﷽
seri tanya jawab Amrillah Rizki dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) mn July 10, 2013
Amrillah Rizki mengirim ke Sinar Agama: (8-7-2013) Assalamualaikum udtadz.... berapa lama buka puasa 45 menit atau 30 menit setelah azan suni ?? Soalnya ane biasa 15 menit bukanya.
Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:
Yang bisa dikatakan meyakinkan adalah 45 menit. Dan kalau mau paling nekad (tapi saya tidak tanggung jawab) adalah sekitar 37 menit, yakni pertengahan antara adzan maghrib dan isyaa’ Sunni. Karena adzan maghrib baru munculnya mega merah di timur. Dan adzan isyaa’ adalah hilangnya mega merah di barat. Jadi, hilangnya mega merah di atas kepala kita ke timur, adalah pertengahannya. Ini kalau mau gampang-gampangannya.
Yang bisa dikatakan meyakinkan adalah 45 menit. Dan kalau mau paling nekad (tapi saya tidak tanggung jawab) adalah sekitar 37 menit, yakni pertengahan antara adzan maghrib dan isyaa’ Sunni. Karena adzan maghrib baru munculnya mega merah di timur. Dan adzan isyaa’ adalah hilangnya mega merah di barat. Jadi, hilangnya mega merah di atas kepala kita ke timur, adalah pertengahannya. Ini kalau mau gampang-gampangannya.
Tapi kalau mengikut ru’yat, sudah berkali-kali diru’yat dimana bukan hanya satu orang, tapi rombongan dan orang-orang lain di tempat-tempat lain, maka waktunya adalah 45 menit setelah adzan Sunni.
Catatan: 45 menit itu waktu pasnya, bukan hati-hatinya. Hati-hatinya adalah dilebihkan lagi sedikit.
Amrillah Rizki: Waduh lama amat ya..... bukannya udah azan isya tuh 45 menit .... ?
Mohamad Bagir: Salam ustadz, bagaimana puasa-puasa yang lalu-lalu terlanjur kurang dari 45 menit setelah adzan saudara Sunni? Bagaimana dengan shalat magribnya juga mengikuti waktu tersebut? Terimakasih..
Sang Pencinta: Silahkan di https://www.facebook.com/notes/sang-pencinta/diskusi-ttgmasuknya-waktu-maghrib-dan-buka-puasa/488642857852292 Diskusi ttg masuknya waktu Maghrib dan buka puasa
Bismillaah Waktu Buka Puasa Oleh Ustadz Sinar Agama: http://www.facebook.com/gr...
Amrillah Rizki: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu.
Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,” ada yang tau ga, bagaimana menyempurnakan puasa hingga malam... (45 menit setelah azan Sunni menurut ust. Abu Amar). Orang Islam pasti tahu azan maghrib itu panggilan untuk shalat maghrib bukan untuk buka puasa! Lha Suneo mengira azan maghrib itu panggilan berbuka puasa !! Bego, bego, bego!!
Sinar Agama: Amrillah: Jarak antara adzan maghrib Sunni dan isyaa’-nya sekitar 70-75 menit. Karena itu saya katakan bahwa kalau mau nekad, setidaknya menunggu 35 menit setelah adzan maghrib Sunni karena ia waktu pertengahan antara kedua adzan Sunni itu.
Sementara makna adzan maghrib Sunni itu, sama dengan matahari terbenam. Artinya, awal kemunculan mega merah di seluruh bagian langit, baik di barat atau di timur. Sementara makna adzan isyaa’ di Sunni, adalah hilangnya mega merah di barat.
Nah, kalau maghrib Syi’ah, sama dengan hilangnya mega merah di belahan timur langit, yakni dari arah timur sampai ke atas kepala kita, maka berarti maghrib Syi’ah itu, di pertengahan waktu maghrib dan isyaa’-nya Sunni. Karena itu, maghrib Syi’ah adalah 70-75 menit dibagi dua yang, sekitar 35-37,5 menit.
Tapi ingat, saya tidak tanggung jawab dengan waktu ini. Karena, walaupun kita tidak tahu sebabnya apa, sudah sering teman-teman meru’yat bahwa mega merah di belahan timur itu, baru hilang setelah 45 menit.
Saya sendiri mengira, bahwa hal tersebut dikarenakan negara kita berada di katulistiwa yang, mengakibatkan timur bagian utara dan selatan, tetap memega merah lebih lama lantaran utara dan selatan bumi itu, memiliki kemiringan hingga ia masih ditembusi sinar matahari hingga tetap membuat mega merah di timur, sementara di bagian katulistiwa bumi, sudah tertutupi perut bumi hingga sinar mataharinya sudah terhambat untuk membuat mega merah di sebelah timur. Karena itu, dalam waktu 35 menit setelah adzan Sunni itu, memang di timur bagian tengah sudah gelap, tapi di timur bagian utara dan selatan, masih memega merah.
Sinar Agama: Muhammad Baqir: Kalau puasa yang dulu-dulu tidak 45 menit itu, maka tergantung masing-masing keadaan. Sebenarnya sudah diterangkan panjang lebar tahun kemarin atau sebelumnya. Ringkasnya, kalau ia tidak berbuka 45 menit setelah adzan Sunni, maka:
1- Kalau Syi’ah tidak dari Sunni dan mengira bahwa waktu puasa Syi’ah itu sama dengan Sunni, maka kewajibannya adalah qadhaa’ tapi tidak perlu kaffarah.
2- Kalau Syi’ah yang dari Sunni dan tahu bahwa waktu maghrib/berbuka di Sunni beda dengan di Syi’ah, Tapi ia malas mencari tahu sementara ada tempat untuk bertanya, apakah buku, guru, teman yang tahu, facebook, ...dan seterusnya, maka kewajibannya, selain qadhaa’, juga harus kaffarah.
3- Kalau Syi’ah yang dari Sunni (atau memang Syi’ah dari awal) dan tahu bahwa waktu maghrib/ berbuka di Sunni beda dengan di Syi’ah, dan ia sudah bertanya ke orang yang tahu dan adil (tidak melakukan dosa) bahwa menunggunya itu hanya sekian menit dari selain 45 menit itu, maka kalau ia yakin dengan beritanya itu dan tidak tahu kesalahannya setelah itu sampai kelak meninggal, maka puasanya sudah benar.
4- Kalau Syi’ah yang dari Sunni (atau memang Syi’ah dari awal) dan tahu bahwa waktu maghrib/ berbuka di Sunni beda dengan di Syi’ah, dan ia sudah bertanya ke orang yang tahu dan adil (tidak melakukan dosa) bahwa menunggunya itu hanya sekian menit dari selain 45 menit itu, maka kalau ia yakin dengan beritanya itu tapi kemudian ia tahu kesalahannya (baik karena tahu dalilnya tidak benar sama sekali atau telah memeriksanya sendiri setelah tahu cara memeriksa dengan benar seperti di barat tidak boleh ada mendung dan di tengah dan timur harus ada mendung tipis dan tidak boleh tebal), maka ia wajib mengqadhaa’ semua puasanya itu.
5- Kalau Syi’ah yang dari Sunni (atau memang Syi’ah dari awal) dan tahu bahwa waktu maghrib/ berbuka di Sunni beda dengan di Syi’ah, dan ia sudah bertanya ke orang yang tahu dan adil (tidak melakukan dosa) bahwa menunggunya itu hanya sekian menit dari selain 45 menit itu, maka kalau ia yakin dengan beritanya itu tapi kemudian ia tahu kesalahannya tapi masih terus mengamalkannya, maka ia wajib mengqadhaa’ semua puasanya yang telah lalu itu dan untuk puasa yang berikutannya dari setelah tahu dengan pasti itu, ia selain wajib mengqadhaa’ puasanya, juga harus membayar kaffarah.
6- Kalau Syi’ah yang dari Sunni (atau memang Syi’ah dari awal) dan tahu bahwa waktu maghrib/ berbuka di Sunni beda dengan di Syi’ah, dan ia sudah bertanya ke orang yang tahu dan adil (tidak melakukan dosa) bahwa menunggunya itu hanya sekian menit dari selain 45 menit itu, maka kalau ia tidak yakin dengan beritanya itu (entah karena ada adil lain yang berkata beda atau entah karena dalil peru’yatannya tidak jelas dan lain-lain) tapi tetap nekad melaksanakannya, kemudian ia tidak tahu kesalahannya sampai meninggal, juga tidak masalah (tapi saya dalam hal ini tidak terlalu yakin karena ia sendiri dari awal sudah tidak yakin, tapi dari sisi pemberitanya yang adil, maka memang sudah cukup bisa dijadikan pengesyahan puasanya).
7- Kalau Syi’ah yang dari Sunni (atau memang Syi’ah dari awal) dan tahu bahwa waktu maghrib/ berbuka di Sunni beda dengan di Syi’ah, dan ia sudah bertanya ke orang yang tahu dan adil (tidak melakukan dosa) bahwa menunggunya itu hanya sekian menit dari selain 45 menit itu, maka kalau ia tidak yakin dengan beritanya itu (entah karena ada adil lain yang berkata beda atau entah karena dalil peru’yatannya tidak jelas dan lain-lain) tapi tetap nekad melaksanakannya, kemudian ia tahu kesalahannya sebelum meninggal, maka untuk qadhaa’nya sudah jelas wajib qadhaa’. Tapi untuk kaffarahnya, sangat mungkin kaffarah. Tapi perlu konfirmasi lagi dengan marja’nya.
8- Kalau Syi’ah yang dari Sunni (atau memang Syi’ah dari awal) dan tahu bahwa waktu maghrib/ berbuka di Sunni beda dengan di Syi’ah, dan ia sudah bertanya ke orang yang tahu atau dianggap tahu akan tetapi bukan orang yang diyakini adil (tidak melakukan dosa) karena diyakini masih melakukan dosa atau tidak tahu atau tidak yakin terhadap keadilannya, maka kalaupun ia itu yakin terhadap kebenaran beritanya, tapi kalau nanti ia tahu bahwa beritanya itu salah dan yang benar itu yang 45 menit (yang entah karena ia menelitinya sendiri dengan cara yang benar seperti yang sudah diterangkan di atas itu, atau karena ada orang yang diyakininya adil mengatakan 45 menit), maka selain qadhaa’, ia wajib membayar kaffarah.
9- Kalau Syi’ah yang dari Sunni (atau memang Syi’ah dari awal) dan tahu bahwa waktu maghrib/ berbuka di Sunni beda dengan di Syi’ah, dan ia sudah bertanya ke orang yang tahu atau dianggap tahu akan tetapi bukan orang yang diyakini adil (tidak melakukan dosa) karena diyakini masih melakukan dosa atau tidak tahu atau tidak yakin terhadap keadilannya, maka kalaupun ia itu yakin terhadap kebenaran beritanya sampai mati dan tidak tahu sampai mati terhadap kesalahannya itu seperti yang di poin 8, tapi kalau ternyata di ilmu Tuhan itu yang benar adalah 45 menit, maka ia berkewajiban mengqadhaa’ dan membayar kaffarah. Tapi kewajibannya ini di alam hakikatnya. Sedang di dunia dan untuk dirinya di dunia ini, kalau ada yang mengabarkannya seperti orang adil makshumin as, maka wajib mengoqadhaa’ dan membayar kaffarah.
10- Kalau Syi’ah yang dari Sunni (atau memang Syi’ah dari awal) dan tahu bahwa waktu maghrib/ berbuka di Sunni beda dengan di Syi’ah, dan ia sudah bertanya ke orang yang tahu atau dianggap tahu akan tetapi bukan orang yang diyakini adil (tidak melakukan dosa) karena diyakini masih melakukan dosa atau tidak tahu atau tidak yakin terhadap keadilannya, maka kalaupun ia itu yakin terhadap kebenaran beritanya sampai mati dan tidak tahu sampai mati terhadap kesalahannya itu seperti di poin 8, tapi kalau ternyata di ilmu Tuhan itu yang benar adalah 45 menit, maka ia berkewajiban mengqadhaa’ dan membayar kaffarah. Tapi kewajibannya ini di alam hakikatnya. Sedang di dunia dan untuk dirinya di dunia ini, kalau tidak ada yang mengabarkannya seperti makshumin as, maka kewajiban mengoqadhaa’ dan membayar kaffarahnya akan disampaikan kelak di akhirat. Sedang apakah Tuhan akan memaafkannya atau tidak, maka dikembalikan kepada DiriNya.
11- Penutup: Untuk sementara ini, hanya 10 macam ini yang terbayang terhadap keadaan orang yang tidak shalat maghrib dan tidak berbuka dalam 45 menit setelah adzan maghrib saudarasaudara kita yang Sunni. Dan alfakir sudah berusaha menjelaskan kewajiban-kewajiban hukumnya dari yang alfakir rasakan tahu dari fikih fatwa marja’.
12- Nasihat: Dengan melihat semua pembagian dia atas itu, maka urusan agama ini, bukan urusan menang-kalah atau hura-hura. Tapi urusannya justru kehati-hatian. Hal itu karena betapa beratnya pertanggung jawaban kita dan/atau urusan kita sendiri di akhirat kelak. Karena itu, dari pada masuk dalam bencana di dunia dengan mengqadhaa’ atau bayar kaffarah, dan dari pada nanti ditolak mentah-mentah di akhirat, maka menunda beberapa menit lagi dari pandangan yang lemah walau nampak kokoh dan terlihat banyak peminatnya, adalah hal yang sangat bijaksana dan dapat membantu diri sendiri.
Karena kalau sudah hati-hati dan salah, maka sudah pasti yang benar itu sudah masuk di dalam yang hati-hati itu dan, karenanya kerugian kita hanya lapar dan haus beberapa menit lebih lama dari yang benar tersebut. Akan tetapi, kita hidup di dunia ini dengan nyaman dan di akhirat, bisa memiliki hak untuk berharap penerimaanNya.
Lagi pula, di hadits-hadits para makshumin as dikatakan: Kalau kita menghadapi dua masalah atau beberapa masalah yang berbeda-beda yang beredar di kalangan ulama atau muslimin, maka memilih menjauhi yang disukai hati, dan memilih merangkul yang tidak disukai hati/ nafsunya.
Misalnya:
عن الرضا عليه السلام: أن أمير المؤمنين عليه السلام قال لكميل بن زياد فيما قال: يا كميل أخوك دينك فاحتط لدينك بما شئت
Imam Ridha as berkata bahwa Imam Ali bin Abi Thalib berkata kepada Kumail: “Wahai Kumail, saudaramu itu adalah agamamu, karena itu ambilnya jalan yang paling hati-hati sesukamu, terhadap agamamu.”
Salah satu dari bagian wasiat imam Musa as kepada Hisyaam:
..... وإذا خر بك أمر ان لا تدري أيهما خير وأصوب، فانظر أيهما أقرب إلى هواك فخالفه، فإن كثير الصواب في مخالفة هواك .....
“....Dan kalau sampai kepada dua urusan yang tidak kamu ketahui yang mana yang lebih baik dan lebih benar, maka lihatlah mana yang lebih dekat kepada hatimu/sukamu/nafsumu, karena sesungguhnya kebenaran itu banyak terdapat di dalam hal-hal yang bertentangan dengan hatimu/sukamu/nafsumu....” Wassalam
Mohamad Bagir: Ahsantum ustadz,
Mohamad Bagir: Bagaimana kalau Syi’ah yang dari Sunni (atau memang Syi’ah dari awal) dan tahu bahwa waktu maghrib/berbuka di Sunni beda dengan di Syi’ah, dan ia sudah bertanya ke beberapa orang yang saya anggap tahu dan adil (tidak melakukan dosa) bahwa menunggunya itu berbeda-beda, ada yang sekian menit dan sekian menit termasuk 45 menit, dari antum, tapi semuanya memiliki kesamaan bahwa waktunya adalah ketika mega merah di timur harus hilang sampai lebih dari lurus di atas kepala kita lalu melakukan perukyatan sendiri sekitar 3 hari akhir sya’ban dan 3 hari awal ramadhan dengan pahaman itu, dan yakin sudah terjadi 35 menit dari adzan magrib, lalu selanjutnya berbuka berdasarkan perukyatan sendiri sampai akhir ramadhan?
Atau kalau Syi’ah yang dari Sunni (atau memang Syi’ah dari awal) dan tahu bahwa waktu maghrib/ berbuka di Sunni beda dengan di Syi’ah, dan ia sudah bertanya ke beberapa orang yang saya anggap tahu dan adil (tidak melakukan dosa) bahwa menunggunya itu berbeda-beda, ada yang sekian menit dan sekian menit termasuk 45 menit, dari antum, lalu mendownload aplikasi adzan yang konvensi waktu shalatnya berdasarkan aplikasi tersebut berdasar perhitungan syiah ithna asyari (jafari) dan untuk kehati-hatian ditambah 10 menit lagi (tapi totalnya masih kurang dari 45 menit) dan berbuka di waktu itu (aplikasi “Muslim Pro”)?
Sinar Agama: Mohammad,
1- Meru’yat sendiri itu memang yang paling selamat. Tapi harus tahu caranya, seperti di bagian barat tidak boleh ada mendung, di tengah tidak boleh ada mendung tebal tapi harus ada mendung tipis atau mendung yang terpencar dan di timur juga harus ada mendung yang terpencar terutamanya harus ada mendung di bagian utara dan selatannya.
Jadi yang di sebelah timur, mendungnya harus ada di bagian tengah, utara dan selatan atau kanan dan kiri. Guna kanan kiri ini, untuk menangkap cahaya matahari yang sudah tidak bisa ditangkap oleh mendung yang di tengah karena sudah ketutup oleh perut bumi yang menonjol. Dan di langit bagian atas tidak boleh bermendung tebal, karena akan menutupi sinar matahari untuk sampai ke timur.
Persis seperti di barat yang tidak boleh ada mendung. Karena kalau ada mendungnya maka sinar mataharinya akan terhambat hingga di tengah dan di timur tidak akan kebagian sinar matahari untuk memunculkan mega merah atau kalaulah juga kebagian, akan teramat lemah hingga kurang bisa dipantau apakah mega merah itu masih ada atau tidak (yakni di tengah dan di timur).
Akan tetapi, di langit bagian tengah ini, harus ada mendung juga sekalipun tidak boleh tebal. Karena kalau tebal akan menutupi atau melemahkan sinar untuk menembus bagian timur, tapi kalau tidak ada sama sekali, maka kita tidak akan bisa menentukan apakah mega merah itu sudah hilang sampai ke atas kepala kita. KESAKSIAN ANTUM YANG MERU’YAT SENDIRI INI, AKAN DITULIS SEJARAH, BAHWA SAMA SEKALI MUSTAHIL 15 MENIT SETELAH ADZAN SUNNI ITU SUDAH MASUK MAGHRIB. KARENA ANTUM SENDIRI DAN TEMAN-TEMAN LAINYA SUDAH MERU’YAT SENDIRI DIMANA ADA YANG 45 MENIT DAN SEKARANG ANTUM MENYAKSIKANNYA 35 MENIT.
Saran: Coba antum ru’yat lagi dengan anjuran di atas itu, semoga pada akhirnya dapat mendapat keyakinan kepada yang benar.
PESAN SERIUS: RU’YAT SENDIRI YANG SUDAH BENAR DAN MEYAKINKAN ITU, DI DALAM FIKIH, ADALAH HUJJAH DAN WAJIB DITAATI/DIAMALKAN SEKALIPUN BEDA DENGAN MARJA’NYA SENDIRI, APALAGI HANYA BEDA DENGAN USTADZ ATAU YAYASAN ATAU ORMAS ATAU SEGEROMBOLAN ORANG YANG TIDAK DIKETAHUI ADILNYA.
KARENA DALAM OBYEK HUKUM/FATWA, SUDAH TIDAK ADA TAQLID LAGI DAN SEMUA ORANG WAJIB MENGAMALKAN KEYAKINAN DARI PENERAPANNYA SENDIRI. SEPERTI RU’YAT INI ATAU SEPERTI APAKAH BAJU KITA INI TERKENA KENCING DAN NAJIS ATAU TIDAK. JADI, KALAU KITA YAKIN KENA KENCING, MAKA BAJU ITU NAJIS, SEKALIPUN MARJA’NYA MENGATAKAN TIDAK ADA KENCINGNYA. APALAGI KALAU HANYA USTADZ YANG SEKALIPUN ADIL. DAN, APALAGI KALAU HANYA SEKELOMPOK ORANG YANG TIDAK KETAHUAN ADILNYA.
Jawaban Soalan antum:
1- Kalau nanti sebelum mati ketahuan salah karena yang benar 45 menit misalnya, maka hanya wajib mengqadhaa’ saja dan tidak wajib kaffarah. Alasannya antum sudah meru’yat sendiri DENGAN CARA YANG BENAR. Jadi yang meringakan antum ini adalah ru’yat dengan benar itu, bukan ustadz-ustadz yang adil itu. Karena semua kesaksian ustadz-ustadz itu sudah gugur dengan peru’yatan antum yang ternyata melebihi kesaksian para ustadz itu sendiri.
Tentu saja, kalau keyakinan antum terhadap keadilan ustadz yang antum yakini keadilannya itu, sudah benar. Yaitu yakin dengan akal dan bukan dengan perasaan. Yaitu yakinnya sudah sesuai fikih. Yaitu tidak melihatnya bermaksiat sama sekali. Bukan karena karena jarang sekali kumpul hingga tidak melihat dan, apalagi berjauhan hingga memang tidak pernah tahu kesehariannya pada diri, keluarga dan teman-temannya hingga dapat dilihat apakah ia adil atau tidak, yakni sudah tidak melakukan dosa atau masih melakukan dosa.
Dan, sudah tentu, antum sendiri harus tahu semua fikih hingga tahu apakah orang/ustadz itu melanggar fikih hingga dosa atau tidak. Tapi kalau antum tidak tahu fikih keseharian dan, apalagi ditambah dengan jarang gaul dengannya atau apalagi tidak pernah pernah memperhatikannya karena beda kota atau pulau, maka keyakinan antum terhadap keadilan seseorang, jelas tidak bisa dianggap sudah memenuhi syarat.
2- Kalau yang dipertanyaan ke dua antum di kolom terbaru antum itu, maka jawabannya adalah kalau ternyata sebelum mati nanti tahu bahwa yang benar itu adalah yang 45 menit, maka:
- Kalau yang kesaksian 45 menit itu diyakini sebagai adil dan alim serta sudah melihat dalildalilnya dengan benar dan apalagi kalau sudah melihat di lapangan dengan benar, maka kalau downloadan itu kurang dari padanya, maka selain qadhaa’, juga harus kaffarah.
- Begitu pula kalau diyakini sebagai adil walau dengan pantauan kalimat-kalimat di internet dan hujjah-hujjahnya yang kuat dan gamblang, maka sekalipun tidak mengeceknya sendiri di lapangan, sangat mungkin juga, selain qadhaa’, juga harus kaffarah.
- Tapi kalau tidak tahu keadilannya dan juga tidak yakin dengan jalan apapun, tapi mengecek ke lapangan dan benar, maka selain qadhaa’, juga wajib kaffarah. Artinya, kalau masih saja mengamalkan hasil hitungan downloadnya itu.
- Tapi kalau tidak tahu keadilannya dan juga tidak yakin dengan jalan apapun, dan tidak pula mampu mengecek di lapangan karena tidak tahu caranya atau pas kebetulan lagi mendung-mendung terus, maka kewajibannya hanya qadhaa’ saja bagi yang telah lalu itu.
Catatan: Hukum-hukum ini, berlaku untuk yang tahu kesalahannya sebelum mati dan penyebab salahnya adalah seperti yang antum tanyakan di pertanyaan ke 2 di kolom terbaru antum itu.
Tapi kalau tidak tahu sampai mati, maka kalau sudah bersandar kepada info adil yang keyakinannya itu sudah diterima fikih seperti yang sudah dijelaskan di atas itu, atau sudah bersandar pada
peru’yatannya sendiri yang sudah disandarkan kepada teori yang benar, maka In'syaa Allah akan dimaafkan oleh Allah dan bahkan sudah dipahalai karena sudah mengamalkan sesuai dengan hujjah lahiriah yang diberikanNya melalui agamaNya (fikih). Yaitu melalui adil atau peru’yatan yang benar itu.
Tapi kalau tidak demikian, yakni tidak dari adil atau keyakinan adilnya tidak benar atau tidak sesuai fikih, dan/atau tidak meru’yatnya sendiri dengan benar (misalnya meru’yat di kala mendung dimana dengan mudah akal mengerti bahwa mendung itu akan mencegah sinar matahari untuk membuat mega merah), maka di akhirat akan sulit. Syukur-syukur kalau mendapat ampunan, apalagi mau dapat pahala. Wassalam.
Adie de Track Ana: iseng-iseng ru’yat dari tadi. Mega merah di barat hilang sekitar 15 menit setelah azan Sunni..Sedang mega merah di timur hilang 40 menit setelah adzan Sunni dan muncul bintang..dan 30 menit lagi akan di lantunkan adzan isya di sini. Lokasi Kota Medan.
Khäñzæ Himmatul Aliyah Rö: Kenapa tidak skalian nanti sahur baru buka puasanya kan lebih gelap lagi tuh,,ya Allah tunjukanlah kami jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang engkau beri nikmat bukan jalannya nasrani, yahudi, apalagi syiah..allahumustaan
Sinar Agama: Khanzae: Mengapa merubah doa yang sudah dibuat Tuhan sendiri? Mestinya, doanya diteruskan, yaitu: “Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus (shirathalmustaqim), yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang-orang Engkau murkai dan bukan jalan orang-orang yang tidak makshum (wa laa al-dhaalliin).”
Nah, apakah jalan kita sudah merujuk kepada jalannya orang-orang yang tidak salah sama sekali, alias makshum? Al-Dhaaliin ini jama’ dari dhaal yang berarti salah atau tersesat. Nah, karena ia merupakan jamak, maka yang dimaksudkan adalah semua kesesatan, baik kecil atau besar, baik sengaja atau tidak, baik sebagian atau keseluruhan, baik fikih atau akidah, baik satu ayat atau lebih, baik satu hadits atau lebih....dan seterusnya.
Apalagi ditambahi alif laam oleh Allah di ayat tersebut dimana menambah lagi tekanan pada keseluruhan macam jenis kesesatan itu. Karena itu, kita mesti meminta jalan lurus yang dibawa para makshum sampai akhir jaman dan kiamat kelak.
Nah, pertanyaannya, siapa pembawa jalan makshummu yang engkau minta kepada Allah tiap hari dalam shalat ketika meminta jalan lurus ini? Lagi pula, yang dikatakan jalan lurus itu yang sudah tidak ada salahnya sama sekali. Mana ada jalan lurus dikatakan pada jalan yang hanya benar atau kemungkinan benar sebagian, tapi sebagian lainnya ada kesalahan.
Nah, kalau jalan lurus itu adalah jalan Islam yang tidak salah sama sekali, pertanyaannya adalah, apakah kamu sudah mengetahui semua Islam seratus persen dan apakah kamu sudah mendapat wahyu dari Allah bahwa yang kamu pahami seratus persen itu sudah benar pula seratus persen?
Dan kalau sudah seperti itu (dimana hal ini pasti mustahil), maka apakah kamu sudah mengamalkannya seratus persen pula? Tidak ada yang makshum selain yang disaksikan Allah sendiri. Atau setidaknya, tidak ada yang bisa seratus persen diyakini makshum selain yang disaksikan Allah sendiri.
Karena itulah, maka kita wajib mengikuti para makshum yang sudah disaksikan Tuhan itu seperti yang sudah diterangkan dalam QS: 33:33 dimana Tuhan berfirman:
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Sesungguhnya Allah HANYA ingin menepis dari kalian wahai Ahlulbait SEMUA KEKOTORAN/KEKEJIAN/ DOSA dan MEMBERSIHKAN kalian SEBERSIH BERSIHNYA.”
Saya sudah sering menerangkan bahwa ‘Aisyah sendiri di riwayat Shahih Muslim, 2/368, bersaksi bahwa ayat itu turun untuk Ahlulbait yang khusus, yaitu hfh Faathimah as, imam Ali as, imam Hasan as dan imam Husain as. Nabi saww sendiri di riwayat Shahih Bukhari dan Muslim dan lain-lainnya, mengatakan bahwa imam-imam setelah beliau saww itu ada 12 orang dan semuanya dari Quraisy. Sementara imam ini harus makshum, karena Tuhan melarang taat pada yang tidak makshum atau yang masih memiliki dosa, seperti di QS: 76:24:
فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا
“Maka sabarlah dengan hukum Tuhanmu, dan jangan taati orang-orang yang memiliki dosa dan orang-orang yang kafir.”
Kesimpulan: Doa meminta jalan lurus itu, bukan jalan Islam saja. Tapi Islam hakiki yang tidak mengenal kesalahan sedikitpun (wa laa al-dhaalliin) dalam ilmu dan amalnya. Yaitu yang ilmu Islamnya lengkap seratus persen, dan semua ilmunya benar seratus persen serta diamalkan seratus persen.
Ini baru jalan lurus yang dimaksudkan Tuhan dalam surat al-fatihah itu yang mana Tuhan sendiri mensifatinya dengan tiga sifat, yaitu jalan yang telah diberikan kepada orang-orang yang telah diberi nikmat (seperti yang diterangkanNya dalam QS: 24:32, yaitu para nabi, para shaadiqiin, para syuhadaa’ dan shaalihinn) dan sifat ke dua adalah bukan jalan orang yang dimurka (di sini tidak makshum masih bisa ikut, karena yang salah dengan tidak sengaja, tidak dimurka Tuhan) dan sifat ke tiga yaitu bukan jalan orang-orang yang tidak bersih dari kesalahan/kesesatan (disinilah maka selain makshum tidak bisa ikutan dalam jalan lurus yang dipinta tersebut).
Begitu pula, meminta dijauhkan dari jalan yang sesat itu bukan nashrani, yahudi dan majusi saja. Karena jalan sesat itu bukan hanya agama selain Islam. Tapi Islam juga bisa sesat. Yaitu yang ilmunya masih belum lengkap atau ilmunya masih salah. Termasuk amal-amalnya juga. Yakni kalau masih maksiat, atau ikut ilmunya yang tidak lengkap dan tidak benar seratus persen itu.
Jadi, tidak semudah yang kamu kira, bahwa jalan lurus itu adalah jalan Islam dan jalan sesat itu yahudi, nashrani dan majusi, dan lain-lain-nya dari agama-agama selain Islam. Terlebih lagi, tidak semudah yang kamu kira bahwa yang beda sama kamu itu yahudi dan majusi sementara yang kamu pahami dan ikuti, adalah Islam. Lah, kok enak. Padahal dari awal sudah tidak meyakini kemakshuman dirinya sendiri dan yang diikuti, tapi ketika memfonis orang lain, berlagak seperti makshum.
Kalau dari awal sudah mengingkari makshum, maka semestinya kamu katakan: “Yang aku pahami sebagai tidak makshum, waktu berbuka itu ketika matahari sudah terbenam, bukan hilangnya mega merah di sebelah timur seperti yang kamu katakan, dimana barangkali saya yang salah dan kamu yang benar.” Nah, mestinya berkata seperti ini. Bukan berkata: “Kenapa tidak skalian nanti sahur baru buka puasanya kan lebih gelap lagi tuh,,ya Allah tunjukanlah kami jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang engkau beri nikmat bukan jalannya nasrani, yahudi, apalagi syiah..allahumustaan”
Nah, kalau nanti kalau kamu sudah benar menyusun iman dan perasaan serta keyakinanmu terhadap kebelumtentuan benarnya kamu ini, maka baru kita diskusi tentang berbuka ini. Misalnya apa-apa saja alasanmu dan apa-apa saja alasanku.
Ahsanul Haqq: Kalau ajaran cuma sejarah, bisa dibuat baik dan buruk tergantung yang mengarangnya, sudah jelas sejelas-jelasnya bahwa Allah ingin membersihkan ahlul bait dengan sesuci sucinya ? Siapa ahlul bait yang benar menurut al Qur'an? Yang benar adalah Rasul dan istri-istrinya ini tidak bisa terbantahkan lagi hanya orang bodoh yang tertipu ? Dan kalau orang yang merasa pintar tapi memutar balik kan isi alqur’an tunggulah azab Allah yang pedih. Kalau Imam Ali, Sy. Fatima, Hasan dan Husain itu kita tahu beliau ahli surga dan keturunan Ahlul bait, kenapa istri Rasul tidak kalian masukkan ke ahlul bait ??? Semoga bisa direnungkan wassalam.
Ijinkan Ku Sendiri: Allahumma Shalli ‘alaa Muhammad wa Aali Muhammad.
Sinar Agama: Ahsanul: He he...kok enak banget antum ini menafsir Qur'an kepada yang jelas-jelas salah. Istri-istri Nabi saww banyak yang tadinya kafir. Kok bisa tersucikan atau makshum? Begitu pula Allah dalam QS: 66:3-5, telah menyebut dua istri Nabi saww yang khianat kepada beliau saww dan diancam akan diceraikan dan diperangi kalau tidak taubat.
Nah, ketika Tuhan mengatakan (إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ), “Kalau kalian berdua taubat”, maksudnya taubat dari dosa khianat kepada Nabi saww, yaitu yang membocorkan rahasia beliau saww yang telah beliau saww amanatkan.
Nah, dengan semua itu, kok bisa antum masih mau mengatakan bahwa Ahlulbait itu adalah istri-istri Nabi saww? Sementara Nabi saww sendiri mengatakan bahwa yang dimaksud Ahlulbait yang makshum ini adalah yang hdh Faathimah as, imam Ali as, imam Hasan as dan imam Husain as. Merekamereka ini tidak pernah kafir dan tidak pernah melakukan dosa sesuai dengan kesaksian Allah dan NabiNya saww ini.
Emangnya antum lebih tahu dari Nabi saww dan istri-istri beliau saww sendiri, seperti ‘Aisyah yang menyaksikan di shahih Muslim bahwa Ahlulbait itu bukan istri-istri beliau saww, atau seperti kesaksian Ummu Salamah, istri Nabi saww yang lain yang mengatakan bahwa saking inginnya beliau masuk ke dalam golongan Ahlulbait yang disucikan ini, sampai-sampai beliau meminta ijin kepada Nabi saww untuk masuk ke dalam Ahlulbait ini akan tetapi Nabi saww menolaknya walaupun sembari bersabda (kurang lebih): “Tapi kamu termasuk orang baik.” (lihat Turmudzi, hadit ke: 3258 dan 3963; Syawaahidu al-Tanziil al-Haskani al-Hanafi, hadits ke: 659, 706, 707, 708, 709, dan 28 riwayat yang lainnya; Tafsiir Ibnu Katsiir, 3/484-485; Usdu al-Ghaabah Ibnu Atsiir, 2/12; Tafsir Thabari, 22/7-8; Dzakhaairu al-’Uqbaa Thabari, 21-22; dan lain-lain-nya).
Yang meriwayatkan bahwa ayat tersebut untuk yang sudah disebutkan di atas itu dan bukan untuk istri-istri Nabi saww, banyak sekali dan tidak terhitung, seperti Shahih Muslim, 2/368; Shahih Turmudzii, 5/30; Musnad Ahmad bin Hanbal, 1/330; Mustadrak Haakim, 3/133, 146, 147, 158; alMu’jamu al-Shaghiir Thabraanii, 1/65 dan 135; Syawaahidu al-Tanziil Hakim al-Haskaani, 2/11-92 yang membawa sekitar 64 hadits; ...dan seambrek lagi dari kitab-kitab hadits Sunni, begitu pula kitab-kitab tafsir dan sejarah. Dulu saya pernah mencoba menghitung hadits-hadits ini di riwayat-riwayat Sunni, ada sekitar 250 hadits lebih.
Penutup: Nah, sekarang, saya ingin antum berenung supaya tidak gampang-gampang menafsirkan ayat-ayat Tuhan, terlebih Nabi saww sendiri sudah menafsirkannya atau bahkan telah mengutarakan makna dan maksud ayatnya.
Jadi, jangan seenaknya mengatakan bahwa Islam kita hanya sejarah. Tapi Qur'an dan Hadits. Lah, Islam antum terus Islam apa, wong menafsir Qur'an saja dengan yang berlawanan dengan Qur'an itu sendiri. Seperti menafsir Ahlulbait yang dimakshumkan Allah, dengan istri-istri Nabi saww yang di ayat lain dikecam Allah dan dinyatakan telah melakukan dosa dan pengkhianatan terhadap Nabi saww sendiri.
Padahal Allah sudah mengancam akan mengadzab dua kali lipat kalau istri Nabi saww itu melakukan fakhsyaa’, seperti dalam QS: 33:30:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ مَنْ يَأْتِ مِنْكُنَّ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ يُضَاعَفْ لَهَا الْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا
“Wahai istri-istri Nabi, siapa yang berbuat fahsyaa’ yang nyata diantara kalian, maka adzabnya akan didobelkan, dan yang demikian itu mudah bagi Allah.” Wassalam.
Adie de Track : Kami beriman kepada Allah dan Kitabullah..serta Rasulullah Muhammad dan Ahlul bait beliau. Allahumma Sholli alaa Muhammad wa ali muhammad wa ajil farajahum.
Ahsanul Haqq: Astaghfirullah hal azim ada Istri rasul yang dibilang hianat tafsiran darimana? Sudah jelas di al Qur'an , bahwa Istri-istri rasul adalah Ummul Mukminin ? Kalau yang tidak mempercayainya jelas bukan orang mukmin?
Kalau ada istri nabi salah, itu adalah kesalahan seperti manusia biasa, ada rasa cemburu ada rasa gundah karena beliau adalah manusia biasa, tentu ada kesalahan tapi sudah diampuni, hal ini tidak seperti fahamnya syiah yang mengkafirkan Istri Nabi siti Aisah , Hafsah dan kedua orang tuanya, coba dilihat di kitab Syiah alkafi, dari kitab attoharoh Khomeini tidak ada yang memuliakan istri Nabi tersebut kecuali melaknat, inilah perbedaan prinsip Sunni dan Syiah yang tidak bisa disatukan kecuali tidak ada penistaan terhadap Ummul Mukminin. Wassalam.
Sasando Zet A: nah,, itu sudah dijawab sendiri oleh ahsanul, bahwa istri nabi juga HANYA MANUSIA BIASA,,, jadi sudah jelas istri nabi bukan termasuk ahlul bait yang makshum itu,, makanya masih berbuat kesalahan... mau diputar baik kayak apapun toh terjawab sendiri... Istri Nabi itu ummul mukminin yang kita hormati,, tapi menghormati bukan berarti suci dan lepas dari dosa/makshum...karena Allah sendiri yang menegur istri-istri nabi yang berbuat salah/dosa itu,, yang anda katakan Hanya manusia biasa tak luput dari kesalahan/dosa...kalau pemahaman nya membabi buta yang gak sejalan dengan yang sebenarnya yang dimaksud dengan ayat diatas,, apalagi ustadz sudah jelaskan dukungan hadits justru yang ada dalam kitab Bukhari.. dibaca secara seksama dulu, dipahami dihayati, barulah membuka argumen balasannya.. maka ilmu itu akan sampai kepada pemahamannya.. bukan sekedar bantahan karena membela gol...Dan lagi istri nabi itu kan wanita,, sedangkan pemimpin itu dari lelaki.. penerus Risalah karena nabi itu dari lelaki...dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad.. Afwan melancangi ustadz SA.
Amrillah Rizki : Afwan ustadz sinar pertanyaan ana belum dijawab. Apakah azan maghrib syiah di yayasan-yayasan syiah hampir sama dengan waktu suni terus sholat maghrib jamaahnya diterima atau batal sholat nya karena belum waktunya maghrib ?? Dan kapan waktu sholat subuh bagi orang syiah sama dengan sunni ? Sekali lagi afwan mohon pencerahannya ustadz.....
Sinar Agama: Amrillah: Siapapun yang shalat di luar waktunya, maka ia batal dan wajib diulang di dalam waktunya dan kalau sudah lewat, maka wajib di qadhaa’. Tentang sadar dan tidak-nya akan hal itu, maka sudah dirinci sebelumnya. Untuk shalat shubuh, tidak ada beda sedikitpun antara Syi’ah dan Sunni.
Sinar Agama : Ahsanul: - Mbok ya...baca Qur'an yang kita banggakan itu dan jangan dijadikan kebanggaan kosong. Sudah saya berikan alamat ayatnya kok tidak dibaca dan dikatakan bahwa itu tafsiran. Ra’syih antum ini. Lihat semua Qur'an yang ada di rumah antum itu, tentu kalau antum punya Qur'an. Dan lihat terjemahannya.
Ayat itu tidak perlu tafsiran. Karena sudah dikatakan bahwa kedua istri Nabi saww itu telah mengkhianati amanat beliau saww dan diancam kalau tidak taubat.
- Tentang dikatakan sebagai ibu mukminin itu harus diketahui maksudnya. Maksudnya adalah bahwa janda Nabi saww itu, tidak boleh dikawini siapapun selamanya, walau sudah ditalaq atau ditinggal wafat beliau saww. Bukan lebih afdhal dari mukminin karena tidak ada dalil apapun bahwa seorang ibu itu lebih taqwa dari anak-anaknya.
- Seperti yang dikatakan Sasando, bahwa kamu sendiri sudah meyakini keberdosaan istri-istri Nabi saww itu. Nah, ini sudah cukup bahwa istri-istri Nabi saww itu tidak maskum. Karena makshum itu tidak berdosa, bukan berdosa dan kembali bersih setelah diampuni. Karena itulah Tuhan memakai bahasa khusus dalam QS: 33:33 itu, yaitu:
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Nah, (لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ) diambil dari (Adzhaba ‘An) yang memiliki artian “menjauhkan” atau “menepis”. Artinya menjauhkan dosa dari Ahlulbait, bukan membersihkan dosa yang sudah menempel.
Jadi, di samping pahaman antum tentang makshum itu jauh sekali dari kebenaran, karena semua orang walau tidak sekolah juga mengerti bahwa makshum itu tidak melakukan dosa akan tetapi antum menerjemahkan sebagai orang yang diampuni dosanya, juga bertentangan dengan ayat tentang penghindaran dosa dari Ahlulbait di ayat ini.
Khommar Rudin: Allohumma shalli ‘alaa Muhammad wa aali Muhammad..Allohumma shalli ‘alaa Muhammad wa aali Muhammad..Allohumma shalli ‘alaa Muhammad wa aali Muhammad.. wa ajjilfarajjahum.
>> Baca juga: Cara menyikapi Perbedaan Informasi Fiqih
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ