Tampilkan postingan dengan label Al Qur'an. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Al Qur'an. Tampilkan semua postingan

Jumat, 28 Desember 2018

Kitabullah dan Ahlulbaitku atau Kitabullah dan Sunnahku ?



Seri tanya jawab Sufyan Hossein dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 7:53 am



Sufyan Hossein: 17 Februari 2013, Bismillaahirrahmanirrahim.... Afwan ustadz mau bertanya: bagaimana tanggapan ustadz tentang hadits-hadits di bawah ini.. Al-Hakim meriwayatkan di dalam al-Mustadraknya dari Zaid bin Arqam bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersabda pada Haji Wada’: 


“Sesungguhnya aku telah tinggalkan kepada kalian tsaqalain (dua peninggalan yang sangat berharga) yang salah satu dari keduanya lebih besar daripada yang lain, Kitabullah (Al-Qur’an) dan keturunanku. Oleh karena itu perhatikanlah oleh kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku. Sebab sesungguhnya keduanya tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di Haudh (telaga di surga).” 

Namun ada pula hadits ini : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam bersabda: 

“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat apabila (berpegang teguh) kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Tidak akan bercerai berai sehingga keduanya menghantarku ke telaga (Surga).” 


(Dishahihkan oleh Al- Albani dalam kitab Shahihul Jami). 

Manakah yang benar dalam hal ini, SUNNAH Nabi Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam ATAU Ahlul Bayt Nabi Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam?? Dan ada lagi hadits --> Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam: 

“Perumpamaan Ahlul Baitku seperti bahtera Nuh, barangsiapa yang menaikinya niscaya ia akan selamat; dan barangsiapa tertinggal darinya, niscaya ia akan tenggelam dan binasa.” 

(Disahihkan Al Hakim, Ibnu Hajar dan Ath Thabrani). 

Namun ada juga perkataan dari Imam Malik bin Anas --> Imam Malik bin Anas rahimahullaahu ta’ala berkata: 

“As-Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ibarat bahtera (perahu) Nabi Nuh ‘alaihissalam, siapa saja yang menaiki (mengikutinya) maka ia akan selamat dan siapa saja yang menyelisihinya maka ia akan binasa.” 

(Diriwayatkan oleh al-Harawi di dalam Dzammul Kalam, IV/124, dan al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad, VII/336). 

MANAKAH YANG BENAR DALAM HAL INI -> SUNNAH NABI ATAU AHLUL BAYT NABI?? Jazakumullah khairan — bersama Sinar Agama dan Abu Fahd NegaraTauhid. 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: 

1- Ada dua hadits yang dihandalkan masing-masingnya oleh Syi’ah dan Sunni. 
  • Pertama, hadits tentang peninggalan Nabi saww untuk umat yang berupa dua hal yang berat, yaitu Qur'an dan Ahlulbait as (bukan keturunan seperti yang antum katakan, tapi Ahlulbait yang makshum, yaitu 12 imam as dan hdh Faathimah as) dimana pesan ini yang dijadikan handalan Syi’ah. 
  • Ke dua, tentang peninggalan Nabi saww untuk umat yang berupa dua hal yang berat, yaitu Qur'an dan Sunnah Nabi saww. 
2- Di Sunni dan di Syi’ah, jelas yang menjadi pedoman agama itu adalah Qur'an dan hadits. Akan tetapi, Syi’ah yang mengikuti Ahlulbait as itu, karena Qur'an itu harus dijelaskan oleh makshum yang mewarisi seluruh ilmunya dari Nabi saww secara makshum dan juga tidak ada yang lebih tahu hadits Nabi saww kecuali pewaris ilmu beliau saww yang juga makshum. Jadi, pengikut Ahlulbait as itu, mengikuti Ahlulabait as karena perintah Allah dalam Qur'an dan karena perintah Nabi saww dalam hadits. 

3- Dengan penjelasan di atas, maka pengikut Ahlulbait as sudah tentu mengikuti Hadits atau Sunnah Nabi saww seperti Syi’ah, tapi yang mengikuti hadits Nabi saww belum tentu mengikuti Ahlulbait yang makshum as. Hal itu karena mengikuti Ahlulbait as itu di samping karena Ahlulbait yang makshum itu lebih tahu tentang Qur'an dan Sunnah Nabi saww, juga karena Nabi saww sendiri yang memerintahkan seperti di hadits di atas itu.

4- Dilihat dari isi dua bentuk hadits di atas itu, sudah tentu Ahlulbait as tidak bertentangan dengan Sunnah Nabi saww hingga membuat kedua hadits tersebut layak dipertentangkan. Hal itu karena Ahlulbait as itu, makshum dan lebih tahu tentang Qut an dan Sunnah Nabi saww hingga karena itu, maka mengikuti Ahlulbait as sudah tentu mengikuti Qur'an dan Sunnah Nabi saww. Sedang yang mengikuti Qur'an dan Sunnah Nabi saww sendiri, sangat-sangat belum tentu mengikuti keduanya karena jelas-jelas belum tentu memahami dengan benar keduanya lantaran tidak makshum dan tidak mewarisi ilmu Nabi saww secara makshum. 

5- Tentang dalil Qur'an dan hadits Sunni tentang kemakshuman Ahlulbait as itu, sudah sering saya jelaskan di facebook ini hingga di sini saya tidak akan mengulangnya dan silahkan merujuk ke catatan-catatan tentang Ahlulbait as atau tentang imamah.

6- Kalaulah ada orang mau mempertentangkan dua jenis hadits di atas itu, dan ia ingin mengambil salah satunya saja, maka sudah tentu dia tidak boleh mengambil yang memesankan atau mewariskan Qur'an dan Sunnah Nabi saww. Hal itu bukan karena Sunnah Nabi saww itu tidak bisa dijadikan dasar agama, karena Sunnah Nabi saww itu pada esensi dan hakikatnya merupakan dasar Islam ke dua setelah Qur'an. 

Akan tetapi, berhubung banyaknya hadits dan perbedaan dan bahkan pertentangannya, di samping banyaknya hadits-hadits yang sengaja disusupkan sejarah, maka sudah tentu Sunnah Nabi saww tersebut perlu difilter dengan Qur'an secara hakiki. Dan pemfilteran atau pentesteran atau pengukuran atau penilaian hadits dengan Qur'an itu, hanya akan terjamin kalau dilakukan oleh yang mengerti Qur'an secara lahir dan batin secara makshum yang kemakshumannya dijamin Qur'an itu sendiri. 


Karena itulah, maka mengikuti Sunnah Nabi saww dengan menghilangkan atau meninggalkan Ahlulbait yang makshum as, maka hal inilah yang saya maksudkan tidak bisa dilakukan, yakni dengan kalimat “tidak boleh mengambil yang memesankan atau mewariskan Qur'an dan Sunnah Nabi saww.” 

Yakni hal itu tidak boleh dilakukan kalau bermaksud harus memilih salah satu dari kedua hadits di atas yang berarti pengikut Sunnah Nabi saww harus meninggalkan Ahlulbait Nabi saww. 

Di samping itu, perbandingan haditsnya juga jauh sekali berbeda. Karena hadits yang mewariskan Qur'an dan Ahlulbait yang makshum, jauh melebihi mutawatir sementara yang mewariskan Qur'an dan Sunnah Nabi saww memiliki sanad yang sangat lemah dan mursal yang, jangankan di Bukhari atau Muslim, di kitab hadits shahih yang enam-pun riwayat tersebut tidak diriwayatkan sebagaimana nanti akan maklum. 

7- Perbandingan ke dua hadits di atas: 
  • 7-a- Hadits Nabi saww yang mewariskan Qur'an dan Ahlulbait yang makshum as kepada umat di kitab-kitab Sunni, diantaranya sebagai berikut:
    • 7-a-1- Diriwayatkan dari berbagai kitab seperti: Shahih Muslim, 2/362, 15/179-180 (yang disyarahi Nawawi); Turmudzi, 5/328, hadits ke: 3874 dan 5/329 hadits ke: 3876; Musnad Ahmad bin Hanbal, 5/182 dan 189; Mustadraku al-Haakim, 3/148; Kanzu al-”ummaal menukil dari Turmudzi dan Nasaa-ii dari Jabir, 1/44; Kanzu al- ’Ummaal, 2/153 (1/154), 1/158 hadits ke: 899, 943, 944, 945, 946, 947, 950, 951, 952, 953, 958, 1651, 1658 dan 5/91 hadits ke: 255 dan 356; Ibnu Atsiir dalam Jaami’u al-Ushuul, 1/187 hadits ke: 65 dan 66; Thabraanii dalam al-Mu’jamu al- Kabiir, 137 dan dalam al-Mu’jamu al-Shaghiir, 1/135; al-Fathu al-Kabiir, 1/451, 1/503, 3/385; Usdu al-Ghaabah, 2/12; Dzakhaairu al-’Uqbaa, 16; al-Shawaaiqu al- Muhriqah, 147 dan 226; Majma’u al-Zawaahid, 9/162; ‘Abaqaatu al-Anwaar, 1/16, 31, 44, ,74 ,86 ,92 ,94 ,97 ,98 ,99 ,114,115 ,120 ,124 ,127 ,137 ,139 ,140 ,141 ,148 ,154, 171 ,176 ,182 ,190 ,198 ,201 ,204 ,205 ,206 ,217 ,220 ,227 ,233 ,236 ,237 ,239 ,243 ,253 ,254 ,268 ,270 ,272 ,279; al-Nihaayah Ibnu Atsiir, 1/155; Tafsiir al- Durru al-Mantsuur, 2/60, 6/7 dan 306; Tafsiir Ibnu Atsiir, 4/113; Tafsir Khaazin, 1/4, 6/102, 7/6; .....dan seambrek lagi yang lainnya. 
    • 7-a-2- Perawinya mencapai 35 shahabat dimana hal ini menunjukkan tiga kali lipat lebih dari Mutawaatir yang hanya mencukupkan 9 orang shahabat atau bahkan kurang dari itu di sebagian ulama Sunni seperti Ibnu Taimiyyah sebagaimana pernah saya jelaskan sebelumnya. Perawi tersebut adalah sebagai berikut: 
  • 7-b- Sedang hadits yang mewariskan Qur'an dan Sunnah Nabi saww, hanya di beberapa tempat yang jelas tidak bisa dibandingkan dengan kitab-kitab Sunni di atas. 
    • 7-b-1- Kitab-kitab yang dimaksudkan adalah: al-Muwaththa’, 2/899; Taariikh/siirah Ibnu Hisyaam, 4/251; al-Ilmaa’ karya al-Qaadhii, 9; al-Faqiih karya Khathiib Baghdaadi, 1/94.
    • 7-b-2- Sedang perawinya (yang sementara ini saya jangkau) hanya dua orang: Abu Hurairah dan Anas. 
Kalaupun Abu Hurairah mau ditsiqahkan sekalipun pernah korupsi di jaman Umar sewaktu diangkat Umar untuk jadi gubernur di Bahrain, lalu karena ia korupsi maka selain dipecat oleh Umar juga dihukum cambuk, maka tetap saja tidak bisa dibanding dengan 35 shahabat di atas. Terlebih riwayat-riwayat ini mursal dan dha’if/lemah sebagaimana disepakati ulama tentang hal tersebut. 

Kesimpulan

Hadits yang mewariskan Qur'an dan Ahlulbait yang makshum as tidak bisa dibanding dengan hadits yang mewariskan Qur'an dan Sunnah Nabi saww dari sisi kitab-kitab haditsnya dan perawi-perawinya. Tidak bisa dibanding karena hadits yang pertama di samping shahih dan mutawatir juga lebih dari tiga lipat mutawatir, sementara hadits ke dua, bukan hanya diriwayatkan oleh dua orang, tapi juga bahkan mursal dan dha’iif. 

Sebagai pedoman muslim, ketika menghadapi dua riwayat seperti itu, maka jelas kewajibannya adalah mengikuti hadits pertama dan meninggalkan hadits ke dua. Ini, sekali lagi, kalau mau mempertentangkan maknanya dari kedua hadits tersebut. Tapi kalau mau dipadukan seperti yang sudah dijelaskan di atas itu, maka jelas satu sama lain bukan hanya tidak bertentangan, tapi bahkan saling mendukung. Karena Ahlulbait as yang makshum itulah yang tahu Qur'an dan Hadits secara seratus persen lengkap dan benar. Karena itu, mengikuti Ahlulbait yang makshum as, sama dengan mengikuti Qur'an dan Hadits. Persis ketika shahabat menaati Nabi saww, maka sama dengan menaati Qur'an dan Allah. Karena semua yang diperintahkan dan dijelaskan Nabi saww itu adalah seratus persen lengkap dan benar dari Qur'an dan Allah. Wassalam. 

Sufyan Hossein: Teringat hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa aalihi wa sallam: 

“Pada hari penghisaban nanti sekelompok sahabatku akan datang menemuiku di telaga Al-Haudh, dan mereka itu dilarang untuk meminum air darinya. Aku kelak akan berkata: ‘Ya, Rabbi! Mereka ini adalah para sahabatku’. Kemudian Allah akan berkata: ‘Engkau tidak tahu apa yang mereka telah lakukan sepeninggalmu. Mereka telah meninggalkan ajaranmu.” (HR Muslim volume 15, halaman 53—54) 

Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad wa ajjil faraja aali Muhammad warham Imamal Khumeini wahfadh qaidana ‘Ali Khamene’i waj’alna min ansharil Hujjahal Mahdi afs. Jazakallah khayran atas pencerahannya ustadz.. 

Wassalam. 

Nur Cahaya: Ustadz Sinar Agama 

Mohon penjelasannya, apakah yang dimaksud ahlulbait, baitullah, darimana landasan perintah mengikuti hadits selain Quran dari hadits-hadits keturunan keluarga, apakah yang dimaksud sunnah nabi? Apakah benar nabi diperintah membuat sunnahnya dari dirinya sendiri? Mohon maaf jika kurang berkenan. Senang sekali jika bisa bertukar pemahaman tentang hal tersebut. Salam. 

Sinar Agama: Nur: Ketika Tuhan memerintahkan taat padaNya dan pada Rasul saww, QS: 3: 32, maka jelas bahwa kita wajib menaati semua perintahnya. Begitu pula ketika dikatakan bahwa beliau saww adalah contoh yang baik, QS: 33: 21. 

Begitu pula ketika Tuhan mengatakan bahwa apapun yang beliau saww katakan (tentu saja termasuk lakukan), adalah dari wahyu, QS: 53: 4. 

Karena itu, apapun yang dikatakan Nabi saww dan yang dilakukannya bahkan yang didiamkannya, maka semuanya itu adalah wajib ditaati dan dicontohi. Inilah salah satu dasar dari kewajiban mengikuti hadits di sisi Qur'an. 

Tentu saja banyak ayat-ayat lain seperti, QS: 2: 151, yang mengatakan bahwa Nabi saww diutus itu untuk mengajari Qur'an dan hikmah. Jadi, semua perkataan beliau saww dan perbuatannya adalah penjelasan dari Qur'an, karena beliau saww diutus untuk itu dan, sudah pasti benar semuanya alias makshum. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Senin, 24 Desember 2018

Tentang Keturunan




Seri pertanyaan inbox-page Fatimah Adz Zahra Muhammad dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, March 31, 2013 at 2:35 pm


Fatimah Adz Zahra Muhammad: 15-2-2013, 

Salam ustadz.. Apa kabarnya ustadz? Afwan saya ingin bertanya lagi ustadz, bagaimana tanggapan ustadz tentang hadist di bawah ini.. 

Rasulullah Saaw berkata; 

“Cintailah keturunanku yang ber-ilmu/Alim karena Allah SWT, dan cintailah keturunanku yang biasa- biasa saja/bukan orang Alim, karena aku.” 


Bukankah Allah SWT dan Rasulullah adalah satu kesatuan dan tidak bisa dipisahkan? 

Tapi belajarlah tentang syiah yang sebenar-benarnya, dari orang yang punya kapabilitas tentang Ahlulbayt, belajarlah tentang apa arti “Itrah, Qurba, dzurriyah” dengan cermat, harus bagaimanakah seharusnya memperlakukan mereka... 

*Ayatulllah Sayyid ‘Adil Alawi berkata, “Dan juga menunjukkan keharusan menghormati dzurriyah adalah apa yang telah disabdakan oleh beliau (Saaw); “Cintailah dzurriyahku ‘yang shaleh karena Allah SWT dan yang tidak shaleh karena aku..” dan juga ayat Al-Qur’an surah Al-Istifa’...” 

(Menukil dari Sayyid Asyraf Mir Damad, Fadhail as-Saadaat, 49) 

*Muhaddist agung Syekh Abbas al-Qummi (penghimpun kitab do’a Mafatih al-Jinan) ra, beliau sangat besar penghormatannya terhadap para ahli ilmu, khususnya dari kalangan para sayyid, putra-putra Rasulullah Saaw. Dan jika di sebuah majelis ada seorang sayyid, beliau tidak men- dahuluinya dan tidak mengulurkan kakinya ke arahnya. 

Beberapa saat sebelum wafatnya, orang-orang membawakan jus apel untuk Syekh Abbas al- Qummi, dan secara kebetulan dirumahnya ada seorang anak kecil dari Saadah/sayyid, maka al- Muhaddist (al-Qummi) berkata, ‘Berikan kepadanya agar ia meminumnya terlebih dulu, setelah itu sisanya berikan kepadaku’. 

Beliau melakukan itu karena demi mencari berkah. Setelah anak kecil itu meminumnya, barulah al-Qummi meminum sisanya untuk dijadikan obat kesembuhan. 

*Wasiat Ayatullah al-Udzma Sayyid al-Mar’asyi an Najafi ra. 

Sayyid ‘Adil melanjutkan, “Termasuk wasiat guru besar kami Ayatullah Sayyid al-Mar’asyi ra, ‘Hendaknya kamu sekalian menjaga dzurriyah kenabian, berbakti kepada hak mereka, membela mereka, menolong mereka dengan tangan dan lisan, sebab mereka adalah titipan maqam kenabian di tengah-tengah umat manusia. Maka berhati-hatilah kamu dari menzalimi mereka, membenci mereka, buruk perilaku terhadap mereka, menyakiti mereka, acuh terhadap mereka, 

menghinakan mereka dan tidak menjalankan hak mereka. Hal itu semua dapat menyebabkan dicabut taufik Allah. Dan jika kamu (semoga engkau Allah darinya) tidak mencintai mereka dengan hatimu, maka engkau adalah orang yang sakit hatinya, bercepat-cepatlah untuk berobat kepada dokter jiwa (ulama shalihin). Apakah ada keraguan tentang keutamaan dan keagungan mereka serta ketinggian derajat dan martabat mereka?! Jauhlah... Jauhlah, tiada keraguan lagi kecuali orang yang buta mata hatinya dan kaku hatinya...” 

(Qabasaat Min Hayati Sayyidina al Ustadz, 130) 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Yang bisa saya tangkap dengan hati yang penuh hijab ini, dari pelajaran-pelajaran dan kehidupan keilmuan maka, KURANG LEBIH: 

Pesan Nabi saww tentang keluarga beliau saww itu, yaitu kewajiban menyintai, menolong dan seterusnya, adalah Ahlulbait yang makshum as. Alasannya di tafsir-tafsir Qur'an tentang cinta Qurba Nabi saww itu adalah karena Nabi saww tidak minta upah apapun dari umatnya untuk dakwah beliau saww itu. Nabi saww sama sekali tidak memiliki pamrih apapun terhadap dakwah beliau saww itu dan Tuhan juga seperti itu. Jadi, kalau ada permintaan kewajiban menyintai keluarga beliau saww adalah yang makshumin as. Karena hal itu bukan demi Nabi saww tapi demi umat beliau saww sendiri. Beberapa hari yang lalu di inbox saya pernah membahas hal yang mirip dimana membawakan ayat-ayat itu bagus di sini. Ini kunukilkan sebagiannya dari diskusi tersebut: 

Antum tidak bisa menafsir ayat dengan kehendak sendiri dan apalagi dengan perasaan. Allah banyak menjelaskan ayat itu di ayat-ayat lainnya, seperti: 

قل ما سألتكم من أجر فهو لكم إن أجري إلاّ على الله

“Katakan -Muhammad- apa-apa yang kuminta dari kalian dari upah itu, adalah untuk diri kalian sendiri dan sesungguhnya upahku hanya di Allah.” 

قل ما أسألكم عليه من أجر إلاّ من شاء أن يتخذ إلى ربّه سبيلا

“Katakan -Muhammad- apa-apa yang aku minta dari kalian dari upah itu, tidak lain untuk orang-orang yang hendak mencari jalan menuju Tuhannya.” 

قل ما أسألكم عليه من أجر وما أنا من المتكلفين

“Katakan -Muhammad- apa-apa yang aku tidak minta upah apapun upah dari kalian darinya -tabligh- dan aku bukanlah yang memaksa.” 

Jadi, cinta yang diwajibkan itu adalah cinta yang teriring ketaatan dan sebagainya dan, yang tidak berupa keuntungan untuk Nabi saww di dunia ini, karena Nabi saww hanya akan mendapat dari sisi Allah. Oleh karena itulah maka keuntungan apa yang kalau menyintai keluarga Nabi saww itu yang bisa didapat? Jawabannya, adalah jalan menuju Allah. Nah, jalan menuju Allah ini hanya akan didapatkan secara pasti dari keluarga makshum Nabi saww. 

2. Sedang cinta kepada yang lain-lainnya dari para sayyid atau keturunan Abdulmuthallib ra atau keturunan Nabi saww secara khusus, yang bisa saya raba, sama dengan pesan-pesan Nabi saww kepada saling cinta dan tolong sesama muslimin. Sebegitu ditekankan terhadap saling tolong ini hingga siapapun yang tidak mau menolong saudara seimannya yang minta tolong dan dia mampu menolong, maka dosanya adalah dosa besar dan taubatnya tidak diterima Allah kecuali mencari orang tersebut dan menolongnya atau meminta ridhanya. 

Akan tetapi, kalau dalam setiap hal, ada saja gradasinya, seperti shalat berjama’ah dimana kalau calon imam shalat itu sama-sama adil dan alim, baik dari kalangan sayyid atau bukan, maka diutamakan (bukan diwajibkan) yang sayyid untuk dijadikan imam shalat, dan kalau sayyidnya lebih dari satu, maka diutamakan dipilih yang ganteng/tampan, maka dalam penghormatan ini juga seperti itu. Jadi, kalau mau menawarkan air kepada dua orang dimana yang satunya sayyid dan yang lainnya bukan, maka diutamakan (bukan diwajibkan) untuk menawarkan ke sayyid terlebih dahulu. 

Satu lagi yang bisa ana raba dari perilaku para ulama, adalah bahwa mereka mengambil jalan ihtiyath/hati-hati selama tidak bertentangan dengan hukum lainnya. Artinya mendahulukan sayyid karena tidak ada salahnya dan demi mengingat Nabi saww. Jadi, sekalipun anggap tidak dianjurkanpun, maka tetap tidak keluar dari garis agama. Tapi kalau berlawanan dengan hal lainnya, misalnya yang bukan sayyid lebih tua, lebih alim, lebih taqwa, ....maka mungkin mereka tidak akan melakukan kehati-hatian itu. 

Dari hukum shalat jama’ah itu sudah dapat ditangkap, seperti di fatwa imam Khumaini ra di Tahriiru al-Washiilah, masalah ke: 8 dari bab: syarat-syarat imam shalat (saya ringkas intinya saja): 

{{Kalau imamnya lebih dari satu, maka kalau saling mendahului, maka hati-hatinya tidak bermakmum kepada semuanya. Kalau saling mendahulukan/menyilahkan yang lainnya, maka ambil yang didahulukan makmumnya. Kalau makmumnya berbeda pendapat, maka diutamakan yang mujtahid yang adil. Kalau tidak ada atau juga sama-sama mujtahid, maka ambil yang paling bagus bacaannya. Dan kalau diantara mujtahid itu sama-sama bagus bacaannya, maka ambil yang paling alim dalam masalah shalat; kalau sama juga, maka ambil yang lebih tua. 

Imam yang biasa mengimami di satu masjid tertentu, maka ia di mesjid itu lebih utama dari yang lainnya, sekalipun fadhilahnya lebih rendah dari yang lain dan seyogyanya ia mendahulukan terlebih dahulu orang-orang yang lebih afdhal darinya sebelum maju mengimami (misalnya dia bukan mujtahid lalu kebetulan ada mujtahid yang mau bermakmum, maka ia seyogyanya menawarkan dulu kepada tamu tersebut). 

Begitu pula, yang memiliki rumah, lebih utama untuk menjadi imam shalat dari tamu-tamunya (tentu saja kalau memenuhi syarat jadi imam shalat, seperti lelaki, berakal, adil atau tidak melakukan dosa besar dan kecil...dan seterusnya). 

Dan sayyid, lebih utama dari yang lainnya kalau dalam fadhilah-fadhilah atau kelebihan- kelebihan di atas itu sama dengan yang bukan sayyid. 

Semua yang disebutkan di atas itu, adalah keutamaan saja dan bukan kewajiban.}} 

Dari fatwa di atas dapat dipahami bahwa keutamaan itu setelah melewati persyaratan imam shalat yang wajib dipenuhi. Jadi, keturunan atau bukan, harus lolos dulu dari syarat wajib ini. Baru setelah 

itu kalau yang keturunan ini mau diafdhalkan, harus melewati dulu fadhilah-fadhilah yang lain seperti mujtahid, lebih alim dan lebih fashih/fasih di antara sesama mujtahid itu, lalu lebih alim tentang shalat (lebih a’lam tentang shalat di antara sesama mujtahid itu), lebih tua diantara sesama mujtahid itu. Lalu yang biasa menjadi imam shalat di masjid, lalu pemilik rumah dan setelah itu baru sampai ke keturunan kalau ia sama dengan yang lainnya dari sisi fadhilah-fadhilah tersebut. 

Catatan

1- Masih banyak lagi bahasan yang bisa dibahas dalam hal ini.

2- Tentang perakitan tiga ayat untuk mengerti siapa Qurba yang wajib dicintai dalam  Qur'an itu, diambil dari tafsir Amtsaal, karya ayatullah Makaarim Syiiraazii hf.

3- Tentang sayyid Adil hf itu kita hormati pendapatnya, sekalipun kita mungkin agak beda kalau beliau hf memaksudkan pengkhususan hal-hal cinta, pertolongan ....dan seterusnya...itu kepada keturunan dan tidak kepada yang lainnya. Kalau semacam penggradasian, asal tidak bertentangan dengan nilai-nilai lainnya, maka hal itu jelas wajar-wajar saja dan bisa dikatakan lebih ahwath/hati-hati. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 23 Desember 2018

Makna Sunnatullaah dan Sunnaturrasul



Seri tanya jawab Memburu Kebenaran dengan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, March 31, 2013 at 12:59 pm

Memburu Kebenaran mengirim ke Sinar Agama: Rabu (6-2-2013) 

Salam ustadz semoga sehat selalu..maaf mau nanya apa pengertian makna dari Sunatillah dan Sunatirosull dalam ayat Alquran ? Dan gimana aplikasinya ? 


Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya yang diulang sampai sekitar 10 kali: 

Sunnatullah bisa berupa ciptaan, yaitu Naturalnya, dan bisa berupa syariat yaitu Ajaran Allah yang dituang dalam Qur'an. Sedang Sunnaturrasul saww adalah Ajaran Allah yang dituangkan dalam hadits-hadits Nabi saww. Hadits, yakni sabda, perbuatan atau taqrir/persetujuan Nabi saww. 

Kedua sunnah itu, bisa berupa akidah, fikih dan seterusnya. Yang fikih bisa berupa wajib, haram, sunnah, mubah dan makruh. Jadi, sunnah di kedua sunnah tersebut, bukan lawan dari wajib, tapi ajaran itu sendiri. 

Memburu Kebenaran: Syukron ustadz jawabannya , maaf tidak sengaja pertanyaan terulang, dikira belum masuk signal jelek sekali kemarin. 

Sinar Agama: Iya tidak masalah, saya juga terkadang begitu di inbox. Terlihat ada tanda tidak terkirim, tapi ternyata terkirim. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 07 Desember 2018

Menangis dan Memaktami Orang Mati Serta Fitnah Terhadap Syi’ah, Bag: 2



Seri status Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Saturday, February 2, 2013 at 11:43 am



Muhammad Gofur Zfzf: Saya tidak menentang keterangan anda,, sebab anda punya alasan yang cukup tepat. Tapi kalau rasul membolehkan memukuli dada (wanita)... Saya merasa hadis di atas lemah..

Sinar Agama: Muhammad: Kesedihan itu bisa dilampiaskan dengan apa saja, menangis, memukul dada, memukul kepala, terjun ke api, bunuh diri, minum racun, tidak makan, menjerit dan seterus- nya.

Islam datang memberikan pencerahan kepada umat manusia sehingga membolehkan yang memang boleh dan melarang yang memang terlarang menurut ilmu Allah.

Kalau memukul dada itu tanda tidak ridha, maka sedih saja sudah tidak ridha. Jadi, kalau ada keluarga yang meninggal, maka tertawa-tawa saja, karena kalau sedih saja sudah tanda tidak ridha. Ini kan raksyih.... 


Karena itu Islam tidak melarang bersedih walau menangis sampai buta seperti nabi Ya’quub as (QS: 12: 84): 


“Dan ia -Ya’quub as- berkata: ‘Duhai dukaku atas Yusuf -as.’ Dan kedua matanyapun menjadi putih (buta) karena kesedihannya. Karena itu ia selalu dalam keadaan berduka.” 

Emangnya seenaknya bilang hadits palsu, lemah dan semacamnya tanpa menyelidiki hal-hal perlu di dalam keilmuan. Hanya karena tidak cocok, maka dikatakan lemah. Enak banget, emangnya tidak takut kepadaNya dan Nabi saww di hari perhitungan besok??? 

Nah, dengan semua penjelasan yang berulang-ulang ini, dapat disimpulkan bahwa menangis, memukul dada dan muka/kepala, tidak dilarang oleh Allah. 

Tentu saja, kalau niatnya adalah kesedihan, bukan protes dan ketidakrelaan. Karena semua amal itu tergantung niatnya. Jadi, sekalipun hanya diam saja, atau bahkan tertawa, tapi kalau hatinya tidak rela kepada hukum Tuhan, maka terhitung protes dan, yang demikian ini adalah haram hukumnya. 

Tapi kalau hanya sedih, walau dengan menangis sampai buta, memukul dada dan kepala, maka hal itu tidak dilarang dalam Islam. Begitu pula kalau protesnya itu kepada yang zhalim, seperti pembunuh, bukan kepada Tuhan, maka hal ini jelas juga tidak masalah dan bahkan diharuskan dalam Islam. Karena itu Nabi saww bersabda bahwa kalau ada orang yang membunuh orang lain dengan batil di ujung dunia, dan di ujung dunia yang lainnya mendengar hal itu dan rela, maka ia akan mendapatkan dosanya. 

Duka dan kesedihan syi’ah terhadap imam Husain as itu (dan kepada seluruh makshumin as di hari-hari wafat atau kesyahidan mereka dimana jelas termasuk Nabi saww) terdapat tangisan, pemukulan dada dan kepala, demi kesedihan dan, terdapat protes terhadap semua pembunuhnya dan yang terlibat, demi membela kebenaran dan memprotes kebatilan. 

Bukan untuk memprotes hukum Tuhan bahwa kulit dan leher kita ini lemah dimana kalau teriris pedang tajam menjadi luka dan bahkan terpotong, bukan protes bahwa Allah telah mewajibkan kita jihad membela agama, bukan protes mengapa Tuhan tidak melenyapkan pada zhalim dengan KuasaNya.....dan seterusnya. Karena itu, duka syi’ah itu bukan hanya boleh, tapi merupakan kemestian dilihat dari kacamata agama dan kemanusiaan serta akal- sehat. 

Syam Lorenza: Jadi tolonglah selain untuk cucu Nabi yaitu Husain Rodhiallohu ‘anhu, antum juga harus merasa bersedih atas wafatnya saudara-saudara beliau, yang juga anak-anak dari Ali Rodhiallohu ‘anhu, yt. Abu Bakar bin Ali bin Abi Tholib, Umar bin Ali bin Abi Tholib, juga Utsman bin Ali bin Abi Tholib. Kok nama-nama mereka ga disebut-disebut juga ya? 

Muhammad Gofur Zfzf: Hadis bukan Al-quran. Berarti setiap orang boleh menilai hadis, jika bertentangan dengan alquran dong. Abu hurairah menjelaskan “bahwa mereka telah membakar semua yang mereka tulis tentang hadis-hadis nabi saw. 

Berarti ada peluang tidak semua hadis yang di sahkan sebagian ahli hadis shahih adalah SHAHIH. Syiah benar dalam kesedihannya atas wafat Al-Husein ,, 

Saya juga sedih koq. Tapi jika syiah muslim yang bijak, koq mereka meng-kafirkan ke khalifahan Abu bakar, Umar, Utsman bin Affan...?? 

Midy Noval: Midy: kamu ini seperti berteriak begini. Ayuhaaaanas (hai manusia) aku dan madzhabku adalah kebenaran haqiqi jalan lurus yang tidak salah sedikitpun walau aku, guruku imamku khalifahku dan seterusnya bukan orang yang makshum..... 

Sinar agama, bukankah syiah yang merasa benar sendiri lainya sesat. Syiah mengatakan: Sesungguhnya ummat semuanya kafir karena telah berbaiat kepada sayyidina Abu Bakar sesudah wafatnya nabi. Dan syiah mengkafirkan semua shahabat nabi kecuali 5 : Ali, Miqdad, Ammar bin Yasir, Salman Alfarisi, Abu Dzar, jadi syiah mengkafirkan sayyidina Abu Bakar Umar Utsman dan shahabat lainya kecuali 5 yang di sebut tadi, syiah juga menuduh sayyidina Abu Bakar merampas kepemimpinannya sayyidina Ali, syiah juga men fitnah sayyidina Umar berbuat keji terhadap sayyidati Fatimah yaitu menginjak injak sayyidati Fatimah sehingga kandungannya gugur, juga syiah mengatakan imam Bukhari dusta, imam Muslim sesat, imam Hambali dusta, imam Abu Hanifah bodoh. 

Sinar agama saya pertegaskan tidak ada yang makshum di dunia ini kecuali nabi. Adapun para shahabat nabi itu mahfudz patut bersalah dan melakukan dosa, tapi beda dengan kita semua, kalau orang yang mahfudz melakukan dosa itu langsung bertobat. Kalau kita semua bukan makshum atau mahfudz. Bukti kita bukan orang mahfudz terkadang bangga terhadap maksiat contoh kecil, sinar agama mengoceng cewek cantik dan masih bisa menyebarkan maksiatnya bahwa tadi saya mengonceng cewek cantik itu cuma contoh loo. 

Itulah perbedaanya makshum dan mahfuzd dan juga orang yang bukan mahfudz dan makshum, jika kaliaan wahai syiah masih berkeyakinan bahwa ada orang yang makshum selain nabi itu tahayyul. Jadi kalian wahai syiah berkeyakinan tahayyul. 

Sinar agama, kalau kamu komen jangan yang fanatik buta itu bukan kami tapi kaliaanlah wahai para syiaah sesat lucu lagi. 

Syiah menuduh dan memfitnah sayyidina Umar suka melakukan homo sexsual dikarnakan mem- punyai penyakit yang tidak bisa sembuh kecuali dengan air maninya laki laki. Demi Allah itu fitnah. Bukankah kalialan lah wahai para syiah yang suka melakukan sex lewat jalan dhubur.... karena itu di bolehkan di dalam kitabnya kalian wahai syiah. 

“pendapat yang kuat dan terkenal adalah diperbolehkan menyetubuhi istrinya lewat jalan bela- kang walaupun hal itu sangat di benci. 

( Tahrirul wa silah hal 241 masalah ke 11) 

Muhammad Gofur Zfzf: Menyetubuhi istri dari mana pun arahnya. Adalah halal. Itu lah islam. Abu bakar, Umar Usman.. Adalah amirul mukminin. Dan tidak ada fitnah yang pantas untuk mereka. Dan Tuhan sunni & syiah adalah Allah. Nabinya nabi saw. Ok..!? 

Okti Ningrum: 19 teman yang sama: Midy: ente kalo ngomong gak pake ilmu. jawaban Sinar Agama tentang anal sex :kitab Wasaailu al-Syi’ah ini: 


Dari imam Baqir as dari Rasulullah saww: “Mengumpuli wanita di duburnya adalah haram untuk umatku.” 

Midy Noval: Okti: tolong jangan salahkan saya salahkan kitab kalian tuh tahrirul wasilah. Kok bisa jadi bisa bertentangan ya????? 

Midy Noval: Gofor. Tapi ada salah satu dari golongan syiah yang mengatakan bahwa risalah atau wahyu itu seharusnya kepada sayyidina Ali akibat malaikat Jibril salah menyampaikanya di sampaikan kepada nabi Mohammad yang seharusnya disampaikan kepada sayyidina Ali. Bahkan ada yang mengatakan Ali itu Tuhan. Tapi sayangnya sinar agama gak mau mengakuinya mereka bertaqiyah alias memakai caranya orang munafik. 

Muhammad Gofur Zfzf: Tuhan adalah Al-khaliq,, yang kekal (abadi). Sedang Ali adalah fana’(binasa). Ali bukan Rabb. Dan muhammad Adalah rasul. Liihat q.s al-bayyinah. Dan jibril tidak memiliki nafsu,, jadi mustahil jibril salah. sebenarnya syiah bukan musuh sunni. Tapi musuh adalah provokator, yang membuat sunni dan syiah terpisah seperti langit-bumi..! 

Tapi kalau sekarang ini,, syiah memang telah sesat, kita tidak dapat memungkiri itu.. 

Midy Noval: Bisakah kita sunni dan syiah bersatu... 

Sunni memulyakan alhlubait, dan shahabat nabi sedangkan syiah melaknat shahabat nabi bisaaaakah kita bersatuu? Kalau perbedaan furuiyah seperti ada yang membolehkan tahlil ada juga gak mau tahlilan saya rasa kalau perbedaan itu biasa biasa saja. Klo ama syiah saya rasa gak bisa damai sampai kapanpun coba berfikirlah dengan akal sehat kaliaan. 

Muhammad Gofur Zfzf: Nabi saw yang memilih Abu bakar sebagai calon khalifah. Dan Abu Bakar tidak merampasnya dari Ali.. 

Sinar Agama: Syam L: Nabi saww bersabda di hadits Shahih Muslim, bahwa beliau saww telah menitip dua perkara yang berat, Qur'an dan Ahlulbaitnya as. Karena itulah maka kami-kami orang syi’ah memperingati mereka karena mereka titipan Allah melalui Nabi saww. Bahkan di shahih Muslim sampai diulang tiga kali ucapan beliau saww ketika sampai pada ahlubalit as. Lihat di shahih Muslim hadits ke: 4425 dan 6378: 


“Kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang berat: Kitabullah yang di dalamnya terdapat petunjuk, maka ambillah dan peganglah erat-erat kitabullah dan anjurkanlah kepada kitabullah dan rangsanglah kepadanya. Kemudian Ahlulbaitku. Kuingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlulbaitku, kuingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlulbaitku, kuingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlulbaitku.” 

Bayangin Nabi saww sampai tiga kali mengingatkan kita dengan kesaksian Allah kepada Ahlulbait- nya. Tentu saja kerena mereka makshum dan panutan setelah beliau as untuk umat ini. Kalau Nabi saww menitipkan anak-anak Abu Bakar, Umar dan lain-lainnya, maka sudah pasti kita akan jadikan ikutan dan akan kita peringati. 

Sinar Agama: Muhammad: Kalau orang dibolehkan asal bicara saja, yah...sudah tentu boleh saja setiap orang menilai hadits, baik orang tersebut belajar ilmu hadits, tahu Qur'an ..dan seterusnya... atau tidak. Tapi kalau tidak bisa seperti itu, hingga karenanya didirikan sekolah-sekolah agama sejak di jaman Nabi saww (QS: 9: 112): 



“Janganlah mukminin pergi ke medan tempur semuanya. Hendaknya ada satu orang dari setiap suku untuk tetap tinggal dan mempelajari agama dan memperingati/mengajarkan kepada kaumnya kalau sudah kembali kepada kaumnya hingga mereka terperingati.” 

Shahabat saja yang sudah bersama Nabi saww, masih perlu ada pengkhususan untuk fokus dan mempelajari agama. Padahal ketika berperang juga sering bersama Nabi saww dan kalau Nabi saww tidak ikut, tidak lama mereka kembali lagi kepada Nabi saww. Tapi pemfokusan ini tetap diharuskan dan diwajibkan. 

Kalau semua orang boleh menilai hadits, maka sama dengan mengatakan percuma Tuhan menurunkan ayatNya ini, percuma shahabat ada yang menjadi guru kepada shahabat lainnya, percuma ada guru-guru dan ulama-ulama sepanjang sejarah, pecuma adanya sekolah-sekolah, percuma adanya kampus-kampus dan pesantren-pesantren, percuma adanya universitas seperti al-Azhar dan seterusnya. Tidak ada pernyataan lebih tidak berdasar dari pada pernyataan tersebut. Persis seperti mengatakan bahwa setiap orang boleh berpendapat tentang kesehatan, dan karenanya percuma adanya universitas-universitas kedokteran. 

Kalau semua tahu Qur'an, apalagi hanya dengan terjemahannya, maka percuma semua ayat belajar itu diturunkan dan sekolah-sekolah itu diadakan. Karena tidak beda ketidak berdasarannya kalau ada orang mengatakan bahwa setiap orang bisa berpendapat tentang hadits karena kalau hadits itu bertentangan dengan Qur'an maka harus ditolak. Lah....emangnya kamu sudah mempelajari Qur'an berapa tahun hingga bisa menjadikannya timbangan untuk hadits?? Sudah hafal berapa ayat hingga satu menit saja sudah tahu bahwa hadits itu dan ini bertentangan dengan Qur'an atau tidak? 

Tuhan dan Nabi saww itu memang satu. Dan tidak ada syi’ah yang mengatakan bahwa selain Allah itu adalah Tuhan, terutama para imam makshum as. Malaikat itu tidak mungkin bisa keliru. Kalau malaikat Jibril as itu bisa keliru, maka apalagi manusia? Orang syi’ah itu mengikuti para imam makshum as justru karena Rasulullah saww, dan Rasulullah saww dari Jibril as dan Jibril as dari Allah. Kok malah dibolak balik? 

Sunni dan syi’ah harus bersatu, tapi persatuan itu justru dalam keberbedaan. Artinya, tidak harus sama dalam semua halnya. Misalnya, imamnya tidak sama. Pengertian Tuhannya juga berbeda sekalipun sama-sama Allah. Karena sunni meyakini bahwa mereka akan melihat Allah dengan mata di surga, bahkan di shahih Bukhari dikatakan bahwa karena orang-orang surga tidak percaya bahwa Allah itu adalah Allah (ketika mengaku kepada mereka), maka Allah membuktikan keAllaah-anNya dengan menunjukkan betisnya (shahih Bukhari, hadits ke: 7439, 6886 dan 7001; shahih Muslim, hadits ke: 302). 

Tapi kalau di syi’ah, melihat Tuhan dengan mata itu hal yang tidak mungkin, baik di dunia atau di akhirat. Karena akan terbatas seperti dengan depan, padahal Tuhan itu Maha Tidak Terbatas. Nabi saww juga begitu, sama-sama nabi Muhammad saww, tapi kalau di syi’ah, makshum mutlak, tapi kalau di sunni sering melakukan kesalahan, seperti mengharamkan yang dihalalkan Tuhan, menyolati orang munafik, menyunggul ‘Aisyah di depan umum untuk melihat orang berjoget, kencing berdiri di tempat umum (shahih Bukhari, hadits ke: 224, 226 dan 2471; shahih Muslim, hadits ke: 402 dan 647) dan seterusnya. 

Banyak persamaan, tapi ada perbedaan dan, yang seperti inilah yang bisa dikatakan harus bersatu. Tapi kalau tidak ada perbedaannya, maka tidak layak untuk dikatakan bersatu, karena memang satu. 

Karena itulah, kalaulah ada perbedaan, maka harus tetap bersatu. Yaitu dengan tidak saling paksa dan tetap saling tolong menolong terlebih dalam keterjajahan oleh kafirin dan Israel. Persatuan, bukan berarti tidak saling menyalahkan. Karena yang berbeda, tidak mungkin tidak saling menyalahkan. Persatuan itu hanya tidak selaras dengan pemaksaan dan pembatasan hak-hak hidup manusia sebagaimana layaknya. 

Tentang kafir itu, tidak semua shahabat tentunya. Dan kafir itu, di syi’ah, tidak terbatas pada Tuhan dan Nabi saww saja. Di sunni juga ada kafir nikmat seperti di syi’ah juga ada. Nah, di syi’ah kafir imamah juga ada dan, kafir imamah ini tetap muslim dan mukmin. Kafir imamah, adalah yang tahu dengan yakin tentang kebenarannya tapi tetap saja tidak mengikutinya. Nah, orang- orang seperti inilah yang dikatakan kafir imamah itu, bukan yang tidak tahu atau yang belum yakin. Jadi, urusan shahabat Nabi saww itu, sekalipun sudah diwajibkan berbaiat oleh Nabi saww di hari Ghadir di haji wada’, tapi tetap saja kita serahkan kepada Allah. Karena setelah Nabi saww wafat, tersebar fitnah yang mengatakan ini dan itu, hingga mungkin saja ada yang ragu terhadap imamah para makshum as ini. Jadi, kita serahkan urusan mereka kepada Allah di akhirat kelak. 

Oh iya, kamu katakan bahwa Nabi saww sudah menyiapkan Abu Bakar untuk jadi khalifah. Ketahuilah, bahwa disiapkan seperti apapun, tidak akan pernah bisa jadi khalifah/imam, karena ia pernah kafir dan karenanya tidak makshum. Sementara imam itu harus makshum. Allah dalam QS: 2: 124, berfirman: 


Dan ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan berbagai ujian dan ia menyelesaikannya (dengan lulus) Allah berfirman: “Sekarang engkau Kujadikan imam.” Ibrahim berkata: “Dan dari keturunanku juga?”. (Allah) berfirman: “JanjiKu tidak akan mengenai orang-orang yang aniaya.” 

Nah, siapapun yang bukan dari keturunan nabi Ibrahim as dan kalaulah keturunannya tapi tidak makshum, maka tidak akan pernah bisa menjadi khalifah Nabi saww. Karena khalifah Nabi saww ini wajib ditaati secara mutlak sejak jaman Nabi saww. QS: 4: 59: 


"Wahai orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul dan pemimpin di antara kalian.” 

Ketaatan kepada Nabi saww dan imam itu harus mutlak seperti taat pada Allah karena yang di- dan-kan di sini adalah ketaatan kepada Allah yang mutlak yang tidak pilih-pilih. Karena itu, semua perintahNya dan perintah Nabi saww dan imam itupun, mutlak kebenarannya. Karena itu wajib ditaati secara mutlak tanpa pilih-pilih yang benar atau yang salah, karena memang tidak ada yang salah. Saya sudah sering menulis tentang ini sebelumnya, silahkan merujuk ke sana. 

Begitu pula, kalau tidak ada orang makshum setelah Nabi saww, terus bagaimana jalan lurus yang tidak salah sediktipun (wa laa al-dhaalliin) itu bisa dipertahankan, terlebih seperti kalian yang mengaku-aku benar seratus persen. Kan tidak logis???!!! 

Sinar Agama: Midy: Saya sudah sering menulis tentang kafir ini, kunukil lagi di sini: 

Tentang kafir itu, tidak semua shahabat tentunya. Dan kafir itu, di syi’ah, tidak terbatas pada Tuhan dan Nabi saww saja. Di sunni juga ada kafir nikmat seperti di syi’ah juga ada. Nah, di syi’ah kafir imamah juga ada dan, kafir imamah ini tetap muslim dan mukmin. Kafir imamah, adalah yang tahu dengan yakin tentang kebenarannya tapi tetap saja tidak mengikutinya. Nah, orang- orang seperti inilah yang dikatakan kafir imamah itu, bukan yang tidak tahu atau yang belum yakin. Jadi, urusan shahabat Nabi saww itu, sekalipun sudah diwajibkan berbaiat oleh Nabi saww di hari Ghadir di haji wada’, tapi tetap saja kita serahkan kepada Allah. Karena setelah Nabi saww wafat, tersebar fitnah yang mengatakan ini dan itu, hingga mungkin saja ada yang ragu terhadap imamah para makshum as ini. Jadi, kita serahkan urusan mereka kepada Allah di akhirat kelak. 

Tentang penyerangan itu, saya kasihan banget sama kamu. Karena Abu Bakar sendiri mengakui dan menangis sebelum meninggalnya dan mengharap duhai seandainya tidak pernah menyerang rumah Faathimah as dan mendobrak pintunya. Abu Bakar yang dalam keadaan sedih berkata: 


“Duhai seandainya aku tidak pernah mendobrak rumah Faathimah atas dasar apapun, sekalipun karena menguncinya untuk berperang.” (Lihat di Taariikh Thabari, 4/2; Miizaanu al-I’tidaal, 2/215; al-Imaamah wa al-Siyaasah, 18). 

Sebelum penyerangan dan pembakaran itu, di sunni juga diriwayatkan bahwa Abu Bakar mengutus Umar dan Umarpun dengan yakin akan membakar rumah siti Faathimah as, sekalipun sudah diingatkan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Lihat di: Kanzu al-’Ummaal, 3/139; al- Imaamah wa al-Siyaasah, 12. 

Karena itu Nabi saww mengatakan kepada imam Ali as bahwa beliau as akan menjumpai penderitaan setelah wafatnya Nabi saww: 



Lihat di Mustadrak Haakim, 3/140. 

Kalau tentang makshum itu, maka kamu jangan katakan ke aku kalau tidak ada makshum di dunia ini selain Nabi saww. Tapi katakan kepada Allah yang berfirman dalam QS: 33: 33: 


“Sesungguhnya Allah hanya ingin membersihkan kalian (para lelaki) dari semua kekotoran wahai Ahlulbait dan membersihkan kalian sebersih bersihnya.” 

Ayat ini jelas turun untuk Ahlulbait as, yaitu imam Ali as, imam Hasan as, imam Husain as dan hdh Faathimah as, sesuai dengan banyak sekali hadits-hadits sunni sekalipun, seperti kesaksian ‘Aisyah di shahih Muslim, 2/368; Syawaahidu al-Tanziil, 2/33 (9 hadits); Mustadrak Hakim, 3/147; Tafsiir al-Durru al-Mantsuur, 5/198-199; Fathu al-Qadiir, 4/279; Dzakhaairu al-’Uqbaa Thabari, 24; dan lain-lain. Dan juga disaksikan Ummu Salamah bahwa Ahlulbait as itu adalah mereka yang lima itu. Bisa dilihat di: Turmudzii, hadits ke: 3258, 3875 dan 3963; Syawaahidu al-Tanziil, 2/24 (ada 31 hadits); Tafsiir Ibnu Katsiir, 3/484 dan 485; Dzakhaairu al-’Uqbaa Thabari, 21 dan 22; Usdu al-Ghaabah, 2/12 dan 3/413 serta 4/29; Tafsiir Thabari, 22/7-8; Tafsiir al-Durru al-Mantsuur, 5/198; 

...dan lain-lain yang seambrek lagi. 

Jadi, sana kamu protes ke Tuhan bahwa mengapa mengumumkan adanya orang suci dari segala kekotoran yang berarti makshum. 

Setelah itu, silahkan kamu katakan padaNya, tentang makshum, mahfuuzh yang kamu karang-karang sendiri itu. 

Untuk sodomi itu, saya sudah menjelaskannya beberapa waktu yang lalu, jadi tidak perlu saya ulang. Sebenarnya semua yang kutulis di atas itu adalah ulangan, tapi karena sudah agak lama, maka kutulis lagi. Tapi tentang sodomi dan berbagai pandangan di dalamnya, saya sudah menulisnya beberapa hari yang lalu. 

Tentang Jibril as yang salah itu, ajib banget, mengapa para pemfitnah itu tidak pernah menyebut kitab dan halamannya??? Lalu sok memastikan lagi. Padahal syi’ah itu dalam mengikuti imam makshum itu karena Nabi saww dan Nabi saww karena mendapat dari Jibril as dan Jibril as dari Allah swt. Kan raksyih. 

Perbedaan NU dan Muhammadiah itu bukan hanya tahlilan, tapi shalatnya NU dianggap mengantarkan mereka ke jahannam oleh Muhammadiah karena ada ushallinya yang diucapkan dan bid’ah dimana semua bid’ah adalah neraka. Tawassul NU kepada para wali itu musyrik. Dimana ada musyrik itu urusan furu’ ???? Tapi mengapa bersatu??? Bahkan mengapa bersatu dengan para Masehi dan Hindu serta Buda di negara Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika ini??? Jangan-jangan si Midy ini sudah anti Pancasila??? Saya sudah sering mengatakan bahwa laknat itu protes, seperti kata “celaka”, “bulset”, “sialan”, “aku tidak ikut-ikut”....dan seterusnya. Orang arab, pada anaknya saja kadang mengatakan laknat kalau lagi marah. Jadi, laknat itu kata “kecaman saja.” 

Muhammad Gofur Zfzf: Jadi sinar agama@: menyimpulkan bahwa kata-kata nabi saw sama kuatnya dengan hujjah para imam.?? Saya heran mengapa setiap perdebatan selalu mengkafirkan salah satu pihak. 

contoh: 

Pengkafiran Abu Bakar oleh syiah. Ini hal yang tidak logis dalam statetment ke agamaan. Apakah anda selalu berpedoman dengan setiap hadis? Dan menyatakannya shahih? Apakah semudah itu mengatakan shahih.?? Kami tidak mengatakan kami akan bertemu dengan Rabb di surga koq, tapi itu janji Rabb kami (silahkan pelajari alquran). Janji Rabb adalah benar, saya yakin 100%. Mang ada Rabb yang pembohong? Saudara jangan bilang gitulah, sebagai ciptaan-Nya. Seharusnya anda takut dan taat pada-Nya. Jangan cemooh dengan janji Tuhan. Jika sudara masih memperTuhan Allah dan Nabi saw. 

Mengapa harus beda pengertian. Padahal Alquran adalah satu-satunya jaminan tidak ada nya perbedaan. Karena alquran bukan produk makhluk. 

Kalau masalah peringat-memperingati saya belum menerima satupun yang mengharuskan muslim secara mutlak atas para imam, sebab nabi tidak mengajarkan itu. Dan kami tidak pernah membayang-bayangkan bentuk Rabb.Apa lagi pahaNya? 

Hahaha,, periwayat nya tu,, yang Oon (stres kali). Dari mana anda tau Rabb punya paha? Aneh Tuhan itu beda dengan makhluk. No body same with Allah... 

Afif Al-Azdi: 288 teman yang sama: @Muhammad Gofur Zfzf ....anda ini cuma asyik dengan pikiran anda sendiri, sementara anda tidak menggunakan dalil apapun untuk mendukung pikiran- pikiran anda itu ... dan lawan anda telah menggunakan dalil tapi tidak anda terima, bagaimana dengan anda sendiri yang tidak menggunakan dalil?? 

Anda tidak lebih dari seorang yang jahil... anda pantasnya berdiskusi dengan sesama golongan anda sendiri yang tidak memerlukan dalil. 

Sinar Agama: Muhammad: 

1- Saya tidak akan mengulang yang sudah jelas saya tulis di atas. Kalau kamu memang ingin tahu dan khawatir tentang akhiratmu, maka bacalah dengan seksama sampai paham. Baru setelah paham kamu bisa problemkan atau kamu terima. Jangan sampai asal tolak atau asal terima, sementara kamu belum paham terhadap yang kutulis. Aku hanya mau menambahkan beberapa hal: 

Kata-kata imam itu memang sama dengan kata-kata Nabi saww. Karena imam itu penerus shirathalmustaqim. Itulah mengapa Allah mewajibkan muslimin taat pada imam ini sejak jaman Nabi saww sekalipun. Persis seperti nabi Harun as yang wajib ditaati di samping nabi Musa as. Beda para imam dan nabi Harun as, adalah kalau nabi Harun as itu adalah nabi tapi para imam makshum setelah nabi Muhammad saww itu, bukan nabi dan hanya imam. Kewajiban taat itu ada pada QS: 4: 59: 


“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul (saww) dan pemimpin di antara kalian.” 

Nah, kewajiban taat kepada imam ini sejak masih di jaman Nabi saww, karena itulah imam itu harus makshum dan wajib ditaati secara mutlak. Karena ketaatan yang di-dan-kan di ayat ini, adalah ketaatan yang mutlak dan tidak mengenal kondisi. Karena itulah Rasul saww dan imam as ini, harus makshum dan tanpa kesalahan sedikitpun seperti dalam ayat di surat Fatihah (wa laa al-dhaalliin = Dan bukan jalan siapapun dari orang-orang yang salah/sesat). 

Lagi pula, tidak mungkin Tuhan mewajibkan manusia taat kepada Rasul saww dan imam as, sementara kedua golongan ini masih mungkin mempunyai kesalahan alias tidak makshum. Karena kalau pemimpin salah wajib ditaati juga, maka berarti Tuhan menyuruh kita untuk berbondong-bondong bermaksiat kepadaNya. 

Mungkin ada yang berkata bahwa kalau pemimpinnya salah, maka tidak wajib diikuti. Jawabannya, adalah tidak seperti itu. Karena ketaatan yang di-dan-kan (‘athf) kepada Rasul saww dan imam as, adalah ketaatan kepada Allah yang, sudah tentu mutlak dan karena kemutlakan kebenarannya. 

Sebenarnya hal ini sudah ditulis di atas. Tapi karena tidak pada komentar yang menjawabmu, maka kutulis lagi dengan sedikit penambahan. 

Dengan semua uraian ini, dapat dipahami bahwa imam itu sama dengan Nabi saww dari sisi kemakshumannya dan dari sisi kewajiban ditaatinya yang, kewajiban taat ini sejak jaman Nabi saww sekalipun. 

Di samping itu, di atas sudah ana tulis juga tentang kemakshuman Ahlulbait as yang merupakan pada imam as itu. Disini saya copy-kan buatmu: 


“Sesungguhnya Allah hanya ingin membersihkan kalian (para lelaki) dari semua kekotoran wahai Ahlulbait dan membersihkan kalian sebersih bersihnya.” 

Ayat ini jelas turun untuk Ahlulbait as, yaitu imam Ali as, imam Hasan as, imam Husain as dan hdh Faathimah as, sesuai dengan banyak sekali hadits-hadits sunni sekalipun, seperti kesaksian ‘Aisyah di shahih Muslim, 2/368; Syawaahidu al-Tanziil, 2/33 (9 hadits); Mustadrak Hakim, 3/147; Tafsiir al-Durru al-Mantsuur, 5/198-199; Fathu al-Qadiir, 4/279; Dzakhaairu al- ’Uqbaa Thabari, 24; dan lain-lain. Dan juga disaksikan Ummu Salamah bahwa Ahlulbait as itu adalah mereka yang lima itu. Bisa dilihat di: Turmudzii, hadits ke: 3258, 3875 dan 3963; Syawaahidu al-Tanziil, 2/24 (ada 31 hadits); Tafsiir Ibnu Katsiir, 3/484 dan 485; Dzakhaairu al- ’Uqbaa Thabari, 21 dan 22; Usdu al-Ghaabah, 2/12 dan 3/413 serta 4/29; Tafsiir Thabari, 22/7- 8; Tafsiir al-Durru al-Mantsuur, 5/198; ...dan lain-lain yang seambrek lagi. 

Nah, kewajiban taat mutlak dan pengumuman tentang kemakshuman Ahlulbait as ini, ditambah dengan kewajiban kita untuk meminta jalan-lurus (shirathalmustaqim), semua ini menunjukkan bahwa imam as yang menjadi wakil dan penerus Nabi saww itu jelas sama dengan Nabi saww itu sendiri. Tentu saja, dari sisi maqam di sisi Allah, Nabi saww adalah lebih tinggi karena di samping guru para imam as, juga merupakan sumber hidayah pertama yang tanpa Nabi saww tidak mungkin para imam as itu akan mencapai derajat keimamahannya yang mereka miliki itu. Mungkin saja seseorang itu, bisa jadi imam tanpa Nabi saww, tapi imam yang lebih kecil di masa sebelumnya yang derajatnya jauh di bawah derajat imam penerus Nabi saww. Tapi untuk menjadi imam yang tinggi dan sebagai penerus Nabi saww yang merupakan nabi tertinggi, maka harus berguru dan di bawah didikan Nabi saww sendiri. 

Tapi perbedaan ketinggian derajat para imam as dengan derajat Nabi saww di sisi Allah, tidak merubah kemakshuman mereka dan kewajiban taat mutlak kita kepada mereka as. Karena, para imam as itu makshum dan wajib ditaati secara mutlak serta kata-kata mereka sama dengan kata-kata Nabi saww yang sebagai pedoman bagi muslimin di samping Qur'an. Jadi, para imam as ini sebenarnya penjelas bagi Qur'an dan sunnah Nabi saww itu. Tapi bukan sembarang penjelas, melainkan penjelas yang pasti benar dan makshum. Karena itulah, kata- kata dan perbuatan-perbuatan mereka, dapat dijadikan dasar agama baik dalam masalah- masalah akidah atau masalah-masalah fikih. 

2- Kalau tentang Tuhan di sunni itu, mungkin karena kamu memang ditutup-tutupi tentang hadits-hadits yang kunukil di atas. Ini kunukilkan lagi di sini: 

“....bahkan di shahih Bukhari dikatakan bahwa karena orang-orang surga tidak percaya bahwa Allah itu adalah Allah (ketika mengaku kepada mereka), maka Allah membuktikan keAllaah- anNya dengan menunjukkan betisnya (shahih Bukhari, hadits ke: 7439, 6886 dan 7001; shahih Muslim, hadits ke: 302).” 

Ini baru satu contoh yang mungkin ditutup-tutupi ulama kepada masyarakat sunni. Tapi ada lagi yang sering kita dengar, karena dulu ketika aku masih di sunni dan bahkan di wahabi, sering juga mendengar hadits-hadits tentang kebendaan Tuhan ini, seperti: 

a- Tuhan kelak akan meletakkan kakiNya di neraka karena neraka selalu kurang hingga ia berkata: “Cukup-cukup”. Lihat di shahih Bukhari, hadits ke: 4848, 4849, 4850.....dan seterusnya; shahih Muslim, hadits ke: 5082, 5083, 5084.....dan seterusya. 

b- Tuhan akan terlihat seperti bulan purnama: Shahih Bukhari, hadits ke: 806, 4581, 6573 dan lain-lain; shahih Muslim, hadits ke: 267, 269, 5270.....dan seterusnya) 

c- Bahkan Tuhan punya rumah di surga dimana Nabi saww akan mengunjungiNya nanti di surga: Shahih Bukhari hadits ke 7440; 6886, 4476 ‎ 6565 ‎ 7410 ‎ 7509 ‎ 7510 ‎ dan lain- lain. 

d- Tuhan setiap sepertiga malam selalu turun ke langit dunia (dari ‘Asry). Lihat di shahih Bukhari, hadits ke: 1145, 6321, 7494, 13463 ‎ 15241. 

Nah, dengan semua hadits-hadits sunni di atas itu, dapat dimengerti bahwa Allah di sunni itu bisa dilihat dengan mata dan bendawi, punya wajah seperti bulan atau matahari, punya rumah di surga, turun naik dari ‘Arsy ke langit dunia..............dan seterusnya. 

Tuhan seperti ini jelas tidak bisa diterima di syi’ah. Karena Tuhan Tidak Terbatas. Karena itu, bagaimana bisa dilihat? Ketika Tuhan terbatas dengan depan, belakang, atas, bawah, waktu, dunia, akhirat, surga, neraka ....dan seterusnya...maka bagaimana bisa dilihat? 

Hadits-hadits sunni di atas itu, sangat bertentangan dengan Qur'an. Karena ketika nabi Musa as terpaksa mewakili umatnya dalam doa sambil mereka yang mengatakan, QS: 2: 55: 

“Ketika kalian mengatakan: ‘Wahai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu kecuali kalau kita bisa melihat Allah secara lahiriah.” 

Hingga nabi Musa as-pun meminta untuk mereka, QS: 7: 143: 


“Dan ketika Musa (as) datang ke tempat yang telah dijanjikan untuk bertemu Kami dan Ia berbicara kepadanya, ia berkata: ‘Biarkan aku melihatMu.’ Ia -Tuhan- berkata: ‘Engkau tidak akan pernah melihatKu.’.” 

Di ayat-ayat di atas itu, dikatakan bahwa Tuhan tidak bisa dilihat di dunia dan juga di manapun saja sekalipun surga. Karena di ayat ke dua itu, Tuhan mengatakan kepada nabi Musa as: “Tidak akan pernah melihatKu.” Artinya kapanpun dan dimanapun. 

Satu-satu ayat yang dipakai saudara-saudara sunni untuk melihat Tuhan di surga dimana hal ini yang diyakini kamu (Muhammad Ghafur Z), adalah QS: 75: 22-25: 


“Wajah-wajah pada hari itu berseri (22). Kepada Tuhan mereka mengharap (23). Dan wajah-wajah pada hari itu bermuram durja (24). Mereka yakin akan ditimpakan adzab yang pedih (25). 

Terjemahan di atas itu, secara makna, adalah tafsiran syi’ah. Kalau tafsiran sunni, di ayat ke 23 itu diterjemahkan dengan: 

“Mereka melihat kepada Tuhan mereka.” 

Dari mana terjemahan kata “Naazhirah” itu menjadi “melihat”? Karena mereka sudah terpengaruh dengan hadits palsu di atas itu dan karena mereka meninggalkan Ahlulbait yang makshum as. 

Naazhirah itu bisa berasal dari “Nazhara” (melihat) dan bisa dari “intazhara” (menunggu). Ayat di atas, jelas tidak bisa diartikan dengan melihat, karena di samping bertentangan dengan ayat-ayat sebelumnya itu, yaitu firman Tuhan kepada nabi Musa as, juga bertentangan dengan kenyataan ayat ini, yaitu: 

a- Ayat-ayat ini, menyebutkan “wajah” dan bukan “mata”. Dengan demikian, maka jelas tidak mungkin wajah itu bisa melihat. Misalnya dikatakan, “wajah-wajah berseri karena wajah- wajah ini melihat Tuhannya.” 

b- Di ayat-ayat ini jelas membagi manusia kepada dua golongan, yaitu wajah berseri dan wajah bermuram. Ketika Tuhan menjelaskan wajah yang bermuram durja itu, mengatakannya seperti ini: “Dan wajah-wajah para hari itu bermuram, mereka yakin akan ditimpakan adzab yang pedih.” 

Jadi, dua golongan itu, yaitu golongan berseri dan bersedih. Dan ketika Tuhan mengatakan bahwa yang bersedih ini karena tahu akan ditimpakan adzab yang pedih, berarti wajah yang berseri itu karena tahu akan dilimpahi rahmat Tuhannya. Kenapa tahu bahwa akan dilimpahi rahmat? Karena mereka tahu bahwa Tuhan telah menjanjikan sebelumnya sewaktu di dunia, yaitu yang menjanjikan bahwa Ia akan merahmati orang-orang yang bertaqwa. Nah, ketika mereka melakukan taqwa sampai matinya, dan sekarang sedang dibangkitkan, maka wajah-wajah mereka pasti berseri. Karena tahu akan dirahmatiNya. Nah, ketika mereka berseri-seri dalam keadaan menunggu rahmatNya itu yang dikatakan di ayat ini. Karena itu makna yang benar adalah: 

“Wajah (orang-orang shalih) pada hari itu (akhirat) berseri. Mereka menunggu (janji) Tuhannya.” 

Karena itu, apa yang kamu (Muhammad Gofur Z) katakan bahwa Tuhan berjanji untuk menunjukkan DiriNya, jelas tidak ada dalam Qur'an. Wassalam. 

MukElho Jauh: 139 teman yang sama: 

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Muhammad Gofur Zfzf: “Tuhan berfirman”: kamu sekali kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah kebukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (seperti sedia kala) niscaya kamu melihat-Ku. 

Tatkala Tuhannya menampakkan Diri kepada gunung itu, Dijadikannya Gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan(q.s:al-a’raf :134. 

Tuhan menampakkan wujudnya pada gunung.. Sehingga gunung hancur... 

Bukan itu jelas saudara (sinar agama@.?).. 

AmiEn BalaDewa: Numpang lewat: salam. Aba saya pernah berkata kepada saya; Islam itu ibarat seperti manisnya gula, ada banyak macam gula, tapi hanya ada satu rasa di dalamnya, yakni manis. Begitulah islam saat ini, sekalipun berbagai macam madzhab, tetapi intinya hanya satu yakni islam.. 

Kebenaran hanya milik Allah Ta’ala, maka, bukan SUNNI, bukan SYI’AH, BUKAN MU’TAZILA, Bukan pula WAHABI/SALAFI yang paling benar. tetapi “ANTARA” disitulah letak Kebenaran. 

Saya kira lahirnya Madzhab, adalah untuk saling melengkapi bukan untuk saling bercerai berai. Untuk diri saya sendiri, saya memilih dengan PENDEKATAN SYI’AH ‘ALI. Wassalam.. -.- 

Sinar Agama: Muhammad: 

1- Kamu ini berdalil dengan ayat yang justru saya jadikan dalil tidak dapatnya Tuhan itu dilihat. Allah berkata kepada nabi Musa as, bahwa “Kamu tidak akan pernah bisa melihatKu, tapi lihatlah pada gunung itu kalau ia tetap di tempatnya, maka kamu akan dapat melihatKu....” 

Nah, ketika gunung itu tidak di tempatnya, maka jelas bahwa nabi Musa as tidak akan pernah bisa melihat Tuhan. Sebab syarat tetap di tempatnya gunung itu, merupakan syarat bagi kebisaannya nabi Musa as untuk melihat Tuhan. Tapi karena gunung tidak tetap di tempatnya, maka berarti nabi Musa as selamanya tidak akan bisa melihatNya. 

Seandainya gunung itu tetap di tempatnya, maka nabi Musa as akan bisa melihat Tuhan, baik di dunia atau nanti di akhirat dan tidak perlu Tuhan mengatakan “sekali-kali kamu tidak akan pernah bisa melihatKu.” Tapi karena gunung itu tidak di tempatnya, maka jelas bahwa Tuhan itu tidak akan pernah bisa dilihat. 

2- Untuk Tajalli Tuhan kepada gunung, maka kamu ini dikerjai orang yang bermadzhab bisa melihat Tuhan. Karena itu terjemahan dari kata “Tajalla” itu adalah menampakkan diri. Padahal ini jelas bertentangan dengan semua kenaturalan gunung. Kecuali kalau ada orang yang agak kurang sehat hingga berkata bahwa gunung itu punya mata dan, terlebih seperti mata manusia. Karena itu, arti “Tajallaa” di sini bukan menampakkan DiriNya untuk dilihat gunung, karena gunung jelas tidak punya mata. Akan tetapi memiliki arti “Manifestasi”. 

Artinya tampakan dari KuasaNya, bukan DiriNya. Persis seperti orang mengatakan bahwa dia melihat cinta kekasihnya, kemampuan temannya, kebencian tetangganya...dan seterusnya.. dimana semua itu dikatakan melihat, akan tetapi tidak dengan mata. Karena cinta, kemampuan, kebencian dan semacamnya itu, tidak bisa dilihat dengan mata, dan hanya bisa dilihat dengan akal. 

Dengan demikian, karena gunung itu tidak punya mata, maka “Tajalli” di sini memiliki arti yang lain, yakni “Menampakkan KuasaNya”. Nah, ketika Tuhan menampakkan KuasaNya kepada gunung untuk dilihat nabi Musa, baik dengan memperlihatkan atom-atom yang tidak pernah diam, atau yang lainnya, hingga gunung itu menjadi hancur, maka nabi Musa as-pun pingsan. 

Jadi, Tuhan yang menyuruh nabi Musa as melihat gunung, karena Tuhan ingin menampakkan KuasaNya pada nabi Musa as dimana dengan penampakan Kuasa itu sang gunung menjadi hancur. Jadi, bukan Tuhan menampakkan DiriNya hingga dilihat gunung yang tak punya mata. 

3- Anggap kita terjemahkan ayat itu dengan kebodoh-bodohan, yaitu Tuhan menampakkan Diri kepada gunung. Terus apa maksudnya. Kan maksudnya akan menjadi seperti ini: 

“Wahai Musa as, kamu lihatlah gunung itu. Aku akan menampakkan DiriKu kepadanya dimana kalau ia mampu melihatKu, maka kamu juga akan mampu melihatKu. Tapi kalau tidak mampu dan hancur, maka kamu juga akan hancur.” 

Nah, ketika Tuhan -anggap- menampakkan DiriNya kepada gunung dan gunung itu tidak sanggup hingga hancur, maka jelas: Pertama, gunung tidak mampu melihat hingga binasa. Ke dua, karena gunung tidak bisa melihat, maka manusia yang diwakili nabi Musa as juga tidak akan bisa melihat. 

Dengan demikian, maka hasilnya sama saja. Yaitu Tuhan tidak akan pernah bisa dilihat dengan mata. Tapi hanya bisa dilihat dengan hati/akal. Yaitu melihat Kuasanya, JanjiNya, RahmatNya, RidhaNya, MurkaNya.....dan seterusnya...dimana semua itu jelas-jelas tidak akan pernah bisa dilihat dengan mata kecuali tanda-tanda dan ayat-ayatnya saja. 

Sinar Agama: Amien: Ketika Allah dalam QS: 6: 151-153 memerintah Nabi saww untuk mengatakan beberapa hal yang diantaranya: 


“Sesungguhnya ini -Islam hakiki- adalah jalanku yang lurus (shirathulmustaqim), karena itu ikutilah dan jangan ikuti jalan-jalan yang banyak hingga kalian kehilangan jalanNya.”, Nabi saww menggambar satu garis lurus dan di samping kanan kirinya diberi garis-garis yang banyak (hingga seperti binatang kaki seribu). 

Nabi saww bersabda, yang lurus dan yang di tengah ini adalah jalanku yang lurus sementara yang di samping-samping ini bukan jalan lurusku. 

Betapa hebatnya Nabi saww dengan gambarannya itu. Karena Nabi saww tidak ingin mengatakan bahwa jalan-jalan yang banyak yang tidak lurus itu adalah jalan salah seratus persen. Mengapa? Karena ujung dari garis-garis yang banyak itu disentuhkan dengan garis lurus yang merupakan jalan lurus Nabi saww tersebut. 

Jadi, Nabi saww sudah tahu bahwa shahabat dan muslimin ini akan berpecah dan semuanya mengatasnamakan Islam karena masih bersentuhan dengan Islam. Akan tetapi jelas keluar dari ajaran lurus Nabi saww yang hanya satu. Karena itu Nabi saww, sesuai dengan perintah Allah, menyuruh memperingati shahabat dan muslimin untuk berhat-hati, hingga tidak ikut Islam yang ala Islam tapi ikut Islam yang sesungguhnya, yakni yang teruji dengan berbagai sanggahan dan pertanyaan. 

Karena itu, ketika suatu keyakinan itu semakin bisa menerangkan dirinya dan menjawab dengan baik isykalan atau debatannya, maka ia adalah jalan lurus itu, atau, setidaknya sudah semakin dekat kepadanya. 

Tapi kalau keyakinannya itu hanya asal dakwa dan tanpa argumen yang teruji, maka sangat mungkin ia adalah jalan yang hanya ala Islam, tapi bukan Islam yang sesungguhnya. 

Karena itu, maka kurang bijak kalau ada orang mengatakan bahwa madzhab-madzhab itu sama- sama benar dan saling melengkapi. 

Memang, manakala pandangannya sejalan dan sama-sama memiliki argumentasi yang kuat dan gamblang, dan bedanya hanya dalam perinciannya atau pengaplikasiannya, maka yang berbeda itu pasti saling melengkapi. Tapi kalau pandangannya saling menolak, misalnya yang satu mengatakan bahwa Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata, dan yang lainnya, mengatakan sebaliknya, maka hal ini tidak bisa dikatakan saling melengkapi. 

Jadi, menghadapi masalah perbedaan ini, terutama dalam hal-hal yang berbeda dalam arti saling menolak (bukan saling mendukung), bukan dengan mengatakan bahwa semua saling mendukung. Hal itu karena memang benar-benar saling tolak dan menyalahkan satu sama lain. Jadi, cara penyelesaiannya, walau tetap dalam keadaan saling menyalahkan, adalah dengan lapang dada saling mengajukan argumentasinya dan jangan sampai ada saling pemaksaan apalagi permusuhan. Saling menyalahkan itu memang suatu yang pahit, tapi tidak bisa dihindari karena memang keyakinannya dalam beberapa hal memang saling menolak. Akan tetapi, Islam telah memberikan jalannya supaya tidak saling memaksakan dan bermusuhan. Karena itulah Tuhan mengatakan “tidak ada paksaan dalam agama”. 

Muhammad Gofur Zfzf: Di atas saudara menyatakan, penyebab syiah dan Sunni tak bisa bertemu pada satu Rabb adalah cara menafsirkan pandangan terhadap Rabb. Sunni punya hadis pembendaan Rabb. Sedang syiah tidak melakukan itu, dalam arti kata Rabb dalam syiah tidak terbatas. Bagimana dengan ayat ini.? 

“Allah Berfirman, Hai iblis apakah yang menghalangi kamu sujud pada yang Kuciptakan dengan Kedua Tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu termasuk orang yang (lebih) tinggi.?”(q.s Shad:74) 

di sini ada kata “Tangan”.. 

Apakah ini benda atau membendakan atau tidak dua-duanya..? Dalam ayat ini mutlak. Dalam alquran banyak kata pembendaan..! 

Contoh: 

-Dia 

-Nya 

apakah pembendaan itu yang meneyebabkan rabb dalam syiah beda dengan rabb dalam sunni..?? Mengapa alquran membendakan-Nya juga.?? 

Hidayatul Ilahi: nyimak 

Sinar Agama: Muhammad: Baiklah saudaraku Muhammad: Tentang Tangan Tuhan itu, maka penjelasannya seperti ini: 

Tangan, dalam bahasa apapun, terutama dalam bahasa Arab dan Indonesia, bisa berbagai makna. Misalnya bermakna tangan kita yang dua ini. Bisa juga bermakna lain, seperti pembantu dekat, seperti kalau mengatakan bahwa si Fulan A itu adalah tangan kanan si Fulan B, atau si Fulan A itu adalah tangan kiri si Fulan B. Ada lagi makna lain dari tangan ini, yaitu kekuatan, misalnya, si Fulan A itu membunuh si Fulan B menggunakan tangan-tangannya. Bisa juga bermakna kekuasaan, misalnya, si presiden Fulan A itu menggunakan tangan-tangannya untuk menggugurkan revolusi si Fulan B. 

Kalau di kamus besar bahasa Indonesia kamu lihat, di situ dikatakan bahwa selain bermakna anggota badan, juga bermakna kekuasaan, pengaruh dan perintah. 

Dalam kamus-kamus bahasa Arab juga seperti itu. Kalau kamu mengerti bahasa arab, maka bisa merujuk ke semua kamus Arab (tapi dari cara kamu menulis komentar, terlihat kamu sepertinya memang tidak mengerti bahasa Arab). 

Dengan demikian, ketika orang mengatakan bahwa Tangan Tuhan itu pembendaan dimana keyakinan ini diyakini banyak sunni dan terlebih wahabi, maka -na’udzubillah- jelas Tuhan tidak beda dengan makhluk materi manapun. Karena itu maka tanganNya itu pasti lengket pada suatu tubuh, jadi Tuhan bertubuh. Nah, tubuhnya ini, kalau tidak punya mata dan panca indra kan tidak sempurna. Masak hanya tubuh tanpa kepala dan kaki. Dan kepalanya tanpa mata, mulut dan telinga...dan seterusnya???? Kakinya juga begitu, bisa dua kaki, tiga kaki atau seribu kaki. Walhasil, Tuhan jadinya seperti apa kita tidak bisa bayangin. Apakah Tuhan itu merangkak, melata, terpincang-pincang, terbang, menggelinding, bulat, panjang, segi tiga, tinggi amat, pendek amat, punya mata dua atau seribu, .....dan seterusnya. Walhasil Tuhannya akan persis seperti patung- patung yang dibuat manusia sepanjang sejarah, terkhusus patung-patung yang ada di jaman- jaman jahiliyyah, yakni bermodel sesuai dengan model-model yang dianggap mereka hebat. 

Orang syi’ah, jelas tidak penah meyakini Tuhan seperti ini. Karena itulah Tuhan sendiri mengatakan bahwa Ia tidak sama dengan apapun (QS: 42: 11) berfirman: 

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidaklah ada sesuatupun yang menyerupai serupaNya.” 

Maksudnya, kalau serupaNya saja tidak ada yang menyerupainya, maka bagaimana dengan DiriNya sendiri. Maksud ayat ini adalah sama sekali Dia tidak serupa dengan apapun. Jadi, sekalipun dua tangan juga tidak serupa. Artinya, kalau makhluk ini memiliki dua tangan, maka dua tangan Tuhan di Qur'an itu, juga tidak serupa. Maksudnya, walaupun dengan hanya penyerupaan “dua tangan”, bukan bentuk tangannya, maka tetap saja hal itu penyerupaan. Apalagi kalau diartikan benda. Jelas hal ini pembendaan dan lebih dari sekedar penyerupaan. Padahal serupa saja tidak mungkin. 

Dengan demikian, maka Tangan Tuhan atau Kedua Tangan Tuhan di Qur'an itu, hanya bisa dimaknakan kepada sesuatu yang tidak bisa diserupakan dengan apapun, seperti Kuasa. 

Kalau diartikan dengan Kuasa, maka sudah keluar dari pembendaan. Mungkin orang akan berkata, bahwa Kuasa juga dimiliki makhluk, berarti masih ada bau penyerupaan. Nah, ketika hal ini terbayangkan oleh manusia, maka ayat ke dua (QS: 42: 11) itulah yang harus difungsikan. Yaitu bahwa Tuhan itu tidak bisa diserupakan dengan apapun. 

Jadi, Kuasa Tuhan itu tidak bisa dibandingkan dengan kuasa siapapun. Jadi, ayat ke dua itu terfungsikan di sini. Tapi kalau diartikan benda, maka ayat ke dua ini jelas tidak berfungsi, karena pembendaan sudah masuk ke dalam penyamaan dan pemersisan, bukan lagi penyerupaan. Tapi kalau Kuasa, maka mungkin masih ada bayangan dan penyerupaan dengan kuasa makhluk. Nah di sini Tuhan mengatakan bahwa KuasaNya itu tidak sama dan tidak bisa diserupakan dengan kuasa makhluk. 

Tentang perbedaan KuasaNya dengan kuasa makhluk dan ketidakbisaannya untuk diserupakan, maka bisa berbagai alasan dan dalil. Misalnya, KuasaNya tidak terbatas dan kuasa makhluk sangat-sangat terbatas. Perbedaan Kuasa yang tak terbatas dengan yang terbatas, jaraknya, juga tidak terbatas. Karena kalau jaraknya terbatas, maka Kuasa yang tak terbatas itu akan menjadi terbatas. Nah, ketika yang satu Kuasa tidak terbatas, dan yang lainnya terbatas, dan jarak keduanya tidak terbatas, maka jelas jangankan penyamaan dan pemersisan, penyerupaan juga tidak bisa dilakukan. 

Tentang makna dua di Dua Tangan Tuhan itu, bisa berbagai penafsiran. Misalnya Jalal dan Jamal, yakni kembali kepada Dua Kuasa yang termanifestasikan kepada sifat Jalal/Perkasa dan Jamal/ Indah. Jadi, ayat yang kamu bawa itu Tuhan berkata kepada iblis seperti ini: 


Berkata -Tuhan: “Wahai iblis, apa yang telah mencegahmu untuk bersujud kepada makhluk yang Kucipta dengan Dua TanganKu (Keperkasaan dan KeIndahanKu), apakah kamu sedang menyombongkan diri atau termasuk bagian dari golongan yang tinggi (malaikat tinggi yang tidak terkena perintah sujud)????” 

Sekedar mengingatkan lagi: Kalau Tuhan itu sudah benda, ya Allah.....berarti Dia itu sebelum dibatasi dengan apapun, seperti tempat dan waktu, sudah dibatasi dengan tubuhnya sendiri. Kalau sudah terbatasi, maka pasti Ia memiliki awal dan akhir dimana sebelum awalnya itu Ia tidak ada dan setelah akhirnya itu juga Ia akan menjadi tidak ada. 

Belum lagi kalau mau kemana-mana pasti menggunakan kakinya, karena kalau mau mencipta juga menggunakan tangannya. Jadi, Tuhan harus menempuh jalan-jalan yang Ia cipta sendiri. Ini berarti, bahwa semua jalan-jalan itu, telah menaklukkanNya. Karena itu Tuhan selalu harus kemana-mana melalui jalan-jalan tersebut. Keyakinan yang lebih parah dari jahiliyah ini, memang dimiliki wahabi, hingga mereka mengatakan bahwa Tuhan turun dari ‘Arsy ke langit dunia itu seperti mereka turun dari atas mimbar. Keyakinan keji wahabi ini sangat terkenal dimana-mana. Sampai imam mereka memperagakan diri yang turun dari mimbar melalui tangga-tangganya sambil mengatakan, “Beginilah Tuhan turun dari ‘Arsy ke langit dunia”. 

Begitu pula, kalau Tuhan itu bendawi, maka jelas Ia terikat dengan tempat dan waktu yang Ia cipta sendiri, yakni selain dari terikat pada jalan-jalan yang Ia ciptakan sendiri itu. Kalau Tuhan sudah 

terikat dengan makhlukNya sendiri, maka apakah masih bisa dikatakan Tuhan??? Bagaimana mungkin Tuhan bisa terikat dan, lebih parah lagi, pengikatNya itu adalah makhlukNya sendiri. 

Kalau kamu tidak anti filsafat maka dapat dikatakan bahwa “Kalau Tuhan yang sebagai sebab itu terikat dengan makhlukNya yang sebagai akibat, maka mana bisa dapat dipahami dan dimengerti bahwa sebab itu diikat dan bahkan dikalahkan oleh akibatnya?” 

Dengan demikian, maka Tuhan itu bukan benda dimana pembendaan ini bukan penyerupaan tapi bahkan pensamaa-an. Dan kalaulah Tuhan sudah bukan benda, seperti Kuasa, Indah, Lembut, Penyayang, Pemaaf, Pengampun.....dan seterusnya..., tapi tetap tidak sama dengan yang lainnya dan, bahkan tidak serupa. 

Jadi, Tuhan bukan benda yang merupakan pen-sama-an, dan juga bukan sembarang “bukan benda”, karena tidak bisa diserupakan. Wassalam. 

Ibnu Samsuddin: 187 teman yang sama: Ikut nyimak....... 

Beni Kurniawan: Masya Allah. Ana telat menyimak forum ini... 

Wirat Djoko Asmoro: Mencerahkan sekali.. 

Sinar Agama: Teman-teman semua, baik yang syi’ah atau yang sunni atau yang wahabi yang berhati mulia, semoga kita semua pada akhirnya mendapatkan yang terbaik, yang terargumentasi, termasuk akal, tersesuaikan dengan Qur'an dan Hadits, dan menjauhkan diri kita dari saling benci dan bermusuhan, membatasi saling menyalahkan hanya pada bab-bab keilmuan dan tanpa disertai penghardikan, pencemoohan dan, pemaksaan. 

Percayalah, walau kita masih memiliki kekurangan di hadapanNya, akan tetapi kalau kita berhati mulia dan tidak mengenal lelah dalam mencari, saling santun dan menyayangi walau dalam perbedaan...dan seterusnya...maka kita masih layak untuk mengharap ampunanNya. Beda kalau kita saling memaksakan, mencemooh, tidak memungkinkan diri kita yang salah dan memastikan yang lain yang pasti sesat tanpa dalil yang jelas dan teruji dan diadu, ...dan seterusnya..., maka kalau ada kesalahan, sulit untuk mendapatkan ampunanNya. 

Itulah mengapa saya sering mengatakan bahwa sengitlah dalam berdiskusi, salahkan dan benarkanlah, tapi usahakan dengan dalil dan tanpa pemaksaan dan pengejekan. Hal itu, tidak lain hanya untuk membuka peluang untuk kita agar mendapatkan ampunan dan kasih sayangNya manakala kita masih memiliki kesalahan pemikiran, akidah dan lain-lainnya. 

Aku yang merasa syi’ah ini (yang pernah dibesarkan di syafi’i dan dewasa di wahabi), akan selalu siap diganggu, diisykal, didebat ...dan seterusnya...untuk saling bantu menemukan hakikat Islam agung ini. Tapi kalau bisa, mari kita saling santun, saling mendoakan dan saling tolong menolong. Tidak ada yang dapat kita bawa ke alam baka kecuali kebenaran yang hakiki yang melantunkan kasih sayang sesama umat walau dalam ketegasan yang luar biasa dan kokoh dalam berargumentasi. Semua ini telah dicontohkan Nabi saww dan kita, semua tahu akan hal itu. Nabi saww tegas berargumentasi tentang keberanannya dan dalam menyalahkan yang salah. Akan tetapi, bukan hanya tidak pernah memaksa, bahkan menerima lemparan batu mereka. 

Mari saling salah menyalahkan dengan argumentasi dan kasih sayang. Salah menyalahkan itu tidak bisa dihindarkan karena itulah amar makruf dan nahi mungkar serta konsekuensi seseorang memiliki agama dan keyakinan yang berbeda dengan yang lainnya. Akan, tetapi mari kita mencontoh Nabi saww dalam kehidupannya yang agung itu. 






اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ