Sabtu, 28 Desember 2019

Taqiah (seri 2) : Penjelasan atas Fatwa Rahbar “Imam Ali Khamenei” tentang Taqiah


Oleh Ustad Sinar Agama http://www.facebook.com/groups/210570692321068?view=doc&id=215668901811247 Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 9 Juli 2011 pukul 17:03


Bintang Ali: Salam wa rahmah.

Ustad, dulu saya pernah bertanya tentang taqiah persatuan ke ustad dan intinya berjamaah dengan sodara sunni itu boleh selama fiqih solat syiah dikerjakan (sujud diatas turbah, irsal dan lain-lain), di luar itu solatnya ga sah.. tapi ada fatwa rahbar yang membingungkan saya:


Fatwanya:

“bermakmum pada sodara ahlusunah dengan tujuan untuk memilhara persatuan dan kesatuan islam adalah diperbolehkan. Apabila untukmemelihara persatuan ini meniscayakan pelaksanaan hal-hal sebagaimana yang mereka lakukan, hal ini diperbolehkan dan solatnya sah, BAHKAN JIKA MENGHARUSKAN SUJUD DI ATAS PERMADANI DAN SEJENISNYA, tetapi bersedekap dalam solat brsama mereka tidaklah diperbolehkan kecuali bila keadaan menuntut hal tersebut”

(sumber: daras fiqih, ringkasan fatwa imam Ali Khamenei.)

Yang saya capslock itu yang buat saya bingung, pertanyaannya berarti boleh sujud di sajadah dalam rangka persatuan? Atau ada maksud yang saya tidak paham dari fatwa tersebut ?

Syukron.


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Yang dimaksud dengan shalat persatuan itu adalah dengan memelihara ajaran Syi’ah dalam shalat tersebut kecuali bersama merekanya atau bermakmum kepada merekanya.

(2). Yang dimaksud dengan tidak boleh bertaqiah dalam sedekap karena ia merupakan ajaran wajib syi’ah yang di sunni juga ada. Hingga akan terlalu berlebihan kalau lurus tangan juga harus sedekap. Lagi pula lurus tangan tidak akan menyebabkan berbagai kesalahpahaman dan fitnah.

(3). Beda halnya dengan sujud di atas batu. Karena bisa saja mereka mengatakan bahwa kami akan bersatu dengan kalian (syi’ah) kalau kalian menyembah Allah, bukan menyembah batu. Nah, sujud di atas batu itu bisa dibuat fitnah kepada orang-orang awam dan bisa menjadi penyulut perpecahan.

Jadi, masuk akallah kalau diumpamakan terjadi akan adanya sujud di atas karpet itu sebagai syarat persatuan. Karena itu, karena masuk akal inilah, maka taqiah dengan alasan persatuan ini dapat dijalankan.

Beda halnya kalau meminta tangan lurus. Karena hal itu tidak membuat fitnah dan apalagi di sunni juga ada yang lurus. Dan, terlebih lagi disunni sedekap itu maksimalnya hanya sunnah. Karena di sunni ada tiga hukum sedekap: sunnah, makruh, dan mubah.

(4). Nah, akan tetapi, kalau suatu saat bahwa sedekap juga membuatnya seperti itu, misalnya di daerah yang dihuni orang-orang awam dan bermadzhab syafi’i. Misalnya mengira bahwa sedekap itu wajib dan kalau tidak maka shalatnya batal. Lalu mereka berkata “kita tidak mau bersatu dengan yang shalatnya batal”. Nah, kalau seperti itu keadaannya, maka boleh juga bertaqiah dengan sedekap dengan alasan persatuan.

Tambahan:

Yang dibahas di atas itu adalah taqiah persatuan, bukan keamanan yang 4 itu (ada kemungkinan dipukuli, dibunuh, diperkosa dan diambil harta kehidupannya). Karena taqiah yang disebabkan keamanan, maka semua dibolehkan sesuai dengan tuntutan keadaannya. Seperti sujud di karpet, sedekap ...dan seterusnya.


Taqiah di atas, kalau dilakukan untuk puasa, maka hanya menghilangkan dosanya saja akan tetapi tetap wajib diqodho di lain waktu.

Maksud dengan taqiah di atas, adalah taqiah yang sudah dengan sebab-sebab yang benar tersebut. Bukan hanya untuk pertemanan dalam arti tidak mengancap persatuan, atau karena tidak enak dan semacamnya. Karena kalau dalam hal-hal seperti ini dilakukan taqiah puasa, maka taqiahnya batal karena tidak memenuhi syarat-syarat taqiah dimana akibatnya bukan hanya dosa, tetapi juga harus membayar kaffarah puasa selain melakukan qodho di lain harinya.

Wassalam.


Chi Sakuradandelion dan 6 orang lainnya menyukai ini.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Wudhu Ketika Diinfus


seri tanya jawab Muhammad El’Baqir dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 5:23 pm

Muhammad El’Baqir mengirim ke Sinar Agama: 23-3-2013, Salam Ustadz.
Semisal saya sedang dirawat dirumah sakit masih belum bisa bangun dan tangan saya di infus, kemudian saya hendak melakukan sholat akantetapi saya belum bisa berwudhu dan bertayamum itu bagaimana Ustadz solusinya? Syukron.


Hikmah Munirah dan Zahra Herawati Kadarman menyukai ini.


Sinar Agama: Salamdan terimakasih pertanyaannya: Selama masih bisa melakukan wudhu dengan jabirah, maka wajib melakukannya. Wudhu itu kan bisa dengan setengah gelas air atau kurang dari itu. Tapi kalau tidak bisa, maka bisa dengan melakukan tayammum dengan meminta debu atau pasir yang bersih. Kalau tidak bisa bergerak, maka orang lain yang mentayammumkannya seperti yang sudah dijelaskan di fikih.

Muhammad El’Baqir: Kalau dengan segelas air itu bagaimana caranya Ustadz? Dan apakah infusan yang ada di tangan tidak jadi penghalang?

Sinar Agama: Muhammad: Wudhu itu memang hanya dengan setengah gelas kecil bahkan. Pertama tuang ke tangan kanan sedikit, untuk mencuci muka. Kalau dengan satu tuangan itu sudah bisa diratakan ke seluruh wajah, maka sudah cukup. Kalau belum boleh melakukannya dua kali. Dan kalau yang ke tiga, itu sudah haram. Lalu tuang sedikit lagi ke tangan kiri untuk membasuh tangan kanan dengan keterangan yang sama dengan membasuh wajah. Lalu tuang lagi ke tangan kanan untuk membasuh tangan kiri dengan keterangan yang sama.

Sedang tangan yang diinfus, maka hanya wajib mengusap-usap atau membasahi bagian atasnya, yakni bagian jabirah/perbannya. Hati-hati kalau pernah ada darah, jangan sampai terkena darahnya karena airnya akan menjadi najis. Bisanya, kalaulah ada darah, hanya di lubang suntikan infus yang, tentu aman karena biasanya ada plaster penjaga lepasnya infus. Nah, plaster itulah yang dijadikan jabirahnya dan hanya diusap bagian atasnya.

Setelah itu, maka tinggal usap kepala dan kaki. Uwwes beres kan?

Muhammad El’Baqir: Oke Ustadz. Syukron atas jawabanya. Oh iya Ustadz ana sekalian minta penjelasan usapan yang ke tiga itu haram. Afwan.

Sang Pencinta: Muhammad El’Baqir: berdasarkan fatwa basuhan yang ke tiga itu haram dan wudhunya bermasalah.

Muhammad El’Baqir: Itu menurut fatwa marja atau ada hadits dari Imam atau Nabi?

Sang Pencinta: Fatwa Rahbar hf bab wudhu. Untuk fikih, mukalaf non mujtahid merujuk dan wajib ke fatwa marja’nya.

Sinar Agama: Muhammad: Bukan usapan yang ke tiga yang bermasalah, tapi mengambil air yang ke tiga untuk membasuh muka atau tangan. Kalau usapan itu, maka kalau usapannya dilakukan pada kepala, maka jelas bermasalah untuk usapan kakinya. By the way, mengambil air tiga kali, usapan tiga kali, dalam Syi’ah, adalah bid’ah yang bertentangan dengan keborosan air. Dan, sudah tentu sebagai orang Syi’ah yang bukan mujtahid, hanya dan hanya wajib, mengikuti fatwa marja’nya. Wassalam.

Sinar Agama: Tatu: Yang ke tiga itu tidak boleh karena memang tidak boleh, bukan karena air dan seterusnya. Persis seperti shalat shubuh yang hanya dua rakaat yang tidak bisa ditambah dengan 4 rakaat sekalipun kita memauinya. Mengusap telinga di pertengahan wudhu itu tidak dianjurkan. Boleh-boleh saja kalau dilakukan sebelum wudhu, seperti membersihkan hidung. Tapi kalau sudah di tengah wudhu’, yakni sudah mulai membasuh muka, maka hindari membersihkan telinga tersebut.


Aroel D’ Aroel: Salam, afwan nambahin sedikit Ustadz, bagaimana dengan kumur dan membasuh lubang hidung? Disunahkan? Boleh-boleh saja? atau malah diharamkan?

Sinar Agama: Aroel: Dianjurkan kalau belum wuhdu, yakni menjelang wudhu seperti yang sudah dijelaskan di atas.

Aroel D’ Aroel: Terimakasih Ustadz.

November 2 at 8:34 pm



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sekilas Tentang ‘Allaamah Thaba Thabai ra dan Tabarruk


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 5:20 pm


Sang Pencinta: (23-4-2013) Salam, Mas Fahmi Husein bertanya, menurut cerita beliau RA (Allamah Thathaba’i) bercelak dengan debu peziarah, dan kepandaian/kejeniusan beliau RA didapat karena dipeluk oleh Imam Zaman AFS? Terimakasih bersama Sinar Agama.


Agoest D. Irawan, Zahra Herawati Kadarman, Yoez Rusnika dan 9 lainnya menyukai ini.


Armeen Nurzam: Menyimak.

Tebe TB: Ikut.

Fahmi Husein: Sang Pencinta; kok fotonya tidak di ikut sertakan? Takdzim.

Yoez Rusnika: Menyimak.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

Sepertinya saya sudah pernah menceritakan tentang ‘Allaamah Thaba Thabai ra. Beliau termasuk seorang yang kurang cerdas hingga dalam belajar kitab paling dasar bahasa Arab di hauzah, yaitu al Juruumiyyah, yang biasanya selesai dalam beberapa bulan saja, dipelajarinya dalam tiga tahun dan, itupun belum paham-paham dengan baik. Tapi beliau ra, jangankan dosa, hal-hal yang tidak perlu, juga tidak dilakukan. Setelah sekitar umur 16 tahun (kalau tidak salah ingat), beliau ra memimpikan Nabi saww dan mengeluhkan keadaannya serta minta disyafaati supaya bisa lebih baik. Nabi saww mengatakan bahwa telah membantunya sejak umur 14 tahun (seingatku). Beliau ra pun, mengingat-ngingat apa yang terjadi pada tahun itu. Beliau ra ingat, bahwa tahun itu, tahun pertama beliau ra memakai serban.

Sebagaimana maklum, memakai serban untuk para pelajar agama, biasanya dilakukan melalui peresmian dalam upacara nasihat dan doa oleh para ulama besar.

Hikmah Cerita:

Biasanya guru-guru akhlak sering membawakan cerita hikmah dari para tokoh. Dari cerita beliau ra di atas, biasanya penekanannya kepada menjauhi dosa dan hal-hal yang tidak perlu. Karena itu, dikatakan, sejak kecil ‘Allaamah Thaba Thabai ra, kalau berjalan di jalan, selalu menundukkan kepala supaya tidak menengok dosa dan supaya tidak menengok apapun yang tidak perlu, seperti melihat barang di toko padahal tidak mau membelinya.

Itulah yang dikatakan para pembesar ulama seperti imam Khumaini ra dan ayatullah Jawodi Omuli hf dan yang lainnya, bahwa hati/akal itu harus disehatkan dulu sebelum ditumpahi ilmu agama karena kalau tidak, maka sekalipun mendapatkan ilmu agama, maka akan digunakan untuk jalan dunia, bukan akhirat. Dan, kalau sudah disehatkan, yakni akalnya difungsikan supaya dapat mengontrol daya-daya lainnya seperti khayal, nafsu dan seterusnya, maka ia akan mendapat pertolongan Allah dalam memahami banyak hal dan, akan mendapat kekuatan lebih untuk lebih mengontrol daya-daya ruh lainnya itu.

Jangan Salah Paham:

Dengan semua uraian itu, janganlah memahami cerita ajib atau karamah di Syi’ah, seperti sewaktu kita di Sunni yang mau terbang dengan kemalasan belajar dan hanya bertabarruk dengan ini dan itu lantaran percaya takdir Tuhan atas nasib manusia. Jalan dalam semua karamah dan keajaiban itu, adalah jalan Islam. Tidak lebih. Yaitu, usaha dalam mewujudkan potensi dalam diri dengan taqwa (menjauhi semua dosa dan melakukan semua kewajiban), lalu setelah itu barulah ia layak mendapatkan apapun pertolongan itu. Sementara salah satu jalan taqwa itu, yaitu yang menjauhkan kita dari dosa itu, adalah belajar fikih atau akidah dan mengamalkannya.

Karena itu jiwa tabarruk itu jangan dipahami negatif, yakni datang pada orang yang tidak potensial. Tapi harus dipahami secara positif, yaitu datang pada orang yang potensial. Tentu saja, kalau hanya pahala, maka dengan tabarruk sudah bisa didapatkan. Karena tabarruk itu sudah menandakan keimanan pada yang ditabarruki dan tawadhu padanya serta mencintai yang dicintai Tuhan. Semua ini, sudah cukup mendatangkan pahala. Tapi untuk hajat-hajatnya, seperti pandai, cerdas, taqwa, dan seterusnya harus dilengkapi dengan usaha keras melakukan semua mukaddimah-mukaddimahnya atau prasyarat-prasyaratnya, seperti belajar, menjauhi dosa, dan seterusnya sesuai dengan berbagai ragam hajat yang diinginkan dari tabarruk itu.

KARENA ITU, TABARRUK BUKAN INGIN MEMBUAT MANUSIA MENJADI MALAS. TAPI SEBALIKNYA, INGIN MEMBUATNYA OPTIMIS, BANGKIT DAN MELAMPAI (mencontoh) YANG DITABARRUKI UNTUK MENCAPAI HAJAT-HAJATNYA DI DUNIA INI ATAU DI AKHIRAT KELAK.


Penutup:


Cerita di atas, saya dengar sendiri dari guru akhlak saya walaupun mungkin saya bisa saja salah ingat dalam beberapa rinciannya. Dan, sudah tentu cerita itu tidak menolak adanya cerita lain tentang tabarruk beliau ra itu. Yang penting memahami kejiwaan dari makna tabarruknya.

Tambahan:

Kalau tidak salah ingat, beliau ra, dalam banyak puasanya, berbuka dengan debu yang menempel di maqam dari hdh Faathimah Makshuumah ra yang ada di Qom. Wassalam.


Fahmi Husein: Sinar Agama; Syukron atas penjelasannya, ada juga hubungan Sunni dan Syi’ah dalam cerita beliau RA? Afwan, debu (tanah yang dimaksud?) dalam fiqih Syi’ah tidak haramkah di konsumsi (buat berbuka)? Afwan, atau antum tidak salah dengar mungkin di pakai bercelak?

Sinar Agama: Fahmi: Yang haram itu tanah yang dikatakan tanah. Bukan atom-atom tanah yang tidak terlihat mata tapi hanya terlihat akal yang menempel di maqam kuburan. Karena maqam itu selalu dipegang orang dan diciumi. Jadi tidak pernah terlihat ada debunya. Kalau sampai ada terlihat debu, maka haram dimakan. 

Wassalam.




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ


Rabu, 25 Desember 2019

Hutang Khumus Itu Dihitung Sejak Kerja (awal mendapat bayaran), Bukan Awal Menjadi Syi’ah?!


Tanya-jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 5:15pm


Sang Pencinta: 23-4-2013, Salam, ada yang bertanya, jika seorang Sunni lalu hijrah ke Syi’ah dan ketika di Sunni.

1) Tahu bahwa khumus itu wajib tapi tidak membayarkannya, apakah sekarang wajib bayar bagian yang harus dikhumusi?


2) Tidak tahu apa itu khumus, apakah wajib membayarnya sekarang? Terimakasih.


Jika wajib bayar, bagaimana dengan ibadah sholat dengan pakaian dari bagian yang belum dikhumusi, semasa Sunni dulu? — bersama Sinar Agama.

Indah Kurniawati, Achmadi Al Fauzi, Haladap Saw dan 32 lainnya menyukai ini.


Hidayatul Ilahi: Nyimak.

Ayuning Wins: Salam, ikut nyimak.

Hambali Return: Nyimak, saya belum mudeng itu khumus.


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Yang tahu tapi tidak membayar khumusnya itu, wajib membayarkannya. Dan cara menghitung qadhaa’nya adalah dikira-kira setelah setahun masa kerjanya itu, apa ada kelebihan dari uang atau barang-barang konsumsinya seperti bensin, beras, nasi, tempe mentah, tempe goreng, pulsa, rokok dan seterusnya. Kalau ada, maka dikirakan jumlahnya, lalu dikeluarkan seperlimanya. Begitu pula, tahun-tahun berikutnya. Tapimengqadhaa’ khumus itu, harus dari uang yang bersih seperti harta yang sudah dikhumusi (kelebihan tahun sekarang yang sudah dikhumusi).

2- Kalau tidak tahupun, tetap wajib bayar khumus. Karena kewajiban ini tidak tergantung kepada pengetahuan sekalipun mungkin dimaafkan atas keterlambatannya kalau memang tidak tahu dan tidak ada jalan untuk mencari tahu. By the way, yang telah lalu wajib dikhumusi walau dengan mengira-ngira kelebihan dari hasil pengurangan pendapatan setahun dikurangi belanja normal (tidak berlebih) selama setahun juga.

Untuk yang telah lalu yang belum dikhumusi di kala Sunni itu, biasanya tetap harus diqadhaa’ (setidaknya sebagai kehati-hatian), dan dalam hal ini, bisa mencicil tapi dengan keridhaan marja’ atau wakilnya yang memiliki ijin perelaan terhadap penyicilan tersebut sesuai kemam- puan. Tapi kalau tidak mau melakukan kehati-hatian itu, maka cukuplah mengkhumusi apa- apa saja yang tersisa dari uang ketika Sunni yang tersisa sampai menjadi Syi’ah dan begitu pula barang-barang yang tersisa dari yang mesti dikhumusi, seperti rumah ke dua, mobil ke dua, tanah yang bukan untuk rumah, modal yang didapat dari hasil kerja dan semacamnya. Saya sudah memintakan ijin ke kantor Rahbar hf dan bahwa kalau tidak mau melakukan kehati-hatian tersebut dimana memang tidak wajib menurut kantor Rahbar hf (akan tetapi hanya baik), maka wajib mengkhumusi yang tersisa di kala sudah menjadi Syi’ah sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas itu. Lihat juga poin Tambahan di bawah.

Mata Jiwa: Pak Uztadz, jika ada kasus suaminya belum mau mengeluarkan khumus karena beranggapan bahwa setiap bulannya telah mengeluarkan sekitar 10 % dari penghasilannya untuk menyantuni faqir miskin dan beberapa sayyid/syarifah yang terhitung masih kerabat, bagaimana hukumnya?

Willy Bulao: Kalau tiap akhir tahun (bulan Desember) dapat uang kaget seperti bonus perusahaan apakah wajib dikhumusi?

Sang Pencinta: Mata Jiwa: terhitung wajib khumus, khumus itu wajib diserahkan pada marja’, tidak disalurkan sendiri oleh mukallaf.

Reyza Pahlevi: Persoalan marja bagaimana kita menentukan marja buat kita ya. Mohon penje- lasannya.

Sang Pencinta: Reyza, Penentuan seorang mujtahid yang diangkat sebagai marja di antaranya dilihat dari kelebih-pandai-an seorang mujtahid dalam menjelaskan dalil-dalil sebuah fatwa dibanding mujtahid lain, dan beberapa syarat lainnya. Kalau berminat untuk memahami lebih dalam silahkan rujuk ke sini,

https://www.dropbox.com/s/g2unyedhagftit3/WF%20Marja%20Taqlid.pdf?m

Reyza Pahlevi: Terimakasih banyak Akhina.

Sasando Zet A: Barang apa saja yang dikhumusi?

Kalau beli barang seperti motor sewaktu masih di Sunni, bagaimana hukumnya? Tapi belinya dengan cara hutang?

Sinar Agama: Willy: Kalau uang tersebut adalah hadiah yang tidak wajib dikeluarkan perusahaan dan bukan hak karyawan, atau bukan karena ada pemotongan bayaran di perbulannya yang akan diberikan di akhir tahunnya, maka ia terhitung hadiah dan tidak ada khumusnya.

Memang, pemberi hadiahnya, kalau banyak dan di luar keumuman, maka ia yang wajib mengeluar- kan khumusnya dari hadiahnya tersebut. Tapi yang diberi hadiah, tidak wajib khumus.


Sinar Agama: Mata: Penyantunan itu bisa dianggap pengeluaran belanja. Tapi tidak sebagai khumus. Artinya belanjanya boleh dipotong untuk sedekah dan membantu orang atau Islam. Yakni yang dimaksudkan dengan belanja yang boleh dipakai dari penghasilan itu, termasuk di dalamnya hal-hal seperti sedekah itu.

Jadi, kalau pada akhir tahun Khumusnya masih ada sisa dari uang dan barang-barang konsumsinya, maka wajib dikeluarkan seperlimanya dan diserahkan ke marja’ atau wakilnya untuk disalurkan kepada yang berhak dan tidak bisa disalurkan langsung karena bisa salah dan sebagainya. By the way, harus disetor ke marja’-nya atau amil khumus dari marja’nya itu.

Kalau suami tersebut Sunni, maka jangan dipaksa supaya tidak terjadi hal yang lebih buruk seperti pertengkaran atau perceraian, karena itu cukup diingatkan saja. Tapi kalau istrinya yang syi’ah, maka setiap ada kelebihan dari belanja atau uang apa saja yang diberikan dari penghasilan suaminya di tahun khumusnya, maka keluarkan khumusnya tanpa harus ijin kepada suaminya. Karena khumus itu hak Allah, Nabi saww, Ahlulbait dan para sayyid/syarifah (keturunan ‘Abdulmuthallib) yang fakir, baik yatim atau tidak, atau yang kehilangan uang di perjalanan.

Mata Jiwa: Maaf Pak Ustadz, ada teman yang minta dihitungkan khumusnya dari seluruh harta dan penghasilan dan lain-lainnya, merepotkan Pak Ustadz tidak ya? Saya sudah minta pada Sang Pecinta secara garis besarnya, tapi dia minta Pak Ustadz yang hitungkan secara detail. Teman saya ini baru masuk Syi’ah, bagaimana Pak Ustadz Sinar Agama?

Arief Syofiandi: Afwan Ustadz kalau seseorang mendapatkan hadiah, misalnya berupa uang 4 juta rupiah dari saudara atau seseorang yang kitatahu pekerjaan dia bergelut di bidang MLM dan bisnis lainnya yang halal, apakah hadiah tersebut harus dikhumusi? Yang kedua; kalau seseorang mendapat honor menulis sebagai tambahan penghasilan apakah juga wajib dikhumusi? Terima kasih sebelumnya.

Sang Pencinta: Arief Syofiandi, kalau tidak diketahui status harta itu haram atau tidak (hanya menduga-duga), harta itu halal dan hadiah itu tidak kena khumus. Sepahaman saya, honor tambahan itu dikenai khumus.

Sinar Agama: Mata: Sudah tentu saya bisa membantunya, in'syaa Allah. Karena itu, tentukan dulu kapan ia mulai bekerja, baik di Sunni atau di Syi’ah. Artinya yang penting awal kerjanya atau awal menerima bayarannya, bukan awal Syi’ahnya. Lalu kirakan apa-apa yang tersisa di tahun berikutnya pertahunnya. Baik sisa uang di kantong atau di tabungan, atau sisa-sisa dari barang- barang konsumsinya (beras, nasi, tempe, minyak goreng, minyak wangi, pulsa, rokok, gula, dan seterusnya) dan semua itu, bisa dengan dikira-kira saja. Kalau ada barang-barang yang cukup satu, lalu dibeli dua, seperti motor, mobil, handphone dan seterusnya maka juga dimasukkan ke dalam sisa-sisa harta dalam pertahunnya. Begitu pula kalau membeli tanah atau rumah yang tidak diperlukan untuk tinggal karena sudah punya dan seterusnya. Tapi jangan dilanjutkan di sini, karena semakin ke bawah, biasanya saya lupa atau tidak terjangkau karena berbagai hal. Jadi, tulis di dinding yang baru. Hari ini saya roll ke bawah, hanya karena mau mencopy yang perlu dicopy sebagai data, dan ternyata ada pertanyaan lanjutan.

Sinar Agama: Arief: Saya sudah menjawabnya di pertanyaan baru yang antum buat di dinding. Ahsantum. Kalau pertanyaan antum tidak terjawab dalam beberapa hari, terutama di kolom, maka tolong tanyakan lagi di dinding yang baru.

Tambahan:

Memang ada yang mengatakan (seperti kantor Rahbar hf) bahwa kalau selagi di Sunni itu uang-uang kelebihannya sudah habis terpakai di waktu Sunninya, dan sudah tidak tersisa sampai sekarang (sampai menjadi Syi’ah), apakah dalam bentuk uang atau barang (barang yang mesti dikhumusi seperti barang ke dua dimana sebenarnya cukup memiliki satu saja, seperti rumah ke dua, mobil ke dua dan seterusnya), maka sudah dimaafkan. Tapi saya memilih menganjurkan yang pertama karena lebih hati-hati dan disyahkan juga oleh salah satu wakil Rahbar hf kalau mau hati-hati sekalipun tidak wajib. Hal itu karena untuk kemudahan penerapannya daripada salah hitung dan salah lacak. Mungkin kalau ada teman-teman yang kesulitan amat karena besarnya hutang khumus itu dan tidak mampu mencicilnya (mencicil ini juga harus dengan ijin marja’ atau wakilnya), maka mungkin bisa shuluh/berunding atau meminta keringanan kepada marja’nya. By the way.

Ramlee Nooh, Alie Sadewo Nsc and 18 others like this.

Reyza Pahlevi: Kalau untuk yang marjanya Rahbar bayar khumusnya ke siapa di Indonesia.

Sinar Agama: Reza: Benar, tanya pada Sang Pencinta di inboxnya.




Baca juga, tentang Khumus lainnya:
==========================


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Air Hujan Di Bulan Niysaaan (April)


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 5:01 pm


Sang Pencinta: 23-4-2013, Salam, tentang riwayat ini “Rasulullah saww bertanya:

“Apakah kalian mau aku ajari satu pengobatan yang telah diajarkan Jibril as padaku sehingga aku tidak butuh kepada pengobatan dokter?”


Para Shahabat pun bertanya: “Pengobatan apa itu ya Rasul?” Nabi Bersabda :

“Ambilah air Hujan di bulan Niysaaan (April) dan Bacalah AlFatihah, ayat kursi, al Ikhlas, anNas, alFalaq & alKafirun masing-masing 70x”. Apakah bacaan suratnya dibacakan ke air atau tidak? Terimakasih Ustadz. — bersama Sinar Agama.

Fahmi Husein, Maya Zahra, Indah Kurniawati dan 35 lainnya menyukai ini.


Sang Pencinta: Ustadz Sinar Agama: tambahan, bolehkah air hujan tersebut ditambahin dengan air dimasak/air kemasan, baru diminum, terimakasih Ustadz.

Armeen Nurzam: Menyimak.

Fahmi Husein: Umumnya air hujan yang baru turun (melalui seng) di buang dulu karena jelas bercampur kotoran.

Air hujan yang tinggi zat kapurnya sangat bagus untuk kesehatan, juga tetap ada efek sampingnya bila mengkonsumsi berlebihan.

Di Kalimantan banyak yang menampung air hujan untuk keperluan air sehari-harinya (minum, masak, dan lain-lain).

HenNy Chie-Cwityy: Berarti nunggu hujan tahun depan donk, ikut nyimak ya ustad.


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Terlepas haditsnya shahih atau tidak, tapi kalau urusan-urusan tidak terlalu mendasar dan, yang bersifat kesunnahan, biasanya Makshumin as sendiri sudah memberikan keluasan. Hingga dalam satu riwayat dikatakan bahwa kalaulah hadits yang dikira benar itu tidak benar, maka tetapakan diberi manfaat dari isi haditsnya. Jadi, kalaulah bukan sunnah melakukan ini dan itu seperti yang tertera dalam suatu riwayat yang diyakininya benar tapi ternyata tidak benar, maka tetap akan diberi pahala kalau mengerjakannya sebagai rahmat dari Tuhan bagi orang yangkarena ingin mengikuti Makshumin as mempelajari dan mengamalkan hadits-hadits makshumin as.

2- Biasanya hadits-hadits tentang pengobatan itu, bersifat kondisional. Jadi, bisa saja hanya memiliki berkah dan manfaat di jaman pengucapan haditsnya tersebut.

3- Kalau mau mengamalkan hadits di atas, maka niatkan karena Allah. Dan dalam petunjuknya air hujan yang dibacai itu, diminum di pagi hari dan di permulaan malam (isyaa’) selama tujuh hari.

Jawaban Soal:

Karena di haditsnya dikatakan “Bacakan KE ATAS air itu”, maka yang paling tidak meragukan dengan meniatkan dan memfokuskan pembacaannya untuk air tersebut dan, supaya tambah yakin, meniupkannya ke atas air tersebut. Minimal, niat dan fokus bahwa pembacaannya untuk air tersebut.


Anjuran:

Kalau bisa sediakan dua tempat. Tempat pertama diletakkan di awal-awal hujan. Tempat ke dua, diletakkan setelah hujan turun sekitar 5 menit. Tujuannya, kalau air yang ke dua itu cukup, maka jangan pakai yang pertama. Karena biasanya hujan yang pertama itu masih membawa banyak bakteri, beda dengan hujan di jaman Nabi saww yang manusianya belum milyaran dan belum ada berbagai penyakit terutama di negara arab yang mungkin kala itu memiliki kondisi beda sekali dengan tempat lain dan, terutama hari ini.

Kalau air ke dua itu tidak cukup dan/atau tidak hujan lama, maka pakailah air pertama itu. Semoga bacaannya itu dapat membuang dimensi penyakitnya (kalau ada).


Sang Pencinta: Riwayat di atas dikutip dari Mafatih Ustadz.

Sinar Agama: Henny: kan sekarang masih tanggal 23?

Sinar Agama: Pencinta, ahsantum, sangat mungkin memang shahih. 

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Selasa, 24 Desember 2019

Meniti Shirat Yang Ada di Dalam Neraka Selama 50.000 tahun Dalam 50 Estafet/Pintu


Seri tanya jawab Heri Widodo dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:55 pm


Heri Widodo mengirim ke Sinar Agama: 22-4-2013, Assalamu’alaikum, wr. wb. Sholawat. Ustadz, afwan. Apa saja yang terjadi ketika seseorang berada di Alam Kubur. Mohon deskripsikan perjalanan seseorang dari mulai ajal menjemput, diurus jenazahnya, setelah berada di liang lahat, hingga dibangkitkan lalu digiring di Padang Mahsyar, kemudian ditimbang di Al Mizan, dipaksa melewati jembatan Shirathal Mustaqim hingga kecemplung di Neraka lalu menikmati kehidupan Alam Surga hingga menuju ke Alam diatasnya lagi. Apakah Almarhum setiap hari memantau aktifitas-aktifitas keluarga atau orang-orang yang dicintainya yang masih hidup. Apakah putaran waktu pagi, siang, sore, malam, dan sebagainya masih dirasakan bagi si mayit. Mungkinkah orang yang meninggal masih bisa merayu Allah untuk kemaslahatan siapapun yang masih hidup. Surat al Fathihah yang dikirimkan untuk Almarhum di alam kubur langsung mewujud sebagai apa. Faktor apa saja yang melatarbelakangi Hadhrat Maryam binti Imran Sa menjawab seperti ini “bila Allah mengizinkan aku hidup kembali, aku amat merindukan untuk berpuasa diterik siang hari dan bangun munajat didinginnya malam”.

Sulis Kendal, Al Asghar, dan Yoez Rusnika menyukai ini

Sang Pencinta: Salam, ini pernah saya tanyakan, 1162. Ke Dahsyatan Menjelang Kematian Oleh Ustad Sinar Agama:

http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/496962047015263/

Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: Seingatku sudah ada di catatan tentang semua yang antum tanyakan itu. Tolong Pencinta, berikan katalog yang lima seri itu, biar dicoba untuk dicari dulu di sana. Karena kalau ana tulis lagi, akan sangat panjang dari berbagai pertanyaan di atas itu.

Kalau mau cari, carilah pembahasan tentang: Ruh dan pembagiannya; Ruh manusia ketika sudah mati; Makna jalan lurus di akhirat; Makna timbangan di akhirat; Posisi neraka dan surga; Syafaat; Tawassul; Hubungan manusia dengan orang mati; Pengaruh amalan yang hidup seperti hadiah- hadiah ibadah kepada yang mati; dan semacamnya.

Untuk Hadhrat Maryam as itu, sudah tentu karena berbagai faktor yang diantaranya adalah faktor cinta sejati kepada Allah, karena keindahan cinta itu terletak di tiadanya diri yang sudah tentu tidak akan pernah melihat dirinya, deritanya dan seterusnya. Ini yang bisa kita raba dan, hakikatnya, sangat jauh dari yang dapat kita tangkap.

Dan untuk tambahan jalan lurus di akhirat itu, dimana jembatannya sudah pernah dijelaskan sebelumnya bahwa diterangkan dengan dua keterangan hadits yang juga mengatakan bahwa ada di dalam neraka yang memiliki lima puluh pintu pertanyaan dan proses tanya jawabnya. Karena itu cari juga catatan yang menerangkan bahwa semua orang pasti masuk neraka sekalipun para Nabi as dan Imam as, tapi tidak panas bagi mereka karena diselamatkan Tuhan (QS: 19: 71-72):


“Dan tidak seorangpun dari kalian kecuali akan memasukinya -neraka- dan yang demikian itu sudah merupakan ketentuan pasti Tuhanmu. Kemudian Kami akan menyelamatkan yang bertaqwa dan membiarkan yang aniaya di dalamnya dengan keadaan telungkup/membungkuk.”

Tambahannya diambil dari pertanyaan inbox:

Harun Aprianto Baru: Salam Ustadz, pada QS 32:5 satu hari kadarnya seribu tahun pada QS 70:4 satu hari kadarnya lima puluh ribu tahun, apa maksud perbedaannya?

Sinar Agama: Salam:

Banyak tafsiran untuk yang 1.000 tahun itu. Tapi yang terkuat adalah waktu di akhirat kelak.

Sedang di QS: 70:4 itu, dimana menyatakan 50.000 tahun, maka imam Ja’far as pernah ditanya dan jawabannya adalah: Bahwa di akhirat kelak itu ada 50 tahapan dimana masing-masing tahapannya memiliki waktu 1.000 tahun.

Jadi, proses tanya jawab di pintu-pintu Shirathalmustaqim yang berada di dalam neraka itu, memiliki masa waktu 1.000 tahun pada masing-masing proses dan pintunya hingga keseluruhan 50 pintu itu akan memakan waktu 50.000 tahun lamanya. Jadi, selama itu kita akan berada di neraka sampai keluar ke surga atau tenggelam bahkan di pintu awalnya.

Sedang yang taqwa dan terutama para Nabi as dan Imam as, sudah pasti akan terasa ringan dan cepat sebagaimana juga diterangkan oleh Islam bahwa banyak yang bahkan tanpa hisab untuk masuk surga. Tanpa hisab ini, maksudnya adalah dengan penghisaban yang super cepat hingga 50.000 tahun itu, bisa ditempuh dengan sepersejuta detik.

Karena itu, kalau ingin cepat pemeriksaannya di sana, lakukankah pemeriksaan selalu di dunia ini. Dan alat periksanya, tidak lain kecuali akidah dan fikih sebagaimana sudah sering diulang.

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Hukum Menutup dan Melihat Aurat


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:50 pm


Sang Pencinta: 21-4-2013, Salam, ada yang bertanya, bagaimana hukum mandi bareng dengan anak yang berlawanan/sesama jenis dengan orang tua, yang belum menginjak usia akil baligh? Terimakasih Ustadz — bersama Sinar Agama.

Muhammad El’Baqir, Zainab Naynawaa, Bintan Arca dan 11 lainnya menyukai ini.


Beel Zelfana: Nyimak. Syukron.

Maya Zahra: Dalam buku Ibrahim Amini, hal tersebut tidak dibolehkan (dilarang), ikut nyimak juga.

Iis Ismanah: Nyimak.

Sang Pencinta: Maya, fatwanya beliau atau tafsiran hadits dari beliau?

Maya Zahra: Ana baca sudah lama banget tuh, dan itu buku tidak tahu kemana. Jadi tidak tahu pasti itu fatwa atau bagaimana. Ana juga tunggu/nyimak Ustadz aja.

Sebby Syihab Haura Suprayogi: Menyimak.


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

1- Anak itu dibagi menjadi tiga keadaan:


  • a- Kecil banget dan belum bisa membedakan baik-buruk dan belum bisa mengerti kalaupun diajari, seperti belum bisa mengerti bedanya lelaki dan perempuan, bedanya aurat lelaki dan perempuan, bedanya wajib dan sunnah dan seterusnya.
  • b- Kecil tapi sudah tahu baik-buruk di atas dimana diistilahkan dengan “Mumayyiz”, tapi belum baligh.
  • c- Baligh yang bisa diketahui dengan tiga cara:
    • c-1-Tumbuhnya bulu yang tebal di sekitar kemaluan, yakni selain bulu yang masih lembut yang biasa disebut dengan bulu kucing.
    • c-2-Mengeluarkan mani, baik dalam keadaan terjaga atau tidur/mimpi dan baik dengan halal atau haram.
    • c-3- Umur, dimana kalau perempuan setelah lengkap 9 tahun dan kalau lelaki 15 tahun.

2- Aurat:


  • 2-a-Aurat Lelaki adalah kemaluan, telur, lubang dubur dan bulu disekitarnya serta antara kemaluan dan lubang dubur.
  • 2-b-Aurat wanita kalau untuk lelaki adalah seluruh tubuhnya selain wajah dan tapak tangannya sampai ke pergelangannya. Kalau untuk sesama wanitanya, adalah kemaluan dan lubang dubur.

3- Jawaban Soal:


  • a- Sesama lelaki, tidak wajib menutup apapun kecuali auratnya di atas itu.
  • b- Sesama wanita, tidak wajib menutup apapun kecuali kemaluan dan duburnya. 
  • c- Tidak wajib menutup apapun dari anak kecil yang belum Mumayyiz.

Catatan:

  • a- Masih ada hukum-hukum lain dari hal di atas seperti hukum melihatnya. Jadi, hukum di atas adalah hukum wajib tidaknya dalam menutupi bagian-bagian badan dari orang yang akan melihatnya (di hadapan kita).
  • b- Ketika tidak wajib ditutupi di hadapan orang-orang yang sudah disebutkan di atas itu, maka orang-orang tersebut boleh melihatnya. Akan tetapi kebolehan ini, disyarati dengan tidak adanya pelezatan atau keraguan untuk melezati. Karena kalau melezati, sekalipun yang dilihat tidak wajib menutupinya karena tidak tahu kalau dilezati, maka tidak boleh dan hukumnya haram.
  • c- Kalau kita sudah melihat anak kita sudah mengerti setidaknya beda kemaluan lelaki dan perempuan, walaupun mungkin belum sepenuhnya dikatakan Mumayyiz, akan tetapi sebaik- nya, menjaga diri untuk menutup kemaluan dari mereka. Setidaknya, untuk melatih mereka agar cepat mengerti kebaikan dan keburukan (Mumayyiz) dan menghindari hal-hal yang kurang baik yang barangkali timbul daripadanya.

Mata Jiwa: Untuk sesama wanita tetapi antara muslimah dan non muslimah, bagaimana hukumnya melihat atau terlihat auratnya, Pak Ustadz?


Zainab Naynawaa: Salam ijin copy.

Sinar Agama: Zainab: Hati-hati dalam mencopas. Kalau memotong, maka harus mengerti maksudnya dulu supaya tidak salah seperti khumus di copasan hari ini (22-4-2013). Tapi kalau tidak memotong, maka in'syaa Allah sudah aman. Jadi kalau memotong kalimat dan menukil sebagiannya saja, antum harus paham betul maksudnya hingga tidak keliru menukil sebagian tulisanku. Terimakasih.

Sinar Agama: Mata: Untuk sesama wanita dan lain agama, sementara ini saya tidak melihat bedanya. Yakni boleh-boleh saja, tapi kalau nanti ada kesalahan akan diralat. Saya biasanya tidak berani berkata kalau tidak tahu. Tapi yang ini berani, karena memang belum pernah melihat bedanya itu atau saya melihatnya tapi lupa. Jadi, setidaknya untuk sementara, bisa memakai fatwa yang sudah dinukil itu karena di fatwa kebolehan melihat sesama wanita itu, tidak disyarati dengan muslim dan non muslimnya.

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Wajib Khumus Walau Sebatang Rokok dari Orang Yang Dipenjara Karena Hutang Milyaran


Seri tanya jawab Zainab Naynawaa dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:45 pm


Zainab Naynawaa mengirim ke Sinar Agama: 21-4-2013, Salam, semoga keberkahan Ustadz yang saya harapkan.

Afwan Ustadz ada teman minta dijelaskan rincian-rincian apa saja yang harus dikeluarkan untuk membayar khumus?


1. Barang atau bahan makanan tersisa saat waktunya membayar khumus apakah wajib dikeluar- kan dan bagaimana cara menghitungnya misalnya dari 1kg beras masih ada 1/4 beras.

2. Jika kita pinjam modal untuk usaha sementara dari keuntungan dalam 1 tahun diputar lagi untuk usaha lain, bagaimana cara menghitungnya apakah dari keuntungan pertama atau setelahnya?

3. Jika kita masih punya hutang apakah ada kewajiban membayar khumus? Sementara yang kita tahu kewajiban hutang lebih utama dari pada bayar khumus. Wassalam.


Sang Pencinta: Salam, silahkan rujuk ke sini Bu, In'syaa Allah terjawab, https://www.dropbox.com/s/61p2wbrjvbfga2u/Khumus.pdf

Zainab Naynawaa: Ko sulit untuk dilacak ya? Apa internetnya yang lagi tidak beres.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: Sekedar menambahi nukilan Pencinta:

1- Semua uang tunai atau di simpanan dan barang-barang konsumsi yang tersisa sampai masuk tanggal tahunan khumusnya, seperti pulsa internet, pulsa telepon, makanan, bensin, nasi, tempe, apa saja wajib dikhumusi dan dihitung sesuai dengan harga belinya dan dikeluarkan seperlimanya yang diuangkan tentunya.

2- Keuntungan yang diputar, sudah tentu harus dikhumusi. Dan setelah itu, baru bisa dibuat usaha lagi. Dan hutang yang berupa modal usaha yang sudah dibayar, juga wajib dikhumusi dengan uang bersih alias uang yang sudah dikhumusi. Misalnya, pinjam modal 50 juta. Dalam setahun, sudah dibayar 20 juta dan ada kelebihan hasil setelah dipakai hidup sederhana sebesar 10 juta. Maka 30 juta itu harus dikhumusi. Caranya, yang 10 juta dikhumusi dulu. Karena itu, maka yang 10 juta itu akan tersisa 8 juta yang berupa uang bersih karena sudah dikeluarkan khumusnya yang 2 juta. Nah, membayar khumus yang 20 juta itu, kan tidak bisa diambil dari modal yang sedang terputar untuk usaha itu. Jadi, 20 juta, dimana khumusnya 4 juta, maka dibayar dengan uang bersih yang tersisa tadi. Karena itu, sisa bersih seluruh keuntungan setelah dipotong khumus: Berupa uang tunai 4 juta(hasil pengurangan dari 8 juta uang bersih dipotong 4 juta khumus yang ada dimodal) dan berupa modal 20 juta. Jadi, modal yang 50 juta itu, sekarang sudah menjadi dua, pertama sebagai milik sendiri yang berjumlah 20 juta dan yang masih berupa pinjaman yang berjumlah 30 juta.

3- Khumus itu tidak ada hubungannya dengan hutang. Khumus berhubungan dengan uang dan barang-barang konsumsi yang lebih setelah mencapai tahun khumusnya. Jadi, biar punya hutang 1 miliyar rupiah, lalu ada sisa uang di kocek 1000 rupiah, di bank 1 juta, 5 potong rokok, 2000 rupiah sisa pulsa, satu gorengan tahu, satu sendok gula dan seterusnya, maka semua dijumlah dan wajib dikeluarkan khumusnya. Dan bahkan sekalipun si yang punya hutang itu, sedang meringkuk di penjara sekalipun karena hutang-hutangnya itu, maka kalau kelebihan itu ada, maka wajib membayar khumusnya.

Kalau tidak mau bayar khumus, maka sebelum tutup tahun khumusnya, bayarkan semua hal yang diperkirakan akan lebih itu, kepada hutang-hutangnya hingga tak tersisa satu rupiahpun, satu goreng tempepun dan secentong nasipun di tanggal tahunan khumusnya.


Wassalam.




Baca juga, tentang Khumus lainnya:
==========================



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Pengembalian Sebagian Uang Riba dari Diri Kita Kepada Kita Sendiri


Seri tanya jawab Irsavone Sabit dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:39 pm


Irsavone Sabit mengirim ke Sinar Agama: 20-4-2013, Salam, seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa boleh meminjam uang di bank selama tidak ada lagi tempat meminjam yang tidak memakai bunga, nah bagaimana kalau kita meminjam uang di bank syari’ah, kemudian pihak bank, memberikan pengembalian uang Rp. 100.000 rupiah/bulan dalam bentuk tabungan, apakah uang tersebut halal?

Bande Husein Kalisatti dan Uthman Hapidzuin menyukai ini.


Sinar Agama: Salam dan terima kasih pertanyaannya: Tapi afwan saya belum paham. Bisa diterangkan lebih jauh, sekalian dengan berapa pinjamannya, berapa harus membayarnya, dan mengapa bisa ada pengembalian tiap bulan Rp. 100.000 itu? Terimakasih.

Irsavone Sabit: Misalnya kita meminjam uang di bank syari’ah Empat Puluh Juta selama lima tahun, dengan cicilan tiap bulannya pada bank kurang lebih Sembilan Ratus Ribu Rupiah tiap bulannya, nah bank mengembalikan dalam bentuk tabungan sebesar seratus Ribu rupiah tiap bulannya pada nasabah, kenapa dikembalikan Seratus Ribu rupiah, hal itu sudah ketentuan bank, apakah uang pengembalian seratus ribu rupiah tersebut oleh bank pada nasabah halal?

Sinar Agama: Terima kasih penjelasannya: Dengan contoh yang antum berikan itu, berarti antum harus mengembalikan pinjaman 40 juta itu sebesar 54 juta (900,000 x 12 x 5 = 54 juta). Jadi, antum harus membayar bunga/riba sebesar 14 juta. Lalu bank mengembalikan kepada antum 100,000 sebulan dimana akan menjadi 100,000 x 12 x 5 = 6 juta. Dengan demikian, sebenarnya antum membayar riba-nya itu sebesar 8 juta hasil dari 14 juta - 6 juta = 8 juta.

Dengan perhitungan itu, maka antum tidak memakan uang riba, tapi uang antum sendiri yang semestinya dibayarkan untuk ribanya itu. Yakni bagian dari uang antum yang mesti dibayarkan ke bank.


Menurut saya, uang itu bukan uang riba, karena uang sendiri. Artinya, pembagian riba tapi dari riba yang kita bayarkan ke bank. Kalau riba itu dari pembayaran orang lain, maka jelas riba buat antum.

Namun demikian, supaya tidak bermasalah sama sekali, maka antum niatkan saja pada setiap pembayaran itu, bahwa yang 100,000 itu hanya dititipkan saja ke bank. Yakni jangan diniatkan sebagai pembayaran riba. Atau niatkan saja dari awal memang sebagai tabungan antum.

Semua ini, kalau memang pasti bahwa bank syari’ah itu tidak syari’ah, sebagaimana kita kira selama ini seukuran sampainya informasi kepada kita dalam diskusi-diskusi di facebook ini. Tapi kalau ternyata suatu saat terbukti syari’ah, maka jelas 100.000 itu bisa dihitung sebagai bonus tambahan bagi hasil.

Irsavone Sabit: Terimakasih atas penjelasan Ustadz Sinar Agama.

Vito Balataw: Salam, sekedar informasi bank syari’ah apapun di Indonesia tidak mungkin syari’ah, karena semua bank baik non syari’ah (konvensional) maupun “syari’ah” di bawah naungan Bank Indonesia (BI) yang menerapkan sistem keuangan Kapitalis/ribawi. Afwan.

Sinar Agama: Vito: Itu juga masalah buat bank syari’ah. Dulu, sekitar 20 tahun yang lalu, ketika awal-awal bank syari’ah ini dipromosikan, bahkan ada yang berkata bahwa dana yang masuk, tidak sepenuhnya dialokasikan dengan permodalan mudharabah atau bagi hasil. Karena hal itu perlu kepada program yang luas, serius dan dengan penuh ketekunan dan perombakan ekonomi Indonesia. Karena itu, katanya, dana-dana itu kebanyakannya masih diputar di bank yang bagian bukan syari’ahnya, yakni bank yang menaungi bank syari’ah yang memang bukan syari’ah itu.

By the way, menurut alfakir dalam penerapan pemahaman fikih Ahlulbait as, tidak menyentuh apapun hasil/bunga-nya adalah kewajiban yang tidak bisa dianggap ringan mengingat dosa riba terlalu besar buat manusia.


Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Senin, 23 Desember 2019

Hukum Bagian Binatang Haram dan Shalat


Seri tanya jawab Mata Jiwa dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:35 pm


Mata Jiwa mengirim ke Sinar Agama: 19-4-2013, Salam,

Pak Ustadz, apa hukumnya memeluk-meluk binatang seperti kucing? Bagaimana pula hukumnya dengan pakaian atau kursi-kursi, tempat tidur yang ditiduri kucing berkaitan dengan sholat, maksudnya apakah kucing yang katakanlah kucing rumahan yang bersih itu meninggalkan/ menempelkan najisnya? Terimakasih untuk jawaban Pak Ustadz.

Sulis Kendal, Indah Kurniawati dan 2 orang lainnya menyukai ini.


Sang Pencinta: Salam, ikut bantu. Tidak ada yang najis dari binatang yang diharamkan itu kecuali anjing darat dan babi darat. Yang lainnya tidak ada yang najis. Tapi kalau ada di tubuh atau baju kita, misalnya bulunya, maka sebelum shalat harus dibuang. Karena badan dan baju kita di samping harus bersih dari najis, keduanya harus bersih pula dari yang diharamkan.

Sang Pencinta: Sudah tercantum di kamus makanan mbak.

Laksana Cipta Usaha: Ahsan.

Mata Jiwa: Terimakasih banyak mas akhi bro Sang Pencinta.

Sulis Kendal: Salam Ustadz dan teman-teman, maaf ikut bertanya,

~ Bagaimana jika bulu kucing tadi ada yang menempel dalam mukena dan diketahui setelah sholat selesai, apakah kita wajib mengganti sholat tadi.

~ Waktu haid kita baca tawassul dan tidak sengaja kita mengeluarkan air mata (nangis) dan air mata tadi jatuh membasahi tulisan Arab tawassul tadi, hukumnya bagaimana Ustadz, karena hasil akhirnya lembaran tadi kering dan membentuk pulau-pulau dan jika waktu sholat kadang-kadangbisa sampai nangis berat, maaf-maaf sampai keluar air hidung, apakah shalat tadi jadi batal Ustadz?

Sulis Kendal: ~ dan jika bulu kucing tadi diketahui waktu do’a Qunut, sholat jadi batal, apakah wajib wudhu lagi atau sekedar membersihkan bulu kucing tadi, afwan Ustadz dan terimakasih sebelumnya.


Sinar Agama: Pencinta: Ahsantum.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: Sudah benar yang dikatakan Pencinta.

Sinar Agama: Sulis:

1- Sementara ini, tidak perlu diqadhaa’. Kalau bulu kucing itu diketahui ada di baju kita, setelah shalatnya selesai. In'syaa Allah, kalau ada perbedaan setelah konfirmasi, akan diumumkan.

2- Air mata itu tidak najis, begitu pula ingus, baik dalam keadaan bersih atau haidh. Jadi, tidak mengapa jatuh ke tulisan arab, Qur'an, baju, dan seterusnya.

3- Kalau bulu kucing itu diketahui ada di baju ketika dalam keadaan shalat, untuk sementara ini, buang bulunya dan teruskan shalatnya, lalu setelah itu ulang lagi shalatnya.

Tambahan: Bulu kucing itu tidak najis, tapi tidak boleh ada di badan atau baju ketika shalat, karena baju dan badan, selain wajib bersih dari najis, juga wajib bersih dari binatang haram.


Mata Jiwa: Maaf Pak Ustadz, untuk memperjelas: saya punya banyak peliharaan hewan yang saya gendong-gendong, peluk setiap harinya, berarti untuk kehati-hatiannya, saya mandi dulu sebelum sholat ya? Oya, jika saya mencium-cium kucing, tidak dihukumi haram kan?

Sinar Agama: Mata:

Apapun bagian binatang haram yang menempel pada kita, sekalipun ia tidak najis (karena yang najis kan hanya babi darat dan anjing darat), maka harus dibersihkan dulu sebelum kita melakukan shalat, apakah itu bulunya, air liurnya dan semacamnya. Tapi dibersihkan di sini, bukan karena najisnya, tapi karena keharaman binatangnya itu.

Jadi, memeluk binatang haram adalah tidak haram, begitu pula menciumnya (kecuali kalau dengan kelezatan yang berhubungan dengan sexual). Tapi kalau ada bagian tubuhnya yang menempel ke badan atau baju, maka wajib dibersihkan atau dibuang sebelum melakukan shalat karena membatalkan shalat. Karena salah satu syarat shalat adalah bahwa badan dan baju kita bersih dari segala macam binatang haram.

Alie Sadewo Nsc and 19 others like this.


Van We Er: Afwan Ustadz bagaimana hukumnya dengan air yang di minum sama kucing Ustadz, di rumah ana lagi susah air jadi banyak penampungan air di bak-bak pendek tanpa tutup yang kadang ana lihat ada kucing yang minum darinya?

Sinar Agama: Van, tidak masalah. Kucing itu tidak najis dan moncongnya tidak menajiskan air hingga karena itu, tidak membuat airnya menjadi najis dan tidak menjadi haram untuk diminum atau digunakan untuk wudhu dan lain-lainnya.

Mata Jiwa: Kalau kucingnya baru dimandikan bersih dengan sabun, bagaimana status bulunya Pak Ustadz? Maksudnya yang menempel dipakaian ketika sholat?

Sinar Agama: Mata: Kan badan dan pakaian shalat itu harus bersih dari beberapa hal:

1- Najis.

2- Haram (seperti binatang haram seperti kucing).

3- Ghashab atau harta haram seperti korupsi atau riba atau tidak bayar khumus.

Nah, kucing sekalipun tidak najis, tapi ia masuk di binatang haram yang tidak bisa dibawa shalat. Ingat-ingatlah rumus ini. Karena memang beberapa orang sepertinya hanya melihat bahwa masalah badan dan baju shalat itu sehubungan dengan najis saja. Padahal masih ada dua lainnya, yaitu benda haram dan harta haram/ghashab.

Jadi, satu bulu saja dari kucing yang menempel di badan dan/atau baju shalat, maka shalatnya akan batal. Tentu kalau diketahui ada bulunya.



Mata Jiwa: Baik Pak Ustadz.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ