Minggu, 12 Mei 2019

Shalat di Awal Waktu = Meninggalkan Fikih Ringan ke Fikih Berat, Bukan ke Akhlak


Seri tanya jawab Andri Kusmayadi dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Thursday, April 11, 2013 at 9:34 pm


Andri Kusmayadi mengirim ke Sinar Agama: Minggu (10-3-2013) Salam. Afwan Ustadz, ada yang terlewat, kalau dengan sengaja mengakhir-akhirkan shalat, tapi masih dalam waktunya itu dosa gak? Terimakasih. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: Tidak dosa tapi kurang baik kalau tidak ada halangan. 

Andri Kusmayadi: Nah, sekalian Ustad Sinar Agama, pingin memperjelas perbedaan fikih dengan akhlak...bisa tidak untuk kasus di atas bahwa secara fikih tidak haram, tapi secara akhlak salah? 

Soalnya kurang baik itu kan bukan bahasa fikih? Bener tidak ustad pemahaman ana itu? Btw, ana kirim pertanyaan ke inbox juga Ustad, udah lama...masykur... 

Sinar Agama: A K: Benar dan tidak benar. 

  • - Benarnya, kalau pengamalan akhlak itu, yaitu tidak mengundurkan waktu itu, dikarenakan pembolehan fikihnya. Jadi, kita melakukan kesunnahan dalam fikih,yaitu dalam mengawalkan shalat dimana hal ini juga dikatakan akhlak. Karena itu, tidak ada pendahuluan akhlak di atas fikih. Karena mendahulukan shalat itu, diterangkan di fikih sebagai sunnah. Jadi, pindah dari fikih mubah menunda shalat yang lebih ringan, ke fikih sunnah untuk menyegerakan shalat yang tentu lebih berat. Jadi, berpindah dari fikih ke fikih dan dari fikih yang ringan ke fikih yang lebih berat. Bukan seperti yang diinginkan pindah dari fikih ke akhlak yang, biasanya untuk keringanan dan enak-enakan. 
  • - Salahnya, kalau antum memaksudkan bahwa dengan mendahulukan shalat berarti telah mendahulukan akhlak dari fikih. Alasan kesalahannya, adalah keterangan di atas itu. 
Wassalam. 

Andri Kusmayadi: Sudah jelas Ust. Sinar Agama tentang jawaban contoh kasus ini...tapi, tentang perbedaan definisi akhlak dan fikih dari contoh itu belum jelas benar. Mungkin antum sudah membahas masalah definisi akhlak dan fikih ini secara panjang lebar, atau mungkin Sang Pencinta bisa memberikan linknya. Terimakasih. 

Sinar Agama: Andri: Sudah sering kita bahas itu, coba antum cari di catatan. Intinya, akhlak itu, kalau di tatapan umum, adalah tinjauan tentang kelakuan, sifat-sifat dan karakter-karakter manusia. Jadi, bahasanya adalah baik dan tidak baik. Sedang fikih itu batasan dari baik dan tidak baiknya itu. Artinya, memiliki bobot wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. 

Karena itu, maka orang yang meninggalkan fikih demi akhlak, dalam pandangan akhlak-Islam itu sendiri, jelas tidak berakhlak. Karena bagaimana mungkin seseorang meninggalkan ketentuan Tuhannya tanpa alasan yang benar yang sudah disebut di fikih taqiah dan hanya mengikuti kesukaannya sendiri, bisa disebut berakhlak??!!! Hal seperti ini, bukan hanya keluar dari akhlak, akan tetapi menantang Tuhan seperti iblis yang menantangNya ketika diwajibkan secara fikih untuk bersujud kepada nabi Adam as. Artinya, ia bukan hanya menyalahkan Tuhan dan aturan fikihNya, akan tetapi juga menyalahkan fikih buatanNya itu. Artinya dia merasa lebih alim dan pandai dari Tuhan seperti iblis yang merasa lebih benar dari Tuhannya itu dimana karena itu ia menantangNya untuk memberikan umur panjang, hingga ia dapat membuktikan kebenarannya dan kesalahanNya. 

Andri Kusmayadi: Jelas sekarang Ustad.... nanti ana cari-cari linknya untuk lebih paham lagi... sambil nunggu dari sang pencinta. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 11 Mei 2019

Perbandingan Dosa Ghibah dan Selainnya


Seri tanya jawab Andri Kusmayadi dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, April 7, 2013 at 11:04 am


Andri Kusmayadi mengirim ke Sinar Agama: Minggu (10-3-2013) Salam. Afwan, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya tanyakan. 

1. Tahapan terendah seorang muslim itu melaksanakan kewajiban atau meninggalkan yang haram? Mengingat suka ada orang yang tidak pernah shalat, tapi dia baik, tidak berzinah, mabuk-mabukan, berjiwa sosial tinggi dan lain-lain... Sebaliknya, suka ada orang yang shalatnya rajin, begitu juga kewajiban-kewajiban lainnya, puasa, khumus, dan lain-lain....tapi dia juga tetap bermaksiat kepada Allah dengan berzinah....Mohon penjelasannya..... 

2. Ketika salat zuhur berjamaah, kita masuk imam sudah rakaat ketiga, dan kita membaca alfatihah dan suratnya belum selesai, apakah itu termasuk satu rakaat atau belum sehingga harus disempurnakan ketika selesai salat? 

3. Ingin lebih paham tentang perbedaan fikih dan akhlak. Mungkin dengan memberikan contoh... seperti ini. Saya pernah membaca Imam Khomeini mengatakan bahwa ghibah itu lebih besar dosanya dibandingkan dengan membunuh atau berzinah? Nah, hal ini secara fikih atau akhlak? Bukankah, kalau membunuh atau berzinah itu ada hukumannya seperti dibunuh lagi atau dirajam, sedangkan ghibah itu tidak ada hukumannya? Demikian pertanyaan dari saya. 

Terimakasih sebelumnya. 

D-Gooh Teguh: 3. Kafir juga gak ada hukumannya di dunia. Yang kasat mata lho... bukan yang kasat-meta. 

SangPencinta: Salam, untuk no 1 kurasa ini mencukupi, 
http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/486549254723209/ 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

1- Yang meninggalkan dosa, apapun dosa itu, maka akan ditulis dan akan disiksa atau diampuni sesuai dengan hitungan dan kebijakan Tuhan. Tapi yang meninggalkan shalat, akan menggugurkan semua kebaikannya. Karena di fikih diterangkan bahwa kalau shalat diterima maka semua amal baiknya akan diterima dan begitu pula sebaliknya. 

Sementara zina juga tidak kalah besarnya. Apalagi kalau sudah punya istri, maka hukumannya adalah dirajam. Yakni dipendam separuh badan dan dilempari batu sampai mati. 

2- Shalat makmum yang di belakang imam, hanya diwajibkan fatihah kalau tidak cukup waktu dan imam sudah pergi ke rukuk. Tapi kalau sudah membaca surat dan imam pergi ruku’, maka diselesaikan secepatnya dan mengejar imam ke ruku’. Tapi kalau belum baca surat imam sudah ke ruku’, maka surat itu ditinggalkan (tidak dibaca). 

3- Fikih itu adalah hukum Tuhan. Haramnya ghibah juga hukum fikih. Dan dalam mengerti hukum-fikih, tidak mesti ada embel-embel hukumannya, terlebih di dunia. 

Kalau bisa antum tambahkan rujukan kata-kata imam Khumaini ra itu, maka akan lebih sempurna, supaya kita semua tahu, apakah penjelasan itu memang ada dan seperti itu atau tidak. 

Sinar Agama: Teguh: Salam untuk antum dan untuk semua teman-teman. Semoga selalu dalam rahmat dan lindunganNya , amin. 

D-Gooh Teguh: Terima kasih ustadz... harapan kita hanya “Tuhan mengampuni sebagian besar dosa-dosa”. 

Sinar Agama: Teguh: Mengapa tidak mengampuni semua dosa-dosa kita??!!! he he... 

D-Gooh Teguh: Saya kutipan bebas dari salah satu ayat aja ustadz... ayat yang menenteramkan qalbu saya yang legam ini. Juga “jika Rasul memohonkan ampunan maka Tuhan akan mengampuni”. 

Pegangan ketenteraman hidup di dunia. Jadi ingat, ada juga yang terjemahnya mengampuni semua dosa-dosa. Asyik... 

Sinar Agama: Teguh: Ahsantum. 

Andri Kusmayadi: Terimakasih Ust. Sinar Agama, Sang Pencinta, dan D-Gooh Teguh atas penjelasannya... oh ya tentang pendapat imam Khomeini tentang ghibah itu ada di link ini. 
http://indonesian.irib.ir/en/hidden-2/-/asset_publisher/yzR7/content/id/5267836/pop_up?_101_ 

INSTANCE_yzR7_viewMode=print 

Imam Khomeini: Amar Makruf dan NahiMunkar Bersama Imam - Terkini indonesian.irib.ir 

Di awal kedatangan Imam Khomeini ra di... 

Sinar Agama: Andri: Ahsantum. Dalam setiap hal, memiliki berbagai dimensi. Salah satu dimensi dari ghibah itu adalah menjatuhkan orang di depan masyarakat dan membuatnya malu bahkan untuk bertaubat. Ini tentu lebih besar dari membunuhnya. Tapi dari sisi tersebut. 

Sementara kalau dilihat dari sisi menghilangkan nyawa seseorang, maka Tuhan mengatakan seperti membunuh semua orang. 

Begitu pula zina. Zina, kalau muhshaan atau zina besar, maka dipendam separuh badan dan dilempari batu sampai mati. Dosa ini terlalu besar. Tapi ghibah tidak memiliki hukum seperti ini dan taubatnyapun, menurut imam Khumaini ra sendiri cukup dengan berhenti dan (secara tersirat dipahami) harus mengembalikan harga diri orang itu di orang-orang yang diberitakan tentang keburukannya itu. Artinya, menurut imam ra tidak perlu mencari orang itu dan meminta kehalalannya. Cukup menyesal dan berhenti dan secara tersirat dipahami seperti yang di atas itu. 

Misalnya juga, menzinahi istri orang. Ini lebih dari merajang-rajang suaminya itu. Seakan telah menusukkan ribuan pisau kepada diri dan harga dirinya sebagai suami. Jadi, semua ini tidak bisa dianggap enteng. 

Akan tetapi, dari satu sisi yang lain, ghibah bisa lebih besar dari itu semua seperti yang sudah dijelaskan di atas itu. Karena zina bisa saja tersembunyi, tapi ghibah penyebaran keburukan hingga seseorang itu tidak memiliki harga dan harga diri di dunia dan di masyarakat dan bahkan bisa membuatnya lebih putus asa untuk taubat dimana hal ini tidak kalah besarnya dari semua dosa-dosa di atas itu atau bahkan lebih besar. 

Lagi pula, ghibah itu bertingkat. Semakin yang dighibah itu orang taqwa dan apalagi ulama, maka akan semakin besar dosanya, karena bisa dosa pada agama karena telah mejauhkan masyarakat dari sumber agama. 

Tapi ghibah itu memiliki syarat-syaratnya. Seperti dosanya tidak dilakukan di depan umum. 

Beda dengan kalau di depan umum, tulisan di fb atau di buku, atau rekaman di dan seterusnya. 

Dan masih banyak lagi pembahasan ghibah ini. Seperti tidak masalah menggunjing manakala di pengadilan, manakala ingin meminta nasihat pada orang yang dianggapnya bisa menyelesaikan masalahnya, atau supaya melindungi orang lain dari keburukan dan kejahatannya. 

Tambahan: 

Tujuan penjelasan ini, jangan sampai meringankan zina dan pembunuhan karena gampangnya orang melakukan ghibah dan tidak adanya hukum rajam baginya serta lebih gampangnya taubatnya. Tapi juga jangan sampai meremehkan ghibah ini karena ia dosanya, setidaknya, tidak kalah dengan dosa-dosa di atas. Wassalam. 

Andri Kusmayadi: Oh begitu ya Ustadz...terimakasih atas penjelasannya.... 

Sinar Agama: Andri: Iya, banyak sekali sudut pandang kelebihan dan kekurangan dari perbandingan satu perbuatan dengan yang lainnya. 

Misalnya dalam hal kebaikan di katakan dalam riwayat bahwa meminjamkan itu lebih baik dari memberi. Semua ini harus dipadukan dengan hal-hal lainnya, seperti kondisinya, orangnya, masalahnya, ......dan seterusnya. Karena itu, bisa satu perbuatan itu lebih besar ketimbang yang lain dari satu sisi, tapi dari sisi pandang yang lain bisa berbalikan. Karena itulah maka agama tidak bisa dipelajari dengan tidak spesifik dan dalam waktu yang lama. Dan karena itu pulalah masyarakat umum disuruh bertanya ke ulama dan karena itulah melihat wajah ulama saja bagi orang umum sudah merupakan kesunnahan yang disunnahkan agama itu sendiri. 

Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 10 Mei 2019

Bank Syari’ah Yang Belum Tentu Syari’ah


Seri tanya jawab Irsavone Sabit dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, April 7, 2013 at 10:55 am


Irsavone Sabit: Salam Ustadz. Afwan, pertanyaan initerinspirasi dengan pembahasan di TV one tentang bank syariah. Menurut keterangan yang saya dapatkan bahwa tidak seluruhnya bank syariah itu 100% syariah. pertanyaannya, apakah boleh menyimpan uang dibank syariah, dan kemudian mendapat keuntungan bagi hasil dari penyimpanan uang tersebut, dan diniatkan keuntungan di ambil dari uang yang halal? — bersama Sinar Agama. 

RenDieyKoplak: 6k t’u ach, 6k ikutan yua 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Bagi hemat saya yang tidak mengetahui kecuali sedikit ini, bank syari’ah di Indonesia itu, belum syari’ah. Karena ketika meminjamkan modal untuk pengusaha, tetap saja diharuskan bayar kelebihan yang diistilahkan dengan bagi hasil. Sementara kalau rugi, peminjam itu tetap saja diwajibkan mengembalikan modalnya. 


Memang, masih banyak kerincian fikih bisnis ini dan kejelasannya harus diadakan riset terhadap alasan pensyari’ahan mereka itu. Dalilnya apa dan bagaimana prakteknya. 

IrsavoneSabit: Jadi kalau ragu apakah haram atau halal, walaupun pihak bank bilang halal, apakah dihukumi haram ustadz? 

BagaskaraManjer Kawuryan: Perbankan Syariah di Indonesia kebanyakan cuma nama doang nebeng “syariah“ isi nya sama saja sama perbankan konvensional. 

SangPencinta: IS: Ustadz pernah menjawab: 

Sinar Agama: Aira: Meminjam di bank biasa, jelas riba. Dan meminjam di bank syari’ah di Indoneisa, sangat mungkin masih riba. 

Akan tetapi meminjam dan meminjamkan, ada perbedaannya sekalipun sama-sama haram. 

Kalau meminjam, maka keharamannya itu bisa terangkat kalau memang tidak ada lagi tempat meminjam yang tidak berbunga. Syarat ke dua, adalah hatinya tidak boleh rela terhadap sistem riba itu dan ketika membayar riba tersebut. 

Tabungan itu, sebaiknya dilakukan dengan ijin suami walau secara global. 

IrsavoneSabit: SP, afwan, yang saya tanyakan bukan meminjam, tetapi menyimpan uang di bank syariah, yang keuntungannya, katanya bagi hasil, begitu informasi pihak bank syariah yang di bank konvensional seperti bunga bank ... kalau bagi hasilkan tidak haram. 

Nita Ahmad: Sehubungan dengan pertanyaan saya kepada ust Sinar Agama beberapa hari lalu sehubungan dengan bagi hasil di bank syariah akhirnya saya sempatkan untuk mencari info ke 2 bank syariah besar dan mereka menjelaskan bahwa untuk meminjam harus ada agunan dan jika usaha yang di jalankan merugi/bangkrut totalpun pihak nasabah wajib mengembalikan pinjaman atau jalan terakhir dengan melelang agunan yang bisa berupa BPKB sertifikat rumah/tanah dan lain sebagainya...artinya pihak bank tidak mau merugi dan merujuk pada penjelasan ustadz Sinar Agama bisa disimpulkan bahwa bagi hasil tersebut adalah haram. 

BagaskaraManjer Kawuryan: Irsavone Sabit...bagi hasil atau nisbah ditentukan oleh kedua belah pihak secara ikhlas, tapi kebanyakan bank syariah di Indonesia nisbah telah ditentukan oleh bank itu sendiri, kita juga yang menabung tidak tahu apakah bank tersebut untung atau rugi dalam menjalankan usahanya? 

Nita Ahmad: Sepanjang pengertian saya atas jawaban ustad Sinar Agama halal haramnya bagi hasil dari tabungan kita berdasarkan sistem pinjam meminjam yang di jalankan . 

BagaskaraManjer Kawuryan: Kalau dalam menjalankan usahanya bank tersebut rugi dari hasil investasi kita (uang tabungan kita), secara prinsip syariah kita juga harus menanggung rugi.. berhubung nisbahnya sudah ditentukan dan usahanya tidak dijelaskan untung atau ruginya, mungkin saudara Irsavone dapat memahami dari sudut agama. 

SangPencinta: IS: Di komen ustadz di atas dan tukilan saya sudah tertulis, bank Syariah Indonesia belum Syari’ah. Sangat diperlukan riset lebih dalam, apakah sesuai dengan fikih ekonominya, (apalagi kita yang Syiah yang merujuk fatwa marja). Jadi bagi hasil tersebut adalah sangat mungkin haram. Sejauh yang saya pelajari tentang ekonomi kapitalis dan ekonomi (yang konon) Syariah di Indonesia, bank Syariah kita tidak menerapkan Syariah secara full, banyak hal adaptif sesuai dengan ekonomi global yang kapitalis. 

Nita Ahmad: Jujur saja setelah keluar dari 2 bank syariah tersebut dan mendapat kan penjelasan tentang sistem yang di jalankan ...saya meyakini bahwa bagi hasil itu haram dan mereka hanya akal-akalan saja dengan merubah istilah dari bank konvensional. 

BagaskaraManjer Kawuryan: Seperti yang saya bilang pada komen sebelumnya bahwa perbankan syariah yang ada di Indonesia cuma nama doang “syariah“ isinya seperti perbankan konvensional (walaupun di dalam sistem perbankan syariah di Indonesia ada yang namanya dewan pengawas syariah)...maka dari itu kita harus “mensyariahkan“ perbankan syariah sesuai dengan fiqh muamalah. 

Sinar Agama: Teman-teman semua: Memang masih banyak yang perlu dikaji untuk hal ini. Dari keterangan Nita dapat disimpulkan bahwa yang saya tahu sebelumnya adalah benar, bahwa bank tidak mau rugi. Jadi, bagi hasil itu sebenarnya, kalau diistilahkan dengan bahasa lama bank, disebut “Pinjaman Ringan”. Artinya, kalau rugi tidak perlu bayar bunga, tapi kalau berhasil maka harus bayar bunga. Walaupun masih ada makna lain sebagai pelengkap dari “pinjaman ringan” itu, seperti bunganya tidak tinggi. 

Tapi sekali lagi, masih ada rincian-rincian lain tentang hal tersebut di atas yang memang perlu study khusus untuk itu. 

IS: Kalau semuanya dikatakan halal atau bersih kecuali kalau setelah itu tahu bahwa hal itu haram atau najis, hal itu dikatakan kepada yang secara umum halal. Tapi kalau kita sudah tahu bahwa bank di Indonesia itu haram, maka hukum lahiriah ini tidak bisa dipakai. 

Karena itu, saya sering mengatakan bahwa uang haram itu, karena tidak ketahuan pemiliknya sekalipun ketahuan besarnya, maka tidak boleh diambil sendiri dan mesti diberikan ke orang Syi’ah yang fakir atau miskin. Tapi boleh riba itu dipotongkan untuk semua biaya administrasi di bank itu, seperti pajak bunga dan lain-lain. Intinya, kita bisa menabung 1 juta dan bisa mengambil 1 juta. Itu saja. Kelebihannya mesti disalurkan sebagaimana di atas itu. 

Kita mesti hati-hati dengan dosa riba ini, karena dosanya teramat besar. Dikatakan dalam hadits yang dinukil dalam kitab fikih Imam Khumaini ra, bahwa “satu dirham riba, dosanya sama dengan tujuh puluh zina yang semuanya dengan muhrimnya “ seperti saudarinya. Dan bahkan ada hadits dari Nabi saww bahwa “riba itu ada tujuh puluh macam yang paling ringannya, dosanya sama dengan dosa zina dengan ibunya di dalam ka’bah”. 

Di samping itu juga kalau terbawa shalat, maka shalatnya batal, baik sebagai baju, sajadah, lantai... dan seterusnya. 

Irsavone Sabit: Afwan lagi ustadz, mungkin ini case yang berbeda, misalnya saya meminjam uang di bank syariah, tentunya saya dikenakan bunga untuk itu, kemudian uang tersebut saya simpan lagi di bank syariah, apakah bisa saya mengambil bunga dari tabungan saya tersebut sebagai kompensasi dari bunga uang yang diambil bank syariah? 

Sinar Agama: IS: Tetap tidak bisa. Yang antum tanyakan ini sama dengan yang sudah dijelaskan. Ia beda contoh tapi tidak beda esensi. Karena yang menjadi intinya adalah ketidakmeyakinkannya kesyari’atan bank yang akan menjalankan uang antum itu, yang baik uang itu berasal dari pinjaman bank syari’ah juga atau uang sendiri atau apapun dia. 

Wassalam. 

Anandito Birowo: Apa dianggap tidak syariahnya “bank syariah” di Indonesia ini karena jika rugi dalam berbisnis, peminjam tetap diwajibkan mengembalikan modalnya? Bagaimana dengan perbankan di Iran, apakah jika rugi maka kreditur tidak diwajibkan mengembalikan modal pinjamannya? 

Sinar Agama: A.B: Pertama, biasanya diselidiki dulu prospek bisnisnya hingga mencapai hitungan pasti secara manusia bisnis, bukan kepastian ilmu ghaib. Ke dua, kalau tidak terjadi kesalahan pelakasananya dan sudah sesuai dengan program proyek serta hati-hati hingga tidak ada keteledoran, maka seyogyanya sudah tidak perlu mengembalikan modalnya. Ke tiga, kalau tidak ada persyaratan dari salah satu dari kedua belah pihak, bahwa ada jaminan akan peminjaman tersebut dan kalau rugi dengan apapun sebabnya maka akan ditanggung peminjam, maka seyogyanya sudah tidak mesti ada pengembalian. 

Karena masih banyak rincian itulah di judul saya katakan “....Belum Tentu Syariah” dan, di dalam bahasan juga sudah dikatakan bahwa perlu adanya kajian yang menyeluruh. 

Menyepelekan salah satu unsur saja, bisa memasukkan mu’amalah tersebut ke dalam riba. Misalnya peminjaman yang diatasnamakan modal dan semacamnya. 

Asad Syahab: Afwan saya ikut nimbrung. 

Saya hanya ingin sdikit menjelaskan dalam pembiayaan di Bank Syariah, dalam bank Syariah sendiri terdapat dalam skim, dalam hal pinjam meminjam di Bank Syariah ada jenis pembiayaan Al murabahah. Kita ambil contoh kasus ada seorang pengusaha muda yang memiliki usaha digital printing nasabah membutuhkan modal sebesar RP 50 jt untuk beli mesin print seharga 50 jt, dalam hal ini maka bank akan membelikan mesin print sebesar 50 dan akan di jual ke nasabah sebesar 70 jt bank memiliki keuntungan sebesar 20 juta pembayar nasabah ke bank secara angsuran yang sudah di tentukan bank,. 

Namun realitanya bank tidak mau repot dalam membelikan barang yang di inginkan nasabah oleh karena itu dana akan di cairkan langsung ke rekening nasabah. 

Dan ini menggunakan akad murabahah atau jual beli di saat pembiayaan di ACC oleh bank maka ada proses pengikatan layaknya sebuah akad pernikahan yakni di hadiri nasabah, saksi, notaries sebagai legalisasinya, nah di sini lah terjadi kesepakatan pinjamnya berapa? Pengembaliannya berapa bagaimana pembayarannya? Tiap bulan harus bayar berapa? Adminiistrasinya berapa semua di buka secara gamblang tanpa ada yang di tutupi . Jadi pinjam meminjam di Bank Syariah menggunakan jual beli, 

Sinar Agama: Asad: Kalau seperti yang diterangkan antum itu, maka saya pribadi yakin sekali bahwa hal itu adalah riba. Karena aqad jual-beli yang dipakai itu hanya pelarian saja. Karena pada hakikatnya tidak ada yang dijual. Jadi, aqad jual-beli tersebut sama sekali tidak dapat mengeluarkannya dari pinjaman dengan bayaran lebih/riba (20 jt). Jadi, istilah murabahah itu, atau jual-beli itu, di pengetahuan saya yang cetek ini, adalah hilah syaithani atau berkelit yang tidak benar untuk membenarkannya. Jadi, saya yakin sekali perbuatan di atas itu adalah pinjaman dengan bayaran lebih walau berulang-ulang membaca shighah/aqad jual-beli. Karena tidak ada yang dijual dan tidak ada yang dibeli. Yang ada, hanya transfer uang ke rekening nasabah. Allau A’lam. 

Zaynab Alaydrus: Tapi ustad poin yang terpenting dalam akad di bank Syariah saat pengikatan di sana di jelaskan kepada nasabah harga belinya berapa harga jualnya berapa cara pengembaliannya gimana kalau ada cacat tidak di kenakan denda. 

Anandito Birowo: Afwan kalau saya pahami di sini masih ada ikhtilaf (silang pendapat) tentang bank syariah, lalu apakah kita sesama muqallid bisa menghukumi riba? Kecuali marja’ yang memiliki otoritas mengeluarkan fatwa, menetapkan bahwa aqad tersebut termasuk riba. 

Sinar Agama: Zaynab: Penjelasan itu tidak ada gunanya. Karena jual beli itu adalah jual beli bohongan, hanya berkilah dari riba dengan kilah yang tidak benar. Jadi, tidak tergantung aqadnya saja, tapi tergantung kepada kenyataannya. Jadi, kalau jual beli, ya...harus ada barangnya atau setidaknya suratnya dan semacamnya. Bukan hanya aqad jual beli tapi yang ditransfer uangnya. 

Ini yang juga bisa dikatakan Tuhan sebagai “bukan jual beli” ketika orang-orang arab kala itu memasukkan hal seperti ini sebagai jual beli. 

Sinar Agama: Anandito: Kita ini justru sedang berusaha menerapkan fatwa itu sendiri, bukan sedang berfatwa. Kalau antum ingin tahu, maka silahkan baca fikih jual-beli atau fikih riba.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Mutanajjis Memindahkan Najis


Seri tanya jawab Irsavone Sabit dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, April 7, 2013 at 10:47 am


Irsavone Sabit mengirim ke Sinar Agama: Salam Ustadz, mau bertanya. Apakah baju yang ternajisi oleh lantai yang najis, yang sebelumnya lantai tersebut telah dibersihkan tetapi tidak secara fiqih, bisa menularkan lagi najisnya? Karena terkadang saya tidur di lantai yang tidak dibersihkan secara fiqih tersebut dengan menggunakan baju di badan, namun saya tidak yakin apakah badan saya berkeringat atau tidak, karena saya ragu maka baju tersebut saya ganti untuk kemudian dipakai shalat. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Jelas bisa memindahkan lagi. Kalau yang dipindahi baju itu menyentuh yang lainnya dan salah satunya dalam keadaan basah, maka akan tertulari juga. Begitu seterusnya. Penularan ini, kalau yang ditularkan itu adalah benda najisnya, maka semua yang ditulari itu dihukumi mutanajjis pertama (yang kena najis pertama). Tapi kalau penularannya itu hanya hukum najisnya, misalnya air yang mutanajjis yang tidak berubah sifat-sifatnya, atau terkena kencing lalu sudah kering, atau terkena darah tapi sudah tidak ada darahnya lagi...dan seterusnya, maka mutanajjis pertama itu dikatakan mutanajjis pertama dan mutanajjis berikutnya, dihukumi dengan mutanajjis ke dua, ke tiga, ke empat ...dan seterusnya. 

Nah, perpindahan yang ke jenis ke dua di atas, yaitu yang tidak memindahkan benda najisnya dan hanya hukum najisnya, yaitu yang benda najisnya sudah tidak ada, masih dibagi dua lagi. 

  • a- Kalau dalam setiap penularan itu didahului dengan kering dulu, baru nanti basah lagi atau menyentuh yang basah lainnya, maka perpindahan yang ke lima atau ke enam, bisa dianggap bersih/suci. 
  • b- Tapi kalau perpindahannya itu memindahkan cairan/basahan dari yang pindah kepadanya alias belum melewati proses kering, maka semuanya masih dihukumi dengan dirinya. Jadi, kalau basahan/hukum najis yang pindah ke mutanajjis ke dua yang dipindahkan ke mutanajjis ke tiga, maka yang ke tiga ini dihukumi mutanajjis kedua. Begitu pula seandainya basahan yang diterima mutanajjis ke tiga itu juga dipindahkan ke mutanajjis ke empat, maka tetap dihukumi sebagai mutanajjis kedua. Tapi kalau didahului kering dulu, dan baru basah lagi atau disentuh benda basah lainnya, maka barulah hitungan itu bisa diteruskan. Karena itu, dalam contoh di atas, yang ke tiga itu bisa dikatakan mutanajjis ke tiga... dan seterusnya... dimana mutanajjis ke empat dan ke lima (lebih baiknya yang ke lima), sudah bisa dihukumi bersih. 
Wassalam.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Hukum Tinggal di Rumah Yang Mau Dibisniskan


Seri tanya jawab Irsavone Sabit dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, April 7, 2013 at 10:43 am


Irsavone Sabit mengirim ke Sinar Agama: Salam, Apakah khumus itu berlaku juga terhadap rumah yang dibeli untuk bisnis, misalnya kita beli rumah untuk dijual kembali untuk mendapatkan untung? 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: Jelas rumah ke dua itu dihitung bisnis. Dan hitungan bisnisnya adalah uang yang dijadikan modal itu, harus dikhumusi dulu kalau diambil dari penghasilan sebelumnya. Kalau modalnya sudah dikhumusi, maka kalau masuknya labanya pada pertengahan tahunan khumusnya, dan di akhir tahunan khumusnya masih ada sisanya, maka sisanya ini yang wajib dikhumusi. 

Dan kalau modalnya diambil dari hutang, maka yang dikhumusi adalah keuntungannya dari setelah membayar hutang dengan riba-terpaksanya itu, dengan catatan seperti di atas. Yakni kalau masuknya keuntungan tersebut di pertengahan tahun khumusnya, maka kalau ada sisa dari belanja normalnya di akhir tahunan khumusnya, maka baru wajib khumus. 

Irsavone Sabit: Bagaimana ustadz, jika modal untuk membeli rumah tersebut tidak mempunyai sisa untuk dikhumusi, misalnya harga rumah atau tanah sama dengan modal yang dimiliki tentunya tidak ada sisa untuk dikhumusi dan biasanya untuk pegawai dalam membeli rumah atau tanah, ya harus terpaksa meminjam dari bank, dan biasanya juga modal yang dipinjam sama dengan harga rumah atau tanah. 

Sinar Agama: IS, Kan sudah dijawab di atas itu? Coba baca lagi dan kalau belum mendapat jawaban, maka bisa ditanya lagi. 

Irsavone Sabit: Apakah rumah yang dibisnisi tersebut, bisa ditinggali? 

Irsavone Sabit: Apakah rumah yang dibeli dengan uang hutang sekalipun tidak dibisnisi, tidak dikenai khumus? 

Sinar Agama: IS: Sebenarnya sudah banyak keterangan tentang khumus ini di fb ini. Ringkasnya, kalau seseorang punya kelebihan dari penghasilannya, maka wajib bayar khumus dari kelebihannya itu, sekalipun punya hutang milyarand rupiah. Kecuali kalau sisa-sisa yang ada dibayarkan ke hutangnya itu sebelum tutup tahunan khumusnya yang dibuat di tanggal awal kerja atau awal menerima bayaran. 

Kalau rumah yang dibisniskan itu ditinggali, sementara ia sudah punya rumah, maka mungkin sebaiknya dihitung dengan sewa dan dari sewa yang diumpamakan itu dikeluarkan khumusnya. 

Tapi kalau memang belum punya rumah, maka jelas tidak masalah meninggalinya. Rumah yang diperlukan, yakni karena belum punya rumah, dan rumahnya itu dilihat dari sisi fasilitas materinya sudah sesuai dengan tingkatan sosial dirinya secara umum , maka tidak perlu dikhumusi. Kecuali kalau uangnya ditabung sebelum itu dan tersisa di tahun penutupan khumusnya dimana yang demikian harus dikhumusi. Tapi kalau kredit, maka selama uang-uang kreditnya itu dibayarkan sebelum penutupan tahunan khumusnya, maka tidak perlu dikhumusi. 

Tapi rumah ke dua, harus dikhumusi. Begitu pula dengan mobil ke dua, motor ke dua... dan seterusnya karena sudah keluar dari keperluan darurat secara umumnya. Baik benda-benda ini dibeli secara kontan atau kredit dan hutang. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Kamis, 09 Mei 2019

Hugo Chaves dan Akhiratnya Dalam Pandangan Islam


Seri tanya jawab Ibnu Ahmad Khan dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, April 7, 2013 at 10:40 am

IbnuAhmad Khan mengirim ke Sinar Agama: Salam. Afwan mau tanya ustadz. Apakah orang semisal mendiang Hugo Chaves bisa masuk surga? 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyannya: 

Saya tidak tahu secara pasti. Tapi kalau menurut perkiraan saya, dia akan masuk neraka. Hal itu karena ia sudah sangat akrab dengan Iran yang disanjungnya. Artinya dia sudah mendengar Islam yang benar itu hingga bisa menanyakannya dan mempelajarinya. Karena itu, sulit dalam akal untuk mengatakan bahwa ia memiliki alasan yang benar untuk tidak mengerti agama Islam dan memilihnya. Karena sangat mudah untuk mendapatkan keterangan tentang Islam itu baginya terlebih sudah ada contoh negaranya yang ia kagumi walau, secara akhlak, politik dan ekonomi. 

Bisa saja ia masuk surga, kalau tidak belajarnya itu memiliki alasan yang benar secara akal normal dan gamblang. Misalnya ia teramat sangat yakin terhadap agamanya dan tidak pernah mengalami problem kejanggalan agama yang dianutnya hingga merasa tidak perlu mempelajari agama lain. 

By The Way, kita serahkan saja urusan akhirat dia itu ke Allah swt. Untuk urusan dunia, karena ia anti penjajahan, baik dari sisi negara, ekonomi dan politik dan seterusnya, terutama kepada teman Indonesia, yaitu Amerika yang terkenal sekali kekejamannya di dunia ini, dan ia mengajarkan kemandirian segala bidang dan berani menentang tirani dunia, seperti Amerika dan Israel, dan karena ia menyuarakan keadilan manusia dan hak-haknya, maka kita sangat layak untuk mendukungnya dalam hal-hal yang sama dengan Islam itu dan, karenanya boleh merasa kehilangan dari sisi-sisi di atas itu. Tapi jangan sampai membacakan fatihah untuknya, he he he...., yakni sedih secara iman seperti ditinggalkan oleh teman muslim. Semoga saja, penggantinya, seperti dia dalam arti di atas itu dan tidak goyang dengan berbagai intimidasi Amerika dan semua negara yang tidak pernah mengindahkan hak-hak asasi manusia. Amin. 

Ibnu Ahmad Khan: Syukran jazilan ustadz. Wassalam. 

Anandito Birowo: Jadi orang yang sangat yakin terhadap agamanya dan tidak pernah mengalami problem kejanggalan agama yang dianutnya hingga merasa tidak perlu mempelajari agama lain (Islam), bisa masuk sorga ya? Subhanallah.. 

Sinar Agama: Anandito: Benar seperti itu. Akan tetapi kalau hati-hati dan akalnya, benar-benar tidak merasa ada kesalahan atau yang perlu dipertanyakan dari agamanya dan, sudah tentu jangkauan untuk mengkaji agama Islam yang hakiki (bukan Islam gaya wahabi yang menghalalkan muslim sendiri dimana ini bisa menjadi unsur jauhnya orang-orang yang baik dari agama kafir dari agama islam, atau bukan dari keterangan muslim yang ngawur hingga benar-benar tidak membuat Islam itu menarik............dan seterusnya, sekalipun ukuran hakikinya ini cukup profesional alias argumentatis dalam akidah saja, tidak mudah baginya, baik secara face to face atau telpon, sms, fb, buku, .....dan seterusnya. 

Minimal, sekalipun kita tidak bisa memastikan karena memang hitungan Tuhan itu sangat rinci sekalipun pasti Adil hingga tidak akan menghukum orang yang punya alasan yang benar, setidaknya kita tidak bisa langsung memasukkan orang kafir itu ke neraka. 

Doni Handoyo: Berarti, kalau agama ini bisa dikonversi ke dalam satuan Nilai/Poin, dimana Islam memiliki Poin yang tertinggi, bisa tidak kita kategorikan pada orang-orang di luar Islam menjadi : 

1. Yang mengetahui poin Islam lebih tinggi dari poin agama yang dianutnya, dan kemudian beralih ke Islam 

2. yang mengetahui poin Islam lebih tinggi, tapi ia tetap pada agama yang dianutnya (banyak berceceran di negeri kita) 

3. Menganggap poin Islam lebih rendah, sehingga ia tetap pada agama yang dianutnya 

4. Menganggap poin Islam lebih rendah, tapi ia beralih ke agama Islam (biasanya dari proses perkawinan karena ada SESUATU). Besar kemungkinan, kalau menurut saya Cavez itu masih menganggap bahwa poin agama yang dianutnya itu masih lebih tinggi dari Islam, sehingga ia tetap pada agama yang dianutnya. Atau bisa juga ia masih dalam proses mempelajari tapi belum tuntas. Dan kita tidak bisa menghukumi orang yang sedang berproses, karena pindah keyakinan itu masih lebih sulit ketimbang memindahkan sebuah gunung. Kalaupun Cavez itu kita kategorikan pada yang no.3 (menganggap poin Islam masih lebih rendah dari agama yang dianutnya), ini pun bagi saya tidaklah aneh,...karena kita semuanya mengetahui bagimana citra Islam di mata dunia yang identik dengan Terorisme akibat ulah wahabiyun salafi.... 

Sinar Agama: Doni: Pembagian antum sudah bisa dikatakan benar. Tapi penerapannya, jelas tidak bisa dibenarkan. Karena antum tidak punya dalil dan bukti terhadap apa yang terjadi pada diri Caves itu. Ahmadi Nejat, semacam memastikan seperti antum. Karena itulah, para ulama tidak bisa diam lagi dan mengkritikinya. 

D-Gooh Teguh: 1> Kenapa tidak boleh membacakan fatihah dan doa-doa untuknya? 2> Kita kan tidak tahu level spirituallitasnya? Ada doktrin taqiyyah to... jadi ya memang tidak perlu dibahas nasib orang per orang kecuali yang sudah-sudah jelas. Pertanyaannya kenapa tidak boleh bacakan fatihah dan sejenisnya? 

Sinar Agama: D-Gooh: Kalau dia dapat masuk surga, itu bukan karena kebenarannya, tapi karena ampunanNya. Artinya, jelas agama salah, tapi kalau dia punya udzur dalam kesalahannya itu, maka bisa diampuni dan dimasukkan surga. Jadi, ketinggian ruhani seseorang yang dimaafkan, bukan ketinggian seseorang yang di jalan dan agama yang benar. 

Karena itu, karena dia mengingkari Islam yang mana hal ini jelas, setidaknya karena ia tidak beragama Islam, maka berkah-berkah yang ada pada Islam, seperti pahala Qur'an, shalat sunnah, puasa sunnah, ....dan seterusnya....tidak bisa diberikan kepadanya. Jadi, secara fikihnya, tidak bisa menyolati orang kafir yang sudah mati, tidak boleh menguburkan orang kafir di pekuburan muslim....dan seterusnya...dimana jelas tidak bisa membacakan fatihah yang berdiri tegak di atas tauhid, kepada orang yang menolak tauhid dan memilih trinitas walau, sekali lagi punya udzur yang diterima Tuhan sekalipun.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Syahid dan Hutang-piutang dengan Khaliq dan Makhluq


Seri tanya jawab Andri Musmayadi dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Sunday, April 7, 2013 at 10:36 am


Andri Kusmayadi mengirim ke Sinar Agama: Salam, afwan ada beberapa pertanyaan yang ingin ana ajukan nih ustadz... 

1. Apakah mati syahid bisa menghapuskan utang, qadha, khumus? 

2. Kalau kita berbohong dengan mengatakan bahwa kita tidak ada di rumah kepada seseorang, padahal sebenarnya kita ada, hanya kebetulan kita memang tidak ingin ketemu orang itu, apakah itu dosa? 

3. Tanpa bermaksud mempertanyakan yang bukan urusan kita, saya hanya ingin tahu aja penjelasannya. Di riwayat-riwayat yang saya baca, bahwa nanti itu Imam Mahdi as akan memerintah dunia dari Kufah/Najaf, jadi ibu kota pemerintahan beliau itu nantinya di Irak. Pertanyaan saya, kenapa tidak di Iran? Padahal, kan Iran lah yang mempersiapkan kedatangannya selama ini? 

4. Kalau arisan itu harus dibayar khumus tidak? Jangka waktunya 10 bulan. 

Syukron. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyannya: 

1- Jelas tidak bisa. Karena itu, kalau punya warisan, maka sebelum dibagi ke ahliwarisnya, semua hutangnya itu wajib dibayar dulu. Hutang uangnya dibayar dulu, hutang khumusnya dibayar dulu, hutang puasanya dan shalatnya wajib dibayar anak lelakinya yang terbesar ketika ia syahid. 

2- Iya, hal itu dosa. Tapi kalau terpaksa, misalnya orangnya tidak bagus dan mengganggu akidah dan ketaatan, maka pakailah tauriah. Yakni menyalahpahamkan dia dalam memahami perkataan kita. Misalnya, kita berniat memberitahukannya yang kemarin di waktu antum tidak ada di rumah, lalu setelah niat itu, baru mengatakan “tidak ada di rumah”. Artinya, yang berniat itu adalah yang mengabarkan kepadanya, bukan antumnya. Karena kalau antum yang jawab, maka berarti ia tahu kalau antum di rumah. Kecuali kalau bertanya pakai telepon HP. 

3- Anggap hadits itu seperti itu, maka hal itu pasti ada alasannya tersendiri. Misalnya karena kota itu merupakan kota yang pernah menjadi pusat pemerintahan imam pertama as dan sekaligus merupakan tempat makam beliau as (imam Ali as). 

Iran itu, adalah Islam yang hakiki walau tidak sampai ke tingkat makshum. Karena itu, bagi mereka penduduk Iran, sudah tidak ada lagi masalah-masalah keduniaan yang berarti. 

Mereka hanya menyintai Islam dan hidup demi Islam. Karena itu, maka dimanapun pusat pemerintahan imam Mahdi as, adalah cinta dan cinta serta idaman orang-orang Iran. 

Dan sudah semestinya seperti itu iman seseorang pada Tuhan dan ajaranNya. Yakni tidak menyintai hal-hal selainNya dan selain agamaNya. 

4- Kalau arisan itu keluar di pertengahan tahunan khumusnya dan dimulai juga dalam setahun khumusnya itu (karena dalam pertanyaan antum itu dikatakan 10 bulan), maka tidak dikhumusi kecuali kalau ada sisa di akhir tahun khumusnya. 

Tambahan: Kalau pengganti di dunianya tidak ada, misalnya tidak punya warisan, tidak punya anak mengqadhaa’kan ...dan seterusnya...maka In syaa Allah akan mencarikan jalan keluarnya di akhirat kelak. Karena itu, seseorang tidak boleh berfikir apapun ketika agama memerintahkannya berjihad. 

AndriKusmayadi: Syukron Ustadz atas penjelasannya...



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Senin, 06 Mei 2019

Muhaajiriin dan Anshaar Dijamin Surga ?!


Seri tanya jawab inbox Mazhab Ahlul’Kisa Ahlul Bait dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Saturday, April 6, 2013 at 3:14 am


Mazhab Ahlul’Kisa Ahlul Bait: Assalamu’alaikum..,surat-taubah ayat 100 bilang bahwa muhajirin dan anshor dijamin masuk surga.,pertanyaan saya apakah itu untuk mereka yang mengikuti rasulullah saww dengan baik atau itu mutlak untuk semua muhajirin dan anshor ? 

Mohon penjelasan serta rujukannya.. syukron sebelumnya. 

Sinar Agama: Salam, dimana? Tidak ada ayat seperti itu. Ayat itu benar-benar telah salah diterjemahkan. 

Ini ayatnya: 

وَالسَّابِقُونَ الَْوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالَْنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ 
تَجْرِي تَحْتَهَا الَْنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُالْعَظِيم

“Orang-orang yang berlomba-lomba (dalam taat) dan mendahului yang lain, dari SEBAGIAN Muhajirin dan Anshaar dan yang mengikuti mereka dengan baik, maka mereka diridhai Allah dan mereka juga ridha kepadaNya dan dijanjikan kepada mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya dan yang demikian itulah kemenangan yang agung.” 

Allah dalam QS: 56: 10: juga menyinggung orang-orang yang berlomba-lomba dalam taat ini: 

“Dan orang-orang yang dahulu mendahului (berlomba-lomba), maka merekalah orang-orang yang didekatkan (padaNya), berada di dalam surga yang penuh kenikmatan.” 

Kata “min” yang maknanya “dari”, pada ayat pertama itu “Mina al-muhaajiriin waal-anshaar”, adalah “min tab’idh” yakni “dari sebagian”. Artinya, ketika dikatakan “dari muhaajiriin dan anshaar”, maksudnya “dari sebagian muhaajiriin dan anshaar”. Jadi, bukan semua. 

Nah, muhaajiriin dan anshaar yang berlomba-lomba dalam taat sampai wafatnya tidak berubah, maka merekalah yang akan diridhaiNya itu.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Luasnya Fikih


Seri tanya jawab inbox Anwar Mashadi dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes)

AnwarMashadi: (5-4-2013) Assalamu’alikum.. wr..wb.. 

Saya sebelumnya mengira (mungkin juga umumnya awam yang lain) bahwa ketika kita tenggelam dalam fikih (baik dalam belajar dan beramal; yakni belajar agar kemudian bisa beramal secara sah/syar’i) seolah-olah kita menjadi anti-sosial. Pikiran (mindset) saya pun tersekat hanya pada soal yang benar yang begini, yang tidak begini keliru/salah. Pikiran seperti ini, orang menyebutnya dengan pikiran hitam-putih. Maka, cara berpikir seperti ini pun terbawa dalam konteks sosial, sehingga cenderung akan “mengelirukan yang tidak seperti yang saya lakukan”. Bahkan ia menjadikan dirinya (yakni, sayanya) sebagai standar; sehingga menjadi “mengelirukan yang tidak sesuai fikih”. Pandangan seperti ini menjadikan fikih sebagai orientasi diri, yang dari situ ia melihat orang lain. Maka salah benar orang pun tergantung pada dirinya. 

Sekarang saya menduga (yang mungkin juga sebagian awam lain, walau mungkin saya kira jauh lebih sedikit), bahwa fikih itu sebenarnya penyelesai masalah, yakni untuk urusan dari apa yang (mau) dikerjakan seseorang (muslim). Jadi berpikirnya adalah, permasalahannya adalah kita justru merujukkan setiap urusan pribadi dan sosial kita kepada fikih. Karena hanya fikih yang bisa menenangkan seseorang dari beban atas apa yang dilakukannya. Kalau yang dilakukan sesuai fikih maka ia (akan menjadi) tenang. Begitu pula sebaliknya. Maka ungkapan fikih yang anti-sosial dan tidak atau kurang peduli sosial/lingkungan, justru pemikiran yang tidak proporsional alias keliru. Sebab, justru karena adanya “tantangan sosial/lingkungan” pada cara kita bertingkah laku pribadi dan sosial itulah kita (jadi/harus) berfikih..(sekiranya ada kesempatan mohon tanggapan). 

Salam… 

Sinar Agama: Salam, sudah benar seperti itu. Karena fikih yang juga disebut syariat, sudah lengkap diturunkan Tuhan untuk menata kehidupan apapun dari manusia ini, baik dalam kesendiriannya, keluarga, sosial-politik, internasional atau bahkan sampai pada hubungan manusia dengan binatang, bebatuan, pepohonan, jin, malaikat, dan bahkan dunia akhirat dan Tuhannya. Tidak ada yang bisa meremehkan fikih lalu dia tetap bisa disebut muslim hakiki. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Urgensi Penilaian Mukmin dan Kafir dengan Dalil dan Tanpa Pemaksaan


Seri Tanya jawab Ais dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on April 3, 2013 at 1:07 am

Pengkafiran dengan dalil Syar’i, by Sang Pencinta (Catatan) on 6 Maret 2013 pukul 0:17 

Ais: Assalamualaikum..USTADZ bukankah hanya Allah yang berhak menentukan kafir/ berimannya seseorang hamba.. ? 

Sinar Agama: Ais: Jangankan kafir, muslim dan mukmin juga hanya hak Allah. Begitu pula hak membuat undang-undang hidup dan peraturan hidup serta hak ketaatan dimana kita tidak menerima seutuhnya aturan-aturanNya itu (karena kita meminuskan hukum-hukum sosialpolitik) dan dimana kita sering menentangNya dengan melakukan maksiat dan tidak melakukan wajib-wajibNya itu. 

Kehakan itu, bukan berarti sekaligus pemberitaannya. Karena kita, bisa dan diperkenankan oleh akal dan Allah dalam agamaNya, untuk memberitakan apapun sesuai dengan yang kita ketahui dan yakini dan dengan bukti (bukan mengada-ada dan fitnah yang tidak dibolehkan dalam agama serta akal). Karena itu, kita bisa mengatakan bahwa si fulan itu muslim. Begitu pula mengatakan bahwa si fulan itu kafir. 

Pemberitaan kita itu, tidak sama dengan pemberitaan Allah tentang muslim atau kafirnya seseorang. Karena kalau beritaNya, pasti benar dan kalau berita kita, belum tentu benar. 

Kebenaran beritaNya itu, karena Ia Maha Tahu dan Maha Benar, sementara ketidakpastian berita kita itu, karena ketidakmaha-an kita dalam ilmu dan kebenaran. Akan tetapi, bukan berarti kita tidak boleh bicara dan mengabarkannya. Akal dan agama, hanya melarang kita memfitnah dengan sengaja atau memberitakan apa-apa yang belum berdasarkan hujjah atau dalil yang kuat. Itu saja. 

Jadi kita, sebagaimana dibolehkan mengabarkan tentang kemusliman seseorang dengan dasar lahiriahnya atau dalil lahiriahnya yang jelas, maka begitu pula dibolehkan mengabarkan tentang kekafiran seseorang dengan hujjah lahiriah yang sama. Jadi, yang tidak boleh hanya pemfitnahan dan kebohongan. 

Jadi, kalau kita percaya kepada Allah dan agamaNya, maka kita harus menaati apa-apa yang diajarkanNya dalam agamaNya. Dan karena pemberitaan itu tidak dilarangNya dan tidak pula dikecam akal, dan hanya fitnah yang dilarang, maka kita tidak bisa membatasi pemberitaan itu kepada kemusliman seseorang saja dan bisa juga tentang kekafiran seseorang. 

Tentu saja, kafir dan muslimnya seseorang itu, harus dilihat dalam ajaranNya yang menggariskan tentang dua hal ini dan beda keduanya. Artinya, Tuhan dalam agamaNya sudah mengajarkan apa itu Islam dan muslimin dan apa itu ingkar dan kafir. 

Nah, kalau kita menerapkan ajaranNya itu kepada diri kita atau kepada orang lain, baik tentang kemuslimannya atau kekafirannya, maka jelas tidak dikecam akal dan tidak dilarangNya dalam agamaNya. 

Yang diajarkan akal dan agama adalah, harus dengan argumentasi yang jelas dan juga harus dengan penuh kehati-hatian. Karena itulah Nabi saww bersabda: 

“Siapa yang mengkafirkan seorang muslim, maka ia sendiri yang kafir.” 


Artinya, Nabi saww tidak melarang pemberitaan tentang kafirnya seseorang itu, tapi hanya 

melarang memberitakan yang ceroboh dan apalagi emosional hingga jatuh pada pengkafiran seorang muslim. Persis seperti yang dilakukan para wahabi yang tidak tahu apa arti tauhid itu hingga penerapan kafirnya juga ngawur. Enak banget mereka kalau diskusi. Kalau mengkafirkan orang, maka lancar. Tapi kalau melihat Syi’ah mengafirkan seseorang dimana hanya dalam masalah imamah sekalipun, mereka sok menjadi wali-wali Allah dan berkata bahwa hanya Allah yang berhak mengkafirkan. Lah, emangnya hanya pengkafiran yang hak Allah tapi pembid’ahan dan pemusyrikan hak para wahabi itu. Bahkan lebih dari itu, mereka sangat-sangat dengan mudah mengkafirkan orang lain hanya karena beda akidah dan informasi dengan mereka. 

Coba pemberitaan kafir itu dilarang dari awal, mestinya Nabi saww bersabda: 

“Jangan sesekali mengatakan si fulan itu kafir, karena pengkafiran itu hanya hak Allah.” 


Karena itu, di samping mengatakan kafir tanpa dalil yang nyata dan benar itu dilarang agama, juga melarang orang mengatakan kafirnya seseorang itu, juga dilarang agama. Dan sebagaimana mengatakan kafir pada seorang muslim itu dilarang agama, maka melarang orang berkata kafir itu juga dilarang agama. Hal itu karena hak membuat ajaran itu hanya Allah dan Allah tidak melarang pengkafiran itu dan hanya melarang kecerobohan tanpa dalil tersebut. 

Wassalam. 

Sang Pencinta: BA: 1110. Kafir Dalam Kamus Syi’ah dan Sunnah Oleh Ustad Sinar Agama =http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/486549254723209/ 

Illa Meilasari: Love it ....lantas apa sih urgensinya pemilahan identitas mukmin dan kafir? 

Sang Pencinta: Illa: saya di sini hanya merangkum dialog. Kalau mau jawaban yang kredibel, silahkan merujuk langsung ke ust sinar. Afwan. 

Illa Meilasari: Bagaimana caranya? Ust sinar tidak masuk daftar teman saya...jadi tak bisa kirim pesan langsung...saya sudah 2x ajukan pertemanan, tapi gak masuk list, hanya setiap ust. Sinar post...pasti saya dapat lihat. 

Sang Pencinta : Ok, nanti saya bawakan ya. 

Illa Meilasari: Bawakan apa ya? ....syukron ya akhi. 

Sang Pencinta: Bawakan ke ust mbak, sudah saya catat nama antum di pertanyaannya. 

Illa Meilasari: Iya barusan saya lihat....baru ngerti maksud bawakan ....syukron ya akhi. 

Sinar Agama: Illa: Saya memang sudah tidak bisa menambah pertemanan karena sudah melebihi 5000. 

Untuk masalah urgensinya ini jelas sekali. Karena
  • 1- Manfaat pada diri sendiri. Karena tanpa mengerti beda keduanya, lalu bagaimana kita bisa beriman dengan baik. Kalau tidak tahu benar dan salahnya, kafir dan mukminnya, lalu bagaimana kita bisa menjadi mukmin dan mukmin yang baik?? 
  • 2- Kalau kita tidak tahu keduanya, lalu bagaimana kita bisa mengajar keluarga dan anak-anak kita serta lingkungan yang memerlukan pengarahan kita? 
  • 3- Kalau kita tidak tahu beda keduanya, lalu bagaimana mau mengambil sikap dalam sosial kita? Bukankah nanti akan menjadikan taman sebagai musuh dan musuh sebagai teman? 
  • 4- Tuhan sendiri memerintahkan untuk menyampaikan ajaranNya walau satu ayat (yang sudah dipahami dengan benar tentunya). Nah, kalau yang benar tidak disampaikan dan tidak dikatakan benar, lalu yang salah tidak dikatakan salah, lalu apakah kita sudah bisa dikatakan mengamalkan perintahNya? 
  • 5- Terjerumusnya banyak muslimin ke perangkat barat, yaitu liberalism, karena mereka tidak mengerti beda keduanya dan konsekuensi dari beda keduanya itu. Dan liberalism ini, jelas merupakan alat keluar dari Islam dengan cara yang sangat cepat melebihi cepatnya cahaya. 
Wassalam. 


Illa Meilasari: Syukron ustad atas penjelasannya.... Sebelumnya saya pernah tahu kalau mukminun dalam alquran itu bermakna ahlubayt dan pecintanya....tapi ternyata tidak sekedar itu. 

Afwan....saya ini sedang banyak belajar tasyayu’... Berusaha mentasyayu’kan paradigma saya ustad. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Minggu, 05 Mei 2019

Fikih Adalah Hiriz/Ajimat Untuk Keselamatan Dunia-Akhirat


Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, April 2, 2013 at 11:00 am

Sang Pencinta: 8 Maret 2013, Salam, mohon penjelasan. Sebelum mandi, setiap anggota tubuh yang hendak dibasuh harus disucikan terlebih dahulu, akan tetapi tidak ada kewajiban bagi seseorang untuk mensucikan seluruh tubuhnya sebelum mandi, oleh karena itu bila anggota tubuh telah disucikan sebelum mandi, maka mandinya dihukumi benar. 

(Ajwibah al-Istifta’at, no.179, dan Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Thaharah, masalah 93). terimakasih ust. — bersama Sinar Agama. 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: Salam,, kalau dalam Fikih Sistani,, sesuatu yang najis dan yang berbatasan/berdekatan dengan najis teresebut,, akan seketika menjadi suci ketika proses pensucian berakhir. 

Seperti orang yang memandikan jenazah,, dia juga akan menjadi suci ketika dia selesai mensucikan jenazah ... 

Untuk fikih Ali Khamene’i,, saya menunggu ustadz Sinar Agama 

Sang Pencinta: Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: kalau punya fikih Sistani format PDF Indonesia, tolong share ya. Terimakasih. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Maksudnya adalah, yang wajib disucikan sebelum mandi itu, adalah anggota yang mau dibasuhnya. Jadi, kalau kakinya najis, tidak wajib disucikan kalau masih mau membasuh bagian pertama (kepala dan leher) atau bagian tubuh yang masih di bagian atasnya. Nah, baru setelah kepala leher dan tubuh bagian atasnya itu sudah dibasuh dengan basuhan yang diniatkan mandi besar itu, maka baru kakinya disucikan dari najis sebelum mandi-besarnya. 

Sinar Agama: Nou: Saya tidak melihat hubungan komentar antum dengan yang ditanyakan Pencinta dan saya tidak dapat memahami pertanyaannya. Dan saya mengira bahwa antum salah memahami fatwa tersebut karena yang biasanya dimaksudkan adalah, kesucian bittaba’ atau kesucian dengan mengikuti. Seperti jenazah yang najis dan menajisi tempat pemandiannya dimana ketika jenazah sudah selesai dimandikan dan menjadi suci, maka tempat pemandiannya itu juga menjadi suci. 

Sang Pencinta: Nou: Ketika seseorang menyentuh mayat/memandikannya, ia wajib untuk mandi menyentuh mayat’ jika ingin sholat dan amalan yang memerlukan kesucian. 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: @ sang pecinta : afwan,, kalau memakai pc,, bisa ke http://sistani.org 

Seseorang yang menyentuh mayat yang belum dimandikan,, memiliki hukum yang berbeda dengan orang yang memandikan jenazah,, 

@ ustadz sinar : afwan,, mungkin memang saya salah memahami ... Dalam Risalah Amaliah Ali Sistani masalah 378. 

378. It is not necessary that the entire body of a person should be Pak before Irtimasi and Tartibi Ghusl. So, if the body becomes Pak while diving in water or pouring water over one’s body with the intention of the Ghusl, the Ghusl will be in order. 

Terjemah

378. Tidak perlu mensucikan seluruh tubuh seseorang sebelum mandi Irtimasi and Tartibi. Jadi, jika badan menjadi suci ketika menyelam dalam air, atau menyiramkan air ke tubuh dengan niat Ghusl, maka mandinya sah. 

Dalam hal ini, ada sedikit perbedaan fatwa antara Rahbar dengan Ali Sistani. Mungkin ustadz bisa sedikit menambahkan penjelasan ... Syukran. 

www.sistani.org 

Sang Pencinta: Nou: Seseorang yang memandikan jenazah, apabila hendak shalat, maka (setelah mandi menyentuh jenazah) dia harus berwudhu, karena tidak sebagaimana mandi janabah, mandi menyentuh jenazah tidak mencukupi kewajiban wudhu. 

(Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Thaharah, masalah 104) 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: benar,, wajib berwudhu,, tapi tidak wajib mandi menyentuh jenazah. 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: untuk fikih Ali Sistani,, link rujukan 

http://www.almujtaba.com/malay/Al-Shia.Com%20Indonesian%20Page/Al-Shia.Com%20Indonesian%20Page/www.al-shia.com/html/id/islamic-laws/65.html 

afwan,, saya belum membuat terjemahnya. 

Ghusl for touching a dead body 

www.almujtaba.com 

Sang Pencinta: Coba perhatikan kalimat di atas (setelah mandi menyentuh jenazah)), di sini terlihat wajib pemandi jenazah wajib mandi. 

Nou-zel ‘uyunalmuha Arrushafah: hmm ... 

Tolong bantu penjelasan kalimat berikut 

532. If a person touches a dead body after it has been given three obligatory Ghusls, Ghusl for touching will not be wajib. However, if he touches any part of the dead body before the completion of 3 Ghusls he should do Ghusl for touching the dead body, even if the 3rd Ghusl of that part which he has touched may have been done. 

219. When a person washes something with water to make it Pak, his hands washed along with that thing, will be Pak when the thing is Pak. 

Sinar Agama: Nou: Belajar fikih itu tidak bisa sekali baca. Kalau antum memang taqlid pada Rahbar hf seperti yang antum katakan di inbox, maka tolong baca fikih Rahbar hf itu secara berulang kali supaya tidak terjadi kekeliruan. 

Beberapa kali saya melihat antum ada kesala pahaman memahami fatwa yang antum nukil itu. Perlu antum ketahui bahwa hal ini wajar. Saya yang puluhan tahun di hauzah dan sudah dibimbing para guru, masih saja kadang salah memahami fatwa. Oleh karena itu, jangan tambah beban lagi. Pelajari satu fatwa dari marja’ antum itu dengan seksama dan berulang kali, karena ia adalah ajimat atau hiriz menuju keselamatan dunia-akhirat. 

Kalau memang antum mau cari pelarian dari ihtiyath-nya Rahbar hf, untuk bisa memakai fatwa Sistani hf itu, maka cari yang ihtiyath-ihtiyath wajib yang punya Rahbar hf dan bandingkan dengan fatwa Sistani hf, supaya kalau ada perbedaan, antum bisa nukilkan ke diri antum dan orang lain (kalau antum mau). 

Contoh ke dua yang sempat ana lihat dari kekeliruan tentang tidak mandi junubnya orang yang memandikan mayit di atas itu. Kalau dari fatwa lain, mungkin saja seperti yang antum katakan. 

Tapi kalau dari fatwa yang antum nukil itu, jelas tidak ada hubungannya sama sekali. Karena fatwa itu mengatakan bahwa wajib mandi ketika menyentuh mayat (yang sudah dingin walau tidak disebut di nukilan fatwa antum itu) yang belum dimandikan dengan tiga pemandian sebagaimana yang sudah diatur dalam bab memandikan mayat. Dan di fatwa itu dikatakan bahwa kalaupun sudah dimandikan, tapi belum lengkap tiga kali (dengan air campur bidara, dengan air yang dicampur kafur dan dengan air murni) dan sekalipun yang ke tiga itu sudah diperkirakan sudah dilakukanpun, maka tetap wajib mandi kalau menyentuhnya. 

Saya juga tidak ada waktu dan tidak merasa perlu untuk menyimak pemahaman-pemahaman terhadap fatwa Sistani hf itu karena tidak diperlukan bagi yang taqlid pada Rahbar hf. 

Anjuranku, bacalah dengan seksama fatwa marja’ antum dan fokuskan pada hal itu karena biar sudah puluhan tahun belajar agama dengan guru sekalipun, masih bisa terjadi salah paham dan semacamnya. Kalau antum lihat ana sendiri beberapa kali meralat informasi fikih ini, maka antum akan lebih merasakannya. Lah, kalau kita kira-kira sama dalam kecerdasan, lalu yang puluhan tahun belajar spesifik masih bisa melakukan kesalahan, apalagi yang baru mempelajari fikih secara otodidak dan hanya bermodal bahasa. 

Menyentuh mayat yang tidak wajib mandi itu dalam tiga kondisi (mayat): 

1- Yang mayatnya berupa mayat syahid dan matinya di medan perang (bukan mati syahidnya di rumah sakit setelah luka di medan perang, misalnya). 

2- Yang badan mayatnya masih hangat. 

3- Yang sudah dimandikan tiga kali (sebagaimana yang sudah diterangkan di atas). 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ