Tampilkan postingan dengan label Irfan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Irfan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Agustus 2018

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 14)




by Sinar Agama (Notes) on Saturday, February 19, 2011 at 1:08 am


Abdul Azis Baeha: Assalamualaikum, Hamdalah Wa Shalawat. Semoga Ustad tetap dan selalu dalam keRidhaan Allah SWT...Izinkan ana bertanya Ustad tentang hakikat Ajaran Takwini dan pengaruhnya dalam ibadah kita keseharian...... 

Pertanyaan ana ini terilhami dari cerita anak ana yang baru duduk di kelas III SD, tentang perjalanan antara Nabi Allah Idris AS dan Nabi Allah Musa AS yang mengisahkan pembunuhan anak kecil karena diketahui akan durhaka kepada ke 2 orang tuanya kelak, pembocoran perahu seorang nelayan yang akan dicuri orang kelak, dan perbaikan dinding rumah di sebuah desa orang-orang sombong yang menyimpan harta karun di bawahnya. 

Dalam kisah ini tentu kesimpulan setiap orang akan berbeda sebagaimana kadar ilmu yang diperolehnya. Akibatnya anak saya yang masih kelas III itu menjadiakn Nabi Musa dalam posisi bodoh dan tidak tahu apa-apa tentang kejadian masa depan sebagaimana pengatahuan Nabi Idris. 

Demikian Ustad sementara ini, Syukron, Wassalam, Wa Shalawat. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

1. Peristiwa itu, antara nabi Musa as. dan nabi Khidhr as. 

2. Sudah berkali-kali saya terangkan di tulisan-tulisan sebelumnya bahwa Perjalanan Suluk itu ada 4 tingkatan: Dari Makhluq ke Khaliq; Dari Khaliq ke Khaliq; Dari Khaliq ke Makhluq Bersama Khaliq; Dari Makhluq ke Khaliq bersama Makhluq. 

3. Sudah diterangkan pula bahwa yang sudah menyelesaikan perjalanan 3, adalah terminal akhir untuk mencapai derajat 4 yang diistilahkan pula dengan Maqam Kenabian. Karena maqam 4 itu adalah maqam mengajak makhluk lain kepadaNya. 

4. Untuk mencapai derajat kenabian itu, tidak disyarati dengan apapun kecuali suluk dan amal serta makrifat. Jadi, lelaki atau perempuan, sebelum kenabian nabi Muhammad saww atau setelahnya, tua atau muda, tanpan atau tidak, cantik atau tidak, kaya atau miskin, dari keturunan yang baik atau tidak, punya keluarga baik atau tidak....dst, tidak mempengaruhi capaian suluk dan derajat-derajatnya. 

5. Tidak semua yang sampai ke derajat kenabian itu pasti diangkat menjadi nabi atau rasul. Karena maqam kenabian itu adalah maqam ikhtiari yang dicapai oleh manusia secara pribadi. Sementara pangkat kenabian atau kerasulan adalah maqam sosial dan dakwah untuk mengajak manusia kepadaNya dimana sudah tentu diharapkan keberhasilannya dimana pasti menuntut metodologi, cara-ara, alat-alat dan syarat-syarat yang standart. Karena itu maka untuk maqam kerasulan ini, tidak cukup ketinggian derajat seseorang secara pribadi. Tapi diperlukan syarat-syarat lainnya seperti badani, keluarga dan sosialnya. Tentu saja kenabian dan kerasulan yang diangkat Tuhan ini adalah yang mengajak manusia kepadaNya dengan formal. Sementara yang tidak diangkat menjadi rasul/nabi formal, ia tetap memiliki derajat kenabian itu dan tetap wajib mengajak manusia kepadaNya dengan cara-cara kasyaf/ ilham/wahyu-ilmu yang ia dapatkan, tapi bukan dengan wahyu syariat. 

6. Jadi maqam kenabian adalah hasil ikhtiar manusia, tapi pangkat kenabian dan kerasulan yang bermakna utusan Tuhan untuk mengajak manusia secara formal itu, adalah pemberian Tuhan. 

7. Orang yang sangat tinggi derajat suluknya, secara pribadi, kalau tidak memiliki syarat-syarat lainnya, seperti badannya standart, keluarganya juga demikian, dari keturunan yang juga standart, tidak pernah salah sebelumnya....dst, maka tidak mungkin diangkat menjadi rasul utusan yang formal. Karena kalau dijadikan, maka ia bukan saja tidak akan berhasil dalam dakwahnya, tapi akan membuat manusia mengejeknya, menertawakannya dan semacamnya, sekalipun dengan ketidakadilan, karena masalah-masalah badani tidak berhubungan dengan akhlak atau karena masalah-masalah yang tidak menyangkut dirinya secara langsung (seperti keluarga, orang tua...dan seterusnya). 

8. Ketidakpengangkatan Tuhan seorang yang tinggi secara pribadi untuk menjadi rasul itu, bukan didasarkan kepada ke-Adilan-Nya. Karena dari timbangan keadilan, yang menjadi tolok ukurnya adalah setiap individu dan akhlaknya atau nilainya sendiri secara langsung, bukan badani atau keluarga dan lingkungannya. Karena itu Tuhan berhak mengazab orang yang tidak menaati atau yang mencela rasul yang cacat badannya atau keluarganya. Karena hal- hal itu tidak menyangkut nilai dan syariat. Akan tetapi Luthf-Nya, atau ke-Lembutan-Nya atau Kasih Sayang dan RahimNya, tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi. Artinya sudah pasti dari tinjuan ke dua itu, Tuhan akan menghindarkan manusia dari yang mempermudah memaksukkannya ke neraka, dan akan mempermudah untuk memasukkannya ke dalam surga. Karena itu tidak mungkin pesuluk hebat yang cacat badannya, pernah berbuat salah sebelumnya, cacat keluarganya...dan seterusnya, tidak akan pernah diangkat menjadi utusan formalNya, sekalipun tetap merupakan utusan tidak formalNya. 

9. Setiap yang sampai ke derajat kenabian (Perjalanan 4, bukan formalnya), bahkan derajat Perjalanan Ke Tiga-pun, secara umum, adalah sama ilmu dalam hal-hal yang berhubungan dengan makhluk dan rahasia-rahasianya, begitu pula tentang nilai-nilai dan akhlak serta syariatnya. Misalnya mereka sama-sama tahu mengapa pohon itu seperti itu, syariat itu seperti itu, shalat itu seperti itu, manusia itu seperti itu... dan seterusnya. 

10. Perbedaan yang bisa digambarkan bagi mereka-mereka para pesuluk itu, hanyalah di tingkatan Perjalanan Ke Dua, yakni di Asma-asma Tuhan, sebagaimana juga sudah sering saya jelaskan, baik dari sisi jumlah Asma-asmaNya atau Keluasan capaian dari masing-masing Asma-asmaNya itu. 

11. Kalaulah terjadi perbedaan, maka di rahasia makhluk, bukan di Asma-asma Khaliq. Itupun kalau terjadi. Kalau terjadi, maka bisa saja disebabkan oleh takaran ijin yang diberikan olehNya, baik tentang rahasianya atau tentang aksi yang harus diambil. Karena bagi yang sudah selesai Peralanan Pertama, yakni Fanaa’ dalam fanaa’, maka diri seorang pesuluk sudah tidak terlihat lagi. Sementara setelah ia mencapai Perjalanan Ke Tiga, ia kembali dengan Tuhan. Artinya matanya, telah menjadi MataNya, tangannya telah menjadi TanganNya...dst. Karena itulah sejauh mana mata, hati dan ruhnya bisa meliputi makhluk, akan ditentukan oleh IjinNya itu. Akan tetapi perkiraan ini (beda ilmu tentang makhluk), sangat lemah. Karena bagi yang sudah sampai ke Akal-Akhir saja, semua rahasia Barzakh dan Materi sudah ada dalam genggamannya. Apalagi yang sudah sampai ke tingkat Akal-Satu dan Fanaa’ serta sudah melanglangi Asma-asma Tuhan sesuai dengan kapasitas dan ijinNya, lalu sekarang ia kembali ke makhluk denganNya, maka rasanya sudah tidak ada lagi yang tidak diketahui oleh pesuluk yang sudah sampai ke tingkat ke 3 ini. 

12. Dengan semua mukaddimah di atas itu dimana sebenarnya merupakan ringkasan dari catatan-catatan yang telah lalu, seperti di wahdatulwujud, dan ditambah dengan tidak adanya perbedaan nabi dan rasul dilihat dari kepengutusan Tuhannya untuk manusia (karena bedanya di Syi’ah, hanya dari sisi melihat atau tidaknya dalam jaga, malaikat pembawa wahyu kepadanya dimana kalau melihat dalam jaga adalah rasul dan kalau hanya dalam mimpi maka ia adalah nabi) maka peristiwa kedua nabi as di atas itu dapat disimpulkan atau diperkirakan (setidaknya) sebagai berikut: 

a. Nabi Musa as adalah yang mencapai deraja kenabian dan diangkat menjadi nabi/rasul (nabi/rasul formal), sedang nabi Khidhr as adalah hanya mencapai derajat kenabian (nabi natural) akan tetapi tidak diangkat menjadi nabi/rasul (formal). 

b. Semua kata dan perbuatan kedua nabi itu, sudah tidak lagi punya diri mereka sendiri. Jadi, semuanya adalah ucapan dan perbuatanNya. 

c. Ucapan dan perbuatan keduanya yang berbeda itu, disebabkan oleh ijin dan tajalliNya. Artinya, maqam tajalliNya bagi keduanya, tidak sama. Semua itu, demi mengajari manusia (umat) agar dapat mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut. 

d. Ucapan dan perbuatan nabi Musa as itu, adalah bahasa dan amal syari’at (hukum-syari’at), sementara ucapan dan perbuatan nabi Khidr as itu, adalah Hukum-alamiah. Artinya tajalli Tuhan di dua tingkatan. 

e. Beda tajalli itu akan membuat yang fanaa’ yang menjadi alurannya tersebut, terbawa kepada masing-masing sifat dari tajallinya itu. Artinya, kalau tajalli Tuhan pada nabi Musa as itu adalah tajalli kerasulan, yakni hukum-karakter atau aturan hukum-syari’at, maka yang ditajalli-i akan terpengaruh dan terbawa kepadanya. Yakni, sekalipun ia tahu rahasia dibalik suatu peristiwa itu, akan tetapi ucapan dan amalnya akan tetap mewakili tajalliNya kepadanya hukum syariatnya itu. 

Jadi, nabi Musa as. sekalipun tahu terhadap rahasia ucapan dan perbuatan nabi Khidhr as., akan tetapi kekuatan tajalli kerasulan itu bisa menelan tajalli-alam tsb. Karena itulah, maka rasul itu, sebelum menjadi rasul adalah Hamba atau Budak, karena ia telah tidak memiliki apapun dan sekarang ia tidak lebih dari penyalur mauNya saja. 

f. Kedakhsyatan kekuatan masing-masing tajalli Tuhan yang berbeda pada kedua nabi itulah yang menyebabkan perdebatan mereka di peristiwa yang ditanyakan Anda itu, bukan pada perbedaan ilmu dan derajat keduanya (sekalipun mungkin kedua nabi as itu memiliki perbedaan derajat di tingkatan Perjalanan ke dua sebagaimana maklum). 

Wassalam. 

Haidar Dzulfiqar, Bande Husein Kalisatti and 28 others like this. 

Anwar Mashadi: Alhamdulillah... syukran li-Allah.... Tuhan... bimbing aku melalui tajalli terbesarmu saat ini.. Salam alaika ya Aba Shalih... ya Aba Shalih tolong haturkan salam terbaikku pada kakekmu, atas kelahiran beliau saw... salam..salam.. salam... 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya. Selamat atas lahirnya junjungan kita nabi besar Muhammad saww senin besok tgl 17 R.Awal. 

Heri Widodo: ALLAH HUMMA SHOLI ALA MUHAMMAD WA ALI MUHAMMAD. Banyak yg tdk paham bahwa dgn Izin NYA Manusia mampu di Maqam Kenabian. 

Sinar Agama: Heri: Cara dan sistem penyempurnaan yang dibentangkanNya adalah ijinNya, karena itu ambillah ijinNya itu, jangan menunggu ijin, karena menunggu ijin tidak diijinkan olehNya. 

Heri Widodo: Mengambil Karunia (Sistem) yang sudah dibentangkan kalau tidak mendapat Biidznillah walau manusia berikhtiar maksimal tidak bisa bisa. 

Roman Picisan: Ustadz bagaimana pendapat ustadz tentang Ahmadiyyah, kalau membaca note ustadz dimana maqam kenabiyan adalah ikhtiyari dan semua orang bisa mencapai maqam tersebut jadi bisa saja Mirza Ghulam Ahmad mencapai maqam kenabian...? Afwan kalau pemahaman saya pada note ustadz salah... Syukron. 

Cut Yuli: Izin share ya Ustad. 

Sinar Agama: Heri, apakah tidak mengambilnya juga ijinNya atau bukan? Kalau ijinNya berarti maksud ijin adalah sistem dan pengikhtiarannya (yang juga bagian sistem karena sistem peneyempurnaan itu juga diiringi dengan sistem pemilihan yang ikhtiari). Dan inilah yang benar dan yang kumaksud. Tapi kalau tidak dengan ijinNya, yakni karena yang ijin itu hanya dalam pengambilannya, maka antum sudah menyekutukanNya. Artinya ada wujud yang berupa perbuatan tidak memilih untuk menyempurna, yang tidak terjadi di bawah kontrol dan ijinNya. Ketahuilah bahwa ijinNya itu tidak terpisah semua kejadian baik dan buruk, karena semua bermuara dariNya. 

Dan ketidakterpisahannya itu sangat natural. Yakni memilih atau tidaknya kita terhadap ijinNya sama persis dengan panas dan membakarnya api terhadap ijinNya. Bedanya api dalam membakar tidak bertanggung jawab, tapi kita dalam memilih tidaknya bertanggung jawab karena salah satu sistemNya adalah ikhtiar itu. 

Dan ikhtiar ini karena akal kita. Lagi pula kalau memilih menyempurnanya itu harus dengan ijin tersendiri dan terpisah, maka sama dengan hidayah. Yakni yang tidak dalam hidayah karena Tuhan tidak memberinya hidayah atau tidak mengijinkannya mengambil hidayah. Kalau ini yang terjadi maka Tuhan harus bertanggung jawab terhadap semua kesesatan dan ketidak penyempurnaan. Wassalam. 

Sinar Agama: Roman: yang menjadi masalah ahmadiah bukan maqam kenabiannya, tapi pangkatnya. Karena itulah ia juga mengaku Isa as sekaligus. 

Sinar Agama: Cut: silahkan saja.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 04 Agustus 2018

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 13)




by Sinar Agama (Notes) on Sunday, February 6, 2011 at 6:54 am


Jajar Genjang: Sinar Agama, Salam. 

1. Dalam penjelasan mengenai perjalanan irfan, dikatakan bahwa makhluk sanggup mencapai tingkat ke akal pertama. Sedangkan akal pertama adalah non materi mutlak, dimana tidak terjadi gerak dan proses. Padahal pencapaian makhluk hingga ke akal pertama merupakan sebuah proses. Hal ini sepertinya berkontradiksi. Mohon penjelasannya! 

2. Apa yang dimaksud dengan alam lahut? Sedang susunan alam besar ada 3, yakni; jabaruut, malakut kemudian nasut. 

3. Apakah pahaman-pahaman yang ada di akal juga dikatakan derajat ”ada” dalam pandangan filsafat, atau setidaknya tajjaliah dari ”ada” dalam pandangan irfan, sebagaimana ’’ada’’ yang ada di balik aksiden dan substansi? 

4. Apakah metode-metode dan persoalan teknis dalam ajaran islam yang dibawa nabi saw dalam ilmu makrifat tidak begitu menyeluruh menyentuh segala aspek alat pengetahuan pada manusia sehingga para filosof muslim mengadopsi metode-metode yang dipakai filosof Yunani? Terima kasih! 

Jajar Genjang: Maaf sebelumnya, tulisannya saya singkat karena ternyata untuk menulis di dinding jumlah hurufnya dibatasi. Terima kasih! 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih atas pertanyaannya: Semoga Tuhan menaufiki kita untuk selalu mencari dan bertahan dalam KepenunjukanNya, amin. 

1a. Salah satu keunggulan manusia yang paling menonjol dari malaikat tertinggi sekalipun adalah karena kenonmaterian ruhnya menyatu (secara alami dan fitrawi) dengan badan dimana badan adalah materi dan materi adalah satu-satunya pembawa potensi. 

b. Keberadaan potensi pada materi adalah kenyataan bisa berubahnya materi dari satu esensi seperti mati, atau biji padi, kepada esensi yang lain seperti manusia atau pohon padi. Atau padi, menjadi pohon padi, pohon padi membuahkan biji-biji padi, biji-biji padi menjadi nasi, nasi menjadi mani, mani menjadi darah, darah menjadi daging, daging menjadi bayi dan bayi menjadi manusia. Manusia ini, badannya, menjadi sakit dan mati, lalu menjadi tanah, tanahnya menjadi pohon padi kalau ditanami padi setelah berabad tahun, lalu pohon padinya menjadi mani kambing (kalau dimakan kambing) lalu maninya, menjadi darah, daging, bayi kambing dan akhirnnya menjadi kambing. Begitu seterusnya dan begitu pula yang terjadi pada benda-benda lainnya. Dengan demikian, maka hanya materi yang bisa menjadi esensi lain dan berubah. 

c. Perubahan yang dimaksud dalam kata ”Proses” adalah perubahan dalam waktu dan jaman, secepat apapun dia. Keterprosesan materi tidak lain, disamping kenyataan perubahan tadi, adalah kemestian terikatnya dengan tempat/volume dan waktu. Jadi yang tidak memiliki volume dan waktu, non materi, sama sekali tidak akan pernah mengalami proses, alias perubahan dalam waktu. 

d. Yang dimaksud dengan ”waktu” dalam filsafat, bukan menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan abad. Karena waktu yang demikian itu adalah waktu yang disepakati bersama dari gerakan yang bisa dilihat secara bersama pula, yakni gerakan matahari. Jadi, waktu dalam filsafat adalah ”Ukuran Gerak”. Ketika semua benda memiliki gerak dalam dirinya (atom- atomnya), atau dalam esensinya, seperti esensi substansi (dari mani ke bayi) atau aksidentnya seperti putih ke merah, kecil ke besar), maka masing-masing benda memiliki waktunya sendiri. Artinya, memiliki ukurannya sendiri, bukan diukur dengan gerak matahari. Jadi, kalau gerak atom-atom dua pohon padi dari sejak ditanamnya biji padinya, ketika keduanya menjadi tinggi setengah meter, maka mereka telah menempuh jarak jangkau yang sama, sekalipun mungkin waktunya berbeda. Misalnya yang satu setelah seminggu mencapai setengah meter itu, dan yang lainnya setelah dua minggu. Nah, ketika jarak tempuh yang dicapai biji padi pertama itu seminggu (setengah meter), dan yang lainnya masih seperempat meter misalnya, maka gerak padi pertama lebih cepat dari padi ke dua. Jadi, sebenarnya gerakan mereka dihitung dengan gerakan proses mereka sendiri, tidak diukur dengan gerakan matahari. 

Disinilah mengapa orang yang belum syi’ah selalu menggaris bawahi imam makshum yang masih berumur lima tahun dsb. Mereka tidak sadar bahwa waktu 5 tahun itu adalah waktu matahari, bukan waktu mereka. Padahal waktu mereka sendiri adalah yang dicontohkan dalam Qur'an surat al-Insan itu. Dimana asbabun nuzul surat tsb adalah berkenaan dengan puasa nadzarnya imam Ali as dan siti Fathimah as. Karena telah sembuhnya imam Hasan as. dan Husain as. Yang kala itu sedang tidak punya uang, hingga berhutang tepung gandum untuk makanan seukuran 3 hari dengan sekali makan. Akan tetapi setiap mau makan setiap harinya selalu ada orang mengetuk pintu dan mengatakan beberapa hari tidak makan dimana mereka menyerahkan roti mereka dan akhirnya mereka tidak makan selama tiga hari puasa. Jadi mereka buka sahurnya hanya dengan air saja. 

Yang ingin saya ceritakan bukan mereka berdua, tapi imam Hasan dan Husain as yang masih kesil dan tidak ikut bernadzar. Tapi ikut puasa dan menyerahkan rotinya dalam tiga hari itu. Padalah umur mereka baru sekitar 3-5 tahunan untuk ukuran gerakan matahari. Bayangin, gerakan taqwa dan proses ruh mereka itu, dalam keadaan masih muda untuk ukuran matahari itu, sangat-sangat tidak bisa diikuti oleh kita-kita sekalipun telah berumur 200 tahun sekalipun. 

Kembali ke masalah kita, maka dengan penjelasan di atas itu, dapat dilahami bahwa setiap benda memiliki waktunya sendiri karena waktu adalah ukuran atau volume gerak dari benda itu sendiri, bukan matahari. 

e. Nah, ketika ruh manusia memiliki 3 atau 4 daya, tambangi, nabati, hewani, dan akli, dan ianya menyatu secara fitrah dengan materi, maka ia memiliki kesempatan untuk menyempurna. Tidak seperti malaikat baik Malakut (Barzakh) atau Jabaruut (Akal) yang seluruh kesempurnaan mereka diberikan dalam sekali jadi dan sekali beri di awal penciptaannya. 

f. Dengan potensi yang ada itulah manusia bisa menyempurna melanglangi kesempurnaan
seperti yang sudah dijelaskan di wahdarulwujud 1-12 dan di tempat-tempat lainnya. Artinya manusia dengan ruhnya yang bisa berproses dalam waktu itu, bisa melanglangi derajat- derajat wujud dari dirinya sendiri ke Barzakh, lalu ke Akal dan ke Asma-asma Allah dalam Perjalanan ke Dua itu. 

g. Dengan penjelasan-penjelasan di atas itu dapat dipahami bahwa perubahan ruh manusia di tingkat Akal-akal yang tidak mengenal proses dan perubahan apapun itu adalah DIMOTORI dengan kepotensiannya karena masih bersama badan, dan perubahan yang terjadi di puncaknya sana adalah perubahan tidak dalam waktu, alias perubahan kun fayakun. Persis nanti ketika manusia di akhirat berubah posisi dari neraka ke surga. Artinya tidak dalam waktu, tapi dalam pewujudan non materi dan di luar jaman/waktu, seperti kalau antum mimpi berjalan, keluar rumah, nikah, makan,..dst dimana semua kejadian di dalam mimpi antum itu tidak terjadi dalam waktu. Begitu pula kalau antum melamun dari satu hal ke hal lainnya dan semacamnya. 

h. Dengan semua penjelasan itu, semoga dapat ditangkap hal mudah yang dibingungkan antum itu, yakni kontradiksi antara Akal non prosesi dengan ruh yang mencapainya yang masih dalam naungan prosesi.

2. Lahut adalah susunan alam pertama, yaitu ILMU ALLAH YANG TIDAK BISA DIMITSALKAN/ DIUMPAMAKAN. 

Yang biasa diterangkan tentang susunan alam adalah 3 alam, karena secara umum memang hanya itu, yaitu, Jabaruut, Malakuut dan Naasuut. Sementara kalau mau disebutkan semuanya adalah Laahuut sebagai susunan teratas dan pertama. Tapi hal ini tidak terlalu dibahas karena hanya berkenaan dengan Tuhan, yaitu sebagai IlmuNya yang mana hanya Dia-lah yang tahu. 

3. Pahaman-pahaman juga termasuk susunan alam keberadaan. Akan tetapi derajatnya tidak terlalu tinggi manakala tidak dilakukan secara konsisten hingga menjadi substansi yang tahu. Artinya ilmu-ilmu itu, karena masih berupa argumentasi, maka ia tidak memiliki kedudukan yang terlalu tinggi. Hal itu karena ketika masih berupa argumentasi, maka ia masih berupa ilmu Gambaran saja, seperti Gambaran tentang manisnya kurma dengan dalil-dalil yang akurat dan gamblang. Akan tetapi manakala sudah berupa ilmu-Hudhuri atau pewujudan, yakni dengan mengamalkannya bertubi-tubi dan tidak pernah berhenti, maka ia akan memiliki derajat yang layak dan sesunggunya dan juga jauh lebih tinggi. Karena ilmu-tashawwurinya atau ilmu-gambarannya itu telah menjadi ilmu-Hudhuri atau pewujudan dalam diri atau substansi diri. Kalau ilmu pertama seperti tahu tentang manisnya kurma, sekarang ini ia telah memakan kurma itu. Jadi, jangan terlalu bangga dengan keluasan ilmu apapun, baik Qur'an, Hadits, agama, akidah, akal, irfan...... dst dari yang dimiliki kita kalau belum diamalkan. Karena semua itu akan sirna manakala ruh kita sudah berpisah dari badan. Karena ilmu gambaran itu masih tergolong ruhani badani, sementara kematian dan akhirat adalah ruhani ruhani, bukan ruhani badani. 

Akan tetapi, ilmu argumentatif itu harus dicari dengan susah payah, karena tanpanya, apapun yang dilakukan manusia akan sia-sai, karena tidak di atas ilmu yang benar. Kata Imam Ja’far as. ”Orang beramal tidak dengan ilmu, seperti musafir yang tidak berjalan di atas jalannya, maka semakin cepat ia berjalan (semakin banyak melakukan taat), maka akan semakin cepat jauh dari tujuannya”. 

Jadi ilmu argumentatif itu harus dicari karena menjadi penentu selamatnya kita dan sampainya pada tujuan. Begitu pula harus disyukuri keberadaannya, karena tanpa pertolongan Tuhan semua itu tidak akan terjadi sekalipun kita telah bersusah payah berusaha menjangkaunya. Karena usaha itu tidak lain hanyalah sebab-potensi atau sebab-pendekat bagi kita untuk mencapai kebenaran dan hakikat, bukan sebab-pemberi, karena satu-satunya pemberi hanya Dia, tapi sudah tentu kita harus berusaha. Btw ilmu inipun adalah ilmu yang merupakan derajat sekalipun tidak terlalu tingi, tapi harus dicari dan disyukuri. 

4a. Agama Tuhan itu mengajarkan hal yang sama, yakni tentang tauhid dan pencapaiannya. Akan tetapi karena peradaban manusia seiring dengan bertambahnya jaman, selalu dalam, proses perubahan peradaban. Karena itulah maka cara pencapaiannya, kadang, satu agama dengan agama lainnya berbeda sekalipun sama-sama dari Tuhan. 

b. Dengan penjelasan itu, maka dapat dimengerti bahwa agama apapun memiliki ruh yang sama. Dan para nabi yang berjumlah 124.000 orang itu adalah mengajarkan agama dan aturan Tuhan sesuai dengan peradaban masing-masing yang, sudah tentu memiliki ruh yang sama. 

c. Karena itulah, karena pernyataan para filosof lama itu sangat argumentatif dan masuk akal serta tidak berubah sampai sekarang, maka para filosof Islam mengatakan bahwa mereka itu mustahil dari golongan orang-orang biasa, artinya, kalau bukan nabi maka pastilah murid nabi, seperti hakim/filosof/bijak seperti Lukman as. 

d. Dengan penjelasan di atas itu, maka jelas bahwa agama Tuhan itu, semakin diturunkan untuk manusia yang semakin beradab, atau setidaknya memiliki potensi untuk beradab dengan adab yang lebih tinggi, maka agamanya pasti labih sempurna. 

e. Begitu pula, ketika agama itu memiliki posisi yang terakhir, seperti agama kita ini, maka ia pasti merupakan agama yang tertinggi dan terlengkap dari agama-agama sebelumnya. 

f. Dan karena agama Islam kita ini adalah agama tertinggi, maka ia akan sesuai dengan peradaban tertinggi sekalipun. Karena itulah maka kecanggihan apapaun yang dicapai manusia dalam teknologi dan semacamnya, masih dalam naungan keperundangan Islam. Artinya, Islam yang sebagai agama pengaturan hidup bagi manusia yang memiliki alat-alat kehidupan tercanggih pun, maka ia tetap dalam ketinggian peradabannya dari sisi mental dan kepengaturan serta kesepernafasan pencapaian insan kamil itu. Dengan bahasa yang lebih ekstrim, Islam tetap mampu mengatur manusia tercanggih sekalipun, karena ia adalah agama yang mengatur kehidupan berakidah dan berakhlak dengan baik hingga bisa mencapai insan kamil. Ia bukan agama yang mengajari membuat alat-alat hidup seperti komputer, pesawat dan semacamnya. 

g. Ketika agama Islam kita ini adalah agama tertinggi, maka pedoman apapun di masa lalu, asal masih sesuai dengan peradaban masa kini, maka ia akan tetap ada dalam ajaran Islam kita sekarang ini. Jadi, ajaran para nabi terdahulu dan bahkan yang paling dahulupun seperti nabi Adam as, akan tetap terpakai dalam ajaran kita ini asalkan masih sesuai dengan syarat sesungguhnya pencapaian insan kamil. 

h. Dengan penjelasan di atas, maka kita tidak usah merasa aneh, kalau ajaran Islam kita ini memiliki kesamaan dengan Yahudi atau Nasrani, karena agama-agama itu adalah agama Tuhan, dan tidak hancur secara keseluruhan, yakni hanya tercampur kebatilan. Jadi, bisa saja ada kesamaan. 

i. Ketika agama-agama terdahulu itu merupakan agama-agama dari Tuhan dan orang-orangnya merupakan nabi-nabi utusan Tuhan, begitu juga murid-murid para nabi itu adalah murid kesayangan dan alim di dalamnya, maka mereka sudah pasti saudara kita, guru kita, contoh kita...dst. Artinya, kita tidak mesti menolak mereka dengan alasan bukan umat Nabi saww. Karena itulah Tuhan banyak mengisahkan mereka dalam Qur'an yang menjelaskan kepada kita bahwa Tuhan menginginkan dari kita untuk meniru mereka, karena Qur'an bukan kitab sejarah. Jadi, hukum dan akhlak yang diajarakan Tuhan kepada kita lewat Qur'an, tidak mesti berupa perintah, anjuran atau larangan, tapi bisa berupa contoh-contoh kehidupan orang- orang terdahulu dari orang-orang yang dicintai Tuhan atau yang dimusuhiNya. 

j. Penjelasan di atas adalah sebuah dukungan bagi kenyataan bahwa Islam ini memiliki ajaran yang paling lengkap dan tinggi. Tapi dari sisi kelengkapan cara pencapaiannya, yakni dari sisi syariatnya. Akan tetapi dari sisi tauhidnya, sudah pasti sama dengan ajaran-ajaran sebelumnya. 

k. Ketika ajaran tauhid kita sama dengan orang-orang terdahulu, lalu mengapa harus mera- sa rendah berguru kepada orang-orang hebat di jaman sebelum Islam? Apakah Islam mengajarkan membumi hanguskan kebenaran? Atau melarang kita belajar kebenaran yang argumentatif dari para nabi atau wali sebelum Islam? Kalau begitu lalu buat apa Tuhan sering menyebut mereka dalam Quran? 

l. Dengan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pedoman apapun kalau tidak betentangan dengan akal-argumentatif-gamblang, maka ia adalah ajaran Islam, baik Islam Nabi saww atau islam nabi-nabi atau wali-wali sebelumnya. 

m. Memang, Islam adalah agama terhebat, Nabi saww dan para imam as adalah orang terhebat, akan tetapi umat islam bukan umat terhebat. Artinya umat Islam, sebagai manusia yang bercampur antara bodoh dan pandainya, baik dan bejatnya, memilki potensinya sendiri. Artinya, kalau tidak belajar , ya....biar agamanya islam, maka tetap bodoh dan tidak tahu apa-apa. Jadi, keunggulan Islam dari agama terdahulu, tidak menjadi dalil bagi keunggulan umatnya dari umat terdahulu. Karena itulah, maka ketika orang-orang Masehi melihat kepala imam Husain as maka mereka berkata ”Kalau kami yang punya nabi kalian itu, maka jangankan anaknya, bekas kakinyapun akan kami tabarruki” (terjemahan ruh dan maksudnya, bukan matannya). 

Antum lihat, Nabi saww masih baru wafat dan badannya masih hangat, umatnya sudah meninggalkannya sampai 3 hari baru datang untuk menguburkannya. Mereka lebih memilih ribut pemiluan yang tidak diajarkan Islam, ketimbang meminta wasiat dan petunjuk Nabi saww. Bahkan, karena Nabi saww sudah menunjuk khalifahnya dan meminta kertas untuk menuliskannya tapi mereka menentangnya dan mengatakan bahwa Nabi saww telah mengi- gau seperti yang diriwayatkan di Bukhari dan Musalim, maka jelas sahabat-sahabatnya itu paling buruknya shahabat sepanjang sejarah kenabian. Nah, dengan kenyataan ini, maka umat Islam tidak bisa berdalil bahwa ia lebih hebat dari umat sebelumnya dan lebih pandai. 

n. Dari sisi lain, setiap kebenaran, bisa dijangkau dengan dua hal, akal dan Qur'an. Memang jumlah jangkauannya bisa berbeda. Akan tetapi keduanya adalah alat untuk mencapai kebenaran, karenanya dikatakan ilmu. Yakni Qur'an adalah ilmu dan akal juga ilmu. 

o. Dengan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Qur'an adalah Qur'an, artinya, lengkap, tinggi dan paling sempurna. Tapi kita, umat Islam adalah umatnya, bukan Qur'an. Jadi, kalau kita ingin tahu Qur'an, maka harus meningkatkan daya pikir dan daya tangkap kita serta memperbanyak argument. Karena itulah Tuhan dalam Qur'an menyuruh kita merenungi Qur'an, alam, dan Tuhan sendiri. Yakni MERENUNGI, bukan hanya membaca Qur'an dan apalagi MEMBANGGAKAN Qur'an. Memang, bangga boleh dan harus, tapi bukan itu yang meninggikan kita secara sesungguhnya, karena bangga itu baru merupakan langkah awal dalam mengimani Qur'an dan ketinggian serta kelebihannya dari agama lainnya. Dan hakikat ketinggiannya dalam kita, bukan dalam Qur'an, adalah ketika kita memahaminya dengan akal kita dalam kemasan argument yang jelas, kuat dan gamblang. 

p. Ketika Tuhan Qur'an, Nabi saww dan para imam suci as, tidak bisa dipahami penjelasannya dengan baik, lantaran mereka berbahasa sesuai dengan umat yang dihadapinya (beda kalau menghadapi Plato), yakni umat yang kebanyakan kasar dan tidak pandai, maka sudah jelas mereka mengemas ajarannya dalam bentuk bahasa yang bisa dipahami secara gradasi. Karena itulah dalam ilmu Ushulfikih dikatakan bahwa dalam memahami hukum harus merujuk ke peradaban bahasa waktu adanya para makshum, bukan sekarangan. Hal itu supaya dapat kita pahami di waktu sekarangan ini, apa maksud sebenarnya di waktu dulu sesuai dengan maksud pengucapnya, yakni Tuhan, Nabi saww dan para imam makshum as. 

q. Ketika mereka (Tuhan, Qur'an, Nabi saww dan para imam makshum as) mengajar dalam bentuk bahasa yang bergradasi, dan di lain pihak mewajibkan kita menggunakan perenungan akal dan dalil, maka dalam ajaran-ajaran yang berupa makrifat, yakni yang bukan hukum, maka kita harus menggunakan rumus dalil-dalil kebenaran yang gamblang. Dari manapun dalil-dalil itu. Baik ditemukan kita, atau umat terdahulu, seperti benda lebih besar tidak bisa masuk ke dalam benda yang lebih kecil. 

r. Nah, ketika kita melihat, bahwa ilmu-ilmu dari umat terdahulu itu, sebagiannya memiliki rumus-rumus dalil yang akurat dan gamblang (filsafat), maka layak sekali untuk dijadikan alat memahami ajaran mereka itu (Tuhan ...dan seterusnya itu itu). 

s. Karena itulah kalau kita melihat secara seksama, betapa kayanya agama kita dan betapa hebatnya. Bayangin, dulu dikala hanya para filosof yang mengerti bahwa Tuhan hanya mencipta satu makhluk dari satu itu mencipta yang lainnya, dalam Islam dengan mudah dapat dijumpai hadits yang mengatakan bahwa makhluk pertama adalah Akal, Nur Muhammad.... dst, atau ”Aku dan Ali dari pohon yang sama”.....dan seterusnya. 

t. Akan tetapi umat Islam, karena belum terlalu tinggi berpandangan ilmu kala itu, maka sudah tentu yang ditonjolkan dalam ajaran-ajaran makrifat alias selain fikih itu mendasarkannya kepada keimanan dan kepercayaan kepada Rasul saww sekalipun tidak paham dengan sejelas-jelasnya apa yang dimaksudkan Nabi saww. 

u. Karena itulah maka rumus pemikiran, asal jelas dan gamlang, bisa digunakan untuk menguak ajaran-ajaran makrifat itu, bukan fikih. 

v. Jadi, Islam sama sekali tidak perlu kepada ilmu umat terdahulu, tapi untuk memahaminya bisa dikatakan perlu seperti dimakrifat dan bisa dikatakan tidak perlu seperti di fikih. Dan ingat, yang perlu itu adalah kita, bukan Nabi saww dan para imam makshum as, karena mereka sudah mencapai tingkat sesungguhnya Qur'an itu dengan kesucian dari dosa yang mereka ikhtiari-i yang ditempuh dalam waktu yang super cepat dan yang tidak bisa dijangkau oleh yang lainnya. 

w. Ilmu-ilmu terdahulu itu, tidak beda dengan ilmu-ilmu sekarang yang didapat dari umat Islam atau barat yang kafir. Artinya, kalau ia benar dan argumentatif, maka mengapa tidak dijadikan alat memahami Islam? Apakah dulu ada pelajaran matematika, fisika, kedokteran, ushulfikih, kalam, hadits, tafsir, metodologi tafsir...dst? Nah, kalau kita mengatakan bahwa Islam ternoda karena telah memakai ilmu-ilmu orang terdahulu, maka ia juga ternoda karena telah mengambil dari umatnya sendiri atau orang kafir pada masanya. Anda akan berkata bukan, bahwa semua itu adalah alat menjabarkan Islam? Nah, seperti itu pula posisi ilmu-ilmu terdahulu. 

x. Sementara untuk metode pencapaiannya, bukan makrifatnya, baik yang berupa hukum atau akhlak atau irfan, maka jelas Islam memiliki jalan yang lebih lengkap. Karena itulah maka bagi yang pandai menggalinya, akan menjadi setingkat dengan nabi-nabi as terdahulu. Karena itulah maka dalam suluk atau cara pencapaian, Islam memiliki ajaran yang kaya yang bisa dipahami dengan lebih mudah dari ajaran makrifatnya. Karena itulah suluk dalam Islam sangat lengkap dan hebat serta tinggi. 

Wassalam. 

Jajar Genjang: Luar biasa! Terima kasih banyak atas penjelasan yang begitu terperinci. Hal sangat bermanfaat bagi para awamis seperti saya. Semoga anda senantiasa berada dalam kasih & sayang Allah swt. Amin. Terima kasih. 

Sinar Agama: Salam, terimakasih atas doanya, semoga meliputi antum dan semua teman- teman fb lainnya juga, amin. Semoga antum menerbitkannya untuk umum ketika mengirimkan pertanyaan antum hingga bisa dilihat orang lain di beranda umum, bukan hanya saja di beranda saya.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Selasa, 31 Juli 2018

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 6) Dalam Tinjauan Naql: seri penjelasan-1






by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, December 14, 2010 at 9:52 pm


Sebelum saya meneruskan penjelasan naql (Qur'an-Hadits) tentang wahdatu al-wujud ini, perlu kiranya merangkum beberapa hal penting dari yang sudah kita bahas dengan dalil secara panjang lebar tentang wahdatu al-wujud ini, demi mempermudah penerapan atau pemahaman dari naql yang akan dipaparkan setelah ini. Jadi, bagi yang belum membaca kajian-kajian sebelumnya, maka diharap membaca penjelasan-penjelasan tentang Wahdatu al-wujud ini sejak dari bag: 1 s/d bag: 5 = seri tanya-jawab. Maksud saya kurang, profesional kalau belum membaca tulisan-tulisan itu lalu mempermasalahkan penjelasan berikut ini, karena mempermasalahkannya berarti harus mengulang yang telah lalu. Beberapa kesimpulan yang diperlukan di sini adalah sebagai berikut: 

1. Wahdatu al-Wujud artinya bahwa Wujud itu hanya satu dan Dialah Tuhan, dengan dalil ke- TidakterbatasanNya, sebagaimana maklum. 

2. Wujud tsb tersembunyi dibalik semuanya dari selain wujud yang, sudah tentu membuat selainnya itu kelihatan wujud. 

3. Yang dimaksud selain wujud itu adalah esensi, baik yang jelas nampak bagi kita seperti diri dan lingkungan kita, atau yang kita percayai adanya dengan dalil seperti esensi-esensi non materi. 

4. Selain wujud, yakni esensi (seperti manusia, pohon, malaikat, dan lain-lainnya), sudah tidak wujud, karena mereka memang bukan wujud. 

5. Esensi-esensi yang tidak/bukan wujud itu, menjadi nampak wujud ketika ditemani dan dinafasi oleh wujud. Jadi, mereka tidak pernah benar-benar menjadi wujud. Maka, dari itu, keyakinan Ittihad (menyatunya manusia sempurna dengan Tuhan) atau Hulul (merasuknya Tuhan dalam hati manusia yang hatinya bersih dari selainNya) yang ada pada ajaran Sufi, adalah kesalahan yang fatal yang, diakibatkan keyakinan mereka terhadap kewujudan mereka yang terbatas yang, kemudian kembali kepadaNya atau kepada Yang Tidak Terbatas. 

6. Esensi-esensi yang tidak pernah menjadi wujud itu, fungsinya hanya menjelaskan ke-wujudan wujud tersebut. Jadi, orang yang dengan melihat pohon mengatakan bahwa pohon itu ada, adalah salah penisbatan. Dan yang benarnya adalah dengan melihat pohon tsb maka semestinya kita mengerti bahwa “wujud itu yang wujud” bahwa “wujud itu yang ada” bahwa “ada itu yang ada” atau bahwa “ada itu yang wujud”, bukan pohon. 

7. Dengan demikian, maka esensi-esensi itu dinamai oleh Tuhan, Makshumin as dan para ‘Arif dengan nama-nama seperti “WajahNya”, “ZhilNya/BayangNya”, “CerminNya”, dll. 

8. Gradasi wujud dalam filsafat terbentang dari alam Nasut/materi ke Malakut/Barzakh ke Jabaruut/Akal terus ke Tuhan. Tapi dalam Irfan, karena Wujud itu hanya Satu, maka Gradasi itu hanya terjadi pada esensi. 

9. Dengan point: 8 dipahami bahwa Wujud itulah tempat bergelantungannya Nasut, Malakut dan Jabaruut. 

10. Dan karena wujud itu, baik dalam pahaman atau kenyataannya, hanya satu dan tempat bergelantungannya semua esensi, maka wujud tersebut tidak akan pernah terpengaruh dengan warna-warninya esensi. 

11. Dalam kajian Empat Perjalanan telah diterangkan bahwa perjalanan ke dua manusia adalah diantara Nama-nama Tuhan. Artinya dimulai dari Nama Sifat yang paling bawah, yakni Sifat- Perbuatan atau Fi’liyyah yang tidak Qodim, seperti Penyembuh, Pemberi Rejeki, Pencipta...dst, sampai kepada Sifat Zat, yaitu Sifat-sifat yang Qodim seperti Hidup, Ilmu, Kuasa dst. 

Untuk rincian lebih lanjut tentang hal ini akan dijelaskan kemudian, yaitu di bab yang sekarang kita bahas ini (tinjauan naql). 

1. Dalil pertama dari ayat-ayat Qur'an yang telah kita bahas adalah QS: 20:10-12; 28:30. Sekarang mari kita lihat ayat-ayat lainnya. Dan sudah tentu pemahaman tentang wahdatul wujud ini tidak wajib diterima sekalipun ada di dalam Qur'an, karena, bisa dikatakan bahwa ianya merupakan pahaman yang memerlukan kedalaman ilmu yang, diluar jangkauan rata-rata akal manusia. Dan juga bukan lagi pembahasan Syi’ah-Sunnah, karena kebanyakan orang-orang (dan ulama) di dua kelompok itu, menentangnya, dan karena bagi yang tidak menentangnya dapat dipertemuakan dan memang telah bertemu, kecuali yang dikenal dengan Sok Sufi sebagaimana maklum dalam tanya-jawab dan dialog-dialog sebelum ini. Oleh karenanya yang wajib diterima dan menentukan surga-nerakanya seseorang dalam Islam, hanyalah penjelasan Kalamnya, bukan Irfannya. Jadi, kalau ada pembaca yang tidak bisa menjangkaunya, maka biarkan saja hal ini berlalu. 

2. Ayat ke dua adalah di surat Qoshash (28:88): 

َوَلَ تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لَ إِلَهَ إِلَّ هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّ وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ ترُْجَعُونَ

Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Baginyalah segala penentuan, dan hanya kepadaNyalah kamu dikembalikan” (terjemahan DEPAG). 

Penjelasan Ringkas

Kata “pasti binasa” disini, memiliki arti “akan binasa”. Ini tafsiran Kalamnya. Yakni menafsirkan “Halikun” (binasa) sebagai ismu Fa’il kepada salah kemungkinan maksudnya, yaitu “di masa yang akan datang”. Dengan demikian, maka arti “Binasa” di sini adalah “Akan binasa”. Dan ayat tersebut akan memilki arti “Tiap-tiap sesuatu akan binasa (secara pasti)”. 

Kata “wajhahu” diartikan sebagai Allah, karena bagi mereka yang biasa memakai ilmu Kalam “wajhun”, yang memiliki makna lahiriah dan bahasanya sebagai “wajah”, disini, mereka tidak mampu mengartikannya dengan arti bahasanya (wajah Tuhan). Oleh karenanya mereka di sini menggunakan “takwil”, yakni meninggalkan makna lahirnya dan mencari makna yang sesuai dengan dalil-dalil dan ayat-ayat yang lain, sesuai persepsi penafsir dan penakwil. Tentu saja “takwil” ini dibolehkan, manakala memang dipandang perlu, seperti ayat yang berbunyi “Tangan Allah di atas tangan mereka (manusia)” yang, sudah tentu tidak bisa diartikan tangan lahiriah, tapi “Kekuatan” misalanya. Mungkin karena itulah, kalau kita lihat kamus Arab-Arab, berbeda antara yang ditulis orang muslim dan yang bukan muslim. 

Di kamus yang dikarang oleh orang muslim seperti al-Mu’jamu al-Wasith menyebutkan bahwa salah satu makna “Wajhun” adalah “zat sesuatu” atau “diri sesuatu”. Dan dalil yang dipakai adalah ayat ini. Tapi kalau al-Munjid yang ditulis oleh orang Kristen, maka makna seperti ini tidak terlihat. Artinya hanya menyebutkan makna “wajah” dan lain-lainnya yang selain makna “zat/diri sesuatu” itu. Mungkin, sebelum Islam, makna zat dan diri sesuatu itu memang tidak ada, dan diadakan setelah adanya ayat ini dan ketidak ketidakmampuan penerimanya akan makna ‘Wajah Tuhan”. Saya katakan mungkin, karena perlu pelacakan ilmiah tentang munculnya makna “zat/diri sesuatu” itu yang, tentu saja sekarang ini saya tidak memiliki waktu dan kesempatan yang cukup. 

Makna Kalam ini adalah makna minimal yang harus diterima oleh seorang muslim, dimana kalau tidak menerimanya bisa tidak dianggap sebagai muslim lagi. Yakni maksudnya harus mengimani bahwa “selain Allah akan binasa”. 

Kalau makna Irfannya, maka “Halikun” diartikan kepada masa sekarang, bukan yang akan datang. Karena Ismu Fa’il atau “Kata Pelaku” dalam bahasa Arab bisa memiliki dua maksud, “Sekarang” dan “Yang akan datang”. Dengan demikian, maka makna Irfannya dari ayat di atas adalah “Tiap-tiap sesuatu dalam keadaan binasa (secara pasti)”. Yakni, sekarang ini, setiap esensi itu adalah BINASA alias TIDAK ADA atau TIDAK PUNYA WUJUD. 

Sedangkan makna “Wajhahu”, dalam Irfan, diartikan “WajahNya”. Jadi, makna ayat tersebut adalah “Tiap-tiap sesuatu adalah binasa/tiada (sekarang ini dan secara pasti) selain WajahNya”. 

Mungkin Anda bertanya, bukankah selain Allah, yakni esensi-esnsi itu adalah wajahNya, lalu mengapa di ayat ini justru menjadi lenyap dan kemudian WajahNya yang tidak lenyap? Bukankah kalau “Wajah” itu alam ini berarti dia telah lenyap? 

Atau di ayat Irfan yang lain yang sering disebutkan, yaitu pada QS: 2: 115 yang mengatakan bahwa kemana saja kamu berpaling maka kamu akan mendapatkan WajahNya, dimana berarti disini artinya alam ini adalah WajahNya, yang kalau dilihat dari ayat di atas (QS: 28:88) itu berarti tidak akan menjadi hilang, maka jelas hal ini merupakan dua pernyataan yang jelas kontradiksinya. 

Ada dua jawaban dan pendekatan untuk pertanyaan tersebut

a. Bahwa esensi-esensi itu memang tidak ada dan selalu bisana dimana yang tersisa hanyalah kewajahan mereka bagiNya, sebagaimana maklum. Yakni kewajahannya terhadap “Ada/ wujud”. Artinya, dengan menatap mereka, perhatian kita akan tertuju kepada Ada/wujud, sebagaimana ketika kita menatap wajah seseorang dikala berbicara dimana perhatian kita tidak kepada alis, hidung, mata dsb dari wajahnya (sekalipun kita menatapnya), tapi bahkan kepada jati dirinya. Di sini juga demikian. Yakni seorang yang Kamil/sempurna akan melihat Ada/wujud manakala melihat diri, lingkungan dan alam semesta alias esensi- esensinya itu. Nah, ke-wajahan mereka terhadap Ada itulah yang tidak akan pernah binasa. Yakni tidak akan pernah menjadi sama sekali tidak berarti. 

b. Bahwa “Ada” yang tersembunyi di balik esensi-esensi, yang hanya terlihat dengan mata hati seorang Kamil itulah yang dikatakan “Wajah”. Artinya, “Ada/wujud” yang selama ini kita buktikan keberadaannya itu, dimana hanya milik Allah itu, dimana Ia membentang dari Nasut, Malakut dan Jabaruut itu, sebenarnya, masih merupakan “WajahNya”, bukan “Dia”. Jadi, esensi-esensi itu adalah “Wajah-Ada” dan “Ada” adalah “WajahNya”. 

Dalam Irfan, sebagaimana akan lebih jelas nanti di ayat-ayat berikutnya, maqam tertinggi Tuhan itu adalah “Maqam Huwa/Dia”, bukan “Allah”. Karena Allah ini adalah salah satu NamaNya saja. Maqam “Dia” ini tidak bisa dijangkau akal dan kasyaf siapapun, sekalipun Nabi Muhammad saww. Maqam Huwa inilah yang dikatakan sebagai “Gelap Secara Mutlak” atau “Gelapnya Kegelapan”. Oleh karenanya Dia hanya mengenalkan DiriNya dengan “Al-Ilah/ Allah”, “Kuasa”, “Hidup”, “Ilmu”....dst dari Asma-asma HusnaNya itu. 

Jadi, manusia dan semua makhluk yang mampu, hanya bisa mengenali “Dia” dengan Nama- nama tersebut dan hanya itulah yang wajib dikenali oleh manusia sebagaimana terlihat dalam perintahNya untuk mengetahuiNya yang terdapat di banyak sekali ayat-ayat Qur'anNya, seperti: “Ketahuilah bahwa tiada tuhan kecuali Allah” (QS: 47:19); “Ketahuilah bahwa Allah itu Maha Mulia dan Bijaksana” (QS: 2:209); “Ketahuilah bahwa Allah itu Maha Pengampun dan Penyayang” (QS: 5:34); “Ketahuilah bahwa Allah itu Penguasa kalian” (QS: 8:40). 

Kata “Ketahuilah” itu jelas “kata perintah” yang menunjukkan kepada arti “wajib dilaksanakan”. Jadi, kita wajib mengetahui makna dan arti dari Asma-asma Allah tersebut, tidak terlarang sebagaimana sebagian muslim mengatakannya. Yakni yang mengatakan bahwa kita tidak boleh membahas Allah. 

3. Ayat ke tiga adalah QS: 7:180: 


بسم الله الرحمن الرحيم
وَلِلَّهِ الَْسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يلُْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang” 

“Allah mempunyai Asmaa-u al-Husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut Asma-u al-Husna itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) Nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan” (terjemahan DEPAG). 

Keterangan Ringkas

Jelas sekali, dalam terjemahan di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan Nama- nama Allah yang baik atau Asmau al-Husna di sini adalah kata-kata, seperti: al-Syaafi/ Penyembuh, al-Ghafuur/Pengampun, al-Rahmaan/Pengasih, al-Rahiim/Penyayang, al-Samii’/ Melihat, al-Khaliq/Pencipta, al-Hayyu/Hidup, al-Wujud/Ada, al-Qadiim/Tak-Berawal, al-‘Azali/ Tak-Berakhir,...dst. 

Oleh karena itulah perintah do’a dengan Nama-nama itu adalah dengan menyebutkannya. Ini adalah makna ilmu Kalamnya yang merupakan makna minimal yang mesti dipercayai seorang muslim. 

Nama-nama yang baik di atas adalah Nama-nama yang dimiliki Allah, tapi dalam ayat 

Bismillaah, jelas sekali bahwa Allah merupakan salah satu NamaNya. 

Dengan dua penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pemilik Nama itu adalah Maqam Huwa/Dia tadi. Jadi, terkadang Allah, maknanya kembali kepada Huwa/Dia, yang memiliki Nama-nama baik itu dimana termasuk Allah. Dan terkadang kembali kepada Nama itu sendiri seperti yang ada di ayat Bismillaah. Jadi, selain Nama Allah adalah milik Allah dan semua Nama dimana termasuk nama Allah ini adalah milik Dia/Huwa tersebut. 

Kalau Nama-nama itu dikembalikan kepada kata-kata, maka jelas jauh dari maksud Qur'an sesuai dengan dalil yang paling sederhana sekalipun. Misalnya, kata-kata tersebut adalah kata-kata Arab. Padahal, agama Allah tidak saja berbahasa Arab, seperti Taurat, Zabur dan Injil. Dengan demikian, maka sudah pasti yang dimaksudkan Nama di sini adalah Maknanya, bukan kata-katanya. 

Kalau sudah berupa makna, apakah makna yang ada di kepala kita itu yang dimaksudkan Allah dengan NamaNya? Sudah tentu tidak mungkin. Karena ianya adalah pahaman kita terhadap kata-kata tersebut. Apalagi, sesuai dengan ayat-ayat tambahan di atas, Allah menyuruh kita mengerti bahwa Dia adalah Pengampun, Maha Mulia, Bijaksana ...dan seterusnya. 

Lagi pula sangat tidak cocok dikala Allah menyuruh kita memahami Nama-namaNya, seperti Maha Pengampun/al-Ghafuur, akan tetapi yang dimaksudkanNya adalah pahaman kita itu sendiri. Jelasnya, sebagai contoh, Allah berfirman “wahai manusia ketahuilah bahwa Aku ini punya Nama dan mintalah kepadaku dengan Nama-nama itu dimana diantaranya adalah Pengampun/al-Ghafuur”, lalu di lain pihak Allah mengatakan “wahai manusia NamaKu itu adalah yang ada dalam pahamanmu tersebut”. 

Lagi pula “Pengampun” baik dalam kata atau makna yang ada di kepala kita ini, tidak akan pernah mengampuni kita. Karena makna “Pengampun” adalah “Yang Mengampuni”. Jadi, yang dimaksud dengan “Pengampun” adalah “Makna yang ada di luar kepala kita” artinya “Makna sesungguhnya dimana berupa sifat Allah”. Dengan kata lain “Sifat Yang Timbul Dari Pekerjaan Allah Dalam Mengampuni”. Dan secara lebih menyeluruh dari arti Nama Tuhan ini, adalah “Makna Yang Aktual Yang Bersumber Kepada Allah (kalau selain Nama Allah) dan/atau bersumber kepada Huwa/Dia (kalau Nama Allah)”. 

Dengan penjelasan di atas, dapat dimengerti bahwa yang dimaksud dengan Nama Tuhan adalah Keberadaan Aktual dimana Keberadaan Aktual inilah yang sesungguhnya memberikan efek, seperti kesembuhan, pengampunan, penciptaan...dan seterusnya. 

Jadi, Allah dari kenyataan sifatNya yang berupa Penyembuh, Pengampun, Pencipta ..dst itulah yang telah memberikan efek, bukan kata-kata, bukan makna yang ada di kepala kita, dan bukan pula Allah dari sisi ZatNya. 

Mungkin Anda berkata bahwa kalau demikian halnya berarti Allah terangkap dari ZatNya dan semua Sifat-sifatNya itu dimana hal ini akan membuatNya terangkap dan akhirnya menjadi terbatas dan makhluk sebagaimana telah dijelaskan dalam bab ilmu Kalam dan Filsafat. 

Apa yang Anda katakan itu sangat benar adanya, kalau kita meyakini keberadaan selainNya. Yakni meyakini bahwa kita dan alam ini adalah “Ada” yang terbatas dan bersumber dariNya yang Tidak Terbatas, sebagaimana sering saya singgung dalam pembuktian Wujud Allah atau Pencipta. Dengan keberadaan kita dan alam kita yang terbatas inilah kita membuktikan Yang Tidak Terbatas. Dan karenanya, maka kalau Tuhan memiliki rangkapan dari Zat dan seluruh Sifat-sifatNya, maka juga akan bernasib sama dengan makhlukNya, yakni “Terbatas” dan, akhirnya menjadi Makhluk. 

Tapi dalam Irfan, semua selainNya itu tidak memiliki Wujud/Ada. Oleh karenanya hanya Dia-lah yang memilikinya. Jadi, “Ada” yang dibentangkan dan/atau ditajjalikan dan/atau diwajahkan dari sejak Nama Allah sampai dengan materi ini, adalah “Ada” Yang Langgeng, Tidak Bergeming, Tidak Terpengaruh dengan segala menifestasiNya itu dan, sudah tentu, tidak akan mungkin terangkap. Karena rangkapan-rangkapan yang dibayangkan itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah Tajalli-tajalliNya, ManifestasiNya, WajahNya dan BayangNya. Artinya tidak pernah wujud hingga akan membuat rangkapan. 

Dengan penjelasan ini dapatlah dimengerti apa yang diistilahkan oleh para ‘Urafa terhadap Wujud itu sebagai “al-Nafasu al-Rahmani”. Disamakan dengan Nafas yang tidak memiliki Bentukan huruf-huruf. Sementara semua bentangan tajalli itu dikatakan sebagai huruf- hurufnya. Dan dapat dimengerti pula bahwa nama yang berarti kata-kata ini, seperti kata Allah, Rahman dan Rahim dsb adalah NAMANYA NAMA, bukan Nama itu sendiri. 

Perlu diketahui, bahwa, sekalipun Pemilik Ada itu adalah maqam Huwa/Dia, yang membentangkan NafasNya atau AdaNya dari sejak dan hingga menjadi Huruf-huruf (bukan huruf abjad, tapi hakikat-hakikat selainNya) Nama Zat Allah, Nama Sifat-Zat, Nama Sifat-Perbuatan, Akal, Barzakh dan Alam Materi, namun, karena maqam Huwa itu tidak bisa dipahami, dikasyafi, dikisahkan dan dibahas, maka sebagai ganti pembahasan dan pengkasyafannya sesuai dengan kemampuan dan kewajiban manusia, adalah Allah. 

Jadi, pembahasannya mentok di Allah, sehingga apapun penisbahan atau penghubungan atau pentajallian atau pemanifestasian atau pewajahan atau kepemilikan, semua dan semua, dinisbahkannya kepada Allah. 

Dengan penjelasan di atas dapat dimengerti bahwa Wajah Dia yang berupa Wujud itu, terbentang dari Nama Allah, terus ke Nama Sifat-sifat atau Nama Sifat-Zat (seperti Ada, Hidup, Kuasa, Qodim, ‘Azali, ‘Alimun..dst), terus ke Nama-nama dari Sifat-Perbuatan/Fi’liyyah (seperti Pencipta, Pengampun, Pemberi Hidayah...dan seterusnya), terus ke Akal-satu, Akal-dua....dst sampai ke Akal-akhir, lalu Barzakh dan kemudian terus ke Alam-Materi/nasut. 

Ketika kita sudah mengerti arti Nama dan ditumpukannya semua permasalahan kepada Allah, maka mari kita coba sekarang untuk mengerti arti dari ayat Bismillaah itu. Sudah tentu, tidak akan lagi bermakna seperti yang diterjemahkan DEPAG di atas itu. 

Artinya akan menjadi: “Dengan hakikat Allah Yang dengan hakikat sifat Kasih dan PenyayangNya”. Yakni dengan Nama Allah Yang Merupakan Hakikat Keberadaan, yaitu Zat Allah itu sendiri, mentajallikan atau mewajahkan DiriNya itu kepada Sifat PerbuatanNya -Pengasih dan Penyayang- lalu melalui keduanya tertajallikanlah atau termanifestasikanlah Akal/Jabaruut, Barzak/Malakut dan Materi/Nasut yang, kemudian dikenal dengan alam-alam (‘Aalamiin, bukan satu alam). Oleh karena itulah hakikat dan makna pujian (bukan kata-kata pujian) hanyalah untuk Allah Pengatur/ pewajah alam-alam yang banyak itu (Jabaruut, Malakut dan Nasut). 

Dengan penjelasan ini dapat dipahami bahwa Ba’ pada Bismillaah bermakna hakikat “Keter- dengan-an”, bukan “dengan” yang dalam artian kata. Dengan kata yang lebih bersifat keilmuan dikatakan sebagai Ba’-u al-sababiyyah. Yakni Ba’ yang berarti “Sebab”. Artinya, dengan “De- ngan Sebab Hakikat Allah itulah maka Rahman dan Rahim dan seluruh ketiga alam itu mejadi tertajallikan hingga menjadi seperti TERLIHAT ada”. 

Dan kalaulah Anda mau mengambil makna “Ada” secara sebenarnya kepada selain Allah, dimana dalam ilmu Kalam dan Filsafat seperti itu, maka Ba’ disini tetap bermakna ke-sebab- an dari keberadaan lainnya. Yakni Sifat-Zat dan Perbuatan dari ZatNya, dan semua alam-alam itu dari DiriNya. Dan kalau mengambil makna Irfannya, ke sebab-an di sini adalah dalam Tajalli atau Manifestasi atau Keberwajahan. 

Maka dari itulah tidak heran kalau imam Ali as mengatakan, bahwa seluruh yang ada di Qur'an (lahir dan batinnya, kata dan arti aktualnya, yakni alam dan hukum-hukumnya) itu berada di surat al-Fatihah, dan semua yang ada di al-Fatihah itu ada di Bismllahi al-Rahmani al- Rahimi, dan seluruh yang ada di Bismillaahi al-Rahmani al-Rahimi itu ada di Ba’. Yakni seluruh keberadaan (kalau selain Irfan) atau seluruh ketertajallian (kalau Irfannya), semua dan semua, bersumber dari ketersebabanNya (ba’). 

Akan tetapi karena makrifat dan ayat-ayat Qur'an itu memiliki tingkatan, baik lahiriah atau maknanya, seperti yang difirmankanNya “Dan ikutilah yang terbaik dari ayat-ayat yang telah diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian...” (QS: 39:55), maka bolehlah kita merenungi ayat Bismillaah ini dengan dihubungkan dengan ayat ke dua di atas, yakni ayat yang menerangkan kepemilikan Tuhan terhadap Nama-nama itu, dimana sudah terbukti bahwa ianya bukanlah kata-kata, tapi makna. Nah, dari satu sisi Nama itu adalah Makna Aktualnya, dan dari sisi lain Allah termasuk NamaNya, maka dapat dipahami bahwa dari Allah sampai dengan Materi adalah NamaNya, yakni Nama dari Wujud, bukan Wujud itu sendiri. 

Tapi ingat, sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, bahwa karena maqam Huwa itu tidak terjangkau, maka kita hanya memakai ayat Bismillaah ini dalam membuktikan kenamaan siapapun (termasuk Nama Allah) terhadap Wujud dimana memberikan arti ketidak pemi- likkannya terhadap wujud itu sendiri, dan kita setelah itu mundur selangkah dengan menum- pukan (tumpu) keberadaan itu pada Allah sebagai wakil dari Huwa tersebut. 

Jadi, hasilnya adalah, “Dengan Wujud Allah Maka Tertajallikanlah Sifat-sifat dan Alam-alam ini”. Dengan ini, maka terbuktilah bahwa Wujud itu hanya miik Allah dan selainNya hanyalah Nama, Tajalli, Manifestasi, Wajah dan BayangNya. 

4. Ayat ke empat dan seterusnya, akan menjadi lebih mudah dipahami, seperti: 


الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالَْرْضَ

"Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit-langit dan bumi” (QS: 6:1) 

Keterangan Ringkas

Kata Khalaqa ini dalam Qur'an, setidaknya dipakai sebanyak 115 kali dan, biasanya selalu diartikan dengan penciptaan, serta tidak ada yang berani mengartikannya dengan makna asalnya, atau setidaknya salah satu maknanya yang sesunggunya (buka takwil). Yaitu “Qad- dara” atau “Mengqadarnya/Membatasnya/Membentuk”, kecuali yang dikatakan nabi Isa as ketika beliau bersabda “Akhluqu –kubentuk- untuk kalian burung dari tanah...” (QS: 3: 49). 

Padahal kalau digabung dengan ayat lain, seperti QS: 15: 21: 


إِلَّ عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا ننَُزِّلُهُ إِلَّ بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ وَإِنْ مِنْ شَيْ

Dan tidaklah sesuatu apapunjugakecuali dari sisi Kami gudangnya, dan Kami tidak menurunkannya kecuali sesuai kadar/ukurannya yang jelas” 

Kalau ayat ke dua ini kita perhatikan, kita akan lihat bahwa Allah mengatakan bahwa tiada apapun juga kecuali dari sisiNya. Ini berarti, bahwa semua keberadaan selainNya adalah dari SisiNya, bukan dari Tiada sebagaimana maklum di penjelasan-penjelasan terdahulu. Ini yang pertama. 

Yang ke dua, kalau kata “Khalaqa” yang bermakna “Qaddara” ini, yakni 

“pengkadaran/pembatasan” dilihat secara filosofi, maka akan menjadi makna ilmiahnya, yakni “Peng-esensian”. 

Dengan menggabungkan semua mukaddimah di atas, maka dapat dipahami bahwa semuanya dari Wujud, dan keluar dariNya tidak lain hanyalah peng-esensiannya atau pengkadarannya atau pembatasannya. Dan “turun” dalam ayat itu adalah “tajalli” atau penurunan derajat dari Wujud kepada esensi tersebut, bukan kepada wujud-terbatas. Karena khalaqa adalah pembatasan-wujud semata, bukan pewujudan, sebagaimana maklum. 

5. Ayat ke lima adalah QS: 85: 9: 


الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالَْرْضِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu” 

Keterangan Ringkas

Kata “Syahid” adalah Ismu “Fail” atau “Pelaku”, yakni memiliki makna “Menyaksikan”. Akan tetapi kata tersebut bisa juga diambil sebagai Ismu “Maf ‘ul” atau “Penderita”. Dan ini juga bukan berupa takwil, tapi memang makna asal yang bisa dipakai kepada keduanya. 

Para ‘Urafa’ memaknai Syahid di sini sebagai “penderita” hingga makna ayat tersebut akan menjadi “Yang memiliki kerajaan langit dan bumi, dan Allahlah yang terlihat dalam segala sesuatu”. Dengan kata yang lebih jelas adalah “Yang tetap milikNya segala yang ada di langit dan bumi, dan hanya Allah yang terlihat dalam segala sesuatu”. Dan dengan kata yang lebih ekstrimnya adalah “Setiap yang di langit dan bumi tetap milikNya karena memang tidak pernah diberikanNya kepada meraka dan tidak pernah berpisah dariNya karena mereka adalah dan hanyalah alat penyaksian kepadaNya”. Jadi, wajahNya, seperti manusia, adalah yang melihat AdaNya dengan diri dan alam semesta, dan begitu pula sekaligus menjadi alat melihatNya bagi manusia atau esensi yang lainnya. 

6. Ayat ke enam adalah QS: 43:84: 


وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِي الَْرْضِ إِلَهٌ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ

Dan Dia-lah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui” (DEPAG) 

Keterangan Ringkas

Bagi sebagian orang, Allah itu di atas-atasnya langit yang dikatakan al-‘Arsy. Dan bagi sebagian yang lain, seperti ulama Kalam (Teolog) dan filosof, Allah itu Non Materi. Oleh karenanya, Allah berada di maqam yang tinggi yang, diibaratkan dengan langit dalam ayat ini. Yakni maqam di atas Akal-Satu. Sementara dari Akal-satu sampai ke alam materi, sudah tentu merupakan makhlukNya. 

Dengan itu, mereka ada yang mengatakan Allah itu benar-banar ada di atas ‘Arsy dan turun ke langit materi tiap sepertiga akhir dari malam, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’u Fatawa Ibnu Taymiyyah juz 1, hal 479; Shahih Bukhari hadits ke: 1145; 6321; 7494; Shahih Muslim hadits ke 1265; 1813; dllnya yang sangat banyak terdapat di dalam kitab-kitab Sunni seperti hadits, tafsir dllnya (padahal kalau Allah turun pada setiap sepertiga akhir dari pada malam, di samping hal itu mengkonsekwensikan ke-materian bagiNya, juga membuatNya terpenjara di langit bumi hingga tidak bisa naik lagi ke ‘Arsy, karena sepertiga malam selalu sambung menyambung mengelilingi bumi dan tidak pernah putus sampai hari kiamat tiba. 

Namun bagi sebagian yang lainnya, yakni sebagian Teolog dan Filosof, karena mereka mau menjaga Tuhan dari keterberangkapan dan kematerian, maka mereka mengatakan bahwa maqamNya itu diatas makhluk non materi pertama dan paling hebat yang disebut dengan Akal-satu atau Nur Muhammad. 

Oleh karenanya, terjemahan DEPAG itu adalah salah satu dari yang sebaik-baik terjemahan. Hingga artinya adalah Allah-lah yang disembah di langit dan di bumi. Yakni disembah para makhluk langit atau malaikat, dan di bumi oleh makhluk materi. Atau bisa diterjemahkan dengan “Allahlah Penguasa Langit dan Bumi”. 

Akan tetapi kalau dalam Irfan “Dialah Tuhan di langit dan bumi” artinya “Dialah Wujud di langit dan di bumi” atau “Dialah wujud di non materi dan materi”. Maka karena itulah di ayat-ayat serupa Tuhan mengatakan: Dialah Yang Awal dan Akhir (QS: 57: 3), Dialah Yang Lahir dan Batin (QS: 57:3)....dan seterusnya. 

Artinya, apapun yang terlihat ada ini, baik esensi non materi atau materi, semuanya dan semuanya adalah hanya Allah. Yakni, keberadaan mereka hanya milikNya semata, dan mereka hanyalah bayangNya saja. 

Karena itulah dalam ayat lain Allah dalam QS: 25: 45, mengatakan bahwa: 


أَلَمْ تَرَ إِلَى رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ

Tidakkah kamu lihat Tuhanmu bagaimana Dia membentangkan Bayangan...?”. 

Artinya, bagaimana Tuhan membentangan bayanganNya, yakni bayangan WujudNya. Dan sebagaimana bayangan materi, bahwasannya ia dalam keadaan ketiadaan cahayanya itu, tetap dapat dilihat seperti layaknya keberadaan, maka esensi-esensi itu (langit-bumi dan seisinya) juga demikian halnya. Yakni mereka semua adalah bayangan Ada sehingga nampak seperti menjadi ada, padahal mereka adalah ketiadaan Ada/Wujud itu sendiri dan hanya merupakan bayangNya 

Sekian saja sekelumit dalil-dalil Naql dalam Irfan ini yang , sudah tentu di hadits-haditsnya lebih banyak lagi. Kalau Tuhan mengijinkan dan menginginkanNya, maka mungkin suatu saat saya akan melengkapinya walau hanya dengan mencukupkan beberapa contohnya saja. Tolong sambung do’a, supaya kita selalu terhindar dari bahaya lahir-batin, dunia-akhirat, badani-akli dan hati. 

Billy Joe Hernandez, Roesdie Adie, Muhammad Rizal dan 19 lainnya menyukai ini

Rizky El Hallaj: Sinar Agama: tolong di ralat tulisannya.. Maaf.. 

Cut Yuli: Ya sama jadi sulit bacanya. 

Sinar Agama: Sudah dibetulin. 

Anggelia Sulqani Zahra: Allahumma Shalli ala Muhammad wa aali Muhammad wa ajjil faraja aali Muhammad, Ustad. Mohon penjelasannya untuk memahami ini: Dalam penjelasan di atas dapat dikenali bahwa sifat-sifat Allah itu terdiri dari :...Sifat azalli /dzati /kadzimSifat fi’li yakni sifat perbutan artinya bahwa sifat fi’li tersebut merupakan sifat yang baru’ jika dikatakan sifat yang baru maka akal memahami setiap sesuatu yang baru memiliki awal’atau terbatas’ sementara wujud itu sendiri tidak terbatas,. Apakah sifat fi’li ini bisa dinisbatkan langsung ke Tuhan secara hakiki sebagaimana sifat zatNya….? 

Win Panay: Terimaksih Sinar Agama, saya menyukai tulisan, Anda. 

Oma Moy: Nyimak. 

Rizky El Hallaj: Woyyy.. Jangan coment dulu selain pertanyaan seperti pertanyaan Anggelia... Ok! Sinar Agama ga butuh terima kasih ko... Huhuhuhyyyy. 

Bunda Kamila: Syukran Sinar Agama atas ilmu yg bermanfaat ini.... Butuh waktu untuk memahami secara mendalam.. 

Husain Jonam: Syukron sudah ditag. 

Sinar Agama: Terimakasih atas semua terimakasih dan komentarnya dan termasuk yang tidak terimakasih dengan tulisan tapi dengan dada yang bahagia, semua itu sudah cukup untukku sebagai kawan yang menyukakan apa-apa yang kusuka kepada saudara-saudara seiman, seislam dan semanusiaan kalau perlu. 

Sinar Agama: Untuk Anggelia, tolong dilanjutin tagnya sebagaimana yang biasa kamu lakukan kepada teman-temanmu, yakni jadikan tulisanku ini catatanmu juga seperti selama ini. Terimakasih sebelumnya. Dan untuk tanyamu itu, maka Irfan ini sudah keluar dari Ilmu Kalam dan Filsafat. Kalau kamu jeli maka sudah kujelaskan di sana, ketika menjawab semacam pertanyaan akan terbagi- baginya Tuhan kalau kita mengatakan bahwa Sifat-sifatNya itu ada sejak dari yang paling bawah (fi’liyah) sampai kepada Asma Zat. Jadi, nggak pengembalian-pengembalian segala kayak di Kalam atau Irfan, yakni pengembalian sifat fi’liyah kepada sifat Zat untuk menyatakan ketauhidanNya. Karena semua Nama-nama itu seperti esensi-esensi lainnya, semuanya bergelantungan kepada Wujud itu secara langsung. Memang kemunculan masing-masing Nama Tuhan atau esensi-esensi itu, yang satu disebabkan yang lainnya. Misalnya sifat Fi’liyyah dari Sifat-Zat dan sifat Zat dari Zat, begitu pula esensi-esensi tajalli dari sifat fi’liyyahNya. Tapi aktifis asli dari semua itu adalah Ada/ wujud itu sendiri. Jadi, tanpa pengembalian sifat fi’liyyah kepada sifat zat, dan sifat kepada Zat, maka kewahdatul wujudanNya tidak pernah bergeming, bahkan sekalipun dengan munculnya milyaran esensi-esensi. Dialah yang Ada di langit dan Dialah yang Ada di bumi. 

Dian Damayanti: Syukron ustad... 

Oma Moy: Apa perbedaan antar zat dan sifat? 

Bande Huseini: @Ustadz Sinar.. semua tulisan antum ana save/print dan ana diskusikan dengan ikhwan di Bogor..(salah satu ikhwan bilang..”Kita Print semua tulisan sinar Agama, kita diskusikan JANGAN SAMPAI KETINGGALAN”) 

Sinar Agama: Bande Husein: Untung antum tidak ganti Huseinnya, kalau nggak maka tidak akan kebagian tag-an. Oh antum di Bogor toh, ghitu ya. Kalau ghitu di Bogor banyak ikhwan AB ya? Kalau ghitu saya kirim salam buat mereka semua, semoga tulisan-tulisan alfakir bermamfaat untuk semua. Sebenarnya tulisan-tulisanku sudah kacau dilihat dari pertopiknya, “Kedudukan Fantastis Imam” belum selesai sudah ke Wahdatul wujud, “Pokok-pokok Ajaran Syi’ah” belum selesai sudah ini dan itu. Hah ...itu dia,..... karena saya, ngikuti arus friend-friend di fb. Semoga suatu saat saya bisa ke kota antum yang katanya cukup bersih dan sejuk. Habis baru dengar duank namanya tapi belum pernah ke sono. 

Sinar Agama: O-M: Zat mirip substansi, tapi labih luas zat. Zat yakni yang tidak perlu kepada tumpangan untuk eksis, dan sifat sebaliknya. Mirip sekali dengan substansi dan aksiden. Tapi kalau Zat dan sifat bisa diterapkan pada yang bukan esensi, seperti Tuhan, sedang substansi dan aksiden harus pada esensi saja atau wujud-wujud terbatas. Antum mesti simak dulu semua tulisan-tulisan sebelumnya. Tapi antum boleh saja tanya, kalau nanti saya rasa harus merujuk ke yang sebelumnya nanti saya akan arahkan. Tapi kalau pendek-pendek saja seperti sekarang, maka bisa saya terangkan. 

Anggelia Sulqani Zahra: Iye ustadz. Terima kasih atas penegasan penjelasannya, maaf atas cara memahamiku yang sangat lambat..... mohon izin untuk saya jadikan dalam catatan-catatanku, biar saya dapat membagi dengan teman-teman kelas filsafat ini....syukron.... 

Mukmin Pencinta Yesus (gerakan sadar khumus): Sinar... salam wa syukran. Pendekatan masih sangat khlasik, terutama terkait dengan Wajah Tuhan. Antum hidup di zaman yang fasilitas pensyarah sudah sangat kaya, maka gunakan. Jangan sia-siakan, ya ustadz. Afwan, tolong tanggapi 2 ini, mudah-mudahan antum dapat bantu ana: 1. Umum: Ayat 9.40 menulis KALIMATULLAH HIYA AL-’ULYA, maka, apabila HIYA diganti HUWA, menjadi KALIMATULLAH HUWA ’ALI. Silahkan tanggapi, terkait juga dengan pengertian Antum tentang HUWA dalam tulisan Antum. 2. Khusus: Wajah Tuhan dalam representasi Angka 12. Misalkan 1 Tahun, bisa 29 x 12, 30 x 12, maka 12 sebagai BASIS atau STRUKTUR, tetap. Yang berubah adalah RUANG, dalam contoh adalah 29 atau 30. Afwan. 

Martha Adnesia: Syukron ustadz... memang sangat membutuhkn tulisan tentang wahdatul wujud secara rinci dan tuntas karena setiap kali kajian tentang ini tidak pernah sekalipun terbahas secara tuntas.. Makasih banyak ya ! 

Sinar Agama: Salam, untuk gerakan sadar khumus; terimakasih atas komentar dan nasihatnya. Saya rasa saya tidak mampu menaggapi anda, karena bahasa kita jauh berbeda. Dan saya tidak ada waktu sekarang ini memahami bahasa antum. Jadi, kalau memang mau diskusi tidak dari awal, maka tolong baca semua tulisan tentang wahdatul wujud ini dari bag-1 s/d 6. Afwan. Misal dari kejauhan beda bahasa kita, adalah seperti angka dan ruang. Bagi kami angka itu adalah akseiden yang tidak ada wujudnya di kenyataan, sedang ruang adalah substansi dari setiap benda yang merupakan fondamental baginya. Karena dengan ruang inilah materi itu jadi materi. Yakni karena volume itulah yang menjadi penentu zati bagi kematerian materi. 

Saya juga tidak dapat memahami keklasikanku (dasar orang klasik hem...),tapi coba antum mundur bacanya, barangkali akan ditemukan sesuatu yang tidak klasik. Bagi saya argumentasi gamblang adalah pedomannya. Sejak jaman Aresto, Plato, nabi Isa.....sampai ...ke Nabi saww, biasanya, selama berkaidah akal-gamblang, akan terus dipakai oleh para filosof sekontemporer apapun, karena akal-gamblang tidak akan pernah berubah. 

Yang ke dua saya disuruh memanfaatkan apa oleh antum, tolong kalau memang ada nasihat, jgn ditahan-tahan, arahkan saya dengan sejelas-jelasnya. Saya sih dalam menjalaskan wahdatul wujud sudah mengerahkan tenaga yang ada, dan telah saya ambil dari intisari kajian selama puluhan tahun dari pengajaran asfarnya Mulla Shadra, irfannya Ibnu Arabi melalui guru-guru besar kontemporer yang sekarang saya tidak bisa menyebut namanya. Jadi, kalau antum nasihati saya untuk memanfaatkan sesuatu, tolong diberikan pengarahan yang jelas. Begitu ya ustadz, supaya saya tidak kebingunagan. 

Mukmin Pencinta Yesus: Iya, ana baru dapat yang nomor ini, nomor sebelumnya ga antum tag kali ya. Insya Allah ana baca. Tapi ana minta agar saran ana diapresiasi. Syukran. Kita hidupkan diskusi dengan segala bahasa dan pendekatan. 

Sinar Agama: G-S-Kh: benar antum, saya karena melihat ada khumus-khumusnya maka saya kira bagus kalau kukirimi, maka dari yang terakhir itu ana kirim ke antum. 

Anwar Mashadi: Salam kenal Pak Sinar.. moga boleh ikutan bergabung dalam pembahasan- pembahasan ilmiah Anda.. Saya baru dapat yang “Wahdatul Wujud” (bag: 6), ini. Kalau Pak Sinar atau teman yang mau berbaik hati mengirimkan yang Bag-1 sampai Bag-5 saya minta tolong untuk kirim.. terimakasih. 

Lucy ‘uciel’ Susanti: Masih harus dibaca secara perlahan supaya lebih bisa dipahami, syukran atas ilmu.. Jazakallah khairan katsiran. 

Sinar Agama: Anwar-M: Kalau antum tidak keberatan, maka antum bisa masuk ke catatannya Anggelia Zulkani Zahra, dia yang membuatkan rangkuman dari tulisan-tulisanku yang terserak. Nanti kalau masih kesulitan lagi, kabari kami. Terimakasih atas perhatiannya. 

Mukmin Pencinta Yesus: Ustadz, entar ana add antum dengan akun Fisika Ekonomi Khumus, tolong notes antum tag ke akun itu. Afwan. 

Roman Picisan: Ustadz... ana udah baca perlahan-lahan tapi masih juga belum merasa paham. 

Komar Komarudin: Sukron... akhii atas Tagnya....... sepertinya harus di reviuw ulang lagi pen_ dalaman logika.. biar lebih mantap memahaminya........... Ya Allah bantulah Hamba-Mu yang hina ini untuk membuka tabir ini, sehingga tidak salah menuju jalan-MU... amin. 

Sinar Agama: R-P: Coba antum baca semua wahdatul wujud dari bag 1-6, kalau perlu diprint dan dipelajari. Tentu saja kalau minat mengerti wajdatul wujud ini. Tapi kalau tidak, maka tidak dosa dan tidak terlalu penting, maka belajarlah yang lain, terserah mau tanya apa, akidah kek apa kek, ghitu, nanti ana akan bantu dengan ijinNya. Untuk Mas K-K juga disarankan menyimak semua tentang wahdatul wujud itu dengan baik dari 1-6. 

Mohd Khamis Haroon: Fahamannya sama seperti agama yang lain, Kemuskilan; Agama yang sembah matahari, sembah pokok, sembah apa ajae yang katanya ada Tuhan. Kan sudah ada di dalam AlQuran,” Sudah ditanya dengan langit serta gunung tentang AMANAH Allah”. Di situ sudah disebut ... hanya Manusia Insan yang ada Amanah tersebut, kok Api juga bisa disamakan dengan Manusia Insan, emangnya kesemua yang di dalam Bumi Allah mahu di masukin ke dalam Shurga Allah? Kan sudah disebut hanya manusia yang dipindahkan Alam kehidupannya di Akhirat yang lainnya akan dibinasakan oleh Allah. Tidakkah Manusia itu yang tergolong sebagai Maujudnya ”WAJAH ALLAH”. Jangan salah Takwil tentang firman yang mengatakan,” Dimana saja kamu pandang, di situ ada wajah ALLAH”. Sedangkan yang empunya Penglihatan adalah Dzat Allah, dan yang Melihatkan adalah Sifat Allah yang ada pada Manusia Insan sebagai pendukung Amanah Allah. Tidak ada Mahluk ciptaanNya yang sama seperti Manusia Insan. Kok API juga bisa ditakwil sebagai adanya Allah juga. Itu KONYOL. Itu kan sama dengan mereka yang menyembah MATAHARI di Jepang atau kaum AMERICAN INDIAN yang Sembah API. Kan sudah tahu banyak yang melakukan demikian. Jangan disamakan Agama Suci Islam serendah itu. Jangan Reka Akidah yang BARU. Coba dipandang ke dalam Diri akan maksud ayat tersebut, dan bukan dipandang ke luar Diri. Jika kalian mencari Allah di Luar Diri, maka kalian akan menjadi Kafir. (Dari Hadith Nabi S.a.w). 

Mohd Khamis Haroon: Persoalannya; ”Setiap yang mengambil dasar dari al-Qur’an dan hadis itu pasti benar!” Tetapi; Jika Ada Hadith pasti ada ayat pokok perbicaraan dari AlQuraan sebagai pendukungnya yang diturunkan sebagai Wahyu dari Allah ....... Maka kita bisa menjawab, bahwa ”al-Qur’an atau Hadis itu memang benar, tetapi penjelasan orang terhadapnyalah yang belum tentu benar”. Maka sikap kita ketika ada orang yang menjelaskan ayat al-Qur’an atau hadis, waspadailah dengan cara mengkonfirmasikannya kepada para guru atau alim ulama yang sudah dikenal dan diakui di masyarakat. Yang sedemikian agar kita selamat dari penjelasan yang ganjil atau sesat yang seringkali menipu kalangan awam sehingga diyakini sebagai kebenaran. Wsalaam. 

Sinar Agama: M-K-H : 

1. Kelihatan kalau kamu tidak baca sama sekali tulisan kami. 

2. Kalaulah baca berarti tidak ada yang dipahami atau setidaknya salah paham. 

3. Usahakan kalau bicara pakai dalil, jangan hanya dakwa diri dan nasehat. 

4. Sesekali keluarlah dari sangkar berfikir anda untuk membaca tulisan orang lain sesuai dengan maksud penulisnya. Karena kalau tidak, maka anda kemanapun pergi dan tulisan apapun yang anda baca selalu akan dikurung dalam sangkar anda sementara anda akan terus merasa memahami penulisnya. 

5. Maknailah tulisan kami sesuai maksud kami baru setelah itu anda boleh menerima, menolak atau mengkritisinya. 

6. Terimakasih atas komentar anda dan tulisan saya lebih dari cukup untuk menjawabnya. 

7. Jangan kurung Tuhan anda itu dalam diri anda dan manusia karena keberadaanNya tidak terbatas dan karena anda bisa menjadi yesus ala kristen. 

8. Nasihat yang dibarengi dengan beribu maaf saya: Bacalah wahdatul wujud 1-6 dengan baik dengan ikhlas profesional dan dengan mengosongkan ilmu-ilmu sebelumnya sekalipun untuk sementara hingga tulisan kami bisa dipahami anda sesuai dengan maksud kami dan supaya anda dapat merasakan dalil-dalil yang kami sajikan yang sudah dijauhkan dari kecenderungan dan fanatisme dan telah dibangun diatas ilmu-mudah. 

9. Belajarlah dengan baik dan do’a kami untuk anda. Wassalam.




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ