Mut’ah Dalam Perebutan Pengumbar Nafsu (ifraath) dan Anti-pati (tafriith), melengkapi 4 catatan sebelumnya tentang Mut’ah
﷽
by Sinar Agama (Notes) on Monday, June 27, 2011 at 4:37 am
Tulisan ini dibuat untuk melengkapi catatan yang sudah beberapa kali muncul dari saya tentang kawin mut’ah ini. Jadi, sangat baik untuk mendapat wawasan yang jelas, membaca semua catatan-catatan saya yang sudah terbit sebelumnya. Yaitu:
1. Jawaban Atas Kesamaan Mut’ah Ala Spesies Syi’ah Ame Zina_Oleh Sinar Agama · 09 Oktober 2010
2. Jawaban Terhadap Pertanyaan Salafi Tentang Mut’ah (seri percobaan)_Oleh Sinar Agama· 03 April 2011
3. Mut’ah dan filsafatnya serta liku-likunya (seperti apakah sunnahnya bisa bertahan ditekan hukum wajib yang melawannya?)_Oleh Sinar Agama· 08 Juni 2011
4. Taqiah Harus, Tapi Mut’ah Jalan Terus? (diskusi ringan tentang mut’ah, fikih, akhlak dan taqiah) Oleh Sinar Agama· 09 Juni 2011
Mukaddimah Pertama:
Sebagaimana sudah tidak samar lagi bahwa Mut’ah adalah kawin dalam jangka waktu tertentu. Dan sudah pula saya sering menerangkan tentang syarat-syaratnya (sesuai fatwa-fatwa para marja’), seperti bahwa bagi yang bukan janda (janda adalah yang sudah nikah dengan syah dan dikumpuli setelah itu, lihat catatan tentang “Definisi perawan dan janda menurut agama” !!!) harus ijin walinya dengan jelas, seperti siapa calon suaminya, kapan tanggal nikahnya dan kapan tanggal berakhirnya serta apa/berapa maskawinnya (silahkan rujuk ke 4 catatan di atas itu).
Pembahasan berikut ini adalah untuk melengkapi keterangan-keterangan sebelumnya. Dan sudah tentu lebih tertata karena bukan berupa jawaban terhadap pertanyaan dan/atau serangan. Namun demikian, catatan yang terdahulu itu, jelas bisa lebih mengena ke inti masalah, karena ia langsung menanggapi pertanyaan atau serangannya.
Kemudian, tidak seperti biasanya, dalam tulisan ini dibubuhkan ayat dan banyak riwayat. Semua itu hanya sekedar sebagai wawasan saja, bukan sandaran hukum. Karena kalau kita menyan- darkan hukum ke atasnya, sementara kita bukan mujtahid, maka jangankan salahnya, benarnya juga akan didosa oleh Tuhan. Yaitu dosa nekad atau tajarri terhadap hukum-hukum Tuhan. Jadi, jangan sampai pemaparan ayat dan hadits-hadits itu dijadikan sandaran hukum. Karena memang tujuan kita adalah membahas hikmah atau filsafat dari mut’ah ini, bukan hukumnya yang sudah kita yakini kehalalannya melalui fatwa-fatwa marja’. Tapi untuk lebih memahami fatwa-fatwa marja’ tsb, dan lebih meresapi tujuan hukum halalnya nikah mut’ah ini, maka ayat dan hadits-hadits itu disertakan dalam tulisan ini. Dan bagi yang ingin lebih rinci dan dalam bentuk pemaparan yang lain, pembaca bisa merujuk ke kitab yang dikarang oleh ayatullah syahid Muththahhari yang berjudul: “Hak-hak Wanita dalam Islam”.
Mukaddimah ke dua:
Yang diinginkan dalam penulisan ini adalah ingin mendudukkan tujuan dan kefilsafatan hukum mut’ah. Atau setidaknya “meraba hikmah yang sebenarnya”. Karena bagi orang lain agama, atau saudara-saudara muslim yang tidak menerimanya, hukum ini dikiranya sebagai jalan pengumbaran nafsu kebinatangan (sex), sementara di lain pihak, yakni bagi sebagian orang yang menerima- nya, terkadang dijadikan kesempatan untuk menyalurkan nafsu sexnya untuk mencoba berbagai wanita sebelum mati merenggutnya (dianggapnya sebagai kesempatan emas).
Kedua tatapan itu, jelas telah membuat agama ini jatuh dari pandangan manusia yang menatapnya (baik muslim atau bukan). Karena dengan tatapan pertama, khususnya bagi muslimin yang mengharamkannya, telah banyak melahirkan banyak perzinaan (baik zina kecil atau besar) di masyarakat muslim. Dan yang lebih mengenaskan, bukan lagi perzinaannya, tapi pergaulan bebas tsb sudah merupakan hal yang wajar dan tidak buruk lagi. Karena itu, maka orang tua tidak marah lagi pada anaknya yang SMP atau SMA yang melakukan pacaran dan jalan bareng dengan teman lelakinya. Nah, budaya ini, benar-benar telah menjadi semacam penyakit AID bagi masyarakat kita, dimana kalau bukan karena mengharap rahmat Allah, sebenarnya sudah sampai ke tingkat “tidak bisa lagi dibenahi”. Karena itulah imam Ali as bersabda:
“Kalau Umar tidak mengharamkan mut’ah, maka tidak ada orang berzina kecuali yang benar-benar keterlaluan”.
Jatuhnya agama di hadapan penatapnya yang diakibatkan oleh kelompok pertama ini (yang mengharamkan mut’ah), adalah karena Islam itu ternyata tidak memiliki jalan keluar bagi banyak kebutuhan sex yang memang tidak bisa disalurkan melalui kawin permanen (seperti pada poin 6 di atas) dan, akibatnya menyebabkan jatuhnya Islam ke dua kalinya di hadapan mereka (penatap dan penilainya), karena telah membuat masyarakat sosial muslim sudah tidak beda lagi dengan sosial barat yang anti agama sekalipun.
Artinya, dengan adanya budaya gaul yang sudah kronis dan sudah seperti AID yang membunuh budaya Islam yang sehat itu sendiri. Dan, akibat akhirnya, bukan hanya muslimin tidak kenal lagi dengan budaya Islam yang mengatur pergaulan (seperti hijab, rias, senyam senyum, gaul, dan lain-lainnya), akan tetapi bahkan merasa aneh dengan adanya aturan Islam tsb dan anti pati ter- hadapnya. Dan bahkan tidak jarang yg mengumpat aturan-aturan tsb sebagai “Keterikatan” dan “Kekolotan” serta “Ketertinggalan”. Karena itulah, kalau dikatakan pada seorang muslim bahwa dia bukan orang gaul, maka ia akan merasa minder dan rendah diri karena merasa memiliki ke- kurangan.
Sedang dari ulah kelompok ke dua, yakni yang menjadikan hukum kehalalan mut’ah sebagai pembuka kesempatan untuk mencicipi berbagai wanita, telah membuat jatuhnya pamor Syi’ah di masyarakat. Karena itu, tidak heran kalau seorang Syi’ah tidak mengijinkan anak-anak perempuan mengikuti training ini dan itu, karena takut dimut’ah oleh guru atau temannya (terlebih mut’ah yang kacau dan salah karena tanpa ijin yang jelas dari walinya). Karena itu pula, maka tidak heran kalau banyak orang anti pati terhadap madzhab Syi’ah ini, karena ulah sebagian pengulah itu. Karena itu pula, maka tidak heran kalau terjadi korban-korban pelecehan terhadap para wanita syi’iyyah (Syi’ah) dan mukminah (tapi bodoh) oleh teman sekegiatannya sendiri. Karena itu pula, tidak heran kalau sebagian Syi’ah cerai sana dan kawin sini. Walhasil, benar-benar memusingkan dan membuat kita malu sementara mereka tertawanya lega dengan hanya kesana kemari bermo- dal satu hukum saja, yaitu bahwa “mut’ah itu halal”.
Mukaddimah ke tiga:
Untuk sekedar mengingatkan kepada dalil halalnya, Allah dalam QS: 4: 24, setelah menerangkan tentang wanita-wanita yang tidak boleh dikawini, berfirman:
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيم اتَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ ع لَِيم احَكِيمًا
Terjemahan Departemen Agamanya:
.... dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian –wanita-wanita yang diharamkan pada ayat 23- (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban, dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu (menambah atau mengurangi atau tidak mem- bayar sama sekali maskawin yang telah ditetapkan). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Terjemahan Bebas Kami:
... dan dilhalalkan bagi kalian selain yang demikian itu –wanita-wanita yang diharamkan pada ayat 23- (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka kalau kalian telah mut’ah (kawin dalam waktu tertentu) dengan sebagian mereka, berikanlah upah (maskawin) mereka sebagai suatu kewajiban. Dan tidak mengapa bagi kalian -berdua- untuk saling rela (yakni kalau mau menambah waktu mut’ahnya dengan persetujuan yang baru dari sisi waktu dan upahnya/maharnya) setelah kewajiban –pertama- itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.”
Tidak cocoknya terjemahan pertama dan cocoknya yang ke dua:
1. Nafas ayat ini dapat diketahui dengan jelas bahwa ia ingin menjelaskan nikah mut’ah. Karena ia menjelaskan hukum mencari kesenangan dengan wanita melalui harta.
2. Tuhan juga terlihat menekankan bahwa hal ini adalah kawin dan bukan zina. Yakni mencari kesenangan dengan harta melaui kawin mut’ah ini. Karena kalau kawin permanen tidak mesti dengan maskawin harta dan tidak perlu juga penekanan bahwa ini kawin. Karena sejak jaman jahiliyyah kawin permanen itu memang sudah ada. Artinya tidak perlu khawatir terhadap salah pahamnya umat terhadap hukum ini. Tapi ketika Tuhan sendiri menekankan bahwa hal ini adalah kawin, maka jelas ingin menangkal kesalahpahaman orang terhadap hukum ini yang mungkin akan mengatakan bahwa kawin seperti ini –yakni dengan harta dan dalam waktu tertentu- adalah zina.
3. Setelah mut’ah (kenikmatan) maka berikanlah upahnya. Di sini jelas, mendukung ke makna kawin sementara. Karena memberikan upah setelah kesenangannya itu. Jadi, pemberian upah setelah selesai kesenangannya.
Allah di sini memakai kata UPAH atau UJUUR, maka ini juga bisa menguatkan kepada makna kawin sementara. Walaupun ia maknanya adalah maskawin karena pakai akad nikah, tapi ketika dipakai kata UPAH menandakan bahwa kawinnya itu adalah sementara atau setidaknya cenderung ke makna tsb, karena tabadur atau pahaman langsung begitu mendengar kata-katanya (upah).
Tafsir Kasysyaaf, karya Zamakhsyari, juga mengisyaratkan pada makna upah yang dalam bahasa arabnya juga dikatakan tsawaab. Lihat di tafsirannya terhadap ayat mut’ah:
وأجورهن مهورهن لأن المهر ثواب على البضع
“Dan ujuur mereka (para istri yang dikawini) adalah maharnya, karena mahar adalah upah/ tsawaab atas kemaluan-wanita.”
Tafsir Aluusii juga menulis:
وسمي المهر أجراً لأنه بدل عن المنفعة لا عن العين
“Mahar itu dikatakan upah/ajrun, karena ia balasan dari mamfaat, bukan barang (sehingga dikatakan harga/qiimah, penj.).”
Tafsir Fakhru al-Raazii:
وإنما سمي المهر أجراً لأنه بدل المنافع ، وليس ببدل من الأعيان ، كما سمي بدل منافع الدار والدابة أجرا
والله أعلم. ،
“Mahar itu dikatakan upah/ajrun karena berupa balasan dari mamfaat, bukan dari barang, sebagaimana disebut seperti itu (ajrun/upah) sebagai balasan dari mamfaat rumah (menyewa rumah) dan binatang (menyewa kendaraan), Allaahu A’lam.”
5. Kemudian Allah mengatakan bahwa kalau setelah kewajiban itu (yang perempuan sudah melaksanakan tugas keistriannya dan yang lelaki sudah memberikan upahnya), maka tidak mengapa kalau mau saling rela lagi. Saling rela ini jelas dua arah. Sementara kalau mengikut terjemahan pertama, jelas satu arah. Karena merelakan maskawin itu bukan dari arah suami. Masak suami yang sudah sepakat di awal kawin untuk memberikan maskawinnya, lalu setelah itu menawar (misalnya), kemudian tawarannya ini dikatakan rela. Kan tidak klop.
Rela itu apabila istrinya menerima tawaran suaminya, atau dari awal memang ingin merelakan maskawinnya. Ini baru klop. Tapi kalau suaminya, dari awal sudah rela memberikan seluruh maskwinnya sesuai dengan kesepakatan akad nikahnya, maka dia tidak lagi punya hak rela atau tidak, karena dari awal sudah rela. Dan kalau setelah itu dituntut sepenuhnya oleh istri, tidak ada kata rela buatnya. Karena ia, rela atau tidak, harus memberikannya. Apalagi kalau diberi keringanan oleh istrinya, maka suaminya ini jauh sekali dari kata dan istilah rela.
Dan begitu pula, kalau si istri merelakannya, baik sebagian atau keseluruhannya, ini namanya hadiah dari istri, bukan bisnis dan mu’amalah yang tawar menawar. Artinya, tidak ada saling rela dari dua arah. Jadi, yang merelakan itu adalah istrinya, sedang suami hanya memiliki mau atau tidak saja, dalam menerima perelaan istrinya itu. Itu saja. Artinya, tidak bisa dikatakan bahwa mau dan tidaknya suami itu dikatakan sebagai rela menerima hadiah atau perelaan. Mau menerima hadiah itu bukanlah rela untuk menerima. Karena rela itu menyembunyikan hak yang direlakan. Sedang menerima hadiah, tidak mengandungi hak dan kewajiban yang ada di tangan orang lain.
6. Perlu diketahui bahwa pemberian maskawin penuh itu (yakni setelah kawin permanen dan setelah dikumpuli) adalah kesepakatan Syi’ah dan Sunni. Karena itulah maka kalau cerai sebelum dikumpuli hanya wajib memberikan separuhnya.
Nah, terjemahan pertama itu mengatakan bahwa hukum dalam ayat di atas itu adalah dalam rangka menerangkan hukum tsb. Padahal, jelas tidak terdukung konteknya. Karena dalam ayat tsb mengatakan “berikan maskawinnya”, bukan “berikan secara penuh maskawinnya”. Karena itu, maka lawan dari perintah tsb, yakni kalau pisah sebelum menikmatinya, adalah “tidak memberikan maskawinnya”. Karena lawan memberikan maskawin adalah tidak memberikan maskawin. Nah, karena lawan dari pemberian maskawin itu adalah tidak memberi maskawin, bukan tidak memberikan secara penuh, maka jelas hukum ini adalah untuk kawin sementara dan bukan permanen (karena dalam permanen wajib memberikan separuhnya, bukan tidak memberi keseluruhannya). Karena itulah dalam kawin mut’ah, kalau istrinya itu tidak melayani maka maskawinnya tidak wajib diberikan. Ini yang pertama.
Yang ke dua, Allah mengatakan bahwa saling rela itu setelah kewajiban. Artinya yang wanita sudah menjalani kewajiban keistriannya, dan lelakinya SUDAH PULA MEMBERIKAN MASKAWINNYA ATAU UPAHNYA. Jadi, saling rela lagi itu, tidak bisa dikatakan bahwa si lelaki menawar maskawin dan si wanitanya merelakan sebagian atau keseluruhan maskawin. Artinya, tidak bisa dikatakan bahwa tawar menawar itu dalam kawin permanen (daim) setelah dikumpuli. Karena kalau dalam kawin daim, dan setelah dikumpuli, maka yang telah melakukan kewajiban itu baru istrinya, dan suaminya masih belum melaksanakan kewajibannya (memberi maskawin). Jadi, baru satu arah saja yang sudah melakukan kewajiban. Sementara Tuhan mengatakan bahwa tidak masalah kalian saling rela lagi setelah kewajiban itu. Yakni setelah kewajiban pemberian maskawin setelah menikmati. Artinya setelah keduanya melakukan kewajibannya masing-masing.
Bayangin saja, Allah jelas mengatakan: “Kalau sudah bersenang-senang dengan wanita-wanita itu, maka berikan upahnya SEBAGAI KEWAJIBAN” lalu setelah itu mengatakan “Tidak mengapa kalau SETELAH KEWAJIBAN itu kalian saling rela lagi”, kemudian dikatakan bahwa maksudnya tidak mengapa untuk saling rela terhadap maskwinnya itu untuk diberikan semuanya, sebagiannya atau tidak sama sekali. Ini kan tidak klop sama sekali??!! Karena hukum saling rela lagi ini JELAS SETELAH PEMBERIAN MASKAWIN YANG WAJIB TERSEBUT??!!!
Mukaddimah ke empat:
Untuk penguat tafsir di atas, bisa merujuk ke tafsir-tafsir Sunni seperti:
Al-Durru al-Mantsuur; Ibnu Katsiir; al-Zamakhsyari; al-Aluusii; al-Baidhaawii; al-Tsa’aalibii; a-Tsa’la- bii; a-Fakhru al-Raazii; al-Thabarii; al-Qrthubii; al-Manaar; dll bahkan hampir semua tafsir Sunni. Artinya, walaupun mereka menafsirkan yang sesuai dengan pandangan mereka seperti yang ter- tera pada terjemahan pertama di atas itu, akan tetapi selalu menyertakan pandangan kelompok yang menghalalkan seperti pada terjemahan ke dua itu.
Bahkan sebagian tafsir-tafsir itu dengan jelas mengatakan bahwa mut’ah ini, di awal Islam, adalah merupakan kesepakatan para ulama. Yakni ayat di atas itu sabagai penghalalan mut’ah di awal Islam. Akan tetapi setelah itu dihapus oleh Nabi saww. Seperti:
وقد استدل بعموم هذه اآلية على نكاح المتعة، وال شك أنه كان مشرو ًعا في ابتداء اإلسالم، ثم نسخ بعد ذلك
“Dan bisa saja ayat di atas, dilihat dari sisi keumumannya, menunjukkan kepada nikah mut’ah. Dan memang, tidak ada keraguan bahwa ia adalah halal di awal Islam, akan tetapi kemudian di- hapus –nasakh- (lihat tafsir Ibnu Katsiir).
Anehnya, bagaimana ayat bisa dihapus oleh hadits?!! Sebagaimana yang dikatakan oleh tafsir al-Qurthubii:
وقال الجمهور : المراد نكاح المتعة الذيكان في صدر اإلسالم وقرأ ابن عباس وأبي و ابن جبير : فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسمى فآتوهن أجورهن ثم نهى عنها النبي صلى اهلل عيه وسلم
“Jumhur –semua ulama atau setidaknya umumnya ulama- berkata: Maksud dari ayat ini adalah nikah mut’ah yang ada pada awal-awal turunnya Islam. Dan bahkan Ibnu Abbas membaca ayat itu seperti ini: ‘Dan apabila kamu bermut’ah dengan sebagian wanita itu SAMPAI BATAS WAKTU TERTENTU, maka berikanlah upahnya.’ Akan tetapi setelah itu Nabi saww melarangnya.” (lihat tafsir Qurthubii).
Keanehan yang lain adalah mereka yang menafsirkan ayat di atas itu sesuai dengan penghara- man mut’ah, sementara ayat tsb adalah penghalalan mut’ah. Artinya, semestinya, mereka mene- rangkan maksud ayat itu tergantung penghalalan mut’ahnya, lalu setelah itu baru mengatakan bahwa mut’ah ini atau penjelasan ini, sudah tidak berlaku lagi karena sudah dihapus oleh Nabi saww. Tapi enehnya, mereka menafsir ayat itu sesuai dasar pengharaman mut’ah, hingga pema- hamanya menjadi jauh dari lahiriah ayatnya. Misalnya, ketika menafsirkan istamta’a (bermut’ah), upah dan saling rela lagi setelah kewajiban pemberian upah.
Dan sudah tentu pelarangan Nabi saww itu, selain tidak bisa mengangkat dan menghapus hukum Qur'an, artinya bahwa hadits itu tidak bisa menasakh Qur'an, hadits-hadits tersebut juga berten- tangan dengan hadits-hadits shahih lainnya yang sangat banyak yang menyatakan bahwa para shahabat melakukan mut’ah itu di jaman Nabi saww, Abu Bakr dan Umar, dan bahwasannya yang melarang mut’ah itu adalah Umar, bukan Nabi saww. Ada lagi yang memaksakan diri untuk meng- hapus ayat mut’ah ini dengan ayat waris. Ini namanya pemaksaan. Karena tidak adanya warisan bagi anak dari kawin mut’ah itu merupakan qarinah dan qaid (kecuali) pada ayat waris itu, bukan sebaliknya. Yakni ketika Tuhan mengatakan bahwa anak dari nikah itu adalah ahli waris ayahnya, dan ketika di kawin mut’ah itu tidak ada pewarisan (karena misalnya kawinnya itu disebabkan keterpaksaan dan hanya semacam menyewa karena kawin dalam waktu sementara saja), maka hukum waris itu telah dikondisikan dengan hukum mut’ah ini. Artinya, waris yang mutlak itu di- batasi dengan kawin mut’ah. Jadi, bunyi hukum warisnya itu adalah: “Anak itu mewarisi ayahnya kecuali kalau anak dari hasil mut’ah.”
Bukan dibalik. Misalnya, karena kawin mut’ah itu tidak ada pewarisan, dan karena anak dari kawin itu ada pewarisan, maka kawin mut’ah itu menjadi bukan kawin dan menjadi zina. Tidak bisa seperti ini. Karena waris itu adalah hukum yang diakibatkan oleh nikah daim. Jadi dia, tidak bisa menghapus hukum nikah lain yang sejajar dengan hukum nikah yang telah mengakibatkannya –waris- itu (daim).
Mukaddimah ke lima:
Untuk menguatkan tafsir di atas, yakni bahwa ayat tsb menerangkan tentang mut’ah, halalnya dan caranya, bisa juga melihat ke hadits-hadits Sunni yang banyak sekali, seperti:
Shahih Bukhari, 3: 246; 4: 278; Shahih Muslim, 2: 1022; 2: 1023; 2: 1061; Musnad Ahmad bin Hanbal, 3: 22; 3: 26; 3: 95; 3: 304; 4: 47-51; Syarhu Ma’aanii Aatsaar, 3: 24-25; al-Maghaazii, 3: 37; Sunan Baihaqii, 7: 200-201; 7: 237; Musnad imam Syaafi’ii, 162-286; Tahdziibu al-Tahdziib, 10: 371; Kanzu al-‘Ummaal, 8: 294; Sunan Abu Daawud, 7: 217; Sunanu al-Kubraa, 7: 205; al-Ishaabah, 4: 333; dll. Dan contoh haditsnya seperti:
روى البخاري بسنده ، عن جابر بن عبد اهلل ، وسلمة بن األكوع ، قاال : كنَّا في جيش ، فأتانا رسول رسول
اهلل صلّى اهلل عليه وآله وسلّم ، فقال : إنَّه قد أُِذن لكم أ ْن تستمتعوا
Dari Jaabir bin ‘Abdullah dan Salamah bin al-Akwa’, keduanya berkata:
“Kami dalam suatu kamp ketentaraan. Lalu datang kepada kami Rasulullah saww dan bersabda: ‘Kalian telah diijinkan untuk melakukan mut’ah.’” (Bukhari, 4: 278 )
روى مسلم بسنده ، عن أبي الزبير قال : سمعت جابر بن عبد اهلل يقول : كنا نستمتع بالقبضة ِمن التمر والدقيق األيَّام ، على عهد رسول اهلل صلّى اهلل
عليه وآله وسلّم وأبي بكر ، حتَّى نهى عمر عنه .....
..... Jabir berkata:
“Kami melakukan kawin mut’ah dengan –upah- segenggam kurma dan tepung gandum, di jaman Rasulullah saww, Abu Bakr sebelum kemudian Umar melarangnya -di masa kekhalifaannya- .......” (Muslim, 2: 1022 ; Tahdzibu al-Tahdziib, 10: 371; Sunan Baihaqii, 7: 237; Kanzu al-‘Ummaar, 8: 294: )
Mukaddimah ke enam:
Untuk menguatkan tafsir di atas, bisa juga dilihat dari hadits-hadits Sunni yang mengatakan bahwa mut’ah itu halal sejak jaman Nabi saww dan dilakukan di masa beliau, begitu pula di jaman kekhalifaan Abu Bakr sebelum kemudian dilarang oleh Umar di jaman kekhalifaanya. Lihat hadits sbb:
Shahih Muslim, 2: 1022-1023; Sunanu al-Baihaqii, 7: 200-201; 7: 206; Musnad imam Syaafi’ii, 132; Musnad Ahmad bin Hanbal, 1: 52; 3: 325-326; Syarhu al-Ma’aanii, 2: 142; 2: 146; 3: 24; 3: 25; Kanzu al-‘Ummaal, 8: 293-294; Thabari, 293-294; Sunan Baihaqii, 5: 21; 7: 205-206; 7: 273; Sunan Abu Daawud, 8: 247; Mafaatiihu al-Ghaib, 10: 51; al-Ishaabatu, 1: 333; Musnad Ahmad bin Hanbal, 3:304; Tahdziibu al-Tahdziib, 10: 371; dll.
Contoh haditsnya seperti:
Contoh haditsnya seperti:
روى مسلم بسنده ، عن أبي نضرة قال : كن ُت عند جابر بن عبد اهلل ، فأتاه آ ٍت ، فقال : إ َّن ابن عباس ، وابن
الزبير اختلفا في ال ُمتعتين ـ يعني ُمتعتي ال َح ِّج والنساء ـ فقال جابر : فعلناهما مع رسول اهلل صلّى اهلل عليه وآله
وسلّم ، ث ّم نهانا عنهما عمر . فلم نَعد لهما
Abu Nadhrati berkata: Aku bersama Jabir, lalu datang seseorang mendekatinya dan berkata: “Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Zubair berbeda pandangan tentang dua mut’ah –haji tamattu’ dan kawin mut’ah.” Jabir berkata: “Kami melakukan keduanya di jaman Rasulullah saww sebelum kemudian dilarang oleh Umar –di jaman kekhalifaannya- dan kamipun tidak melakukannya.” (Shahih Muslim, 2: 1023)
َح ِّج كانتا ُمتعتان على عهد رسول اهلل صلّى اهلل عليه وآله وسلّم، وأنا أنهى عنهما ، وأُعاقب عليهما ، أحديهما ُمتعة النساء ، وال أقدر على ر ُجل تزَّوج امرأة إلى أجل ، إالَّ غيَّبته بالحجارة ، واألُخرى ُمتعة ال
Umar berkata: “Ada dua mut’ah di jaman Nabi saww –haji tamattu’ dan kawin mut’ah- akan tetapi aku sekarang melarangnya dan akan menghukum bagi pelakunya. Salah satunya adalah kawin mut’ah. Sungguh aku tidak mampu melihat seorang lelaki yang kawin mut’ah dengan seorang wa- nita kecuali kurajam dia dengan batu, dan yang lainnya adalah haji tamattu’.” (Kanzu al-‘Ummaal, 8: 293 ; Sunan Baihaqii, 5: 21 dan 7: 206)
Mukaddimah ke tujuh:
Hadits-hadits Syi’ah tentang mut’ah ada tiga golongan: Menerangkan halalnya; Merangsang untuk melakukannya; Melarang melakukannya:
(a). Hadits-hadits yang hanya menerangkan halalnya mut’ah. Seperti di kitab Ushuulu al-Kaafii, hadits ke: 9942-9948. Misalnya yang berbunyi:
Abi Bashiir berkata: Aku bertanya tentang mut’ah pada imam Abu Ja’far as. Beliau menjawab: “Telah diturunkan hukumnya di dalam al-Qur'an yang berbunyi: ‘Maka kalau kalian telah bermut’ah dengan sebagian wanita itu, berikanlah upahnya sebagai kewajiban, dan tidak masalah bagi kalian untuk saling rela setelah kewajiban tsb.’ “
(b). Hadits2 yang merangsang untuk melakukan mut’ah. Seperti yang ada di kitab Wasaailu al- Syi’ati, hadits ke: 26388-26403. Misalnya yang berbunyi:
وبإسناده عن صالح بن عقبة، عن أبيه، عن أبي جعفر عليه السالم قال: قلت: للمتمتع ثواب؟ قال: ان كان يريد بذلك وجه اهلل تعالى وخالفا على من أنكرها لم يكلمها كلمة إال كتب اهلل له بها حسنة، ولم يمد يده إليها إال كتب اهلل له حسنة، فإذا دنا منها غفر اهلل له بذلك ذنبا، فاذا اغتسل غفر اهلل له بقدر ما مر من
الماء على شعره ......
Ayah Shaalih bertanya kepada imam Abu Ja’far as: “Apakah kawin mut’ah itu memiliki pahala?” Beliau menjawab:
“Kalau pelakunya, dalam melakukan mut’ahnya itu, berniat karena Allah dan dalam rangka menentang yang melarangnya, maka tidaklah ia berbicara dengan istri mut’ahnya itu kecuali mendapat kebaikan (pahala); Tidaklah ia mengulurkan tangannya kepada istrinya itu kecuali ia mendapat kebaikan (pahala); Kalau ia mendekat padanya, Allah akan mengampuninya; Kalau dia mandi setelah itu maka Allah akan mengampuni dosanya sebanyak rambut yang terkena air -mandinya. .....” (hadits ke: 26390).
Hadits-hadits yang Melarang mut’ah:
Yang melarang ini ada dua golongan:
Golongan pertama, adalah yang memang mengharamkan mut’ah dalam arti mutlak. Maka di sini, jelas bisa dikatakan sebagai hadits yang diucapkan dalam rangka taqiyyah. Seperti hadits ke: 26387 dari kita Wasaailu al-Syii’ati:
محمد بن الحسن بإسناده عن محمد بن أحمد بن يحيى، عن أبي جعفر، عن أبي الجوزاء، عن الحسين بن علوان، عن عمرو بن خالد، عن زيد بن علي، عن آبائه عن علي عليهم السالم قال: حرم رسول اهلل صلى
اهلل عليه وآله يوم خيبر لحوم الحمر االهلية ونكاح المتعة.
Imam Ali as berkata: “Rasulullah saww telah mengharamkan daging keledai yang dipelihara dan nikah mut’ah diwaktu perang Khaibar.”
Karena itu di penjelasan hadits di atas ini, dikatakan bahwa pengarang kitab dan lain-lainnya mengatakan bahwa hadits tsb adalah hadits taqiyyah. Karena mut’ah adalah ijma’ semua ula- ma Syi’ah dan hadits tentang halalnya terlalu banyak dan melebihi mutawatir. Atau bisa saja dimaknai bahwa mut’ah tidak dianjurkan (makruh) kalau membawa mafsadah (ketidak baikan).
Golongan ke dua, adalah hadits yang melarang mut’ah kalau memang sudah tidak diperlukan lagi. Yakni bagi yang sudah memiliki istri dan berada dalam jangkauannya. Hadits-hadits di go- longan ini, walaupun tidak bisa diartikan sebagai haram, akan tetapi dapat ditangkap bahwa mut’ah itu kurang disukai oleh imam as dan Islam kalau dilakukan oleh yang tidak memerlu- kannya (baca hanya ingin mengumbar syahwat).
Dalam kitab-kitab hadits, bahkan diterakan judul tentang pelarangan mut’ah bagi yang tidak perlu ini. Misalnya, di kitab Ushuulu al-Kaafii terdapat judul:
باب أنه يجب ان يكف عنها من كان مستغنيا
“Bab: Keharusan Untuk Tidak Melakukannya –mut’ah- Bagi Yang Tidak Memerlukannya.” (lihat Sub Judul untuk hadits ke: 9957-9960)
Dan di kitab Wasaailu al-Syii’ati terdapat judul:
باب كراهة المتعة مع الغنى عنها واستلزامها الشنعة أو فساد النساء
“Bab: Kemakruhan Mut’ah Ketika Tidak Memerlukannya dan Mengakibatkan Keburukan atau Rusaknya Wanita.” (lihat Sub Judul untuk hadits ke: 26420-26425).
Contoh haditsnya:
علي بن يقطين قال: سألت أبا الحسن عليه السالم عن المتعة؟ فقال: ما أنت وذاك قد أغناك اهلل عنها
Ali bin Yaqthiin berkata: Aku bertanya tentang mut’ah kepada imam Abu al-Hasan as. Beliau menjawab: “Ada apa kamu menanyakannya sementara kamu sudah tidak lagi memerlukan- nya (karena sudah kawin dan istrinya ada dalam jangkauannya)??!” (Ushuulu al-Kaafii, hadits ke: 9957; Wasaailu al-Syii’ati, hadits ke: 26420)
كتب أبو الحسن عليه السالم إلى بعض مواليه ال تلحوا على المتعة انما عليكم إقامة السنة فال تشغلوا بها
عن فرشكم وحرائركم فيكفرن ويتبرين ويدعين على اآلمر بذلك ويلعنونا.
Imam Abu al-Hasan as menulis surat kepada sebagian pengikutnya:
“Jangan membuat cela mut’ah (karena dihamburkan), hendaknya kalian melakukannya demi –menjaga- sunnah saja (sekali saja). Karena itu janganlah kalian menyibukkan diri dengan mut’ah itu di atas permadani kalian dan memuas-muaskan diri, hingga wanita-wanita itu men- jadi ingkar, berlepas diri dan mendoakan buruk pada yang memerintahkannya –makshumin as- serta melaknati kami.” (Wasaailu al-Syii’ati, hadits ke: 26423)
Mukaddimah ke delapan (pelengkap):
Dalam fatwa-fatwa marja’ Syi’ah, telah diterangkan pula bahwa perempuan bisa memberi syarat kepada calon suami mut’ahnya. Seperti tidak pakai tidur, tidak pakai pegangan, dan semacamnya.
Kesimpulannya:
Dengan melihat semua ayat dan hadits-hadits di atas, baik Syi’ah atau Sunni, maka dapat disimpulkan sbb:
1. Mut’ah ini halal dan berlaku sejak jaman Nabi saww sampai hari kiamat, walau dilarang oleh Umar. Karena Umar bukanlah penerima atau penerus syariat yang makshum.
2. Kehalalan mut’ah ini melalui ayat, sedang penghapusannya dari riwayat Nabi saww yang ada di hadits-hadits Sunni atau hadits imam Ali as yang ada di Syi’ah itu. Karenanya tidak dapat menghapus hukum yang ada di Qur'an. Justru sebaliknya, bahwa hadits yang bertentangan dengan Qur'an sudah jelas ia adalah hadits yang palsu, karena Qur'an adalah ukuran untuk mengukur hadits shahih atau palsu.
3. Kalaulah beberapa hadits-hadits pelarangan itu masih mau dipaksakan juga, maka ia tertolak oleh hadits-hadits lain yang shahih, baik di Sunni atau Syi’ah, yang mengatakan bahwa mut’ah itu dilakukan sejak dari jaman Nabi saww, Abu Bakar dan Umar dan setelahnya. Begitu juga bertentangan dengan hadits-hadits yang shahih dan sangat banyak di Sunni, bahwa yang me- larang mut’ah itu sebenarnya adalah Umar di masa pemerintahnnya.
4. Pengahapusan ayat mut’ah dengan ayat waris, adalah pemaksaan yang tidak masuk akal sebagaimana sudah diterangkan di atas.
5. Mut’ah adalah hukum yang terpaksa diadakan. Artinya demi menutupi ketidakmampuan penanganan kawin daim/permanen. Karena kawin permanen hanya bisa menangani beberapa masalah saja tentang hubungan lelaki dan wanita, tapi tidak semuanya. Karena orang yang diperjalanan, di peperangan, atau belum mampu menafkahi istri sementara ia sudah tidak bisa menanggulangi nafsunya karena sudah berumur agak tua ...dst dari sebab-sebab keter- paksaan itu, tidak bisa diselesaikan dengan hukum kawin daim/permanen.
6. Tujuan atau hikmah mut’ah adalah di tempat-tempat yang tidak bisa diisi dengan kawin daim itu, seperti:
(a). Suami yang sedang jauh dari istrinya.
(b). Lelaki yang sudah cukup tua tapi belum mampu memberi nafkah kepada istrinya kalau ia kawin.
(c). Perawan (bc: bukan janda, dan janda adalah yang sudah pernah kawin dengan syah dan sudah pernah dikumpuli setelah kawinnya itu) yang sudah mendapatkan calon suami daim/permanen dan sudah mendapat ijin dari walinya, namun ingin saling kenal lebih jauh supaya tidak salah pilih, maka keduanya melakukan kawin mut’ah yang juga dengan ijin walinya dengan jelas dan dengan syarat-syarat tidak melakukan apapun kecuali berbincang –misalnya- untuk saling mengenal lebih jauh.
(d). Memberikan jalan keluar pada janda yang sudah tidak dipilih lagi oleh para lelaki untuk dijadikan istri permanen untuk memenuhi kebutuhan nafsunya walau tidak untuk seumur hidupnya. Atau janda yang sudah terlalu lama tidak berhubngan dengan lelaki karena sudah ditinggal mati atau dicerai suaminya. Hingga dengan ini ia tidak terjerumus ke dalam zina (baik besar atau kecil). Tentu saja dengan lelaki yang dalam keadaan dharurat di atas itu.
7. Dengan mengerti tentang hikmah/tujuan kawin mut’ah ini, ditambah dengan tidak umumnya ulama dan orang-orang shalih melakukannya kalau tidak terpaksa, ditambah dengan larang- an-larangan dalam hadits bagi yang tidak memerlukannya karena sudah punya istri yang da- lam jangkauannya, maka jelas bahwa mut’ah ini bukan hukum yang ditujukan untuk penyalu- ran nafsu birahi bagi pemburu nafsu.
Karena itu, maka sekalipun tidak mengharamkan pekerjaan mereka, akan tetapi sangat tidak disukai para imam Makshum as. Karena itulah maka imam Makshum mengatakan, seperti: Janganlah kalian menghamburkan mut’ah ini hingga membuat para wanita (begitu pula masy- arakat seperti di hadits-hadits lainnya) anti pati pada imam Makshum as dan mengumpati ajarannya. Lihat hadits ke: 26243, dari kitab Wasaailu al-Syii’ati di atas itu.
8. Dengan poin no 7 ini dan ditambah dengan poin 1 sebelumnya, dapat dipahami, bahwa ha- dits-hadits Syi’ah yang merangsang kawin mut’ah ini (golongan ke dua hadits Syi’ah), adalah untuk menjaga supaya hukum Tuhan ini tidak terhapus oleh penghapusan Umar yang diiku- ti kebanyakan kaum muslimin, terutama pada jaman-jaman imam Makshum as. Jadi, kalau imam menganjurkan, itu hanya agar supaya hukum ini tidak hilang dari agama Islam. Karena itu maka terlihat jelas diperijinan para imam Makshum as, adanya anjuran sekali saja (dalam melakukannya) dan hanya demi menjaga sunnah ini, yakni sunnatullah atau agama Allah ini (lihat hadits ke: 26243 dari kitab Wasaailu al-Syii’ati di atas itu).
Dan, sudah tentu, pahala yang bersar itu bukan hanya timbul dari nikah mut’ah ini, akan tetapi karena pelakunya memiliki dimensi berjuang mempertahankan hukum yang ingin dihapus Umar dan pengikutnya ini. Jadi, pelaku ini, yakni yang memerlukan ini, yakni karena jauh dari istrinya ini atau belum mampu kawin ini, dirangsang untuk melakukan mut’ah untuk mengata- si dirinya dan menjadi pejuang mempertahankan hukum Tuhan. Jadi, dia memiliki dua pahala sekaligus.
9. Dengan mengerti poin 8 ini dan ditambah dengan poin2: 1, 2 dan 3, maka kedua perebutan yang dilakukan dua kelompok terhadap kawin mut’ah ini, dimana yang satu memburu untuk mengharamkannya, dan yang lainnya memburu untuk mengumbar nafsunya, dapat divonis dengan poin 5 dan 6. Artinya, hukum kehalalan kawin mut’ah ini ditujukan secara utamanya, bagi yang terpaksa melakukannya sebagaimana sudah dijabarkan di poin 6.
10. Pengharaman terhadap mut’ah adalah menentang hukum Qur'an yang telah disepakati ada- nya dan menentang hadits-hadits shahih yang mutawatir secara makna -setidaknya. Sementa- ra menghamburkan nafsu dengan mut’ah adalah menjatuhkan pamor agama dan para imam Makshum as serta tidak disukai imam Makshum as.
Pelengkap:
Untuk melengkapi tulisan di atas, perlu kiranya kita merenungi hadits yang berisi ucapan imam Ali as (seperti di tafsir al-Kabir, karya Fakhru al-Raazii) dan imam-imam Makshum as lainnya (seperti yang bertebaran di hadits-hadits Syi’ah), serta shahabat-shahabat lainnya seperti Ibnu Abbaas (di tafsir al-Durru al-Mantsuur), yang berbunyi:
لوال أ َّن عمر نهى الناس عن ال ُمتعة ؛ ما زنى إالَّ َشق ٌّي
“Kalau Umar tidak melarang umat dari kawin mut’ah, maka tidak akan ada yang berzina kecuali yang keterlaluan.”
ولو ال نهيه عنها ما احتاج إلى الزنا إالَّ شق ٌّي
“Dan kalaulah bukan karena larangannya (larangan Umar) terhadapnya (kawin mut’ah), maka sudah tentu tidak perlu lagi kepada zina kecuali yang keterlaluan.”
Para pemburu nafsu, yakni golongan ke dua dari dua golongan yang berebut di atas itu, selalu menggunakan hadits ini untuk menyalurkan nafsunya, hingga tidak memperdulikan lagi terhadap tercelanya agama dan para imam as. Mereka berdalil bahwa mut’ah ini mesti dikembangkan demi mengurangi zina.
Padahal, kalau diperhatikan, orang yang melakukan zina itu dikarenakan tidak dapat membendung syahwatnya. Artinya, karena syahwatnya tidak mendapat penyaluran yang halal, maka ia nekad melakukan penyaluran yang tidak halal, yakni zina.
Jadi, pandangan yang hanya sepihak itu, yaitu yang mengatakan bahwa kita mesti mempromosi- kan mut’ah dan tidak usah malu-malu karena Tuhan saja tidak malu, karena demi memberantas zina, adalah apologi yang kurang waras dan sangat tidak aklis serta tidak mengenal Qur'an, hadits dan para imam makshum as. Artinya, pengata ini, mungkin disebabkan gelora nafsunya yang sedikit liar, atau karena kurang mengerti hikmah dan kebijakan Islam, maka ia telah membuat statmen dan pernyataan seperti itu. Dan, penyata seperti itu, tidak sedikit.
Padahal mereka, penyata dan pelaku ini, sudah memiliki istri-istri yang selalu siap melayaninya. Dan terkadang, justru mut’ah ini telah membuat keluarganya berantakan dan terkadang berak- hir pada penceraian. Keluarga jadi korban dan agama serta madzhabpun jadi cemohan. Apalagi cewek-cewek murahan yang melakukan ini tanpa ijin walinya dengan jelas dimana bukan hanya dirinya yg jadi korban nafsunya sendiri, tapi bahkan agama dan para imam makshum as yang diikutinya juga terkorban (karena ajaran Syi’ah jadi cemohan masyarakat seperti yang ditakuti para imam makshum as).
Padahal, kalau kita perhatikan semua penjelasan di atas itu dan poin-poin kesimpulannya, serta ditambah lagi dengan adanya penyaluran syahwat bagi yang sudah memiliki istri hingga tidak akan memilih zina karena syahwatnya terkontrol dan tersalurkan, maka jelas maksud imam Ali as dalam hadits di atas, bukan orang-orang yang punya istri.
Jadi, maksud hadits imam Ali as tsb adalah mempromosikan kawin mut’ah bagi yang tidak men- dapatkan penyaluran syahwatnya. Tentu saja, dengan syarat-syaratnya, bukan sembarang orang. Artinya hal tsb bukan hanya tidak menyangkut yang punya keluarga, tapi juga tidak menyangkut wanita-wanita yang bukan janda. Karena separuh dari diri mereka milik walinya.
Karena itu, tanpa ijin walinya dengan jelas, baik siapa calon suaminya, atau kapan tanggal kawin dan tanggal berakhirnya serta maskawinnya, maka mut’ah mereka ini tidak syah dan dihukumi zina.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, baik di dunia ini (dengan adanya peruba- han kesadaran dan aplikasi) atau di akhirat kelak, amin. Wassalam.
Arina Rien: Tag saya ustadh..
Aan Ruslan Anwar: Assalamu’alaikum Wr Wb yaa ustadz, tag ana ya.. Syukran.
Shellya Agatha: Maha Suci A££AH, A££AH Maha Pemurah lagi Maha Bijaksana,, syukron ustadz ...
Hidayatul Ilahi: Terjawab sudah semuanya....ALHAMDULILLAH.....ALLAHUMMA SHALLI ‘ALA MUHAMMAD,WA AALI MUHAMMAD,WA ‘AJJIL FARAJAHUM.
Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya: Kuiringi antum semua dengan munajat hina ini:
Ya Alllah .. tiada aku, tiada jagat, tiada cahaya dan tiada gelap, tiada ilmu dan tiada kejelasan, tiada lipatan-lipatan duka dan pekikan derita, tiada kebanggaan, tiada kemuliaan, tiada dan tiada, tiada dan tiada... kecuali keharusan menatapMu, memujaMu, dan membakar diri ini dan diri ini, sekali, dua kali dan berkali-kali hingga tak terhingga sampai diri dan semesta ini jadi arang dan arangnya arang, hingga tak pernah lagi tampak kemilau kecuali AsmaMu, WajahMu, JatiMu.
Ya ...Allah .. kalau aku tak sudi tinggalkanku dan jagatku dan bahkan mayaku, maka sudilah ulur- kan tangan kasih nan lembutMu tuk selamatkan aku, hingga aku selamat dari diriku sendiri, hingga aku lari dari diriku sendiri, hingga aku terbakar dalam AgungMu dan menjadi debu tak berharga yang menempel di kaki para musafir yang bersemangat menujuMu.
Ita Soetrisno: Terima kasih..
Hari Dermanto: Thanks atas penjelasannya ustadz sungguh sangat memberikan manfaat, semo- ga Allah mengkaruniakan kepada anda umur yang panjang dan ilmu yang bermanfaat, sehingga kami bisa mengambil manfaat. Salam izin share.
Sinar Agama: Ita, terimakasih sama-sama, jaga diri baik-baik nah ... begitu pula teman-teman yang lain, jangan gampang percaya pada Islam atas nama atau Ahlulbait atas nama. Hargailah diri Anda sesuai dengan perintahNya, begitu pula teman-teman yang lain.
Sinar Agama: Kidung: Kalau antum sudi, maka ikutlah menyebarkan tulisan ini sebanyak-bany- aknya, supaya tercapai harapan antum. Oh iya, terimakasih sebelumnya kalau berkenan ikut me- nyebarkannya.
Sinar Agama: Syahzanan: Bersaksilah di hadapan hdh Fatimah as kelak, bahwa aku yang hina ini telah berjuang ingin menyelamatkan cucu-cucu dan kaum wanitanya dari penyalahgunaan nafsu- nafsu kurang terhormat, terimakasih dan tolong doakan.
Sinar Agama: Hari, terimakasih perhatian dan doanya, sebarkanlah kalau memang sepakat bahwa ia adalah tulisan yang baik. Supaya kita sama-sama bisa mendapatkan pahalanya i-Allah, afwan dan terimakasih.
Khadijah Gany: Salam.. mohon saya juga dtag-kan ustad sangat bermanfaat, syukran..
Sinar Agama: Khadijah, apa kamu tidak bisa mengcopynya? Kalau bisa tolong diusahakan dulu ya... dan kalau tidak bisa hubungi lagi aku. Namamu sudah kumasukkan ke group supaya mudah mengakses catatan-catatanku.
June 28, 2011 at 2:09am · Like