﷽
by Sinar Agama (Notes) on Saturday, November 6, 2010 at 9:48 pm
Semoga Pahala Dilimpahkan Allah Kepada Para Penduka Atas Syahidnya Imam Ke 9, Muhammad Jawad as Oleh Mu’tashim bin Harun al-Rasyid (Khalifah Bani Abbas) pada tanggal 30-Dzilqo’dah-220 H, amin
LANJUTAN BAHASAN:
2. KEIMANAN SYI’AH TENTANG ADILNYA TUHAN
a). Iman terhadap ke-Adilan Allah.
Orang Syi’ah mengimani ke-Adilan Allah swt. Adil ini sebenarnya merupakan cabang bahasan dari Tauhid, khususnya Tauhid-Sifat. Akan tetapi karena sangat memiliki unsur penting dalam kehidupan beragama, maka ia telah menjadi point tersendiri setelah bab Tauhid tersebut.
Orang Syi’ah (bc: muslim) diseyogiakan untuk mengimani ke-Adilan Allah, karena tanpa keimanan itu, maka akan memporak-porandakan seluruh nilai ke-Islaman, baik dari sisi keimanan atau hukum-hukum syariatnya. Artinya, tanpa keyakinan terhadap ke-AdilanNya itu, maka agama Islam akan menjadi sama dengan agama-agama lainnya atau bahkan kehidupan tanpa agama. Atau kalaulah ia beragama sekalipun, maka agamanya tidak lebih dari sebuah kegersangan dan kehancuran yang nampak hijau dan teratur secara lahiriahnya. Begitu pula kalau seorang muslim mengimani ke-AdilanNya, namun dengan makna yang salah, sebagaimana nanti akan lebih jelas.
b). Arti Adil Allah
Adil, artinya tidak melakukan kezhaliman dan/atau meletakkan sesuatu pada tempatnya, dan/atau tidak mengambil hak orang lain, bukan sama rata yang pada umumnya tidak masuk akal.
Misalnya, kalau jenis kelamin manusia sama, maka tidak akan ada perkawinan; atau wajahnya sama, maka tidak akan bisa dikenali; atau sifat-sifatnya sama, maka tidak akan ada saling mengisi; atau hobinya sama, juga tidak akan ada saling mengisi dan kehidupan manusia akan menjadi sangat monoton; atau pekerjaannya sama misalnya petani, maka tidak akan ada pabrik baju dan pabrik cangkul; atau bayarannya sama, maka yang sekolah dan pangkatnya lebih tinggi akan merasa dianiaya; atau posisi sosialnya sama, misalnya presiden, maka siapa yang mau jadi rakyatnya? ......dan seterusnya.
c). Dalil ke-Adilan Allah
Dalil dari ke-AdilanNya ini juga mudah seperti point-point di atas. Yaitu berangkat dari ketidak terbatasanNya. Karena kalau Tuhan tidak terbatas, maka Dia tidak akan kekuarangan apapun; atau tidak akan tidak tahu terhadap sesuatu; atau tidak akan lengah; atau tidak akan lelah, ngantuk, bosan, jengah ... dan seterusnya., hingga perlu melakukan aniaya, penipuan, mengambil hak orang lain, pembakhilan dan semacamnya.
d). Hikmah atau sasaran dari keimanan pada ke-Adilan Allah
(d-1). Tidak mungkin adanya penggarisan nasib atau takdir bagi manusia
Maksud dari nasib di sini adalah seperti yang dipercayai oleh agama selain Islam, seperti Arab Jahiliyyah sebelum Islam, Hindu, Budha dan lain-lainnya. Yaitu keyakinan terhadap sudah ditentukannya nasib masing-masing manusia sejak dari lahir atau bahkan dari sejak sebelum lahirnya.
Dalam Islam (bc: Syi’ah), dengan ke-Adilan Allah, maka tidak mungkin Dia menakdirkan nasib masing-masing orang, baik dalam umur, jodoh, rejeki, baik-buruk, celaka-selamat, hidayah- sesat, dan semacamnya. Keyakinan seperti ini hanya ada di agama-agama lain seperti yang sudah disebut di atas. Kalau untuk masa-masa Jahiliyyah di dalam naql atau sejarah kita, dipenuhi dengan itu, sampai dibawa-bawa pada masa setelah Islam oleh Umar ketika lari dari perang Uhud ketika ditanya oleh para wanita Madinah, dimana Nabi saww dan mengapa kamu lari? Ia menjawab “Ini adalah takdir”. Kalau agama Hindu atau Budha bisa dilihat di serial-serial Kungfu Cina yang melimpah di Indonesia.
(d-1-1). Dalil ketidakmungkinan ditentukannya nasib manusia
Karena kalau Allah menakdirkan nasib masing-masing manusia, berarti tidak ada gunanya akal diciptaNya dan agama diturunkanNya yang, mengajarkan: kesihatan dan panjang umur, taqwa dan masuk surga, mencari pasangan yang taqwa, mati syahid, mencari rejeki hingga menjadi tangan di atas (karena lebih baik dari tangan di bawah) dan semacamnya.
Tidak berfungsinya akal, karena tujuan penciptaannya adalah untuk memahami banyak hal dan memecahkan kesulitan-kesuliatan yang dihadapi, hingga selamat dalam kehidupan dunia-akhirat serta hidup sehat, harmonis, teratur, berbudaya tinggi dalam sosial-politik, sukses dalam segala hal ..dan seterusnya. Akan tetapi kalau semua sudah dinasibkanNya, maka daya pikir akal untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah kehidupan manusia, akan menjadi sia-sia dimana akan berakhir kepada kesia-siaan penciptaanNya.
Tidak adanya kegunaan agama, karena agama diturunkan Allah untuk mengatur manusia supaya selamat di dunia dan akhirat. Oleh karenanya agama mengajari keimanan dan mengatur masalah-masalah kehidupan yang dimulai dari masuk kamar mandi sampai ke masalah-masalah negara, ekonomi, teknologi dan politik internasional yang makro. Akan tetapi, kalau nasib masing-masing manusia, dari sejak dirinya, rumah tangganya, sosialnya dan negaranya, sudah ditentukan olehNya, maka syariat yang diturunkanNya itu jelas tidak akan berfungsi sedikitpun.
Agama akan menjadi seseuatu yang paling tidak dapat dipahami dan akan menjadi paling tidak masuk akal, kalau ia mengatakan:
“Berimanlah supaya masuk surga; Bertaqwalah supaya tidak masuk neraka; Berhati-hatilah dalam sertiap perbuatan karena setiap sebutir atompun darinya akan dicatat dan akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak; Bersihlah supaya sihat; Silaturrahmilah supaya panjang umur; Berjuanglah supaya mati syahid; Dasarilah pada ketaqwaan seseorang dalam mencari pasangan hidup; Saling santun dan harmonislah dalam rumah tangga supaya langgeng; Jangan katakan penceraian dalam kemusykilan rumah tangga karena ‘Arsy Allah akan goncang mendengarnya; Jangan cerai karena tidak disukai Allah; Jujurlah dan berusahalah dengan baik dalam bisnis supaya sukses dan tidak bangkrut” atau berkata:
“Berdoalah kepadaKu tentang iman, sakinah, taqwa, taufik, sihat, panjang umur, mati syahid, pasangan hidup yang baik, keharmonisan rumah tangga, kesuksesan bisnis dan rejeki....dan lain-lain”,
akan tetapi dilain pihak agama juga berkata:
“Baik-buruk kalian sudah ditakdirkan dan ditentukan dari sononya (asalnya) oleh Allah, baik dari iman-tidaknya, taqwa-bejatnya, surga-nerakanya, sehat-sakitnya, mati-tidaknya, syahid-tabrakannya, panjang-pendek umurnya, siapa jodohnya, harmonis-cerainya, kaya- miskinnya, jumlah rejekinya....dan seterusnya”.
Lagi pula kalau Tuhan yang menentukan semuanya, berarti Dia yang akan bertanggung jawab. Bahkan kesalahanNya dua kali. Pertama, karena Dia yang menjadi pelaku hakiki dari setiap perbuatan manusia. Ke dua, karena telah membohongi manusia. Karena setelah menentukan semuanya, masih pula menyuruh manusia supaya menjaga kesehatannya, berusaha panjangkan umurnya, mati syahid, mencari rejeki, mencari pasangan yang taqwa, ..dan seterusnya.
Padahal Allah sendiri sudah berfirman bahwa sesiapa yang berbuat seatom kebaikan/ keburukan akan melihatnya. Dan “berbuat”, yakni “melakukan”, bukan “yang dibuat berbuat/ melakukan”. Atau menyuruh kita menggunakan akal, hingga dalam Qur'an ada sekitar 24 ayat yang menggunakan kata “Ta’qilun” (kalian memahami, berakal..dan semacamnya), 22 kata “Ya’qilun” (mereka memahami, berakal..dan seterusnya), 13 kata “Yafhamun” (mereka memahami dengan akal). Atau menyuruh kita bertaqwa sampai-sampai perintah puasapun diturunkanNya supaya manusia bisa mencapai derajat taqwa itu.
(d-1-2). Lauhu al-Mahfuuzh dan nasib manusia
Dengan dalil-dalil akal yang gamblang di atas itu, yakni dalil-mudah yang tidak bisa dibantah oleh siapapun itu, dapat dipahami dan dipastikan bahwa penentuan nasib manusia itu sangat mustahil adanya. Dilain pihak, dalam Qur'an, banyak sekali bukti-bukti tentang keikhtiaran manusia ini, baik langsung atau tidak. Dan sebagiannya sudah saya muat di atas sebagai contoh, walau tidak menyebutkan alamat ayatnya karena hal-hal tersebut adalah hal-hal mudah yang sudah diketahui semua muslimin.
Tentu saja, pemakaian Qur'an disini sekedar pendekatan dan pelengkap saja. Karena, sebagaimana sudah diterangkan di bagian pertama Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah ini, bahwa Qur'an itu akan bisa dijadikan dalil setelah kita membuktikan kenabian nabi Muhammad saww dan kebenarannya.
Karena itu pulalah, maka saya ingin melengkapi hal nasib atau takdir ini dengan masalah Lauhu al-Mahfuzh. Yang demikian itu disebabkan oleh dijadikannya Lauhu al-Mahfuzh tersebut sebagai landasan utama bagi orang-orang yang mengimani ditentukannya nasib manusia ini. Karena di Qur'an dikatakan bahwa di Lauhu al-Mahfuzh itu sudah tertulis apapun mengenai makhluk ini sekalipun daun yang jatuh dari pohonnya. Dan, kata mereka, kalau sudah ditulis di Lauhu al-Mahfuzh dari sejak sebelum penciptaan, dan karena penulisnya adalah Allah, maka sudah pasti seluk-beluk kehidupan manusia yang dikenal dengan nasib atau takdir ini, ditentukan oleh Allah. Jadi, sambung mereka, kita hanya bisa berusaha dan Allahlah yang akan menentukannya.
Pernyataan seperti ini, sudah tentu sangat dipaksakan pada permulaannya, dan sangat berupa taqlid menurun (termasuk wahhaabii/wahabi yang anti taqlidpun) yang diterima secara buta pada tahap berikutnya yang, hanya berdalil dengan baik sangka kepada leluhur atau salaf atau umat yang telah lalu. Padahal mereka saling sesat menyesatkan, kafir mengkafirkan, berperang dan saling menumpahkan darah. Atau dengan dalil penyan- daran tak akademis pada ayat-ayat Qur'an tersebut.
Apa maksud pernyataan yang menyatakan “Kita hanya bisa berusaha dan Tuhan pulalah yang akan menentukannya” ??!
a). Kalau maksudnya bahwa Allah akan menentukannya kemudian, maka berarti ketentuan itu di Lauhu al-Mahfuzh belum tertulis. Ini berarti takdir itu belum ada alias takdir itu tidak ada dalam wujud nyatanya.
b). Kalau maksudnya adalah Allah sudah metentukannya, maka berarti takdir itu tidak ada dalam wujud keyakinannya. Karena, dalam kenyataannya, mereka sama- sama berjuang dalam hidup, dan dalam perbedaan, sama-sama merasa benar dan melakukan amr/amar ma’ruf dan nahi mungkar, serta saling menyalahkan dan bahkan mengkafirkan. Ini berarti takdir dan nasib itu tidak ada dalam hati mereka, karena tidak memiliki tanda-tanda apapun dalam kehidupan mereka itu.
Karena kalau ada, mestinya, masing-masing orang dan golongan harus meyakini bahwa yang ada pada masing-masing orang dan golongan lain dan dirinya adalah taqdir masing-masing yang sudah ditentukan Allah yang tidak boleh ada orang be- rani mengganggunya. Karena sudah ketentuan dari Yang Maha Perkasa dan Kuasa, sementara manusia adalah makhluk lemah. Dan karena sudah ketentuanNya, maka tidak akan bisa dirubah siapapun juga.
Begitu pula, takdir dan nasib itu akan menjadi terjauhkan dari kehidupan mereka manalaka mereka saling bertengkar, saling menyalahkan, beradu argumentasi, beradu dalil di pengadilan, saling perang, saling serang, saling hukum, menulis buku agama, ceramah agama, menulis buletin-buletin agama, nasihat menasihati serta membaca do’a.
Karena kalau semua sudah ditentukan Tuhan, maka yang salah itu Tuhan, bukan manusia yang kita salahkan itu dimana sudah tentu argumen apapun tidak akan ada gunanya lagi. Dan kalau terjadi kesalahan yang mengharuskan adanya penghukuman, maka Tuhan-lah yang selayaknya dihukum.
Bagitu pula, kalau semuanya sudah ditentukan Tuhan dari sisi ketaqwaan dan masuk surga-nerakanya, maka penulisan atau ceramah-ceramah agama itu sama sekali sudah tidak akan berfungi lagi.
Ada orang yang mau bergaya-gaya pakai gaya kecerdasan akal orang-orang Syi’ah, dengan mengatakan bahwa ada seorang murid bertanya kepada gurunya: “Pak Guru, apa takdir itu?”. Sang Guru langsung menamparnya dan berkata: “Inilah takdirmu”. Lah,,,,apakah Pak Guru lupa bahwa pertanyaan si murid itu juga takdir? Lalu mengapa ia kesal dan , menamparnya? Lagi pula, enak saja main tampar dan dosanya dilimpahkan ke takdir Allah. Kalau begitu mengapa mereka membuat persidangan perkara dan hukuman untuk menegakkan keadilan dan ketentraman masyarakat? Toh yang meng- gampar dan yang digampar, atau yang membunuh dan yang dibunuh, atau yang memperkosa dan yang diperkosa, atau yang menabrak dan yang ditabrak mobil,... dan seterusnya semuanya sudah ditentukan takdir. Lalu mengapa para polisi dan penegak hukum pada mengejar, menangkap, memperkarakan dan menghukum meraka?
c). Kalau dikatakan bahwa mengejar, menangkap, menyidang dan memenjarakan atau memotong tangan pencuri itu juga karena takdir, maka pernyataan ini sangat dipaksakan. Karena sudah benar-benar menjauhi fitrah dan kesadaran yang ada manakala melakukan pengejaran dan seterusnya itu. Memangnya, pencopet HP di pasar yang sampai bengkak-bengkak dipukuli orang sepasar itu, karena orang-orang pasar berniat melaksanakan takdir Tuhan? Atau karena merasa marah, jengkel dan melampiaskan kejengkelannya? Memangnya Pak Hakim dan pelaksana hukum itu melakukan penyidangan dan penghukuman (penjara atau potong tangan) karena ingin mengejawantahkan takdir Tuhan? Atau karena ingin menegakkan keadilan dan supaya si pencuri jera/kapok dan yang lainnya tidak meniru???!!!
Kalau semuanya karena takdir, berarti Tuhan yang harus dihukum. Dan tentang kapok tidaknya si pencuri, jelas akan sangat tergantung kepada takdirnya kemudian yang, kalau ditulis tidak kapok maka akan tetap mencuri dan kalau ditulis kapok, maka ia pasti akan berhenti mencuri. Begitu pula orang lain yang diharapkan tidak meniru itu. Karena mereka juga akan sangat tergantung kepada takdir mereka sendiri. Apakah sudah ditulis di Lauhi al-Mahfuuzh bahwa meraka mencuri (sekali, dua kali ...dst) hingga meraka akan mencuri sesuai takdirnya itu, atau tidak tertulis demikian hingga tidak akan mencuri dan tidak perlu peringatan apapun seperti pemotongan tangan pencuri tersebut.
Hal seperti ini semestinya tidak perlu diterangkan sampai sedemikian rupa, namun karena hal jelas ini sering diisukan sebagai hal yang teramat gelap dengan mengatakan bahwa “Masalah takdir adalah daerah gelap yang tidak terjangkau siapapun” dan isu ini sudah membudaya ratusan tahun, maka saya merasa perlu menjelaskannya secara rinci dengan contoh-contoh yang juga sangat jelas itu. Jadi, saya mengharapkan pembaca untuk kembali kepada fitrah kita masing-masing dalam menanggapi masalah takdir ini.
d). Kalau dikatakan bahwa maksud perkataan “Kita hanya bisa berusaha dan ha- nya Allah-lah yang akan mentukannya” adalah bahwa hanya Tuhan yang bisa merubahnya, berarti ketentuan nasib itu, pada hakikatnya, tidak ada. Artinya, kebera- daannya sama dengan ketiadaannya. Karena apa arti dan guna dari ketentuan kalau bisa dirubah juga? Artinya ketentuan itu hanya akan menjadi dan berfungsi sebagai rancangan saja, bukan ketentuan.
e). Kalau dikatakan bahwa Tuhan akan merubahnya manakala hambaNya merubah- nya, maka berarti ketentuan Tuhan itu kalah dengan usaha manusia. Hal inilah yang biasa kita lihat di serial-serial Kungfu China yang sering mengatakan sebagai memerangi ketentuan langit dan memerangi ketentuan Tuhan.
Dan kalaulah manusia tidak merubahnya, yang harus bertanggung jawab terhadap ketentuan nasib manusia itu, tetap harus Tuhan, sebagaimana sudah dipaparkan di atas. Yakni kalau manusia tidak mau merubah racangan Tuhan itu, maka yang salah bukan manusianya, tapi Tuhan yang telah membuat rancangan itu.
f). Kalau dikatakan “Salah kamu tidak merubah rancanganNya”, maka bisa dijawab dengan perkataan “Salah Tuhan yang telah merancangkannya”. Itupun kalau ada bukti bahwa Tuhan telah menentukan takdir atau rancangan ini. Dimana kalau ketentuan itu berupa takdir, maka tidak akan bisa dirubahnya. Sedang kalau berupa rancangan, maka sekalipun bisa dirubahnya, akan tetapi disamping tidak adanya bukti dari adanya penulisan rancangan itu, juga memiliki konsekwensi-konsekwensi yang sangat tidak masuk akal sebagaimana akan dijelaskan berikuti ini.
g). Kalau dikatakan “Tuhan merancang karena ada hikmah didalamnya”, maka disamping tidak ada bukti dari adanya rancangan itu, bisa dijawab dengan perkataan “Biarkan aku ikuti hikmahnya, maka aku tidak boleh dihukum”.
h). Kalau dikatakan “Hikmahnya adalah supaya kamu berusaha”, maka di samping dalil-dalil di atas itu, bisa dijawab dengan perkataan “Hikmah yang kamu katakan ini adalah karanganmu”, atau “Hikmah seperti ini persis dengan yang ada di serial-serial Kungfu atau Dewa-dewa agama Hindu/Budha yang karena gigihnya penentangan manusia atau seseorang di bumi maka tuhan di langit menarik ketentuannya”, atau “Hikmah itu akan sangat tergantung pada ketentuanNya juga, yakni kalau Tuhan menentukanku berusaha maka aku akan berusaha dan kalau tidak, maka bagaimana aku bisa berusaha?”
(d-1-3) Hakikat Lauhu al-Mahfuzh
Dalam tulisan-tulisan saya tentang Filsafat, Irfan dan Wahdatu al-Wujud, telah sering menerangkan tentang hakikat Lauhu al-Mahfuzh ini secara filsafat dan irfan. Artinya tekanan bahasannya adalah pada dimensi wujudnya. Akan tetapi di sini, saya akan menerangkan kitab Lauhu al-Mahfuzh ini yang berfokus pada fungsinya, bukan pada esensi, substansi dan keberadaannya. Sekalipun, sudah tentu, akan memiliki sentuhan pula terhadapnya.
Kalau kita mau memperhatikan bunyi ayatnya dan menjauhkan diri dari kecenderungan hati yang telah didekte oleh budaya pemahaman Islam selama ini, dan benar-benar hanya memperhatikan bunyi ayatnya, maka saya merasa bahwa sungguh-sungguh tidak akan terlalu sulit untuk menyentuh makna ayat yang menerangkan tentang kitab Lauhu al-Mahfuzh ini. Terlebih lagi setelah kita tahu dan yakin secara akal-gamblang bahwa penentuan nasib manusia itu adalah suatu yang sangat tidak bisa diterima akal sihat manapun. Perhatikan bunyi ayat berikut ini:
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَ يَعْلَمُهَا إِلَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّ يَعْلَمُهَا وَلَ حَبَّةٍ
فِي ظُلُمَاتِ الَْرْضِ وَلَ رَطْبٍ وَلَ يَابِسٍ إِلَّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan Dia memiliki kunci-kunci keghaiban, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia, dan Dia tahu yang di daratan dan lautan, dan tidaklah jatuh satu daunpun dari pohonnya kecuali Dia mengetahuinya, dan tidaklah jatuh pula satu bijipun di kegelapan bumi dan tidaklah sesuatu yang basah dan kering, kecuali sudah ada di Kitab Yang Nyata (Lauhu al-Mahfuzh)” (QS: 6: 59)
وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قرُْآنٍ وَلَ تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ وَمَا
يَعْزُبُ عَنْ رَبِّكَ مِنْ مِثْقَالِ ذَرَّةٍ فِي الَْرْضِ وَلَ فِي السَّمَاءِ وَلَ أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلَ أَكْبَرَ إِلَّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari al-Qur'an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab Yang Nyata (Lauhu al-Mahfuzh)” (QS: 10: 61)
وَإِنَّ رَبَّكَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَ يَشْكُرُونَ (37) وَإِنَّ رَبَّكَ لَيَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يعُْلِنُونَ (47) وَمَا مِنْ غَائِبَةٍ فِي السَّمَاءِ وَالَْرْضِ إِلَّفِي كِتَابٍ مُبِينٍ
(57)
“Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengetahui apa yang disembunyikan hati mereka dan apa yang mereka nyatakan (74) Tiada sesuatupun yang ghaib di langit dan di bumi, melainkan (terdapat) dalam kitab yang nyata (Lauhu al-Mahfuzh)” (QS: 27: 74, 75)
عَالِمِ الْغَيْبِ لَ يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ†فِي السَّمَاوَاتِ وَلَ†فِي الَْرْضِ وَلَ أَصْغَرُ مِنْ ذَلِكَ وَلَ أَكْبَرُ إِلَّ فِي
كِتَابٍ مُبِين
“....Maha Mengetahui yang ghaib. Tidak ada yang tersembunyi daripadaNya seberat zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauhu al-Mahfuzh)” (QS: 34: 3)
Dalam ayat-ayat di atas, terasa sekali bahwa yang ingin disampaikan Tuhan itu adalah masalah ke-Maha PengetahuanNya yang mengetahui yang terang dan yang ghaib atau tersembunyi, bukan tentang penentuan nasib manusia. Dari seluruh ayat-ayat di atas itu, sebelum Allah membicarakan tentang keberadaan dan keadaan semua hal di Lauhu al- Mahfuzh, selalu mengatakan bahwa Dia mengetahui semua keberadaan dan keadaannya, baik dari keberadaan dan keadaan manusia atau selainnya.
Setelah diketahui dengan mukaddimahNya itu bahwa Allah Maha Tahu, maka hal ini dapat mengantarkan kita untuk memahami Lauhu al-Mahfuzh. Yaitu, bahwa kitab Lauhu al- Mahfuzh itu tidak lain dan tidak bukan adalah merupakan salah satu gudang keghaiban tentang ilmu-ilmuNya. Itulah mengapa Allah mengatakan memiliki kunci-kunci keghaiban pada ayat pertama di atas.
Adalah sangat keliru ketika seseorang memaknai ayat-ayat di atas itu dengan mengatakan bahwa “Allah Maha Mengetahui Segala Hal Karena Sudah Ditulis di Lauhu al-Mahfuzh”. Kalau Allah mengatakan bahwa “Semua hal ada di Lauhu al-Mahfuzh oleh karenanya Aku mengetahui semuanya”, maka mungkin masih ada lowongan atau peluang untuk memahami bahwa pengetahuan Tuhan itu karena disebabkan penulisanNya dalam Lauhu al-Mahfuzh. Walaupun peluang ini, jelas bukan satu-satunya. Karena peluang lainnya justru lebih besar. Yaitu karena ilmuNyalah Tuhan menulisnya. Hal itu karena ilmu itu lebih dulu dari pada penulisan, bukan sebaliknya.
Akan tetapi, Tuhan dengan telaten dan lembut membimbing manusia supaya tidak keliru memahami hidayah dan ayat-ayatNya. Oleh karenanya didahului dengan penekanan pada pemberitaan terhadap ilmu dan ke-Maha PengetahuanNya. Itu semua supaya manusia tahu bahwa yang diinginkan dalam ayat-ayat itu adalah IlmuNya. Ini yang pertama. Yakni mendahulukan pengkabaran tentang tentang ilmuNya sebelum mengkabarkan tentang adanya kitab “nyata” atau Lauhu al-Mahfuzh itu.
Yang ke dua, sudah diisyaratkan di atas bahwa antara penulisan dan ilmu, sudah pasti didahului dengan ilmu, bukan sebaliknya. Memang, kalau yang menulis itu orang lain, maka pembaca yang membaca tulisan itu yang akan mendapatkan ilmu kemudian. Akan tetapi pembahasan kita ini adalah penghubungan kepada penulisnya itu sendiri. Di sini, sudah tentu sang penulis, memiliki ilmu dulu baru menuliskannya, bukan sebaliknya.
Yang ke tiga, pendahuluan ilmu itu sangat bermamfaat bagi menutup kemungkinan lainnya. Yaitu Kuasa atau Qudrat. Karena bisa saja seseorang memahami bahwa yang mendahului penulisan itu adalah Kuasa. Yakni yang dimaksudkan Tuhan adalah kependahuluan KuasaNya, bukan kependahuluan IlmuNya, walaupun dua-duanya mendahului penulisanNya.
Nah, kalau yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah bahwa penulisan itu didahului KuasaNya, maka jelas akan melahirkan “Determinis” atau “Jabariah” alias rukun iman yang ke enam bagi saudara-sauadara kita Ahlussunnah. Karena, apapun yang terjadi di alam ini, tergantung pada penulisanNya, dan penulisanNya tergantung kepada KuasaNya. Dan karena segala hal yang menyangkut manusia itu termasuk bagian dari alam ini, maka sudah pasti semua yang menyangkut baik buruknya setiap manusia, tergantung kepada Lauhu al-Mahfuzh yang bersumber dari Kuasa dan KehendakNya itu.
Betapa luar bisanya Tuhan kita, betapa luar biasanya, dan Dia lebih besar dari yang kita ketahui. Karena banyak sekali yang mendahului penulisanNya itu. Seperti Wujud, Qadim, Hidup, Kuasa, Kehendak, Ilmu dan semacamnya. Dan di ayat-ayat di atas itu, Allah hanya menyentuhkan Ilmu dan ke-Maha TahuNya kepada telinga, mata dan akal kita manusia. Di sini, jelas dapat dipahami bahwa yang difokus olehNya adalah ke-Maha Pengetahuannya itu, bukan semacam Kuasa dan KehendakNya.
Dengan semua penjelasan di atas itu, dapat dipahami dengan mudah dan gamblang bahwa maksud ayat-ayat yang memberitahukan tentang Lauhu al-Mahfuzh itu adalah ingin memberitahukan kepada kita bahwa Allah Maha Mengetahui apapun di alam ini termasuk apapun tentang kita manusia sekalipun tersimpan dalam lubuk hati yang paling dalam.
Dengan demikian maka Lauhu al-Mahfuzh itu adalah tulisan-tulisan tentang ilmu Allah (bc: ilmu Allah) yang berkenaan dengan apa saja, terutama tentang alam materi ini dan perbuatan manusia.
Allah yang ilmuNya tidak terbatas, sudah pasti mengetahui apapun yang akan terjadi di alam ini sebelum penciptaannya, seperti daun yang akan jatuh dari pohonnya, biji-bijian yang jatuh di malam hari dan semacamnya. Perbuatan manusia yang dilakukan dengan ikhtiarnya sendiri itu, sudah pasti tidak lepas dari ilmuNya tersebut. Nah, ilmuNya itulah yang ditulis olehNya di Lauhu al-Mahfuzh.
Oleh karena itulah, maka jelas sekali bahwa penulisan itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dan tidak akan menyangkut, dengan masalah Determinis (Jabariah) atau penentuan nasib dan takdir. Karena yang ditulisNya adalah perbuatan manusia yang dilakukan dengan ikhtiarnya sendiri yang telah diketahuiNya sekalipun sebelum penciptaan.
Kalau dikatakan bahwa “ilmuNya pasti benar, dan karena ilmu benarnya itu ditulis sebelum penciptaan, berarti perbuatan dan apapun yang menyangkut kita, akan sangat tergantung kepadanya, dimana hal ini bisa dikatakan sebagai nasib dan takdir manusia”. Maka jawabannya adalah bahwa yang diketahuiNya itu adalah perbuatan manusia yang didahului dengan ikhtiarnya sendiri. Jadi, kepastian benarnya ilmuNya tentang ikhtiar manusia ini, justru keniscayaan ikhtiar manusia itu, bukan sebaliknya. Yakni bukan menjadi terbaliknya masalah dan membuat manusia yang diketahui berikhtiar itu menjadi tidak berikhtiar karena harus mengikuti kebenaran ilmuNya itu.
Akan halnya kadar-kadar yang difirmankanNya maka maknanya adalah pengkadaran terhadap segala sesuatu sesuai dengan ketentuan-ketentuanNya, bukan pengkadaran nasib manusia. Misalnya Allah berfirman:
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya Kami mencipta segala sesuatu sesuai dengan kadar/ukurannya” (QS: 54: 49).
Dengan demikian pengkadaran semua makhluk ini tidak bertentangan sama sekali dengan ikhtiar manusia, karena ikhtiar manusia ini adalah salah satu dari takdir manusia. Jadi, pengkadaran bagi manusia adalah bahwa manusia diberi akal, berpanca indra, berfitrah, berfikir, bersosal, berkaki dua, bermata dua, berbuat sesuai ikhtiar dan pilihannya, memiliki balasan sesuai dengan niat dan perbuatannya....dst., bukan dikadar tentang nasibnya.
Jadi, yang ditulis Allah di Lauhu al-Mahfuzh itu adalah ilmu-ilmu dan ketentuan- ketentuanNya tentang semesta dan apapun yang akan terjadi, sekecil apapun. Namun, yang berkenaan dengan perbuatan manusia adalah ketentuan-ketentuanNya yang berupa peng-ikhtiran manusia dan jenis balasannya, dan ilmuNya tentang detail-detail pilihan masing-masing manusia dan juga balasannya, bukan menentukan nasibnya sebagaimana yang diyakini oleh saudara-saudara Ahlussunnah yang mengambil dari Asy’ariyah.
Jadi, maksud takdir dalam ayat-ayat dan riwayat-riwayat, adalah ketentuan-ketentuan Allah tentang makhluk dan alam semesta (seperti api panas; pohon kering akan terbakar kalau terkena api; dan semacamnya) dan tentang perbuatan-perbuatan manusia yang ditentukan/ditakdirkan bahwa perbuatannya sesuai dengan pilihannya sendiri (ikhtiar) dan ditentukan/ditakdirkan bahwa akan menerima balasan sesuai dengan pilihannya itu. Begitu pula bahwa diri dan ikhtiar manusia ini juga ditakdirkan saling berhubungan dengan alam dan ikhtiar manusia lain di sekitarannya. Dan maksud Lauhu al-Mahfuzh adalah ilmuNya yang meliputi segala hal termasuk pilihan, ikhtiar manusia dalam detail- detail kehidupannya sampai kepada balasannya.
Dan ketika salah satu ketentuanNya adalah saling berinteraksinya ikhtiar manusia yang satu dengan inkhtiar manusia yang lainnya, dan pengkabaranNya tentang ilmuNya terhadap segala sesuatu, maka Allah dan agamaNya sering menyuruh kita sabar dan pasrah serta yakin menerima takdir kita.
Artinya, harus teliti dalam memilih setiap perbuatan kita karena sangat bisa terganjal oleh lingkungan dan ikhtiar-ikhtiar orang lain atau lingkungan sekitar, seperti hujan, dimana kalau hal itu terjadi, maka harus lapang dada, sabar dan ulet mencari jalan keluarnya. Begitu pula, harus teliti dalam memilih lingkungan yang akan banyak mempengaruhi pilihan-pilihan dan ikhtiar-ikhtiar kita itu. Bukan sabar menerima takdir dan nasib kita yang ditentukan secara paksa dari atas di Lauhu al-Mahfuuzh, karena hal itu, yakni penentuan dan penulisan itu, tidak ada.
Bahkan agama tidak jarang menyuruh manusia/kita membuat lingkungan yang indah dan Islami. Hal itu tidak lain supaya manusia bisa tidak terlalu banyak menghadapi pengaruh atau rintangan yang akan muncul dari lingkungan dan ikhtiar-ikhtiar selainnya.
Semua ini menjelaskan kepada kita bahwa sama sekali Tuhan dan agama tidak ingin mengatakan bahwa nasib menusia itu sudah ditentukan dari sananya dan menyuruh kita pasrah terhadapnya. Karena itulah maka “Jabariah” yang diyakini sebagai rukun iman ke 6 oleh saudara-saudara Ahlussunnah, hingga sering muncul perkataan semacam “Tuhan adalah paling bagusnya penyusun skenario”, atau “Kita hanya bisa berusaha tapi Tuhanlah yang menentukannya” .....dst. tidak bisa diterima sama sekali dalam pandangan Islam yang dibawa dan diwariskan oleh Ahlulbait Nabi saww yang wajib dishalawati dalam shalat kita sehari-hari itu.
Tidak jarang saudara-saudara kita Ahlussunnah mengatakan pernyataan yang ke dua itu, untuk lari dari Jabariahnya Asy’ariyah. Mereka tidak mengerti bahwa “berusaha” itu adalah “perbuatan”, bukan “keyakinan”. Sementara “Tuhan menentukan” adalah “keyakinan” dan “Jabariah”.
Sebenarnya, mau lari kemanakah mereka? Mau ambil Mu’tazilah yang freewill, takut ingkar pada ayat yang menerangkan tentang “Lauhu al-Mahfuzh”, tapi mau ambil Jabriah, sepertinya tidak enak di hati, karena bertentangan dengan fitrahnya. Tentu saja, dengan rukun iman ke 6 mereka itu, sudah dapat dipastikan bahwa pilihan mereka adalah “Jabariah”. Berarti, langsung atau tidak, berarti mereka menolak fungsi akal dan agama serta menolak ke-Adilan Tuhan sebagaimana maklum.
Di sinilah fungsi terpenting dari iman kepada ke-Adilan Tuhan ini. Karena, bagaimana mungkin Allah menyuruh semua manusia untuk berusaha menjadi baik, berhasil, masuk surga, beriman, taqwa, berjuang dan mati syahid, silaturrahmi supaya panjang umur, bersih supaya sehat dan tidak sakit, sukses dan kaya supaya bisa naik haji dan membantu yang lemah, cari pasangan yang taqwa supaya harmonis dan berketurunan yang baik
...dst, tapi di lain pihak Dia sudah menentukan baik-buruknya, berhasil-gagalnya, masuk surga-nerakanya, iman-kufurnya, taqwa-bejatnya, berjuang-khianatnya, syahid-ketabrak mobilnya, silaturrahmi-tidaknya, panjang-pendek umurnya, bersih-kotornya, sehat-sakitnya, kaya-miskinnya, haji-tidaknya, membantu-dibantunya, jodoh-tidaknya, harmonis-tidaknya, talaq-tidaknya, punya keturunan-tidaknya, turunan yang baik-tidaknya ...dan seterusnya.??!!
Bagaimana mungkin seseorang bisa meyakini ke-AdilanNya kalau dia juga meyakni semuanya sudah ditentukanNya? Karena, tidak diragukan, bahwa saudara-saudara Ahlussunnah juga meyakini ke-AdilanNya. Tapi dengan meyakini rukun iman ke 6 itu, yang entah dari mana datangnya (tentu dari al-Asy’ari), maka mereka secara langsung atau tidak, sudah menolak ke-AdilanNya tersebut. Ada benarnya juga manakala orang awam berkata:
“Kasihan sekali Tuhan. Karena Dia sering difitnah membuat orang sakit, jodoh tak serasi, cerai, tabrakan, bunuh diri, bangkrut, gagal, kafir, bejat, judi, gaul bebas, pendek umur, mabok, judi, dan akhirnya masuk neraka, atau difitnah dengan belum memberi hidayah hingga dikatakan bahwa orang-orang kafir atau yang tidak taqwa itu belum mendapatkan hidayahNya”
berlanjut ke bag: 2-b..
Anwar Mashadi: Terima kasih tag-nya Pak Sinar... Doakan agar saya bisa melihat, semoga cadar yang sedikit dibukanya itu memang isyarat yang ditujukan pada saya...
Bin Ali Ali: SYUKRAN USTADZ ANE JUGA DI TAG.........HEHEHE.
Haerul Fikri: Terima kasih banyak ustadz.. semoga senantiasa kenikmatan tercurah kepada anda hingga tetap teguh dalam ikhtiar untuk mencerahkan umat.. al faatihah ma’a shalawat..
Sinar Agama: Salam terimakasih untuk semua jempol dan koment serta dukungan dan doanya. Semoga kita selalu dalam selimut KasihNya.
Sinar Agama: Ali-A: Terimakasih atas perhatiannya. Tapi afwan ana belum bisa mengukir namaku di fb ini. Doakan semoga Allah selalu membimbing kita ke dan di JalanNya.
Syarifah Hana A. Fathiman: Ilahi amin ya Karim.. Syukran ustad atas ilmu yang diberikan.. Semoga saya bisa menyerap hikmahnya.. Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad wa ajjil faraja aali Muhammad.
Cut Yuli: Syukron Ustadz..
Sinar Agama: terimakasih untuk semua dukungan dan doanya.
Sinar Agama: Ali-A: Benar, takdir yakni hukum alam yang didalamnya jg hukum-hukum sosial manusia. Yakni hukum-hukum yang didalamnya tidak diisi dengan siapapun dari seorang atau makhluk tertentu. Dia hukum-hukum umum, seperti x+x= 2x. Dan Tuhan tidak mengisi x itu dengan siapapun, kecuali naturalnya. Jadi yang selainya, seperti interaksi dan apalagi ikhtiar- ikhtiar manusia, maka Tuhan tidak mengisinya dengan siapapun, Walau Tuhan sangat tahu siapa- siapa yang akan masuk atau memasukkan dirinya ke dalam x tersebut.
Candiki Repantu: Thank’s ustadz.... semoga antum terus diberkahi ilmu dan rahmat ilahi dalam dakwah suci ahlil bait...! Tak bisa tidak, keadilan adalah tiang semesta..!
Sinar Agama: Candiki , terimakasih bahagia dan doanya.
Sinar Agama: Ali-A: Maha Mengetahui apa saja , termasuk semua perbuatan manusia yang dilakukan dengan ikhtiarnya sendiri tanpa dipaksa Tuhan dan sekaligus tahu akan hasilnya seperti surga-nerakanya.
Catatan Lanjutan:
- Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah, Bag: 2-b/akhir (Keimanan Syi’ah tentang Adilnya Tuhan)
- Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah Bag: 1 (Keimanan Syi’ah Terhadap Tuhan)
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ