﷽
Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068?view=doc&id=218946744816796 Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 16 Juli 2011 pukul 13:52
Zainab Naynawaa: Salam ... semoga ustad dan keluarga senantiasa diberikan kesehatan jasmani dan rohani, afwan saya minta penjelasan dari antum, batasan kedua orang tua mendidik anak anaknya sampai usia berapa...?? Dan pada saat di akhirat siapakah yang dipertanggungjawabkan dalam hal pendidikan anak-anaknya..??? Apakah seorang ibu lebih besar pengaruhnya dibandingkan seorang ayah...?? Jika ada pendapat dari ayahdan ibunya dalam hal mendidik anak anaknya harus lebih mengutamakan pendapat dari ibunya apakah hal ini dibenarkan dan apa dalilnya ...????
Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:
(1). Batasan formalnya mungkin tidak ada, tetapi yang dapat dipahami adalah sampai dewasa dan mandiri. Terutama kalau sudah nikah. Akan tetapi tetap saja harus memberikan saran- saran kepada anaknya, dengan dalil dan tanpa paksa.
(2). Di akhirat secara mayoritas adalah ayahnya yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anaknya itu. Akan tetapi ibu juga pasti dimintai tanggung jawab tersebut. Karena ia yang banyak bergaul dengan anaknya selagi masih kecil.
(3). Pertanyaan ke tiga ini sudah ibu tanyakan dulu. Jawabannya tergantung keadaan. Tetapi mungkin untuk urusan dasar karakter bisa saja ibu yang dominan karena ia yang menalkini anaknya dari kecil. Tetapi ketika anaknya sudah bisa berfikir agak dewasa, maka bisa saja ayahnya yang berpengaruh. Hal ini tidak bisa diambil ukuran pasti. Tergantung pada perbandingan banyak bergaul dan berbincang serta mendidik anaknya.
(4). Kalau ada perbedaan antara ayah dan ibu, maka dilihat masalahnya. Kalau kembali kepada pengaturan rumah tangga, maka harus mengambil yang ayah karena ia yang harus ditaati oleh anak dan ibunya juga. Tetapi kalau tidak mengacu kepada kepemimpinan rumah tangga, dan benar-benar berupa seperti keilmuan dan semacamnya, maka anak sudah semestinya melihat dan yang lebih kuat. Sudah tentu tanpa meremehkanyang lainnya sebagai kewajiban rasa hormat pada orang tuannya.
Haura Haurainsiyyah: Maaf ustad Sinar Agama, jika ada seorang yang cacat dari lahir, apakah itu bisa di bilang takdir, atau apa karena ada hubungannya dengan fikih, mungkin ??? Mohon penjelasannya, syukran.
Sinar Agama: @Haura: Takdir yang bermakna nasib atau telah diatur oleh Allah untuk anak tersebut itu, tidak ada dalam Islam. Memang, ia terkurung dari takdir, tetapi bukan takdir untuk dirinya seperti itu. Akan tetapi takdir umum. Misalnya, kalau orang tuanya suka zina (atau mut’ah makruh) lalu terkena penyakit sipilis maka kalau parah maninya akan cacat dan akan melahirkan anak cacat. Nah, kalau orang tua si anak tersebut, melakukan dengan ikhtiarnya rumus atau ketentuan di atas itu, maka sudah pasti anaknya akan cacat.
Atau misalnya ada dalam hukum takdir Tuhan untuk alam ini yang berbunyi, misalnya, orang yang lagi hamil, harus menjaga makanan dan minumannya dan bahkan perasaannya. Kalau ia tidak menjadi maka anaknya bisa cacat. Lalu ibunya tidak jaga, baik sengaja atau tidak, maka sudah pasti anaknya akan cacat.
Tentu saja takdir-takdir umum ini banyak sekali ragamnya dan bentuknya serta syarat-syarat dan kondisinya. Karena itu bisa saja satu perbuatan yang dilakukan dua orang berbeda, bisa menimbulkan dua efek atau akibat yang berbeda pula. Karena itu, kita tidak bisa mengambil satu lahiriahperbuatan saja lalu menfonis akibatnya harus seperti ini dan itu. Tetapi yang jelas, bahwa kita tahu bahwa tidak ada takdir yang berupa nasib itu.
Wassalam.
Chi Sakuradandelion, Agoest Irawan, dan Sudiana Sulaiman menyukai ini.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar