Tampilkan postingan dengan label Menjawab Fitnah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Menjawab Fitnah. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 29 September 2018

Mut’ah Dalam Perebutan Pengumbar Nafsu (ifraath) dan Anti-pati (tafriith)

Mut’ah Dalam Perebutan Pengumbar Nafsu (ifraath) dan Anti-pati (tafriith), melengkapi 4 catatan sebelumnya tentang Mut’ah




by Sinar Agama (Notes) on Monday, June 27, 2011 at 4:37 am



Tulisan ini dibuat untuk melengkapi catatan yang sudah beberapa kali muncul dari saya tentang kawin mut’ah ini. Jadi, sangat baik untuk mendapat wawasan yang jelas, membaca semua catatan-catatan saya yang sudah terbit sebelumnya. Yaitu: 

1. Jawaban Atas Kesamaan Mut’ah Ala Spesies Syi’ah Ame Zina_Oleh Sinar Agama · 09 Oktober 2010 

2. Jawaban Terhadap Pertanyaan Salafi Tentang Mut’ah (seri percobaan)_Oleh Sinar Agama· 03 April 2011 

3. Mut’ah dan filsafatnya serta liku-likunya (seperti apakah sunnahnya bisa bertahan ditekan hukum wajib yang melawannya?)_Oleh Sinar Agama· 08 Juni 2011 

4. Taqiah Harus, Tapi Mut’ah Jalan Terus? (diskusi ringan tentang mut’ah, fikih, akhlak dan taqiah) Oleh Sinar Agama· 09 Juni 2011

Mukaddimah Pertama:


Sebagaimana sudah tidak samar lagi bahwa Mut’ah adalah kawin dalam jangka waktu tertentu. Dan sudah pula saya sering menerangkan tentang syarat-syaratnya (sesuai fatwa-fatwa para marja’), seperti bahwa bagi yang bukan janda (janda adalah yang sudah nikah dengan syah dan dikumpuli setelah itu, lihat catatan tentang “Definisi perawan dan janda menurut agama” !!!) harus ijin walinya dengan jelas, seperti siapa calon suaminya, kapan tanggal nikahnya dan kapan tanggal berakhirnya serta apa/berapa maskawinnya (silahkan rujuk ke 4 catatan di atas itu). 

Pembahasan berikut ini adalah untuk melengkapi keterangan-keterangan sebelumnya. Dan sudah tentu lebih tertata karena bukan berupa jawaban terhadap pertanyaan dan/atau serangan. Namun demikian, catatan yang terdahulu itu, jelas bisa lebih mengena ke inti masalah, karena ia langsung menanggapi pertanyaan atau serangannya. 

Kemudian, tidak seperti biasanya, dalam tulisan ini dibubuhkan ayat dan banyak riwayat. Semua itu hanya sekedar sebagai wawasan saja, bukan sandaran hukum. Karena kalau kita menyan- darkan hukum ke atasnya, sementara kita bukan mujtahid, maka jangankan salahnya, benarnya juga akan didosa oleh Tuhan. Yaitu dosa nekad atau tajarri terhadap hukum-hukum Tuhan. Jadi, jangan sampai pemaparan ayat dan hadits-hadits itu dijadikan sandaran hukum. Karena memang tujuan kita adalah membahas hikmah atau filsafat dari mut’ah ini, bukan hukumnya yang sudah kita yakini kehalalannya melalui fatwa-fatwa marja’. Tapi untuk lebih memahami fatwa-fatwa marja’ tsb, dan lebih meresapi tujuan hukum halalnya nikah mut’ah ini, maka ayat dan hadits-hadits itu disertakan dalam tulisan ini. Dan bagi yang ingin lebih rinci dan dalam bentuk pemaparan yang lain, pembaca bisa merujuk ke kitab yang dikarang oleh ayatullah syahid Muththahhari yang berjudul: “Hak-hak Wanita dalam Islam”. 

Mukaddimah ke dua

Yang diinginkan dalam penulisan ini adalah ingin mendudukkan tujuan dan kefilsafatan hukum mut’ah. Atau setidaknya “meraba hikmah yang sebenarnya”. Karena bagi orang lain agama, atau saudara-saudara muslim yang tidak menerimanya, hukum ini dikiranya sebagai jalan pengumbaran nafsu kebinatangan (sex), sementara di lain pihak, yakni bagi sebagian orang yang menerima- nya, terkadang dijadikan kesempatan untuk menyalurkan nafsu sexnya untuk mencoba berbagai wanita sebelum mati merenggutnya (dianggapnya sebagai kesempatan emas). 

Kedua tatapan itu, jelas telah membuat agama ini jatuh dari pandangan manusia yang menatapnya (baik muslim atau bukan). Karena dengan tatapan pertama, khususnya bagi muslimin yang mengharamkannya, telah banyak melahirkan banyak perzinaan (baik zina kecil atau besar) di masyarakat muslim. Dan yang lebih mengenaskan, bukan lagi perzinaannya, tapi pergaulan bebas tsb sudah merupakan hal yang wajar dan tidak buruk lagi. Karena itu, maka orang tua tidak marah lagi pada anaknya yang SMP atau SMA yang melakukan pacaran dan jalan bareng dengan teman lelakinya. Nah, budaya ini, benar-benar telah menjadi semacam penyakit AID bagi masyarakat kita, dimana kalau bukan karena mengharap rahmat Allah, sebenarnya sudah sampai ke tingkat “tidak bisa lagi dibenahi”. Karena itulah imam Ali as bersabda: 

“Kalau Umar tidak mengharamkan mut’ah, maka tidak ada orang berzina kecuali yang benar-benar keterlaluan”. 

Jatuhnya agama di hadapan penatapnya yang diakibatkan oleh kelompok pertama ini (yang mengharamkan mut’ah), adalah karena Islam itu ternyata tidak memiliki jalan keluar bagi banyak kebutuhan sex yang memang tidak bisa disalurkan melalui kawin permanen (seperti pada poin 6 di atas) dan, akibatnya menyebabkan jatuhnya Islam ke dua kalinya di hadapan mereka (penatap dan penilainya), karena telah membuat masyarakat sosial muslim sudah tidak beda lagi dengan sosial barat yang anti agama sekalipun. 

Artinya, dengan adanya budaya gaul yang sudah kronis dan sudah seperti AID yang membunuh budaya Islam yang sehat itu sendiri. Dan, akibat akhirnya, bukan hanya muslimin tidak kenal lagi dengan budaya Islam yang mengatur pergaulan (seperti hijab, rias, senyam senyum, gaul, dan lain-lainnya), akan tetapi bahkan merasa aneh dengan adanya aturan Islam tsb dan anti pati ter- hadapnya. Dan bahkan tidak jarang yg mengumpat aturan-aturan tsb sebagai “Keterikatan” dan “Kekolotan” serta “Ketertinggalan”. Karena itulah, kalau dikatakan pada seorang muslim bahwa dia bukan orang gaul, maka ia akan merasa minder dan rendah diri karena merasa memiliki ke- kurangan. 

Sedang dari ulah kelompok ke dua, yakni yang menjadikan hukum kehalalan mut’ah sebagai pembuka kesempatan untuk mencicipi berbagai wanita, telah membuat jatuhnya pamor Syi’ah di masyarakat. Karena itu, tidak heran kalau seorang Syi’ah tidak mengijinkan anak-anak perempuan mengikuti training ini dan itu, karena takut dimut’ah oleh guru atau temannya (terlebih mut’ah yang kacau dan salah karena tanpa ijin yang jelas dari walinya). Karena itu pula, maka tidak heran kalau banyak orang anti pati terhadap madzhab Syi’ah ini, karena ulah sebagian pengulah itu. Karena itu pula, maka tidak heran kalau terjadi korban-korban pelecehan terhadap para wanita syi’iyyah (Syi’ah) dan mukminah (tapi bodoh) oleh teman sekegiatannya sendiri. Karena itu pula, tidak heran kalau sebagian Syi’ah cerai sana dan kawin sini. Walhasil, benar-benar memusingkan dan membuat kita malu sementara mereka tertawanya lega dengan hanya kesana kemari bermo- dal satu hukum saja, yaitu bahwa “mut’ah itu halal”. 

Mukaddimah ke tiga

Untuk sekedar mengingatkan kepada dalil halalnya, Allah dalam QS: 4: 24, setelah menerangkan tentang wanita-wanita yang tidak boleh dikawini, berfirman: 


وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ  فَرِيضَةً وَلَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيم اتَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ  الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ ع لَِيم احَكِيمًا

Terjemahan Departemen Agamanya: 

.... dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian –wanita-wanita yang diharamkan pada ayat 23- (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban, dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu (menambah atau mengurangi atau tidak mem- bayar sama sekali maskawin yang telah ditetapkan). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” 

Terjemahan Bebas Kami: 

... dan dilhalalkan bagi kalian selain yang demikian itu –wanita-wanita yang diharamkan pada ayat 23- (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka kalau kalian telah mut’ah (kawin dalam waktu tertentu) dengan sebagian mereka, berikanlah upah (maskawin) mereka sebagai suatu kewajiban. Dan tidak mengapa bagi kalian -berdua- untuk saling rela (yakni kalau mau menambah waktu mut’ahnya dengan persetujuan yang baru dari sisi waktu dan upahnya/maharnya) setelah kewajiban –pertama- itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.” 

Tidak cocoknya terjemahan pertama dan cocoknya yang ke dua:

1. Nafas ayat ini dapat diketahui dengan jelas bahwa ia ingin menjelaskan nikah mut’ah. Karena ia menjelaskan hukum mencari kesenangan dengan wanita melalui harta. 

2. Tuhan juga terlihat menekankan bahwa hal ini adalah kawin dan bukan zina. Yakni mencari kesenangan dengan harta melaui kawin mut’ah ini. Karena kalau kawin permanen tidak mesti dengan maskawin harta dan tidak perlu juga penekanan bahwa ini kawin. Karena sejak jaman jahiliyyah kawin permanen itu memang sudah ada. Artinya tidak perlu khawatir terhadap salah pahamnya umat terhadap hukum ini. Tapi ketika Tuhan sendiri menekankan bahwa hal ini adalah kawin, maka jelas ingin menangkal kesalahpahaman orang terhadap hukum ini yang mungkin akan mengatakan bahwa kawin seperti ini –yakni dengan harta dan dalam waktu tertentu- adalah zina.

3. Setelah mut’ah (kenikmatan) maka berikanlah upahnya. Di sini jelas, mendukung ke makna kawin sementara. Karena memberikan upah setelah kesenangannya itu. Jadi, pemberian upah setelah selesai kesenangannya. 

Allah di sini memakai kata UPAH atau UJUUR, maka ini juga bisa menguatkan kepada makna kawin sementara. Walaupun ia maknanya adalah maskawin karena pakai akad nikah, tapi ketika dipakai kata UPAH menandakan bahwa kawinnya itu adalah sementara atau setidaknya cenderung ke makna tsb, karena tabadur atau pahaman langsung begitu mendengar kata-katanya (upah). 

Tafsir Kasysyaaf, karya Zamakhsyari, juga mengisyaratkan pada makna upah yang dalam bahasa arabnya juga dikatakan tsawaab. Lihat di tafsirannya terhadap ayat mut’ah: 


وأجورهن مهورهن لأن المهر ثواب على البضع

“Dan ujuur mereka (para istri yang dikawini) adalah maharnya, karena mahar adalah upah/ tsawaab atas kemaluan-wanita.” 

Tafsir Aluusii juga menulis: 


وسمي المهر أجراً لأنه بدل عن المنفعة لا عن العين

“Mahar itu dikatakan upah/ajrun, karena ia balasan dari mamfaat, bukan barang (sehingga dikatakan harga/qiimah, penj.).” 

Tafsir Fakhru al-Raazii: 


وإنما سمي المهر أجراً لأنه بدل المنافع ، وليس ببدل من الأعيان ، كما سمي بدل منافع الدار والدابة أجرا
والله أعلم،

“Mahar itu dikatakan upah/ajrun karena berupa balasan dari mamfaat, bukan dari barang, sebagaimana disebut seperti itu (ajrun/upah) sebagai balasan dari mamfaat rumah (menyewa rumah) dan binatang (menyewa kendaraan), Allaahu A’lam.” 

5. Kemudian Allah mengatakan bahwa kalau setelah kewajiban itu (yang perempuan sudah melaksanakan tugas keistriannya dan yang lelaki sudah memberikan upahnya), maka tidak mengapa kalau mau saling rela lagi. Saling rela ini jelas dua arah. Sementara kalau mengikut terjemahan pertama, jelas satu arah. Karena merelakan maskawin itu bukan dari arah suami. Masak suami yang sudah sepakat di awal kawin untuk memberikan maskawinnya, lalu setelah itu menawar (misalnya), kemudian tawarannya ini dikatakan rela. Kan tidak klop. 

Rela itu apabila istrinya menerima tawaran suaminya, atau dari awal memang ingin merelakan maskawinnya. Ini baru klop. Tapi kalau suaminya, dari awal sudah rela memberikan seluruh maskwinnya sesuai dengan kesepakatan akad nikahnya, maka dia tidak lagi punya hak rela atau tidak, karena dari awal sudah rela. Dan kalau setelah itu dituntut sepenuhnya oleh istri, tidak ada kata rela buatnya. Karena ia, rela atau tidak, harus memberikannya. Apalagi kalau diberi keringanan oleh istrinya, maka suaminya ini jauh sekali dari kata dan istilah rela. 

Dan begitu pula, kalau si istri merelakannya, baik sebagian atau keseluruhannya, ini namanya hadiah dari istri, bukan bisnis dan mu’amalah yang tawar menawar. Artinya, tidak ada saling rela dari dua arah. Jadi, yang merelakan itu adalah istrinya, sedang suami hanya memiliki mau atau tidak saja, dalam menerima perelaan istrinya itu. Itu saja. Artinya, tidak bisa dikatakan bahwa mau dan tidaknya suami itu dikatakan sebagai rela menerima hadiah atau perelaan. Mau menerima hadiah itu bukanlah rela untuk menerima. Karena rela itu menyembunyikan hak yang direlakan. Sedang menerima hadiah, tidak mengandungi hak dan kewajiban yang ada di tangan orang lain. 

6. Perlu diketahui bahwa pemberian maskawin penuh itu (yakni setelah kawin permanen dan setelah dikumpuli) adalah kesepakatan Syi’ah dan Sunni. Karena itulah maka kalau cerai sebelum dikumpuli hanya wajib memberikan separuhnya. 

Nah, terjemahan pertama itu mengatakan bahwa hukum dalam ayat di atas itu adalah dalam rangka menerangkan hukum tsb. Padahal, jelas tidak terdukung konteknya. Karena dalam ayat tsb mengatakan “berikan maskawinnya”, bukan “berikan secara penuh maskawinnya”. Karena itu, maka lawan dari perintah tsb, yakni kalau pisah sebelum menikmatinya, adalah “tidak memberikan maskawinnya”. Karena lawan memberikan maskawin adalah tidak memberikan maskawin. Nah, karena lawan dari pemberian maskawin itu adalah tidak memberi maskawin, bukan tidak memberikan secara penuh, maka jelas hukum ini adalah untuk kawin sementara dan bukan permanen (karena dalam permanen wajib memberikan separuhnya, bukan tidak memberi keseluruhannya). Karena itulah dalam kawin mut’ah, kalau istrinya itu tidak melayani maka maskawinnya tidak wajib diberikan. Ini yang pertama

Yang ke dua, Allah mengatakan bahwa saling rela itu setelah kewajiban. Artinya yang wanita sudah menjalani kewajiban keistriannya, dan lelakinya SUDAH PULA MEMBERIKAN MASKAWINNYA ATAU UPAHNYA. Jadi, saling rela lagi itu, tidak bisa dikatakan bahwa si lelaki menawar maskawin dan si wanitanya merelakan sebagian atau keseluruhan maskawin. Artinya, tidak bisa dikatakan bahwa tawar menawar itu dalam kawin permanen (daim) setelah dikumpuli. Karena kalau dalam kawin daim, dan setelah dikumpuli, maka yang telah melakukan kewajiban itu baru istrinya, dan suaminya masih belum melaksanakan kewajibannya (memberi maskawin). Jadi, baru satu arah saja yang sudah melakukan kewajiban. Sementara Tuhan mengatakan bahwa tidak masalah kalian saling rela lagi setelah kewajiban itu. Yakni setelah kewajiban pemberian maskawin setelah menikmati. Artinya setelah keduanya melakukan kewajibannya masing-masing. 

Bayangin saja, Allah jelas mengatakan: “Kalau sudah bersenang-senang dengan wanita-wanita itu, maka berikan upahnya SEBAGAI KEWAJIBAN” lalu setelah itu mengatakan “Tidak mengapa kalau SETELAH KEWAJIBAN itu kalian saling rela lagi”, kemudian dikatakan bahwa maksudnya tidak mengapa untuk saling rela terhadap maskwinnya itu untuk diberikan semuanya, sebagiannya atau tidak sama sekali. Ini kan tidak klop sama sekali??!! Karena hukum saling rela lagi ini JELAS SETELAH PEMBERIAN MASKAWIN YANG WAJIB TERSEBUT??!!! 

Mukaddimah ke empat

Untuk penguat tafsir di atas, bisa merujuk ke tafsir-tafsir Sunni seperti: 

Al-Durru al-Mantsuur; Ibnu Katsiir; al-Zamakhsyari; al-Aluusii; al-Baidhaawii; al-Tsa’aalibii; a-Tsa’la- bii; a-Fakhru al-Raazii; al-Thabarii; al-Qrthubii; al-Manaar; dll bahkan hampir semua tafsir Sunni. Artinya, walaupun mereka menafsirkan yang sesuai dengan pandangan mereka seperti yang ter- tera pada terjemahan pertama di atas itu, akan tetapi selalu menyertakan pandangan kelompok yang menghalalkan seperti pada terjemahan ke dua itu. 

Bahkan sebagian tafsir-tafsir itu dengan jelas mengatakan bahwa mut’ah ini, di awal Islam, adalah merupakan kesepakatan para ulama. Yakni ayat di atas itu sabagai penghalalan mut’ah di awal Islam. Akan tetapi setelah itu dihapus oleh Nabi saww. Seperti: 

وقد استدل بعموم هذه اآلية على نكاح المتعة، وال شك أنه كان مشرو ًعا في ابتداء اإلسالم، ثم نسخ بعد ذلك 

“Dan bisa saja ayat di atas, dilihat dari sisi keumumannya, menunjukkan kepada nikah mut’ah. Dan memang, tidak ada keraguan bahwa ia adalah halal di awal Islam, akan tetapi kemudian di- hapus –nasakh- (lihat tafsir Ibnu Katsiir). 

Anehnya, bagaimana ayat bisa dihapus oleh hadits?!! Sebagaimana yang dikatakan oleh tafsir al-Qurthubii: 

وقال الجمهور : المراد نكاح المتعة الذيكان في صدر اإلسالم وقرأ ابن عباس وأبي و ابن جبير : فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسمى فآتوهن أجورهن ثم نهى عنها النبي صلى اهلل عيه وسلم 

“Jumhur –semua ulama atau setidaknya umumnya ulama- berkata: Maksud dari ayat ini adalah nikah mut’ah yang ada pada awal-awal turunnya Islam. Dan bahkan Ibnu Abbas membaca ayat itu seperti ini: ‘Dan apabila kamu bermut’ah dengan sebagian wanita itu SAMPAI BATAS WAKTU TERTENTU, maka berikanlah upahnya.’ Akan tetapi setelah itu Nabi saww melarangnya.” (lihat tafsir Qurthubii). 

Keanehan yang lain adalah mereka yang menafsirkan ayat di atas itu sesuai dengan penghara- man mut’ah, sementara ayat tsb adalah penghalalan mut’ah. Artinya, semestinya, mereka mene- rangkan maksud ayat itu tergantung penghalalan mut’ahnya, lalu setelah itu baru mengatakan bahwa mut’ah ini atau penjelasan ini, sudah tidak berlaku lagi karena sudah dihapus oleh Nabi saww. Tapi enehnya, mereka menafsir ayat itu sesuai dasar pengharaman mut’ah, hingga pema- hamanya menjadi jauh dari lahiriah ayatnya. Misalnya, ketika menafsirkan istamta’a (bermut’ah), upah dan saling rela lagi setelah kewajiban pemberian upah. 

Dan sudah tentu pelarangan Nabi saww itu, selain tidak bisa mengangkat dan menghapus hukum Qur'an, artinya bahwa hadits itu tidak bisa menasakh Qur'an, hadits-hadits tersebut juga berten- tangan dengan hadits-hadits shahih lainnya yang sangat banyak yang menyatakan bahwa para shahabat melakukan mut’ah itu di jaman Nabi saww, Abu Bakr dan Umar, dan bahwasannya yang melarang mut’ah itu adalah Umar, bukan Nabi saww. Ada lagi yang memaksakan diri untuk meng- hapus ayat mut’ah ini dengan ayat waris. Ini namanya pemaksaan. Karena tidak adanya warisan bagi anak dari kawin mut’ah itu merupakan qarinah dan qaid (kecuali) pada ayat waris itu, bukan sebaliknya. Yakni ketika Tuhan mengatakan bahwa anak dari nikah itu adalah ahli waris ayahnya, dan ketika di kawin mut’ah itu tidak ada pewarisan (karena misalnya kawinnya itu disebabkan keterpaksaan dan hanya semacam menyewa karena kawin dalam waktu sementara saja), maka hukum waris itu telah dikondisikan dengan hukum mut’ah ini. Artinya, waris yang mutlak itu di- batasi dengan kawin mut’ah. Jadi, bunyi hukum warisnya itu adalah: “Anak itu mewarisi ayahnya kecuali kalau anak dari hasil mut’ah.” 

Bukan dibalik. Misalnya, karena kawin mut’ah itu tidak ada pewarisan, dan karena anak dari kawin itu ada pewarisan, maka kawin mut’ah itu menjadi bukan kawin dan menjadi zina. Tidak bisa seperti ini. Karena waris itu adalah hukum yang diakibatkan oleh nikah daim. Jadi dia, tidak bisa menghapus hukum nikah lain yang sejajar dengan hukum nikah yang telah mengakibatkannya –waris- itu (daim). 

Mukaddimah ke lima

Untuk menguatkan tafsir di atas, yakni bahwa ayat tsb menerangkan tentang mut’ah, halalnya dan caranya, bisa juga melihat ke hadits-hadits Sunni yang banyak sekali, seperti: 

Shahih Bukhari, 3: 246; 4: 278; Shahih Muslim, 2: 1022; 2: 1023; 2: 1061; Musnad Ahmad bin Hanbal, 3: 22; 3: 26; 3: 95; 3: 304; 4: 47-51; Syarhu Ma’aanii Aatsaar, 3: 24-25; al-Maghaazii, 3: 37; Sunan Baihaqii, 7: 200-201; 7: 237; Musnad imam Syaafi’ii, 162-286; Tahdziibu al-Tahdziib, 10: 371; Kanzu al-‘Ummaal, 8: 294; Sunan Abu Daawud, 7: 217; Sunanu al-Kubraa, 7: 205; al-Ishaabah, 4: 333; dll. Dan contoh haditsnya seperti: 

روى البخاري بسنده ، عن جابر بن عبد اهلل ، وسلمة بن األكوع ، قاال : كنَّا في جيش ، فأتانا رسول رسول 
اهلل صلّى اهلل عليه وآله وسلّم ، فقال : إنَّه قد أُِذن لكم أ ْن تستمتعوا 

Dari Jaabir bin ‘Abdullah dan Salamah bin al-Akwa’, keduanya berkata: 

“Kami dalam suatu kamp ketentaraan. Lalu datang kepada kami Rasulullah saww dan bersabda: ‘Kalian telah diijinkan untuk melakukan mut’ah.’” (Bukhari, 4: 278 ) 

روى مسلم بسنده ، عن أبي الزبير قال : سمعت جابر بن عبد اهلل يقول : كنا نستمتع بالقبضة ِمن التمر والدقيق األيَّام ، على عهد رسول اهلل صلّى اهلل 

عليه وآله وسلّم وأبي بكر ، حتَّى نهى عمر عنه ..... 

..... Jabir berkata: 

“Kami melakukan kawin mut’ah dengan –upah- segenggam kurma dan tepung gandum, di jaman Rasulullah saww, Abu Bakr sebelum kemudian Umar melarangnya -di masa kekhalifaannya- .......” (Muslim, 2: 1022 ; Tahdzibu al-Tahdziib, 10: 371; Sunan Baihaqii, 7: 237; Kanzu al-‘Ummaar, 8: 294: ) 

Mukaddimah ke enam

Untuk menguatkan tafsir di atas, bisa juga dilihat dari hadits-hadits Sunni yang mengatakan bahwa mut’ah itu halal sejak jaman Nabi saww dan dilakukan di masa beliau, begitu pula di jaman kekhalifaan Abu Bakr sebelum kemudian dilarang oleh Umar di jaman kekhalifaanya. Lihat hadits sbb: 

Shahih Muslim, 2: 1022-1023; Sunanu al-Baihaqii, 7: 200-201; 7: 206; Musnad imam Syaafi’ii, 132; Musnad Ahmad bin Hanbal, 1: 52; 3: 325-326; Syarhu al-Ma’aanii, 2: 142; 2: 146; 3: 24; 3: 25; Kanzu al-‘Ummaal, 8: 293-294; Thabari, 293-294; Sunan Baihaqii, 5: 21; 7: 205-206; 7: 273; Sunan Abu Daawud, 8: 247; Mafaatiihu al-Ghaib, 10: 51; al-Ishaabatu, 1: 333; Musnad Ahmad bin Hanbal, 3:304; Tahdziibu al-Tahdziib, 10: 371; dll. 

Contoh haditsnya seperti: 

روى مسلم بسنده ، عن أبي نضرة قال : كن ُت عند جابر بن عبد اهلل ، فأتاه آ ٍت ، فقال : إ َّن ابن عباس ، وابن 
الزبير اختلفا في ال ُمتعتين ـ يعني ُمتعتي ال َح ِّج والنساء ـ فقال جابر : فعلناهما مع رسول اهلل صلّى اهلل عليه وآله 
وسلّم ، ث ّم نهانا عنهما عمر . فلم نَعد لهما 

Abu Nadhrati berkata: Aku bersama Jabir, lalu datang seseorang mendekatinya dan berkata: “Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Zubair berbeda pandangan tentang dua mut’ah –haji tamattu’ dan kawin mut’ah.” Jabir berkata: “Kami melakukan keduanya di jaman Rasulullah saww sebelum kemudian dilarang oleh Umar –di jaman kekhalifaannya- dan kamipun tidak melakukannya.” (Shahih Muslim, 2: 1023) 

َح ِّج كانتا ُمتعتان على عهد رسول اهلل صلّى اهلل عليه وآله وسلّم، وأنا أنهى عنهما ، وأُعاقب عليهما ، أحديهما ُمتعة النساء ، وال أقدر على ر ُجل تزَّوج امرأة إلى أجل ، إالَّ غيَّبته بالحجارة ، واألُخرى ُمتعة ال 

Umar berkata: “Ada dua mut’ah di jaman Nabi saww –haji tamattu’ dan kawin mut’ah- akan tetapi aku sekarang melarangnya dan akan menghukum bagi pelakunya. Salah satunya adalah kawin mut’ah. Sungguh aku tidak mampu melihat seorang lelaki yang kawin mut’ah dengan seorang wa- nita kecuali kurajam dia dengan batu, dan yang lainnya adalah haji tamattu’.” (Kanzu al-‘Ummaal, 8: 293 ; Sunan Baihaqii, 5: 21 dan 7: 206) 

Mukaddimah ke tujuh

Hadits-hadits Syi’ah tentang mut’ah ada tiga golongan: Menerangkan halalnya; Merangsang untuk melakukannya; Melarang melakukannya: 

(a). Hadits-hadits yang hanya menerangkan halalnya mut’ah. Seperti di kitab Ushuulu al-Kaafii, hadits ke: 9942-9948. Misalnya yang berbunyi: 

Abi Bashiir berkata: Aku bertanya tentang mut’ah pada imam Abu Ja’far as. Beliau menjawab: “Telah diturunkan hukumnya di dalam al-Qur'an yang berbunyi: ‘Maka kalau kalian telah bermut’ah dengan sebagian wanita itu, berikanlah upahnya sebagai kewajiban, dan tidak masalah bagi kalian untuk saling rela setelah kewajiban tsb.’ “ 

(b). Hadits2 yang merangsang untuk melakukan mut’ah. Seperti yang ada di kitab Wasaailu al- Syi’ati, hadits ke: 26388-26403. Misalnya yang berbunyi: 

وبإسناده عن صالح بن عقبة، عن أبيه، عن أبي جعفر عليه السالم قال: قلت: للمتمتع ثواب؟ قال: ان كان يريد بذلك وجه اهلل تعالى وخالفا على من أنكرها لم يكلمها كلمة إال كتب اهلل له بها حسنة، ولم يمد يده إليها إال كتب اهلل له حسنة، فإذا دنا منها غفر اهلل له بذلك ذنبا، فاذا اغتسل غفر اهلل له بقدر ما مر من 

الماء على شعره ...... 

Ayah Shaalih bertanya kepada imam Abu Ja’far as: “Apakah kawin mut’ah itu memiliki pahala?” Beliau menjawab: 

“Kalau pelakunya, dalam melakukan mut’ahnya itu, berniat karena Allah dan dalam rangka menentang yang melarangnya, maka tidaklah ia berbicara dengan istri mut’ahnya itu kecuali mendapat kebaikan (pahala); Tidaklah ia mengulurkan tangannya kepada istrinya itu kecuali ia mendapat kebaikan (pahala); Kalau ia mendekat padanya, Allah akan mengampuninya; Kalau dia mandi setelah itu maka Allah akan mengampuni dosanya sebanyak rambut yang terkena air -mandinya. .....” (hadits ke: 26390). 

Hadits-hadits yang Melarang mut’ah
Yang melarang ini ada dua golongan: 

Golongan pertama, adalah yang memang mengharamkan mut’ah dalam arti mutlak. Maka di sini, jelas bisa dikatakan sebagai hadits yang diucapkan dalam rangka taqiyyah. Seperti hadits ke: 26387 dari kita Wasaailu al-Syii’ati: 

محمد بن الحسن بإسناده عن محمد بن أحمد بن يحيى، عن أبي جعفر، عن أبي الجوزاء، عن الحسين بن علوان، عن عمرو بن خالد، عن زيد بن علي، عن آبائه عن علي عليهم السالم قال: حرم رسول اهلل صلى 
اهلل عليه وآله يوم خيبر لحوم الحمر االهلية ونكاح المتعة. 

Imam Ali as berkata: “Rasulullah saww telah mengharamkan daging keledai yang dipelihara dan nikah mut’ah diwaktu perang Khaibar.” 

Karena itu di penjelasan hadits di atas ini, dikatakan bahwa pengarang kitab dan lain-lainnya mengatakan bahwa hadits tsb adalah hadits taqiyyah. Karena mut’ah adalah ijma’ semua ula- ma Syi’ah dan hadits tentang halalnya terlalu banyak dan melebihi mutawatir. Atau bisa saja dimaknai bahwa mut’ah tidak dianjurkan (makruh) kalau membawa mafsadah (ketidak baikan). 

Golongan ke dua, adalah hadits yang melarang mut’ah kalau memang sudah tidak diperlukan lagi. Yakni bagi yang sudah memiliki istri dan berada dalam jangkauannya. Hadits-hadits di go- longan ini, walaupun tidak bisa diartikan sebagai haram, akan tetapi dapat ditangkap bahwa mut’ah itu kurang disukai oleh imam as dan Islam kalau dilakukan oleh yang tidak memerlu- kannya (baca hanya ingin mengumbar syahwat). 

Dalam kitab-kitab hadits, bahkan diterakan judul tentang pelarangan mut’ah bagi yang tidak perlu ini. Misalnya, di kitab Ushuulu al-Kaafii terdapat judul: 

باب أنه يجب ان يكف عنها من كان مستغنيا 

“Bab: Keharusan Untuk Tidak Melakukannya –mut’ah- Bagi Yang Tidak Memerlukannya.” (lihat Sub Judul untuk hadits ke: 9957-9960) 

Dan di kitab Wasaailu al-Syii’ati terdapat judul: 

باب كراهة المتعة مع الغنى عنها واستلزامها الشنعة أو فساد النساء 

“Bab: Kemakruhan Mut’ah Ketika Tidak Memerlukannya dan Mengakibatkan Keburukan atau Rusaknya Wanita.” (lihat Sub Judul untuk hadits ke: 26420-26425). 

Contoh haditsnya: 

علي بن يقطين قال: سألت أبا الحسن عليه السالم عن المتعة؟ فقال: ما أنت وذاك قد أغناك اهلل عنها 

Ali bin Yaqthiin berkata: Aku bertanya tentang mut’ah kepada imam Abu al-Hasan as. Beliau menjawab: “Ada apa kamu menanyakannya sementara kamu sudah tidak lagi memerlukan- nya (karena sudah kawin dan istrinya ada dalam jangkauannya)??!” (Ushuulu al-Kaafii, hadits ke: 9957; Wasaailu al-Syii’ati, hadits ke: 26420) 

كتب أبو الحسن عليه السالم إلى بعض مواليه ال تلحوا على المتعة انما عليكم إقامة السنة فال تشغلوا بها 
عن فرشكم وحرائركم فيكفرن ويتبرين ويدعين على اآلمر بذلك ويلعنونا. 

Imam Abu al-Hasan as menulis surat kepada sebagian pengikutnya: 

“Jangan membuat cela mut’ah (karena dihamburkan), hendaknya kalian melakukannya demi –menjaga- sunnah saja (sekali saja). Karena itu janganlah kalian menyibukkan diri dengan mut’ah itu di atas permadani kalian dan memuas-muaskan diri, hingga wanita-wanita itu men- jadi ingkar, berlepas diri dan mendoakan buruk pada yang memerintahkannya –makshumin as- serta melaknati kami.” (Wasaailu al-Syii’ati, hadits ke: 26423) 

Mukaddimah ke delapan (pelengkap)

Dalam fatwa-fatwa marja’ Syi’ah, telah diterangkan pula bahwa perempuan bisa memberi syarat kepada calon suami mut’ahnya. Seperti tidak pakai tidur, tidak pakai pegangan, dan semacamnya. 

Kesimpulannya


Dengan melihat semua ayat dan hadits-hadits di atas, baik Syi’ah atau Sunni, maka dapat disimpulkan sbb: 

1. Mut’ah ini halal dan berlaku sejak jaman Nabi saww sampai hari kiamat, walau dilarang oleh Umar. Karena Umar bukanlah penerima atau penerus syariat yang makshum. 

2. Kehalalan mut’ah ini melalui ayat, sedang penghapusannya dari riwayat Nabi saww yang ada di hadits-hadits Sunni atau hadits imam Ali as yang ada di Syi’ah itu. Karenanya tidak dapat menghapus hukum yang ada di Qur'an. Justru sebaliknya, bahwa hadits yang bertentangan dengan Qur'an sudah jelas ia adalah hadits yang palsu, karena Qur'an adalah ukuran untuk mengukur hadits shahih atau palsu. 

3. Kalaulah beberapa hadits-hadits pelarangan itu masih mau dipaksakan juga, maka ia tertolak oleh hadits-hadits lain yang shahih, baik di Sunni atau Syi’ah, yang mengatakan bahwa mut’ah itu dilakukan sejak dari jaman Nabi saww, Abu Bakar dan Umar dan setelahnya. Begitu juga bertentangan dengan hadits-hadits yang shahih dan sangat banyak di Sunni, bahwa yang me- larang mut’ah itu sebenarnya adalah Umar di masa pemerintahnnya. 

4. Pengahapusan ayat mut’ah dengan ayat waris, adalah pemaksaan yang tidak masuk akal sebagaimana sudah diterangkan di atas. 

5. Mut’ah adalah hukum yang terpaksa diadakan. Artinya demi menutupi ketidakmampuan penanganan kawin daim/permanen. Karena kawin permanen hanya bisa menangani beberapa masalah saja tentang hubungan lelaki dan wanita, tapi tidak semuanya. Karena orang yang diperjalanan, di peperangan, atau belum mampu menafkahi istri sementara ia sudah tidak bisa menanggulangi nafsunya karena sudah berumur agak tua ...dst dari sebab-sebab keter- paksaan itu, tidak bisa diselesaikan dengan hukum kawin daim/permanen. 

6. Tujuan atau hikmah mut’ah adalah di tempat-tempat yang tidak bisa diisi dengan kawin daim itu, seperti: 

(a). Suami yang sedang jauh dari istrinya. 

(b). Lelaki yang sudah cukup tua tapi belum mampu memberi nafkah kepada istrinya kalau ia kawin. 

(c). Perawan (bc: bukan janda, dan janda adalah yang sudah pernah kawin dengan syah dan sudah pernah dikumpuli setelah kawinnya itu) yang sudah mendapatkan calon suami daim/permanen dan sudah mendapat ijin dari walinya, namun ingin saling kenal lebih jauh supaya tidak salah pilih, maka keduanya melakukan kawin mut’ah yang juga dengan ijin walinya dengan jelas dan dengan syarat-syarat tidak melakukan apapun kecuali berbincang –misalnya- untuk saling mengenal lebih jauh.

(d). Memberikan jalan keluar pada janda yang sudah tidak dipilih lagi oleh para lelaki untuk dijadikan istri permanen untuk memenuhi kebutuhan nafsunya walau tidak untuk seumur hidupnya. Atau janda yang sudah terlalu lama tidak berhubngan dengan lelaki karena sudah ditinggal mati atau dicerai suaminya. Hingga dengan ini ia tidak terjerumus ke dalam zina (baik besar atau kecil). Tentu saja dengan lelaki yang dalam keadaan dharurat di atas itu.

7. Dengan mengerti tentang hikmah/tujuan kawin mut’ah ini, ditambah dengan tidak umumnya ulama dan orang-orang shalih melakukannya kalau tidak terpaksa, ditambah dengan larang- an-larangan dalam hadits bagi yang tidak memerlukannya karena sudah punya istri yang da- lam jangkauannya, maka jelas bahwa mut’ah ini bukan hukum yang ditujukan untuk penyalu- ran nafsu birahi bagi pemburu nafsu. 

Karena itu, maka sekalipun tidak mengharamkan pekerjaan mereka, akan tetapi sangat tidak disukai para imam Makshum as. Karena itulah maka imam Makshum mengatakan, seperti: Janganlah kalian menghamburkan mut’ah ini hingga membuat para wanita (begitu pula masy- arakat seperti di hadits-hadits lainnya) anti pati pada imam Makshum as dan mengumpati ajarannya. Lihat hadits ke: 26243, dari kitab Wasaailu al-Syii’ati di atas itu. 

8. Dengan poin no 7 ini dan ditambah dengan poin 1 sebelumnya, dapat dipahami, bahwa ha- dits-hadits Syi’ah yang merangsang kawin mut’ah ini (golongan ke dua hadits Syi’ah), adalah untuk menjaga supaya hukum Tuhan ini tidak terhapus oleh penghapusan Umar yang diiku- ti kebanyakan kaum muslimin, terutama pada jaman-jaman imam Makshum as. Jadi, kalau imam menganjurkan, itu hanya agar supaya hukum ini tidak hilang dari agama Islam. Karena itu maka terlihat jelas diperijinan para imam Makshum as, adanya anjuran sekali saja (dalam melakukannya) dan hanya demi menjaga sunnah ini, yakni sunnatullah atau agama Allah ini (lihat hadits ke: 26243 dari kitab Wasaailu al-Syii’ati di atas itu). 

Dan, sudah tentu, pahala yang bersar itu bukan hanya timbul dari nikah mut’ah ini, akan tetapi karena pelakunya memiliki dimensi berjuang mempertahankan hukum yang ingin dihapus Umar dan pengikutnya ini. Jadi, pelaku ini, yakni yang memerlukan ini, yakni karena jauh dari istrinya ini atau belum mampu kawin ini, dirangsang untuk melakukan mut’ah untuk mengata- si dirinya dan menjadi pejuang mempertahankan hukum Tuhan. Jadi, dia memiliki dua pahala sekaligus. 

9. Dengan mengerti poin 8 ini dan ditambah dengan poin2: 1, 2 dan 3, maka kedua perebutan yang dilakukan dua kelompok terhadap kawin mut’ah ini, dimana yang satu memburu untuk mengharamkannya, dan yang lainnya memburu untuk mengumbar nafsunya, dapat divonis dengan poin 5 dan 6. Artinya, hukum kehalalan kawin mut’ah ini ditujukan secara utamanya, bagi yang terpaksa melakukannya sebagaimana sudah dijabarkan di poin 6. 

10. Pengharaman terhadap mut’ah adalah menentang hukum Qur'an yang telah disepakati ada- nya dan menentang hadits-hadits shahih yang mutawatir secara makna -setidaknya. Sementa- ra menghamburkan nafsu dengan mut’ah adalah menjatuhkan pamor agama dan para imam Makshum as serta tidak disukai imam Makshum as. 

Pelengkap

Untuk melengkapi tulisan di atas, perlu kiranya kita merenungi hadits yang berisi ucapan imam Ali as (seperti di tafsir al-Kabir, karya Fakhru al-Raazii) dan imam-imam Makshum as lainnya (seperti yang bertebaran di hadits-hadits Syi’ah), serta shahabat-shahabat lainnya seperti Ibnu Abbaas (di tafsir al-Durru al-Mantsuur), yang berbunyi: 

لوال أ َّن عمر نهى الناس عن ال ُمتعة ؛ ما زنى إالَّ َشق ٌّي 

“Kalau Umar tidak melarang umat dari kawin mut’ah, maka tidak akan ada yang berzina kecuali yang keterlaluan.” 

ولو ال نهيه عنها ما احتاج إلى الزنا إالَّ شق ٌّي 

“Dan kalaulah bukan karena larangannya (larangan Umar) terhadapnya (kawin mut’ah), maka sudah tentu tidak perlu lagi kepada zina kecuali yang keterlaluan.” 

Para pemburu nafsu, yakni golongan ke dua dari dua golongan yang berebut di atas itu, selalu menggunakan hadits ini untuk menyalurkan nafsunya, hingga tidak memperdulikan lagi terhadap tercelanya agama dan para imam as. Mereka berdalil bahwa mut’ah ini mesti dikembangkan demi mengurangi zina. 

Padahal, kalau diperhatikan, orang yang melakukan zina itu dikarenakan tidak dapat membendung syahwatnya. Artinya, karena syahwatnya tidak mendapat penyaluran yang halal, maka ia nekad melakukan penyaluran yang tidak halal, yakni zina. 

Jadi, pandangan yang hanya sepihak itu, yaitu yang mengatakan bahwa kita mesti mempromosi- kan mut’ah dan tidak usah malu-malu karena Tuhan saja tidak malu, karena demi memberantas zina, adalah apologi yang kurang waras dan sangat tidak aklis serta tidak mengenal Qur'an, hadits dan para imam makshum as. Artinya, pengata ini, mungkin disebabkan gelora nafsunya yang sedikit liar, atau karena kurang mengerti hikmah dan kebijakan Islam, maka ia telah membuat statmen dan pernyataan seperti itu. Dan, penyata seperti itu, tidak sedikit. 

Padahal mereka, penyata dan pelaku ini, sudah memiliki istri-istri yang selalu siap melayaninya. Dan terkadang, justru mut’ah ini telah membuat keluarganya berantakan dan terkadang berak- hir pada penceraian. Keluarga jadi korban dan agama serta madzhabpun jadi cemohan. Apalagi cewek-cewek murahan yang melakukan ini tanpa ijin walinya dengan jelas dimana bukan hanya dirinya yg jadi korban nafsunya sendiri, tapi bahkan agama dan para imam makshum as yang diikutinya juga terkorban (karena ajaran Syi’ah jadi cemohan masyarakat seperti yang ditakuti para imam makshum as). 

Padahal, kalau kita perhatikan semua penjelasan di atas itu dan poin-poin kesimpulannya, serta ditambah lagi dengan adanya penyaluran syahwat bagi yang sudah memiliki istri hingga tidak akan memilih zina karena syahwatnya terkontrol dan tersalurkan, maka jelas maksud imam Ali as dalam hadits di atas, bukan orang-orang yang punya istri. 

Jadi, maksud hadits imam Ali as tsb adalah mempromosikan kawin mut’ah bagi yang tidak men- dapatkan penyaluran syahwatnya. Tentu saja, dengan syarat-syaratnya, bukan sembarang orang. Artinya hal tsb bukan hanya tidak menyangkut yang punya keluarga, tapi juga tidak menyangkut wanita-wanita yang bukan janda. Karena separuh dari diri mereka milik walinya. 

Karena itu, tanpa ijin walinya dengan jelas, baik siapa calon suaminya, atau kapan tanggal kawin dan tanggal berakhirnya serta maskawinnya, maka mut’ah mereka ini tidak syah dan dihukumi zina. 

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, baik di dunia ini (dengan adanya peruba- han kesadaran dan aplikasi) atau di akhirat kelak, amin. Wassalam. 


Arina Rien: Tag saya ustadh.. 

Aan Ruslan Anwar: Assalamu’alaikum Wr Wb yaa ustadz, tag ana ya.. Syukran. 

Shellya Agatha: Maha Suci A££AH, A££AH Maha Pemurah lagi Maha Bijaksana,, syukron ustadz ... 

Hidayatul Ilahi: Terjawab sudah semuanya....ALHAMDULILLAH.....ALLAHUMMA SHALLI ‘ALA MUHAMMAD,WA AALI MUHAMMAD,WA ‘AJJIL FARAJAHUM. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya: Kuiringi antum semua dengan munajat hina ini: 

Ya Alllah .. tiada aku, tiada jagat, tiada cahaya dan tiada gelap, tiada ilmu dan tiada kejelasan, tiada lipatan-lipatan duka dan pekikan derita, tiada kebanggaan, tiada kemuliaan, tiada dan tiada, tiada dan tiada... kecuali keharusan menatapMu, memujaMu, dan membakar diri ini dan diri ini, sekali, dua kali dan berkali-kali hingga tak terhingga sampai diri dan semesta ini jadi arang dan arangnya arang, hingga tak pernah lagi tampak kemilau kecuali AsmaMu, WajahMu, JatiMu. 

Ya ...Allah .. kalau aku tak sudi tinggalkanku dan jagatku dan bahkan mayaku, maka sudilah ulur- kan tangan kasih nan lembutMu tuk selamatkan aku, hingga aku selamat dari diriku sendiri, hingga aku lari dari diriku sendiri, hingga aku terbakar dalam AgungMu dan menjadi debu tak berharga yang menempel di kaki para musafir yang bersemangat menujuMu. 

Ita Soetrisno: Terima kasih.. 

Hari Dermanto: Thanks atas penjelasannya ustadz sungguh sangat memberikan manfaat, semo- ga Allah mengkaruniakan kepada anda umur yang panjang dan ilmu yang bermanfaat, sehingga kami bisa mengambil manfaat. Salam izin share. 

Sinar Agama: Ita, terimakasih sama-sama, jaga diri baik-baik nah ... begitu pula teman-teman yang lain, jangan gampang percaya pada Islam atas nama atau Ahlulbait atas nama. Hargailah diri Anda sesuai dengan perintahNya, begitu pula teman-teman yang lain. 

Sinar Agama: Kidung: Kalau antum sudi, maka ikutlah menyebarkan tulisan ini sebanyak-bany- aknya, supaya tercapai harapan antum. Oh iya, terimakasih sebelumnya kalau berkenan ikut me- nyebarkannya. 

Sinar Agama: Syahzanan: Bersaksilah di hadapan hdh Fatimah as kelak, bahwa aku yang hina ini telah berjuang ingin menyelamatkan cucu-cucu dan kaum wanitanya dari penyalahgunaan nafsu- nafsu kurang terhormat, terimakasih dan tolong doakan. 

Sinar Agama: Hari, terimakasih perhatian dan doanya, sebarkanlah kalau memang sepakat bahwa ia adalah tulisan yang baik. Supaya kita sama-sama bisa mendapatkan pahalanya i-Allah, afwan dan terimakasih. 

Khadijah Gany: Salam.. mohon saya juga dtag-kan ustad sangat bermanfaat, syukran.. 

Sinar Agama: Khadijah, apa kamu tidak bisa mengcopynya? Kalau bisa tolong diusahakan dulu ya... dan kalau tidak bisa hubungi lagi aku. Namamu sudah kumasukkan ke group supaya mudah mengakses catatan-catatanku. 

June 28, 2011 at 2:09am · Like

Rabu, 19 September 2018

Menangis dan Memaktami Orang Mati Serta Fitnah Terhadap Syi’ah, Bag: 1



Seri status Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Saturday, February 2, 2013 at 11:19 am





Sinar Agama: (25-11-2012) 

Bismillaah: Catatan Kecil Tentang Menangis, Menjerit, Memukuli Diri di Hari Duka di Jaman Nabi saww. 


Catatan ini dibuat karena banyaknya orang tidak menyadari akan adanya budaya insaniah yang juga ada di jaman Nabi saww dan dibolehkan oleh Nabi saww dan tidak dilarangnya. Yaitu kesedihan ketika keluarga meninggal atau syahid yang disertai dengan tangisan, peringatan tangis, memukuli dada dan kepala. Berikut ini contoh-contoh kecil yang terjadi di jaman Nabi saww dan ditaqrir/dibolehkan: 

(1). Diriwayatkan di kitab Dzkhaairu al-‘Uqbaa, karya Thabari, hal. 183; Musnad Ahmad bin Hanbal, hadits ke: 14 34; dll-nya: 

Dari ‘Urwah bin Zubair dari ayahnya, berkata: Ketika terjadi peristiwa perang Uhud (kekalahan muslimin dan larinya Umar dan beberapa shahabat lainnya dari perang sampai ke Madinah hingga para wanita mencela mereka) terlihat ada wanita yang datang berlari –ke tempat perang- hingga hampir mencapai tempat medan perang tempat para jenazah syahid. Lalu Nabi saww nampak tidak suka para wanita itu datang ke tempat tersebut untuk melihat para korban perang (karena ada yang ditelanjangi dan dirajang-rajang seperti sayyiduna Hamzah ra). Karena itu beliau saww bersabda: “Ada wanita, ada wanita.” Berkata Zubair: “Aku mengira bahwa ia adalah ibuku, Shafiyyah. Karena itu aku lari mengejarnya dan aku berhasil menyusulnya sebelum mencapai tempat para jenazah syuhada. Akhirnya ia me- ladam (memukul-mukul dadanya) dalam dekapanku sementara ia adalah wanita yang sangat kuat. Ia berkata: “Semoga ibumu tidak mengakuimu (celaan karena mencegahnya).” Akupun berkata: “Bukan begitu, tapi Rasulullah yang tidak ingin kamu ke sana.” Kemudian iapun berhenti. 

Ladam, atau perempuan melakukan ladam atau ladamat, adalah memukul-mukul dadanya. Lihat semua kamus bahasa Arab seperti: Lisaanu al-‘Arab (bahkan di kitab ini telah meriwayatkan hadits di atas juga); al-Mu’jamu al-Wasiith; ... dan lain-lainya. 

(2). Dalam kitab Siiratu al-Nabawiyyati, karya Ibnu Hisyaam, jilid. 6, hal. 75: ‘Aisyah berkata: 

“....... telah meninggal Rasulullah saww ketika ia ada di kamarku/pangkuanku. Lalu kuletakkan kepalanya di atas bantal. Dan kemudian aku mengadakan ladam (memukul-mukul dada) bersama para wanita dan juga aku memukuli wajahku.” 

”......قبض وهو في حجري ثم وضعت رأسه على وسادة وقمت ألتدم مع النساء وأضرب وجهي” 

(3). Rasulullah saww ketika melihat sayyiduna Hamzah ra syahid beliau saww menangis dan ketika melihat tubuhnya –yang dicincang- beliau saww menjerit (syahiqa). Bentuk haditsnya bermacam-macam diantaranya: 

عن جابر أن النبي صلى اهلل عليه وسلم لما رأى حمزة بكى فلما رأى ما مثل به شهق. 

Dari Jabir berkata: “Ketika Nabi saww melihat Hamzah –yang syahid- beliau saww menangis, dan ketika melihat tubuhnya –yang dicincang- beliau menjerit.” 

Lihat: al-Mu’jamu al-Kabiir, karya Thabrani, hadits ke: 2932; Kanzu al-‘Ummaal, hadits ke: 36938 dan 36939; al-Mustadrak, karya Hakim, hadits ke: 2510, 4881, 4888; ....dan lain-lain kitab. 

Wassalam. 

Farida Z Ida, Karl Bakawali Heartblaster, Tito Tato dan 74 lainnya menyukai ini. 


Maskulin Rijal: Ahsaaan! Jazakumulloh Ahsanal jaza’. Afwan ane save dan ana share ustadz? 

Bukhorisupriyadi Supriyadi Yadi: Hehehe....akhsan, assamualaikum ya ustadz. Rasa senang aku telah menyatukan ahlul baitku pada keluarga Muhammad Saw. Ya Abdillahil Husain, aku telah berduka merindukan kecintaanmu Ya Husain. 

Sinar Agama: ....kitab Dzkhaairu al-‘Uqbaa....=....kitab Dzakhaairu al-’Uqbaa ....maksudnya. Yakni kurang “a”-nya di Dz.... 

Muhammad Rushan · 92 teman yang sama: 


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ


Sufyan Hossein: Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad. 



Sebastian Ali: 31 teman yang sama: Duhai debu Karbala,..datanglah kuasai jiwa, penuhi hati dengan cinta, aku rindu al Husain,.. 

Rha Be Youll: Friends with Ahlul Irfan Rahimi: Duka mendalam karena Cinta.. begitu indah. 

Deni Chandra: 4 teman yang sama: Inilah Bukti-bukti Kesesatan Pesta Duka Berdarah Asyura Ala Syiah Rafidhah 

10 Muharram, adalah hari yang sangat fenomenal. Bagaimana tidak, pada hari ini manusia terbagi menjadi dua kelompok; PERTAMA, pengikut sejati Rasulullah, pada hari ini mereka berpuasa, ditambah satu hari sebelum atau sesudahnya, sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. 

KEDUA, mereka yang membangkang kepada Rasulullah, pada hari ini mereka menyiksa diri dengan memukul-mukul muka, dada, bahkan melukai kepala dan pundak hingga berdarah-darah. 

Golongan Pertama, adalah Ahlus sunnah wal jama’ah, mereka adalah As-sawaad al-A’zham, merekalah mayoritas dengan persentase 80 s/d 90 % dari seluruh jumlah kaum muslimin dunia yang mencapai 1,57 Miliar pada 2009. 

Golongan kedua adalah Syi’ah dengan berbagai sektenya; Imamiyah-Rafidhah, Isma’iliyah, Nushiriyah, Ibadhiyah, Houtsiyah, dan lain-lain, dengan persentase + 5,5 %. 

Bukti Kesesatan Pesta Duka Berdarah Ala Syi’ah Rafidhah Majusi : 

1. Pembangkangan Terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menyiksa diri atas peristiwa musibah yang menimpa seseorang, dalam hadits beliau bersabda: 


لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

“Tidak termasuk golongan kami orang yang memukul-mukul muka, merobek-robek baju dan berteriak-teriak seperti orang-orang jahiliyah” [HR. al-Bukhari dan Muslim] 

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menambahkan: 

“Wanita yang meratapi mayat apabila tidak bertaubat sebelum meninggal, ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan memakai mantel dari tembaga panas dan jaket dari penyakit kusta.” [HR. Muslim] 

PERTANYAAN: Jika Rasulullah menyatakan mereka bukan ‘golongan kami’ (Golongan Rasulullah), maka Syi’ah Imamiah RAFIDHAH termasuk golongan siapa ? 

2. Tasyabbuh (menyerupai) Kaum Kuffar Dalam Ritual Ibadah Mereka. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 


مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”. ( HR. Abu Dawud,no 4031, dan Ahmad : 2/50, 2/92 ). 

Dalam hal ini mereka menyerupai Kristen, lihat di sini : 

http://www.facebook.com/media/set/?set=a.390415370981603.88412.221268711229604&ty pe=3

Kecuali jika mereka mengklaim bahwa hak paten ritual ini adalah inovasi dan temuan mereka. Tapi, dalam hal ini, biarlah mereka yang berkompromi dengan Kristen. 

3. Al-Qur'an Menegaskan Mereka Telah Ditipu Dan Tertipu. 

Allah Ta’ala berfirman dalam Surat Al-Kahfi ; 103-104 , yang artinya : 

Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya” .(103) 

" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (104) 

Inilah faktanya; mereka kira ritual ini adalah ibadah terbaik, dan bukti cinta sejati mereka terhadap Ahlul Bait. Namun kasian, mereka tertipu. 

4. Ritual Duka Berdarah-Darah Ini, Ajaran Siapa ? 

Imam Husein Radhiyallahu ‘anhu dan Anak-cucnyau tidak pernah melakukan hal ini, apalagi menyuruhnya, bahkan Imam Husein melarangnya dengan tegas. Di akhirat kelak Imam Husein akan berlepas tangan dari mereka. 

Maka kelak mereka akan menyesal, sesuai firman Allah, yang artinya : 

(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan di antara mereka terputus sama sekali. 

Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami”. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka. (QS.Al-Baqarah:167). 

5. Cinta Palsu Yang Zhalim. 

Jika bukti cinta Ahlul bait, adalah dengan merayakan pesta kematiannya dengan ritual syaithaniyah ini, maka Ali bin Abi Thalib ayah Husein lebih berhak dengan ritual ini. 

Sesungguhnya ayah Husain (‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu ‘anhuma) jauh lebih afdhal (utama) darinya. Beliau juga meninggal dalam keadaan terbunuh. Akan tetapi, mereka tidak menjadikan hari kematiannya sebagai hari berkabung layaknya hari kematian Husain Radhiyallahu ‘anhuma (yang diperingati). 

Bukankah ini kezhaliman yang besar, saat mereka memuja-muji Husein melebihi ayahnya, sang Khalifah ? 

6. Dan Bukankah Rasulullah Lebih Pantas Dan Berhak Untuk Diperingati ? 

Allah Azza wa Jalla telah memanggil Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, penghulu anak Adam di dunia dan akhirat, sama seperti para nabi sebelumnya. Namun, tidak ada seorang pun menjadikan hari wafat beliau sebagai hari bela sungkawa, atau melakukan perbuatan orang-orang dari sekte Syiah pada hari kematian Husain. 

Tidak seorang pun menyebutkan bahwa terjadi sesuatu sebelum atau sesudah hari kematian mereka, seperti apa yang disebutkan Syiah pada hari kematian Husain. Seperti terjadinya gerhana matahari, adanya cahaya merah di langit dan lain-lain”. 

Bahkan Al-Qur’an telah menegaskan bahwa iman, taqwa, dan kecintaan tidaklah terikat dengan kelahiran atau wafatnya Rasulullah. Allah berfirman yang artinya : 

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul . Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” ( Aali Imran :144) 

7. Ayatus-Syi’ah Telah Mendustai Dan Mempermainkan Mereka. 

Bukankah cinta Husein dibuktikan dengan menyiksa diri, maka kita tantang AyatuSyi’ah mereka melakukan ritual ini. Ayo Ali Khamane’i (Iran), Ali Sistani (Irak), Hasan Nashrallat (Lebanon), Muqtadha Shadr (Irak), silahkan lakukan ritual siksa diri yang dilakukan pengikut kalian, jika kalian adalah orang-orang yang benar ! 

8. Harga Sebuah Pengkhianatan. 

DUSTA SEJARAH TERBESAR YANG DIREKAYASA SYI’AH adalah : bahwa Husein Bin Ali dibunuh oleh Yazid. 

Lantas SIAPA PEMBUNUH HUSEIN ? Kami tidak perlu menjawab, cukup ayatuSyi’ah yang menjawabanya : 

Marji’ Syi’ah Ayatullah Al-Uzhma Muhsin Al-Amin menuliskan : “ … Kemudian Husein dibai’at oleh 20.000 orang dari penduduk Irak, dan mereka semua menipunya, mereka keluar sedang bai’at ada di leher mereka, maka mereka pun membunuhnya.” (A’yaan Al-Syi’ah : juz I, hal 34) 
Peringatan Kematian Isa Al-Masih 

Sepintas saat melihat ritual ini, saya kira mereka adalah kaum Syi’ah Rafidhah Oleh: Dukung MUI Keluarkan Fatwa Syi’ah Sesat Dan Haram Di Indonesia Foto: 6 

Deni Chandra: 4 teman yang sama: 

IMAM HUSEIN berwasiat kepada saudarinya Zainab : “Wahai saudariku tercinta, saya bersumpah di depanmu, maka tunaikanlah sumpahku ! Janganlah kau merobek-robek baju ( karena kematian ku ), janganlah kau memukul wajah, jangan pula berteriak-teriak dengan kata-kata (sungguh celakalah kami..merugilah kami). ( Mustadrak Al-Wasa’il : juz I, hal 144). 

Kemudian Imam HUSEIN mendo’akan kehancuran untuk Syi’ahnya : “ Ya Allah, jika Engkau beri mereka kenikmatan sampai waktu yang telah ditentukan, maka pecahkanlah mereka menjadi sekte-sekte, jadikanlah jalan mereka berbeda-beda, dan janganlah Engkau jadikan para pemimpin manapun ridha terhadap mereka. Sesungguhnya mereka mengundang kami untuk membela kami, kemudian mereka berkhianat dan memerangi kami.” ( Kasyf-Al- Ghummah, juz II, hal 18 dan 38, I’lam Al-Waraa, karya Al-Thabrasi, hal 949, dan Al-Irsyad karya Al-Mufid, hal 241). 

INTINYA, Imam HUSEIN mengakui Syi’ahnya lah yang mengkhianati dan membunuhnya, dan beliau sangat yakin bahwa beliau akan syahid saat itu, lantaran itu beliau berwasiat dan bersumpah agar wafatnya beliau jangan diperingati dengan cara-cara bertentangan dengan Syari’at Islam. Dan akhirnya, beliau mendo’akan kehancuran bagi Syi’ah. 

9. Tipuan, Penyesalan, Atau Hukuman ? 

Lantas kita bertanya, jika ini hakikatnya, mengapa Syi’ah masih saja menyiksa diri dalam memperingati wafatnya Imam HUSEIN ? 

Jawaban: Hanya ada tiga kemungkinan : 

PERTAMA: Perbuatan tersebut adalah tipuan; mereka sadar bahwa nenek moyang Syi’ah mereka adalah pengkhianat dan pembunuh Husein, maka hal ini perlu ditutupi dengan ritual bersedih dan menyiksa diri. 

KEDUA: Mereka tau bahwa merekalah yang mengkhianati dan membunuh Husein, maka perbuatan ini adalah bentuk penyesalan tingkat tinggi atas dosa mereka terhadap Husein. 

KETIGA: Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum mereka karena pengkhianatan mereka kepada Ali, Hasan, dan Husein, dengan siksaaan yang mereka lakukan terhadap diri mereka sendiri. 

S A U D A R A K U ! 

BUKTIKAN CINTA KITA dengan mengikuti Rasulullah dalam sunnah beliau, yang sampai kepada kita melalui shahabat-shahabat beliau yang jujur dan terpercaya. 

Allah Ta’ala berfirman yang artinya : 

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Aali Imran:31) 

WAHAI SYI’AH INDONESIA, jika dalil-dalil dari Al-Qur’an, hadits, dan logika juga tidak kalian terima, lantas dengan apa lagi kalian beragama ? 

WAHAI SYI’AH INDONESIA, agama siapa yang sebenarnya kalian ikuti ?! 

------ 

Beberapa video Ritual Sesat Siksa Diri : 

- http://www.youtube.com/watch?v=gIeHjhC8w1U

- http://www.youtube.com/watch?v=dXCoQho16e8&feature=related

- http://www.youtube.com/watch?v=z5jR5VkNl8o&feature=related

- http://www.youtube.com/watch?v=d53fhLw2lJM

- http://www.youtube.com/watch?v=-a6EBYIEkTY&feature=related

- http://www.youtube.com/watch?v=id9FE37gAlA&feature=fvwrel

Perbandingan tatacara Ibadah empat Agama : Yahudi, Nashrani, Syi’ah, dan Islam : http://www.youtube.com/watch?v=BPdDPg0vesU&feature=related

Oleh: Dukung MUI Keluarkan Fatwa Syiah Sesat dan Haram diIndonesia 
Peringatan hari Asyura 1429 H. 

www.youtube.com

Mengenang syahidnya imam Husayn a.s. (hari Asyura) di Jakarta, Indonesia. Pertam... 

Bimo Mangkulangit: Mas deni hanya melihat kulit dari sebuah ritual,...lalu bagaimana posisi anda, anda di pihak Yazid bin Muawiyah bin Abu Supyan atau berpihak pada Husain bin ’Ali bin Abi Thalib...kalau berpihak pada Husain ceritakanlah sejarah yang sebenarnya pada umat islam.. 

Hilmansyah Sari: Allohumma shalli ‘ala Muhammad wa ali Muhammad.. 

Deni Chandra: 4 teman yang sama: @bimo:Dibaca dan pahami lagi isinya bos, sebelum komen disitu sudah cukup jelas. 

Kang Moeni: Friends with Ali Alaydrus and 14 lainnya: Labayk labayk labayka ya husain. 

Muhammad Lutfi: Mohon Pencerahannya Ustad Sinar Agama dan teman-teman yang lain tapi dengan Hujjah yang jelas/Kuat apakah yang di sampaikan oleh saudara Deni Chandra itu benar atau tidak ?? Makasih wassalam... 

Sinar Agama: Muhammad: Yang mananya yang antum tanya. Kalau mau tanyakan, maka satu- satu. Saya sudah sering katakan bahwa kalau terlalu banyak dan sekaligus, maka mungkin tidak bisa menjawabnya langsung, karena banyak pertanyaan. 

- Untuk mukaddimah dia yang membagi-bagi golongan itu dan menetapkan yang lurusnya, yah....itu kan dakwaan belaka tanpa argumentasi. Jadi, tidak perlu diperhatikan. 

1- Untuk no 1 itu, jelas dia tidak memahami hadits. Tentu saja anggap kita menshahihkan Bukhari dan Muslim. Karena di Syi’ah, kita hanya akan memakai hadits Bukhari-Muslim manakala tidak bertentangan dengan hadits-hadits dari jalur Ahlulbait as. 

Nah, anggap kita menshahihkan hadits yang dia bawa itu, bahwa bukan golongan Nabi saww yang memukul muka, merobek baju dan menjerit dengan jeritan jahiliyyah, maka hal ini jelas maknanya dan dia/deni yang tidak mengerti makna yang sebenarnya. 

Makna hadits tersebut jelas sekali bahwa ketiga amalan itu adalah dalam satu rangkaian. Yaitu amalan orang berdua. Jadi, Nabi saww melarang melakukan rangkaian tersebut, bukan salah satu atau salah dua diantaranya. Persis kalau Nabi saww misalnya melarang orang shalat di kuburan. Yang dimaksud Nabi saww adalah seperti yang dilakukan Jahiliyyah yang menghadap ke kuburan. Jadi, rukuk dan sujudnya, tidak dilarang. Yang dilarang adalah rukuk- sujud yang menghadap ke kuburan seperti yang dilakukan orang-orang kafir jahiliyyah. Jadi, kalau ruku-sujud itu tidak menghadap ke kuburan, jelas tidak masalah. Karena itu, para shahabat banyak yang shalat di kuburan Nabi saww, Hamzah ra dan syuhada yang lain. Yang di kuburan Nabi saww ini, sampai sekarang wahabipun tidak bisa membendungnya. 

Hadits yang dia nukil itu (kalau shahih) maka satu paket seperti shalat yang terdiri dari rukuk- sujud dan lain-lainnya. Artinya tidak boleh melakukan duka dengan pukulan muka, merobek baju dan meratap seperti jahiliyyah, bukan salah satu atau salah dua dari ketiganya itu. Jadi, kalau ada orang yang hanya memukul muka, seperti yang dilakukan para shahabat di jaman Nabi saww dan yang dilakukan ‘Aisyah ketika Nabi saww wafat, maka jelas tidak ada masalah. 

Sedang jeritan jahiliyyah itu adalah jeritan tidak terima terhadap ketentuan Tuhan tentang kematian. Yakni menuntut Tuhan alias protes. Nah, ini yang dilarang Nabi saww. 

2- Untuk yang ke dua, jelas roboh dengan sendirinya. Karena yang dimaksudkan menyerupai orang kafir itu adalah kalau satu paket. Emangnya kalau orang kafir ruku-sujud, berarti shalat kita yang ada rukuk-sujudnya menyerupai mereka? Kalau hindu, budha, yahudi dan masehi berdzikir pada Tuhan, berarti ibadah-ibadah kita menyerupai mereka karena ada dzikrinya dan, karena itu berarti kita segolongan dengan mereka? Kalau orang-orang jahiliyyah dulu melakukan haji, seperti thawaf dan shalat di Ka’bah, lalu kita melakukan hal yang sama, apakah berarti sama dan segolongan dengan mereka? Haihaaattt/jauhhh sekali, bukan?! 

Kalau Nabi saww bersabda: “Bukan dari golonganku orang yang rukuk dan sujud dan menghadap ke kuburan.”, maka maksudnya, bukan hanya rukuk dan/atau sujudnya, tapi satu rangkaian, yakni shalat. 

Memang, kadang pengedan-an itu bisa saling mandiri, seperti “Diharamkan bagi kalian darah dan babi dan judi.” Di sini masing-masingnya mandiri karena memang bukan satu paket. Tapi kalau memukul muka, merobek baju dan meratap dengan ratapan jahiliyyah seperti yang ada di hadits itu, maka jelas ini adalah satu paket seperti shalat, yaitu paket duka kematian. Karena itu, kalau dilakukan salah satunya atau salah duanya, maka belum tentu haram. 

Kalau hadits ini ditambah dengan hadits yang membolehkan memukul dada dan muka, terlebih para shahabat melakukannya di jaman Nabi saww dan ketika Nabi saww wafat, maka jelas bahwa melakukan sebagian dari paket duka tersebut, tidak haram. 

Orang-orang wahabi ini tidak memahami ayat-ayat dan hadits, karena tidak memakai cara yang diajarkan dalam berbagai metologi yang ada seperti di ushulfikih. Mereka paling suka memakai cara mudah, supaya juga dapat membodohi umat yang tidak belajar agama. Bayangin, dengan tidak adanya taqlid, semua umatnya sudah jadi mujtahid. Ibarat kedokteran, semua orang wahabi, tidak perlu belajar kedokteran bertahun-tahun, langsung menjadi dokter semua. Padahal belajar agama jauh lebih rumit dari kesehatan/kedokteran yang hanya bisa ditempuh dalam sepuluh atau lima belas tahun. 

3- Yang no 4 tidak perlu dijawab, karena ia hanya dakwaan kosong setelah tidak benarnya dalilnya yang ada di mukaddimah, poin 1 dan poin 2. 

4- Untuk poin 4 itu, sama nasibnya dengan no 3, yaitu hanya dakwaan kosong. 

5- Untuk poin 5 itu jelas logika yang dipakai oleh orang yang buta terhadap sejarah kesyahidan keduanya dan apa-apa yang dilakukan orang-orang Syi’ah. Karena keduanya diperingati, tapi karena penganiayaan yang menimpa imam Husain as itu melewati batas, maka tidak heran kalau Nabi saww dan imam Ali as sendiri telah memperingatinya jauh-jauh sebelum peristiwa itu terjadi. Lihat tulisan sebelum ini tentang peringatan Nabi saww terhadap kesyahidan imam Husain as. 

Dulu waktu saya di Sunni-syafi’i (bukan wahabi yang jahil) mendengar dari para sesepuh syafi’i bahwa main bola itu haram karena berasal dari permainan orang kafir yang memainkan kepala sayyiduna Husain as sebagai bola. 

Baru setelah besar dan berhubungan dengan orang Syi’ah dan bisa baca kitab sendiri baru tahu bahwa yang memainkan itu adalah umat Nabi saww sendiri. 

Maksud saya, ketika kesyahidan imam Husain as sampai seperti itu, dan kepalanya serta kepala 23 cucu-cucu Nabi saww lainnya dipotongin dan dimain-mainkan lalu diarak dari Iraq sampai Suriah, maka jelas peringatannya akan menjadi lain. 

6- Untuk no 6 itu jelas lebih konyol lagi. Justru yang tidak memperingati itu adalah Sunni dan apalagi, wahabi. Karena wahabi menbid’ahkan semua peringatan-peringatan seperti itu, dan bahkan bisa dimasukkan ke dalam kemusyrikan. Kalau Sunni tidak memperingati wafatnya Nabi saww, karena mereka takut membongkar semua kejadian pahit yang terjadi menjelang dan ketika Nabi saww wafat. 

Bayangin, ketika Nabi saww mau wafat, meminta kertas dan pena untuk menuliskan washiatnya supaya umat tidak sesat setelahnya, tapi Umar dan kelompoknya dari sebagian shahabat lainnya yang mendukungnnya, menolak memberikannya dan mengatakan : 

“Siapa dia itu? Dia benar-benar telah ngelantur/ngigau.” (lihat Shahih Bukhari, hadits ke: 2825, 3053, 3168 dan 4431; Shahih Muslim hadits ke: 3089, 3090, 4319 dan 4321). 

Lihatlah betapa Nabi saww menderita menghadapi shahabat beliau saww. 

Masih kurang? Ya Rasulullaaaahhhh betapa tersakitinya dirimu? Begitu beliau saww wafat, para shahabat bukan malah berduka dan mengurusi pemandian dan penguburannya, tapi malah meeting di Saqifah, saling tengkar dan pukul untuk berebut kursi kepemimpinan. Bayangin, di sejarah Sunni, Nabi saww baru dikubur setelah 2 malam dan tiga hari setelah wafat beliau saww. Oh....betapa tidak dihormatinya dirimu ya Rasulullaahhh! 

Ketahuilah, kalau di Syi’ah, semua kesyahidan para makshumin as, baik Nabi saww atau imam as, semuanya diperingati. Tapi peringatan kesyahidan imam Husain as itu memang lain karena kelainan kemazhlumannya, bukan karena melebihkannya dari makshumin yang lain terlebih dari Nabi saww sendiri. Jangankan wafatnya Nabi saww, syahidnya hdh Faathimah as saja diperingati dengan seksama dan pukulan-pukulan dada-kepala. Semua diperingati dengan maktal (pembacaan kesyahidan) dan maktam (pemukulan dada-kepala). 

Karena itu, aku curiga pada deni ini bahwa ia adalah wahabi. Karena ia tidak merasa bersalah tidak memperingati wafatnya Nabi saww. Karena di Sunni hanya maulud yang ada, tapi bukan Haul Nabi saww (peringatan kewafatan). 

7- Untuk no: 8 itu, maka jelas pelanturan yang nyata. Karena penyiksaan kalau melukai badan itu jelas diharamkan oleh para ulama Syi’ah. Pelanggaran sebagian kecil orang Syi’ah yang melukai badan itu, jelas tidak bisa dihubungkan kepada Syi’ah. Kita kan tidak seperti Kristen yang biasanya memburukkan Islam di Indonesia ini dengan perkataannya bahwa semua atau mayoritas pelacur dan narapidana di Indonesia adalah Islam, kalau begitu Islam itu jelek. 

Kalau hanya memukul dada dan kepala, maka hal itu juga dilakukan ulama, terkhusus dada karena tidak perlu buka serban. 

8- Untuk no. 8, jelas dia membaca tulisan itu dengan kebodohannya sendiri. Artinya, tidak mengerti tulisan orang, terlebih seperti allaamah Amini ra. 

Yang berbaiat pada imam Husain as dan bahkan kepada para imam makshum as, seperti imam Ali as, bukan hanya orang Syi’ah. Karena yang menerima mereka para makshumin as itu, bukan hanya Syi’ah, tapi juga shahabat-shahabat lainnya dan golongan-golongan lainnya. 

Yang berbaiat pada imam Ali as ketika dibaiat untuk jadi khalifah setelah Utsman, adalah orang-orang yang membaiat Abu Bakar, Umar dan Utsman sebelumnya. Hanya sedikit mereka yang tidak berbaiat pada yang lainnya dan hanya pada makshumin. Inilah golongan yang dikatakan Syi’ah. Yakni yang meyakini bahwa para imam itu adalah makshum as dan wajib ditaati sesuai dengan hukum Allah dan Nabi saww, sebagaimana saya sudah sering menulis tentang ini.

Nah, yang mengundang imam Husain as ke Kufah dan membaiatnya, bukan semuanya orang Syi’ah dan bahkan Syi’ah adalah minoritas mereka. Para pengundang dan para pembaiat yang lewat surat (yang kemudian mengkhianati dalam aplikasi) adalah orang-orang yang tadinya juga taat pada Abu Bakar, Umar, Utsman dan bahkan Mu’awiyyah. Jadi, tidak heran manakala mereka berbalik karena dijanjikan uang atau diancam kematian oleh Yazid. 

Karena itu, ketika Yazid mendengar orang-orang Kufah mengundang imam Husain as untuk menjadikan mereka pemimpin seperti khalifah-khalifah sebelumnya, maka ia mengirim Ibnu Ziyaad sebagai gubernur Kufah dan mengundang suku-suku penting di Kufah untuk membantunya melawan imam Husain as dimana disertai janji uang dan ancaman mati. Karena itulah, maka para pengundang itu berbalik dengan berbagai alasannya dan membantu memerangi imam Husain as. 

Hanya orang bodoh yang tidak tahu sejarah ini. Karena sejarah ini ditulis di semua kitab sejarah sekalipun Sunni. Akan menambah kebodohan seseorang manakala mengatakan bahwa orang Syi’ah menfitnah Yazid dengan membunuh imam Husain as. 

Karena semua sejarah Sunni itupun menuliskan bahwa kepala imam Husain as itupun dibawa ke Yazid di istananya di Suriah dan mulut suci beliau dipermainkan dengan tongkatnya di sana. 

Pidato-pidato hadh Zainab as dan doa-doa imam Husain as serta tuntutan beliau as kepada orang-orang Kufah yang mengundang itu, bukan kepada Syi’ah. Karena Syi’ah itu, meyakini kemakshuman imamnya, bagaimana mungkin melanggarinya atau, bahkan memeranginya??? Jadi, yang dimaksud oleh beliau berdua as itu, adalah orang-orang yang mengundang yang sudah tentu bukan syi’hnya. Seperti imam Ali as ketika bukan hanya dilanggar oleh umat dan pasukannya yang bernama Khawarij (di medan perang Shiffin), tapi malah dibunuhnya. 

9- Untuk no.9 ini maka jelas tidak perlu dijawab karena kejelasan kesalahannya. Hal itu, karena kesalahan yang ada pada semua dalil-dalil sebelumnya. Karena yang ke 9 ini, merupakan kesimpulan dari ke delapan poin sebelumnya. Dan karena semua dari ke delapan poin itu sudah tidak bermakna lagi, baik karena dalilnya seperti sarang lebah atau dalilnya hanya berupa dakwaan dan penerapan yang ngawur, maka poin ke 9 inipun bernasib sama dengan poin-poin itu. 

Wassalam. 

(tumben internetku lancar hingga bisa menjawab masalah yang panjang yang biasanya tidak bisa sampai akhir, alhamdulillah).

Nanang Agus Satriawan: Hati-hati ustadz. Tidak ada 1 dalil apapun yang membolehkan seseorang melukai dirinya sendiri.. 

Yang ustadz paparkan itu adalah bentuk reaksi sepontan, bukan menjadi alasan untuk dibenarkan, apa lagi sampai harus melukai diri sendiri karena peristiwa yang udah Ribuan tahun, itu sudah menunjukkan ketidakikhlasan atas ketentuan Tuhan..

Sinar Agama: Nanang: Sudah berapa kitab antum baca hingga mengatakan seperti itu? Lagi pula saya tidak mendukung pelukaan. Tapi kalau tidak berbahaya dan sedikit, maka saya tidak pernah melihat dalil haramnya. Coba antum sebutkan dimana dalilnya?

Zaranggi Kafir: Nanang Agus ente banyak-banyak belajarlah tentang takdir hehehehe 

Muhammad Lutfi: Terimakasih atas penjelasan pak Ustadz Sinar Agama, mohon maaf apabila saya sudah merepotkan. 

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Nanang Agus Satriawan: Maaf ya ustadz@ saya bukan orang yang menjadikan kitab sebagai suatu pegangan atas sebuah kebenaran, karena sebuah kitab tidak lebih dari pandangan/ akal atau uraian/ucapan yang dibukukan. Sebuah petunjuk (Al-Qur'an) tidak akan bisa menjadi petunjuk jika tanpa penafsiran dari ahli tafsir. Namun harus difahami segala bentuk penafsiran itu adalah pekerja’an akal, sementara petunjuk dari Tuhan (Allaah) tidak membutuhkan akal untuk mengetahui kebenaran petunjuk itu... Silahkan cermati komentar ini ustadz. Salaam..... 

Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad.

Sinar Agama: Nanang: Jadi kamu ini ngomong pakai dengkul dunk?! Yah....kalau kamu ngomong ini pakai dengkul, maka yang wajib mendengarnya adalah dengkul juga, bukan orang-orang berakal. 

Tapi kalau kamu memakai akal dalam mengatakannya, maka kamu sudah menggunakan akal dunk? 

Lah...emangnya Tuhan menurunkan ayat-ayatNya -afwan- untuk dengkul atau untuk akal supaya dipahami dan diamalkan? 

Kalau kamu tidak pakai akal dan juga melarang akal, lalu kamu menyuruh saya mencermatinya perkataanmu itu, maka saya mau mencermatinya pakai apa, pakai akal atau apa? He he.... ada-ada saja. Tapi kalau maksud kamu pakai ayat, lah...wong yang disuruh cermati itu perkataanmu kok dan bukan ayat. Bukankah dari awal saya sudah katakan mana ayat dan hadits pelarangannya? 

Apa yang kamu pahami dari ayat-ayat ini: 

- QS: 2: 44: 

أَتَأُْمُرو َن النَّا َس بِالْبِِّر َوتـَْن َسْو َن أَنـُْف َس ُك ْم َوأَنـْتُ ْم تـَتـْلُو َن الْ ِكتَا َب أَفََال تـَْعِقلُو َن 

“Apakah kalian menyuruh orang berbuat kebaikan tapi lupa pada diri kamu sendiri sementara kalian 

membaca kitab (Qur'an), tidakkah kalian menggunakan akal kalian???” 

- QS: 2: 73: 
َويُِري ُك ْم آيَاتِِه لََعلَّ ُك ْم تـَْعِقلُو َن 

“Dan Ia menunjukkan kepada kalian ayat-ayatNya/tanda-tandaNya agar kalian menggunakan akal kalian (memahaminya).” 

- QS: 2: 241: 
َك َذلِ َك يـُبـَيِّ ُن اللَّهُ لَ ُك ْم آيَاتِِه لََعلَّ ُك ْم تـَْعِقلُو َن 

“Begitulah Allah menjelaskan untuk kalian ayat-ayatNya, agar kalian menggunakan akal kalian (memahaminya).” 

- QS: 3: 118: 
قَ ْد بـَيـَّنَّا لَ ُك ُم اْآليَا ِت إِ ْن ُكْنتُ ْم تـَْعِقلُو َن 

“Kami telah menerangkan untuk kalian ayat-ayat (Qur'an), kalau kalian benar-benar menggunakan akal kalian.” 

...... dan seterusnya yang seambrek di Qur'an tentang penggunaan akal dan bahwa Tuhan menurunkan ayat-ayatNya itu untuk dipahami dengan akal dan bukan dengan dengkul. 

Lagi pula, kalau kamu mengatakan bahwa tidak perduli kitab karena itu penjelasan akal, lalu apakah kamu perduli dengan perkataanmu? Kalau kitab-kitab ulama yang belajar ilmu puluhan tahun saja bukan ukuran kebenaran, terus.....apakah kamu yang tidak belajar agama itu bisa jadi ukuran?! 

Memang, selama tidak makshum harus dilihat dalilnya. Tapi kamu tidak menggunakan dalil dan langsung menolak dengan alasan bahwa kitab-kitab itu penjelasan orang. Lah .. terus apa kamu ini malaikat yang bisa menolkan penjelasan orang tanpa alasan, sementara orang lain harus menerima kata-katamu tanpa dalil? 

Orang itu boleh tidak makshum, tapi tetap beda orang belajar dengan yang tidak belajar. Emangnya kalau keluargamu sakit dan harus dioprasi, terus kamu yang mengoperasinya?! Kan lucu?! 

Jadi, orang lain menjelaskan Qur'an dengan akal, tapi kamu hakikat Qur'an ya? Jangan-jangan kamu ini Tuhan itu sendiri yang mengerti Qur'an dengan DzatNya, bukan dengan akalmu? Atau kamu ini malaikat Jibril as yang turun ke Nabi saww hingga kamu tidak memahami Qur'an dengan akalmu (yang tidak berdalil) tapi memahami dengan pemberian Tuhan seperti yang diberikan kepada malaikat Jibril as?! 

Erba Syam: Salam.....hehe’ raksye’. 

Midy Noval: Akhi fillah deni terima kasih atas keterangannya. Wahai syiaah bukalah mata hati sudah cukup jelas dalil yang di sampaikan akhi deni bertobatlah wahai syiah kembalilah ke jalan yang benar. Agar kalian semua wahai syiah selamat dari kobaran api neraka, tinggalkanlah mencaci para shahabat nabi. Stop melaknat para shahabat nabi. Biar selamat dunia akhirat. 

Midy Noval: Allohummah sholli ala sayyidina Mohammad wa ala alihi wa shobihi wa sallim. 

Ibnu Prigrisa: Akal itu pasti kerjaan otak..lalu kalau bukan dengan akal..dengan apa lagi kita berpikir... 

Midy Noval: Sinar agama tolong kamu berhenti dari menyesatkan ummat. 

Ibnu Prigrisa: Merasa sesat itu salah satu indikasinya adalah.. bingung dengan segala hasil pemikiran sendiri..atau “takut”akan menjadi ragu-ragu..dengan pemikiran sendiri.(ambigu)..umat akan mudah sesat..akan mendapatkan keraguan tentang keyakinan sendiri..yakin-yakin tidak... nah di saat itulah intervensi syaithan berlaku... 

Ibnu Prigrisa: Sesat..salah arah..atau kehilangan arah..kompasnya kurang paten.. 

Ikhwan Abduh: 17 teman yang sama: cape-dechhh @ @” 

Andy Van Halen: Belajar ilmu agama, zaman sekarang banyak orang pintar, belajar banyak kitab kitab, tapi ilmunya tak berguna, karena ilmunya lebih banyak di gunakan untuk berdebat tanpa manfaat, mensesatkan, mengkafirkan, menyalahkan, sesama muslim, 

Aba Zahrah: Friends with Maya Zahra and 128 lainnya: Midy ente komen pake dengkul yach... hehehe.. 

Paidi Bergitar: Sinar agama,. berjuanglah demi Allah dan rasul sawa.,dan itrahnya aku mendukung- mu. Jangan hiraukan mereka-mereka yang menggonggong. Bihaqqi Muhammad wa aali Muhammad. 

Faqir Al: Sikap dan gerak memukul dada adalah sikap spontanitas kesedihan, tidak mungkin ketika seseorang sedih dan menjerit dia bersikap diam, berdiri kaku dan tegap, mungkin sikap sikap tersebut adalah sikap dan gerak yang bukan kesedihan, setiap rasa yang dirasakan oleh seseorang pasti menimbulkan sikap dan gerak, yah..secara alamilah dengan spontanitas. Kita akan bersikap menangkis dengan tangan kita apabila ada yang mau memukul kita, kita akan berlari apabila ada seekor anjing yang menggonggong kita, dan seterusnya, sikap memukul dada justru itulah sikap yang arif, mau bagaimana lagi sikap kesedihan kita? 

Midy Noval: Sinar agama: Coba liat sejarah ketika putra nabi Mohammad meninggal dunia yang bernama sayyidina Ibrohim, Salah satu shahabat nabi melihat nabi menangis lalu shahabat menanyai engkau menangis wahai Rosululloh. Lalu nabi menjawab, innal ainah tadma’ wa innal qolbah layahzan, wa inna la naquluh illa ma yurdina robbana, wa inna bi firooqikah ya Ibrohiim lamahzunun. Artinya sesunggunya mata meneteskan air mata dan hati lagi bersedih dan saya tidak mengucapkan apa apa, Kecuali apa yang di ridhoi Allah, dan sesungguhnya berpisah denganmu wahai Ibrohim merupakan kesedihan, inti dari hadist tersebut, jika kita mendapatkan musibah tidak boleh menyiksa diri tidak boleh menyakiti diri tidak boleh memukul dada apa lagi sampai berdarah, tidak boleh protes terhadap ketentuan Allah, kita di bolehkan hanya menangis tapi jangan sampai teriak teriak. Orang muslim sejati jika mendapatkan musibah selalu berucap innalillahi wa innailaihi rojiun. Tolong Sinar agama cukup engkau yang sesat tolong jangan sesatkan ummat. Jika engkau terus menyesatkan ummat apa bedanya engkau dengan iblis. 

Deni Chandra · 4 teman yang sama: Syiah hanya menerima jalur periwayatan yang hanya ditransmisikan oleh Ahlul Bait. Di luar Ahlul Bait jalurnya ‘ditutup’. Tapi bisa diterima jika isi hadisnya mendukung keutamaan Ahlul Bait. Akibatnya, Syiah menolak mayoritas hadis yang beredar di kalangan kaum Muslimin (Ahlussunnah wal Jama’ah). 

Berbeda dengan Ahlussunnah, semua hadis diterima baik diriwayatkan oleh Ahlul Bait atau bukan asalkan memenuhi syarat-syarat keabsahan hadis dan perawinya. Ahlussunnah juga mencintai Ahlul Biat. Mereka mencintai Ahlul Bait berdasarkan tuntunan al-Qur’an dan al-Sunnah, bukan atas dasar fanatisme buta. Ahlul Bait merupakan orang-orang baik, tapi mereka manusia biasa, tidak ma’shum. 

Ibnu Prigrisa: Tapi mereka adalah orang-orang pilihan ...bukan berarti orang-orang yang ma’sum.. dan mereka bukan nabi..apalagi tuhan...dan kita semua tentu paham bagaimana bersikap terhadap orang-orang pilihan tersebut... 

Ibnu Prigrisa: Siapapun dia adalah syiah..syiah muawiyah. Syiah syafi’i. Syiah Hambali., Syiah Soeharto., Hitler..hanya saja kita tidak jujur..untuk mengakui bahwa kita adalah shia... 

Midy Noval: Tidak ada yang makshum di dunia ini, kecuali para utusan Allah. 

Iwan Roses: 2 teman yang sama: Setelah membaca dengan seksama komentar-komentar di atas dan penjelasan ustadz SA maka ana makin yakin dan makin cinta pada Ahlul Bayt dan tentunya Makin Bangga telah menjadi Syiah..Alhamdulillah Allahumma Shalli aala Muhammad wa aali Muhammad..Akhirnya Kutemukan Kebenaran Islam yang Hakiki. 

Midy Noval: Iwan. Bukan kebenaran yang hakiki yang kamu temukan, tapi kesesatan yang nyata kau dapatkan. 

Ahmad Fansuri Ahmad: 5 teman yang sama: @Midy Noval Wahai jahil murakkab banyak banyak lah belajar dan membaca tentang kebezaan ahlil bait dan shahabat dan pengkhianatan sebahagian shahabat terhadap darah daging rasulullah sendiri....... belajar lah dari kisah ini. Jangan kamu menganggap shahabat shahabat nabi masuk syurga semuanya...... 

Orlando Banderas: @Midy, kalau anda bilang hanya utusan Tuhan saja yang makshum, bagaimana anda yakin Islam anda murni dari Nabi 100%? Lha wong jarak dari Nabi 14 abad! Kalau tidak ada yang makshum setelah Nabi pasti sudah terdistorsi Islam (miss informasi). Anda kumpulkan saja 10 orang dan buat pesan berantai. Pasti info dari orang pertama beda dengan orang ke10. Padahal ini baru beberapa menit dan hanya 10 orang. Bagaimana kalau 14 abad dan yang meriwayatkan Islam jutaan orang???, pasti miss informasi sangat besar bahkan bisa 0% kebenarannya !!! Camkan baik-baik jangan terpaku hanya ego saja karena semua perilaku kita akan dipertanggungjawabkan sendiri-sendiri di hadapan Allah... 

Ibnu Prigrisa: Tiada yang ma’sum di dunia ini...lalu bagaimana anda bisa paham banyak hal... para nabi telah lama berlalu..dari siapa..? Imam mashab.shahabat..? Tabiin.tabi tabi’in..? Apa yang bisa kita dapat dari mereka..jika untuk menarik kesimpulan apa itu yang di maksud dengan debu saja mereka masih tidak punya kata sepakat..siapa yang anda percayaai.??..semua bisa salah.. para shahabat pun tidak makshum...itulah shia..melihat dan memahami sesuatu sesuai kadar dan tempatnya...bukan maen pukul rata... 

Orlando Banderas: Untuk itulah Allah mengirimkan Imam makshum seperti Nabi yakni 100% benar ilmu dan amal hanya beda maqom untuk memastikan Islam murni 100% seperti Nabi... 

Ibnu Prigrisa: jika semua berpegang kepada satu saja...pasti umat islam akan kuat...lha ini.... tata cara shalat nabi saja masih pada beda pendapat segala macam...apanya yang mau berhasil umat islam ini..imamnya terlalu banyak...mulai imam rumah tangga sampai imam mesjid dari dulu sampai sekarang milyaran sudah manusia yang di anggap sebagai imam ini itu...

Sinar Agama: Midy: Kalau kamu membaca tulisanku sambil makan tahu petis (makanan favorit Madura), yah....sudah pasti tidak akan memahaminya. Ambil air wudhu, meminta petunjuk Tuhan, lalu baru baca dengan perkata dengan baik tanpa menggelorakan hati. in'syaa Allah tulisanku cukup jelas kok. Kalau kamu sudah paham, lalu tidak setuju, maka silahkan tulis lagi. Tapi kalau kamu belum paham lalu tidak setuju, maka pasti debatanmu atau komentarku akan jauh dari yang kumau. Kamu boleh tidak setuju dengan yang kutulis, tapi pahami dulu baru tidak setuju. Jangan sebelum paham, terus komentar, nanti dikira orang kamu mikirnya pakai dengkul. Saya sih... hanya mengira kamu sambil makan tahu petis sambil ngerutis cabe rawit, uwwwaaaahhhh enak banget. Tapi kalau makannya sambil diskusi, maka akalnya bisa menjadi kurang tajam. 

Orlando Banderas: @Midy , untuk itulah karena kita tidak tahu siapa orang yang makshum 100% benar seperti Nabi, maka Allah lah yang memilihnya (bukan manusia !) melalui hadist Nabi. Hadist tentang jumlah dan nama-nama Imam makshum bertebaran justru di kitab-kitab Sunni. Tinggal keputusan anda apakah mau menerimanya atau tidak. Tinggalkan ego golongan dan berpikirlah lebih terbuka, itu anjuran saya. Itupun kalau anda mau menerimanya... 

Friends with Penganten Mercon and 109 lainnya: Afwan Ustadz terima kasih atas Ilmu nya... 

Sinar Agama: Deni: Kamu ini kalau tidak belajar agama, jangan asal nulis. Kalau kamu terima semua hadits Ahlulbait as, maka harus menerima yang kutulis itu. Karena semua itu dari Ahlulbait. Aku memilih yang ada di Ahlulbait yang diterima di Sunni, yakni yang juga ada haditsnya di Sunni. 

Jadi, kalau mau kuat-kuatan, maka yang kutulis itu dari Ahlulbait (muttafaku ‘alaihi) dan Sunni. Sedang yang menentangnya, hanya di Sunni (kalau ada). Jadi, jelas lebih kuat yang kutulis dari yang menentangnya. 

Kalau orang Sunni menerima kitab-kitab hadits Ahlubait as seperti al-Kaafi, yang merupakan salah satu dari 4 kitab rujukan terpenting Ahlubait as (selain ratusan kitab hadits lainnya), maka jelas tidak perlu repot-repot untuk mengikuti Ahlulbait as dan meninggalkan Sunni-nya. Raksyih....!!!!! 

Sinar Agama: Ibnu: Kalau tidak ada makshum setelah Nabi saww, lah....terus siapa yang bisa mempertahankan jalan lurus yang tidak salah sedikitpun (wa laa al-dhaalliin)?! Tuhan dengan jelas mengatakan (QS: 33: 33) bahwa Ahlubait as itu makshum, kok malah antum malah berkata lain?!

Ibnu Prigrisa: yoi @ndo..seperti itulah seharusnya..saya hanya coba ulang kaji apa dan bagaimana pola pikir..kawan-kawan kita dari tetangga sebelah.. 

Ibnu Prigrisa: Qiqiqiqiqi...ustadz..saya hanya coba ulang kaji apa dan bagaimana pola pikir kawan- kawan kita dari tetangga sebelah...itu hanya penyampaian secara luas..kalau detailnya mungkin ust lebih paham...kalu Muhsin Labib sih saya tidak kenal secara langsung..tapi kalau sohib kental dan teman diskusinya ustad Muhsin Labib...orangnya lagi di sebelah saya ni...salam ustadz...

Sinar Agama: Midy: Kamu ini seperti berteriak begini: 

“Ayyuhannaaasssss (hai manusia...), aku dan madzhabku adalah kebenaran hakiki, jalan lurus yang tidak salah sedikitpun walau aku, guruku, imamku, khalifahku...dan seterusnya...semuanya bukan orang yang makshum.” 

He he he...silahkan menikmati teriakanmu itu dan berkatalah: 

“Hai Sinar Agama......., kamu ini jangan menyesatkan umat walau, dengan dalil gamblang, mengikuti imam makshum dari Ahlulbait yang diumumkan kemakshumannya oleh Allah di QS: 33: 33 !!” 

Karena itu, silahkan saja kamu berteriak terus ya Midy, nama yang cukup unik untuk orang madura. 

Sinar Agama: Ibnu: Kalau begitu afwan kalau ana telah salah memahami tulisan antum, afwan. Tapi tulisan itu tidak ana hapus, karena baik untuk para tetangga itu.

Bebek Mewek: Friends with HenDy Laisa and 51 lainnya: Waow,,seru nih,,,maaf-maaf kate ye,,ane gak ikut-ikutan komentar nih,,,ane cuman ikut nampang doang,,berhubung poto profil ane kece,,jadi ane mau nampang,,maaf-maaf kate ye,,,KATE HAJI MUHIDDIN PENGURUS MASJID YANG UDEH DUA KALI HAJI,,,,KALO SI JONI ITU MALING !! 

Ibnu Prigrisa: @ust sinar...biasa tu ustadz...namanya juga tukar pendapat...jangan lupa bagi-bagi ilmunya..semua masih perlu belajar banyak.... 

Muhammad Darwin: Orang yang menjadi penunjuk ke jalan yang benar harus memiliki ilmu & pengetahuan yang menjaga dia dari kemungkinan tersesat, sebab kalau tidak dalam kondisi tersebut hakekatnya dia bukanlah penunjuk yang bisa membimbing orang lain menuju jalan yang benar dan sampai ke tujuan.

Sinar Agama: Deni: Afwan ada yang lupa. Orang Syi’ah itu tidak memakai hadits Sunni. Tapi kalau berdialog dengan Sunni, baru memakainya, tapi yang sesuai dengan Syi’ah dan, itupun sangat banyak. 

Orang Syi’ah tidak memakai hadits Sunni, karena sudah tidak perlu lagi, karena Syi’ah sudah memiliki lengkap hadits-haditsnya. Kitab paling favoritnya ada 4 kitab, dan yang lainnya ada puluhan lagi kitab hadits. Hadits, mutawatir, shahih, hasan, ..dan seterusnya...sampai ke hadtis lemah/dhaif dan palsu/maudhuu’ juga ada di Syi’ah. Satu kitab saja dari salah satu kitab yang 4 itu, jumlah haditsnya melebihi semua hadits yang ada di kutubusiittah. 

Dalam berdialog, memang bijaksananya itu memakai apa-apa yang ada di pilihan teman diskusinya. Kalau kita dialog dengan Masehi hanya membawa Qur'an dan Masehi hanya membawa Injil, maka jelas tidak akan ketemu.

Muhammad Gofur Zfzf: Saya tidak menentang keterangan anda,, sebab anda punya alasan yang cukup tepat. Tapi kalau rasul membolehkan memukuli dada(wanita)...Saya merasa hadis di atas lemah.. 

Sukaenah Azzahro: 176 teman yang sama: Lemahnya berdasarkan apa, pak Muhammad, tidak boleh hanya berdasarkan perasaan. 

Iwan Roses: 2 teman yang sama: @Midy: hehehe semakin ente mengatakan sesat maka semakin cinta pula ana sama Syiah, terus terang selama ini ana mencari kebenaran karena sebelumnya banyak pertanyaan-pertanyaan ana yang tidak bisa di jawab oleh ustad-ustad ana dulu, tiap ustad tersebut memberikan jawaban yang berbeda-berbeda pada masalah yang sama yang ana tanyakan, bahkan ana sempat mempelajari dan membaca buku dan kitab serta video agama lain dengan tujuan mendapatkan pencerahan, akan tetapi setelah beberapa bulan ini ana membaca artikel-artikel dan tanya-jawab dari ustad SA maka ana akhirnya menemukan jawaban yang ana cari karena benar-benar disertai dengan dalil-dalil yang kuat. Hampir 90% pertanyaan ana sudah terjawab dengan memuaskan oleh ustad SA dan saya merasa bersyukur dan berterima kasih atas itu karena semua jawabannya pun sudah ana cek berdasarkan dalil-dalil yang ada, saat ini ana cuma ingin fokus memperbaiki diri dan berusaha mendapatkan ridho Allah dan syafaat nabi dan ahlul baytnya dan berdoa agar dosa-dosa ana masa lalu bisa di maafkan...Allahumma Shalli Aala Muhammad wa Aali Muhammad 

Hendra Abi Atiqah: 7 teman yang sama: Afwan 

Untuk antum-antum yang bilang ustad sinar agama sesat mohon antum renungkan ayat ini QS 6 : 117. “Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan- Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk.” Emang antum Allah??? 

Selama Ana belajar Ahlul bayt (Syi’i) Ana tidak mendapati (Kami) Ikhwan Ahlul bayt menyatakan ihwan ahlu sunnah sesat... Selamat berjuang kepada ustad sinar agama semoga ustad bisa menyampaikan ilmu-ilmu al makshumin dengan kelembutan dan kesabaran... 

Syahran Nasution: Pengumuman : Barang siapa tidak suka menggunakan akalnya, lebih baik berubah jadi kambing. 

Muhammad Gofur Zfzf: Ya,, mengklaim sebuah hadis lemah,, jika tidak punya dalil yang lebih kuat, itu adalah kesalahan. Tapi menepuki dada, adalah akibat tidak menerima takdir Rabb. Dan itu yang membuat saya berani mengkalim hadis di atas lemah. #wallahualam 

Hendra Abi Atiqah: 7 teman yang sama: 10 november di peringati setiap tahun sebagai hari pahlawan, ga ada yang ribut, ga ada yang protes, ga ada pula yang demo-demo, tidak ada pula yang bilang bid’ah,.. Kenapa ketika orang-orang syiah memperingati 10 asyura sebagai syahidnya cucu rasulluloh, al murtadha, penghulu para nabi, khodijah al kubra putra Amirul mukminin, Ali bin abi Tholib,dan sayidah Zahra pemimpin wanita di syurga, Adik dari al Hasan penghulu pemuda di syurga.... malah di caci di maki, malah sampai-sampai di bom,... coba para ikhwan ahlusunnah fikirkan dimana salah kami???? Sedangkan ustad sinar agama telah memberikan dalil-dalil yang kuat, yang itu pun dari hadis-hadis yang telah di sepakati oleh para ikhwan ahlu sunnah,.. 



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ