Jumat, 07 Mei 2021

Kurikulum Hauzah


seri tanya jawab Adil Privatama dengan Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/326172577427545/ by Sinar Agama (Notes) on Monday, December 26, 2011 at 1:39pm

Adil Priyatama: Assalamu’alaykum. Mohon penjelasannya, kalau boleh, mengenai kurikulum inti yang diajarkan di hauzah selama 30 tahun itu, baik secara global maupun rincinya (mata pelajarannya, pengantar-pengantarnya, waktu belajarnya, metode belajarnya, beserta buku-buku rujukannya baik yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maupun yang masih dalam bahasa aslinya.)

Mudah-mudahan jawaban dari Pak Sinar akan sangat bermanfaat, utamanya bagi yang sungguh- sungguh ingin belajar, lalu mengaplikasikannya, dan menjadi insan yang lebih insani.

Mohon maaf kalau sudah pernah dijelaskan dalam tulisan-tulisan sebelumnya.

(Oya, terima kasih atas jawaban paket pertanyaan kemarin dan sudah ada permohonan tambahan penjelasan, mudah-mudahan Pak Sinar berkenan ’menyambanginya’ kembali manakala kebetulan ada kesempatan.)

Afwan, terimakasih, dan mudah-mudahan Pak Sinar senantiasa dalam kebaikan dan kesehatan, sehingga bisa lebih lama menjadi wasilah antara pecinta realitas dengan Sang Realitas Tersembunyi melalui penjelasan-penjelasan agama yang dijabarkan dengan bahasa gamblang melalui pemilik account FB ini, sesuai dengan namanya, Bpk. ”Sinar Agama”. Amin. Wassalam.

Adil Priyatama: Afwan, bukan bermaksud lancang (barangkali terkesan demikian). Tapi kami yang sungguh triliunan tahun kecepatan cahaya jauhnya dari kebenaran ini, ingin menapakinya meski hanya seujung kuku - seujung kuku, meski sekedar dari nama-nama mata pelajarannya, atau sekedar kulit-kulit bukunya...


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Hauzah sekarang ini, sudah tidak lagi bisa dilihat lagi batasannya. Kalau kita belajar 100 tahun, juga tidak akan bisa mempelajari semuanya sampai ke puncaknya.

(2). Saya akan menulis sedikit tentang jalur-jalur pokok di hauzah. Yaitu untuk menjadi MUJTAHID FIKIH dan menjadi FILOSOF.

(3). Untuk menjadi Mujtahid, minimalnya belajar sebagai berikut:
  • (a). Bahasa Arab: Termasuk Sharf dan Nahunya. Buku yang dipakai adalah Jaami’u al- Muqaddimaat, dimana di dalamnya juga ada ilmu Logikanya secara ringkas. Kitab ini diselesaikan dalam dua tahun.
  • (b). Setelah itu masih melanjutkan bahasa Arabnya dan Logikanya. Kitab yang dipelajari kalau di hauzah orang-orang Arab adalah: Untuk Nahunya, Syarah Alfiah Ibnu ‘Aqil, lalu setelah selesai ke kitab Mughni al-Labiib. Dan untuk sastranya, memakai kitab Balaghatu al-Waadhihah yang diteruskan ke kitab Syarhu al-Mukhtashar Taftaazaani. Dan untuk Logika memakai kitab Mantiqu al-Muzhaffar. Oh iya, untuk hauzah arab ini, bahasa arab yang dipelajarinya sebelum kitab Syarhu al-Alfiyah itu adalah al-Tashriif. Lalu nahunya, Nahwu al-Waadhih yang diteruskan ke Quthru al-Nadaa, lalu ke kitab-kitab yang sudah disebutkan itu.
Tapi kalau hauzah Parsi atau selain Arab, untuk Nahunya memakai kitab Syarhu al-Alfiyah al- Suyuuthii, lalu diteruskan ke Mughni al-Labib. Dan untuk sastranya adalah sama. Sementara Logikanya memakai kitab al-Haasyiyah.

Tingkatan ini dilalui dalam waktu 3 tahunan. Dengan yang di atas sudah menjadi 5 tahun. Tentu saja, untuk jaman-jaman sekarang ini, masih banyak lagi yang dikaji selain pelajaran itu. Hingga di Hauzah Qom yang untuk orang asing, selain pelajaran-pelajaran di atas itu, masih wajib juga belajar tajwid, tafsir, hadits, akidah, fikih sampai sekitar 62 materi pelajaran.

Tingkatan di atas itu diistilahkan dengan tingkatan Mukaddimah.

  • (c). Setelah itu mulai belajar fikih berdalil dengan memakai kitab Lum’ah atau kitab lainnya. Kitab ini diselesaikan dalam waktu 3 tahun. Lalu diteruskan ke kitab fikih al-Makaasib yang diselesaikan dalam waktu 5 tahun.
Di samping belajar fikih berdalil tersebut, juga secara berbarengan, belajar Ushul Fikih. Dimulai dengan kitab al-Ma’aalim yang diselesaikan dalam waktu 1 tahun. Lalu diteruskan ke kitab Ushulu al-Muzhaffar yang diselesaikan dalam waktu 2 tahun. Lalu diteruskan ke kitab Rasaa-il yang diselesaikan dalam waktu 3 tahun. Lalu diteruskan ke kitab Kifaayatu al-Ushuul yang diselesaikan dalam waktu 2-3 tahun.

Tentu saja, masih ada pelajaran sampingan-sampingan yang banyak seperti tafsir lanjutan, hadits, rijal dan seterusnya.

Pelajaran atau tingkatan di atas itu diistilahkan dengan Sutuuh.

  • (d). Setelah itu barulah masuk ke kelas yang diistilahkan dengan Bahtsu al-Khaarij. Yakni pembahasan luar kitab. Artinya, belajar ke mujtahid yang sudah tidak lagi memakai kitab. Tapi memakai fatwanya dan pendapatnya sendiri. Dan seorang murid yang belajar di sana sudah harus melatih diri untuk berijtihad. Karena itu, harus membantah gurunya kalau dianggap dalilnya tidak kuat. Karena itu kalaulah tidak sepaham, seorang murid tidak harus menerima pendapat gurunya dan ia sendiri bisa berpendapat lain dan bahkan bisa menulisnya. Tentu kalau penulisan itu, akan diterima sekalipun tidak sama dengan gurunya, kalau ia sudah senior atau lama balajar di Bahtsu al-Khaarij ini.
Tingkatan ini disebut dengan tingkatan Khaarij. Dan pokok yang dipelajari adalah Fikih Berdalil dan Ushul fikih. Tentu saja masih ada pelajaran-pelajaran lainnya seperti tafsir, hadits, rijal...dan seterusnya yang merupakan kitab-kitab lanjutan dari yang sebelumnya.

Tingkatan ini, bisa ditempuh dari sejak 7 tahun sampai 20 tahun atau bahkan lebih. Tergantung kepada guru yang mengajarnya. Semakiin lama, maka semakin dalam dan hasil mujtahid yang dihasilkan akan menjadi makin a’lam (makin pandai) dari yang pelajarannya pendek. Akan tetapi, ada juga orang jenius yang walau belajar yang pendek, ia bisa mendalaminya sendiri sampai menjadi yang termasuk A’lam seperti Ayatullah Baqir Shadr.

Kalau semua yang dilalui itu lulus ujian sampai ke tingkatan Khaarij ini, maka barulah ia mendapat surat keijtihadan dari pengujinya. Dan penguji akhir ini, tidak mesti gurunya sendiri, tapi bisa juga mujtahid lain yang juga sudah memiliki surat keijtihadan dari yang sebelumnya.

Catatan:

Untuk masa panjang pendeknya belajar, tergantung kepada situasinya. Di Iran, khususnya setelah revolusi, masa tersebut sudah dipendekkan, yakni masa pelajaran Mukaddimah dan Sutuuh. Kedua tingkatan ini sudah dijadikan 10 tahun. Jadi, diperpendek dari cara lama sekitar 4-5 tahun.

Tentu saja, dengan berbagai cara untuk memenuhi dan mengisinya hingga semua pelajaran- pelajaran tersebut bisa diselesaikan dalam waktu 10 tahun itu. Misalnya dengan membayari bayaran bulanan yang bisa dibuat belanja hingga seorang murid tidak perlu bekerja. Sehingga dengan itu bisa memperbanyak waktu belajarnya. Kalau untuk orang luar negeri, maka dipres sedemikian rupa hingga bisa menjadi 9 tahun.

Dengan program yang sudah dimapankan dari sisi efisiensi waktu yang disebabkan kemudahan biaya hidup (walau sederhana sekali), maka untuk mencapai ?? ijtihad itu, kalau sungguh- sungguh, bisa ditempuh dalam waktu sekitar 20 tahun, atau lebih pendek (tapi tidak a’lam).


(4). Untuk menjadi Filosof:
  • (a). Setelah belajar Logika di atas itu, maka pelajaran yang harus dipelajarinya adalah akidah dengan memakai kitab al-Baabu Haadi ’Asyr yang diselesaikan dalam waktu 1 tahun. Lalu dilanjutkan dengan Syarhu al-Tajriid yang diselesaikan dalam waktu 2 tahun.
  • (b). Lalu mempelajari kitab filsafat yang dimulai dengan kitabnya Allaaamah Thaba Thabai ra yang berjudul Bidaayatu al-Hikmah yang diselesaikan dalam 1 tahun. Lalu setelah itu Nihaayatu al-Hikamah yang juga diselesaikan 1 tahun atau bahkan bisa sampai 2 tahun.
Kedua kitab ini menempati kitab lama yang dipelajari di filsafat. Karena dulunya permulaan filsafat dimulai dengan kitabnya Sibzawaarii ra yang berjudul Syarhu al-Manzhuumah.
  • (c). Setelah itu, belajar filsafatnya Ibnu Siina ra yang berjudul al-Syifaa’ bagian Ilaahiyyaat-nya. Kitab ini diselesaikan dalam waktu 1-2 tahun.
  • (d). Setelah itu meneruskan belajar filsafat dengan memakai kitabnya Mulla Shadraa ra. Kitab ini terdiri dari 9 jilid. Akan tetapi yang dipelajari hanya jilid 1, 2, 3, 6, 7, 8 dan 9. Jadi,hanya 7 jilid. Kalau kitab ini dipelajari secara cepat, maka masing-masing jilidnya memerlukan waktu 1 tahun. Tapi kalau mau normalnya, sekitar 2 tahun. Dengan demikian, kalau cepat maka diselesaikan dalam waktu 7 tahun dan kalau normal dipelajari selama 14 tahun. Tapi kadang dipelajari secara benar-benar mendalam hingga satu jilidnya saja sampai memakan waktu 6 tahun.
Dengan demikian untuk menjadi filosof memerlukan waktu sekitar 19-20 tahun.

Pelajaran ini, bisa dipelajari berbarengan dengan pelajaran-pelajaran Sutuuh dan Khaarij di atas. Tapi biasanya dan umumnya, pelajaran filsafat ini akan diperdalam ketika seseorang sudah mencapai Khaarij. Karena itu, untuk menjadi Mujtahid dan Filosof, kalau cepat, akan menjadi sekitar 25-30 tahun.

(5). Untuk menjadi ’Arif (baca: Ulama Irfan):
  • (a). Setelah belajar filsafat sampai ke Ashfar, maka barulah seseorang bisa belajar Irfan atau Wahdatu al-Wujuud. Kitab pertama yang dipelajari adalah al-Tamhiid yang ditulis oleh Ibnu Turkah. Kitab ini, kalau cepat, diselesaikan dalam waktu 1-2 tahun.
  • (b). Setelah itu diteruskan dengan kitabnya Muhyiddin Ibnu ’Arabi yang berjudul Fushuushu al-HIkam yang diselesaikan dalam waktu sekitar 3 tahun.
Dengan demikian, untuk bisa menjadi Irfan, memerlukan waktu sekitar 30-35 tahun.
  • (c). Tapi kalau ada waktu, maka dteruskan dengan mempelajari kitab Irfan yang berjudul Mishbaahu al-Uns yang diselesaikan dalam waktu sekitar 3 tahunan. Tapi sepertinya kitab ini sudah tidak wajib lagi dipelajari, walaupun tetap baik dipelajari.

Catatan:

Kitab-kitab yang disebutkan di atas itu -semuanya- tidak bisa dipelajari sendiri. Yakni tidak bisa dipahami. Jadi, harus memakai guru.

(6). Pelajaran-pelajaran yang disebutkan itu hanya sedikit dan paling tidaknya kitab yang diperlukan. Tapi pelajaran Hauzah, dengan berbagai spesialiasi yang dibentuk di jaman sekarang ini, khususnya setelah revolusi Iran, masih banyak lagi kitab-kitab yang harus dipelajari untuk menjadi spesialis dalam bidang-bidang tertentu.

Tentang Imam Mahdi as saja, ada Universitasnya sendiri. Bayangin, hanya membahas Imam Mahdi as saja, ada S1, S2 dan S3-nya. Berapa ribu makalah dan berapa ratus skripsi, tesis dan desertasi yang hanya menulis tentang Imam Mahdi as. Itulah mengapa saya katakan sekarang Hauzah itu sudah tidak bisa dibatasi lagi.

Begitu pula untuk menjadi Allaamah dalam hadits, dalam Kalam dan seterusnya.

Akan tetapi, yang ditulis di atas itu, yakni di pelajaran-pelajaran pokok untuk menjadi Mujtahid, Filosof dan Irfan. Karena semua itu sudah menjadi bekal yang bisa sangat dikatakan cukup dan bahkan istimewa. Memang, karena ilmu itu tidak ada batasnya, maka sang mujtahid dan filosof dan irfan itu, tetap bisa mendalami terus hingga menjadi mujtahid juga dalam bahasa arab, tafsir, hadits, rijal dan seterusnya. Jadi, dari tingkatan ilmu-ilmu mukaddimah sebagai bekal sebagai mujtahid itu, bisa ditingkatkan menjadi tingkatan ijtihad dalam semua bidang- bidang itu.

Wassalam.


Sang Pencinta and 13 others like this.


Ummi Tazkia Fathimatuz Zahro: Subhanallah.. Kalau belajar di Indonesia, mungkinkah bisa mencapai itu ustadz?

Sinar Agama: Ummi: Bisa saja kalau kita rintis bersama. Yang kaya menyumbang dana, yang mampu menyumbang semampunya dan yang sudah belajar beberapa tingkatannya mengajarkan tingkatan yang sudah dipelajarinya.

Sang Pencinta: Mari kita rintis suatu hari nanti ustadz..

Ummi Tazkia Fathimatuz Zahro: Iya ustadz. Kita rintis bersama-sama untuk masa depan anak cucu kita, membuka peluang pemdidikan yang ga harus keluar negeri.

Hadi Apriadi: Subhanallah..walhamdulillah wala illaha illallah wala haulla wala kuwwata illa billah.

Adil Priyatama: Syukron atas penjelasannya.. Mudah-mudahan Tuhan berkenan memperhatikan Indonesia dan menyinari penduduknya dengan sinar agama-Nya yang menuntun kepada jalan lurus, jalan yang dikaruniai ni’mat, ni’mat dalam pengertiannya yang paling hakiki. Ni’mat yang Tuhan kehendaki untuk dirasakan bagi umat manusia seluruhnya, jika saja tidak enggan dan menutup diri. Dan semoga diri ini bukan termasuk orang yang enggan dikaruniai ni’mat tersebut akibat berlapisnya kebodohan dan bertumpuknya dosa-dosa. Amin.


Sinar Agama: Salam dan terimakasih sekali lagi atas semua jempol dan komen-komennya:

(1). Teman-temanku yang tidak pernah tidak kudoakan dan tidak pernah tidak kutawassulkan ... hauzah ini adalah jihad yang tidak kalah dengan jihad perang. Karena ia akan menadasari kehidupan menyeluruh. Jihad pedang itu diperlukan kalau diserang musuh dan semacamnya. Tapi baik dalam kondisi perang atau tidak, seperti Indonesia yang selalu damai, maka jihad yang menempati jihad perang itu adalah jihad ilmu dan budaya ini. Karena itu, kalau berminat berjihad demi membangus insaniyyah yang sesungguhnya, yang tidak hanya pandai berkata- kata sastra di masyarakat dan di hadapan Tuhan, maka mari mencoba melakukan jihad ilmu dan budaya ini dengan penuh keseriusan, pengorbanan, kesantunan, keprofesionalan ...dan keikhlashan.......

(2). Kalau keinginan itu hanya keinginan yang tidak aplikatif seriusis, maka itu adalah keinginan rasa dan perasaan yang masih berada di tingkatan daya-hewani, belum insani/akli. Tapi kalau disertai dengan aplikasinya yang tinggi, maka ia akan menjadikan keinginan insani/ akli.....

(3). Langkah pertama adalah menghilangkan rasa kecemburuan sosial diantara sesama pengikut Ahlulbait. Sebagaimana ke Sunni kita santun dan tidak memaksa, maka ke Syi’ah apalagi.

Bangunan ilmu dan budaya ini harus dilepaskan dari segala macam merk ormas atau politik. Persis di Iran dimana Hauzah tidak dibawah wilayatulfaqih sekalipun. Artinya ia adalah mandiri hingga dapat juga dengan mandiri menilai hakikat yang terjadi tanpa adanya kemungkinan miring sana dan sini. Kalau di bawah wilyatulfaqih bisa ada kemungkinan akan membela wilayatulfakihnya yang mengepalainya walaupun terjadi kesalahah hukum dan akhlak.....

(4). Nah, kalau hauzah itu saja mandiri dari wilyatulwakih, mengapa hauzah di masa datang tersebut tidak bisa dimandirikan dari segala macam aliran politik atau ormas yang ada? Manfaat lain yang akan bisa didapat adalah bahwa ia akan menjadi tempat bertemunya semua aliran politik yang ada, tanpa membawa politik golongannya dan tanpa menjadi politik ke tiga. Jadi, bukan golput yang menjadi golpot (golongan politik baru).

Memang, di Iran semuanya atau 99% dari orang-orang hauzah adalah orang-orang yang mengusung wilayatulfakih dan membelanya. Tapi sebagai konsep dan bukan sebagai dukungan pada individunya. Tentu, dukungan pada individu itu ada, tapi bersifat temporer. Yakni selama orang yang duduk di wilayatulfakih itu melaksanakan amanat-amanatnya dengan baik. Inilah yang dimaksud kemandirian itu. Artinya mereka semua berwilayatul fakih, tapi sebagai individu hauzah, tapi program hauzah dan semacamnya itu, harus diatur sendiri dan tidak di bawah wilayatulfakih. Jadi, birokrasi dan keuangan hauzah mandiri dari pengaturan wilyatulfakih.....

(5). Terus menghormati dan menaati di luar urusan-urusan hauzah (karena sekali lagi memang tidak di bawah wilyatulfakih) selama majlis khibrah (pemilih dan pemecat wilayatulfakih) memilih dan mendukungnya. Karena majlis Ahli Khibrah ini adalah majlis yang dipilih rakyat untuk memilih atau memecat wilayatulfakih.

Nah, hauzah itu, karena memang harus meninggalkan dunia dalam arti sekalipun halal, mirip seperti para pendeta hindu, maka kemandirian itu memang sudah seharusnya. Karena meninggalkan segala macam kepentingan pribadi dan golongan, adalah tugas pertama seorang pelajar Hauzah yang sesungguhnya. Karena itu di Syi’ah, ulamanya juga dikatakan Ruhani atau Pendeta.......

(6). Langkah ke dua, adalah benar berjihad dalam pengumpulan dana. Karena di samping tanah dan bangunan, dana itu harus mencukupi kehidupan sederhana para pengajar dan murid- muridnya yang hidup memendeta dan fokus terus kepada ilmu dan budaya umatnya.

Gotong royong tanpa merk, sebagaimana ruhani/pengajar dan calon-calon ruhaninya, adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Kalau hal ini ingin cepat diwujudkan dan menjadi tali bagi semua golongan tanpa ada sedikitpun warna di talinya itu............

(7). Hauzah, sudah pasti mendukung semua gerakan yang terpadu, sebgaimana mendukung negara Islam dan wilyatulfakih. Bahkan hauzahlah yang menjadi pilar-pilar bagi gerakan- gerakan itu. Tapi pada esensinya, bukan pada politik atau ormas tertentu, apalagi orang tertentu. Dan kalaupun harus mendukung, maka dukungan itu sebagai dukungan esensi. Dan kalaulah harus mendukung satu golongan, maka hal itu diserahkan kepada masing- masing ruhaninya/ulamanya sebagai penentu bagi kemaslahtan yang dilihatnya karena kita sudah percaya bahwa dia bukan pengejar dunia.

Karena itu, jangan heran bahwa ruhani yang satu ikut golongan politik tertentu dan yang lainnya mengikuti yang lainnya. Semua itu, bukan karena kepentingan masing pribadi, karena sudah digembleng puluhan tahun di hauzah untuk tidak menyukai dunia walaupun halal, akan tetapi karena fokus taklif dan adanya kewajiban yang terlihat oleh masing- masing individu itu bisa berlainan. Jadi, warna warni tapi tetap satu. Misalnya, politik A sudah bagus, tapi untuk fokus ke Qur'annya masih kurang. Maka ruhani tertentu akan masuk ke golongan itu untuk menutupi kekurangannya itu. Begitu pula golpot (bukan golput) B dasar-dasar organisasinya masih memakai barat. Maka ruhani/ulama tertentu yang merasa mampu merubah, akan masuk ke sana untuk membimbing umat di golpot B itu mendasari golongannya dengan Islam. Begitu seterusnya........

(8). Nah, inilah yang dimaksudkan dengan hauzah itu harus lepas dari segala macam golongan. Karena ia akan bisa memasuki setiap golongan tanpa membawa warna baru, tapi mem- bimbing semua umat ini pada Islam yang semestinya dan, sudah tentu mengerem segala macam perpecahan dan permusuhan. Jadi, Hauzah itu bukan seperti sufi-sufi yang pergi ke gunung-gunung meninggalkan dunia. Tapi ia ada di dunia ini dan aktif banget, tapi hatinya ada di gunung menyepi sendirian dengan Tuhannya. Semua gerakannya tanpa pamrih dunia sedikitpun. Karena ia tahu, bahwa seujung jarum saja perjuangannya, aktifitasnya, asyuroannya, pendidikannya, ceramahnya, menulis bukunya, menulis fb-nya, menangisnya, ....dst dicampuri niat kepentingan dunia, maka semuanya itu tidak akan ada yang tersisa di akhirat kelak. Jadi, walaupun dunia sudah menjemputnya, dunia sudah mendekap Islam karenanya, dunia sudah mendekap Nabi saww dan Ahlulbaitnya as karenanya, dunia sudah sadar semua sudah taubat dan kembali ke Islam karenanya, tapi seujung jarum saja ia dalam melakukan semua itu memiliki kepentingan dunia, maka semua umat masuk surga kecuali dia sendiri yang akan pergi ke neraka.

Itulah yang saya katakan bahwa kalau ingin ada hauzah, maka perlu jihad dan mengorbankan segalanya, harga diri (ego), harga golongan (seperti partai atau organisasi atau yayasan dan lain-lain), harga keluarga, harga budaya suku dan harta dan lain-lainnya. Tapi bukan kasar dan barbarian seperti wahabi, tapi penuh kesadaran dan kesantunan serta tanpa adanya sedikit saja pemaksaan. Karena kalau tidak seperti itu, maka tidak akan berhasil karena bertentangan dengan hakikat dan jatidiri huzah itu sendiri........

(9). Saya tahu, bahwa semua antum adalah orang baik. Tapi kata imam Ja’far as, bahwa ”Senang dunia itu (termasuk yang halal) adalah pangkal kesalahan/dosa.” Maksudnya, ketika kecen- derungan kepada suatu golongan dan ketidakcenderungan kepada golongan lain, dijadikan sebab beraktifitasnya kita dalam membangun Islam, maka hal itu bisa menjebak diri kita sendiri pada dunia ini. Tapi kalau karena Allah semata, maka apapun yang terlihat, apakah itu kebaikan lain golongan atau kekurangan golongan sendiri, maka pasti akan melakukan pengakuan dan dukungan aplikatif kepada yang benar dan akan melakukan koreksi aplikatif kepada yang salah walau golongan sendiri. Karena bagi yang kerjanya hanya karena Allah, maka golongan yang dimasukinya itu tidak lain hanya sebagai alat menaati Allah. Karena itu, maka mengapa harus cemburu dan apalagi menyerbu golongan lain yang melakukan taat?

Teringat pada satu orang alim yang pernah tanya kepada wakil Rahbar hf tentang hiruk pikuk di negaranya, tentang sikap apa yang harus diambilnya, apakah ia harus masuk salah satu golongan yang ada atau bagaimana. Dijawab, jadilah ruhani yang sesungguhnya, jadilah guru dan pembimbing bagi semua golongan. Artinya, kalau kesadaran umat masih bermerk dengan golongannya dan golongannya itu yang dijadikan shiratulmustaqimnya, maka jang- anlah kamu memasuki golongan manapun dan jadilah pembimbing bagi mereka semua, tentu dari yang mau menerimamu. .............

(10). Hauzah adalah relitas masjid yang aplikatif. Hauzah adalah realitas arafah yang aplikatif. Hauzah adalah realitas tawaf dan sa’i yang aplikatif. Hauzah adalah jihad besar yang bisa dilihat. Hauzah adalah lempar jumrah yang aplikatif. Karena itu adalah peleburan dari segala macam kepentingan dunia. Karena itulah, walalupun ruhani tertentu ada di golongan tertentu, maka tetap saja dihormati masyarakat, karena masyarakat yakin bahwa ia tidak bergerak dengan kepentingan dunia sedikitpun dan pasti karena adanya tugas-tugas Ilahiyyah tertentu yang kepentingannya kembali kepada diri yang bersebrangan itu sekalipun.

Nah, dengan uraian ini, apakah kita masih menginginkan hauzah itu? Yakni dengan keinginan filosofis aplikatif, bukan keinginan rasa dan perasaan yang hewanis????!!!? Allahu A’lam. Hanya antum-antum dan Tuhan yang tahu terhadap keinginan-keinginan antum itu. Wassalam.

Tambahan sedikit:

Untuk sebagian hauzah yang bukan untuk orang Iran, memang diatur oleh wilyatulfakih langsung. Akan tetapi hal itu hanya bersifat bantuan pengelolaan karena hubungannya dengan berbagai pusat-pusat ilmu internasional dan semacamnya.

Btw, semua ulama dan pelajar agama hauzah adalah pengikut wilayatulfakih yang paling ekstrim, akan tetapi sebagai konsep yang aplikatif. Sedang apakah selalu mendukung yang mendudukinya, maka jawabannya adalah: MEMANG AKAN SELALU MENDUKUNG DAN MENGORBANKAN DIRI UNTUKNYA, NAMUN SELAMA YANG DUDUK TERSEBUT DIDUKUNG OLEH MAJLIS KHIBRAH (majlis pada ahli) YANG ADA.

December 28, 2011 at 10:01pm



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar