengan pilihannya. Walhasil hak anak wanitanya itu separuh-separuh dimiliki mereka berdua. Tapi kalau calon anaknya ahwal, miskin, cacat sekalipun, asal walinya mengijinkannya, maka si anak tadi bisa kawin dengan pilihannya itu. 

Islam itu masih menghormati hak setiap orang sesuai dengan yang dikehendaki. Kalau ia mau yang kaya, juga silahkan. Kalau mau yang sayyid juga silahkan. Tapi kalau mendahulukan taqwa, maka bukan hanya silahkan, tapi sangat dianjurkan. Karena itulah, kalau tidak bisa yang secara akhlaki ini, maka setidaknya secara hukum fikih dalam arti menghormati hak-hak pilihan masing-masing orang yang berhubungan dengan diri dan keluarganya. 

Sinar Agama: Teguh, mungkin rahasianya, bahwa kalau sudah sekufu tapi orang tuanya masih menolaknya, maka hal tersebut sudah keluar dari keadilan dan akal. Karena itu tidak didukung agama. Misalnya sudah sama-sama Islam, Syi’ah, kaya, sayyid, ...dan seterusnya, tapi masih menolaknya juga, maka si anak bisa kawin lari. Karena penolakannya itu tidak beralasan. Tapi ini sekedar rabaanku terhadap hikmah hukum kufu’ tersebut. 

Tapi kalau memang tidak sekufu’ LALU WALINYA KEBERATAN, maka jelas ini masuk akal. Seperti anak antum yang cinta pada cebol wahabi itu? 

Jadi, kalau antum tolak permintaan ijin anak antum yang mau kawin dengan cebol wahhabi yang bahkan msikin itu, maka antum layak dihormati karena penolakannya beralasan. Dan Islam menghormatinya. Tapi kalau tidak ada alasan karena memang sekufu’ (tentu dengan 3 syarat lainnya itu), maka penolakan antum tidak beralasan dan Islam tidak membelanya. 

Syaiful Bachri: Ustadz walaupun calon suaminya ahwal tapi dari sisi materi berkecukupan, taqwa, ganteng, berpengaruh, dan sebagainya..., hanya karena dia ahwal dan wali dari calon istrinya tidak menyetujui hanya dari sisi faktor ahwal-nya.., dia tidak boleh juga untuk kawin lari...? 

D-Gooh Teguh: Anak perempuan saya mau kawin dengan wahabi walau penguasa dunia, saya usir saja. Urusannya dia sendiri selanjutnya. Tetapi kalau mukmin miskin juelek pula, masih saya ikut urusi membantu yang bisa saya bantu. Tentang kufu sosial pejabat dengan pejabat, sayyid dengan syarifah dan sebagainya, baru boleh melanggar hak wali bagi saya tetap TIDAK MASUK AKAL. Karena hak atas diri lebih didahulukan daripada hak seorang atas orang lainnya. 

Syaiful Bachri: Gimana kalo kebalikannya, seorang sayyid yang mau menikahi ahwal tapi ditolak oleh walinya hanya karena dia tidak kaya...? 

D-Gooh Teguh: Itu sudah menyangkut pilihan hidup seseorang hatta anak saya sendiri. Pem- bedaan karena status sosial hanya bisa dibenarkan di rincian keadaban pensikapan dan bukan di urusan legal / hukum. 

Memang di situs-situs marja’ umumnya hanya mengatakan compatible as sharia’ views dan tidak dijelaskan lebih lanjut tentang bagaimana sharia views itu. Apakah termasuk kufu sosial sebagaimana ustad jelaskan. Tetapi di banyak buku-buku maka ada polemik tentang hal ini. 

D-Gooh Teguh: TIDAK MASUK AKAL karena pembedaan dibolehkan karena perbedaan status sosial yang menurut agama katanya bukan hakikat. Pembedaan hukum karena perbedaan status sosial adalah tidak masuk akal. Dan bukan soal bakso atau partai atau dangdutan. Tetapi masalah “pembedaan hukum karena status sosial”. Ini saja yang menjadi tanda tanya besar. 

Ita Soetrisno: Dalem ati saya baca note & komen ini tapi belum sepenuhnya ngerti, dan jika saya, maka saya akan menikah dengan lelaki yang saya pilih/mau, minta ijin kakak kandung saya/wali. dan jika kakak saya tidak mengijinkan misalnya hanya karena BEDA ETNIS, maka saya akan tetap menikah dengan lelaki pilihan saya, karena ini hidup saya, jadi saya yang menentukan pilihan saya ] tolong bantu koreksi jika pikiran saya salah... terima kasih. 

Chen Chen Muthahari: Wah wah wah....saya suka komen om Teguh. Maaf ust. Sinar Agama. Saya juga tidak setuju soal kufu sosial. Kalau soal kufu agama/iman sih saya pasti setuju. Kufu wajah/ fisik juga saya kurang setuju, kalau anak gadis saya ingin menikah dengan mukmin yang tidak ganteng pun tidak kaya tetapi saya lihat pekerja keras dan bertggungjawab karena berimannya itu, maka kalau perlu saya akan jewer suami saya supaya mau menerima hahaha (maaf agak 

nyeleneh komennya biar gak tegang-tegang amat). Yang penting kan yang mau menjalani hidup pernikahan. Mengapa agaknya agama menjadi begitu mempersulit yang penting kan kerukunan dan saling memahami antar anggota keluarga? 

D-Gooh Teguh: Pada dasarnya kufu sosial adalah urusan relasional antar orang. Seseorang biasanya (meski ada pengecualian) bergaul dengan level sederajatnya secara sosial adalah fakta sosiologis. Dan pertimbangan kufu sosial adalah boleh-boleh saja. Pilihan mana suka setiap person. Saya hanya pusing dengan “pembedaan hukum karena perbedaan status sosial”. 

Sinar Agama: Syaiful, dalam dua kondisi yang antum tanyakan itu, jawabannya sama, yaitu tidak boleh kawin lari. Tapi pada kondisi ke dua, kalau wali anak perempuannya tidak kaya, dan menolak sayyid yang tidak kaya itu, berarti calon sayyid ini sekufu’ dengan keluarga wanitanya, maka bisa kawin lari. Tentu kalau syarat-syarat lainnya terpenuhi. Tapi kalau wali wanitanya kaya, maka calon yang sayyid tadi tidak sekufu’ dan tidak boleh kawin lari, 

Sinar Agama: Teguh, akal antum yang tidak bisa terima itu, tidak menjadi ukuran akal orang lain. Tapi ini lebih bagus dari pada mengatakan tidak Islami seperti yang dikatakan antum sebelumnya. 

Tentang legal hukum itu hukum apa? Kalau Islam maka antum harus menyertakan ayat-ayat dan hadits-hadits (kalau mujtahid) dan fatwa (kalau taqlid). Sedang yang saya terangkan ini adalah hukum Islam. Jadi yang menyimpang dari itulah yang tidak legal. Saya bisa nukilkan fatwa imam Khumaini ra dan Rahbar hf kalau diperlukan. Jadi, mengikuti akal dan legal para marja’ sudah tentu lebih selamat dari mengkuti akal dan ketidaklegalan antum. 

Status hukum itu bisa berbeda karena status sosial dan sangat masuk akal. Karena hukum yang kita bicarakan di sini berdiri di atas pilihan sosial. Artinya, penolakan orang tua, selama masih memiliki dasar logis, seperti tidak sekufu’, maka diterima agama dan dihormati, karena wali punya separuh hak pada anaknya. Tapi kalau penolakannya itu tidak ada alasannya, maka tidak diterima agama. Dan semuanya sudah saya jelaskan di atas. 

Ini fatwa imam Khumaini ra di bab Kawin, pasal: wali kawin, masalah no: 2:...... 

نعم ال إشكال فى سقوط اعتبار إذنهما إن منعاها من التزويج بمن هوكفو لها شرعا و عرفا مع ميلها 

(Artinya): ....... memang, tidak ada keraguan bagi jatuhnya/gugurnya keharusan/kewajiban ijin wali itu kalau walinya mencegahnya -anak perempuannya yang sudah matang/rasyiidah- untuk kawin dengan orang yang sekufu’ dengannya dari sisi agama dan ‘urf (sosial), sedang anaknya sudah ingin kawin.. 

Chen Chen Muthahari: Terlepas dari persoalan agama -- Saya terus terang sangat bingung kalau ada urusan sekufu dengan tidak sekufu dalam hal kekayaan/kufu sosial -- masih bisa memahami kalau soal kufu fisik -- maksud saya kalau ada orangtua kayaraya menolak anaknya dipinang anak yang tidak kayaraya tapi pekerja keras dan saya yakin orang yang mukmin itu pasti orang yg rajin bekerja artinya sepanjang bisa memenuhi nafkah dan anak perempuannya sudah sadar benar kondisi yang akan dia lalui dari hidup serba berlebih menjadi serba secukupnya -- mengapa justru orang tua/wali mempunyai hak yang lebih besar dalam menentukan keputusan anaknya yang akan menikah? Inilah yang sedari tadi saudara D-Gooh Teguh persoalkan yang menurut akal saya juga mungkin menurut hati saya kok rasanya tidak sreg dengan ajaran Islam yang mengedepankan keimanan dan ketaqwaan di atas harta, jabatan, suku bangsa apalagi keturunan (sayyid - ahwal). 

Saya masih bisa memahami kalau orangtua melihat si calon menantu cacat atau tidak normal, buta, pincang, cebol, dsb karena memang manusia pada dasarnya selalu melihat dari fisiknya dulu. Orang-orang yang mampu melampaui penglihatan atas fisik itu hanyalah sedikit. Saya jadi teringat kisah seorang pilot yang terbakar dan wajahnya berubah hancur tetapi si calon istri tetap keukeuh untuk terus meneruskan rencana pernikahannya -- mereka orang Kristen, dan menurut saya walau kristen tetapi mereka menerapkan nilai-nilai Islami yg luar biasa, hmm maaf kalau ini menyinggung ustadz atau siapa saja, tapi saya terus terang kagum dengan keputusan mereka, karena siapa sih yang mau mengalami kecelakaan seperti itu, dan tetap istiqomah melanjutkan pernikahan itu luar biasa tidak macam dalam cerita sinetron islami di tv yang meninggalkan tunangannya karena sakit atau suami yang menikah lagi karena istrinya mendadak sakit atau cacat, atau istri yang boleh minta cerai kalau suaminya mendadak sakit well maap ya saya mungkin tidak Islami dalam hal ini tapi menurut saya secara hati nurani rasanya kok tidak adil dan tidak punya perasaan. 

Tetepi mohon maap kalau ini menyinggung ustadz atau siapa saja yg setuju dengan kufu dan tidak kufu ini. ini hanya unek-unek saya seorang yang biasa-biasa saja. 

Sinar Agama: Kalau fatwa Rahbar: Di kitab fatwanya “Muntakhabu al-Ahkaam, di halaman 257, masalah ke: 938, berkata: 

“Kalau walinya menentang perkawinan anak perempuannya (yang rasyiidah) dengan orang yang sekufu’ baik dalam pandangan agama atau ‘urf (umum sosial) seperti kaya miskin, jabatan dan semacamnya, penj.) DAN TIDAK ADA LAGI LELAKI LAIN YANG BISA DIRELAI WALINYA ITU, samentara anak wanitanya itu memerlukan kawinnya itu, maka jatuhlah kewalian ayahnya tersebut.” 

Perhatikan tulisan huruf balok itu, karena ia syarat lain melebihi yang diberikan imam Khumaini ra. 

Sinar Agama: Ita, wali itu harus dimintai ijin bagi yang bukan janda. Tapi wali itu hanya ayah atau ayahnya ayah, bukan kakak dan semacamnya. 

Sinar Agama: Chen2, wah kebetulan nih, karena dalam curhat-curhat teman-teman yang masih nganggur tentang kawin, mereka mengeluh kapan bisa kawin. Nanti saya sarankan ke ibu saja yah dan nanti yang dijewer bukan hanya suami tapi anaknya juga kalau menolak, karena nanti diskriminatif he he he 

Chen Chen Muthahari

Hehehe, makasih ustadz. Kalau anak gadis saya (saya punya dua anak gadis masih kecil-kecil) memang sudah siap lahir bathin untuk menikah dengan calon suaminya ya saya harus siap melepaskannya juga ayahnya itulah konsekuensi jadi orangtua. Tidak perlu memasalahkan apapun. Kalau ternyata tidak sekufu, kita mesti melepaskan diri kita sepenuhnya kalau si anak bersikeras, lebih baik merestui daripada mengutuki. Ada banyak kasus dalam keluarga saya orngtua yang tidak setuju namun merestui akhirnya toh si suami jadi orang kaya juga hehehe, terus ada yg non-muslim karena direstui dan dibaik-baikin akhirnya jadi muallaf dan naik haji. Restu orangtua itu kan katanya doa. Tugas orangtua itu yang utama antara lain terus mendoakan yang terbaik untuk anak-anaknya. insyaAALlah. Ini hanya pemikiran orng biasa-biasa seperti saya. Terimakasih banyak ustadz Sinar Agama atas penjelasannya ya. Mencerahkan sekali diskusi ini! 

Andri Herdiyanto: Bagaimana dengan orangtua laki-laki yang turut melahirkan, membersarkan, dan menjaga anaknya itu? Apakah tidak memiliki hak atas anaknya yang berjenis kelamin laki-laki itu? Ataukah pada dasarnya seorang anak lelaki memang tidak memiliki wali? 

D-Gooh Teguh

1). Saya tidak pernah mengatakan tidak islami. Bukankah sudah jelas saya hanya mengkontraskan dua pernyataan ustadz. 

Kalau ternyata parameternya berbeda lagi: “sabdo pandhito ratu” ya lain lagi urusannya. Ternyata masih memandang bulu jika kenyataannya demikian. 

artinya: ...... memang tidak ada keraguan bagi jatuhnya keharusan ijin wali itu kalau walinya –wali anak perempuan- mencegahnya –yang sudah matang- untuk kawin dengan orang yang sekufu’ dengannya dari sisi agama dan ‘urf (sosial), sedang anaknya sudah ingin kawin..” --> yang saya pahami dari fatwa ini adalah: 1>BATALNYA (jatuhnya = batalnya/tidak berlakunya keharusan ijin) keharusan ijin wali jika anaknya hendak kawin dengan yang sekufu dari sisi agama dan ‘urf (sosial). 2>FATWA ini tidak menjelaskan tentang apakah yang dimaksudkan dengan kufu secara ‘urf (sosial), 3>Juga tidak menjelaskan apakah juga batal jika sekufu agama tetapi tidak sekufu dalam ‘urf (sosial). 

Kalau walinya menentang perkawinan anak perempuannya dengan orang yang sekufu’ baik dalam pandangan agama atau uruf (umum sosial) DAN TIDAK ADA LAGI LELAKI LAIN YANG BISA DIRELAI WALINYA ITU, samentara anak wanitanya itu memerlukan kawinnya itu, maka jatuhlah kewalian ayahnya tersebut.” 

1>Jatuhlah dalam fatwa imam khomeni qs dan rahbar yang saya pahami kok batalnya ya. Jatuhlah kewalian ayah tersebut = batallah hak kewalian ayah tersebut (dalam pengertian wajibnya ijinnya). Maaf saya tidak paham bahasa arab, hanya analisis berbasis terjemah ustadz saja. 

2>Fatwa ini tidak menjawab tentang JIKA TIDAK ADA LELAKI LAIN YANG BISA DIRELAI SI ANAK. 

Maaf, kata JATUHNYA dalam dua terjemah fatwa di atas yang saya pahami malahan tidak wajibnya. Mohon terjemahan yang lebih terang lagi. Dan urusan ini bukan tentang akal-akalan tetapi tentang mana yang benar. 

Kalau sekufu dalam agama tidak ada masalah sedikitpun. Sudah terang benderang dan sangat bisa diterima akal. Urusan kufu sosial ini yang masih abu-abu... tentunya yang ustad urai adalah pemahaman ustad terhadap fatwa-fatwa imam qs dan rahbar. Sayangnya saya tidak memahami bahasa arab, jadi hanya memahami terjemahnya saja. 

Ini soal beda pemahaman memaknai. Dan di sisi saya ada lagi tambahan lack of arabic. Kalau bisa diberikan fatwa tentang maksud daripada Kufu ‘Urf (Sosial). 

Harap diingat saya tidak pernah mengatasnamakan islam atau islami tetapi saya hanya memper- tanyakan dua hal yang sama-sama dikatakan oleh Islam (melalui ustad SA). 

1>Islam tidak pandang bulu. 

2>Kalau sekufu sosial boleh kawin lari, kalau tidak sekufu sosial haraam kawin lari. Bukankah jelas dua ini bertentangan...? 

Itu seperti jargon di tetangga sebelah: Nikah dipermudah tetapi cerai dipersulit. Itu JARGON-nya. Kenyataannya: musti dua saksi nikah, cerai tak perlu saksi dan sejenisnya. Jargon dan kenyataan bertentangan. 

Oleh karena itu jelas pembedaan hukum karena perbedaan status sosial memerlukan penjelasan atas pembenarannya. Soal ini sangat penting bagi saya... Kaya-miskin, sayyid-ahwal, pejabat- tukang serabutan, dan sejenisnya. How can? 

Bagaimana akal bisa menerima hukum Islam dibedakan karena perbedaan status sosial dan material? Islam yang saya pahami tidak demikian, maka saya bertanyakan. Dua cuplikan fatwa di atas belum mengkonfirmasi kesalahan pemahaman saya. 

D-Gooh Teguh: Dari situs almarhum Sayyid Fahdhlullah: 

Q: What would be my legal stance if I refused to comply with my father’s desire in marrying some girl, knowing that that it might affect my relationship with him negatively? 

A: Actually, if you exert yourself and obey him; God would greatly reward you for your deed. Then again, obedience to him is not a must. 

-->tetapi kasus yang ditanyakan agak berbeda. Ini laki-laki kepada perempuan dan bukan sebaliknya. 

D-Gooh Teguh: a@ Chen Chen Muthahari: apalagi urusan invaliditas dan tampang. Khan sudah diatur apa-apa penyakit dan kecacatan yang jika ditutupi sebelum menikah maka bisa membatalkan. Batal dan bukan cerai. Ada juga yang harus cerai dan bukan pembatalan. Syarat perlu-nya adalah menutupinya. Jika telah diterangkan di muka: saya jelek, kadang gak bisa on, saya pincang lho... Saya cebol lho... nanti khan bisa liat sendiri. Emang maunya orang untuk cacat? Untuk jelek? Mau extrem make over kagak punya duit. Emang setiap nyari duit pasti dapetnya? Sadarkah jika pernyataan anda menyakiti hati orang2 yang berpenyakit dan cacat bukan atas maunya sendiri? Coba saja bilang: Ogah ah... lu khan jelek. Lu khan cebol. Lu khan buta. *Saya sih tidak sampai hati. 

Kalau tidak ditutup-tutupi maka seperti kata Mbak Chen tentang pilot itu! Status sosial adalah sesuatu yang tidak pasti. Bisa berubah sewaktu-waktu (kecuali urusan ras yang tidak berubah, yang mana juga bukan termasuk pilihan bebas) dan status sosial bukanlah the real of a man/ woman. 

D-Gooh Teguh: Saya sih ganteng. xixixixixi... Tapi kalau besok disobek mulutku ya jelas amburadul deh. But, so what gitu lho...! 

Chen Chen Muthahari: ‎^_^ hehehe... 

Om D-Gooh Teguh maksud saya begini, banyak sekali orang sejak jaman dulu sampai jaman sekarang melihat orang itu hanya atau awalnya dari fisiknya dulu. Calon mertua tidak mau punya menantu cacat, jelek, dsb. Makanya saya mengerti kalau ust. Sinar Agama membawa masalah kasus kufu fisik, ada orang-orang yang menganggap hak-hak dia, saya pribadi sangat sangat setuju dengan Om D-Gooh Teguh, kalau itu sangat tidak adil. Mohon maaf kepada teman-teman atau saudara-saudara yang tersinggung. Saya sendiri bisa jadi sewaktu-waktu akan mengalami. Banyak orang mundur setelah siap menikah ternyata di tengah calonnya “berubah fisiknya” dan seterusnya. Serius ada yang curhat ke saya tidak mau melamar seorang gadis yang penyakitan yang sempat dekat dengannya dan si gadis suka sekali padanya, iih saya kesal banget sama lelaki ini untuk alasan tersebut walau beberapa yang dia kemukakan masuk akal juga tapi tetap saja tidak berperasaan bagi saya, memangnya si gadis mau punya penyakit seperti itu (padahal dia cantik hanya berpenyakit yang menghabiskan uang demi pengobatannya) juga takut keturunannya juga berpenyakit begitu. 

Chen Chen Muthahari: Makanya saya tulis orang-orang yang mau mencintai pasangannya melampaui penglihatan atau pandangan fisiknya itu jumlahnya tidak banyak kalau tidak bisa dibilang sedikit. Bahkan setelah menikah pun kalau pasangan berubah fisik, entah jadi gemuk, entah jadi sakit, entah mandul, atau entah apapun yang lain, hatinya juga bisa berubah, padahal sepatutnya seperti pesan kakek nenek saya kepada ibu dan paman dan bibi-bibi saya kemudian pesan mereka kepada anak-anak mereka adalah setelah menikah tutuplah mata dan kuping kamu dari keburukan pasangan hidupmu, setialah dengannya. 

D-Gooh Teguh: Kalau sudah terbuka demikian maka memanglah hak laki-laki itu untuk meneruskan atau tidaknya. Atau jalan tengahnya khan tammatu’ dan menanggung sendiri biaya masing- masing KALAU TEGA. Meski nampaknya aneh tetapi begitulah. Perasaan tidak diperhitungkan dalam ketentuan hukum. Urusan kahwin adalah urusan sepakat dua belah pihak, urusan cerai atau berpisah adalah urusan sepihak. Begitulah... menurut pemahamanku atas fatwa-fatwa. 

Chen Chen Muthahari: Iya om Teguh. makanya saya di sini bicara keluar dari masalah agama/ fatwa atau fikih, hanya sebuah perasaan dan unek-unek saja, 

D-Gooh Teguh: Itulah yang saya pahami dari kaedah-kaedah hukum agama maupun sekuler: Perasaan tidak diperhitungkan kecuali urusan syak persucian (dalam hukum personal agama). Mau cinta atau tidak cinta bukanlah urusan. Mau suka atau tidak suka bukanlah urusan hukum. Yang menjadi urusan hukum adalah HAK dan KEWAJIBAN para pihak. Mau istri jadi endut jueleknya ampun-ampunan tetap saja: da’im wajib kasih nafkah, dan seterusnya. Jangan masukkan urusan hati ke dalam bahasan hukum to... 

Dan tetap saja musti “gitu” dalam rentang waktu tertentu. ^_^ 

Tetapi meski cerai itu urusan sepihak tetapi prosedurnya dalam hukum syiah adalah sulit. Ada gitu yang mau menjadi saksi cerai...? Makanya tammatu’ saja kalau mau mudahnya. ^_^ 

Chen Chen Muthahari: Sebetulnya tidak akan timbul masalah kalau baik anak maupun wali sama- sama bijaksana, tidak egois dan saling memahami kebutuhan dan kecenderungan masing-masing. Dulu di keluarga besar saya misalnya agak sukar kalau seniman mau melamar jadi menantu, lha padahal anak-anak perempuannya di jalur kesenian seperti melukis, bermusik, bersastra dsb kan tidak aneh kalau bertemu jodoh dengan orang yang di jalur yang serupa. Atau ada yang kawatir anaknya menikah dengan polisi karena polisi rata-rata bawa pulang uang “panas” (ini banyak curhat yang saya dengar di salon maklum ibu-ibu) lha tapi kalau anaknya kerja dekat kantor polisi ketemu pak polisi tiap hari...? Nah semua ini apakah kufu sosial atau kufu fisik mesti dikembalikan kepada “wisdom” dari keduanya, kematangan dan kedewasaan sang anak dan walinya. :-) 

Sinar Agama: Teguh, kok bisa antum ingkari bahwa antum pernah mengatakan tidak Islami, sementara tulisan antum masih ada di atas itu, lihat ini: 

“2- kufu sosial sebagaimana ustad sebutkan bagi saya jelas bertentangan dengan doktrin Islam tidak memandang bulu. Maaf.” 

(1). Apakah maksud antum dengan sabdo pendito ratu itu adalah ejekan bagi kami yang menaklidi marja’? Kalau itu maksudnya, maka itu jelas kemuliaan bagi kami dan kebanggaan dari pada mendengar orang tidak belajar Islam tapi mengeluarkan berbagai pandangan Islam (bukan antum nih, tapi orang-orang lain yang berkata-kata tentang islam dengan idenya sendiri, bukan dengan Islam). 

(2). Fatwa tentang kufu’ sosial (‘urf) itu, jelas tidak bisa diingkari. Tentang tidak dijelaskannya itu, karena karena antum yang tidak jelas dan/atau membuatnya tidak jelas. Kalau yang pertama, maka sangat mengherankan bagi orang seperti antum itu yang tidak mengerti kufu’ secara umum atau ‘uruf. Masak iya, orang seperti antum tidak mengerti arti “SELEVEL”????? Tapi kalau antum tidak ingin menjadikannya jelas, maka itu jelas tidak bisa dijelasin dengan apapun, walau dengan orang yang mengerti. Bagaimana mungkin antum tidak mengerti selevel ‘urf/umum, sementara antum mengerti selevel agama? Dan bagaimana mungkin antum tidak memahaminya, akan tetapi antum mendebat dan menolaknya??!!! 

(3). Antum ini mengerti kata boleh dan tidak boleh dalam fikih nggak sih? Ketika dikatakan tidak boleh melakukan nikah seperti itu, maka jelas kawinnya menjadi batal. Terlebih tidak samar bagi yang belajar di hauzah bahwa bagi imam KHumaini ra dan Rahbar hf, ijin wali itu adalah syarat syahnya pernikahan. 

(4). Jatuhnya kewalian wali itu, sama dengan tidak wajibnya anak mendapatkan ijinnya (tentu setelah minta ijin dan tidak diijinkan itu). Dan tulisan berhuruf besar itu justru menambah semakin tidak bisanya anak perempuan itu untuk kawin lari. Karena hampir pasti masih banyak lelaki yang bisa membuat ayahnya rela dan mengijinkannya. Jadi, kandungan fatwa itu adalah, kalau anak perempuan telah memilih lelaki di antara 100 lelaki yang adanya hanya itu (100), dan ayahnya tidak mengijinkan, maka dilihat, kalau dia yang dipilih itu, sekufu’ dengan keluarganya (keluarga anak wanita itu), lalu tidak ada dari 100 lelaki itu yang diridhai walinya, maka dengan sayarat-syarat lainnya yang sudah diterangkan di atas itu, si anak wanita tadi bisa kawin tanpa ijinnya. 

Dan dua fatwa itu adalah berbeda dimana punya Rahbar hf lebih berat dari punya imam Khumaini ra. 

(5). Islam memang tidak pernah pandang bulu, tapi ia memandang hak orang dan memerintahkan orang lain untuk menerima dan menghormatinya. Jadi, kalau pandang bulu itu masih dalam koridor hak-hak pribadinya dan keluarganya, maka pandang bulu tersebut tidak akan pernah mengganggu kemerdekaan orang lain dan, apalagi mengambil haknya. Karena itu pandang bulu ke dua, ini diterima Islam. Masak iya, hal seperti ini saja tidak bisa dipecahkan, sementara saya sudah banyak menerangkannya di atas, yakni yang berupa hak itu. 

(6). Fatwa Jibril as-pun, tidak akan pernah mengkonfirmasi antum kalau gaya berfikir antum itu seperti itu. Coba cerna penjelasan tentang hak dan semacamnya itu, dan bahwannya ia tidak mengambil hak orang lain, serta tentang kewajiban orang tua ...dan seterusnya, maka pasti antum akan dapatkan jawabannya. Tapi kalau kayak/se[erti bolduser, main trabas saja dan yang dilihat hanya yang ada dipikiran antum, maka pakai gaya apapun menjelaskannya tidak akan pernah ketemu intinya.

(7). Bagaimana mungkin ada orang yang akalnya sehat, lalu mengingkari adanya perbedaan antara yang cantik dan yang tidak cantik, yang miskin dan yang kaya, yang cebol dan yang normal, yang seniman dan tidak seniman, ...dan seterusnya. 

Atau tidak mengingkari itu semua akan tetapi mengingkari konsekuensinya, seperti lebih menyukai yang cantik, yang kaya, ...dan seterusnya?????!!!! Justru yang tidak masuk akal itu adalah kelompok ini. Emangnya kalau ada wali menolak yang jelek, atau mas Teguh yang tidak suka yang cebol, atau wali yang tidak menerima yang miskin, mk hak wali dan mas Teguh itu harus dibumi hanguskan????????!!!!!! Ini ajaran gila namanya. Dan, lebih gila kalau dihubungkan dan dikatakan sebagai ajaran Islam. 

Herannya apa hubungannya ini dengan Islam???? Emangnya Islam mengatakan bahwa yang ditolak walinya itu, yakni si miskin itu atau si cebol itu, karena ia ditolak, maka nanti si miskin dan si cebol itu di akhirat kelak akan dimasukan ke neraka????!!! 

Saya justru sangat merasa aneh dengan keanehan antum dan kemerasaan antum bahwa hal ini bertentangan dengan Islam. 

Emangnya si wali itu, karena boleh (dalam Islam) menolak si miskin dan si cebol, lalu Islam mengijinkan dia untuk mencemoohnya dan menghardiknya, dan menganggapnya sampah? Atau kalau kebetulan si miskin yang ditolaknya tadi adalah marja’, lalu si wali tadi dibolehkan oleh Islam untuk tidak menaklidinya sementara tidak ada marja’ lain? Atau karena si wali diberi Islam untuk menolak yang dia tidak sukai, lalu si wali dijanjikan surga, hingga dengan ini dikatakan bahwa Islam telah melakukan pilih kasih dan diskriminatif??!!! 

Apa hubungan ini semua?????????!!!!!!!!!!!!!!!!!! 

Sinar Agama: Chen chen, Terimakasih komentar dan perhatiannya. Tapi sepertinya topik yang kita bahas berbeda. Kita lagi bicara hukum wajib tidaknya ijin wali, bukan akhlakh dan anjuran. Kalau ibu pernah membaca tulisan saya yang lainnya, tentang kecaman saya pada orang yang kawin karena cinta-cintaan duluan (seperti pacaran), dan tidak mau kawin kalau tidak cinta, padahal ajaran Islam adalah hanya mengajarkan akhlak dan tentu ditambah mau (bukan cinta), maka ibu tidak akan menulis seperti di atas ini. Karena memang masalahnya lain. Kalau cinta- cintaan saja sudah ditentang Islam atau setidaknya tidak didukung Islam, apalagi melirik harta dan semacamnya di selain ketaqwaan. 

Kita sekarang bukan sedang mau menasehati si wali yang menolak itu, tapi sedang membicarakan haknya dalam Islam. Bab, nasihat buat wali tersebut, nanti di lain status dan catatan. Jadi, saya tidak mengomentari pendapat ibu secara detail karena memang lain topik dan yang kutilis itu serasa sudah cukup. 

Sinar Agama: Andri, anak lelaki kalau sudah dewasa tidak wajib ijin wali, tapi sangat dianjurkan untuk musyawarah dengan orang tuanya. Tapi dari sisi hukum, tidak ada kewajiban ijin walinya. 

D-Gooh Teguh: Hehehehe... saya hanya ingin mencari lebih kejelasan saja. Ustad. Nanti saya cari tahu lagi dari lebih banyak pihak yang lebih mengetahuinya agar ada kemantaban hati. Memang take it begitu saja berita tidak ada masalah. Tetapi mencari dan mengkontraskan dengan pandangan subjektif agar lebih tunduk khan lebih oke to.... ^_^ 

Terima kasih atas segala informasi berharga-nya. 

Sehingga pandangan subjektif bisa tunduk dan melebur dalam kebenaran yang menundukkan dan bukan kebenaran karena semata kata-nya siapapun juga. ^_^ Begitu ustad... 

Tetapi sebenarnya yang menjadi tanda tanya saya bukan yang ustad uraikan di atas. Tetapi tentang: Kalau kufu sosial (dalam pengertian yang ustad jelaskan) dan agama boleh lari, sedangkan meski kufu agama tetapi tidak kufu sosial tidak boleh. Itu aja masalahnya... 

Akan saya gali soal ini lebih dalam lagi. Semoga kita semua mendapat petunjuk-Nya. 

Btw, yang mengatakan 1>”ISLAM TIDAK MEMANDANG BULU” khan ustad bukan saya. 2>Yang mengatakan tidak kufu sosial tidak boleh lari, kalau kufu sosial boleh lari juga ustad. 

Nah, menurut pemikiran saya: Pernyataan ustad yang kedua bertentangan dengan pernyataan ustad yang pertama. Dan sudah dijawab pula oleh ustad. 

Dengan demikian sudah selesai polemik tentang hal ini. Saya akan mencari dari berbagai sumber lagi agar semakin mantabs. 

Sinar Agama: Teguh, penjelasanku itu sama dari awal sampai akhir. Syukur kalau antum sudah mengerti yang kita mau, baik terima atau tidak. Yang kita inginkan adalah mengerti uraianku sesuai dengan maksudku. Tentu saja, walau saya tidak makshum, aku mengambil dari fatwa- fatwa kalau itu hukum, dan kalau filsafat dan akal, aku berusaha memakai pendekatan dalil-dalil akal gamblang. 

Dan prinsipku memakai nama samaran ini justru supaya teman-teman mudah berdebat dan bertengkar denganku, baik dia itu sebenarnya temanku atau saudaraku bahkan. Jadi, tidak usah riskan untuk bertengkar, tapi bertengkarlah denganku sebagai saudara dan, kalau bisa jangan ego-egoan tapi memang mencari pengertian dan kebenaran (walau tetap relatif). 

Dan satu lagi yang aku perlu mimta maaf, karena kadang memang aku sengaja menaikkan volume tulisan sebab memang hati kelamku ini merasa perlu untuk melakukannya. Jadi kalau tidak tepat sasaran, maka mohon maafnya. 

Syaiful Bachri: Ustadz.., kalo melihat dari diskusi di atas sebetulnya jelas bahwa hukum izin Wali adalah wajib.., cuman mungkin yang perlu digarisbawahi adalah kalau kita menjadi wali harusnya mendahulukan ketaqwaan dibadingkan dengan status sosial, begitu ust... 

D-Gooh Teguh: Sama-sama ustadz... informasi-informasi yang disampaikan sangat berharga. Tentunya menjadi sebuah bahan yang luar biasa untuk penggalian lebih lanjut agar semakin mantabs melaksanakannya. Memang sama penjelasan dari atas hingga akhir. Konsisten. ^_^ Peace Ustad...! 

D-Gooh Teguh: Dan saya mau bertanya sesuatu via inbox ya... 

Aby Faqir: Syukron sudah dimasukkan di grup ini ustad.... 

Sinar Agama: Syaiful, na’am/benar demikian. Islam tidak melarang antum makan makruh misalnya, tapi menganjurkan untuk tidak melakukannya. Islam tidak melarang antum meyintai dunia halal, tapi menganjurkan untuk membantu orang miskin (selain zakat dan khumus). Islam tidak melarang antum memilih wanita cantik dan kaya, tapi sangat menganjurkan antum untuk memilih yang taqwa dan mengenyampingkan semuanya andaikata bertolak belakang dengan ketaqwaan itu. Islam tidak melarang antum menolak cebol walau dia marja’, tapi menganjurkan antum untuk mendahulukan ilmu dan ketaqwaan, dan, kalau tidak mau juga, Islam melarang antum untuk mengejeknya dan/atau melarang tidak taqlid padanya kalau ia marja’ paling a’lam. 

Jadi, kalau antum orang tua dan wali, Islam telah mengatur antum mana-mana yang merupakan hak-hak antum (seperti ikut memilih calon tanpa memaksakan pilihannya karena 50-50 dengan anak wanita antum), dan mana-mana yang berupa anjuran dan tekanan, seperti dianjurkan untuk memilih yang berilmu, yang taqwa -misalnya. 

Sinar Agama: Aby, ok, sama-sama. 

Sinar Agama: Teguh: u well come. 

Jjihad ‘Ali: Topic menarik ....Syukron pencerahannya .. 

@D - Teguh , kenapa mesti di Inbox , cara berfikir antum , ana fikir malah mampu lebih dalam mengorek apa maksud yang terkandung dari bahasan dan maksud Ustadz SA .... Af1. 

D-Gooh Teguh: Maaf Om Jihad... karena urusannya privat dan bukan wacana tentang seorang kenalan yang saya turut serta memberikan pendapat sejauh pengetahuan saya. 

wassalam. 

Haydar Ali: Sekufu’ = Sama-sama kaya , sama-sama sayyid , dan lain-lain.. Kalo orang Tua tidak mengizinkan maka tidak sekufu’ ?? 

Kalo ga di izinin wali , Ganti aje istilahnye , jangan pake istilah “ ga sekufu’ “ .. Kalo pake Istilah ga sekufu’ itu ga urf’ .. 

Buktinye banyak yang awalnye ga ngerti maksud antum.. Kenapa ga ngerti , karna istilah yg antum pakai itu ga urf’.. 

Afrianto Afri: Mas D teguh secara Urf..pernikahan sayyid dengan syarifah yang melarang lebih sedikit penganutnya dibanding yang berpendapat berbeda. Cuma dalam komunitas “arab” pendapat itu memang lebih banyak, berbeda dalam komunitas Indonesia secara umum. Heheheheh..kan kata ustad SA yang diambil yang paling banyak penganutnya (urf)...hihihi. 

Haydar Ali: Ketika berbicara sekufu’ maka mayoritas memahaminye itu kaitanye antara Syarifah dengan Ahwal , padahal Rahbar sama sekali tidak membicarakan tentang sesuatu yang tertuju pada Syarifah dengan Ahwal. 

Meski defenisi nye udah di jelasin ,, tapi tetep aje banyak yang tidak memahami nye.. Dan dengan demikian , Telah Terjadi Penyelewengan fatwa Rahbar .. 

Young Mesa: “ Penyelewengan fatwa Rahbar “ ???....Mohon segera diluruskan! Maaf saya pengen tahu siapa sih Ust. Sinar Agama ?Af1 

Abu Alya Al-Bantary: AFWAN,KAJIAN ANE BELUM SAMPAI SITU. IKUTI AJA APA KATA MAROJI MASING-MASING. 

Sinar Agama: Haidar, istilah fikih di kitab fikih kok dibilang tidak ‘urf. Nggak sekufu’ ya ... nggak sekufu’. Dalam istilah fikih kufu’ itu adalah menurut ‘urf. Artinya “tidak selevel”. Kalau di Sunni sekufu’ ini menjadi syarat syahnya nikah dari awalnya. Tapi kalau di Syi’ah baru berlaku manakala walinya tidak mengijinkan. Tentu dengan terpenuhinya syarat-syarat yang lain seperti yang sudah dijelaskan di atas itu. 

Sinar Agama: Afri, orang yang punya kelevelan sayyid itu adalah sayyid yang tentu Arab, maka makna lainnya yang dimiliki pribumi, sudah tentu tidak bisa mengalahkan hal itu walau lebih banyak atau bahkan semilyard banding satu sekalipun. Apalagi kalau yang tidak melarang itu, justru bukan sayyid yang berkepentingan mau mengawini syarifah/sayyidah. 

Sinar Agama: Haidar, kok enak banget mengatakan kita menyelewengkan fatwa Rabhar hf. Sekufu’ kalau dalam arti sosialnya itu adalah seperti masalah darah (sayyid dan bukan) atau harta, raja dan semacamnya. Tentu saja, sekali lagi, ketika walinya tidak mengijinkannya. Tapi kalau dari awal sudah mengijinkannya, maka biar dengan orang yang tidak sekufu’ atau tidak selevel, tetap saja syah. 

Afrianto Afri: Loh kan ukurannya keumuman pendapat masayrakat banyak/indonesia, kalo masih dikhususkan lagi pada masyarakat tertentu/mis arab, lantas dimana sisi “urf”nya ustad... 

Sinar Agama: Putra dan Abu, fatwa seperti itu terlalu umum/banyak bagi yang belajar agama secara akademis. Kufu’, yakni kufu’ dalam agama dan kufu’ dalam sosial, adalah istilah yang sangat tidak asing bagi pelajar agama. Seperti wudhu bagi shalat. 

Afrianto Afri: Saya bicara dalam konteks Urf nya pernikahan silang antar etnis...bukan bicara tentang gelar sayid dan syarifah dimana ustad. 

Sinar Agama: Afri, itu juga yang kumaksudkan. Yakni ketika yang memegang kuncinya tentang sayyid itu adalah sayyid, maka ‘urf mereka walau lebih sedikit, tentu lebih kuat dari ‘urf orang lain yang memang tidak memiliki perbedaan darah itu. Jadi, ukuran ‘urf yang dipakai adlh ‘urf- nya para sayyid itu. Dan karena mereka mengatakan bahwa sayyid dan bukan itu tidak selevel, maka akan bermasalah manakala wanitanya syarifah dan walinya tidak mengijinkan. Tapi kalau mengijinkan, atau syarifahnya sudah janda, maka kawinnya sdh pasti tidak ada masalah. Karena walinya mengijinkan, dan pada contoh ke dua, kalaulah walinya tidak mengijikan, akan tetapi karena sudah janda, maka tidak wajib lagi untuk minta ijin walinya. 

Satria Karbala: Kalo saya sih berbeda melihat urfnya ustad, kurang lebih sama dengan pendapat Afrianto. Kalo urf diartikan pendapat umum kebanyakan maka definisi se KUFU itu adalah pendapat umum tidak bisa dimasukkan dalam kelompok yang lebih kecil. Oleh karenanya...saya tidak sepakat kalo urf nya dilihat dari kelompok kecil..namanya juga urf bukan lex specialis... 

Haydar Ali: Sinar : Afwan ya marja’ , ‘urf itu pandangan umum .. Dan umum nya orang yang baca note antum ini memandang kafa’ah atau sekufu’ itu kaitanya antara Syarifah dengan Sayyid . 

Dan antum ini tidak sedang bicara dgn orang-orang yang faham istilah fiqh , buktinya banyak yang salah faham.. 

Kebanyakan yang baca note ini memahami bahwa antum ini termasuk orang yang melarang atau mengharamkan pernikahan antara syarifah dengan ahwal. 

Dan disinlah Letak penyelewangan fatwa Rahbar. 

Mungkin antum tidak niat atau tidak maksud menyelewengkan fatwa Rahbar , tetapi ketika banyak orang yang salah faham maka antum telah menyelewengkan fatwa Rahbar.. 

Haydar Ali: Dan Apabila ada seorang ayah dan dia adalah seorang sayyid kemudian tidak mengizinkan putri nya menikah dengan ahwal ?? 

Apakah putri nya boleh menentang? Atau apabila putrinya tetap menikah dengan ahwal, apakah sah atau tidak ?? 

Alasan si Ayah ini apa ? Kebanyakan orang seperti ini beralasan karna menurut dia pernikahan dengan ahwal ini terlarang (alasan seperti ini bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul Nya... 

dan atau karna menurut nya tidak sekufu’ ( Alasan ini tidak sesuai dengan istilah fiqh ).. 

Pertanyaan ana : Bolehkah menentang si Ayah yang tidak sesuai dengan Syariat Allah dan Rasul Nya + tidak sesuai dengan istilah fiqh ?? 

Sinar Agama: Haidar, saya tidak paham apa maksud antum. Sudah jelas beberapa kali dikatakan bahwa masalah kufu’ ini di Syi’ah, akan muncul manakala wali perempuannya tidak menyetujui perkawinan anak perempuannya dengan calon pilihan anaknya itu. Artinya, sekufu’ dan tidaknya ini akan terbahas dalam kebolehan dan tidaknya si anak itu kawin lari. Jadi, kalau dari awal walinya menyetujui, maka tidak ada masalah dengan sekufu’ atau tidaknya calon suami anak perempuannya. 

Ayah yang tidak mengijinkan anaknya kawin dengan orang yang tidak sekufu’, sangat-sangat tidak menentang Allah, Rasul saww dan apalagi dalam istilah fikih. Karena Allah, Rasul saww dan istilah fikihnya, justru memberikan hak kepada walinya tersebut untuk memilih calon suami bagi anak wanitanya dengan persetujuan anaknya. Persis sebagaimana anaknya juga diberi kebebasan untuk memilih calonnya dengan persetujuan ayahnya. Jadi, kalau mereka memilih yang ganteng, kaya, atau sekufu’ dan tidak mau kepada yang jelek, miskin dan tidak sekufu’, sama sekali tidak menentang Allah, Rasul saww dan agama atau istilah agama sama sekali. 

Antum ini ra’syih, orang salah paham dengan suatu tulisan atau tidak mengerti seperti antum ini, kok malah yang disalahkan adalah penulisnya???!!! Dan, apalagi penulisnya difitnah sebagai penyeleweng fatwa???!!! Apa antum tidak takut padaNya yang selalu mengawasi kita??? 

Haydar Ali: Ah , masa marja’ ga faham maksud ana , jangan-jangan antum ini pura-pura ga faham. Ala kulli hal. 

Antum menulis : 

Sudah jelas BEBERAPA kali di katakan bahwa masalah kufu’ ini disyiah AKAN MUNCUL DI SYIAH manakala wali perempuanya (ayah) tidak menyetujui anak nya kawin dengan orang pilihan anak perempuanya itu. 

Ayah (wali) yang tidak menyetujui anaknya kawin dengan orang yang TIDAK SEKUFU’ sangat tidak menentang syariat dan istilah fiqh. 

Ya marja’ , di awal antum bilang istilah sekufu’ akan muncul , ketika wali tidak menyetujui , kedua antum jawab jika ALASAN si ayah tidak mengizinkan anak perempuanya kawin dengan pilihan si anak karna menurut si ayah tidak sekufu’ , alasan itu sesuai dengan Syariat dan istilah fiqh. 

Jangan-jangan antum ini bukan hanya ga faham maksud ana , tapi bahkan antum ga faham apa yang antum tulis ?? 

Ketika si wali tidak setuju dengan ALASAN karena tidak sekufu’ , itu artinya istilah sekufu’ TELAH MUNCUL sebelum si wali tidak setuju. 

Sedangkan di syiah bahkan beberapa kali antum katakan istilah kufu’ AKAN MUNCUL jika si wali tidak setuju maka tidak sekufu’ . 

Sinar Agama: Haydar, 

Ana kasihan sekali sama antum. Sekufu’ itu biar sebelum Islam sudah ada, apalagi cuma sebelum si ayah menolak calon anaknya dengan alasan sekufu’ itu. 

Akan tetapi yang kita bahas ini bukan istilah kufu’ sebagaimana istilahnya, tapi istilah sekufu’ setelah pemilihan wali yang dihargai dalam Islam. Yakni walinya ingin memilih yang sekufu’. 

Karena itu wali yang mau memilih sekufu’nya itu adalah hak wali dan dihormati oleh Islam dan harus ditaati si anak. Karena itu si anak tidak bisa kawin lari manakala walinya menolak calon mantu pilihan anaknya yang tidak sekufu’. 

Tapi kufu’ sebelum adanya penolakan walinya, maka istilah itu ada akan tetapi tidak wajib. Jadi, si wali dan si anak, boleh tidak mementingkan kufu’ tersebut. 

Nah, kufu’ yang antum inginkan adalah sebelum pilihan/penolakan wali atau anak, dan itu tidak wajib dijadikan ukuran dalam Islam. Dan hukumnya hanya boleh dijadikan pedoman kalau seseorang itu mau untuk dirinya atau anaknya mendapatkan yang sekufu’. Karena ia sebagai anak yang mau kawin, dan wali yang mau memilih mantu, berhak memiliki pilihan-pilihan dan kriteria- kriteria. Sama seperti ketika seseorang mau memilih yang cantik atau tampan sebagai pasangan hidupnya, atau memilih yang sudah bekerja dan menolak yang pengangguran....dan seterusnya. 

Sedang kufu’ yang saya bahas adalah setelah pilihan atau penolakan. Yakni setelah dijadikan ukuran oleh walinya. Yakni ukuran menolak atau menerima. Nah, di sini anak, tidak boleh melanggarnya dan kawin lari kalau walinya menolak pilihan anaknya tersebut lantaran tidak sekufu’. Begitu pula sebaliknya, kalau wali telah memilih calon untuk anaknya, tapi anaknya tidak mau, baik dengan alasan tidak tampan, tidak kaya, tidak sekufu’ ... dan seterusnya, maka wali juga tidak dapat memaksakan pilihannya itu kepada anaknya tersebut. 

Jadi, kufu’ sebelum pilihan/penolakan wali itu hukumnya tidak wajib walaupun ia adalah suatu kenyataan dalam peristilahan kehidupan dan fikih, tapi setelah pilihan/penolakan maka menjadi wajib ditaati oleh anak (atau bahkan sebaliknya).


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ