﷽
Oleh : Ustad Sinar Agama
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 19:00
Ragu itu tidak buruk, sama sekali. Tapi ragu yang didakwa sebagai ilmu dan kebenaran, itulah yang buruk. Yang ke dua, manusia tidak mungkin menjangkau yang ragu itu dan membuka tabirnya, kecuali dengan ilmu-yakin-benar-gamblang. Jadi, dalam diri manusia itu memang secara fitrah ada ragu, yaitu kepada hal-hal yang memang belum diketahuinya. Tetapi dia tidak mungkin tidak punya sama sekali apa yang dikatakan ilmu-benar-gamblang-yakin. Seperti ilmu tentang keberadaannya sendiri dan sifat-sifatnya serta semua peristiwa yang terjadi setiap detiknya.
Begitu pula pengetahuannya tentang lingkungannya, rumah tangganya, tetangga dan alam sekitarnya. Nah, ilmu-yakin-benar-gamblang manusia itu banyak sekali dan tidak bisa dihitung.
Keberadadaan ilmu-ilmu itu juga fitrah karena dia adalah rahmatNya, karena tanpa itu, maka manusia lalu bisa kemana dan berbuat apa. Usaha atau berfikir, tanpa modal dari ilmu-ilmu yakin itu, maka tidak mungkin terjadi. Bagaimana mungkin manusia bisa selamat dari kejaran dan terkaman harimau, kalau dia masih ragu bahwa yang mengejarnya itu haramau atau bukan, bahaya atau bukan...dan seterusnya.
Jadi, ragu dan yakni itu fitrah. Tetapi karena akal kita tidak mau yang salah, maka yang yakin kadang diperiksa lagi supaya tidak salah, dan yang ragu harus dicari dalilnya melalui yang yakin itu. Oleh karena itulah maka teori Rene Des Cartes ‘Cogito Ergo Sum’ itu cukup aneh, karena dia melihat pikirnya lebih jelas dari dirinya sendiri. Padahal pikirnya adalah akibat dari dirinya sendiri. Tentu saja ilmu Rene benar juga, tetapi di tingkatan yang lebih rendah. Karena dirinya diteropong dari pikirnya. Padalah masih ada lagi yang namanya, jalannya, makannya, cintanya, bencinya,...... dan seterusnya.
Memang dalam kata Ren itu tidak menolak semua akibat dirinya, tetapi pemastian adanya dengan pikirnya, adalah jelas terlalu sempit dan menyempitkan. Setidaknya, kala ia berkata dan fokus pada itu. Jadi, perlu disadarkan lagi dan fokusnya perlu dirusak lagi, dengan menyadarkannya bahwa ia juga punya jalan, tidur, cinta, benci ...dan seterusnya.
Perlu diketahui, bahwa logika dan filsafat diwujudkan oleh para filosof untuk memudahkan memahami mana yang yakin dan mana yang ragu, dan memudahkan metodologi pencarian ragu itu dengan yakin. Jadi, filsafat itu memudahkan masalah, bukan malah meruwetkannya. Jadi, kalau ada orang berbicara filsafat tapi membuat semakin sulit masalah, maka ada beberapa kemungkinan: dia tidak tahu filsafat dengan baik; dia mau menjual filsafat dengan istilah-istilah yang trendi hingga tidak mudah dimengerti; dia sendiri tidak mengerti istilah-istilah itu; dia tidak mengerti tujuan mulia para fiosof yang ingin memudahkan; dia salah jalan dalam memilih metode penyampaian; ....dan seterusnya.
wa’budulloha hatta ya’tiyakal yaqiin..
U’bud Rabbaka itu bisa memiliki makna luas. Apapun itu, tetap memerlukan ilmu yakin. Jadi harus yakin dulu pada yang akan dilakukan, baru setelah itu akan dapat keyakinan yang lain.
Penjelasannya:
1. Ibadah dalam akal dan Islam, bermakna dua, dan bisa dua-duanya, yaitu beribadah seperti puasa, shalat dan lain-lain, bisa juga bermakna taat. Dan setiap kalimat ini dibawakan dalam agama, maka yang dimaksud, kebanyakannya atau kesemuanya, adalah taat.
Dan taat ini, bisa dalam bentuk ibadah-ibadah khusus itu, bisa dalam bentuk umum. Nah, mengerti Tuhan, itu juga diperintahkan secara banyak sekali dalam Qur'an, seperti “ketahuilah bahwa Tuhan itu Maha Mendengar dan Melihat, Maha Kuasa, Maha....dan seterusnya” dimana disana memakai kalaimat “KETAHUILAH”. Nah ketahuilah itu adalah perintah untuk mengetahui. Jadi, taat adalah maksud Qur'an yang mengatakan U’bud Rabbaka yakni taati Tuhanmu sampai datang padamu yakin.
2. Yakin di sini bermakna dua, yakin yang bermakna yakin yang kita bahas disini, dan ada yang bermakna “mati”. Rasul yang sudah pasti Rajanya Yakin, maka beliau saww beribadah atau taaat sampai meninggal, bukan sampai yakin. Tatapi yang belum sampai ke tingkat yakin maka harus taat hingga dapat yakin. Tetapi karena taat itu tidak mungkin tanpa ilmu-yakin- benar, maka kita harus mencapai yakin dulu pada yang diperintahkannya itu. Baru setelah itu, kalau kita kerjakan, maka kita akan mendapatkan ilmu yang lebih tinggi, yakin yang lebih tinggi.
3. Yakin, juga memiliki milyaran tingkatan, Nabi saww dan para maksum as, sudah tentu sudah sampai ke tingkat tertinggi, karena mereka guru para pemburu yakin. Nah, bagaimana mungkin guru belum sampai kepada yang dikejar muridnya. Padahal dari satu sisi, memburu yakin itu tidak terbatas. Jadi Nabi saww dan imam maksum as sudah sampai ke tingkat yang tidak bisa lagi dicapai manusia lain dalam tingkatan yakin itu.
4. Untuk manusia selain mereka, maka keyakinan yang didapat dimanapun, tetap harus bersemangat mencapai keyakinan yang di atasnya, jagan pernah sama sekali puas dalam keyakinan lalu berhenti, tapi teruslah berjuang. Tapi tentu saja, sambil mensyukuri yakin yang sebelumnya.
5. Imam Ja’far Shadiq as pernah berkata: Orang yang beribadah/taat kepada Allah, tatapi tidak dengan ilmu (yakin yang argumentatif), maka ibarat musafir yang melakukan perjalanan tidak di atas jalannya yang benar. Maka semakin cepat ia berjalan (semakin taat), maka akan semakin jauh dari tujuannya. Artinya, kalau kita membuat keyakinan taklidi dan non argumentatif, lalu kita lalukan hal itu hingga dikatakan taat, maka semakin banyak kita taat kepada Allah, akan membuat kita semakin jauh dariNya.
6. Tentu yakin dalam taat yang umum itu, memiliki dalilnya sendiri-sendiri. Kalau dalam akidah maka dalilnya adalah akal dan tidak boleh taklid, dengan alasan yang sudah saya rinci di Pendahuluan Pokok-pokok dan Ringksan Ajaran Syi’ah. Sedang dalil fikihnya adalah taklid buta kepada marja’ seperti taklid buta pada dokter spesialis. Karena akal dan agama kita mengatakan bahwa masing-masing orang memiliki spesialisnya sendiri-sendiri, dan yang tidak memiliki spesialis terntentu harus mengikuti yang memilikinya.
Perjalanan nabi Ibrahim as itu bukan dimulai dengan ragu. Beliau as justru memulainya dengan yakin. Beliau as justru bermodal dengan keyakinan akan tenggelamnya bintang, bulan dan mata hari. Dan beliau juga bermodal yakin bahwa yang sirna itu pasti bukan Tuhan. Jadi beliau as bukan memulai dengan ragu, tapi dengan yakin.
Ayat-ayat tentang nabi Ibrahim as itu memiliki dua makna, yakni beliau sedang berdalil dengan umatnya, bukan untuk beliau sendiri, karena beliau salah seorang nabi yang sudah raja yakin. Yang ke dua, untuk beliau sendiri kalau kejadian itu sebelum beliau as menjadi nabi. Tetapi ingat bintang, bulan dan matahari di sini, bukan bermakna yang kita lihat ini. Karena beliau as tidak perlu menunggu lenyapnya untuk tahu bahwa semuanya itu akan lenyap. Sebab anak kecilpun sudah tahu bahwa bintang, bulan dan matahari itu selalu lenyap setiap hari.
Jadi yang dimaksud bintang, bulan dan matahari pada beliau as sebelum jadi nabi, adalah kasyaf- kasyaf beliau yang dimulai dari yang kecil menuju kepada yang besar. Yang kecil lenyap karena beliau sudah sampai keduanya.
Bintang lenyap karena beliau sudah jadi bintang, begitu juga dengan bulan dan matahari.
Begitulah seterusnya sampai menjadi Fana’ dan melanglangi Asma-asma Allah seperti yang sudah saya terangkan di wahdatulwujud. Kemudian, antum melihat Qur'an dan hadits, seperti melihat tulisan antum sendiri yang mati. Qur'an dan hadits itu adalah sesuatu yang hidup dan nanti akan bersaksi di hadapan Allah swt tentang kita.
Kalau Qur'an dan hadits mati, maka ia tidak layak dikatakan nur, menentramkan jiwa, menerangi kuburan, mendatangkan pahala, menenangkan orang mati....dan seterusnya. Karena itulah maka tidak heran kalau ia dikatakan Jibril itu sendiri. Tentu saja Qur'an sebagai tulisan, memang tidak bernafas, sekalipun tetap harus dihormati karena ia adalah tajalli yang hidup itu. Akan tetapi sebagai yang wahyu, maka ia jelas hidup hingga karenanya kalau kita tidak membacanya dan sampai berdebu ia akan mengeluh kepada Allah nanti di akhirat.
Jadi, akal adalah alat mencapi hakikat, dan Qur'an juga demikian. Bedanya kalau akal bisa salah, tapi Qur'an tidak bisa salah. Tapi yang tidak bisa salah adalah Qur'an yang Qur'an, bukan yang kita pahami ini.
Jadi, bagaimanapun, maka Qur'an akan ditentukan akal kita. Jadi, akal adalah sumber satu-satunya untuk memahami hakikat nyata dan Qur'an itu sendiri.
Kalau nabi Ibrahim as menjadi tidak percaya kepada Allah yang dikasyafnya dengan simbol bintang yang karena beliau as sudah menjadinya, maka dalam perjalanan beliau as, tidak ada keraguan. Jadi semua kepastian. Bedanya Tuhan yang di kasyaf di tingkat rendah yang disimbolkan dengan bintang, adalah keyakinan yang menjadi punah, bukan keraguan yang punah. Inilah yang dimaksud Tuhan “KepadaNya kalian akan menjadi”, yakni dari satu sisi akan menjadi Allah, jadi Tuhan yang tersimbolkan dengan bintang itu adalah Tuhan juga, tapi dari sisi yang lain Allah berkata “KepadaNya”, yakni tak pernah mencapaiNya karena selalu kepadaNya, bukan menjadiNya.
Jadi nabi Ibrahim as, berangkat dari keyakinan kepada keyakinan yang lain tanpa kesalahan, terlebih keraguan.
Sekian. Alfatiha ma’a sholawat. Wassalam.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ