Minggu, 19 Agustus 2018

Lensa (Bgn 7) “Tentang Keraguan Dan Keyakinan” (Penjelasan lanjutan Lensa Bgn : 6)



Oleh : Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:00


Ragu itu tidak buruk, sama sekali. Tapi ragu yang didakwa sebagai ilmu dan kebenaran, itulah yang buruk. Yang ke dua, manusia tidak mungkin menjangkau yang ragu itu dan membuka tabirnya, kecuali dengan ilmu-yakin-benar-gamblang. Jadi, dalam diri manusia itu memang secara fitrah ada ragu, yaitu kepada hal-hal yang memang belum diketahuinya. Tetapi dia tidak mungkin tidak punya sama sekali apa yang dikatakan ilmu-benar-gamblang-yakin. Seperti ilmu tentang keberadaannya sendiri dan sifat-sifatnya serta semua peristiwa yang terjadi setiap detiknya. 

Begitu pula pengetahuannya tentang lingkungannya, rumah tangganya, tetangga dan alam sekitarnya. Nah, ilmu-yakin-benar-gamblang manusia itu banyak sekali dan tidak bisa dihitung. 

Keberadadaan ilmu-ilmu itu juga fitrah karena dia adalah rahmatNya, karena tanpa itu, maka manusia lalu bisa kemana dan berbuat apa. Usaha atau berfikir, tanpa modal dari ilmu-ilmu yakin itu, maka tidak mungkin terjadi. Bagaimana mungkin manusia bisa selamat dari kejaran dan terkaman harimau, kalau dia masih ragu bahwa yang mengejarnya itu haramau atau bukan, bahaya atau bukan...dan seterusnya. 

Jadi, ragu dan yakni itu fitrah. Tetapi karena akal kita tidak mau yang salah, maka yang yakin kadang diperiksa lagi supaya tidak salah, dan yang ragu harus dicari dalilnya melalui yang yakin itu. Oleh karena itulah maka teori Rene Des Cartes ‘Cogito Ergo Sum’ itu cukup aneh, karena dia melihat pikirnya lebih jelas dari dirinya sendiri. Padahal pikirnya adalah akibat dari dirinya sendiri. Tentu saja ilmu Rene benar juga, tetapi di tingkatan yang lebih rendah. Karena dirinya diteropong dari pikirnya. Padalah masih ada lagi yang namanya, jalannya, makannya, cintanya, bencinya,...... dan seterusnya. 

Memang dalam kata Ren itu tidak menolak semua akibat dirinya, tetapi pemastian adanya dengan pikirnya, adalah jelas terlalu sempit dan menyempitkan. Setidaknya, kala ia berkata dan fokus pada itu. Jadi, perlu disadarkan lagi dan fokusnya perlu dirusak lagi, dengan menyadarkannya bahwa ia juga punya jalan, tidur, cinta, benci ...dan seterusnya. 

Perlu diketahui, bahwa logika dan filsafat diwujudkan oleh para filosof untuk memudahkan memahami mana yang yakin dan mana yang ragu, dan memudahkan metodologi pencarian ragu itu dengan yakin. Jadi, filsafat itu memudahkan masalah, bukan malah meruwetkannya. Jadi, kalau ada orang berbicara filsafat tapi membuat semakin sulit masalah, maka ada beberapa kemungkinan: dia tidak tahu filsafat dengan baik; dia mau menjual filsafat dengan istilah-istilah yang trendi hingga tidak mudah dimengerti; dia sendiri tidak mengerti istilah-istilah itu; dia tidak mengerti tujuan mulia para fiosof yang ingin memudahkan; dia salah jalan dalam memilih metode penyampaian; ....dan seterusnya. 

wa’budulloha hatta ya’tiyakal yaqiin.. 

U’bud Rabbaka itu bisa memiliki makna luas. Apapun itu, tetap memerlukan ilmu yakin. Jadi harus yakin dulu pada yang akan dilakukan, baru setelah itu akan dapat keyakinan yang lain. 

Penjelasannya

1. Ibadah dalam akal dan Islam, bermakna dua, dan bisa dua-duanya, yaitu beribadah seperti puasa, shalat dan lain-lain, bisa juga bermakna taat. Dan setiap kalimat ini dibawakan dalam agama, maka yang dimaksud, kebanyakannya atau kesemuanya, adalah taat. 

Dan taat ini, bisa dalam bentuk ibadah-ibadah khusus itu, bisa dalam bentuk umum. Nah, mengerti Tuhan, itu juga diperintahkan secara banyak sekali dalam Qur'an, seperti “ketahuilah bahwa Tuhan itu Maha Mendengar dan Melihat, Maha Kuasa, Maha....dan seterusnya” dimana disana memakai kalaimat “KETAHUILAH”. Nah ketahuilah itu adalah perintah untuk mengetahui. Jadi, taat adalah maksud Qur'an yang mengatakan U’bud Rabbaka yakni taati Tuhanmu sampai datang padamu yakin. 

2. Yakin di sini bermakna dua, yakin yang bermakna yakin yang kita bahas disini, dan ada yang bermakna “mati”. Rasul yang sudah pasti Rajanya Yakin, maka beliau saww beribadah atau taaat sampai meninggal, bukan sampai yakin. Tatapi yang belum sampai ke tingkat yakin maka harus taat hingga dapat yakin. Tetapi karena taat itu tidak mungkin tanpa ilmu-yakin- benar, maka kita harus mencapai yakin dulu pada yang diperintahkannya itu. Baru setelah itu, kalau kita kerjakan, maka kita akan mendapatkan ilmu yang lebih tinggi, yakin yang lebih tinggi. 

3. Yakin, juga memiliki milyaran tingkatan, Nabi saww dan para maksum as, sudah tentu sudah sampai ke tingkat tertinggi, karena mereka guru para pemburu yakin. Nah, bagaimana mungkin guru belum sampai kepada yang dikejar muridnya. Padahal dari satu sisi, memburu yakin itu tidak terbatas. Jadi Nabi saww dan imam maksum as sudah sampai ke tingkat yang tidak bisa lagi dicapai manusia lain dalam tingkatan yakin itu. 

4. Untuk manusia selain mereka, maka keyakinan yang didapat dimanapun, tetap harus bersemangat mencapai keyakinan yang di atasnya, jagan pernah sama sekali puas dalam keyakinan lalu berhenti, tapi teruslah berjuang. Tapi tentu saja, sambil mensyukuri yakin yang sebelumnya. 

5. Imam Ja’far Shadiq as pernah berkata: Orang yang beribadah/taat kepada Allah, tatapi tidak dengan ilmu (yakin yang argumentatif), maka ibarat musafir yang melakukan perjalanan tidak di atas jalannya yang benar. Maka semakin cepat ia berjalan (semakin taat), maka akan semakin jauh dari tujuannya. Artinya, kalau kita membuat keyakinan taklidi dan non argumentatif, lalu kita lalukan hal itu hingga dikatakan taat, maka semakin banyak kita taat kepada Allah, akan membuat kita semakin jauh dariNya. 

6. Tentu yakin dalam taat yang umum itu, memiliki dalilnya sendiri-sendiri. Kalau dalam akidah maka dalilnya adalah akal dan tidak boleh taklid, dengan alasan yang sudah saya rinci di Pendahuluan Pokok-pokok dan Ringksan Ajaran Syi’ah. Sedang dalil fikihnya adalah taklid buta kepada marja’ seperti taklid buta pada dokter spesialis. Karena akal dan agama kita mengatakan bahwa masing-masing orang memiliki spesialisnya sendiri-sendiri, dan yang tidak memiliki spesialis terntentu harus mengikuti yang memilikinya. 

Perjalanan nabi Ibrahim as itu bukan dimulai dengan ragu. Beliau as justru memulainya dengan yakin. Beliau as justru bermodal dengan keyakinan akan tenggelamnya bintang, bulan dan mata hari. Dan beliau juga bermodal yakin bahwa yang sirna itu pasti bukan Tuhan. Jadi beliau as bukan memulai dengan ragu, tapi dengan yakin. 

Ayat-ayat tentang nabi Ibrahim as itu memiliki dua makna, yakni beliau sedang berdalil dengan umatnya, bukan untuk beliau sendiri, karena beliau salah seorang nabi yang sudah raja yakin. Yang ke dua, untuk beliau sendiri kalau kejadian itu sebelum beliau as menjadi nabi. Tetapi ingat bintang, bulan dan matahari di sini, bukan bermakna yang kita lihat ini. Karena beliau as tidak perlu menunggu lenyapnya untuk tahu bahwa semuanya itu akan lenyap. Sebab anak kecilpun sudah tahu bahwa bintang, bulan dan matahari itu selalu lenyap setiap hari. 

Jadi yang dimaksud bintang, bulan dan matahari pada beliau as sebelum jadi nabi, adalah kasyaf- kasyaf beliau yang dimulai dari yang kecil menuju kepada yang besar. Yang kecil lenyap karena beliau sudah sampai keduanya. 

Bintang lenyap karena beliau sudah jadi bintang, begitu juga dengan bulan dan matahari. 

Begitulah seterusnya sampai menjadi Fana’ dan melanglangi Asma-asma Allah seperti yang sudah saya terangkan di wahdatulwujud. Kemudian, antum melihat Qur'an dan hadits, seperti melihat tulisan antum sendiri yang mati. Qur'an dan hadits itu adalah sesuatu yang hidup dan nanti akan bersaksi di hadapan Allah swt tentang kita. 

Kalau Qur'an dan hadits mati, maka ia tidak layak dikatakan nur, menentramkan jiwa, menerangi kuburan, mendatangkan pahala, menenangkan orang mati....dan seterusnya. Karena itulah maka tidak heran kalau ia dikatakan Jibril itu sendiri. Tentu saja Qur'an sebagai tulisan, memang tidak bernafas, sekalipun tetap harus dihormati karena ia adalah tajalli yang hidup itu. Akan tetapi sebagai yang wahyu, maka ia jelas hidup hingga karenanya kalau kita tidak membacanya dan sampai berdebu ia akan mengeluh kepada Allah nanti di akhirat. 

Jadi, akal adalah alat mencapi hakikat, dan Qur'an juga demikian. Bedanya kalau akal bisa salah, tapi Qur'an tidak bisa salah. Tapi yang tidak bisa salah adalah Qur'an yang Qur'an, bukan yang kita pahami ini. 

Jadi, bagaimanapun, maka Qur'an akan ditentukan akal kita. Jadi, akal adalah sumber satu-satunya untuk memahami hakikat nyata dan Qur'an itu sendiri. 

Kalau nabi Ibrahim as menjadi tidak percaya kepada Allah yang dikasyafnya dengan simbol bintang yang karena beliau as sudah menjadinya, maka dalam perjalanan beliau as, tidak ada keraguan. Jadi semua kepastian. Bedanya Tuhan yang di kasyaf di tingkat rendah yang disimbolkan dengan bintang, adalah keyakinan yang menjadi punah, bukan keraguan yang punah. Inilah yang dimaksud Tuhan “KepadaNya kalian akan menjadi”, yakni dari satu sisi akan menjadi Allah, jadi Tuhan yang tersimbolkan dengan bintang itu adalah Tuhan juga, tapi dari sisi yang lain Allah berkata “KepadaNya”, yakni tak pernah mencapaiNya karena selalu kepadaNya, bukan menjadiNya. 

Jadi nabi Ibrahim as, berangkat dari keyakinan kepada keyakinan yang lain tanpa kesalahan, terlebih keraguan. 

Sekian. Alfatiha ma’a sholawat. Wassalam. 


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ



Sabtu, 18 Agustus 2018

Lensa (Bgn 6): Analisis Kritis Teori Rene Des Cartes Cogito Er Go Sum (aku berfikir maka aku ada),



Oleh : Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 18:58


Aku ada karena aku berfikir, merupakan pembuktian sebab dari akibatnya. Dalam istilah filsafat ilmu ini disebut dengan ilmu inni dimana batas tengahnya (kata terulangnya) hanya berfungsi sebagai sebab bagi ditetapkannya obyek premis besar (universal) ke atas subyek premis kecilnya (partikulir), tapi di alam nyata tidak menjadi sebab bagi penetapannya.

Misalnya: Saya berfikir. Setiap yang berfikir maka ia ada. Maka Saya ada.

Di sini batas-tengahnya adalah berfikir dimana ia telah menjadi pengikat kedua premis atau dalil itu. Dan berfikir, di alam nyata, bukan penyebab bagi adanya manusia. Jadi berfikir di sini hanya menjadi sebab bagi ditetapkannya obyek pada premis besar ke atas subyek premis kecil. Inilah ilmu inni. Dan ilmu ini, jelas tidak terlalu tinggi. Karena ianya berangkat dari akibat (berfikir) menuju sebab (saya) dimana sebab sudah pasti lebih kuat dan tinggi dari akibatnya.

Nah, mengeker sebab melalui akibat, tidak akan melebihi akibat itu sendiri. Jadi, pengetahuan kita akan sebab akan diperkecil sesuai dengan ukuran akibat.

Jadi, ilmu yang belum tinggi. Mencari Tuhan, juga demikian. Artinya, kalau mengekerNya lewat makhlukNya, maka kita secara tidak langsung akan mengecilkanNya dalam akal kita. Sejauh apa kita pahami KuasaNya, kalau dilihat dari makhlukNya, maka tidak akan melebihi ukuran makhlukNya. Terlebih lagi kalau pengetahuan terhadap makhlukNya ini tidak banyak, maka KuasaNya akan semakin diperkecil dalam akalnya. Karena itulah sebenarnya Tuhan masing- masing orang akan menjadi berbeda. Hal itu karena berangkat dari makhluk dan pengetahuan terhadap makhluk dari masing-masing orang berbeda.

Pengetahuan tentang alam, rejeki, hidayah, melihat, mendengar, datang, pergi, cepat, lambat....dan seterusnya akan berbeda-beda. Dan kalau semua itu dijadikan teropong untuk meneropongiNya, maka pasti hasilnya akan berbeda-beda. Beda halnya kalau ilmu limmi, yakni ilmu yang didapat bukan hanya dari kesebaban batas-tengah bagi tertetapkannya obyek premis besar ke atas subyek premis kecil. Akan tetapi di kenyataannya, memanglah ia adalah sebab bagi tertetapkannya obyek premis besar ke atas subyek premis kecil.

Misalnya: Saya ada. Setiap yang ada memiliki efek. Maka saya berefek. Di sini ada bukan hanya mengikat dua premis, tapi juga menjadi penyebab bagi berefek. Karena kalau tidak ada maka tidak mungkin berefek. Ilmu inilah yang dikatakan ilmu Limmi yang lebih tinggi dari sebelumnya, karena ia berangkat dari sebab menuju akibat, bukan sebaliknya. Jadi, di sini, tak perduli efek atau akaibat itu seperti apa dan bagaimana. Fokus pertama adalah pada sebab, jadi efek tidak mempengaruhi pengetahun kita kepada sebab. Kemudian dari sebab menuju akibat. Di sini, pasti ilmu kita kepada akibat yang dari sebab ini tidak akan diperkecil. Karena sebab lebih besar dan tinggi ketimbang akibatmnya.

Nah, mengenal Allah dengan mengerti makna Ada, adalah mengenalNya dari DiriNya sendiri, bukan melalui makhlukNya. Ini berarti ilmu Limmi yang lebih tnggi dari ilmu inni. Seperti saya ada maka saya berfikir, dimana jauh lebih tinggi dari saya berfikir maka saya ada.

Sekian. Terima kasih. Al-fatiha ma sholawat.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Lensa (Bgn 5): Macam-Macam Keyakinan



Oleh : Ustad Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 18:56


Ilmulyakin adalah yakin yang didasari pada dalil. ‘Ainulyakin adalah yakin yang didasari pada penglihatan, apakah pancara indrawi atau mata batin yang biasa disebur kasyaf. Tentu saja, obyek panca indrawi adalah bendawi, dan obyek kasyaf adalah non materi. Sedang Hakkulyakin adalah yakin yang dicapai dengan dirinya secara penuh dan terkejawantahkan. Contoh umumnya biasanya mengambil orang mati.

Pertama kita tahu dengan ilmulyakin bahwa dia tidak bergerak dan tidak bisa berbuat apa-apa. Kita juga yakin dengan penglihatan kita (‘ainulyakin). Tetapi kalau kita lari, ketika hanya sendirian bersamanya di suatu tempat, maka berarti kita belum sampai kepada hakkulyakin. Agama, keimanan, hukum, surga, neraka, akhlak, irfan...dan seterusnya juga begitu. Yakni dalam apa saja memiliki tiga tingkatan itu dimana mungkin kita hanya memiliki satu keyakinan dari tiga keyakinan itu, atau memiliki dua, atau ke tiga-tiganya.

Tetapi ada pula yang tidak memiliki keyakinan sedikitpun. Jadi masih berupa gambaran atau ide saja. Dan yang saya maksudkan agama dan lain-lainnya itu, bukan secara kesluruhan, tapi pada masing-masing poin atau topik atau obyek yang dihadapi. Jadi, dalam satu orang terdapat kecamuk dan campuran-campuran dari ide, yakin dengan ilmu, penglihatan dan capaian/kondisi/ aplikasi.

Karena dalam kehidupan ini terdapat jutaan masalah diri dan alam, agama ..dan seterusnya. Jadi, semakin seseorang itu rendah posisinya, maka semakin sedikit keyakinannya. Dan yang lebih parah lagi dari orang yang tidak rajin belajar dan beramal ini adalah, sering memiliki sesuatu yang hanya berupa ide dan gambaran, tapi diyakininya sebagai kebenaran atau sesuatu. Semoga Tuhan melindungi kita semua dari keyakinan palsu ini.

Sekian. Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ


Lensa (Bgn 4): Perkembangan Ruh



Oleh : Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 18:54


Ruh, prosesnya seiring dengan perkembangan mani ke janin dan bayi. Yakni, mani itu sudah memiliki Ruh binatang/hewan. Ruh itu menyempurna seiring dengan menyempurnanya badannya. Ketika ia sudah berupa bayi empat bulan, maka kala itulah Ruh dia jaga sudah berproses menjadi Ruh-manusia.

Artinya, sudah sangat dekat dengan manusia. Karena manusia dimulai sejak dia mengerti universal. Jadi bayi yang umur 4 bulan dalam perut hingga lahir, Ruhnya bisa disebut dengan Ruh manusia. Artinya potensial dekat, bukan de fakto. De faktonya baru nanti setelah ia mengerti universal itu.

Jadi peniupan Ruh itu bukan dari luar badannya, dan bukan berarti Ruh manusia itu sudah dicipta sebelumnya. Jadi, Ruh manusia merupakan proses atau gerak substansial dari Ruh tambang yang ada pada daging kambing (misalnya), lalu menjadi Ruh binatang (pada mani) dan kemudian Ruh manusia kala sudah berumur 4 bulan dalam perut.

Ruh ini terus berproses hingga benar-benar menjadi manusia defakto, dan khalifatullah di kala Fana’ dimana menjadi khalifahNya untuk memimpin semua makhluk sejak dari materi sampai ke Akal-Pertama. (baca :wahdatul-wujud 1-9)

Sekian. Wassalam. 


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ


Lensa (Bgn 3) : Ilmu Akhlak



Oleh : Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 18:50


Akal selalu sejalan dengan hukum Tuhan (fikih). 

Tetapi akal disini adalah yang argumentatif gamblang, bukan yang samar. 

Nah, semua kebaikan (akaliah & fikhiyyah itu) itulah yang dikatakan akhlak yang baik. Sudah tentu masih banyak lagi yang dikategorikan akhlak namun mengapa fiqh sulit diterjemahkan dalam akal, kalau memang dikatakan fiqh itu sejalan dengan akal. 

Contoh : “Mengapa sholat subuh mesti dua rokaat..?” (apakah ini perintah dari Tuhan “dipaksa” harus dua rokaat atau akal bisa menjelaskannya). 

Akal adalah Argumentatif gamblang sebagaimana sudah diterangkan sebelumnya. 

Nah, argumen gamblang ini memerlukan pada premis-premis argumentnya yang juga gamblang. 

Dengan itu, ketika akal tidak memiliki premis-premis itu, mana mungkin ia bisa mengetahui sesuatu yang dimaksud? 

Akal tidak akan mampu memecahkan banyak rahasia fiqih. Sebabnya hanya satu, yaitu tidak memiliki premis-premis untuk dijadikan dalil. Misalnya ada di waktu subuh itu? Apa shalat itu? Apa rokaat-rakaat itu dan seterusnya. 

Maksudnya: Misalnya ada apa di waktu subuh itu? 

Dalam kehidupan ini banyak yang tidak diketahui akal karena tidak memiliki premis-premis atau mukaddimah-mukaddimah dalilnya. Atau tidak memiliki data untuk dijadikan dalil. Jadi, bukan fikihnya tidak masuk akal, tetapi akalnya belum mengerti rahasia fikihnya. 

Seperti dokter yang membelah dada orang yang dioprasinya. Pekerjaan itu sangat tidak masuk akal bagi orang bodoh yang mungkin akan segera menyerang si dokoter dengan parang. 

Jadi, yang dimaksud akal oleh agama dan para Nabi serta imam kebanyakan adalah bermaksud yang memiliki kelengkapan data dan tidak memiliki halangan seperti gila atau cinta dunia dan seterusnya. 

Itu makna akal pertama. Ada lagi akal ke dua, yakni adanya data-data lain yang menghasilkan kesimpulan lain. Misalanya, Allah Maha Tahu dan Bijak, Allah menurunkan Syariat, Allah meme- rintahkan Shalat yang diriwayatkan secara lebih mutawatir yang tidak mungkin salah, dengan demikian akal akan menyimpulkan bahwa subuh dua rokaat dan seterusnya itu sudah pada tempatnya yang kalau dirubah akan menyimpang dari kebaikan. 

Kalau kita perhatikan Qur'an, dan riwayat-riwayat, sering Allah dan Nabi saww mengatakan apakah kalian tidak menggunakan akal? Akal di sini bisa memiliki dua makna tersebut. Tentu saja masih banyak lagi maksud akal dalam syariat sesuai dengan konsteknya. 

Jadi, tugas akal adalah mengerti rahasia agama dan akhlak, tetapi kalau tidak bisa maka ia bertugas mencari kebenaran ajarannya bahwa memang dari Tuhan, lalu pasrah di hadapan Tuhannya. 

Banyak orang Indonesia yang berjubel dengan agama-agama lain seperti Hindu, telah mengambil konsep energi Yoga mereka. Hingga menafsirkan bahwa di subuh memiliki banyak energi matahari yang cukup diambil seukuran dua rokaat dan semacamnya. 

Hal ini tidak diajarkan dalam agama tidak bisa diakalkan karena 2 hal: 

1. Akal tidak memiliki data-datanya yang gamblang; 

2. Syariat tidak hanya bernafaskan badani dan materi, tetapi terlebih memiliki dimensi ruhani atau ukhrowi. 

Jadi shalat itu tekanannya di ruhaniah filosofis/hakikinya, bukan filosofis badaniahnya, sekalipun tentu memiki hikmah-hikmah badani. Oleh karena itulah maka untuk fikih ini disediakan akal ke dua, yakni dibukanya pintu ijtihad untuk menguatkan kebenaran datangnya, bahwa ianya datang dari agama, hingga orang yang awam tentang agama harus bertaqlid pada para mujtahid. 

Di sini akal pertama banyak tidak berfungsi. Yakni untuk mengerti folosofis badani dan ruhani dari fikih. Justru karena itulah maka para filosof dan orang-orang berkal mengatakan bahwa perlu Nabi dan rasul untuk mengarahkan manusia atau akal manusia untuk menata seluruh kehidupannya yang mengandungi dimensi dunia-akhirat. 

Jadi, kalau ada orang yang mengadu domba antara filosof dan para Nabi, dengan mengatakan bahwa para foosof itu tidak perlu Nabi, sebenarnya, dibuat oleh orang-orang yang anti filsafat. 

Karena dalam filsafat sangat jelas bahwa akal kita yang tidak memiliki data-data apapun kecuali sangat sedikit ini, harus dibimbing wahyu untuk hidup dengan baik secara dunia-akhirat. 

Tidak ada akal orang-orang berakal atau filosof yang tidak tunduk tawadhu dihadapan agama. 

Maka itu yang di tanah air kita, yang tidak mengatakan filosof kecuali pada seseorang yang sudah hidup ala orang gila dan stres atau menigggalkan agama, sudah penyimpangan dari akal dan filsafat itu sendiri. Tentu mungkin saja mereka dikategorikan filosof tetapi di filsafat materi. 

Filsafat materi ini hanyalah alat penunjang bagi teknologi materialis, bukan filsafat yang membhas setiap hal sesuai dengan keadaan sebenarnya walau tidak memiliki dalil atau data materi. Seperti shalat tadi, kalau di filsafat materi hanya memperlajari gerak gerik, waktu dan semacamnya dari yang berhubungan dengan materi, mereka menolak apapun hakikat yang tidak bisa dilacak dengan materinya. 

Nah, banyak orang-orang muslim, terutama wahhabi yang terjerumus pada filsafat materialis ini. Padahal, kalau kita lihat dengan kacamata tadi, bahwa shalat diriwayatkan secara lebih dari mutawatir, yang membuktikan bahwa shalat dari Tuhan; Tuhan Maha Bijak: Tujuan syariat bukan hanya lahir/dunia saja dan seterusnya, dapat disimpulkan bahwa dalam shalat ada dimensi- dimensi ruhani/ukhrowi yang pasti baik untuk manusia di ruhaniahnya dan di akhiratnya, tentu di samping hikmah-himah dunia/badani yang dapat dijangkau dari hikmah-hikmah gerakannya seperti yang diterangkan oleh para dokter atau ahli kesehatan. 

Semua ini adalah kata-kata akal, bukan agama. Yakni yang mengatakan bahwa akal tidak banyak tahu, bahwa akal perlu agama, bahwa agama harus dibawa orang maksum, bahwa agama terakhir harus dijaga maksum sampai kiamat dan seterusnya, semua ini bukan doktrin agama.

Tentu saja agama juga mengatakannya. Tetapi bukan sebagai pendoktrin atau pengajar bagi akal, apalagi pemaksa, tapi sekedar mengingatkan akal saja. oleh karena itu dalam agama dikenal hal yang menyangkut ajaran-hukum (tasyri’i) ada lagi yang bersifat mengarahkan saja (irsyadi).

Kita ambil contoh puasa.

Apa sih rahasia puasa itu? Ada yang bilang supaya merasakan laparnya orang miskin, terus untuk apa? Dibilang supaya kita tidak sombong, bisa toleransi dan membantu mereka.

Nah sekarang kalau kita sudah tidak sombong, lalu toleran serta membantu, apa sudah tidak wajib puasa, karena sudah sampai ke tujuan puasa, tentu saja tidak. Begitu pula dengan tujuan- tujuan takwa, mengingat lapar di akhirat dan lain-lain. Yakni kita tetap puasa sekalipun sudah mencapai tujuan-tujuan itu.

Mengapa kita tetap puasa sekalipun tak paham rahasia puasanya?

Karena kita terima penuh Kebijakan Tuhan setelah yakin bahwa Ia yang perintahkan puasa itu. Inilah akal ke dua yang dimaksudkan.

Sekian. Terima kasih. Al-fatihah -sholawat.

Haladap Saw menyukai ini


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 17 Agustus 2018

Lensa (Bgn 2) : "Dan janganlah kamu mengatakan dirimu suci, Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (an-Najm: 32)



Oleh : Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 18:47


Ayat itu ditujukan kepada orang-orang Nashrani yang (mungkin) karena hidup kependetaannya, mereka merasa lebih suci dari muslimin dan Nabi. Jadi, bukan untuk muslimin.

Merasa paling suci itu tanda keyakinan asal memiliki argumen, kalau suci di sini maksudnya adalah suci dari kesesatan pemikiran dan akidah. Tetapi kalau merasa suci dalam perbuatan atau aplikasinya, maka kalau punya dalil dan tidak disertai kesombongan, maka itu dianjurkan agama untuk diceritakan, lihat QS:93:11. Di sana Allah menyuruh ceritakan kebaikan yang diberikan Tuhan kepada mereka. Seperti orang-orang maksum. 

Tetapi untuk selain yang maksum, dan tidak punya sandaran kepada maksum (sebab ada orang- orang yang dinyatakan suci/baik oleh maksumin), maka kurang layak mengatakan kesucian itu karena tidak adanya argument tentang benar dan diterimanya amalan yang dilakukannya. 

Merasa paling suci dengan argument adalah memahami kebenarannya dan kesalahan yang lain dengan argumentasi-gamblang, atau ilmu-mudah, atau dengan premis-premis ilmu-mudah. Ini kalau dalam pemikiran dan akidah. 

Tetapi kalau dalam amal, maka sulit perasaan itu dicapai bagi yang tidak maksum atau yang tidak memiliki sandran maksum. Apalagi akhlak kurang mendukungnya kalau diantara sesama orang baik atau yang merasa orang-orang baik. 

Beda halnya kalau orang yang lahiriahnya baik yang hidup di masyarakat yang tidak baik (dengan dalil-mudah) yakni yang meninggalkan syariat baik sebagian atau keseluruhannya, maka perasaan suci itu adalah fitrah yang, mungkin bisa dimasukkan ke dalam katagori sakinah yang diberikan Tuhan supaya orang tersebut tidak melemah dalam lautan masyarakat yang tidak Islami itu. 

Jadi, merasa suci tidak identik dengan kesombongan. Dan larangan Tuhan itu pada nasrani, bukan muslimin. 

Tuhan mengatakan kepada nasrani itu bahwa hanya Dia yang tahu yang suci, mungkin, karena mereka belum lagi satu agama dengan Nabi saww. Karena kalau satu agama, maka Tuhan akan mengatakan, bagaimana kamu mengatakan suci padahal kamu tidak menaatinya? 

Dengan penjelasan ini, berarti orang yang merasa suci, karena punya dalil, baik dari Tuhan seperti maksumin atau dari maksumin seperti beberapa shahabat maksumin yang sudah disaksikan kesucian atau kebaikannya, maka hal itu tidak terlarang.

Dan karena sombong itu ketidaksucian, maka orang suci yang merasa suci itu bukan kesombongan, tetapi perasaan benar yang muncul dari kebenaran-argumentatif yang dilakukannya secara benar- argumentatif pula. 

Sedang orang yang merasa dirinya “paling suci” (bukan “suci”), apalagi kalau tanpa argumentasi dari Tuhan yang Maha Tahu atau dari maksumin, maka ini adalah kesombongan dan kebodohan yang dilarang agama. 

Tetapi larangan terhadap hal ini ada di tempat lain, bukan di ayat ini. Karena dalam ayat ini, yang dilarang, adalah “merasa suci”, bukan “merasa paling suci”. 

Banyak sekali di muka bumi ini orang-orang yang suci dari dosa, seperti nabi-nabi dan imam- imam, apalagi syarat jadi imam itu harus suci dari dosa (QS: 2:124) dan kita tidak boleh taat pada yang tidak maksum (QS: 76:24). 

Dan kalau manusia mesti berdosa, dimana dosa itu haram hukumnya dimana wajib ditinggalkan, berarti agama Tuhan tidak bisa dilaksanakan dan melebihi kemampuan mansuai. Padahal Allah berfirman bahwa Dia tidak memerintah kecuali sesuai kemampuan QS:2:286. 

Sucinya Tuhan itu bukan dari dosa, tetapi dari kesalahan, kekurangan, keburukan, kebaikan- terbatas, kesempurnaan-terbatas, pensifatan kita-kita, materi, keterbatasan dan lain-lain. Karena itulah dikatakan Maha Suci, yakni Maha. 

Sedang manusia hanya dituntut suci dari dosa, yakni kesalahan yang disengaja. 

Tetapi kalau para nabi dan imam, terjaga juga dari kesalahan yang tidak disengaja, karena kalau kesalahan yang tidak disengaja ini terjadi, maka sekalipun tidak dosa, agama yang dibawa atau dipertahankannya, tidak akan pernah bisa diyakini manusia lain. 

Misalnya, jangan-jangan Nabi lupa mau bilang bahwa puasa itu di syawal tetapi di bilang Ramadhan, dan nabi juga lupa kalau sudah diingatkan untuk dirinya dan lupa menyampaikannya, dan nabi juga tidak sengaja menyampaikan bahwa kalau tidak ada penyalahan dari Tuhan itu bukan berarti sudah benar dan bukan karena beliau lupa, dan seterusnya. 

Sekian. Terima kasih. Al-fatihah –sholawat.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ



Lensa (Bgn 1) : Analisis Kritis Pluralisme dalam Al Quran « HMINEWS.COM.



Oleh : Sinar Agama 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 18:44


Ketahuilah bahwa di Iran sempat muncul beberapa saat tentang pemikiran pluralisme ini, tetapi dengan gigihnya ulama dan Sayyid Ali Khamenei Rahbar kita, maka usaha Sayaurus dan sebangsannya untuk menyebarkan pluralisme ini menjadi mentah total. 

Dalam makalah yang jauh dari keselarasan dan penuh dengan kontradiksi itu, serta jauh dari spesialisasi Qur'an, penulis telah me-robek-robek tatanan berfikir logis-filosofis dan tentu saja me-robek Qur'an itu sendiri. Dan dengan tanpa memahami dasar pemikiran Rahbar kita hf, penulis juga telah merendahkan petuah-petuah Logis, filosofi dan agamisnya, menjadi sastrais- sayaairis, na’udubillah. 

Mungkin orang-orang mengira bahwa buku-buku semacam karya Sayaurus tersebut seperti “Jalan-jalan Lurus Yang Banyak” telah diberangus di Iran oleh para intelektual dan ulama serta Rahbar hf. Sama sekali tidak. Tetapi yang diberangus itu adalah dalil-dalil dan argumennya yang sastarais yang berusaha menipu manusia menjadi logis, filosofi, agamis dan Qur’anis. 

Mungkin juga Anda berkata, bahwa “Kalau ghitu berarti plural dong higga tidak dilarang bukunya terbit? “ 

Jawabanya: “Iya Plural, tetapi bukan Pluralisme”. Plural yakni majemuk, dan konsekwensinya adalah Toleransi, Bukan Pembenaran. Sementara kita tahu (bagi yang tahu bukan sok tahu), Pluralisme adalah “Semua agama dan pemikiran adalah benar” seperti yang dibawa penciptanya John Hick, walaupun dia juga terilhami dari beberapa Pastor dan tulisan-tulisan lama sekiter(sekitar) abad 18. 

Penulis makalah di situs ini, bukan hanya tidak tahu Qur'an yang memang tidak pernah ia pelajari dengan sistematis dan akademis, tetapi tentang pemaknaan dan konsekwensi Pluralisme ini saja dia tidak memahami hakikatnya. Dia kadang-kadang menukik ke Pluralisme, kadang turun lagi ke Plural. Maju mundur dan turun naiknya pemikirannya menandakan ketidakjelasannya dalam masalah ini. Buru-buru tentang Qur'an yang dia jelaskan sok tahu padahal jelas tidak pernah mempelajarinya secara akademis. 

Inti kebenaran Islam, terkhusus yang dibawa oleh Ahlulbait as, adalah Kebenaran Agama itu Satu, begitu pula tentang madzhab. Tetapi bukan berarti agama dan madzhab yang tidak benar itu mesti masuk neraka. Tidak sama sekali. Yakni, orang yang beragama atau bermadzhab yang tidak benar itu, bisa masuk surga kalau kebenaran agama atau madzhab belum sampai kepadanya, atau kalaulah telah sampai, tetapi belum terlalu jelas baginya sementara ia telah berusaha memahaminya. 

Dengan demikian, walau kita menghadapi tetangga kita yang kafir atau yang Sunni, maka kita tidak boleh menveto bahwa mereka pasti masuk neraka, karena sudah bertemu Islam atau Syi’ah dan sudah berulangkali diskusi. Karena mungkin mereka telah berusaha dan belum mendapatkan titik kuatanya kita atau agama/madzhab yang benar. 

Namun demikian, bukanlah tidak masuknya mereka ke neraka atau bisa masuknya ke surga itu karena mereka benar seperti yang dikumandangkan Pluralisme, tetapi karena memang tidak ada alasan untuk dimasukkan ke neraka lantaran tidak melakukan kezhaliman atau penganiayaan terhadap diri, agama dan orang lain. Jadi, yang masuk neraka itu hanya yang zhalim pada dirinya atau agamama/zhhab yang benar. Dan itu maknanya adalah menolak kebenaran setelah ia tahu yang ditolaknya itu kebenaran. 

Tetapi kalau dia belum benar, atau mungkin menolaknya, dikarenakan belum sampainya kebe- naran itu padanya baik secara lahir atau secara pemahaman, sementara dia sudah berusaha, maka orang seperti ini tidak layak dimasukkan ke neraka. Artinya ia akan mendapat maaf dari Allah sesuai janjiNya dalam Qur'an dan akal/fitrah. 

Jadi, masuk surganya karena dimaafkan, bukan karena dibenarkannya agama atau madzhabnya seperti yang digaungkan Pluralisme. 

Tentang pidato Rahbar hf yang tidak dipahami penulis itu, adalah bentuk dari Toleransi yang dianjurkan agama sebagai Tidak Ada Paksaan Dalam Agama. Sebenarnya bagi yang jeli dan hatinya bersih, ayat toleransi ini sadah menunjukkan bahwa yang benar itu satu, tetapi tidak boleh dipaksakan di dunia ini. Artinya mau ikut silahkan dan nanti masuk surga, dan kalau tidak mau juga silahkan dan nanti di akhirat masuk neraka. 

Toleransi, selain memiliki makna tidak memaksa, juga memiliki makna bekerjasama dalam hal-hal yang sama. 

Nah, Rahbar hf tercinta kita, dalam pidatonya itu, mengajak para agamawan selain Islam dalam forum yang sama untuk mengentas ber-sama-sama apa-apa yang bisa dientas dari kezhaliman dan ketidak adilan di dunia ini, bukan membenarkan agama dan madzhab meraka. 

Kalau kita melihat orang jatuh, apakah kita tanya dulu agama dan madzhabnya sebelum kita menolongnya? 

Atau kalau kita dirampok dan dijajah, apakah kita tanya dulu agama orang yang lewat dekat kita sebelum kita minta tolong padanya? Atau kalau kita mau gotong royong bikin jembatan di kampung kita, apa kita hanya mengajak yang Islam atau Syi’ah, dan melarang mereka yang kafir atau yang bermadzhab lain? 

Nah, Rahbar hf tercinta itu berpidato di hadapan mereka yang kafir itu dengan bahasa yang sama untuk memerangi kazhaliman dan pejajahan. Oleh karenanya sudah tentu wajar dan bahkan harus, untuk membawa dalil-dalil yang sama di antara agama-agama tersebut. 

Jadi, sangat wajar dan wajib bahkan, untuk menyebut sekalipun dalam siratan, tentang keadilan dan memerangi kezhaliman yang disebutkan dalam semua agama. Tetapi bukan pembenaran terhadap agama atau madzhabnya, tetapi pembenaran terhadap ajaran yang dinukilkannya itu. Persis kalau kita menukil hadits Abu Bakar atau Mu’awiyah tentang misalnya fadhilah imam Ali as. 

Kita dengan penukilan itu bukan membenarkan mereka, tetapi membenarkan apa yang mereka nukil Islamnya kita, Syi’ahnya kita, belajarnya kita dan seterusnya adalah bukti dari ketidakbenaran secara fitrawi dan agami (seperti yang penulis katakan) konsep Pluralisme ini. Bukan sebaliknya seperti yang dikatakan penulis. Adalah sangat tidak fitrawis, agamis, Qur'anis dan logis-filosofis, manakala kita seumur hidup jungkir balik belajar mencari kebenaran dan memintanya pada Tuhan, terkhusus jalan lurus, dan seterusnya, manakala kita dalam pada itu, mengimani dan mengatakan bahwa kebenaran itu milik semua orang, semua agama dan madzhab. 

Untuk dalil-dalil penguat lainnya mungkin di tempat dan waktu yang lain, semoga saya sempat menulisnya, karena sekarang sedang sangat sibuk hadapi kelas, seminar, wahhabi, soal-jawab wahdatul wujud dan Pokok-pokok ajaran Syi’ah yang sedang dikerjakan. 

Tambahan: Di Iran selama puluhan tahun ini, kalau ngadain seminar nasional atau internasional tentang persatuan, selalu mengatakan bahwa: “Bukan tujuan kami untuk saling pindah agama/ madzhab, atau saling membenarkannya, tetapi untuk saling toleransi dan mengerjakan hal- hal yang sama terkhusus dalam menghadapi kezhaliman global dunia dan semacamnya, oleh karenanya konsentrasi kita kepada yang sama-sama tersebut, tetapi tidak terlarang siapapun membahas yang berbeda kalau diinginkan, asal dalam koridor ilmiah dan santun serta tidak mengarah kepada perpecahan. 

Wassalam dan afwan.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Fb, Hukum dan Akhlaknya



Seri perbincangan, teman-teman dengan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Monday, November 28, 2011 at 8:36 am


Sinar Agama: Ada yang bertanya, apakah wanita bersuami untuk memasang fotonya di fb perlu ijin suaminya? 

Jawabnya: Sudah tentu wajib meminta ijinnya dan tidak boleh (dosa) memasangnya kalau tidak diijinkannya atau belum meminta ijinnya walau sudah memakai hijab dan tidak bersolek serta tidak bergaya. Begitu pula tidak terlalu baik memasangnya walau dengan ijinnya sekalipun (dalam kondiri berjilbab dan tidak bersolek serta tidak bergaya menarik yang melihat dan dengan niat tidak ingin menarik lawan jenisnya), begitu pula untuk para wanita yang belum bersuami (dalam kondisi yang sama yang tidak bersolek dan seterusnya itu). Kalau bersolek maka saya yakin haramnya, apalagi kalau tidak berjilbab. 

Sity Aminah: Syukran Ustadz.. 

Deni Abdullah: Alhamdulillah..Moga jadi manfaat... 

Kaniz-e Mahdi: Tidak terlalu baik artinya apa? 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih atas semua jempol dan komen-komennya. 

Arahman Mosava: Semoga status di atas dibaca, dipahami dan diamalkan oleh para akhwat. Seharusnya FB bukan sekedar masalah minta ijin suami buat majang foto. Tapi lebih dari itu, yaitu meminta ijin suami untuk ber-FB juga. Melihat banyaknya mudharrat yang dapat ditimbulkan dari FB tersebut. 

Sinar Agama: Kaniz: Sebenarnya saya ingin berkata ”tidak baik” karena memang tidak baik, karena akan dilihat para lelaki bukan muhrim dan bisa disimpannya dimana saja mereka mau. Tapi karena ingin supaya lebih sedikit halus, maka saya katakan tidak terlalu baik. Jadi, sebenarnya maksudnya tidak baik. Itupun bagi yang sudah berjilbab dan tidak bermake up. Tapi kalau tidak demikian, maka haram hukumnya.

Asrullah Amir Lubis: Begitu pas. 

Edewan Abdul Majid: Yang belum besuamipun juga berlaku sama saja, karena ada hijabnya. 

Asrullah Amir Lubis: Yang berilmu itu yang bagaimana? Biar boleh komentar.,,? 

Kaniz-e Mahdi: Khoda hefzeton konad ostad, eltemase doa dar shabhaye Moharram

Sang Pecinta: @Asrullah Amir Lubib, maksud M. Almuchdor komen dari Yunus Terlambat Sahur, komennya sudah dihapus. 

Unhi Asruni: Salam, jadi bagi kaum ikhwannya yang banyak memasang fotonya di fb bagaimana? Apakah haram hukumnya juga buat para laki-laki???? 

Sausan Husein: @Arrahman: Afwan, jika para suami yang ber-FB tidak membawa mudhorot ya? Be sportif lah. Yang penting semua tahu porsi dan posisinya masing-masing. Istri memang mutlak harus taat pada suami dalam hal yang sesuai dengan syariah. Tapi suami juga harus fair donk. Jangan dia melarang atas alasan mudharat tapi suaminya tidak pernah absen update status, sampe istrinya kegerahan, afwan. 

Shellya Agatha: Kembali kepada diri masing masing , karena Menurut Imam Ali as pada dasarnya Islam tidak pernah melarang kita melihat atau memandang pada sesuatu, tapi mengajarkan kepada kita bagaimana cara melihat dan memandang pada sesuatu ,, 

Tapi ana sepakat dengan Ustadz Sinar Agama mencegah lebih baik daripada mengobati (waspada dan berhati hati karena itulah beberapa ciri sifat wanita muslimah ) By Imam Ali as. 

Madhi Bem: Dan bagaimana dengan sebagian orang yang berFB untuk mencari jodoh...? 

Arahman Mosava: Sausan@ saya kira, ketika semuanya dijalankan dengan penuh kesadaran dan syariat Islam menjadi tolak ukurnya di samping itu juga wajib konsisten menjalankannya, maka mudharrat dapat terhindar. 

Kartini Zahra: Subhanallah... 

Sausan Husein: Ahsantum. Semoga kita semua bisa menjalankannya dengan penuh kesadaran dan konsisten. 

Arahman Mosava: Kehancuran dalam kehidupan baik sendiri, berkeluarga ataupun bermasyarakat diakibatkan: 

1. Hilangnya kesadaran akan tolak ukur kebenaran. 
2. Ketidakkonsistenan dalam menjalankannya. Bisa salah satunya ataupun keduanya. 

Vinio Jubilee: Kurasa harus fair antara pria dan wanita, seperti yang disampaikan Sausan Husein. Maaf agak berbeda opini.

Sinar Agama: Unhi: 

(1). Sudah diterangkan di atas bahwa keharaman itu kalau tidak pakai hijab atau pakai hijab tapi bermake up (macak), atau berjilbab dan tidak make up tapi tidak ijin suami, atau sudah semuanya tapi bergaya manis. Sedang yang lainnya tidak haram walau tidak bagus. 

(2). Sedang lelaki, karena tidak wajib menutup auratnya, maka tidak masalah memasang fotonya asal tetap sopan dan sudah tentu tidak memancing wanita agar tertarik padanya. Kalau tidak sopan dan ingin membuat wanita tertarik padanya hingga menikmati tatapannya, maka hal ini juga haram.. 

Sinar Agama: Sausan: Bicara tentang pelarangan suami terhadap keluarnya istri dari rumah ke luar rumah, baik fakta atau maya (dengan fotonya), adalah bicara hukum syariat. Tapi bicara tentang foto suami di fb, tentu kalau tidak membuat wanita menjadi maksiat seperti yang sudah dijelaskan di atas itu, maka ini adalah persoalan akhlak dan kebijakan dimana si suaminya sudah tentu dituntut untuk tidak mementingkan fb dari keharmonisan keluarga, sudah tentu. 

Tv, radio, hp, fb ...dan semacamnya memang telah banyak menjadikan anggota rumah tangga, baik antara suami-istri, atau orang tua dan anak-anaknya atau sebaliknya, menjadi renggang dan kehilangan kehangatan dan keharmonisan Islami yang diinginkan Islam. Karena itu, maka semua itu, dituntut secara akhlak Islam -dan sebagiannya bahkan fikih Islam- untuk dipergunakan secara wajar dan tidak mengalahkan komunikasi yang wajib terjalin dalam suatu rumah tangga Islami. Semua alat-alat itu bisa dijadikan alat komunikasi dan pengisi waktu kosong saja dimana tidak ada kegiatan lain yang bermanfaat atau kegiatan keluarga seperti berbincang-bincang hangat antara sesama anggota keluarganya. Karena itu, jangan sampai badan-badannya saja yang dekat, tapi semuanya mendiliki hp-nya atau tv-nya.

Sinar Agama: Shella: Kalau yang antum maksudkan itu adalah yang foto wanita berjilbab dan tidak bermake up, maka benar apa yang antum katakan. Yakni pencegahan, karena tetap saja bisa dinikmati oleh lelaki yang bukan muhrimnya. Tapi kalau untuk yang lain-lainnya, maka sudah terlarang, bukan pencegahan. Ahsanti ya ukhtiy.

Sinar Agama: MB: Mencari jodoh tentu saja boleh lewat fb. Tapi tidak mesti hanya dengan memasang gambar di akunnya. Bisa saja dengan mengirimnya setelah saling yakin pada data- data awalnya yang sudah saling diterima masing-masing. Dan, itulah salah satu fungsi -walau kurang terlalu bagus- dari memasang foto asal tidak melanggar syariat. 

Hem... teringat akan makna ayat yang mengatakan bahwa pezina wanita dengan pezina lelaki, orang mukmin wanita dengan mukmin lelaki yang sering ditanyakan oleh para teman. 

Karena makna ayat itu adalah kecenderungan masing-masing orang, bukan takdir Tuhan dan/ atau larangan Tuhan terhadap selain yang seperti itu. Artinya, yang suka berzina akan memilih atau cenderung atau setidaknya tidak menganggapnya masalah, calon jodohnya yang juga pezina. 

Nah, makna ini, akan mengantarkan kita kepada apa saja kecenderungan-kecenderungan kita. Misalnya, yang suka pacaran, akan memilih yang juga suka pacaran dan/atau tidak mempermasalahkan yang demikian itu. Dan orang yang menjauhi pacaran karena dosa, maka ia juga akan mencari orang- orang yang menghindari pacaran. 

Dengan itu pula, maka kita juga akan melihat, bahwa orang yang suka fb-kan, juga akan mencari yang suka fb-kan, atau setidaknya tidak mempermasalahkannya. Dan begitu pula sebaliknya yang tidak suka fb-kan. 

Pembicaraan saya ini bukan menjelaskan tentang baik-buruknya fb-kan, tapi sekedar membicarakan kecendurangan manusia dan pilihan yang akan dipilihnya. 

Sedang fb-kannya seorang istri yang untuk menuntut ilmu dan sekedar menyapa teman-temannya sesama wanita, tanpa memuat fotonya, serta tidak mengurangi kewajibannya sedikitpun terhadap suaminya, maka mungkin sebaiknya tidak dilarang oleh suaminya. Dan kalaulah dilarang, akan tetapi benar-benar untuk belajar dan tidak mengurangi sedikitpun kewajiban rumah tangganya terhadap suaminya, maka saya meyakini masih boleh melakukannya. Tentu saja, kalau tidak membuat rumah tangganya berantem dan tidak menelurkan pertengkaran atau berkurangnya simpati suami dan kasih sayangnya. Semoga kita semua mau berlindung dalam lindunganNya, amin. 

Wassalam. 

Haidar Dzulfiqar and 15 others like this. 

Arif Muhajir: Ijin Share ustadz... 

Sinar Agama: MZ: Begitulah. 

Estu Ja’far Suherman: Ijin share, Ustadz... 

Sinar Agama: Estu: Silahkan saja, semua tulisanku di fb ini gratis kalau untuk kebaikan dan bukan untuk bisnis. Kalau ada waktu, kunjungilah catatan-catatan atau dokumen-dokumenku. 

Nadya Jufri: Afwan....jaman sekarang yang banyak adalah seorang suami yang melarang istrinya fb-an tapi dianya (si suami) malah gak pernah telat melongok fb-nya para wanita di akunnya si suami itu sendiri.

Sinar Agama: Maya: Benar antum terkejut, karena memang salah tulis. Yang benar jawaban saya untuk Nadya Jufri itu adalah: 

Kalau suaminya melongoki wanita-wanita, maka ia melakukan keharaman. Tapi tidak menjadi penghalal bagi perbuatan haram sang istri (yakni kalau dilarang suaminya memasang foto atau berfb-kan). 

Sinar Agama: Jadi yang salah itu sebaiknya saya delete saja pada hari ini.

Muslim Ald Djawwa: Semoga kita bisa lebih hati-hati.. 

July 28, 2012 at 7:19am via mobile · Like



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Syahid dan Filsafatnya (secara tertib huruf)



Seri tanya jawab Ibnu Ahmad Khan dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, November 27, 2011 at 11:00 pm


Ibnu Ahmad Khan: Salam. Ustadz, ana mohon pencerahannya.. Sekaitan dengan akan datangnya peringatan Asyura, tolong antum jelaskan falsafah dari pada ”syahid” dan ”syahadah”! Syukran.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih permintaannya: 
Kalau boleh saya menjelaskan syahid atau kesyahidan sesuai dengan huruf-huruf abjad syahid ini, maka saya akan berkata bahwa huruf abjad itu menandakan urutan-urutan keimanan dari seorang syahid: 

1. Huruf “S”: Huruf ini bisa berarti “saksi”. Artinya kesaksian atas keTuhanan Tuhan dan KesegalaanNya. Maha Kasih, Maha Pandai, Maha Harus Ditaati, Maha Harus Dicintai, Maha Indah, Maha Pengatur, Maha Jujur, ...dst. Jadi, kesaksian ini sudah melebihi tingkatan iman biasa yang ada pada semua manusia. 

2. Huruf “Y”: Huruf ini menunjukkan makna “yakin”. Artinya, seseorang yang telah mencapai derajat kesaksian bahwa Tuhan itu adalah segala-galanya, maka maqam ini tidak akan dicapai kecuali pencapainya akan mendapat maqam lain yang bernama “yakin” itu. 

Allamah Thaba Thaba’i ra mengatakan: 

“Orang yang beriman terhadap adanya neraka akan tetapi masih melakukan dosa, maka orang tersebut hanya beriman (percaya) saja dan belum meyakininya. Sebab kalau meyakininya, sudah pasti tidak akan melakukan dosa.” 

3. Huruf “A”: Huruf ini bermakna “aplikasi”. Artinya, ketika orang yang sudah sampai ke tingkat kesaksian dan yakin itu, maka sudah pasti ia akan mengaplikasikan iman dan fikih yang ia ketahui walaupun dengan membayar yang termahal dari dirinya, yaitu nyawanya, apalagi kalau hanya dengan lelah, harta dan kesulitan. 

4. Huruf “H”: Huruf ini bermakna “hidup”. Artinya, apapun keadaan orang yang sudah mencapai derajat kesaksian, yakin dan aplikasi itu, maka itulah hakikat hidup yang diinginkan Tuhan dan memang sesuai dengan argumentasi akal terhadap filsafat dan tujuan kehidupan. Karena itulah, maka Tuhan mengatakan bahwa kalau diri kita, ayah kita, anak-anak kita, harta kita ...dst lebih dicintai dari Allah, Rasul saww dan jihad di jalanNya, maka hendaknya kita tinggal menunggu adzabNya (QS: 9: 24). 

5. Huruf “i”: Huruf ini bermakna Indah. Artinya, bagi orang yang sudah mencapai derajat kesaksian, yakin, aplikasi dan hidup, maka sudah tentu apapun yang dihadapinya adalah indah walau dalam sejuta duka dan air mata. Karena itu, mereka-mereka ini selalu ceria dalam hidup walau dalam sejuta derita. Karena itu Hadharat Zainab as ketika ditanya tentang peristiwa Karbala, beliau as menjawab: “Tidak kulihat kecuali keindahan semata.” 

6. Huruf “D”: Huruf ini bermakna “dan seterusnya”. Artinya, uraian-uraian terdahulu itu, hanyalah bagian kecil dari samudra hikmah, argumentasi dan keindahan syahid. Karena “D” itu bisa bermakna “Dia”, yaitu maqam keTuhanan yang tidak bisa terjangkau oleh akal dan amal siapapun.

Tambahan: 

(1). Syahid ini bukan maqam sembarangan yang bisa dicapai dengan sembarang mati di atas nama agama. Karena bisa saja diatas namakan agama, bukan agama, seperti kerja-kerja terorist yang dibuat wahabi dan bekerja sama dengan barat yang membunuhi orang-orang tidak berdosa. Justru, yang terbunuh oleh mereka itulah yang sebenarnya mencapai derajat syahid sesuai dengan keimanan dan derajat ketaatannya kepada Allah. Artinya, kalau ia orang beriman dan taat, tapi dianggap kafir oleh wahabi mal’un ini, lalu ia dibunuh, maka sudah pasti akan mendapat derajat kesyahidan yang tinggi. Begitu pula kalau beriman walau tidak terlalu taat. Karena tidak taat bukan dibunuh, kecuali kalau membunuh dan/atau murtad menurut orang makshum as yang kata-katanya pasti dan sudah diberi kesempatan bertaubat setidaknya 3 hari. 

(2). Keterangan di atas itu, hanyalah berupa beberapa poin-poin penting yang harus diperhatikan yang dijelaskan secara sekilas saja (sudah tentu bisa dirinci lebih jauh). Karena dengan memperhatikannya, maka kita akan tahu posisi kita dimana dan, na’udzubillah, kalau ada di oposisinya atau lawannya. Yakni lawan dari maqam “kesaksian”, “yakin”, “aplikasi” ....dan seterusnya. Karena kalau kita ada di maqam opositnya/lawannya, maka sudah pasti kita akan menjadi orang yang celaka di dunia dan akhirat. 

Salam padamu ya Husain as, sang penghulu para syuhada’ (orang-orang syahid). Salam padamu dan anak-anakmu, kerabat-kerabatmu dan shahabat-shahabatmu yang terbantai bersamamu di Karbala. Begitu pula salam pada keluarga-keluargamu dan semua keluarga yang telah menjadi sandera yang digiring dalam rantaian besi Bani Umayyah. 

Wassalam. 

6 people like this.

Ibnu Ahmad Khan: Syukran ustadz..... thayyaballahu anfusakum! 

Ibnu Ahmad Khan: Di dalam al-Qur'an saya pernah membaca ayat (tapi saya lupa surat dan ayatnya), bahwa Para Makshumin itu disebut juga dengan Syuhada’ (yang menyaksikan). Apakah ada korelasinya dengan syahid yang ana tanyakan tersebut. Mohon pencerahannya ustad....... mamnoon.... 

Sinar Agama: Sepertinya maksudnya lain. Karena syuhada di ayat itu adalah sebagai penyaksi terhadap perbuatan manusia. 

December 3, 2011 at 10:29 pm · Like


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ