Minggu, 29 Juli 2018

Definisi Perawan-Janda Menurut Agama dan Umum




Seri Tanya – Jawab
by Sinar Agama (Notes) on Saturday, August 14, 2010 at 5:41 am


1. Menurut bahasa

a. Dalam al-Qomuus, “al-Tsayyib (janda) adalah wanita yang dicerai suaminya atau yang sudah dikumpuli olehnya”. 

b. Dalam al-Shahhah “Tsayyib adalah yang sudah dikummpuli”. 

c. Dalam Mufrodaat, ”Tsayyibah dari Tsaubun yang bermakna al-rujuu’ (artinya kembali, yang berasal dari tsaaba, penerjemah) yaitu yang dicerai suaminya hingga ia kembali seperti perawan”. 

2. Menurut Umum/’Urfun/’uruf: Janda adalah yang hilang keperawanannya (karena dikumpuli atau sebab-sebab lain). 

3. Menurut riwayat: Janda, lebih banyak yang bermakna yang sudah dikawini, baik telah dikumpuli atau tidak (al-Wasaail 14:204 hadits ke 4, dll). Jadi tidak temasuk yang pernah zina (na’udzubillah), diperkosa atau hilangnya keperawanan karena sebab-sebab lain seperti loncat, masuknya benda, jatuh dst. Tapi ada juga riwayat yang mengatakan harus dikumpuli setelah dikawini (al-wasaail 14:215 hadits ke 8). 

4. Menurut Ulama’: Hampir mayoritas mengatakan yang sudah dikawini dan/atau dikumpuli setelah kawin (’Urwatu al-Wutsqo jilid 2, juz 3, hal 66; Anwaaru al-Faqoohatu hal 285 atau 270; Mustanadu al-Syi’ah 16:123; Minhaaju al-Shalihin lil-Khu-iy masalah ke 70; al-Fiqhu al-Islaami Ahkoome Khonewodeh, jilid 1,hal 1; kami merasa pernah baca fatwa yang sama dari Imam Khumainiy ra tapi belum ketemu lagi yang di bahasa arabnya seperti Tahriiru al-Wasiilah, sedang di kitab bahasa Parsinya, kalau perawannya hilang karena jimak syubhat/keliru atau zina –bukan karena hal-hal selain ikhtiarnya seperti diperkosa dan semacamnya- dan wanitanya dihitung sebagai rasyiidah –lebih hati-hatinya demikian sebab dalam pembahasan lanjutan dari masalah rasyiidah dimana rasyiidah artinya adalah dapat mengerti kebaikan dan keburukan bagi kehidupannya dan bukan yang mudah ditipu dan semacamnya- maka secara hati-hatinya dihitung perawan; dll). 

Kesimpulan: Dengan penjelasan di atas itu dapat diketahui bahwa menurut agama (secara global), janda adalah yang sudah kawin dan/atau sudah dikumpuli setelah kawin. Dan perawan adalah sebaliknya, sekalipun sudah tidak berselaput dara karena zina, diperkosa, jatuh dll. Jadi, kalau agama mengatakan bahwa perawan harus ijin walinya kalau mau kawin (permanen/temporer) adalah perawan menurut agama ini, bukan uruf/umum (tidak berselaput karena zina dll). Sudah tentu, kalau seorang lelaki mau kawin dan mensyarati calon istrinya dengan perawan, maka yang dimaksud di sini adalah yang berselaput dara, bukan yang agami. 

Pelengkap

Wajibnya ijin wali bagi wanita, biasanya ada beberapa bahasan seperti: 

• Pertama, anak wanita yang sudah dewasa, akan tetapi belum mencapai rasyiidah. 

• Ke dua, anak wanita yang sudah dewasa dan rasyiidah. Rasyiidah adalah yang tahu kemas- lahatan dirinya baik sekarang atau masa depan, bukan wanita yang mudah dikibuli rayuan lelaki hingga menyerahkan diri, terutama yang mudah ditipu oleh teman sekelasnya atau teman seperkulihaannya yang memang hanya untuk main-main serta tidak bermaksud memproses untuk segera menikah secara syar’ii. 

• Ke tiga, walaupun diantara ribuan ulama/marja’ itu, kadang ada satu dua yang mentidakwajibkan ijin wali, bukan bagi yang dewasa. Akan tetapi bagi yang sudah rasyiidah tersebut dan, sebagiannya bahkan menegaskan kemandirian dari orang tuanya. Jadi, wanitanya mesti dewasa, rasyiidah dan juga mandiri. 

• Ke empat, bagi yang perawannya hilang karena zina atau kumpul syubhat/keliru (seperti mengira kawinnya sudah syah akan tetapi ternyata tidak syah), bukan karena sebab lainnya, tidak terlalu ada pembahasannya (karena itu, seyogyanya digolongkan ke dalam perawan). Akan tetapi bagi yang taklid imam Khumaini ra, disunnahkan juga ijin wali. Akan tetapi, yang dapat dipahami dari fatwanya itu, adalah bagi anak wanita yang bukan hanya dewasa (baligh) saja, melainkan juga rasyiidah. Hal itu, karena pembahasan bagi yang tidak perawan karena zina dan kumpul keliru ini, setelah pembahasan rasyiidah. 

Wassalam. 

Habibi Muhammad: Jadi intinya perawan adalah wanita yang belum pernah nikah daim gitu ustad? 

D-Gooh Teguh

1- Wali-nya yang dimaksudkan di situ khan ayahnya atau kakek dari pihak ayahnya? Maka kalau keduanya sudah tidak ada syarat ijin wali yang dimaksudkan gugur? 

2- Kalau tidak diijinkan...? 

3- Kalau yakin 1000% tidak akan diijinkan? 

Sebenarnya syarat ijin wali dalam pernikahan itu muncul karena upaya compromize dengan situasi sosial ataukah memang dari sananya (hukum asalnya) demikian? Karena terdengar bertentangan dengan kaedah umum “perempuan jika telah dewasa dan berakal sehat berhak atas dirinya sendiri”.

Aziz Enrekang: Kemudian pertanyaannya apakah wajib bagi laki-laki untuk menanyakan kepada wanita yang hendak dinikahinya (mut’ah) apakah masih gadis atau sudah janda?

Muhammad Adib: Saya butuh yang ini...buka masalah sayyidah Khodijah Ustadz. 

Sinar Agama: Habibi, bukan hanya nikah daim, tapi nikah yang syah. Jadi kalau mut’ahnya diijinkan dengan jelas oleh walinya, jelas tentang lelakinya, tanggal mula dan berakhirnya serta maskawinnya, maka wanita yang kawin mut’ah ini kalau dikumpuli, setelah itu, dihukumi janda. Tapi kawinnya tanpa ijin, maka dihukumi seperti zina karena tidak syah. Karena itu, secara global, ia tetap dihukumi bukan janda dan harus ijin secara jelas kalau mau kawin lagi, baik daim atau mut’ah. 

Habibi Muhammad: Syukron ustad atas ..penjelasanya. 

Sinar Agama: Teguh, 

(1) Kalau sudah tidak ada dua-duanya dan begitu pula ke atas (ayahnya kakek), maka sudah tidak punya wali. Akan tetapi sangat dianjurkan untuk merembukkan dengan keluarganya kalau ingin menikah. 

(2) Kalau tidak diijinkan setelah minta ijin, maka kalau kawinnya daim, dan perempuannya sudah matang (tahu maslahatnya dan tidak gampang dikibuli lelaki hingga tidak pernah pacaran, tidak pernah dibonceng tidak pernah dicumbu), dan lelakinya sekufu’ (selefel baik agama atau sosial), mk ia setelah itu bisa melakukan kawinnya. 

(3) Kalau yakin 100 % tidak diijinkan maka tidak boleh kawin dengan lelakinya itu. Tapi kalau ingin kawin, maka harus minta ijin dan kalau tidak diijinkan baru ada kemungkinan bisa kawin lari dg syarat-syarat yang sudah dijelaskan di jawaban no 2 di atas itu. 

Ijin wali bagi bukan janda ini adalah hukum Tuhan (dari sononya), bukan karangan kita. Karena itu yang terdengar oleh antum tentang kemandiriannya itu adalah salah. Karena dalam Islam, hak bagi wanita yang bukan janda itu dibagi dua, separuh punya dirinya dan separuh lainnya milik walinya. Karena itulah maka tidak ada yang bisa saling paksa diantara keduanya dalam masalah kawin ini. 

D-Gooh Teguh: Kufu level sosial ini tidakkah diskriminatif...? 

Sinar Agama: Aziz, status janda itu kan nampak sekali dalam masyarakat kalau wanitanya wanita baik-baik. Tapi kalau wanitanya tidak baik dan/atau memang tidak dikenali oleh lelakinya, maka jelas harus ditanya, karena khususnya di Indonesia banyak yang tidak tahu fikih. 

Sinar Agama: Adib, saya kurang paham apa yang antum maksudkan. 

Muhammad Adib: Khodijah janda / tidak sebelum kawin dengan Nabi saww. 

Sinar Agama: Teguh: kufu’ itu ada dalam Islam dan Syi’ah, manakala walinya tidak menyetujuinya. Bukan diskriminatif, tapi justru kebebasan memilih. Kalau antum hilangkan hal itu, berarti antum yang diskriminatif dan dictator terhadap setiap orang tua/wali yang telah mengurusi dan membesarkan anaknya dari sejak bayi, he he he he. Tapi kalau walinya menyertujuinya, maka dengan yang tidak sekufu’pun dibolehkan dan kawinnya menjadi syah. 

D-Gooh Teguh: Kufu’ level sosial itu seperti apakah...? Indikator sekufu dan tidak sekufu secara sosial itu apakah? 

Sinar Agama: Adib, oh tentang hal itu, seingat saya memang ada dua pandangan. Ada yang mengatakan janda dan ada yang mengatakan bukan janda. Tapi saya mengikuti yang bukan janda, karena dalilnya jauh lebih kuat. 

Sinar Agama: Teguh: Indikatornya adalah ‘urf, yakni penilaian umum. Misalnya kalau anak pejabat maka dengan anak pejabat atau yang selevel seperti orang kaya dan semacamnya. Kalau anak syarifah maka dengan sayyid. Walhasil indikasinya adalah ukuran umum orang-orang berakal di masyarakat. 

D-Gooh Teguh: Berarti ‘urf itu bisa berbeda dari satu golongan dan golongan lainnya...meski dalam masyarakat yang sama...maaf, menurut hemat saya yang miskin-ilmu ini: ketentuan tersebut diskriminatif...Saya memang hanya membacai hasil-hasil ijtihaad dan bukan dari sumbernya. sampai saat ini saya menyimpulkannya: kufu’ seorang mukminat adalah mukmin lain dan atau muslim lain yang tidak menentang wilayah dan tidak menghalangi istrinya kemudian. sedangkan kufu secara sosial yang dikaitkan dengan atribut-atribut duniawi tersebut adalah diskriminatif. Tetapi dalam prakteknya memang tidak ada masalah karena kalau sudah coba minta ijin tidak diberikan khan bisa tetap jalan selama perempuan dan laki-lakinya dewasa dan berakal sehat sebagaimana ustad jelaskan di atas. 

Di kalangan sayyid di indonesia khususnya di Jawa maka syarifah ya dengan sayyid. Di kalangan saya di kampung bahkan beda agama pun dianggap wajar-wajar saja. Ada juga saya pernah mendengar dari seorang ustad: ‘urf adalah pandangan seolah tidak memiliki pengetahuan spesialistnya. Bukan pandangan dari kalangan ke kalangan. Ada juga seorang ustadz yang sayyid: no problem syarifah dan ahwal. Tetapi faktanya giliran sodaranya hehehehe... tahu sendiri. Diharamkan menginjak rumahnya. Nah lho... ^_^ 

Sinar Agama: Teguh, antum salah memahami penjelasanku. Kalau tidak diijinkan walinya, maka yang tidak sekufu’ itu tidak bisa jalan terus, yakni tidak bisa kawin lari. Justru kalau diijinkan maka yang tidak sekufu’ itu bisa jalan. Tapi kalau diijinkan wainya maka tidak bisa jalan terus. 

Pengembara Haus Ilmu: ustad...menurut saya walo janda/perawan, dalam menikah perlu ada musyawarah dengan keluarga, dan untuk mutah, janda harus dapat mengukur diri dan kebutuhannya, jika dirasa tidak memerlukan mutah lebih baik tidak lakukan, afwan karena di lingkungan kita janda bak gulali karena dia bisa menikahkan dirinya sendiri sehingga beberapa ada yang memanfaatkannya. 

D-Gooh Teguh: Nah, terlebih di situ. Maka hal ini sudah jelas diskriminatifnya terlebih jika sekufu didefinisikan sebagaimana tersebut di atas. Anak pejabat dengan anak pejabat. Syarifah dengan sayyid. Pangeran/Raden/Mas dengan Raden Ayu/Raden Ajeng/BRA dan sejenisnya. 

Sinar Agama: Orang yang bisa jalan terus setelah minta ijin tapi tidak diijinkan itu memiliki 3 syarat: 

(1) Sudah minta ijin tapi tidak diijinkan. 

(2) Wanitanya matang (tahu maslahatnya dunia akhirat dan tidak mudah ditipu rayuan). 

(3) Lelakinya SEKUFU’, baik agama atau sosial. 

Jadi, pembahasan dan permasalahan tentang sekufu’ itu justru kalau sedang tidak diijinkan. Dan itu adalah hak setiap orang. Emangnya antum mau wanita yang tidak berhidung? Lalu kalau antum tidak mau apakah antum diskriminatif???!!! 

D-Gooh Teguh: Perempuannya mau kok. Sama-sama mau dan sama-sama suka, hanya tidak sekufu sosial dan tidak mendapatkan ijin. Yang tidak mau khan pihak lainnya yang kebetulan “diberikan kuasa” perijinan. 

Sinar Agama: Kan hal tersebut merupakan hak antum. Diskriminatif itu adalah memilih-milih sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak antum. Misalnya antum jadi meneger perusahan. Disuruh memilih karyawan. Nah, disini walau memilihnya ada di tangan antum, tapi antum tidak bisa memainkan hak pribadi. Karena itu harus memakai kriteria perusahaan untuk memilih karyawan. Disini antum tidak bisa memilih yang cantik, yang kaya, yang keluarga .... dan seterusnya. Ini namanya diskriminatif. Tapi kalau antum sendiri mau pilih istri yang kaya, yang cantik, yang tinggi, yang langsing yang putih yang milyuner ...dan seterusnya maka di sini hak antum sepenuhnya dan tidak diskriminatif sama sekali. Nah, orang tua yang punya hak atas anaknya, juga begitu. Dia mau pilih suami seperti apa, itu adalah haknya. Seperti si anak perempuannya itu. Nah, kalau terjadi kesepakatan dari keduanya, maka jalan dan kalau tidak, maka agama telah memberikan jalannya. Seperti 3 syarat di atas itu. 

Oh malah ada lagi syarat ke 4 bagi Rahbar hf, yaitu TIDAK ADA LAGI LELAKI YANG MEMADAHI. Jadi kalau orang tuanya tidak setuju, maka dengan 4 syarat itu baru boleh menerjang walinya. Tapi kalau tidak, yah .. mengapa harus ada paksaan kepada wilayah orang lain? 

D-Gooh Teguh: Terima kasih atas informasinya. 

Sinar Agama: Teguh, Islam itu tidak memandang bulu, tapi taqwa. Akan tetapi ia juga menghormati hak orang lain. Antum sendiri sudah pasti tidak mau wanita cebol, hitam pekat, cacat ...dan seterusnya. Itu hak antum dan Islam menghormatinya. Antum ini sekarang seperti orang cebol yang berteriak diskriminatif karena tidak dipilih antum, nah ... lho ... 

D-Gooh Teguh: Di situlah pangkal keberatan saya. Perempuan itu sendiri menjadi tidak berhak atas dirinya sendiri. 1- Terdengar bertentangan dengan doktrin “perempuan yang dewasa dan berakal sehat berhak atas dirinya sendiri”. 2- Kufu sosial sebagaimana tersebut di atas terdengar bertentangan dengan penghapusan diskriminasi ras, asal usul, apakah kemudian tingkat kesehatan juga akan dimasukkan dalam indikator kufu, dsb. 3- Hak wali atas pilihan hidup anak perempuan mengapa hingga menghapuskan hak atas dirinya? Bukan begitu ustad. Di sini ada si cebol yang disukai si cantik, syarifah Bani Hasyim (biar makin kentara kejelasan soalnya) dan sebaliknya si cebol pun demikian pula. Maka mengapa ada hak wali yang melampaui hak perempuan atas dirinya sendiri? 

Pertentangan disinii adalah Hak Perempuan Merdeka vs. Hak Wali. Bukan masalah lain-lainnya. Jika ada pertentangan ‘urf (jika menggunakan definisi lazimnya suatu kalangan) maka yang dimenangkan juga ‘urf pihak yang manakah? 

Jadi dalam hal terjadi konflik antara hak wali dan hak anak maka mana yang harus didahulukan dan mengapa demikian...? Di situlah letak dilema yang saya maksudkan. 

Sinar Agama: Teguh: Antum ini diskriminatif sekali membaca penjelasanku. Orang aku mengajak antum kepada si cebol yang tidak dipilih antum, kok antum ajak si cebol pada yang disukai antum? Karena itu tidak ketemu. Coba antum jangan diskriminatif, tapi baca tulisanku dengan mauku, maka mungkin bisa ketemu. 

Nah, setelah ketemu mauku, maka setelah itu hak antum juga untuk memilihnya atau tidak. 

Semua yang antum tanyakan ini, sudah saya jawab di atas. Coba antum lihat lagi dan setelah itu kalau masih ada yang mau didiskusikan silahkan. Tapi untuk setakat ini, dari semua poin yang antum tanyakan ini sudah kujawab di atasnya. 

D-Gooh Teguh: Ya sudah... terima kasih atas penjelasannya... 

D-Gooh Teguh: Simpulan saya: 1- Ustad berpendapat bahwa agama ini memilih untuk mengedepankan hak wali daripada hak anak perempuan yang dewasa dan berakal sehat dalam hal terjadi konflik pilihan, 2- Kufu sosial seperti anak pejabat dengan anak pejabat, syarifah dengan sayyid, kaya dengan kaya, terpandang dengan terpandang menurut pandangan ustad sebagai bukan diskriminasi dan tidak bertentangan dengan doktrin Islam tidak pandang bulu, 3- Dalam hal terjadi pertentangan ‘urf antara dua kelompok belum dijawab yang mana yang didahulukan/ dimenangkan. *Jika simpulan saya atas pandangan ustad ada yang keliru mohon diluruskan. 

Jika simpulan saya di atas dibenarkan maka saya juga mohon maaf karena berbeda pandangan. 

Sinar Agama: Teguh, harus berapa kali dijelasin? Mengapa antum tidak teliti? 

(1). Wanita bukan janda itu dimiliki dua orang dalam pandangan agama. Dirinya dan walinya yang telah melahirkan dan membesarkannya. Karena itu, harus ada kesepakatan diantara keduanya dan tidak boleh ada saling paksa dalam memilih pasangan anak. 

(2). Kufu’ itu terjadi ketika ada beda pilihan antara anak dan walinya. Artinya, si anak tidak bisa menembus hak ayahnya kalau tidak sekufu’ (tentu dengan 3 syarat lainnya itu). Jadi, kalau walinya dari awal sudah setuju, maka dengan siapapun anaknya bisa kawin walau tidak sekufu’. 

Dan kufu’ ini, jelas menurut agama dan akal tidak diskriminatif, karena tidak ada hubungannya dengan sosial. Dia mutlak merupakan hak pilih bagi setiap orang yang memiliki hak untuk itu. Seperti kita yang tidak memilih wanita cebol. Nah, karena si anak dan si wali sama-sama memiliki hak pilih, maka mereka bisa memilih sesuai dengan yang disukainya dengan syarat tidak saling paksa. Jadi, kalau walinya maukan anaknya kawin dengan orang kaya yang cebol dan anaknya tidak mau, maka walinya juga tidak bisa memaksanya, persis seperti kalau anaknya memiliki pilihan yang tidak disukai walinya. Tapi justru kalau untuk anak ini, maka sekalipun tidak disukai walinya, asal sekufu’ dan diliengkapi 3 syarat lainnya, maka ia boleh kawin lari. 

(3). ‘Urf kalau perbedaan itu namanya bukan ‘urf. Karena itu kalaulah terjadi, maka diambil yang lebih ‘urf. Dan kalau mau lebih hati-hati maka diambil yang lebih berat. Ini tiori yang diberikan di fikih. 

D-Gooh Teguh: Maaf, berapa kali pula harus saya tanyakan: jika ada pertentangan pilihan antara anak perempuan dan walinya maka mana yang didahulukan. Dan ustad telah menjawab WALI. Jelas dari penjelasan ustad bahwa si anak tidak boleh berkawin dengan pilihannya jika tidak diijinkan walinya (dalam hal tidak sekufu menurut pengertian di atas). 

Dengan demikian “tidak boleh ada saling paksa” adalah tidak tepat karena ustad mengijinkan pemaksaan wali pada anaknya. “Memaksa untuk tidak boleh berkawin dengan pilihan anaknya yang dipandang tidak sekufu”. 

D-Gooh Teguh: Dengan demikian intinya ustad hendak mengatakan: “intinya adalah kesepakatan antara wali dan anaknya”. Kesepakatan antara wali dan anaknya dalam hal tidak sekufu. Padahal jelas, urusan itu adalah lebih kepada urusan pilihan hidup anaknya. Bagaimana kehidupannya akan dijalaninya. 

Sinar Agama: Teguh, intinya adalah bahwa ayah yang telah merawatnya itu memiliki separoh hak terhadap anak perempuannya. Dan ayah dalam Islam, tidak bisa berlepas diri dari anaknya walau sudah dewasa dan bahkan matang sekalipun karena ia disamping telah membesarkannya dari merah, ia lebih memiliki pengalaman hidup dan tahu trik-trik lelaki. Jadi, ia harus terus melindungi anaknya dari kesalahan termasuk salah pilih ini selama anaknya belum berstatus janda. Namun demikian, karena separuh lagi hak anaknya milik anaknya, maka orang tua tidak boleh memaksakan pilihannya kepada anaknya. Jadi, harus ada saling setuju. Tapi anak lebih luas terbuka. Karena walau tidak dapat persetujuan ayahnya, asal ke 4 syarat di atas itu dipenuhi, maka ia bisa meninggalkan kehakan ayahnya. 

D-Gooh Teguh: Yups... saya hanya masih mikir tentang kufu sosial dan jika tidak sekufu sosial saja. Tentang hal-hal lainnya beres... sudah jelas. Terima kasih. *meski tidak umum, trik perempuan 

juga ada lho... ^_^ 

Sinar Agama: he he he: Coba saja antum renungi masalah kufu’ itu dari sisi si cebol yang antum tolak cintanya itu dan sedang patah hati itu serta sedang membuat kidung-kidung patah hatinya itu yang diberi judul “diskriminatif cinta Teguh” he he he... Oh iya yang trik wanita itu yang kayak apa, ana lom paham .. 

D-Gooh Teguh: Catatan saya: 1- Tentunya bukan karena menghidupi dan soal trik karena jelas jika karena menghidupi maka bisa saja dihitung dan diganti si anak. Juga bukan karena trik karena kalau ayahnya, ibunya, kakek dari pihak ibu juga mengetahui urusan ini. Tetapi toh tidak diperhitungkan dalam hukumnya. 2- Kufu sosial sebagaimana ustad sebutkan bagi saya jelas bertentangan dengan doktrin Islam tidak memandang bulu. Maaf. 

Ada catatan: 1- Bahkan di anak tak pernah minta dilahirkan. Bahkan proses pembuatannya pun menyenangkan orangtuanya pula. 

Sinar Agama: Teguh, antum yang mengerti Islam, tolong dijelaskan dimana kufu itu telah bertentangan dengan Islam? Tolong tunjukkan! Karena antum mengatakan bertentangan dengan Islam. Kalau dengan antum itu mah... tidak masalah. Tapi kalau dengan Islam, tolong dimana dan di ayat mana serta hadits mana atau fatwa mana? 

Untuk no 1 dan 3 saya tidak paham maksudnya. 

D-Gooh Teguh: Pertama-tama: Peace Ustad... ini dalam rangka agar semakin mantab di hati saja. Daripada ada unek-unek to... ^_^ 

0- Tentang kufu sosial, sebagai contoh bukankah saudara sepupu kalau gak salah dinikahkan dengan bekas budak. Yang menurut ‘urf kala itu jelas bertentangan dengan ‘urf kala itu (‘urf jahiliyyah maksudnya). 

1- Ustad khan bilang hak ini karena ayah menghidupi dan tahu trik nakal laki-laki. Menurut hemat saya pada dasarnya bukan karena itu jika ada hak harus sepakat. Karena kalau karena menghidupi maka bisa dibuat catatan-catatan pengeluarannya khan. Maka jika si anak mengganti pengeluaran hidupnya di kala kecil (yang mana telah diwajibkan Tuhan atas ayahnya) maka hak itu bisa hilang dunk. Tetapi nyatanya tidak demikian. 

3- Tidak ada nomor tiga dalam komentar saya. Ad maksudnya additional (tambahan untuk nomor satu yang tertulis di komen sebelumnya). 

Tetapi permasalahan harus bersepakat ini kita tangguhkan dulu. Karena lebih penting urusan kufu sosial karena di sinilah basis daripada boleh mengabaikan hak wali atau tidaknya. DAN saya tekankan lagi: bukan saya mengerti Islam tetapi sedang mencari tahu tentang Islam maka muncullah pertanyaan-pertanyaan. Dan jika menggunakan bahasa menyangkal maka itu hanya bentuk lain agar mendapatkan jawaban. 

Sinar Agama: Teguh, antum boleh mengunek-ngunek tidak ada masalah kalau atas nama diri antum, tapi kalau atas nama Islam, maka harus pakai dalil Islam. Karena itu ana minta dalil antum ketika masalah kufu’ ini antum katakan sebagai bertentangan dengan Islam. 

D-Gooh Teguh: Saya tidak mengatakan bertentangan dengan Islam. Tetapi kufu sosial yang ustad ungkapkan bertentangan dengan pernyataan ustad sendiri tentang Islam “tidak pandang bulu”. 

Sinar Agama: (0). Saya tidak mengerti tentang bekas budak dan sepupu itu. Usahakan jangan pakai dalil yang tidak tegas seperti berkata “kalau nggak salah”, karena kalau dalilnya kalau nggak salah, maka kesimpulan argument antum juga harus “kalau nggak salah”. Dan debatan antum yang “kalau kalau nggak salah”, maka tidak wajib ana jawab. Karena bisa saja “kalau salah?” 

Lagi pula, siapa mau dikawinkan dengan siapa itu tidak ada urusan. Karena yang penting bahwa anak wanitanya, anak lelakinya dan wali wanitanya mengijinkannya. Dan bekas budak itu telah membuatnya sekufu dalam arti karena sudah sama-sama merdeka. 

D-Gooh Teguh: Khan ustadz yang bilang: 1- Islam tidak pandang bulu. 2- Harus kufu sosial padahal katanya “taqwa” yang membedakan. Sedangkan taqwa tidak disebut-sebut dalam hukum perkawinan. 

Khan fakta sejarah: bekas budak nabi yang kemudian menjadi anak angkat yang bekas budaknya yang diberikan oleh Siti Khadijah as. Saya hanya agak lupa-lupa masalah nama saja. Hanya lupa nama bukan berarti tidak pasti. Atau kisah sejarah itu hanya bualan saja? 

Sinar Agama

(1). Hak ayah itu karena ia telah melahirkannya ke dunia dan telah merawatnya dari kecil. Saya tidak mengatakan membiayainya. Dan antum tidak akan pernah bisa membayar kasih sayang orang tua yang telah merawat antum. Kasih sayang mereka yang merawat kita dan menjaga kita dengan nyawanya dikala perlu, tidak bisa dinilai dengan uang. Ada seorang shahabat yang melayani ibunya, dari sejak menuntunnya, menggendongnya, mencebokinya, memamahnya ketika sudah tidak bisa mengunyah lagi. Walhasil sejak dari setengah lumpuh sampai ke lumpuh total. Dirawat dengan sepenuh hati dan tanpa keberatan. Digendongnya kemana ia mau pergi. Setelah itu datang ke Nabi saww dan bertanya, apakah ia sudah membayar hutang jasa ibunya? Nabi saww menjawab, semua yang kamu kerjakan itu belum bisa membayar satu Oh..... saja ketika ia oh-kan waktu melahirkanmu. 

(2). Saya heran kepada antum yang sulit menerima kufu’ ini. Karena itu hak pilih orang. Islam mengajarkan tidak ada beda dari manusia kecuali dengan taqwa. Tapi Islam juga memberi hak pada siapa saja untuk memilih yang disukainya. Mengapa antum tidak bisa menerima orang tua yang tidak setuju dengan pinangan orang yang dia tidak suka, karena misalnya tidak sekufu, sementara antum menolak lamaran si cebol tadi? 

D-Gooh Teguh: Perempuan Bani Hasyim menikah dengan bekas budak di kala nabi sawa hidup. Setelah bercerai perempuan itu pun dinikahi nabi sawa. Bukankah contoh ini menunjukkan kufu sosial tidaklah prinsipil. Dan ibunya tidak diperhitungkan dalam hukum nikah. Padahal sama saja. 

Sinar Agama: Antum baca lagi dengan renungan, semoga bisa lebih memudahkan. 

D-Gooh Teguh: Lupakan urusan itu. Karena bukan hal krusial. Tetapi masalah kufu sosial-lah yang menjadi tanda tanya besar di benak saya. Jika kufu sosial maka si anak boleh melanggar hak walinya. Jika tidak kufu sosial maka tidak boleh melanggar hak walinya. (Dengan syarat-syarat itu). Mengapa ada pembedaan karena status sosial? 

Sinar Agama: misalnya nanti antum punya anak perempuan, karena antum kurang mendidiknya dengan baik, maka ia bergaul bebas (dalam batas tutup aurat saja). Lalu dia senang dengan orang cebol dan wahhabi. Lalu antum tidak mengijinkannya, apakah antum diskriminatif Islamic? 

D-Gooh Teguh: WAHABBI artinya tidak kufu agama. Dengan orang cebol tetapi mukmin maka terserah anak saya saja. 

Sinar Agama: Antum harus juga meresapi apa arti diskriminatif itu, dan kenapa ia jelek? Masak antum pakai istilah dikriminatif itu pada hak memilih orang yang hanya menyangkut dirinya dan keluarganya? Kalau antum berfikir seperti itu, maka antum tidak boleh marah ketika penjual bakso demo di depan rumah antum karena antum tidak suka bakso. Begitu pula penjual batik. Begitu pula penyanyi dangdut. Begitu pula orang-orang partai (karena antum anti partai). Antum menurut mereka dengan tiori antum ini adalah diskriminatif karena telah menolak partai dan semuanya itu, seperti bakso, batik, dangdut ...dan seterusnya itu. 

D-Gooh Teguh: Masalah yang masih menjadi tanya besar hanya KUFU SOSIAL. Jelas ada pembedaan menurut yang ustad katakan: kalau kufu agama dan sosial maka si anak boleh melanggar hak walinya. Meski kufu agama tetapi tidak kufu sosial si anak haraam melanggar hak walinya. Jelas ada pembedaan karena status sosial di sini. Nah, ini yang saya tanyakan mengapa bisa demikian. 

GatutKoco Indo: ustadz.., mau urun rembuk.., ana mau kasih contoh, misalnya ada seorang ahwal mau nikah dengan seorang syarifah dan walinya tidak setuju karena alasan calonnya bukan sayyid.., apakah mereka boleh kawin lari... ? 

D-Gooh Teguh: Pembedaan khan istilah lainnya diskriminasi. Nah, bagaimana bisa pembedaan/ diskriminasi hukum “melanggar hak wali” karena status sosial bisa dibenarkan? Itu saja inti dari pertanyaan saya. 

D-Gooh Teguh: Syaiful Bachri, ya itu yang benak saya keberatan. Mengapa bisa jika sayyid juga maka boleh kawin lari, dan jika ahwal tidak boleh. 

GatutKoco Indo: Ustadz.., bukankah di Syiah masalah pernikahan akhwal dengan Syarifah dibolehkan...? Ustadz bukankah syarat pernikahan yang terpenting adalah masalah ketaqwaan? Kalo kufu sosial didahulukan bukannya tidak ada bedanya dengan pengikut faham materialism? Karena masalah kufu sosial di Indonesia banyak muslimah yang dipaksa kawin dengan pilihan orang tuanya hanya sekedar calon juga sederajat dari status sosialnya tidak memandang dari sisi ketaqwaan... 

Sinar Agama: Syaiful (GatutKoco), kalau wanitanya syi’ah, maka ia tidak boleh kawin dengan yang bukan sayyid kalau tidak disetujui walinya. Tapi ayahnya juga tidak bisa paksa dia untuk kawin dengan pilihannya. Walhasil hak anak wanitanya itu separuh-separuh dimiliki mereka berdua secara sama. Tapi kalau calon anaknya ahwal, miskin, cacat sekalipun, asal walinya mengijinkannya, maka si anak tadi bisa kawin dengan pilihannya itu. 

Sinar Agama: Islam itu masih menghormati hak setiap orang sesuai dengan yang dikehendaki. Kalau ia mau yang kaya, juga silahkan. Kalau mau yang sayyid juga silahkan. Tapi kalau mendahulukan taqwa, maka bukan hanya silahkan, tapi sangat dianjurkan. Karena itulah, kalau tidak bisa yang secara akhlaki ini, maka setidaknya secara hukum fikih dalam arti menghormati hak-hak pilihan masing-masing orang yang berhubungan dengan diri dan keluarganya. 

Sinar Agama: Teguh, mungkin rahasianya, bahwa kalau sudah sekufu tapi orang tuanya masih menolaknya, maka hal tersebut sudah keluar dari keadilan dan akal. Karena itu tidak didukung agama. Misalnya sudah sama-sama Islam, syi’ah, kaya, sayyid... dan seterusnya, tapi masih menolaknya juga, maka si anak bisa kawin lari. Karena penolakannya itu tidak beralasan. Tapi ini sekedar rabaanku tentang hikmah hukum Tuhan tersebut. Tapi kalau memang tidak sekufu’ lalu walinya keberatan, maka jelas hal ini masuk akal. Seperti anak antum yang cinta pada cebol wahabi itu? 

Jadi, kalau antum tolak permintaan ijin anak antum yang mau kawin dengan cebol wahhabi yang miskin itu, maka antum layak dihormati karena penolakannya beralasan. Dan Islam menghormatinya. Tapi kalau tidak ada alasan karena memang sekufu’ (tentu dengan 3 syarat lainnya), maka penolakan antum tidak beralasan dan Islam tidak membelanya. 

GatutKoco Indo: Ustadz walaupun calon suaminya ahwal tapi dari sisi materi berkecukupan, taqwa, ganteng, berpengaruh, dan lain sebagainya..., hanya karena dia ahwal dan wali dari calon istrinya tidak menyetujui hanya dari sisi faktor ahwal-nya.., dia tidak boleh juga untuk kawin lari...? 

D-Gooh Teguh: Anak perempuan saya mau kawin dengan wahabi walau penguasa dunia, saya usir saja. Urusannya dia sendiri selanjutnya. Tetapi kalau mukmin miskin juelek pula, masih saya ikut urusi membantu yang bisa saya bantu. Tentang kufu sosial pejabat dengan pejabat, sayyid dengan syarifah dan sebagainya, baru boleh melanggar hak wali bagi saya tetap TIDAK MASUK AKAL. Karena hak atas diri lebih didahulukan daripada hak seorang atas orang lainnya. 

GatutKoco Indo: Gimana kalo kebalikannya, seorang sayyid yang mau menikahi ahwal tapi ditolak oleh walinya hanya karena dia tidak kaya...? 

D-Gooh Teguh: Itu sudah menyangkut pilihan hidup seseorang hatta anak saya sendiri. Pembedaan karena status sosial hanya bisa dibenarkan di rincian keadaban pensikapan dan bukan di urusan legal / hukum. Memang di situs-situs marja’ umumnya hanya mengatakan compatible as sharia’ views dan tidak dijelaskan lebih lanjut tentang bagaimana sharia views itu. Apakah termasuk kufu sosial sebagaimana ustad jelaskan. Tetapi di banyak buku-buku maka ada polemik tentang hal ini. 

TIDAK MASUK AKAL karena pembedaan dibolehkan karena perbedaan status sosial yang menurut agama katanya bukan hakikat. Pembedaan hukum karena perbedaan status sosial adalah tidak masuk akal.Dan bukan soal bakso atau partai atau dangdutan. Tetapi masalah “pembedaan hukum karena status sosial”. Ini saja yang menjadi tanda tanya besar. 

Ita Soetrisno: Dalemati : saya baca note & komen ini tapi belum sepenuhnya ngerti, dan jika saya, maka saya akan menikah dengan lelaki yang saya pilih/mau, minta ijin kakak kandung saya/wali. Dan jika kakak saya tidak mengijinkan misalnya hanya karena BEDA ETNIS, maka saya akan tetap menikah dengan lelaki pilihan saya, karena ini hidup saya, jadi saya yang menentukan pilihan saya 

] tolong bantu koreksi jika pikiran saya salah... terima kasih. 

Chen Chen Muthahari: Wah wah wah....saya suka komen om Teguh. Maaf ustadz Sinar Agama. Saya juga tidak setuju soal kufu sosial. Kalau soal kufu agama/iman sih saya pasti setuju. kufu wajah/fisik juga saya kurang setuju, kalau anak gadis saya ingin menikah dengan mukmin yang tidak ganteng pun tidak kaya tetapi saya lihat pekerja keras dan bertggungjawab karena berimannya itu, maka kalau perlu saya akan jewer suami saya supaya mau menerima hahaha (maaf agak nyeleneh komennya biar gak tegang-tegang amat). Yang penting kan yang mau menjalani hidup pernikahan. Mengapa agaknya agama menjadi begitu mempersulit yang penting kan kerukunan dan saling memahami antar anggota keluarga? 

D-Gooh Teguh: Pada dasarnya kuffu sosial adalah urusan relasional antar orang. Seseorang biasanya b(meski ada pengecualian) bergaul dengan level sederajatnya secara sosial adalah fakta sosiologis. Dan pertimbangan kufu sosial adalah boleh-boleh saja. Pilihan manasuka setiap person. Saya hanya pusing dengan “pembedaan hukum karena perbedaan status sosial”. 

Sinar Agama: Syaiful, dalam dua kondisi yang antum tanyakan itu, jawabannya sama, yaitu tidak boleh kawin lari. Tapi pada kondisi ke dua, kalau wali perempuannya tidak kaya, dan menolak sayyid yang tidak kaya itu, berarti calon sayyid ini sekufu’ dengan keluarga wanitanya, maka bisa kawin lari. Tentu kalau syarat-syarat lainnya terpenuhi. Tapi kalau wali wanitanya kaya, maka calon yang sayyid tadi tidak sekufu’ dan tidak boleh kawin lari, 

Sinar Agama: Teguh, akal antum yang tidak bisa terima itu, tidak menjadi ukuran akal lain. Tapi ini lebih bagus dari pada mengatakan tidak Islami seperti yang dikatakan antum sebelumnya. Tentang legal hukum itu, hukum apa? Kalau Islam maka antum harus menyertakan ayat-ayat dan hadits-hadits (kalau mujtahid) dan fatwa (kalau taklid). Sedang yang saya terangkan ini adalah hukum Islam. Jadi yang menyimpang dari itu yang tidak legal. Saya bisa nukilkan fatwa imam Khumaini ra dan Rahbar hf kalau diperlukan. Jadi, mengikuti akal dan legal para marja’ sudah tentu lebih selamat dari mengkuti akal dan ketidaklegalan antum. 

Status hukum itu bisa berbeda karena stastus sosial dan sangat masuk akal. Karena hukum yang kita bicarakan disini berdiri di atas pilihan sosial. Artinya, penolakan orang tua, selama masih memiliki dasar logis, seperti tidak sekufu’, maka diterima agama dan dihormati, karena wali punya separuh hak pada anaknya. Tapi kalau penolakannya itu tidak ada alasannya, maka tidak diterima agama. Dan semuanya sudah saya jelaskan di atas. 

Ini fatwa imam Khumaini ra di bab Kawin, pasal: wali kawin, masalah no: 2: 

نعم لا إشكال فى سقوط اعتبار إذنهما إن منعاها من التزويج بمن هو كفو لها شرعا و عرفا مع ميلها

artinya: ....... memang, tidak ada keraguan bagi jatuhnya/gugurnya keharusan/kewajiban ijin wali itu kalau walinya mencegahnya -anak perempuannya yang sudah matang/rasyiiad- untuk kawin dengan orang yang sekufu› dengannya dari sisi agama dan ‹urf (sosial), ketika anaknya sudah ingin kawin.. 

Kalau fatwa Rahbar hf: di kitab fatwanya «Muntakhabu al-Ahkaam, di hal 257, masalah ke: 938, berkata: 

"Kalau walinya menentang perkawinan anak perempuannya dengan orang yang sekufu› baik dalam pandangan agama atau ‹urf (umum sosial) DAN TDK ADA LAGI LELAKI LAIN YANG BISA DIRELAI WALINYA ITU, samentara anak wanitanya itu memerlukan kawinnya itu, maka jatuhlah kewalian ayahnya tersebut." 

Perhatikan tulisan huruf balok itu, karena ia syarat lain melebihi yang diberikan imam Khumaini ra. 

Chen Chen Muthahari: Terlepas dari persoalan agama -- Saya terus terang sangat bingung kalau ada urusan sekufu dengan tidak sekufu dalam hal kekayaan/kufu sosial -- masih bisa memahami kalau soal kufu fisik -- maksud saya kalau ada orangtua kayaraya menolak anaknya dipinang anak yang tidak kayaraya tapi pekerja keras dan saya yakin orang yang mukmin itu pasti orang yang rajin bekerja artinya sepanjang bisa memenuhi nafkah dan anak perempuannya sudah sadar benar kondisi yang akan dia lalui dari hidup serba berlebih menjadi serba secukupnya -- mengapa justru orangtua/wali mempunyai hak yang lebih besar dalam menentukan keputusan anaknya yang akan menikah? Inilah yang sedari tadi saudara D-Gooh Teguh persoalkan yang menurut akal saya juga mungkin menurut hati saya kok rasanya tidak sreg dengan ajaran Islam yang mengdepankan keimanan dan ketaqwaan di atas harta, jabatan, sukubangsa apalagi keturunan (sayyid - ahwal) 

Saya masih bisa memahami kalau orangtua melihat si calon menantu cacat atau tidak normal, buta, 

pincang, cebol, dan sebagainya karena memang manusia pada dasarnya selalu melihat dari fisiknya dulu. Orang-orang yang mampu melampaui penglihatan atas fisik itu hanyalah sedikit. Saya jadi teringat kisah seorang pilot yang terbakar dan wajahnya berubah hancur tetapi si calon istri tetap keukeuh untuk terus meneruskan rencana pernikahannya -- mereka orang Kristen, dan menurut saya walau kristen tetapi mereka menerapkan nilai-nilai Islami yang luarbiasa, hmm maaf kalau ini menyinggung ustadz atau siapa saja, tapi saya terusterang kagum dengan keputusan mereka, karena siapa sih yang mau mengalami kecelakaan seperti itu, dan tetap istiqomah melanjutkan pernikahan itu luarbiasa tidak macam dalam cerita sinetron islami di tv yang meninggalkan tunangannya karena sakit atau suami yang menikah lagi karena istrinya mendadak sakit atau cacat, atau istri yang boleh minta cerai kalau suaminya mendadak sakit well maap ya saya mungkin tidak Islami dalam hal ini tapi menurut saya secara hatinurani rasanya kok tidak adil dan tidak punya perasaaan. 

Tetapi mohon maap kalau ini menyinggung ustadz atau siapa saja yang setuju dengan kufu dan tidak kufu ini. Ini hanya uneg-uneg saya seorang yang biasa-biasa saja. 

Sinar Agama: Ita: wali itu harus dimintai ijin bagi yang bukan janda. Tapi wali itu hanya ayah atau ayahnya ayah, bukan kakak dan semacamnya.. 

Sinar Agama: Chen2: Wah kebetulan nih, karena dalam curhatan teman-teman yang masih nganggur (tidak punya pekerjaan) dimana mereka mengeluh kapan bisa kawin. Nanti saya sarankan ke ibu saja yah ... dan nanti yang dijewer bukan hanya suaminya tapi anaknya juga kalau menolak, karena nanti diskriminatif he he he 

Chen Chen Muthahari: Hehehe, makasih ustadz. Kalau anak gadis saya (saya punya dua anak gadis masih kecil-kecil) memang sudah siap lahir bathin untuk menikah dengan calon suaminya ya saya harus siap melepaskannya juga ayahnya itulah konsekuensi jadi orangtua. Tidak perlu memasalahkan apapun. Kalau ternyata tidak sekufu, kita mesti melepaskan diri kita sepenuhnya kalau si anak bersikeras, lebih baik merestui daripada mengutuki. Ada banyak kasus dalam keluarga saya orangtua yang tidak setuju namun merestui akhirnya toh si suami jadi orang kaya juga hehehe, terus ada yang non-muslim karena direstui dan dibaik-baikin akhirnya jadi muallaf dan naik haji. Restu orangtua itu kan katanya doa. Tugas orangtua itu yang utama antara lain terus mendoakan yang terbaik untuk anak-anaknya. In syaaAllah. Ini hanya pemikiran orang biasa-biasa seperti saya. Terimakasih banyak ustadz Sinar Agama atas penjelasannya ya. mencerahkan sekali diskusi ini! 

Andri Herdiyanto: Bagaimana dengan orangtua laki-laki yang turut melahirkan, membersarkan, dan menjaga anaknya itu? Apakah tidak memiliki hak atas anaknya yang berjenis kelamin laki-laki itu? Ataukah pada dasarnya seorang anak lelaki memang tidak memiliki wali? 

D-Gooh Teguh: 1- Saya tidak pernah mengatakan tidak islami. Bukankah sudah jelas saya hanya mengkontraskan dua pernyataan ustadz. --> kalau ternyata parameternya berbeda lagi: “sabdo pandhito ratu” ya lain lagi urusannya. Ternyata masih memandang bulu jika kenyataannya demikian. ”artinya: ....... memang, tidak ada keraguan bagi jatuhnya keharusan ijin wali itu kalau walinya mencegahnya -anak perempuannya yang sudah matang- untuk kawin dengan orang yang sekufu’ dengannya dari sisi agama dan ‘urf (sosial), sedang anaknya sudah ingin kawin..” --> yang saya pahami dari fatwa ini adalah: 1>BATALNYA (jatuhnya = batalnya/tidak berlakunya keharusan ijin) keharusan ijin wali jika anaknya hendak kawin dengan yang sekufu dari sisi agama dan ‘urf (sosial). 2>FATWA ini tidak menjelaskan tentang apakah yang dimaksudkan dengan kufu secara ‘urf (sosial), 3>Juga tidak menjelaskan apakah juga batal jika sekufu agama tetapi tidak sekufu dalam ‘urf (sosial). 

”Kalau walinya menentang perkawinan anak perempuannya dengan orang yang sekufu’ baik dalam pandangan agama atau ‘urf (umum sosial) DAN TDK ADA LAGI LELAKI LAIN YANG BISA DIRELAI WALINYA ITU, samentara anak wanitanya itu memerlukan kawinnya itu, maka jatuhlah kewalian ayahnya tersebut.” 

1- Jatuhlah dalam fatwa imam Khomeni qs dan rahbar yang saya pahami kok batalnya ya. Jatuhlah kewalian ayah tersebut = batallah hak kewalian ayah tersebut (dalam pengertian wajibnya ijinnya). Maaf saya tidak paham bahasa arab, hanya analisis berbasis terjemah ustadz saja. 

2- Fatwa ini tidak menjawab tentang JIKA TIDAK ADA LELAKI LAIN YANG BISA DIRELAI SI ANAK. 

Maaf, kata JATUHNYA dalam dua terjemah fatwa di atas yang saya pahami malahan tidak wajibnya. Mohon terjemahan yang lebih terang lagi. Dan urusan ini bukan tentang akal-akalan tetapi tentang mana yang benar. Kalau sekufu dalam agama tidak ada masalah sedikitpun. Sudah terang benderang dan sangat bisa diterima akal. Urusan kufu sosial ini yang masih abu- abu... tentunya yang ustad urai adalah pemahaman ustad terhadap fatwa-fatwa imam qs dan rahbar. Sayangnya saya tidak memahami bahasa arab, jadi hanya memahami terjemahnya saja. Ini soal beda pemahaman memaknai. Dan di sisi saya ada lagi tambahan lack of arabic. Kalau bisa diberikan fatwa tentang maksud daripada Kufu ‘Urf (Sosial). 

Harap diingat saya tidak pernah mengatasnamakan islam atau islami tetapi saya hanya mempertanyakan dua hal yang sama-sama dikatakan oleh Islam (melalui ustad SA). 1- Islam tidak pandang bulu. 2- Kalau sekufu sosial boleh kawin lari, kalau tidak sekufu sosial haraam kawin lari. Bukankah jelas dua ini bertentangan...? 

Itu seperti jargon di tetangga sebelah: nikah dipermudah tetapi cerai dipersulit. Itu JARGON- nya. Kenyataannya: musti dua saksi nikah, cerai tak perlu saksi dan sejenisnya. Jargon dan kenyataan bertentangan. Oleh karena itu jelas pembedaan hukum karena perbedaan status sosial memerlukan penjelasan atas pembenarannya. Soal ini sangat penting bagi saya... Kaya- miskin, sayyid-ahwal, pejabat-tukang serabutan, dan sejenisnya. How can? Bagaimana akal bisa menerima hukum Islam dibedakan karena perbedaan status sosial dan material? Islam yang saya pahami tidak demikian, maka saya bertanyakan. Dua cuplikan fatwa di atas belum mengkonfirmasi kesalahan pemahaman saya. 

Dari situs almarhum Sayyid Fahdhlullah: 

Q: What would be my legal stance if I refused to comply with my father’s desire in marrying some girl, knowing that that it might affect my relationship with him negatively? 

A: Actually, if you exert yourself and obey him; God would greatly reward you for your deed. Then again, obedience to him is not a must. 

-->tetapi kasus yang ditanyakan agak berbeda. Ini laki-laki kepada perempuan dan bukan sebaliknya. 

D-Gooh Teguh: a@ Chen Chen Muthahari: apalagi urusan invaliditas dan tampang. Khan sudah diatur apa-apa penyakit dan kecacatan yang jika ditutupi sebelum menikah maka bisa membatalkan. Batal dan bukan cerai. Ada juga yang harus cerai dan bukan pembatalan. Syarat perlu-nya adalah menutupinya. Jika telah diterangkan di muka: saya jelek, kadang gak bisa on, saya pincang lho... Saya cebol lho... nanti khan bisa liat sendiri. Emang maunya orang untuk cacat? Untuk jelek? Mau extrem make over kagak punya duit. Emang setiap nyari duit pasti dapetnya? Sadarkah jika pernyataan anda menyakiti hati orang-orang yang berpenyakit dan cacat bukan atas maunya sendiri? Coba saja bilang: ogah ah... lu khan jelek. Lu khan cebol. Lu khan buta. *Saya sih tidak sampai hati. 

Kalau tidak ditutup-tutupi maka seperti kata Mbak Chen tentang pilot itu! Status sosial adalah 

sesuatu yang tidak pasti. Bisa berubah sewaktu-waktu (kecuali urusan ras yang tidak berubah, yang mana juga bukan termasuk pilihan bebas) dan status sosial bukanlah the real of a man/ woman. 

Saya sih ganteng. xixixixixi... Tapi kalau besok disobek mulutku ya jelas amburadul deh. But, so what gitu lho...! 

Chen Chen Muthahari: ^_^ hehehe... 

Chen Chen Muthahari: Om D-Gooh Teguh maksud saya begini, banyak sekali orang sejak jaman dulu sampai jaman sekarang melihat orang itu hanya atau awalnya dari fisiknya dulu. calon mertua tidak mau punya menantu cacat, jelek, dan sebagainya. Makanya saya mengerti kalau ustadz Sinar Agama membawa masalah kasus kufu fisik, ada orang-orang yang menganggap hak-hak dia, saya pribadi sangat sangat setuju dengan Om D-Gooh Teguh, kalau itu sangat tidak adil. Mohon maaf kepada teman-teman atau saudara-saudara yang tersinggung. Saya sendiri bisa jadi sewaktu-waktu akan mengalami. Banyak orang mundur setelah siap menikah ternyata di tegah calonnya “berubah fisiknya” dan seterusnya. Serius ada yang curhat ke saya tidak mau melamar seorang gadis yang penyakitan yang sempat dekat dengannya dan si gadis suka sekali padanya, iih saya kesal banget sama lelaki ini untuk alasan tersebut walau beberapa yang dia kemukakan masuk akal juga tapi tetap saja tidak berperasaan bagi saya, memangnya si gadis mau punya penyakit seperti itu (padahal dia cantik hanya berpenyakit yg menghabiskan uang demi pengobatannya) juga takut keturunannya juga berpenyakit begitu. 

Makanya saya tulis orang-orang yang mau mencintai pasangannya melampaui penglihatan atau pandangan fisiknya itu jumlahnya tidak banyak kalau tidak bisa dibilang sedikit. Bahkan setelah menikah pun kalau pasangan berubah fisik, entah jadi gemuk, entah jadi sakit, entah mandul, atau entah apapun yang lain, hatinya juga bisa berubah, padahal sepatutnya seperti pesan kakek nenek saya kepada ibu dan paman dan bibi-bibi saya kemudian pesan mereka kepada anak- anak mereka adalah setelah menikah tutuplah mata dan kuping kamu dari keburukan pasangan hidupmu, setialah dengannya. 

D-Gooh Teguh: Kalau sudah terbuka demikian maka memanglah hak laki-laki itu untuk meneruskan atau tidaknya. Atau jalan tengahnya khan tammatu’ dan menanggung sendiri biaya masing- masing KALAU TEGA. Meski nampaknya aneh tetapi begitulah. Perasaan tidak diperhitungkan dalam ketentuan hukum. Urusan kahwin adalah urusan sepakat dua belah pihak, urusan cerai atau berpisah adalah urusan sepihak. Begitulah... menurut pemahamanku atas fatwa-fatwa. 

Chen Chen Muthahari: Iya om Teguh. makanya saya disini bicara keluar dari masalah agama/ fatwa atau fikih, hanya sebuah perasaan dan uneg-uneg saja, 

D-Gooh Teguh: Itulah yang saya pahami dari kaedah-kaedah hukum agama maupun sekuler: perasaan tidak diperhitungkan kecuali urusan syak persucian (dalam hukum personal agama). Mau cinta atau tidak cinta bukanlah urusan. Mau suka atau tidak suka bukanlah urusan hukum. Yang menjadi urusan hukum adalah HAK dan KEWAJIBAN para pihak. Mau istri jadi endut jueleknya ampun-ampunan tetap saja: da’im wajib kasih nafkah, dan seterusnya. Jangan masukkan urusan hati ke dalam bahasan hukum to... Dan tetap saja musti “gitu” dalam rentang waktu tertentu. ^_^ 

Tetapi meski cerai itu urusan sepihak tetapi prosedurnya dalam hukum syiah adalah sulit. Ada gitu yang mau menjadi saksi cerai...? Makanya tammatu’ saja kalau mau mudahnya. ^_^ 

Chen Chen Muthahari: Sebetulnya tidak akan timbul masalah kalau baik anak maupun wali sama-sama bijaksana, tidak egois dan saling memahami kebutuhan dan kecenderungan masing- masing. Dulu di keluarga besar saya misalnya agak sukar kalau seniman mau melamar jadi menantu, lha padahal anak-anak perempuannya di jalur kesenian seperti melukis, bermusik, bersastra dan sebagainya kan tidak aneh kalau bertemu jodoh dengan orang yang di jalur yang serupa. Atau ada yang kawatir anaknya menikah dengan polisi karena polisi rata-rata bawa pulang uang “panas” (ini banyak curhat yang saya dengar di salon maklum ibu-ibu) lha tapi kalau anaknya kerja dekat kantor polisi ketemu pak polisi tiap hari...? Nah semua ini apakah kufu sosial atau kufu fisik mesti dikembalikan kepada “wisdom” dari keduanya, kematangan dan kedewasaan sang anak dan walinya. :-) 

Sinar Agama: Teguh: Kok bisa antum ingkari bahwa antum pernah mengatakan tidak Isalami, sementara tulisan antum masih ada di atas itu, lihat ini: 

“2- kufu sosial sebagaimana ustad sebutkan bagi saya jelas bertentangan dengan doktrin Islam tidak memandang bulu. Maaf.” 

Sinar Agama

(1). Apakah maksud antum dengan sabdo pendito ratu itu adalah ejekan bagi kami yang menaklidi marja’. Kalau itu maksudnya, maka itu jelas kemuliaan bagi kami dan kebanggaan dari pada mendengar orang tidak belajar Islam tapi mengeluarkan berbagai pandangan Islam (bukan antum nih, tapi orang-orang lain yang berkata-kata tentang islam dengan idenya sendiri, bukan Islam). 

(2). Fatwa tentang kufu’ sosial (‘urf) itu jelas tidak bisa bisa diingkari. Tentang tidak dijelaskannya itu, karena antum yang tidak jelas dan/atau membuatnya tidak jelas. Kalau yang pertama, maka sangat mengherankan bagi orang seperti antum itu yang tidak mengerti kufu’ secara umum atau ‘uruf. Masak orang seperti antum tidak mengerti arti “SELEVEL”????? Tapi kalau antum tidak ingin menjadikannya jelas, maka itu jelas tidak bisa dijelasin dengan apapun, walau dengan orang yang mengerti. Bagaimana mungkin antum tdk mengerti selevel ‘urf/ umum, sementara antum mengerti selevel agama? 

(3). Antum ini mengerti kata boleh dan tidak boleh dalam fikih nggak sih? Ketika dikatakan tidak boleh melakukan nikah seperti itu maka jelas kawinnya batal. Terlebih tidak samar bagi yang belajar di hauzah bahwa bagi imam Khumaini ra dan Rahbar hf, ijin wali itu adalah syarat syahnya pernikahan. 

(4). Jatuhnya kewalian wali itu sama dengan tidak wajibnya anak mesti mendapatkan ijinnya (tentu setelah minta ijin dan tidak diijinkan itu). Dan tulisan berhuruf besar itu justru menambah semakin tidak bisanya anak perempuan itu untuk kawin lari. Karena hampir pasti masih banyak lelaki yang bisa membuat ayahnya rela dan mengijinkannya. Jadi, kandungan fatwa itu adalah, kalau anak peremapuan telah memilih lelaki di antara 100 lelaki, kalau yang adanya hanya itu (100), dan ayahnya tidak mengijinkan, maka dilihat, kalau dia sekufu’ dengan keluarga perempuannya itu, lalu tidak ada dari 100 lelaki itu yang diridhai walinya, maka dengan syarat-syarat lainnya itu, si anak wanita tadi bisa kawin tanpa ijinnya. Dan dua fatwa itu adalah berbeda dimana punya Rahbar hf lebih berat dari punya imam Khumaini ra. 

(5). Islam memang tidak pernah pandang bulu, tapi ia memandang hak orang dan memerintahkan orang lain untuk menerimanya. Jadi, kalau pandang bulu itu masih dalam koridor hak-hak pribadinya dan keluarganya, maka pandang bulu tidak akan pernah mengganggu kemerdekaan orang lain, dan apalagi mengambil haknya. Karena itu pandang bulu ke dua, ini diterima Islam. Masak begitu saja tidak bisa dipecahkan, sementara saya sudah banyak menerangkannya di atas, tentang yang berupa hak itu. 

(6). Fatwa Jibril as pun tidak akan pernah mengkorfirmasi antum kalau gaya berfikir antum itu seperti itu. Coba cerna penjelasan tentang hak dan semacamnya itu, dan bahwannya ia tidak mengambil hak orang lain, serta tentang kewajiban orang tua ...dan seterusnya maka pasti antum akan dapatkan jawabannya. Tapi kalau kayak bolduser, main trabas saja dan yang dilihat hanya yang ada di pikiran antum sendiri tanpa mau memperhatikan tulisan orang lain dan mencoba memahami dan mencernanya, maka pakai gaya apapun dalam menjelaskannya, tetap tidak akan pernah ketemu intinya. 

(7). Bagaimana ada orang yang akalnya sehat, lalu mengingkari adanya perbedaan antara yang cantik dan tidak, yang miskin dan tidak, yang cebol dan tidak, yang seniman dan tidak..... dan seterusnya. Atau tidak mengingkari itu semua tapi mengingkari konsekuensinya, seperti lebih menyukai yang cantik, yang kaya, ...dan seterusnya?????!!!! Justru yang tidak masuk akal ini adalah kelompok pengingkar ini. Emangnya kalau ada wali menolak yang jelek, atau mas Teguh yang tidak suka yang cebol, atau wali yang tidak menerima yang miskin, maka hak dia dan mas Teguh itu harus dibumi hanguskan????????!!!!!! Ini ajaran gila namanya. 

Herannya apa hubungannya ini dengan Islam???? Emangnya Islam mengatakan bahwa yang ditolak walinya itu, yakni si miskin itu atau si cebol itu, karena ia ditolak, maka nanti si miskin dan si cebol itu di akhirat kelak akan dimasukan ke neraka????!!! Saya justru sangat merasa aneh dengan kemerasaanehan antum dan kemerasaan antum bahwa hal ini bertentangan dengan Islam. 

Emangnya si wali itu, karena boleh (dalam Islam) menolak si miskin dan si cebol, lalu Islam mengijinkan ia mencemoohnya dan menghardiknya, dan menganggapnya sampah? Atau kalau kebetulan si miskin yang ditolaknya tadi kalau jadi marja’, lalu si wali tadi dibolehkan oleh Islam untuk tidak menaklidinya sementara tidak ada marja’ lain yang lebih a’lam darinya? Apa hubungan ini semua?????????!!!!!!!!!!!!!!!!!! 

Sinar Agama: Chen2, terimakasih koment dan perhatiannya. Tapi sepertinya topik yang kita bahas berbeda. Kita lagi bicara hukum wajib tidaknya ijin wali, bukan akhlakh dan anjuran. Kalau ibu pernah membaca tulisan saya yang lainnya, tentang kecaman saya pada orang yang kawin karena cinta-cintaan duluan, dan tidak mau kawin kalau tidak cinta, padahal ajaran Islam adalah hanya mengajarkan akhlak dan tentu ditambah mau (bukan cinta), maka ibu tidak akan menulis seperti di atas iitu. Karena memang masalahnya lain. 

Kita sekarang bukan sedang mau menasihati wali yang menolak itu, tapi sedang membicarakan haknya dalam Islam. Bab, nasihat buat wali tersebut, nanti di lain status dan catatan. Jadi, saya tidak mengomentari pendapat ibu secara detail karena memang lain topik dan yang kutilis itu serasa sudah cukup. 

Sinar Agama: Andri: Anak lelaki kalau sudah dewasa tidak wajib ijin wali, tapi sangat dianjurkan untuk musyawarah dengan orang tuanya. Tapi dari sisi hukum, tidak ada kewajiban ijin walinya. 

D-Gooh Teguh: Hehehehe... saya hanya ingin mencari lebih kejelasan saja. Ustad. Nanti saya cari tahu lagi dari lebih banyak pihak yang lebih mengetahuinya agar ada kemantaban hati. Memang take it begitu saja berita tidak ada masalah. Tetapi mencari dan mengkontraskan dengan pandangan subjektif agar lebih tunduk khan lebih oke to.... ^_^ 

Terima kasih atas segala informasi berharga-nya. Sehingga pandangan subjektif bisa tunduk dan melebur dalam kebenaran yang menundukkan dan bukan kebenaran karena semata kata-nya siapapun juga. ^_^ Begitu ustad... 

Tetapi sebenarnya yang menjadi tanda tanya saya bukan yang ustad uraikan di atas. Tetapi tentang: kalau kufu sosial (dalam pengertian yang ustad jelaskan) dan agama boleh lari, sedangkan meski kufu agama tetapi tidak kufu sosial tidak boleh. Itu aja masalahnya... Akan saya gali soal ini lebih dalam lagi. Smoga kita semua mendapat petunjuk-Nya. 

Btw, yang mengatakan: 1- “ISLAM TIDAK MEMANDANG BULU” khan ustad bukan saya. 2- Yang mengatakan tidak kufu sosial tidak boleh lari, kalau kufu sosial boleh lari juga ustad. Nah, menurut pemikiran saya: pernyataan ustad yang kedua bertentangan dengan pernyataan ustad yang pertama. Dan sudah dijawab pula oleh ustad. Dengan demikian sudah selesai polemik tentang hal ini. Saya akan mencari dari berbagai sumber lagi agar semakin mantabs. 

Sinar Agama: Teguh, penjelasanku itu sama dari awal sampai akhir. Jadi, untuk mengomentari antum terhadap komentar antum yang terakhir itu, tetap sama. Karenanya bacalah lagi supaya lebih memahami. 

Syukur kalau antum sudah mengerti yang kita mau, baik terima atau tidak. Yang kita inginkan adalah mengerti uraianku dengan maksudku. Tentu saja, walau saya tidak makshum, aku mengambil dari fatwa-fatwa kalau itu hukum, dan kalau filsafat dan akal, aku berusaha memakai pendekatan dalil-dalil akal gamblang. 

Dan prinsipku memakai nama samaran ini justru supaya teman-teman mudah berdebat dan bertengkar denganku, baik dia itu sebenarnya temanku atau saudaraku sekalipun. Jadi, tidak usah riskan untuk bertengkar, tapi bertengkarlah denganku sebagai saudara dan, kalau bisa jangan ego-egoan tapi memang mencari pengertian dan kebenaran (walau tetap relatif). Dan satu lagi yang aku perlu mimta maaf, karena kadang memang aku sengaja menaikkan volume tulisan bisa memang hati yang kelam ini merasa perlu. Jadi kalau tidak tepat sasaran, maka mohon maafnya. 

GatutKoco Indo: Ustadz.., kalo melihat dari diskusi di atas sebetulnya jelas bahwa hukum izin Wali adalah wajib.., cuman mungkin yang perlu digarisbawahi adalah kalau kita menjadi wali harusnya mendahulukan ketaqwaan dibadingkan dengan status sosial, begitu ustadz... 

D-Gooh Teguh: Sama-sama ustadz... informasi-informasi yang disampaikan sangat berharga. Tentunya menjadi sebuah bahan yang luar biasa untuk penggalian lebih lanjut agar semakin mantabs melaksanakannya. Memang sama penjelasan dari atas hingga akhir. Konsisten. ^_^ Peace Ustad...! 

Dan saya mau bertanya sesuatu via inbox ya... 

Aby Faqir: Syukron sudah dimasukkan di grup ini ustad.... 

Sinar Agama: Syaiful (Gatut Koco), na’am/benar demikian. Islam tidak melarang antum makan makruh misalnya, tapi menganjurkan untuk tidak melakukannya. Islam tidak melarang antum menyintai duniahalal, tapi Islamjuga menganjurkan untuk membantu orang miskin (selainzakatdan khumus). Islam tidak melarang antum memilih wanita cantik dan kaya, tapi sangat menganjurkan antum untuk memilih yang taqwa dan mengenyamping semuanya andaikata bertolak belakang dengan ketaqwaan itu. Islam tidak melarang antum menolak lamaran si cebol walau dia marja’ yang paling a’lam di jamannya atau di seluruh jaman, tapi menganjurkan antum untuk mendahulukan ilmu dan ketaqwaan, dan, kalau tidak mau juga dan tetap menolak lamarannya, Islam melarang keras antum untuk mengejeknya dan/atau tidak taklid padanya kalau ia marja’ paling a’lam. Jadi, kalau antum orang tua dan wali, Islam telah mengatur antum mana-mana yang merupakan hak-hak antum (seperti ikut memilih calon tanpa memaksakan pilihannya karena 50%-50% dengan anak wanita antum), dan mana-mana yang berupa anjuran dan tekanan, seperti dianjurkan untuk memilih yang berilmu, yang taqwa -misalnya. 

Sinar Agama: Aby: ok , sama-sama. 

Sinar Agama: Teguh: u well come. 

Jjihad ‘Ali: Topic menarik .... Syukron pencerahannya .. @D - Teguh , kenapa mesti di Inbox , cara berfikir antum , ana fikir malah mampu lebih dalam mengorek apa maksud yang terkandung dari bahasan dan maksud Ustadz SA .... Af1. 

D-Gooh Teguh: Maaf Om Jihad... karena urusannya privat dan bukan wacana tentang seorang kenalan yang saya turut serta memberikan pendapat sejauh pengetahuan saya. 

Marcus Besi: Hakekat dari pernikahan yang utama adalah penyerahan tanggung-jawab dan untuk memperoleh keturunan. Hampir semua suku bangsa di bumi ini menganut asas patrilineal (garis ayah) dan urusan perkawinan substansi maknanya tetap sama pada semua suku bangsa. Soal kesetaraan sangat terpergantung dari gen sifat dan budaya yang terus mengalami perubahan. Contoh budaya yang berkembang dan melahirkan ketidak setaraan manusia dan kasat mata adalah kasta dalam agama Hindu yang bermula dari pengamatan Weda atas masyarakat yang berkelompok yang oleh perjalanan waktu kemudian dilembagakan. Perkawinan selektip pada hakekatnya berdasarkan pada pengalaman empirik bahwa sifat jahat itu menurun dan terbukti secara ilmiah bahwa hal itu disebabkan oleh faktor genetika. Mayoritas budaya suku-suku bangsa di bumi ini mengisyaratkan manusia karena takdirnya memiliki gen jahat harus dimusnahkan atau sekurang-kurangnya dipencilkan dari kelompok masyarakat. Istilah-istilah perawan, janda, pernikahan, kesetaraan yang berperan besar dalam membentuk peradaban dan budaya, menurut pendapat saya kalau mau diperdebatkan seharusnya dimulai dari sebab musabab munculnya istilah-istilah tersebut. Dan memang menarik, setidak-tidaknya bermanfaat untuk menambah ilmu dan memperluas cakrawala berpikir. 

Sinar Agama: Besi, terimakasih telah memberikan usulnya yang baik. Akan tetapi membahas akar peristilahan itu, kalau tidak disertai dengan pengetahuan terhadap bahasa Arab, ushulfikih, ayat dan hadits-hadits, maka sulit dilaksanakan. Karena itu kita langsung membahas yang sudah matang dari fatwa, lalu dari kita membahas hikmah-hikmah yang ada serta berusaha mempertahankannya dari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin diajukan oleh teman-teman, Itu saja untuk sementara. Anggaplah pemerataan fikih matang (fatwa) dan menangkal sebijak mungkin kemungkinan serangan atau isykalan yang ada. 

Coky Sapta Geni: Teori ah....Untuk pernikahan, ternyata ada juga ustad-ustad yang ngaku pecinta Ahlul Bayt tapi memanfaatkan Muttah untuk sekedar menyalurkan sex-nya... basi... 

Sinar Agama: Coky, ?!!!



 اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jawaban Atas Kesamaan Mut’ah Ala Spesies Syi’ah Ame Zina




Seri Tanya – Jawab
by Sinar Agama (Notes) on Saturday, October 9, 2010 at 12:23 pm



Sebenarnya, bagi kami, tulisan “Kesamaan...” ini jelas ditulis oleh orang yang jauh dari pengetahuan agama, alias awam tentang agama. Namun karena berani menulisnya di fb untuk kesekian kalinya, dan sudah sering kami jawab di kolom komentar mereka tapi tetap saja tidak mau mengerti, maka sekarang saya berusaha menjawabnya dengan uraian yang sangat singkat. Karena kalau memang mau ditulis dengan benar, maka akan menjadi buku yang sangat tebal dimana untuk ini, saya masih belum punya waktu.

Sebelum menjawab mereka, maka saya nukil dulu ke 16 persamaan yang khayali itu, dan baru setelah itu saya akan jawab di bawahnya dengan nomor-nomor yang sama atau sesuai urutan yang ada di fitnahan tsb. Selamat mengikuti dengan seksama.

KESAMAAN MUT’AH ALA SPESIES SYIAH AME ZINA

Dikutip dari buku Mengapa Syiah Harus diluruskan karangan Mohammad Hasan penerbit Pustaka dar el-Aman, halaman 47-46

1. Mut’ah dilakukan tanpa saksi, demikian pula zina.


2. Mut’ah dilakukan tanpa wali, begitu juga zina.

3. Mut’ah dilakukan dengan uangsewaan dan waktunya sesuai perjanjian, sama dengan zina.

4. Mut’ah tidak didasari keinginan untuk membina rumah tangga yang langgeng, sama dengan zina.

5. Dalam mut’ah tidak ada talak, perceraian terjadi sesuai dengan waktu yang telah disepakati, zina juga demikian.

6. Wanita yang dimut’ah layaknya barang sewaan, pindah dari satu tangan ke tangan yang lain, sama halnya dengan wanita pezina.

7. Antara wanita yang dimut’ah dan lelaki yang memut’ah tidak ada saling mewarisi, demikian halnya dengan zina.

8. Anak yang dihasilkan dari nikah mut’ah kemungkinan besar akan terlantar dan tidak terurus, demikian pula dengan nasib anak zina.

9. Nikah mut’ah tidak mengenal apakah si wanita punya suami atau tidak, tidak mengenal apakah si wanita sudah cukup umur atau masih belum, demikian juga dengan zina.

10. Di dalam mut’ah diperbolehkan menikah sebanyak-banyaknya, walau dengan 100 wanita, begitu pula dengan zina.

11. Mut’ah memperbolehkan nikah dengan wanita mahram (yang haram dinikahi), sama dengan zina.

12. Dalam mut’ah diperbolehkan me-wathi (mendatangi atau menggauli) isteri dari dubur (anus), sama dengan zina.

13. Dalam mut’ah diperbolehkan me-wathi’ isteri yang sedang haid, begitu pula zina.

14. Zina dilarang oleh Sayyidina Ali, sebagaimana beliau juga melarang mut’ah.

15. Zina dilarang oleh Sayyidna Ja’far Shodiq, begitu pula beliau dengan tegas melarang mut’ah.

16. Zina dilarang oleh hukum Indonesia, demikan pula dengan nikah mut’ah.

Kesamaan di atas kian mempertegas bahwa ajaran SPESIES Syiah sngatlah bertentangan dengan ajaran Islam dan hukum positif negara. Bahkan bertentangan dengan naluri kemanusiaan yang suci serta etika pergaulan dalam keluarga yang luhur. Justru semuanya tak jauh beda dengan praktek perzinahan yang jelas-jelas dilarang. spesies syiah merupakan spesies langka yang harus dibikin punah..

Jawab:

CATATAN PENTING:

1. Dalam Syi’ah saksi-kawin adalah sunnah hukumnya, baik mut’ah atau permanen. Tapi kalau saksi cerai maka wajib dengan dalil QS: 65:2. Sedang saksi kawin itu tidak ada dalam Qur'an.

2. Dalam semua kitab-kitab fikih-Syi’ah, bagi yang punya mata, jelas tertulis bahwa ijin wali itu wajib bagi yang bukan janda (untuk mut’ah atau permanen), tapi tidak wajib bagi yang janda.

Dan kalau tidak ijin wali, maka syarat syah nikahnya kurang dan nikahnya jadi batal serta hubungannya jadi semacam zina. Kalau di Indonesia (bukan syi’ah), jangankan ijin wali, kawin lari juga banyak, dan penzinahan juga bayar pajak. Lalu dimana hukum positif negaranya?

3. Dalam QS:4:24 Allah berfirman:

“....maka kalau kamu bersenang-senang dengan para wanita itu dengan hartamu, maka berikanlah upah mereka (ujuurahunna) sebagai kewajiban....”.

Nah, sekarang siapa yang anti Qur'an, jadi ketahuan. Dalam ayat ini Allah menggunakan makna maskawin bahkan dengan kata UPAH. Mungkin, supaya orang seperti kamu tidak membuat hiruk pikuk. Tapi yang namanya hati, bisa kerasnya melebihi batu (QS:2:74). Karena itu dengan bahasa apapun Tuhan menyampaikannya, tetap saja ditolak karena sudah mewarisi penolakan tersebut dari leluhurnya.

4. Tujuan utama kawin adalah menyalurkan fitrah syahwat sesuai hukum Islam, bukan kewajiban untuk punya anak. Kalau wajib, berarti KB haram, berarti Pemerintah telah melakukan keharaman, begitu pula MUI dan orang-orang yang memakai alat-alat KB. KB ini jelas menunjukkan bahwa punya anak tidak wajib, kecuali kalau kamu menentang perintah Pemerintah dan MUI. Oleh karenanya Nabi saww menganjurkan bagi lelaki yang sudah kuat kemauan kawinnya tapi belum mampu, untuk berpuasa. Emangnya disuruh puasa supaya keinginan punya anaknya terbendung?????? Yang bener saja.

5. Kalau ada talak dalam mut’ah, itu namanya gila. Karena mut’ah itu kawin dalam waktu tertentu.

Apa kamu tidak baca QS: 4:24 itu. Nih kalau mau baca:

أُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

فَرِيضَةً وَلَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamumiliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapanNya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu mut’ah/nikmati (campuri/bermut’ah/istamta’a) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (ujur/upah) sebagai suatu kewajiban, dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyayang” (terjemah globalnya dari DEPAG).

Coba perhatikan beberapa hal di bawah ini:

a. Hukum mut’ah ini jelas dikatakan sebagai nikah ( مُحْصِنِينَ ) bukan zina ( غير مُسَافِحِينَ )

b. Allah menyuruh kita mencari istri dengan harta ( بِأَمْوَالِكُمْ ). Ini berarti harta untuk mengupah, bukan membangun rumah tangga. Karena harta yang digunakan untuk membangun rumah tangga itu adalah nafakah yang, merupakan biaya dalam kelanjutan perkawinannya, bukan dalam pencarian pertamanya sebagaimana di ayat ini. Yakni mencari istri dengan harta.

c. Allah sendiri memakai kata yang kamu tidak suka ini, yaitu MUT’AH dalam ayat ini ( اسْتَمْتَعْتُم )

d. Dalam ini dipakai kata jama’ untuk istri-istri yang dimut’ah, yakni mereka ( مِنْهُنَّ ) dan harus diberikan upahnya, yakni berikan upah mereka ( فاتو هن أُجُورَهُنَّ ) Mungkin, karena menunjukkan tidak ada batasan tertentu dalam jumlah mereka dan adanya kebergantian mereka. Memang hal ini tidak mesti bermakna demikian, karena bisa saja kata jamak itu dilihat dari sisi para lelakinya yang juga banyak, karena dalam ayat ini Allah menggunakan jamak pada lelakinya yang, sudah pasti membuat istri-istri mereka juga jamak.

e. Allah memakai kata-kata untuk maskawin dengan kata ONGKOS/UPAH ( أُجُورَ )

f. Upah dan ONGKOS ini adalah wajib. Lah untuk apa ongkos/upah, kalau di perkawinan permanen? Logika mana yang mengatakan bahwa maskawin untuk kawin permanen itu dikatakan UPAH?

g. Dari satu sisi dikatakan “wanita-wanita yang sudah kalian mut’ahi/nikmati” dan disisi lain dikatakan bahwa “berikan UPAHnya”, maka dalam masalah ini ada dua arah kesepakatan kontraknya. Arah pertama “Pengontrak” dan yang ke dua “Yang Dikontrak.”

h. Dengan adanya dua pihak kontrak yang saling merelakan, maka sdh semestinya kedua pihak saling merelai (sebagaimana ayat mengatakan “taraadhaitum” yakni saling menyepakati/merelai) dalam kontrak itu, supaya hukum kontraknya menjadi syah.

i. Dengan adanya dua arah kontrak itu, maka ada DUA KEWAJIBAN (fariidhah) yang diakibatkannya. Yaitu, uang kontrak atau ongkos/upah, dan tubuh yang disewakan dalam waktu tertentu. Jadi, maksud “saling rela/setuju/taradhaitum” adalah dari sisi jumlah uang bagi lelakinya, dan waktu penyewaan dari sisi wanitanya.

j. Allah meneruskan firmanNya “...dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya , sesudah menentukan mahar itu..”. Ini terjemahan DEPAG. Sudah tentu terjemahan ini disesuaikan dengan madzhab mereka.

Oleh karenanya mereka menerangkan bahwa yang dimaksud “saling merelakan” yang kedua ini (yakni setelah “saling merelai” yang pertama), adalah “mengurangi atau menambah mahar, atau tidak membayar sama sekali”.

Padahal, makna ini sangat dipaksakan. Hal itu karena, kalau suami mau menambah maskawin itu adalah hak suami. Artinya tidak perlu kerelaan istri. Karena hak istri dalam hal ini hanya mau atau tidak mau, bukan RELA. Karena RELA, jelas menerima sesuatu dengan imbalan begitu juga kalau haknya terkurangi, bukan mau pada pemberian tanpa imbalan. Lagi pula, kalau satu arah, itu namanya HADIAH, bukan SALING RELA. Dan sudah tentu, penerima hadiah tidak bisa dikatakan RELA, tapi dikatakan MAU. Kalau masalahnya berubah, yakni suami mau mengurangi maharnya, maka disini tidak bisa dikatakan SALING MERELAI, tapi si suami MEMINTA (bukan rela), dan si istri RELA. Begitu pula kalau suami tidak mau bayar sama sekali, maka si suami MEMINTA, tapi si istri RELA atau me-Relai. Jadi, bukan SALING MERELAI. Begitu pula kalau si istri sendiri yang meminta suaminya mengurangi maskawinnya atau tidak membayar sama sekali. Di sini, si istri MEMBERI atau MERELAKAN atan MENGHIBAHKAN sebagian atau seluruh maskawinnya, dan si suami MAU atau TIDAK MAU diberi sebagian atau seluruh maskawinnya itu, BUKAN TIDAK RELA.

Karena TIDAK RELA bagi suami di sini SANGAT TIDAK COCOK baik dalam pemakaian katakata dalam komunikasi atau baik dalam pemakaian kata-kata dalam hukum. Jadi, si suami hanya bisa dikatakan MAU atau TIDAK MAU.

Dengan penjelasan ini, maka dapat dipahami bahwa dalam MUT’AH akan menjadi lucu kalau ada istilah cerai, karena sudah ditentukan waktunya (saling merelai). Begitu pula menjadi lucu sekalipun mau dipisah di tengah jalan. Karena talak, maknanya melepaskan tanggung jawab kepada istri yang telah diikat dengan kawin permanen. Sedang pemutusan hubungan dalam mut’ah adalah pemutusan kontrak yang, hanya diikat dengan kesepakatan tadi. Jadi, logika pelepasan tanggung jawab adalah TALAK, dan logika pelepasan kontrak adalah HIBAH atau HADIAH, yakni hibah atau hadiah suami kepada istri mut’ahnya. Yakni

MENGHIBAHKAN SISA WAKTU KONTRAKNYA.

Akhir ayat di atas adalah jelas menjelaskan kontrak ke dua setelah kontrak pertama selesai. Yakni memperpanjang kontrak dengan perjanjian baru. Maka terjemahan sebenarnya ayat di atas adalah:

((“...dan tidaklah dilarang bagi kalian dalam apa-apa yang telah kalian saling rela dengannya (membuat kontrak baru) setelah kewajibannya...”))

أُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ

أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

6. Dengan penjelasan di point 5 ini, maka menjadi jelas bahwa istri mut’ah memang sewaan. Namun demikian jauh beda dari zina. Karena wanita yang habis dimut’ah tidak bisa langsung bermut’ah lagi dengan orang lain kecuali setelah selesai iddahnya adalah dua kali haidh.

7. Adalah sangat aneh dan lucu, manakala ada dua hal yang tidak ada waris didalamnya, lalu dikatakan sama, hingga dikatakan bahwa mut’ah dan zina adalah sama kerena sama-sama tidak ada waris.Dan kalau dalam mut’ah ada waris juga, maka akan LEBIH LUCU. Karena hakikat mut’ah adalah BERHUBUNGAN DENGAN SALING MERELAI DARI SISI WAKTU DAN UANG, yakni dengan kata lain KAWIN KONTRAK, atau lebih jelasnya SEWA MENYEWA. Bagaimana mungkin antara penyewa dan yang menyewakan bisa ada hubungan waris? Lagi pula kalau hanya dengan kesamaan sesuatu membuat keduanya menjadi sama, maka Islam dan Kristen adalah agama yang sama karena sama-sama memiki hukum waris.

8. Kalau orng punya mata dan hati, dan ingin tahu madzhab syi’ah dari orangnya, bukan dari orang lain, maka dapat merujuk ke kitab-kitab syi’ah. Di semua kitab-kitab fikih syi’ah tertulis bahwa anak yang lahir ke dunia, adalah tanggung jawaban ayahnya, sejak bayi sampai dewasa dan mandiri. Bahkan susu yang diminumnya, juga tanggung jawab ayahnya. Oleh karenanya dalam syi’ah, kalau istri minta bayaran dalam menyusui anaknya, maka wajib bagi suaminya untuk memberikannya. Ini secara hukumnya, karena sangat kecil kemungkinan seorang ibu meminta bayaran dari menyusuinya itu. Dan jelas sekali bahwa nafakah anak atas ayah ini, tidak khusus kawin permanen, tapi juga meliputi kawin mut’ah. Jadi, dengan hukum ini, maka bagaimana mungkin seorang anak akan menjadi terlantar? Apakah kalau cerai di sunni itu boleh, berarti telah menelantarkan anak juga?

9. Tidak ada pernyataan lebih ngawur dan fitnah dari poin 9 yang dibawakan di atas itu. Dan kami-kami hanya bisa menyerahkannya kepada Allah yang tidak pernah tidur. Dalam semua kitab-kitab syi’ah kalau istri berhubungan dengan lelaki lain atas nama kawin permanen atau mut’ah atau apa saja, maka jelas adalah zina. Masih mending kalau zina biasa, karena hanya dicambuk 100 kali. Tapi dalam syi’ah (begitu pula sunni), istri yang berzina, maka dihukum rajam, yakni setelah disuruh mandi besar dan dikafani, tubuhnya dipendam sekitar sampai dada, lalu dilempari dengan batu sampai mati. Hal seperti ini, beberapa tahun setelah kemenangan revolusi Islam Iran, pernah terjadi sekali di kota Qom, dan pelajar-pelajar Indonesia (setidaknya satu orang yang tidak perlu saya sebut namanya di sini) ada yang ikut melemparinya. Dan tentang syarat-syarat lainnya bisa dilihat di kitab fikih. Yang jelas dalam syi’ah tidak beda antara syarat-syarat nikah permanen atau mut’ah selain masalah penentuan waktu itu saja.

10. Dalam Islam memang tidak ada batasan kawin kontrak ini. Kalau ada tolong tunjukkan kepada kami barangkali anda lebih Islam dari kami. Dan sudah kami terangkan di atas bahwa ayatnya memakai kata MEREKA pada istri-istri yang dimut’ah dan harus diberi upah. Sekalipun, sekali lagi, makna ini tidak mesti dari satu suami, tapi dari suami-suami yang membuat otomatis, membuat istri mereka juga jamak. Tapi yang jelas tidak ada pembatasan untuk kawin kontrak ini.

11. Poin 11 di atas tidak kalah kejinya dari poin 9, dan hanya kepada Allah kami menyerahkan urusan-urusan mereka itu, apakah akan diazabNya atau masih akan diberiNya kesempatan menghirup udara segar dunia ini dan kesempatan berfikir untuk mencari hidayahNya. Kekejian dan keanehan ini, karena kitab-kitab syi’ah terpampang dari ujung barat sampai ujung timur dunia. Dan dalam semua kitab-kiab fikih sudah diterangkan bahwa yang mahram tidak bisa dikawini, apakah “dalam waktu” atau “permanen”. Mahram ya..mahram.

12. Me-wathi dubur itu tidak ada beda antara permanen dan mut’ah, dan di syi’ah ada dua pandangan, ada yang membolehkan dan ada pula yang mengharamkan. Kira-kira alasan pembolehannya adalah mutlaknya ayat-ayat yang mengatakan istrimu itu halal bagi kamu, atau istrimu itu adalah bajumu, atau istrimu itu adalah ladangmu seperti QS: 2:223: “Istri-istri kalian itu adalah ladang kalian, maka datangilah ladang kalian itu sesuka-suka kalian...”. Nah, mutlaknya ayat-ayat seperti ini tidak ada pengondisiannya hingga menyebabkan penyempitan hukum, kecuali seperti dalam keadaan haidh atau puasa ramadhan. Tentu saja, baik yang menghalalkannyapun, mengatakan makruh keras, terkhusus lagi kalau istrinya tidak mau (lihat semua kitab-kitab fikih/fatwa Syi’ah).

13. Poin 13 ini juga merupakan fitnah keji dan hanya pada Allah kita serahkan mereka itu. karena dalam semua kitab-kitab fikih jelas diterangkan bahwa mengumpuli istri haid, baik mut’ah atau permanen, adalah haram dan bahkan ada dendanya. Misalnya imam Khumaini ra dalam Tahriru al-Wasilah 1/44 mengatakan:

القول فى أحكام الحيض

و هى أمور : منها عدم جواز الصلاة و الصيام و الطواف و الاعتكاف لها ، و منها حرمة ما يحرم على مطلق

المحدث عليها ، و هى مس اسم الله تعالى ، و كذا مس أسماء الانبياء و الائمة عليهم السلام على الاحوط

، و مس كتابة القرآن على التفصيل المتقدم فى الوضوء ، و منها حرمة ما يحرم على الجنب عليها ، و هى

قراءة السور العزائم أو بعضها ، و دخول المسجدين و اللبث فى غيرهما ، و وضع شى ء فى المساجد على

.... ما مر فى الجنابة ، فإن الحائض كالجنب فى جميع الاحكام ، و منها حرمة الوطء بها 

مسألة 1 : لا فرق فى حرمة الوطء بين الزوجة الدائمة و المنقطعة و الحرة و الامة

Hukum-hukum Haidh:

Yaitu ada beberapa: Diantaranya adalah tidak boleh (haram) shalat, puasa, thawaf dan i’tikaf. Diantaranya juga diharamkan baginya apa-apa yang diharamkan bagi yang punya hadats, yaitu menyentuh tulisan nama-nama Allah dan nabi-nabi as begitu pula secara hati-hatinya nama-nama imam as, menyentuh tulisan Qur'an seperti yang sudah diterangkan secara rinci dalam bab wudhu. Begitu pula diharamkan baginya (haidh) apa-apa yang diharamkan bagi orang yang sedang junub, yaitu membaca surat-surat ‘azain (yang ada wajib sujudnya), memasuki dua masjid (Mekkah dan Madinah) dan menetap di dalam selain kedua mesjid tsb, begitu pula meletakkan sesuatu di dalam masjid sebagaimana sudah diterangkan di bab junub, karena sesungguhnya orang haid itu seperti orang junub dalam segala macam hukumnya. Begitu pula diharamkan mengumpulinya (orang haidh)...

Masalah 1: Tidak ada beda antara haramnya mengumpuli istri haidh dari istri permanen atau mut’ah (temporer).

Kumpul dengan istri haidh itu bukan hanya haram tapi juga harus bayar kaffarah. Dan cara membayar dendanyapun diterangkan pula di masalah 2 oleh imam Khumaini ra. Yaitu masa haidnya dibagi 3, kalau terjadi hal haram tsb di sepertiga pertama maka dendanya satu Dinar (satu keping uang mas = 5 gram), dan kalau terjadi sepertiga tengahnya maka dendanya setengah Dinar, dan kalau di sepertiga akhir, dendanya seperempat Dinar. Saya ragu apakah pemfitnah ini memiliki hukum haidh sebaik dan selengkap dari hukum haidh yang kita miliki ini. Padahal masih banyak hukum-hukum lainnya.

14. Poin 14 dan 15 diatas, adalah fitnah yang mengada-ada. Dan kalaulah di sunni ada riwayat dari keduanya (imam Ali as dan imam Jakfar as) yang mengharamkan mut’ah, maka pasti akan bernasib sama dengan pelarangan Rasul saww, yaitu akan dihukumi sebagai HADITS PALSU.

Karena ayatnya tentang mut’ah itu, jelas sekali, dan merupakan kesepakatan semua ahli tafsir sunni bahwa ayat di atas turun untuk mut’ah (lihat semua tafsir sunni). Sedang pelarangannya adalah hadits. Nah, mana mungkin ayat dihapus dengan hadits??!!!

Terlebih lagi Nabi saww sendiri mengatakan bahwa hadits yang bertentangan dengan Qur'an maka hadits bukan dari beliau saww. Ditambah lagi, ternyata, di Bukhari, Muslim dllnya, mut’ah ini sejak turunnya, tidak pernah diahapus oleh Allah dan Nabi saww, sampai kemudian dilarang oleh Umar.

Coba lihat contoh-contoh kecil dari riwayat-riwayat tentang hal ini:

a. Shahih Bukhari, Hadits no: 4518.

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عِمْرَانَ أَبِى بَكْرٍ حَدَّثَنَا أَبُو رَجَاءٍ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ - رضى الله عنهما-

قَالَ أُنْزِلَتْ آيَةُ الْمُتْعَةِ فىِ كِتَابِ اللَّهِ فَفَعَلْنَاهَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ، وَلَمْ ينُْزَلْ قرُْآنٌ

يُحَرِّمُهُ ، وَلَمْ يَنْهَ عَنْهَا حَتَّى مَاتَ قَالَ رَجُلٌ بِرَأْيِهِ مَا شَاءَ . طرفه - 1571 تحفة 10872

Dari Musaddad dari Yahya dari ‘Imran abi Bakrin dari Abu Raja’ dari ‘Imran bin Hushain ra berkata: Setelah turun ayat mut’ah dalam kitab Allah, maka kami lakukan hal itu bersama Rasulullah saww, dan tidak turun Qur'an melarangnya, dan beliau saww juga tidak melarangnya sampai meninggal. Telah berkata satu orang (Umar) dengan pendapatnya sendiri. (Ket: Tentang riwayat ‘Imran ini, dalam shahih Bukhari, ada sekitar 7 hadits --no: 4156, 4246, 2157, 3037, 1571, 1469-- riwayat yang mirip, ada yang mutlak hanya menyebut mut’ah saja seperti riwayat ini, ada pula yang menyebut mut’ah dalam haji. Hal ini tidak mengherankan karena yang dilarang Umar dari mut’ah yang telah dihalalkan Allah dan Nabi saww adalah mut’ah dalam Haji dan dengan Perempuan. Lihat hadits-hadits berikut).

b. Shahih Muslim, no hadits: 2135.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَ ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ قَتَادَةَ يُحَدِّثُ عَنْ

أَبِي نَضْرَةَ قَالَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَأْمُرُ بِالْمُتْعَةِ وَكَانَ ابْنُ الزُّبَيْرِ يَنْهَى عَنْهَا قَالَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِجَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ فَقَالَ عَلَى

يَدَيَّ دَارَ الْحَدِيثُ تَمَتَّعْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَامَ عُمَرُ قَالَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ يُحِلُّ لِرَسُولِهِ مَا شَاءَ بِمَا

شَاءَ وَإِنَّ الْقُرْآنَ قَدْ نَزَلَ مَنَازِلَهُ فَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ كَمَا أَمَرَكُمْ اللَّهُ وَأَبِتُّوا نِكَاحَ هَذِهِ النِّسَاءِ فَلَنْ أُوتَى بِرَجُلٍ نَكَحَ

امْرَأَةً إِلَى أَجَلٍ إِلَّ رَجَمْتُهُ بِالْحِجَارَةِو حَدَّثَنِيهِ زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ بِهَذَا الِْسْنَادِ وَقَالَ

فيِ الْحَدِيثِ فَافْصِلُوا حَجَّكُمْ مِنْ عُمْرَتِكُمْ فَإِنَّهُ أَتَمُّ لِحَجِّكُمْ وَأَتَمُّ لِعُمْرَتِكُ

Dari Muhammad bin al-Mutsanna dan Ibnu Basysyar, berkata Ibnu al-Mutsanna, diriwayatkan pada kami oleh Muhammad bin Jakfar, dari Syu’bah, berkata: Aku mendengar Qutadah meriwayatkan hadits dari Abu Nadhrah yang berkata: Sesungguhnya Ibnu Abbas memerintahkan mut’ah, tapi Ibnu Zubair melarangnya (mut’ah), berkata: Lalu aku katakan masalah itu kepada Jabir bin Abdillah, maka iapun berkata: Tanganku adalah gudangnya hadits, kami dulu bermut’ah di jaman Nabi saww, tapi setelah Umar jadi khalifah, ia berkata: Sesungguhnya Allah telah menghalalkan untuk RasulNya apa yang Dia kehendaki dan Qur'an telah menurunkan hukum-hukumnya (maka lengkapilah haji dan umrah untuk Allah –al-aayat) seperti yang telah diperintahkan pada kalian, dan berhentilah bermut’ah dengan perempuan, sungguh tidak didatangakan seorang lelaki yang kawin dengan perempuan dalam jangka waktu tertentu, kecuali kurajam dengan batu. Dan telah diriwayatkan padaku tentang hal itu dari Zuhair bin Harb, dari ‘Affan, dari Hammam, dari Qutaadah dengan isnad (silsilah) ini, dan berkata (Umar) dalam hadits ini: ...Maka pisahkanlah haji kalian dari umrah kalian, karena yang demikian itu lebih sempurna bagi haji dan umrah kalian.

{{ Keterangan: Orang yang tidak tinggal di Mekkah, maka haji yang harus dilakukan memiliki dua unsur global, yaitu Umrah dan Haji. Biasanya, Umrah ini dilakukan duluan, yakni ketika tidak ada halangan. Oleh karenanya begitu sampai di tanah suci, harus melakukan Ihram di Miiqaat, setelah itu melakukan tawaf, shalat tawaf, sa’i dan melepas ihramnya. Setelah Ihram dilepas, maka dihalalkan apa-apa yang tadinya diharamkan diwaktu ihram, seperti memakai wewangian dan tidur dengan keluarganya. Dengan kehalalan inilah maka haji tersebut disebut dengan HAJI TAMATTU’ (Haji Senang-senang). Kemudian, setelah itu, pada hari-hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah) melakukan Ihram lagi dari Makkah untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan Haji, seperti wukuf di ‘Arafat, kemudian Masy’ar dan Mina...dst sampai selesai. Ini semua adalah Haji dalam Islam.

Pada jaman Jahiliyyah pekerjaan-pekerjaan Haji harus dipisah dari Umrah, dan biasanya dilakukan di bulan-bulan Shafar. Dan, di masa Jahiliyyah itu melakukan Umrah di bulan-bulan haji yakni Syawwaal, Dzulqi’dah dan Dzulhijjah adalah paling besarnya dosa (Bukhari 2/152; Muslim 2/908; Musnad Ahmad 1/252; Baihaqi 4/345; dllnya). Dengan keterangan ini dapat dipahami betapa beraninya Umar. Karena dia mengatakan:

“Sesungguhnya Allah telah menghalalkan untuk RasulNya apa yang Dia kehendaki dan Qur'an telah menurunkan hukum-hukumnya...”, lalu di hadits ke dua mengatakan: “Maka pisahkanlah haji kalian dari umrah kalian, karena yang demikian itu lebih sempurna bagi haji dan umrah kalian”. 

Itu artinya dia sama dengan mengatakan : “Aku tahu Allah telah menghalalkan untuk RasulNya dalam Qur'an untuk menyambung Umrah dengan Haji, tapi aku melarang kalian untuk itu, maka itu pisahkanlah keduanya karena itu lebih baik untuk kalian”. Anda hukumi/komentari sendiri hal ini. Begitu halnya dengan mut’ah dengan perempuan, maka seakan-akan dia mengatakan: “Aku tahu Allah telah menghalalkan kawin sementara dengan perempuan di dalam Qur'an, tapi aku melarangnya dan tidak sanggup melihat lelaki melakukannya kecuali kurajam dia dengan batu (dilempari batu sampai mati)”.

Anda hukumi/komentari sendiri hal ini!!! Anda akan lihat riwayat-riwayat berikut begitu jelasnya perkataan Umar terhadap pengharaman keduanya.

c. Dan hadits-hadits serupa di Muslim masih banyak lagi, seperti hadits no 3021, 3037, 3006: 3021

 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَ ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ

قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَقِيقٍ كَانَ عُثْمَانُ يَنْهَى عَنِ الْمُتْعَةِ وَكَانَ ع لَىِ يَأْمُرُ بِهَا فَقَالَ عُثْمَانُ لعَِلىِ ك لَمِةَ ثُمَّ قَالَ

ع لَىِ لَقَدْ ع لَمِتْ أَنَّا قَدْ تَمَتَّعْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ- صلى الله عليه وسلم -فَقَالَ أَجَلْ وَلَكِنَّا كُنَّا خَائِفِينَ.

Shahih muslim no hadits: 3021.

Dari Muhammad bin al-Mutsanna dan Ibnu Basysyar, berkata Ibnu Mutsannaa, diriwayatkan kepada kami Muhammad bin Ja’far, dari Syu’bah dari Qutadah, berkata, berkata Abdullah bin Syaqiiq: Utsman melarang Mut’ah dan Ali memerintahkannya. Utsman berkata sesuatu pada Ali. Ali berkata kepadanya (Utsman): Sesungguhnya kamu tahu dengan sendirinya bahwa kitakita dulu melakukan mut’ah dengan Nabi saww. Berkata (Utsman): Memang begitu, tapi kami dalam keadaan takut.

{{ Keterangan: Coba perhatikan apa maksud Utsman ketika mengatakan bahwa dia dulu juga bermut’ah tapi dalam keadaan takut. Apakah tidak percaya pada Rasul saww? Anda nilai sendiri hal ini. }}

d. Shahih Muslim, hadits no 1226.

وحدثنا محمد بن المثنى حدثني عبدالصمد حدثنا همام حدثنا قتادة عن مطرف عن عمران بن حصين رضي

الله عنه قال : تمتعنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ولم ينزل فيه القرآن قال رجل برأيه ما شاء

Dari Muhammad bin al-Mutsannaa, dari Abdu al-Shamad, dari Hammaam dari Qutaadah dari Mathraf dari ‘Imran bin Hushain (Hishshin) ra, berkata: Kami dulu bermut’ah di jaman Rasul saww dan tidak ada ayat yang melarangnya, sampai satu orang (Umar) berkata sesuai kemauannya sendiri (karepe dewe).

e. Shahih Muslim, hadits no 2497 dan 3482.

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ

يَقُولُ كُنَّا نَسْتَمْتِعُ بِالْقَبْضَةِ مِنْ التَّمْرِ وَالدَّقِيقِ الَْيَّامَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ حَتَّى

نَهَى عَنْهُ عُمَرُ فِي شَأْنِ عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ

Dari Muhammad bin Rafi’ dari Abdu al-Razzaq, diriwayatkan pada kami Ibnu Juraih, dikatakan kepadaku Abu al-Zubair, ia berkata: Aku mendengar Jabir bin Abdullah berkata: Kami dulu bermut’ah dengan segenggam kurma dan tepung (sebagai mahar/upah) untuk beberapa hari (waktu mut’ahnya) di jaman Rasul saww dan Abu Bakar, sampai dilarang Umar ketika ia melarang Umar ibnu Haarits.

f. Baihaqi, hadits no 14554.

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مُوسَى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَيُّوبَ أَخْبَرَنَا مُوسَى

بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِى نَضْرَةَ عَنْ جَابِرٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قلُْتُ : إِنَّ ابْنَ الزُّبَيْرِ يَنْهَى

عَنِ الْمُتْعَةِ وَإِنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ يَأْمُرُ بِهَا. قَالَ : عَلَى يَدَىَّ جَرَى الْحَدِيثُ تَمَتَّعْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه

وسلم- وَمَعَ أَبِى بَكْرٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فَلَمَّا وَلِىَ عُمَرُ خَطَبَ النَّاسَ فَقَالَ : إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه

وسلم- هَذَا الرَّسُولُ وَإِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ هَذَا الْقُرْآنُ وَإِنَّهُمَا كَانَتَا مُتْعَتَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه

وسلم- وَأَنَا أَنْهَى عَنْهُمَا وَأُعَاقِبُ عَلَيْهِمَا إِحْدَاهُمَا مُتْعَةُ النِّسَاءِ وَلاَ أَقْدِرُ عَلَى رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً إِلَى أَجَلٍ إِلاَّ

غَيَّبْتُهُ فِى الْحِجَارَةِ وَالأُخْرَى مُتْعَةُ الْحَجِّ افْصِلُوا حَجَّكُمْ مِنْ عُمْرَتِكُمْ فَإِنَّهُ أَتَمُّ لِحَجِّكُمْ وَأَتَمُّ لِعُمْرَتِكُمْ

Dikabarkan pada kami oleh Muhammad bin Abdullah al-Hafizh dari Abdullah bin Muhammad bin Musa, dari Muhammad bin Ayyub, dari Musa bin Ismail, dari Hammam dan Qutadah dari Nadhrah dari Jabir ra. Ia (Abi Nadhrah) berkata (pada Jabir): Sesungguhnya Ibnu Zubair melarang mut’ah dan Ibnu Abbas memerintahkannya. Berkata (Jabir): Peristiwa itu terjadi di hadapanku.

Sungguh kamu dulu bermut’ah di jaman Nabi saww dan Abu Bakar ra. Tapi ketika Umar jadi khalifah, dia berpidato: Sesungguhnya Rasulullah saww, Rasul ini, dan sesungguhnya Qur'an, Qur'an ini, sesungguhnya di dalam keduanya telah dihalalkan dua mut’ah di jaman Rasul saww, tapi sekarang aku melarang keduanya dan menghukum atas keduanya. Salah satunya adalah MUT’AH DENGAN PEREMPUAN, sungguh aku tidak akan tahan melihat lelaki mengawini perempuan dalam waktu tertentu kecuali kupendam dengan batu (dilempari sampai mati/rajam), dan yang satunya lagi adalah MUT’AH DALAM HAJI, maka dari itu pisahkanlah haji kalian dari umrah kalian, karena yang demikian itu lebih sempurna bagi haji dan umrah kalian. 

{{Komentari sendiri!! Hadits ini serupa dengan yang di Muslim di atas }}

g. Musnad Ahmad bin Hambal, jilid 3, hal 95.

روى الإمام أحمد بن حنبل ، بسنده عن عبد الرحمان بن نعم أو نعيم ، قال: سأل رجل ابن عمر عن المُتعة

وأنا عنده مُتعة النساء فقال والله ما كنَّا على عهد رسول الله صلّى الله عليه وآله وسلّم زانين ولا

مُسافحين. ورواه في ص 103 أيضاً بطريق آخر ، وقال فيه: فغضب يعني ابن عمر وقال : ما كنَّا على

: 3/ عهد رسول الله صلّى الله عليه وآله[ وسلّم زنَّائين ولامُسافحين سند 95

Dari Abdurrahman bin Na’am atau Na’im, berkata: Seseorang bertanya kepada Ibnu Umar tentang Mut ‘ah (dengan perempuan) dan aku di dekatnya. Maka dia (Ibnu Umar) berkata: Demi Allah sesungguhnya kami di jaman Nabi saww tidak berzina dan kumpul kebo.

{{Keterangan: Dari tanya jawab ini dapat diketahui bahwa sebagian orang di jaman itu telah menilai bahwa kawin Mut’ah itu adalah zina. Persis dengan apa yang sudah ditulis oleh penulis di atas, dan orang-orang yang berpihak padanya. Kami hanya bisa menyerahkan urusanurusan mereka itu kepada Allah swt, apakah Dia akan mengazab mereka atau memberikan mereka kesempatan bertaubat.}}

h. Musnad Ahmad bin Hambal, jilid 3, hal 304.

روى الإمام أحمد بن حنبل بسنده ، عن جابر بن عبد الله ، قال : كنَّا نتمتَّع على عهد رسول الله صلّى الله

3/ عليه وآله وسلّم( وأبي بكر وعمر ، حتَّى نهانا عمر أخيراً ، يعني : مُتعة النساء - المسن 304

Dari Jabir bin Abdullah, berkata: Kami dl bermut’ah di jaman Nabi saww dan Abu Bakar, sampai dilarang oleh Umar, yakni Mut’ah dengan perempuan.

i. Abu Daud, jilid 7, hal 217.

روى أبو داود الطيالسي بسنده ، عن مسلم القرشي ، قال : دخلنا على أسماء بنت أبي بكر ، فسألناها عن

مُتعة النساء ، فقالت : فعلناها على عهد النبي صلّى الله عليه وآله وسلّم - مُسند أبي داود الطيالسي:

7/217

Dari Muslim al-Qurasyi, berkata: Aku mendatangi Asma’ bintu Abu Bakar, dan aku bertanya tenatang Mut’ah dengan perempuan (kawin sementara). Iapun (Asma’ bintu Abu Bakar) berkata: Kami dulu melakukannya di jaman Nabi saww. {{ Keterangan: ??? !!! }}

j. Syarah Ma’ani al-Atsar, jilid 3, hal 24.

روى الطحاوي بسنده ، عن سعيد بن جبير ، قال : سمعت عبد الله بن الزبير يخطُب ، وهو يُعرِّض بابن

عباس يُعيب عليه قوله في المُتعة. فقال ابن عباس : يسأل أُمَّه إنْ كان صادقاً ؛ فسألها. فقالت : صدق ابن

عباس ، قد كان ذلك.

، : 3/ فقال ابن عباس : لو شئت لسمَّيت رجالاً مِن قريش ولدوا فيها يعني في المُتعة شرح معاني الآثار 24

تحقيق الشيخ محمد زهري النّجار

Dari Said bin Jubair, berkata: Aku mendengar Abdullah bin Zubair berpidato dan ia (dalam pidatonya itu) menjelek-jelekkan Ibnu Abbas yang telah menghalalkan mut’ah. Maka Ibnu Abbas berkata: Kalau dia benar dengan perkataannya, maka hendaknya dia bertanya pada ibunya (tentang mut’ah ini). Maka iapun bertanya pada ibunya. Ibunya berkata: Ibnu Abbas itu benar. Mut’ah itu memang demikian (halal). Berkata Ibnu Abbas: Kalau aku mau, maka sudah kusebutkan siapa-siapa dari Qurasy yang lahir dari perkawinan mut’ah ini.

k. Syarah Ma’ani al-Atsar, jilid 3, hal 26.

روى الطحاوي بسنده ، عن عطاء ، عن ابن عباس ، قال : ما كانت المُتعة إلاّ رحمةً رَحِم الله بها هذه الأُمَّة

3/ ، ولولا نهي عمر بن الخطاب عنها ؛ ما زنى إلاَّ شَقيٌّ. شرح معاني الآثار 26

Dari Tahawi dari ‘Atha’ dan Ibnu Abbas, berkata: Sesungguhnya mut’ah itu tidak lain kecuali merupakan rahmat dari Allah untuk umat ini (Islam). Dan sesungguhnya, kalaulah Umar bin Khaththab tidak melarangnya, maka tidak akan ada orang berzina kecuali yang keterlaluan.

l. Tafsir Kabir Karya Fakhru al-Razi.

الفخر الرازي ، في تفسيره الكبير ، في سورة النساء ، في ذيل تفسير قوله تعالى : ... فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ

مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ... ، قال : وروى محمد بن جرير الطبري ، في تفسيره ، عن علي بن أبي طالب ،

أنَّه قال :لولا أنَّ عمر نهى الناس عن المُتعة ؛ ما زنى إلاَّ شَقيٌّ

Dalam tafsirnya terhadap ayat mut’ah, mengatakan: Diriwayatkan dari Muhammad ibnu Jarir Thabari di dalam tafsirnya, dari Ali bin Abi Thalib bahwa dia berkata: Kalau Umar tidak melarang mut’ah, maka tidak akan ada yang berzina kecuali yang keterlaluan. 

m. Musnad imam Syafi’i, hal 132, dan Sunan Kubra Baihaqi, jilid 7, hal 206.

روى الإمام الشافعي بسنده ، عن عروة : أنَّ خولة بنت حكيم ، دخلتْ على عمر بن الخطاب فقالت : إنَّ

ربيعة بن أُميَّة استمتع بامرأة ؛ فحملت منه ، فخرج عمر يَجرُّ رِداءه فَزْعَاً ، فقال: هذه المُتعة ، ولو كنت

7/ تقدَّمت فيه لرجمت - مُسند الإمام الشافعي : ص 132 ط آگره الهند ، السُّنَن الكبرى للبيهقي 206

Dari ‘Urwah: Sesungguhnya Khaulah bintu Hakim mendatangi Umar bin Khaththab dan berkata: Sesungguhnya Rabi’ah bin Umayyah bermut’ah dengan perempuan dan hamil karenanya. Lalu Umar keluar buru-buru dengan menjinjing karena ketakutan sambil berkata: Mut’ah ini..., kalau dia kutemui maka akan kurajam dia.

Simpulan: Dengan semua penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa fitnahan di atas ditulis oleh orang yang tidak mengerti hadits-hadits mereka sendiri, atau kalaulah mengerti, berarti mereka telah mengikuti langkah Umar yang terang-terangan menentang Allah dan RasulNya saww sebagaimana tertera dalam hadits-hadits di atas. Dan mereka-mereka ini sudah tentu merasa berbuat kesucian seperti Umar. Kami tidak bisa berbuat apapun kecuali memberikan penerangan semampunya. Tentang mereka-mereka ini kita serahkan pada Allah yang tahu rahasia agamaNya.

Begitu pula dapat diketahui bahwa kesamaan yang difitnahkan antara mut’ah dan zina itu, adalah kesamaan yang diada-adakan. Oleh karena itulah Ibnu Abbas ra dan imam Ali as mengatakan bahwa andaikata Umar tidak melarang mut’ah, maka tidak akan ada orang yang berzina kecuali yang keterlaluan. Mengapa begitu? Karena jelas mut’ah bukan zina sebagaimana jelas dikatakan dalam ayat di atas, dan hukum yang diberikan Nabi saww. Ke dua, ketika mut’ah sudah dibolehkan sebagai kemudahan dan rahmat, maka mengapa masih mau mencari zina yang tanpa iddah, tanpa aturan dan syarat-syarat lainnya. Ke tiga, zina dikatakan zina karena hanya saling rela, tapi tanpa akad nikah. Begitu pula tanpa iddah setelahnya. Dan, tentu saja tanpa tanggung jawab terhadap anaknya karena tdk(tidak) akan ketahuan siapa ayahnya yang disebabkan tidak adanya iddah tsb.

Tapi mut’ah, sudah jelas ada akad nikahnya, syarat-syaratnya (seperti ijin wali, bukan muhrim, dan jangankan punya suami dalam iddah saja tidak boleh dan jadi zina, ...dst), iddahnya, tanggung jawab terhadap anak yang lahir karenanya....dst.

Nah, sekarang hukumilah sendiri, karena dunia-akhirat masing-masing orang milik dirinya sendiri. Semoga Tuhan melindungi Islam ini dari perusaknya. Sambung doanya.

Indra Gunawan: Ahsantum ustadz .. Bahasa tulisan antum ’tajam’ sekali ..

Aroel D’ Aroel: ,, Mantap Ustad...Ana ijin copy ya ustad.. Afwan ...

Etika Maria: Syukran ustadz!!

Agoest D. Irawan: Semoga Allah senantiasa memberkahi Ustadz sekeluarga dan kami turut teraliri olehnya. Syukran.

Ibrohim Abd Shidiq: Subhanalloh,,,Syukron katsir ustadz,,,begitu mudah dipahami,,, Ijin kopy ustadz,,,

Salman Saydi: Terimakasih ustadz...

Zainab Naynawaa: Syukron ustadz..atas pengetahuannya...ana save.

Prita Raihanita: Iya.... tetapi, walaupun Nikah Mut’ah tidak sama dengan Zina, tetap saja kalau jurus Mut’ah dipakai buat main-main sama pelacur, atau buat melepas syahwat di lokalisasi, yaa... mirip-mirip deh...

Setau saya, pernikahan yang dihalalkan itu adalah nikah yang tidak menimbulkan fitnah, tidak menyakiti hati istri ataupun perempuan lain, tidak bikin malu keluarga apalagi ahlulbait Nabi saw, alias tidak menzhalimi pihak-pihak lain ataupun menzhalimi diri sendiri. Entah deh, kalau di fiqh mut’ah boleh begitu....

Husein Jon: Syukron sudah ditag..ana suka ini.

Sinar Agama: Terimakasih untuk komentar-komentar teman-teman baik yang dukung atau yang tidak, semoga Tuhan memberikan pahala kepada hambaNya yang menerima hidayah dan membelanya, amin.

Sinar Agama: Prita:

1. Bicara ketertindasan harus pakai ukuran agama, yakni harus pakai dalil, tidak boleh pakai selera.

2. Sakit hati bukan ukuran ketertindasan, kecuali sakit hati yang memang dibenarkan agama.

3. Kita tidak bisa beragama, dengan mengimani sebagian dan mengingkari sebagian, seperti yang dikecam dalam ayat, nanti tidak beda dari yang mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Allah.

4. Kalau yang dimaksud status yang memalukan adalah punyaku ini, baiklah nanti tidak akan kukirim lagi kamu, tapi ingat bahwa aku menjawab orang yang sedang membuat fitnah, apakah kamu tdk membaca bahwa tulisan ini adalah sebuah jawaban?

5. Malu atau tidak, bukan ukuran Islamnya Islam, karena Islam tidak diukur dengan perasaan kita, tapi bahkan sebaliknya.

6. Otak dan pikiran kita banyak yang tidak mentok dengan agama, artinya tidak menjangkaunya, tapi hal ini bukan alasan untuk menolak dan atau merasa malu terhadapnya.

7. Islam itu memiliki gradasi dalam membimbing masyarakat. Kalau mau yang irfan, ada dalam Qur'an, mau menambahi akhlak ke atas fikih, juga ada dalam Qur'an, mau sekedar fikih halalharam saja, juga ada dalam Qur'an. Nah, anda yang suci silahkan pilih yang paling tinggi, tapi tidak berhak mengharamkan yang telah dihalalkan Allah, kecuali kamu memang punya dalil Allah dan NabiNya. Tapi kalau sudah tidak terbantahkan, maka kamu dan siapa saja tidak lagi berhak melecehkannya, karena bisa terancam neraka. Emangnya kita lebih tahu dariNya?

Kalau aku tidak lebih tahu dariNya, tidak lebih peka dariNya, tidak lebih berpengalaman dariNya, tidak lebih menjaga perasaan dariNya, tidak lebih kasihan dariNya, tidak lebih hati-hati dariNya, tidak lebih akhlaki dariNya, tidak lebih halus dariNya......dst, maka itu kalau Dia tidak malu menerangkan hukumNya, mengapa aku malu. Tugas kita yang penting itu adalah memahami syariatNya. Kalau belum sepaham adu dalil dengan cermat dan lapang dada.

Nah, kalau semua itu sudah ditempuh, dan kita sudah dapatkan apa-apa yang halal, misalnya, dan dalilnya terang, jelas dan tidak bisa dibantah, maka sudah menjadi tanggung jawab kita membelanya, mengurainya dan memberikan penjelasan filosofis setelahnya. Artinya sudah menjadi tugas kita maju ke medan laga membanggakan Islam kita ini, dan memberikan pendekatan filosofis, sosiologis, psikologis ...dst, bukan ngumpet, dan atau mengingkarinya atau malu terhadap ajarannya. Dan ingat, yang kita lakukan di sini adalah menjawab fitnahan orang. Bagi saya kalau diam, malah bisa berarti sepakat, dan atau menerima tuduhannya, dan bahkan bisa melemahkan iman kita kalau kita malah merasa malu dengan hukum Islam kita ini. Bagi saya kalau tidak mengerti filsafatnya, atau kata ilmiahnya ILALU AL-SYARAYI’-nya, alias sebab dihalalkannya, maka kan lebih baik mencarinya dengan dalil dan doa serta diskusi.

Yah...jalan kita bisa beda,, tapi aku tetap mendoakanmu, maafkan aku telah mengirim tulisanku padamu, kukira kamu memerlukannya. Kalau begitu saya tidak akan berani lancang lagi, dan kalau nanti ternyata kamu inginkan beberapa tulisanku, kamu bisa minta ditag atau silahkan kunjungi statusku, in syaaAllah masih banyak yang bisa kita pelajari bersama.

Ahsanti. Wassalam,

Sinar Agama: Untuk mas Abdullah Islamail: Terimakasih atas komentarnya.

1. Saya menulis ini memang panjang untuk ukuran fb, hal itu karena sudah kesal sedikit. Sebab saya sudah seringkali menjawab mereka di komentar, tapi masih bertalu-talu terus genderang fitnah yang mereka sebarkan. Jadi, saya buat yang agak panjang sedikit.

2. Saya banyak tidak nyambung dengan poin-poin antum itu.

3. Saya biasanya tidak terlalu memusingkan orang mau hidup seperti apa, karena tanggung jawabnya sendiri-sendiri, walau kalau saya bisa memberikan nasihat maka pasti saya lakukan.

Tapi biasanya tdk terlalu saya bawa ke hati. Oleh karena itu saya jaga sebisanya kata-kata supaya tidak memakai yang jelek. Karena saya sibuk dan banyak yang masih dikerja, juga kurang banyak tahu tentang status orang lain dan saya sendiri bersembunyi, karena banyak hal. Jadi, maaf kalau saya tidak bisa menjawab pertanyaan antum yang memang tidak membawa masalahnya. Kalau antum bawakan masalahnya, maka untuk sekedar bahasan ilmu saya akan mencoba menjawabnya. Tapi bukan mau menyelesaikan pertikaian, karena hal itu harus mendengar kedua belah pihak, dan saya rasa hal itu jauh dari jangkauan fb. Jadi, yang ilmu-ilmu saja yang akan saya komentari.

Prita Raihanita: Tidak semua yang ada dalam quran ataupun dalam hadits harus anda amalkan tanpa melihat situasi dan kondisi.

Ajaran Poligami saja yg jelas-jelas ulama menyepakati kehalalannya dalam islam harus anda amalkan dengan bijaksana.,..apalagi urusan mut’ah-mut’ahan yang sebagian besar mazhab islam ini mengharamkannya. Apalagi.... mut’ah-mut’ahan sama pelacur yang menurut ulama-ulama anda hukumnya makruh syadid. Saya mau tanya, seandainya mut’ah dengan PSK itu hukumnya memang makruh, apakah melangkahkan kaki ke lokalisasi-lokalisasi maksiat serta segala perbuatan pra mut’ah dengan PSK itu termasuk dihalalkan? 

Setau saya, orang kalau mau mut’ah sama pelacur itu kan gak langsung mut’ah aja. Pasti ada ngobrol-ngobrol, ngerayu-ngerayu, pegang-pegang... gitu lah. Apa itu juga dihalalkan?

Sinar Agama: Qur'an itu hanya bisa dikondisikan/diqariinahi dengan Qur'an atau hadits atau makshum, bukan sampean atau siapa saja mbak. Kok bisanya agama pakai selera dan kondisi sendiri, mending kalau mujtahid yang tahu keterkondisian sesuatu dari Qur'an dan hadits. Lah, ini sudah bukan mujtahid, mengkondisikan Qur'an dan hadits serta fatwa para marjak lagi. Ya... saya berlepas diri dari ini dan anda hukumi sendiri tulisan-tulisanmu ini. Lagi pula saya juga heran beberapa tulisanmu di sini ini sama sekali tidak mengenaiku. 

Semoga kamu baca dengan cermat sekali lagi atau dua kali lagi lalu bandingkan dengan tulisanmu, kuharap nanti ketahuan dimana nyasarnya. Btw ana ucapkan terimakasih atas komentarmu. Salah satu nyasarnya adalah yang kamu urai tentang praktek ini dan itu tsb. 

Saya no komentar, anjuranku jangan berkata sesuatu yang tidak pasti, baik dengan dalil atau dengan indra yang menyeluruh. Kamu bilang statusku memalukan. Kukira komentarmu jauh lebih memalukan, kalau mau diukur dengan malu-maluan. Coba deh baca sekali lagi. Tapi jangan berikan kita wahyu-baru dengan mengatakan yang ada di Qur'an tidak untuk diamalkan, atau jangan kamu amalkan, atau janganlah kita dikasih hadits baru dengan mengatakan yang ada di Qur'an harus dikondisikan, karena kami tidak akan mau dengan wahyu-wahyu baru atau hadits-hadits baru, takut jadi kayak Umar yang mengharamkan mut’ah karena kondisi.

Prita Raihanita: Siapa sih yang bilang status kamu ini memalukan?

Perlu kamu ketahui, saya menghormati ijtihad para mujtahid dalam hal ini walaupun itu tidak sesuai dengan fiqh yang saya anut. Namun, saya hanya menghimbau agar anda sekalian bijaksana dalam pelaksanaan suatu hukum. Jangan sampai pelaksanaan suatu hukum islam itu malah memberikan fitnah kepada islam itu sendiri.

Para mujtahid juga berijtihad tetap dengan memperhatikan situasi dan kondisi. Anda harus faham dulu tentang bisanya perubahan suatu hukum awwali kepada hukum tsanawi yang menjadikan situasi dan kondisi sebagai elemen pertimbangannya.

Nikah mut’ah memang pada hukum awwalinya adalah halal menurut ijtihad sebahagian ulama (terutama ulama anda), namun tak menutup kemungkinan Nikah temporer seperti itu berubah hukumnya menjadi Makruh ataupun Haram..... atau malah menjadi wajib. Namun perkara seperti itu harus diserahkan kepada mujtahid untuk memikirkannya.

Sinar Agama: Prita: Saya salah baca tentang tulisanmu, kukira itu tulisanmu, habis tampilan di hp (karena sedang tidak pakai komputer) bagiku terlihat seperti kamu yang nulis padahal Ismail kalau nggak salah yang menulis namamu di depannya, dia sudah bener sih, tapi aku yang salah, afwan, ini yang kubaca itu:

“Prita Raihanita... bicara ttg ”korban mut’ah” lbh banyak opini drpd fakta. Ttg bikin malu, status2 Anda malah memalukan lho”

Tentang hukum awwali dan tsanawi itu kamu benar-benar salah. Benarnya karena memang ada hukum tsanawi dalam Islam dan difatwakan oleh para maraji’. Salahnya karena kamu mengatasnamakan hukum tsanawi para maraji’ pada seleramu sendiri. Mana bisa dan mana boleh, hanya berdasar pada ketidak sukaan diri lalu nakut-nakutin orang dengan kemungkinan hukum tsanawi? Hukum tsanawi (ke dua) memang ada, tapi para maraji’ yang akan mengatakannya, dan kita-kita tidak berhak membuatnya, dan tidak berhak pula menakwilkan atau bahkan memungkinkan ketidaksukaan kita pada hukum tsanawi itu. Yang aku salah hanya diperkataan yang mengatakan bahwa kamu mengatakan statusku memalukan, selainnya aku masih merasa benar sesuai argumen yang kuajukan, afwan, bisa diteruskan kalau kamu mau.

Prita Raihanita: Oke,deh...selamat mengajarkan bermut’ah ria dengan pelacur. Kalau rumah tangga dan harga diri anda hancur karenanya, silahkan tanggung sendiri.’
Tentang korban mut‘ah lebih banyak opini daripada fakta? Ah, yang beneeer? Saya membahas mut’ah dengan PSK, lho... bukan mut’ah yang lain.

Sinar Agama: Duh mbak prita ini kok makin keras, pertama yang bawa masalah itu, kamu sendiri, hingga kalau kamu katakan aku ngajarin yang seperti itu maka itu tuduhan nyasar.

Aku hanya mengomentarimu yang memasukkan rasa suka dan tidak suka dalam agama dan bersembunyi di ketiak hukum tsanawi. Jadi, bukan ngajarin, apalagi ngamalin. Tapi siapa yang mau melakukan yang dihalalkan Tuhan, tidak bisa diganggu gugat, dan tidak boleh orang nakut-nakutin dengan hukum tsanawi yang dikarangnya sendiri atau setidaknya memungkin-mungkinkan sendiri. Kalau ada yang melakukan, dan anda benar dalam memungkinkan kemudharatannya itu, paling-paling mereka menderita di dunia, tapi kalau memaksakan seleranya dalam agama dan membuat agama bayangan dalam agama suci ini, seperti mbak ini, maka deritanya nanti di akhirat di samping bala dunianya. Oleh karenya ana tidak mau mengatakan kepadamu: “Silahkan saja terus memasukkan seleramu dalam memahami agama tanpa argumen yang syah, nanti kan kamu sendiri yang akan menderita”.

Saya tidak akan bilang begitu, karena semua ikhwan dan akhwat, saya anggap badan atau diri saya sendiri. Maksudnya, anggap saya benar dalam masalah ini, akan tetapi saya tidak ingin ada orang lain menjadi salah dan terus dalam kesalahannya. Yakni aku akan tetap berusaha memberikan penjelasannya. Afwan berat nih. Coba lihat lagi tulisan-tulisanku itu, baik di status atau di komentar atau dimana saja, insyaaAllah tidak akan ditemui tulisan-tulisan seperti PSK atau apa itu, karena aku merasa risih dengan omongan dan tulisan seperti itu. Tapi kalau ada orang yang membahasnya secara salah, biasanya aku komentar, tanpa meniru menulisnya atau penulisannya, yang contohnya seperti PSK itu, dimana saya sudah terpaksa menulisnya pula.

Afwan pada yang lain.

Tentang korban mut’ah itu, sudah pasti karangan belaka. Karena di dalam kata-kata itu terdapat misi menyalahkan lelaki. Saya tidak akan bela lekaki, tapi mau membela hukum dan filsafat mut’ahnya. Yakni ketika mut’ah itu sudah dijalankan dengan syarat-syarat seperti ijin wali bagi wanitanya,...dll-nya, maka berarti sudah ada kerelaan di antara kedua mempelai. Terlebih lagi yang memulai aqad itu si perempuannya, dan yang lelaki hanya menagatakan qobiltu. Nah, dalam keadaan seperti ini, kalau sudah selesai waktunya, ya...selesai pula masa kehalalannya. Terus mananya dan siapanya yang menjadi korban?

Prita Raihanita: Korban Mut’ah sudah pasti karangan belaka? Sayang sekali anda tidak tau faktanya, ya. Berapa banyak rumah tangga teman-teman saya yang melakukan mut’ah dengan pelacur mengalami goncangan, bahkan sampai kepada perceraian. Anak-anak mereka pun menjadi korban bagi perseteruan mereka dan anak-anaknya mendapat malu karena ayahnya ketahuan main-main sama pelacur. Apa ini cuma karangan saya belaka?

Dan beberapa teman yang melakukan mut’ah dengan pelacur ini pernah meminta obat antibiotik kepada saya karena Kencing Nanah. Entah apa yang telah mereka tularkan kepada istri mereka.

Apakah anda juga mengatakan ini cuma karangan saya belaka untuk memfitnah hukum nikah mut’ah? Sekali lagi... saya tidak menyoroti mut’ah yang dilakukan dengan bijaksana dan dengan wanita baik-baik. Saya membahas mut’ah dengan pelacur atau PSK.

Komar Komarudin: Mbak Prita ....Menyoal kasus Mut’ah kasus perkasus memang benar adanya tapi bukankah itu prilaku (oknum).. akan tetapi akan kurang bijaksana apabila digeneralisir bahwa prodak hukum ini, secara tidak lansung menjadi latar belakang sebab terjadinya fonemena yang anti gambarkan, sementara kita tau bahwa ini adalah wilayahnya para Mujtahid, tinggal masalahnya adalah sebagai orang yang menjalankan hukum itu...tidak hanya mengerti halalnya saja, namun dari asfek kondisi lingkungan, ahlahk harus juga dikuasai, karena banyak juga nasehat dari para Imam tentang pentingnya menjga akhlak dalam prilaku Mut’ah, diantaranya satu riwayat dari Imam Shodiq (as) beliau bersabda:

لا تبغضونا عند نساءكم بالمتعة

"Jangan kalian membuat Kami AhluBait dibenci oleh Wanita-wanita kalian dengan melakukan nikah Mut'ah".

Dari riwayat ini dapat disimpulkan bahwa kita harus menjaga Nama Besar Ahlul Bait dengan menunjukkan Akhlaq luhur, dan membangun budi pekerti yang baik dimulai dari kehidupan keluarga kita, membangun kasih sayang, menjaga sikap jangan sampai membuat keluarga sakit hati dan tersinggung karena perbuatan bodoh kita, karena hal itu akan membuat wajah Ahlul-Bait tercoreng. Wal Akhsil ....tidak perlu di perpanjang debatnya.. (Sinar M)..sebagai Ilmuan AGAMA dan memang mengetahui betul hukum, Kita juga menaruh penghormatan yang luar biasa karna begitu cakap dan konprehensif panjang lebar argument dalil baik nas dan akal (sekalipun mengutip tulisan temannya ), sehingga kita dapat menyerap dan menambah perbendaharaan keilmuan kita, yang mungkin ada kurangnya sebagai orang ( syiah) awam ....al Afwu....sukron.

Prita Raihanita: Imam Shodiq (as) beliau bersabda:

”Jangan kalian membuat Kami AhluBait dibenci oleh Wanita-wanita kalian dengan melakukan nikah Mut’ah”.

Dari riwayat ini dapat disimpulkan bahwa kita harus menjaga Nama Besar Ahlul Bait dengan menunjukkan Akhlaq luhur, dan membangun budi pekerti yang baik dimulai dari kehidupan keluarga kita, membangun kasih sayang, menjaga sikap jangan sampai membuat keluarga sakit hati dan tersinggung karena perbuatan bodoh kita, karena hal itu akan membuat wajah Ahlul-Bait tercoreng.

<<<<< Ini dia yang saya maksud dari apa yang telah saya utarakan di atas. Semoga anda faham maksud saya. Mudah-mudahan para pengikut ahlibait lebih mengedepankan akhlak dalam melaksanakan suatu produk hukum seperti Mut’ah ini dan yang sejenisnya.

Sinar Agama: Terimakasih atas tanggapan semuanya. Seandainya mas K-K menyebutkan alamat hadits di atas, maka mudah bagiku untuk mengomentarinya secara lebih ilmiah, semampunya.

Sinar Agama: Saya sudah berusaha mencarinya, tapi tidak didapat, bahkan dengan program komputer sekalipun. Anggap hadits itu ada dan shahih, maka dalam memahami hadits itu tidak bisa dengan satu hadits saja, tapi harus dikomperasikan dengan Qur'an dan hadits-hadits lain yang shahih.

Kalau bertentangan dengan ayat dan hadits lain, maka dilihat bisakah ia dipadukan atau tidak bisa. Hadits tersebut sudah tentu bertentangan dengan ayat dan hadits yang lain yang membolehkan kawin (permanen atau mut’ah) dengan orang-orang yang boleh dikawini. 

Apalagi dalam hadits itu tidak ada pernyataan dengan wanita yang tidak baik. Jadi, kalau anda mau mengikuti pahaman anda dan cara hidup anda wahai mbak Prita, maka dengan perempuan baik-baikpun menjadi tidak boleh atau, setidaknya tidak akhlaki. Padahal kawin adalah sunnah hukumnya, baik permanen atau mut’ah (hadits di atas, nanti di catatan lainnya, di masa datang, akan dibahas dengan lebih seksama dimana hasilnya bahwa hadits tersebut secara jelas memaksudkan mut’ah jor-joran, bukan dikala diperlukannya saja, sementara mut’ah ini, walau pada dasarnya halal,akan tetapi ia ditujukan secara utamanya, kepada yang memerlukannya alias dalam keadaan darurat, bukan dalam keadaan pemuasan nafsu-halal belaka).

Sedang masalah dengan mut’ah dengan wanita yang tidak baik, maka hadits itu (kalau dipahami seperti itu) akan tetap bertentangan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits lain yang membolehkannya.

Sekarang apa bisa dipadukan? Jawabannya bisa, itulah yang diambil dan disimpulkan oleh para marja’. Yakni makruh.

Jadi, larangan dalam hadits ini (kalau ada dan shahih, di kemudian hari hadits semacam ini, akan dibahas lebih rinci, in syaa-a Allah), yakni yang melarang kita supaya istri kita tidak membenci Ahlulbait as karena mut’ah, bukan berarti menjadikan mut’ah tsb menjadi haram yang dikarenakan istrinya sakit hati (dan halal kalau tidak sakit hati). Tapi menyuruh kita bijaksana dalam melakukan kesunnahan itu, supaya istri kita yang kalau belum ikhlash menerima Islam, bisa lebih terjaga dari neraka dan tidak lebih menjauh dari para Ahlulbait as. Ini untuk mut’ah dengan yang baik-baik (misalnya juga tidak jor-joran dan hanya melakukannya dikala dalam keadaan darurat).

Sedang yang dengan wanita tidak baik, maka kesunnahannya itu menjadi menipis karena bercampur dengan kemakruhan. Memang ada ulama yang mengatakan bahwa kalau wajib/ sunnah bercampur dengan makruh maka pahala wajib/sunnahnya jadi hilang dan gantinya adalah makruh. Dengan demkian dengan kedua pandangan inipun kesimpulannya adalah, disamping menolong istri kita seperti yang sudah diterangkan di atas, mut’ah tsb bisa memiliki efekefek samping dunia, seperti makruh-makruh lainnya, misalnya penyakit ..dsb. Tapi ingat, semua itu, tidak terus membuat perbuatan tersebut menjadi haram, dan harus diperangi serta dibodohbodohkan dengan kebencian atau dipaparkannya di fb.

Sampai sekarangpun saya tidak pernah membahas hal ini kecuali sekarang dimana karena anda yang membawanya, karena anda wahai mbak Prita. Anda yang membuka masalah pribadi seseorang di atas, bagi saya, jauh lebih buruk dari pelakunya, karena pekerjaan anda ini akan membuat orang yang pendek pikiran, tipis iman, yang ragu pada kebenaran Islam secara menyeluruh, yang merasa lebih tahu dari Tuhan, akan menjadi semakin tidak menyukai Islam itu sendiri.

Bagi Islam atau bagi ulama, menjaga keharaman itu lebih penting dari segala macam efek-efek dunia. Karena memerangi yang benar, sekalipun kebenaran di tingkat yang paling rendah, yaitu makruh, akan membuat kita menghadapi Si Empunya Agama itu sendiri nanti di akhirat. Ini yang pertama. Ke dua, jatuhnya seseorang ke dalam efek dunia, seperti penyakit, jauh lebih baik dari pada jatuh ke dalam jurang jahannam dunia-akhrat.

Manusia itu memiliki kemampuannya sendiri-sendiri dan berbeda-beda. Ada yang bisa menjaga shalat wajibnya dengan kesunahan-kesunahannya, ada yang tidak, ada yang bisa melakukan shalat malam ada yang tidak, ada yang bisa menghindari makruh dan ada pula yang tidak. Islam tidak memukul rata semua orang hingga diberikannya satu peraturan yang sama. 

Tapi Islam, satu kalipun juga, tidak pernah mengijinkan pemeluknya sok suci dari kemakruhan itu dan menghinakan hukum serta pelakunya. Karena sok suci akan melahirkan kekafiran dalam dada. Karena akan persis sama seperti syetan yang tidak mau sujud kepada nabi Adam as, karena dia merasa dengan pikirannya bahwa Allah telah salah dengan perintahNya itu, yakni salah dengan hukumNya itu. Kalau mbak Prita memberi saya satu milyard untuk mut’ah dengan wanita yang dimaksud itu, maka saya tidak akan mau. Tapi saya, dan siapapun juga, tidak berhak untuk melecehkan hukum Islam ini yang, sudah tentu merupakan rahmat sesuai dengan tingkatannya sendiri-sendiri.

Prita Raihanita: Anda (Prita) yang membuka masalah pribadi seseorang di atas, bagi saya, jauh lebih buruk dari pelakunya, karena pekerjaan anda ini akan membuat orang yang pendek pikiran, tipis iman, yang ragu pada kebenaran Islam seara menyeluruh, yang merasa lebih tahu dari Tuhan, akan menjadi semakin tidak menyukai Islam itu sendiri.

1. Itu bukan masalah pribadi seseorang, tetapi masalah suatu jama’ah.

2. Kok saya yang dipersalahkan mengkritik Mut’ah dengan PSK? Bukankah yang melakukan Mut’ah dengan PSK itu mempermalukan jama’ah ahlbait, bahkan para Imam sekaligus, jika perilaku mut’ahnya disoroti dan terbongkar di depan umum terutama di depan anak istrinya serta ayah dan ibunya? Jadi... siapa yang seharusnya dikenakan tuduhan buruk dalam hal ini?

Danesh: Ijin share ustad...

Sinar Agama: Prita: Semoga kita selalu dalam lindunganNya. Ya ukhti, sebelum kujawab, aku ingin tegaskan bahwa aku tidak membenci siapapun, aku bahkan selalu berdoa untuk semuanya tiap hari, dan kalau ziarah ke makshumin selalu mendoakan semuanya. Jadi, bahasan kita ini murni ilmu atau setidaknya akhlak.

Ya ukhti, kemakruhan itu tidak jelek, sekalipun tidak terlalu bagus. Tapi yang punya syariat tidak melarangnya. Ini satu. Jadi, yang tamatu’ dengan yang makruh itu, tidak mempermalukan agama dan Tuhan, kecuali sepintas terhadap orang yang saya katakan tipis iman dan dangkal pengetahuan yang merasa lebih tahu dari Tuhan.

Kemudian dalam Islam, jangankan makruh, biar haram sekalipun, tidak boleh dikatakan kepada orang lain, apa lagi memiliki dampak sosial yang sampai kepada agama/madzhab walau, tentu saja tetap pada orang yang dalam kategori pendek pikiran itu. Jadi, zina yang tersembunyipun tetap tidak boleh dibilangkan ke orang lain karena itu adalah ghibah. 

Apalagi hanya makruh yang telah dipolitisir dan dibumbui dengan hal-hal psikologis dan menakuti dengan fikih tsanawi yang dikarang-karang sendiri, dan kemudian memiliki dampak sosial pada agama/madzhab, sekalipun hanya pada orang-orang lemah iman dan pikiran tersebut.....dst, maka jelas hal ini lebih buruk dari mut’ah makruhnya itu sendiri.

Jadi, pelaku makruh itu tidak dosa dan mungkin dapat pahala sedikit karena bercampur sunnah, tapi yang anda lakukan ini, sudah tidak mendapat apa-apa dan bahkan bisa dosa, dan sangat mungkin dosa. Dengan alasan, di samping anda telah memasukkan kebencianmu tentang makruh ini dalam agama yang kamu tulis, dan juga megatasnamakan Islam dan Ahlulbait, anda juga membongkar kekurangan yang tidak haram ini di fb, serta yang ke empat, anda nakut-nakutin orang dengan hukum tsaniawi yang anda buat sendiri.

Yang ke lima: Kalau kamu menjadi sadar dengan tulisanku ini, maka doakan aku, dan kalau marah, juga doakan aku untuk kebaikan dan keselamatan. Kan boleh kita suka atau tidak suka, akan tetapi tetap saling tolong dan doa.

Sinar Agama: A-M-S: Silahkan saja, dengan syarat doakan kami-kami semua..he he he....., gurau, tapi kalau didoakan maka kami-kami tentu senang, tapi bukan syarat share-nya.



 اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ