Kamis, 28 November 2019

Apakah Nabi Saw Mewariskan Sistem atau Format Tertentu tentang Kepemimpinan?

8. Apakah Nabi Saw Mewariskan Sistem atau Format Tertentu tentang Kepemimpinan?

Anggelia Sulqani Zahra: TERNYATA AGAMA YANG DI BAWA OLEH NABI MUHAMMAD SAW TIDAK LENGKAP KARENA TIDAK MENJELASKAN SISTEM ATAU FORMAT SISTEM KEPEMIMPINAN SOSIAL KENEGARAAN

Setidaknya begitu yang termuat dalam buku Syi’ah Menurut Syi’ah oleh Tim Penulis Ahlulbayt Indonesia

Halaman 353 :

Apakah Nabi Saw mewariskan sistem atau format tertentu tentang kepemimpinan? Ada dua jawaban, ya dan tidak. Ya bila yang dimaksud adalah sistem kepemimpinan keagamaan. Tidak, bila yang dimaksud adalah sistem kepemimpinan sosial kenegaraan... — bersama Bande Husein Kalisatti, Sinar Agama, Hendy Laisa dan Firdaus Said.

Makku Waru Datoe: Justru saya memahami, disitu letak kesempurnaan dan lengkapnya... karena TUHAN dan NABI-NYA memberikan sebuah kemerdekaan pada hamba dan umatnya sebagai tugas khalifatullah di muka

Azmy Alatas: Sistem bernegaranya bernama apa?

Deddy Prihambudi: Iya ya... apa ya ?

Mohammad Tito: Wah..

Irsan Fadlullah Al Hajj: Tauhid dan syirik beda-beda tipis. Orang suci dan orang gila ... beda-beda tipis.

Syi’ah dan khawarij...... ?

Makku Waru Datoe: Susah memahami sebuah keyakinan yang absolud ketika hati dan pikirannya terlebih dahulu menolaknya untuk dipahami.

Amrillah Rizki: Mending baca buku teknik ada manfaatnya.

A-aharto Sowetenan: Yang memahami Islam itu belom sempurna waktu ditinggal Nabi saw, berarti dia telah menolak ayat “ Din”...Surat Al-Maidah ayat 3...manalah mungkin Nabi saw meninggalkan umat tanpa kesempurnaan... kalau ada permasalahan politik....yaaa itu biasa....setiap pergerakan pasti ada jalur berbelok... walaupun hanya setitik...

A-aharto Sowetenan: Memang... kalau di daras, sepeninggal Rasul saw tidak jelas arah politik umat, karena ada yang setuju ala demokratis ada juga yang memakai sistem ketetapan, jadi pada cara kepolitikan, sepeninggal Rasul saw tidak memiliki jalur yang pasti yang bisa dipertanggung jawabkan.... karena hal inilah sehingga tidak bisa dipastikan bentuk kepolitikannya...

Neo Hiriz: Angelia, kamu kenapa mesti mengumbar yang beginian di fb? Tidak puaskah anda dengan keributan dan caci makian di antara AB?

Anhy Al Adzra: Saran, sebaiknya mbak Anggelia buat bedah buku saja berkenaan dengan buku ini. Mengundang penulis untuk berdialog apa maksud dari setiap tulisannya. Saya rasa itu lebih ilmiah dibandingkan mengkritisi dengan kalimat-kalimat yang hanya menimbulkan “pertikaian”. Bisa saja tafsiran pembaca berbeda dengan tafsiran penulis.

Azmy Alatas: Mungkin sistem bernegaranya bernama: theo fasisme, theo liberalism, atau..theo anarkisme.. Kalau di Iran sekarang ya theo konstitusi,..theo democratik. Kalau menurut nabi itu sistemnya opo yo?

Idea Abdul Majid: Pembahasannya tinggi eui..

Rudi Suwandi: Tanya yuuk ke yang mengkritik dan yang dikritik. Marja keduanya siapa???????? Kalau marjanya sama, ya ikutin apa kata marja...

Azmy Alatas: Wilayatul faqih yang sedang berjalan di Iran ini pun bagian dari fase proses menuju wilayatul faqih mutlak..

Lagian Islam kagak kenal sistem negara, yang membagi-bagi kekuasaan dengan landasan material... Islam menyusun dengan landasan keadilan dan kesamarataan...maka pasti bentuknya bukan negara.

Rudi Suwandi: No comment kalau intinya...maklum bukan pakarnya...aku masih kelas mukalid...

Idea Abdul Majid: Padahal simple bingits, ibarat sayur bening tanpa garam jadinya.. HeHeHeHe

Daris Asgar: Allohuma Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad Wa ‘Ajjil Farojahum

Satria Pmlg: ULIL AMRI pemimpin agama apa negara,,? Vertikal apa horisontal,,? Sama halnya syariat Islam,, itu untuk yang bernegara apa yang beragama,,? Hehehe mumeti.

Pejuang Cinta: Halo adik anggel.... semoga bahagia selalu.

Pejuang Cinta: Topik pembahasan kepemimpinan Islam itu menarik,,, menurut prespektif Anggel kepemimpinan sosial yang ideal itu seperti apa ?

Kiki Overloadpro: Yang buat status udah keliatan tendesius, penggunaan capslok di awal dan metode kritik yang tekstual ga bisa masuk pembahasan buku itu yang menggunakan basis epistemologi rational filosofis, kali kritik nya dikembalikan ke dalil teks maka apakah teks yang diterima pemahaman nya sudah mutlak, dimana fungsi kerja akal kalau gitu, nabi menyempurnakan agama pada level iman, sedangkan wilayah amal kita yang identifikasi sendiri sesuai dengan kapan dan dimana, alquran tidak menafikan bangsa-bangsa, imam zaman justru lah sebagai konfirmasi kesempurnaan, sebelum imam yang mutlak ada, pada level relatif sitiap manusia memaksimalkan potensi akalnya dalam membangun peradaban.

Pejuang Cinta: Wow... penjelasan yang panjang dengan gaya bahasa yang rada intelektual, membuat kening sedikit berkerut,, mencoba memahami kata demi kata,,, sepertinya penting untuk menyederhanakan penjelasanya bro kiki.

Pejuang Cinta: Pertama: Nabi bukan hanya menyempurnakan agama pada level iman, tapi menjangkau seluruh dimensi kehidupan seperti akhlak dan cinta.

Pejuang Cinta: Kedua: Wilayah amal itu adalah konteks pribadi yang setiap orang bebas memilih jalannya... dalam hal ini tidak terkait dengan topik kepemimpinan sosial.

Pejuang Cinta: Ketiga: Perlu diperjelas makna kata imam zaman sebagai “konfirmasi” Kesempurnaan.

Pejuang Cinta: Yang ke empat: Pada level “relatif” setiap manusia memaksimalkan potensi akalnya dalam membangun peradaban,,, mungkin yang dimaksud relatif disini adalah subyektif kali yah.

Kiki Overloadpro: Pejuang, nabi menyempurnakan agama pada 2 dimensi, pada dimensi iman dan ajaran semua sudah sempurna tapi ternyata tidak berhenti pada nabi semua manusia juga sempurna, perlu proses manusia untuk bisa meyempurna, maknya setiap zaman ada imam sebagai perpanjangan kesucian nabi, tapi manusia yang tidak berinteraksi langsung dengan nabi dan imam, tentu manusia harus bisa menggunakan akalnya untuk memahami sumber keimanan, pada proses pemahaman ini setiap orang bisa berbeda, bisa salah, dan saat manusia terikat dengan kesepakatan sosial seperti berbangsa dan bernegara tentu tidak bisa memaksakan kehendaknya, karna tiap-tiap tempat akan menjalankan kehendak Orang di daerah itu yang disepakati baik, kita yang memaksakan diri dengan pendapat kita di lingkungan majemuk akan merusak tatanan sosial, jadi secara bijak dan rasional adalah kita tetap pada level iman wajib sama dengan apa yang diajarkan nabi, baik spiritual maupun ahlak, tapi pada saat kita berada dimana kita harus bisa menempatkan diri pada kesepakatan-kesepakatan sosial dimana kita berada, konsep negara adalah kesepakatan sosial demi kebaikan orang didalamnya yang telah dibangun juga atas kehendak orang-orang didalamnya dengan beragam cara pandang yang dianggap baik, saat kita berada didalamnya pun kita otomatis terikat dengan aturan-aturan itu, dan disitulah wilayah amal kita selama tidak bertentangan dengan iman, wilayah amal kita boleh berbeda.

Pejuang Cinta: Yang diatur oleh negara apakah wilayah sosial atau wilayah privasi ? Bagaimana negara mampu mengakomodir setiap kepentingan individu dan kelompok yang majemuk....

Pejuang Cinta: Kalau benar konsep negara adalah kesepakatan sosial, apakah negara mampu mengantarkan setiap individu menuju nilai kemanusiaan ?

Pejuang Cinta: Terlalu banyak kepentingan.

Azmy Alatas: Kagak ada sistem bernegara dalam Islam! Coba noh sinar jaya supaya buktikan..

Pejuang Cinta: Dan sekarang kita sedang membicarakan kepemimpinan yang ideal.

Pejuang Cinta: Azmy: jadi kita ganti aja negara republik Indonesia, menjadi republik Islam Indonesia.

Azmy Alatas: Pejuang Cinta, kok baru dibicarakan, tapi sudah menyalahkan isi buku? Anggelia Sulqani Zahra panggil noh supir bis. sinaar jaya.. Ayo taruhan kalau rasul menetap kan sistem bernegara yang pakem!?

Sistem WF aja mengalami perkembangan, kagak pakem.

Azmy Alatas: Pejuang Cinta, amit-amit dah!

Azmy Alatas: Kalau menurut geng sinar jaya lah mungkin harus jadi republik Islam Indonesia... Amit-amit dah...

Kiki Overloadpro: Yang diatur oleh negara apakah wilayah sosial atau wilayah privasi? Bagaimana negara mampu mengakomodir setiap kepentingan individu dan kelompok yang majemuk....

Negara mengatur rakyat yang ada didalamnya dalam urusan hukum positif dan negara dibangun atas kontrak sosial yang sudah disepakati oleh generasi awal yang membangun negara, negara tidak itu urusan dengan kelompok atau personal dan tidak urusan dengan aspek batin atau iman, coba belajar lagi deh konsep negara.

Kiki Overloadpro: Kalau benar konsep negara adalah kesepakatan sosial, apakah negara mampu mengantarkan setiap individu menuju nilai kemanusiaan?

Pertanyaan “kalau benar negara....” ini berarti ente belum memahami apa itu negara, dan ente makin parah penalarannya bahwa negara akan menghantarkan manusia menuju kemanusiaan, negara hanya menetapkan hukum-hukum positif yang disepakati akan membawa rakyatnya menuju kebaikan, apakah menjadi mutlak akan baik itu masalah individu masing-masing, negara ga urusan dengan kehendak dan keputusan jiwa setiap orang, negara hanya menyatakan kalau ga setuju dengan hukum keluar dari negara ini, tapi kalau mau membenahi negara ini dengan hukum yang lebih baik ada referendum, dan ini wilayah horizontal ga hubungan dengan keimanan.

Pejuang Cinta: Sepertinya ada yang mau mengusir dari negara ini hanya karena tidak paham tentang konsep negara....

Kiki Overloadpro: Dan sekarang kita sedang membicarakan kepemimpinan yang ideal. Ane mau tekankan bahwa kepemimpinan ideal adalah subjektif dan kepemimpinan faktual tidak niscaya adil, karena ada kepemimpinan yang dipilih manusia dalam konsep negara dan ada kepemimpinan yang di pilih Tuhan dalam konsep agama, memaksakan agama dalam negara adalah irational juga sebaliknya.

Kiki Overloadpro: Tidak setuju dengan negara dan dasar negara ini tidak pantas menjadi rakyatnya.

Pejuang Cinta: Begini bro kiki, anda kan paham tentang negara,,, diantara yang ada di sini, jadi kasih pemahaman biar kami juga bisa menjadi warga negara yang baik.

Kiki Overloadpro: Dasar negara adalah kontrak sosial yang dibangun dari berbagai agama ras dan kebudayaan, karena kesepakatan itulah negara ini terbentuk, setiap orang yang menjadi bagian dari negara ini setuju atau tidak akan terikat dengan dasar-dasar negara.

Pejuang Cinta: Apa tujuan dari terbentuknya negara ?

Kiki Overloadpro: Apa tujuan dari terbentuknya negara ? Pertanyaannya sudah di luar konteks jadi ini terakhir ane jawab, terlalu banyak pr ente untuk belajar persoalan yang akan dibahas karna tidak punya epistemologi filosofis, tujuan negara adalah mensejahterakan rakyatnya dan membangun bersama dari beragam perbedaan menjadi sebuah persatuan yang kuat untuk orang-orang yang berada didalamnya

Kiki Overloadpro:Ente harusnya menyelesaikan permasalahan mayor, bukan bertanya hal minor yang tidak menyelesaikan persoalan, ane udah jawab semua yang ente perlu tanya.

Pejuang Cinta: Bro kiki anda itu punya ilmu tapi rasa sombong dan bangga diri itu telah menutup cahaya ilmu itu dari dirimu,,, merasa lebih baik dari orang lain itu akan membuatmu terhina di mata Tuhan.

Pejuang Cinta: Saya memang awam dan tidak mengerti dengan bahasa filsafat,,, tapi pengetahuan yang anda miliki itu jauh lebih buruk bagi anda karena telah menjadikanmu berbangga diri dan melihat orang lain itu “bodoh” dan tak punya pengetahuan seperti anda.

Pejuang Cinta: Kalau saya mungkin tidak layak menjadi warga negara yang baik karena minim pengetahuan, maka anda mungkin tidak layak menjadi manusia yang bijak karena pengetahuan yang membuat dirimu sombong.

Kiki Overloadpro: Bukannya ente yang dari awal merasa lebih tau, dan standar pengetahuan ente tetapkan dengan apa yang di konsep ente, kok jadi dibalik, yang ane bahas objek permasalahan bukan subjek yang bermasalah, apakah akhlak menyelesaikan persoalan keilmuan dengan menghakimi pribadi subjek, ane rasa ga elegan dan kurang etis.

Pejuang Cinta: Bedakan antara mengkritik dan memberikan predikat atau menilai seseorang,,,, silahkan baca komen saya dari awal.... saya tidak pernah menyebut orang tidak punya epistemologi filosofis,,, tidak paham dan makin parah penalaran anda.

Pejuang Cinta: Sedikit saja anda bijak maka anda akan melihat cahaya ilmu itu menerangi hati anda.

Kiki Overloadpro: Justru ini dalam ranah pengetahuan, ane kritik ente tidak niscaya berarti ane dalam kesombongan, ini pembahasan sistematika ilmu, tolong ente juga bijak, ga ada korelasinya dengan kesombongan, makanya ente buka diri, dan jiwa besar, boleh kritik asal mau di kritik, so simple bro.

Achmad Khisnurrobbie: Gak suka SMS-an bisa BBM atau WA khan ? Wew.

Baginda Raja Gorga II: Namanya sistem Teokrasi transdental politis akademisi praktis menganulir sinyalemen birokrasi faktual terafiliasi materi energi ruang waktu yang berdampak sumir mengkerucut dari analisa logika akal yang menimbulkan asumsi bermetamorfosis ganda yang melahirkan teori konspirasi hati....! Dah faham kan semua maksudnya..?

Hehehe,,,ginilah simplenya: dari sekitar 4000 murid Imam Ja’far Shadiq as, mayoritas mereka pengen jadi rujukkan atau di anggap alim seperti Imam Ja’far as. Contoh nya murid yang bernama Nu’man yang paling pengen, permasalahannya ilmu belum sampek (cukup), makanya jadi acakkudut alias kacau balau. Tapi untuk diskusi sama tetangga sebelah dah paten kali kita nih. Jadi kita jangan pesimis karena “ketemu gede “ sama kebenaran ini, beda sama yang di Qum dan Najaf yang dari dalam perut udah di kader sama orrang tuanya dari masalah makanan, bahasa, tingkah laku, dan sebagainya.

Jadi kesimpulan sementara kita cobalah berjiwa besar & open minded.

Jangan gara-gara pengen jadi rujukkan dan dianggap alim nanti berkembang pulak menjadi.....Syi’ah Hanafi-Syi’ah Maliki-Syi’ah Syafi’i dan Syi’ah Hambali..hehe peace...! Afuuaann yaa...samlekom....?

Sinar Agama: Salam dan terimaksih tag-annya:

Salam dan terimaksih tag-annya. Tanpa membaca komentar-komentar di atas:

  • 1- Dari awal dada ini mau pecah kalau membaca buku tersebut. Wallaahi di tempat seperti yang antum kutip itu, sama sekali jauh dari penulisan seorang yang mengaku muslim sekalipun, apalagi Syi’ah.
  • 2- Tidak heran kalau saya katakan bahwa semua muslimin bersepakat bahwa agama Islam itu adalah agama yang sempurna dan tidak meluputkan sesuatu apapun. Muslimin Sunni atau, apalagi Syi’ah.
  • 3- Kalau di Syi’ah analogi hukum diharamkan, alasannya hanya satu. Yaitu, kalau menganalogikan atau meminjam hukum untuk sesuatu yang diyakini belum dihukumi oleh Islam (Allah), maka berarti telah mengingkari kesempurnaan dan kelengkapan agama.
  • 4- Mengingkari kesempurnaan agama, sungguh kesombongan yang tiada tara. Karena Allah dengan ayat muhkamaatNya di QS: 5:3 berfirman:
  1. الْيـَْوَمأَْكَمْل ُتلَُكْمدينَُكْم َوأَتَْمْم ُت َعلَْيُكْمنْعَمتي َوَرضي ُتلَُكُماْلإْسَلاَمدينًا
“Sekarang TELAH KUSEMPURNAKAN AGAMA kalian dan TELAH KULENGKAPI NIKMAT-NIKMATKU dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.”

  • 5- Saya tidak mau berkata pengingkarnya sudah keluar dari Islam. Akan tetapi, bisa dikata meyakinkan, adalah sombong dan tajarri pada Tuhan. Setidaknya, dalam tulisannya.
  • 6- Pemisahan politik dari Islam adalah pekerjaan para khalifah yang tidak ditunjuk Tuhan dan tidak ikut ajaran Tuhan. Karena itu, menjadikannya urusan ijtihadiah.
  • 7- Dalam Syi’ah, wajib hukumnya mengimani bahwa agama ini sudah mengajarkan semuanya termasuk kenegaraan dalam sejuta corak ragam budaya dan waktu serta kondisi yang dihadapinya. Misalnya:
    • a- Semua wajib mengikuti ajaran Tuhan dalam menata kehidupan pribadi, keluarga atau bernegara dan berinteraksi dengan agama dan negara lainnya.
    • b- Pucuk pimpinannya, wajib seorang makshum, baik dekat atau jauh, baik hadir atau ghaib.
    • c- Alasan makshumnya jelas di samping harus dijamin benar dalam ilmu dan amalnya, hingga benar-benar diyakini jujur dan benar dalam segala keputusannya seperti pada masa Nabi saww, juga dikarenakan yang tidak Makshum as, tidak akan memahami Qur an secara penuh hingga dapat mengatur segalanya sesuai dengan hukum Tuhan, terutama terhadap benda-benda atau hal-hal yang baru yang muncul di masyarakat sampai hari kiamat.
    • d- Ketika imam jauh atau ghaib, maka gantinya adalah marja’ yang paling a’lam sebagaimana diperintahkan mereka para Makshumin as sendiri. Itulah mengapa Rahbar hf menfatwakan bahwa yang tidak percaya pada wali faqih mutlak, asal dia mujtahid yang pendapatnya tidak mewajibkan dan/atau dia taqlid pada mujtahid yang beda ini, maka tidak menyebabkannya menjadi murtad dari agama. Itu tandanya, minimal, sangat mungkin bagi yang tidak mempercayainya yang tidak mujtahid dan berpandangan beda atau bagi yang tidak taqlid pada mujtahid yang beda pandangan itu, menjadi murtad dari islam. Ingat, saya katakan sangat mungkin. Tidak memastikan. Anda bisa mengiranya sendiri.
    • e- Alasan kemungkinan murtadnya (kalau tidak boleh dikata kemurtadannya) bagi yang Syi’ah dan menolak wali faqih mutlak ini, karena merupakan bagian terang dan gamblang dari agama. Yakni kepemimpinan dan wilayah Tuhan, yang disalurkan kepada Nabi saww, lalu kepada imam Makshum as, lalu kepada wakil-wakil mereka, untuk melindungi umat dari kesesatan, kerusakan, ketidakadilan dan kezhaliman. Karena itulah, mengingkari wali faqih, sama dengan mengingkari yang diwakili dan yang menunjuknya sebagai wakil, yaitu imam. Dan mengingkari imam Makshum (bagi yang sudah mendengar penjelasan benarnya dan mengakuinya dalam hati) adalah sama dengan mengingkari Nabi saww. Begitu seterusnya sampai kepada Allah. Kalau mengingkari satu hukum wajib shalat saja sudah dihukumi kafir dan najis (sesuai fatwa para marja’), apalagi pemimpin umat yang urusannya, jauh lebih besar dari shalat yang berdimensikan pribadi. Pemimpin, adalah penentu Islam tidaknya masyarakat, adil tidaknya masyarakat, mati hidupnya masyarakat, zhalim tidaknya masyarakat, shalat tidaknya masyarakat, jilbab tidaknya masyarakat, haji tidaknya masyarakat, Islam tidaknya hukum negara....dan seterusnya.
    • f- Jangan dikira, kalau menerima wali faqih lalu boleh memaksakan negara Islam di setiap tempat. Karena para nabi as dan imam Makshum as saja, tidak pernah memaksakannya. Semua itu, tergantung umat, apakah mau menerima hukum Tuhan atau tidak dalam segala aspek kehidupannya.
    • g- Tapi ingat, ketidakpemaksaan para nabi as dan imam as serta para marja’, terhadap suatu negara agama Tuhan, bukan berarti Tuhan tidak mengajarkan sistemnya dan tidak mewajibkan pengimanan dan pengamalan terhadapnya. Jadi, semua sudah tersedia dan hanya manusialah yang mesti menentukan pilihannya sendiri.
    • h- Kalau masyarakat tidak memilih Islam, seperti negara Islam atau pemimpin dari nabi atau imam Makshum as atau wali faqih, maka Tuhan, para nabi as, para imam Makshum as dan para marja’ wali faqih, tidak akan pernah memaksanya.
    • i- Nah, ketika masyarakat tidak dipaksa, maka Islam yang kaya, memiliki ajaran lain dan hukum lain, menghadapinya. Persis seperti ketika memberi hukum halalnya babi bagi orang yang tidak memiliki apapun yang bisa dimakan untuk mempertahankan kehidupannya. Artinya, Islam itu berlapis. Artinya, Islam itu bukan hanya memiliki sistem kenegaraan dan pengaturan yang lengkap dan sempurna, melainkan bahkan memiliki gradasi-gradasinya. Jadi, para nabi as, pada imam Makshum as, para marja’ wali faqih dan muslimin yang taqwa, ketika melihat umat tidak menerima negara Tuhan, maka mereka akan memilih sistem politik lapisan ke dua. Kalau yang ke dua ini juga tidak diterima umat, maka yang ke tiga. Begitu seterusnya. Hal-hal yang bersifat gradasi ini, yakni dari tatanan dan sistem Negara Islam, dari sejak paling wajibnya, sampai pada yang daruratnya, tidak akan dipahami kecuali oleh para nabi as, imam Makshum as dan para marja’. Itulah mengapa merupakan suatu kesombongan, manakala ada orang yang tidak menyentuh jemari kaki ijtihad saja, sudah berteriak-teriak bak nabi utusan Tuhan. Terlalu naif ketika tatanan negara Tuhan itu bahkan bergradasi dan kaya, dari yang sesuai dengan penerimaan atau kedaruratan walau berlapis sejuta keadaan, dikatakan tidak memiliki sistem yang jelas mengenainya. Wallaahi, kita semua akan menjadi saksi pernyataan ini kelak di akhirat, kalau tidak ditaubati.
    • j- Kalau saya mengatakan bahwa Rahbar hf itu adalah rahmat bagi semua muslimin di semua negara, karena semua bisa merujuk kepada beliau hf dalam segala gradasi kenegaraIslaman yang ada dalam fikih dan hukum Tuhan.
    • k- Supaya tidak salah paham, yang saya maksudkan dengan gradasi dalam kenegaraIslaman, adalah penyikapan bernegara yang diatur Islam walau dalam sistem anti Islam sekalipun (kalau menjadi pilihan umat). Dimana asasnya adalah tidak memaksa umat dan mempertahankan mereka dari kehancuran yang lebih fatal dari gradasi berikut dan berikutnya.
    • l- Misalnya Pancasila. Walaupun ia bukan sistem Islam, akan tetapi bisa saja umat muslim dan Syi’ah wajib menerimanya. Misalnya kalau terjadi kondisi apabila tidak menerimanya, bisa menyebabkan mudharat yang lebih besar seperti hilangnya agama atau terbantainya semua muslimin. Apalagi sekali lagi, dari awal Islam memang tidak mau dan mengharamkan pemaksakan kehendaknya pada siapapun. Ini hukum dunianya. Dan di akhirat, Allah memiliki hukumNya sendiri.
    • m- Saya teramat heran pada orang yang mau saja dibodoh-bodohi dengan diperntentangkannya Syi’ah dengan Pancasila dan NKRI atau subversif. Dari mana itu semua? Emangnya tidak melihat bagaimana Nabi saww berdamai dan menerima secara politis Islam yang berkeadaan darurat, seperti pemerintahan kerajaan Habasyah, kondisi sosial-politik Makkah dan Madinah. Di Madinah itu, bahkan perdamaiannya adalah berteman dengan temannya teman dan perang dengan lawannya teman. Teman yang dimaksukan di sini adalah kafirin seperti Yahudi. Nabi saww tidak pernah memerangi siapapun, kecuali diperangi. Atau maksimal, kalau dihalangi dakwahnya. Tapi kalau tidak dihalangi, maka tidak ada aturan dalam Islam untuk memerangi suatu negara hanya karena kekafirannya atau apalagi muslim yang tidak bersistem Islam.
    • n- Karena itu, ikutlah Tuhan melalui NabiNya saww, imam MakshumNya as dan para marja’ wali faqihNya, baik dalam negara Islam yang utama, atau dalam sosial yang berkedaruratan. Jangan mengarang sendiri konsep persatuan, kalau tidak pernah menjamah kaki ijtihad sekalipun. Takutlah kepada Allah dan khawatirlah pada akhirat yang tiap saat dapat mendatangi kita.
    • o- Saya menulis ini dalam keadaan lelah, semoga tidak merusak alur bahasannya dan semoga benar di hadapan dan diterimaNya, amin.

Firdaus Said: Ya Allah ... Menulis dalam keadaan lelah, tetapi sarat dengan dalil-dalil akal, dipenuhi dengan semangat negara Islam, dan penuh kebijaksanaan dalam melihat keadaan ummat’ sedikit tergambar mengapa imam Mahdi as harus ghaib.. Karena menunggu kesiapan ummat untuk mengikuti sistem pemerintahan Islam yang akan beliau terapkan, maka tugas para ulama berjuang membangun kesadaran umat agar dapat menerima/menyambut kepemimpinan beliau as dalam sebuah sistem pemerintahan Islam...

Semoga Allah memudahkan langkah para ulama, memberikan kesehatan dan kemuliaan disisinya sebagai pembantu-pembantu para Makshumah.. Teruntuk ustadz Sinar Agama, terimakasih dan semoga Ustadz dalam keadaan sehat dan dipanjangkan umur dan menjadi bagian dalam perjuangan menyambut kehadiran imam Mahdi as..

Kiki Overloadpro: @Sinar agama, agama memang sudah sempurna, tapi apakah tatanan kehidupan sudah disempurnakan atau proses menyempurna? Kalau menurut antum bahwa wajib bermekanisme Islam dalam bernegara dengan sistem islam yang hak, yang kalau tidak dengan itu berarti tidak mengikuti jalan yang benar, terlalu banyak contoh-contoh yang kontradiksi dengan yang ada pada pemahaman antum, bagaimana imam Ali saat khalifah bukan pada dirinya, berarti imam Ali keluar dari prinsip-prinsip kesempurnaan islam kalau merujuk yang antum konsepsikan, bagaimana para ulama baik saudara suni dan Syi’ah saat pemimpin negaranya non muslim atau bukan negara islam, bahkan seluruh umat muslim pada saat dibawah naungan khilafah dinasti umayah, abasiyah, ustmaniyah, apa itu bisa disebut sudah sempurna? Please deh, ana juga paham kalau apa yang terjadi tidak seperti apa yang semestinya, islam sudah sempurna pada semestinya, tapi islam yang terjadi belum layak dibilang sempurna, coba antum sebutkan sistem islam dimana yang sudah sempurna?

Di zaman nabi masih ada penghianatan, padahal sudah sempurna, sampe hari ini mungkin Iran yang kita anggap mendekati sempurna pun masih ada saja kekurangan pastinya, jadi ana rasa terlalu naif mengatakan apa yang terjadi sudah sempurna, meskipun ana dan siapapun yang muslim juga pasti sepakat bahwa islam yang semestinya sudah sempurna

Anggelia Sulqani Zahra: Alhamdulillah terima kasih banyak ustadz atas komentar dan penjelasannya...

Ricky Zen Pulungan: Ketidaksempurnaan dalam implementasi bukan berarti sistem yang tidak sempurna atau tidak memiliki sistem yang sempurna.

Singgih Djoko Pitono: Islam sudah sempurna...Kesempurnaan Islam itu diterjemahkan oleh Imam Ali as disetiap tindakan beliau seterusnya oleh imam-imam yang telah dikehendaki Allah... Masih sangsi? Apa bedanya dengan penoreh sejarah kekhilafahan yang berkelindan dan berakhir dengan dinasti ustmany itu... kalau masih sangsi...

Sinar Agama: @Kiki, sepertinya antum sama sekali tidak membaca tulisanku he he...

Demi Allah, kalau tidak semalam habis menulis (menjelang tidur) atau tadi pagi yang bangun dengan hanya tidur sekitar dua setengah jam, teringat satu masalah yang baik untuk jadi pelengkap dalil. Yaitu:

“Bahwa para imam Makshum hidup dalam berbagai tirani (dilihat dari kacamata imamah). Karena itu, masih kurang kayakah Islam ini memberi jalan keluar politik dalam kehidupan manusia. Apalagi kalau ditambah dengan sirah atau contoh hidup para ulama yang hidup dalam kurun waktu seribu empat ratusan tahun lebih.

Emangnya Islam ala Ahlulbait as itu sudah ada dari awal keIslaman sepeninggal Nabi saww, kecuali pada sedikit masa imam Ali as dan imam Hasan as. Emangnya negara Islam itu sudah ada sebelum negara Islam Iran? Lalu apakah mereka semua itu, yakni para ulama dan imam Makshum as, tidak hidup dalam tatanan politik Islam hingga dikatakan bahwa Islam tidak mengatur tatanan politik.”

Sekarang setelah saya pulang tugas dan duduk di depan komputer, terkejut dengan tulisan antum itu. Lah, kok bisa yang justru dalil ana itu, dikembalikan ke ana sendiri? Padahal dalil di atas yang baru ana tulis itu, hanya pelengkapnya saja. Lah, kok bisa tulisan sejelas itu tidak antum pahami? Karena itu, baiknya antum baca dengan baik, tapi kosongkan dulu diri antum dari pikiran antum. Sebab sepertinya dari kemarin, antum menulisnya itu-itu saja. Tentu saya tidak menyempatkan membaca semua tulisan antum yang diskusi dengan teman-teman.

Kosongkan dulu pikiran antum dan baca sekali lagi atau dua kali lagi. Berusahalah memahami tulisanku itu, ala aku. Nah, setelah paham apa yang ana maksudkan, baru antum protes kalau antum tidak setuju.

Yang antum tulis itu, jauh dari ana. Karena justru bukti sejarah itulah yang ana jadikan dalil untuk menggradasikan amaliah politik Islam yang dalam keadaan darurat dan yang terlalu banyak gradasinya itu. Silahkan muthaala’ah lagi.

Sinar Agama: Kita bicara ajaran, orang lain bicara orang. Kan nggak klob blassshhh.

Kiki Overloadpro: @Sinar, ana rasa bukan hanya ana yang harus mengosongkan pikiran, tapi antum juga sama harus mengosongkan pikiran untuk menerima realita, karna standar konsep yang ada di kepala kita baik bersumber dari wahyu atau ajaran agama adalah belum tentu mutlak alias relatif, relatif disini dalam arti memerlukan relasi-relasi untuk menuju kemutlakan, realitas eksternal adalah kenyataan yang di alami setiap orang menuntut di bangunnya suatu kesepakatan sosial tanpa primodial agama dan idealisme yang dibawa masing-masing individu, makanya dibangunnya kontrak kebersamaan yang kita bilang negara tidak ada hubungannya dengan keyakinan dan idealisme kita pribadi, kalau kita cocok dengan kesepakatan sosial yang mana point utamanya sesuai dengan idealisme kita, maka kita bisa andil didalamnya, atau hanya beberapa point dan beberapa point belum tentu, apa kita tetap andil atau tidak itu pilihan kita masing-masing, contoh sederhana saat nabi membuat piagam Madinah, tidak sepenuhnya keinginan umat islam, tapi itu dibangun dari kontrak sosial bersama sehingga disepakati menjadi sistem pemerintahan di Madinah, yang didalamnya ada agama lain dan kebudayaan lain, kalau secara filosofis bisa dibagi kepemimpinan transenden atau imamah dan kepemimpinan imanen atau khalifah, yang pertama adalah yang semestinya tidak bisa dipilih manusia, karna ini penujukan Tuhan langsung, yang kedua adalah yang terjadi tidak dipilih

Tuhan langsung melainkan pemilihan umum manusia, yang kedua bisa baik bisa buruk karna tidak ada jaminan ketuhanan, standar memilihnya adalah rasional logis, yang pertama standar memilihnya adalah keimanan dan kebersihan hati (akal ontologis), misalnya di Libanon saat pemimpin negaranya bukan yang standar pemimpin dalam arti ideal, tapi secara rasional mau membangun negara dan bekerja sama dengan umat islam membangun negara, ini lah bangsa bangsa yang disebut dalam alquran, tidak mesti pemimpin itu islam atau mutlak benar, karna kehendak pilihannya di orang banyak, sedangkan pemimpin dalam arti ideal standarnya beda lagi islam saja bahkan tidak cukup, harus makshum, kalau secara ajaran kita berharap yang ideal adalah yang juga terjadi, permasalahannya kalau yang terjadi tidak seperti semestinya apa kita dengan ektrem mengubahnya, atau secara gradual membenahinya?

Sinar Agama: Kurasa tambahan pada jawaban di soalan sebelum ini, bagus juga dimuat di sini. Ini ana nukilkan:

Tambahan: Supaya teman-teman tidak mengira bahwa saya mengarang sendiri tentang pengajaran akidah Syi’ah tentang imamah itu, maka saya ambil dari satu kitab yang menjadi pelajaran dasar di hauzah, yaitu Baab Haadi ‘Asyr, karya ‘Allaamah Hillii. Perhatikan ketika menerangkan imamah:

{{ Definisi Imaamah: Pertama (definisinya) adalah KEPEMIMPINAN UMUM DALAM URUSAN-URUSAN AGAMA DAN DUNIA (politik dan semacamnya) DARI SESEORANG SEBAGAI WAKIL DARI NABI saww.

DAN IMAMAH INI ADALAH WAJIB SECARA AKAL, KARENA IMAMAH ADALAH LUTHFUN (merangsang kebaikan dan mempersulit keburukan) KARENA KITA TAHU BAHWA KALAU UMAT INI MEMILIKI PEMIMPIN YANG MEMBAWA KE JALAN LURUS DAN DITAATI, DIMANA MEMBELA YANG TERTINDAS DARI PENINDAS, DAN MENEKAN PENINDAS DARI PENINDASANNYA, MAKA HAL SEPERTI ITU JELAS LEBIH MENDEKATKAN KEPADA KEBAIKAN DAN MENJAUHKAN DARI KEBURUKAN. SEMENTARA LUTHFUN ITU ADALAH WAJIB DAN MESTI SEBAGAIMANA SUDAH DIBAHAS SEBELUMNYA. }}

Perhatikan definisi imamah dan salah satu dalil akalnya dari salah satu bab ushuuluddin yang bernama imamah ini.

Ajaran segamblang ini bukan hanya tidak dipahami dengan benar, akan tetapi malah dikatakan sebagai penggontok-gontokan. Wallaahi tajarri.

Sisi Lain:

Terlalu banyak rujukkan sehingga orang Syi’ah-pun malas membacanya dan hanya bisa mencari-cari kekurangan yang padahal islam itu agama yang lengkap, dan membuat hujah ini untuk menurunkan derajat rasulullah sehingga nantinya dia bisa menggunakannya untuk menjatuhkan kenabian rasulullah dan meninggikan derajat Ali ra sebagai Tuhan meraka dan Husein dan Hasan rodhiallohu ‘anhuma sebagai anak Tuhan, masyaAllah nau’dzubillahimin zalik, semoga Allah memberi hidayah kepada mereka semua dan menjadikan hidup meraka barokah tidak seperti para pedahulu mereka yang mati megenaskan dibakar oleh Ali ra. yang telah menganggap Ali ra sebagai tuhan, dan mati karna di perangi oleh solehudeen, karna harus menegakan kemerdekaan di Palestin, dia harus menghabiskan Syi’ah dulu karna mereka menyadari Syi’ah adalah musuh dalam selimut, yakni orang-orang munafik perusak agama islam dan penebar kepalsuan belaka.

Kiki Overloadpro: @Sinar agama, kalau imamah adalah kepemimpinan dalam arti ilahiah dan politik atau sosial juga itu adalah definisi yang idealnya secara ajaran agama Islam madzhab Syi’ah, bagaimana dengan konsep khilafah yang faktanya proses pengangkatannya dengan berbagai cara ada yang pemilihan umun, kudeta, pebunjukan khalifah sebelumnya, yang dalam sudut pandang Syi’ah bukan khalifah tapi imam Ali menerimanya secara sejarah, meskipun secara idealismenya tentu imam menolak, tapi sikap imam adalah sikap yang harus kita ikuti sebelum pemimpin yang makshum ada membangun pemerintahan politik, bagi kita di masyarakat yang majemuk dan plural seperti Indonesia atau Libanon mustahil menerapkan apa yang ideal menurut kita tanpa menghiraukan orang-orang yang berbeda dengan kita, disitu adalah wilayah amal yang terikat dengan kapan dan dimana kita berada, kalau kita memaksakan kehendak maka kita tidak beda dengan ekstremis islam lainnya, makanya perlu ada pembagian ideal dan faktual, transenden dan imanen sebagai konsekuansi logis penerapan wilayah amal dari apa yang kita imani, yang pasti dalam wilatah iman atau ideal setiap muslim khususnya Syi’ah sama dalam point utamanya.

Satria Langit: Taukan kalian ...comen dan balasan dalam masalah ini di catat rapi oleh wahaby tuk di bukukan.

Elok ZA: Nyimak aja.

Baginda Raja Gorga II: Tuu..khan..masuk tetangga yang jauh panggang dari api (ga nyambung bingitz comentnya). Udahan ya teman-teman,,,ga cian ma tetangga...?

Ga pa pa,,, malah sangat berterima kasih mereka mau mencatat dan membukukan,,,problemnya mereka ngerti apa enggak..??? Udah ya,,, entar ada waktu ketemuan aja di tempat yang di sepakati sambil ngopi-ngopi & makan gorengan.

Menyangkut masalah Theologi, Epistimology, Filsafat, Irfani, Science, dan sebagainya, bikin grup aja khusus alumni Qum & Najaf. Yang mayoritas pengikut AB aja masih flanga flongo termasuk saya,,,,,apalagi tetangga sebelah,,,,kacian khan,,,,!Please. deh. aah...???

Mailyuda Brata: Hari gini masih debat agama, lihat tuh di Libanon, pasukan Sunni bergabung dengan Hizbullah untuk menghadapi Israel.

Khommar Rudin:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sinar Agama: @Kiki, antum ini nulis apa mas....mas.....???!!!! Mendingan kalau baca lalu komentar sekalipun nggak nyambung. Tapi ini, bukan hanya tidak nyambung, tapi betul-betul terlihat tidak membaca.

Sinar Agama: @Satrian, kita bersyukur kalau mereka juga ikut menyebarkan. Wong kitab Syi’ah ratusan ribu buku kok di depan kita dan para wahabi-wahabi itu. Syukur kalau wajabi juga mengingkatkan orang Syi’ah untuk tidak baca buku sms yang mengaku Syi’ah.

Sinar Agama: @Brat, emangnya di sana sudah ditutup kajian agama? Lah terus untuk apa perang atas nama agama mas???? Lagi pula, antum sedang ngapain sekarang???

Kiki Overloadpro: @Sinar Agama, ana baca sebelum ana koment, dimana letak predikasi ana yang invalid dalam menanggapi? Dimana kesalahan premis ana? Buku sms ini pun sudah ana baca dan ana kaji dari penulis langsung sebelum diterbitkan, antum kok tidak merespon dengan logika yang baik, tapi malah menghakimi, mana basis metodologinya?

Azmy Alatas: Nama sistem bernegaranya apa tooo??? Wilayatul faqih? Ato apa?

Azmy Alatas: Wes mandek po? Segini tok komennya...

Satria Pmlg: Fahami, konsepnya,,apa bila ada yang tidak cocok dengan konsep,,,,maka jangan salahkan konsepnya tapi salah kan pelakunya,,,,,Islam itu benar,,,jika yang beragama Islam melakukan kesalahan maka jangan mnyalahkan ajaran Islamnya tapi salahkan orang yang melakukan kesalahan,,,,

Azmy Alatas:Satria Pmlg, Enda usah diajari bab ngono kuwi...wes khatam dari zaman jebot....

Satria Pmlg: Ingat kawan ,,KESALAHAN ADALAH KEGAGALAN MEMAHAMI HUKUM ALLAH DAN MEMPRAKTEKKANYA,,,,,,ULIL AMRI adalah konsep ,,, yang harus kita fahami dan harus kita taati,,,jika kita gagal faham dan taat,,maka jangan salahkn ULIL AMRINYA,, tapi salahkan diri kita sendiri ,,,,mungkin ini maksud dari keterngan Ustadz SA,,

Satria Pmlg: Azmiy alatas, saya anggap kamu gagal memhami konsep,,,, jadi kurang legowo,,hehehe.

Azmy Alatas: Anggap saja demikian, saya gagal paham agar anda legowo...Satria Pmlg.

Azmy Alatas: Coba tolong copaskam komentar sinar jaya, saya tak bisa baca karena diblokir....

Azmy Alatas: Sistem bernegara ala Islam yang sempurna itu namanya sistem apa ya Mr. Satria Pmlg????

Azmy Alatas: @sinar agama: coba kalau berani buka blokirnya? Saya justru semakin ragu antum puluhan tahun di Iran di sana antum cari nyaman bukan belajar.

Azmy Alatas: Nek masalah sistem ideale ada yakni ada di dalam pikiran Imam Ali as yang harus ditafsir ulang dulu oleh para ulama.. yo ga perlu diajari... semuanya ya ngono kuwi..

Azmy Alatas: Sistem bernegara Islam yang diterapkan di Iran saat ini sudah mutlak, atau masih akan berubah menyempurna?

Satria Pmlg: Azmiy,,melasi temen diblokir,,,,hehehe,,,ikhlas dalam tolabul ilim akhiy,,,, jadi lebih adem,,,

Azmy Alatas: Biasa bae...

Satria Pmlg: Ya wes sing sabar,,,ya,,,,

Azmy Alatas: Lanjutkaaaannn.....

Hikmah Munirah: Diskusinya oke ilmiah sayang komentar Sinar Agama ke saudara kiki...ada yang kasar tuch ....udah mencela..kok sekaliber beliau..bisa kepancing komentar kasar ..menghujat ..kayak ogut aja nee..sabar men. .relax dulu...tarik nafas pelan-pelan otak boleh panas tapi hati tetap dingin.. btw diskusinya oke punya..saya menyimak dengan sangat..berbobot dan berisi banget.

Irsan Fadlullah Al Hajj: Sorry bro.

Comment SA koq gak terbaca?

Hikmah Munirah: Ho..ho..ho.. jangan-jangan antum di blokir tuch pak Irsan Fadlullah Al Hajj.. .. kok jadi kayak jonru ya...anda bertanya jonru memblokir.

Irsan Fadlullah Al Hajj: Banggaaa nyaaa

Di blokir oleh seorang Marja

Hihihiiiiii

Mufida Rahma Laila: Buku SMS itu KIKI ada sumbangsihnya tho....

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=864580103592960&set=a.427089434008698.120077.100001229357851&type=1&comment_id=868691889848448&offset=0&total_comments=101




Artikel selanjutnya:
================

Selasa, 26 November 2019

Kontradiksi-Kontradiksi Isi Buku Syi’ah Menurut Syi’ah

7. Kontradiksi-Kontradiksi Isi Buku Syi’ah Menurut Syi’ah

https://www.facebook.com/notes/teguh-ibnu-suhedi/kontradiksi2-isi-buku-syiah-menurut-syiah/10152635709793937


Anggelia Sulqani Zahra: Penolakan Hadis Ghadir Khum

Halaman 301 Tanggapan :

Begitu pula setelah pengankatan Abu Bakar yang berlangsung di Saqifah, Ali menolak memberikan baiat selama kurun waktu enam bulan dari pembaiatan Abu Bakar tersebut. Enam bulan adalah sebuah waktu yang cukup panjang. Dalam kurun waktu itu, Ali tak henti-hentinya membuktikan hak kewaliannya atas umat islam. Peristiwa ini dimuat di dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah. (kemudian penulis mencantumkan beberapa kitab hadis tentang hak kekhalifaan imam Ali as ; ASZ)

halaman 302 :

Muhammad Abduh dalam kitab Nahjul Balaghah, Khutbah Nomor tiga, Dr. Subhi Shalih menahkik Kitab Nahj Al-Balaghah tentang surat imam Ali kepada Penduduk Mesir dan kepada Malik Al-Asytar.

Ibnu Qutaibah dalam Al-Imamah wa Al-Siyasah h. 20

Dengan demikian hujjah dan argumentasi Ali dengan hadits Al-Ghadir’ terhadap khalayak dalam menetapkan kekhalifaan dan kepemimpinan atas ummat, adalah adil dan kuat, bahwa maksud kata ‘maula’ dalam hadits Rasulullah Saw adalah keutamaan dalam bertindak dan berbuat dalam masalah-masalah umat dan kepemimpinan..

Sangat bertolak belakang dengan penjelasan dalam buku yang sama (“Syi’ah Menurut Syi’ah” Penulis Tim Ahlulbayt )

Pada Topik Epilog “Tafsir Rekonsiliatif tentang Kepemimpinan Setelah Nabi Halaman 345”
Dalam konteks Nabi sebagai pemimpin, terdapat dua fungsi, yaitu: kepemimpinan vertikal dan kepemimpinan hirisontal. Karena itu, person yang diyakini sebagai pengganti Nabi, mesti diperjelas apakah ia merupakan pengganti Nabi dalam konteks Vertikal ataukah horizontal. Dan Perbedaan Khalifah dan Imamah Point 6. Mekanisme Hal. 348 :’Ali Bin Abi Thalib diyakini sebagai imam dengan proses deklarasi pengangkatan oleh Nabi Saw saat di Ghadir Khum sebagaimana diperintahkan oleh Allah Swt dalam Alquran. Sementara Ali bin Abi Thalib memberikan baiatnya kepada Abu Bakar sebagai pemimpin masyarakat (Khalifah), karena tidak menganggapnya sebagai pemimpin umat. Baiat merupakan kontrak sosial politik. Karena itu pula, Syi’ah tidak mensyaratkan baiat untuk menjadi pengikut Ali (sebagai pemimpin umat). Dalam Syi’ah, baiat memang bukan syarat.

Sekian wassalam..

Khoirul Huda: Praktis agama dengan ritual sakit hati penuh cacian dan laknat dan yang keblinger mencaci maki orang yang sudah mati bisa masuk surga ‘surga-e mbahmu!

Azmy Alatas: Yaelah...kayak gitu aja kagak paham... Tafsir rekonsiliatif itu seolah mau bilang, “ ayo kita tatap keduanya (Syi’ah-Sunni), setelah membaca penjelasan tentang apa itu Syi’ah di depan”.

Makanya baca dari depan sampe belakang, karena buku tersebut berupa narasi, bukan bantah berbantah. Saling terkait dan punya alur.

Pahami tafsir rekonsiliatif sebagai pandangan kesalingpahaman Sunni-Syi’ah, bukan dakwaan kebenaran Syi’ah atas Sunni ataupun Sunni atas Syi’ah.

Neo Hiriz: Sebaiknya buku ini didiskusikan di kalangan terbatas....

Satria Langit: Ini di pestain oleh wahaby takfiri tau.

Azmy Alatas: @neo: biarin aja kita turuti mau nya genk sinar jaya...hehe..

Fahmi Husein: Kesalahannya dimana? Kalau cuman harus membawakan alur cerita secara detail (6 bulan yang lama bla bla bla) itu hak penulis mau detail atau tidak, kecuali ada bukti (riwayat) sebaliknya. Buktinya, Abu Bakar digantikan Umar lalu Usman ya Imam Ali as manut aja.

Fahmi Husein: Nampak sekali kan, kalian tukang pleset, menolak hadits ghadir, emang ada yang mengaku pengikut Ahlulbait as menolak hadits ghadir?? ABI selalu merayakan Idul Ghadir kok!!

Firdaus Said: Iya... Jelas sekali kontradiksinya...

Azmy Alatas: Menurut upin ipin ya kontradiktif...

Fahmi Husein: Iya... Jelas sekali kontradiksinya...

Firdaus Said: Hehehe.... Setidaknya saya faham kontradiksinya ....hehehe.

Fahmi Husein: Kalau saya faham upin ipin-nya, betul betul betul.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih tag-annya.

Itu bukan kontradiksi, melainkan yang satu menafsirkan yang lainnya. Karena yang di halaman-halaman sebelumnya itu adalah mukaddimah bagi halaman-halaman berikutnya. Penjelasan normal, umum dan logisnya seperti ini:
  • a- Di halaman yang menerangkan bahwa imam Ali as membuktikan kebenaran hak beliau as, adalah membuktikan pengakuan imam Ali as. Bukan iman penulis.
  • b- Iman penulis yang saya maksud di sini, BUKAN IMAN DI DADA PENULIS, TAPI DI YANG TERTERA DI BUKU PENULIS.
  • c- Dan penulis, mau membuktikan bahwa dakwa imam Ali as itu ada dan dimuat di hadits-hadits Sunni.
  • d- Apalagi didukung oleh pernyataan penulis tentang Muhammad Abduh dan lain-lain-nya itu yang membenarkan bahwa hadits Ghadir Khum itu adalah benar dan menunjukkan pada makna maula yang berarti: “.....keutamaan dalam bertindak dan berbuat dalam masalah-masalah umat dan kepemimpinan..”.
  • e- Artinya, wahai saudara-saudara Sunni, akuilah bahwa imam Ali as itu lebih utama dari Abu Bakar.
  • f- Paling ekstrimnya, penyimpulan logis dari tulisan-tulisan itu adalah bahwa imam Ali as, adalah Pemimpin.
  • g- Nah, dari sejak atau sekitar halaman 345 itulah, maka kesesatan buku ini mulai unjuk gigi. iNGAT, saya tidak mau menilai orangnya yang barangkali beriman dan wali Allah. Itu urusan mereka. Saya hanya mau membahas tulisan bukunya yang dapat dipahami secara umum, logis dan tidak mengada-ada.
  • h- SAYA ULANGI BAHWA DARI PENULISAN SEBELUM HALAMAN 345 ITU ATAU SEKITARANNYA ITU, MAKSUD PENULIS YANG DAPAT DIPAHAMI SECARA UMUM HANYALAH BAHWA IMAM ALI as ITU ADALAH PEMIMPIN. TIDAK LEBIH TIDAK BUKAN. ARTINYA, BUKAN BERARTI ABU BAKAR TIDAK SYAH DENGAN PERNYATAAN IMAM ALI as ADALAH PEMIMPIN ITU.
  • i- Nah, ketika sampai pada penjelasan PEMIMPIN, penulis menjelaskan bahwa PEMIMPIN ITU ADA DUA FUNGSI, Vertikal dan Horisontal.
  • j- Dalam perjalanan penjelasannya itu, ia masih kadang menukil pandangan Syi’ah. Sudah tentu, dengan banyak hal yang kacau dalam tulisannya. Lihat komentar sebelumnya atau sebelum buku itu resmi terbit atau marak dibahas. Yaitu ketika ustadz ML menulisnya di fb pada 10 September. Dan saya baru menjawabnya pada tgl 25 Oktober lantaran diberitahu bahwa ada tulisan nyeleneh itu.
  • k- Kekacauan tulisannya, sudah saya bahas satu-satu di sana. Yang ingin tahu, silahkan merujuknya. Semakin terus menulis, penulis semakin menunjukkan kesesatannya. Ingat, kesesatan dalam tulisan. Saya tidak membahas orangnya, tapi tulisannya.
  • l- Bagi yang jeli, sudah tahu mau kemana. Sampai akhirnya, betul juga, kecongkakannya tidak ditutupinya lagi, yaitu dengan mencela para tokoh ulama Syi’ah dan Sunni, yang tidak memahami imamah dan khilafah ini. Karena imamah tidak mesti khalifah dan sebaliknya walau bisa saja bersamaan, yakni imam yang juga khalifah. Artinya, imam hanya vertikal dan khalifah adalah horisontal.
  • m- Artinya, apapun yang dinukil benar sebelumnya tentang Syi’ah itu (karena diantara nukilan-nukilan rancunya itu ada benarnya dan ada salahnya) bukan suatu yang benar bagi penulis. Karena itulah, di akhir tulisannya tersebut, yakni yang menyangkut imamah dan khilafah itu, semua ulama dihajarnya habis-habis dengan diolok sebagai GONTOK-GONTOKAN yang tentu karena mengajarkan bahwa imamah itu meliputi keduanya, vertikal dan horisontal. Karena bagi penulis, imamah itu hanya vertikal dan khilafah itu horisontal. Jadi, mengapa gontok-gontokan? Itu logika penulisnya. 
ITULAH MENGAPA SAYA SERING MENGATAKAN BAHWA PENULIS BUKAN HANYA MENCELA ULAMA SYI’AH DAN SUNNI (dalam tulisannya, bukan dalam hatinya yang saya jelas tidak mengetahuinya dan hal itu tidak kita bahas ketika membahas sebuah tulisan), MELAINKAN PARA IMAM MAKSHUM as ITU SENDIRI, YANG TELAH BERJUANG MEMBELA KEHORISONTALAN MEREKA as ITU SAMPAI MENGARBALA. DAN JUGA MENCELA NABI saww YANG TELAH MENGAJARKAN IMAMAH DAN TUHAN YANG MENGAJARKAN KEULILAMRIAN ITU. YAKNI MENCELA DENGAN GONTOK-GONTOKAN.
  • n- Saya tidak akan memperpanjangnya lagi di sini, dan hanya ingin mememberikan garis bawah pada Anggelia, bahwa tulisan-tulisan itu, bukan kontradiksi, tapi saling menafsirkan. YANG PERTAMA ADALAH PENUKILAN SYI’AH DIMANA HAL INI MASIH BERCAMPUR ANTARA BENAR DAN SALAHNYA DAN YANG BERIKUTNYA, MAKNA YANG SEBENARNYA YANG DIINGINKAN OLEH PENULIS. SEMENTARA YANG DIMAKSUKAN JUDUL BUKUNYA KAN SYI’AH MENURUT SYI’AH. INI YANG KITA KATAKAN MENYESATKAN. KARENA PENDAPAT SYI’AH JUSTRU DIHABISI SETELAH PENUKILAN ITU DAN BAHKAN DIOLOK SEBAGAI PENGGONTOK-GONTOKAN LANTARAN MENGAJARKAN TIDAK SEPERTI YANG DIPAHAMI PENULIS TENTANG KEVERTIKALAN IMAMAH DAN KEKHORISONTALAN KHALIFAH.
  • o- Penutup:Teman-teman yang ingin mendiskuikan buku sms itu secara tertutup, maka suruh tarik dulu buku itu dari peredaran. Tapi kalau masih belum ditarik dari umumnya masyarakat, dan itu hak mereka, maka merupakan hak setiap orang untuk membahasnya di medsos. Tidak usah bersembunyi di ketiak wahabi dan perpecahan umat. Karena yang tidak setuju kepada pembahasannya itulah dan apalagi dengan kata-kata penuh penilaian tanpa adu argumentasi itulah, yang sebenarnya perpecahan. Wassalam.
  • p- Tambahan: Teman-teman mesti tahu bahwa penamaan buku itu dengan SMS, bukan dinukilannya yang kadang disampaikan dengan benar dan kadang salah itu, akan tetapi di pendapat penulisnya. Karena maksud dari Syi’ah di buku itu, adalah penulisnya. Karena itulah, maka apapun hujatan kita kepada buku itu, bukan pada nukilannya yang kadang benar itu, akan tetapi pada pendapat penulisnya.
Dan ingat, bahwa kita membahas tulisannya sesuai dengan pemahaman uruf, logis dan tidak diada-ada. Bukan membahas apa dan siapa serta apa keyakinan penulis. Itu urusan batin mereka yang kelak akan dikeluarkan di akhirat sebagaimana dada kita semua.

Fahmi Husein: Wah Firdaus Said jenius berarti, langsung dapat melihat kontradiksinya yang Sinar Agama-pun menyatakan bukan kontradiksi.

Firdaus Said: Nggak sulit kok menerima kritikan.. Kenapa harus bertahan dengan pandangan yang tidak berdalil... Fahmi Husein mestinya antum kalau tidak melihat itu sebagai kontradiksi juga memberikan argumentasi sebagaimana yang dilakukan ustadz... Kan diskusinya tetap berada pada zona ilmiah...

Fahmi Husein: Kalau saya gak sejenius anda,, belum bisa mengatakan kontradiksi-atau tidak, di komen saya diatas malah menanyakan kesalahannya.

Sinar Agama: Fahmi, sayyid. Mengapa antum beberapa hari ini, seperti ini. Emangnya antum ini tidak gelisah seperti ana. Gelisah takut tidak diterima Allah?

Kalau tidak gelisah, yah... silahkan gunakan umur antum untuk hal-hal tak penting. Tapi kalau gelisah seperti saya, maka ayo diskusi yang benar. Pakai dalil dan sambil menangis kepada Allah meminta ampunan dan petunjuk.

Tapi ingat sayyid, harus baca dulu yang sebelumnya kalau mau diskusi, he he... hingga tidak dikhozak khoyal he he...afwan.

Firdaus Said: Alhamdulillah kalau antum jenius... Tidak usah kuatir.. Saya ini pengagum orang-orang jenius.. Kalau antum jenius maka saya juga pengagum antum ...

Fahmi Husein: Dapat kita lihat semua, yang ditanyakan halaman 301 & 302, dari keterangan Sinar Agama, tidak ada masalah (kesalahan ataupun kontradiksi), herannya beliau meloncat ke pembahasan halaman 345 yang isinya tidak ada diatas.. itu bukan “belepotan” namanya??? Jelas yang mau ngikuti pusing duluan..

Sinar Agama: @Firdaus, ahsantum. Semoga antum menulisnya dengan sesuai hati, hingga semangat itulah yang akan mengantar antum padaNya. Karena itu, antum bisa iringi dengan Demi Allah, supaya tambah mantep. Kalau tidak juga tidak masalah.

Sinar Agama: @Fahmi, marilah jangan main keras-kerasan bib. Kalau antum disuruh baca tulisan sebelumnya tidak mau karena tidak ada waktu, mengapa diskusi yang putus-putus seperti ini banyak waktu antum?

Firdaus Said: Iye ustadz insyaAllah.. Demi Allah tidak ada niatan sejak awal untuk melakukan ini hanya untuk gontok-gontok dan musuh-musuhan... InsyaAllah sejak dahulu dan insyaAllah ke depan kita di itrah institut.. Senantiasa menjaga silaturahmi dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan IJABI dan ABI di Sulawesi Tengah...

Fahmi Husein: @Sinar, astaqfirullah al-adzim, afwan, tidakkah antum tahu dengan alfaqir yang selalu mengikuti bahkan seringkali bertanya kepada antum?? Antum alfaqir jadikan rujukan pertanyaan di fb ini. Tapi melihat hari-hari ini IIP yang provokasi dan antum ikut di dalamnya yang juga alfaqir udah ulang-ulang ketidaksetujuan alfaqir antum membahas person (ustadz) atau lembaga.. Mari, ana sangat berterima kasih atas diskusinya dan ajarannya, tapi jangan gunakan cara yang gak betul dong!!! Diskusi hanya isi buku ahlan wasahlan, bukan tau-tau gelambyar ke ustadz-ustadz, yang tau-tau di captur oleh Anggelia Sulqani Zahra, dengan olokannya!!! Jangan mengolok dan membiarkan pengolok di wall-wall kalian agar kalian juga tidak diolok-olok!!!

Sinar Agama: @Fahmi, itulah yang saya katakan antum ini khoyal bib. Sudah saya katakan bahwa diskusi ini sudah ada sejak oktober lalu. Dan tidak ada yang bahas orangnya. Kalau sebagian teman menyebut ustadz ML, karena dia yang memuatnya di fb ini. Itulah bib, baca yang sudah saya anjurkan itu.

Ya Allah.....jamaa’aahhhh la-at softoh, waktu ana tidak banyak. Sementara ana harus menerangkan apa-apa yang tidak dipahami atau yang tidak disetujui. Nah, kalau ngulang terus, muter terus, lalu apakah antum sudah membantu sesama, terutama alfakir ini yang banyak tugas menumpuk di pundak? Post ana bukan hanya di fb ini bib. Tapi masih banyak yang lainnya. Di fb ini saja, antum bisa lihat berapa puluh pertanyaan di dinding, baik status atau di kolom komentarnya. Apalagi kalau dicampur dengan inbox nya. Ini baru fb nya. Belum lagi yang lainnya. La-at pakai emosi.

Tidak ada gunanya. Hdh Faathimah as melihat kita semua. Dimana ana pernah bahas orang bib? Ana ini bahas isi buku dan tulisan. Ana ini sedang kepanggang bib. Kalau mau ikut diskusi, baca tulisan sebelumnya itu. Nanti antum nilai kita ini sudah keluar dari syariat atau tidak, kejam atau tidak, mengerikan atau tidak....dan seterusnya?

Fahmi Husein: Kita lihat diroom ini aja, bagaimana Firdaus Said, dengan entengnya bilang ‘jelas sekali kontradiksinya’, sebelum antum menjawabi, eh setelah antum menjawabi bukan ada kontradiksi, yang ana katakan jenius malah dibalik kepada ana, dan ujung-ujungnya.. dapat pujian dari antum. Hebatnya Akun Sinar Agama dengan ketua yayasan IIP.. ana acungi jempol, dengan terbalik.

Sinar Agama: @Fahmi, kalau Firdaus salah dalam memahami, dan aku yang benar, seandainya begitu di hadapan Allah, maka sms itu tambah parah bib. Lebih bagus Firdaus yang benar ketika mengatakan kontradiksi. Sebab bisa saja orang itu melakukan kontrasiksi tapi tanpa ada niatan apapun dan/atau kesalahan penulisan.

Lah, kalau ana yang benar, maka sungguh siapapun penulisnya, tulisannya itu, ingat tulisannya itu, sudah sejengkal dari kekufuran bib. Kalau ditambah pengingkaran pada wali fakih, maka tambah bahaya bib.

Fahmi Husein: Wallahi ana lihat dan baca dengan jelas bagaimana tanggapan antum terhadap ustadz ML. Ana tahu antum sibuk, jangan menyiksa diri. Tolong, sekali lagi tolong, jangan ikut dan terbawa ke pembahasan person atau lembaga. Ingatkan juga penanya bila udah keluar jalur, dan upayakan tidak perlu foto buku itu diulang-ulang upload dengan taq-taq, cukup dengan menanyakan halaman/isi yang perlu dibahas. Harap.. mohon.. dengan sangat, untuk kali ini aja alfaqir mau didengar sarannya.. demi ukhuwah, demi Ahlulbait as, khususnya demi Syd Fatimah as.. Ini kita sudah main api Allah. Doakan Firdaus yang benar, bukan ana.

Sinar Agama: @Fahmi, antum memohon kebalikan dari yang kita inginkan. Saya menganjurkan kepada teman-teman untuk selalu membahas buku itu, tapi dengan ilmiah. Supaya buku itu, pada akhirnya ditarik dari peredaran karena merugikan orang Syi’ah dan madzhab Syi’ah.

Jadi, ampunkan hamba. Karena saya sementara ini sudah sampai pada tingkat keyakinan, bahwa buku itu menyesatkan dan mesti ditarik dari peredaran karena akan membawa korban kesesatan yang terlalu banyak. Ana sudah nulis semuanya sebelum ini dimana antum tidak mau membacanya itu.

Ana hanya bisa dan selalu dari awal seperti itu, menganjurkan untuk tetap dengan bahasa ilmiah yang baik. Tanpa ejek mengejek. Itu saja bib. Kalau antum marja’ ana, sudah pasti ana akan ikuti anjuran antum. Tapi ana tahu dengan relatif bahwa marja’ tidak menginginkan seperti itu.

Tentu saja, marja’ tidak ingin melihat umat ini terpecah. Akan tetapi jalannya, bukan menutup pembahasan kita, tapi menarik buku yang menyesatkan Syi’ah yang atas nama Syi’ah itu. Ini yang ana pahami dari fatwa-fatwa marja’ dan aplikasi penggalangan persatuannya. Karena itu, sekalipun teman-teman atau kita- kita sendiri sudah benar sekalipun, akan tetapi kalau tidak dengan bahasa yang santun dan mengejek, maka bisa masuk dalam kategori perpecahan.

Jadi, menjaga persatuan itu bukan menarik protes terhadap yang diprotes, tapi bisa dengan menarik yang diprotes kalau yang diprotesnya salah secara gamblang. Jadi, yang membuat perpecahan itu bukan kami yang dirugikan ini, akan tetapi yang telah menyebarkan ketidakbenaran dan merugikan kita semua itu. Karena itu antum baca baik-baik diskusi sebelumnya. Kalau benar, maka ramai-ramai memohon, INGAT, MEMOHON kepada penerbit untuk menarik buku tersebut, bukan menyuruh diam kami dan semua orang.

Fahmi Husein: @Sinar, ana rasa antum dapat memahami kalimat ana dengan baik, tapi, apa karena antum ikut-ikut IIP atau IIP yang ikut antum dengan memplesetkan apa yang ana mohon dan harapkan. TIDAK ADA SEDIKITPUN SATU KATA/KALIMAT ANA UNTUK MENUTUP DISKUSI ATAU PEMBAHASAN ISI BUKU, ATAU MEMPROTESNYA!! Tapi antum bilang kebalikan...La haula wala quwwata illa billah.. silahkan dah lanjutkan..

Nampak sekali kok bagaimana rapuhnya hujjah antum untuk sikap, (SIKAP, BUKAN DISKUSI ILMIAH YAH, NTAR DIBELOKKAN LAGI), Ini adalah sikap pembenaran dan berandai-andai antum (hoyal teriak hoyal) ---->Fahmi, kalau Firdaus salah dalam memahami, dan aku yang benar, seandainya begitu di hadapan Allah, maka sms itu tambah parah bib.

Lebih bagus Firdaus yang benar ketika mengatakan kontradiksi. Sebab bisa saja orang itu melakukan kontrasiksi tapi tanpa ada niatan apapun dan/atau kesalahan penulisan.

Lah, kalau ana yang benar, maka sungguh siapapun penulisnya, tulisannya itu, ingat tulisannya itu, sudah sejengkal dari kekufuran bib. Kalau ditambah pengingkaran pada wali fakih, maka tambah bahaya bib.

Basu Dewa: Wah..rame juga disini... saya baru dapat kiriman dari kawan buku ini,.. jadi penasaran juga.. : judulnya sangat mengejutkan “SYI’AH MENURUT SYI’AH”...penulis TIM AHLUL BAIT INDONESIA. Artinya Buku ini ditulis oleh orang syi’h (Ahlul bait Indonesia) dan tentunya pasti mewakili SYI”AH kalau dilihat dari judul dan ditegaskan juga pada pengantarnya di point 5, buku SMS ini menjadi rujukan bagi Muslim Syi’ah dan siapa saja yang ingin memahami madzhab Syi’ah.

“APA IYA..??”...

Sinar Agama: @Fahmi, kalau ana salah dalam memahami antum atau menulis tentang antum bahwa antum meminta diskusi ini dihentikan di medsos, maka maafkan hamba. Yang lain-lainnya, saya rasa sudah jelas. Afwan.

Keongracun: Syi’ah menurut Syi’ah itu yang sekehendak hatinya dan se sesat-sesatnya hahaaaa.......

Gaģak Rimanģ: Basu Dewa, muslim Syi’ah ?? Sejak kapan Syi’ah jadi muslim ???

Meyo Yogurt: Saya belum baca bukunya tapi mungkin maksudnya begini, khalifah atau pengganti Nabi saw. , meliputi vertikal dan horizontal. Sedangkan kalau menurut Sunni, hanya horizontal saja. Buktinya AUU kalau menghadapi kasus fikih atau tafsir Al Qur’an sering membutuhkan bantuan shahabatnya, karena mereka tidak menguasai dari sisi kepemimpinan agama atau vertikal. Imam Ali as. membaiat mereka sekedar untuk kepemimpinan horizontal itu, itupun terpaksa, bukan kepemimpinan vertikal. Begitupun Syi’ah Imam Ali as. Tetap jadi Syi’ah meskipun mereka terpaksa juga membai’at orang lain. Sekedar opini saya.

Meyo Yogurt: Tulisan di atas tidak menafikan kekhalifahan Imam Ali as. meliputi baik vertikal maupun horizontal.

Sang Pencinta: @Meyo, antum jangan mengkalau-kalau dulu, silahkan baca dulu dengan teliti baru mengkomentari,

https://www.facebook.com/notes/sang-pencinta/bedah-buku-sms/773797299336845

Meyo Yogurt: Saya coba tanggapi link pertama. Disini pak ustadz Muhsin Labib menjelaskan tentang imamah dan khalifah. Untuk imamah beliau menggunakan definisi Syi’ah, untuk khalifah beliau menggunakan definisi Sunni. Makanya beliau mengatakan khalifah butuh pengakuan bai’at, ada keterbatasan teritorial dan lain lain. Padahal kalau khalifah itu berarti pengganti Nabi dalam menjalankan fungsinya, khalifah dan imam itu sama saja.

Meyo Yogurt: Iya saya sudah membaca 5 link pertama. Sepanjang yang saya baca kata pengantar pak Muhsin Labib itu tidak salah kalau mengingat pembacanya adalah Sunni yang mengidentikkan makna khalifah dengan AUU. Kalau hanya diambil kalimatnya sepotong sepotong, dan dimaknai dengan paradigma Syi’ah memang salah. Sekedar opini saya.

Khommar Rudin: Allohuma Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad Wa ‘Ajjil Farojahum



Artikel selanjutnya:
====================

Senin, 25 November 2019

Imamah & Khalifah menurut buku SYI’AH MENURUT SYI’AH bagian 6

6. Imamah & Khalifah menurut buku SYI’AH MENURUT SYI’AH bagian 6

https://www.facebook.com/notes/teguh-bin-suhedi/imamah-khalifah-menurut-buku-syiah-menurut-syiah-bagian-6/10152453831143937


Sinar Agama: @Ali, hanya sekedar nimbrung diskusi di atas yang nyampur antara dengan ana dan yang lain:

1- Pemimpin di negara manapun yang menjadikan hukum Islam itu sebagai hukum negaranya, sudah tentu WAJIB wali faqih. Jadi, president, parlemen (MPR), ... dan seterusnya...hanya merupakan bawahan wali faqih. Emangnya Nabi saww dan para imam as, mengerjakan semua pekerjaannya sendiri? Jadi, ada bagian-bagiannya. Karena itu, maka apapun keputusan MPR itu, wajib disetujui dulu oleh wali faqih yang diwakili 12 orang dan baru bisa dikerjakan oleh presiden. Presiden ini dipilih rakyat sebagai mukaddimahnya, bukan pengangkatannya.

Karena pengangkatannya, harus melalui wali faqih.

Untuk menjadi presiden, dua kali harus melewati persetujuan wali faqih. Pertama, di awal-awal mau mencalonkan diri. Kalau diluluskan wali faqih yang melalui wakilnya (majlis nigahbon yang terdiri dari 12 orang), maka bisa mencalonkan diri untuk dipilih atau tidak oleh rakyat.

Ke dua, kalau sudah terpilih, maka mesti juga diangkat oleh wali faqih. Kalau dalam masa kelulusan mencalonkan diri sampai dengan terpilih itu, tidak terjadi apa-apa terhadapnya hingga membuatnya tidak layak menjadi presiden, maka dia baru akan diangkat dan diresmikan oleh Wali Faqih. Jadi, presiden itu hanya pembantu wali faqih, bukan pemimpin negara. Dan wali faqih ini, juga dipilih rakyat melalui majlis Para Ahli (khubregon) yang dipilih rakyat. Yaitu yang terdiri dari ulama mujtahid.

Jadi, posisi wali faqih bukan formalitas, akan tetapi asas. Karena tanpa wali faqih, maka tidak bisa dikatakan negara Islam yang atas nama Tuhan. Karena jabatan wewenang mengurus umat itu, hanya diberikan kepada para nabi as, para imam as, dan wakil-wakil para nabi as dan imam as tersebut. Wakil-wakil ini ada yang ditunjuk langsung oleh para Makshumin as itu, dan ada yang melalui kreteria. Nah, para marja’ itu, dipilih menjadi wakil para Makshumin as melalui kriteria sebagai banyak dalam perintah dan hadits-hadits mereka yang memerintahkan umat untuk menaqlidi dan mengikuti serta menaati faqih yang mujtahid, tidak melakukan dosa besar dan kecil (adil) dan tidak tamak kepada dunia sekalipun halal.

Nah, ketika para Makshum dan Tuhan sendiri mewajibkan kita mengikuti para ulama yang memenuhi syarat tersebut, maka inilah yang disebut dengan WEWENANG itu yang, kalau disebutkan lengkapnya menjadi WEWENANG FAQIH atau WALI FAQIH.

Jadi, wali faqih itu aktif tiap harinya. Bukan hanya aktif mengikuti perkembangan pemerintahan wakil-wakilnya, akan tetapi, aktif dan terlibat dalam keaktifan bawahan-bawahan itu secara hakiki. Memang, ada perintah-perintah yang sudah diberikan sebelumnya. Dalam hal-hal seperti itu, wali faqih hanya mengawasi kerjanya dimana kalau keluar dari garis, diadakan peneguran dan perubahan. Hal ini tidak ada anehnya sedikitpun. Karena siapapun pemimpin dan dimanapun dan apapun sistemnya yang dipakai, maka pemimpin tertingginya, tidak langsung mendayung perahu di laut, menjadi jendral perang di lapangan. Tidak mesti seperti itu. Karena itulah, maka ada mentri-mentri dan wakil-wakil. Nah, untuk pemerintahan wali fakih ini, hanya ada semacam wakil-wakil saja, seperti presiden itu sendiri. Baru mentri-mentri ada di bawah presiden. Jadi, jangan dikira bahwa kalau presiden yang membawahi mentri lalu wali faqihnya tidak memerintah langsung secara aktif. Terlebih langsung tidaknya presiden, dilihat dari hal ini, juga tidak langsung. Karena dibawahi para wakil dan mentrinya.

Btw, hal ini sangat mudah. Koncinya, jangan samakan dengan pemerintahan yang pemimpin tertingginya presiden atau raja. Pemerintahan Islam yang disalurkan melalui Nabi saww dan Ahlulbait as adalah melalui kewenangan atau kewalian. Yakni wewenang yang diberikan Allah, baik langsung seperti Nabi saww, atau tidak langsung, seperti para imam dan wakil-wakil Nabi saww dan para imam as, baik melalui penunjukan langsung atau dengan kriteria sebagaimana sudah dijelaskan.

2- Tentang syaikh Shaduq ra dan syaikh Mufiid ra itu, sama sekali tidak bisa disamakan dengan bahasan kita ini. Karena mereka berdua adalah mujtahid yang telah mengeluarkan pendapatnya. Karena itu, mereka juga tidak menerakakan siapapun yang berbeda dengan ijtihadnya. Artinya, sekalipun mereka saling menyalahkan walau dengan kata-kata yang pedas sekalipun, mereka sama-sama menyadari bahwa sesama mujtahid sama-sama memiliki pandangan yang syah. Apalagi sudah menjadi kemuttafaqan ‘alaihi bahwa mujtahid yang salah itu tetap mendapat satu pahala dan kalau benar mendapat dua pahala.

Lah,...kalau tulisan dan penulis dari tulisan itu terlalu sangat beda. Wong belajar agamanya baru alif dan baa’, kok sudah mengeluarkan pendapat DAN, menyalahkan semua ulama termasuk syaikh Shaduq dan Syaikh Mufiidnya dan SELURUH ulama dari sejak jaman Nabi saww. Dan bahkan menyalahkan Nabi saww dan imam Makshum as itu sendiri, lantaran mereka mengajarkan makna imamah itu. Para mujtahidpun tidak sembarang berbeda mas.

Ada hal-hal yang jelas dan samar. Di yang samar itulah mereka berbeda. Lah...kalau hal makna imam ini, tidak ada kesamaran sedikitpun dan sepanjang sejarah adalah merupakan kesepakatan.

3- Warisan diskusi ilmiah itu memang wajib dipertahankan. Akan tetapi, tidak semua bisa mengutarakan pendapatnya. Kalau orang awam leluasa mengutarakan pendapatnya di media masa tentang kedokteran, maka jelas tidak ilmiah sama sekali. Mana ada diskusi dikatakan ilmiah kalau pemberi pendapatnya saja, orang awam walau, sarjana di bidang lainnya, atau sama-sama sarjana tapi di madzhab lainnya.

4- Tentang kecaman yang terhadap orang yang tidak percaya bahwa Nabi saww pernah ketiduran, hal itu bukan karena hal tersebut. Akan tetapi maknanya adalah “Yang tidak mempercayai bahwa Nabi saww itu bisa melakukan ketidaksengajaan”. Kan ada akidah yang mengatakan bahwa Makshumin, seperti Nabi saww, mustahil melakukan kesalahan walau tidak sengaja. Nah, hal ini, oleh sebagian orang/ulama, sudah dikatagorikan sebagai ghulu-kecil dan, karenanya dikecam/dilaknat. Nah, jadi terhitung masalah besar, bukan kecil. Itu dalam pandangan mereka. Karena kalau masuk ghulu, sebentar lagi sudah masuk ghulu besar dan akan menjadi syirik serta kafir, yaitu menuhankan Makshumin. Nah, ini yang dirasakan mereka hingga, di samping karena tidak masuk akal bahwa Makshumin tidak lupa dan kelupaan (bagi ijtihad mereka tentunya), juga berbahaya karena bisa masuk keksyirikan.

Kasarnya, tidak meyakini kelupaan Makshumin as, hampir menyamakan dengan Tuhan yang tidak pernah lupa. JADI, bagi mereka masalah sangat besar. Akan tetapi, bagi ijtihad mereka.

Hal sepeerti ini, sudah dijawab oleh meyoritas ulama setelah generasi mereka. Ijtihad mayoritas ulama setelah mereka, malah sebaliknya. Yakni yang tidak meyakini bahwa Makshumin tidak pernah lupa itulah, yang melakukan kesalahan fatal. Karena kalau Makshumin as bisa lupa dan terlupakan, maka bagaimana manusia/umat bisa yakin terhadap kebenaran ucapan dan perbuatan mereka hingga dijadikan ajaran dan hadits??? Tentang ketidaklupaan mereka, jelas karena Allah menjaga mereka dari lupa, lantaran mereka sudah makshum sesuai dengan ikhtiar mereka hingga karena itulah, maka masuk akal sekali kalau Allah memberikan pahala yang berupa penjagaan dari lupa yang walau tidak dosa tersebut. Apalagi hal itu sangat diperlukan menjaga keyakinan dan kemantapan beragama bagi umat.

5- Tentang syura, maka silahkan antum mau meyakini yang mana. Akan tetapi, dalam pandangan Islam yang diajarkan Nabi saww dan Ahlulbait as, syura untuk kepemimpinan umat, sangat menyesatkan. Karena itu, syura itu tidak ada ajarannya sedikitpun dalam hal kepemimpinan ini. Yang ada, hanyalah syura dalam pelaksanaan tugas keseharian para Makshumin as atau wakil-wakil Makshumin as seperti yang ditunjuk langsung atau dengan kriteria itu (mujtahid/faqih).

Artinya, syura dalam ajaran Islam, hanya bisa dilakukan untuk hal-hal di selain masalah kepemimpinan tertinggi. Karena itulah, maka sebagaimana kenabian tidak disyurakan, maka wakil mutlak nabi (imam) juga tidak disyurakan bahwa wakil yang tidak mutlak (seperti ketika Nabi saww menunjuk satu orang untuk menjadi panglima atau memimpin Madinah ketika Nabi saww keluar kota). Bagitu pula dengan wali faqih ini. Jadi, syura hanya bisa berlaku di masalah-masalah aplikasi, seperti perang harus bagaimana, ekonomi harus bagaimana.... dan seterusnya. ITUPUN, sudah diterangkan oleh semua ulama, bahwa kalau Makshumin as mengajak rapat/syura para pengikutnya, bukan karena mereka tidak tahu, akan tetapi supaya umatnya ikut berfikir, aktif dan terdidik hingga bisa menjadi lebih dewasa dan matang serta bermutu.

Wali faqih di jaman Makshumin as, juga tidak disyurakan. Bahkan wali faqih di jaman dan tempat yang jauh dari Makshumin as, juga tidak disyurakan. Karena wali faqih adalah mujtahid yang a’lam yang sangat menguasai ilmu dan keadaan. Yakni melebihi yang lain dari sisi ilmu agamanya, pengetahuan jamannya dan taqwanya. Jadi, pada hakikatnya, di Mata Tuhan, wali faqih itu tertentukan dengan sendirinya.

Akan tetapi di mata umat, karena umat tidak tahu lahir batin seseorang, maka Islam mengajarkan: Pertama, pembuktian siapa yang a’lam. Ke dua, kalau masih sama-sama a’lam, maka dibuktikan siapa yang paling taqwa.....dan seterusnya...sebagaimana sudah tertera dalam kitab-kitab fikih dan semacamnya. Saya sudah pernah menulis hal ini sebelumnya.

Di Iran, sekalipun pembuktian dalam Islam tentang kea’laman dan semacamnya itu, cukup disaksikan dua orang alim yang adil, dilakukan penyempurnaan. Yaitu tidak mencukupkan dua orang alim yang adil saja (ahli khibrah). Akan tetapi, bahkan mengikutkan umat semuanya. Akan tetapi, karena umat tidak alim agama, maka dibuatlah pemilu untuk memilih ulama/mujtahid untuk duduk di majlis para ahli yang disebut khubregon itu. Maka duduklah puluhan ulama adil yang telah dengan suka rela dipilih umat secara langsung dalam pemilu ulama khubregon tersebut.

Majlis khubregon ini, bertugas mengangkat wali faqih dan mengawasi kerja-kerjanya selama menjabat. Akan tetapi, karena seperti yang sudah saya katakan di atas, bahwa sebenarnya wali faqih itu adalah yang ter-a’lam, maka sebenarnya ia sudah tertentukan dengan sendirinya di Mata Tuhan. Karena itulah, maka ayatullah Jawadi Aamuli hf, mengatakan (maksudnya):

“Sekalipun dalam UU negara menyebutkan bahwa majlis Khubregon ini, bertugas mengangkat wali faqih, akan tetapi sebenarnya, mereka hanya mengumumkan keberadaan dan siapanya dari wali faqih itu. Karena wali faqih yang lebih a’lam dari mereka dimana sudah tertentukan di Mata Tuhan. Jadi khubregon pada hakikatnya hanya mencari siapa yang sebenarnya wali faqih itu dan bertugas mengumumkan kepada umat.”

6- Tentang wali faqih, maka kebijakannya adalah, “Mengesahkan semua pendapat yang diambil oleh para wakil, walau tidak sama dengan pandangan wali fakih, selama masih tidak bertentangan dengan UU yang sudah disyahkan oleh wali faqih.”

Jadi, sebenarnya, sekalipun ada perbedaan pandangan antara atasan dan bawahan, antara wali faqih dan wakil-wakilnya seperti presiden, maka hal itu bukan berarti bertentangan yang dalam makna pembangkangan atau tidak diijinkan wali faqih. Karena wali faqih sudah memutuskan dari awal, sejak imam Khumaini ra, bahwa apapun keputusan yang diambil oleh para bawahan, maka ia syah selama tidak bertentangan dengan hukum yang ada sekalipun, berbeda dangan pandangan wali faqih itu sendiri.

Hal seperti ini sangat wajar. Karena wali faqih, sekalipun sudah mendapat wewenang dari Tuhan, Nabi saww dan Imam Makshum as, akan tetapi mereka semua mengajarkan bawah wali faqih ini tidak makshum dan harus menghormati ijtihad orang lain dan pendapat orang lain selama masih dalam kategori Islam.

Jadi, bedanya bawahan dengan wali faqih, disyahkan oleh wali faqih selama tidak keluar dari ketetapan yang ada. Jadi, bukan perbedaan yang memaksiati wali faqih. Tentu saja, kalau perbedaannya itu sudah menyimpang dari UU yang sudah disyahkan wali faqih, maka wali faqih akan bertindak sesuai dengan kondisi yang ada, apakah memecat presidennya, atau menasihatinya dan semacamnya.

7- Dengan semua penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa GAMPANGNYA,

a- Wali faqih itu amanat dari Tuhan yang diberikan kepada faqih/mujtahid melalui Nabi saww dan juga para imam Makshum as.

b- Wali faqih itu adalah pewenang mutlak di dunia ini selama tidak ada imam Makshum as. Pewenang adalah pewali, yaitu yang berwenang.

c- Karena hanya faqih yang memiliki kewenangan dalam segala hal ke atas umat, maka selain wali faqih, akan memiliki kewenangan juz-ii atau partikular atau bagian/bidang, dalam bidang masing-masing, SETELAH DIANGKAT OLEH WALI FAQIH.

d- Jadi, Tuhan mengangkat Nabi saww sebagai pewali/pewenang mutlak (dalam segala urusan dan jaman), dan Nabi saww mengangkat wakil mutlak (dalam segala urusan dan jaman) yang makshum dan mengangkat wakil tidak mutlak (seperti dalam perang, utusan, wakil di semua tempat selain Madinah....dan seterusnya) yang tidak makshum. Lalu para imam Makshum as mengangkat wakil mutlak yang tidak makshum (karena tidak ada yang makshum, tidak seperti Nabi saww yang tidak mengangkat wakil mutlak kecuali makshum yakni imam Ali as).

e- Wakil mutlak yang diangkat imam-imam Makshum as itulah yang dikatakan wali faqih. Dan imam Makshum as, juga bisa mengangkat wakil tidak mutlak sebagaimana yang dilakukan Nabi saww, kalau diperlukan di jaman mereka as masih hidup.

f- Jadi, kesalahan teman-teman dalam menatap presiden, karena dikira pemimpin tertinggi, adalah penyebab kebingungannya. Karena presiden di pemerintahan Islam Ahlulbait, sama sekali bukan pemimpin tertinggi. Karena pemimpin tertinggi yang aktif dan keaktifannya melebihi presiden itu (bc: bukan hanya simbol agama) hanya dan hanya, wajib diterima dari Allah dan, karena itu, hanya faqih a’lam dari segala hal, yang bisa mendapatkannya.

8- Ketika seseorang tidak bisa mengerti tentang kewenangan dan tugas makshum, yaitu tentang kepemimpinan umat secara mutlak, baik wewenang Nabi saww atau para imam Makshum as, maka sudah jelas akan kebingungan sendiri hingga berkata, para Makshum as itu, tidak harus duduk sebagai pejabat. He he...ini namanya pendapat softoh/gurau. Terlebih hanya bernulis riya tanpa dalil sedikitpun. Karena itu, layak dikatakan sebagai asnul (asal nulis).

9- Semoga teman-teman yang ngalor ngidul tidak karuan berpendapat tentang imam Makshum as, dapat melihat betapa marahnya imam Ali as, hadh Faathimah as dan para Makshumin yang lainnya ketika tugas mereka diganggu dengan perampasan kewenangan di masyarakat.

Betapa imam Ali as di Nahju al-Balaghah mengatakan bahwa sampai-sampai hidup beliau as seperti orang yang ditenggorokannya makan tulang, di matanya ada pasir. Yakni tidak bisa membuka mata dan tidak bisa makan. Dan betapa para imam mengatakan bahwa Islam sudah dibawa ke waadi/tempat yang jauh dari yang diajarkan Nabi saww. Andaikan mereka punya pasukan, bahkan wasiat Nabi saww kepada imam Ali as yang tergambar dalam ucapan imam Ali as sendiri, bahwa kalau beliau as memiliki 40 orang saja yang berani mati, maka mereka para imam sudah berperang. Betapa imam Hasan as juga ditinggalkan tentaranya.

Lah, ngapain perang kalau penguasa itu bisa dilakukan orang yang tidak makshum dan tugas makshum hanya memonitor seperlunya??? Buat imam Husain as, karena sudah sampai waktunya menghentak umat yang hanyut pada sistem khilafah/politis atau syura (dalam kepemimpinan mutlak, bukan juz-i dan bagian/bidang tertentu) yang sama sekali tidak diajarkan Islam itu, bangkit walau tahu akan dirajang-rajang di Karbala.

EMANGNYA IMAM HUSAIN as BERPERANG DENGAN TEKAD KEMENANGAN PEMBANTAIAN

DAN PERAJANGAN TERHADAP DIRI BELIAU as DAN KELUARGA BELIAU as ITU (ingin meraih kemenangan dengan kesyahidan yang mengenaskan), HANYA KARENA YAZID TIDAK SYAH KARENA PEMINUM KHAMR TAPI KALAU ORANG LAIN YANG TIDAK MINUM BIR MAKA BOLEH-BOLEH SAJA KARENA YANG PENTING TUGAS IMAM HUSAIN as ADALAH MENGAWASI DAN MENGENDALIKAN SISTEM POLITIK???!!! ATAU KARENA YAZID TIDAK MAKSHUM DAN TIDAK LAYAK JADI PEMIMPIN MUTLAK UMAT, ARTINYA SIAPAPUN TIDAK BERHAK MENJADI KHALIFAH???!!! HAIHAAT (jauh dari kami) HAIHAAT KECEROBOHAN SEPERTI ITU DARI KAMI.

10- Saya sudah bersusah payah menulis hal di atas, begitu sampai ke giliran tulisan antum yang ini, saya jagi kaget:

“Nah pandangan itu berbeda dengan ustadz SA yang (dari yang saya tangkap) mewajib-mutlakkan imam sebagai PEMIMPIN POLITIS (bukan cuma sekedar mengamati seperti di Iran). Artinya dari sudut pandang ustadz SA mengimplikasikan bahwa seharusnya juga gak perlu ada Ahmadinejad wala Rouhani, semua kebijakan politis jadi mas’uliyah wali faqih. Ini yang saya hendak konfirmasi kepada beliau” Saya kaget, jangan-jangan antum tidak baca tulisan yang didiskusikan penulis (ML) dan jawaban-jawaban sebelumnya. Atau antum sedang membahas hal lain? Hal itu, karena imam yang harus dijadikan pemimpin politik itu, yakni di selain kepemimpinan vertikal itu, adalah imam Makshum mas, bukan imam-imam lain yang tidak makshum seperti wali faqih.
Jauhnya....

Memang, wali faqih sama sekali tidak beda dengan wali makshum (Nabi saww atau imam Makshum as), dari sisi kemestian dijadikan pemimpin politik. Yang membedakan wewenang mereka, adalah bahwa mereka bukan pemimpin vertikal atau, setidaknya tidak harus menjadi atau memiliki kepemimpinan vertikal. Karena itu wali faqih tidak harus ulama irfan yang bisa memiliki berbagai karamat atau mukjizat. Wassalam.

Sinar Agama: Nuhu, sepertinya antum mengetawakan diri antum sendiri. Sebab, tertawa antum itu, tertuju pada penolakan spesialisasi. Coba antum pergi ke ahli bedah syaraf, lalu tanyakan ini dan itu.

Apakah antum akan tertawa juga kalau ia menjawab:

“Kalau ingin tahu, maka jadilah dokter umum dulu, lalu ambil mejester dan baru nanti kuterangkan ilmu yang di tingkatan pertanyaanmu itu!” ???!!!

Sinar Agama: Untuk komentar-komentar yang lain-lain, afwan ana tidak menyempatkan membacanya.

Sinar Agama: Haidar, sudah jelas seperti yang mewenangi wali faqih, yakni internasional.

Tapi nanti kalau imam Mahdi as sudah datang, maka biasanya, akan menjadi lokal sesuai dengan kebijakan yang diambil oleh para Makshumin as sebelumnya.

Akan tetapi, kalau nanti ada perkembangan yang luar biasa, hingga wali faqih harus ada di negara tertentu karena hal-hal yang membuatnya seperti itu, TAPI, dari sisi kea’laman tidak kalah dengan yang ada di Iran, maka bisa saja di negaranya tersebut, ada wali faqih. Tapi kalau tidak a’lam, maka faqih yang ada di negara manapun, hanya bisa menjadi wakil dari wali faqih yang ada di Iran karena sudah dipilih dengan kea’lamannya dari segala bidang.

Ali Zayn Al-Abidin: Terima Kasih atas jawabnya ustadz..

Untuk pembahasan Ikhtilaf ahlul muhaddits Syaikh Shaduq dan ulama’ segolongan beliau (seperti Syaikh Majlisi, Syaikh Kulayni dan lain-lain) dengan ahlul kalam seperti Syaikh Mufid sudah ada tempatnya ustadz... Yang jawaban lain masih saya cerna..

Haidar Husein: Kalau WF secara internasional berarti pemilihan WF yang di lakukan oleh dewan marojik adalah juga dari dewan marojik dari luar Iran pula..

Apakah begitu yang terjadi?

Dan apakah kewajiban WF juga menyelesaikan urusan-urusan orang-orang yang ber WF (yang di luar Iran ) ????

Abdurrahman Shahab: Meyakini Imamah sebagai kewajiban dan keharusan yang harus saya pegang, adalah keyakinan mutlak bagi saya sebagai seorang Syi’ah, tapi kewajiban itu bagi saya, tidak serta merta harus dimiliki oleh saudara suni, sehinga menyebabkan mereka menjadi kafir dan masuk neraka karena mereka tidak memiliki keyakinan yang sama dengan saya. DAN JIKA ADA ORANG MENGANGAP BAHWA KEYAKINAN SYI’AH ADALAH YANG MENGANGGAP BAHWA ORANG SUNI TELAH “KAFIR” DAN MASUK NERAKA KARENA TIDAK MENG-IMAN-I IMAMAH, MAKA SAYA MENYATAKAN BERLEPAS DIRI DARI SYAIH SEMACAM ITU !!!

Secara sederhana, mungkin hal inilah yang tersirat yang ingin diutarakan oleh Ustadz Muhsin Labib dalam tulisannya, agar akar masalah yang krusial yang menyebabkab perseteruan awal yang terus berlanjut hingga kini antara Sunni-Syi’ah bisa dipertemukan, paling tidak dalam perspektif kesadaran untuk salin mencari kesejajaran/pertemuan dalam keyakinan baik suni maupun Syi’ah dalam perfektif sejarah.... Wallahu a’lam bissowab...

Sinar Agama: @Haidar, tidak begitu untuk sementara. Karena mujtahid yang terbukti menyintai hukum Islam dan telah mengorbankan dirinya sepanjang hidupnya lantaran menegakkan negara Islam dan mempertahankannya, adalah mujtahid dan marja’-marja’ yang ada di Iran. Lagi pula, sangat tidak mungkin ada mujtahid luar Iran yang a’lam tentang kondisi yang ada di Iran sehubungan dengan kenegaraIslaman. Karena itulah, maka mujtahid-mujtahid dunia yang berijtihad tentang wali faqih mutlak ini, semua sepakat dengan apa yang dipilih di Iran. Beda dengan para awam (bukan mujtahid) atau mujtahid yang hasud dan dengki seperti selama ini yang selalu berusaha merongrong wibawa negara Islam yang ada di Iran.

Sinar Agama: @Abdurrahman, wong tulisan ada di depan mata kok antum bermungkin-mungkin.

DIMANA ADA ORANG ATAU ULAMA SYI’AH MENGAFIRKAN DAN MENERAKAKAN SUNNI MASS??? DAN DIMANA TULISAN ML ITU BERKATA SEPERTI ITU MASSS???

TERLALU BANYAK TULISAN SAYA YANG SAYA TULIS DI FB INI, YANG ISINYA TENTU SAYA DAPATKAN DARI PARA GURU, BAHWA ORANG KAFIR SEKALIPUN, JUGA BISA MASUK SURGA. KARENA TERGANTUNG SEJAUH MANA HUJJAH TUHAN YANG SAMPAI KEPADANYA. APALAGI SAUDARA-SAUDAR SUNNI YANG BERTAUHID DAN BERNUBUWWAH DAN LAIN-LAIN. TOLONG JANGAN BERMUNGKIN-MUNGKIN KETIKA TULISANNYA ADA DI DEPAN MATA KITA SEMUA.

Abdurrahman Shahab: Maaf Ustadz SA, sangat banyak “orang Syi’ah” terutama yang dimotori kelompok pemecah belah ukhuwah, yang memulai kembali misi konflik Sunni-Syi’ah dengan mengatakan bahwa suni itu kafir dan di neraka karena menolak imamah... apakah Ustadz, menganggap kelompok ini tidak ada ?

Lalu bagaimana Mungkin Rahbar HF dan marja’-marja’ Syi’ah lainnya juga harus turun tangan untuk mengeluarkan fatwah, HARAM HUKUMNYA MELECEHKAN TOKOH-TOKOH YANG DIMULIAKAN OLEH SAUDARA SUNNI. Atau mengadakan berjuta-juta upaya untuk membuat agar terjalin ukhuwah dan persatuan Sunni-Syiah. Sepakat tidak sepakat sumber masalah utama dari timbulnya dua kelompok utama islam (Sunni-Syiah) adalah karena masalah imamah/khilafah.... lalu salahkah jika ada yang ingin membuat sebuah persfektif tengah (mungkin dalam taqihnya) agar sumber persolaan itu bisa dilihat dan memiliki jalan tengah yang lebih baik.

Singgih Djoko Pitono: Dari tulisan Ustadz ML itu malah berkembang di luar sana pembicaraan, bahwa Syi’ah sedang kebingungan, akhirnya mereka bertanya-tanya beneran yakin engga sih mereka dengan pemahaman Syi’ah mereka?

Maksud ustadz ML suci... Kita paham itu...

Tetapi ketika cara yang ditempuh memakai kaidah-kaidah yang mengkompromikan sesuatu yang tidak mungkin dikompromikan, maka alih-alih mencapai tujuan suci itu, yang ada malah menghancurkan bangunan yang kokoh itu sendiri...

Afwan.

Sinar Agama: @Haidar, para mujtahid yang tidak cinta dunia itu, tidak berlomba untuk jadi pemimpin. Ini secara umum. Karena itu, mereka sama-sama tahu diri, terhadap apa yang diraihnya dalam ilmu, apa yang telah dilakukannya untuk Islam dan seterusnya. Yakni tahu siapa yang selalu mengorbankan nyawanya untuk Islam. Memang ada orang-orang sakit, seperti sayyid Kamaal Haidari, yang besar di Iran dan belajar di Iran serta dilindungi dan dipromosikan Iran di TV Kautsar, akan tetapi, belakangan, sudah merasa sok jago padahal guru-guru besarnya ada di depan hidungnya dan masih hidup. Karena itu, ia sekarang sudah tidak diberi waktu untuk siaran langsung di TV Kautsar tersebut, walaupun ia berkoar-koar di youtube bahwa video yuotube yang mengkritiki Rahbar hf itu adalah fitnah.

Lah wong dia kok yang bicara, kok dikatakan fitnah. Btw, secara umum, dari sepuluh ribu ulama, mungkin ada satu dua yang punya penyakit. Akan tetapi secara umum, mereka itu sangat-sangat mementingkan umat dan agama Islam, bukan diri mereka sendiri. Mereka para mujtahid dunia sangat bersyukur karena Iran dan umat Iran sudah berani menegakkan syariat Islam walau menyumbangkan syahid sekitar satu juta dan walau ulamanya disiksai di penjara-penjara. Jadi, mereka dari awal sudah malu. Tapi kalau punya penyakit hati, maka bukan hanya tidak malu, melainkan mau berebut dengan wali faqih Iran yang dipilih dengan sangat hati-hati dan melalui puluhan mujtahid yang duduk di majlis para ahli tersebut.

Walau begitu, sayyid Kamaal tidak diapa-apain dan dia bebas hidup di Iran dengan seluruh kegiatannya dan bahkan tetap dibantu. Hanya saja yang di kautsar sudah tidak diberi lagi siaran langsung, dan hanya siaran rekaman saja. Karena takut ada yang gila-gilaan seperti yang direkam kaula Inggris yang kemudian tersebar kemana-mana itu.

Haidar Husein: Apakah benar bahwa Sayyed Fadhlullah tidak sepakat dengan adanya Wilayatul Faqih???

Sinar Agama: @Haidar, tidak benar. Beliau paling getol dengan wali faqih. Sampai-sampai sewaktu kantornya ditanya tentang MLM (menurut teman yang bertanya langsung), mengatakan bahwa sistemnya halal asal tidak di Iran. Kalau di Iran haram. Maksudnya, karena di Iran, dalam wilayah mutlak wali faqih yang tidak bisa diganggun gugat. Yakni dalam menaati kepemimpinan politiknya.
Jadi, sudah bukan hanya masalah fatwa yang beda, tapi sudah logika taat pada wali faqih.

Fatimah Umukulsum: Subhannallah, MaasyaAllah, Laa haula wala quwata illa billah. --- betapa gamblangnya penjelasan ustadz SA.

Haidar Husein: Masalah MLM kan itu berkenaan dengan hukum fiqih...dan bisa jadi sama dengan Rahbar...akan tetapi kesamaan hukum itu kan tidak menunjukkan urusan sepakat or tidak nya dengan masalah WF.

Sinar Agama: @Haidar, sepertinya antum tidak teliti. Justru di MLM itu ayt Fadhlullah berfatwa beda dengan Rahbar hf. Rahbar hf mengharamkan sistem tersebut, begitu pula marja’-marja’ yang lain, akan tetapi yang diberitakan kepada kami dari salah satu teman yang taqlid kepada ayt Fadhlullah, bahwa beliau menghalalkan MLM selama tidak di Iran.



Artikel selanjutnya:
====================