Tampilkan postingan dengan label Mut'ah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mut'ah. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 08 September 2018

Mut’ah (Bgn 1)




TANGGAPAN ATAS CATATAN IFAL CIKMA (ustad catatan ini hanya ustad yang dapat melihatnya) 

Oleh Sinar Agama (ADA PESAN KHUSUSNYA) 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 20:46


Ifal Cikma:

Seputaran Mut’ah 
  • Sebenarnya tujuan Mutah apa dalam hal ini Nikah Mut’ah..?? 
  • Kalaupun hanya sebagai tameng agar terhindar Zina dengan penghalalan Mut’ah, terus apa bedanya dengan nikah Permanen..???
  • Dan kalaupun dengan alasan bahwa Islam tidak mengebiri sex/birahi terus menjadi bagian anggaplah sebagai bentuk kelonggaran agar tidak terbelenggu birahi maka bolehlah mela- kukan Mut’ah, di sisi lain ada salah satu hadits yang mengatakan yang kurang lebih bunyinya “.. barangsiapa yang belum mampu (menikah dalam hal ini nikah permanen), maka hendaklah ia berpuasa”.. 
Bukankah dengann demikian bahwa nafsu/syahwat telah menang dan mengambil peran dalam diri manusia, dan di sisi lain juga, bukankah manusia yang telah memperturut nafsunya adalah sama halnya dengan budak setan...???

Mengenai Syiah dan Al Quran 

Salah satu riwayat yang kurang lebih bunyinya “...Sungguh demi Allah kalian tidak akan melihatnya (Al Quran) setelah hari ini, Aku hanya memperlihatkannya (Al Quran) pada kalian setelah selesai kukumpulkan agar kalian membacanya..” 
  • Pertama yang kamu ingin ketahui adalah mengenai riwayat di atas, sahih atau tidaknya..? 
  • Kalaupun sahih (diakui syi’ah), terus yang selama ini yang dipakai syiah adalah Al Quran yang mana? 
Afwan wa syukran sebelum dan sesudahnya. 
nb_insya Allah bersambung..

Tanggapan-tanggapan 

Jjihad ‘Ali : Ifal .. pertanyaan ini (tentang Mut’ah) jangan tanyain sama aku, soalnya aku cuman mengikuti syariat, tanya yang bikin syariat. 

Makanya aku sering nanya dan ga ada yang bisa jawab : 

1. An-Nisa : 24 , itu ayat nikah apa ? 

2. Waktu dihalalkan Rasul dasar ayatnya apa ? 

3. Lalu dasar pengharamannya ayat apa ? 

Beda Nikah Mut’ah (berjangka) dengan Nikah Permanen, sudah terlihat dari segi Mahar : 

1. Daim Mahar diberikan di depan, mut’ah di belakang (setelah jangka waktu nikah selesai) 

2. Dalam Daim mahar bukan suatu kewajiban, dalam Mut’ah sebagai kewajiban. 

Kalau kamu nganggap Mut’ah itu Zina, sesungguhnya kamu sudah menuduh dengan tuduhan keji kepada Allah dan Rasul-Nya telah mengajarkan maksiat. Naudzubillah. 

Kalian ga paham maksud amirul Mukamuinin, beliau mengumpulkan al-Qur’an sekalian ayat itu turun dimana dan untuk siapa, penolakan dari ‘mereka’ adalah penolakan terhadap yang haq, kalo dipaksakan juga maka tidak berlaku ayat yang mengatakan ,”barang siapa hendak kafir kafirlah“. Dan kamu ga pernah belajar Ifal, 

Coba kamu belajar jawab itu pertanyaan, dan boleh kamu kumpulkan jin dan manusia untuk menjawabnya, supaya kamu sadar bahwa, kalau kamu ga bisa jawab berarti ada sesuatu yang salah dalam pahamanmu. 

Ifal Cikamua : Mungkin karena ada yang salah dengan pemahaman kami hingga kamu bertanya selain pada diri kamu dan mengenai note di atas ga ada’ paksaan ko untuk menjawabnya, siapapun yang berkenan menjawabnya kamu berterimakasih dan mengahargainya, tidak juga ga apa-apa... afwan. 

Jjihad ‘Ali : belajar menjawab Ifal, setelah itu kamu bertanya lagi. 

Fadh Ahmad: kawin mut’ah=zina. Sudah dimansukh hadistnya. 

Jjihad ‘Ali: Jawab pertanyaan ini sebelum kamu diajab Allah karena menuduh-Nya mengajarkan kemaksiatan. 

1. An-Nisa : 24 , itu ayat nikah apa ? 

2. Waktu dihalalkan Rasul dasar ayatnya apa ? 

3. Lalu dasar pengharamannya ayat apa ?

Sinar Agama: Bismillaah. Kalau tanya seperti ini, alias tidak memakai fitnah, maka saya akan berusaha menjawabnya. Saya baru tahu kalau ada pertanyaanmu ini. 

Jjihad ‘Ali : Silahkan, terimakasi. Sebutkan ringkas padat, sebagaimana pertanyaannya. 

Sinar Agama : Untuk tujuan syariat, atau filosofinya, maka ada dua kemungkinan untuk ini. 
Pertama syariat sendiri mengatakannya, 

ke dua tidak mengatakannya. Kalau mengatakannya, maka hal tersebut bisa dijadikan, seti- daknya, salah satu tujuan daripada syariat. Namun demikian, karena syariat itu mencakup semua hal, seperti diri sendiri, keluarga, sosial dan dunia-akhirat, biasanya, kalaulah syariat menyebutnya,maka dia akan menyebut salah satunya atau beberapa saja. 

Jadi, baik yang dikatakan oleh syariat itu sendiri tentang tujuan hukumnya, tetap saja akan ada sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh manusia. Hal ini akan lebih susah kalau syariat sendiri tidak menyebutkan tujuan hukumnya. Kalau hal itu terjadi, lalu apa yang semestinya dilakukan oleh seorang muslim? Yang harus dilakukan adalah, mencari tahu hukumnya secara jelas, artinya tidak menengok pada alasan hukumnya. Emangnya kita bisa tahu alasan psikologi, ruhi dan badani dan dunia-akhiratnya? Nah, tugas kita mencari tahu apa benar sesuatu itu halal atau tidak. Dan kalau terjadi beda pandang Antara sesama muslimin, maka tugas kita mencari yang lebih kuat, bukan yang lebih disuka. 

Jadi, harus pakai dalil agama, dan tidak boleh pakai perasaan. Karena kalau pakai perasaan, lalu salah, maka pasti tidak akan diampuni Tuhan, karena dalam ayat banyak sekali yang mengecam orang yang sok tahu tentang kehidupan ini. Beda halnya kalau kita sudah berusaha dengan dalil- dalil yang gamblang, kalau ternyata masih salah (biasanya sih kecil kemungkinan salahnya, kalau semua dalilnya sudah diadu dalam diskusi), maka pasti Allah mengampuninya, karena Dia sendiri mengatakan, bahwa barang siapa keluar dari rumahnya (kebohan, maksiat dan lain-lain) menuju Allah dan RasulNya, lalu mati di tengah jalan, maka pahalanya sudah dicatat (QS:4:100). 

Nah, kalau sudah ikhlash mencari ilmu, yakni tidak dicampuri perasaan dan kefanatikan, dan sudah berusaha untuk tidak miring kanan-kiri, selain dalil, tetapi ternyata masih salah juga, Tuhan bukan hanya akan mengampuni kita, tetapi akan mengganjar kita. 

Ini semua sebagai mukaddimah dari uraian yang akan aku berikan kemudian. Dan kalau kamu ingin tahu rincian mukaddimah ini, kamu bisa merujuk ke tulisanku yang sudah dikumpulkan oleh mbak Anggelia dengan judul Lensa 1-3, di sana juga ada masalah tentang perbedaan dan pluralisme barat yang berbahaya. Dan kamu akan tahu bagaimana cara menghadapi perbedaan itu.

Jjihad ‘Ali : Sinar Agama pertanyaannya jelas ga sih buat kamu, aku ulang ya 

1. An-Nisa : 24 , itu ayat nikah apa ? 
2. Waktu dihalalkan Rasul dasar ayatnya apa ? 
3. Lalu dasar pengharamannya ayat apa ?

Sinar Agama: Tujuan mut’ah: Yang tahu tujuan sebenarnya adalah Allah dan RasulNya saww. Kita sebagai insan yang sudah melihat dalil-dalil ayat dan hadits-haditsnya sebagaimana sudah saya tulis di jawaban terhadap 16 kesamaan mut’ah dan zina itu, maka tidak bisa tidak harus menerima kenyataan bahwa mut’ah itu halal. Saya tidak mau cerita lagi tentang dalilnya, silahkan rujuk ke tulisan yang kusebut itu. 


Jjihad ‘Ali : Sinar antum jawab aja itu pertanyaan ya, syukron... 

Sinar Agama: Setelah yakin terhadap kehalalannya, maka kita sebagai insan yang lemah, tidak diwajibkan oleh akal dan agama, untuk mengerti tujuan setiap hukum yang diberikan Islam. Namun demikian, karena Allah menyuruh kita merenungi alam dan agamaNya, maka kita dibolehkan untuk meraba-raba apa gerangan tujuan atau setidaknya, hikamah yang ada di dalam hukum-hukumNya itu. Tetapi ingat, hal demikian ini memiliki syarat, yakni tidak boleh sok tahu dan sok yakin terhadap temuannya, sekalipun, sepintas, sudah berusaha dengan dalil. 

Jjihad ‘Ali : Sinar Agama pertanyaannya jelas ga sih buat kamu, aku ulang ya 

1. An-Nisa : 24 , itu ayat nikah apa ? 
2. Waktu dihalalkan Rasul dasar ayatnya apa ? 
3. Lalu dasar pengharamannya ayat apa ? 

Kalo ga bisa jawab ga papa ko ?, aku punya 187 pertanyaan yang satupun belom kejawab, yang ada muter-muter kaya gangsing salam. 

Sinar Agama: Untuk mas jihad, ok ana paham. Ana akan teruskan menjawab si Ifal. 

Jjihad ‘Ali : Silahkan.

Sinar Agama: Ifal, ana teruskan. Jadi, jelas kita boleh meraba rahasia agama, tetapi hanya sekedar mencoba untuk mencari tahu apa gerangan hikmahnya, bukan untuk dipastikan, tetapi agar kita bisa lebih mensyukuriNya. Namun demikian, walau kita mencari tidak untuk dipastikan, tetapi harus tetap memakai dalil. 

Nah, kalau masalah hukum yang kita hadapi adalah politik, maka yang bisa membahasnya adalah orang-orang yang mahir tentang politik, begitu pula kalau tentang sosial, rumah tangga, kesehatan dan seterusnya. 

Jadi, sekalipun tidak untuk dipastikan, tetap saja tidak semua orang berhak membahas rahasia agama ini. Dengan demikian, maka kalau orang tidak belajar tinggi, kurang pendidikan,tidak punya kespesialisasian, maka kalau mengontari agama, bukan hanya tidak akan mencapai syukur tadi, tetapi akan membuat agama Islam ini direndahkan oleh manusia lain, dan kita akan menjadi orang yang sok tahu dan menjadi orang yang telah menghinakan agama kita sendiri dengan teriakan membelanya. Jadi, ikhlaslah disini, bukan perasaan hati saja, tetapi profesionalismenya juga menjadi wajib untuk dijaga dan diamalkan. 

Saya yang sudah 30 th-an belajar agama dan doktorku juga sudah lama kucapai dengan ijinNya yang itupun dalam bidang agama, serta hampir semua bidang agama sudah kupelajari, baik dari yang paling dasar seperti bahasa arab, lokiga, filsafat, irfan, tafsir, hadits, rijal dan seterusnya, Tetap Saja Tidak Akan Mampu Menguak Rahasia Hukum Tuhan Seperti Mut’ah Ini. Jadi, kalau-lah nanti kita membahas tentang tujuan mut’ah ini, tetap dalam koridor ketawadhuan, tidak boleh dengan mencak-mencak seperti orang yang sudah tahu banyak hal, padahal kalau disuruh tekun belajar, tidak mau belajar dengan rajin, tapi kalau menghadapi masalah-masalah sosial, langsung mau menjadi orang yang serba bisa. 

Rio Nakal: J@jihad : ente ini gimana toh, wong pertanyaan ente telah ane jawab dengan lengkap ketika ente tulis di status ente ...jangan belagak pilonlah ente ...hehehe...

Sinar Agama : Mut’ah itu bisa dilihat dari berbagai segi: 

1. Diri sendiri, 
2. Diri sendiri dan Tuhannya, 
3. Sosial dan dimensi-dimensi lainya. 

(1) Dilihat dari dimensi diri sendiri 

maka kita dapat melihat bahwa manusia memiliki banyak unsur di dalam dirinya. Secara global adalah badani dan ruhani. Pada masing-masing unsur global ini ia memiliki cetakan awal yang biasa dikenal dengan fitrah penciptaan. Badan dan ruh yang sudah ditakar dengan fitrah ini, sudah tentu memiliki tuntutan atau konsekuensi.

Husni Okbah :1. An-Nisa : 24 , itu ayat nikah apa ? 

Istimta’ itu bukan nikah. 

2. Waktu dihalalkan Rasul dasar ayatnya apa ? 

3. Lalu dasar pengharamannya ayat apa ? 

Salah tanyanya sejak no.1 

Pernikahan yang diharamakaan itu sama saja zina.

Sinar Agama: Salah satu fitrah badan adalah nafsu sex (ruhnya akan dibahas kemudian). Nafsu sex ini, adalah sesuatu yang paling kuat yang ada pada manusia, yakni melebih kekuatan lainnya. Kalau nafsu ini sudah datang, maka dunia bisa terasa seperti gelap. Yakni, sebenarnya gelap, tetapi sering dipaksa menjadi terang. Nanti ditinjauan ruhiahnya akan menjadi lebih jelas. 

Mengapa Allah memberikan nafsu yang kuat ini kepada kita? Mungkin, karena khawatir tidak akan berlanjutnya kehidupan manusia, karena kalau nafsu ini lemah, maka ia tidak akan terlalu banyak peduli dengannya, dan akan lebih mementingkan makan-minum yang akhirnya kalau seseorang tidak benar-benar mampu tidak akan melakukan perkawinan dan/atau orang tersebut tidak akan berusaha untuk mampu agar nantinya melakukan perkawinan yang penuh dengan tanggung jawab itu. 

Oleh karena itu, maka nafsu ini dibuat olehNya menjadi sangat kuat, supaya manusia dalam keadaan apapun miskinnya, tetap berusaha untuk melakukan kawin dan meneruskan keturunan. Nah, dengan adanya kekuatan yang mencekam ini, maka akan menjadi siksaan bagi manusia, manakala penyalurannya menjadi sangat sulit dan hampir mustahil bagi sebagian orang. 

Misalnya, orang yang untuk makan dirinya saja sudah susah apalagi menanggung orang lain dan anak, apalagi kalau kawinnya di Sulawesi yang harus pakai hantaran yang banyak he he he (gurau sikit), di sini jelas secara logika dan psikologi manapun serta agama, maka jalan keluarnya adalah tidak membolehkan kawin. Karena kawin, di samping tidak akan ada yang mau padanya, juga akan membuatnya lebih berantakan dan akan masuk ke dalam kemaksiatan yang lain yang mungkin akan lebih parah, seperti membuang anak seperti di India dan lain-lain. 

Kamu mungkin mengatakan puasa. Sampai kapan puasa itu? Sampai akhir jaman dan mati? Apakah kamu bisa puasa terus, sambil kerja nguli/berat seperti bangunan dan lain-lain? Nabi saww itu bukan memberikan jalan satu-satunya dan selamanya. Sebab kalau diartikan satu- satunya dan selamanya, maka si miskin tadi akan terus puasa dan akhirnya tidak bisa kerja dan mati kelaparan karena tidak ada lagi yang bisa dia buat buka dan sahur. Nah, dari satu sisi nafsu dalam diri dibuat kuat olehNya, dari sisi lain dalam keadaan miskin yang tidak mungkin bisa mencipta rumah tangga, lalu puasa terus menerus juga tidak mungkin, dengan semua ini lalu apa jalan keluarnya? Ingat ini hanya satu dimensi kecil dari hikmah mut’ah ini, oleh karenanya jangan kamu katakan bahwa yang boleh mut’ah hanya yang dalam keadaan demikian. Btw tidak bisa diterangkan semua, sebagianpun jadi. 

Sri Fathimah: hm...luar biasa makasih atas infonya pak Sinar. 

Husni Okbah: Naluri seks memang perlu pemenuhan tetapi tidak membuat pelakunya mati jika tidak dipenuhi. 

Sinar Agama : Nah, dengan penjelasan di atas ini, kita sebagai diri, melihat pada diri ini, dengan kenyataan fitrah ini, maka sudah pasti ingin kelonggaran terhadap masalah yang kita hadapi ini. Dan sangatlah tidak masuk akal kalau dalam keadaan ini Agama meninggalkan kita, dan hanya berkata, “pokoknya puasa terus”. Ini sekelumit dari dimensi badaniahnya. Dan karena kepalaku sedang sakit sekali, saya akan teruskan kemudian untuk dimensi-dimensi lainnya. Tetapi kalau dalam beberapa saat setelah ini membaik, maka mungkin saya akan teruskan. Walhasil saya tidak akan komentari siapapun dulu kecuali hanya menjawab saudara Ifal, jadi yang ikutan baca, tolong sambungkan secara lempeng atau langsung dengan tulisan-tulisan terdahulu sebagai satu tulisan, begitu pula tulisan yang akan datang, insya Allah. 

Husni Okbah : Naluri seks/ ghorizah an-nau’ jika tidak dipenuhi menimbulkan gelisah. Berbeda dengan hajatul adawiyyah/kebutuhan fisik karena terkait internal tubuh.

Sinar Agama : Aku sudah kembali lagi, semoga tidak cenut-cenut lagi kepalaku. 

Ini masih jawabanku untuk Ifal, bagi yang masih dalam keadaan bahas dalil mut’ah silahkan baca tulisanku hari ini tentang Jawaban terhadap 16 persamaan mut’ah dengan zina. Karena di sini ini sudah peringkat ke dua, yakni yang sudah yakin dengan kebenaran hukumnya, sekalipun hanya sebagai kayakinan ilmu, belum hati. 

Nah, ketika keadaan diri seperti ini, yakni memiliki tekanan batin yang seperti itu, maka sudah selayaknya ada jalan keluar yang sebagai keterpaksaan, walau tidak terlalu ideal. Hal itu karena kemampuan manusia atau diri ini, sangat berbeda satu sama lain. Orang yang tidak biasa berfikir jilimet, cermat dan panjang, alias sering berfikir praktis-praktisan maka pasti tidak akan dapat memahami hal-hal yang dalam dan pelik dalam agama. 

Nah, ketika diri kita memiliki tekanan yang berat dengan nafsu ini, di lain pihak tidak memiliki kemampuan untuk kawin permanen, maka sangat tidak mungkin untuk memenjarakannya seumur hidup atau puasa seumur hidup. Kita tidak bisa berkata bahwa kalau tidak menyalurkannya, tidak akan mati karena yang timbul hanya gelisah. Perkataan seperti ini, muncul dari orang yang merasa sudah menjadi tuhan. Yakni kalau dia tuhan, maka akan berkata begitu. Tetapi Tuhan yang Maha Bijak, berfirman lain. Oleh karena itu dikatakan dalam riwayat bahwa shalatnya orang yang sudah kawin (permanen atau mut’ah) memiliki pahala yang jauh di atas yang belum kawin. 

Saya belum mau masuk ke dalam pembahasan ruhaniyahnya, karena kita masih di pembahasan badaniahnya. Dengan kenyataan-kenyataan tadi, dapat dipahami mengapa di hadits-hadits shahih Muslim seperti yang sudah saya nukil dalam jabawan terhadap 16 kesamaan mut’ah dengan zina itu, bahwa dalam riwayat itu dikatakan bahwa shahabat Nabi saww melakukan mut’ah beberapa hari hanya dengan maskawin segenggam kurma. Bagi yang punya basyirah, maka dimensi ini, yakni dimensi yang kita bahas sekarang ini, sagatlah jelas terhadap hikmah yang terkandung di dalamnya. 

Shalatnya orang gelisah bagaimana bisa menjadi kabul, syukur kalau dia tidak protes kepada Tuhan terhadap kemiskinannya atau hal-hal lainnya. Dan kalau shalat seseorang sudah tidak kabul, bagaimana shalatnya bisa mencegah dari perbuatan mungkar? Dan kalau sudah tidak 

terkendali dari kemungkaran, maka sudah bisa dipastikan bahwa dia tinggal tunggu mati untuk kemudian masuk neraka. Nah, diri seperti ini layak mengeluh dan protes terhadap ketidak adilan kehidupannya. Kemungkaran itu tidak harus berupa kemungkaran yang sangat besar, tetapi semacam onani (maaf) saja sudah cukup besar. 

Ini, akibat dari penentangan terhadap hukum Tuhan hingga sebagian ulama selain syi’ah mem- bolehkan pekerjaan tersebut, sementara menurut Islam yang dibawa keluarga Nabi saww, pelakunya bukan hanya telah melakukan dosa, tetapi harus dihukum cambuk dengan ukuran yang disesuaikan dengan keadaan pelaku. Tentu kalau terbukti dengan saksi-saksi. 

Dengan bahasan shalat di atas, maka dimensi ruhiyah mut’ah dilihat dari Diri Sendiri, sudah mulai terbahas. Antum tahu, mengapa di sunni selain Nabi saww tidak bisa maksum? Dan selalu berkata bahwa insan tempat salah dan dosa? Sementara di syi’ah semua orang wajib maksum, karenanya syariat sudah diturunkan dan sudah pasti sesuai kemampuan manusia dimana kalau manusia mesti berdosa berarti agama ini di atas kemampuan manusia dan itu berarti Allah kejam dan bohong karena Dia sudah berfirman bahwa tidak akan menurunkan perintah kecuali sesuai kemamuan manusia? Mengapa ada budaya yang sama-sama mengaku Islam tetapi sangat mencolok perbedaannya dalam menata peradaban manusia muslim? 

Hal itu bisa ditinjau dari jutaan sisi. Satu diantaranya karena bagi yang sunni dosa dan salah itu sangat bisa ditolerir. Tetapi di syi’ah sebaliknya. Terus dari mana semangat yang muncul di syi’ah? Muncul dari kesadaran bahwa kita tidak lebih tahu dari Tuhan. Mungkin antum akan mengatakan bahwa orang sunni juga bahwa mereka tidak ada yang mengaku melebihi Tuhan. Itu benar. Akan tetapi dalam praktik nilainya, mereka lebih mengedepankan perasaan dari konsep Islamis argumentatif. Artinya, sering suka dulu, cocok dulu baru mendukung dan mencari dalilnya, atau sering benci dulu baru kemudian mencari dalilnya. 

Sisi lainnya karena dengan mengikuti argumen gamblang itu, maka syi’ah menjadi sangat mudah menerima kemakshuman dan apalagi memang disuruh mengikuti imam makshum serta dilarang Tuhan mengikuti orang yang punya dosa (QS:76:24), sedang di sunni dari awal sudah mengikuti orang yang sering membantah Nabi saww meninggalkan Nabi saww dalam perang dan sebagainya. 

Bayangkan saja di Bukhari dan Muslim dan lain-lainnya diriwayatkan bahwa pada hari kamis terakhir Rasul saww, beliau saw meminta kertas dan pena supaya didiktekan wasiat-wasiat terakhir beliau saww, tetapi Umar dan beberapa shahabat lainnya tega mengatakan bahwa beliau sudah mengigau atau ngelantur (Bukhari hadits no 3053,3168; Muslim 3089,3090,4319,4321 dan lain-lain). Saya tidak mau mengungkit hal-hal yang menjerumuskan kita ke dalam perpecahan, tetapi hanya ingin mengatakan bahwa dari mana munculnya budaya atau asal budaya Islam yang berbeda itu. 

Jadi, di sunni, orangnya, tokohnya, panutannya dan seterusnya semua tidak maksum dan Islamnya juga diestafet dari orang-oran yang tidak maksum itu, maka budaya bahwa manusia itu tempat salah dan dosa atau mustahil mencapai maksum, menjadi sangat mudah terpondasikan, apalagi sudah belasan abad, ya’ semakin susah dientas. Mereka tidak sadar bahwa dengan keyakinannya itu, berarti shiratulmustaqim yang tidak memiliki kesalahan sedikitpun karena wa laa al-dhaalliin yakni tidak tersesat, tidak mungkin terwujud, dan tidak mungkin diminta dalam shalat/fatihah kepadaNya. 

Tetapi memang mengherankan, bahwa mereka tidak lupa ngafirin dan nyesatin orang lain dan madzhab lain. Lah’, ini kan kontras sekali, karena di satu sisi tidak ada maksum yang berarti tidak 

ada jalan lurus yang berarti mereka tidak di jalan lurus, tetapi di lain pihak mereka nyesati dan ngafirin orang lain. Kalau mau dipikir, berarti yang mereka sesatin itu benar, karena penyesatannya muncul dari yang tidak berada di jalan lurus. 

Kembali kepada masalah kita. Nah, Islam dalam syi’ah melihat, bahwa dosa adalah suatu hal yang buruk dan wajib ditinggalkan dan mampu ditinggalkan, beda dengan sunni yang mengatakan wajib ditinggalkan tapi mustahil ditinggalakan karena tidak mungkin mampu, maka dalam Islam masalah dosa ini dianggap penting. Artinya harus dipersiapkan supaya manusia ini tidak maksiat. Dan karena semua kembali pada individu, maka sudah jelas bahwa Diri Manusia ini harus dibekali dengan bekal yang bagus dan cukup. 

Nah, kegelisahan yang muncul akibat tidak tersalurkannya nafsu sex dan kegelisahan yang muncul dari keputus asaannya karena tidak bakalan mampu menyalurkannya, akan membuat keadaan spiritualnya gelap gulita sekalipun dia paksa untuk terang dan tersenyum. Manusia yang biasa memiliki rasa malu dan gengsi, maka sudah pasti akan menyembunyikan kelemahan dan kegelisahan serta keputus asaannya itu. Tetapi batin dan kesendiriannya, dia bagaikan mayat hidup. Tatapannya kosong, tertawanya hanya bagai angin yang hanya dilancurkan manakala teman-temannya tertawa. 

Nah, ketika diri sudah seperti ini, maka kalau dia orang baik, tidak akan melahirkan kebejatan, dan kalau sebaliknya maka akan sebaliknya pula. Tetapi sekalipun tidak melahirkan kebejatan bagi yang pertama itu, tetapi sangat tidak menutup kemungkinan bahwa dia akan hidup bagai mayat berjalan. Dan kalau kamu menjadi Tuhan yang Maha Kasih, sangat tidak mungkin membiarkan hamba yang kamu cipta ini tidur dalam jaga dan jaga dalam tidur. Kalau kamu biarkan maka betapa kamu seburuk-buruk Tuhan. Habis kamu sudah menciptakannya di rumah tangga yang miskin. 

Dengan demikian, maka sudah selayaknya si Diri ini mendapatkan penyaluran badani dan ruhi yang pantas walau itu merupakan ukuran minimal kemanusiaan, yang penting tidak jatuh ke dalam kebinatangan, seperti onani, pacaran, pergaulan bebas, pelacuran, apalagi terang-terangan dan meraja lela. 

Sungguh saya tidak habis pikir, mengapa orang yang jelas memiliki masyarakat yang sudah seperti jahannam ini, berteriak lantang menentang hukum Tuhan yang sungguh-sungguh bisa menjadi obat dari semua itu. Dengan mut’ah anak yang lahir akan ketahuan ayahnya, hingga tidak perlu dibuang dijalanan, dengan iddah penyakit tidak akan ada seperti yang sudah merajalela di tempat kita, dan setumpuk lagi hikmah-hikmah Ilahiyyah. 

Nah, salah satu illat syariatnya mut’ah ini adalah apa-apa yang tertera di perkataan imam Ali as dan Ibnu Abbas yang keduanya mengatakan bahwa kalau Umar tidak melarang mut’ah maka tidak akan ada orang berzina kecuali yang keterlaluan. Mengapa begitu, karena Tuhan yang Maha Pemurah telah memudahkanNya. Bayangkan saja di Muslim dikatakan bahwa para shahabat bermut’ah dengan hanya segenggam kurma. Dengan riwayat ini, dapat dipahami bahwa salah satu tujuan mut’ah adalah penyaluran yang wajar dan bertanggung jawab demi terhindarnya zina dan pergaulan bebas yang tidak bertanggung jawab 

Dengan kepala yang cenut-cenut, saya cukupkan sekian saja dari dimensi Diri Kita ini. Sekarang kita masuki dimensi 

(2) Diri Dan Tuhan 

Dengan uraian di atas dapat dipahami bahwa tanpa penyaluran yang wajar, maka manusia akan menjadi mayat berjalan, tertidur dalam jaga dan terjaga dalam tidur, menangis dalam suara dan 

begitu pula dalam kesunyian malam dan kesendiriannya, tangisan dimana tidak mungkin ada penyelesaiannya, karena begitu sangat mustahilnya sangat beratnya sangat mederitanya. Beda halnya kalau Allahnya memberikannya jalan yang lebih mudah. Mungkin masalah terhiitung sulit tapi terjangkau. Dengan segenggam kurma, atau tidak makan sekali, maka dia bisa menyelaraskan fitrah nafsunya dengan ucapan Bismillaah dan shalawat, dengan rasa syukur dan rahmat. 

Mungkin Anda bertanya, bagaimana kalau punya anak padahal dia miskin? Mestinya Anda tanya ke Nabi saww? Mungkin Anda bertanya apa ada? Jawabanya mudah sekali, mengapa tidak ada? Di Bukhari +/- ada 19 riwayat, dan di Muslim ada +/- 20-an riwayat yang menerangkan tetang ‘AZL atau ‘AZLUN, yakni menumpahkan mani di luar rahim. Bayangkan di antara riwayat-riwayat Bukhari dan Muslim itu ada yang seperti ini (+/-): “Ya rasulullah kami sudah tidak tahan lagi dengan cewek itu, tapi kami tidak ingin punya anak, apa bisa kami lakukan mut’ah tetapi ber’azl?” Yakni mengeluarkan mani di luar rahim, Rasul saww pun menjawab: “Mengapa kalian tidak bisa melakukannya, karena Allah Sang Pencipta telah menghalalkannya sampai hari qiamat????“ Hadits-hadits ‘Azl ini bisa dilihat di Bukhari hadits no 2229, 2542, 4138, 6603, 7409 dan di Muslim hadits no 2599, 2601, 2604, 3617, 3621. 

Tentu saja, Antum juga samakan mental pelaku mut’ah dengan pelaku pergaulan bebas kayak di negeri kita yang sudah meraja lela ini. Karena yang pertama tidak membawa hawa atau aura kebinatangan, beda dengan yang kedua. Yang pertama membwa aura ibadah, tanggung jawab, tetapi yang ke dua sebaliknya. Jadi, masyarakat yang melakukan mut’ah akan ada dalam naunangan Islam dan kemanusiaan, beda dengan yang ke dua. Kesejukan kelompok pertama, yang diiringi rasa malu dan kewibawaan, akan selalu merasa senang punya Tuhan yang namaNya Allah. Karena Dia Maha Kasih dan tidak main parang. 

Beda dengan tuhan yang lain yang main parang dan jahannam yang, kalau tidak puasa dan berzina karena tidak puasa akan menjahanamkannya dan yang memaksa puasa seumur hidupnya sampai mampu kawin permanen dan selalu berkata “Tidak boleh tanya, pokoknya begitu”. Kalau ada tuhan seperti ini, maka bisa dipastikan bahwa dia adalah tuhan yang sadis, dan semaunya sendiri, yang selalu main power, yang tidak memberikan jalan keluar secara ilmiah dan pelaksanaan peradabannya. 

Denga tersentuhnya masyarakat atau sosial masyarakat dalam dimensi 2 itu maka dimensi 3-pun sudah tersentuh pula. Yakni masyarakat yang batin perindividunya tertekan tidak akan aneh kalau sekitar 25 tahun lalu di Yogya ada angket kumpul kebo dimana kalau tidak salah di antara lima cewek, 3 diantaranya sudah tidak gadis (saya dulu baca di Tempo sudah lupa angkanya). Bayangin saja, itu baru yang ngaku, dan itu baru yang bergaul sampai zina, lah’, yang tidak ngaku? Yang sampai ke tingkat pegangan, ciuman dan seterusnya? Bayangkan saja wanita yang sudah dipegang lelaki, maka seluruh nilai badaniah dan ruhaniahnya menjadi tercemar. Dia akan menjadi penipu bagi suaminya kelak, dia sudah menjadi wanita murahan yang tidak menjaga kesucian badannya, apalagi sampai dicium dan dipegangi sana-sini. Na’udzu billahhi mindzalik. Lah’, di negeri kita ini yang namanya pacaran tidak masalah, orang tua juga tidak protes. Nah, ini kan keanehan di atas keanehan? Sudah begitu masih sok suci dan memprotes hukum Tuhan yang ada di Qur'an Bukhari Muslim, lihat jawabanku pada 16 kesamaan mut’an dengan zina. 

Nabi saww bersabda kalau ada orang mendengar bahwa di ujung barat ada orang membunuh tanpa kebenaran dan dia rela, maka dia akan mendapat dosanya. Nah, sekarang ini kalau kita rela dengan kondisi masyarakat, kampus, sma atau smp dan bahkan sd, dari sisi pergaulannya yang tidak agamis, maka kita akan mendapat dosa semua maksiat-maksiat itu, na’udzu billah. 

Nah, terus kalau tidak rela, dengan apa kita menampakkan ketidakrelaan itu? Apa bisa hanya diam, dan tidak melakukan amar makruf dan nahi mungkar? Beda kalau yang dewasanya sudah bernafas agama, maka adik-adiknya juga akan terbawa ke maknawiat itu. Mut’ah yang dilakukan dengan akhlak, dan tanggung jawab, tidak beda dengan permanen, dan yang semacam ini tidak akan membuat adik-adiknya menjadi kehilangan arah. 

Apalagi dalam mut’ah harus ada ijin wali dan kalau tidak ijin sama dengan zina dan seterusnya. Jadi, masyarakat yang dibolehkan mengambil jalan pintas mut’ah jauh akan lebih baik dan menyejukkan ketimbang yang mengharamkannya tetapi membiarkan pergaualan bebas. Ingat pergaulan bebas dalam Islam bukan hanya yang kumpul kebo, tetapi yang pacaran juga pergaulan bebas, yang jalan ke sana ke mari bersama yang bukan muhrim juga pergaulan bebas, yang sebangku dengan bukan muhrim dan tidak pakai hijab juga pergaulan bebas. 

Bagaimana mungkin orang disuruh puasa terus, sementara teman sebangkunya tidak pakai hijab, bersolek dan berbau harum? Apakah jalan keluar Islam seperti itu? Jalan Islam adalah harus memisahkan mereka, perempuannya harus pakai hijab, tidak boleh berparfum dan bersolek di luar rumah. Nah, dalam keadaan begitu, kalau ada yang janda dan lelaki yang sudah tidak tahan, sekalipun sudah pergaulannya diIslamisasikan, maka sudah sewajarnya dia menyalurkannya dengan bijak dan terarah serta penuh tanggung jawab, dan sebagai rasa syukur kepada Tuhannya, seperti yang dikatakan Ibnu Abbas bahwa mut’ah itu tidak lain adalah rahmat dari Tuhan, lihat tulisanku tentang jabawaban terhadap 16 persamaan zina dengan mut’ah. 

Ifal dan yang lain: Hari ini aku kurang mut, jadi mungkin akan ada banyak salah tulis, dan mungkin irama argumennya seperti jurus mabok, tetapi semoga saja tidak begitu, karena sudah kuusahakan seperti jurus thai chi yang alami. Ok saya akan masuki jawab-an lainnya. 

Dengan selesainya sedikit sekali uraian tentang rabaan terhadap tujuan hukum mut’ah itu, maka saya akan menjawab yang ke dua, yakni beda mut’ah dari permanen. Memang kulihat ada jawaban terhadapnya tetapi tidak benar menurutku. Sebenarnya hampir tidak ada beda antara keduanya, kecuali 

(1) Mut’ah berjangka waktu dan permanen tidak. 

(2) Mut’ah tidak ada waris dan permanen ada. 

Dan mengapanya sudah saya terangkan di tulisan saya yang berjudul Jawaban terhadap 16 kesamaan mut’ah dengan zina, yaitu bahwa pada hakikatnya di mut’ah adalah ada dimensi kontraknya. Karenanya dalam Qur'an dikatakan saling merelai/menyepakati. Jadi, akan jadi lucu kalau ada warisnya. 

(3) Dalam mut’ah tidak ada talaq da yang ada hanya penghibahan masa kontrak istri (sisa waktu), tetapi di permanen ada talaq yang artinya pelepasan tanggung jawab yang pernah diterimanya di waktu kawin. 

(4) Dalam mut’ah tidak ada wajib nafakah, yang ada hanya membayar UPAH/UJUR (QS:4:24), sudah dalam permanen ada wajib nafakah. Tentu saja maksud ujur dalam ayat itu, yakni upah, adalah maskawin. Tetapi Tuhan memakai kata ujur mungkin untuk memudahkan pemahaman bagi orang-orang yang kurang cerdas yang, apalagi merasa cerdas., supaya tidak ada keraguan di dalamnya bahwa kawin mut’ah itu ada sisi sewa menyewanya. 

(5) Iddah kawin mut’ah 2 kali haidh, dan permanen 3 kali bersih. Ini pada hakikatnya hampir sama, tetapi hampir saja. 

(6) Mut’ah tidak dibatasi jumlahnya, tetapi permanen hanya 4 istri. 
Calon istri dalam mut’ah bisa mensyarati dalam akadnya untuk tidak sampai ke tidur, tetapi dalam permanen tidak boleh mensyarati demikian. 

Itu yang kuingat sekarang, sedangkan dengan maskawin, dalam keduanya bisa dibayarkan kapan saja, asal direlai oleh perempuannya, tetapi kalau mut’ah bisa ditahan dulu, dimana kalau istrinya tidak melayaninya, maka bisa dikurangi sesuai kadar penolakannya itu. 

Qur'an syi’ah memang sama secara lahir dengan Qur'an sunni, tetapi beda secara batinnya atau persepsinya. Qur'an yang dipakai syi’ah dan disyahkan oleh Rasul saww dan para imam as, adalah Qur'an yang ada ini. Sedangkan Qur'an yang dibawa imam Mahdi as sekarang ini adalah yang ada pemaknaannya dari Rasul saww yang diberitahukan kepada para shahabat atau imam Ali as sendiri. Dan tentu saja jauh lebih besar, seperti layaknya kitab-kitab tafsir, sekalipun punya imam Ali as bukan tafsir karena pasti benar, tetapi pemaknaan.

Simanis Caem : Edannn...mengaku Sinar Agama ternyata penyair kelamin juga... analisis yang akhirnya menafikkan berbagai hadits dan atsar. Apa tidak cukup analisa ulama-ulama dulu?? 

Apa belum jelas keterangan para salaf?? Munculnya pemikiran sesat dikarenaakan agama berpatok... pada alam pemikirannya sendiri. Kalau analisis sosial.. tinggal survey aja dampak apa yang ditimbulkan dari nikah mut’ah yang telah diharamakaan ini? Manfaat/mudhorot? 

Satu pertanyaan. Setelah imam Ali kwh berkuasa, apakah lantas beliau membolehkan mut’ah?

Sinar Agama : Sedang bedanya adalah, Qur'an ini di pandangan syi’ah adalah kumpulan Allah sendiri yang dibimbingkan kepada Nabi saww, karena selainNya tidak berhak mengumpulkannya QS:75:17, tetapi kalau di sunni ianya adalah kumpulan tim yang dipimpin Utsman. Ke dua, Qur'an yang ada ini tidak memiliki tambahan ayat-ayat tetapi di sunni memiliki 112 ayat yaitu yang berupa Bismillaah di setiap surat selain Fatihah. Tetapi kalau menurut syi’ah semua Bismillaah yang ada adalah dari Tuhan dan ayat pertama setiap surat selain taubat yang tidak memiliki Bismillaah di depannya. Jadi, bagi orang Syi’ah tim Utsman itu hanya tim cetak ulang dan merapikannya dalam kertas yang seragam dimana sebelumnya bercampur antara pelepah kurma, kulit binatang, tulang dan semacamnya. 

Itu saja dulu semoga bisa bermanfaat, maaf kalau tulisannya tidak senyaman angin sepoi yang sendu, karena aku lagi sedang sakit kepala dan gusi bengkak, harap maklum, tetapi sudah kuusahakan sebaik mungkin mungkin. Selamat menyelami. 

Oh iya, maksud pengumpulan Qur'an itu adalan penyusunan surat-suratnya, dimana kalau di Sunni disusun tim Utsman tetapi kalau di Syi’ah oleh Allah Sendiri. 

@S-C: tulisanku di sini dan di jawaban terhadap 16 persamaan mut’ah dan zina, sudah terlalu cukup untuk menjawabmu. Tentang imam Ali as, maka beliau seperti Ibnu Abbas, Bintu Abu Bakar, Ibnu Umar dan seambrek lagi shahabat yang tidak pernah mengharamakaan mut’ah hingga perlu dihalakannya lagi. Halalnya Muhammad saww halal sampai hari qiamat. 

Husni Okbah : Akibat mut’ah: 

1. Lahirnya bayi tanpa status. 
2. menjadikan wanita sebagai single parent. 
3. Mengakibatkan terjangkitnya berbagai penyakit jenis kelamin akibat gonta ganti pasangan. 
4. Lahirnya kebebasan seksual yang luar biasa. 
5. Merendahkan status wanita karena mirip pelacur. 
6. Membinasakan keturunan / merusak silsilah. 
7. Merusak keutuhan keluarga, masyarakat dan Negara. 
8. Hilangnya tanggung jawab suami sebagai pencari nafkah, istri sebagai ibu rumah tangga. 
9. Anak dan ibunya hidup menderita, melarat dan minder. 
10. Munculnya disorder child, atau anak yang kehilangan jati diri. 
11. Merebaknya keinginan masyarakat untuk tidak terikat perkawinan sehingga mereka meng- hendaki mut’ah tanpa ikatan dan tanggung jawab lainnya. 
12. Melahirkan lost generation/ generasi yang hilang. 
13. Rusaknya tatanan dan rentannya stabilitas masyarakat. 
14. Timbulnya anomali-anomali/keanehan-keanehan pada keluarga, masyarakat dan lain-lain. 
15. Merebaknya kebodohan, tindak asusila lainnya. 
16. Dan berbagai efek mengerikan lainnya. 

‘Ali Stany Al-Kadhimi : Kommen Husni di atas adalah salah satu contohnya orang yang suka berghibah ^_^ 

Berbicara dan komentar tanpa yang ia sendiri ketahui dasar-dasarnya ^_^ 

Pantas saja negara ini makin ancur dengan merajalelanya orang kek Husni Okbah.^_^ 

Dhehyd Al Insanjisimmitsalarwah Nuurdzatahad : Diharamakaan Mut’ah karena menghilang- kan hak-hak wanita, mengacaukan nasab, menimbulkan fitnah dan sengketa. 

‘Ali Stany Al-Kadhimi : Anak hasil mut’ah tetap ikut nasab sang ayah, karena mut’ah tetap mempunyai masa ‘iddah,,, Secara medis pun dapat dibuktikan masa ‘iddah mut’ah tetap dapat membersihkan sperma-sperma di dalam rahim si ibu, bila si ayah tak percaya bahwa anak itu adalah dari dirinya, tes genetika saja,,, 

Anak hasil mut’ah hak asuhnya pun hak sang ayah, bukan sang ibu... Ketika si ayah ingin anak disusui oleh ibunya, maka sang ayah pun harus membayar sejumlah biaya susuan..... Ya jika memang dapat menimbulkan fitnah di suatu wilayah, mut’ah pun dapat menjadi haram di wilayah tersebut.... Tetapi paling tidak mut’ah sangat jauh lebih baik ketimbang pacaran. 

Sri Fathimah: hm begitu ya?? 

‘Ali Stany Al-Kadhimi : Banyak sekali syarat-syarat untuk melakukan mut’ah agar mut’ah tersebut tidak dapat menjadi fitnah..... 

Husni Okbah : Enaknya diambil tanggung jawab gak mau seperti maling aja. 

‘Ali Stany Al-Kadhimi : berarti yang salah usernya yaitu dalam menerapkan hukum mut’ah, bukan mut’ah itu sendiri.... 

Sri Fathimah : hm...makasih ya kakak-kakak, bertambah ilmu saya sedikit, tentang Mut’ah. 

‘Ali Stany Al-Kadhimi : Dan kehalalan mut’ah haruslah atas keyakinan full atas semua pihak (laki- laki maupun perempuan dan para saksi adil, termasuk wali perempuan jika yang di mut’ah masih gadis), karena jika 1 pihak saja yang meyakini secara full maka hukumnya Zina bukan Mut’ah.... 

Siapa bilang Mut’ah itu semudah membayar PSK di lokalisasi? 

Husni Okbah : Agar tidak terkena gonorchea, AIDS, dan lain-lain juga gonta ganti pasangan dengan mut’ah. 

Misal nih si fat mut’ah dengan si ale dengan akad 5 jam dengan biaya 150000 dibayar setelah 5 jam. Lalu si fat hamil, dan si ale dah kabur. Mana cukup 150000 buat biaya hamil 9 bulan, menyusui. Sudah begitu si fat jadi single parent, katakanlah dia bernasab dengan... si ale. Tetapi apakah bayi yang dilahirkan dapat waris dari si ale? 

Yang gila tu si fat kenapa dia kalo gadis mau dibayar 150000 yang sangat berpotensi hamil? Belom lagi konflik saat si ale gak terima kalo namanya dicatut si anak.

Sinar Agama : Okbah: Tulisanku yang berjudul Jawaban Terhadap Kesamaan Mut’ah dan Zina, dan yang di koment ini, maka sudah terlalu cukup bagimu yang hanya bisa berteriak-teriak mengumpat orang di dalam lumpur pada kamunya di dalam lumpur. 

Kamu tahu, di Iran, kumpulnya anak anak perempuan dan lelaki itu hanya di TK. Di SD sudah dipisah, nanti baru berkumpul lagi setelah di universitas dimana sudah dibekali ilmu agama dan peradaban prakteknya dari kecil sampai SMA. Dan di kampus mereka dirangsang untuk kawin daim, karena dalam Islam semakin melebihi 20 tahun semakin hilang berkahnya. Tiap tahun puluhan ribu yang kawin masal, dibiayai pemerintah, dibantu uang sewa rumah (bagi yang belum punya rumah) atau kredit rumah, alat-alat rumahnya, dan kuliahnya juga dibayar, asuransi semua rakyatnya lengkap, dan kalau punya anak langsung dibuatkan tabungan oleh pemerintah yang isinya sekitar 10 jt Rp, dan tiap tahun ditambah sekitar 1 juta, dan baru bisa diambil nanti kalau sudah umur 18 tahun dimana orang tuanya tidak berhak ngambil.... semua wanitanya harus pakai hijab, tidak ada minuman alkohol, film yang pegangan tangan saja disensor sekalipun film luar negeri, TV kalau waktu shalat semuanya menyetel shalat jamaah dan semilyard fadhilah lainnya yang buat kamu tidak mungkin terbayang sedikitpun juga. 

Nah, dalam keadaan seperti ini kamu masih mau berteriak? Apa yang kamu teriakkan itu? 

Husni Okbah : Anda bicara tentang kebijakan Iran apa bicara tentang mut’ah? 

Ifal Cikamua : Sinar Agama@ syukran tas masukannya akhi, mungkin karena ketajaman pola pandang kami yang mungkin rendah hingga yang kamu tangkap dari paparan yang akhi tuangkan berkaitan mut’ah adalahah “ Mutah adalahh tak lain hanya sebagai media untuk menyalurkan nafsu dalam hal ini sex/birahi andaikan itu tak tertahankan...?? Afwan. 

Husni Okbah : Kalau anda ingin berbicara tentang kebijakan pemerintah Iran, pemerintah dalam hal ini menghindari kekacauan komunal maka jelas mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna mengibarkan mut’ah sebagai icon syi’ah yang syarat dengan dampak buruk yang dilahirkannya. 

Ifal Cikamua : Sinar Agama @ kalaupun demikaian bukankah itu (nafsu) selah satu tantangan/ ujian-Nya..?? Dan bukankah musuh yang sebenar-benarnya musuh adalah nafsu qita sendiri..??

Sinar Agama : Ifal, nafsu itu memang ujian, tetapi apa tidak ada kelulusannya? Emangnya menaggapi musuh harus perang terus? Kan bisa damai, bisa perang, dan bisa saling tolong menghadapi musuh ketiga. Nah, kalau masih mampu menenangkan diri, itu tandanya masih bisa kompromi, artinya dalam keadaan menang perang. Tetapi kalau tidak mampu menahan, tetapi tidak mampu menyediakan walau segenggam kurma, maka kala itu harus perang. Tetapi kalau tidak mampu menahan diri, dan takut jatuh ke dalam fitnah (yakni dosa) dengan kurma banyak di tangannya, maka Islampun menyediakan jalannya. Tetapi ingat, mulailah berfikir tentang mut’ah ini setelah kamu tidak lagi bisa membantah dalil-dalil agamanya? Tetapi kalau kamu belum melakukan itu, yah,’ biar berbuih kayak apa mulut kita menjelaskan, atau biar tangan ini sampai kram menulisnya, maka hal itu tidak ada gunanya. 

Kata seorang guru, kalau seseorang itu tidak mau nasihat, biar malaikat Jibril as yang datang, tetap tidak mau. Kamu tahu kan di hadits-hadits yang kutulis di Jawaban Terhadap Kesamaan Mut’ah dengan Zina itu, dimana shahabat Utsman pun walau menaati Nabi saww, tetapi karena beda dengan yang di jaman jahiliyyah tentang mut’ah ini, maka ia melakukannya sambil ketakutan. 

Nah, jadi ada yang tidak mau terima, maka Nabipun saww tidak akan dapat berbuat banyak, ada yang mau terima tetapi terpaksa makanya masih ada rasa takut dalam menaati Nabi saww, tetapi ada pula yang percaya penuh kepada Nabi saww dengan jalurnya yang sudah tidak bisa dibantah, maka hanya orang-orang seperti inilah dan masyarakat seperti inilah yang akan selamat. Ana tadi ngasih contoh Iran itu, karena di syi’ah kan mut’ah halal, lalu kalian berteriak-teriak tentang kebejatannya sampai melupakan kebejatan kaum sendiri, padahal Iran adalah surga dunia yang dirahmati Allah sekalipun selalu dalam tekanan kafir dan muslim yang mengikuti kafirin. 

Ifal@, dengan demikian buat apa musuh dibuat oleh Tuhan tetapi tidak bisa dikalahkannya? Buat oleh-oleh ke neraka? Kan tidak. Nah, penaklukannya itulah yang bisa dengan memeranginya manakala masih kuat dan/atau belum punya uang dan/atau belum ada wanita yang janda dan/ atau belum ada wali yang mengijinkan. Dan bisa pula dikalahkan dengan hukum yang telah disediakan Tuhan. Nah, apakah kita lebih pintar dariNya? Dan sok suci dari Nabi saww seperti Umar yang jelas-jelas mengatakan seperti itu di riwayat Bukhari/Muslim yang sudah saya nukil di tulisan jawaban, itu? Atau masih mending Utsman yang mengamalkan perintah Nabi saww sambil ketakutan karena takut salah pada Tuhan yang telah dijelaskan pada masa jahiliyyah? 

Itupun saya ikuti logika kamu yang mengatakan musuh, padahal nafsu itu sama sekali bukan musuh, tetapi rahmat dari Allah seperti yang sudah saya terangkan sebelumnya. Rahmat yang akhir, masak kita tega sama Tuhan mengatakan bahwa fitrah syahwat itu adalah musuh. Nah, dia akan jadi musuh manakala kita tidak mendengarkan syariat-syariatNya. Tetapi dianya tetap rahmat, cuma kitanya yang menjadikannya musuh, begitu. 

Saya punya usul sama semua pembaca budiman, bagaimana kalau kita angkat mas Okbah ini sebagai kepala bagian penghancur tempat pelacuran, pemberantas pacaran, pemberantas yang tidak pakai hijab, pemberantas toko-toko yang jual minuman keras, pemberantas sekolah-sekolah yang campur... dan seluruh kemaksiatan di sosial kita ini, ghimana setuju?

Dhehyd Al Insanjisimmitsalarwah Nuurdzatahad: Mut’ah menjadikan dan memperbanyak wanita-wanita yang durhaka, karena tanpa wali. 

Husni Okbah : KESAMAAN MUT’AH ALA SPESIES SYIAH AME ZINA. 

Dikutip dr buku Mengapa Syiah Harus diluruskan karangan Mohammad Hasan penerbit Pustaka dar el-Aman, halaman 47-46. 

1. Mut’ah dilakukan tanpa saksi, demikian pula zina. 
2. Mut’ah dilakukan tanpa wali, begitu juga zina. 
3. Mut’ah dilakukan dengan uang sewaan dan waktunya sesuai perjanjian, sama dengann zina. 
4. Mut’ah tidak didasari keinginan untuk membina rumah tangga yang langgeng, sama dengan zina. 
5. Dalam mut’ah tidak ada talak, perceraian terjadi sesuai dengann waktu yang telah disepakati, zina juga demikian. 
6. Wanita yang dimut’ah layaknya barang sewaan, pindah dari satu tangan ke tangan yang lain, sama halnya dengan wanita pezina. 
7. Antara wanita yang dimut’ah dan lelaki yang memut’ah tidak ada saling mewarisi, demikian halnya dengan zina. 
8. Anak yang dihasilkan dari nikah mut’ah kemungkinan besar akan terlantar dan tidak terurus, demikian pula dengann nasib anak zina. 
9. Nikah mut’ah tidak mengenal apakah si wanita punya suami atau tidak, tidak mengenal apakah si wanita sudah cukup umur atau masih belum, demikian juga dengann zina. 
10. Di dalam mut’ah diperbolehkan menikah sebanyak-banyaknya, walau dengan 100 wanita, begitu pula dengan zina. 
11. Mut’ah memperbolehkan nikah dengann wanita mahram (yang haram dinikahi), sama dengan zina. 
12. Dalam mut’ah diperbolehkan me-wathi (mendatangi atau menggauli) isteri dari dubur (annus), sama dengann zina. 
13. Dalam mut’ah diperbolehkan me-wathi’ isteri yang sedang haid, begitu pula zina. 
14. Zina dilarang oleh Sayyidina Ali, sebagaimana beliau juga melarang mut’ah. 
15. Zina dilarang oleh Sayyidna Ja’far Shodiq, begitu pula beliau dengan tegas melarang mut’ah. 

Ber-MUT’AH berarti ber-ZINA. 

AnZi Ahmad : Sempurnakan pengetahuan tentang mutah maka akan gamblang perbedaan dengan zina, bahkan dalam Bukhori edisi inggris, mutah diartikan dengan temporarly marriage (pernikahan sementara). Ajaran aneh kalau sering membantah apa yang sudah disahihkan sendiri, mungkin bisa dibilang orang aneh. 

Husni Okbah : Naluri berbeda dengan kebutuhan jasmani, walaupun keduanya sama-sama merupakan potensi dinamis yang sama-sama fitri adanya. Kebutuhan jasmani menuntut suatu pemuasan secara pasti, yang jika tidak terpenuhi manusia akan mati. Berbeda dengan naluri yang menuntut pemuasan, yang bila tidak terpenuhi dia akan mengalami kegelisahan, tetapi tidak mati, bahkan tetap hidup. Seorang manusia jika tidak makan atau buang hajat, cepat atau lambat pasti akan mati. Akan tetapi, jika tidak memenuhi kebutuhan nalurinya, ia tidak akan mati. Misalnya jika ia tidak “berkumpul” dengan wanita, atau tidak terpenuhi kebutuhan/naluri seksualnya, ia tidak akan mati. Sebab naluri manusia memang tidak mengharuskan (menuntut) pemuasan. 

Di samping itu, tuntutan pemuasan kebutuhan jasmani bersifat internal, yakni muncul dari dalam diri manusia itu sendiri, meskipun kadang-kadang dorongan pemuasan itu dipengaruhi oleh suatu rangsangan dari luar. Berbeda halnya dengan naluri manusia, yang sama sekali tidak bergerak secara internal untuk memenuhi kebutuhannya. Maka tidak akan muncul perasaan untuk memuaskan kebutuhan naluriah, kecuali jika ada rangsangan dari luar. Jika rangsangan itu muncul dari luar, maka naluri terpengaruh, kemudian muncul perasaan yang menuntut adanya pemuasan. Sebaliknya, jika rangsangan itu tidak ada yang membangkitkan, maka ia akan tetap terpendam, dan tidak akan muncul suatu perasaan untuk mencari pemuasan kebutuhan bagi naluri. 

Lapar misalnya, secara alami muncul dari dalam diri manusia, dan tidak membutuhkan rangsangan dari luar. Munculnya rasa (lapar) yang membutuhkan pemenuhan itu berasal dari dalam diri manusia. Ia akan merasa lapar, sekalipun tidak ada pengaruh dari luar. Akan halnya pengaruh luar dapat juga membangkitkan rasa lapar, misalnya makanan lezat yang dapat “meneteskan air liur” atau cerita-cerita tentang makanan semacam itu, akan dapat berpengaruh terhadap bang- kitnya rasa lapar. 

Berbeda halnya dengan keinginan seksual, yang sama sekali tidak akan muncul secara alami dalam diri manusia, melainkan membutuhkan suatu rangsangan dari luar yang dapat membangkitkannya. Oleh karena itu perasaan yang menuntut suatu pemuasan kebutuhan naluriah, tidak akan bangkit dari dalam diri manusia itu sendiri, dan ia tidak akan merasakannya selama tidak ada rangsangan dari luar yang membangkitkannya, misalnya dorongan biologis untuk “berhubungan” dengan lawan jenis, atau perasaan apapun yang berkaitan dengan hal itu, tidak akan muncul dalam diri seseorang, kecuali jika ia menyaksikan suatu fakta, mendengar cerita-cerita tentang fakta tersebut, atau dalam dirinya telah muncul berbagai bayangan yang membentuk persepsi tertentu, sehingga semua itu dapat berpengaruh terhadap suatu perasaan atau hasrat tersebut. Selama belum terdapat kenyataan/pemikiran, perasaan seks tersebut tidak akan muncul. 

Oleh karena itu, sebenarnya bukan keberadaan naluri dalam diri manusia yang menimbulkan kegelisahan. Tetapi, dampak perasaan yang menuntut pemuasan itulah yang menyebabkan munculnya kegelisahan. Maka apabila tidak muncul suatu perasaan yan menuntut kebutuhan, disebabkan tidak adanya suatu rangsangan dari luar, tentu tidak terjadi suatu kegelisahan sama sekali. Dengan demikian tidak akan terjadi suatu kegelisahan dalam diri manusia, akibat tidak terpengaruhinya pemuasan kebutuhan seksual; dan tidak akan terjadi penindasan terhadap naluri manusia, jika tidak terwujud suatu kenyataan atau pemikiran yang dapat merangsang naluri tersebut. 

Islam telah memberi seperangkat pemahaman yang dapat mengatur kecenderungan seksual manusia, secara positip (bersifat dorongan, pent) dengan memberinya seperangkat aturan dalam urusan pernikahan dan segala sesuatu yang terpancar darinya. Islam juga berusaha mencegah dan menjauhkan manusia dari segala hal yang dapat membangkitkan perasaan seksualnya, sementara ia tidak mampu melampiaskan kebutuhannya; dan menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat menyebabkan dirinya tenggelam dalam kesibukan serta menghabiskan waktunya untuk memikirkan ataupun bergelimang dalam perbuatan-perbuatan pelampiasan kebutuhan seksualnya yang timbul dari naluri mengembangkan dan melestarikan jenis. 

Bodoh sekali orang yang menganggap naluri sex tidak muncul dari dalam diri sndiri. Bukankah naluri itu sifatnya fitriah? Yang artinya itu terpatri/terikat dalam diri. Bukankah usia baligh adalah tanda naluri biologis? 

Anzi : Ternyata gak ngerti. Baca lagi 5x agar faham, 

AnZi Ahmad : Yang namanya tiap kebutuhan itu akarnya naluri. Allah memberikan jalan pemenuhan bagi tiap naluri. Kamu punya naluri ingin tahu, Allah menyediakan akal dan pengetahuan, kamu punya naluri seks, Allah sediakan pernikahan. Kini, siapa yang harus banyak baca Husni? 

AnZi Ahmad: Selain Allah menyediakan sarana pemenuhan naluri fitriah kita, namun juga memudahkannya. Agama itu diturunkan utk memudahkn manusia bukan menyulitkan apalagi mnyengsarakan. 

Sinar Agama : Okbah: Kamu ini bicara apa? Disuruh baca kok malah nulis, baca dulu yang punya kita itu, dengan cermat, baik yang di kolom ini atau jawaban terhadap 16 kesamaan mut’ah dengan zina, supaya kamu tidak ngulang-ngulang dan debatnya terarah. Ra’syih. 

‘Ali Stany Al-Kadhimi : Sejak kapan si pengarang Mengapa Syiah Harus diluruskan,,, menjadi wakil syi’ah? Nyata-nyata jelas dia ga tau fiqh mut’ah di madzhab syi’ah. 

Anggelia Sulqani Zahra : Husni, anda tahu apa perbedaan jahil dan tidak tau...? 

Kalau tidak tahu itu belum sampainya pengetahuan atas sesuatu ‘ sehingga bertindak dan berkata- kata bukan dalam kepastian kebenaran, tetapi kalau bodoh/jahil adalah : telah sampai kebenaran padanya tetapi mengingkarinya’ dan itu anda. 

Nuduh orang melanggar agama’ terus dikasih dalil dari alqur’an dan rujukan hadits-hadits kitab sunni’ malah tetap berada pada kejahiliaannya 

Apa antum ini mebutuhkan nabi lagi untuk menjelaskan semuanya..? 

Ustad Sinar, jika mereka meminta penjelasan, dan ustad meberikannya tentunya mereka akan meminta lagi bukti al’quran’. Jika ustad menyampaikannya, maka mereka akan menuntut kematiannya ustad. Jika mereka telah berhasil dengan kematiannya ustad, sesungguhnya mereka tidak akan puas dengan hal itu’ hingga didatangkan lagi satu nabi yang akan membawa hujjah bagi mereka. Jika nabi telah diutus kepada mereka, mereka pun akan bangkit melawan dan membunuhnya, begitu terus menerus hawa nafsu mereka memegang tali kedali permusuhan hingga kebenaran musnah di muka bumi dan yang berkuasa adalah nafsu-nafsu mereka. 

Yah mau bagaimana lagi... menghadapi mereka...? 

‘Ali Stany Al-Kadhimi : Sepertinya mereka kudu ngeliat langsung akad nikah mut’ah versi syi’ah nih, soalnya mereka taunya juga karena katanya,,,, katanya,,, dan katanya,, 

Ada yang mau biayain saya buat mut’ah dan ngundang mereka ? 

Sinar Agama: Terimakasih simpatinya, biarkan saja mereka-mereka itu, nggak usah dimasukin ke hati, kita serahkan saja kepada Allah, karena siapa yang berbuat kebaikan dan keburukan maka tidak melakukan semua itu kecuali untuk dirinya sendiri di dunia dan akhirat. 

Husni Okbah: @Anzi belajar lagi definisi kebutuhan biologis dan naluri dulu. @Ali : jangan OMDO. @Zahra : Sinar itu bukan nabi. Dia banyak sekali kesalahan. 

Husni Okbah: @ :Sinar: ana akan bicarakan jawaban anda. 

‘Ali Stany Al-Kadhimi: Husni@ Sejak kapan si pengarang Mengapa Syiah Harus diluruskan,,, menjadi wakil syi’ah? 

Pertanyaan itu dulu aja dijawab, baru nanti bisa dapet undangan ane, kalau ga ya paling ane cuman bisa undang Ust Ja’far Umar Thalib dan kawan-kawan. 

Husni Okbah : @Sinar Agama: 

1. Istamta’ anda katakan berarti mut’ah ? Dasarnya? 

2. Jika istamta’ berarti telah mencampuri berarti akadnya sudah jadi istri/sudah menikah apa dilalah/qorinah bahwa aqadnya sewaktu nikah itu dengan mut’ah? Jika ada qorinah tentang akad baru dalalahnya khusus jika tidak tetap umum donk? 

AnZi Ahmad : Husni! Malang sekali kamu, terangnya argumentasi dari kami sehingga menyilaukan matamu untuk melihat kebenaran. Baca lagi postingan saya dan teman-teman, biar ga bulak balik. Kalau msh bebal, berarti pilihan dan deritamu. 

Husni Okbah : Qum, kota suci syiah. Pada tahun 2008, 40% penduduknya yang terjangkit aids adalah dari kalangan pelajar/mahasiswa jurusan agama. Angka pengidap aids di kota tersebut meningkat 2 kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Apakah karena mut’ah? 

Erwin La Ode : All....rahasia dalam nikah mut’ah terbuka apabila kita faham tujuan sebenar islam dan siapa nabi Muhammad dan siapa Ali dalam artian bukan pengertian seperti yang kita sekarang.... akan tetapi ujung-ujungnya demikianlah....

Sinar Agama : @Okbah: Tulisanku di Jawaban Atas Kesamaan Mut’ah dan Zina itu terlalu cukup dan lebih-lebih untuk menjawab tanyamu yang sok ilmiah) itu. Dan tentang kota Qom itu, kamu mau berteriak apapun bersandar pada berita manapun, menandakan bahwa kamu sama dengan para wahhabi yang beberapa gelintir di Iran, dan sama dengan para Syi’ah dan bukan Syi’ah di Iran yang anti Islam dan revolusi Islam yang dari dulu dibiayai Amerika dengan milyarand dollar untuk membuat terorisme badaniah atau mayaiyah dengan ribuan site-site news yang palsu dan sumber-sumber yang dipalsukan. 

Masih untung kamu tidak bilang orang Qom kena aids semua, kalau kamu bilang seperti itu, maka saya dan siapa saja yang seperti saya, tidak akan pernah heran. Berteriaklah ya akhi bersama setan-setan barat dan wahhabi, perjalanan suci tetap akan melangkah dengan pasti, bumi dan langit akan kami kuasai dengan ijinNya dan dengan pemerintahan KhalifahNya. Sungguh aku melihat betapa dekatnya, dan betapa dekatnya, dan betapa dekatnya, bahwa kamu akan menggigit jarimu karena ketinggalan para kafilah itu, dan kalau kamu tidak tobat, maka betapa dekatnya persidangan berat yang akan kamu hadapi. Apa yang akan kamu jawab ketika kamu ditanya “Apa agamamu?” + “Dapat dari mana Islammu? “ + “Mengapa kamu ambil dari ...e...siapa tadi yang kau bilang??

Husni Okbah: @Sinar Agama : Ente ahsan tobat! Ana sih berusaha kasyful hummah/menyingkap muslihat yang ente buat. 

Nebucadnezar Pecinta Keadilan : Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah. 

Nafsu sex adalah naluri semula jadi yang melekat pada makhluk bernama manusia. Namun dalam waktu yang sama, orang beriman harus menjaga kesucian diri. Adapun kesucian diri dapat dilakukan dengan: 

1. Nikah Permanen. 
2. Nikah Muthah. 
3. Menahan dorongan sexual. 

Bayangkan para mahasiswa dan mahasiswi yang sehari hari bercampur gaul, apakah mereka mampu menahan gejolak nafsu atau nikah permanen... sementara kiriman uang dari kampung pas pasan? Maka muthaah adalah rahmat buat orang beriman.

Sinar Agama : Ya Okbah: Kamu tidak menyingkap muslihat kecuali muslihatmu sendiri. Semua yang kamu tulis di sini karena kerasnya dadamu. Kita kan sudah jawab semua dengan dalil, eh.... malah antum yang ngulang-ngulang kata. Kalau antum ingin kita tobat, bantah semua dalil yang ...kita ajukan itu, nanti kalau kita orang sudah tidak bisa lagi membantahnya, baru ana akan tobat, kalau perlu di tempatmu sambil dimandiin kembang tujuh juga mau. Antum ini unpat umpet di situuuuu aja, kitab satu yang belum tentu benar sanadnya sudah merasa seperti si Pitung/ Pendekar Betawi, aku saja yang di rumahku ada sekitar 90.000 jilid buku-buku sunni dan syi’ah, masih merasa bodoh tentang agama dan rahasianya ini. Maka kita suka diskusi, karena takut masih ada salah pahamnya, sekalipun aku sudah belajar puluhan tahun dengan bimbingan guru tentang ilmu-ilmu agama baik ilmu-ilmu alatnya atau isinya. Ya akhi jangan merunduk terus ngelihat orang, mbok yang dangak dikit kek, supaya tahu kalau barangkali ada orang yang lebih pinter dari kamu yang....

Husni Okbah: Ya Sinar: Ente kalau mau belajar din jangan di Qom, salah semua jadinya. 

Sinar Agama: Nebucadnezar: antum sepertinya kebablasan, menulis mahasiswi. Karena mereka tidak boleh mut’ah kecuali dengan ijin ayahnya dengan ijin yang jelas bahwa mau kawin mut’ah atau dalam waktu tertentu. Yang boleh tidak pakai ijin walinya hanyalah janda dalam agama, yakni orang yang pernah kawin syah dan dikumpuli setelahnya. Jadi kalau keduanya itu belum dilakukan maka dia masih dalam katagori perawan atau gadis, sekalipun secara materi sudah tidak gadis karena ketusuk benda, atau zina dan semacamnya. Afwan. 

@Okbah, okbah, bisanya kamu ini hanya bilang salah, dan kamu benar, ya....kalau diskusinya hanya begitu, ya...enak, nggak usah belajar juga bisa, jelas kalau ghitu nggak usah ke-mana-mana deh belajar ilmu segala macam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 29 Juli 2018

Jawaban Atas Kesamaan Mut’ah Ala Spesies Syi’ah Ame Zina




Seri Tanya – Jawab
by Sinar Agama (Notes) on Saturday, October 9, 2010 at 12:23 pm



Sebenarnya, bagi kami, tulisan “Kesamaan...” ini jelas ditulis oleh orang yang jauh dari pengetahuan agama, alias awam tentang agama. Namun karena berani menulisnya di fb untuk kesekian kalinya, dan sudah sering kami jawab di kolom komentar mereka tapi tetap saja tidak mau mengerti, maka sekarang saya berusaha menjawabnya dengan uraian yang sangat singkat. Karena kalau memang mau ditulis dengan benar, maka akan menjadi buku yang sangat tebal dimana untuk ini, saya masih belum punya waktu.

Sebelum menjawab mereka, maka saya nukil dulu ke 16 persamaan yang khayali itu, dan baru setelah itu saya akan jawab di bawahnya dengan nomor-nomor yang sama atau sesuai urutan yang ada di fitnahan tsb. Selamat mengikuti dengan seksama.

KESAMAAN MUT’AH ALA SPESIES SYIAH AME ZINA

Dikutip dari buku Mengapa Syiah Harus diluruskan karangan Mohammad Hasan penerbit Pustaka dar el-Aman, halaman 47-46

1. Mut’ah dilakukan tanpa saksi, demikian pula zina.


2. Mut’ah dilakukan tanpa wali, begitu juga zina.

3. Mut’ah dilakukan dengan uangsewaan dan waktunya sesuai perjanjian, sama dengan zina.

4. Mut’ah tidak didasari keinginan untuk membina rumah tangga yang langgeng, sama dengan zina.

5. Dalam mut’ah tidak ada talak, perceraian terjadi sesuai dengan waktu yang telah disepakati, zina juga demikian.

6. Wanita yang dimut’ah layaknya barang sewaan, pindah dari satu tangan ke tangan yang lain, sama halnya dengan wanita pezina.

7. Antara wanita yang dimut’ah dan lelaki yang memut’ah tidak ada saling mewarisi, demikian halnya dengan zina.

8. Anak yang dihasilkan dari nikah mut’ah kemungkinan besar akan terlantar dan tidak terurus, demikian pula dengan nasib anak zina.

9. Nikah mut’ah tidak mengenal apakah si wanita punya suami atau tidak, tidak mengenal apakah si wanita sudah cukup umur atau masih belum, demikian juga dengan zina.

10. Di dalam mut’ah diperbolehkan menikah sebanyak-banyaknya, walau dengan 100 wanita, begitu pula dengan zina.

11. Mut’ah memperbolehkan nikah dengan wanita mahram (yang haram dinikahi), sama dengan zina.

12. Dalam mut’ah diperbolehkan me-wathi (mendatangi atau menggauli) isteri dari dubur (anus), sama dengan zina.

13. Dalam mut’ah diperbolehkan me-wathi’ isteri yang sedang haid, begitu pula zina.

14. Zina dilarang oleh Sayyidina Ali, sebagaimana beliau juga melarang mut’ah.

15. Zina dilarang oleh Sayyidna Ja’far Shodiq, begitu pula beliau dengan tegas melarang mut’ah.

16. Zina dilarang oleh hukum Indonesia, demikan pula dengan nikah mut’ah.

Kesamaan di atas kian mempertegas bahwa ajaran SPESIES Syiah sngatlah bertentangan dengan ajaran Islam dan hukum positif negara. Bahkan bertentangan dengan naluri kemanusiaan yang suci serta etika pergaulan dalam keluarga yang luhur. Justru semuanya tak jauh beda dengan praktek perzinahan yang jelas-jelas dilarang. spesies syiah merupakan spesies langka yang harus dibikin punah..

Jawab:

CATATAN PENTING:

1. Dalam Syi’ah saksi-kawin adalah sunnah hukumnya, baik mut’ah atau permanen. Tapi kalau saksi cerai maka wajib dengan dalil QS: 65:2. Sedang saksi kawin itu tidak ada dalam Qur'an.

2. Dalam semua kitab-kitab fikih-Syi’ah, bagi yang punya mata, jelas tertulis bahwa ijin wali itu wajib bagi yang bukan janda (untuk mut’ah atau permanen), tapi tidak wajib bagi yang janda.

Dan kalau tidak ijin wali, maka syarat syah nikahnya kurang dan nikahnya jadi batal serta hubungannya jadi semacam zina. Kalau di Indonesia (bukan syi’ah), jangankan ijin wali, kawin lari juga banyak, dan penzinahan juga bayar pajak. Lalu dimana hukum positif negaranya?

3. Dalam QS:4:24 Allah berfirman:

“....maka kalau kamu bersenang-senang dengan para wanita itu dengan hartamu, maka berikanlah upah mereka (ujuurahunna) sebagai kewajiban....”.

Nah, sekarang siapa yang anti Qur'an, jadi ketahuan. Dalam ayat ini Allah menggunakan makna maskawin bahkan dengan kata UPAH. Mungkin, supaya orang seperti kamu tidak membuat hiruk pikuk. Tapi yang namanya hati, bisa kerasnya melebihi batu (QS:2:74). Karena itu dengan bahasa apapun Tuhan menyampaikannya, tetap saja ditolak karena sudah mewarisi penolakan tersebut dari leluhurnya.

4. Tujuan utama kawin adalah menyalurkan fitrah syahwat sesuai hukum Islam, bukan kewajiban untuk punya anak. Kalau wajib, berarti KB haram, berarti Pemerintah telah melakukan keharaman, begitu pula MUI dan orang-orang yang memakai alat-alat KB. KB ini jelas menunjukkan bahwa punya anak tidak wajib, kecuali kalau kamu menentang perintah Pemerintah dan MUI. Oleh karenanya Nabi saww menganjurkan bagi lelaki yang sudah kuat kemauan kawinnya tapi belum mampu, untuk berpuasa. Emangnya disuruh puasa supaya keinginan punya anaknya terbendung?????? Yang bener saja.

5. Kalau ada talak dalam mut’ah, itu namanya gila. Karena mut’ah itu kawin dalam waktu tertentu.

Apa kamu tidak baca QS: 4:24 itu. Nih kalau mau baca:

أُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

فَرِيضَةً وَلَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamumiliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapanNya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu mut’ah/nikmati (campuri/bermut’ah/istamta’a) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (ujur/upah) sebagai suatu kewajiban, dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyayang” (terjemah globalnya dari DEPAG).

Coba perhatikan beberapa hal di bawah ini:

a. Hukum mut’ah ini jelas dikatakan sebagai nikah ( مُحْصِنِينَ ) bukan zina ( غير مُسَافِحِينَ )

b. Allah menyuruh kita mencari istri dengan harta ( بِأَمْوَالِكُمْ ). Ini berarti harta untuk mengupah, bukan membangun rumah tangga. Karena harta yang digunakan untuk membangun rumah tangga itu adalah nafakah yang, merupakan biaya dalam kelanjutan perkawinannya, bukan dalam pencarian pertamanya sebagaimana di ayat ini. Yakni mencari istri dengan harta.

c. Allah sendiri memakai kata yang kamu tidak suka ini, yaitu MUT’AH dalam ayat ini ( اسْتَمْتَعْتُم )

d. Dalam ini dipakai kata jama’ untuk istri-istri yang dimut’ah, yakni mereka ( مِنْهُنَّ ) dan harus diberikan upahnya, yakni berikan upah mereka ( فاتو هن أُجُورَهُنَّ ) Mungkin, karena menunjukkan tidak ada batasan tertentu dalam jumlah mereka dan adanya kebergantian mereka. Memang hal ini tidak mesti bermakna demikian, karena bisa saja kata jamak itu dilihat dari sisi para lelakinya yang juga banyak, karena dalam ayat ini Allah menggunakan jamak pada lelakinya yang, sudah pasti membuat istri-istri mereka juga jamak.

e. Allah memakai kata-kata untuk maskawin dengan kata ONGKOS/UPAH ( أُجُورَ )

f. Upah dan ONGKOS ini adalah wajib. Lah untuk apa ongkos/upah, kalau di perkawinan permanen? Logika mana yang mengatakan bahwa maskawin untuk kawin permanen itu dikatakan UPAH?

g. Dari satu sisi dikatakan “wanita-wanita yang sudah kalian mut’ahi/nikmati” dan disisi lain dikatakan bahwa “berikan UPAHnya”, maka dalam masalah ini ada dua arah kesepakatan kontraknya. Arah pertama “Pengontrak” dan yang ke dua “Yang Dikontrak.”

h. Dengan adanya dua pihak kontrak yang saling merelakan, maka sdh semestinya kedua pihak saling merelai (sebagaimana ayat mengatakan “taraadhaitum” yakni saling menyepakati/merelai) dalam kontrak itu, supaya hukum kontraknya menjadi syah.

i. Dengan adanya dua arah kontrak itu, maka ada DUA KEWAJIBAN (fariidhah) yang diakibatkannya. Yaitu, uang kontrak atau ongkos/upah, dan tubuh yang disewakan dalam waktu tertentu. Jadi, maksud “saling rela/setuju/taradhaitum” adalah dari sisi jumlah uang bagi lelakinya, dan waktu penyewaan dari sisi wanitanya.

j. Allah meneruskan firmanNya “...dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya , sesudah menentukan mahar itu..”. Ini terjemahan DEPAG. Sudah tentu terjemahan ini disesuaikan dengan madzhab mereka.

Oleh karenanya mereka menerangkan bahwa yang dimaksud “saling merelakan” yang kedua ini (yakni setelah “saling merelai” yang pertama), adalah “mengurangi atau menambah mahar, atau tidak membayar sama sekali”.

Padahal, makna ini sangat dipaksakan. Hal itu karena, kalau suami mau menambah maskawin itu adalah hak suami. Artinya tidak perlu kerelaan istri. Karena hak istri dalam hal ini hanya mau atau tidak mau, bukan RELA. Karena RELA, jelas menerima sesuatu dengan imbalan begitu juga kalau haknya terkurangi, bukan mau pada pemberian tanpa imbalan. Lagi pula, kalau satu arah, itu namanya HADIAH, bukan SALING RELA. Dan sudah tentu, penerima hadiah tidak bisa dikatakan RELA, tapi dikatakan MAU. Kalau masalahnya berubah, yakni suami mau mengurangi maharnya, maka disini tidak bisa dikatakan SALING MERELAI, tapi si suami MEMINTA (bukan rela), dan si istri RELA. Begitu pula kalau suami tidak mau bayar sama sekali, maka si suami MEMINTA, tapi si istri RELA atau me-Relai. Jadi, bukan SALING MERELAI. Begitu pula kalau si istri sendiri yang meminta suaminya mengurangi maskawinnya atau tidak membayar sama sekali. Di sini, si istri MEMBERI atau MERELAKAN atan MENGHIBAHKAN sebagian atau seluruh maskawinnya, dan si suami MAU atau TIDAK MAU diberi sebagian atau seluruh maskawinnya itu, BUKAN TIDAK RELA.

Karena TIDAK RELA bagi suami di sini SANGAT TIDAK COCOK baik dalam pemakaian katakata dalam komunikasi atau baik dalam pemakaian kata-kata dalam hukum. Jadi, si suami hanya bisa dikatakan MAU atau TIDAK MAU.

Dengan penjelasan ini, maka dapat dipahami bahwa dalam MUT’AH akan menjadi lucu kalau ada istilah cerai, karena sudah ditentukan waktunya (saling merelai). Begitu pula menjadi lucu sekalipun mau dipisah di tengah jalan. Karena talak, maknanya melepaskan tanggung jawab kepada istri yang telah diikat dengan kawin permanen. Sedang pemutusan hubungan dalam mut’ah adalah pemutusan kontrak yang, hanya diikat dengan kesepakatan tadi. Jadi, logika pelepasan tanggung jawab adalah TALAK, dan logika pelepasan kontrak adalah HIBAH atau HADIAH, yakni hibah atau hadiah suami kepada istri mut’ahnya. Yakni

MENGHIBAHKAN SISA WAKTU KONTRAKNYA.

Akhir ayat di atas adalah jelas menjelaskan kontrak ke dua setelah kontrak pertama selesai. Yakni memperpanjang kontrak dengan perjanjian baru. Maka terjemahan sebenarnya ayat di atas adalah:

((“...dan tidaklah dilarang bagi kalian dalam apa-apa yang telah kalian saling rela dengannya (membuat kontrak baru) setelah kewajibannya...”))

أُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ

أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

6. Dengan penjelasan di point 5 ini, maka menjadi jelas bahwa istri mut’ah memang sewaan. Namun demikian jauh beda dari zina. Karena wanita yang habis dimut’ah tidak bisa langsung bermut’ah lagi dengan orang lain kecuali setelah selesai iddahnya adalah dua kali haidh.

7. Adalah sangat aneh dan lucu, manakala ada dua hal yang tidak ada waris didalamnya, lalu dikatakan sama, hingga dikatakan bahwa mut’ah dan zina adalah sama kerena sama-sama tidak ada waris.Dan kalau dalam mut’ah ada waris juga, maka akan LEBIH LUCU. Karena hakikat mut’ah adalah BERHUBUNGAN DENGAN SALING MERELAI DARI SISI WAKTU DAN UANG, yakni dengan kata lain KAWIN KONTRAK, atau lebih jelasnya SEWA MENYEWA. Bagaimana mungkin antara penyewa dan yang menyewakan bisa ada hubungan waris? Lagi pula kalau hanya dengan kesamaan sesuatu membuat keduanya menjadi sama, maka Islam dan Kristen adalah agama yang sama karena sama-sama memiki hukum waris.

8. Kalau orng punya mata dan hati, dan ingin tahu madzhab syi’ah dari orangnya, bukan dari orang lain, maka dapat merujuk ke kitab-kitab syi’ah. Di semua kitab-kitab fikih syi’ah tertulis bahwa anak yang lahir ke dunia, adalah tanggung jawaban ayahnya, sejak bayi sampai dewasa dan mandiri. Bahkan susu yang diminumnya, juga tanggung jawab ayahnya. Oleh karenanya dalam syi’ah, kalau istri minta bayaran dalam menyusui anaknya, maka wajib bagi suaminya untuk memberikannya. Ini secara hukumnya, karena sangat kecil kemungkinan seorang ibu meminta bayaran dari menyusuinya itu. Dan jelas sekali bahwa nafakah anak atas ayah ini, tidak khusus kawin permanen, tapi juga meliputi kawin mut’ah. Jadi, dengan hukum ini, maka bagaimana mungkin seorang anak akan menjadi terlantar? Apakah kalau cerai di sunni itu boleh, berarti telah menelantarkan anak juga?

9. Tidak ada pernyataan lebih ngawur dan fitnah dari poin 9 yang dibawakan di atas itu. Dan kami-kami hanya bisa menyerahkannya kepada Allah yang tidak pernah tidur. Dalam semua kitab-kitab syi’ah kalau istri berhubungan dengan lelaki lain atas nama kawin permanen atau mut’ah atau apa saja, maka jelas adalah zina. Masih mending kalau zina biasa, karena hanya dicambuk 100 kali. Tapi dalam syi’ah (begitu pula sunni), istri yang berzina, maka dihukum rajam, yakni setelah disuruh mandi besar dan dikafani, tubuhnya dipendam sekitar sampai dada, lalu dilempari dengan batu sampai mati. Hal seperti ini, beberapa tahun setelah kemenangan revolusi Islam Iran, pernah terjadi sekali di kota Qom, dan pelajar-pelajar Indonesia (setidaknya satu orang yang tidak perlu saya sebut namanya di sini) ada yang ikut melemparinya. Dan tentang syarat-syarat lainnya bisa dilihat di kitab fikih. Yang jelas dalam syi’ah tidak beda antara syarat-syarat nikah permanen atau mut’ah selain masalah penentuan waktu itu saja.

10. Dalam Islam memang tidak ada batasan kawin kontrak ini. Kalau ada tolong tunjukkan kepada kami barangkali anda lebih Islam dari kami. Dan sudah kami terangkan di atas bahwa ayatnya memakai kata MEREKA pada istri-istri yang dimut’ah dan harus diberi upah. Sekalipun, sekali lagi, makna ini tidak mesti dari satu suami, tapi dari suami-suami yang membuat otomatis, membuat istri mereka juga jamak. Tapi yang jelas tidak ada pembatasan untuk kawin kontrak ini.

11. Poin 11 di atas tidak kalah kejinya dari poin 9, dan hanya kepada Allah kami menyerahkan urusan-urusan mereka itu, apakah akan diazabNya atau masih akan diberiNya kesempatan menghirup udara segar dunia ini dan kesempatan berfikir untuk mencari hidayahNya. Kekejian dan keanehan ini, karena kitab-kitab syi’ah terpampang dari ujung barat sampai ujung timur dunia. Dan dalam semua kitab-kiab fikih sudah diterangkan bahwa yang mahram tidak bisa dikawini, apakah “dalam waktu” atau “permanen”. Mahram ya..mahram.

12. Me-wathi dubur itu tidak ada beda antara permanen dan mut’ah, dan di syi’ah ada dua pandangan, ada yang membolehkan dan ada pula yang mengharamkan. Kira-kira alasan pembolehannya adalah mutlaknya ayat-ayat yang mengatakan istrimu itu halal bagi kamu, atau istrimu itu adalah bajumu, atau istrimu itu adalah ladangmu seperti QS: 2:223: “Istri-istri kalian itu adalah ladang kalian, maka datangilah ladang kalian itu sesuka-suka kalian...”. Nah, mutlaknya ayat-ayat seperti ini tidak ada pengondisiannya hingga menyebabkan penyempitan hukum, kecuali seperti dalam keadaan haidh atau puasa ramadhan. Tentu saja, baik yang menghalalkannyapun, mengatakan makruh keras, terkhusus lagi kalau istrinya tidak mau (lihat semua kitab-kitab fikih/fatwa Syi’ah).

13. Poin 13 ini juga merupakan fitnah keji dan hanya pada Allah kita serahkan mereka itu. karena dalam semua kitab-kitab fikih jelas diterangkan bahwa mengumpuli istri haid, baik mut’ah atau permanen, adalah haram dan bahkan ada dendanya. Misalnya imam Khumaini ra dalam Tahriru al-Wasilah 1/44 mengatakan:

القول فى أحكام الحيض

و هى أمور : منها عدم جواز الصلاة و الصيام و الطواف و الاعتكاف لها ، و منها حرمة ما يحرم على مطلق

المحدث عليها ، و هى مس اسم الله تعالى ، و كذا مس أسماء الانبياء و الائمة عليهم السلام على الاحوط

، و مس كتابة القرآن على التفصيل المتقدم فى الوضوء ، و منها حرمة ما يحرم على الجنب عليها ، و هى

قراءة السور العزائم أو بعضها ، و دخول المسجدين و اللبث فى غيرهما ، و وضع شى ء فى المساجد على

.... ما مر فى الجنابة ، فإن الحائض كالجنب فى جميع الاحكام ، و منها حرمة الوطء بها 

مسألة 1 : لا فرق فى حرمة الوطء بين الزوجة الدائمة و المنقطعة و الحرة و الامة

Hukum-hukum Haidh:

Yaitu ada beberapa: Diantaranya adalah tidak boleh (haram) shalat, puasa, thawaf dan i’tikaf. Diantaranya juga diharamkan baginya apa-apa yang diharamkan bagi yang punya hadats, yaitu menyentuh tulisan nama-nama Allah dan nabi-nabi as begitu pula secara hati-hatinya nama-nama imam as, menyentuh tulisan Qur'an seperti yang sudah diterangkan secara rinci dalam bab wudhu. Begitu pula diharamkan baginya (haidh) apa-apa yang diharamkan bagi orang yang sedang junub, yaitu membaca surat-surat ‘azain (yang ada wajib sujudnya), memasuki dua masjid (Mekkah dan Madinah) dan menetap di dalam selain kedua mesjid tsb, begitu pula meletakkan sesuatu di dalam masjid sebagaimana sudah diterangkan di bab junub, karena sesungguhnya orang haid itu seperti orang junub dalam segala macam hukumnya. Begitu pula diharamkan mengumpulinya (orang haidh)...

Masalah 1: Tidak ada beda antara haramnya mengumpuli istri haidh dari istri permanen atau mut’ah (temporer).

Kumpul dengan istri haidh itu bukan hanya haram tapi juga harus bayar kaffarah. Dan cara membayar dendanyapun diterangkan pula di masalah 2 oleh imam Khumaini ra. Yaitu masa haidnya dibagi 3, kalau terjadi hal haram tsb di sepertiga pertama maka dendanya satu Dinar (satu keping uang mas = 5 gram), dan kalau terjadi sepertiga tengahnya maka dendanya setengah Dinar, dan kalau di sepertiga akhir, dendanya seperempat Dinar. Saya ragu apakah pemfitnah ini memiliki hukum haidh sebaik dan selengkap dari hukum haidh yang kita miliki ini. Padahal masih banyak hukum-hukum lainnya.

14. Poin 14 dan 15 diatas, adalah fitnah yang mengada-ada. Dan kalaulah di sunni ada riwayat dari keduanya (imam Ali as dan imam Jakfar as) yang mengharamkan mut’ah, maka pasti akan bernasib sama dengan pelarangan Rasul saww, yaitu akan dihukumi sebagai HADITS PALSU.

Karena ayatnya tentang mut’ah itu, jelas sekali, dan merupakan kesepakatan semua ahli tafsir sunni bahwa ayat di atas turun untuk mut’ah (lihat semua tafsir sunni). Sedang pelarangannya adalah hadits. Nah, mana mungkin ayat dihapus dengan hadits??!!!

Terlebih lagi Nabi saww sendiri mengatakan bahwa hadits yang bertentangan dengan Qur'an maka hadits bukan dari beliau saww. Ditambah lagi, ternyata, di Bukhari, Muslim dllnya, mut’ah ini sejak turunnya, tidak pernah diahapus oleh Allah dan Nabi saww, sampai kemudian dilarang oleh Umar.

Coba lihat contoh-contoh kecil dari riwayat-riwayat tentang hal ini:

a. Shahih Bukhari, Hadits no: 4518.

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عِمْرَانَ أَبِى بَكْرٍ حَدَّثَنَا أَبُو رَجَاءٍ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ - رضى الله عنهما-

قَالَ أُنْزِلَتْ آيَةُ الْمُتْعَةِ فىِ كِتَابِ اللَّهِ فَفَعَلْنَاهَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ، وَلَمْ ينُْزَلْ قرُْآنٌ

يُحَرِّمُهُ ، وَلَمْ يَنْهَ عَنْهَا حَتَّى مَاتَ قَالَ رَجُلٌ بِرَأْيِهِ مَا شَاءَ . طرفه - 1571 تحفة 10872

Dari Musaddad dari Yahya dari ‘Imran abi Bakrin dari Abu Raja’ dari ‘Imran bin Hushain ra berkata: Setelah turun ayat mut’ah dalam kitab Allah, maka kami lakukan hal itu bersama Rasulullah saww, dan tidak turun Qur'an melarangnya, dan beliau saww juga tidak melarangnya sampai meninggal. Telah berkata satu orang (Umar) dengan pendapatnya sendiri. (Ket: Tentang riwayat ‘Imran ini, dalam shahih Bukhari, ada sekitar 7 hadits --no: 4156, 4246, 2157, 3037, 1571, 1469-- riwayat yang mirip, ada yang mutlak hanya menyebut mut’ah saja seperti riwayat ini, ada pula yang menyebut mut’ah dalam haji. Hal ini tidak mengherankan karena yang dilarang Umar dari mut’ah yang telah dihalalkan Allah dan Nabi saww adalah mut’ah dalam Haji dan dengan Perempuan. Lihat hadits-hadits berikut).

b. Shahih Muslim, no hadits: 2135.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَ ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ قَتَادَةَ يُحَدِّثُ عَنْ

أَبِي نَضْرَةَ قَالَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَأْمُرُ بِالْمُتْعَةِ وَكَانَ ابْنُ الزُّبَيْرِ يَنْهَى عَنْهَا قَالَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِجَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ فَقَالَ عَلَى

يَدَيَّ دَارَ الْحَدِيثُ تَمَتَّعْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَامَ عُمَرُ قَالَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ يُحِلُّ لِرَسُولِهِ مَا شَاءَ بِمَا

شَاءَ وَإِنَّ الْقُرْآنَ قَدْ نَزَلَ مَنَازِلَهُ فَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ كَمَا أَمَرَكُمْ اللَّهُ وَأَبِتُّوا نِكَاحَ هَذِهِ النِّسَاءِ فَلَنْ أُوتَى بِرَجُلٍ نَكَحَ

امْرَأَةً إِلَى أَجَلٍ إِلَّ رَجَمْتُهُ بِالْحِجَارَةِو حَدَّثَنِيهِ زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ بِهَذَا الِْسْنَادِ وَقَالَ

فيِ الْحَدِيثِ فَافْصِلُوا حَجَّكُمْ مِنْ عُمْرَتِكُمْ فَإِنَّهُ أَتَمُّ لِحَجِّكُمْ وَأَتَمُّ لِعُمْرَتِكُ

Dari Muhammad bin al-Mutsanna dan Ibnu Basysyar, berkata Ibnu al-Mutsanna, diriwayatkan pada kami oleh Muhammad bin Jakfar, dari Syu’bah, berkata: Aku mendengar Qutadah meriwayatkan hadits dari Abu Nadhrah yang berkata: Sesungguhnya Ibnu Abbas memerintahkan mut’ah, tapi Ibnu Zubair melarangnya (mut’ah), berkata: Lalu aku katakan masalah itu kepada Jabir bin Abdillah, maka iapun berkata: Tanganku adalah gudangnya hadits, kami dulu bermut’ah di jaman Nabi saww, tapi setelah Umar jadi khalifah, ia berkata: Sesungguhnya Allah telah menghalalkan untuk RasulNya apa yang Dia kehendaki dan Qur'an telah menurunkan hukum-hukumnya (maka lengkapilah haji dan umrah untuk Allah –al-aayat) seperti yang telah diperintahkan pada kalian, dan berhentilah bermut’ah dengan perempuan, sungguh tidak didatangakan seorang lelaki yang kawin dengan perempuan dalam jangka waktu tertentu, kecuali kurajam dengan batu. Dan telah diriwayatkan padaku tentang hal itu dari Zuhair bin Harb, dari ‘Affan, dari Hammam, dari Qutaadah dengan isnad (silsilah) ini, dan berkata (Umar) dalam hadits ini: ...Maka pisahkanlah haji kalian dari umrah kalian, karena yang demikian itu lebih sempurna bagi haji dan umrah kalian.

{{ Keterangan: Orang yang tidak tinggal di Mekkah, maka haji yang harus dilakukan memiliki dua unsur global, yaitu Umrah dan Haji. Biasanya, Umrah ini dilakukan duluan, yakni ketika tidak ada halangan. Oleh karenanya begitu sampai di tanah suci, harus melakukan Ihram di Miiqaat, setelah itu melakukan tawaf, shalat tawaf, sa’i dan melepas ihramnya. Setelah Ihram dilepas, maka dihalalkan apa-apa yang tadinya diharamkan diwaktu ihram, seperti memakai wewangian dan tidur dengan keluarganya. Dengan kehalalan inilah maka haji tersebut disebut dengan HAJI TAMATTU’ (Haji Senang-senang). Kemudian, setelah itu, pada hari-hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah) melakukan Ihram lagi dari Makkah untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan Haji, seperti wukuf di ‘Arafat, kemudian Masy’ar dan Mina...dst sampai selesai. Ini semua adalah Haji dalam Islam.

Pada jaman Jahiliyyah pekerjaan-pekerjaan Haji harus dipisah dari Umrah, dan biasanya dilakukan di bulan-bulan Shafar. Dan, di masa Jahiliyyah itu melakukan Umrah di bulan-bulan haji yakni Syawwaal, Dzulqi’dah dan Dzulhijjah adalah paling besarnya dosa (Bukhari 2/152; Muslim 2/908; Musnad Ahmad 1/252; Baihaqi 4/345; dllnya). Dengan keterangan ini dapat dipahami betapa beraninya Umar. Karena dia mengatakan:

“Sesungguhnya Allah telah menghalalkan untuk RasulNya apa yang Dia kehendaki dan Qur'an telah menurunkan hukum-hukumnya...”, lalu di hadits ke dua mengatakan: “Maka pisahkanlah haji kalian dari umrah kalian, karena yang demikian itu lebih sempurna bagi haji dan umrah kalian”. 

Itu artinya dia sama dengan mengatakan : “Aku tahu Allah telah menghalalkan untuk RasulNya dalam Qur'an untuk menyambung Umrah dengan Haji, tapi aku melarang kalian untuk itu, maka itu pisahkanlah keduanya karena itu lebih baik untuk kalian”. Anda hukumi/komentari sendiri hal ini. Begitu halnya dengan mut’ah dengan perempuan, maka seakan-akan dia mengatakan: “Aku tahu Allah telah menghalalkan kawin sementara dengan perempuan di dalam Qur'an, tapi aku melarangnya dan tidak sanggup melihat lelaki melakukannya kecuali kurajam dia dengan batu (dilempari batu sampai mati)”.

Anda hukumi/komentari sendiri hal ini!!! Anda akan lihat riwayat-riwayat berikut begitu jelasnya perkataan Umar terhadap pengharaman keduanya.

c. Dan hadits-hadits serupa di Muslim masih banyak lagi, seperti hadits no 3021, 3037, 3006: 3021

 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَ ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ

قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَقِيقٍ كَانَ عُثْمَانُ يَنْهَى عَنِ الْمُتْعَةِ وَكَانَ ع لَىِ يَأْمُرُ بِهَا فَقَالَ عُثْمَانُ لعَِلىِ ك لَمِةَ ثُمَّ قَالَ

ع لَىِ لَقَدْ ع لَمِتْ أَنَّا قَدْ تَمَتَّعْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ- صلى الله عليه وسلم -فَقَالَ أَجَلْ وَلَكِنَّا كُنَّا خَائِفِينَ.

Shahih muslim no hadits: 3021.

Dari Muhammad bin al-Mutsanna dan Ibnu Basysyar, berkata Ibnu Mutsannaa, diriwayatkan kepada kami Muhammad bin Ja’far, dari Syu’bah dari Qutadah, berkata, berkata Abdullah bin Syaqiiq: Utsman melarang Mut’ah dan Ali memerintahkannya. Utsman berkata sesuatu pada Ali. Ali berkata kepadanya (Utsman): Sesungguhnya kamu tahu dengan sendirinya bahwa kitakita dulu melakukan mut’ah dengan Nabi saww. Berkata (Utsman): Memang begitu, tapi kami dalam keadaan takut.

{{ Keterangan: Coba perhatikan apa maksud Utsman ketika mengatakan bahwa dia dulu juga bermut’ah tapi dalam keadaan takut. Apakah tidak percaya pada Rasul saww? Anda nilai sendiri hal ini. }}

d. Shahih Muslim, hadits no 1226.

وحدثنا محمد بن المثنى حدثني عبدالصمد حدثنا همام حدثنا قتادة عن مطرف عن عمران بن حصين رضي

الله عنه قال : تمتعنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ولم ينزل فيه القرآن قال رجل برأيه ما شاء

Dari Muhammad bin al-Mutsannaa, dari Abdu al-Shamad, dari Hammaam dari Qutaadah dari Mathraf dari ‘Imran bin Hushain (Hishshin) ra, berkata: Kami dulu bermut’ah di jaman Rasul saww dan tidak ada ayat yang melarangnya, sampai satu orang (Umar) berkata sesuai kemauannya sendiri (karepe dewe).

e. Shahih Muslim, hadits no 2497 dan 3482.

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ

يَقُولُ كُنَّا نَسْتَمْتِعُ بِالْقَبْضَةِ مِنْ التَّمْرِ وَالدَّقِيقِ الَْيَّامَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ حَتَّى

نَهَى عَنْهُ عُمَرُ فِي شَأْنِ عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ

Dari Muhammad bin Rafi’ dari Abdu al-Razzaq, diriwayatkan pada kami Ibnu Juraih, dikatakan kepadaku Abu al-Zubair, ia berkata: Aku mendengar Jabir bin Abdullah berkata: Kami dulu bermut’ah dengan segenggam kurma dan tepung (sebagai mahar/upah) untuk beberapa hari (waktu mut’ahnya) di jaman Rasul saww dan Abu Bakar, sampai dilarang Umar ketika ia melarang Umar ibnu Haarits.

f. Baihaqi, hadits no 14554.

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مُوسَى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَيُّوبَ أَخْبَرَنَا مُوسَى

بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِى نَضْرَةَ عَنْ جَابِرٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قلُْتُ : إِنَّ ابْنَ الزُّبَيْرِ يَنْهَى

عَنِ الْمُتْعَةِ وَإِنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ يَأْمُرُ بِهَا. قَالَ : عَلَى يَدَىَّ جَرَى الْحَدِيثُ تَمَتَّعْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه

وسلم- وَمَعَ أَبِى بَكْرٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فَلَمَّا وَلِىَ عُمَرُ خَطَبَ النَّاسَ فَقَالَ : إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه

وسلم- هَذَا الرَّسُولُ وَإِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ هَذَا الْقُرْآنُ وَإِنَّهُمَا كَانَتَا مُتْعَتَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه

وسلم- وَأَنَا أَنْهَى عَنْهُمَا وَأُعَاقِبُ عَلَيْهِمَا إِحْدَاهُمَا مُتْعَةُ النِّسَاءِ وَلاَ أَقْدِرُ عَلَى رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً إِلَى أَجَلٍ إِلاَّ

غَيَّبْتُهُ فِى الْحِجَارَةِ وَالأُخْرَى مُتْعَةُ الْحَجِّ افْصِلُوا حَجَّكُمْ مِنْ عُمْرَتِكُمْ فَإِنَّهُ أَتَمُّ لِحَجِّكُمْ وَأَتَمُّ لِعُمْرَتِكُمْ

Dikabarkan pada kami oleh Muhammad bin Abdullah al-Hafizh dari Abdullah bin Muhammad bin Musa, dari Muhammad bin Ayyub, dari Musa bin Ismail, dari Hammam dan Qutadah dari Nadhrah dari Jabir ra. Ia (Abi Nadhrah) berkata (pada Jabir): Sesungguhnya Ibnu Zubair melarang mut’ah dan Ibnu Abbas memerintahkannya. Berkata (Jabir): Peristiwa itu terjadi di hadapanku.

Sungguh kamu dulu bermut’ah di jaman Nabi saww dan Abu Bakar ra. Tapi ketika Umar jadi khalifah, dia berpidato: Sesungguhnya Rasulullah saww, Rasul ini, dan sesungguhnya Qur'an, Qur'an ini, sesungguhnya di dalam keduanya telah dihalalkan dua mut’ah di jaman Rasul saww, tapi sekarang aku melarang keduanya dan menghukum atas keduanya. Salah satunya adalah MUT’AH DENGAN PEREMPUAN, sungguh aku tidak akan tahan melihat lelaki mengawini perempuan dalam waktu tertentu kecuali kupendam dengan batu (dilempari sampai mati/rajam), dan yang satunya lagi adalah MUT’AH DALAM HAJI, maka dari itu pisahkanlah haji kalian dari umrah kalian, karena yang demikian itu lebih sempurna bagi haji dan umrah kalian. 

{{Komentari sendiri!! Hadits ini serupa dengan yang di Muslim di atas }}

g. Musnad Ahmad bin Hambal, jilid 3, hal 95.

روى الإمام أحمد بن حنبل ، بسنده عن عبد الرحمان بن نعم أو نعيم ، قال: سأل رجل ابن عمر عن المُتعة

وأنا عنده مُتعة النساء فقال والله ما كنَّا على عهد رسول الله صلّى الله عليه وآله وسلّم زانين ولا

مُسافحين. ورواه في ص 103 أيضاً بطريق آخر ، وقال فيه: فغضب يعني ابن عمر وقال : ما كنَّا على

: 3/ عهد رسول الله صلّى الله عليه وآله[ وسلّم زنَّائين ولامُسافحين سند 95

Dari Abdurrahman bin Na’am atau Na’im, berkata: Seseorang bertanya kepada Ibnu Umar tentang Mut ‘ah (dengan perempuan) dan aku di dekatnya. Maka dia (Ibnu Umar) berkata: Demi Allah sesungguhnya kami di jaman Nabi saww tidak berzina dan kumpul kebo.

{{Keterangan: Dari tanya jawab ini dapat diketahui bahwa sebagian orang di jaman itu telah menilai bahwa kawin Mut’ah itu adalah zina. Persis dengan apa yang sudah ditulis oleh penulis di atas, dan orang-orang yang berpihak padanya. Kami hanya bisa menyerahkan urusanurusan mereka itu kepada Allah swt, apakah Dia akan mengazab mereka atau memberikan mereka kesempatan bertaubat.}}

h. Musnad Ahmad bin Hambal, jilid 3, hal 304.

روى الإمام أحمد بن حنبل بسنده ، عن جابر بن عبد الله ، قال : كنَّا نتمتَّع على عهد رسول الله صلّى الله

3/ عليه وآله وسلّم( وأبي بكر وعمر ، حتَّى نهانا عمر أخيراً ، يعني : مُتعة النساء - المسن 304

Dari Jabir bin Abdullah, berkata: Kami dl bermut’ah di jaman Nabi saww dan Abu Bakar, sampai dilarang oleh Umar, yakni Mut’ah dengan perempuan.

i. Abu Daud, jilid 7, hal 217.

روى أبو داود الطيالسي بسنده ، عن مسلم القرشي ، قال : دخلنا على أسماء بنت أبي بكر ، فسألناها عن

مُتعة النساء ، فقالت : فعلناها على عهد النبي صلّى الله عليه وآله وسلّم - مُسند أبي داود الطيالسي:

7/217

Dari Muslim al-Qurasyi, berkata: Aku mendatangi Asma’ bintu Abu Bakar, dan aku bertanya tenatang Mut’ah dengan perempuan (kawin sementara). Iapun (Asma’ bintu Abu Bakar) berkata: Kami dulu melakukannya di jaman Nabi saww. {{ Keterangan: ??? !!! }}

j. Syarah Ma’ani al-Atsar, jilid 3, hal 24.

روى الطحاوي بسنده ، عن سعيد بن جبير ، قال : سمعت عبد الله بن الزبير يخطُب ، وهو يُعرِّض بابن

عباس يُعيب عليه قوله في المُتعة. فقال ابن عباس : يسأل أُمَّه إنْ كان صادقاً ؛ فسألها. فقالت : صدق ابن

عباس ، قد كان ذلك.

، : 3/ فقال ابن عباس : لو شئت لسمَّيت رجالاً مِن قريش ولدوا فيها يعني في المُتعة شرح معاني الآثار 24

تحقيق الشيخ محمد زهري النّجار

Dari Said bin Jubair, berkata: Aku mendengar Abdullah bin Zubair berpidato dan ia (dalam pidatonya itu) menjelek-jelekkan Ibnu Abbas yang telah menghalalkan mut’ah. Maka Ibnu Abbas berkata: Kalau dia benar dengan perkataannya, maka hendaknya dia bertanya pada ibunya (tentang mut’ah ini). Maka iapun bertanya pada ibunya. Ibunya berkata: Ibnu Abbas itu benar. Mut’ah itu memang demikian (halal). Berkata Ibnu Abbas: Kalau aku mau, maka sudah kusebutkan siapa-siapa dari Qurasy yang lahir dari perkawinan mut’ah ini.

k. Syarah Ma’ani al-Atsar, jilid 3, hal 26.

روى الطحاوي بسنده ، عن عطاء ، عن ابن عباس ، قال : ما كانت المُتعة إلاّ رحمةً رَحِم الله بها هذه الأُمَّة

3/ ، ولولا نهي عمر بن الخطاب عنها ؛ ما زنى إلاَّ شَقيٌّ. شرح معاني الآثار 26

Dari Tahawi dari ‘Atha’ dan Ibnu Abbas, berkata: Sesungguhnya mut’ah itu tidak lain kecuali merupakan rahmat dari Allah untuk umat ini (Islam). Dan sesungguhnya, kalaulah Umar bin Khaththab tidak melarangnya, maka tidak akan ada orang berzina kecuali yang keterlaluan.

l. Tafsir Kabir Karya Fakhru al-Razi.

الفخر الرازي ، في تفسيره الكبير ، في سورة النساء ، في ذيل تفسير قوله تعالى : ... فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ

مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ... ، قال : وروى محمد بن جرير الطبري ، في تفسيره ، عن علي بن أبي طالب ،

أنَّه قال :لولا أنَّ عمر نهى الناس عن المُتعة ؛ ما زنى إلاَّ شَقيٌّ

Dalam tafsirnya terhadap ayat mut’ah, mengatakan: Diriwayatkan dari Muhammad ibnu Jarir Thabari di dalam tafsirnya, dari Ali bin Abi Thalib bahwa dia berkata: Kalau Umar tidak melarang mut’ah, maka tidak akan ada yang berzina kecuali yang keterlaluan. 

m. Musnad imam Syafi’i, hal 132, dan Sunan Kubra Baihaqi, jilid 7, hal 206.

روى الإمام الشافعي بسنده ، عن عروة : أنَّ خولة بنت حكيم ، دخلتْ على عمر بن الخطاب فقالت : إنَّ

ربيعة بن أُميَّة استمتع بامرأة ؛ فحملت منه ، فخرج عمر يَجرُّ رِداءه فَزْعَاً ، فقال: هذه المُتعة ، ولو كنت

7/ تقدَّمت فيه لرجمت - مُسند الإمام الشافعي : ص 132 ط آگره الهند ، السُّنَن الكبرى للبيهقي 206

Dari ‘Urwah: Sesungguhnya Khaulah bintu Hakim mendatangi Umar bin Khaththab dan berkata: Sesungguhnya Rabi’ah bin Umayyah bermut’ah dengan perempuan dan hamil karenanya. Lalu Umar keluar buru-buru dengan menjinjing karena ketakutan sambil berkata: Mut’ah ini..., kalau dia kutemui maka akan kurajam dia.

Simpulan: Dengan semua penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa fitnahan di atas ditulis oleh orang yang tidak mengerti hadits-hadits mereka sendiri, atau kalaulah mengerti, berarti mereka telah mengikuti langkah Umar yang terang-terangan menentang Allah dan RasulNya saww sebagaimana tertera dalam hadits-hadits di atas. Dan mereka-mereka ini sudah tentu merasa berbuat kesucian seperti Umar. Kami tidak bisa berbuat apapun kecuali memberikan penerangan semampunya. Tentang mereka-mereka ini kita serahkan pada Allah yang tahu rahasia agamaNya.

Begitu pula dapat diketahui bahwa kesamaan yang difitnahkan antara mut’ah dan zina itu, adalah kesamaan yang diada-adakan. Oleh karena itulah Ibnu Abbas ra dan imam Ali as mengatakan bahwa andaikata Umar tidak melarang mut’ah, maka tidak akan ada orang yang berzina kecuali yang keterlaluan. Mengapa begitu? Karena jelas mut’ah bukan zina sebagaimana jelas dikatakan dalam ayat di atas, dan hukum yang diberikan Nabi saww. Ke dua, ketika mut’ah sudah dibolehkan sebagai kemudahan dan rahmat, maka mengapa masih mau mencari zina yang tanpa iddah, tanpa aturan dan syarat-syarat lainnya. Ke tiga, zina dikatakan zina karena hanya saling rela, tapi tanpa akad nikah. Begitu pula tanpa iddah setelahnya. Dan, tentu saja tanpa tanggung jawab terhadap anaknya karena tdk(tidak) akan ketahuan siapa ayahnya yang disebabkan tidak adanya iddah tsb.

Tapi mut’ah, sudah jelas ada akad nikahnya, syarat-syaratnya (seperti ijin wali, bukan muhrim, dan jangankan punya suami dalam iddah saja tidak boleh dan jadi zina, ...dst), iddahnya, tanggung jawab terhadap anak yang lahir karenanya....dst.

Nah, sekarang hukumilah sendiri, karena dunia-akhirat masing-masing orang milik dirinya sendiri. Semoga Tuhan melindungi Islam ini dari perusaknya. Sambung doanya.

Indra Gunawan: Ahsantum ustadz .. Bahasa tulisan antum ’tajam’ sekali ..

Aroel D’ Aroel: ,, Mantap Ustad...Ana ijin copy ya ustad.. Afwan ...

Etika Maria: Syukran ustadz!!

Agoest D. Irawan: Semoga Allah senantiasa memberkahi Ustadz sekeluarga dan kami turut teraliri olehnya. Syukran.

Ibrohim Abd Shidiq: Subhanalloh,,,Syukron katsir ustadz,,,begitu mudah dipahami,,, Ijin kopy ustadz,,,

Salman Saydi: Terimakasih ustadz...

Zainab Naynawaa: Syukron ustadz..atas pengetahuannya...ana save.

Prita Raihanita: Iya.... tetapi, walaupun Nikah Mut’ah tidak sama dengan Zina, tetap saja kalau jurus Mut’ah dipakai buat main-main sama pelacur, atau buat melepas syahwat di lokalisasi, yaa... mirip-mirip deh...

Setau saya, pernikahan yang dihalalkan itu adalah nikah yang tidak menimbulkan fitnah, tidak menyakiti hati istri ataupun perempuan lain, tidak bikin malu keluarga apalagi ahlulbait Nabi saw, alias tidak menzhalimi pihak-pihak lain ataupun menzhalimi diri sendiri. Entah deh, kalau di fiqh mut’ah boleh begitu....

Husein Jon: Syukron sudah ditag..ana suka ini.

Sinar Agama: Terimakasih untuk komentar-komentar teman-teman baik yang dukung atau yang tidak, semoga Tuhan memberikan pahala kepada hambaNya yang menerima hidayah dan membelanya, amin.

Sinar Agama: Prita:

1. Bicara ketertindasan harus pakai ukuran agama, yakni harus pakai dalil, tidak boleh pakai selera.

2. Sakit hati bukan ukuran ketertindasan, kecuali sakit hati yang memang dibenarkan agama.

3. Kita tidak bisa beragama, dengan mengimani sebagian dan mengingkari sebagian, seperti yang dikecam dalam ayat, nanti tidak beda dari yang mengharamkan apa-apa yang dihalalkan Allah.

4. Kalau yang dimaksud status yang memalukan adalah punyaku ini, baiklah nanti tidak akan kukirim lagi kamu, tapi ingat bahwa aku menjawab orang yang sedang membuat fitnah, apakah kamu tdk membaca bahwa tulisan ini adalah sebuah jawaban?

5. Malu atau tidak, bukan ukuran Islamnya Islam, karena Islam tidak diukur dengan perasaan kita, tapi bahkan sebaliknya.

6. Otak dan pikiran kita banyak yang tidak mentok dengan agama, artinya tidak menjangkaunya, tapi hal ini bukan alasan untuk menolak dan atau merasa malu terhadapnya.

7. Islam itu memiliki gradasi dalam membimbing masyarakat. Kalau mau yang irfan, ada dalam Qur'an, mau menambahi akhlak ke atas fikih, juga ada dalam Qur'an, mau sekedar fikih halalharam saja, juga ada dalam Qur'an. Nah, anda yang suci silahkan pilih yang paling tinggi, tapi tidak berhak mengharamkan yang telah dihalalkan Allah, kecuali kamu memang punya dalil Allah dan NabiNya. Tapi kalau sudah tidak terbantahkan, maka kamu dan siapa saja tidak lagi berhak melecehkannya, karena bisa terancam neraka. Emangnya kita lebih tahu dariNya?

Kalau aku tidak lebih tahu dariNya, tidak lebih peka dariNya, tidak lebih berpengalaman dariNya, tidak lebih menjaga perasaan dariNya, tidak lebih kasihan dariNya, tidak lebih hati-hati dariNya, tidak lebih akhlaki dariNya, tidak lebih halus dariNya......dst, maka itu kalau Dia tidak malu menerangkan hukumNya, mengapa aku malu. Tugas kita yang penting itu adalah memahami syariatNya. Kalau belum sepaham adu dalil dengan cermat dan lapang dada.

Nah, kalau semua itu sudah ditempuh, dan kita sudah dapatkan apa-apa yang halal, misalnya, dan dalilnya terang, jelas dan tidak bisa dibantah, maka sudah menjadi tanggung jawab kita membelanya, mengurainya dan memberikan penjelasan filosofis setelahnya. Artinya sudah menjadi tugas kita maju ke medan laga membanggakan Islam kita ini, dan memberikan pendekatan filosofis, sosiologis, psikologis ...dst, bukan ngumpet, dan atau mengingkarinya atau malu terhadap ajarannya. Dan ingat, yang kita lakukan di sini adalah menjawab fitnahan orang. Bagi saya kalau diam, malah bisa berarti sepakat, dan atau menerima tuduhannya, dan bahkan bisa melemahkan iman kita kalau kita malah merasa malu dengan hukum Islam kita ini. Bagi saya kalau tidak mengerti filsafatnya, atau kata ilmiahnya ILALU AL-SYARAYI’-nya, alias sebab dihalalkannya, maka kan lebih baik mencarinya dengan dalil dan doa serta diskusi.

Yah...jalan kita bisa beda,, tapi aku tetap mendoakanmu, maafkan aku telah mengirim tulisanku padamu, kukira kamu memerlukannya. Kalau begitu saya tidak akan berani lancang lagi, dan kalau nanti ternyata kamu inginkan beberapa tulisanku, kamu bisa minta ditag atau silahkan kunjungi statusku, in syaaAllah masih banyak yang bisa kita pelajari bersama.

Ahsanti. Wassalam,

Sinar Agama: Untuk mas Abdullah Islamail: Terimakasih atas komentarnya.

1. Saya menulis ini memang panjang untuk ukuran fb, hal itu karena sudah kesal sedikit. Sebab saya sudah seringkali menjawab mereka di komentar, tapi masih bertalu-talu terus genderang fitnah yang mereka sebarkan. Jadi, saya buat yang agak panjang sedikit.

2. Saya banyak tidak nyambung dengan poin-poin antum itu.

3. Saya biasanya tidak terlalu memusingkan orang mau hidup seperti apa, karena tanggung jawabnya sendiri-sendiri, walau kalau saya bisa memberikan nasihat maka pasti saya lakukan.

Tapi biasanya tdk terlalu saya bawa ke hati. Oleh karena itu saya jaga sebisanya kata-kata supaya tidak memakai yang jelek. Karena saya sibuk dan banyak yang masih dikerja, juga kurang banyak tahu tentang status orang lain dan saya sendiri bersembunyi, karena banyak hal. Jadi, maaf kalau saya tidak bisa menjawab pertanyaan antum yang memang tidak membawa masalahnya. Kalau antum bawakan masalahnya, maka untuk sekedar bahasan ilmu saya akan mencoba menjawabnya. Tapi bukan mau menyelesaikan pertikaian, karena hal itu harus mendengar kedua belah pihak, dan saya rasa hal itu jauh dari jangkauan fb. Jadi, yang ilmu-ilmu saja yang akan saya komentari.

Prita Raihanita: Tidak semua yang ada dalam quran ataupun dalam hadits harus anda amalkan tanpa melihat situasi dan kondisi.

Ajaran Poligami saja yg jelas-jelas ulama menyepakati kehalalannya dalam islam harus anda amalkan dengan bijaksana.,..apalagi urusan mut’ah-mut’ahan yang sebagian besar mazhab islam ini mengharamkannya. Apalagi.... mut’ah-mut’ahan sama pelacur yang menurut ulama-ulama anda hukumnya makruh syadid. Saya mau tanya, seandainya mut’ah dengan PSK itu hukumnya memang makruh, apakah melangkahkan kaki ke lokalisasi-lokalisasi maksiat serta segala perbuatan pra mut’ah dengan PSK itu termasuk dihalalkan? 

Setau saya, orang kalau mau mut’ah sama pelacur itu kan gak langsung mut’ah aja. Pasti ada ngobrol-ngobrol, ngerayu-ngerayu, pegang-pegang... gitu lah. Apa itu juga dihalalkan?

Sinar Agama: Qur'an itu hanya bisa dikondisikan/diqariinahi dengan Qur'an atau hadits atau makshum, bukan sampean atau siapa saja mbak. Kok bisanya agama pakai selera dan kondisi sendiri, mending kalau mujtahid yang tahu keterkondisian sesuatu dari Qur'an dan hadits. Lah, ini sudah bukan mujtahid, mengkondisikan Qur'an dan hadits serta fatwa para marjak lagi. Ya... saya berlepas diri dari ini dan anda hukumi sendiri tulisan-tulisanmu ini. Lagi pula saya juga heran beberapa tulisanmu di sini ini sama sekali tidak mengenaiku. 

Semoga kamu baca dengan cermat sekali lagi atau dua kali lagi lalu bandingkan dengan tulisanmu, kuharap nanti ketahuan dimana nyasarnya. Btw ana ucapkan terimakasih atas komentarmu. Salah satu nyasarnya adalah yang kamu urai tentang praktek ini dan itu tsb. 

Saya no komentar, anjuranku jangan berkata sesuatu yang tidak pasti, baik dengan dalil atau dengan indra yang menyeluruh. Kamu bilang statusku memalukan. Kukira komentarmu jauh lebih memalukan, kalau mau diukur dengan malu-maluan. Coba deh baca sekali lagi. Tapi jangan berikan kita wahyu-baru dengan mengatakan yang ada di Qur'an tidak untuk diamalkan, atau jangan kamu amalkan, atau janganlah kita dikasih hadits baru dengan mengatakan yang ada di Qur'an harus dikondisikan, karena kami tidak akan mau dengan wahyu-wahyu baru atau hadits-hadits baru, takut jadi kayak Umar yang mengharamkan mut’ah karena kondisi.

Prita Raihanita: Siapa sih yang bilang status kamu ini memalukan?

Perlu kamu ketahui, saya menghormati ijtihad para mujtahid dalam hal ini walaupun itu tidak sesuai dengan fiqh yang saya anut. Namun, saya hanya menghimbau agar anda sekalian bijaksana dalam pelaksanaan suatu hukum. Jangan sampai pelaksanaan suatu hukum islam itu malah memberikan fitnah kepada islam itu sendiri.

Para mujtahid juga berijtihad tetap dengan memperhatikan situasi dan kondisi. Anda harus faham dulu tentang bisanya perubahan suatu hukum awwali kepada hukum tsanawi yang menjadikan situasi dan kondisi sebagai elemen pertimbangannya.

Nikah mut’ah memang pada hukum awwalinya adalah halal menurut ijtihad sebahagian ulama (terutama ulama anda), namun tak menutup kemungkinan Nikah temporer seperti itu berubah hukumnya menjadi Makruh ataupun Haram..... atau malah menjadi wajib. Namun perkara seperti itu harus diserahkan kepada mujtahid untuk memikirkannya.

Sinar Agama: Prita: Saya salah baca tentang tulisanmu, kukira itu tulisanmu, habis tampilan di hp (karena sedang tidak pakai komputer) bagiku terlihat seperti kamu yang nulis padahal Ismail kalau nggak salah yang menulis namamu di depannya, dia sudah bener sih, tapi aku yang salah, afwan, ini yang kubaca itu:

“Prita Raihanita... bicara ttg ”korban mut’ah” lbh banyak opini drpd fakta. Ttg bikin malu, status2 Anda malah memalukan lho”

Tentang hukum awwali dan tsanawi itu kamu benar-benar salah. Benarnya karena memang ada hukum tsanawi dalam Islam dan difatwakan oleh para maraji’. Salahnya karena kamu mengatasnamakan hukum tsanawi para maraji’ pada seleramu sendiri. Mana bisa dan mana boleh, hanya berdasar pada ketidak sukaan diri lalu nakut-nakutin orang dengan kemungkinan hukum tsanawi? Hukum tsanawi (ke dua) memang ada, tapi para maraji’ yang akan mengatakannya, dan kita-kita tidak berhak membuatnya, dan tidak berhak pula menakwilkan atau bahkan memungkinkan ketidaksukaan kita pada hukum tsanawi itu. Yang aku salah hanya diperkataan yang mengatakan bahwa kamu mengatakan statusku memalukan, selainnya aku masih merasa benar sesuai argumen yang kuajukan, afwan, bisa diteruskan kalau kamu mau.

Prita Raihanita: Oke,deh...selamat mengajarkan bermut’ah ria dengan pelacur. Kalau rumah tangga dan harga diri anda hancur karenanya, silahkan tanggung sendiri.’
Tentang korban mut‘ah lebih banyak opini daripada fakta? Ah, yang beneeer? Saya membahas mut’ah dengan PSK, lho... bukan mut’ah yang lain.

Sinar Agama: Duh mbak prita ini kok makin keras, pertama yang bawa masalah itu, kamu sendiri, hingga kalau kamu katakan aku ngajarin yang seperti itu maka itu tuduhan nyasar.

Aku hanya mengomentarimu yang memasukkan rasa suka dan tidak suka dalam agama dan bersembunyi di ketiak hukum tsanawi. Jadi, bukan ngajarin, apalagi ngamalin. Tapi siapa yang mau melakukan yang dihalalkan Tuhan, tidak bisa diganggu gugat, dan tidak boleh orang nakut-nakutin dengan hukum tsanawi yang dikarangnya sendiri atau setidaknya memungkin-mungkinkan sendiri. Kalau ada yang melakukan, dan anda benar dalam memungkinkan kemudharatannya itu, paling-paling mereka menderita di dunia, tapi kalau memaksakan seleranya dalam agama dan membuat agama bayangan dalam agama suci ini, seperti mbak ini, maka deritanya nanti di akhirat di samping bala dunianya. Oleh karenya ana tidak mau mengatakan kepadamu: “Silahkan saja terus memasukkan seleramu dalam memahami agama tanpa argumen yang syah, nanti kan kamu sendiri yang akan menderita”.

Saya tidak akan bilang begitu, karena semua ikhwan dan akhwat, saya anggap badan atau diri saya sendiri. Maksudnya, anggap saya benar dalam masalah ini, akan tetapi saya tidak ingin ada orang lain menjadi salah dan terus dalam kesalahannya. Yakni aku akan tetap berusaha memberikan penjelasannya. Afwan berat nih. Coba lihat lagi tulisan-tulisanku itu, baik di status atau di komentar atau dimana saja, insyaaAllah tidak akan ditemui tulisan-tulisan seperti PSK atau apa itu, karena aku merasa risih dengan omongan dan tulisan seperti itu. Tapi kalau ada orang yang membahasnya secara salah, biasanya aku komentar, tanpa meniru menulisnya atau penulisannya, yang contohnya seperti PSK itu, dimana saya sudah terpaksa menulisnya pula.

Afwan pada yang lain.

Tentang korban mut’ah itu, sudah pasti karangan belaka. Karena di dalam kata-kata itu terdapat misi menyalahkan lelaki. Saya tidak akan bela lekaki, tapi mau membela hukum dan filsafat mut’ahnya. Yakni ketika mut’ah itu sudah dijalankan dengan syarat-syarat seperti ijin wali bagi wanitanya,...dll-nya, maka berarti sudah ada kerelaan di antara kedua mempelai. Terlebih lagi yang memulai aqad itu si perempuannya, dan yang lelaki hanya menagatakan qobiltu. Nah, dalam keadaan seperti ini, kalau sudah selesai waktunya, ya...selesai pula masa kehalalannya. Terus mananya dan siapanya yang menjadi korban?

Prita Raihanita: Korban Mut’ah sudah pasti karangan belaka? Sayang sekali anda tidak tau faktanya, ya. Berapa banyak rumah tangga teman-teman saya yang melakukan mut’ah dengan pelacur mengalami goncangan, bahkan sampai kepada perceraian. Anak-anak mereka pun menjadi korban bagi perseteruan mereka dan anak-anaknya mendapat malu karena ayahnya ketahuan main-main sama pelacur. Apa ini cuma karangan saya belaka?

Dan beberapa teman yang melakukan mut’ah dengan pelacur ini pernah meminta obat antibiotik kepada saya karena Kencing Nanah. Entah apa yang telah mereka tularkan kepada istri mereka.

Apakah anda juga mengatakan ini cuma karangan saya belaka untuk memfitnah hukum nikah mut’ah? Sekali lagi... saya tidak menyoroti mut’ah yang dilakukan dengan bijaksana dan dengan wanita baik-baik. Saya membahas mut’ah dengan pelacur atau PSK.

Komar Komarudin: Mbak Prita ....Menyoal kasus Mut’ah kasus perkasus memang benar adanya tapi bukankah itu prilaku (oknum).. akan tetapi akan kurang bijaksana apabila digeneralisir bahwa prodak hukum ini, secara tidak lansung menjadi latar belakang sebab terjadinya fonemena yang anti gambarkan, sementara kita tau bahwa ini adalah wilayahnya para Mujtahid, tinggal masalahnya adalah sebagai orang yang menjalankan hukum itu...tidak hanya mengerti halalnya saja, namun dari asfek kondisi lingkungan, ahlahk harus juga dikuasai, karena banyak juga nasehat dari para Imam tentang pentingnya menjga akhlak dalam prilaku Mut’ah, diantaranya satu riwayat dari Imam Shodiq (as) beliau bersabda:

لا تبغضونا عند نساءكم بالمتعة

"Jangan kalian membuat Kami AhluBait dibenci oleh Wanita-wanita kalian dengan melakukan nikah Mut'ah".

Dari riwayat ini dapat disimpulkan bahwa kita harus menjaga Nama Besar Ahlul Bait dengan menunjukkan Akhlaq luhur, dan membangun budi pekerti yang baik dimulai dari kehidupan keluarga kita, membangun kasih sayang, menjaga sikap jangan sampai membuat keluarga sakit hati dan tersinggung karena perbuatan bodoh kita, karena hal itu akan membuat wajah Ahlul-Bait tercoreng. Wal Akhsil ....tidak perlu di perpanjang debatnya.. (Sinar M)..sebagai Ilmuan AGAMA dan memang mengetahui betul hukum, Kita juga menaruh penghormatan yang luar biasa karna begitu cakap dan konprehensif panjang lebar argument dalil baik nas dan akal (sekalipun mengutip tulisan temannya ), sehingga kita dapat menyerap dan menambah perbendaharaan keilmuan kita, yang mungkin ada kurangnya sebagai orang ( syiah) awam ....al Afwu....sukron.

Prita Raihanita: Imam Shodiq (as) beliau bersabda:

”Jangan kalian membuat Kami AhluBait dibenci oleh Wanita-wanita kalian dengan melakukan nikah Mut’ah”.

Dari riwayat ini dapat disimpulkan bahwa kita harus menjaga Nama Besar Ahlul Bait dengan menunjukkan Akhlaq luhur, dan membangun budi pekerti yang baik dimulai dari kehidupan keluarga kita, membangun kasih sayang, menjaga sikap jangan sampai membuat keluarga sakit hati dan tersinggung karena perbuatan bodoh kita, karena hal itu akan membuat wajah Ahlul-Bait tercoreng.

<<<<< Ini dia yang saya maksud dari apa yang telah saya utarakan di atas. Semoga anda faham maksud saya. Mudah-mudahan para pengikut ahlibait lebih mengedepankan akhlak dalam melaksanakan suatu produk hukum seperti Mut’ah ini dan yang sejenisnya.

Sinar Agama: Terimakasih atas tanggapan semuanya. Seandainya mas K-K menyebutkan alamat hadits di atas, maka mudah bagiku untuk mengomentarinya secara lebih ilmiah, semampunya.

Sinar Agama: Saya sudah berusaha mencarinya, tapi tidak didapat, bahkan dengan program komputer sekalipun. Anggap hadits itu ada dan shahih, maka dalam memahami hadits itu tidak bisa dengan satu hadits saja, tapi harus dikomperasikan dengan Qur'an dan hadits-hadits lain yang shahih.

Kalau bertentangan dengan ayat dan hadits lain, maka dilihat bisakah ia dipadukan atau tidak bisa. Hadits tersebut sudah tentu bertentangan dengan ayat dan hadits yang lain yang membolehkan kawin (permanen atau mut’ah) dengan orang-orang yang boleh dikawini. 

Apalagi dalam hadits itu tidak ada pernyataan dengan wanita yang tidak baik. Jadi, kalau anda mau mengikuti pahaman anda dan cara hidup anda wahai mbak Prita, maka dengan perempuan baik-baikpun menjadi tidak boleh atau, setidaknya tidak akhlaki. Padahal kawin adalah sunnah hukumnya, baik permanen atau mut’ah (hadits di atas, nanti di catatan lainnya, di masa datang, akan dibahas dengan lebih seksama dimana hasilnya bahwa hadits tersebut secara jelas memaksudkan mut’ah jor-joran, bukan dikala diperlukannya saja, sementara mut’ah ini, walau pada dasarnya halal,akan tetapi ia ditujukan secara utamanya, kepada yang memerlukannya alias dalam keadaan darurat, bukan dalam keadaan pemuasan nafsu-halal belaka).

Sedang masalah dengan mut’ah dengan wanita yang tidak baik, maka hadits itu (kalau dipahami seperti itu) akan tetap bertentangan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits lain yang membolehkannya.

Sekarang apa bisa dipadukan? Jawabannya bisa, itulah yang diambil dan disimpulkan oleh para marja’. Yakni makruh.

Jadi, larangan dalam hadits ini (kalau ada dan shahih, di kemudian hari hadits semacam ini, akan dibahas lebih rinci, in syaa-a Allah), yakni yang melarang kita supaya istri kita tidak membenci Ahlulbait as karena mut’ah, bukan berarti menjadikan mut’ah tsb menjadi haram yang dikarenakan istrinya sakit hati (dan halal kalau tidak sakit hati). Tapi menyuruh kita bijaksana dalam melakukan kesunnahan itu, supaya istri kita yang kalau belum ikhlash menerima Islam, bisa lebih terjaga dari neraka dan tidak lebih menjauh dari para Ahlulbait as. Ini untuk mut’ah dengan yang baik-baik (misalnya juga tidak jor-joran dan hanya melakukannya dikala dalam keadaan darurat).

Sedang yang dengan wanita tidak baik, maka kesunnahannya itu menjadi menipis karena bercampur dengan kemakruhan. Memang ada ulama yang mengatakan bahwa kalau wajib/ sunnah bercampur dengan makruh maka pahala wajib/sunnahnya jadi hilang dan gantinya adalah makruh. Dengan demkian dengan kedua pandangan inipun kesimpulannya adalah, disamping menolong istri kita seperti yang sudah diterangkan di atas, mut’ah tsb bisa memiliki efekefek samping dunia, seperti makruh-makruh lainnya, misalnya penyakit ..dsb. Tapi ingat, semua itu, tidak terus membuat perbuatan tersebut menjadi haram, dan harus diperangi serta dibodohbodohkan dengan kebencian atau dipaparkannya di fb.

Sampai sekarangpun saya tidak pernah membahas hal ini kecuali sekarang dimana karena anda yang membawanya, karena anda wahai mbak Prita. Anda yang membuka masalah pribadi seseorang di atas, bagi saya, jauh lebih buruk dari pelakunya, karena pekerjaan anda ini akan membuat orang yang pendek pikiran, tipis iman, yang ragu pada kebenaran Islam secara menyeluruh, yang merasa lebih tahu dari Tuhan, akan menjadi semakin tidak menyukai Islam itu sendiri.

Bagi Islam atau bagi ulama, menjaga keharaman itu lebih penting dari segala macam efek-efek dunia. Karena memerangi yang benar, sekalipun kebenaran di tingkat yang paling rendah, yaitu makruh, akan membuat kita menghadapi Si Empunya Agama itu sendiri nanti di akhirat. Ini yang pertama. Ke dua, jatuhnya seseorang ke dalam efek dunia, seperti penyakit, jauh lebih baik dari pada jatuh ke dalam jurang jahannam dunia-akhrat.

Manusia itu memiliki kemampuannya sendiri-sendiri dan berbeda-beda. Ada yang bisa menjaga shalat wajibnya dengan kesunahan-kesunahannya, ada yang tidak, ada yang bisa melakukan shalat malam ada yang tidak, ada yang bisa menghindari makruh dan ada pula yang tidak. Islam tidak memukul rata semua orang hingga diberikannya satu peraturan yang sama. 

Tapi Islam, satu kalipun juga, tidak pernah mengijinkan pemeluknya sok suci dari kemakruhan itu dan menghinakan hukum serta pelakunya. Karena sok suci akan melahirkan kekafiran dalam dada. Karena akan persis sama seperti syetan yang tidak mau sujud kepada nabi Adam as, karena dia merasa dengan pikirannya bahwa Allah telah salah dengan perintahNya itu, yakni salah dengan hukumNya itu. Kalau mbak Prita memberi saya satu milyard untuk mut’ah dengan wanita yang dimaksud itu, maka saya tidak akan mau. Tapi saya, dan siapapun juga, tidak berhak untuk melecehkan hukum Islam ini yang, sudah tentu merupakan rahmat sesuai dengan tingkatannya sendiri-sendiri.

Prita Raihanita: Anda (Prita) yang membuka masalah pribadi seseorang di atas, bagi saya, jauh lebih buruk dari pelakunya, karena pekerjaan anda ini akan membuat orang yang pendek pikiran, tipis iman, yang ragu pada kebenaran Islam seara menyeluruh, yang merasa lebih tahu dari Tuhan, akan menjadi semakin tidak menyukai Islam itu sendiri.

1. Itu bukan masalah pribadi seseorang, tetapi masalah suatu jama’ah.

2. Kok saya yang dipersalahkan mengkritik Mut’ah dengan PSK? Bukankah yang melakukan Mut’ah dengan PSK itu mempermalukan jama’ah ahlbait, bahkan para Imam sekaligus, jika perilaku mut’ahnya disoroti dan terbongkar di depan umum terutama di depan anak istrinya serta ayah dan ibunya? Jadi... siapa yang seharusnya dikenakan tuduhan buruk dalam hal ini?

Danesh: Ijin share ustad...

Sinar Agama: Prita: Semoga kita selalu dalam lindunganNya. Ya ukhti, sebelum kujawab, aku ingin tegaskan bahwa aku tidak membenci siapapun, aku bahkan selalu berdoa untuk semuanya tiap hari, dan kalau ziarah ke makshumin selalu mendoakan semuanya. Jadi, bahasan kita ini murni ilmu atau setidaknya akhlak.

Ya ukhti, kemakruhan itu tidak jelek, sekalipun tidak terlalu bagus. Tapi yang punya syariat tidak melarangnya. Ini satu. Jadi, yang tamatu’ dengan yang makruh itu, tidak mempermalukan agama dan Tuhan, kecuali sepintas terhadap orang yang saya katakan tipis iman dan dangkal pengetahuan yang merasa lebih tahu dari Tuhan.

Kemudian dalam Islam, jangankan makruh, biar haram sekalipun, tidak boleh dikatakan kepada orang lain, apa lagi memiliki dampak sosial yang sampai kepada agama/madzhab walau, tentu saja tetap pada orang yang dalam kategori pendek pikiran itu. Jadi, zina yang tersembunyipun tetap tidak boleh dibilangkan ke orang lain karena itu adalah ghibah. 

Apalagi hanya makruh yang telah dipolitisir dan dibumbui dengan hal-hal psikologis dan menakuti dengan fikih tsanawi yang dikarang-karang sendiri, dan kemudian memiliki dampak sosial pada agama/madzhab, sekalipun hanya pada orang-orang lemah iman dan pikiran tersebut.....dst, maka jelas hal ini lebih buruk dari mut’ah makruhnya itu sendiri.

Jadi, pelaku makruh itu tidak dosa dan mungkin dapat pahala sedikit karena bercampur sunnah, tapi yang anda lakukan ini, sudah tidak mendapat apa-apa dan bahkan bisa dosa, dan sangat mungkin dosa. Dengan alasan, di samping anda telah memasukkan kebencianmu tentang makruh ini dalam agama yang kamu tulis, dan juga megatasnamakan Islam dan Ahlulbait, anda juga membongkar kekurangan yang tidak haram ini di fb, serta yang ke empat, anda nakut-nakutin orang dengan hukum tsaniawi yang anda buat sendiri.

Yang ke lima: Kalau kamu menjadi sadar dengan tulisanku ini, maka doakan aku, dan kalau marah, juga doakan aku untuk kebaikan dan keselamatan. Kan boleh kita suka atau tidak suka, akan tetapi tetap saling tolong dan doa.

Sinar Agama: A-M-S: Silahkan saja, dengan syarat doakan kami-kami semua..he he he....., gurau, tapi kalau didoakan maka kami-kami tentu senang, tapi bukan syarat share-nya.



 اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ