Senin, 16 Maret 2020

Puasa Dalam Keadaan Safar


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/?id=224710250907112 Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juli 2011 pukul 12:57


Dadan Gochir: Salam ustad, semoga ustad sehat-sehat saja, saya mohon penjelasan sekelumit puasa dalam keadaan safar?


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Safar adalah melakukan perjalanan sejauh +/- 48 Km (Pulang pergi). Tapi perginya tidak boleh kurang dari separuh dari ukuran pulang pergi tersebut. Dan dari awal memang berniat untuk menempuh jarak musafirnya itu

(2). Hitungannya dihitung dari akhir batas kota yang ditinggal sampai pada awal batas kota yang dituju. Tapi kalau punya tujuan dititik tertentu ditengah kota yang dituju, maka batas akhir hitungan safarnya adalah titik tujunya tersebut. Dan kalau titik tujunya itu ada dibeberapa titik tuju, maka yang dihitung adalah yang pertama dan yang terdekat.

(3). Puasa dalam keadaan musafir itu adalah batal, dengan syarat:
  • (a). Perjalanannya, sebelum zhuhur.
  • (b). Pembatalan puasanya setelah mulai safarnya dan telah melewati batas Tarakhkhush (batas rukhshoh, atau keringanan Tuhan) yaitu kira-kira sejauh 1-2 km.
  • (c). Tetapi kalau tidak dibatalin dan sampai ke tujuannya sebelum zhuhur, maka puasanya wajib diteruskan kalau yang dituju itu adalah tempat tinggalnya atau dihukumi tempat tinggal seperti kalau berniat tinggal di tempat tersebut paling sedikit 10 hari.
  • (d). Kalau tidak berniat tinggal 10 hari di tempat tujuan yang bukan tempat tinggalnya itu, maka ia dihukumi musafir selama sebulan. Dan hari ke 31, baru hukum musafir itu terangkat darinya. Atau kapan saja (sebelum 31 hari itu) ia berniat tinggal di tempat tersebut 10 hari. Misalnya,karena ia tidak tahu bisa tinggal 10 hari atau tidak, maka ia adalah musafir dan tidak puasa. Akan tetapi setelah 7 hari, ia berniat bahwa untuk 10 hari ke depan dari hari ke 7 itu, mau tinggal di tempat itu (tidak musafir ke tampat lain), maka sejak niat itulah ia dihukumi tidak musafir lagi dan bisa puasa.
  • (e). Bepergian bukan karna mencari nafkah, baik yang memang pekerjaannya itu yang dijadikan mencari nafkah seperti sopir/pilot, atau pekerjaan mencari nafkahnya itu mengkonsekuensikan harus bepergian secara rutin (tapi dalam hal ini mesti mencapai kepergian ketiganya baru bisa tidak puasa, begitu pula hati-hatinya bagi golongan pertama seperti sopir).

(4). Kalau terjadi kesalahan dalam hukum musafir ini, maka kalau memang tidak tahu masalah hukum safar ini sama sekali hingga puasa diwaktu safar, maka puasanya dianggap syah/sah.

Kalau tahu hukum tapi salah penerapan, seperti puasa yang semestinya tidak puasa atau sebaliknya, maka diqadhaa’ dikemudian hari. Begitupula tentang shalat. Tapi kalau masih ada waktu, maka segera diulang di dalam waktunya itu.

Chi Sakuradandelion, Agoest Irawan dan 4 orang lainnya menyukai ini.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ


Tidak ada komentar:

Posting Komentar