Tampilkan postingan dengan label Riwayat Sunni. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Riwayat Sunni. Tampilkan semua postingan

Minggu, 14 Oktober 2018

Siapa dan Mengapa Ummu Kultsuum Istri Umar bin Khaththaab ?!




Seri tanya jawab Muhammad Dudi Hari Saputra dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Thursday, May 10, 2012 at 12:19 am



Muhammad Dudi Hari Saputra: Salam ustadz,,, Apa kabar ustadz?? Semoga sehat selalu.. ^_^

Ustadz,, pertanyaan filsafat saya belum dibalas,,hhe dan mohon bantuannya teman-teman apakah ada yang menyimpan arsip mngenai pernikahan Umar bin Khattab dengan Umi Kalsum (putri Imam Ali).. mohon bantuannya.. syukron ya afwan.,.. 


Hamidah Nurjamilah Adiwijaya: “Ummu kulthum yang di nikahi Umar bin khattab meninggal sebelum tahun 50 hijriyah, hasan bin Ali As, Abdullah bin Umar dan Sa’ad bin Abi Waqash diminta Umar untuk menyolatinya. 




Sejarah mencatat bahwa ummu kulthum binta Ali As ikut dalam rombongan karbala dan menjadi saksi pembantaian Putra Suci As Syahidu Syabab As pada tahun 61 hijriyah.

Dan juga sejarah mencatat bahwa setelah peristiwa duka tersebut Ummu kulthum binta Ali As menikah dengan Abdullah bin Jafar At thayyar.”. 



SIAPA AJA ISTRI UMAR (yang tercatat di Kitab al-Faruq) 


Umar Khottob mempunyai 7 orang istri, yang pertama bernama zainab saudari dari uthman bin mazun

Istri yang ke dua bernama qariba putri dari Ibn Umait al makzami dan saudara dari Ummul mukminin ummu Salamah ra. Qariba bercerai dari Umar pada tahun 6 sebelum masehi setelah perjanjian hudabiyah

Istri ketiga bernama malaika anak dari Jarul al khuzai yang juga dipanggil Ummu kulthum, karena ia menolak islam maka malaika (ummu kulthum binta jarul) ini pun di ceraikan pada tahun yang sama (tahun 6 sebelum masehi).

Istri yang ke empat bernama Jamila anak dari Asim bin Thabit. Nama asli jamila adalah Asya yang kemudian oleh Rasul Saww diganti rasul Saww menjadi Jamila saat ia di dalam ISLAM.

Istrinya yang lain adalah ummu Hakim anak dari Al harith bin hisyam al makhzumi dan lainnya adalah Fukhia yamania dan Atika putri dari Zaid bin Amr bin naf

Muhammad Dudi Hari Saputra: Jadi Ummu Kulthum yang di maksud sebagai isteri Umar bukanlah Ummu Kulthum binti Ali tetapi adalah Ummu Kulthum binti Jarul..?

Syukron..

Hamidah Nurjamilah Adiwijaya: Iya, smoga ustadz bisa memberikan penjelasan lebih baik.

Sang Pecinta: Salam, Penjelasan” umi kulstum putri Imam Ali menikah dengann Umar bin khatab? Oleh Ustad Sinar Agama,

http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/243413822370088/

Berlangganan Catatan-catatan Sinar Agama: Sang Pecinta: terkait dengan Imam Ali dan Umar... http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/236093706435433/

Berlangganan Catatan-catatan Sinar Agama


Sinar Agama: Salam dan terimakasih atas tagihan dan pertanyaannya. Karena menjawab perta- nyaan ini agak panjang, harap sabar. Mungkin nanti malam kalau tidak ada pertanyaan masuk.

Sang Pecinta: @Ustadz: jawaban tentang Umi Kultsum sudah saya tukilkan di atas ustadz, afwan..

Muhammad Dudi Hari Saputra: Terima kasih sebesar-besarnya untuk ustadz Sinar Agama dan Sang Pencinta dan juga teman-teman yang lain,, semoga bisa berkumpul bersama kalian di saat ma’ad kelak,, ^_^

Sinar Agama: Hdh Ummu Kultsuum as (hdh Zainab as): 
Bismillaah:

(1). Masalah Ummu Kultsum ini terjadi perbedaan pendapat baik di sunni atau di syi’ah.

(2). Di Syi’ah sendiri, ada tiga pendapat:

a. Mengingkari keberadaannya sebagai putri imam Ali as dan hdh Faathimah as.

b. Tidak mengingkari keberadaannya akan tetapi mengingkari perkawinannya dengan Umar bin Khaththab. Kelompok ini seperti Syaikh Mufiid ra dalam kitabnya al-Masaailu al-‘Ubkariyyah dan Sayyid Naashir Husain al-Hindii dalam kitabnya, Ifhaamu al-A’daa’ wa al-Khushuum.

c. Tidak mengingkari keberadaan dan perkawinannya dengan Umar akan tetapi dalam keadaan terpaksa. Kelompok ke tiga ini seperti Sayyid Murtadhaa dalam kitabnya, Tan- ziihu al-Anbiyaa’, dan seperti riwayat-riwayat yang ada di al-Kaafii-nya al-Kulaini ra.

(3). Dari ketiga pandangan itu, yang paling kuat, sebagaimana akan dijelaskan kemudian, adalah pandangan yang pertama, yaitu yang mengatakan tidak adanya putri imam Ali as dan hdh Faathimah as yang bernama Ummu Kultsuum.

(4). Dalil-dalil pandangan pertama:

a. Sebenarnya, siapapun yang menuliskan bahwa anak-anak imam Ali as dengan hdh Faathimah as itu 5 orang, imam Hasan as, imam Husain as, Muhsin (yang gugur dari kandungan dalam penyerbuan Abu Bakar dan Umar), hdh Zainab ra dan Ummu Kul- tsuum, hanya menyimpulkan dari riwayat-riwayat yang ada. Artinya, riwayat-riwayat itu tidak pernah menyebut dua nama terakhir itu dalam satu periwayatan. Karena itu, dapat dipahami bahwa hdh Zainab ra dan Ummu Kultsuum itu sebenarnya satu orang. Hdh Zainab ra adalah namanya dan Ummu Kultsuum adalah julukannya yang, memang diberikan oleh Nabi saww.

b. Ibnu Bathuuthah (w 779 H), dalam kitabnya, Rihlatu Ibnu Bathuthah, 1/113, cetakan Muassasah al-Risaalah, Bairuut, th 1405 H Q, menuliskan: 



وبقرية قبلي البلد وعلى فرصخ منها مشهد أم كلثوم بنت علي بن أبي طالب من فاطمة عليهم السالم

ويقال أن اسمها زينب وكناها النبي صلى اهلل عليه وسلم أم كلثوم 



“Dan menjelang kota, sekitar satu farsyakh (5,6 km) sebelumnya, terdapat makam Ummu Kultsuum bintu Ali bin Abii Thaalib (as) dengan Faathimah (as) dan dikatakan bahwa namanya adalah Zainab yang dijuluki Nabi saww dengan Ummu Kultsuum.”

c. Di kitab Taariikh Damasyq, 2/309, juga dikatakan bahwa dia itu (yang dikubur di makam tersebut), adalah Ummu Kultsuum. Akan tetapi mengatakan bahwa penulis tidak tahu putri imam Ali yang mana. Karena Ummu Kultsuum yang putrinya imam Ali yang dikawin Umar, meninggal di Madinah.

d. Shahih Bukhari, 5/1963, meriwayatkan: 




وَجَمَعَ عبد اللَّهِ بن جَعْفَرٍ بين ابْنَةِ عَلِيٍّ وَامْرَأَةِ عَلِيٍّ



“Dan Abdullah Bin Ja’far telah mengawini keduanya dari putri Ali dan Janda Ali.”

Dalam syarah hadits ini, ulama Sunni mengatakan bahwa putri imam Ali as yang dimaksud- kan itu adalah Zainab, sementara jandanya adalah Lailaa bintu Mas’uud (Mukaddimatu Fathu al-Baarii, 1/321).

Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa putri yang dimaksud itu adalah Ummu Kultsuum (Sunanu al-Baihaqii al-Kubraa, 7/167).

Ulama sunni, supaya terlepas dari masalah bertentangannya dua riwayat ini, memberikan jalan keluar. Bahwa kedua-dua putri tersebut, yaitu Zainab dan Ummu Kultsuum, sama- sama dikawin oleh Abdullah bin Ja’far, akan tetapi dalam waktu yang berlainan (Fathu al-Baarii, 9/155).

Padahal riwayat-riwayat sunni meriwayatkan bahwa Ummu Kultsuum ikut menyolati kedua saudaranya (imam Hasan as dan imam Husain as) ketika keduanya syahid. Begitu pula diriwayatkan di sunni dan syi’ah bahwa hdh Zainab as dikawin Abdullah bin Ja’far di jaman hidupnya imam Ali as sampai wafatnya –hdh Zainab- setelah kesyahidan imam Husain as.

Karena itu, apakah maksud Ibnu Hajar, yang mengatakan bahwa Zainab dan Ummu Kultsuum dikawini Abdullah bin Ja’far di dua jaman yang berlainan, adalah mentalak hdh Zainab langsung setelah syahidnya imam Ali as, lalu setelah itu langsung mengawini Ummu Kultsuum, lalu setelah itu kawin lagi dengan hdh Zainab as setelah wafatnya Ummu Kultsuum? Bukankah mereka telah sepakat bahwa hdh Zainab menjadi istri Abdullah bin Ja’far sejak imam Ali as masih hidup sampai akhir hayatnya setelah syahidnya imam Husain as??!!!

e. Di sejarah imam Ali as, semua mengatakan bahwa di malam syahidnya imam Ali as, berbuka di rumah Abdullah bin Ja’far suami hdh Zainab as. Dan di riwayat yang lain dikatakan di berada di rumah Ummu Kultsuum.

Kesimpulan semua dalil terdahulu: 


1. Dengan semua dalil-dalil di atas itu, tidak bisa tidak, dapat diyakini bahwa hdh Zainab as dan Ummu Kultsuum adalah satu orang adanya, bukan dua orang.

2. Dari satu sisi, kita tahu bahwa Umar sama sekali tidak pernah kawin dengan hdh Zainab as.

3. Karena itu maka riwayat yang mengatakan bahwa Umar mengawini Ummu Kult- suum bintu imam Ali as itu adalah tidak benar. Jadi, Umar sebenarnya kawin dengan Ummu Kultsuum yang lain, sebagaimana nanti akan dibuktikan.

f. Siapa Ummu Kultsuum ini sebenarnya?

Di dalam riwayat-riwayat, sebenarnya tidak ada yang mengatakan bahwa Ummu Kul- tsuum ini adalah putri imam Ali as dengan hdh Faathimah as. Yang ada hanya mengatakan bahwa Ummu Kultsuum yang ada di rumah imam Ali as-lah yang dikawini Umar. Bisa saja Ummu Kultsuum ini memang ada, akan tetapi merupakan putri imam Ali as dengan istri- istri yang lain. 

Karena itu poin berikut ini baik diketahui: 


f-1- Ulama-ulama sunni, tentang Zaid bin Umar bin Khaththab, mengatakan bahwa Zaid adalah putra Umar dengan Ummu Kultsuum bintu Jarwal/Jaruul yang sewaktu Umar masuk Islam, ia tidak mau masuk islam hingga ditalak oleh Umar.

Dikatakan di Taariikh Madinati Damasyq, 38/58, bahwa Umar memiliki anak ber- nama Zaid al-Ashghar (kecil) dan ‘Ubaidillah yang keduanya terbunuh di perang Shiffiin ketika bersama Mu’awiyyah memerangi imam Ali as.

Sebagian sunni berusaha menakwil-nakwil dan mengatakan bahwa Zaid Al-Ashghar memang anak Umar bersama Ummu Kultsuum bintu Jarwal/Jaruul akan tetapi Zaid yang lain adalah putra Umar bersama Ummu Kultsuum bintu imam Ali as.

Akan tetapi takwilan ini jelas diada-adakan, karena Zaid yang pertama disebut dengan al-Ashghar, yakni lebih kecil. Lalu bagaimana ia menjadi lebih kecil dari Zaid yang lahir dari perkawinan Umar dengan Ummu Kultsuum bintu imam Ali as yang dikawininya di masa khilafahnya –Umar???!!! Bagaimana mungkin anak yang lahir di jaman Jahiliyyah lebih kecil dibanding dengan anak yang lahir dari istrinya yang dikawin di masa ia menjadi khalifah?

f-2- Ulama besar pensyarah shahih Muslim yang bernama Nawawi, dalam kitabnya Tahdziibu al-Asmaa’, 2/1224, mengatakan bahwa ‘Aisyah memiliki dua saudari yang bernama Asmaa’ dan Ummu Kultsuum yang dikawin oleh Umar bin Khaththaab. 

4221 - أختا عائشة: اللتان أرادهما أبو بكر الصديق ، رضى اهلل عنه ، بقوله لعائشة : إنما هما أخواك وأختاك ، قالت : هذان أخواى ، فمن أختاى ؟ فقال : ذو بطن بنت خارجة ، فإنى أظنها جارية . ذكر هذه القصة فى باب الهبة من المهذب ، وقد تقدم بيانهما فى أسماء الرجال فى النوع الرابع فى األخوة ، وهاتان األختان هما أسماء بنت أبى بكر ، وأمكلثوم ، وهى التىكانت 
حمالً ، وقد تقدم هناك إيضاح القصة ، وأمكلثوم هذه تزوجها عمر بن الخطاب، رضى اهلل عنه . 

f-3- Masih ada lagi cerita-cerita buatan yang berkeinginan memaksakan perkawinan Umar dengan Ummu Kultsuum bintu imam Ali as. Yaitu yang bermula bahwa Umar meminang Ummu Kultsuum bintu Abu Bakar. Tapi ‘Aisyah menolaknya karena Umar terkenal kasar pada wanita. Akan tetapi ‘Aisyah berkata bahwa ia akan memilihkan perempuan lain yang juga bernama Ummu Kultsuum dari putra imam Ali as dan hdh Faathimah as (al-Kaamil fii al-Taariikh, 3/54-55; Taariikh Thabari, 3/270).

Sebegitu memaksanya permainan politik di jaman itu hingga tetap saja ingin menggandengkan Umar dengan Imam Ali as untuk menutupi kudeta kekhalifaan hingga sebegitu memaksakannya hingga apa-apa yang tidak mungkin dilakukan ‘Aisyah sendiri, dipaksakannya juga, yaitu dia sendiri tidak ingin dicelakai Umar tapi mencelakakan keluarga Rasul saww yang bernama Ahlulbait as yang ia sendiri menyaksikan di shahih Muslim dan lain-lain-nya bahwa mereka (imam Ali as, hdh Faathimah as, imam Hasan as dan imam Husain as) adalah yang diumumkan kemakshumannya oleh Tuhan di Qur'an di ayat Tathhiir.

Dengan penjelasan-penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Ummu Kultsuum yang ada di rumah imam Ali as itu adalah putri dari Abu Bakar, bukan putri imam Ali as. Jadi ada dua Ummu Kultsuum sesuai dengan riwayat-riwayat sunni di atas, yang pertama adalah putri Jarwal/Jaruul yang memiliki anak benama Zaid dan lain-lain- nya dan yang ke dua putri dari Abu Bakar.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa Ummu Kultsuum ini ada di rumah imam Ali as? Jawabnya adalah, karena setelah Abu Bakar meninggal, sebagian dari istri-istri Abu Bakar dikawin oleh imam Ali as. Karena itulah maka sebagian anak Abu Bakar juga menjadi anak Imam Ali as seperti Muhammad bin Abu Bakar yang besar di rumah imam Ali as. Salah satu dari anak-anak itu adalah Ummu Kultsuum putri Abu Bakar ini.

Jadi, para pemamrih dalam perawian sejarah ingin menyalahgunakan kesamaan nama Ummu Kultsuum itu. Artinya, keberadaan Ummu Kultsuum di rumah imam Ali as, walau ia adalah anak Abu Bakar, tetap saja ingin dijadikan Ummu Kultsuum yang menjadi istri Ummar. Padahal mereka tahu bahwa Ummu Kultsuum yang menjadi istri Umar itu adalah putri Jarwal/Jaruul

f-4- Pertama kali orang membawa cerita tentang kawinnya Umar dengan Ummu Kult- suum bintu imam Ali as adalah Ibnu Sa’ad (w 230 H): 

أمكلثوم بنت علي بن أبي طالب بن عبد المطلب بن هاشم بن عبد مناف بن قصي وأمها فاطمة بنت رسول اهلل وأمها خديجة بنت خويلد بن أسد بن عبد العزى بن قصي تزوجها عمر بن الخطاب وهي جارية لم تبلغ فلم تزل عنده إلى أن قتل ولدت له زيد بن عمر ورقية بنت عمر ثم خلف على أمكلثوم بعد عمر عون بن جعفر بن أبي طالب بن عبد المطلب فتوفي عنها ثم خلف عليها أخوه محمد بن جعفر بن أبي طالب بن عبد المطلب فتوفي عنها فخلف عليها أخوه عبد 
اهلل بن جعفر بن أبي طالب بعد أختها زينب بنت علي بن أبي طالب . 

الطبقات الكبرى، محمد بن سعد، ج 8، ص 264 - .364 

“Ummu Kultsuum bintu Ali bin Abii Thaalib bin Abdu al-Muththallib....dan ibunya Faathimah bintu Rasul saww dari istri beliau saww yang benama Khadiijah as bintu....., yang –Ummu Kultsuum- dikawin oleh Umar bin Khaththaab yang waktu itu belum baligh. Ia menjadi istri Umar sampai Umar terbunuh, dan ia memiliki anak dari Umar itu yang bernama Zaid bin Umar dan Ruqayyah bintu Umar. Kemudian setelah itu ia kawin dengan ‘Aun bin Ja’far bin Abii Thaalib... yang kemudian meninggal setelah itu. Lalu ia kawin lagi dengan saudara ‘Aun yang bernama Muhammad bin Ja’far bin Abi Thaalib yang kemudian meninggal juga. Lalu setelah itu ia kawin dengan Abdullah bin Ja’far bin Abi Thaalib setelah cerai dengan saudarinya Zainab.”

Bayangin, sebegitu berusahanya sejarah fiktif ini ingin menghubungkan Umar dengan imam Ali as. Syukurlah karena Tuhan tidak membiarkan orang-orang seperti ini, baik sengaja atau tidak. Karena itulah ahli sejarah inipun, telah melupakan sejarah yang nyata. Di dalam riwayat ini dikatakan bahwa Ummu Kultsuum kawin dengan ‘Aun dan Muhammad dan yang lainnya setelah maninggalnya Umar. Sementara sejarah bersepakat bahwa ‘Aun dan Muhammad ini meninggal di peperangan Syuster (Suster) tahun 16 atau 17 Hijriah di jaman khalifah Umar itu sendiri.

Ibnu Hajar di kitabnya al-Ishaabah, 4/619, menulis:

“Abu Umar berkata: ‘ ‘Aun bin Ja’far syahid di peperangan Suster di jaman khalifah Umar dan ia tidak meninggalkan anak.’.”

Ibnu ‘Abdu al-Bir dalam kitabnya al-Istii’aab, 3/1247, berkata:

“.....’Aun bin Ja’far dan saudaranya Muhammad bin Ja’far, syahid di perang Suster dan keduanya tidak meninggalkan anak.”

Dengan semua penjealan ini, lalu bagaimana mungkin Ummu Kultsuum kawin dengan orang yang telah meninggal sebelumnya, yakni di masa ia masih di rumah suaminya yang sekarang, yaitu Umar??!! Atau bagaimana mungkin Abdullah bin Ja’far mengawini dua orang yang bersaudari sekaligus? Karena sejarah mengatakan bahwa hdh Zainab as menjadi istri Abdullah bin Ja’far sampai meninggalnya dan, itupun setelah tragedi Karbala di tahun 65 H???!!!

g. Pemaksaan perkawinan ini, jelas menabrak semuanya, termasuk perbedaan umur. Baya- ngin Umar yang sudah berumur 57 tahun mengawini Ummu Kultsuum yang berumur 7 tahun. Tentu saja, kalau mau dipaksakan bahwa Ummu Kultsuum yang ada di rumah imam Ali yang dikawini Umar.

Hal itu karena Ummu Kultsuum lahir di akhir-akhir masa kenabian Nabi saww, sementara pinangan Umar di tahun ke 17 H sebagaimana dikatakan oleh: Ya’quubi dalam kitab Taariikhnya, Ibnu Sa’ad dalam kitabnya, Thabaqaatu al-Kubraa, 8/462-463 yang mengatakan “Umar mengawini Ummu Kultsuum yang masih berupa anak-anak yang belum baligh”

Ibnu Sa’ad ini juga menulis di kitab tersebut, 8/464: 

لما خطب عمر بن الخطاب إلى علي ابنته أم كلثوم قال يا أمير المؤمنين إنها صبية 

“Ketika Umar meminang anaknya Ali yang bernama Ummu Kultsuum, Ali berkata: ‘Wahai amirulmukminin, sesungguhnya ia masih anak-anak yang belum baligh.”

Sementara itu ketika Umar terbunuh di tahun ke 23 H, ia berumur 63 tahun. Jadi, waktu di tahun 17 H itu meminang Ummu Kultsuum, berarti usianya adalah 57 tahun. Nah, apakah mereka-mereka para pembuat sejarah itu begitu pentingnya menghubungkan Umar dengan Imam Ali as hingga menyepelekan Umar dengan mengatakan bahwa Umar mengawini anak umur 7 tahun sementara ia sendiri berumur 57 tahun?

Memang, mereka mengharap umat melupakan tahun dan umur, karena menutupi kudeta itu adalah sangat penting dan menjadi nomor pertama bagi kelanggengan pandangan dan madzhabnya.

Bayangin saja, di atas dikatakan bahwa Umar terkenal sangat kasar pada wanita hingga ditolak ‘Aisyah tapi ia memilihkan putri imam Ali as, dimana riwayat ini telah memburukkan ‘Aisyah dan Umar sendiri dan, di sini dikatakan bahwa Umar yang 57 tahun tega mengawini anak yang berumur 7 tahun. Padahal Umar adalah penentang perkawinan yang beda umur seperti ini: 

اتقوا اهلل ولينكح الرجل لمته من النساء ، ولتنكح المرأة لمتها من الرجال يعني شبهها . 

“Bertaqwalah kalian kepada Allah, karena itu hendaknya para lelaki mengawini perempuan yang sama umurnya dan hendaklah para wanita kawin dengan lelaki yang sama umurnya (Taariikhu al-Madiinah, 2/769; Kanzu al-‘Ummaal, 15/716, hadits ke: 42857)

Apakah Umar melupakan ayat ini: 

أَ تَأُْمُرو َن النَّا َس بِالْبِّر َو تَن َسْو َن أَنُف َس ُك ْم َو أَنتُ ْم تـَتـْلُو َن الْ ِكتَا َب أَ فََال تـَْعِقلُون 

“Apakah kalian menyuruh orang-orang untuk berbuat baik sementara kalian sendiri melupakan diri kalian, padahal kalian membaca al-Kitaab, apakah kalian tidak berakal?”

Lah, anehnya lagi anaknya juga bernama Zaid. Karena itulah mereka memaksakan bahwa Zaid yang dari Ummu Kultsuum bintu Jarwal/Jaruul itu adalah ashghar (lebih kecil) dan yang dengan Ummu Kultsuum bintu Ali as adalah yang lebih besar. Lah, bagaimana mungkin anak yang lahir di jaman Jahiliyyah lebih kecil dari anak yang lahir setelah wafatnya Nabi saww?

Karena itulah, maka Ummu Kultsuum istri Umar itu hanya satu saja, yaitu bintu Jarwal/ Jaruul itu dan anaknya yang bernama Zaid juga hanya satu.

h. Umar sendiri mengatakan bahwa imam Ali as menganggapnya sebagai pembohong, lalu apakah mungkin imam Ali as mengawinkan putrinya dengan pembohong? Dalam kitab shahih Muslim, 5/152, di kitab Huduud diriwayatkan bahwa Umar berkata kepada imam Ali as dan Abbas: 


ثُمَّ توُُفِّيَ أَبُو بَكْرٍ وَأَنَا وَلِيُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَوَلِيُّ أَبِي بَكْرٍ فَرَأَيْتُمَانِي كَاذِبًا آثِمًا غَادِرًا خَائِنًا


“Kemudian meninggallah Abu Bakar dan aku adalah wali Rasulullah saww dan wali dari Abu Bakar, akan tetapi kalian berdua melihat aku sebagai pendusta, pendosa, perusak dan pengkhianat.”

Dengan demikian, anggap memang ada yang namanya Ummu Kultsuum di rumah imam Ali as, walaupun anak Abu Bakar, atau anaknya sendiri, tapi apakah beliau as akan memberikan kepada orang yang disifatinya seperti di atas itu?

i. Dalam beberapa riwayat di syi’ah seperti di Ushuulu al-Kaafii, meriwayatkan seperti ini: 



محَمَّدُ بْنُ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ سَالِمٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ عليه السلام قَالَ لَمَّا خَطَبَ إِلَيْهِ قَالَ لَهُ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّهَا صَبِيَّةٌ قَالَ فَلَقِيَ الْعَبَّاسَ فَقَالَ لَهُ مَا لِي أَ بِي بَأْسٌ قَالَ وَ مَا ذَاكَ قَالَ خَطَبْتُ إِلَى ابْنِ أَخِيكَ فَرَدَّنِي أَمَا وَ اللَّهِ لَُعَوِّرَنَّ زَمْزَمَ وَ لَ أَدَعُ لَكُمْ مَكْرُمَةً إِلَّ هَدَمْتهَُا وَ لَُقِيمَنَّ عَلَيْهِ شَاهِدَيْنِ بِأَنَّهُ سَرَقَ وَ لََقْطَعَنَّ يَمِينَهُ فَأَتَاهُ الْعَبَّاسُ فَأَخْبَرَهُ وَ سَأَلَهُ أَنْ يَجْعَلَ الَْمْرَ إِلَيْهِ فَجَعَلَهُ إِلَيْهِ



Muhammad bin Abii ‘Umair meriwayatkan dari Hisyaam bin Saalim dari Abii ‘Abdillah as yang berkata: “Ketika ia –Umar- meminang kepadanya –imam Ali as- imam Ali berkata kepadanya: ‘Ia –Ummu Kultsuum- masih anak-anak balita.’ Kemudian ia –Umar- bertemu dengan Abbas dan berkata: ‘Ada apa denganku, apakah aku ada celanya?’ Ia –Abbas- menjawab: ‘Ada apa gerangan?’ Ia –Umar- menjawab: ‘Aku meminang pada sepupumu –imam Ali as- tapi ia menolakku. Demi Allah akan kupenuhi zamzam (ditutup) dan akan kuhilangkan semua kehormatan kalian, serta akan kuangkat dua orang untuk bersaksi bahwa ia –Imam Ali as- mencuri hingga kupotong tangan kanannya.’ Lalu ia – Abbas- datang kepadanya –imam Ali as- dan mengabarkan tentang hal tersebut seraya meminta untuk menyerahkan urusan itu kepadanya –Umar. Lalu kemudian ia –imam Ali- menyerahkan kepadanya -Umar.” 

Keterangan hadits: 


i-1- Anggap riwayat ini benar adanya, tetap tidak menunjukkan bahwa Ummu Kultsuum yang dimaksud adalah putri imam Ali as dengan hdh Faathimah. Karena bisa saja putri Abu Bakar sebagaimana maklum atau dari istri-istri yang lain.

i-2- Orang sunni tidak akan menggunakan hadits-hadits syi’ah ini karena semuanya yang ada meriwayatkan tentang buruknya hubungan dari perkawinan tersebut, sementara saudara-saudara sunni ingin membuat hubungan baik antara keduanya dengan menjadikan Umar sebagai mantu imam Ali as.

i-3- Di riwayat-riwayat sunni sendiri, telah diriwayatkan tentang pemaksaan ini, seperti: i-3-1- Mu’jamu al-Kabiir, 3/45, karya Thabrani dan Majma’u al-Zawaa-id, 4/272, karya Haitsami, diriwayatkan:

“Ketika imam Ali as meminta pendapat ‘Aqiil, Abbas dan imam Hasan tentang masalah pinangan itu, ‘Aqiil menentang pendapat imam Ali as dan berkata bahwa kalau kamu menolaknya akan begini dan begitu. Lalu imam Ali as berkata: ‘Demi Allah, ia tidak memberi nasihat, akan tetapi ketakutannya kepada Umarlah yang membuatnya seperti itu.’.”

1-3-2- Ibnu Mas’uud dalam kitabnya al-Thabaqaatu al-Kubraa, 8/464, meriwayatkan:

“Ketika Ali menolak Umar dengan alasan bahwa Ummu Kultsuum masih anak balita, Umar berkata: ‘Demi Allah aku tahu bahwa engkau menolakku bukan karena itu, akan tetapi ada hal lainnya.’.”

i-3-3- Thabraanii dalam kitabnya Mu’jamu al-Kabiir, 3/45, dan Haitsamii dalam kitabnya, Makma’u al-Zawaa-id, juga meriwayatkan:

Ketika Umar mendengar bahwa ‘Aqiil menentang pendapat imam Ali as , Umar berkata: 



ويح عقيل ، سفيه أحمق 



“Dasar si ‘Aqiil itu memang seorang yang cacat pikiran dan bodoh..”.

i-3-4- Ahmad bin Abdullah al-Thabarii dalam kitabnya, Dzakhaa-iru al-‘Uqbaa, hal 167-168, meriwayatkan:

Ketika Umar meminang Ummu Kultsuum kepada Ali, ia berkata kepada Umar: “Sesungguhnya ia masih balita.” Lalu Umar menjawab: “Tidak demikian, akan tetapi demi Allah aku tahu bahwa kamu hanya ingin menolakku.”

Kesimpulan poin (i):


Dengan semua penjelasan di atas itu, kalaulah Ummu Kultsuum benar-benar ada dalam sejarah, sekalipun ia anak tiri imam Ali as atau anak sungguhan dari istri manapun, maka jelas tergambarkan bahwa Umar sebagai penguasa kala itu telah memaksa imam Ali as hingga membuat beliau as tidak berdaya.

Dengan demikian, lalu masih adakah sisa-sisa keinginan sebagian saudara- saudara sunni yang ingin mengatakan bahwa hubungan keduanya sangat dekat karena yang satu mertua dan yang lainnya menantu?

Bahkan jelas sebaliknya, dengan mengumpulkan semua data-data di riwayat- riwayat sunni dapat dipahami bahwa hubungan keduanya adalah berseteru sepanjang masa dan, kalaulah perkawinan itu terjadi, maka dengan sangat jelas sebagai pemaksaan dan penjajahan.

j. Kritikan Hadits Sunni.

Dalam hadits-hadits sunni banyak sekali perawian yang menunjukkan Umar memiliki istri dari keluarga Rasul saww, yakni Ummu Kultsuum. Misalnya seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam shahihnya, dalam Kitaabu al-Jihaadi wa al-Sairi, bab: 66, bab: Hamlu al-Nisaa’ al-Qiraba ilaa al-Naasi fi al-Ghazwi: 


حَدَّثَنَا عَبْدَانُ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَاب [ زهري ]، قَالَ ثَعْلَبَةُ بْنُ أَبِي مَالِك إِنَّ 
عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رضى الله عنه قَسَمَ مُرُوطًا بَيْنَ نِسَاء مِنْ نِسَاءِ الْمَدِينَةِ، فَبَقِيَ مِرْطٌ جَيِّدٌ فَقَالَ لَهُ بَعْضُ 
مَنْ عِنْدَهُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَعْطِ هَذَا ابْنَةَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الَّتِي عِنْدَك  
يُرِيدُونَ أُمَّ كُلْثُوم بِنْتَ عَلِيّ  فَقَالَ عُمَرُ أُمُّ سَلِيط أَحَقُّ  وَأُمُّ سَلِيط مِنْ نِسَاءِ الأَنْصَارِ، مِمَّنْ بَايَعَ رَسُولَ 
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  قَالَ عُمَرُ فَإِنَّهَا كَانَتْ تَزْفِرُ لَنَا الْقِرَبَ يَوْمَ أُحُد  قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ تَزْفِرُ تَخِيطُ



‘Abdaan meriwayatkan kepada kami, dari Abdullah dari Yuunus dari Ibnu Sihaab (Zuhri), berkata Tsa’labah bin Abi Maalik: “Umar bin Khaththaab membagi-bagi baju kepada wanita-wanita Madinah. Lalu tersisa satu baju yang bagus sekali. Satu orang yang ada di sisinya berkata kepadanya: “Wahai khalifah, berikan ia kepada putri Rasulullah saww yang ada di rumahmu.’ Maksudnya adalah Ummu Kultsuum bintu Ali. Berkata Umar: ‘Ummu Saliith lebih berhak.’ Dan Ummu Saliith dari wanita Anshaar yang berbaiat kepada Rasulullah saww. Umar berkata lagi: ‘Karena ia di perang Uhud menjahit Qirbah (tempat air dari kulit) yang robek.’

Dalam riwayat ini ada orang yang benama Syihaabuddin Zuhri. Ia termasuk orang- orangnya Bani Umayyah bagian pembuat hadits-hadits palsu sebagaimana ditulis oleh ulama sunni, seperti:

- Ibnu ‘Asaakir di kitabnya Taariikhu Madinati Damasyq, 42/228:

Diriwayatkan kepada kami oleh Ibnu Ibrahiim al-Ja’farii yang berkata: “Aku berada di sisi al-Zuhri dan mendengarkan perkataannya. Lalu ada perempuan tua yang mendekatinya dan berkata: ‘Wahai Ja’farii, jangan tulis apa-apa yang ia katakan. Karena ia cenderung kepada Bani Umayyah dan penerima hadiah-hadiahnya.’ Aku bertanya kepada al-Zuhri: ‘Siapa wanita ini?’ al-Zuhri menjawab: ‘Ia adalah saudariku yang tersesat.’ Ia menjawab: ‘Yang tersesat itu adalah kamu karena kamu telah menutup-nutupi keutamaan keluarga Muhammad.’.”

- Hakim pengarang kitab al-Mustadrak, menukil dari Ibnu Mu’iin yang berkata: “Paling bagusnya sanad adalah A’masy dari Ibraahiim dari ‘Aqamah dari Abdullah.” Seseorang yang ada di sekitarnya bertanya kepadanya: “Apakah A’masy seperti Zuhrii?” Ibnu Mu’iin menjawab:

“Amit-amit kalau A’masy seperti Zuhrii. Karena Zuhri mencari dunia, harta dan mencari hadiah-hadiah serta bekerja untuk Bani Umayyah. Sedang A’masy adalah orang yang miskin, sabar, menjauhi para pejabat, wara’ dan alim tentang Qur'an.”

- Dzahabi dalam kitabnya Sairu A’laami al-Nubalaa’, 5/337, berkata tentang Zuhrii:

“Zuhrii memiliki harta dan uang yang banyak sekali dan memiliki nama serta kehormatan di pemerintahan Bani Umayyah. Ketika Abdu al-Malik meninggal ia menempel pada anaknya, al-Waliid, kemudian menempel ke Sulaimaan, kemudian Umar bin Abdu al- Aziiz, kemudian Yaziid dimana pada jaman Yaziid ini ia menjabat sebagai Hakim Agama.”

- Hasan Segaaf, dalam kitabnya yang berjudul Tanaaqodhaatu al-Baani al-Waadhihaat (Kontradiksi Yang Terang Dari al-Baanii), 3/336, berkata:

“Zuhri adalah orang yang suka menyisipkan kata-katanya sendiri di hadits-hadits Nabi saww, dari pahamannya sendiri atau tafsirannya sendiri. Bukhari telah memperingati hal tersebut sebagaiman imam-imam hadits yang lain seperti Rabii’ah, syaikh dari imam Maalik......”

- Ibnu Hajar dalam kitabnya, Fathu al-Baarii, 2/23, berkata:

“.............. kata-kata itu kalau bukan tambahan dari kata-kata Bukhari, atau Anas atau Zuhri sebagaimana kebiasaannya.”

Banyak sekali ulama sunni yang mengatakan bahwa Zuhri ini memiliki kebiasaan menyi- sipkan kata-katanya sendiri di tengah-tengah kalimat hadits-hadits Nabi asww. Karena itu, maka kata-kata: “Yang mereka maksudkan adalah Ummu Kultsum bintu Ali.” Di dalam riwayat yang menceritakan bahwa Umar sedang membagi-bagi baju pada para wanita- wanita Madinah, adalah tambahan dari Zuhri ini.

- Ibnu Hajar al-‘Askalaani, dalam kitabnya, Ta’riifu Ahli al-Taqdiis Bi Maraatibi al-Maushuu- fiina Bi al-Tadliis, hal. 109, mengatakan bahwa Zuhri adalah orang peringkat ke tiga di dalam golongan tukang palsu hadits (tadliis). Dan maksud golonga ke tiga adalah: “Orang yang terlalu banyak menipu hadits, karena itu maka para imam-imam hadits tidak ada yang mengambil haditsnya kecuali yang dijelaskan bahwa hanya menukil yang didengar. 

Akan tetapi sebagian imam-imam hadits, menolak secara mutlak hadits-hadits mereka (penipu golongan tiga).

- Ibnu Abi al-Hadiid, dalam kitabnya Syarhu Nahji al-Balaaghah, 4/102, mengatakan bahwa Zuhri ini bermusuhan dengan imam Ali as.

Masih terlalu banyak ulama yang mencela Zuhri dan tidak mengambil hadits-haditsnya.

Kesimpulan:


1. Perkawinan Umar dengan Ummu Kultsuum bintu imam Ali as itu adalah dongeng yang dibuat di siang bolong. Baik tujuannya untuk menutupi kudeta Umar terhadap imam Ali as, yaitu dengan berusaha mendekatkannya dengan imam Ali as atau karena memang merupakan tangan-tangan Bani Umayyah yang mengafirkan dan melaknati imam Ali as di mimbar-mimbar Jum’at sampai 40 tahun lamanya.

2. Kalaulah Ummu Kultsuum itu ada, maka ia adalah hdh Zainab as itu sendiri karena Ummu Kultsuum julukan yang diberikan Nabi saww kepada beliau as. Kalaulah mau dipaksakan ada juga dan bukan hdh Zainab as, maka ia adalah putrid Abu Bakar atau putri imam Ali as dengan selain hdh Faathimah as. Siapapun dia, jelas bukan istri Umar. Karena Ummu Kultsuum yang istri Umar itu adalah putri Jarwal/Jaruul.

3. Dan kalaulah pula sebagian orang ingin memaksakan bahwa Umar kawin dengan Ummu Kultsuum ke dua (walau tidak ada sejarah yang berkata seperti ini, karena Ummu Kultsuum istri Umar hanya satu orang), maka tetap saja tidak akan bisa dijadikan sebagai bukti hubungan baik antara imam Ali as dan Umar. Karena riwayat-riwayat yang ada, walau sulit dishahihkan, tetap saja mengatakan bahwa perkawinan itu adalah dengan paksa dan ancaman.

Peringatan:


1. Pada tulisan-tulisan yang telah lalu, alfakir pernah menjelaskan ajaran Islam dan filsafat perkawinan Umar atau Utsman dengan keluarga Nabi saww atau imam Ali as. Semua itu, berdasarkan ajaran Islamnya atau filosofisnya dimana tidak mesti seseorang itu kawin dengan yang setingkat dalam ketaqwaan atau maqam-maqamnya, bukan dilihat dari pembahasan historisnya.

2. Dengan penjelasan-penjelasan ini, dan begitu pula dengan penjelasan mengenai sejarah hdh Khadiijah as, maka dapat dipahami bahwa dengan adanya berbagai bentuk sejarah, akan tetapi kita meyakini bahwa yang benar itu adalah yang menjelaskan tidak adanya hubungan Umar dengan imam Ali as atau Utsman dengan Nabi saw.

3. Jadi, pembahasan filosofis dan agamis tentang perkawinan Umar dan Utsman itu, adalah pembahasan yang terjadi pada obyek yang berupa anggapan. Yakni anggap bahwa per- kawinan itu memang benar-benar terjadi.

4. Dengan demikian maka rute pembahasannya menjadi jelas. Pertama, tidak benarnya per- kawinan-perkawinan tersebut. Ke dua, kalaulah benar pula, penjelasan agama Islamnya dan filosofisnya adalah seperti yang sudah ditulis sebelum-sebelumnya itu. 



Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 06 Oktober 2018

Raj’ah



Seri pengulangan Sinar Agama
by Sinar Agama on Friday, January 4, 2013 at 2:51 pm 





Sinar Agama, 21 Oktober 

Tentang Raj’ah 

Raj’ah adalah kembalinya manusia tertentu ke kehidupan dunia setelah matinya. Artinya, setelah ia mati, maka dia hidup kembali di dunia ini, baik lama atau sebentar. Semua itu dengan ijin Allah. 


Raj’ah ini banyak sekali terjadi baik di manusia sebelum Islam kita ini, atau setelahnya. 

Yang mengimani Raj’ah ini tidak hanya Syi’ah, Sunnipun mengimaninya karena ia merupakan ajaran Qur'an dan hadits. Artinya, Sunnipun mengimani terjadinya itu. Akan tetapi, mungkin saja mereka tidak percaya kalau nanti akan terjadi di jaman keluarnya imam Mahdi as

Qur'an dan hadits-hadits yang sangat mutawatir secara makna dari kalangan Sunni, membuat Raj’ah ini tidak bisa diingkari. Tafsir-tafsir dan hadits-hadits Sunni penuh dengan masalah Raj’ah ini. Tentu saja, tentang Raj’ah yang akan terjadi nanti di jaman imam Mahdi as, mungkin tidak diyakini mereka. 

Contoh Raj’ah di masa lampau seperti: 


(a). 70 orang dari shahabat nabi Musa as. yang diazab Tuhan degan halilintar dan mati seketika. Lalu Tuhan menghidupkannya kembali atas permintaan nabi Musa as. Bisa dilihat di semua terjemahan dan tafsir Sunni (QS: 7:155).

(b). Ribuan orang dari Bani Israail, yang dimatikan Tuhan lalu mereka dihidupkan kembali olehNya. Tidak usah jauh-jauh, lihat saja terjemahan Depag, di surat al-Baqarah ayat ke 243 yang berbunyi:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati, maka Allah berfirman kepada mereka: ‘Matilah kamu’, kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.”

Terjemahan ini adalah asli di tafsir depag. Di bawah dijelaskan, bahwa sebagian ahli tafsir mengartikan mati sungguhan dan sebagian lainnya sebagai mati semangat. Tentu saja, tafsiran ke dua ini adalah mengada-ada. Karena sudah keluar dari makna lahiriah dari kata “mati”. Sementara mati dan hidup lagi, tidak ada repotnya bagi KuasaNya. Jadi, tidak bertentangan dengan akal dan Qur'an. Apalagi Qur'an juga menceritakan hidup lagi dari yang lainnya dalam Qur'an. Jadi, penakwilan ke “mati semangat” itu adalah takwil yang melawan lahiriah. 

Anggap saja, boleh menakwil seperti itu (dimana hal ini keluar dari lahiriah yang biasanya tidak diperlukan dan kadang tidak boleh kalau tanpa sebab), tetapi jelas dikatakan oleh penafsir dengan mati sungguhan. 

Dengan penjelasan ini, maka hidup lagi di dunia ini, sebelum hari kiamat yang dalam bahasanya sekalipun dikatakan Raj’ah, adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan akal dan Qur'an. 

(c). Dalam Qur'an surat Baqarah ayat 259, diterangkan tentang satu orang yang dimatikan Tuhan, lalu dihidupkannya lagi setelah seratus tahun. Dalam riwayat dikatakan bahwa nama orang itu adalah ‘Uzair. Dalam ayat yang panjang itu, Tuhan bukan hanya me-Raj’ahkan dia, akan tetapi juga keledainya. 

(d).    Saam bin Nuh as yang dihidupkan oleh nabi Isa as setelah berabad-abad. 

(e). Orang yang terbunuh dan dihidupkan lagi di jaman nabi Musa as, dimana Tuhan mengatakan dalam Qur'an bisa dihidupkan dengan memukulkan daging dari sapi yang dipotong mereka yang disuruhkanNya kepada mereka itu dimana sifat-sifat sapinya itu begitu detail ditanyakan orang-orang Yahudi sampai-sampai hampir tidak mendapatkan yang sesuai. 

Walhasil, Raj’ah itu hal yang umum. Namun yang kurang umum dibahas dan diimani, adalah Raj’ah di jaman keluarnya imam Mahdi as nanti dimana orang yang sangat baik dan buruk akan dibangkitkan. Hingga yang baik dapat membantu imam Mahdi as. dan yang buruk dikalahkan imam Mahdi as. 


(f). Walhasil banyak sekali orang mati yang hidup lagi, di masa lalu atau setelah Islam. Di riwayat- riwayat Sunni banyak sekali riwayat orang hidup setelah mati di masa Islam ini. 

Wassalam. 


24 people like this. 

Ali Assegaf: Salam di atas disebutkan Raj’ah terjadi pada sebelum nabi Muhammad saww, dan juga setelahnya dan disebut hal umum. Apakah ada catatan yang menunjukan setelah Rasulullah saww hal ini? Tentu bukan di zaman akhir nanti... mohon sedikit menjelaskan 1 hikmah raj’ah di zaman sebelum Islam dan setelah Rasul... mengingat raj’ah bukan sekedar perbuatan Allah menghidupkan tanpa tujuan bermakna.. Syukron. 

Sinar Agama: Ali: Hikmah pastinya hanya Allah yang tahu. Tapi dilihat dari berbagai ayat dan tafsiran para mufassir atau keterangan para ulama, maka hikmah dari berbagai peristiwa itu bermacam-macam. 

Misalnya, yang dilakukan oleh nabi Isa as yang berulang-ulag itu, demi menguatkan imannya umat pada waktu itu, baik iman pada Alllah atau pada hari kebangkitan. Yang terjadi pada ashhaabu al-kaafi itu, untuk menguatkan hari kebangkitan yang sudah mulai diingkari pada jaman tersebut. Begitu pula untuk menguatkan iman umat pada Tuhan itu sendiri. 

Yang terjadi pada 40 orang shahabat nabi Musa as itu, supaya mereka tidak kurang ajar lagi kepada Allah dengan mengatakan bahwa mereka ingin melihat Allah dengan mata. 

Yang terjadi pada orang yang melewati dusun yang sudah hancur itu, yang kemudian dibangkitkan lagi setelah 100 th, untuk menguatkan iman dia sendiri dan, penceritaannya dalam Qur'an, supaya menguatkan iman kaum muslimin bahwa kebangkitan itu adalah hak dan benar. 

Sedang yang akan terjadi nanti, bisa saja, untuk menguatkan bukti keimaman imam Mahdi as. Menegakkan keadilan bagi para pengejek Islam selama ini (karena sebagian yang akan diraj’ahkan itu, adalah para penjahat besar, tentu semua ini, yakni detail-detail raj’ah dimasa datang, kalau haditsnya shahih dan maknanya sesuai zhahirnya). 

Sebastian Ali: Syukron ya Ustadz atas penjelasannya. 

Alam Di Keremangan: Salam ya Ustadz, afwan, kira-kira menurut pandangan antum atau pandangan yang pernah diberitakan oleh para aimmah as, siapa sajakah penjahat besar yang mungkin akan di raj’ahkan nantinya di masa Imam Mahdi as? Afwan ya Ustadz, Syukran. 

Sinar Agama: Ahsan kita sabar saja menunggu hal itu, kita serahkan padaNya. 

Ibnu Samsuddin: Penjelasan yang lugas dan sangat bermanfaat.... 

January 14 at 3:04 am


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ



Kamis, 23 Agustus 2018

Doa, Ikhtiar, Tawassul, Syafaat dan Berkah



Seri tanya jawab: Bintang Ali dan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, June 21, 2011 at 12:49 pm 




Bintang Ali : Salam ustad, semoga ustadz diberi kelapangan dan ridhoNya beserta keluarga ustad.. Stad, apa relasinya antara ihktiyar dan doa? Apakah ikhtiyar seseorang bisa di dilancarkan/ digagalkan dengan doa? Apakah Ikhtiyar dan doa itu sejajar? Gimana menjelaskan ikhtiyar orang non muslim padahal dia tidak berdoa kepada Allah? Mohon penjelasannya stad.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Saya sudah pernah merinci ini, tapi entah dimana. Sekali lagi kalau si Anggelia aktif, maka mungkin bisa ditanyakan ke dia. Tapi sayang dia sepertinya sudah tidak aktif lagi dan membuatku juga kehilangannya.

(2). Tidak ada yang sulit untuk mengerti doa dan ikhtiar. Karena doa itu bagian dari ihkhtiar itu sendiri.

(3). Pada prinsipnya kan kita sebagai orang Syi’ah tidak meyakini adanya takdir Tuhan yang bermakna penasiban manusia. Karena dalam Islam ajaran seperti itu tidak ada dan adanya hanya dalam agama-agama seperti Kristen, Yahudi atau Hindu. Karena itu, semua yang akan menyangkut manusia, yakni tentang seluk beluk kehidupannya, akan ditentukan oleh ikhtiarnya.

(4). Akan tetapi ikhtiar manusia ini, tidak mansidi hingga menjadi penentu satu-satunya terjadinya perbuatan manusia. Karena itu ada ikhtiar ke dua di balik ikhtiar pertama. Misalnya kita sudah tidur sebelum setir mobil supaya tidak tidur di mobil. Ini adalah ikhtiar pertama.

Tapi di tengah jalan ternyata kita tabrakan, karena sopir lain dalam ikhtiarnya tidak memilih tidur hingga ia menabrak kita. Nah, dalam peristiwa ini, ikhtiar pertama kita sudah benar, yaitu istirahat yang cukup. Tapi apakah tabrakan ini tidak menyangkut ikhtiar kita hingga kita kembalikan ia kepada ketentuan Tuhan? Tidak sama sekali. Karena kita ketika memilih menyetir mobil, sekalipun kita sudah tidur dengan cukup, tetap saja akal kita mengatakan bahwa tetap sangat mungkin terjadi tabrakan dengan sopir lain yang tidur dan menabrak kita. Akan tetapi kita terus saja memilih turun ke jalan dan menyetir mobil sambil berkata ”itu sudah resiko”. Nah, tetapnya kita turun ke jalan itulah yang disebut dengan ikhtiar ke dua. Yakni kita tidak ingin secara perasaaan untuk tabrakan, tapi karena tetap turun ke jalan, maka secara filosofis berarti kita menginginkannya yang, kemudian kita katakan resiko.

(5). Sebelum kuteruskan, barangkali perlu sekali antum merujuk ke catatanku yang berjudul “Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah.” bagian ke 2-a dan 2-b.

(6). Doa adalah bagian dari ikhtiar kita. Terutama kita dalam memilih masing-masing ikhtiar kita, diselimuti dengan jutaan ikhtiar orang lain (seperti sopir lain yang ketiduran itu) atau diselimuti jutaan hukum alam (seperti berlayar mencari ikan dengan pikiran tidak akan ada gelombang karena cerah). Nah, dalam masing-masing ikhtiar kita diselimuti dengan jutaan ikhtiar orang lain atau hukum-hukum alam. Karena itulah dikatakan bahwa manusia itu lemah dan tiada berdaya.

Dalam keadaan seperti itulah maka manusia berdoa kepada Allah, agar seandainya ikhti- arnya yang dikira baik itu ternyata tidak baik dan menjurus kepada kecelakaan, dapat dihindarkan olehNya. Dan apapaun yang akan dilakukan Tuhan, karena doa kita itu, maka ia bagian dari ikhtiar kita tsb. Tentu saja doa yang maqbul dan diterima. Misalnya, ketika sudah tidur cukup, lalu ketika keluar rumah berdoa kepada Allah untuk diselamatkan sampai tujuan, maka kalau doa kita itu qabul, bisa saja Tuhan memberikan sedikit energi kepada sopir yang akan ketiduran manakala ia akan salipan dengan kita di jalan itu. Atau Tuhan memberikannya ilham dan rasa takut hingga ia berhenti di pinggir jalan dan tidur sejenak. Atau membuat bayinya di rumahnya nangis-nangis terus hingga ia -calon sopir yang akan menabrak kita itu- tidak jadi keluar rumah dan menyetir dalam keadan mengantuk tsb. Jadi berbagai cara dan sejuta cara untuk mengadakan pencegahan.

Itulah mengapa orang shalih bisa mensyafaati orang lain, walau masih di dunia ini, walau tidak dimintanya. Seperti contoh di atas itu. Sopir ke dua yang nekad itu, menjadi selamat karena doa orang pertama terhadap dirinya sendiri. Tapi berkah doanya untuk dirinya itu bisa menyelimuti sopir ke dua tersebut.

Karena itu tidak heran manakala malaikat pencabut nyawa kebingungan dikala mau mencabut wali-wali Tuhan. Karena kalau tidak dicabut, tidak akan bertambah dekat dengan Tuhannya dan menunda pertemuannya. Tapi kalau dicabut, berkahnya akan hilang di dunia ini.

(7). Tentu saja tidak ada doa yang ditolak oleh Allah swt. Karena Dia sendiri sudah berjanji di dalam Qur'an untuk menerima doa kita dan Dia pasti akan memenuhi janjiNya. Dalam QS: 40: 60, Tuhan berfirman:

”Dan Tuhan kalian berkata: ’Mintalah kepadaku niscaya Aku pasti mengabulkannya!’”

Di sini Tuhan tidak memberikan syarat-syarat apapun untuk pengqabulan doa tersebut.

Akan tetapi karena pengqabulanNya, sesuai dengan sifat-sifatNya seperti Bijaksana, Kasih dan semacamanya, maka tidak mesti berupa apa yang kita minta kepadaNya. Misalnya kita minta mobil, tapi kalau Ia tahu mobil itu akan membuat kita celaka dunia-akhirat, maka bisa saja, sekali lagi, bisa saja, Dia tidak akan memberikannya. Tapi sudah tentu akan memberikan atau menggantikan dengan yang lainnya, seperti pahala, pangampunan dosa, sawah atau rumah dan semacamnya.

(8). Karena itu maka tawassul dan perbuatan-perbuatan baik lainnya, yang yang dianjurkan oleh agama untuk dilakukan sebelum berdoa demi membuat doa menjadi istijabah/diterima, adalah untuk mengistijabahkan yang didoakannya, bukan doa itu sendiri. Seperti minta mobil pada contoh di atas. Artinya, tawassul, shalawat, sedekah, wudhu, shalat sunnah, menangis ...dan seterusnya itu adalah mukaddimah doa hingga doanya diterima sesuai yang diminta (seperti mobil dalam contoh di atas) dengan tanpa adanya resiko dan efek-efek sampingannya.

Jadi, kalaulah kita banyak dosa dimana doa kita itu tidak mustajab dalam bentuk yang diminta dan digunakan oleh Tuhan untuk menghapus dosa kita sebagai pengabulanNya, maka dengan mukaddimah-mukaddimah doa tadi, dosa kita sudah terhapus hingga doa minta mobil itu tidak lagi ada halangannya. Atau kalau minta mobil itu memiliki resiko, maka mukaddimah-mukaddimah itu diharapkan bisa menghilangkan resikonya.

(9). Untuk orang-orang kafir, maka biasanya mereka akan lebih lancar dalam masalah-masalah dunianya. Karena pemberian-pemberian Tuhan itu dimaksudkan mengingatkannya akan kepapaan mereka. Artinya, mereka bukanlah orang yang dipilihkasih-i olehNya dalam pemberian. Hal itu karena memang kelas mereka di situ saja. Yakni bahwa Allah tidak menghambatirikan mereka dari kaum beriman. Jadi, mereka akan teruji dengan pemberian- pemberian itu dan tidak lebih. Dan bagi kafirin yang doanya dan hajat-hajatnya tidak terpenuhi, maka dimaksudkan supaya sadar akan kelemahannya dan mengimani yang Maha segala-galanya sebelum kemudian menaatiNya.

Akan tetapi muslimin, yakni telah menerimaNya, maka mereka berarti siap untuk diuji dengan ujian-ujian lainnya. Karena itu, maka muslimin bisa sangat lebih menderita dan menghadapi ujian yang bertubi-tubi. Tentu saja tidak semua musibah itu dariNya. Karena bisa saja dari kesalahan kita sendiri dalam memilih ikhtiar yang salah, seperti menyetir dalam keadaan ngantuk itu.

Nah, kalau ada musibah yang memang dari Tuhan, seperti banjir yang bukan karena sampah di sungai dan bukan karena penebangan hutan, dan lain-lain sabab yang bersumber dari tangan manusia, maka hal itu disebabkan karena Tuhan ingin menaikkan derajat kita. Persis seperti kelas di sekolah yang mana kalau kelas bawah ingin naik ke kelas atas harus menghadapi ujian terlebih dahulu.

Nah, muslimin itu adalah orang-orang yang mendaftar ke kelas-kelas itu dan mendaftar untuk diuji. Sementara orang-orang kafir ibarat orang yang tidak sekolah dan tidak mendaftar untuk diuji. Jadi sudah pasti ujian muslimin akan jauh lebih besar dari kafirin.

Jadi, seorang muslim yang ada sedikit iri dan cemburu dengan kekayaan kafir, biasanya disebabkan ketidak mengertiannya tentang hal ini. Sudah tentu kalau muslim dan kafirnya di sini sudah selevel. Artinya dalam kecerdasan, usaha dan ikhtiar-ikhtiarnya. Misalanya sama hebat dalam berbisnis dan menentukan moment serta menentukan partner. Tapi kalau muslimnya bahlol (maaf), ya .... karena memang keburukan ikhtiarnya yang malas belajar ilmu (bisnis misalnya) dan malas berusaha gigih. Jadi, dalam konsidi seperti ini, irinya dia itu benar tidak pada tempatnya. Tapi kalau sama-sama hebat, tapi yang muslim tidak berhasil tapi yang kafir berhasil, maka bisa saja karena ia telah mendaftar untuk menjadi murid yang akan diujiNya, dan, sudah tentu si muslim tadi sedang menumpuk pahala dan keberhasilan akhiratnya dalam tanpakan ketidak berhasilannya di dunianya.

Misalnya, ia tidak korupsi untuk cepat berhasil. Ia juga tidak menyoigok untuk berhasil. Ia tidak menipu orang dalm bisnis hingga tidak menjaul barang kecuali yang baik. Ia sangat cinta dengan hukum Tuhan walau ia akan mengalami ketidak berhasilan. Nah, di sini ia bisa tidak berhasil di dunia, tapi ia di Mata Tuhan, di dunia ini justru telah berhasil. Karena di MataNya, berhasil di dunia itu bukan kaya, tapi beramal sesuai dengan nilai-nilaiNya.

Penutup: Fiddun-ya hasanah (di dunia mendapat kebaikan), bukan berarti dapat harta, sehat badan, dan ketentraman. Akan tetapi menjalani hidup sesuai dengan kemauanNya yang telah dituangkan dalam syariatNya (akidah dan fikih). Wassalam.


Bintang Ali: Syukran stadz..sangat memuaskan,,hehe.

Bande Huseini: Syukron..telah menambah keyakinanku.

Maryam Bunda Isa Almasih: Iya Ustad, dengan memahami bahwa kita dalam posisi Di Uji, meringankan beban kita. Terima kasih Pencerahannya.

Aufa Opa: Maaf ustad.. Mau tanya tentang ayat yang mengisaratkan dan menunjukkan bahwa Allah telah merıdhoı sahabat (al-fath : 19) dımana jelas Allah berfırman bahwa DIA telah meredhoı mereka yang berbaiat ”tahtasy syajarah”... Dimana dalam ayat tersebut termasuk Abu Bakar, Umar dal lain-lain,, benarkah, atau bagaimana ??? Mohon penjelasannya ustad,,,

Sinar Agama: Aufa,:

(1). Bukan ayat itu yang biasa dijadikan dalil tentang keridhaan Tuhan pada shahabat, tapi surat Taubah ayat 100 yang berbunyi: ”Dan orang-orang terdahulu dari muhajrin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah meridhai mereka dan mereka juga meridhaiNya. Dan Allah menjanjikan kepada mereka surga-surga yang mengalir sungai di bawahnya. Mereka kekal abadi di dalamnya. itulah kemenangan yang agung.”

(2). Sebagian muslimin dengan ayat tersebut, terus mengunci mati apapun yang bisa membuat para shahabat itu bisa celaka. Artinya, ayat tersebut sudah harga mati dan tidak bisa diganggu gugat. Yakni bahwa semua shahabat itu dan siapapun yang mengikuti mereka akan mendapat kemenangan agung itu (surga).

(3). Padahal, kalau kita merujuk ke berbagai tafsir dan ayat-ayat lainnya, maka hal seperti itu tidak ada dalam Islam. Karena itu siapa saja yang shalih diantara shahabat itu, maka dialah yang akan masuk surga.

(4). Bukti yang sangat nyata adalah, bahwa para shahabat itu saling berperang dan membunuh sampai-sampai di perang Jamal saja (perang antra imam Ali as dan ‘Aisyah) jatuh korban 7000 orang yang setidaknya bisa diperkirakan bahwa separuh mereka adalah shahabat. Belum lagi peperangan di jaman Abu Bakar dimana sampai jenderalnya yang bernama Khalid bin Walid bahkan membakar hidup-hidup beberapa shahabat di depan umum.

Lihat sejarah Sunni tentang korban yang terbunuh di Perang Jamal, antara Imam Ali as dan ‘Aisyah:

Muruuju al-Dzahab, Al-Ma’uudii, 2/367, menyatakan ada 20.000 korban. Al-Muntazhim, Ibnu Jauzii, 2/99, menyatakan ada 10.000 korban.

Taariikh Thabari, Thabarii, 5/542-555, menyatakan ada 15.000 korban. Taariikh Khaliifah, Bin Khiyaath, menyatakan ada lebih dari 6.000 korban.

Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 7/546 dan Fathu al-Baarii, 13/62, menyatakan ada 32.000 korban.

Catatan: Keterangan pertama, ke tiga, ke empat dan ke lima, diambil dari kitab Siiratu Amiiru al-Mukminiin Ali bin Abi Thalib, karya Ali Muhammad Muhammad al-Shulaabii, dicetak pertama kali tahun 2005. Tentu saja, penulisnya hanya menukil sebelum menolaknya dengan hitung-hitungan khayalnya dan tanpa melalui data sejarah. Untuk keterangan ke dua, saya ambil sendiri dari kitab yang telah disebutkan di atas itu.

(5). Baiklah, biarkan dulu hal pahit di masa lalu itu. Walaupun ia bagus dibahas secara ilmiah karena bisa melahirkan segala macam persepsi terhadap Islam sekarang yang kita pahami ini. Bayangin saja, orang Syi’ah dikafirin hanya karena kritis walau terhadap shahabat, padahal.. para shahabat itu bukan hanya mengkritisi satu sama lain, akan tetapi saling mengafirkan dan saling bunuh dan banyak kali peperangan yang dilakukan diantara mereka sendiri. Nah, kalau mengkritisi saja kafir, atau anggap deh mengecam shahabat itu kafir, lah ... bagaimana dengan yang mengafirkan dan membunuh shahabat?

(6). Kembali kepada masalah ayat di atas itu (Taubah:100), maka sebenarnya masalahnya sangat mudah, asal dada ini dikosongkan dulu dari doktrin yang diatasnamakan Islam itu.

(7). Study gampangannya, baca saja terus ayat berikutnya. Nih kalau ditulis lengkap seperti ini:

”Dan orang-orang terdahulu dari muhajrin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah meridhai mereka dan mereka juga meridhaiNya. Dan Allah menjanjikan kepada mereka surga-surga yang mengalir sungai di bawahnya. Mereka kekal abadi di dalamnya. itulah kemenangan yang agung.”

”Dan di sekitar kalian dari orang-orang pinggiran (desa) terdapat orang-orang munafik. Dan bahkan orang-orang yang ada di kota, mereka keterlaluan dalam kemunafikan. Kalian tidak bisa mengenali mereka, tapi Kami mengenali mereka. Kami akan mengazab mereka dua kali sebelum Kami ceburkan mereka ke dalam azab yang agung.”

”Dan sebagian mereka telah mengakui bahwa mereka mencampur perbuatan baik dan buruk. Semoga saja Allah kembali kepada mereka dan mengampuni mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Kasih.”

”Ambillah sebagian harta mereka sebagai sedekah (seperti zakat) untuk membersihkan dan mensucikan meraka. Dan berterimakasihlah dan berdoalah untuk mereka karena hal itu menenangkan hati mereka. Dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”

”Apakah mereka tidak tahu bahwa Allah itu menerima taubat dan menerima sedekah, dan bahwasannya Allah itu Maha Penerima taubat?”

”Dan katakan -Muhammad: ’Berbuatlah kalian sesuka hati kalian, karena sesungguhnya Allah, Rasul saww dan orang-orang mukmin (sejati) akan melihat perbuatan kalian itu, dan kemudian kalian akan dikembalikan ke alam ghaib dan syahadah (akhirat) lalu dikabarkan kepada kalian apa-apa yang telah kalian lakukan.”

”Dan sebagian mereka, urusannya, diserahkan kepada Allah, apakah akan mengazab mereka atau mengampuni mereka. Dan sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui dan Bijaksana.”

(8). Kalau kita baca terus ayat 100 itu sampai dengan 106, maka jelas bahwa keridhaan yang dimaksud Tuhan itu mestilah memiliki kondisi. Artinya tidak mutlak. Yakni baik kondisi orangnya atau perbuatan yang telah membuat ridha Tuhan itu. Kalau melihat orangnya, banyak mufassir yang menafsirkan bahwa mereka itu adalah Muhajirin dan Anshar yang melakukan baiat Ridwan. Ada lagi yang juga tafsir Sunni, yang mengatakan bhw mereka itu adalah Muhajirin dan Anshar yang shalat di dua kiblat. Jadi tidak semua Muhajarin dan Anshar.

(9). Kemudian ayat 100 itu sendiri telah menerangkan perbuatan yang membuat Allah ridha, baik baiat atau shalat bersama Nabi saww itu. Yaitu ”kebaikan”. Baik ditafsirkan dengan ”mengikuti mereka dengan baik”, atau ditafsirkan dengan ”mengikuti kebaikan mereka”. Artinya, kalau ditafsirkan dengan yang pertama ini, maka ayatnya akan berbunyi bahwa:

”Tuhan ridha kepada Muhajirin dan Anshar KARENA TELAH MELAKUKAN KEBAIKAN BERUPA PERJUANGAN DAN BAIAT SAMPAI PADA BAIAT RIDWAN ATAU TABAH BERJUANG DENGAN NABI SAMPAI KEPADA BERUBAHNYA KIBLAT, dan yang mengikuti mereka dengan baik DALAM KEBAIKANNYA ITU.”

Atau kalau dengan makna ke duanya, akan bermakna seperti ini:

”Tuhan telah ridha kepada Muhajirin dan Anshar karena telah melakukan kebaikan berupa perjuangan dan baiat sampai pada baiat Ridwan dan/atau sampai pada berubahnya kiblat, DAN ORANG-ORANG YANG MENGIKUTI KEBAIKAN MEREKA.”

Kalau kita lihat kedua makna itu, maka tekanan ridha Tuhan itu pada perbuatan baik, seperti Islam, iman, berjuang, tabah, baiat dan semacamnya. Jadi, ia adalah keridhaan yg(yang) bergantung kepada sesuatu, yaitu kebaikan dan perbuatan baik. Jadi tidak mutlak keridhaan tanpa melihat apapaun. Dan kalau kita memutlakkannya maka kita telah menjadikan Tuhan bebas nilai dan syariatNya ini adalah palsu. Bukankah Tuhan mengatakan siapa berbuat kebaikan akan mendapat pahala dan yang berbuat jelek mendapat dosa? Nah, kalau keridhaan ini dimutlakkan, yakni semua shahabat diridhai, tanpa alasan apapun, maka berarti ajaran Islam yang berdasar pada keadilan balasan itu, menjadi roboh sampai ke akar- akarnya. Dan tidak ada satu orang Sunnipun yang akan berkata seperti itu.

Jadi keridhaan Tuhan itu, walau pada shahabat, adalah karena kebaikan dan ketaatannya. Tidak lain dan tidak bukan.

(10). Sekarang, kalau keridhaan Tuhan itu karena kebaikan, dan memang seperti itu, maka pertanyaannya, bagaimana kalau kebaikan itu berubah jadi keburukan, atau dicampur dengan keburukan? Jawabnya jelas akan keluar dari keridhaan pertama ini. Karena itulah kalau ayat 100 itu diteruskan maka akan terlihat dengan nyata, bhw diantara mereka itu terdapat orang-orang munafik dan bahkan dikatakan bahwa mereka keterlaluan dalam kemunafikannya itu. Yakni sebegitu rupa mereka dapat menyembunyikan kemunafikan mereka hingga SEMUA MUSLIMIN DAPAT DITIPUNYA KECUALI ALLAH. Karena itulah Alllah mengatakan bahwa ”kalian tidak mengetahui mereka tapi Kami mengetahui mereka”. Ini karena kehebatan mereka dalam menyembunyikan kemunafikan mereka sampai-sampai TAK SEORANGPUN DARI KAUM MUSLIMIN YANG MENGETAHUI MEREKA.

(11). Dengan keterangan poin 10 dapat diketahui bahwa munafikin keluar dari keridhaan Tuhan ini. Jadi tidak semua shahabat diridhai.

(12). Kalau diteruskan lagi ayatnya, maka kedapatan bahwa sebagian mereka (shahabat) ini telah mencampur taat dengan maksiat. Nah, golongan ini sudah jelas keluar dari ridha dan janji Tuhan di atas. Urusan mereka ini nanti terserah kepada mereka atau terserah kepada Tuhan. Yang jelas Tuhan merangsang mereka untuk taubat, tapi siapa yang taubat dan siapa yang tidak, hanya Tuhan yang tahu. Artinya, dengan ini kita tidak bisa mengatakan bahwa semua shahabat diridhai dan dijanjikan surga.

(13). Kalau diterusin lagi ayatnya, maka Tuhan menyuruh Nabi untuk mengambil sedekah (zakat) dari mereka untuk mensucikan mereka dari dosa-dosa mereka. Di sini juga bisa dipahami bahwa ridha dan janji Tuhan itu, masih harus diteruskan dengan perbuatan baik lainnya dari sekedar Islam, iman , berjuang ...dan seterusnya yang sampai ke masa pergantian Kiblat atau baiat ridhwan. Artinya, terlihat sekali bahwa ridha dan janji itu sangat bisa berubah. Yakni kalau tidak bayar zakat dan semacamnya. Kalau dalam bahasa ilmiah keridhaan dan janji di ayat 100 itu masih Muta’alliq, yakni berkondisi dan bergantung. Yaitu bergantung kepada ketaatan-ketaatan yang lain seperti zakat ini. Jadi, walau sudah diridhai sampai pada waktu itu, akan tetapi tidak bayar zakat, maka dosa mereka tidak bersih dan akan masuk neraka.

(14). Ketika zakat dapat mengeluarkan mereka dari ridha dan janji surga itu, maka ibadah-ibadah lainnya juga demikian. Seperti shalat, puasa, murtad ...dan seterusnya. Artinya, KERIDHAAN DAN JANJI ITU TIDAK BAKU DAN BISA BERUBAH KAPAN SAJA.

(15). Dan kita dengan melihat sejarah dan banyaknya pertempuran diantara shahabat dengan shahabat dapat dipastikan bahwa keadaan mereka sudah berubah. Dan betapa agungnya perubahan mereka. Karena bukan hanya tidak shalat dan tidak bayar zakat, tapi bahkan saling mengafirkan dan saling bunuh dan bahkan membakar hidup-hidup mereka.

(15). Ketika sudah kita yakini terjadi perubahan itu, MAKA SUDAH SELAYAKNYA BAGI KITA UNTUK MENYELEKSI MEREKA-MEREKA ITU HINGGA MENGIKUTI YANG BAIK -bi ihsaan- DAN MENINGGALKAN YANG TIDAK BAIK -berubah.

(16). Terakir dari ayat di atas adalah, kalau diterusin lagi, maka kita akan melihat dengan jelas ANCAMAN TUHAN PADA PARA SHAHABAT ITU, dengan firmanNya:

”Dan katakan -Muhammad: ’Berbuatlah kalian sesuka hati kalian, karena sesungguhnya Allah, Rasul dan orang-orang mukmin (sejati) akan melihat perbuatan kalian itu, dan kemudian kalian akan dikembalikan ke alam ghaib dan syahadah (akhirat) lalu dikabarkan kepada kalian apa-apa yang telah kalian lakukan.”

Di sini jelas bahwa Tuhan mengancam para shahabat Nabi saww bahwa siapa saja yang akan berubah dan/atau berbuat kejahatan, maka Tuhan akan mengazabnya.

(17). Kalau kita hubungankan dengan ayat lain di surat lain seperti: di surat Fath ayat 10 yang berbunyi:

”Sesungguhnya yang berbaiat padamu -Muhammad- adalah berbaiat pada Allah, maka barangsiapa yang mengkhianati baiatnya setelah itu, maka ia telah mengkhianati dirinya sendiri, dan yang setia maka Allah akan mengganjarnya dengan pahala yang besar.”, maka jelas akan terlihat, bahwa siapaun yang beriman dan Islam serta berjuang di jaman Nabi saww sampai pada baiat Ridhwan atau berubahnya Kiblat itu, memiliki dua kemungkinan. Artinya bisa tetap setia dan bisa saja berkhianat.

Yang setia pada iman, Islam, Tuhan dan Nabi saww sampai akhir hayatnya, maka merekalah yg telah diridhai dan dijanjikan surga oleh Tuhan tanpa mengalami perubahan.

Yang tidak setia dan khianat pada iman, Islam, Tuhan dan Nabi saww, setelah itu, maka mereka yang telah diridhai dan dijanjikan surga oleh Tuhan, tapi sudah mengalami perubahan. Artinya ridha dan janji Tuhan itu berubah menjadi murka dan neraka, dikarenakan perubahan mereka sendiri.

Dan sudah tentu, dengan adanya berbagai perang dan pengkafiran, pembunuhan serta pembakaran diantara mereka, maka sudah jelas telah terjadi perubahan.

Terakhir: Kalau digabung dengan ayat lain seperti QS: 47: 38, yang berbunyi:

”.... dan kalau kalian -shahabat- berubah, maka Allah akan mengganti kalian dengan umat yang lain, DAN MEREKA TIDAKLAH SEPERTI KALIAN.”

Lihatlah ayat ini dengan seksama.

Pertama: ia mengatakah ”Kalau kalian berubah”. Maka ini jelas menggambarkan bahwa mereka sangat mungkin berubah.

Ke dua: ayat ini, walaupun terlihat hanya menggambarkan akan bisanya terjadi perubahan, akan tetapi kalau direnung-renung, seperti memang mengabarkan akan terjadinya peru- bahan itu. Karena itulah Tuhan mengatakan akan mengganti kalian dengan umat lain YANG TIDAK SEPERTI KALIAN.

Ke tiga: Tuhan dalam ayat ini benar-benar memburukkan shahabat itu karena telah mengatakan DAN MEREKA TIDAK SEPERTI KALIAN. Artinya, apakah memang akan terjadi, atau dalam perumpamaan, maka bisa dikatakan bahwa mereka mencela shahabat-shahabat itu. Apalagi celaan ini dapat dipastikan mengingat golongan ayat pertama dari surat Taubah itu dimana menceritakan bahasa sebagian mereka munafik, sebagian mencampur dengan maksiat dan secara umum mereka diancam Tuhan dengan mengatakan :

”Berbuatlah kalian sesuka hati karena Allah, Nabi dan mukminin (sejati) akan melihat perbuatan kalian itu dan kalian akan dikembalikan ke alam ghaib dan kemudian akan dikabarkan kepada kalain apa-apa yang telah kalian lakukan.”

Celaan itu juga dapat dipastikan karena sebenarnya ayat di atas memberikan kabar tentang akan munculnya umat yang lebih baik dari mereka para shahabat di akhir jaman. KARENA DIKATAKAN DALAM HADITS-HADITS SUNNI YANG BANYAK DIMUAT DALAM BANYAK TAFSIR- TAFSIR SUNNI BAHWA UMAT PENGGANTI ITU ADALAH IRAN.

Lihat tafsir: Al-Durru al-Mantsuur, karya Suyuuthi; Kasysyaaf, karya Zamakhsyarii; Ibnu Katsiir; al-Aaluusii; Baidhaawii; al-Tsa’aalibii; Tsa’labii; Fakhru al-RAaazii; Thabarii; Qurthubii; dan lain-lainnya.

Penutup: Saya tidak halalkan siapa saja yang menggunakan tulisan saya tentang shahabat ini untuk perpecahan umat muslim (Sunni dan Syi’ah). Karena tulisan ini hanya untuk kajian semata sesuai dengan salah satu tinjuannya yang saya yakini kebenarannya dimana keyakinan saya ini tidak menjamin kebenaran di sisiNya. Jadi, ia hanya bersifat kajian untuk direnungkan, bukan untuk dikobar-kobarkan dimana bisa menimbulkan kesalahpahaman dan perpecahan. Keyakinan yang saya maksud adalah bahwa shahabat itu adalah umat seperti umat-umat lainnya yang, bisa diridhai Tuhan dan bisa dimurkai, bisa juga diridhai tapi setelah itu dimurkai ..dst. Artinya ayat 100 surat Taubah itu bukan jaminan bagi shahabat dan bukan perintah mutlak kepada kita untuk mengikuti shahabat secara mutlak. Jadi, yang diridhai Tuhan dan dijanjikan surga adalah shahabat yang baik dan kebaikannya itu tidak berubah, begitu pula orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan mereka itu. Wassalam.

Aufa Opa: Terima kasih ustad...

Komarudin Tamyis: Ahsan wa syukran.

Sinar Agama: Aufa + Tamyis: ok, sama-sama. 



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ