Minggu, 22 Desember 2019

Minum Al-Kohol Karena Terpaksa dan Makan Binatang


Seri tanya jawab Hikmah Munirah dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:30 pm


Hikmah Munirah mengirim ke Sinar Agama: 19-4-2013, Salam Ustadz. Suatu hukum itu universal atau kondisional? Karena ada kasus seperti ini :

1. Ada penumpang pada sebuah kapal yang berlayar mengarungi samudera atlantik yang terkenal sangat dingin itu, karena ketakutan kapalnya mulai tenggelam, dia minum alkohol sebanyak- banyaknya, tujuannya agar ketika dia mati nanti dia dalam keadaan tidak sadar (meskipun dia bisa berenang tapi dia tidak sanggup menahan dinginnya air samudera atlantik itu sedangkan sekoci terbatas di utamakan penumpang wanita dan anak-anak) ternyata minuman alkohol itu yang menyelamatkan hidupnya karena alkohol yang mengalir ke tubuhnya telah menaikkan suhu tubuhnya, berbeda dengan teman-temannya yang mati dalam kedinginan karena tidak mengkonsumsi alkohol.

2. Hadits Imam Ali as. “bahwa kita tidak boleh menjadikan perut sebagai kuburan binatang”, bagaimana dengan penduduk eskimo yang setiap hari harus makan daging karena mereka tinggal di daerah dingin alias dekat kutub?


Sekian dan terimakasih sebelumnya. Wassalam.

Sulis Kendal, Chipoet Asli, dan Muhammad Faisal menyukai ini.


Sang Pencinta: Salam, ikut bantu Bu, setiap sesuatu dalam fikih ada hukumnya, tidak satu hal yang luput yang mana fikih akan menjelaskannya. Adalagi hukum tsanawi atau ke dua di samping hukum tsanawi di atas yaitu yang masalah darurat itu. Yaitu berbenturannya dengan hukum lain yang tidak dapat dihapus dengan hukum pertama itu. Tapi bisa saja hukum lain itu, tetap harus diabaikan manakala tidak bisa menghambat hukum pertama itu karena besar dan pentingnya. Seperti haramnya daging babi yang tidak bisa dihapus hanya dengan hukum menghormati orang lain. Atau seperti fikih Syi’ah yang tidak bisa dihapus hanya karena untuk menghormati orang Sunni. Beda kalau Sunni-nya ini jahat hingga bisa membunuh, memukul, memperkosa dan mengambil harta kehidupannya.

Salah satu hukum yang banyak bertabrakan dalam kehidupan, adalah hukum makruh dan sunnah. Misalnya, diberi makanan makruh oleh mukmin yang disunnahkan untuk menghormatinya. Atau kadang sunnah lawan sunnah yang lebih besar. Seperti puasa sunnah yang dapat dikalahkan dengan sunnah menghormati orang lain hingga karena itu, kalau kita puasa sunnah lalu diajak makan teman muslim, maka lebih besar pahalanya kalau kita berhenti puasa sunnahnya dan makan bersamanya, sebagai rahmat dari Allah.

Nah, salah satu hukum yang bisa dikatakan bertabrakan ini dimana harus dilihat mana yang paling pentingnya, adalah pakaian hitam. Misalnya, di kala pakaian hitam ini, dapat menjaga jelalatannya mata lelaki, maka bagi wanita, akan lebih baik kalau memakai baju hitam. Begitu pula kalau memakai pakaian hitam bisa menjadi syi’ar kesedihan atas kemazhluman pada Aulia dan Makshumin atau muslim yang tertindas, maka ia bisa menutupi kemakruhannya itu dan menjadikan yang afdhal memakainya.

Jangan katakan bahwa hal ini menentang Nabi saww atau para Imam as itu sendiri. Karena Syi’ah, tidak seperti wahabi yang sama sekali tidak memahami ayat dan riwayat dimana bahkan mewajibkan semua orang untuk berijtihad sekalipun tidak mengerti bahasa Arab sekalipun dan mengharamkan taqlid, tentu saja selain taqlid pada Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab.

Kembali ke masalah hukum tsanawi. Dalam hukum tsanawi ini, perlu diketahui bukan karangan ulama. Tapi ia memang hukum Allah, Qur'an, haditsdan para Makshum itu sendiri. Karena itulah, di Syi’ah, sebagaimana juga di Sunni (pengikut dan penaklid 4 madzhab, dan jelas bukan wahabi ygngaku-ngaku Sunni), seseorang untuk menjadi mujtahid yang bisa memahami ayat dan riwayat, diharuskan dulu mempelajari berbagai ilmu seperti ushul fiqih tersebut.

Kenapa begitu? Karena banyak sekali ayat dan riwayat yang tidak akan dipahami kecuali dengan meneliti dan membandingkan satu sama lainnya.

Intinya, hukum tsanawi ini diajarkan Islam itu sendiri seperti kebolehan makan babi ketika tidak ada makanan, menyentuh bukan muhrim ketikamenolongnya seperti dokter atau dari tenggelam di sungai, dan seterusnya.

Karena itu, maka baju hitam itu, akan menjadi dianjurkan kalau nilai syi’ar atau kebaikannya itu jauh melebihi kemakruhan yang biasanya hanya bersifat pribadi itu.

http://www.facebook.com/notes/sang-pencinta/ttg-kemakruhan-memakai-baju-hitam-dan-hukum-tsanawi-dalam-fikih/497063433676901

Hikmah Munirah: Maaf, mohon memperhatikan poin-poin pertanyaan saya, jazakumullah atas jawabannya yang normatif dan universal, tapi maaf saya belum menemukan kejelasan dan ketegasan jawaban untuk poin-poin tersebut.

Sang Pencinta: Tukilan di atas adalah untuk menjawab poin 1, di mana si peminum alkohol dalam kondisi terpaksa untuk meminumnya. Saya rasa tukilan tersebut dapat menjelaskan soalan pertama.


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Yang dinukilkan Pencinta itu, tidak tepat untuk menjawab pertanyaan pertama. Karena peminum tersebut, tidak meminum alkohol tersebut untuk menyelamatkan diri, tapi justru ingin membuat dirinya mabok dan tidak sadar hingga kalau mati tidak terasa dingin dan deritanya. Hal seperti ini, jelas haram. Kalau ternyata selamat karena panas badannya dan menjadi hidup, tetap saja meminum alkoholnya itu tetap haram. Karena setiap sesuatu tergantung kepada niatnya.

Tapi kalau dengan ilmu pengetahuan yang sudah diketahuinya, bahwa kalau meminum alkohol tersebut, bisa menghangatkan badannya dan bisa menyelamatkan diri karena bisa berenang atau terlepas dari sebab kematian yang akan dihadapinya, maka kaidah terpaksa, bisa dipakai dan, sudah tentu nukilan Pencinta akan menjadi benar.


2- Yang dimaksudkan hadits nukilan antum itu adalah maksimalnya makruh. Itupun kalau haditsnya sudah benar dan shahih sebagaimana yang diteliti oleh marja’ yang kita taqlidi. Karena itu, kita tidak bisa merujuk hadits tersebut. Anggap makruh, itupun kalau tidak ada hukum tsanawi/ke-dua yang mengharuskannya seperti orang Eskimo itu. Di kala sudah darurat, jangankan makruh, haram juga bisa terangkat dengan sendiri. Tentu saja, dengan pengaturan yang sudah ada di fikih.

Sang Pencinta: Ustadz Sinar Agama: iya, komen saya yang pertama tidak tepat, saya membaca soalan yang tertulis, tapi memaknainya berbeda, entah mengapa. Afwan kurang fokus.

Mata Jiwa: Oh, jadi untuk kondisi-kondisi darurat pun niat harus diluruskan ya? Insyaa Allah sekarang saya tambah mengerti mengapa kita tidak boleh berhenti belajar. Semoga pak Ustadz panjang umur dan sehat serta terus dalam kesabaran membimbing kami.

Mata Jiwa: Sang Pencinta : doa yang sama juga untuk mas akhi bro. Selalu siap sedia membantu.

Sinar Agama: Mata: Kita semua memang tidak bisa berhenti untuk terus belajar walaupun sudah mujtahid sekalipun. Karena itulah Nabi saww bersabda:

“Menuntut ilmu itu, dari timangan ibu sampai ke liang lahad.”

Sinar Agama: Pencinta: Hal itu memang biasa. Yang sudah dibimbing guru juga bisa salah memahami. Di depan para Nabi as dan para Imam as jugabisa salah memahami. Karena itu, kita harus selalu saling mengingati.

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Ukuran Wewangian Bagi Wanita


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:25 pm


Sang Pencinta: 19-4-2013, Salam, sekedar konfirmasi, ada yang bertanya, bolehkah pakaian wanita menggunakan pewangi pakaian ketika mencuci untuk mengurangi bau tengik/amis matahari saat aktifitas? Terimakasih — bersama Sinar Agama.

Indah Kurniawati, Achmadi Al Fauzi, Daris Asgar dan 24 lainnya menyukai ini.


Pangeran Terasing: Ya boleh lah.

Sebby Syihab Haura Suprayogi: Ikut nyimak.

Indah Kurniawati: Saya juga suka pakai tapi tidak berlebihan ditambah pelicin pakaian dan parfum sedikit. Afwan ikut nyimak. Bagaimana dalam fiqih nya.

Zahra Pencari Ilmu: Saya juga ikut nyimak.

Tania AzZahra: Ikut nyimak ustadz.

Siti Ruqoyah: Nuwun sewu. Nderek niyimak.


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: Bagaimanapun, kalau ketika bajunya dipakai, bau harumnya tercium ke orang lelaki yang bukan muhrim, baik di dalam rumah atau di luar rumah, maka jelas tidak boleh. Ini untuk pakaian wanitanya. Tapi kalau untuk pakaian lelakinya, maka tidak masalah.

Sang Pencinta: Yang dilarang itu wanginya bisa tercium dari dekat atau dari jauh, berapa meter? Ada batasannya? Konfirmasi 2 tahun yang lalu pernah saya tanyakan tapi kurang saya simak. Afwan

Sinar Agama: Pencinta: wanginya itu tidak masalah, tapi begitu tercium lelaki bukan muhrim, maka jadi haram. Jadi, harus dihindarkan dari penciuman lelaki bukan muhrim. Karena itu, tidak ada ketentuan berapa meternya. Artinya, kalau dalam jarak dua meter tercium, maka tidak boleh dekat dengan lelaki bukan muhrim sebesar dua meter. Begitu pula dengan jarak-jarak tercium yang lain.

Jadi, intinya bukan berapa jarak tercium dan tidaknya, tapi penghindaran dari lelaki bukan muhrim sesuai dengan jarak terciumnya dari wewangian yang dipakai. Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 21 Desember 2019

Cerai


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:22 pm


Sang Pencinta: 18-4-2013, Salam, ada yang bertanya, suami istri (Syi’ah) sudah bercerai di pengadilan agama dan sudah keluar akte cerainya, akant etapi syarat cerai secara fikih Syiah tidak terpenuhi yaitu 2 saksi adil, walhasil perceraian tersebut tidak sah. Pertanyaannya adalah saya mengalami rasa gelisah menjalani hubungan dengan suami, karena orang di lingkungan saya kan hampir semuanya Sunni, saya dan suami menjalaninya secara sembunyi-sembunyi karena orang- orang juga sudah tahu bahwa kami sudah cerai, terutama keluarga saya sendiri dan keluarga suami. Bagaimana mengatasi rasa gelisah ini ustadz. Saya sudah baca uraian Ustadz Sinar Agama tentang kegelisahan dalam berfikih, tapi persoalan saya adalah tentang lingkungan sosial saya yang kebanyakan Sunni, selain itu doktrin Sunni juga masih melekat, jadi ada rasa was-was seolah saya melakukan dosa besar, ketika berhubungan dengan suami. Terimakasih. — bersama Sinar Agama.

Indah Kurniawati, Achmadi Al Fauzi, Maymuna Zahra dan 28 lainnya menyukai ini.


Irawan As-sidhoqui: Ikut juga.

Beel Zelfana: Nyimak. 

Yayan Iyay: Nyimak. 

Nida Zainab: Nyimak.

Alkham Ismail Zahra: Nyimak.

Maymuna Zahra: Ikut nyimak juga.

Sasando Zet A: Ikut nyimak juga. Ilmunya bermanfaat.

Hard Smoker: Nyimak.

Supartiningsih Al Karim: Nyimak.

Nadi Ali Utomo: Hemmm. Kalau masih mau berhubungan dan masih saling suka, kenapa tidak nikah lagi kembali?


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

Ingat, syarat syahnya cerai itu bukan hanya 2 saksi yang tidak melakukan dosa itu. Tapi juga ada hal-hal lainnya, seperti tidak terjadi di masa haidh, tidak terjadi di masa bersih yang di dalamnya terjadi jimak.

Untuk masalah yang ditanyakan itu, dapat dipahami ada dua masalah. Pertama, masyarakat umum. Ke dua, diri sendiri.

  • - Kalau masyarakat umum, maka untuk terlepas dari gunjingan mereka, bilang saja sudah kawin lagi, tapi belum ke KUA. Atau sudah kembali (ruju’) sebelum iddah selesai/habis.
  • - Kalau mengenai perasaan sendiri, yah harus diatasi dengan fikih yang sudah jelas. Dan ketika sudah jelas, sebagaimana sudah dikatakan batal karena tidak ada 2 saksi adilnya, maka tidak usah lagi dipikirkan tentang kebenaran fikih Syi’ah itu. Karena ketika keduanya sudah Syi’ah, maka sudah pasti bahwa hal tersebut sudah jelas belum jatuh cerai.

Tambahan:

Tapi kalau masalahnya hanya bingung dan sugesti, maka lawanlah dengan sugesti pula. Anjuranku, nikah lagi ke KUA dan jalanilah hidup bahagia dengan saling memaafkan dan menerima kekurangan masing-masing sambil berusaha sekuat tenaga untuk mengurangi segala kekurangan dari masing-masing pihak. Karena musuh terbesar kita itu adalah diri kita sendiri yang ingin memaksakan ke lingkungan kita tanpa peduli kemanusiaan dan keikhtiaran orang lain. Kalau masalahnya bukan selingkuh, maka anjuranku, kembalilah dengan damai dan urus surat nikahnya lagi.

Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad. 

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Hukum Menggerakkan Badan Dalam Shalat


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:19 pm


Sang Pencinta: 18-4-2013, Salam, mohon penjelasan; Apabila mushalli sedikit menggerakkan tangan, mata, atau alisnya pada pertengahan shalat untuk memberitahukan sesuatu pada orang lain atau untuk menjawab pertanyaannya, jika hal ini tidak bertentangan dengan ketenangan dan keadaan shalat, maka tidak membatalkan shalat. (Ajwibah al Istifta’at, no. 504)

Terimakasih Ustadz — bersama Sinar Agama.

Indah Kurniawati, Achmadi Al Fauzi, Agoest D. Irawan dan 23 lainnya menyukai ini.


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

Sebagaimana yang sudah sering dijelaskan bahwa bergerak selain dalam hal-hal shalat (ketika shalat) atau melakukan sesuatu yang di luar pekerjaan shalat (di dalam shalat), tidak membatalkan shalat kalau tidak mengeluarkannya dari pekerjaan shalat. Tapi kalau mengeluarkan, seperti loncat-loncat, tepuk tangan, dimana menurut ‘urf/uruf mengeluarkan dari pekerjaan shalat, maka hal itu membatalkan.

Tapi bagaimanapun, kalau hal itu darurat, seperti loncat karena menghindari ular atau binatang yang berbahaya, atau jalan untuk menyelamatkan anaknya yang mau jatuh dari tempat tidurnya atau karena main pisau yang membahayakan, maka tidak membatalkan shalat tapi diulang satu ayat terakhir dari bacaannya dan usahakan untuk tidak menyimpang dari arah kiblat selama masih bisa.

Sang Pencinta: Bagaimana kaitannya dengan mendehem orang yang ribut ketika sedang sholat, apakah status di atas mencakupi hal ini? Konfirmasi Ustadz.

Sinar Agama: Kalau masalah berdehem itu, masuk dalam pembatalan shalat yang lain, yaitu yang berbicara. Beda kalau dehemnya karena gatal tenggorokan. Tapi kalau maksudnya menyapa atau menyampaikan maksud tertentu kepada orang lain, maka terhitung “bicara” dimana termasuk salah satu dari sekitar 11 hal yang membatalkan shalat.

Khommar Rudin : Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad.

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jin, Iblis dan Syaithan


Seri tanya jawab Achmadi Al Fauzi dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:16 pm


Achmadi Al Fauzi mengirim ke Sinar Agama: 17 April 2013, Salam Ustadz; apakah jin, syaithan, dan iblis itu beda? Beri penjelasan perbedaannya dan kesamaannya. Yang tidak mau sujud sama Nabi Adam syaithan, jin atau iblis?


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

1- Jin, adalah makhluk yang badannya dicipta dari api atau, yang juga biasa dikenal dengan materi ringan (api) atau materi tidak padat atau tidak terlalu padat. Mereka ini memiliki taklif juga dari sisi Allah hingga yang taat dan taqwa, akan ditempatkan di maqam yang tinggi dan yang sebaliknya, maka sebaliknya.

2- Iblis, adalah jin yang taqwanya hebat yang taat kepada Allah selama kurang lebih 50.000 tahun hingga diletakkan oleh Allah di maqam malaikat. Karena itu, ketika malaikat diperintahkan sujud kepada nabi Adam as, jin yang taat ini, tercakup dalam perintah sujud itu. Karena itu, ketika ia tidaksujud, maka ia diturunkan dari maqam itu dan akan diadzab oleh Allah. Tapi dia meminta penundaan untuk membuktikan kebenarannya dan kesalahanNya. Karena itulah ia dipanjangkan umurnya sampai hari kiamat tiba. Nah, jin yang taat hingga mencapai maqam malaikat itu, laludikeluarkan dari surga dan maqamnya itu dan akan dimasukkan ke jahannam kelak karena setelah tidak sujud pada nabi Adam as, ia bukan malah bersedih, tapi semakin sok yakin terhadap kebenaran dirinya dan kesalahan Tuhannya, maka jin inilah yang dikenal dengan Iblis itu.

3- Syaithan ada beberapa arti. Yang pentingnya, adalah yang menjauhkan dari Tuhan. Nah, apa saja yang menjauhkan dari Tuhan, maka ia adalah syaithan. Apapun bentuk dan esensinya. Jadi, jin iblis atau jin pengikut iblis atau manusia pengikut hawa nafsu dan iblis dimana semuanya itu menjauhkan yang diganggu dari Tuhan dan hidayahNya, maka mereka disebut syaithan. Wassalam.


Achmadi Al Fauzi: Syukran Ustadz 

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 20 Desember 2019

Makna Uang Mut’ah di Sunni ?!


Seri tanya jawab Zainab Naynawaa dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:14 pm


Zainab Naynawaa mengirim ke Sinar Agama: 17 April 2013

Dalam ajaran Sunni katanya Mut’ah haram tapi bila ada perceraian ada yang menuntut uang Mut’ah. Apaan tuh uang Mut’ah? Afwan Ustadz ini pertanyaan dari Sri Fathimah mohon dibantu.

HenDy Laisa, Indah Kurniawati, Eko Budi Prabowo dan 5 lainnya menyukai ini.


Neo Quisling: Nyimak.

Piliang Dtk Panjang: Seharusnya di tanyakan ke Ustadz-Ustadz Sunni yang alergi Syi’ah, apa tanggapan mereka. Tapi saya juga ingin tahu tanggapan Ustadz Sinar Agama. Sama-sama nyimak aja. Salam untuk semua.

Eko Budi Prabowo: Setahuku uang mut’ah tidak ada kaitan sama nikah mut’ah, yaitu uang pemberian kepada bekas istri. Cuma namanya sama.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: Kata-kata mut’ah itu banyak sekali dipakai di fikih. Terutama haji dan perkawinan serta perceraian. Kata mut’ah yang ditanyakan itu, adalah suatu kata yang dipakai di perceraian.

Dalam bab pernikahan, di Sunni terutama, maskawin itu bukan syarat syahnya nikah. Hingga kalau kebetulan tidak menyebut mahar atau maskawin, maka kawinnya syah-syah saja tapi, jelas tetap harus memberikan maskawin kepada istrinya itu. Maskawin yang ditetapkan dalam nikah yang tidak menyebutkan maskawinnya ini, harus disesuaikan dengan keadaan istrinya dengan diukur dengan ukuran umum masyarakat. Misalnya apakah ia janda atau bukan, kaya atau bukan, darah biru atau bukan, dan seterusnya dimana secara umum, masing-masing klasifikasinya itu, memiliki harga maskawin yang umum diketahui masyarakat. Maskawin ini, dalam peristilahan fikih dikatakan dengan “Mahru al Mitsli” yang maksudnya “Maskawin dengan nilai umumnya“. Lalu apa hubungannya dengan Uang Mut’ah? Hubungannya adalah kalau istrinya yang dikawini tanpa menyebut maskawin itu, mau dicerai. Perceraiannya itu bisa terjadi di salah satu keadaan:

1- Terjadi setelah dijimak atau dikumpuli. Dalam hal ini, maka harus diberikan seluruh maskawin- nya yang berupa “Maskawin dengan nilai umumnya” itu.

2- Terjadi sebelum jimak atau dikumpuli. Dalam hal ini, maka apakah harus diberikan separuh dari maskawin dengan nilai umumnya itu sebagaimana kalau cerai dengan istri yang belum dikumpuli tapi dalam kawinnya disebutkan jumlah maskawinnya dimana harus memberi separuh maskawinnya? Ulama-ulama Sunni mengatakan bahwa tidak wajib diberi separuh dari nilai umumnya, tapi hanya wajib diberi hadiah saja yang sesuai. Nah, hadiah inilah yang disebut dengan “mut’ah atau “Uang Mut’ah”.




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Kamis, 19 Desember 2019

Shalat, Doa Mukminin dan Ampunan Tuhan, Bukan Otomatis Sebagai Pengampun


Seri tanya jawab KinAi RiNan dengan Sinar Agama November 2, 2013 at 4:09 pm


KinAi RiNan mengirim ke Sinar Agama: 17 April 2013

Salam, saya pernah menemui orang berkata “selagi kita ini sudah mengerjakan sholat maka kita sudah bisa di pastikan masuk surga karena kita ini seorang muslim, dan seorang muslim tiap hari di doakan oleh jutaan muslim lainnya, termasuk di doakan agar dosa dosa kita di ampuni, dan tentu doa itu akan di kabulkan karena yang mendoakan lebih dari 40 orang, yang mendoakan 40 orang saja bisa di kabulkan apalagi yang mendoakan jutaan orang tiap hari.

Pertanyaan saya:

1. Bagaimana menurut Ustadz kata-kata orang di atas ?

2. Bagaimana sebenarnya maksud hadist yang mengatakan bahwa setiap doa 40 orang pasti ada salah satu yang di kabulkan? (maaf teks hadits lengkapnya saya tidak tau tapi saya sering mendengar hadits ini saat ceramah-ceramah pengajian Sunni).

3. Sejauh mana doa saudara muslim yang mendoakan kita terutama doa di ampuninya dosa- dosa kita, apakah dosa kita akan habis setelah di doakan atau hanya berkurang aja ? Syukron Ustadz.

Achmadi Al Fauzi dan KinAi RiNan menyukai ini.


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

Mukaddimah:

1- Sepertinya, saya sudah sering menjelaskan bahwa ajaran Islam itu bukan satu ayat dan bukan pula satu hadits. Tapi ribuan ayat dan ribuan hadits.

2- Ketika Islam itu terdiri dari ajaran yang bersumber dari ribuan ayat dan hadits, sudah tentu ajaran yang akan diambil daripadanya, juga ribuan ajaran dan pelajaran, baik keimanan atau fikih dan hukum.

3- Ketika Islam itu terdiri dari ribuan ajaran akidah dan fikih, maka jelas tidak bisa ditegakkan hanya dengan beberapa ayat-hadits atau beberapa akidah dan fikih.

4- Menjadi Islam itu dari satu dua ayat dan hadits, atau dari satu dua akidah dan fikih, sama dengan membuat gambar manusia dengan hanya melukis telinga dan hidungnya.

5- Wahabi mengapa berwajah mengerikan, karena mereka, di samping membuat agama mereka dari satu dua ayat-hadits itu juga tidak mau mendengarkan dan adu argumentasi dengan pandangan lain serta, ini yang paling berat, memaksakan keyakinannya kepada golongan lain dan menghalalkan segalanya manakala tidak mau menerima akidah mereka. Jadi, kalau wahabi itu digambarkan sebagai singa, maka ia hanyaterdiri dari gigi dan taring saja. Terlebih gigi dan taringnya itu, dibuat dari ajaran Yahudi yang dinisbatkan kepada Islam. Akhirnya, mereka menjadi mengerikan di atas mengerikan. Sekalipun singa kalau lengkap, maka masih bisa dilihat keindahannya dari jauh, sebab bulunya yang indah, bentuknya yang juga gagah dan semacamnya, bisa dinikmati yang memandangnya. Tapi kalau hanya gigi dan taring saja, maka menjadi mengerikan secara luar biasa. Mereka itu, persis berada di arah yang berlawanan dengan Islam itu sendiri. Jadi, kalau Islam itu nur di atas nur, maka mereka adalah kesesatan di atas kesesatan. Kalau Islam itu murni dan asli, maka mereka itu adalah bid’ah di atas bid’ah.

6- Bayangin, wahabi, dengan satu hadits bid’ah, semua jadi bid’ah dan semua kebenaran lainnya pun sudah tidak berharga lagi hingga semuanya wajib masuk neraka dan dibunuh. Karena hadits bid’ah adalah semua bid’ah itu dhalaalah/sesat dan setiap sesat, tempatnya di neraka. Jadi, mau bertauhid, mau shalat dan puasa, mau haji, mau apa saja, pokoknya harus masuk neraka karena melakukan bid’ah.

Kan jadi kacau. Terlebih lagi mereka sama sekali tidak mengerti maksud bid’ah itu. Mereka mengartikan bid’ah itu adalah semua tambahan. Yang lebih mengenaskan sebenarnya bukan dedengkot wahabinya. Karena kalau dedengkotnya itu hanya dan hanya mencari jalan supaya bisa membantai muslimin dan menguasainya dengan nama Islam. Karena itu, bagi mereka kerajaan, sekolah, foto, cium tangan, menyembah, sungkem, tarian-tarian, pelacuran, tidak hijab, diskotik, sebagaimana yang kita lihat di kerajaan-kerajaan mereka, dengan rileks dan senang hati melakukannya. Tapi yang dibodoh-bodohi, yaitu muslimin dunia yang lugu, yang mau dipentungi di Ka’bah karena mencium ka’bah tapi tidak mengapa cium hajar aswad dan seterusnya apalagi yang keblinger dengan bantuan uangnya yang ia ambil dari hasil penjajahannya (menjajah Sunni di semenanjung jazirah Arab termasuk Makkah dan Madinah dengan mengorbankan ribuan Sunni yang digorok seperti binatang di alun-alun kota dan lapangan terbuka), maka mereka dipaksa ekstrim untuk menjaga nilai-nilai yang mereka gariskan, seperti membid’ah ini dan itu, seperti gambar, dan seterusnya.


Jawaban Soal:

1- Semua yang ditulis atas itu, yakni wahabi, diambil dari sisi ajaran Islam yang melarang bid’ah. Nah, begitu pula dengan apa yang antum tanyakan. Yakni sisi dan dimensi yang lain dari ajaran Islam ini. Yaitu dari sisi pengampunan karena didoakan muslimin.

Artinya, kalau hanya ini yang diambil dari Islam, maka sudah tentu akan menghasilkan wajah yang aneh pula. Memang boleh mengharap, tapi tidak boleh meninggalkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang lain. Wahabi juga boleh bergaya mau taqwa dan ingin membersihkan diri dari bid’ah, tapi: Pertama harus dipahami dulu apa arti bid’ah itu. Ke dua, jangan meninggalkan ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang lain.

Jadi, kalau gambaran wahabi dari singa itu adalah hanya gigi dan taringnya, maka gambaran pengampunan ini sama dengan melukis buaya yang hanya air matanya saja. Yakni tanpa mata, hidung, kepala dan bagian-bagian tubuh lainnya. Akhirnya, akan menjadi lucu kalau melukis air mata lalu mengatakan kepada orang bahwa gambar itu adalah buaya. Persis seperti wahabi-wahabi itu. Dengan demikian, maka tidak benar kalau ajaran Islam mengatakan bahwa yang penting shalat lalu mau berbuat dosa apa saja, maka tetap akan masuk surga. Sisi ketidakbenarannya banyak, diantaranya:

a- Anggap sudah benar, sekali lagi anggap sudah benar, bahwa yang penting shalat. Tapi shalat ini adalah yang shalat menurut Tuhan, bukan shalat menurut kita. Shalat menurut Tuhan adalah yang sesuai dengan QS: 29: 45:
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan maksiat dan mungkar/batil.”

Karena itu, kalaulah yang penting itu shalat, maka shalat yang menepis semua dosa dan kebatilan. Karena itu, lalu bagaimana orang yang shalat itu masih melakukan dosa. Itulah mengapa di Syi’ah, orang yang masih melakukan dosa tidak bisa jadi imam shalat. Karena shalatnya berarti belum benar secara lahir dan batin. Karena kalau benar, sudah pasti dijamin Tuhan bahwa ia tidak akan melakukan segala macam kebatilan dan dosa apapun. Minimal, secara sengaja. Karena itu kalau tidak sengaja, tidak dosa dan tetap tidak mengganggu lahir batin shalatnya.

Jadi, yang shalatnya sudah benar, pasti tidak akan melakukan dosa, alias kesalahan yang disengaja atau membiarkannya setelah tahu. Karena itu, ia pasti tidak akan berdosa dalam urusan-urusan dirinya, keluarganya, sosialnya, organisasinya, pertemanannya, budayanya, politiknya, ekonominya, berjihadnya, bertablighnya, mengajarnya, belajarnya, berdagangnya, pengajiannya, peringatan syi’ar-syi’ar Islamnya seperti mauludatau kesyahi- dan, menolong yang tertindasnya seperti Sampang, facebookannya, dan seterusnya.

Karena itulah, Islam mengatakan bahwa kita tidak boleh melihat hanya wajah dan bentuk- nya, tapi harus melihat nilai-nilai dasarnya dan kebenaran gamblangnya. Jadi, tidak perlu yang menjadi ustadz merasa lebih dari yang lain selain hanya dan hanya informasinya saja (karena muridnya bisa sangat lebih tinggi ketaqwaan dan derajatnya dari gurunya yang apalagi mengajar demi uang dan lain-lainnya sekalipun uang ini tentu halal kalau bukan ngajar fikih, tapi pahala mengajarnya akan hilang). Begitu pula, yang menjadi murid, jangan merasa lebih rendah dari gurunya kecuali hanya dan hanya dalam informasi dan ilmunya saja (tentu tidak boleh juga menyombongkan diri dan merendahkan gurunya. Maksud saya tidak perlu minder dan merasa pasti di bawah gurunya dari ketaqwaan) kecuali kalau baginya memang si guru itu orang yang ketatpada dirinya sendiri dalam ketaqwaan (lembut membenahi kesalahan orang lain tapi menampar pipinya sendiri dalam membenahi kesalahan dirinya sendiri). Dan kalau mendapatkan guru yang seperti itu maka junjunglah dia dan agungkan serta jadikan wasilah tawassul pada Allah, untukilmu dan ketaqwaan.

By the way, wajah yang dalam arti luas ini, sama sekali bukan penentu ketinggian derajat disisiNya. Seperti, tampan-tidaknya, cantik-tidaknya, guru-tidaknya, ustadz-tidaknya, alim-tidaknya, murid-tidaknya, partai-tidaknya, kaya-miskinnya, penulis-tidaknya, tokoh- tidaknya, hujjatul islam-tidaknya, ayatullah-tidaknya, orang tua-anaknya, darah biru- merahnya, dan seterusnya.

Memang, dalam tatanan sosial, semua memiliki hak dan kewajibannya. Tapi semua ini, hanya aturan ketaqwaan dalam sosial bagi setiap unsur-unsurnya, bukan peninggian secara otomatis bagi yang berhak ke atas yang harus memberikan haknya. Misalnya, orang tua yang harus ditaati dalam arti tidak boleh disakiti oleh anaknya, bukan berarti si orang tua itu langsung lebih tinggi dari anaknya. Jadi, bisa saja anaknya ahli surga dan kedua orang tuanya kekal di neraka. Begitu pula dengan hak-hak lainnya dalam sosial. Yakni antara yang diberi hak oleh Allah dengan yangdiwajibkan memberikan haknya oleh Allah.

b- Dalam hadits-hadits yang tidak bisa diragukan kebenarannya dikatakan bahwa:

“Kalau shalat seseorang sudah diterima, maka amal-amal lainnya akan diterima. Dan kalau shalatnya tidak diterima, maka ditolak pula amal-amal lainnya.”

Kalau hadits ini didekatkan dengan ayat di atas, maka maknanya akan menjadi jelas. Yaitu karena amal-amal baik seseorang yang shalatnya belum benar, maka bisa dipastikan ada errornya, mungkin dari sisi fikihnya, mungkin dari sisi niatnya, mungkin dari sisi ikhlashnya, mungkin dari sisi tidak ilmiahnya, mungkin dari sisi dalilnya, dan seterusnya.

2- Tentang pengampunan itu, sudah tentu Pengampunan Tuhan itu jauh lebih luas dari semuanya termasuk doa-doa semua muslimin dan bahkan Malaikat as, para Nabi as dan para Washi/ Imam as.

Kalau hanya dengan ayat dan hadits yang mengajarkan pengampunan, lalu meninggalkan yang lainnya, maka tidak beda dengan cara keimanan wahabi yang sudah pasti mencelakakan dan tidak akan pernah menyisakan apapun kecuali kefatalan dan ketidakseimbangan. Ringkasnya, tidak akan pernah menjadi Islam yang kaaffah/lengkap.

Karena itu, kita harus membaca ayat-ayat dan hadits-hadits lainnya, seperti yang sudah diterangkan di jawaban pertama itu.

Di samping itu, juga kita berusaha dengan tambahan-tambahan lainnya. Yaitu yang membuat potensi pada kita untuk menerima ampunanNya itu. Karena AmpunanNya itu, tidak pernah berhenti seperti Kasih dan SayangNya. Yang menjadi masalah adalah apakah kita punya potensi untuk menerimanya atau tidak. Kalau punya, maka kita akan terampuni dan terkasihi serta tersayangi. Tapi kalau tidak, maka akan menjadi sebaliknya.

Begitu pula dengan doa-doa mukminin. Memang, seperti dalam kesaksian dari orang yang meninggal dimana kalau disaksikan baik oleh 40 orang, maka akan diampuni Tuhan, merupakan rahmat dan berkah dari Tuhan yang tidak langsung, karena melalui mukminin. Akan tetapi, ia tetap tidak melampaui keluasan dan ketinggian ampunan dan kasihNya. Karena itu, tetap memerlukan kepada potensi untuk menangkap doa-doa muslimin itu.

Salah satu contoh. Muslimin memohonkan doa untuk kita yang melakukan dosa. Artinya, mereka sedih dengan dosa kita dan mendoakan pengampunan itu. Akan tetapi, kita yang didoakan, tidak merasa sedih dan karenanya mengulangi terus menerus. Kan berarti, dari psikologi keduanya itu sangat berbeda? Yang satu mendoakan karena kesedihan melihat saudara mukminnya melakukan dosa, tapi saudara mukminnya ini sama sekali tidak merasa dosa dan bahkan terus menerus melakukan dosanya tanpa taubat dan, lebih parah lagi, meyakini kepengampunan itu walau dengan dosa-dosa yang dengan sengaja diulang- ulangnya itu. Dua hal ini, jelas tidak bersenyawa dan, karenanya, sangat mungkin tidak akan saling menyapa di alam makna, apalagi mau melindungi yang lainnya.

Tapi karena dari satu sisi terlalu banyak dimensi keTuhanan yang mesti dibahas (bukan dimensi Tuhan, tapi dimensi pembahasan makrifatNya), dan terlalu banyak jalan rumit yang mesti dibahas juga, maka kita tidak bisa memastikan seratus persen pembahasan mengenainya (ampunan danjalan-jalannya secara nyata per-cm atau bahkan permili meternya). Karena itu, kita mesti terus meminta ampun untuk diri kita dan mukminin lainnya, sambil terus berusaha sekuat tenaga untuk tidak melakukan dosa.

Karena itu Islam selalu juga mengajarkan tentang penjagaan diri dari dua perasaan dan keyaki- nan, yaitu antara keyakinan akan keselamatan dan pengkabulanNya dan antara ketakutan atas neraka dan penolakanNya (murkaNya). Ini yang dikenal dengan: “Antara takut dan harap”, atau “Maa baina al-khaufi wa al-rajaa-i”.


Penutup:

Tidak ada yang lebih ekstrim tentang ayat pengampunan Tuhan dari ayat berikut ini, Allah dalam QS: 4: 48:
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik terhadapNya dan mengampuni dosa-dosa lainnya bagi yang dikehendakiNya.”

Perlu diketahui bahwa pengampunan ini bukan karena taubat. Karena kalau dengan taubat, maka dosa syirik pun pasti diampuni. Jadi, pengampunan ini adalah pengampunan fadhilah dan luthf, atau keUtamaan dan keLembutan Tuhan, atau Maha Kasih dan SayangNya.

Tapi apakah kita boleh menghambur dosa baik besar atau kecil, karena ayat ini? Jelas tidak bisa. Karena Allah mengatakan “...bagi yang dikehendakiNya”. Nah, kalau demikian halnya, lalu dari mana kita meyakini bahwa yang dikehendakiNya itu termasuk diri kita? Karena itu, kita tidak bisa terlena dengan ayat ini.

Lagi pula, Tuhan dengan ratusan ayatNya menjelaskan bahwa Ia akan memasukkan ke neraka siapa-siapa yang tidak menaatiNya. Karena itu, kita tidak memiliki jalan selamat kecuali berusaha sekuat tenaga untuk taqwa hingga tidak melakukan dosa apapun dan tidak meninggalkan kewajiban apapun. Tapi kalau kita sesekali jatuh dalam dosa, maka kita tidak boleh putus asa karena ada janji pengampunan itu. Jadi, terus berusaha taqwa sesempurna mungkin sambil terus memohon ampunanNya, merupakan jalan Islam yang diajarkan dan sempurna hingga tidak hanya tinggal gigi dan taringnya saja (bagi gambar harimau), atau tinggal buntutnya saja (seperti para pelugu yang mungkin termasuk kita-kita, na’udzubillah).

Jalan Satu-satunya:

Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali berusaha taqwa secara profesional, yaitu dengan ilmu yang argumentatif gamblang, baik dalam akidah atau fikih dan, berusaha mengamalkannya secara ikhlash.

Semoga kita semua bisa menggunakan sisa-sisa umur kita ini, untuk ketaqwaan yang hakiki itu dan, semoga Tuhan membantu kita dan menerima kita semuanya, amin. Wassalam.


KinAi RiNan : Amin. Bihaqqi Muhammad wa aali Muhammad, syukron jawaban panjang lebarnya dan sudah jelas bagi saya tentang pertanyaan saya di atas.

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Rabu, 18 Desember 2019

Sedekap Dalam Fatwa-Fatwa dan Kitab-Kitab Sunni, Bag-2


October 28, 2013 at 1:53 pm

  • 8-4- Hadits-hadits yang berderajat Mauquuf (yang dilakukan oleh orang yang bershahabat dengan Nabi saww) atau Marfuu’ (yang dihubungkan kepada Nabi saww) dimana dalam kesepakatan para ahli hadits, bahwa hadits-hadits yang berderajat seperti ini tidak bisa dijadikan dalil dalam menentukan hukum. Namun demikian, untuk melengkapi bahasan, maka kami nukilkan di sini dimana nanti akan terbukti bahwa selain masalah keMauquufannya ini, juga dibarengi dengan dha’iifnya para perawinya. Jadi, semakin tidak bisa dipakai karena selain Mauquuf, hadits-hadits ini juga dha’iif.
  • 8-4-a- Yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’d. Hadits ini diriwayatkan oleh berbagai pengumpul hadits Sunni, seperti Bukhari (Shahih Bukhari yang disyarahi Ibnu Hajar, 2/224; al-Sunanau al-Kubraa Baihaqii, 2/28). Diriwayatkan dari jalur ‘Abdullah bin Maslamah, dari Maalik, dari Abu Haazim bin Diinaar dan Sahl bin Sa’d, bahwa ia berkata:

“Orang-orang diperintah untuk meletakkan tangan kanannya di atas lengan kirinya dalam shalat.”Abu Haazim berkata:“Yang ku tahu bahwa dia hanya menghubungkannya (marfuu’) kepada Nabi saww.” Berkata Ibnu Hajar dalam Syarahannya (keterangannya) terhadap Shahih Bukhari bahwa maksud Yunmaa yang Rafa’ahu, yakni menghubungkannya saja kepada Nabi saww (Fathu al-Baarii, 5/325)

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, dalam hadits ini jelas tidak ketahuan siapa yang memerintah. Mestinya, kalau Nabi saww yang memerintah, ia berkata: “Kami diperintah”, bukan berkata: “Orang-orang diperintah.” Kata-kata dalam hadis ini, jelas bahwa yang memerintah itu bukan Nabi saww.

Ke dua, perawi yang meriwayatkan dari Sahl sendiri –Abu Haazim- mengatakan bahwa si Sahl itu telah menghubungkannya saja kepada Nabi saw.

Ke tiga, Manuver dari hadits ini adalah dari Maalik, sementara imam Maalik sebagai salah satu imam madzhab Sunni, memakruhkan bersedekap. Jadi, terlihat bahwa hadits ini dihubungkan saja kepada imam Maalik.

Ke empat, umur Sahl waktu meninggal adalah 100 th dan meninggalnya di tahun 91 H. Jadi, umur dia di waktu wafatnya Nabi saww adalah 19 th. Karena itu, mestinya ia mengatakaan bahwa kami diperintah Nabi saww, bukan orang-orang diperintah. Terlebih perawi darinya, yakni Abu Haazim mengatakan bahwa dia hanya menghubungkannya kepada Nabi saww.

Ke lima, dilihat dari umur Sahl yang 100 th dan meninggalnya yang di th 91 H, maka ia hidup di jaman berbagai pemerintahan setelah Nabi saww, sejak dari jaman Abu Bakar, Umar, Utsman, Imam Ali as, Imam Hasan as, Mu’awiyyah, Yaziid dan Marwan. Jadi, bisa saja maksud Sahl bukan merafa’kan atau menghubungkan perintah itu kepada Nabi saww, akan tetapi memang maksudnya adalah salah satu dari pemerintahan itu. Kalau hal ini ditambah dengan riwayat dari kitab-kitab Syi’ah yang mengatakan bahwa yang menyuruh sedekap dalam shalat itu adalah Umar, yaitu ketika ia memeriksa tawanan orang-orang Iran yang mana para tawanan meletakkan tangan kanannya di dada sambil membungkuk ke Umar lalu Umar bertanya perbuatan apa ini, kemudian dijawab penghormatan, maka Umar mewajibkan orang-orang untuk meletakkan tangan ke dada ketika shalat untuk menghormati Tuhan. Dan karena Tuhan lebih mulia dari selainNya, maka tangan yang diletakkan di dada, adalah dua-duanya, bukan satu tangan. Perbuatan Umar ini, konon, untuk membuat orang-orang Iran lebih cepat menerima Islam.

  • 8-4-b- Yang diriwayatkan dari imam Ali as. Riwayat ini diriwayatkan di kitab Ibnu Syaibah, Abu Daaud, al-Daaru Quthni dan Baihaqi dari jalur ‘Abdu al-Rahmaan bin Ishaaq Abu Syaibah al-Waasithi, dari Ziyaad bin Zaid al-Siwaa-ii, dari Abu Juhaifah, dari imam Ali as yang berkata:

“Meletakkan telapak tangan ke atas telapak tangan dalam shalat di bawah pusar, adalah sunnah.”

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, hadits ini jelas tidak bisa dipakai karena dihubungkan ke perkataan shahabat, karena hal ini dikatakan dengan Mauquuf sebagaimana maklum.

Ke dua, semua ahli hadits dan rijal Sunni melemahkan hadits ini kecuali Ibnu al-Qayyim dimana ia satu-satunya orang Sunni yang menshahihkan hadits ini. Sedangkan yang melemahkannya banyak sekali, seperti: al-Nawawii dimana bahkan ia mengatakan bahwakedha’iifannya adalah merupakan kesepakatan; al-Daaru Quthnii; Baihaqii; dan lain-lain.

Ke tiga, ada perawi yang bernama ‘Abdu al-Rahmaan bin Ishaaq yang dilemahkan oleh Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Mu’iin, Abu Haatim, AbuZar’ah, Abu Bakar bin Khaziimah, al-Bazzar, Ibnu ‘Uddaa, al-‘Uqaili, Nasaai (al-Dhu’afaa-u), al-Daaru Quthni (al-Dhu’afaa-u wa al-Matruukiin).

Ke empat, juga terdapat orang yang bernama Ziyaad bin Zaid dimana Abu Haatim, al-Khazrajii, Dzahabi dan Ibnu Hajar mengatakannya sebagai Majhuul (yang tidak ketahuan identitasnya).

  • 8-4-b- Yang diriwayatkan dari Imam Ali as secara Mauquuf adalah yang diriwayatkan oleh Abu Daaud dan Ibnu Syaibah dari jalur Abu Thaaluut ‘Abdu al-Salaam, dari Ibnu Jariir al-Dhabii, dari ayahnya yang berkata:

“Aku melihat Ali ra menyentuh tangan kirinya dengan tangan kanannya di pergelangan di atas pusar.”

Yang dari Abu Syaibah:


“Ali ketika berdiri melakukan shalat, meletakkan tangan kanannya di atas pergelangan tangan kirinya, sampai ia melakukan ruku’, kecuali kalau ia mau membenahi bajunya atau menggaruk badannya.”

Ibnu Hazm juga meriwayatkan tentang imam Ali as:


“Kalau shalat Ali lama/panjang dalam berdiri, maka ia memegang lengan kirinya dengan tangan kanannya dari tapak tangannya kecuali kalau membenahi bajunya atau menggaruk badannya.”

Riwayat ini, yaitu yang menandakan bahwa bolehnya seseorang menggunakan tangan dalam shalat ketika perlu, dikuatkan oleh Bukhari dalam shahih Bukhari-nya (hadits ke: 521). Yaitu dengan memasukkan peletakan tangan kanan imam Ali as di atas tangan kirinya ini, dalam “Babu Isti’aanati al-Yadi Fi al-Shalaati”, yakni “Bab menggunakan tangan dalam shalat.”

Maksud dari penjelasan ini adalah bahwa kalau shalat imam Ali as itu sudah panjang atau lama dan terasa lelah di tangan, maka boleh ditelakkan ke atas yang lain. Artinya, bukanlah sedekap itu ajaran Islam, tapi dibolehkan saja seperti menggaruk badan.

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, semua ahli hadits Sunni melemahkan hadits ini, seperti: Ibnu Hajar, al- Syaukaanii, Abu al-Thayyib al-Abaadii.

Ke dua, terdapat perawi yang bernama Jariir al-Dhabii dimana Ibnu Jariir mengatakan bahwa dia itu tidak diketahui identitasnya (al-Miizaan).

Ke tiga, terdapat orang yang bernama Ibnu Jariir, dimana orang ini tidak ada yang mentsiqahkannya kecuali Ibnu Habban sementara Ibnu Habbaan terkenal mentsiqahkan Majaahiil (orang yang tidak ketahuan identitasnya).

Ke empat, haditsnya muththarib alias berbeda-beda kata. Muththarib ini, salah satu kelemahan hadits sebagaimana disepakati ahli hadits.


  • 8-4-c- Yang diriwayatkan atau dihubungkan ke Abu Hurairah. Riwayat ini diriwayatkan oleh Abu Daaud, al-Daaru Quthnii, dari jalur ‘Abdu al-Waahid bin Ziyaad, dari ‘Abdu al-


Rahmaan bin Ishaaq al-Kuufii, dari Sayyaar Abu al-Hakam, dari Abu Waail Syaqiiq bin Salamah al-Asadi yang berkata bahwa Abu Hurairah berkata:


“Memegang tangan dengan tangan di bawah pusar dalam shalat adalah sunnah” ( yang diriwayatkan Abu Daaud).

“Meletakkan tangan di atas tangan dalam shalat adalah dari sunnah.” (yang dari al-Daaru Quthni).

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, matannya muththaribah seperti sebelum-sebelumnya. Karena itu tidak bisa dijadikan sandaran hukum. Karena yang satu mengatakan “meletakkan” dan yang lainnya mengatakan “memegang”. Satu haditsnya mengatakan di bawah pusar dan yang lainnya, tidak mengatakan apa-apa.

Ke dua, hadits ini dilemahkan oleh banyak ulama Sunni seperti: Abu Daaud, Baihaqii, Abu al-Thayyib al-Abaadii, Ibnu ‘Abdu al-Bar.

Ke tiga, ada perawi-perawi yang dikenal sebagai dha’iif, seperti ‘Abdu al-Rahmaan bin Ishaaq al-Kuufii, Syaqiiq bin Salamah.

  • 8-4-d- Yang diriwayatkan dan dihubungkan kepada Ibnu Zubair. Riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Daud dan dari Jalur/thariiq Baihaqi, diriwayatkan kepada kami oleh Nashr bin ‘Ali, dari Abu Ahmad, dari al-’Alaa’ bin Shaalih, dari Zar’ah bin ‘Abdurrahmaan yang berkata: Aku mendengar Ibnu Zubair berkata:

“Meratakan dua kaki dan meletakkan tangan di atas tangan adalah sunnah”

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, berkata Ibnu al-Madiinii: ‘Alaa’ bin Shaalih itu banyak meriwayatkan riwayat- riwayat yang mungkar (tidak bisa diterima).

Ke dua, Abu Daud tidak meriwayatkan hadits dari Zar’ah bin ‘Abdurrahman kecuali dalam hadits ini. Jadi dia ini bukan perawi yang dibesarkan Abu Daud.

Ke tiga, tidak ada yang mentsiqahkan/menshahihkan Zar’ah bin ‘Abdurrahman ini kecuali Ibnu Habbaan dimana ia memang suka mentsiqahkan orang-orang yang dikenal (majaahiil/majhuul).

  • 8-4-e- Yang diriwayatkan dan dihubungkan kepada ‘Aisyah. Riwayat ini dikeluarkan oleh al-Daaru Quthnii dan Baihaqii dari jalur/thariiq Syujaa’ bin Mukhallad al-Falaas, dari Hasyiim, yang berkata Manshuur bahwa telah diriwayatkan kepada kami dari Muhammad bin Abaan al-Anshaarii, dari ‘Aisyah yang berkata:


“Ada tiga hal dari kenabian: Mempercepat buka puasa, memperlambat sahur dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (Baihaqi berkata: Riwayat ini paling shahihnya riwayat dalam pandangannya).

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, sekali lagi, bahwa hadits ini tergolong bagian hadits mauquuf yang tidak bisa dipakai. Beda kalau ‘Aisyah berkata seperti “Aku melihat Nabi saw shalat dengan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri”. Karena riwayat seperti ini, tidak akan dikatakan riwayat atau hadits Nabi saw, bukan pendapat ‘Aisyah yang bisa dikatakan mauquuf atau juga marfuu’. By the way.

Ke dua, riwayat dari ‘Aisyah ini, hanya melalui satu orang saja, yaitu si Muhammad bin Abaan. Karena itu, tidak bisa dijadikan pegangan (tentu selain kemarfuu-’annya di atas).

Ke tiga, Muhammad bin Abaan ini adalah seorang yang majhuul (tidak diketahui siapapun identitasnya) hingga karena itu, tidak bisa dijadikan pegangan karena tidak bisa dinilai ketsiqahan dan tidaknya.

Ke empat, riwayat kata-kata ‘Aisyah dari Muhammad bin Abaan ini dinilai oleh Bukhari sebagai terputus (terputus antara Muhammad dan ‘Aisyah yang sudah tentu lebih lemah lagi dari terputusnya seorang perawi dari Nabi saww itu sendiri). Bukhari berkata “Tidak ada cerita/riwayat bahwa Muhammad mendengar/berjumpa dari/ dengan ‘Aisyah.

Ke lima, Ibnu Habbaan berkata bahwa yang mengira bahwa Muhammad bin Abaan ini mendengar/berjumpa dari/dengan ‘Aisyah, maka ia telah mengkhayal.

Ke enam, Ibnu Hajar berkata bahwa tidak pernah terdengar bahwa Muhammad bin Abaan itu telah mendengar/berjumpa dari/dengan ‘Aisyah dimana hal ini dikatakan oleh Bukhari.

Ke tujuh, Yang dimaksud dengan Manshuur dalam riwayat ini, adalah Manshuur bin Zaadzaan, bukan Manshuur bin al-Mu’tamar yang dikenal sebagai haafizh hadits dan tsiqah/dipercaya.

Ke delapan, kalau menurut Baihaqi riwayat ini adalah paling shahihnya riwayat dalam hal bersedekap dalam shalat ini, maka bagaimana dengan hadits-hadits lainnya.

  • 8-4- f- Yang diriwayatkan dan dihubungkan kepada Abu Bakar. Riwayat kata-kata/ perbuatan Abu Bakar ini, diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah dari jalur Ibnu Mundzir, dari Yahya bin Sa’iid, dari Tsaur, dari Khaalid bin Ma’daan, dari Abi Ziyaad maula/pembantu Aali Darraaj yang berkata:

“Aku tidak pernah melihat sesuatu lalu melupakannya. Aku tidak pernah lupa bahwa kalau Abu Bakar melakukan shalat, seperti ini (lalu ia meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya).” (ini versi yang diriwayatkan oleh Abu Syaibah). Sedang yang riwayat versi Ibnu al-Mundziir seperti ini:

“…..ia –Abu Bkar- berdiri seperti ini (lalu ia meletakkan tapak tangan kanannya ke atas siku lengan kirinya dengan menempelkan pergelangannya).”

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, sebagaimana yang telah lalu, hadits ini tergolong hadits marfuu’ dan mauquuf yang tidak bisa dijadikan pegangan.

Ke dua, Ibnu Hajar berkata bahwa Abu Ziyaad maula Aali Darraaj itu, tidak diketahui orangnya.

Ke tiga, al-Daaru Quthnii berkata bahwa Abu Ziyaad itu matruuk (ditinggalkan/tidak- dipakai).

Ke empat, adanya Taur bin Yaziid yang tidak bisa dipakai sebagaimana sudah diurai di atas di bahasan hadits Thaawuus (point 8-2-f).

  • 8-4-g- Yang diriwayatkan dan dihubungkan kepada Abu al-Dardaa’. Penghubungan ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir dari jalur Hajjaaj yang berkata bahwa telah diriwayatkan kepada kami oleh Hamaad bin Zaid, dari ‘Ali bin Abi al-‘Aaliyah, dari Mauriq al-’Ajalii yang berkata bahwa Abu al-Dardaa’ telah berkata:


“Tiga hal termasuk dari kebaikan: Mempercepat ifthar (buka puasa), menyempurnakan sahur dan meletakkan tangan di atas tangan dalam shalat.”

Dan Abu Syaibah juga meriwayatkan kata-kata Abu al-Dardaa’ di atas itu, melalui Wakii’, dari Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari al-A’masy, dari Mujaahid, dari Mauriq al-’Ajalii, dari Abu al-Dardaa’ yang berkata:


“Salah satu akhlak para nabi adalah meletakkan tangan kanan ke atas tangan kiri dalam shalat.” (al-Hasitsamii hanya mengisyaratkan terhadap hadits ini dalam kitab Majma’nya dan ia menyebutkan bahwa al-Thabrani telah meriwayatkannya dalam kitab al-Kaabir-nya).

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, tentang yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir, sebagaimana maklum bahwa hadits ini tidak bisa dipakai karena marfuu’ dan mauquuf.

Ke dua, dalam riwayat itu ada yang bernama ‘Ali bin Abi al-’Aliyyah dimana orang ini tidak dikenal.

Ke tiga, Bukhari mengatakan bahwa riwayat ‘Ali bin Abi al-’Aliyyah dari Mauriq adalah mursal (diriwayatkan seseorang dari orang lain yang tidak pernah ketemu).

Ke empat, tentang yang diriwayatkan oleh Abu Syaibah maka selain kemauquufan- nya, terdapat perawi yang bernama Ismaa’iil bin Abu Khaalid dan al-A’masy dimana keduanya telah disifati para ahli hadits sebagai Mudallis (menyembunyikan kekurangan perawi yang darinya mengambil riwayat atau menyembunyikan kelemahan riwayatnya, seperti merawikan dari anak kecil lalu namanya diganti dengan fulan, atau dari orang yang tidak pernah ketemu tapi diucapkan seperti pernah bertemu dengannya…dan seterusnya).

  • 8-4-h- Yang dihubungkan kepada ‘Abdullah bin Jaabir al-Bayaadhii. Riwayat tentang ‘Abdullah bin Jaabir ini, diriwayatkan oleh al-Thabraanii dalam kitab al-Kaabir-nya dan Ibnu al-Atsiir dalam Usdu al-Ghaabah-nya dari jalur Hisyam bin ‘Ammaar, dari Abdullah bin Abu Sufyaan –orang Madinah- yang berkata “Aku mendengar dari kakekku ‘Uqbah bin Abi ‘Aisyah yang berkata”:


“Aku melihat shahabat Nabi saw yang bernama ‘Abdullah bin Jaabir al-Bayaadhii meletakkan salah satu tangannya ke atas sikunya dalam shalat.”

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, Abdullah bin Abi Sufyaan itu seorang yang majhuul/tidak-dikenal.

Ke dua, Abu Daud berkata bahwa Hisyaam bin ‘Ammar telah meriwayatkan 400 hadits yang bersanad tapi tidak ada asalnya (hakikatnya).

Ke tiga, Musallamah berkata tentang Hisyaam bin ‘Ammaar bahwa dia banyak dicela (dibincangkan keburukannya).

Ke empat, Dzahabi berkata bahwa Hisyaam bin ‘Ammar itu banyak kemungkarannya (hadits-hadits mungkar/tertolak-nya) dan telah diriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal bahwa dia itu sangat tidak tentu arah (kurang akal dan kurang ingatan) semoga Allah membunuhnya.

Ke lima, dinukilkan dari Ibnu al-’Ajami bahwa ia termasuk orang yang mensifati Hisyaam itu dengan “kacau” atau “campur baur”.

Ke enam, dalam riwayat itu juga terdapat perawi yang bernama ‘Uqbah dimana orang ini majhuul/tidak-dikenali dan tidak ada satu orangpun yang mentsiqahkannya.

Ke tujuh, Bukhari dan Abu Haatim tidak berkata apa-apapun tentang ‘Uqbah itu kecuali hanya berkata bahwa ia meriwayatkan dari Abdullah bin Jaabir dan Abdullah bin Abi Sufyaan (yakni tidak mengomentari apapun, baik tsiqahnya, nyambungnya, tidak terputusnya, majhuulnya…dan seterusnya…dimana hal ini berarti, tidak dianggapnya shahih karena tidak mendapat perhatiannya).

  • 8-5- Dalil sedekap yang diambil dari penafsiran ayat yang berbunyi:


“Maka shalatlah untuk Tuhanmu dan bernaharlah”

Nahar ini memiliki makna kata “leher”. Selalunya dan umumnya, para mufassir Sunni dan Syi’ah, menafsirkan dengan penyembelihan. Yakni karena Nabi saw telah diberi Kautsar, maka beliau saww diperintah shalat dan menyembelih binatang atas nama Allah swt.

Walau begitu, terlihat tafsir lain dari nahar di ayat ini, seperti mengangkat tangan sampai ke leher ketika melakukan takbiratul-ihram dalam shalat. Begitu pula tafsiran-tafsiran yang lain seperti menghadap kiblat dan lain-lainnya.

Nah, salah satu tafsiran yang dilemahkan Sunni sendiri, adalah meletakkan tangan ke atas tangan yang lain dalam shalat (sedekap). Poin kita sekarang ini, akan membahas tentang penafsiran “sedekap” dalam shalat pada ayat di atas. Dan kita akan melihat kenyataan kelemahannya menurut Sunni sendiri seperti hadits-hadits di atas yang juga dilemahkan para ulama Sunni sendiri.

Riwayat tentang penafsiran “sedekap” ini, dihubungkan kepada Anas, Ibnu Abbaas dan imam Ali as. Misalnya di tafsir al-Durru al-Mantsuur, Suyuthi, setelah menulis tafsiran- tafsirannya tentang “nahar” itu, ia juga menukilkan bahwa ada makna lain yang dinukilkan dari Ibnu Syaibah, Bukhari (dalam kitab taarikhnya), Ibnu Jariir Thabari, Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Haatim, al-Daaru Quthni, Abu al-Syaikh, Hakim , Murdawaih dan Baihaqi yang diriwayatkan dari imam Ali as.:


in'syaa Allah, kita akan melihat periwayatan/penukilan tafsir di atas satu persatu-satu.


  • 8-5-a- Yang dihubungkan kepada Anas. Tafsiran Anas ini diriwayatkan oleh Ibnu Hazm dari Anas yang berkata:


“Yang termasuk akhlak kenabian adalah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di bawah pusar.”

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, hadits seperti ini jelas dari Anas sendiri dan bukan dari Nabi saww karena Anas tidak sedang menukil hadits Nabi saww. Karena itu, ia adalah hadits mauquuf (perbuatan atau pendapat shahabat dan bukan Nabi saw) yang sama sekali bukan hujjah seperti yang sudah disepakati ulama hadits Sunni dan Syi’ah.

Ke dua, Al-Mubaarakfaurii berkata: “Aku tidak menemukan sanad hadits ini. Ulama-ulama dari madzhab Hanafi menyebutkannya dan menjadikannya hujjah akan tetapi tidak menyebutkan sanadnya. Karena itu tidak bisa dijadikan hujjah.”

Ke tiga, pengarang kitab Al-Durrah berkata: “ Hadits Anas yang berkata: Yang termasuk akhlak kenabian….’, yang dikatakan oleh al-’Ainii bahwa Ibnu Hazm telah meriwayatkannya, maka sanadnya tidak ada hingga karena itu tidak dapat dilihat apakah rijal-rijalnya (perawi-perawinya) adalah orang-orang yang dapat diterima/ tsiqah atau tidak.

Ke empat, diriwayatkan pula oleh Baihaqii dari jalur ‘Aashim al-Ahwal dari seorang lelaki dan Anas seperti riwayat yang diriwayatkan dari Ali danAbbaas dalam tafsir ayat fashalli lirobbika wanhar. Dan hadits yang dari satu sisi sudah bukan dari Nabi saww dan dari sisi yang lain, juga majhuul/tidak-dikenal. Karena dikatan dari seorang lelaki. Jadi, tidak ada nilainya dan tidak bisa dijadikan hujjah/dalil/dasar.

Ke lima, justru ada riwayat yang terkenal dari Anas yang beda dari hadits di atas. Yaitu yang menafsirkan nahar itu bukan bersedekap. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Jariir Thabari, dari Hamiid, dari Haaruun bin al-Mughiirah, dari ‘Anbasah, dari Jaabir, dari Anas bin Maalik yang berkata:


“Pada awalnya Nabi saww bernahar (menyembelih atau apa saja yang penting bukan sedekap dalam shalat) sebelum shalat. Kemudian diperintah untuk shalat dulu baru setelah itu bernahar.”

  • 8-5-b- Yang dinukilkan dan dihubungkan kepada imam Ali as. Riwayat ini diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, al-Daaru Quthni, Haakim, Bukhari (dalam kitab Taarikhnya), Ibnu Jariir (dalam tafsirnya), melalui jalur ‘Aashim al-Jahdari, dari ‘Aqabah bin Zhahiir atau Ibnu Dhabyaan atau Ibnu Shabyaan (terdapat perbedaan periwayatan nama), dari Ali yang berkata:


“(wanhar) Adalah meletakkan tangan kananmu ke atas tangan kirimu dalam shalat.”

Dan dalam riwayat yang lain dikatakan: “Meletakkan tangan kanannya ke atas pertengahan lengannya di atas dadanya.”

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, sebagaimana maklum bahwa imam Ali as di Sunni, tidak seperti di Syi’ah. Yakni tidak diakui sebagai makshum sekalipun hadits-hadits Sunni mengatakan mak- shum. By the way, beliau di mata mereka bukan penerus agama hingga karena itu, pendapatnya tidak bisa disejajarkan dengan hadits Nabi saww hingga dijadikan dalil. Karena itu, hadits ini, sekali lagi, tergolong hadits mauquuf yang tidak bisa dijadikan dalil.

Orang Syi’ah juga tidak bisa mengambil hadits ini, karena banyak cacatnya dalam periwayatannya sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini.

Ke dua, Ibnu Katsir berkata bahwa penukilan pendapat Ali ini, tidak benar.

Ke tiga, Ibnu al-Turkemaani berkatan bahwa dalam sanadnya memiliki goncangan (tidak searah).

Ke empat, matannyapun (kalimatnya) banyak memiliki goncangan (tidak satu/tidak menentu).

Misalnya Bukhari dalam kitab sejarahnya (Taariikh al-Bukhaari), meriwayatkan dengan kalimat:


“Meletakkan tangannya di atas pertengahan lengannya di atas dadanya.”

Ibnu Syaibah, Ibnu Jariir, Haakim, al-Daaru Quthnii dan Baihaqii meriwayatkan dalam bentuk seperti ini:


“Meletakkan tangan kanan ke atas tangan kiri dalam shalat.” Baihaqi dan Ibnu Jariir, juga meriwayatkan dalam bentuk seperti ini:


“Meletakkan tangan kanannya ke atas pertengahan lengan kirinya, kemudian meletak- kannya ke atas dadanya.”

Ke lima, sanadnya juga muththaribah (goncang atau beda-beda).

Misalnya Bukhari dan Ibnu Syaibah, silsilah perawinya yang dari Yaziid bin Ziyaad, merawikan dari ‘Aashim, dari ‘Uqbah dan dari Ali.

Dan di tempat lain dalam Taariikhnya, Bukhari dan juga Haakim, perawian yang dari Hamaad bin Zaid, dari ‘Aashim al-Jahdari, dari Ayahnya, dari ‘Uqbah, dari Ali. Di sini nampak ada kelebihan perawi setelah ‘Aashim, yaitu ayahnya.

Ahli hadits Sunni, Ibnu Abi Haatim, telah menjelaskan kegoncangan perawi hadits tersebut dalam kitabnya, al-Jarahu wa al-Ta’diilu. Dan ulama lain yang bernama Ibnu al-Turkemaani dalam kitabnya, al-Jauharu al-Naqii.

Ke enam, karena disebutkan dari imam Ali as, maka perlu adanya penyebutan salah satu dari hadits-hadits Syi’ah yang datang dari Ahlulbait as. Hal ini, perlu disajikan di sini karena Ahlulbait as lebih tahu tentang keadaan bait/rumah-nya. Jadi, riwayat yang tidak sama dari riwayat Ahlulbait sendiri, maka tidak bisa diterima. Saya akan menyebutkan beberapa seperti:

Dari imam Ja’far as berkata:


“Al-Nahru/nahar di hadapan Allah adalah tegap dalam berdiri (tidak miring kanan dan kiri atau ke depan dan belakang), yaitu dengan meluruskan tulang punggungnya dan lehernya dan tidak bersedekap, karena bersedekap itu dilakukan oleh majusi.”

Ke tujuh, penafsiran al-nahru dengan leher-binatang, lebih cocok dari tafsiran-tafsiran yang lain hingga karena itu, tidak mungkn imam Ali asyang merupakan murid teragung Nabi saww, perlu menafsirkan nahru itu kepada makna yang tidak lumrah (meletakkan tangan kanan ke atas tangan kiri) dimana tafsiran yang tidak lumrah ini, sama sekali tidak berkaitan dengan asal kata yang dipakai Qur'an, yaitu al-nahru.

Ke delapan, al-Roozi juga berpendapat seperti itu, yakni menguatkan tafsiran tegapnya badan dari yang lainnya:


“Penggunaan al-nahru kepada makna leher-binatang, lebih umum dari penggunaan yang lainnya. Karena itu wajib kita memaknai ayat ini dengan makna tersebut.”

Ke Sembilan, Ibnu Jariir al-Thabari berkata:


“Yang lebih utama bagiku dan paling benar, adalah yang mengatakan bahwa makna ayat tersebut adalah seperti ini: ‘Jadikanlah shalatmu untuk Tuhanmu secara menye- luruh dan secara ikhlash serta tidak diiringi dengan yang lainNya dari tuhan-tuhan lain. Begitu pula jadikan qurbanmu untukNya dan bukan untuk patung-patung, sebagai rasa syukur kepadaNya terhadap apa-apa yang telah diberikanNya kepadamu sebagai kemuliaan dan kebaikan yang tidak bisa dibayar dengan apapun, dan telah mengkhususkanmu dengannya, yaitu dengan memberikanmu al-Kautsar.’.”

Ke sepuluh, Ibnu Katsiir juga berkata:


“Apa yang dikatakannya ini (Ibnu Jariir) adalah sebaik-baiknya perkataan. Sebelum dia, Muhammad bin Ka’ab al-Qurzhii dan ‘Athaa’, telah sampai kepada kesimpulan ini.”

Ke sebelas, Ibnu Katsiir juga berkata setelah menukilkan berbagai riwayat-riwayat yang bermacam-macam itu:


“Semua penafsiran-penafsiran ini, sangat aneh. Yang benar adalah pendapat yang pertama, bahwasannya yang dimaksud dengan nahru adalah menyembelih qurban haji.”


  • 8-5-c- Yang dinukilkan dan dihubungkan dengan Ibnu ‘Abbaas. Penukilan tafsiran Ibnu ‘Abbaas ini diriwayatkan oleh Baihaqii dari jalur Ruuh bin al-Musayyad, dari Umar bin Maalik, dari Abu al-Jauzaa’, dari Ibnu ‘Abbaas dalam firmannya yang berbunyi (fashalli lirobbika wanhar), ia berkata:


“Meletakkan tangan kiri ke atas tangan kanan di dekat leher dalam shalat.”

Kritikan terhadap hadits ini:

Pertama, Ibnu Habbaan berkata bahwa Ruuh bin al-Musayyab itu adalah orang yang merawikan hadits-hadits maudhu dari tsiqah lalu merubah sanad-sanadnya dan juga menghilangkan mauquufnya. Riwayatnya tidak boleh dinukilkan atau ditulis, kecuali kalau hanya untuk pemberitaan (baca: bukan untuk menjadikannya dalil atau hujjah).

Ke dua, Abu Haatim berkata bahwa Ruuh bin al-Musayyab itu orang shalih akan tetapi dhaif/lemah.

Ke tiga, Ibnu Mu’iin berkata bahwa Ruuh bin al-Musayyab itu shalih kecil (kata ejekan atau pelemahan dalam ilmu hadits).

Ke empat, Ibni ‘Uddaa berkata dalam kitabnya “Al-Dhu’afaa’” (orang-orang yang didhaif- kan) tentang Ruuh bin al-Musayyab itu bahwasannya dia itu meriwayatkan dari Tsaabit dan Yaziid al-Raqqaasyi hadits-hadits yang tidak terjaga.

Ke lima, Dalam riwayat itu terdapat perawi yang bernama ‘Umar bin Maalik al-Nakarii dimana Ibnu Habbaan dalam kitabnya “Al-Tsiqaat”: Dia suka salah dan mengharibkan hadits (baca: meriwayatkan hadits-hadits asing/aneh).

Ke enam, Ibnu ‘Uddaa berkata bahwa ‘Umar bin Maalik itu menukil hadits-hadits mungkar (yang mesti ditolak) dan suka mencuri hadits. Dan dia juga berkata bahwa ‘Umar bin Maalik itu, juga meriwayatkan dari Abu al-Jauzaa’, hadits-hadits yang tidak terjaga.

Ke tujuh, Abu Ya’laa berkata bahwa ‘Umar bin Maalik itu adalah seorang yang dhaif/ lemah.

Ke delapan, Ibnu Hajar berkata bahwa Bukhari mendhaifkannya.

Ke Sembilan, terdapat jarak yang terputus (munqathi’) antara Abu al-Jauzaa’ dengan Ibnu ‘Abbaas. Bukhari juga berkata bahwa sanadnya Abu al-Jauzaa’ itu memiliki problem. Ia juga berkata bahwa orang-orang bersengketa tentangnya.

Ke sepuluh, Ibnu ‘Uddaa berkata bahwa Abu al-Jauzaa’ itu meriwayatkan dari shahabat Nabi saww seperti Ibnu ‘Abbaas, ‘Aisyah dan Ibnu Mas’uud, dimana hal ini tidak bisa dibenarkan bahwa ia mendengar riwayat-riwayat itu dari mereka (para shahabat).

Ke sebelas, Abu Zar’ah berkata bahwa hadits ini mursal. Dan berkata Ibnu Jariir bahwa Abu al-Jauzaa’ itu banyak memursalkan hadits (menghubungkan kepada orang lain yang tidak ditemuinya hingga seakan ia meriwayatkan langsung dari mereka).

Ke dua belas, yang paling terkenal dari Ibnu ‘Abbaas bahwa ia menafsirkan ayat tersebut dengan qurban di waktu haji. Seperti yang diriwayatkan Ibnu Jariir al-Thabari:


Ke tiga belas, hadits di atas telah dilemahkan oleh para haafizh hadits dari Sunni sendiri seperti Ibnu Jariir yang berkata: “Sanad hadits ini, lemah/dha’if.”

Tambahan Keterangan:

1- Kejelasan Shalat dan Ketertutupan/kesamaran Sedekap.

Kita telah kaji dalil-dalil tentang sedekap dalam shalat dimana semua hadits-haditsnya, tidak bisa dijadikan dalil dan hujjah karena kelemahannya. Kalau kita perhatikan dalilnya yang lemah itu, maka sangat kontradiksi dengan sifat shalat itu sendiri. Artinya, shalat yang sebegitu besarnya arti dan posisinya dalam Islam dimana menjadi penentu sejati tidaknya iman seseorang, akan sangat aneh, kalau salah satu kewajibannya, terlihat samar.Karena itu, sangat diragukan bahwa sedekap yang samar itu, bagian dari ajaran shalat yang terang tersebut.

Kesamaran dalil sedekap ini, menjadi lebih samar dengan banyaknya pengingkar terhadapnya yang datang dari para shahabat dan pembesar salaf yang mana mereka meluruskan tangan ketika shalat.

2- Banyak sekali shahabat dan para pembesar salaf yang meluruskan tangannya dalam shalat.

Ibnu Syaibah berkata:


“Al-Hasan, al-Mughiirah, Ibnu Zubair, Ibnu Siiriin, Ibnu al-Musayyab, Sa’iid bin Jubair dan al- Nakha’ii, meluruskan tangan dalam shalat dan tidak meletakkan salah satu tangannya ke atas yang lain. Bahkan sebagian mereka, mengingkari/melarang orang yang melakukannya (sedekap).” (al-Mushannaf, 1/343; al-Majmuu’, 3/311; al-Mughnii, 1/549; Syarhu al-Kabiir, 1/549; ‘Umdatu al-Qaari, 5/279).

3- Imam Maalik bin Anas, sebagaimana sudah dijelaskan di atas, sebagai salah satu imam madzhab Sunni, memakruhkan sedekap dalam shalat wajib. Pemakruhan imam Maalik ini, tidak lain karena memang tidak ada ajaran sedekap itu dalam islam.

Empat hal penting menyangkut Imam Maalik bin Anas ini:

  • a- Ia sebagai alim terbesar salaf yang tidak ada yang tidak mengenalnya.
  • b- Ia lahir hidup diantara th 93-179 H. Artinya, sangat dekat dengan jaman syariat. 
  • c- Ia tinggal di Madinah yang sebagai pembesar alim di kota tersebut.
  • d- Ia seorang yang sangat tsiqah/terpercaya.

Dari keempat hal di atas, maka pandangan beliau ini, sangat memiliki kekhususan. Artinya, dapat diyakini kebenarannya bahwa sedekap itu memang tidak diajarkan Nabi saww. Karena itu, ketika Maalik ditanya tentang sedekap dalam shalat, ia menjawab:

لا أعرفه في الفريضة

“Aku tidak mengetahui/mengenalnya dalam shalat wajib.” (al-Mudawwanah, 1/76).

Karena Nabi saww tinggal di Madinah, dan imam Maalik juga seperti itu, dan ia sangat dekat dengan jaman Nabi saww, ditambah sebagai alim besar di kota tersebut dan ditambah ketsiqahannya, maka dapat diyakini bahwa sedekap ini, bukan ajaran Nabi saww. Terlebih semua alim meriwayatkan bahwa madzhab orang-orang Madinah, adalah tidak sedekap dalam shalat.

4- Sebagaimana pentingnya pandangan imam Maalik terhadap sedekap ini, maka tak kalah pentingnya pandangan orang-orang Madinah kala itu. Karena Madinah, adalah kota tempat tinggalnya Nabi saww dimana orang-orangnya, sudah pasti lebih tahu tentang perbuatan beliau saww. Nah,karena imam Maalik juga mengambil dari sebelum-sebelumnya dari orang-orang Madinah, maka jelas pandangan penduduk Madinah adalah tidak bersedekap dalam shalat.

Allaamah al-Fudhail berkata:


“Perkataan Maalik itu (“aku tidak mengetahuinya”) memiliki arti bahwa tidak ada orang Madinah yang mengetahuinya –sedekap. Karena itu, orang madzhab Maaliki, semuanya tidak ada yang melakukan sedekap dalam shalat sampai hari ini. Dan para ahli fikih Maalikiyyah dalam kitab-kitab mereka, berkata: “Sesungguhnya meluruskan tangan dalam shalat itu, adalah ijma’/kesepakatan semua orang Madinah”. (al-Risaalataan, 9-10).

5- Riwayat shalat yang paling terkenal di Sunni, adalah hadits berikut ini dimana tidak menyebutkan adanya sedekap dalam shalat. Hadits ini, sangat penting. Karena perawinya yang juga shahabat (Abu Humaid al-Saa’idii) semacam sedang dites oleh 10 shahabat yang lain. Dalam riwayat ini, sama sekali tidak menyebut sedekap. Karena itu, sedekap itu, memang tidak pernah diketahui shahabat-shahabat Nabi saww.

  1. مارويعنأبي ُحَمْيٍدالّساِعِدّيفقد ُسِمع -وهوفي َعْشَرةمنأصحابالنبيصلىاللهعليهوآلهوسلم، منهم أبي قتادة الأنصاري،  ( وأبي هريرة، وأبي أسيد، وسهل بن سعد) -يقول :أنا أعلمكم بصلاة رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم.
    قالوا :لم ؟ فالله ماكنت أقدمنا له صحبةً ولا أكثرنا له إتياناً.قال :بلى، قالوا :فاْعِرض .
    فقال :كان رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم إذا قام إلى الصلاة اعتدل قائماً ورفع يديه حتى يحاذي بهما منكبيه، فإذا أراد أن يركع رفع يديه حتى يحاذي بهما منكبيه، ثم قال :الله أكبر، وركع، ثم اعتدل، فلم  
    يصوب رأسه ولم يقنع، ووضع يديه على ركبتيه ( وفرج بين أصابعه ثم هصر ظهره 
    ثم قال :سمع الله لمن حمده، ورفع يديه واعتدل، حتى يرجع كل عظم في موضعه معتدلاً، ثم أهوى إلى الأرض ساجداً، ثم قال :الله أكبر، ثم جافى عضديه عن إبطه، وفتح أصابع رجليه، )وأمكن أنفه وجبهته وأمكن الأرض بكفيه وركبتيه وصدور قدميه( ثم ثنى رجله اليسرى وقعد عليها، ثم اعتدل حتى يرجعكل عظم
في موضعه معتدلاً، ثم أهوى ساجداً،
ثمقال:اللهأكبر،ثمثنىرجلهوقعدواعتدلحتىيرجعكلعظمفيموضعه،ثمنهض .ثمصنعفيالركعة الثانية مثل ذلك، حتى إذا قام من السجدتينكبر ورفع يديه، حتى يحاذي بهما منكبيه،كما صنع حين افتتح الصلاة،ثمصنعكذلكحتىكانتالركعةالتيتنقضيفيهاصلاتهأّخررجلهاليسرىوقعدعلىشقهمتوركاً، ) فافترش رجله اليسرى وأقبل بصدر اليمنى على قبلته ووضعكفه اليمنى على ركبته اليمنى وكفه اليسرى على
 ركبته اليسرى وأشار بأصبعه(، ثم سلم 

Abu Humaid al-Saa’idii ketika berada di hadapan 10 orang shahabat yang diantaranya Abu Qutaadah al-Anshaari (dan Abu Hurairah, Abu Asiid dan Sahlbin Sa’d) berkata: “Aku lebih tahu dari kalian tentang shalat Rasul saww.”

Mereka berkata: “Mengapa bisa begitu? Demi Allah kamu tidak lebih lama dari kami menjadi shahabat beliau saww dan tidak lebih banyak dari kami dalam mendatangi beliau saww.

Ia menjawab: “Benar”.

Mereka berkata: “Kalau begitu, paparkanlah!” Ia berkata:

“Ketika Rasulullah saww berdiri mendirikan shalat, beliau saww berdiri dengan tegap/lurus dan mengangkat kedua tangannya hingga sama rata dengan kedua bahu beliau saww. Kalau ingin melakukan rukuk, beliau saww mengangkat kedua tangan beliau saww sampai rata dengan kedua bahu beliau saww sambil mengucap ‘Allaahu Akbar’, lalu rukuk. Setelah itu beliau saww berdiri lurus lagi (I’tadala) tanpa merendahkan kepala beliau saww dan tidak menghinakannya. Lalu beliau saww meletakkan kedua tangannya di atas kedua lutut beliau saww (dan beliau saww membuka jemari-jemari beliausaww dan membungkukkan punggung beliau saww).

Kemudian beliau mengucapkan, ‘Sami’allaahu Liman Hamidahu’ sambil mengangkat kedua tangan beliau saww dan berdiri tegak hingga semua tulang-tulang beliau saww kembali ke posisinya seperti semula. Lalu beliau saww menjatuhkan ke tanah bersujud sambil mengucap ‘Allaahu Akbar’. Beliau saww menjauhkan kedua lengan bagian atas beliau saww dan ketiak beliau saww dan membuka jemari kedua kaki beliau saww (dan menyentuhkan hidung, dahi, kedua telapak tangan, kedua lutut beliau dan ujung kaki beliau saww ke atas tanah). Kemudian beliau saww melipat kaki kirinya dan duduk di atasnya dengan tegap hingga semua tulang pada posisinya, lalu melakukan sujud sambil mengucap ‘Allaahu Akbar’. Kemudian beliau saww melipat kaki kiri beliau saww dan duduk di atasnya dengan tegak hingga semua tulang kembali ke posisinya sebelum kemudian bangkit.

Kemudian beliau saww melakukan hal yang sama pada rakaat ke dua. Ketika beliau saww bangkit dari kedua sujud beliau saww, mengucap takbir sambil mengangkat kedua tangan beliau saww hingga rata dengan kedua bahu beliau saww seperti waktu memulai shalat. Begitu seterusnya hinggaketika sampai akhir shalat, beliau saww mengakhirkan kaki kiri beliau saww dan duduk menyamping dengan meletakkan kedua tangan beliau saww diatas kedua pangkal paha beliau saww (beliau saww menghamparkan kaki kiri beliau saww dan menghadapkan dengan dada beliau saww yang bagian kanan ke arah kiblat dan meletakkan tapak tangan kanan beliau saww ke atas lutut kanan beliau saww dan tangan kiri beliau saww ke atas lutut kiri beliau saww sambil menunjuk dengan jari telunjuk beliau saww) kemudian mengucap salam.”

(Riwayat ini diriwayatkan di: Turmudzi, 2/105, no. 304. Sedang yang dilengkapi dengan tulisan di dalam kurung, adalah riwayat yang diriwayatkan oleh: Shahih Bukhari, 2/11; Abu Daud, 1, no. 730-734; Nasai, 2/211; Ibnu Maajah, 1/337; Ibnu Khaziimah, 1, no. 587, 651 dan 700; Musnad Ahmad bin Hanbal, 5/424; Ibnu Habbaan, 5, no. 1866, 1867, 1869, 1870, 1871 dan 1876; Ibnu Abi Syaibah, 1/235; Sunan Baihaqi, 2/116).

Catatan Kecil:

a- Hadits ini dishahihkan oleh banyak ulama Sunni kecuali satu orang yang bernama Ibnu Hazm (al Muhallaa, 3/30) yang, sudah tentu ditentang oleh ulama-ulama Ahlussunnah yang lain.

b- Abu Humaid ini sedang menjelaskan penglihatannya tentang shalat Nabi saww kepada 10 shahabat yang lain yang sedang mengetesnya dimana sudah pasti kalau ada kekurangan, akan segera ditegurnya. Akan tetapi, mereka tidak menyalahkannya sama sekali sementara dalam penjelasannya itu, sama sekali tidak menyebut tentang sedekap. Karena itu, dapat diyakini bahwa Nabi saww tidak bersedekap ketika melakukan shalat.

Semoga tulisan pendek ini, dapat memberikan manfaat (amin) walau, topiknya tidak terlalu urgen/darurat/penting karena dari awal, yang melakukan sedekap, tidak menganggapnya sebagai kewajiban kecuali dari golongan orang awam agama, yaitu orang-orang yang tidak mengerti banyak tentang agama dan tidak mempelajarinya secara spesifik.

Yang jelas, tulisan ini masih memiliki banyak kekurangan dan terlalu ringkas bagi pelajar agama. Tapi ia sudah cukup rinci dan bahkan bertele-tele dan bisa membosankan bagi orang umum. Semoga kekurangannya diampuni Allah dan dimaklumi serta dimaafkan antum semua, amin.

Tulisan ini telah ditulis sejak lama, tapi karena selalu melayani pertanyaan keseharian di dinding dan inbox, akhirnya menjadi terlantar. Karena itu, bagi yang merasa lama menunggu janji saya tempo hari tentang penjelasan sedekap ini, saya mohon maaf dan keridhaannya.

Dengan tidak membuka fb sama sekali di tanggal 27-10-2013, akhirnya penyelesaian akhir dari tulisan ini, dapat terselesaikan. Sudah tentu, tanpa ijin takwiniNya (pewujudan), tidak mungkin tulisan pendek ini selesai. Semoga saja Ia, sudi memberikan ijin tasyri’iNya terhadap tulisan yang tidak seberapa ini, hingga dapat menjadi pencerah bagi pencari pencerahan dan membuahkan keberkahan dunia dan akhirat kelak bagi alfakir sendiri dan bagi semua teman-teman budiman sekalian, amin.

Wassalam.


Artikel sebelumnya:
================


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ