Tampilkan postingan dengan label Sunni - Syi'ah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sunni - Syi'ah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 Januari 2019

Ada Apa Dengan Fikih ?



Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 8:06 am


Sang Pencinta: 24-2-2013, Salam, intermezzo lagi ustadz, bagaimana menurut pandangan Antum minimnya sosialisasi ketaqlidan dan kemarjaan oleh katakanlah cendekiawan dan ulama, justru penekanannya lebih ke sejarah, ikhtilaf suni-syiah dan lain-lain, hingga yang terombang-ambing adalah kita-kita yang awam ini? Terima kasih ustadz. — bersama Sinar Agama. 

Armeen Nurzam: Nyimak,, 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: 

1- Apapun yang dilakukan dunia, sengaja atau tidak, terhadap pencegahan kebenaran, tidak akan berhasil selamanya. Dalam filsafat dikatakan bahwa “Gerak menekan tidak akan selamanya”. Maksud “Gerak Menekan”, adalah “Gerak yang menentang gerak natural.” Misalnya batu yang semestinya ke bawah, kalau dilempar ke atas, akan bersifat sebentar saja karena akan kembali ke jalur yang naturalnya. 

Kebenaran Islam juga seperti itu. Biar sejuta terorist menghadang, baik terorist nyawa seperti al-Qaidah dan semacamnya, atau terorist iman seperti liberalism dan ism-ism yang lainnya, tidak akan pernah bisa menghadangnya. Karena Allah mencipta alam ini atas dasar naturalisme kebenaran dan, karenanya, tidak akan pernah menerima dengan nyaman apa- apa yang menyimpang dari kebenaran tersebut. Ketidaknyamanan itulah yang dikatakan “Gerak Menekan/memaksa/melawan” dan, karenanya tidak akan bersifat selamanya. Betapa Agung Tuhan dengan firmanNya: 

Misalnya dalam QS: 6: 73: 

وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالَْرْضَ بِالْحَقِّ

“Dan Ia -Tuhan- yang menciptakan langit dan bumi dengan Hak (benar, yang biasa juga dikatakan natural)....” 

Atau QS: 10: 6: 

إِنَّ فِي اخْتِلَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالَْرْضِ لَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَّقُونَ

“Sesungguhnya pada perubahan siang dan malam dan apa-apa yang Allah ciptakan di langit dan bumi, terdapat ayat/tanda bagi orang-orang yang bertaqwa (takut pada Allah).” 

Ayat dan tanda, tidak bisa diambil dari yang selalu berubah dalam arti tidak teratur. Kalau kita tidak dalam aturan tertentu, maka kita tidak dapat memastikan adanya orang lewat di 

jalanan yang berlumpur sekalipun ada bekas tapak kakinya. Kita tidak akan cari makanan kalau kita lapar kalau setiap kali makan, memiliki dampak yang berbeda-beda. Misalnya sekali makan, kepala pusing dan perut tetap lapar, atau sekali makan jadi ngantuk sementara perut tetap lapar, atau sekali makan badan jadi mengecil seperti cebol, atau sekali makan tulang- tulang badan kita menjadi terpatah-patah.....dan seterusnya. Memang, semua aturan itu tidak hanya memilki satu aturan seperti panas yang bisa keluar dari api, matahari dan lain-lainnya. Akan tetapi, setiap natural tersebut, sudah pasti melahirkan efek sesuai dengan naturalnya itu. Itulah mengapa bisa dijadikan dalil dan ayat/tanda bagi kebesaran Allah DAN KEMESTIAN TAAT PADANYA DAN PADA AGAMANYA ALIAS PADA FIKIHNYA JUGA. 

Atau QS: 38: 27: 

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالَْرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلً

“Dan tidaklah Kami mencipta langit dan bumi dan seisi keduanya secara batil (tidak benar, tidak teratur, acak, sia-sia).” 

2- Lagi pula tidak ada orang awam dalam Syi’ah sehubungan dengan fikih dan pengamalannya ini. Artinya, nanti tidak akan ada udzur dan pemaafan bagi yang meninggalkannya. Hal itu, karena dalil untuk beramal fikih ini sangat mudah diketahui setiap orang berakal dan apalagi ayat-ayat Qur'an dan hadits Nabi saww. 

Misalnya Akal berkata
  • a- Kita makhluk Tuhan.
  • b- Tuhan Maha Alim dan kita Maha Bodoh.
  • c- Tuhan yang berhak mengatur kita (fikih) dan Ia-pun telah menurunkan agamaNya.
  • d- Ia berhak karena Ia Maha Alim dan kita tidak berhak sedikitpun membuat aturan sendiri karena kita Maha Bodoh di HadapanNya.
  • e- Ia telah menurunkan agamaNya dan mewajibkan kita mengamalkannya.
  • f- Ketika kita tidak tahu agamaNya secara spesifik, maka kita harus merujuk kepada yang spesialis yang dikatakan mujtahid atau marja’ seperti merujuk kesehatan kepada dokter.
  • g- Yang merujuk pada dirinya sendiri atau orang lain yang tidak mujtahid, jelas melanggar akalnya sendiri sebelum ia melanggar TuhanNya yang menyuruh bertanya kepada yang tahu/alim.
  • h- Orang yang berlagak seperti spesialis dengan hanya belajar otodidak, sama sekali tidak akan bisa diterima akal seperti orang yang membuka praktek operasi jantung dengan hanya bermodal belajar dari buku-buku secara otodidak. Karena itu, ketika ia memberikan perintah-perintah kepada umat, sebelum ia melanggar Tuhannya, ia telah menginjak-injak akalnya sendiri. Begitu pula yang menerima perkataannya.
  • i- Yang wajib diikuti manusia adalah yang makshum dari kesalahan ilmu dan amal. Jadi, ilmunya harus lengkap dan benar 100%. Akan tetapi, ketika tidak ada yang seperti itu dan kalau Tuhan dan agamaNya tidak memberikan jalan keluar, maka sudah pasti agamaNya tidak bisa dikatakan sempurna. Karena itulah maka Tuhan sendiri, Nabi saww sendiri dan orang-orang makshum as sendiri, memerintahkan umat untuk mengikuti para wakil makshum as, baik wakil langsung atau dengan kriteria dimana yang kita bahas ini adalah wakil dengan kriteria yang ada di berbagai ayat dan riwayat, yaitu “yang tahu”, “yang alim”... dan seterusnya...dimana tentu saja akal berkata bahwa “yang tahu” itu bukan yang hanya belajar secara otodidak.
  • j- Tak ada rotan maka akarpun mesti digunakan sambil menunggu, mencari dan berdoa untuk mendapatkan rotan. Sebab kalau tidak menggunakan rotan, akan tenggelam ke dalam lautan yang dalam. Itulah mengapa akal dan agama mewajibkan kita untuk ikut spesialis dalam agama sebelum bertemu dengan makshum as. Karena tanpa spesialis agama, dunia keberagamaan akan hancur sebagaimana tanpa spesialis kesehatan yang akan menghancurkan kesehatan manusia. 
  • k- Beranjaknya manusia yang dikatakan tokoh agama dalam meninggalkan penablighan fikih ini kepada umat, bisa karena berbagai sebab. Bisa karena dirinya sendiri yang memiliki karakter seperti itu, yakni meremehkan fikih ini padahal fikih atau aturan ini jauh lebih agung dari ciptaan alam ini sendiri. Karena itu, ia akan membawa umat ini kepada karakternya sendiri dan bukan kepada karakter yang diperintahkanNya. Ada lagi karena ingin dicintai umat yang biasanya suka kepada yang ringan-ringan dan enak-enak serta tidak serius dalam beragama. Karena itu mereka memerangi fikih dan mewajibkan takiah, tapi dalam bermut’ah-liar (tanpa ijin wali bagi yang bukan janda), sangat lancar dan berlebihan. Ada lagi yang karena merasa lebih pandai dari para spesialis dan bahkan makshumin as, Nabi saww dan Tuhan sendiri, hingga berani menomer duakan atau menomer seribukan fikih dari hal-hal lain yang, terutama yang disukainya seperti politik dan semacamnya supaya mereka dapat menghampar pemerintahan kecilnya dengan berbagai kadarnya seperti yayasan, organisasi, ormas atau bahkan partai dan semacamnya. 
Semua berloncatan di mimbar Nabi saww dan memakai nama beliau saww, baik mimbar kayu yang seperti nyata, atau mimbar khayalan seperti para terorist-terorist itu (terorist nyawa dan iman). 

Hanya kepada Allah kita berlindung agar tetap kokoh mengikuti Tuhan melalui NabiNya saww, mengikuti Nabi saww melalui para washi beliau saww, mengikuti para washi/imam melalui para mujtahidin dan marja’ hf. amin. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Persaudaraan Yang Dituntut Agama




Seri tanya jawab Siti Munawaroh dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 7:56 am


Siti Munawaroh mengirim ke Sinar Agama: 17 Februari 2013 melalui BlackBerry Smartphones App 

Salam, hanya usulan saja ustadz, karena banyaknya saudara-saudara yang butuh bimbingan, apa tidak sebaiknya yang komentar-komentar tidak bermanfaat dan suka mengacau, antum delete saja. Karena banyak anggota baru yang daftar biar lebih efektif diskusi dan mimbar antum, kadang karena penasaran jadi membaca juga malah menghabiskan waktu. Maaf kalau kami kurang sabar seperti antum. 


Orlando Banderas: Kalau saya gak setuju di delete, karena justru pertanyaan sepele sekalipun dan kelihatan nyeleneh justru juga ditanyakan orang yang lama sekalipun di syiah cuma gengsi menanyakan dan sangat bermanfaat bagi yang baru di syiah. Afwan. 

Sang Pencinta: SM: Benar yang dikatakan mas OB. Di sisi lain teman-teman Wahabi berpotensi untuk mengambil pelajaran dan bertanya (walau dengan caci maki) pada ustadz tentang apa yang tidak diketahuinya/dilecehkan. Yang saya lihat beberapa teman Wahabi ekstrem sudah tobat. 

Irsavone Sabit: itulah yang dikatakan Ustadz Sinar Agama, bahwa agama ini sudah sangat sempurna dan mengatur segala hal termasuk diskusi dengan wahabi ekstrim sampai pada orang kafir, dari orang pintar sampai orang yang paling dungu sekalipun, tetapi masih banyak juga di kalangan orang syiah yang cerdas tidak mau terlibat dalam diskusi maupun dialog bahkan terkesan membiarkan fitnah yang merajalela dari kalangan orang yang tidak tahu dan faham benar tentang syiah, paling tidak untuk orang yang awam dapat mengambil pelajaran dari dialog tersebut, contohnya saya..he he he. 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih usulannya. Seperti yang dikatakan oleh saudara- saudara lainnya, bukan hanya aku tidak ingin mendelete, tapi bahkan takut padaNya kalau mau mendeletenya. Kecuali yang keterlaluan dan sangat mengejek terus tanpa mau diskusi, seperti yang menamakan diri Cabul itu. Sebenarnya, kalau dia tidak mengulang-ulang yang dia tanyakan dan tidak selalu mengejek, misalnya dia debat dengan kita walau misalnya dengan sedikit keras hati dan kata-kata yang kurang enak sekalipun, maka sangat mungkin saya tidak mendeletenya. Tapi karena sebaliknya, maka setelah mungkin setahun baru saja aku mendeletenya. 

Semua itu bukan karena aku sabar. Aku juga kadang sampai sakit hati dan kepala. Tapi aku yang hina ini, sangat takut pada Allah untuk tidak membantu sesama saudara yang nakal sekalipun. Ketahuilah, akhirat itu sangat berat dan bukan main-main. Belum tentu yang kita kira kebaikan yang kita miliki ini benar-benar kebaikan. Untuk diterimanya sebuah kebaikan, sangat memerlukan syarat yang sangat ketat, seperti harus dengan ilmu, harus dengan ikhlash yang luar biasa yang satu atompun tidak ada unsur riya’nya. Sementara kalau dosa, maka tidak perlu syarat-syarat tersebut. 

Jadi, itulah yang membuatku lebih baik memilih diejek dari pada tidak membantu atau lebih baik memilih diejek dari pada tidak menyampaikan yang kuyakini benar secara profesional. Ketika alfakir/aku membahas mega merah, sungguh terasa sesak dadaku, karena aku tidak ingin berbeda dengan siapapun dan aku tidak ingin ibadah siapapun punya masalah. Tapi kalau tidak kusampaikan (walau tidak diambil) maka tidak ada perbandingan di masyarakat hingga bisa mencabut mawas diri dan kehati-hatian dimana kalau nanti di hadapan Tuhan punya masalah, akhirnya yang tahu juga yang akan disalahkan. Karena itulah maka dengan hati tak suka dan tak enak hati, tetap saja kusampaikan. Tentu saja, jalan kita tidak boleh memaksa siapapun. Tugas kita hanya diskusi terbuka dan dengan kalimat-kalimat santun serta dalil yang gamblang alias mudah dipahami. 

Jadi, yang mengejek-ejek itu bukan hanya wahabi, tapi yang ala wahabi juga seperti itu sekalipun mungkin secara lahiriah sudah Syi’ah. 


Kalau kita mengaplikasikan yang namanya persaudaraan saja, maka dunia ini akan jadi indah karena yang pahitnyapun akan menjadi manis di hadapanNya. Berbeda boleh saja, tapi kemesraan harus tetap terjaga. Begitu pula saling doa dan memintakan ampunan padaNya di siang atau malam hari, dalam ramai atau dalam sepi. 

Kalau cinta hanya pada orang yang sama dengan diri kita, maka ia bukan cinta orang lain/ mukminin, tapi cinta diri sendiri. Kalau cinta hanya pada orang yang sama dengan kita, maka ia bukan cinta yang diwajibkan agama. Kalau cinta hanya pada orang yang sama dengan kita, maka ia bagian dunia yang fana dan bukan bagian akhirat yang baqaa’. 

Terakhir, hati ini terlalu sakit dengan batasan 5000 pertemanan ini. Sungguh hati ini dan dekapan hinaku ini, ingin sekali menyapa dan menjalin cinta dengan semua, tak perduli dari suku bangsa apa, apalagi hanya dari yayasan mana, tak perduli ia sama denganku atau jauh berbeda nun jauh di sana. 

Ya Allah, hanya Engkau yang tahu jujur atau dustaku, kalau aku jujur, maka berikan rahmat cintaMu padaku dan pada teman-temanku semua dan, kalau aku dusta, maka hal itu hanya dari kebodohanku belaka dan, karena itu maka ampunilah aku dan teman-temanku semua, amin. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 28 Desember 2018

Kitabullah dan Ahlulbaitku atau Kitabullah dan Sunnahku ?



Seri tanya jawab Sufyan Hossein dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 7:53 am



Sufyan Hossein: 17 Februari 2013, Bismillaahirrahmanirrahim.... Afwan ustadz mau bertanya: bagaimana tanggapan ustadz tentang hadits-hadits di bawah ini.. Al-Hakim meriwayatkan di dalam al-Mustadraknya dari Zaid bin Arqam bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersabda pada Haji Wada’: 


“Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga) yang salah satu dari keduanya lebih besar daripada yang lain, Kitabullah (Al-Qur’an) dan keturunanku. Oleh karena itu perhatikanlah oleh kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. Sebab sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di Haudh (telaga di surga).” 

Namun ada pula hadits ini : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersabda: 

“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat apabila (berpegang teguh) kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Tidak akan bercerai berai sehingga keduanya menghantarku ke telaga (Surga).” 


(Dishahihkan oleh Al- Albani dalam kitab Shahihul Jami). 

Manakah yang benar dalam hal ini, SUNNAH Nabi Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam ATAU Ahlul Bayt Nabi Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam?? Dan ada lagi hadits --> Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam: 

“Perumpamaan Ahlul Baitku seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya niscaya ia akan selamat; dan barangsiapa tertinggal darinya, niscaya ia akan tenggelam dan binasa.” 

(Disahihkan Al Hakim, Ibnu Hajar dan Ath Thabrani). 

Namun ada juga perkataan dari Imam Malik bin Anas --> Imam Malik bin Anas rahimahullaahu ta’ala berkata: 

“As-Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ibarat bahtera (perahu) Nabi Nuh ‘alaihissalam, siapa saja yang menaiki (mengikutinya) maka ia akan selamat dan siapa saja yang menyelisihinya maka ia akan binasa.” 

(Diriwayatkan oleh al-Harawi di dalam Dzammul Kalam, IV/124, dan al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, VII/336). 

MANAKAH YANG BENAR DALAM HAL INI -> SUNNAH NABI ATAU AHLUL BAYT NABI?? Jazakumullah khairan — bersama Sinar Agama dan Abu Fahd NegaraTauhid. 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: 

1- Ada dua hadits yang dihandalkan masing-masingnya oleh Syi’ah dan Sunni. 
  • Pertama, hadits tentang peninggalan Nabi saww untuk umat yang berupa dua hal yang berat, yaitu Qur'an dan Ahlulbait as (bukan keturunan seperti yang antum katakan, tapi Ahlulbait yang makshum, yaitu 12 imam as dan hdh Faathimah as) dimana pesan ini yang dijadikan handalan Syi’ah. 
  • Ke dua, tentang peninggalan Nabi saww untuk umat yang berupa dua hal yang berat, yaitu Qur'an dan Sunnah Nabi saww. 
2- Di Sunni dan di Syi’ah, jelas yang menjadi pedoman agama itu adalah Qur'an dan hadits. Akan tetapi, Syi’ah yang mengikuti Ahlulbait as itu, karena Qur'an itu harus dijelaskan oleh makshum yang mewarisi seluruh ilmunya dari Nabi saww secara makshum dan juga tidak ada yang lebih tahu hadits Nabi saww kecuali pewaris ilmu beliau saww yang juga makshum. Jadi, pengikut Ahlulbait as itu, mengikuti Ahlulabait as karena perintah Allah dalam Qur'an dan karena perintah Nabi saww dalam hadits. 

3- Dengan penjelasan di atas, maka pengikut Ahlulbait as sudah tentu mengikuti Hadits atau Sunnah Nabi saww seperti Syi’ah, tapi yang mengikuti hadits Nabi saww belum tentu mengikuti Ahlulbait yang makshum as. Hal itu karena mengikuti Ahlulbait as itu di samping karena Ahlulbait yang makshum itu lebih tahu tentang Qur'an dan Sunnah Nabi saww, juga karena Nabi saww sendiri yang memerintahkan seperti di hadits di atas itu.

4- Dilihat dari isi dua bentuk hadits di atas itu, sudah tentu Ahlulbait as tidak bertentangan dengan Sunnah Nabi saww hingga membuat kedua hadits tersebut layak dipertentangkan. Hal itu karena Ahlulbait as itu, makshum dan lebih tahu tentang Qut an dan Sunnah Nabi saww hingga karena itu, maka mengikuti Ahlulbait as sudah tentu mengikuti Qur'an dan Sunnah Nabi saww. Sedang yang mengikuti Qur'an dan Sunnah Nabi saww sendiri, sangat-sangat belum tentu mengikuti keduanya karena jelas-jelas belum tentu memahami dengan benar keduanya lantaran tidak makshum dan tidak mewarisi ilmu Nabi saww secara makshum. 

5- Tentang dalil Qur'an dan hadits Sunni tentang kemakshuman Ahlulbait as itu, sudah sering saya jelaskan di facebook ini hingga di sini saya tidak akan mengulangnya dan silahkan merujuk ke catatan-catatan tentang Ahlulbait as atau tentang imamah.

6- Kalaulah ada orang mau mempertentangkan dua jenis hadits di atas itu, dan ia ingin mengambil salah satunya saja, maka sudah tentu dia tidak boleh mengambil yang memesankan atau mewariskan Qur'an dan Sunnah Nabi saww. Hal itu bukan karena Sunnah Nabi saww itu tidak bisa dijadikan dasar agama, karena Sunnah Nabi saww itu pada esensi dan hakikatnya merupakan dasar Islam ke dua setelah Qur'an. 

Akan tetapi, berhubung banyaknya hadits dan perbedaan dan bahkan pertentangannya, di samping banyaknya hadits-hadits yang sengaja disusupkan sejarah, maka sudah tentu Sunnah Nabi saww tersebut perlu difilter dengan Qur'an secara hakiki. Dan pemfilteran atau pentesteran atau pengukuran atau penilaian hadits dengan Qur'an itu, hanya akan terjamin kalau dilakukan oleh yang mengerti Qur'an secara lahir dan batin secara makshum yang kemakshumannya dijamin Qur'an itu sendiri. 


Karena itulah, maka mengikuti Sunnah Nabi saww dengan menghilangkan atau meninggalkan Ahlulbait yang makshum as, maka hal inilah yang saya maksudkan tidak bisa dilakukan, yakni dengan kalimat “tidak boleh mengambil yang memesankan atau mewariskan Qur'an dan Sunnah Nabi saww.” 

Yakni hal itu tidak boleh dilakukan kalau bermaksud harus memilih salah satu dari kedua hadits di atas yang berarti pengikut Sunnah Nabi saww harus meninggalkan Ahlulbait Nabi saww. 

Di samping itu, perbandingan haditsnya juga jauh sekali berbeda. Karena hadits yang mewariskan Qur'an dan Ahlulbait yang makshum, jauh melebihi mutawatir sementara yang mewariskan Qur'an dan Sunnah Nabi saww memiliki sanad yang sangat lemah dan mursal yang, jangankan di Bukhari atau Muslim, di kitab hadits shahih yang enam-pun riwayat tersebut tidak diriwayatkan sebagaimana nanti akan maklum. 

7- Perbandingan ke dua hadits di atas: 
  • 7-a- Hadits Nabi saww yang mewariskan Qur'an dan Ahlulbait yang makshum as kepada umat di kitab-kitab Sunni, diantaranya sebagai berikut:
    • 7-a-1- Diriwayatkan dari berbagai kitab seperti: Shahih Muslim, 2/362, 15/179-180 (yang disyarahi Nawawi); Turmudzi, 5/328, hadits ke: 3874 dan 5/329 hadits ke: 3876; Musnad Ahmad bin Hanbal, 5/182 dan 189; Mustadraku al-Haakim, 3/148; Kanzu al-”ummaal menukil dari Turmudzi dan Nasaa-ii dari Jabir, 1/44; Kanzu al- ’Ummaal, 2/153 (1/154), 1/158 hadits ke: 899, 943, 944, 945, 946, 947, 950, 951, 952, 953, 958, 1651, 1658 dan 5/91 hadits ke: 255 dan 356; Ibnu Atsiir dalam Jaami’u al-Ushuul, 1/187 hadits ke: 65 dan 66; Thabraanii dalam al-Mu’jamu al- Kabiir, 137 dan dalam al-Mu’jamu al-Shaghiir, 1/135; al-Fathu al-Kabiir, 1/451, 1/503, 3/385; Usdu al-Ghaabah, 2/12; Dzakhaairu al-’Uqbaa, 16; al-Shawaaiqu al- Muhriqah, 147 dan 226; Majma’u al-Zawaahid, 9/162; ‘Abaqaatu al-Anwaar, 1/16, 31, 44, ,74 ,86 ,92 ,94 ,97 ,98 ,99 ,114,115 ,120 ,124 ,127 ,137 ,139 ,140 ,141 ,148 ,154, 171 ,176 ,182 ,190 ,198 ,201 ,204 ,205 ,206 ,217 ,220 ,227 ,233 ,236 ,237 ,239 ,243 ,253 ,254 ,268 ,270 ,272 ,279; al-Nihaayah Ibnu Atsiir, 1/155; Tafsiir al- Durru al-Mantsuur, 2/60, 6/7 dan 306; Tafsiir Ibnu Atsiir, 4/113; Tafsir Khaazin, 1/4, 6/102, 7/6; .....dan seambrek lagi yang lainnya. 
    • 7-a-2- Perawinya mencapai 35 shahabat dimana hal ini menunjukkan tiga kali lipat lebih dari Mutawaatir yang hanya mencukupkan 9 orang shahabat atau bahkan kurang dari itu di sebagian ulama Sunni seperti Ibnu Taimiyyah sebagaimana pernah saya jelaskan sebelumnya. Perawi tersebut adalah sebagai berikut: 
  • 7-b- Sedang hadits yang mewariskan Qur'an dan Sunnah Nabi saww, hanya di beberapa tempat yang jelas tidak bisa dibandingkan dengan kitab-kitab Sunni di atas. 
    • 7-b-1- Kitab-kitab yang dimaksudkan adalah: al-Muwaththa’, 2/899; Taariikh/siirah Ibnu Hisyaam, 4/251; al-Ilmaa’ karya al-Qaadhii, 9; al-Faqiih karya Khathiib Baghdaadi, 1/94.
    • 7-b-2- Sedang perawinya (yang sementara ini saya jangkau) hanya dua orang: Abu Hurairah dan Anas. 
Kalaupun Abu Hurairah mau ditsiqahkan sekalipun pernah korupsi di jaman Umar sewaktu diangkat Umar untuk jadi gubernur di Bahrain, lalu karena ia korupsi maka selain dipecat oleh Umar juga dihukum cambuk, maka tetap saja tidak bisa dibanding dengan 35 shahabat di atas. Terlebih riwayat-riwayat ini mursal dan dha’if/lemah sebagaimana disepakati ulama tentang hal tersebut. 

Kesimpulan

Hadits yang mewariskan Qur'an dan Ahlulbait yang makshum as tidak bisa dibanding dengan hadits yang mewariskan Qur'an dan Sunnah Nabi saww dari sisi kitab-kitab haditsnya dan perawi-perawinya. Tidak bisa dibanding karena hadits yang pertama di samping shahih dan mutawatir juga lebih dari tiga lipat mutawatir, sementara hadits ke dua, bukan hanya diriwayatkan oleh dua orang, tapi juga bahkan mursal dan dha’iif. 

Sebagai pedoman muslim, ketika menghadapi dua riwayat seperti itu, maka jelas kewajibannya adalah mengikuti hadits pertama dan meninggalkan hadits ke dua. Ini, sekali lagi, kalau mau mempertentangkan maknanya dari kedua hadits tersebut. Tapi kalau mau dipadukan seperti yang sudah dijelaskan di atas itu, maka jelas satu sama lain bukan hanya tidak bertentangan, tapi bahkan saling mendukung. Karena Ahlulbait as yang makshum itulah yang tahu Qur'an dan Hadits secara seratus persen lengkap dan benar. Karena itu, mengikuti Ahlulbait yang makshum as, sama dengan mengikuti Qur'an dan Hadits. Persis ketika shahabat menaati Nabi saww, maka sama dengan menaati Qur'an dan Allah. Karena semua yang diperintahkan dan dijelaskan Nabi saww itu adalah seratus persen lengkap dan benar dari Qur'an dan Allah. Wassalam. 

Sufyan Hossein: Teringat hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa aalihi wa sallam: 

“Pada hari penghisaban nanti sekelompok sahabatku akan datang menemuiku di telaga Al-Haudh, dan mereka itu dilarang untuk meminum air darinya. Aku kelak akan berkata: ‘Ya, Rabbi! Mereka ini adalah para sahabatku’. Kemudian Allah akan berkata: ‘Engkau tidak tahu apa yang mereka telah lakukan sepeninggalmu. Mereka telah meninggalkan ajaranmu.” (HR Muslim volume 15, halaman 53—54) 

Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad wa ajjil faraja aali Muhammad warham Imamal Khumeini wahfadh qaidana ‘Ali Khamene’i waj’alna min ansharil Hujjahal Mahdi afs. Jazakallah khayran atas pencerahannya ustadz.. 

Wassalam. 

Nur Cahaya: Ustadz Sinar Agama 

Mohon penjelasannya, apakah yang dimaksud ahlulbait, baitullah, darimana landasan perintah mengikuti hadits selain Quran dari hadits-hadits keturunan keluarga, apakah yang dimaksud sunnah nabi? Apakah benar nabi diperintah membuat sunnahnya dari dirinya sendiri? Mohon maaf jika kurang berkenan. Senang sekali jika bisa bertukar pemahaman tentang hal tersebut. Salam. 

Sinar Agama: Nur: Ketika Tuhan memerintahkan taat padaNya dan pada Rasul saww, QS: 3: 32, maka jelas bahwa kita wajib menaati semua perintahnya. Begitu pula ketika dikatakan bahwa beliau saww adalah contoh yang baik, QS: 33: 21. 

Begitu pula ketika Tuhan mengatakan bahwa apapun yang beliau saww katakan (tentu saja termasuk lakukan), adalah dari wahyu, QS: 53: 4. 

Karena itu, apapun yang dikatakan Nabi saww dan yang dilakukannya bahkan yang didiamkannya, maka semuanya itu adalah wajib ditaati dan dicontohi. Inilah salah satu dasar dari kewajiban mengikuti hadits di sisi Qur'an. 

Tentu saja banyak ayat-ayat lain seperti, QS: 2: 151, yang mengatakan bahwa Nabi saww diutus itu untuk mengajari Qur'an dan hikmah. Jadi, semua perkataan beliau saww dan perbuatannya adalah penjelasan dari Qur'an, karena beliau saww diutus untuk itu dan, sudah pasti benar semuanya alias makshum. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 15 Desember 2018

‘Allaamah Hilli dan Sulthaan Muhammad Khudaabandeh



Seri menjawab Fitnahan Ilham Kadir
by Sinar Agama (Notes) on Monday, March 18, 2013 at 10:43 pm


Ilham Kadir: Sayang ya tak dimuat, kalau dimuat kan pasti saya tanggapi lagi, padahal saya ingin sekali menulis cerita di bawah ini: Mohammad Reza Pahlavi, Shah Iran yang lahir di Tehran, Iran, 26 Oktober 1919 – meninggal di Kairo, Mesir, 27 Juli 1980 pada umur 60 tahun adalah kaisar Iran dari 16 September 1941 hingga Revolusi Iran pada 11 Februari 1979. Beliau pernah berhasrat untuk mendamaikan Syiah dan Sunni, maka diundanglah para ulama kedua aliran yang tidak akan pernah akur itu. Sampai waktu dimulainya acara pertemuan, ulama Syiah sudah para datang, namun sayang dari pihak Sunni belum ada yang terlihat kecuali satu orang tua bungkuk menjepit sandal jepit diketiaknya. Ulama-ulama Syiah bertanya kepada ulama Sunni itu. Apa yang kamu jepit di ketiakmu? “Sandal” jawabnya. “Kenapa Kamu bawa-bawa sandal jepit kesini?” tanya ulama Syiah kembali. “Karena saya mendengar di zaman Rasulullah ada orang Syiah pernah mencuri sandal!”, jawab ulama Sunni itu. Mendengar pernyataan itu, para ulama syiah serentak menjawab, “Mana ada Syiah di zaman Rasulullah?”, ulama Sunni yang bijak itu berkata,”Cukuplah, selesai sudah pertemuan ini. Darimana kalian mengambil agama kalian?” 

Ismail Amin: Akhi ust. Ilham, antum peneliti ilmiah, dari mana sumbernya cerita antum di atas? Kita sudah terlalu banyak dicekoki berita-berita tanpa sumber, dan itu tanpa beban disebar sedemikian mudahnya apalagi jika itu berkaitan dengan Iran dan syiah. Syah Reza baru puluhan tahun lewatnya, belum ratusan tahun. 

Dimasanya sudah ada koran, tv dan media-media lainnya sehingga apapun kegiatan penting yang dia lakukan bisa dengan detail diketahui. Kapan pertemuan itu terjadi? Di mana? Siapa orang tua bungkuk yang mewakili sunni itu? Dan siapa juga nama ulama-ulama yang mewakili syiah? Di media mana berita tentang pertemuan itu dimuat dan seterusnya... Jangan berdalih dengan menggunakan ‘katanya’, sebagaimana kebanyakan ikhwan yang sering menyebar fitnah negatif tentang Iran, tapi tidak mampu membuktikan... Silahkan, ada baiknya kita diskusinya di sini saja, jika antum berkenan dan punya waktu.. 

Ilham Kadir: Saya pernah baca di salah satu majalah berbahasa Arab, saya sedang berusaha carikan nama majalahnya, karena barang itu ada di Sinjai, rumah salah seorang ustadz... saya sudah pesan 2 minggu yang lalu tapi belum ada kabar... insya Allah apa yang saya sampaikan itu bisa saya pertanggungjawabkan. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih tag-annya. Saya sebenarnya, karena banyak pertanyaan di dinding dan inbox yang sampai puluhan pertanyaan tiap hari, tidak ingin ikut campur urusan diskusi antara akhi Ismail dengan akhinaa Ilham ini. Akan tetapi karena cerita karangan dari Ilham sepintas dipercaya oleh akhi Ismail, maka saya perlu membantu keduanya mendapatkan cerita yang sebenarnya. Saya katakan sepintas karena saya memang tidak membaca semua diskusinya. 

Bantuanku untuk mereka adalah

1- Cerita yang ditulis oleh Ilham itu jelas merupakan dikarang Ilham sendiri dan kalaulah ia menukil, maka menukil dari pengarang cerita yang jelas-jelas tanpa bukti. 

2- Kepalsuan cerita itu tampak dari isi ceritanya yang tampak dari jawaban ulama syi’ah terhadap dalil si bungkuk yang mengatakan bahwa ia membawa sandalnya karena di jaman Nabi saww ada orang syi’ah mencuri sandal. Lalu ulama syi’ah mengatakan bahwa di jaman Nabi saww tidak ada syi’ah. Ini jelas jawaban syi’ah ala khayalan si Ilham. Karena jangankan di hadits- hadits syi’ah, di hadits-hadits sunnipun dinyatakan bahwa kata-kata syi’ah itu, pertama kali dikatakan oleh Nabi saww Saya sering kali menukil hadits-hadits sunni ini, misalnya: 
  • 2-a- Rasul saww bersabda +/-: (a): “ Engkau (Ali) dan syi’ahmu (pengikutmu) mendatangiku di telaga (di akhirat)”, dan yang semacamnya (al-Majma’ dari Thabari: 9:131; Kunuzu al- Haqoiq 188; al-Isti’ab2:457; Mustadrak 3:136; Tarikh Baghdad 12:289; al-Shawaiqu al- Muhriqoh 66;). 
  • 2-b- Rasul saww bersabda: “ Engkau (Ali) dan syi’ahmu di surga.”, dan semacamnya (Hilyatu al-Auliya’ 4:329; e): Tarikh Baghdad, 12:289, 358; Majma’ 9:173 dari Abu Hurairah; al- Shawaiqu al-Muhriqoh 96; al-Ryadhu al-Nadhrah karya Thabari 2:209; Kanzu al-‘Ummal, 2:218; al-Muntukakhob min Shehhatu al-Sittah 257;). 
  • 2-c- Rasul saww bersabda: “Mereka adalah kamu -Ali- dan syi’ahmu.” ketika menjelaskan khairu al-bariyyah (paling bagusnya manusia QS: 98:7). (Lihat di: Syawahidu al-Tanzil 2:356-366 hadits ke: 1125 – 1149; al-Shawaiqu al-Muhriqoh 96; Tafsir al-Durru al-Mantsur 6:379; Tafsir Thabari, 30:146; dan lain-lain). 
Dan banyak lagi kata-kata syi’ah (pengikut) dimana sekitar 200 kata-kata “Syi’ah Ali as” (Pengikut Ali as) yang keluar dari lisan suci Rasul saww dan yang ada di riwayat-riwayat sunni yang mana Nabi saww mengabarkan tentang barbagai hal, seperti Paling afdhalnya manusia, masuk surga, diridhai, yang ...dan seterusnya. Yaitu di kitab-kitab sunni di bagian yang menerangkan sekitar tentang ayat atau kata yang berbunyi “Khairu al-Bariyyah”, “al- Faaizuun”, “Radhiallah ‘Anhum”, yakni dari yang terjangkau saya. Dan diantaranya seperti kitab-kitab: Tafsir al-Durru al-Mantsur; Tafsir al-Muharriru al-Wajiz; Tafsir al-Alusiy; Tafsir Thabari; Tafsir Haqqu; Tafsir Ruhu al-Ma’ani; Tafsir Fathhu al-Qodir; Bashairu al-Tamyiz; al-Shawaiqu al-Muhriqoh; al-Muntukaqa; Nazhmu Durari … dan seterusnya. 

3- Dengan semua penjelasan itu, maka jelas bahwa Pengasas dan pendiri syi’ah Ahlulbait yang makshum, adalah Allah melalui kenjeng Nabi saww. Karena itulah, maka keterlaluan sekali khayalan si Ilham yang mengatakan bahwa di jaman Nabi saww tidak ada syi’ah, sementara Nabi saww sendiri mengatakan bahwa syi’ah Ali as (Ahlubait as) adalah yang akan selamat dan akan mendatangi beliau di telaga yang berada di surga, atau syi’ah itu paling afdhalnya manusia, atau yang akan selamat ...dan seterusnya. seperti yang hadits-haditsnya sudah dinukilkan di atas. 

4- CERITA YANG SEBENARNYA

Sebenarnya, siapapun pengarang cerita di atas itu, mau meniru kejadian sejarah masuknya raja Iran yang masuk syi’ah yang tadinya sunni. Si pengarang itu sakit hati, hingga mengarang apa yang dinukilkan si Ilham itu. 

Suatu jaman Iran dipimpin oleh raja sunni yang bernama Sulthaan Muhammad Khudaabandeh. Ia merupakan raja ke 11 dari silsilah Ilkhaaniyaan yang masuk syi’ah di tangan ‘Allaamah al- Hilliy di tahun 709 H. 

Sejarah ini ada di setiap kitab sejarah dan kitab ulama yang menerangkan tentang Iran dan kerajaan-kerajaan Islam yang ada di sana. Suatu hari sang raja, karena emosi, mencerai istrinya tiga kali sekaligus. Setelah, marahnya hilang, ia sedih. Karena ia tidak bisa kembali lagi ke istrinya tanpa dikawinkan dulu dengan orang lain dan orang lain itu mencerainya atau mati. Sebagaimana maklum ketika istri dicerai tiga kali, maka suaminya tidak boleh kembali lagi kecuali kalau istrinya itu kawin dengan orang lain dan menjadi janda setelah itu (baik dicerai atau ditinggal mati suami barunya itu). 

Akhirnya ia memanggil semua ulama 4 madzhab sunni yang merupakan mayoritas madzhab yang dianut di Iran kala itu. Semua ulama madzhab sunni, karna ikut Umar dalam tiga kali cerai dalam satu majils ini, maka mereka semua mengatakan bahwa memanglah harus dikawinkan dulu dengan orang lain dan baru setelah cerai maka bisa kembali lagi, karena cerainya itu sudah dikatakan cerai Baain sebagaimana ditentukan di fikih. 

Sebagaimana dimaklumi dalam sejarah cerai tiga kali sekaligus ini, adalah ciptaan Umar bin Khathab ketika jadi khalifah. Dengan tujuan supaya para suami tidak gampang-gampang mengucapkan cerai ketika marah. Padahal, di Qur'an, diwajibkan adanya 2 orang saksi adil kalau mau cerai (QS: 65: 2). Begitu pula, cerai tiga kali ini dimana suami tidak bisa lagi rujuk kecuali kalau istrinya sudah kawin lagi dengan orang lain dan menjadi janda setelah itu, dan dimana diistilahkan sebagai “Cerai Baain”, harus diselangi dengan rujuk sang suami yang menceraikannya dalam setiap kali cerai. Artinya, cerai pertama harus ada rujuk dulu dari suaminya sebelum iddahnya habis. SEtelah rujuk, kalau cerai lagi, maka bisa lagi rujuk sebelum iddahnya habis. Tapi cerai ke tiga, maka tidak boleh lagi rujuk dan harus menunggu istrinya kawin dengan orang lain dan menjadi janda, baru setelah itu ia bisa kawin lagi dengannya (bukan rujuk yang tidak pakai aqad nikah). 

Karena si Sulthaan ini pusing, maka tanya-tanya lagi ke penasehatnya apakah masih ada lagi golongan lain dari Islam yang bisa ditanyai pendapatnya. Akhirnya dipresentasikannyalah sang ‘Allaamah al-Hilliy ra yang merupakan orang alim syi’ah kala itu. 

Ketika beliau ra diundang untuk dipertemukan dengan para ulama sunni itu, maka terjadilah peristiwa membawa sandalnya di jepitan ketiaknya itu. 

Ketika ditanya mengapa beliau ra membawa sandal, ia berkata takut dicuri sunni, karena dulu sandal Nabi saww dicuri Abu Hanifah (imam madzhab sunni Hanafiah). Sang ulama Hanafiah yang sudah datang duluan itu marah-marah dengan mengatakan “Tidak mungkin Abu Hanifah mencuri sandal Nabi saww karena ia belum lahir kala itu.” ‘Allaamah Hilli ra mengatakan: “Oh saya salah, yang benar dicuri Ahmad Bin Hanbal (imam madzhab sunni Hanbaliah).” Karuan saja ulama yang dari madzhab sunni Hanbali marah-marah dan berucap seperti yang dikatakan ulama sunni Hanafiah itu. Begitu seterusnya ‘Alaamah Hilli menyebutkan satu persatu dua imam lainnya dari imam madzhab sunni, yakni imam Maalik dan Syaafi’ii yang sudah tentu diiringi dengan kemarahan mereka dan pengulangan dalil ulama pertama yang mewakili Hanafiah itu. 

Akhirnya ‘Allaamah Hilli mengatakan kepada Raja

“Nah, itulah raja, mereka telah mengatakannya sendiri bahwa mereka telah mengikuti imam yang tidak pernah melihat Nabi saww. Bid’ah apa ini hingga mereka mengatakan bahwa 4 orang imam itu yang harus diikuti hingga kalau ada orang lain yang lebih alimpun kalau berfatwa beda dengan mereka maka tidak diikutinya? Sementara kami orang-orang syi’ah, berimam kepada imam Ali as yang merupakan jiwa Nabi saww sendiri dan saudaranya serta washinya.” 

Setelah itu sang Sulthaan bertanya: “....apakah talaq tiga dalam satu majlis itu telah jatuh talaq tiga? 

‘Allaamah Hilli bertanya: “Apakah ada saksinya waktu itu? ” Sulthaan menajawab: “Tidak.” 

‘Allamah berkata: “Kalau begitu talaq Anda batal karena tidak memenuhi syarat.” dan seterusnya. 

Akhirnya Sulthaan menyuruh ‘Allamah Hili ra untuk berdiskusi dengan mereka berempat. 

Akhir sejarah, sang Sulthaan masuk syi’ah dan sejak saat itulah maka syi’ah di Iran menjadi tumbuh kembali dan akhirnya menjadi mayoritas di Iran. 

Saya mungkin tidak akan masuk lagi dalam diskusi ini, ‘Allaahu A’lam. Semoga saja catatan kecil ini bermamfaat bagi semuanya. 

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Rabu, 12 Desember 2018

Sujud di Atas Tanah dan Tanah Karbala (Bag: 3 (berakhir))

Sujud di Atas Tanah dan Tanah Karbala, Seri Nukilan dari Buletin Al-Muraasalaat 16, (Bag: 3 (berakhir))



by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, February 26, 2013 at 10:55 pm

Fadhilah Tanah Karbala 

Karbala adalah nama dari salah satu kota di Irak. Ia adalah nama yang sering disebut Nabi SAWW dari sejak Imam Husain as. masih bayi dan kecil. Seakan nama itu memang disiapkan Tuhan untuk menjemput cucu suci dan makshum Nabi SAWW tersebut. Sebab Karbala itu merupakan rangkapan dari “ Karbun “ dan “ Balaa’ “, yakni “ Kesusahan “ dan “ Bencana “.

Sementara yang akan mendapat “ Kesusahan “ dan “ Bencana “, yakni yang akan dikepung tanpa air di padang yang panas itu; yang akan dibantai dan dicabik-cabik; yang akan dipotong kepalanya dan diarak dengan ditancapkan di atas tombak sampai ke negeri Suria; yang keluarga dan pengikutnya juga akan menghadapi nasib yang sama; yang keluarga perempuannya dimana merupakan cucu-cucu Nabi SAWW akan dijadikan tawanan dan diarak sampai ke Suria sambil diperlihatkan kepada mereka kepalanya dan kepala para keluarganya yang laki-laki ( sebanyak 23 kepala ); yang akan menghadapi pengkhianatan umat Nabi SAWW kakeknya sendiri; yang akan dibantai hanya karena tidak mau baiat kepada pemerintahan zhalim dan tidak memiliki nas dan dalil agama sementara beliau adalah imam dan khalifah yang sah menurut agama sebagaimana tertera dalam banyak riwayat karena beliau termasuk salah satu imam dua belas yang makshum ( lihat buku kami yang berjudul: Imam Mahdi Menurut Ahlussunnah ); yang....yang......dan seterusnya., belum lahir ke dunia. 

Sungguh, yang demikian ini merupakan kenyataan yang tidak bisa dikatakan kebetulan. Perha- tikanlah nanti bagaimana Nabi SAWW menyimpan dan menciumi tanah tersebut dari sejak imam Husain as. masih bayi. 

Semua riwayat yang akan kami nukil di sini adalah riwayat-riwayat Ahlussunnah Waljama’ah. Riwayat yang menceriterakan fadhilah tanah Karbala ini tergambar dalam riwayat-riwayat yang menceriterakan tentang akan terbunuhnya imam Husain oleh umat Nabi SAWW sendiri yang diberitakan oleh para malaikat yang berkunjung kepada Nabi SAWW. 

Yang demikian itu terjadi berulang-ulang pada Nabi SAWW dan terjadi di berbagai tempat. Hal itu menunjukkan betapa penting dan besarnya hal itu. Sebab imam Husain as. bukan hanya sebagai cucu Nabi SAWW, tapi cucu yang makshum dan diangkat Tuhan menjadi salah satu imam dua belas yang wajib diikuti umat Islam. 

1- Malaikat Jibril as. Membawa dan Menghadiahi Nabi SAWW Tanah Karbala. 

Berkata ‘Aisah istri Nabi SAWW: “ Suatu hari ketika Rasulullah SAWW bersama malaikat Jibril as. di rumahku, bersabda kepadaku: Jagalah pintu!, dan akupun melakukannya. Kemudian Husain bin Ali masuk, dan Rasulullah SAWW memangkunya di pangkuannya. Jibril as. bertanya: Apakah engkau mencintainya?, Nabi SAWW menjawab: Tentu. Berkata Jibril as.: Sesungguhnya umatmu akan membunuhnya. Rasulullahpun meneteskan air mata. Jibril as. berkata: Apakah engkau ingin kutunjukkan tanah dimana ia dibunuh? Lalu malaikat Jibril as. mengeluarkan tanah-Thof yang warnanya kemerahan ( Thof, Nainawa adalah nama lain dari Karbala, red. ) “ 

Turunnya malaikat Jibril as kepada Rasulullah SAWW dalam rangka pemberitaannya tentang terbunuhnya imam Husain as. di tangan umat Nabi SAWW sendiri di masa yang akan datang, dan pemberiaannya tanah Karbala kepada beliau, sering terjadi. Terjadi di rumah beliau sendiri, di rumah istri-istri beliau seperti ‘Aisyah, Ummu Salamah dan Zainab bintu Jahsy. Dan perawinya banyak sekali, seperti istri-istri beliau ini, imam Ali as., Ibnu Abbas, Ummu al-Fadhl bintu al-Haarits, Saiyd bin Jamhaan, Abi Amamah, dan lain-lain. 

Memang bentuk hadits-haditsnya tidak sama, karena terjadinya memang bukan sekali sebagaimana yang kami katakan. Misalnya ketika peristiwa itu terjadi, di rumah Ummu Salamah, ia berkata: 

............Jibril as. berkata: Ya Muhammad, umatmu akan membunuh anakmu ini setelahmu -sambil memberi isyarah kepada Husain. Maka menangislah Rasulullah SAWW sambil memeluknya (Husain) ke dadanya. Lalu ia ( Jibril as. ) memberi Rasulullah SAWW tanah, dan beliau menciumnya sambil bersabda: Angin Kesedihan ( Karbun ) dan Bencana ( Balaa’ ) -yakni tanah Karbala. Dan setelah itu Nabi SAWW bersabda kepadaku: Wahai Ummi Salamah, simpanlah tanah ini sebagai amanat di sisimu, dan kalau nanti telah berubah menjadi darah maka ketahuilah bahwa Husain telah terbunuh ....” 

(diriwayatkan dalam banyak riwayat bahwa Ummu Salamah selalu melihat tanah tersebut, khususnya ketika imam Husain as. keluar dari Madinah pada masa kekhalifaan Yazid. Dan ketika ia melihat tanah tersebut menjadi darah pada tanggal 10-Muharram, beliaupun berteriak-teriak menangis keluar rumah, sampai orang-orang Madinah mengerumuninya dan menanyakan perihal tangisannya itu, dan beliaupun mengabarkan bahwa imam Husain as. telah terbunuh karena tanah Karbala yang diberikan kepadanya oleh Nabi SAWW telah menjadi darah, dan Madinahpun menjadi berduka, sebelum berita dari orang lain sampai kepada mereka ). 

Atau seperti yang diriwayatkan oleh imam Ali as. sesuai dengan yang diceriterakan oleh Najiy al-Hadhramiy. Suatu hari ia berjalan bersama imam Ali as.. Ketika sampai di sekitar Nainawa ( nama lain dari Karbala, red. ) yaitu suatu tempat persimpangan menuju Shiffin ( kota di Irak ), Ali berseru: 

Sabarlah wahai Aba ‘Abdillah ( julukan imam Husain as. ) di pinggiran sungai Furat ( sungat yang membentang di Irak, Suria dan Turki dimana Karbala berada di salah satu pinggirannya, red. ) “. Aku berkata kepadanya: “ Apa maksudmu? “. 

Ia ( Ali ) berkata: “ Suatu hari aku mengunjungi Rasulullah SAWW dan aku melihat kedua matanya mengalirkan air mata “. Aku bertanya: “ Ya ..Rasulullah, apakah ada seseorang yang telah membuatmu murka? Mengapa engkau menangis? “. 

Rasulullah SAWW menjawab: “ Baru saja malaikat Jibril as. pergi dari sisiku. Ia membawa berita bahwa Husain akan dibunuh di pinggiran sungai Furat. Ia ( Jibril as. ) berkata: Apakah engkau ingin mencium tanahnya?. Aku menjawab: Ia. Lalu ia ( Jibril as. ) membentangkan tangannya dan mengambil segenggam tanah dan memberikannya kepadaku. Oleh karena itulah aku menangis “. 

Atau seperti yang diriwayatkan Sa’iyd bin Jamhaan, ia berkata: 

“Suatu hari malaikat Jibril as. mendatangi Rasulullah SAWW dan memberinya tanah dari suatu desa dimana Husain akan dibunuh. Dikatakan bahwa nama daerah itu adalah Karbala. Lalu Nabi SAWW bersabda: Karbun wa Balaa’ ( Kesedihan dan Bencana )“. 

Sementara hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para shahabat di atas itu sangat banyak tersebar di kitab-kitab hadits Ahlussunnah sendiri, seperti: Ibnu Katsir dalam al-Bidaayah dan al-Nihaayahnya, 6: 230; Ibnu Hajar, dalam Tahdzibnya, 2: 346, dan al-Shawaa’iqnya, hal: 191; Mizaanu al-I’tidaal, 1: 8; Ibnu Atsir dlm Jaami’u al-Ushuul, 2: 13; Ibnu Maajah dlm Sunannya, 2: 289; al-Mustadrak, karya Hakim, 4: 398; Baihaqiy, dalam Dalaailu -al-Nubuwwahnya, 6: 468; Thabariy, dalam Dzakhairu al-’Uqbaanya, hal: 147; Thabraniy dalam al-Mu’jamnya, 3: 109, no: 2821, 23: 252-253; al-Tirmidziy dalam Jaami’u al-Shahiih, 5: 620; Thabaqoot Ibnu Sa-ad, hal: 48; Majma’u al- Zawaaid, 9: 187; Musnad Ahmad bin Hambal, 2: 60; Ibnu Maghaziliy dalam Manaqibnya, hal: 397; Suyuthiy dalam Khashoishnya, 2: 451-452; Tarikh al-Dzahabi, 3: 10, 11, 13: 655; Kanzu al-’Ummal, 7: 106, 12: 126, 13: 111; dll.. 

Ini semua hanya sebagian kecil dari alamat-alamat hadits di atas. 

2- Malaikat Hujan Memberi Nabi SAWW Tanah Karbala. 

Hadits tentang turunnya malaikat Hujan as. ini hampir sama dengan peristiwa turunnya malaikat Jibril as. di atas. Kami hanya akan menyebut sebagian perawinya dan alamatnya. Turunnya malaikat ini menambah pentingnya peristiwa terbunuhnya imam Husain as. dan tanah Karbala ini. 

Perawinya adalah shahabat Anas bin Malik dan Abi al-Thufail. 

Alamatnya di Musnad Ahmad bin Hambal, 3: 242, 265; Ibnu Katsiyr dlm al-Bidaayah wa al- Nihaayahnya, 6: 229; Suyuuthiy dlm al-Khashaishnya, 2: 450; Dzahabi dlm Taarikhnya, 3: 10; Thabari dm Dzakhaairi al-’Uqbaanya, hal: 146; Thabraniy, dlm Mu’jamnya, 3: 106; Qurthubiy, dlm al-Tadzkirahnya, hal 563; Daailu al-Nubuwwah, hal: 202; Ibnu al-Maghooziliy, dlm al-Manaaqibnya, hal: 376; dll. 

3- Malaikat dari Langit yang Tinggi Memberi Nabi Tanah Karbala 

Di antara salah satu riwayat hadits tentang turunnya malaikat ini diceritakan bahwa ia belum pernah menziarahi Nabi SAWW dan sangat ingin melakukannya. Setelah mendapat ijin dari Allah, iapun diperintah untuk mengabari Nabi SAWW bahwa cucunya Husain akan dibunuh umatnya. Akhirnya si malaikat tadi mengadu kepada Allah sebab setelah ia bahagia mendapat ijin bertemu Nabi SAWW ia mesti membawa kabar duka itu. Tapi Allah tetap memerintahkannya turun, dan iapun mentaatinya. 

Perawi hadits ini adalah ‘Aisyah, Ummu Salamah dan al-Musawwir bin Makhramah. 

Hadits-haditsnya dapat dijumpai di: Musnad Ahmad bin Hambal, 6: 294; Thabraniy, dlm Mu’jamnya, 3: 107; Tariykh Ibnu ‘Asaakir, hal: 177; Dzahabi dlm Taarikhnya, 3: 10; Ibnu Katsir dlm al-Bidaayah wa al-Nihaayahnya, 8: 199; Suyuuthiy dlm al-Haaik fi Akhbaari al-Maaik, hal: 44; Kanzu al-’Ummaal, 13: 113: al-Haitsamiy, dlm Majma’nya, 9: 187; dan lain-lain.. 

4- Malaikat Laut Memberi Nabi SAWW Tanah Karbala 

Riwayat ini datang dari Syarahbiyl bin Abi ‘Aun. Ia berkata bahwa malaikat laut yang bernama al- Faraadiys ketika turun ke laut berteriak: “ Wahai makhluk laut, hendaknya kalian memakai baju kesedihan karena anak Muhammad akan terbunuh dan disembelih “. Kemudian ia mendatangi Nabi SAWW dan mengabarinya akan hal itu sambil memberikan tanah Karbala. Lalu Nabi SAWW menangis sambil menciumi tanah tersebut. 

Hadits ini ada di Maktalu al-Husain karya al-Muwaffaq bin Ahmad al-Khurazamiy al-Hanafiy, 1; 162, ia menukil dari Taariykh Ibnu A’tsam al-Kuufiy. 

5- Semua Malaikat Memberi Nabi SAWW Tanah Karbala 

Riwayat ini memiliki alamat yang sama dengan point no: 4 di atas ini, yaitu di Maktalu al-Husain karya al-Khurazamiy seorang ulama Ahlussunnah bermadzhab Hanafiy. 

Diceriterakan dalam riwayat yang panjang bahwa: 

.......... Ketika Husain berumur satu tahun penuh, datanglah dua belas malaikat kepada Nabi SAWW dalam bentuk yang bermacam-macam. ......... Mereka berkata kepada beliau: Wahai Muhammad akan terjadi kepada anakmu Husain apa yang terjadi pada Haabiyl (Habil putra nabi Adam as. red.) ........ 
.... .... Kemudian datang seluruh malaikat langit mengucapkan ta’ziah ( bela sungkawa ), mengabarkan tentang pahalanya dan memberikan tanah Karbala kepadanya “. 

Komentar

1. Semua hadits yang kami nukil ini adalah hadits-hadits Ahlussunnah Waljamaah, dan tak satupun dari hadits Syi’ah, sekalipun banyak juga terdapat di sana.

2. Berulangnya dan beragamnya pengkabaran tentang akan terbunuhnya imam Husain as. dan pemberian tanah Karbala oleh para malaikat itu menunjukkan pentingnya peristiwa tersebut, bukan menunjukkan pertentangannya sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang seperti Doktor Muhammad Khaliyl Haros. Sebab, imam Husain as. adalah salah satu imam dua belas yang makshum yang syahidnya paling menyedihkan dari imam-imam lainnya. 

Pentingnya keimamahan ini sama dengan pentingnya kenabian nabi Muhammad SAWW. itu sendiri. Sebab tanpa imam-makshum, maka lenyaplah apa yang dikatakan Islam asli, murni, seratus persen, Shirathulmustaqim, hakiki dan sempurna. Oleh karena itu tidak percuma kalau Nabi SAWW bersabda: 

“Barang siapa mati dan ia tidak tahu imamnya ( tidak baiat pada imamnya ), maka matinya sama dengan matinya orang-orang jahiliyah“ ( Shahih Bukhori, bab: Fitan, 5: 13; Shahih Muslim, 6: 21-22/ 1849 ). 

Tentu, imam atau pemimpin di sini bukan sekedar pemimpin. Tapi pemimpin yang makshum dan bersih dari segala dosa dan kesalahan yang dijamin oleh Allah dan Nabi SAWW sendiri melalui al-Qur'an dan hadits-hadits yang shahih. Sebab adanya pemimpin yang tidak tahu Qur'an seratus persen bukan hanya tidak akan pernah menjaga Islam yang Mustaqim/lurus, tapi ia malah akan merusak Islam itu dari dalam dan atas nama Islam itu sendiri. Oleh karena itu Nabi SAWW telah banyak menitipkan hal keimamahan ini di samping hadits di atas itu. Seperti: 

"Setelah aku ada dua belas pemimpin, semuanya dari Quraiysy “ ( Shahih Bukhoriy, 4: 164, bab: Istikhlaaf; Shaih Muslim, 2: 119, kitab: Imaaroh; dan lain-lain yang banyak sekali ) 

Dan seperti (+/-): “Kutinggalkan dua perkara, kitab Allah dan keluargaku dimana keduanya tidak akan berpisah sampai berjumpa aku di Haudh ( telaga di surga, tidak berpisahnya keduanya itu menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah keluarga yang suci dan makshum, bukan sembarang keluarga dan keturunan, red. )“ ( Hadits seperti ini dan yang serupa, dapat dijumpai di Shahih Muslim, 2: 362; tafsir Ibnu Katsiyr, 4: 113; Thabariy dlm Dzakhooiru al-’Uqbaanya, hal: 16; Musnad Ahmad bin Hambal, 3: 17, 26, 59, 4: 366, 371; tafsir al-Durru al-Mantsuur, 2: 60; tafsir Khoozin 6: 102; Kanzu al-”Ummaal, 1: 158, 799; dan lain-lain dari puluhan kitab-kitab Ahlussunnah dimana di sana diriwayatkan oleh 35 orang shahabat ). 

Dan seperti (+/-): “Ya... Jabir, sesungguhnya pengganti-penggantiku dan para pemimpin umatku setelah aku ada dua belas orang. Yang pertama Ali, kemudian anaknya Hasan, kemudian saudara Hasan yaitu Husain, kemudian anak Husain yang bernama Ali yang dijuluki Zaina al-’Abidin dan setelah itu anak Ali ini yang bernama Muhammad yang dijuluki Baqiru ‘Ilmu al-Nabiyyiyn, kemudian anak Muhammad ini yang bernama Ja’far yang dijuluki al-Shoodiq, kemudian anak Ja’far ini yang bernama Musa yang dijuluki al-Kaazhim, kemudian anak Musa ini yang bernama Ali yang dijuluki al-Ridha, kemudian anak Ali ini yang bernama Muhammad yang dijuluki al-Taqiy, kemudian anak Muhammad ini yang bernama Ali yang dijuluki al-Naqiy, kemudian anak Ali ini yang bernama Hasan yang dijuluki al-’Askari, kemudian anak Hasan ini yang bernama Muhammad yang dijuluki al-Mahdi. Ketahuilah bahwa yang terakhir ini akan ghaib dalam waktu yang sangat lama sekali sehingga orang untuk mengimaninya terasa berat, lalu setelah itu ia akan keluar untuk meratakan keadilan di muka bumi setelah dipenuhinya dengan kezhaliman “. 

Jabir bertanya: “ Apakah bermanfaat ketika imam Mahdi itu ghaib?” 

Rasul SAWW menjawab: “Tentu. Ia akan tetap memberikan manfaat seperti matahari yang tertutup awan“ ( Yannabi’u al-Mawaddah, karya al-Qanduuziy al-Hanafiy, 3: 170, bab: 93; dll hadits yang banyak sekali, lihat juga buku kami Imam Mahdi menurut Ahlussunnah ). 

Pembaca budiman, ketahuilah bahwa Islam bisa bertahan bukan karena bertahannya al- Qur'an saja. Sebab, bertahannya al-Quran yang tidak dipahami seratus persen oleh umatnya atau setidaknya salah satu umatnya, tidak akan bisa memberikan banyak manfaat dilihat dari sisi kemurnian ajaran Islam yang diamalkan oleh umatnya. 

Ia ( Qur'an ) memang tanda Islam yang sejati dan murni yang tidak bisa diragukan lagi. Tapi ia tidak akan pernah menjamin penganutnya kalau mereka tidak memahaminya dan mengamalkannya persis sebagaimana Nabi SAWW memahami dan mengamalkannya. Oleh sebab itu, tidak adanya imam makshum yang dijamin Tuhan dan Nabi SAWW setelah masa beliau, pertanda tidak bertahannya Islam murni yang dikatakan Shiroothu al-Mustaqiym tersebut. Karena itu tidak heran kalau Nabi SAWW bersabda: 

"Husain dari aku dan aku dari Husain“ ( lihat alamat di atas ) 

Untuk memahami bahwa imam Husain as. dari Rasulullah SAWW sangat mudah, karena imam Husain as. putra Fathimah as. dan beliau putri Nabi SAWW. Dan Nabi SAWW bersabda yang maknanya : 

"Semua keturunan dari ayahnya kecuali keturunanku dan keturunan nabi Ibrahim as. yang dari Maryam“ 

Maka dari itu putra-putra Fathimah terhitung putra/cucu Nabi SAWW dan nabi Isa as. terhitung putra/cucu nabi Ibrahim as. ( QS: 6: 83-85 ). 

Begitu pula, kalau kita lihat diri sisi agama. Sebab sudah tentu bahwa Islam imam Husain as. dari Rasulullah sebagai perantara Tuhan kepada seluruh umat manusia dimana termasuk imam Husain as. sendiri. 

Tapi bagaimana memahami bahwa Nabi SAWW dari imam Husain as.? Untuk menjawab hal ini tidak mudah. Salah satu jawaban yang umum dari pertanyaan tersebut berkenaan dengan pembahasan kita di sini. Yaitu, bahwasannya munculnya kembali agama Nabi SAWW yang murni, dari imam Husain as. 

Maksudnya, setelah Nabi SAWW wafat agama mesti dipegang dan dipimpin oleh orang makshum dengan alasan di atas. Sementara dua orang makshum sebelumnya, imam Ali as. dan imam Hasan as. disia-siakan oleh umat Nabi SAWW sendiri. Sampai suatu hari kepemimpinan umat dipegang oleh orang yang semua muslim tahu bahwa ia adalah pemabuk, pembunuh, keji, ........ dan seterusnya. 

Ia adalah Yazid bin Mu’awiyah. Kejadian besarnya saja, pada tahun pertama kekhilafaannya, ia membunuh imam Husain as. dan sekitar dua puluh tiga cucu dan karobat Nabi SAWW yang lain, serta sekitar lima puluh shahabatnya yang diantaranya shahabat Nabi SAWW; tahun ke dua menyerbu Mekkah sehingga Mekkah banjir darah dan Ka’bah sempat retak karena meriam Yazid ini; tahun berikutnya menyerbu Madinah dan menghalalkan semua yang ada, sehingga dikatakan dalam kitab-kitab sejarah bahwa pada tahun itu lahir sekitar tujuh puluh ribu anak haram yang diakibatkan pemerkosaan tentara Yazid. Entah berapa ribu dari shahabat-shahabat Nabi SAWW yang terbunuh ditangan pemerintahan Yazid ini. 

Walhasil, padajamankeimamahanimam Husain as. dimanabertepatandenganpemerintahan Yazid ini, Islam betul-betul terancam sirna sama sekali, sehingga bukan saja Islam seratus persen, Islam lima persen saja terancam sirna. Sebab semua shahabat atau tabi’iyn yang baik pasti terancam pembunuhan dan/atau penjara, sehingga tidak akan tersebarkan agama Islam kecuali yang telah diselewengkan. 

Di sinilah imam Husain as. sebagai salah satu makshum, memiliki peranan penting untuk menolong Islam sehingga tidak terancam sirna. Yaitu dengan bangkit menentang Yazid dengan pedang sekalipun tidak memiliki penolong kecuali sekitar tujuh puluh tiga orang atau lebih ( kalau dilihat dari yang terbunuh di luar Karbala ). 

Sekalipun dalam perhitungan bisa saja muslimin membantu imam Husain as. karena beliau keluarga-Suci Nabi SAWW ( bukan sekedar keluarga atau cucu saja ), dan bisa saja orang yang memeranginya berbalik membantunya ( bertaubat ), tapi tidak mustahil pula bahwa mereka tetap nekad memilih dunia ketimbang akhirat. 

Namun demikian, imam Husain as. meneruskan perjuangannya dan tidak gentar sedikitpun. Kalau kemungkinan pertama yang terjadi, maka lenyaplah pemerintahan zhalim yang mengancam sirnanya Islam. Tapi kalau kemungkinan ke dua yang terjadi, maka imam Husainpun akan tetap memetik kemenangan dari kebangkitannya itu. 

Yang dimaksud kemenangan dalam kemungkinan ke dua di atas adalah, terang-terangannya cucu Nabi SAWW dibantai di Karbala dimana akan menyebabkan mata semua orang terbelalak dan akan bangun dari tidurnya. Kalau imam Hasan as. ( cucu-Suci Nabi SAWW ) dibunuh dengan taktik racun oleh Muawiyah melalui istri imam Hasan as. sendiri, dengan janji akan dikawinkan dengan Yazid yang kala itu sebagai putra mahkota, sehingga karena taktiknya itu orang-orang tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi dibalik terbunuhnya imam Hasan as. itu, tapi terbunuhnya imam Husain as. yang keluar rumah dan menjemput lawan di medan terbuka ( padang pasir Karbala ), tidak akan bisa ditutup-tutupi. 

Oleh karena itu setelah peristiwa terbunuhnya imam Husain as., keluarga dan shahabat- shahabatnya, dimana para perempuan dari keluarga mereka dirantai, disandra dan diarak dari Irak sampai ke Suria ( khususnya keluarga imam Husain as. dan cucu serta karobat Nabi SAWW yang lain ), dimana kepala imam Husain as. dan dua puluh tiga cucu dan karobat Nabi SAWW yang lain dipancung, ditancapkan di atas tombak dan diarak dari Irak sampai ke Suria ( istana Yazid ) bersama tawanan-tawanan itu, maka umat Islam jadi terkejut, gempar dan terjungkal dari tidurnya. 

Sehingga timbullah kebangkitan-kebangkitan Islam di mana-mana menentang kezhaliman kerajaan dimana pada akhirnya mereka pada bertumbangan. Baik yang di tangan Bani Umayyah ( keturunan/keluarga Umayyah ) atau yang di tangan Bani Abbas. 

Tujuan imam Husain as. bukan hanya tumbangnya kerajaan-kerajaan itu. Sebab semua itu terhitung kecil dan bukan tujuan asli. Ia hanya merupakan sampingan saja. Tujuan yang sesungguhnya adalah membuat muslimin tahu mana yang Islam dan mana yang bukan; mana ajaran Nabi SAWW dan mana yang bukan; mana ajaran murni dan mana yang bukan; mana yang mesti dimengerti dan dipertahankan dengan segala upaya dan mana yang bukan. 

Ringkasnya, tujuan imam Husain as. adalah mempertahankan Islam Nabi SAWW yang murni dimana telah banyak mengalami penodaan dan penyelewengan. Sudah tentu sekalipun mesti dengan kesyahidan beliau. Sungguh tujuan itu tergambar dalam ucapan beliau sendiri yang mengatakan: 

"Seandainya agama kakekku tidak lurus kecuali dengan terbunuhnya aku, maka wahai pedang- pedang, ambillah aku“ 

Inilah yang dikenal dengan “ Menangnya Darah Atas Pedang “. Dengan demikian, kalau diri/ darah dan agama imam Husain as. dari Nabi SAWW, di sini tegaknya atau lurusnya kembali agama Nabi SAWW adalah dengan imam Husain as. 

Nah, peristiwa besar yang memiliki peranan yang sangat penting seperti di atas ini, sudah tentu mesti diagung-agungkan sekalipun peristiwa itu belum terjadi. Sebab tujuannya menyadarkan kaum muslimin akan Islam yang seratus persen dimana sedang mengalami ancaman sirna, bukan menang atas kerajaan. Apalagi kalau Nabi SAWW sendiri yang memberitakannya, itupun secara berulang-ulang. Atau malaikat Jibril as. dan para malaikat yang lain, itupun secara berulang-ulang. Atau Allah melalui para malaikatnya itu, itupun secara berulang-ulang. 

Dengan perincian ini dapat dimengerti bahwa perbedaan hadits yang banyak mengenai pemberitaan akan terbunuhnya imam Husain as. dan pemberian tanah Karbala kepada Nabi SAWW itu, tidak menunjukkan perbedaan yang membawa kepada kelemahan hadits tersebut. Tapi justru menunjukkan kepada kejadian yang berulang-ulang di berbagai waktu dan tempat serta melalui berbagai malaikat, demi mengagungkan peristiwa tersebut karena tetapnya Islam yang murni tergantung kepada peristiwa itu. 

Maka dari itu tidak heran kalau dalam berbagai hadits, kita dapat menjumpai bahwa para nabi terdahulu seperti Nuh as., Ibrahim as., dllnya memberitakan peristiwa Karbala tersebut. Mengapa tidak heran? 

Sebab peristiwa itu berfungsi persis seperti fungsi yang dikandung dalam peristiwa per- mulaan turunnya Islam dan kenabian nabi Muhammad SAWW sendiri. Karena kedua-duanya berfungsi sebagai tegaknya dan tersebarnya Islam yang lurus seratus persen yang dijamin Allah dan Nabi SAWW sendiri. 

Nah, kalau kita tidak heran bahwa turunnya Islam di masa datang dan akan datangnya nabi besar dan nabi terakhir yang bernama Muhammad SAWW diberitakan oleh para nabi sebelumnya, mengapa kita heran bahwa peristiwa besar yang dapat mempertahankan agama terakhir itu diberitakan juga oleh mereka as.? 

3. Berulangnya pemberian tanah Karbala kepada Nabi SAWW oleh beberapa malaikat dan bah- kan pemberian yang dilakukan oleh semua malaikat, tidak membuat kota Karbala itu lenyap. Dan pengulangan itu tidak lain menunjukkan keutamaan dan fadhilah tanah Karbala. 

Mungkin ada yang berfikir bahwa kalau semua malaikat memberi Nabi SAWW tanah Karbala, sementara jumlah mereka tidak terhitung karena banyaknya, sebagaimana difirmankan Tuhan : “Tidak ada yang tahu jumlah tentara Tuhanmu kecuali Dia“ ( QS: 74: 31 ), maka sudah pasti bahwa tanah kota Karbala itu akan lenyap sampai ke inti buminya sekalipun. 

Untuk membatalkan pikiran seperti ini kita mesti ingat bahwa setiap sesuatu itu memiliki unsur lahir atau materi dan memiliki unsur batin atau ruh atau hakikat kehidupan. Sebab, sebagaimana di buletin-buletin terdahulu sering dibahas, bahwa setiap materi tidak akan mampu mengatur dirinya walaupun sekedar putaran atomnya dari setiap wujud materi. Putaran proton atas netron yang tidak pernah berubah baik dari segi jarak atau kecepatan, menunjukkan adanya kehidupan ruhani atau non-materi. 

Oleh karena itu Tuhan berfirman: 

“Bertasbih kepadaNya langit yang tujuh dan bumi dan yang ada di antara mereka. Sungguh tak satupun dari keberadaan kecuali bertasbih dengan memujaNya akan tetapi kalian tidak mengerti tasbih mereka itu. Sungguh Ia Maha Penyantun dan Maha Pengampun“ ( QS: 17: 44 ). 

Sebagian orang mengartikan bahwa tasbihnya binatang, pepohonan, bumi, bebatuan, air, matahari, bulan, ........ dan seterusnya dari selain manusia itu adalah bergerak dan berputar sesuai dengan hukum alam. Tafsiran semacam ini jelas tidak benar. Sebab, dalam ayat itu diterangkan bahwa kita tidak mengetahui tasbih mereka itu. Sedang kita mengetahui bahwa gerak air dari atas ke bawah, kalau terkena panas menguap, kalau terkena dingin sampai ke titik bekunya ia akan membeku, dan lain-lain adalah termasuk dari hukum air. Begitu pula, kita tahu hukum-hukum alam yang lain daripada air itu. 

Mereka ini menafsir sesuka hati dan menyesuaikan ayat-ayat Tuhan dengan akalnya yang sangat pendek. Sehingga mengingkari kehidupan semua wujud yang diciptakan Allah. Yakni mengingkari wujud ruh atau non-materi dari setiap benda yang nampak mati seperti batu, bumi, air dan lain-lainnya itu. Padahal Tuhan berfirman: 

“Tak satupun dari binatang yang melata di muka bumi dan burung-burung yang berterbangan dengan sayap-sayapnya kecuali umat seperti kalian juga, dan Kami tidak meluputkan sesuatupun di dalam al-Kitab ( Qur'an ), kemudian mereka itu akan dikembalikan kepada Tuhan mereka“ (QS: 6: 38 ). 

“Kemudian Ia ( Allah ) berfirman kepadanya ( langit ) dan bumi: Datanglah kalian dengan suka rela atau terpaksa. Mereka berkata: Kami datang dengan suka rela“ (QS: 41: 11). 

Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami dengan jelas bahwa apapun benda materi yang ada ini, apakah ia manusia atau batu dan benda mati, semua dan semua memiliki ruh-kehidupan. Ini bukan animisme, tapi kenyataan yang dipaparkan al-Qur'an. Dan nanti, di akhirat, mereka semua akan menyaksikan perbuatan manusia di depan Tuhan, sebagaimana kulit-kulit kita. 

Dengan penjelasan yang pendek ini dapat disimpulkan bahwa setiap benda memiliki ruh, baik benda yang kelihatan hidup atau mati. 

Dan pembaca tahu bahwa yang namanya ruh itu adalah wujud non-materi. Sebab materi sebagaimana materi, tidak dapat mengetahui, mendengar dan berbicara apalagi bertasbih. Manusia, binatang, pepohonan yang ditinggalkan ruhnya, mereka tidak bisa lagi melakukan apa-apa yang bisa dilakukan seperti semasa mereka masih hidup atau memiliki ruh. Begitu pula dengan air atau bebatuan dan benda-benda yang kelihatan mati lainnya, sekalipun kita tidak mengetahui dan merasakannya. 

Memang, bisa saja setiap benda yang kelihatan mati itu hanya akan mati sewaktu hari Qiamat nanti, sehingga sekarang mereka tidak akan mati sekalipun dibakar, dihancurkan dan seterusnya. Seperti batu yang dijadikan semen, air yang diuapkan, tanah yang dibakar dan menjadi bata,...... dan seterusnya. Namun yang jelas, menurut ayat Tuhan dan akal-filsafat, semuanya itu memiliki ruh kehidupan sendiri-sendiri. 

Kalau semua itu telah dipahami, maka kita akan mudah memahami pernyataan yang mengatakan bahwa semua malaikat memberi tanah Karbala kepada Nabi SAWW. Kita tidak akan bingung mendengar pernyataan ini. Sebab, kita tahu bahwa malaikat adalah wujud non-materi, dan ketika turun ke Nabi SAWW turun kepada Ruh-Nabi SAWW yang juga non- materi yang mana seringnya dikatakan di dalam hadits-hadits atau ayat sebagai Hati-Nabi SAWW ( Lihat QS: 2: 97, dimana dikatakan bahwa malaikat Jibril as. turun ke hati Nabi SAWW), maka jelas sekali bahwa kalau malaikat itu memberikan tanah Karbala kepada Nabi SAWW adalah hakikat tanah tersebut, yakni ruh atau wujud non-materinya. 

Memang, terkadang malaikat menjelma dalam bentuk dhahir dan materi dengan ijin Allah. Seperti dikala malaikat Jibril as. datang kepada Nabi SAWW dalam bentuk manusia dan menanyakan kepada Nabi SAWW tentang Islam dan iman serta ihsan, di depan para shahabat, sebagaimana sering hadits ini dinukil dalam buku-buku atau ceramah-ceramah. 

Tapi ingat! bahwa hal itu bukan bentuk dan hakikat Jibril as. yang sesungguhnya. Sebab, bentuk sesungguhnya hanya bisa dilihat Nabi SAWW dengan mata hatinya, baik di gua Hiro’ atau di Mi’roj beliau. Yang biasanya malaikat Jibril as. dilukiskan dalam bentuk bersayap dan semacamnya. Di mana kalau dalam filsafat bentuk inipun merupakan bentuk Barzakhnya atau Mitslanya, bukan materi-kasar. Yakni bentuk yang tidak bermateri-kasar, yakni non-materi yang paling bawah, yakni non-materi yang masih memiliki sifat materi, yakni non-materi yang berada di bawah Akal-Pelaku, .....dan seterusnya. (lihat buletin-buletin terdahulu). 

Dengan penjelasan di atas ini, maka sebanyak apapun tanah Karbala yang diberikan malaikat kepada Nabi SAWW., tidak akan pernah menggangu tanah Karbala yang berupa materi-kasar yang berada di kota Irak itu, ini yang pertama

Yang ke dua, sebanyak apapun tanah yang diberikan kepada Nabi SAWW tidak akan pernah mengurangi ruh dari tanah Karbala tersebut. Sebab, yang namanya materi tidak bisa dibatasi dengan ruang dan waktu, sehingga ia berkurang atau tambah kecil. Karena besar-kecil, bertambah-berkurang, hanyalah hal-hal yang bisa terjadi pada materi-kasar yang dibatasi dengan ruang atau volume. Begitu pula halnya dengan tanah yang ada di tangan-ruh Nabi SAWW ketika menerimanya, bukan di tangan badan-materinya.. 

Yang ke tiga, memang, terkadang malaikat dengan ijin Allah memberikan kepada Nabi SAWW tanah Karbala yang berupa materi kasarnya, seperti yang dititipkan ke Ummu Salamah di atas ( lihat riwayat Ummu Salamah di sub judul: Fadhilah Tanah Karbala ). Tapi riwayat lainnya kebanyakan adalah jelmaannya saja sebagaimana ketika malaikat Jibril as. menjelma dalam bentuk manusia sehingga kelihatan oleh banyak orang selain Nabi SAWW, Allahu a’lam. 

Kalau pembaca sudah tidak memiliki masalah dengan hal di atas, maka tinggal satu, yaitu buat apa pemberian itu berulang-ulang? Kalau pengulangan pengkabaran tentang terbunuhnya imam Husain as. sudah jelas, yakni demi mengagung-agungkan masalah itu demi bertahannya Islam yang murni, tapi pengulangan pemberian tanahnya bermaksud apa? 

Untuk menjawab hal ini memang hanya Allah yang berhak, karena Ia-lah yang tahu segalanya. Tapi yang jelas kita dapat memperkirakan bahwa di balik peristiwa itu ada sesuatunya yang penting yang berkenaan dengan tanah tersebut. Sebab Tuhan tidak akan melakukan atau mengijinkan malaikat-malaikatnya melakukan sesuatu kecuali ada hikmah dan fadhilah di baliknya. Hal ini saja sudah cukup untuk membuktikan FADHILAH TANAH KARBALA. 

Dengan demikian apakah salah orang-orang Syi’ah bertabarruk dengan tanah Karbala itu untuk dijadikan ALAS SUJUD SAJA dan bukan untuk disembah? Dimana Nabi SAWW dalam riwayat-riwayat Sunni di atas suka menciumnya, dan menangisi Husainnya setelah itu? Bukankah dengan ini berarti mencium tanah Karbala dan menangisi Husain as. menjadi Sunnah hukumnya? Bukankah Nabi SAWW menyuruh Ummu Salamah untuk menjaga dan menyimpan tanah tersebut sebagai amanat di sisinya? 

Di lihat dari hadits-hadits Ahlussunnah saja sudah cukup untuk membuktikan kebenaran dan KEBOLEHAN SUJUD DI ATAS TANAH KARBALA. Apalagi ditambah dengan hadits-hadits Syi’ah. Sebab di sana sesuai dengan ilmu-ilmu Islam Nabi SAWW yang diberikan kepada imam-imam dua belas yang makshum dan suci as., sujud di atas tanah Karbala itu bukan saja boleh sebagaimana sujud di atas tanah yang lain, tapi justru Sunnah hukumnya. Dan banyak sekali riwayat yang mengatakan bahwa tanah Karbala dapat menyembuhkan segala macam penyakit, baik penyakit dhahir atau batin, dan lain-lain. fadhilah yang lainnya. 

Sejarah Mesjid dan Sejadah-Kain 

Sebenarnya, masjid di jaman Nabi SAWW dan khalifah yang empat, lantainya tidak dihampari dengan kain/karpet, bahkan tidak juga dengan tikar-daun yang boleh disujudi. Hal ini bukan berarti tidak umum dan mereka tidak punya ide untuk itu, tapi karena tidak bolehnya sujud kecuali di atas tanah langsung dan menjaga sunnah Nabi SAWW yang wajib dicontoh serta menganggap perbuatan itu adalah bid’ah. Oleh sebab itu para shahabat kalau panas memilih menggenggam batu-batu kecil supaya dingin dan setelah sujud dijadikan alas sujudnya. Di sini kami akan menambahkan sedikit riwayat-riwayat Ahlussunnah yang lain yang berkenaan dengan dan menunjukkan bahwa masjid-masjid tidak dihampari kain/karpet dari kain dan bahkan tidak pula dari daun: 

Berkata Ibu Abbas: “ ........ Kemudian Rasulullah SAWW mendatanginya ( imam Ali as. ) di mesjid. Beliau menjumpainya tidur dan penutup punggungnya lepas/tersingkap sehingga punggungnya dipenuhi tanah. Lalu beliau sambil membersihkan tanah yang menempel di punggungnya itu beliau bersabda: Duduklah wahai Abu Turoob ( Ayah tanah, sejak itu imam Ali as. dijuluki Abu Turoob, red. ) “ ( Shahih Bukhari, 1: 92, kitab: Shalat, bab: Tudur di mesjid; dan di 5: 18-19, 8: 45, 8: 63; Shahih Muslim, bab: Fadhilah Ali bin Abi Tholib; Tarikh Thabari, 8: 28; dan lain-lain ). 

Berkata Abu al-Waliyd: “Aku bertanya kepada Ibnu ‘Umar bin Khoth-thob tentang permulaan melantai/menghampari mesjid dengan batu-batu kecil ( yakni di atas tanahnya, red. ). Ia ( Ibnu ‘Umar ) berkata: Pada suatu malam turun hujan dan ketika pagi kami keluar ke mesjid untuk melakukan shalat subuh. Salah satu orang ada yang melewati sungai yang banyak batu kecilnya, lalu ia membawa batu-batu kecil itu dengan bajunya dan dijadikannya alas dia shalat. Dan ketika Rasulullah SAWW melihatnya beliau bersabda: Betapa bagusnya bisaath ini. Itulah awal dari penghamparan tanah mesjid dengan batu-batu kecil itu“ ( Sunan Abu Dawud, kitab: al-Shalat, bab: membatui mesjid; Baihaqiy, dlm Sunan al-Kubro, 2: 440 ). 

Komentar: Hadits ini juga bisa menjadi dalil bahwa tidak semua kata Bisaathun atau Thinfasatun/ Thanfisatun bermakna hamparan permadani sekalipun kata-kata ini bisa dipakai untuk makna itu, khususnya pada jaman sekarang ini ( lihat kamus Arab-Indonesia, karya Mahmud Yunus ). Bahkan menjadi dalil bahwa kalau kedua kata itu dipakai dalam riwayat yang berkenaan dengan shalat dan alas shalat, maka akan bermakna Hamparan Batu-batu dan/atau Tikar-daun, bukan hamparan dari kain atau bulu binatang. 

Berkata Umar bin Khoth-thoob sewaktu memugar mesjid Nabawi: “Aku tidak tahu mesti kita hampari apa mesjid kita ini“. Ada yang berkata: “Hampari saja dengan tikar“. Ia berkata: “Ini adalah lembah yang diberkati ( maksudnya salah satu lembah yang ada di Madinah, red. ), sesungguhnya Rasulullah bersabda: Aqiq adalah lembah yang diberkati“ ( Samhuudiy, dlm Wafaa’ al-Wafaa’ Biakhbaari Daari al-Musthafaa, 1: 473 ). 

Berkata Hasan al-Bashriy: “ Suatu hari ‘Utsman bin ‘Affaan berpidato di depan kami ( maksudnya di mesjid dan di jaman khalifahnya). Lalu orang-orang memotong ucapannya itu dan melemparinya dengan batu-batu kecil ..... ( maksudnya yang ada di mesjid itu ) “ ( al-I’tishoom, karya al-Syaathibiy, 1: 64 ). 

Komentar: Di lihat dari hadits-hadits terdahulu dan yang baru saja lewat ini, dapat dipahami bahwa sampai ke masa para khalifahpun mesjid masih tidak dihampari permadani atau karpet dari kain, bahkan tidak pula dari tikar-daun sekalipun bisa dijadikan alas sujud sebagaimana maklum. Sedang aqiq yang dimaksud dalam riwayat khalifah Umar bin Khoth-thoob itu bukan batu aqiq yang sekarang umum dipakai. Tapi maksudnya batu aqiq yang masih berserakan di salah satu lembah yang ada di Madinah pada waktu itu dan belum tergosok halus sehingga layak dipakai cincin dan sebagainya. Jadi masih berupa batu-batu biasa. 

Oleh karena itu tidak heran kalau banyak yang menafsirkan ayat yang berbunyi “Mereka memiliki tanda bekas sujud di muka mereka“ ( QS: 48:29 ) dengan mengatakan bahwa di muka/dahi mereka ada bekas tanah atau pasir bekas sujud ke tanah. Lihat Tafsir Qurthubiy, 16: 293; Zubaidiy dlm Ittihaafu al-Saadati al-Muttaqiyn, 3: 31; dan lain-lain. ). 

Setelah pembaca ketahui semua itu, coba lihat apa yang dikatakan imam Ghozali dalam kitabnya Ihyaa-u ‘Uluumi al-Diyn, 1: 80: 

“Sesungguhnya dari dulu menghampari mesjid terhitung bid’ah. Dikatakan bahwa hal itu (meng- hampari mesjid) adalah dari bid’ahnya al-Hajjaaj, sebab orang-orang terdahulu jarang sekali yang menjaraki antara dahinya dengan tanah (maksudnya di rumah-rumah mereka dan dengan tikar daun, dan kalaulah dengan kain-baju tapi kalau berhalangan sebagaimana maklum, red.)“. 

Komentar: Hajjaaj adalah salah satu gubernur kerajaan/kekhalifaan Bani Umayyah. Ia pernah dijadikan panglima perang menghancurkan pemerintahan Abdullah bin Zubair yang memerintah di Mekkah kala itu dan melempar peluru-peluru api ( buntalan yang dibakar ) dengan Manjaniq ( meriam masa itu ) ke Ka’bah dan menjadikannya rusak. Ia ( Hajjaaj ) disifati oleh banyak ahli sejarah Sunni dengan Kejam dan Penumpah darah ( Muruuju al-Dzahab, karya Ma’uudiy, 3: 91; dan lain-lain ). Mas’uudiy menambahkan dalam Muruujnya itu di 3:166-167, bahwa selama Hajjaaj jadi gubernur Irak ia membunuh 120.000 orang muslim di selain perang, dan ketika ia mati dipenjaranya masih ada 50.000 muslimin dan 30.000 muslimat dimana 16.000 mereka dipenjara dengan keadaan telanjang. Ia pernah menyiksa dengan membakar tangan shahabat seperti Jaabir bin ‘Abdullah al-Anshariy, Anas bin Malik dan Sa-ad bin Saa’idiy ( Taarikh Ya’quubiy, yang disyarahi Sayyid Muhammad Shadiq, 3: 27-29; Muhammad bin Sa-ad dalam Thabaqootu al-Kubro, 5: 220; al-Kaamilu fi al-Taariykh, karya Ibnu Atsiyr, 4: 359; dan lain-lain ). 

Sampai di sini sejarah mesjid dapat diketahui, bahwa dari jaman Nabi SAWW sampai dengan jaman sebelum Hajjaaj jadi gubernur dari kerajaan Bani Umayyah yaitu ‘Abdulmalik bin Marwan, raja ke lima dari raja-raja Bani Umayyah ( berkuasa th. 65-86 H ). Baru setelah masanya itu mesjid dihampari dengan tikar, sekalipun masih berupa tikar-daun. Itupun masih sebagiannya saja, yakni di kota ia berkuasa. Sedang di kebanyakan masjid muslimin dunia masih memakai batu-batu kerikil atau tanah. Oleh karena itu berkata Sakhoowi dalam kitabnya al-Tuhfatu al-Lathiyfatu, 1: 376, bahwa mesjid-mesjid sampai dengan tahun 131 H. atau 132 H. tetap memakai tanah atau batu-batu kecil ( kerikil ), sampai pada akhirnya mesjid Nabawi dihampari dengan batu-batu sungai ( Rodhroodh ). 

Sedang sejarah sejadah dapat diketahui dari Ensiklopedi Islam yang berjudul Daairatu al-Ma’aarifi al-Islaamiyah 11: 275, yang menuliskan ( di sini kami akan menukil yang berhubungan dengan sejadah ini dan rinciannya bisa dilihat sendiri di sana ): 

" Kata Sajjaadatun ( sejadah ) tidak dapat ditemui di ayat-ayat Qur'an atau di kitab-kitab hadits shahih ( maksudnya kitab hadits Shahih yang enam, red. ). ..... ......... Kata ini dapat dijumpai seabad setelah masa penulisan Hadits shahih yang enam. .. .. .. .. Dinukilkan dari Ibnu Bathuuthoh di dalam kitab Rehlatu Ibnu Bathuuthoh 1: 72-73, bahwa ia mengatakan bahwasannya orang-orang pinggiran kota Cairo Mesir, terbiasa menampakkan diri ketika pergi untuk menunaikan shalat Jum’at. Sebab, masing-masing pembantu mereka membawakan dan menghamparkan sejadah untuk shalat mereka. Ibnu Bathuuthoh mengatakan bahwa sejadah mereka terbuat dari pelepah pohon kurma. Dikatakan bahwa setiap orang dari penduduk Mekkah pada jaman sekarang shalat di mesjid jami’ dengan sejadah. Orang-orang yang pulang haji banyak membawa sejadah buatan Eropa yang bergambar dan mereka tidak perhatian terhadap gambarnya ( ? ) .. .. .. . .. .... Sejadah masuk ke Mesir diinport ( juga ) dari Asia-kecil, untuk dipakai shalat oleh orang-orang kaya dimana di dalamnya digambari mihrob yang mengarah ke Kiblat. ... ... “. 

Berkata Murtadho al-Zubaidiy, pengarang Taaju al-’Aruus Bisyarhi al-Qoomuus ( beliau wafat tahun 1205 H. ) di dalam kitabnya yang berjudul Ittihaafu al-Muttaqiyn Bisyarhi Ihyaa-i ‘Uluumu al-Diyn, 3: 201 ( kitab yang menerangkan atau mensyarahi kitab Ihyaa’ milik imam Ghozaliy ): 

“Sebab ke tujuh: Hendaknya menjauhi shalat di atas permadani/sejadah yang dihiasi/digambari dengan warna-warni yang menyenangkan. Sesungguhnya hal itu membuat orang tidak khusyu’ dalam shalatnya dan memperhatikan warna-warna dan keelokannya. Kita telah terbala-i ( dapat bencana ) dengan permadani-permadani ( karpet/hambal ) dan bantalan-bantalan dari Roma yang dipakai di mesjid-mesjid dan rumah-rumah. Sehingga kebiasaan itu membuat orang yang shalat di tempat lain ( dari permadani/hambal itu ) dianggap sia-sia, tidak akhlak dan kurang beradap, laa haula walaa quwwata illa billah. 

Aku mengira dengan kuat bahwa semua ini akibat dari ulah orang-orang bule/barat semoga laknat Allah ke atas mereka. Sebab mereka telah memasukkan sesuatu ke dalam kaum muslimin sedang muslimin sendiri lengah terhadap hal itu. Lebih aneh lagi aku pernah melihat di suatu mesjid permadani/hambal/karpet yang bergambar. Di dalam gambar itu terdapat gambar salib ( inilah yang dimaksud oleh kitab Daairatu al-Ma’aarifi al-Islaamiyah di atas bahwa muslimin tidak perhatian terhadap gambar sejadah yang dari Eropa di atas, red. ). Oleh karena itu semakin besarlah terkejutku. Dan aku yakin bahwa semua ini dari kerjaan dan gangguan orang-orang Kristen, dan Allahu a’lam “. 

Komentar: Dari semua ini dapat diketahui bahwa kata sejadah ini baru dibuat seratus tahun setelah penulisan kitab hadits shahih yang enam. Itupun dikatakan kepada alas shalat yang dibuat dari tikar-daun, bukan kain. Sampai kira-kira selepas abad ke sepuluh Hijriyah barulah muslimin banyak yang memakai sejadah kain yang bergambar yang, tidak jarang mengandung salib. Khususnya orang-orang yang pulang dari haji. 

Padahal, kain dan hambal/permadani ada sejak jauh-jauh sebelum Rasulullah SAWW dan kakek- kakek beliau belum lahir ke dunia, maksudnya sangat jauh sebelum Rasulullah SAWW menjadi Rasul. Kalau shalat memakai permadani itu boleh, maka tidak mungkin Rasulullah melarang diri dan shahabatnya untuk memakainya dalam shalat. Atau menghamparkannya dalam mesjid dimana hal itu dapat memperindah mesjid, dan menjaga pengunjungnya dari kotoran tanah atau debu, terlebih lagi kalau ada yang mengunjungi beliau dari pembesar-pembesar utusan luar negeri atau pedagang-pedagang kaya. 

Subhanallah, semua itu tidak dilakukannya karena beliau tahu dari Allah bahwa hal itu adalah terlarang dalam Islam. 

Terserah Kepada Anda 

Setelah pembaca memperhatikan secara seksama tulisan kami ini, maka kini terserah kepada anda. Apakah anda masih akan memakai sejadah kain atau daun atau bahkan tanah dan batu- batu. Laa iqrooha fi al-diyn, tidak ada paksaan dalam beragama, apalagi berpendapat. 

Sekedar Anjuran 

Karena kami merasa wajib memberikan anjuran, kalaulah bukan nasehat, kepada saudara sesama muslimin, maka anjuran kami adalah pakailah alas shalat yang dibenarkan Islam di atas itu ( tanah, batu atau tikar-daun ). Setidaknya untuk alas dahi, dan setidaknya untuk kehati-hatian kalau anda tidak meyakini kewajibannya. Sebab shalat adalah tiang agama dimana kalau diterima maka akan diterima pula amal-amal yang lain, tapi kalau sebaliknya dan tidak diterima, maka amal-amal lain yang manapun tidak akan diterima oleh Allah. 

Kalau anda tidak mau, itu masalah anda. Tapi setidaknya, jangan katakan bahwa orang-orang Syi’ah menyembah batu atau menyembah Husain as.. Sebab Nabi SAWW bersabda: 

“Barang siapa mengkafirkan seorang muslim maka dialah yang kafir“ 

Kalau hadits ini memang betul-betul shahih sebagaimana diyakini banyak orang, dan anda mengatakan bahwa orang-orang Syi’ah menyembah batu/Husain as. padahal mereka menyembah Allah dengan sujudnya itu, dan justru meng-alaskan dahinya ke atas tanah, batu atau tikar-daun karena merasa diwajibkan olehNya melalui Nabi SAWW., maka posisi anda di hadapan Tuhan menjadi terancam sendiri. 

Kalaulah anda tidak mau menerima pendapat Syi’ah atau hadits-hadits di atas itu, setidaknya jagalah persatuan Islam dengan tidak saling ganggu, dan janganlah anda keluar dari pernyataan atau ayat yang mengatakan “ Tidak ada paksaan dalam agama “ ( QS: 2: 256 ). Kalau orang kafir saja tidak anda ganggu dengan keyakinannya itu, mengapa sesama muslim mesti saling ganggu? 

Sekian tulisan ini, semoga diterima Allah dan semoga diridhai Rasulullah SAWW dan keluarganya yang suci. Begitu pula semoga kekurangan dan kesalahannya dimaafkan dan ditutupiNya, amin, serta dimaafkan pula oleh para pembaca yang budiman, semoga.


Catatan Sebelumnya:



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ