Minggu, 02 Desember 2018

Jubah Kholiq




Seri komentar terhadap tag-an Komar Komarudin oleh Sinar Agama
by Sinar Agama on Sunday, January 6, 2013 at 2:54 pm



Komar Komarudin: 9-11-2012, Kebebasan dalam berfikir dan memilih adalah harga MATI, jangan terjebak dalam satu komunitas/Golongan tertentu, sehingga memasung dalam mengutarakan pendapat. Doktrin berguna pada saat itu masuk dalam wilayah hukum-hukum yang mewajibkan hambanya untuk taat Pada Rasul dan Allah SWT. 

Allah SWT yang Maha segala-galanya tidak pernah memaksa hambaNya, bagaimana mungkin sang mahluk memakai jubah sang Kholik.... — bersama Muhsin Labib dan 2 lainnya. 


Mohammad Jesus Kristus: Foto di atas memiliki Aura “Kesejukan”, Herannya kalau di Indonesia Orang yang berkostum seperti foto di atas, anak-anak muda yang beraura “Fasik”. 

Faizal Haris: Ijin share Mas 

Zila Rahim: Salam, wajahmu tenang dan menentramkan jiwaku. 

Komar Komarudin: “Ya Allah panjangkanlah umurnya, sehingga kaum muslimin mendapatkan banyak manfaat dari apa saja yang menjadikan kami semua terbimbing dari kepemimpinan-MU menuju kebenaran yang hakiki”, Ilahi ya Rabb. 

Fibri Behesyti: Semoga Allah selalu menjaga beliau. Amiiin. 

Ajeg Sinau: @MJK, maksudnya yang dahinya diitemin dan berbaju gamis? 

Abu Mohsein Ahmad: Ya Allah peliharalah anak cucu Muhammad ini, dan panjangkanlah umur Rahbar, dan perkuatkan kaki-kaki kami untuk mempertahankan kebenaran Muhammadi dan kesucian Ahlul Bait, a.s 

Dul Siaga: Allahumma Sholli Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad, Wa Ajil farojahum. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih tag-annya, terlebih dengan foto Sang Rahbar hf yang kita cintai besama. 

Sedikit komentar terhadap pemaksaan. Ada beberapa model pemahaman tentang pemaksaan dan penerapannya serta gaya-gayanya sehubungan dengan hal-hal yang berkenaan dengan Islam. Dan hubungan keduanya dengan keTuhanan. 

Model-model Pemaksaan

1- Memaksakan pandangannya kepada orang lain dengan kekerasan fisik. 

2- Memaksakan pandangannya kepada orang lan dengan pemboikotan. 

3- Memaksakan pandangannya kepada orang lain dengan kata-kata kasar, hardikan, cemoohan, lecehan, penjuluran lidah dan seterusnya. 

Model-Model Pandangan

1- Pandangan yang bermodel pemberian, yakni memberikan pandangannya kepada orang lain. 

2- Pandangan yang bermodel penolakan, yakni panolakan terhadap pandangan orang lain. 

Model-model Gaya Pemaksaan

1- Kasar dan kaku. Artinya, dalam memberikan atau menolak suatu pandangan, memakai retorika yang kasar (baca: pede banget) dan kaku hingga tidak memberikan kemungkinan akan kesalahannya, baik di dalam dirinya atau audiennya/umatnya. Kata-kata seperti “sesat”, atau “gila”, atau “tidak sehat akal”, atau “kaku”, atau “bid’ah”, atau “musyrik”, atau dan atau ... 

2- Argumentatis. Maksud argumentatif disini, bukan yang sesungguhnya, karena kalau sesung- guhnya, tidak akan pernah memaksakan pandangannya atau penolakannya kepada orang lain. Jadi, argumentasinya dan dalil-dalilnya, berupa dalil-dalil yang sebenarnya belum tuntas dan belum akhir dan, sudah tentu masih memiliki kelemahan sana-sini. Kelemahan-kelemahannya ini, biasanya tidak terlihat oleh murid-muridnya yang mungkin maqom ilmunya lebih rendah dari dirinya. Karena itu, cara ini, banyak sekali menjaring umat dan sering cara ini dipakai oleh orang yang tidak jujur dan tidak takut kepada Allah alias mengutamakan diri dan harga dirinya ketimbang Tuhan dan agamaNya. 

3- Akhlakis. Maksudnya bukan akhlak yang sebenarnya. Karena akhlak yang sebenarnya, kalau dalam ilmu, adalah dengan mengajukan argumentasi/dalil terbuka. tapi gaya ke tiga ini, sebenarnya penentang akhlak dengan corak akhlak. Jadi, trik yang dipakai adalah premis- premis akhlak yang sebenarnya tidak berhubungan dengan topik yang sedang dibahas dan dihadapinya. 

Kata-kata seperti “kita harus ikhlash kepada Tuhan”, atau “kita tidak boleh berjubah Kholiq”, atau “orang itu berjubah kholiq”, atau “kita tidak boleh mengotori malam qadr dengan kajian dan pembahasan ilmu yang mengutarakan perbedaan”, atau “Acara ritual tidak boleh dicampur dengan kajian dan politik”, atau “masjid bukan tempat politik tapi tempat ibadah”, atau “asyura bukan tempat membahas perbedaan”, atau “kita jangan mengotori hati dengan bedebat”, atau “kita harus takut kepada Allah”, atau “kita harus meniru makshumin”, atau “kita harus menghormati para marja’”, atau “kita harus menghormati dan menaati Rahbar hf”, atau ..........atau...........dan atau...... 

4- Irfanis. Maksudnya bukan irfan yang hakiki, karena kalau irfan yang hakiki, sudah tentu dalam membahas ilmu dan pandangan-pandangannya harus tuntas dan karenanya harus terbuka. Karena yang dikejar adalah kebenaran sebelum mengaplikasikannya, bukan mengokohkan pandangan atau penolakannya. 

Gaya ke 2-4 ini, sering berhasil menjaring dan menipu umat. Karena secara umum, masyarakat kurang menggunakan akalnya dalam menghadapi masalah. Kalau ngaji dan diskusi dengan lingkungannya, mungkin cerdas dan mengutamakan akal. Akan tetapi, ketika berdiskusi dengan orang atau kelompok lain atau menghadapi masalah-masalah kehidupan dan pene- rapan, maka perasaan dan seleranya yang didahulukan dari akalnya. 

5- Puitis. Disini, keindahan natural dari sebuah puisi, dimanfaatkan untuk mencapai hal-hal yang tidak natural, yaitu pemaksaan dalam pemberian atau penolakannya terhadap suatu pandangan atau teori. Orang-orang yang lebih menguatkan perasaan, rasa dan khayalan, akan banyak terjebak dalam keindahan puisi ini hingga terseret kepada pahaman yang diembannya itu. Kata-kata indah seperti “Jubah Khaliq” akan sangat mampu menjebak orang ke dalam perangkat kejumudan. Tentu kalau digunakan dengan maksud pemaksaan tersebut, walau secara lahiriah dalam rangka menolak pemaksaan itu sendiri. 

6- Tangisan. Oh......air mata ini adalah jalan yang termasuk canggih untuk menipu diri dan orang lain. Dikira, air mata itu bukti kebenaran dan ketidakjumawaan. Padahal air mata yang menolak kebenaran, adalah kesombongan yang nyata selain, tentu saja, keriya’an yang menjijikkan. Tangisan, yang tersalur di bawah pimpinan akal, merupakan tangisan yang menyelamatkan. Akan tetapi air mata ini, lebih palsu dan berbahaya dari pada air mata buaya. Karena yang mau ditipu, bukan hanya seorang wanita/lelaki, akan tetapi dirinya sendiri, umat, agama dan bahkan Tuhannya. 

Keterangan

  1. Pembagian-pembagian di atas itu, mungkin tidak jami’ dan mani’, artinya tidak mencakup semua bagian-bagiannya dan tidak menolak masuknya bagian-bagian lain ke dalamnya.
  2. Komentarku ini, hanya sekedar adanya suatu lintasan yang melintas di benakku yang ku- khawatirkan tidak terlintas di benak sebagian teman. Karena itu, kadang ketika seseorang ditekan atau ditindas orang lain seperti ditekan wahabi, ia berteriak-teriak sebagai mazhlum/ tertindas, tapi kadang ketika ia sendiri menghadapi orang lain yang lebih lemah atau kelompok lain yang lebih sedikit, maka ia sendiri tidak beda dengan si wahabi itu. Kasar dan jumawa.
  3. Pemaksaan pandangan, biasanya selalu tergambar dengan pemberian pandangan. Padahal, sesuai dengan kenyataannya, dan sesuai dengan pembagian di atas itu, bisa juga berupa penolakan. Karena itu, pemaksaan ini, bukan hanya bisa berupa pemberian, akan tetapi juga bisa berupa penolakan.
  4. Dalam keadaan seperti di atas itu, maka akan sangat sulit bagi kita untuk selamat. Keindahan kata, ayat, hadits, akhlak, kelembutan sikap, ketawadhuan lahiriah, sopan santun dan seterusnya. 
Jalan Selamat: 

1- Kita tidak boleh memancing atau terpancing dan apalagi memberikan reaksi, terhadap apa- apa yang kita sukai atau kita benci (tidak suka). Karena kalau terpancing karena hal ini, jelas akan membuat diri kita keluar dari jalan ilmu dan kebenaran. Jaminan keluarnya itu, atau setidaknya kesangat mungkinan keluarnya itu, disebabkan karena dalam kondisi seperti ini, yang mana rasa/perasaan diutamakan, maka jelas akalnya dijauhkan atau setidaknya dikotori dengan rasa/perasaannya ini. Dan, kalau akal sudah diliburkan, maka apa lagi yang bisa diharapkan untuk dijadikan pegangan membedakan yang benar dan salah secara hakiki, bukan hanya sekedar islami secara lahiri. 

2- Akal adalah satu-satunya jalan keselamatan. Karena akal ini, diberikan Tuhan sebelum Ia 
memberikan agamaNya yang meliputi akidah, hukum, akhlak dan semacamnya itu. Jadi, kalau tidak ada akal, sudah pasti tidak akan penah ada yang namanya agama. Nah, ketika demikian halnya, maka mengapa akal ini sekarang bisa ditipu dengan hanya atas nama agama???!!! Mengapa kecerdasannya menjadi tumpul hanya dengan menghadapi nama-nama, Tuhan, Nabi saww dan Ahlulbait as???!!! 

Dulu, sebelum memilih Islam (bagi yang muallaf), cerdas menimbang hingga menentukan pilihannya kepada agama Islam. Nah, sekarang, ketika ada perbedaan di dalam Islam itu sendiri, mengapa menjadi tumpul dan tertipu hanya atas nama Islam itu juga? 

Dulu, sebelum menjadi Syi’ah, sangat hati-hati berdiskusi dan sangat cermat hingga tidak bisa tertipu dengan hanya pengajuan ayat-ayat, hadits-hadits makshumin as. Lah sekarang ketika sudah menjadi Syi’ah, mengapa akalnya menjadi tumpul dan mudah tertipu hanya karena pengajuan ayat-ayat, hadits-hadits makshumin dan hanya karena ustadznya seorang Syi’ah, cendikiawan, alumni hauzah, sarjana dan seterusnya. 

Padahal, semua itu, secara langsung tidak ada hubungannya dengan ilmu dan penyelesaian perbedaan pendapat dan pandangan, karena yang berhubungan, jelas dalil dan argumentasinya. Memang, kealiman atau keilmuan seseorang menjadi petunjuk bagi penguasaannya dalam bidang yang ia tekuni itu. Akan tetapi, ketika ada perbedaan pendapat, maka jelas semua embel-embel selain argumentasi itu sendiri, tidak bisa dijadikan pedoman untuk memilih salah satu dari pandangan-pandangan yang berbeda tersebut. 

Karena itulah, maka seorang alim yang tulus, akan tetap mengutarakan pandangannya dengan argumentasi dan dalil, serta akan malu meneriakkan titelnya dalam membela pandangannya. Seorang guru yang bijak dan arif, akan tetap memaparkan pandangannya dengan dalil dan akan malu meneriaki muridnya yang dari awal sudah jatuh mental itu. 

Penutup

Jangan sampai salah paham dengan tulisan di atas hingga mengatakan bahwa saya sudah meremehkan ayat, hadits, agama, Tuhan dan makshumin as. Na’udzubillah. 


Ayat-ayat, hadits-hadits, puisi, irfan, akhlak, tangisan, munajat, dan seterusnya itu jelas dapat digunakan untuk jalan kebenaran. Akan tetapi, setelah meluruskan akal kita dan membersihkannya dari pengaruh rasa dan perasaan. Karena kalau tidak, maka kita akan menjadi pembeli ayat- ayat dan syi’ar-syi’ar Tuhan dengan harga yang teramat sedikit, yaitu demi diri kita sendiri, baik langsung atau tidak langsung (seperti keluarga, kelompok dan seterusnya). Allah swt berfirman: - QS: 2: 41-42: 


“Dan berimanlah kalian kepada apa-apa yang telah Kuturunkan dimana membenarkan yang telah ada bersama kalian dan janganlah kalian menjadi orang yang pertama yang mengingkarinya dan janganlah kalian beli ayat-ayatKu dengan harga yang sedikit serta bertaqwalah kepadaKu (41). Dan jangan bungkus kebenaran itu dengan kebatilan dan janganlah menyembunyikan kebenaran sementara kalian menyadarinya!” 

- QS: 5: 44: 


“...., maka janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kepadaKu serta jangan beli ayat- ayatKu dengan harga yang sedikit (murah), dan barang siapa yang tidak menghukum dengan apa-apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir” 

Ringkasan Dalam Satu Kalimat

Ikutilah dalil yang terbuka dan waspadailah dalil-dalil yang nyelip-nyelip dan menyelinap-nyelinap di gang-gang universitas semesta, serta tekan kuat-kuat gejolak rasa dan perasaan hingga akal kita menjadi jernih dan tanpa pamrih dan dapat memahami kebenaran itu dengan mudah, baik yang dicuatkan melalui rangkaian kata-kata argumentasi, rangkaian keindahan semesta alam ini, rangkaiana ayat-ayat, hadits-hadits, munajat-munajat, kidung-kidung, puisi-puisi dan tangisan ratapan ke hadiratNya. 

Wassalam. 


Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad 

Komar Komarudin: @ S A: Syukron Jazilah atas uraian/penjelasan yang mendalam terhadap status di atas, pandangan dunia tauhid yang argumentatif, dari sisi sosial masyarakat yang hetorogen, budaya, karakter dan lain-lain. Paramaternya jelas (akal) cara mensikapi Daya TOLAK dan daya TARIK, terhadap sebuah persoalan. 

Dul Siaga: catatan S.A, sebagaimana Imam Ali as, menghadapi LAWAN dan KAWAN senantiasa mengedepankan kepentingan umat, ketimbang pribadi dan keluarganya. Persoalanya adalah, apakah sesuai tanggung jawabnya, dan apakah pemikiran dan argumen yang kita bangun itu memang kehendak hukum Allah SWT, atau hal lain, tentu saja perlu ilmu yang mendalam untuk menilainya. Akal itu sendiri adalah karunia atau potensi yang diberikan kepada setiap manusia, tapi ketika dikembalikan ke masing-masing hambanya dan teraktual akan menjadi beda dalam penerapannya, artinya akal itu sendiri masih relatif sesuai fungsi-fungsinya pada saat diaplikasikanya 

Artinya, tidak cukup dengan akal saja sebagai parameternya, tapi harus terstruktur dan terbimbing berdasarkan proposal-proposal yang diajukan atas nama kebenaran hakiki (Agama), dan lebih mendalam lagi adanya pembawa kebenaran hakiki itu terwujud asli yang dapat menjawab persoalan-persoalan masyarakat, dan masyarakat itu sendiri menyambut dan menerima keberadaanya secara totalitas, tanpa itu menurut hemat saya, claim-claim atas nama golongan/ komunitas dan lain-lain. Sudah hampir pasti tanpa disadari bermuara kepada kepentingan kelompok/golongan, dengan kata lain “politik hewani”, afwan Ustadz mungkin komen ana terlalu jauh, kalau ada yang melenceng tolong diluruskan 

Sinar Agama: Dul S: Antum ini mungkin belum memahami yang saya tulis. Kalau semua dengan nama agama menjadi selesai, Tuhan lebih mudah dari awal menyelesaikan masalah umat ini. Bagaimana tidak, Dia yang diterima semua orang sebagai Tuhan (setidaknya bagi muslim), Dia Yang Maha Tahu, Dia yang punya surga-neraka, Dia yang melihat dan mendengar semua perbuatan manusia, Dia yang menurunkan Rasul-rasul as, Dia yang menurunkan imam-imam makshumin as, dan seterusnya. Akan tetapi, kapan Tuhan pernah berhasil dalam arti keseluruhan dan tuntas? Bukankah umat ini sejak dari nabi Adam as ya....selalu begini, yakni bisa dikatakan lebih banyak yang tidak baiknya? 

Nah, kalau Tuhan saja tidak bisa membuat manusia ini menjadi baik, lah apalagi kita yang hanya mengatasnamakan agamaNya? 

Mengapa wahabi itu sulit diperbaiki? Karena mereka meyakini sampai ke tulang sumsumnya sesuatu yang sebenarnya bersifat khayalan dan tidak ada ilmiahnya sama sekali, yaitu meyakini seratus persen di jalan Tuhan. Artinya, mereka benar-benar membuat jauh-jauh apa-apa selain agama Tuhan sekalipun itu dikatakan akal atau apapun juga. Inilah yang dalam sejarah Islam dikatakan ahlulhadits, salaf, wahabi dan seterusnya. 

Dengan demikian, pengatasnamaan agama, kemerasamerujukan kepada agama dan bahkan Yang Memiliki Agama itu sendiri, tidak bisa membuat kita menjadi benar dan menjadi baik. 

Mungkin ada orang berkata: “Uwwah si sinar agama yang Syi’ah bukan hanya mengatakan bahwa nabi-nabi as itu gagal, tapi Tuhan juga gagal.” 

Pernyataan ini, karena mereka masih merasa bahwa agama yang mereka pahami itu benar adanya. Jadi, mereka yang dengan seluruh lapisannya, baik yang tidak sekolah, yang SD, yang SMP yang SMA yang universitas, yang kiyai, yang ustadz dan seterusnya, merasa benar memahami agama. Memang, kalau ditanya secara sadar “apakah ilmu merkea sudah lengkap tentang Islam dan pasti benar/makshum?”, mereka pasti akan menjawab “Tidak”. Akan tetapi, dalam kehidupan, mereka mengamalkan kemakshuman mereka itu. Karena itu, mereka secara rata (padahal berbagai derajat pendidikannya), akan menanggapi setiap persoalan dengan meyakinkan dan mengatakan yang ini benar/Islam dan yang itu salah/bukan-Islam, yang ini hidayah dan itu sesat dan seterusnya. 

Karena itulah, bagi mereka yang Namanya Tuhan dan para nabi as, harus sukses dan tidak boleh salah hingga kalau ada yang berkata sebaliknya maka ia telah kafir dan melecehkan Tuhan dan para nabi as itu. Terlebih kalau mereka bergaya hidup dengan rukun iman “Apapun telah digariskan Tuhan”, wah....tambah berabe/hancur. Karena dari satu sisi akan mengatakan bahwa Tuhan dan para nabi as itu pasti berhasil dalam mendidik umat, di sisi lain, yang berbunuh- bunuhan dari umat nabi as seperti shahabat Nabi saww, sama-sama hebat, sama-sama benar, harus ditiru dengan baik dan sama-sama diridhai Tuhan di surga dan seterusnya. 

Akal mereka tidak akan pernah dibuka untuk mengerti kekontrasan dua proposisi: “Tuhan dan para nabi as pasti benar dalam mendidik manusia” dan “Kegagalan manusia/umat yang nyata dalam sepanjang sejarah agama dan kenabian”. Mereka sangat-sangat tidak mampu memecahkan masalah yang sangat sederhana ini. Mengapa? Karena mereka sangat menyanjung agama dan menepis semuanya terlebih yang namanya akal. 

Kata-kata: “Agama adalah tempat kembali manusia”, atau “Agama dari Tuhan karenanya lebih unggul dari semua pemikiran”, atau “Agama adalah tempat kembalinya akal.”, atau “Agama adalah pemecah hakiki dan bukan akal yang relatif.”, atau “Agama dari Tuhan dan pemikiran akal dari manusia”, atau “Agama adalah pembimbing akal.” , atau “Akal tanpa bimbingan agama akan sesat.”, atau “Agama adalah kebenaran hakiki dan akal adalah kebenaran relatif dan hewani”, dan seterusnya adalah pernyataan yang sangat indah dan mempesona hingga berabad tahun yang lalu dan ke depan, akan tetap menelan korban dari kebanyakan manusia dimana kebanyakannya justru umat yang beriman. 

Mengapa demikian? Karena ia tidak menyadari dan tetap tidak mau menyadari bahwa agama yang ia pahami itu adalah hasil dari akalnya sendiri. Dia mengira, kalau sudah agama, kalau sudah ayat, kalau sudah hadits shahih, kalau sudah hadits mutawatir, kalau sudah Nabi saww, kalau sudah imam makshum as, kalau sudah imam Khumaini ra, kalau sudah Rahbar hf, kalau wilayatulfakih, dan seterusnya sudah pasti benar, harga mati, kebenaran hakiki, tanpa kepentingan, dan seterusnya. Padahal, yang ia pahami dan yakini sebagai ayat, hadits, Nabi saww, para imam as, para marja’, wilayatulfakih, Rahbar hf, imam Khumaini ra, tanpa kepentingan, agamis dan tidak hewanis dan seterusnya itu, adalah seuatu kenyataan yang ada dalam bayang akal dia sendiri. Inilah yang saya mungkin sering katakan “Ingin menjadi Tuhan”. Gaya hidup seperti ini, biasanya dimiliki wahabi dan umat lain yang bergaya hidup seperti mereka termasuk sebagian teman Syi’ah di Indonesia ini (semoga antum tidak seperti itu walau hal itu tercium dari tulisan antum tersebut, amin). 

Premis-premis atau proposisi-proposisi atau statement-statement seperti “Tuhan adalah segala- galanya.”, atau “Agama adalah kebenaran hakiki dan tempat kembalinya akal” dan seterusnya dari kalimat-kalimat di atas itu, memang merupakan proposisi yang benar. Ini persis dengan pertanyaan Sarboz Osemon tentang pendahuluan akhlak kubro terhadap akhlak sughra yang namanya fikih. Artinya, tanpa penerapan ke premis kecilnya, sama sekali tidak akan menghasilkan apa-apa. 

Misalnya, “Agama adalah tempat kembalinya akal”. Nah, terus mau apa? Apakah kalau kita buka Qur'an, lalu itu agama? Bukankah Qur'an yang kita pahami, hadits yang kita pahami, wilayatulfakih yang kita pahami dan seterusnya itu merukan pahaman akal kita? Lah, kalau akal kita ini harus dikembalikan ke agama, lalu pemahaman agamanya juga tergantung kepada akal kita dan kecerdasannya, maka adalah keberputar-putaran lebih jelas dari hal ini? Adakah kekusutan melebihi kekusutan cara berfikir ini? Mengapa sangat sulit menerangkan yang sangat sederhana ini? 

Karena itu, untuk melepaskan diri dari kepentingan apapun, maka harus ikut dalil akal dan menjauhi selainnya sekalipun itu atas nama agama itu sendiri. Karena sering kali, agama ini, dijadikan tumbal bagi pemahaman akal seseorang yang sangat sempit dan kebodoh-bodohan dalam memahami agama, tapi sok pada dan mengatakan “Inilah agama”, “Ini ayatnya”, “Ini haditsnya”, “Ini fatwa Rahbarnya” dan seterusnya. 

Ayatullah Jawadi Omuli hf, sering menyampaikan keherannya (tidak dalam kalimat langsung) tentang orang-orang yang mengkontrakan akal dan Qur'an (agama). Karena akal, bukan untuk dihadapkan kepada agama atau bukan untuk dibandingkan dengan agama atau diadu dengan agama. Akan tetapi, ia adalah dasar memahami agama itu sendiri. Artinya, tanpa akal (maksudnya yang argumentatif dan bukan akal-akalan), maka manusia seperti hewan yang sama sekali tidak akan memahami ajaran agama itu sendiri. 

Beliau hf mengatakan (ini bukan untuk ditaqlidi, sekedar menukilkan salah satu petuah-petuah hikmah/argumentatif-nya) bahwa “Akal dan agama itu adalah sama-sama alat untuk memahami hakikat dan jalan hidup.” 

Jadi, ketika Tuhan mencipta alam semesta ini dan manusia di dalamnya, maka karena manusia memiliki akal, mestilah ada tanggung jawabnya. Karena itu, Tuhan mengurai tentang alam dan tanggung jawab manusa ini di alam ini. Uraian Tuhan inilah yang dikatakan agama. 

Nah, akal sendiri, sangat mengetahui hal itu. Yakni bahwa karena ia dicipta Tuhan dan memiliki akal, maka ia harus hidup sebagaimana layaknya makhluk berakal dan tidak hidup seperti hewan. 

Inilah yang dikatakan sebagai tangung jawab itu. 

Banyak sekali hakikat yang diurai agama, sebenarnya bukan penguraian sebagai penjelasan, akan tetapi penguraian sebagai pengingatan. Yakni mengingatkan kepada yang sudah diketahui manusia. Karena itulah, salah satu nama agama itu adalah sebagai peringatan atau pengingat. Karena itu Nabi saww dikatakan sebagai Mudzakkir/ Pengingat. 

Memang, dalam beberapa hal, terutama yang berupa ghaib seperti akhirat, walaupun akal dapat tahu secara globalnya, akan tetapi untuk mengetahui rinciannya, akan terasa sulit. Begitu pula tentang rincian-rincian dan detail-detail tanggung jawab di dunia ini. Karena itulah Tuhan menurunkan agamaNya untuk merincikan semua tanggung jawab dunia itu dan hal-hal ghaib akhirat. 

Tapi ingat, Tuhan menurunkan agamaNya itu bukan dengan tujuan membunuh akal dan mele- cehkannya sebagai kepentingan hewani, tapi justru menurunkannya untuk membimbing akal tersebut hingga menjadi paham dan benar menjadikannya akal yang sempurna dan keluar dari akal-akalan yang diatas namakan kebenaran dimana justru yang seperti inilah yang layak dikatakan sebagai “kepentingan hewani”, walau bersembunyi di ketiak agama. 

Nah, ketika Tuhan menurunkan agamaNya untuk dipahami akal, maka disinilah kita mesti memaksimalkan daya tangkap agama ini. Yaitu akal kita. Karena itulah, kita tidak boleh sama sekali mengatasnamakan agama hanya karena kita memahami agama tersebut seperti itu. 

Jadi, satu-satunya tempat kembali dalam memahami masalah, termasuk dalam memahami agama itu sendiri, adalah akal semata. Dan akal, sudah tentu adalah yang benar-benar akal, bukan yang akal-akalan dan abu-abu. Yakni harus berupa akal argumentatif, gamblang, terbuka, teruji di atas ring dunia/umum seperti fb ini (bukan teruji di depan murid-muridnya yang memang sudah kuduk/tunduk duluan dari awal dan sering menjadi korban pembodohannya dengan berbagai tangisan, kekhusukan, anjuran akhlak, sopan santun dan seterusnya di mana tidak ada hubungannya dengan pencarian kebenaran secara langsung dan bahkan dimaksudkan untuk menutupi kesalahannya dan kebodohannya, baik sengaja atau tidak, baik langsung atau tidak). 

Hanya kepada Allah kita harus berharap agar kita bisa benar-benar menjadi manusia yang manusia yang terbedakan dari makhluk lainnya, yaitu manusia berakal yang sempurna. Di mana akal ini jelas dua bagian: Akal-pahaman (untuk memahami masalah dengan benar melalui argumen yang jelas) dan Akal-aplikatif (yang menyuruh mengamalkan yang sudah benar dipahami), amin. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Makna Puasa Hati



Seri tanya jawab Mata Jiwa dengan Sinar Agama
by Sinar Agama on Saturday, January 5, 2013 at 4:06 pm


Mata Jiwa mengirim ke Sinar Agama: 6-11-2012, 

Salam, pak Ustadz, mohon penjelasannya pada tulisan ini: Imam Ali as: puasa hati dari berfikir lebih afdhal dari puasa perut dari menahan makan(10.000 hikmah Amirul Mu’min), apa yang dimaksud dengan ‘puasa hati dari berfikir’? Terimakasih untuk penjelasannya 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Tolong sebutkan alamat kitabnya dan hikmah ke berapa atau pidato ke berapa. 

Sinar Agama: Hal yang aneh dari hadits itu adalah “puasa hati dari berfikir”. Bukan karena hati yang berfikir, karena hati dalam bahasa arab itu bisa berarti dua hal, akal untuk berfikir dan hati yang untuk merasa/perasaan, sebagaimana sudah sering dijelaskan. 

Jadi, keanehannya, kalau hati di hadits tersebut dimaknai akal lalu disuruh berpuasa dari berfikir. Karena Islam yang dibawa Nabi saww dan Ahlulbait as, adalah Islam yang hanya bisa dikenali dengan berfikir, bukan dengan keluguan. Pikiran dalam Islam, sangat dianjurkan sampai-sampai dikatakan dalam hadits bahwa “Berfikir sesaat, lebih afdhal dari ibadah setahun.” 

Memang, kalaulah juga dimaksudkan berpuasa dari berfikir, misalnya ulama besar mengartikan seperti itu, maka masih bisa dicari jalan keluarnya. Artinya, dicarikan takwilannya yang cocok, seperti misalnya, berhenti dari berfikir dan beranjak ke aplikasi. Maksudnya, berfikirlah dulu, tapi setelah ketemu kebenarannya, maka amalkan. Jangan hanya dipikir melulu atau jangan hanya dipikir saja. Karena itu, puasa dari berfikir melulu, karena terjun kepada praktek atas apa yang dipikirkan sebelumnya itu, lebih afdhal dari puasa dari makan dan minum. 

Akan tetapi, mungkin terjemahannya itu salah. Dan yang benar adalah yang tertera di hadits- hadits itu sendiri seperti: 

صوم القلب خير من صيام اللسان ، و صيام اللسان خير من صيام البطن 

“Puasa hati itu lebih baik dari puasa bicara dan puasa bicara lebih baik dari puasa perut.” 

Puasa hati disini, bisa diraba maksudnya. Yaitu dari menyintai selain Tuhan. Artinya, hati yang perasaan, bukan hati yang berarti akal. Apalagi hadits-hadits lainnya juga menjelaskan seperti yang diriwayatkan dari imam Ja’far al-Shadiq as ini: 

وصوم القلب عن غير الخالق فانه الحق البهى الدائم سرمدا 

“Dan puasanya hati dari selain Pencipta, adalah kebenaran yang indah dan abadi.” 

Jadi, yang dimaksud hati di hadits yang antum tanyakan itu, adalah hati yang bermaksud rasa/ perasaan. Dan yang dimaksud puasa, adalah puasa dari menyukai apalagi menyintai selain Pencipta. 

Akan tetapi, kalaulah yang dimaksudkan puasa disini adalah puasanya hati yang bermakna akal pikiran sekaipun, maka hadits ke dua ini jelas menerangkan dari berpuasa dari selain Pencipta. Jadi, kalaulah diartikan pikiran sekalipun, maka maksud puasa dari berfikir ini, adalah berfikir tentang selain Pencipta dan selain apa-apa yang tidak dimuarakan kepada Pencipta. Jadi, puasa, maksudnya harus berfikir tentang Pencipta dan apa-apa yang berakhir padaNya saja, jangan yang lainnya. 

Memikirkan dunia untuk kebesaranNya adalah bagus, tapi berfikir dunia untuk menguasainya merupakan hal yang tidak bagus. Memikirkan shalat karena Pencipta adalah pekerjaan yang harus dikerjakan dan berfikir tentang shalat untuk kepentingan dunia, harus ditinggalkan. Jadi, berfikir dunia karena keAgungan Pencipta dan KebesaranNya adalah bagus. Begitu pula berfikir tentang agama untuk KeAgunganNya. Akan tetapi berfikir dunia untuk disukainya, dilezatinya, dikuasainya dan/atau berfikir tentang agama untuk tujuan dunia ini, maka hal ini adalah tidak bagus dan harus dipuasai/ditinggalkannya. 

Kalau boleh tahu, antum ambil dari buku yang sudah diterjemahkan atau bagaimana dan siapa penerjemah di buku itu. Wassalam. 

Mata Jiwa: Maaf pak Ustadz, saya baca dari status di fb dari seorang teman, makanya saya langsung tanya ke Ustadz. Alhamdulillah kan langsung dapat koreksinya, pantesan saya bingung, rupanya kurang tepat menyampaikannya, makasih banyak pak Ustadz. 

Sinar Agama: Mata: Ahsanti. Kadang memang orang kurang memahami hadits (Islam), dan hanya memahami bahasa Arab, maka langsung menerjemah. Kalau hanya bahasa Arab membuat seseorang jadi ustadz atau penerjemah, maka semua orang arab adalah orang-orang alim dan tidak perlu lagi sekolah SD, SMP, SMA, Universitas (seperti al Azhar) dan seterusnya. 

Kita memang bisa saja melakukan kesalahan, akan tetapi sudah semestinya berusaha untuk profesional dalam mengerjakan apapun saja di dunia ini, karena di akhirat kelak, urusannya lebih sulit dan pemeriksaannya jauh lebih teliti. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

‘Uzlah dan Mulla Shadra ra




Seri tanya jawab Adam Syarif dengan Sinar Agama
by Sinar Agama on Saturday, January 5, 2013 at 3:59 pm


Adam Syarif mengirim ke Sinar Agama: 5-11-2012, 

Salam. Saya membaca biografi Mulla Sadra, pada perjalanan intelektual/spritual beliau pernah ‘meninggalkan masyarakat’ atau keramaian ke desa kecil selama 10 tahun untuk riyadhah spiritual dan lain-lain. Katakanlah ini saya sebut sebagai uzlah. Hal ini pernah kita juga dapatkan pada perjalanan para nabi seperti Nabi Muhammad dan beberapa filusuf/arif lainnya. 


Yang saya belum dapatkan ialah teori tentang aktifitas ‘tidak umum’ ini bagi kebanyakan masyarakat umum. Semoga Ustadz berkenan memberikan penjelasan tentang uzlah (mengasingkan diri) baik secara filosofis dan irfani. 

Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih banyak 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Mulla Shadra ra pergi uzlah itu karena terpaksa. Karena sebagian orang-orang memusuhinya. Beliau tidak meninggalkan masyarakat sama sekali. Beliau hanya pindah ke desa yang lebih sepi yang disertai oleh murid-murid intinya serta keluarganya. Kahak, adalah desa di pinggiran kota Qom yang menjadi tempat tinggal beliau dan sampai sekarang rumah beliau tetap ada di sana. 

‘Uzlah yang meninggalkan semua orang termasuk keluarga, yang biasa dilakukan para Nabi as, tidak berlama-lama apalagi bertahun-tahun seperti Mullah Shadra ra. Karena hal seperti itu tidak dibenarkan agama. ‘Uzlah yang total itu, biasanya tidak lebih dari beberapa hari yang, mungkin sampai 40 hari. 

Yang dikerjakan dalam ‘uzlah total ini, adalah berfikir tentang Tuhan, alam dan diri sendiri, termasuk apa saja seperti masyarakat/sosial. Begitu pula beribadah padaNya. Mungkin nanti hal ini akan dijelaskan di terusan bahasan uzlah. 

Adam Syarif: Iya ustadz, saya tunggu pendalaman bahasannya. Termasuk apakah uzlah 40 hari dengan amalan dan perenungan seperti itu adalah fase ‘wajib’ bagi mereka yang ingin mendekatkan diri padaNya. Atau kegiatan ini bersifat kondisional? jika demikian kira-kira apa syarat-syarat kondisional itu? afwan dan terima kasih 

Sinar Agama: Siapa saja boleh uzlah asal tidak meninggalkan kewajiban lainnya dan tidak terlalu lama. Tapi kalau ada tanggung jawab seperti menafkahi istri dan anak-anaknya atau melindungi mereka supaya merasa aman (misalnya rumahnya agak terpencil hingga keluarganya tidak bisa ditinggal), maka uzlah itu jelas tidak bisa dilakukan dan akan menjadi haram. 

Langkah paling ampuh untuk mendekati Allah adalah dengan belajar fikih keseharian dan menjadikan buku itu buku pegangan setiap saat dan menit. Lalu diamalkan dengan benar dan penuh ketulusan kepadaNya. Di sela-selanya itu, baru sambil meningkatkan ilmu makrifatnya tentangNya dan agamaNya. 

Adam Syarif: Terimakasih Ustadz, I get it. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Imam Ali as Itu Bukan Syi’ah, Tapi Disyi’ah-i




Seri tanya jawab Kopipaikna Thomasalle Punggawa dengan Sinar Agama
by Sinar Agama on Saturday, January 5, 2013 at 3:57 pm



Kopipaikna Thomasalle Punggawa mengirim ke Sinar Agama: 3-11-2012, 

Khalifah Ali Bin Abi Thalib RA, Syi’ah atau Sunni? 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Imam Ali as itu adalah imam Syi’ah (diikuti). Syi’ah artinya “mengikuti”. Jadi, imam Ali as adalah yang diikuti sebagaimana sabda Nabi saww ketika turun ayat: 

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berbuat kebaikan, maka mereka itulah sebaik-baik manusia.” (QS: 98: 7), di mana beliau saww bersabda kepada imam Ali as: 

“Ya Ali, mereka itu adalah kamu dan syi’ahmu.” 

Hadits-hadits seperti ini, dapat dijumpai di kitab-kitab Sunni seperti: 

Tafsiir Ibnu Jariir al Thabari, 30/171; Tafsir al Durru al Mantsuur karya Suyuthi di tafsiran tentang ayat tersebut; Shawaaiqu al Muhriqah, 96; dan lain-lain). 

Atau ketika beliau saww bersabda: 

“Demi jiwaku yang ada di TanganNya, sesungguhnya dia -Ali- dan syi’ahnya (pengikutnya) adalah orang-orang yang berjaya/menang di hari kiamat.” 

(Tariikhu Damsyq, 2/442; al Manaaqib al Khurazmi, 62; Syawaahidu al Tanziil karya al Haskaani al Hanafi, 2/362; Kifaayatu al Thaalib karya Kanjii al Syaafi’i, 245, 313, 314; Kunuuzu al Haqaaiq, 84; al Durru al Mantsuur karya Syaafi’i, 6/379; Tadzkiratu al Khawaash, 58; dan lain-lainnya). 

Atau ketika beliau saww bersabda: 

“Nanti kamu -Ali- dan syi’ahmu (pengikutmu) akan datang di hari kiamat dengan ridha dan di- ridhai,” 

(Nazhmu Durari al Simthain, karya Zarandi al Hanafi, 92; Yanaabii’u al Mawaddah, 301; al Fushuulu al Muhimmah, 107; al Shawaa’iqu al Muhriqah, 159; Kanzu al ‘Ummaal, 15/137; Majma’u al Zawaaid, 9/131; Nuuru al Abshaar, 101; dan lain-lain). 

Atau ketika beliau saww bersabda: 

“Ya Ali, sesungguhnya kamu dan syi’ahmu (pengikutmu) akan dihadapkan kepada Allah dengan diridhai dan.” 

(Nuuru al Abshaar karya al Syablanji al Syaafi’i, 73; al Shawaaiqu al Muhriqah, 152; Yanaabii’u al Mawaddah, 299; dan lain-lain). 

Dan lain-lain dari kata-kata Syi’ah yang disabdakan Nabi saww di riwayat-riwayat Ahlussunnah. Karena itulah sudah sering diktakan bahwa aliran Syi’ah itu didirikan oleh Allah dan NabiNya saww sendiri. Karena kanjeng Nabi saww tidak mengucapkan apapun kecuali wahyu (QS: 53: 2-3). Dan, sudah tentu kedua belas imam makshum as itu (Bukhari-Muslim) adalah imam yang disyi’ahi atau diikuti, bukan Syi’ah/mengikuti. 

Wassalam bagi yang menerima hidayah. 

Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad wa ajjilfarajahum 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Abdullah bin Saba’



Seri tanya jawab Kopipaikna Thomasalle Punggawa dengan Sinar Agama
by Sinar Agama on Saturday, January 5, 2013 at 3:54 pm


Kopipaikna Thomasalle Punggawa mengirim ke Sinar Agama: 3-11-2012, 

Siapa sebenarnya Abdullah bin Saba itu? 


Kopipaikna Thomasalle Punggawa

http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/01/06/17302/mengapa-syiah-berusaha- menghilangkan-figur-abdullah-bin-saba/

Mengapa Syi’ah Berusaha Menghilangkan Figur Abdullah bin Saba’? 

www.voa-islam.com

Sinar Agama: Salam das terimakasih pertanyaannya: 

Abdullah bin Saba’ itu ada di dua riwayat Sunni dan Syi’ah dan semuanya dinyatakan sebagai zindiq yang kafir karena menuhankan imam Ali as di mana bahkan di sebagian riwayat dihukum mati dengan dibakar oleh imam Ali as. 

Jadi, dalam riwayat-riwayat itu sudah jelas siapa dia itu. Karena itu, tidak ada hubungannya sama sekali dengan Syi’ah yang tidak pernah menuhankan imam Ali as. Bahkan Syi’ah mengikuti imam Ali as sebagai imamnya dalam membenci Ibnu Saba’ ini. Lantas apa masalahnya? 

Belakangan ada allaamah yang meneliti hadits-hadits tentang Ibnu Saba ini dan akhirnya terbukti dari dua jalur Syi’ah dan Sunni itu, bahwa hadits-haditsnya tidak dapat dipertanggungjawabkan dilihat dari sanad-sanadnya. Karena itulah dikatakan bahwa Ibnu Saba’ ini tokoh fiktif. 

Allaamah yang dimaksud adalah alaamah al-’Askari dan kitabnya berjudul “Abdullah bin Saba”, terdiri dari 2 jilid. 

Sinar Agama: Saya sudah sering menulis di fb ini bahwa kata-kata Syi’ah itu dari kanjeng Nabi saww sendiri sebagaimana banyak riwayat Sunni dimana Nabi saww mengatakan bahwa yang selamat atau yang akan menang itu atau yang sebaik-baik manusia itu, adalah Ali dan Syi’ahnya/ pengikutnya. 

Khommar Rudin: Allahumma shalli alaa Muhammad wa aali Muhammad 

Wassalam.

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Sabtu, 01 Desember 2018

KTP Hadits Ghadir Khum



Seri status Sinar Agama
by Sinar Agama on Saturday, January 5, 2013 at 3:48 pm



Sinar Agama: 3-11-2012, Bismilllah: Hari Ied Ghadir 

Kuhaturkan ucapan “Selamat Hari Besar Ghadiir” kepada junjungan Nabi besar Muhammad saww dan seluruh Ahlulbait as terutama imam Mahdi as. Begitu pula kepada semua ulama terutama Rahbar tercinta hf, dan segenap kaum mukminin dan mukminat, terutama para shahabat- shahabat di fb ini. 

KTP Kecil Hadits Ghadir

1- Ringkasan Hadits Ghadir (nama danau jejadian kalau hujan dan kering kalau tidak ada hujan, tempat dimana Nabi saww melantik imam Ali as sepulang beliau as dari haji Wada’/terakhir, sebagai penguasa/wali atas semua mukminin dan mukminat): 

Rasulullah saww bersabda: 

“... Wahai manusia (kalian semua), sesungguhnya Allah adalah waliku (yang berkuasa atasku) sedang aku wali semua mukminin dan lebih wali/utama/menguasai terhadap mereka dari diri mereka sendiri. Barang siapa yang aku adalah walinya, maka Ali adalah walinya juga. 

Ya Allah, bantulah yang menjadikannya -Ali- sebagai walinya dan musuhilah yang memusuhinya. Wahai manusia, sesungguhnya aku akan mendahului kalian (meninggalkan dunia) dan kalian akan memasuki Haudh (telaga) yang lebarnya antara Bushraa (kota di Suriah atau Bashrah di Iraq?) sampai ke San-’aa’, diantara keduanya terdapat cawan-cawan dari perak sebanyak bintang- bintang, dan aku akan bertanya kepada kalian tentang Tsaqalain (dua hal yang berat) itu dikala kalian mendatangiku, bagaimana kalian menjaga keduanya setelah aku. 

Hal berat yang pertama adalah Kitabullah ‘Azza wajallah dimana satu ujungnya di Tangan Allah dan ujung lainnya di tangan kalian, karena itu peganglah ia dengan erat hingga kalian tidak sesat dan janganlah kalian berubah. Hal berat yang ke dua adalah Ahlulbaitku. Sesungguhnya telah dikabarkan kepadaku dari Yang Maha Lembut dan Maha Tahu, bahwa keduanya tidak akan pernah berpisah sampai keduanya menjumpai aku di telaga.” 

2- Inti dari hadits Ghadir: 

Inti hadits Ghadir ini adalah dua hal

a- Pengangkatan dan pelantikan imam Ali as sebagai khalifah Nabi saww dan sebagai Ahlulbait pertama. 

b- Pewajiban terhadap semua muslimin untuk menjaga dan berpegang teguh pada Qur'an dan Ahlulbait as ( yang makshum, QS: 33: 33). 

3. Versi Periwayatan Hadits Ghadir

Hadits ini diriwayatkan di Sunni dengan berbagai versi. Ada yang hanya menyebut bagian ke duanya seperti shahih Muslim dan ada yang menyebut kedua bagiannya seperti kitab-kitab yang lain yang sangat banyak sekali di Sunni. Dengan segala versinya, hadits ini ada di kitab- kitab seperti: 

Shahih Muslim, 2/362; Shawaaiqu al Muhriqah, 5 dimana ia berkata bahwa riwayat ini diriwayatkan oleh Thabrani, Thabari, Turmudzi dan Hakim, lihat juga di hal 25 dan dishahihkannya; Turmudzi, 5/297; Ibnu Maajah, 1/45; Kanzu al ‘Ummaal, 1/168 dan 15/91-150; Mustadrak Hakim, 3/109, 116 dan 119; Usdu al Ghaabah, 1/369; Musnad Ahmad bin Hanbal, 2/961; Syawaahidu al Tanziil karya Hakim, 1/190; Tariikh Ya’quubi, 2/93; Dzakhaairu al-’Uqbaa, 67; Miizaanu al I’tidaal karya Dzahabi, 3/294; Shawaauqu al Muhriqah, 25 (dan dishahihkan); Tafsiiru al Fakhru al Roozii, 3/636; Jaami’u al Ushuul, 9/468; al Durru al Mantsuur, 5/182; al Jarh wa al Ta’diil Ibnu Abi Haatim, 4/431; Dzakhaairu al ‘Uqbaa, 67; al Ishaabah, 1/305, 372; Taariikhu al Khulafaa’ al Suyuuthi, 169; Mashaabiihu al Sunnah, 2/275; Syawaahidu al Tanziil al Haskaanii, 1/157; Bukhari dalam Taariikh Kabir-nya, 1/375; Taariikh Dzhabi, 2/196; Taariikh Baghdaad, 8/290; al Muntakhab min Shahiih al Bukhaari wa Muslim karya Muhammad bin Utsman, 217; al-I’tiqaad karya Baihaqi, 182; Ibnu Atsiir dalam Nihaayahnya, 4/346; Thabraani dalam, al Mu’jamu al Kabiir-nya, 1/149; Ahmad bin Hanbal dalam Fadhaail-nya, hadits 91, 82, 139; , ; Nasai dalam Khashaaish-nya, 21 dan 93; Ahmad bin Hanbal, 4/372; Taarikh Damasyq, 1/213 -8 hadits- dan 2/42 -30 hadits; dan seambrek lagi yang lainnya. 

4- Pengakuan Kemutawatiran Hadits Ghadir

Jalaalu al Diin al Suyuuthi sendiri mengakui kemutawatiran hadits ini di al Fawaaidu al Mutakaatsirah fi al Akhbaar dan Fi al Azhaari al-Mutanaatsirah fi al Akhbaar alMutawaatirah. Pandangannya ini juga dinukil oleh berbagai ulama Sunni seperti: 

Al Manaawii di al Tafsiir fi Syarhi al Jaami’i al Shaghiir, 2/442; al ‘Uzairi dalam Syarhu al Jaami’i al Shaghiir, 3/360; Mulla ‘Alii al Qoorii di al Mirqootu Syarhu al Misykaah, 5/568; Ibnu Katsiir dalam Tarikhnya; dan seterusnya. 

5- Thuruq/jalan/jalur Hadits Ghadir dari shahabat ke Nabi saww

Dalam kitab-kitab Sunni terdapat berbagai thuruq/jalan/shahabat tentang hadits ini ke kan- jeng Nabi saww, seperti: 

5-1- Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari 40 thuruq/shahabat. 

5-2- Ibnu Jariir Thabari, meriwayatkan dari 72 thuruq/shahabat. 

5-3- al Jazrii, meriwayatkan dari 80 thuruq/shahabat. 

5-4- Ibnu ‘Uqdah, meriwayatkan dari 105 thuruq/shahabat. 

5-5- Abu Sa’iidh al Sajistaani, meriwayatkan dari 120 thuruq/shahabat. 

5-6- Abu Bakar al Ju’aabii, meriwayatkan dari 125 thuruq/shahabat. 

5-7- Muhammad al Yamani, meriwayatkan dari 150 thuruq/shahabat. 

5-8- Abu al ‘Alaa’ al ‘Aththaar meriwayatkan dari 250 thuruq/shahabat. 

5-9- Mas’uud al Sajistaanii, meriwayatkan dari 1300 thuruq/shahabat. 

Kalau mutawaatir di Sunni hanya 9 thuruq, maka thuruq-thuruq hadits Ghadir ini bisa dihitung berapa kali kelipatan mutawaatirnya. 

6- Shahabat-shahabat yang Hadir di Ghadir Khum: 

Berbagai keterangan tentang jumlah yang hadir dan mendengar hadits Ghadir ini sebagaimana yang dinukilkan di Tadzkiratu al Khawaash karya Ibnu Jauzii, 30; al Siiratu al Halabiyyah, 3/257; al Siiratu al Nabawiyyah karya Zaini Dahlaan, 3/3. Yaitu sebanyak: 

90.000 shahabat atau 114.000 atau 120.000 atau 124.000 shahabat. 

Wassalam. 


Angga Corleone, Sattya Rizky Ramadhan, Ety Handayani dan 110 lainnya menyukai ini. 

Dadin BluEs: Allahumma sholli alaa Muhammad wa aali Muhammad 

Tri Joko Prayitno: Salam Ustadz, Selamat Eid Al Ghadir Alhamdulillahilladzii ja’alanaa minal mutamassikiina biwilayaati Amiiril Mu’miniin wal Aimmati as 

Pooja Imuet: Bismillaah, Allahumma shalli ala Muhammad wa Aali Muhammad wa ajjil farajahum Ied Ghadir Mubarak 

-zaenab Agil- 

Ied ghodir mubarok 

Firman Asyhari Bin Masyhudi


Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertaqwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik, 


Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. 

Ini perkataan siapa??????: Qs 33 : 33 Yang dimaksud Ahlu al Bait dalam ayat tersebut bukankah Para Istri Nabi? melihat ayat sebelumnya Pak Ustadz SA 

Ammar Dalil Gisting: Segala puji bagi Allah yang telah menyempurnakn agama dan karuniaNya dengan wilayah Amiril mukminin Ali bin Abi Thalib as. 

Abdul Rosyid: Ijin share Ustadz. 

Daris Asgar

اَلْحَمْدُ للهِ الّذى جَعَلَنا مِنَ الْمُتَمَسِّكينَ بِوِلايَةِ اَميرِ الْمُؤْمِنينَ وَالاَئِمَّةِ عَلَيْهِمُ السَّلامُ

Ied ghodir mubarok 

Daris Asgar: Pak Firman : coba dilihat catatan Ustadz berikut, ini linknya in syaa Allah terjawab. http://www.facebook.com/note.php?note_id=365896716754216

Siapa Ahlulbait Yang Disucikan Allah di Qur'an? seri tanya jawab, Abu Zahra Al Manshur dengan Sinar Agama 


Daris Asgar: Ijin share Ustadz 

MukElho Jauh, 124 mutual friends: 

اَلْحَمْدُ للهِ الّذى جَعَلَنا مِنَ الْمُتَمَسِّكينَ بِوِلايَةِ اَميرِ الْمُؤْمِنينَ وَالاَئِمَّةِ عَلَيْهِمُ السَّلامُ

Sundari Sastrareja

الحمد هلل الذي جعلنا من المتمسكين بوالية أمير المؤمنين علي بن أبي طالب و األئمة األطهار من ولده عليهم 
السالم



Happy Eid Ghadir mubarak 

Khommar Rudin: Salam Ustadz, Selamat Eid Al Ghadir. Alhamdulillahilladzii ja’alanaa minal mutamassikiina biwilayaati Amiiril Mu’miniin wal Aimmati as. 

Laili Syamsuddin Psy: Alhamdulillahi alladzi ja’alana minal mutamassikina biwilayati amiril mukminin wal aimmati alahimussalam SELAMAT IEDUL GHODIR. 

Fatamorgana, 338 mutual friends: Allahumma shali ala Muhammad wa ali Muhammad 

Rosan Da Vinchi, Friends with Firmansyah and 17 lainnya: lucu yang bid’ah dilestarikan. 

Renito Husayno, Friends with Alia Yaman and 68 lainnya: Alhamdulillahi alladzi ja’alana minal mutamassikina biwilayati amiril mukminin wal aimmati alahimussalam SELAMAT ATAS HARI DITETAPKANNYA WILAYAH ALI BIN ABI THALIB as. 

Sinar Agama: Salam dan terima kasih atas jempol dan komentar-komentarnya, semoga kita semua benar berada dalam wilayah ini dengan sebaik-baik keberadaan hingga selalu dalam ampunan dan ridha Tuhan, amin. 

Ade Pb: Bismillaah, Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad wa ajjil farajahum. Ied Ghadir Mubarak 

Aba Zahrah, 115 mutual friends: Ahsantum Ustadz met aidul ghadir. Suka 

Peta Letak Ghadiir Khum-1 


Peta Letak Ghadiir Khum-2 



Sumber Mata Air di Ghadiir Khum (tapi sedikit tidak sampai jadi danau) 




10 people like this. 

Haidar Dzulfiqar: Salam Ustadz, maksudnya KTP apa ya Tadz? 

Sinar Agama: Haidar: KTP maksudnya keterangan sangat ringkas. 

Haidar Dzulfiqar: Oh itu toh Hehehehe Terima Kasih Ustadz Sinar Agama.

Sinar Agama: Yuukkk 

January 6 at 12:59 pm


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Hukum Menegakkan Negara Islam



Jajang Kl mengirim ke Sinar Agama
by Sinar Agama on Saturday, January 5, 2013 at 3:26 pm


Jajang Kl mengirim ke Sinar Agama: 2 November 2012 
Salam Ustadz, semoga sehat sehat aja. Maaf mau tanya. 
  1. Apakah hukumnya menegakkan negara Islam di negeri sendiri, merupakan kewajiban fardu ain bagi setiap muslim?
  2. Bagaimana proses penegakkannya menurut ajaran AB , apa dibutuhkan figur seperti ayatullah yang ada di Iran atau independen negeri sendiri?
  3. Bagaimana hukumnya orang muslim yang enggan menegakkan negara Islam menurut madz- hab jafari? 
Sang Pencinta: Hukum Menegakkan Negara Islam dan Kepemimpinan Tunggal Dunia, Oleh Ustadz Sinar Agama : http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/354008774643925/

Sang Pencinta: Melanggar Peraturan di Negara Islam dan Non Islam Oleh Ustadz Sinar Agama: http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/326183390759797/

Sang Pencinta: Syarat-Syarat Seseorang Menjadi Pemimpin/Imam Negara Oleh Ustadz Sinar Agama: http://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/331117046933098/

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

1- Mengimani ajaran Islam sepenuhnya, merupakan kewajiban aini bagi setiap muslim. Akan tetapi, tidak boleh membuat pemaksaan kepada muslimin yang tidak meyakini agama Tuhannya secara menyeluruh ini, apalagi kepada selain muslim (la iqraaha fi al-diin), selama di dunia ini. 

2- Apapun bentuk dan jalannya selama berhubungan dengan mujtahid (baca: wilayatulfaqih), maka diperkenankan. Tapi tetap harus ingat bahwa tidak boleh ada paksaan. Hizbullah Libanon yang merupakan anak yang sah dari hizbullah Iran, sekalipun mereka sudah berjasa mengusir Israel sekalipun dan senjata tetap di tangan, tetap saja tidak boleh memaksakan negara Islam kepada penduduk Libanon. 

3- Meyakini dan membela Agama Islam yang Kaaffah dan menyeluruh itu bukan hanya kewajiban Syi’ah, tapi kewajiban semua kaum muslimin dengan seluruh madzhab dan pemikiran- nya.

Wassalam


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Dosa Ulama dan Orang Biasa



Seri tanya jawab Sang Pencinta dengan Sinar Agama 
by Sinar Agama on Saturday, January 5, 2013 at 3:22 pm


Sang Pencinta mengirim ke Sinar Agama: 2 November, 

Salam, apakah maksiat itu sudah mulai dihukumi dosa ketika baru sedetik saja memikirkannya? Terima kasih Ustadz. 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: sudah tentu tidak seperti itu. Maksiat itu, sebelum dilakukan, belum dikatakan dosa. 

Mata Jiwa: Afwan nimbrung pak Ustadz, saya pernah baca bahwa para ‘alim akan dihitung sebagai dosa segala fikiran-fikiran buruknya, sementara untuk orang awam tidak, benarkah demikian? 

Sinar Agama: Mata: Dosa yang dimaksud, bukan dosa yang menyebabkan orang masuk neraka sebagaimana umumnya dosa, akan tetapi dosa yang berarti buntut. Karena dzambun asal kata dari buntut. Jadi, dosa yang memasukkan orang ke neraka itu dikatakan buntut, karena merupakan buntut dari perbuatan maksiat atau melanggar Tuhan. 

Nah, buntut yang dimaksud di pertanyaan antum itu, adalah akibat secara mutlak, bukan neraka. Karena itu, harus dipahami oleh penerjemah maksud kata-kata Tuhan, Nabi saww, imam makshum as dan para alim. Tidak bisa sembarangan menerjemah. 

Jadi, yang dimaksud buntut dari pikiran jahat pada ulama, adalah buntut yang bukan neraka. Akan tetapi buntut lain yang tidak layak dimiliki oleh para ulama, seperti buntut memikirkan dunia, kurang berakhlak pada Tuhan dan seterusnya. Bayangkan saja, bagi ulama, Tuhan itu kan semestinya selalu dirasakan kehadiranNya. Nah, dalam keadaan harus dirasakan kehadiranNya itu, masih sempat-sempatnya ia berfikir untuk menentangNya? Kan ini sudah kekurangakhlakan kepadaNya? Beda dengan orang umum yang biasanya tidak merasakan kehadiranNya. Disitu, kalau ia berfikir untuk maksiat, maka tidak terlalu kurang ajar kepadaNya. 

Walhasil, kedua pikiran maksiat itu, belum masuk maksiat, baik dilakukan oleh orang awam atau ulama. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Dunia Tidak Pernah Sepi Dari HujjahNya

Dunia Tidak Pernah Sepi Dari HujjahNya dan Ayah-Ayah Nabi saww Bisa Saja Juga Nabi





Seri tanya jawab Andi Zulfikar dengan Sinar Agama 
by Sinar Agama on Saturday, January 5, 2013 at 3:12 pm




Andi Zulfikar mengirim ke Sinar Agama: 30-10-2012, 

Salam Ustadz, mohon penjelasan bahwa dalam Islam dipercayai bahwa dalam setiap zaman harus ada Hujjatullah (tidak bisa kosong dari para Hujjah) dan masing-masing Hujjah mewarisi kepemimpinan pada Washinya masing-masing, yang ingin kutanyakan siapakah yang mewarisi kepemimpinan pada Kanjeng Nabi saww? Dan apakah Imam Ali as dan para shahabat yang lainnya pernah mengenal sang Hujjah tersebut? Tolong Ustadz bahas sejarah mengenai sang Hujjatullah yang mewarisi Kanjeng Nabi saaw tersebut, syukran Ustadz. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

Hujjatullah itu adalah para imam makshum as itu sendiri. Dan hujjatullah Tuhan setelah Nabi saww adalah imam Ali as sampai kepada imam Mahdi as (12 imam makshum sebagaimana juga diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim tentang jumlahnya ini). 

Dalil-dalil rincinya tentang mengapa 12 orang dan mengapa harus makshum serta nama-nama mereka, saya sudah sering menulisnya di fb ini (seingatku). Antum bisa melihat- lihat di catatanku atau di dokumen yang dibuat Anggelia di grup: Berlangganan Catatan Sinar Agama. 

Sang Pencinta: Salam, silahkan di sini 
https://www.dropbox.com/s/lukvsl50u4yo09d/Imam%20Makshum%20Urgensi%20%26%20 Wasiat%20Nabi%20Saww.pdf. Ini catatan Ustadz yang dicarikan. Afwan. 

Imam Makshum Urgensi & Wasiat Nabi Saww.pdf 
www.dropbox.com

Andi Zulfikar: Terimakasih jawabannya Ustadz, saya mengerti dan meyakini bahwa para Hujja- tullah yang diwarisi Kanjeng Nabi saaw adalah para Imam makshum as, tapi pertanyaanku adalah Khalifah/Hujjatullah sebelum Nabi saaw yang mewarisi kepemimpinan kepada Kanjeng Nabi saaw, sebagaimana Nabi mewarisi ke Imam Ali as,Imam Ali ke Imam Hasan as dan seterusnya. 

Sinar Agama: Andi: Saya nukilkan kata-kata imam Ali as di Nahju al-Balaghah, kalimat-kalimat pendek, no: 147: 

“Demi Allah, benar, bumi ini tidak pernah sepi dari seorang yang merupakan hujjah/dalil Allah, baik dia itu terang-terangan dan terkenal atau takut dan tersembunyi supaya dalil-dalil kebenaran Allah tidak menjadi sirna.” 

Dengan demikian, maka bisa saja mereka itu dikenal oleh semua orang seperti para Nabi as dan para Washi mereka, atau tidak dikenalkan Tuhan secara terang-terangan. Karena itu, Nabi saww hanya menyebut bahwa nabi-nabi Tuhan itu berjumlah 124.000 orang, tapi tidak menyebutkan semua nama-nama mereka as. Dan, mungkin karena hal-hal yang hanya Tuhan yang tahu, Nabi saww dan para imam makshum as, tidak terlalu mengungkit tentang mereka secara terbuka dan terperinci. 

Kemarin saya ada menjawab beberapa masalah yang diisykalkan (diragukan/disangkal) oleh saudara-saudara Sunni tentang kenabian ayah-ayah Nabi saww sampai kepada nabi Adam as. Berikut ini cuplikannya: 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih tag-an-nya. Sekedar menyumbang sedikit saja dan mungkin tidak bisa menjenguk lagi ke sini. Allah berfirman dalam QS: 26: 219:

وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ

“Dan perubahanmu -Muhammad- di dalam orang-orang yang bersujud.” 

Ayat ini ditafsirkan di Sunni dengan dua tafsiran: 

1- Bahwa Tuhan melihat perubahan atau gerak gerik Nabi saww itu di antara para orang-orang yang bersujud atau shalat.

2- Bahwa Nabi saww itu dicipta Tuhan melalui keturunan yang bersujud dan bahkan para nabi. Perkataan Suyuuthi dalam tafsirnya al-Durru al-Mantsuur dalam menafsirkan ayat ini: 


Dan dikelurkan oleh Ibnu Abi ‘Umar al ‘Adanii dalam Musnadnya, dan al Bazzaar dan Ibnu Abi Haatim dan al Thabraanii dan Ibnu Murdawaih dan al-Baihaqi di kitabnya, al Dalaa il dan Mujaahi, tentang ayat (Dan perubahanmu -Muhammad- di antara orang-orang yang bersujud) berkata: Dari nabi ke nabi hingga keluarnya kanjeng Nabi saww. 

Lihat tafsir Ibnu Katsiir ini: 



Diriwayatkan oleh al Bazzaar dan Ibnu Abi Haatim, dengan dua jalur, dari Ibnu ‘Abbaas, bahwasannya ia berkata tentang ayat ini: ‘Maksudnya adalah perubahannya -Nabi saww- dari sulbi nabi ke sulbi nabi hingga keluarnya beliau -Nabi saww- sebagai nabi. 

Lihat tafsir Qurthubi ini: 

FirmanNya swt (dan perubahanmu -Muhammad- dalam orang-orang yang bersujud), berkata Mujaahid dan Qutaadah: ‘Di antara orang-orang yang shalat.’ Dan berkata Ibnu ‘Abbas: ‘Yakni -perpindahannya- dalam sulbi-sulbi para ayah, Adam dan Nuh dan Ibrahim hingga keluarnya beliau -Nabi saww- sebagai nabi.’ 

Lihat tafsir al-Qusyairi berikut ini tentang ayat tersebut: 


Dan dikatakan: Perpindahanmu -Muhammad- dalam sulbi-sulbi ayah-ayahmu yang muslim yang memiliki makrifah tentang Allah, maka mereka bersujud padaNya dan meninggalkan yang lainNya yang tidak mereka ketahui -sebagai Tuhan. 

Lihat tafsir Fathu al-Qadiir tentang ayat ini: 


“Dan dikatakan: Ia -Tuhan- melihatmu -Muhammad- dalam orang-orang yang bertauhid dari para Nabi ke Nabi yang lain hingga mengeluarkanmu -Muhammad- untuk umat ini.” 

Sedang hadits Nabi saww yang berbunyi: 


“Aku selalu diturunkan dari sulbi-sulbi yang suci dan rahim-rahim yang suci.” 

Bisa dilihat di berbagai kitab Sunni, seperti: Siiratu Zaini Dahlaan, 1/58; Tafsir Kabiir, 13/33; Tafsir Muniir, 19: 240; Tafsir Aluusi, 5/388; Tafsiir al-Bahru al-Mufiizh, 8/439; Tafsir Fakhru al Roozii, 6/337; Tafsir al-Manaar, 7/448; Tafsir Haqqi, 3/465; Tafsir Ruuhu alBayaan, 3/43; dan seterusnya dari kitab-kitab Sunni. 

Wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ