Sabtu, 08 September 2018

Mut’ah (Bgn 1)




TANGGAPAN ATAS CATATAN IFAL CIKMA (ustad catatan ini hanya ustad yang dapat melihatnya) 

Oleh Sinar Agama (ADA PESAN KHUSUSNYA) 
Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 20:46


Ifal Cikma:

Seputaran Mut’ah 
  • Sebenarnya tujuan Mutah apa dalam hal ini Nikah Mut’ah..?? 
  • Kalaupun hanya sebagai tameng agar terhindar Zina dengan penghalalan Mut’ah, terus apa bedanya dengan nikah Permanen..???
  • Dan kalaupun dengan alasan bahwa Islam tidak mengebiri sex/birahi terus menjadi bagian anggaplah sebagai bentuk kelonggaran agar tidak terbelenggu birahi maka bolehlah mela- kukan Mut’ah, di sisi lain ada salah satu hadits yang mengatakan yang kurang lebih bunyinya “.. barangsiapa yang belum mampu (menikah dalam hal ini nikah permanen), maka hendaklah ia berpuasa”.. 
Bukankah dengann demikian bahwa nafsu/syahwat telah menang dan mengambil peran dalam diri manusia, dan di sisi lain juga, bukankah manusia yang telah memperturut nafsunya adalah sama halnya dengan budak setan...???

Mengenai Syiah dan Al Quran 

Salah satu riwayat yang kurang lebih bunyinya “...Sungguh demi Allah kalian tidak akan melihatnya (Al Quran) setelah hari ini, Aku hanya memperlihatkannya (Al Quran) pada kalian setelah selesai kukumpulkan agar kalian membacanya..” 
  • Pertama yang kamu ingin ketahui adalah mengenai riwayat di atas, sahih atau tidaknya..? 
  • Kalaupun sahih (diakui syi’ah), terus yang selama ini yang dipakai syiah adalah Al Quran yang mana? 
Afwan wa syukran sebelum dan sesudahnya. 
nb_insya Allah bersambung..

Tanggapan-tanggapan 

Jjihad ‘Ali : Ifal .. pertanyaan ini (tentang Mut’ah) jangan tanyain sama aku, soalnya aku cuman mengikuti syariat, tanya yang bikin syariat. 

Makanya aku sering nanya dan ga ada yang bisa jawab : 

1. An-Nisa : 24 , itu ayat nikah apa ? 

2. Waktu dihalalkan Rasul dasar ayatnya apa ? 

3. Lalu dasar pengharamannya ayat apa ? 

Beda Nikah Mut’ah (berjangka) dengan Nikah Permanen, sudah terlihat dari segi Mahar : 

1. Daim Mahar diberikan di depan, mut’ah di belakang (setelah jangka waktu nikah selesai) 

2. Dalam Daim mahar bukan suatu kewajiban, dalam Mut’ah sebagai kewajiban. 

Kalau kamu nganggap Mut’ah itu Zina, sesungguhnya kamu sudah menuduh dengan tuduhan keji kepada Allah dan Rasul-Nya telah mengajarkan maksiat. Naudzubillah. 

Kalian ga paham maksud amirul Mukamuinin, beliau mengumpulkan al-Qur’an sekalian ayat itu turun dimana dan untuk siapa, penolakan dari ‘mereka’ adalah penolakan terhadap yang haq, kalo dipaksakan juga maka tidak berlaku ayat yang mengatakan ,”barang siapa hendak kafir kafirlah“. Dan kamu ga pernah belajar Ifal, 

Coba kamu belajar jawab itu pertanyaan, dan boleh kamu kumpulkan jin dan manusia untuk menjawabnya, supaya kamu sadar bahwa, kalau kamu ga bisa jawab berarti ada sesuatu yang salah dalam pahamanmu. 

Ifal Cikamua : Mungkin karena ada yang salah dengan pemahaman kami hingga kamu bertanya selain pada diri kamu dan mengenai note di atas ga ada’ paksaan ko untuk menjawabnya, siapapun yang berkenan menjawabnya kamu berterimakasih dan mengahargainya, tidak juga ga apa-apa... afwan. 

Jjihad ‘Ali : belajar menjawab Ifal, setelah itu kamu bertanya lagi. 

Fadh Ahmad: kawin mut’ah=zina. Sudah dimansukh hadistnya. 

Jjihad ‘Ali: Jawab pertanyaan ini sebelum kamu diajab Allah karena menuduh-Nya mengajarkan kemaksiatan. 

1. An-Nisa : 24 , itu ayat nikah apa ? 

2. Waktu dihalalkan Rasul dasar ayatnya apa ? 

3. Lalu dasar pengharamannya ayat apa ?

Sinar Agama: Bismillaah. Kalau tanya seperti ini, alias tidak memakai fitnah, maka saya akan berusaha menjawabnya. Saya baru tahu kalau ada pertanyaanmu ini. 

Jjihad ‘Ali : Silahkan, terimakasi. Sebutkan ringkas padat, sebagaimana pertanyaannya. 

Sinar Agama : Untuk tujuan syariat, atau filosofinya, maka ada dua kemungkinan untuk ini. 
Pertama syariat sendiri mengatakannya, 

ke dua tidak mengatakannya. Kalau mengatakannya, maka hal tersebut bisa dijadikan, seti- daknya, salah satu tujuan daripada syariat. Namun demikian, karena syariat itu mencakup semua hal, seperti diri sendiri, keluarga, sosial dan dunia-akhirat, biasanya, kalaulah syariat menyebutnya,maka dia akan menyebut salah satunya atau beberapa saja. 

Jadi, baik yang dikatakan oleh syariat itu sendiri tentang tujuan hukumnya, tetap saja akan ada sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh manusia. Hal ini akan lebih susah kalau syariat sendiri tidak menyebutkan tujuan hukumnya. Kalau hal itu terjadi, lalu apa yang semestinya dilakukan oleh seorang muslim? Yang harus dilakukan adalah, mencari tahu hukumnya secara jelas, artinya tidak menengok pada alasan hukumnya. Emangnya kita bisa tahu alasan psikologi, ruhi dan badani dan dunia-akhiratnya? Nah, tugas kita mencari tahu apa benar sesuatu itu halal atau tidak. Dan kalau terjadi beda pandang Antara sesama muslimin, maka tugas kita mencari yang lebih kuat, bukan yang lebih disuka. 

Jadi, harus pakai dalil agama, dan tidak boleh pakai perasaan. Karena kalau pakai perasaan, lalu salah, maka pasti tidak akan diampuni Tuhan, karena dalam ayat banyak sekali yang mengecam orang yang sok tahu tentang kehidupan ini. Beda halnya kalau kita sudah berusaha dengan dalil- dalil yang gamblang, kalau ternyata masih salah (biasanya sih kecil kemungkinan salahnya, kalau semua dalilnya sudah diadu dalam diskusi), maka pasti Allah mengampuninya, karena Dia sendiri mengatakan, bahwa barang siapa keluar dari rumahnya (kebohan, maksiat dan lain-lain) menuju Allah dan RasulNya, lalu mati di tengah jalan, maka pahalanya sudah dicatat (QS:4:100). 

Nah, kalau sudah ikhlash mencari ilmu, yakni tidak dicampuri perasaan dan kefanatikan, dan sudah berusaha untuk tidak miring kanan-kiri, selain dalil, tetapi ternyata masih salah juga, Tuhan bukan hanya akan mengampuni kita, tetapi akan mengganjar kita. 

Ini semua sebagai mukaddimah dari uraian yang akan aku berikan kemudian. Dan kalau kamu ingin tahu rincian mukaddimah ini, kamu bisa merujuk ke tulisanku yang sudah dikumpulkan oleh mbak Anggelia dengan judul Lensa 1-3, di sana juga ada masalah tentang perbedaan dan pluralisme barat yang berbahaya. Dan kamu akan tahu bagaimana cara menghadapi perbedaan itu.

Jjihad ‘Ali : Sinar Agama pertanyaannya jelas ga sih buat kamu, aku ulang ya 

1. An-Nisa : 24 , itu ayat nikah apa ? 
2. Waktu dihalalkan Rasul dasar ayatnya apa ? 
3. Lalu dasar pengharamannya ayat apa ?

Sinar Agama: Tujuan mut’ah: Yang tahu tujuan sebenarnya adalah Allah dan RasulNya saww. Kita sebagai insan yang sudah melihat dalil-dalil ayat dan hadits-haditsnya sebagaimana sudah saya tulis di jawaban terhadap 16 kesamaan mut’ah dan zina itu, maka tidak bisa tidak harus menerima kenyataan bahwa mut’ah itu halal. Saya tidak mau cerita lagi tentang dalilnya, silahkan rujuk ke tulisan yang kusebut itu. 


Jjihad ‘Ali : Sinar antum jawab aja itu pertanyaan ya, syukron... 

Sinar Agama: Setelah yakin terhadap kehalalannya, maka kita sebagai insan yang lemah, tidak diwajibkan oleh akal dan agama, untuk mengerti tujuan setiap hukum yang diberikan Islam. Namun demikian, karena Allah menyuruh kita merenungi alam dan agamaNya, maka kita dibolehkan untuk meraba-raba apa gerangan tujuan atau setidaknya, hikamah yang ada di dalam hukum-hukumNya itu. Tetapi ingat, hal demikian ini memiliki syarat, yakni tidak boleh sok tahu dan sok yakin terhadap temuannya, sekalipun, sepintas, sudah berusaha dengan dalil. 

Jjihad ‘Ali : Sinar Agama pertanyaannya jelas ga sih buat kamu, aku ulang ya 

1. An-Nisa : 24 , itu ayat nikah apa ? 
2. Waktu dihalalkan Rasul dasar ayatnya apa ? 
3. Lalu dasar pengharamannya ayat apa ? 

Kalo ga bisa jawab ga papa ko ?, aku punya 187 pertanyaan yang satupun belom kejawab, yang ada muter-muter kaya gangsing salam. 

Sinar Agama: Untuk mas jihad, ok ana paham. Ana akan teruskan menjawab si Ifal. 

Jjihad ‘Ali : Silahkan.

Sinar Agama: Ifal, ana teruskan. Jadi, jelas kita boleh meraba rahasia agama, tetapi hanya sekedar mencoba untuk mencari tahu apa gerangan hikmahnya, bukan untuk dipastikan, tetapi agar kita bisa lebih mensyukuriNya. Namun demikian, walau kita mencari tidak untuk dipastikan, tetapi harus tetap memakai dalil. 

Nah, kalau masalah hukum yang kita hadapi adalah politik, maka yang bisa membahasnya adalah orang-orang yang mahir tentang politik, begitu pula kalau tentang sosial, rumah tangga, kesehatan dan seterusnya. 

Jadi, sekalipun tidak untuk dipastikan, tetap saja tidak semua orang berhak membahas rahasia agama ini. Dengan demikian, maka kalau orang tidak belajar tinggi, kurang pendidikan,tidak punya kespesialisasian, maka kalau mengontari agama, bukan hanya tidak akan mencapai syukur tadi, tetapi akan membuat agama Islam ini direndahkan oleh manusia lain, dan kita akan menjadi orang yang sok tahu dan menjadi orang yang telah menghinakan agama kita sendiri dengan teriakan membelanya. Jadi, ikhlaslah disini, bukan perasaan hati saja, tetapi profesionalismenya juga menjadi wajib untuk dijaga dan diamalkan. 

Saya yang sudah 30 th-an belajar agama dan doktorku juga sudah lama kucapai dengan ijinNya yang itupun dalam bidang agama, serta hampir semua bidang agama sudah kupelajari, baik dari yang paling dasar seperti bahasa arab, lokiga, filsafat, irfan, tafsir, hadits, rijal dan seterusnya, Tetap Saja Tidak Akan Mampu Menguak Rahasia Hukum Tuhan Seperti Mut’ah Ini. Jadi, kalau-lah nanti kita membahas tentang tujuan mut’ah ini, tetap dalam koridor ketawadhuan, tidak boleh dengan mencak-mencak seperti orang yang sudah tahu banyak hal, padahal kalau disuruh tekun belajar, tidak mau belajar dengan rajin, tapi kalau menghadapi masalah-masalah sosial, langsung mau menjadi orang yang serba bisa. 

Rio Nakal: J@jihad : ente ini gimana toh, wong pertanyaan ente telah ane jawab dengan lengkap ketika ente tulis di status ente ...jangan belagak pilonlah ente ...hehehe...

Sinar Agama : Mut’ah itu bisa dilihat dari berbagai segi: 

1. Diri sendiri, 
2. Diri sendiri dan Tuhannya, 
3. Sosial dan dimensi-dimensi lainya. 

(1) Dilihat dari dimensi diri sendiri 

maka kita dapat melihat bahwa manusia memiliki banyak unsur di dalam dirinya. Secara global adalah badani dan ruhani. Pada masing-masing unsur global ini ia memiliki cetakan awal yang biasa dikenal dengan fitrah penciptaan. Badan dan ruh yang sudah ditakar dengan fitrah ini, sudah tentu memiliki tuntutan atau konsekuensi.

Husni Okbah :1. An-Nisa : 24 , itu ayat nikah apa ? 

Istimta’ itu bukan nikah. 

2. Waktu dihalalkan Rasul dasar ayatnya apa ? 

3. Lalu dasar pengharamannya ayat apa ? 

Salah tanyanya sejak no.1 

Pernikahan yang diharamakaan itu sama saja zina.

Sinar Agama: Salah satu fitrah badan adalah nafsu sex (ruhnya akan dibahas kemudian). Nafsu sex ini, adalah sesuatu yang paling kuat yang ada pada manusia, yakni melebih kekuatan lainnya. Kalau nafsu ini sudah datang, maka dunia bisa terasa seperti gelap. Yakni, sebenarnya gelap, tetapi sering dipaksa menjadi terang. Nanti ditinjauan ruhiahnya akan menjadi lebih jelas. 

Mengapa Allah memberikan nafsu yang kuat ini kepada kita? Mungkin, karena khawatir tidak akan berlanjutnya kehidupan manusia, karena kalau nafsu ini lemah, maka ia tidak akan terlalu banyak peduli dengannya, dan akan lebih mementingkan makan-minum yang akhirnya kalau seseorang tidak benar-benar mampu tidak akan melakukan perkawinan dan/atau orang tersebut tidak akan berusaha untuk mampu agar nantinya melakukan perkawinan yang penuh dengan tanggung jawab itu. 

Oleh karena itu, maka nafsu ini dibuat olehNya menjadi sangat kuat, supaya manusia dalam keadaan apapun miskinnya, tetap berusaha untuk melakukan kawin dan meneruskan keturunan. Nah, dengan adanya kekuatan yang mencekam ini, maka akan menjadi siksaan bagi manusia, manakala penyalurannya menjadi sangat sulit dan hampir mustahil bagi sebagian orang. 

Misalnya, orang yang untuk makan dirinya saja sudah susah apalagi menanggung orang lain dan anak, apalagi kalau kawinnya di Sulawesi yang harus pakai hantaran yang banyak he he he (gurau sikit), di sini jelas secara logika dan psikologi manapun serta agama, maka jalan keluarnya adalah tidak membolehkan kawin. Karena kawin, di samping tidak akan ada yang mau padanya, juga akan membuatnya lebih berantakan dan akan masuk ke dalam kemaksiatan yang lain yang mungkin akan lebih parah, seperti membuang anak seperti di India dan lain-lain. 

Kamu mungkin mengatakan puasa. Sampai kapan puasa itu? Sampai akhir jaman dan mati? Apakah kamu bisa puasa terus, sambil kerja nguli/berat seperti bangunan dan lain-lain? Nabi saww itu bukan memberikan jalan satu-satunya dan selamanya. Sebab kalau diartikan satu- satunya dan selamanya, maka si miskin tadi akan terus puasa dan akhirnya tidak bisa kerja dan mati kelaparan karena tidak ada lagi yang bisa dia buat buka dan sahur. Nah, dari satu sisi nafsu dalam diri dibuat kuat olehNya, dari sisi lain dalam keadaan miskin yang tidak mungkin bisa mencipta rumah tangga, lalu puasa terus menerus juga tidak mungkin, dengan semua ini lalu apa jalan keluarnya? Ingat ini hanya satu dimensi kecil dari hikmah mut’ah ini, oleh karenanya jangan kamu katakan bahwa yang boleh mut’ah hanya yang dalam keadaan demikian. Btw tidak bisa diterangkan semua, sebagianpun jadi. 

Sri Fathimah: hm...luar biasa makasih atas infonya pak Sinar. 

Husni Okbah: Naluri seks memang perlu pemenuhan tetapi tidak membuat pelakunya mati jika tidak dipenuhi. 

Sinar Agama : Nah, dengan penjelasan di atas ini, kita sebagai diri, melihat pada diri ini, dengan kenyataan fitrah ini, maka sudah pasti ingin kelonggaran terhadap masalah yang kita hadapi ini. Dan sangatlah tidak masuk akal kalau dalam keadaan ini Agama meninggalkan kita, dan hanya berkata, “pokoknya puasa terus”. Ini sekelumit dari dimensi badaniahnya. Dan karena kepalaku sedang sakit sekali, saya akan teruskan kemudian untuk dimensi-dimensi lainnya. Tetapi kalau dalam beberapa saat setelah ini membaik, maka mungkin saya akan teruskan. Walhasil saya tidak akan komentari siapapun dulu kecuali hanya menjawab saudara Ifal, jadi yang ikutan baca, tolong sambungkan secara lempeng atau langsung dengan tulisan-tulisan terdahulu sebagai satu tulisan, begitu pula tulisan yang akan datang, insya Allah. 

Husni Okbah : Naluri seks/ ghorizah an-nau’ jika tidak dipenuhi menimbulkan gelisah. Berbeda dengan hajatul adawiyyah/kebutuhan fisik karena terkait internal tubuh.

Sinar Agama : Aku sudah kembali lagi, semoga tidak cenut-cenut lagi kepalaku. 

Ini masih jawabanku untuk Ifal, bagi yang masih dalam keadaan bahas dalil mut’ah silahkan baca tulisanku hari ini tentang Jawaban terhadap 16 persamaan mut’ah dengan zina. Karena di sini ini sudah peringkat ke dua, yakni yang sudah yakin dengan kebenaran hukumnya, sekalipun hanya sebagai kayakinan ilmu, belum hati. 

Nah, ketika keadaan diri seperti ini, yakni memiliki tekanan batin yang seperti itu, maka sudah selayaknya ada jalan keluar yang sebagai keterpaksaan, walau tidak terlalu ideal. Hal itu karena kemampuan manusia atau diri ini, sangat berbeda satu sama lain. Orang yang tidak biasa berfikir jilimet, cermat dan panjang, alias sering berfikir praktis-praktisan maka pasti tidak akan dapat memahami hal-hal yang dalam dan pelik dalam agama. 

Nah, ketika diri kita memiliki tekanan yang berat dengan nafsu ini, di lain pihak tidak memiliki kemampuan untuk kawin permanen, maka sangat tidak mungkin untuk memenjarakannya seumur hidup atau puasa seumur hidup. Kita tidak bisa berkata bahwa kalau tidak menyalurkannya, tidak akan mati karena yang timbul hanya gelisah. Perkataan seperti ini, muncul dari orang yang merasa sudah menjadi tuhan. Yakni kalau dia tuhan, maka akan berkata begitu. Tetapi Tuhan yang Maha Bijak, berfirman lain. Oleh karena itu dikatakan dalam riwayat bahwa shalatnya orang yang sudah kawin (permanen atau mut’ah) memiliki pahala yang jauh di atas yang belum kawin. 

Saya belum mau masuk ke dalam pembahasan ruhaniyahnya, karena kita masih di pembahasan badaniahnya. Dengan kenyataan-kenyataan tadi, dapat dipahami mengapa di hadits-hadits shahih Muslim seperti yang sudah saya nukil dalam jabawan terhadap 16 kesamaan mut’ah dengan zina itu, bahwa dalam riwayat itu dikatakan bahwa shahabat Nabi saww melakukan mut’ah beberapa hari hanya dengan maskawin segenggam kurma. Bagi yang punya basyirah, maka dimensi ini, yakni dimensi yang kita bahas sekarang ini, sagatlah jelas terhadap hikmah yang terkandung di dalamnya. 

Shalatnya orang gelisah bagaimana bisa menjadi kabul, syukur kalau dia tidak protes kepada Tuhan terhadap kemiskinannya atau hal-hal lainnya. Dan kalau shalat seseorang sudah tidak kabul, bagaimana shalatnya bisa mencegah dari perbuatan mungkar? Dan kalau sudah tidak 

terkendali dari kemungkaran, maka sudah bisa dipastikan bahwa dia tinggal tunggu mati untuk kemudian masuk neraka. Nah, diri seperti ini layak mengeluh dan protes terhadap ketidak adilan kehidupannya. Kemungkaran itu tidak harus berupa kemungkaran yang sangat besar, tetapi semacam onani (maaf) saja sudah cukup besar. 

Ini, akibat dari penentangan terhadap hukum Tuhan hingga sebagian ulama selain syi’ah mem- bolehkan pekerjaan tersebut, sementara menurut Islam yang dibawa keluarga Nabi saww, pelakunya bukan hanya telah melakukan dosa, tetapi harus dihukum cambuk dengan ukuran yang disesuaikan dengan keadaan pelaku. Tentu kalau terbukti dengan saksi-saksi. 

Dengan bahasan shalat di atas, maka dimensi ruhiyah mut’ah dilihat dari Diri Sendiri, sudah mulai terbahas. Antum tahu, mengapa di sunni selain Nabi saww tidak bisa maksum? Dan selalu berkata bahwa insan tempat salah dan dosa? Sementara di syi’ah semua orang wajib maksum, karenanya syariat sudah diturunkan dan sudah pasti sesuai kemampuan manusia dimana kalau manusia mesti berdosa berarti agama ini di atas kemampuan manusia dan itu berarti Allah kejam dan bohong karena Dia sudah berfirman bahwa tidak akan menurunkan perintah kecuali sesuai kemamuan manusia? Mengapa ada budaya yang sama-sama mengaku Islam tetapi sangat mencolok perbedaannya dalam menata peradaban manusia muslim? 

Hal itu bisa ditinjau dari jutaan sisi. Satu diantaranya karena bagi yang sunni dosa dan salah itu sangat bisa ditolerir. Tetapi di syi’ah sebaliknya. Terus dari mana semangat yang muncul di syi’ah? Muncul dari kesadaran bahwa kita tidak lebih tahu dari Tuhan. Mungkin antum akan mengatakan bahwa orang sunni juga bahwa mereka tidak ada yang mengaku melebihi Tuhan. Itu benar. Akan tetapi dalam praktik nilainya, mereka lebih mengedepankan perasaan dari konsep Islamis argumentatif. Artinya, sering suka dulu, cocok dulu baru mendukung dan mencari dalilnya, atau sering benci dulu baru kemudian mencari dalilnya. 

Sisi lainnya karena dengan mengikuti argumen gamblang itu, maka syi’ah menjadi sangat mudah menerima kemakshuman dan apalagi memang disuruh mengikuti imam makshum serta dilarang Tuhan mengikuti orang yang punya dosa (QS:76:24), sedang di sunni dari awal sudah mengikuti orang yang sering membantah Nabi saww meninggalkan Nabi saww dalam perang dan sebagainya. 

Bayangkan saja di Bukhari dan Muslim dan lain-lainnya diriwayatkan bahwa pada hari kamis terakhir Rasul saww, beliau saw meminta kertas dan pena supaya didiktekan wasiat-wasiat terakhir beliau saww, tetapi Umar dan beberapa shahabat lainnya tega mengatakan bahwa beliau sudah mengigau atau ngelantur (Bukhari hadits no 3053,3168; Muslim 3089,3090,4319,4321 dan lain-lain). Saya tidak mau mengungkit hal-hal yang menjerumuskan kita ke dalam perpecahan, tetapi hanya ingin mengatakan bahwa dari mana munculnya budaya atau asal budaya Islam yang berbeda itu. 

Jadi, di sunni, orangnya, tokohnya, panutannya dan seterusnya semua tidak maksum dan Islamnya juga diestafet dari orang-oran yang tidak maksum itu, maka budaya bahwa manusia itu tempat salah dan dosa atau mustahil mencapai maksum, menjadi sangat mudah terpondasikan, apalagi sudah belasan abad, ya’ semakin susah dientas. Mereka tidak sadar bahwa dengan keyakinannya itu, berarti shiratulmustaqim yang tidak memiliki kesalahan sedikitpun karena wa laa al-dhaalliin yakni tidak tersesat, tidak mungkin terwujud, dan tidak mungkin diminta dalam shalat/fatihah kepadaNya. 

Tetapi memang mengherankan, bahwa mereka tidak lupa ngafirin dan nyesatin orang lain dan madzhab lain. Lah’, ini kan kontras sekali, karena di satu sisi tidak ada maksum yang berarti tidak 

ada jalan lurus yang berarti mereka tidak di jalan lurus, tetapi di lain pihak mereka nyesati dan ngafirin orang lain. Kalau mau dipikir, berarti yang mereka sesatin itu benar, karena penyesatannya muncul dari yang tidak berada di jalan lurus. 

Kembali kepada masalah kita. Nah, Islam dalam syi’ah melihat, bahwa dosa adalah suatu hal yang buruk dan wajib ditinggalkan dan mampu ditinggalkan, beda dengan sunni yang mengatakan wajib ditinggalkan tapi mustahil ditinggalakan karena tidak mungkin mampu, maka dalam Islam masalah dosa ini dianggap penting. Artinya harus dipersiapkan supaya manusia ini tidak maksiat. Dan karena semua kembali pada individu, maka sudah jelas bahwa Diri Manusia ini harus dibekali dengan bekal yang bagus dan cukup. 

Nah, kegelisahan yang muncul akibat tidak tersalurkannya nafsu sex dan kegelisahan yang muncul dari keputus asaannya karena tidak bakalan mampu menyalurkannya, akan membuat keadaan spiritualnya gelap gulita sekalipun dia paksa untuk terang dan tersenyum. Manusia yang biasa memiliki rasa malu dan gengsi, maka sudah pasti akan menyembunyikan kelemahan dan kegelisahan serta keputus asaannya itu. Tetapi batin dan kesendiriannya, dia bagaikan mayat hidup. Tatapannya kosong, tertawanya hanya bagai angin yang hanya dilancurkan manakala teman-temannya tertawa. 

Nah, ketika diri sudah seperti ini, maka kalau dia orang baik, tidak akan melahirkan kebejatan, dan kalau sebaliknya maka akan sebaliknya pula. Tetapi sekalipun tidak melahirkan kebejatan bagi yang pertama itu, tetapi sangat tidak menutup kemungkinan bahwa dia akan hidup bagai mayat berjalan. Dan kalau kamu menjadi Tuhan yang Maha Kasih, sangat tidak mungkin membiarkan hamba yang kamu cipta ini tidur dalam jaga dan jaga dalam tidur. Kalau kamu biarkan maka betapa kamu seburuk-buruk Tuhan. Habis kamu sudah menciptakannya di rumah tangga yang miskin. 

Dengan demikian, maka sudah selayaknya si Diri ini mendapatkan penyaluran badani dan ruhi yang pantas walau itu merupakan ukuran minimal kemanusiaan, yang penting tidak jatuh ke dalam kebinatangan, seperti onani, pacaran, pergaulan bebas, pelacuran, apalagi terang-terangan dan meraja lela. 

Sungguh saya tidak habis pikir, mengapa orang yang jelas memiliki masyarakat yang sudah seperti jahannam ini, berteriak lantang menentang hukum Tuhan yang sungguh-sungguh bisa menjadi obat dari semua itu. Dengan mut’ah anak yang lahir akan ketahuan ayahnya, hingga tidak perlu dibuang dijalanan, dengan iddah penyakit tidak akan ada seperti yang sudah merajalela di tempat kita, dan setumpuk lagi hikmah-hikmah Ilahiyyah. 

Nah, salah satu illat syariatnya mut’ah ini adalah apa-apa yang tertera di perkataan imam Ali as dan Ibnu Abbas yang keduanya mengatakan bahwa kalau Umar tidak melarang mut’ah maka tidak akan ada orang berzina kecuali yang keterlaluan. Mengapa begitu, karena Tuhan yang Maha Pemurah telah memudahkanNya. Bayangkan saja di Muslim dikatakan bahwa para shahabat bermut’ah dengan hanya segenggam kurma. Dengan riwayat ini, dapat dipahami bahwa salah satu tujuan mut’ah adalah penyaluran yang wajar dan bertanggung jawab demi terhindarnya zina dan pergaulan bebas yang tidak bertanggung jawab 

Dengan kepala yang cenut-cenut, saya cukupkan sekian saja dari dimensi Diri Kita ini. Sekarang kita masuki dimensi 

(2) Diri Dan Tuhan 

Dengan uraian di atas dapat dipahami bahwa tanpa penyaluran yang wajar, maka manusia akan menjadi mayat berjalan, tertidur dalam jaga dan terjaga dalam tidur, menangis dalam suara dan 

begitu pula dalam kesunyian malam dan kesendiriannya, tangisan dimana tidak mungkin ada penyelesaiannya, karena begitu sangat mustahilnya sangat beratnya sangat mederitanya. Beda halnya kalau Allahnya memberikannya jalan yang lebih mudah. Mungkin masalah terhiitung sulit tapi terjangkau. Dengan segenggam kurma, atau tidak makan sekali, maka dia bisa menyelaraskan fitrah nafsunya dengan ucapan Bismillaah dan shalawat, dengan rasa syukur dan rahmat. 

Mungkin Anda bertanya, bagaimana kalau punya anak padahal dia miskin? Mestinya Anda tanya ke Nabi saww? Mungkin Anda bertanya apa ada? Jawabanya mudah sekali, mengapa tidak ada? Di Bukhari +/- ada 19 riwayat, dan di Muslim ada +/- 20-an riwayat yang menerangkan tetang ‘AZL atau ‘AZLUN, yakni menumpahkan mani di luar rahim. Bayangkan di antara riwayat-riwayat Bukhari dan Muslim itu ada yang seperti ini (+/-): “Ya rasulullah kami sudah tidak tahan lagi dengan cewek itu, tapi kami tidak ingin punya anak, apa bisa kami lakukan mut’ah tetapi ber’azl?” Yakni mengeluarkan mani di luar rahim, Rasul saww pun menjawab: “Mengapa kalian tidak bisa melakukannya, karena Allah Sang Pencipta telah menghalalkannya sampai hari qiamat????“ Hadits-hadits ‘Azl ini bisa dilihat di Bukhari hadits no 2229, 2542, 4138, 6603, 7409 dan di Muslim hadits no 2599, 2601, 2604, 3617, 3621. 

Tentu saja, Antum juga samakan mental pelaku mut’ah dengan pelaku pergaulan bebas kayak di negeri kita yang sudah meraja lela ini. Karena yang pertama tidak membawa hawa atau aura kebinatangan, beda dengan yang kedua. Yang pertama membwa aura ibadah, tanggung jawab, tetapi yang ke dua sebaliknya. Jadi, masyarakat yang melakukan mut’ah akan ada dalam naunangan Islam dan kemanusiaan, beda dengan yang ke dua. Kesejukan kelompok pertama, yang diiringi rasa malu dan kewibawaan, akan selalu merasa senang punya Tuhan yang namaNya Allah. Karena Dia Maha Kasih dan tidak main parang. 

Beda dengan tuhan yang lain yang main parang dan jahannam yang, kalau tidak puasa dan berzina karena tidak puasa akan menjahanamkannya dan yang memaksa puasa seumur hidupnya sampai mampu kawin permanen dan selalu berkata “Tidak boleh tanya, pokoknya begitu”. Kalau ada tuhan seperti ini, maka bisa dipastikan bahwa dia adalah tuhan yang sadis, dan semaunya sendiri, yang selalu main power, yang tidak memberikan jalan keluar secara ilmiah dan pelaksanaan peradabannya. 

Denga tersentuhnya masyarakat atau sosial masyarakat dalam dimensi 2 itu maka dimensi 3-pun sudah tersentuh pula. Yakni masyarakat yang batin perindividunya tertekan tidak akan aneh kalau sekitar 25 tahun lalu di Yogya ada angket kumpul kebo dimana kalau tidak salah di antara lima cewek, 3 diantaranya sudah tidak gadis (saya dulu baca di Tempo sudah lupa angkanya). Bayangin saja, itu baru yang ngaku, dan itu baru yang bergaul sampai zina, lah’, yang tidak ngaku? Yang sampai ke tingkat pegangan, ciuman dan seterusnya? Bayangkan saja wanita yang sudah dipegang lelaki, maka seluruh nilai badaniah dan ruhaniahnya menjadi tercemar. Dia akan menjadi penipu bagi suaminya kelak, dia sudah menjadi wanita murahan yang tidak menjaga kesucian badannya, apalagi sampai dicium dan dipegangi sana-sini. Na’udzu billahhi mindzalik. Lah’, di negeri kita ini yang namanya pacaran tidak masalah, orang tua juga tidak protes. Nah, ini kan keanehan di atas keanehan? Sudah begitu masih sok suci dan memprotes hukum Tuhan yang ada di Qur'an Bukhari Muslim, lihat jawabanku pada 16 kesamaan mut’an dengan zina. 

Nabi saww bersabda kalau ada orang mendengar bahwa di ujung barat ada orang membunuh tanpa kebenaran dan dia rela, maka dia akan mendapat dosanya. Nah, sekarang ini kalau kita rela dengan kondisi masyarakat, kampus, sma atau smp dan bahkan sd, dari sisi pergaulannya yang tidak agamis, maka kita akan mendapat dosa semua maksiat-maksiat itu, na’udzu billah. 

Nah, terus kalau tidak rela, dengan apa kita menampakkan ketidakrelaan itu? Apa bisa hanya diam, dan tidak melakukan amar makruf dan nahi mungkar? Beda kalau yang dewasanya sudah bernafas agama, maka adik-adiknya juga akan terbawa ke maknawiat itu. Mut’ah yang dilakukan dengan akhlak, dan tanggung jawab, tidak beda dengan permanen, dan yang semacam ini tidak akan membuat adik-adiknya menjadi kehilangan arah. 

Apalagi dalam mut’ah harus ada ijin wali dan kalau tidak ijin sama dengan zina dan seterusnya. Jadi, masyarakat yang dibolehkan mengambil jalan pintas mut’ah jauh akan lebih baik dan menyejukkan ketimbang yang mengharamkannya tetapi membiarkan pergaualan bebas. Ingat pergaulan bebas dalam Islam bukan hanya yang kumpul kebo, tetapi yang pacaran juga pergaulan bebas, yang jalan ke sana ke mari bersama yang bukan muhrim juga pergaulan bebas, yang sebangku dengan bukan muhrim dan tidak pakai hijab juga pergaulan bebas. 

Bagaimana mungkin orang disuruh puasa terus, sementara teman sebangkunya tidak pakai hijab, bersolek dan berbau harum? Apakah jalan keluar Islam seperti itu? Jalan Islam adalah harus memisahkan mereka, perempuannya harus pakai hijab, tidak boleh berparfum dan bersolek di luar rumah. Nah, dalam keadaan begitu, kalau ada yang janda dan lelaki yang sudah tidak tahan, sekalipun sudah pergaulannya diIslamisasikan, maka sudah sewajarnya dia menyalurkannya dengan bijak dan terarah serta penuh tanggung jawab, dan sebagai rasa syukur kepada Tuhannya, seperti yang dikatakan Ibnu Abbas bahwa mut’ah itu tidak lain adalah rahmat dari Tuhan, lihat tulisanku tentang jabawaban terhadap 16 persamaan zina dengan mut’ah. 

Ifal dan yang lain: Hari ini aku kurang mut, jadi mungkin akan ada banyak salah tulis, dan mungkin irama argumennya seperti jurus mabok, tetapi semoga saja tidak begitu, karena sudah kuusahakan seperti jurus thai chi yang alami. Ok saya akan masuki jawab-an lainnya. 

Dengan selesainya sedikit sekali uraian tentang rabaan terhadap tujuan hukum mut’ah itu, maka saya akan menjawab yang ke dua, yakni beda mut’ah dari permanen. Memang kulihat ada jawaban terhadapnya tetapi tidak benar menurutku. Sebenarnya hampir tidak ada beda antara keduanya, kecuali 

(1) Mut’ah berjangka waktu dan permanen tidak. 

(2) Mut’ah tidak ada waris dan permanen ada. 

Dan mengapanya sudah saya terangkan di tulisan saya yang berjudul Jawaban terhadap 16 kesamaan mut’ah dengan zina, yaitu bahwa pada hakikatnya di mut’ah adalah ada dimensi kontraknya. Karenanya dalam Qur'an dikatakan saling merelai/menyepakati. Jadi, akan jadi lucu kalau ada warisnya. 

(3) Dalam mut’ah tidak ada talaq da yang ada hanya penghibahan masa kontrak istri (sisa waktu), tetapi di permanen ada talaq yang artinya pelepasan tanggung jawab yang pernah diterimanya di waktu kawin. 

(4) Dalam mut’ah tidak ada wajib nafakah, yang ada hanya membayar UPAH/UJUR (QS:4:24), sudah dalam permanen ada wajib nafakah. Tentu saja maksud ujur dalam ayat itu, yakni upah, adalah maskawin. Tetapi Tuhan memakai kata ujur mungkin untuk memudahkan pemahaman bagi orang-orang yang kurang cerdas yang, apalagi merasa cerdas., supaya tidak ada keraguan di dalamnya bahwa kawin mut’ah itu ada sisi sewa menyewanya. 

(5) Iddah kawin mut’ah 2 kali haidh, dan permanen 3 kali bersih. Ini pada hakikatnya hampir sama, tetapi hampir saja. 

(6) Mut’ah tidak dibatasi jumlahnya, tetapi permanen hanya 4 istri. 
Calon istri dalam mut’ah bisa mensyarati dalam akadnya untuk tidak sampai ke tidur, tetapi dalam permanen tidak boleh mensyarati demikian. 

Itu yang kuingat sekarang, sedangkan dengan maskawin, dalam keduanya bisa dibayarkan kapan saja, asal direlai oleh perempuannya, tetapi kalau mut’ah bisa ditahan dulu, dimana kalau istrinya tidak melayaninya, maka bisa dikurangi sesuai kadar penolakannya itu. 

Qur'an syi’ah memang sama secara lahir dengan Qur'an sunni, tetapi beda secara batinnya atau persepsinya. Qur'an yang dipakai syi’ah dan disyahkan oleh Rasul saww dan para imam as, adalah Qur'an yang ada ini. Sedangkan Qur'an yang dibawa imam Mahdi as sekarang ini adalah yang ada pemaknaannya dari Rasul saww yang diberitahukan kepada para shahabat atau imam Ali as sendiri. Dan tentu saja jauh lebih besar, seperti layaknya kitab-kitab tafsir, sekalipun punya imam Ali as bukan tafsir karena pasti benar, tetapi pemaknaan.

Simanis Caem : Edannn...mengaku Sinar Agama ternyata penyair kelamin juga... analisis yang akhirnya menafikkan berbagai hadits dan atsar. Apa tidak cukup analisa ulama-ulama dulu?? 

Apa belum jelas keterangan para salaf?? Munculnya pemikiran sesat dikarenaakan agama berpatok... pada alam pemikirannya sendiri. Kalau analisis sosial.. tinggal survey aja dampak apa yang ditimbulkan dari nikah mut’ah yang telah diharamakaan ini? Manfaat/mudhorot? 

Satu pertanyaan. Setelah imam Ali kwh berkuasa, apakah lantas beliau membolehkan mut’ah?

Sinar Agama : Sedang bedanya adalah, Qur'an ini di pandangan syi’ah adalah kumpulan Allah sendiri yang dibimbingkan kepada Nabi saww, karena selainNya tidak berhak mengumpulkannya QS:75:17, tetapi kalau di sunni ianya adalah kumpulan tim yang dipimpin Utsman. Ke dua, Qur'an yang ada ini tidak memiliki tambahan ayat-ayat tetapi di sunni memiliki 112 ayat yaitu yang berupa Bismillaah di setiap surat selain Fatihah. Tetapi kalau menurut syi’ah semua Bismillaah yang ada adalah dari Tuhan dan ayat pertama setiap surat selain taubat yang tidak memiliki Bismillaah di depannya. Jadi, bagi orang Syi’ah tim Utsman itu hanya tim cetak ulang dan merapikannya dalam kertas yang seragam dimana sebelumnya bercampur antara pelepah kurma, kulit binatang, tulang dan semacamnya. 

Itu saja dulu semoga bisa bermanfaat, maaf kalau tulisannya tidak senyaman angin sepoi yang sendu, karena aku lagi sedang sakit kepala dan gusi bengkak, harap maklum, tetapi sudah kuusahakan sebaik mungkin mungkin. Selamat menyelami. 

Oh iya, maksud pengumpulan Qur'an itu adalan penyusunan surat-suratnya, dimana kalau di Sunni disusun tim Utsman tetapi kalau di Syi’ah oleh Allah Sendiri. 

@S-C: tulisanku di sini dan di jawaban terhadap 16 persamaan mut’ah dan zina, sudah terlalu cukup untuk menjawabmu. Tentang imam Ali as, maka beliau seperti Ibnu Abbas, Bintu Abu Bakar, Ibnu Umar dan seambrek lagi shahabat yang tidak pernah mengharamakaan mut’ah hingga perlu dihalakannya lagi. Halalnya Muhammad saww halal sampai hari qiamat. 

Husni Okbah : Akibat mut’ah: 

1. Lahirnya bayi tanpa status. 
2. menjadikan wanita sebagai single parent. 
3. Mengakibatkan terjangkitnya berbagai penyakit jenis kelamin akibat gonta ganti pasangan. 
4. Lahirnya kebebasan seksual yang luar biasa. 
5. Merendahkan status wanita karena mirip pelacur. 
6. Membinasakan keturunan / merusak silsilah. 
7. Merusak keutuhan keluarga, masyarakat dan Negara. 
8. Hilangnya tanggung jawab suami sebagai pencari nafkah, istri sebagai ibu rumah tangga. 
9. Anak dan ibunya hidup menderita, melarat dan minder. 
10. Munculnya disorder child, atau anak yang kehilangan jati diri. 
11. Merebaknya keinginan masyarakat untuk tidak terikat perkawinan sehingga mereka meng- hendaki mut’ah tanpa ikatan dan tanggung jawab lainnya. 
12. Melahirkan lost generation/ generasi yang hilang. 
13. Rusaknya tatanan dan rentannya stabilitas masyarakat. 
14. Timbulnya anomali-anomali/keanehan-keanehan pada keluarga, masyarakat dan lain-lain. 
15. Merebaknya kebodohan, tindak asusila lainnya. 
16. Dan berbagai efek mengerikan lainnya. 

‘Ali Stany Al-Kadhimi : Kommen Husni di atas adalah salah satu contohnya orang yang suka berghibah ^_^ 

Berbicara dan komentar tanpa yang ia sendiri ketahui dasar-dasarnya ^_^ 

Pantas saja negara ini makin ancur dengan merajalelanya orang kek Husni Okbah.^_^ 

Dhehyd Al Insanjisimmitsalarwah Nuurdzatahad : Diharamakaan Mut’ah karena menghilang- kan hak-hak wanita, mengacaukan nasab, menimbulkan fitnah dan sengketa. 

‘Ali Stany Al-Kadhimi : Anak hasil mut’ah tetap ikut nasab sang ayah, karena mut’ah tetap mempunyai masa ‘iddah,,, Secara medis pun dapat dibuktikan masa ‘iddah mut’ah tetap dapat membersihkan sperma-sperma di dalam rahim si ibu, bila si ayah tak percaya bahwa anak itu adalah dari dirinya, tes genetika saja,,, 

Anak hasil mut’ah hak asuhnya pun hak sang ayah, bukan sang ibu... Ketika si ayah ingin anak disusui oleh ibunya, maka sang ayah pun harus membayar sejumlah biaya susuan..... Ya jika memang dapat menimbulkan fitnah di suatu wilayah, mut’ah pun dapat menjadi haram di wilayah tersebut.... Tetapi paling tidak mut’ah sangat jauh lebih baik ketimbang pacaran. 

Sri Fathimah: hm begitu ya?? 

‘Ali Stany Al-Kadhimi : Banyak sekali syarat-syarat untuk melakukan mut’ah agar mut’ah tersebut tidak dapat menjadi fitnah..... 

Husni Okbah : Enaknya diambil tanggung jawab gak mau seperti maling aja. 

‘Ali Stany Al-Kadhimi : berarti yang salah usernya yaitu dalam menerapkan hukum mut’ah, bukan mut’ah itu sendiri.... 

Sri Fathimah : hm...makasih ya kakak-kakak, bertambah ilmu saya sedikit, tentang Mut’ah. 

‘Ali Stany Al-Kadhimi : Dan kehalalan mut’ah haruslah atas keyakinan full atas semua pihak (laki- laki maupun perempuan dan para saksi adil, termasuk wali perempuan jika yang di mut’ah masih gadis), karena jika 1 pihak saja yang meyakini secara full maka hukumnya Zina bukan Mut’ah.... 

Siapa bilang Mut’ah itu semudah membayar PSK di lokalisasi? 

Husni Okbah : Agar tidak terkena gonorchea, AIDS, dan lain-lain juga gonta ganti pasangan dengan mut’ah. 

Misal nih si fat mut’ah dengan si ale dengan akad 5 jam dengan biaya 150000 dibayar setelah 5 jam. Lalu si fat hamil, dan si ale dah kabur. Mana cukup 150000 buat biaya hamil 9 bulan, menyusui. Sudah begitu si fat jadi single parent, katakanlah dia bernasab dengan... si ale. Tetapi apakah bayi yang dilahirkan dapat waris dari si ale? 

Yang gila tu si fat kenapa dia kalo gadis mau dibayar 150000 yang sangat berpotensi hamil? Belom lagi konflik saat si ale gak terima kalo namanya dicatut si anak.

Sinar Agama : Okbah: Tulisanku yang berjudul Jawaban Terhadap Kesamaan Mut’ah dan Zina, dan yang di koment ini, maka sudah terlalu cukup bagimu yang hanya bisa berteriak-teriak mengumpat orang di dalam lumpur pada kamunya di dalam lumpur. 

Kamu tahu, di Iran, kumpulnya anak anak perempuan dan lelaki itu hanya di TK. Di SD sudah dipisah, nanti baru berkumpul lagi setelah di universitas dimana sudah dibekali ilmu agama dan peradaban prakteknya dari kecil sampai SMA. Dan di kampus mereka dirangsang untuk kawin daim, karena dalam Islam semakin melebihi 20 tahun semakin hilang berkahnya. Tiap tahun puluhan ribu yang kawin masal, dibiayai pemerintah, dibantu uang sewa rumah (bagi yang belum punya rumah) atau kredit rumah, alat-alat rumahnya, dan kuliahnya juga dibayar, asuransi semua rakyatnya lengkap, dan kalau punya anak langsung dibuatkan tabungan oleh pemerintah yang isinya sekitar 10 jt Rp, dan tiap tahun ditambah sekitar 1 juta, dan baru bisa diambil nanti kalau sudah umur 18 tahun dimana orang tuanya tidak berhak ngambil.... semua wanitanya harus pakai hijab, tidak ada minuman alkohol, film yang pegangan tangan saja disensor sekalipun film luar negeri, TV kalau waktu shalat semuanya menyetel shalat jamaah dan semilyard fadhilah lainnya yang buat kamu tidak mungkin terbayang sedikitpun juga. 

Nah, dalam keadaan seperti ini kamu masih mau berteriak? Apa yang kamu teriakkan itu? 

Husni Okbah : Anda bicara tentang kebijakan Iran apa bicara tentang mut’ah? 

Ifal Cikamua : Sinar Agama@ syukran tas masukannya akhi, mungkin karena ketajaman pola pandang kami yang mungkin rendah hingga yang kamu tangkap dari paparan yang akhi tuangkan berkaitan mut’ah adalahah “ Mutah adalahh tak lain hanya sebagai media untuk menyalurkan nafsu dalam hal ini sex/birahi andaikan itu tak tertahankan...?? Afwan. 

Husni Okbah : Kalau anda ingin berbicara tentang kebijakan pemerintah Iran, pemerintah dalam hal ini menghindari kekacauan komunal maka jelas mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna mengibarkan mut’ah sebagai icon syi’ah yang syarat dengan dampak buruk yang dilahirkannya. 

Ifal Cikamua : Sinar Agama @ kalaupun demikaian bukankah itu (nafsu) selah satu tantangan/ ujian-Nya..?? Dan bukankah musuh yang sebenar-benarnya musuh adalah nafsu qita sendiri..??

Sinar Agama : Ifal, nafsu itu memang ujian, tetapi apa tidak ada kelulusannya? Emangnya menaggapi musuh harus perang terus? Kan bisa damai, bisa perang, dan bisa saling tolong menghadapi musuh ketiga. Nah, kalau masih mampu menenangkan diri, itu tandanya masih bisa kompromi, artinya dalam keadaan menang perang. Tetapi kalau tidak mampu menahan, tetapi tidak mampu menyediakan walau segenggam kurma, maka kala itu harus perang. Tetapi kalau tidak mampu menahan diri, dan takut jatuh ke dalam fitnah (yakni dosa) dengan kurma banyak di tangannya, maka Islampun menyediakan jalannya. Tetapi ingat, mulailah berfikir tentang mut’ah ini setelah kamu tidak lagi bisa membantah dalil-dalil agamanya? Tetapi kalau kamu belum melakukan itu, yah,’ biar berbuih kayak apa mulut kita menjelaskan, atau biar tangan ini sampai kram menulisnya, maka hal itu tidak ada gunanya. 

Kata seorang guru, kalau seseorang itu tidak mau nasihat, biar malaikat Jibril as yang datang, tetap tidak mau. Kamu tahu kan di hadits-hadits yang kutulis di Jawaban Terhadap Kesamaan Mut’ah dengan Zina itu, dimana shahabat Utsman pun walau menaati Nabi saww, tetapi karena beda dengan yang di jaman jahiliyyah tentang mut’ah ini, maka ia melakukannya sambil ketakutan. 

Nah, jadi ada yang tidak mau terima, maka Nabipun saww tidak akan dapat berbuat banyak, ada yang mau terima tetapi terpaksa makanya masih ada rasa takut dalam menaati Nabi saww, tetapi ada pula yang percaya penuh kepada Nabi saww dengan jalurnya yang sudah tidak bisa dibantah, maka hanya orang-orang seperti inilah dan masyarakat seperti inilah yang akan selamat. Ana tadi ngasih contoh Iran itu, karena di syi’ah kan mut’ah halal, lalu kalian berteriak-teriak tentang kebejatannya sampai melupakan kebejatan kaum sendiri, padahal Iran adalah surga dunia yang dirahmati Allah sekalipun selalu dalam tekanan kafir dan muslim yang mengikuti kafirin. 

Ifal@, dengan demikian buat apa musuh dibuat oleh Tuhan tetapi tidak bisa dikalahkannya? Buat oleh-oleh ke neraka? Kan tidak. Nah, penaklukannya itulah yang bisa dengan memeranginya manakala masih kuat dan/atau belum punya uang dan/atau belum ada wanita yang janda dan/ atau belum ada wali yang mengijinkan. Dan bisa pula dikalahkan dengan hukum yang telah disediakan Tuhan. Nah, apakah kita lebih pintar dariNya? Dan sok suci dari Nabi saww seperti Umar yang jelas-jelas mengatakan seperti itu di riwayat Bukhari/Muslim yang sudah saya nukil di tulisan jawaban, itu? Atau masih mending Utsman yang mengamalkan perintah Nabi saww sambil ketakutan karena takut salah pada Tuhan yang telah dijelaskan pada masa jahiliyyah? 

Itupun saya ikuti logika kamu yang mengatakan musuh, padahal nafsu itu sama sekali bukan musuh, tetapi rahmat dari Allah seperti yang sudah saya terangkan sebelumnya. Rahmat yang akhir, masak kita tega sama Tuhan mengatakan bahwa fitrah syahwat itu adalah musuh. Nah, dia akan jadi musuh manakala kita tidak mendengarkan syariat-syariatNya. Tetapi dianya tetap rahmat, cuma kitanya yang menjadikannya musuh, begitu. 

Saya punya usul sama semua pembaca budiman, bagaimana kalau kita angkat mas Okbah ini sebagai kepala bagian penghancur tempat pelacuran, pemberantas pacaran, pemberantas yang tidak pakai hijab, pemberantas toko-toko yang jual minuman keras, pemberantas sekolah-sekolah yang campur... dan seluruh kemaksiatan di sosial kita ini, ghimana setuju?

Dhehyd Al Insanjisimmitsalarwah Nuurdzatahad: Mut’ah menjadikan dan memperbanyak wanita-wanita yang durhaka, karena tanpa wali. 

Husni Okbah : KESAMAAN MUT’AH ALA SPESIES SYIAH AME ZINA. 

Dikutip dr buku Mengapa Syiah Harus diluruskan karangan Mohammad Hasan penerbit Pustaka dar el-Aman, halaman 47-46. 

1. Mut’ah dilakukan tanpa saksi, demikian pula zina. 
2. Mut’ah dilakukan tanpa wali, begitu juga zina. 
3. Mut’ah dilakukan dengan uang sewaan dan waktunya sesuai perjanjian, sama dengann zina. 
4. Mut’ah tidak didasari keinginan untuk membina rumah tangga yang langgeng, sama dengan zina. 
5. Dalam mut’ah tidak ada talak, perceraian terjadi sesuai dengann waktu yang telah disepakati, zina juga demikian. 
6. Wanita yang dimut’ah layaknya barang sewaan, pindah dari satu tangan ke tangan yang lain, sama halnya dengan wanita pezina. 
7. Antara wanita yang dimut’ah dan lelaki yang memut’ah tidak ada saling mewarisi, demikian halnya dengan zina. 
8. Anak yang dihasilkan dari nikah mut’ah kemungkinan besar akan terlantar dan tidak terurus, demikian pula dengann nasib anak zina. 
9. Nikah mut’ah tidak mengenal apakah si wanita punya suami atau tidak, tidak mengenal apakah si wanita sudah cukup umur atau masih belum, demikian juga dengann zina. 
10. Di dalam mut’ah diperbolehkan menikah sebanyak-banyaknya, walau dengan 100 wanita, begitu pula dengan zina. 
11. Mut’ah memperbolehkan nikah dengann wanita mahram (yang haram dinikahi), sama dengan zina. 
12. Dalam mut’ah diperbolehkan me-wathi (mendatangi atau menggauli) isteri dari dubur (annus), sama dengann zina. 
13. Dalam mut’ah diperbolehkan me-wathi’ isteri yang sedang haid, begitu pula zina. 
14. Zina dilarang oleh Sayyidina Ali, sebagaimana beliau juga melarang mut’ah. 
15. Zina dilarang oleh Sayyidna Ja’far Shodiq, begitu pula beliau dengan tegas melarang mut’ah. 

Ber-MUT’AH berarti ber-ZINA. 

AnZi Ahmad : Sempurnakan pengetahuan tentang mutah maka akan gamblang perbedaan dengan zina, bahkan dalam Bukhori edisi inggris, mutah diartikan dengan temporarly marriage (pernikahan sementara). Ajaran aneh kalau sering membantah apa yang sudah disahihkan sendiri, mungkin bisa dibilang orang aneh. 

Husni Okbah : Naluri berbeda dengan kebutuhan jasmani, walaupun keduanya sama-sama merupakan potensi dinamis yang sama-sama fitri adanya. Kebutuhan jasmani menuntut suatu pemuasan secara pasti, yang jika tidak terpenuhi manusia akan mati. Berbeda dengan naluri yang menuntut pemuasan, yang bila tidak terpenuhi dia akan mengalami kegelisahan, tetapi tidak mati, bahkan tetap hidup. Seorang manusia jika tidak makan atau buang hajat, cepat atau lambat pasti akan mati. Akan tetapi, jika tidak memenuhi kebutuhan nalurinya, ia tidak akan mati. Misalnya jika ia tidak “berkumpul” dengan wanita, atau tidak terpenuhi kebutuhan/naluri seksualnya, ia tidak akan mati. Sebab naluri manusia memang tidak mengharuskan (menuntut) pemuasan. 

Di samping itu, tuntutan pemuasan kebutuhan jasmani bersifat internal, yakni muncul dari dalam diri manusia itu sendiri, meskipun kadang-kadang dorongan pemuasan itu dipengaruhi oleh suatu rangsangan dari luar. Berbeda halnya dengan naluri manusia, yang sama sekali tidak bergerak secara internal untuk memenuhi kebutuhannya. Maka tidak akan muncul perasaan untuk memuaskan kebutuhan naluriah, kecuali jika ada rangsangan dari luar. Jika rangsangan itu muncul dari luar, maka naluri terpengaruh, kemudian muncul perasaan yang menuntut adanya pemuasan. Sebaliknya, jika rangsangan itu tidak ada yang membangkitkan, maka ia akan tetap terpendam, dan tidak akan muncul suatu perasaan untuk mencari pemuasan kebutuhan bagi naluri. 

Lapar misalnya, secara alami muncul dari dalam diri manusia, dan tidak membutuhkan rangsangan dari luar. Munculnya rasa (lapar) yang membutuhkan pemenuhan itu berasal dari dalam diri manusia. Ia akan merasa lapar, sekalipun tidak ada pengaruh dari luar. Akan halnya pengaruh luar dapat juga membangkitkan rasa lapar, misalnya makanan lezat yang dapat “meneteskan air liur” atau cerita-cerita tentang makanan semacam itu, akan dapat berpengaruh terhadap bang- kitnya rasa lapar. 

Berbeda halnya dengan keinginan seksual, yang sama sekali tidak akan muncul secara alami dalam diri manusia, melainkan membutuhkan suatu rangsangan dari luar yang dapat membangkitkannya. Oleh karena itu perasaan yang menuntut suatu pemuasan kebutuhan naluriah, tidak akan bangkit dari dalam diri manusia itu sendiri, dan ia tidak akan merasakannya selama tidak ada rangsangan dari luar yang membangkitkannya, misalnya dorongan biologis untuk “berhubungan” dengan lawan jenis, atau perasaan apapun yang berkaitan dengan hal itu, tidak akan muncul dalam diri seseorang, kecuali jika ia menyaksikan suatu fakta, mendengar cerita-cerita tentang fakta tersebut, atau dalam dirinya telah muncul berbagai bayangan yang membentuk persepsi tertentu, sehingga semua itu dapat berpengaruh terhadap suatu perasaan atau hasrat tersebut. Selama belum terdapat kenyataan/pemikiran, perasaan seks tersebut tidak akan muncul. 

Oleh karena itu, sebenarnya bukan keberadaan naluri dalam diri manusia yang menimbulkan kegelisahan. Tetapi, dampak perasaan yang menuntut pemuasan itulah yang menyebabkan munculnya kegelisahan. Maka apabila tidak muncul suatu perasaan yan menuntut kebutuhan, disebabkan tidak adanya suatu rangsangan dari luar, tentu tidak terjadi suatu kegelisahan sama sekali. Dengan demikian tidak akan terjadi suatu kegelisahan dalam diri manusia, akibat tidak terpengaruhinya pemuasan kebutuhan seksual; dan tidak akan terjadi penindasan terhadap naluri manusia, jika tidak terwujud suatu kenyataan atau pemikiran yang dapat merangsang naluri tersebut. 

Islam telah memberi seperangkat pemahaman yang dapat mengatur kecenderungan seksual manusia, secara positip (bersifat dorongan, pent) dengan memberinya seperangkat aturan dalam urusan pernikahan dan segala sesuatu yang terpancar darinya. Islam juga berusaha mencegah dan menjauhkan manusia dari segala hal yang dapat membangkitkan perasaan seksualnya, sementara ia tidak mampu melampiaskan kebutuhannya; dan menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat menyebabkan dirinya tenggelam dalam kesibukan serta menghabiskan waktunya untuk memikirkan ataupun bergelimang dalam perbuatan-perbuatan pelampiasan kebutuhan seksualnya yang timbul dari naluri mengembangkan dan melestarikan jenis. 

Bodoh sekali orang yang menganggap naluri sex tidak muncul dari dalam diri sndiri. Bukankah naluri itu sifatnya fitriah? Yang artinya itu terpatri/terikat dalam diri. Bukankah usia baligh adalah tanda naluri biologis? 

Anzi : Ternyata gak ngerti. Baca lagi 5x agar faham, 

AnZi Ahmad : Yang namanya tiap kebutuhan itu akarnya naluri. Allah memberikan jalan pemenuhan bagi tiap naluri. Kamu punya naluri ingin tahu, Allah menyediakan akal dan pengetahuan, kamu punya naluri seks, Allah sediakan pernikahan. Kini, siapa yang harus banyak baca Husni? 

AnZi Ahmad: Selain Allah menyediakan sarana pemenuhan naluri fitriah kita, namun juga memudahkannya. Agama itu diturunkan utk memudahkn manusia bukan menyulitkan apalagi mnyengsarakan. 

Sinar Agama : Okbah: Kamu ini bicara apa? Disuruh baca kok malah nulis, baca dulu yang punya kita itu, dengan cermat, baik yang di kolom ini atau jawaban terhadap 16 kesamaan mut’ah dengan zina, supaya kamu tidak ngulang-ngulang dan debatnya terarah. Ra’syih. 

‘Ali Stany Al-Kadhimi : Sejak kapan si pengarang Mengapa Syiah Harus diluruskan,,, menjadi wakil syi’ah? Nyata-nyata jelas dia ga tau fiqh mut’ah di madzhab syi’ah. 

Anggelia Sulqani Zahra : Husni, anda tahu apa perbedaan jahil dan tidak tau...? 

Kalau tidak tahu itu belum sampainya pengetahuan atas sesuatu ‘ sehingga bertindak dan berkata- kata bukan dalam kepastian kebenaran, tetapi kalau bodoh/jahil adalah : telah sampai kebenaran padanya tetapi mengingkarinya’ dan itu anda. 

Nuduh orang melanggar agama’ terus dikasih dalil dari alqur’an dan rujukan hadits-hadits kitab sunni’ malah tetap berada pada kejahiliaannya 

Apa antum ini mebutuhkan nabi lagi untuk menjelaskan semuanya..? 

Ustad Sinar, jika mereka meminta penjelasan, dan ustad meberikannya tentunya mereka akan meminta lagi bukti al’quran’. Jika ustad menyampaikannya, maka mereka akan menuntut kematiannya ustad. Jika mereka telah berhasil dengan kematiannya ustad, sesungguhnya mereka tidak akan puas dengan hal itu’ hingga didatangkan lagi satu nabi yang akan membawa hujjah bagi mereka. Jika nabi telah diutus kepada mereka, mereka pun akan bangkit melawan dan membunuhnya, begitu terus menerus hawa nafsu mereka memegang tali kedali permusuhan hingga kebenaran musnah di muka bumi dan yang berkuasa adalah nafsu-nafsu mereka. 

Yah mau bagaimana lagi... menghadapi mereka...? 

‘Ali Stany Al-Kadhimi : Sepertinya mereka kudu ngeliat langsung akad nikah mut’ah versi syi’ah nih, soalnya mereka taunya juga karena katanya,,,, katanya,,, dan katanya,, 

Ada yang mau biayain saya buat mut’ah dan ngundang mereka ? 

Sinar Agama: Terimakasih simpatinya, biarkan saja mereka-mereka itu, nggak usah dimasukin ke hati, kita serahkan saja kepada Allah, karena siapa yang berbuat kebaikan dan keburukan maka tidak melakukan semua itu kecuali untuk dirinya sendiri di dunia dan akhirat. 

Husni Okbah: @Anzi belajar lagi definisi kebutuhan biologis dan naluri dulu. @Ali : jangan OMDO. @Zahra : Sinar itu bukan nabi. Dia banyak sekali kesalahan. 

Husni Okbah: @ :Sinar: ana akan bicarakan jawaban anda. 

‘Ali Stany Al-Kadhimi: Husni@ Sejak kapan si pengarang Mengapa Syiah Harus diluruskan,,, menjadi wakil syi’ah? 

Pertanyaan itu dulu aja dijawab, baru nanti bisa dapet undangan ane, kalau ga ya paling ane cuman bisa undang Ust Ja’far Umar Thalib dan kawan-kawan. 

Husni Okbah : @Sinar Agama: 

1. Istamta’ anda katakan berarti mut’ah ? Dasarnya? 

2. Jika istamta’ berarti telah mencampuri berarti akadnya sudah jadi istri/sudah menikah apa dilalah/qorinah bahwa aqadnya sewaktu nikah itu dengan mut’ah? Jika ada qorinah tentang akad baru dalalahnya khusus jika tidak tetap umum donk? 

AnZi Ahmad : Husni! Malang sekali kamu, terangnya argumentasi dari kami sehingga menyilaukan matamu untuk melihat kebenaran. Baca lagi postingan saya dan teman-teman, biar ga bulak balik. Kalau msh bebal, berarti pilihan dan deritamu. 

Husni Okbah : Qum, kota suci syiah. Pada tahun 2008, 40% penduduknya yang terjangkit aids adalah dari kalangan pelajar/mahasiswa jurusan agama. Angka pengidap aids di kota tersebut meningkat 2 kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Apakah karena mut’ah? 

Erwin La Ode : All....rahasia dalam nikah mut’ah terbuka apabila kita faham tujuan sebenar islam dan siapa nabi Muhammad dan siapa Ali dalam artian bukan pengertian seperti yang kita sekarang.... akan tetapi ujung-ujungnya demikianlah....

Sinar Agama : @Okbah: Tulisanku di Jawaban Atas Kesamaan Mut’ah dan Zina itu terlalu cukup dan lebih-lebih untuk menjawab tanyamu yang sok ilmiah) itu. Dan tentang kota Qom itu, kamu mau berteriak apapun bersandar pada berita manapun, menandakan bahwa kamu sama dengan para wahhabi yang beberapa gelintir di Iran, dan sama dengan para Syi’ah dan bukan Syi’ah di Iran yang anti Islam dan revolusi Islam yang dari dulu dibiayai Amerika dengan milyarand dollar untuk membuat terorisme badaniah atau mayaiyah dengan ribuan site-site news yang palsu dan sumber-sumber yang dipalsukan. 

Masih untung kamu tidak bilang orang Qom kena aids semua, kalau kamu bilang seperti itu, maka saya dan siapa saja yang seperti saya, tidak akan pernah heran. Berteriaklah ya akhi bersama setan-setan barat dan wahhabi, perjalanan suci tetap akan melangkah dengan pasti, bumi dan langit akan kami kuasai dengan ijinNya dan dengan pemerintahan KhalifahNya. Sungguh aku melihat betapa dekatnya, dan betapa dekatnya, dan betapa dekatnya, bahwa kamu akan menggigit jarimu karena ketinggalan para kafilah itu, dan kalau kamu tidak tobat, maka betapa dekatnya persidangan berat yang akan kamu hadapi. Apa yang akan kamu jawab ketika kamu ditanya “Apa agamamu?” + “Dapat dari mana Islammu? “ + “Mengapa kamu ambil dari ...e...siapa tadi yang kau bilang??

Husni Okbah: @Sinar Agama : Ente ahsan tobat! Ana sih berusaha kasyful hummah/menyingkap muslihat yang ente buat. 

Nebucadnezar Pecinta Keadilan : Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah. 

Nafsu sex adalah naluri semula jadi yang melekat pada makhluk bernama manusia. Namun dalam waktu yang sama, orang beriman harus menjaga kesucian diri. Adapun kesucian diri dapat dilakukan dengan: 

1. Nikah Permanen. 
2. Nikah Muthah. 
3. Menahan dorongan sexual. 

Bayangkan para mahasiswa dan mahasiswi yang sehari hari bercampur gaul, apakah mereka mampu menahan gejolak nafsu atau nikah permanen... sementara kiriman uang dari kampung pas pasan? Maka muthaah adalah rahmat buat orang beriman.

Sinar Agama : Ya Okbah: Kamu tidak menyingkap muslihat kecuali muslihatmu sendiri. Semua yang kamu tulis di sini karena kerasnya dadamu. Kita kan sudah jawab semua dengan dalil, eh.... malah antum yang ngulang-ngulang kata. Kalau antum ingin kita tobat, bantah semua dalil yang ...kita ajukan itu, nanti kalau kita orang sudah tidak bisa lagi membantahnya, baru ana akan tobat, kalau perlu di tempatmu sambil dimandiin kembang tujuh juga mau. Antum ini unpat umpet di situuuuu aja, kitab satu yang belum tentu benar sanadnya sudah merasa seperti si Pitung/ Pendekar Betawi, aku saja yang di rumahku ada sekitar 90.000 jilid buku-buku sunni dan syi’ah, masih merasa bodoh tentang agama dan rahasianya ini. Maka kita suka diskusi, karena takut masih ada salah pahamnya, sekalipun aku sudah belajar puluhan tahun dengan bimbingan guru tentang ilmu-ilmu agama baik ilmu-ilmu alatnya atau isinya. Ya akhi jangan merunduk terus ngelihat orang, mbok yang dangak dikit kek, supaya tahu kalau barangkali ada orang yang lebih pinter dari kamu yang....

Husni Okbah: Ya Sinar: Ente kalau mau belajar din jangan di Qom, salah semua jadinya. 

Sinar Agama: Nebucadnezar: antum sepertinya kebablasan, menulis mahasiswi. Karena mereka tidak boleh mut’ah kecuali dengan ijin ayahnya dengan ijin yang jelas bahwa mau kawin mut’ah atau dalam waktu tertentu. Yang boleh tidak pakai ijin walinya hanyalah janda dalam agama, yakni orang yang pernah kawin syah dan dikumpuli setelahnya. Jadi kalau keduanya itu belum dilakukan maka dia masih dalam katagori perawan atau gadis, sekalipun secara materi sudah tidak gadis karena ketusuk benda, atau zina dan semacamnya. Afwan. 

@Okbah, okbah, bisanya kamu ini hanya bilang salah, dan kamu benar, ya....kalau diskusinya hanya begitu, ya...enak, nggak usah belajar juga bisa, jelas kalau ghitu nggak usah ke-mana-mana deh belajar ilmu segala macam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Jumat, 07 September 2018

Logika (Bgn 6)



Seri Tanya jawab Status Ustad. Muhsin Labib

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 Juli 2011 pukul 13:04




Status: Muhsin Labib: sebelum ada subjek, penilaian (predikat) apapun tidak berlaku.. 

Komentar-Komentar

Afrianto Afri : Apakah maksudnya, penting menemukan subyek sebelum menyebut-nyebut predikatnya ustad ? 

Muhsin Labib: Ya, itu kaidah yang berlaku dalam semua ilmu... 

D-Gooh Teguh: Subjek dalam angan maka predikat juga dalam angan. ^_^

Sinar Agama: Dilihat subyeknya (bc: tergantung subyeknya), kalau yang dimaksud subyek itu adalah maknanya atau ekstensinya (wujud luarnya), maka bisa dipredikati, sekalipun belum diberi nama. Misalnya mas Teguh yang jujur (he he ..) dan alim misalnya, serta cakap memimpin dan benar-benar pengayom. Tapi ia belum punya yayasan. Nah, kalau ia akan mendirikan yayasan, maka walaupun belum diresmikan yayasannya itu, maka kita bisa menghukumi bahwa yayasannya akan baik dan maju. 

Begitu pula kalau keadaan mas Teguh sebaliknya. Karena yang jadi ukuran dalam predikasi disini adalah hakikat luarnya walaupun belum ada subyek yang berwujud kata. Banyak lagi yang bisa dihukumi, seperti: Sekutu Tuhan itu tidak ada: Sekutu Tuhan itu pasti lemah, buta, kikir ...dan seterusnya. Ayah nabi Isa itu tak bisa berjalan. Atau misalnya: Tidak ada itu adalah tidak ada: Tidak ada itu mustahil ada: Kontradiksi tidak mungkin ada dan seterusnya. 

Contoh mencoloknya adalah status di atas: “Sebelum ada subyek, predikat apapun tidak berlaku.” 

Kalau premis ini benar (kita anggap benar), maka kalimat ini membantah isinya sendiri. Karena kalimat ini, terdiri dari subyek yang tidak ada, yakni “Sebelum ada subyek”. “Sebelum ada subyek” yang dijadikan subyek di proposisi ini, adalah sesuatu yang tidak ada. Karena itu, predikatnya dan predikasinya, akan salah. Karena itu, kalau kita membenarkan kalimat ini, maka berarti telah menyalahkan isi dari kalimat ini yang, pada akhirnya menyalahkan kalimat ini. 

Akan tetapi, kalau premis atau proposisi atau kalimat ini, kita anggap salah, maka maknanya dari asal memang tidak benar. Jadi, status di atas, mau dibenarkan atau mau disalahkan, tetap saja hasilnya ketidakbenaran status tersebut. Bedanya, kalau dari awal sudah disalahkan, maka ia disalahkan secara lansung. Tapi kalau di awalnya dibenarkan, maka akan menghasilkan ketidakbenarannya secara tidak langsung. Karena kesalahan status tersebut, akan merupakan konsekuensi dari pembenarannya itu. Jadi, kalau dibenarkan, akan menghasilkan penyalahannya. 

Muhsin Labib: ‎@sinar: terimakasih bila anda bermaksud menunjukan perspektif lain berdasarkan kategori haml (predikasi) karena masih mengkaitkan dengan sengketa status sebelumnya. Terimakasih juga bila bermaksud menunjukkan kepahaman anda tentang haml? Terimakasih juga bila bermaksud mengingatkan kebodohan saya tentang haml mafhum ala mafhum dan haml mafhum ala mishdaq. 

@sinar: borekallah... Anda selalu tampil sebagai penyelesai masalah, penyelamat, dan pemutus kata. Kepiawaian mendedah dengan kata tegas menunjukkan betapa kita makin jauh dari sinar agama yang sebenarnya... Terimakasih telah mengajarkan pada Kita tentang beda mafhum dan mishdaq, maudhu’ dan mahmul, dan lainnya...

Akmal Kamil: Maaf ikut nimbrung.. tapi dengan beberapa indikasi yang ada nampaknya maksud status di atas adalah predikasi konsep atas ekstensi (haml mafhum ‘ala mishdaq) sehingga ketika subyek tidak ada maka penilaian dan judenganment atas predikat tidak akan ada. Predikasi luaran ketika berkaitan dengan wujud luaran harus ada ketika ingin melakukan predikasi konsep atas ekstensi, obyek atau mishdaq.. Sehingga benar atau tidaknya proposisi dapat diafirmasi (tashdiq) dengan alam luaran.. 

Haml mafhum ala mafhum juga saya demikian adanya.. selama tidak ada subyek maka penilaian predikat juga tidak akan ada.. bukan begitu? 

Misalnya sederhana saja.. seperti proposisi yang dibangun oleh Sinar.. Mas Teguh itu Jujur.. di sini subyeknya adalah mas Teguh.. sehingga kalau tidak ada mas Teguh hukum kejujuran itu mau disandarkan kepada siapa? 

Sahaya Dahri: Kok dari ngerti (status ustad Labib) jadi gak ngerti ya saya (setelah komen Sinar), opo emang terlalu becek neh pikiran... 

Jon Ali: Wah, asik nih, para ahlinya pada muncul. Btw, buat saya yang akalnya pas-pasan, contoh ‘Mas Teguh itu jujur...’ dari Akmal Kamil sudah sangat menjelaskan mustahilnya predikat tanpa subjek. Walau pun saya agak ragu sebenarnya, apa benar subjek yang diidentifikasi D-Gooh Teguh itu ‘jujur’ beneran... hehehe.... 

Afrianto Afri: Sepakat dengan akmal Kamil kata Yayasannya itu mereffer ke subyek Teguh yang sudah jelas, tapi bila hanya Yayasan maka memang ini subyek yang masih bersifat umum sekaligus juga tidak/belum bisa diberi predikat. Even pengertian YAYASAN sudah ada konsepnya..CMIW. 

D-Gooh Teguh: Waduh kok jadi ke person sih... JUJUR seingatku saya ini hanya “tidak berbohong” tetapi kalau jujur kayaknya bakalan ajur deh. ^_^

Sinar Agama : ML: Ustadz ... sayyid .... mungkin ana ini pengikut nafsu, tapi GR-ku hanya murni tidak mau mengabaikan kemungkinan seterkecil apapun kewajiban yang saya sendiri mungkinkan. Karena itu, kalau ana rasa harus turun, maka ana turun, karena takut ana ini benar dan wajib mengingati. Ana tidak merasa pasti benar, tapi kalau pas benar, lalu apa kewajiban yang tahu di hadapanNya? Sudah pasti mengingatkan yang tahu tapi lupa atau yang memang belum tahu. Ana biasanya akan berhenti kalau sudah dikatakan “tak usah ingati aku”. Karena kalau sudah seperti itu, berarti kewajiban yang secara GR ana rasakan tapi yang ana mungkinkan bisa benar di hadapanNya itu, sudah gugur. Antum bukan tidak tahu, karena bisa saja antum yang benar, tapi ana yang belum melihat karena hijab ananiyyah dan kebodohan ana, sekalipun bisa saja antum lupa dan semacamnya atau salah tulis. Karena maklum saja, status ini kan sekedar menulis pikiran melayang. 

Ana, karena melihat antum sebagai ustadz yang selalu mengajarkan keilmiahan dan keterbukaan dan keharusan menghormati pandangan orang itulah yang membuat ana dengan penuh kerilekan mengomentari tulisan-tulisan antum yang ana ingin mengomentarinya. Ana yakin antum yang selalu mengajarkan tentang kelapangan itu tidak mungkin tidak gila kepada kebenaran dan argumentatif. 

Masalah yang kemarin dan sekarang ini, sebenarnya merupakan yang boleh dikatakan gampang- gampang susah. Setidaknya dalam menjabarkannya. Banyak orang tahu kalau Tuhan itu satu, tapi dalam argumentnya salah-salah. 

Di sini, anggap ada yang salah (ana atau antum) tapi kemungkinan besar hanya dalam penjabarannya, bukan pada maksudnya. Memang di status ini terlihat lebih sulit ditakwil dari sebelumnya itu. Jadi, ampuni alfakir ini kalau salah berhusnuzhzhan pada antum dan antum terasa terganggu. 

Sinar Agama: Kamil: Koment ana itu justru ketika ia berupa predikasi konsep atau ekstensi. Coba antum lebih teliti lagi. Tentang contoh mas Teguh itu, bukan pada predikasi atas mas Teguhnya yang sudah ada, akan tetapi pada yayasan yang akan ia bentuk. Jadi, sebelum ada itu bisa dipredikasi dengan keyakinan kebenarannya (tashdiiq) walau ia belum ada.

D-Gooh Teguh: Menurut pikiran keawaman saya, kasih contoh yang lebih tegas lagi: pemerintahan “politis” AlMahdi as khan belum mewujud juga tetapi telah dipredikati. Maaf, kalau awur-awuran saja. Dari pada mencontohkannya pun berandai-andai pula...

Sinar Agama: Sahaya: Kalau malah pembahasan hakikat pikiran, subyek dan predikat itu sesederhana yang dibahas dalam ilmu bahasa, maka tidak perlu adanya Aresto, Plaato, Ibnu Sina, Mulla Shadra, Thaba Thabai, Muthahhari, Jawadi ...dan seterusnya. Jadi, tidak usah putus asa. Kalau antum memang minat maka pelajari secara seksama, logika dan filsafat. Memang bukan jaminan, seperti diantara kami-kami yang belasan tahun atau ada yang puluhan tahun belajar, semua itu bukan jaminan memang. Akan tetapi sudah selayakanya hamba-hamba yang ingin mengerti berusaha untuk mengetahuinya. 

Jadi, sebenarnya, debat yang sering menggojlok perasaan dan ego ini, bukanlah makanan yang enak untuk harga diri. Akan tetapi, apalah daya kita penggila kebenaran. Biarlah diri ini kalah di dunia ini, karena kekalahan itu adalah hidayah kepada kebenaran atau, setidaknya kepada yang lebih kuat untuk sementara sebelum diketahui salahnya di kemudian hari. Ya... Allah Engkau menjadi saksi atas kerdilnya jiwaku ini, tapi ijinkanlah kupaksakan untuk tidak kuperhatikannya demi restuMu, karena itu ijinkanlah kutabrakkan yang kutahu dengan apapun demi kulihat kekuatannya atau kesalahannya supaya aku bisa mendapatkanMu. 

Sinar Agama: Afri: Antum mungkin benar, tapi predikati itu terjadi pada subyek yang belum ada. Itu tidak bisa diingkari. Sedang alasan ketidakpengingarannya adalah si keberadaan mas Teguh. Itu tandanya adalah bahwa subyek itu tidak harus ada dalam ekstensi. Karena alasan pembolehannya itu bisa ke arah wujud lain seperti mas Teguh itu, tapi bisa kepada hakikat lain yang justru sangat mustahil untuk ada, seperti “kontradiksi itu mustahil bertemu” dimana kontradiksi ini, sampai di akhirat pun tidak akan pernah ada. 

Sinar Agama: Mas Teguh: Afwan ana contohkan antum dalam hal ini, karena sebelum koment mata ana fokus pada gambar antum yang selalu senyum itu, dan juga teringat pada gerakan yang akan antum adakan yang bernama “Gerakan tanpa partai” itu. he he he ... 

D-Gooh Teguh: Hahahaha... doanya ustad Sinar dan ustad Labib insayaAllah ampuh... ini khan Gerakan Government 7.0, yang mana AlMahdi as mungkin wujud dari Government 8.0 atau 9.0 atau 10.0, ^_^ 1.0: family only –no government, 2.0: kepala suku, 3.0: majelis suku, 4.0: monarki absolute, 5.0: monarki konstitusional, 6.0: multiparty / bi-party, 7.0 : peopulae / direct democracy, 8.0, 9.0, 10.0 beyond my thought. ^_^

Muhsin Labib: @sinar: saya tidak kesulitan utuk menangkap maksud dari pilihan-pilihan kata antum dalam comment-comment beruntun itu. Meski terheran-heran dengan klarifikasi antum, saya menduga antum “terganggu” oleh terimakasih saya. Sebenarnya, status saya di atas tidak terkait dengan contoh Teguh maupun yayasan apapun. Itu sebuah premis umum yang bisa disikapi dengan perspektif haml mafhum ala mafhum atau haml mafhum ala mishdaq, dengan dua konsekuensi masing-masing. Saya khawatir antum merasa perlu menertibkan lalu lintas comment karena khawatiran terjadinya kesalahan dalam logika yang lebih fatal di balik sebuah premis. 

Antum tidak akan pernah dilarang melaksanakan tugas ilmiah dan ruhaniah untuk menjabarkan mafahim falsafiyah, mahawiyah dan manthiqiyah dan semua ilmu yang harus diketahui orang lain. Tapi ada baiknya antum berGR bahwa kami juga memiliki pemahaman yang sama namun (hampir pasti) pilihan dan selera diksi kita berbeda. Meski jauh dari sumber ilmu, antun tidak perlu khawatir soal kesalahanpikir dan konsep-konsep basic... 

Mohon kesudian antum memaafkan kebodohan, keegoan, kesoktahuan ana. Hijab-hijab telah membuat saya, yang tidak beruntung, terpuruk jauh hingga soal “mafhum” dan “mishdaq”, “haml”, “maudhu’” dan “mahmul” aja perlu penjelasan panjang lebar. Ini mungkin bisa jadi bahan pertimbangan untuk menyadari bahwa saya sudah expire, apalagi tidak pernah belajar sesuai prosuder baku, jenjang yang ajek, dan hanya baca krepelan, apalagi memang hanya “transit” di hauzah... Tugas keumatan memang mestinya dipegang oleh orang yang dekat dengan oase ilmu, bukan pemulung-pemulung yang ga jelas...! 

Jon Ali: D-Gooh Teguh: haha..., hanya becanda aja, boss! Biar gak terlalu keriting otakku yang pas- pasan, nih ngliatin para pakar beraksi...! Btw, jujur gak jujur tergantung situasi dan kondisi, lah! Tapi secara eksistensial, jujur = MANJUR, gak jujur = AJUR! ^_^

Sinar Agama: ML: He he he sepertinya kalau diskusi ini diteruskan, maka messege yang terpahami, kalau tidak terselip, akan lebih bisa terlihat. Ok yang masalah ini kita lewatkan saja karena memang tidak ada yang pasti. Namun demikian, diskusi sehat dan transparan sudah pasti merupakan tuntutan setiap insan yang insaf dan apalagi gandrung ilmu. Seseorang seGR apapun dia (seperti saya) tidak boleh jengah dengan sebuah diskusi dan debatan. Karena dunia ini luas. Mungkin saya guru bagi seiribu orang, tapi tidak pada semilyard lainnya. Tak ada keinginan dari kami-kami ini, kecuali itu. Tapi kalau pakai nyengat-nyengat, atau setidaknya seperti menyengat, maka sudah tentu bayan dan penjelasan yang akan dipakai bukan argument dalam istilah logika lagi, tapi mungkin debat dan pengembalian masalah. Karena itu harapan ana sebagai pembaca tulisan-tulisan antum, adalah kelapangan dada, baik dalam benar atau salah. 

Karena hal-hal di luar premis itu yang terlihat mencorai masalahnya, maka diskusi kita tentang status antum itu jadi hilang. Bahkan sepertinya antum sendiri sudah kehilangannya. Karena sudah sekian banyak bayanku, tapi hasil kesimpulan antum masih mengatakan “sama” dan hanya beda selera dan diksi. 

Btw, saya sudah berusaha, dan selain itu tidak ada lagi keharusan akal. Apapun hasilnya, kembali kepada kita masing-masing. Harapanku dari antum untuk ke depan, adalah rilek saja dikritiki orang seperti antum rilek menkritiki orang lain. Supaya saya juga enak nulis komentnya dan enak membaca koment-koment antum.

Billy Joe Hernandez: Semoga saya bisa mengerti semua komen-komen ini, amin:) Yang saya pahami dari status ini adalah peletakan predikasi (penilaian) itu harus setelah subjek dan ini bersifat umum, jadi maksud “ada” dalam status ini menunjukkan posisi dari subjek pada premis yang harus ada di posisi depan sebuah premis sebelum mempredikati, afwan bila komen saya yang awam dan fakir ini cukup ngawur, tidak karu-karuan dan tidak mengikuti kaidah logika... 

Akmal Kamil: @ Sinar.. predikasi konsep atau ekstensi keduanya memerlukan sebuah subyek. Dalam sebuah proposisi sederhana semisal proposisi kategoris ketika subyeknya tidak ada maka bangunan proposisinya tidak memiliki hukum dan penilaian. Karena jantung proposisi kategoris, atributif pada subyeknya ketika ingin menginferensi sebuah hukum. Pada kasus status Ust. ML di atas, saya melihatnya sebagai sebuah kerangka proposisi kategoris yang sederhana bahwa tanpa ada subyek penilaian tidak akan berlaku. Atau dalam bahasa teknisnya saliba bi intifai al-maudhu secara formal proposisi. Maksudnya ketika tidak ada maudhu hukum akan menjadi mentah dengan sendirinya..

Muhsin Labib: Mestinya status saya dipahami seperti comment ust Akmal. Ini juga mungkin mirip dengan hukum al-adam al-muthlaq la yukhbaru anhu. Ala kulli hal, penjelasan filosofis mistik ust Sinar, termasuk bagian yang menyangkut pribadi saya, saya terima sekaligus mengamalkan pesannya agar berlapang dada.

Sinar Agama: Nah, ini baru enak nih diskusi, murni ilmu. Terimakasih untuk ust ML. Semoga selalu diselimutiNya dengan KasihNya. 

@Kamil: Mungkin antum benar. Tapi akibatnya kalau antum benar, maka berarti antum telah menolkan status di atas. Karena status itu tidak memiliki maudhu yang eksis. Karena dari awal sudah dikatakan bahwa “tiadanya maudhu membuat predikat itu tidak berarti”. Karena itu maka maudhu’nya disini adalah ketiadaan. 

Kalau antum mau mengatakan bahwa maudhu’nya itu dalam pahaman, seperti yang diisyaratkan ustadz ML seperti dalam memahami ketiadaan mutlak, maka antum sudah lari dari konsep pertama antum yang menafsirkan bahwa status di atas memandang subyek yang di luar akal, yakni keberadaan nyata. Nah, konsekuensinya, kalau tidak punya keberadaan nyata, maka predikat apapun tidak bisa berlaku. Kan begitu? Nah, konsekuensi dari ini, berarti antum sudah menyalahkan status itu sendiri. Karena status itu tidak memiliki wujud luar. 

Dan salibah bi intifaa-i al-maudhu’ itu bukan hukum yang hanya terdiri dari satu ayat saja, tapi ada hukum-hukum lainnya dimana kalau antum perhatikan contoh-contoh di atas itu, seperti ayah nabi Isa, kontradiksi ..dan seterusnya maka akan antum dapatkan jawabannya. 

Saya sebenarnya mau menerangkan bahwa status di atas itu melanggar dirinya sendiri kalau dimaknai mutlak-mutlakan. Intinya, dan ringkasnya, apapun yang tidak ada itu bisa dipredikati dengan apapun asal bersifat penolakan, persis seperti status di atas itu. “Yang tak ada tak bisa diberitakan”, “Ayah nabi Isa tidak punya kaki, tidak bisa jalan.” “Kontradiksi tidak pernah ketemu” 

.... dan seterusnya. Intinya, saya ingin memberitahu teman-teman bahwa subyek yang tak ada itu bisa diberi keterangan dan predikat kalau bersifat negatif, tapi tidak bisa kalau positif. 

Akan halnya mas Teguh itu, adalah bab lain yang bisa dimasukkan dalam suyek yang tidak ada dan dihukumi positif, tapi ketidakadaannya dalam waktu defakto, akan tetapi ia dekat dengannya. Jadi walaupun tidak bisa dipastikan tentang yang akan dibentuknya itu, akan tetapi bisa dikatakan seperti itu sebagai perkiraan kuat, harapan dan doa misalnya. Walhasil karena ia memiliki batu loncatan yang ada, yakni mas Teguhnya itu, maka proposisi seperti itu masih dibolehkan. Tapi btw intinya yang pertama itu, yaitu ketiadaan subyek tidak melarang prikasi negatif.

Muhsin Labib: Ok, saya yang bonek ini dan pelajar level pemulung ini berusaha untuk berusaha mengambil bagian dalam dikusi ilmiah, meminjam istilah Ust. Sinar. Semoga Allah memberkati setiap lintasan pikiran dan ketukan jari kita. 

1. Saya kira persoalannya enteng, cuma ditanggapi semangat ketajaman folosofis yang ber- lebihan sehingga ceroboh menabrak demarkasi disipulainer. 

2. Tesis yang saya ajukan adalah hukum logika, bukan hukum filsafat. 

3. Dalam logika, ada banyak pembagian predikasi dari aspek subjek, predikat dan kopula. Dalam logika, tidak dibicarakan soal ada-tidaknya sesuatu. (bersambung) 

Dalam logika, segala sesuatu dipandang sebagai realitas mental, yakni logical intellectus sekunda (ma’qul tsani mantiqi), habitat konsep ini ada di mental (dhihn) yang tidak mengacu pada mishdaq (referen) selain konsep yang ada di mental. Jadi, saya ingin kembali ke ashlul matlab, sebelum ada subjek, penilaian (predikat) apapun tidak berlaku. Dalam logika, predikasi apa pun hanya akan tegak (ma’qud) jika memadai segenap anasirnya. Dalam logika, anasir itu ada tiga: subjek, predikat, dan kopula. Ini kaidah logika. Ingat, mari kita tetap konsisten pada konteks studi di sini, yakni konteks logika, supaya tidak diperlakukan kaidah “awam” melebihi kelugasan logisnya, apalagi dicampuradukkan dengan ketajaman filosofis yang mubazir ibarat memasukkan puluhan bola ke keranjang basket. (bersambung) 

Karena konteksnya adalah logika, maka kata “ada” di awal kaidah itu diperlakukan sesuai konteks dan habitat logisnya, yakni mental. Semua contoh/referen subjek yang diajukan sebagai conterexampulae, sekalipun secara filosofis/ontologis tidak ada secara konkret, tetap saja ada secara abstrak di mental (dhihn) sebagai bagian dari realitas-realitas dzihni yang menjadi materi studi-studi logika. Bagi pelajar pemula saja, gejala tak nyaman ini biasanya dikenal dengan sebutan “mughalatah” atau al-khalth bayna mafhum wa mishdaq” (jus logika dan ontologi). (bersambung) 

Tambahan: status yang saya jadikan sebagai status di atas rupanya terkesan diperalat jadi senjata makan tuan. Perhatikan! “Sebelum ada subyek, predikat apapun tidak berlaku.” Sebelum kaidah ini dikriminalisasi, sebaliknya hakim kita belajar dulu macam-macam proposisi (qodhiyyah), lalu amati kaidah ini: dari macam proposisi apa lalu bandingkan dengan proposisi salibah bi intifa’ almaudhu’. Betulkah ada hubungannya, ataukah dihubung-hubungkan, atau qiyas ma’a alfariq alias ga nyambung. Ini mughalathah kedua. (bersambung) 

Dengan segenap respect dan apresiasi, saya tetap berterima kasih atas tanggapan apapun, sekalipun ga ngena. Juga terima kasih atas pembelaan dari sebagian orang yang dalam kata-kata Khajeh Thusi, “Tasholuh ghoyr mardhiyyun ‘inda shohibihi”. Ciao! (selesai) 

Diskusi ini bikin saya kena musibah... Saya menulis status “gara-gara khusayauk diskusi soal logika predikasi di status, saya nenggak teh yang ternyata sudah jadi danau semut... rasanya “manis asem asin”, rrrrgggghhhh..”

Akmal Kamil: Status di atas, pertama dan utama, harus ditinjau dari sudut pandang tekstual logis bukan kontekstual filosofis. So, memang tidak nyambung ketika Sinar mengealobrasi status di atas dengan tinjauan kontekstual filosofis dan memandangnya sebagai sebuah hal yang tidak benar. Ketika terjadi benturan penafisran mana yang harus dikedepankan? Tentu kita memegang kaidah penulis atau penyusun sentral (muallif mehwar) karena ia yang mengeluarkan teks. Bukan diserahkan sepenuhnya kepada pembaca atau penafsir untuk melakukan upaya bongkar teks dengan tinjauannya. 

Bangunan proposisi kategoris seperti yang diungkap oleh Ust. ML di atas adalah terdiri dari subyek, predikat dan copula (nisbah atau hukum) yang terjalin di antara keduanya. Sehingga ketika status di atas dipreteli dengan pendekatan filosofis ontologis mungkin elaborasi Sinar ada benarnya. Perbedaan tinjauan mengamati sebuah masalah tentu akan menimbulkan kesalahan penghukuman atas satu atau dua persoalan. Allamah SA meninjau masalah ini dengan perspektif kontekstual filosofis ontologis semantara Ust. ML menelisiknya dengan angle teksual logis formal.. Jadi kelihatannya benar apa yang ditasbihkan oleh Ust. ML.. gak ngena atau ga nyambung.. Afwan. 

Jon Ali: Hehe... angle logika vs angle filsafat, ya? Asayaik-asayaik..., biar kata versi pemulung, kalo mulungnya dapet intan-permata kan rejeki nompulaok, tuh! LANGJUTTT...!!!! Btw, turut berduka untuk ustad ML yang sudah ‘dikriminalisasi’ premisnya, ‘dikriminalisasi’ juga tehnya oleh semut... 

- - 

Sinar Agama: ML: Antum jangan masuk ke situ ustadz. Kalau antum masuk ke dzihni/mafhuum antum justru jatuh lebih parah. Karena makna tulisan antum akan menjadi “yang tidak terbayang tak mungkin dipredikasi-i”. Lah, kata-kata ini tidak ada manfaatnya sama sekali. Karena ia akan merupakan pemberitaan terhadap tidak mungkinya tergambarnya pridikasi yang disebabkan dengan tidak tergambarnya subyeknya. Dan ini akan menjadi kata-kata tidak bermakna. 

Padahal antum ingin menafikan apapun predikat, sebelum adanya subyek. Artinya, prikasi itu sudah ada tapi tidak berlaku. Nah, kalau prikasi itu sudah ada, berarti subyek juga sudah ada dalam benak kita. Jadi, yang benar kaidah yang dipakai untuk status antum itu adalah “Bolehnya menghaml atau mempredikasi-i subyek yang tidak ada, kalau predikasinya merupakan predikasi negatif.” 

Tentang alfakir itu mau meninjau dari sudut pandang apa, itu tidak bisa disalahkan dan tetap berguna. Karena di statusnya tidak dikatakan bahwa dalam rangka kaidah logika dan, katakanlah haram menyorotinya dengan filsafat, he he he. Koment apapun, tidak ada larangan. Jangankan yang dimungkinkan benar, salah juga nggak masalah, asal terbuka didiskusikan tanpa emosi dalam menyalahkan dan membenarkan. Bahkan, sungguh, ana ini telah mengira bahwa status di atas itu bernuansa politik dengan kelahiran ABI. Tapi ana tetap berusaha komitmen dengan prasangka ilmiah dan tidak memastikan ini dan itu. Pemahaman ana terhadap status itu bukan tanpa dasar, walau bisa salah perkiraan. Karena satu dan dua hari ini kan terlihat ada pro dan kontra terhadap ABI. Nah, kalau benar niat itu untuk ABI, kalau benar, maka artinya “Jangan hukumi apapun tentang ABI itu sebelum eksis di lapangan” atau “Apapun kritikan tentang ABI tidak berlaku karena belum eksis.” Ini pesan yang bisa tertangkap dari status di atas. Orang namanya dzihn dan akal, kan bisa saja. Tapi sudah pasti haram untuk memastikan makna itu dalam status tersebut, karena tidak adanya dalil. Karena itu, saya mencoba memaparkan tentang filsafatnya selain kaidah logikanya. Tanpa memastikan apapun terhadap lintasan-lintasan pikiran- pikiran yang datang tanpa bisa manusia mengendalikannya itu. 

Jadi, bahasan filosofisnya sungguh sangat berguna kalau muatan status di atas adalah ABI. Karena makna dari komentarku akan menjadi “Tidak dosa orang menghakimi (dengan yang tak pasti) tentang ABI itu, karena subyek tak langsungnya ada di lapangan dan kita kenal sepak terjangnya selama ini”. Tapi tetap dosa, kalau dipastikan, karena apapun kekuarangan orang di masa lalu (itupun kalau benar-benar ada dan bukan kesalahan informasi) maka untuk ke depan bisa saja berbuat yang baik. Di sinilah alfakir contohkan dengan mas Teguh yang tidak punya yayasan, tapi yayasannya yang akan dibuat bisa dihukumi, walau tetap dalam keraguan dan ketidakpastian, akan tetapi predikasi itu sudah benar-benar boleh dilakukan dalam kaidah logika dalam bentuk proposisi (tentu saja contoh mas Teguh tentang pemerintahan imam Mahdi as yang belum ada tapi bisa dihukumi dengan “pasti adil”, atau “pasti benar dan baik”....dan seterusnya....adalah contoh yang lebih mengena dan mudah dipahami).

Sinar Agama: Kamil: Kita sudah tabayun dengan koment-koment itu, tapi tidak ada penjelasan kecuali barusan itu dari penulis. Jadi, belum ada benturan penjelasan. 

Tambahan logikanya: Subyek dan pridikat itu adalah dua pahaman yang saling menyangkut di mana tidak mungkin satu dipahami tanpa yang lain. Jadi kalau orang tidak membayangkan subyek dalam akal, maka jelas tidak mungkin membayangkan predikat.. 

Jadi sungguh tidak ada artinya kita mengatakan bahwa predikat apapun yang terbayang dalam akal tidak mungkin berlaku pada subyek yang tak ada di akal. Karena predikat itu juga tidak akan ada dalam akal seiring dengan tidak adanya subyek dalam akal. 

Sinar Agama: Kamil: Kita sudah tabayun dengan koment-koment itu, tapi tidak ada penjelasan kecuali barusan itu dari penulis. Jadi, belum ada benturan penjelasan dan yang ada hanya benturan dakwa, persis ketika antum koment yang tidak cocok dengan maunya penstatus itu, he he.. Antum tidak bisa disalahkan, karena itu wajar-wajar saja orang memahami apapun dari siapapun. Cocok tidaknya, itu masalah belakangan, bukan masalah nyambung dan tidak nyambungnya. Terlebih kata-katanya mutlak dan multi tafsir. Nah, kalau Qur'an dan hadits, maka di sini kita tidak boleh main perspektif walau perspektif itu pasti muncul sesuai fitrah, tapi harus dipandu kepada mauNya melalui penjelasanNya di ayat-ayat atau hadits-hadits NabiNya. Tapi kalau seperti pernyataan orang lain, maka tidak ada dalil untuk mengkebiri pemahaman mutlak itu sesuai dengan kemutlakannya, walau si pengata atau penulis atau penstatusnya, menginginkan yang tidak mutlak itu. Wassalam. 

Muhsin Labib: Ana akui bahwa kepiawaian antum dalam soal menggiring konotasi dan detonasi status di atas menjadi tema yang menurut antum bersifat politis (cihui untuk yang satu ini), dari tema logika menjadi tema real kemudian dikerucutkan ke tema pilitis. Yang juga mengagumakaan adalah kemantapan hati antum utuk “menduga” (baca: menghadirkan mishdaq sesuai mindset antum) bahwa penulis status berposisi mewakili lembaga ABI (yang sama sekali tidak tertera) dalam semua bahasan baik dalam status maupun comment), meskipun tidak dilarang secara rasional untuk itu. 

Kekhawatiran antum bahwa penulis status berusaha untuk memberikan justifikasi apalogotik terhadap ABI menurut saya, (afwaaaaan) beraroma “judenganment”, “reduksional”, dan “jumping to natijah”. Untungnya, antum tidak menganggap itu “pasti” karena seperti menurut antum masalalu orang-orang yang antum duga berada di dalamnya mungkin saja sekarang sudah “membaik”. Saya agak terganggu dengan kalimat “masalalu” orang-orangnya, karena tercium aroma generalisasi, dan kesan menganggap lembaga itu identik dengan orang-orang tertentu. Ada baiknya, antum menghemat energi dengan menduga-duga apalagi ana yakin antum belum punya data valid tentang “orang-orang” itu dan lembaga ini. Selain itu, dugaan (negatif) tersebut andaikan tepat, (dan itu tidak menggugurkan lembaganya) tidak berpahala, dan bila meleset, pasti berdosa. (Lagi-lagi ini menurut al-afqar bainakum, lho). 

Sebelum wassalam, saya mau beri pengakuan bahwa saya senang dan banyak belajar dari antum, akhi Akmal dan friends lain. Bahkan berkat polemik ini, saya bisa menemukan mishdq (wujud khariji) di balik mafhum “sinar agama” Ini jelas predikasi konsep atas fakta, hehehehe... Salah satu indikasinya, “diksi”. Frase ini masih mengiang saat saya Sinar Agama sempat berdiskusi di sebuah kota, ya kan? Sayaukran all...

Sinar Agama: ML: he he he antum ini bisa saja tentang mishdaqku yang tiada artinya ini yang tiap hari harus menendangi keegoan dan kecongkakan dan keriaya’an ini. Biarlah itu menjadi rahasiaku saja bib. Kalau aku pandai menyembunyikan diri, maka aku pasti akan memakai bahasa orang yang menurutku sama ilmu dan sifat-sifatnya denganku. Kalau aku ceroboh, maka aku akan menelanjangi diriku dalam setiap tulisan-tulisanku. 

Habibi .. sayyidi ... doakan satu hal untuk yang paling hina ini untuk dapat mengerti dan meresapi kehinaanya. Kadang bolak baliknya hati dan rayuan nafsu ego, sungguh ... gaya tariknya jauh melebihi wanita-wanita cantik sekalipun. Karena itu, bantulah afkir mengatasi ini dengan doa yang aplikatif dari antum dan teman-teman lainnya. Berkelahilah denganku sebagai saudara dengan hujatan argument yang tajam dan kuat, walau terasa pedas, karena aku tidak ingin menghadapi adzabNya yang jauh lebih pedas dan panas. Oh... betapa hina ... betapa hina ... diri yang hanya bisa bangga dengan apa yang sebenaranya milikNya. Ya ... Tuhan di malam-malam Rajab ini ,,, muluskanlah dadaku yang selalu bergelora ini, hingga pada akhirnya aku berhasil membakar berhalaku ini .... Tuhan .... Engkau telah berikan aku segalanya, wujud, iman dan setetes ilmu, ijinkanlah aku untuk tidak pernah merasa memilikinya karena ... semua itu tetap milikMu. Ya Tuhan ... ijinkanlah kudekap saudara-saudaraku dengan penuh rasa cinta yang dalam, namun tidak mengenyampingkan apapun yang namanya ilmu argumentatif, tegas tapi saling sayang 

...Demi KebersaranMu dan kesucian NabiMu saww serta kebenaran Ahlulibat as, amin ... 

Setelah dengan deraian air mata dosa kutulis isi hati itu, semoga tidak mengganggu jalannya diskusi, maka ijinkan sedikit alfakir ini menjawab tulisan antum walau ana rasa sudah tidak ada lagi perkara mendasar tentang keilmuan yang kita bahas, kecuali kalau kang Kamal atau yang lainnya nanti menyusulinya dengan koment lain. 

Demi Tuhan yang ana tulis itu bib, hanya sambaran ide yang muncul secara fitrawi. Jadi bukan direncanakan. Karena itulah, karena ketidakpastian itulah, ana sangat berhati-hati dan hanya menggambarkan dalam bentuk lain hingga membuat contoh mas Teguh itu. Jadi dari sisi ini, ana sama sekali tidak menyalahi kode etik dan agama. Ana menjelaskan tentang fungsi filosofisnya itu karena antum dan Kamil dan yang lainnya sudah mengira bahwa alfakir ini sudah di luar bahasan karena premis logika dimaknai dengan filsafat sehingga dianggap itu mubadzdzir. Karena itulah akhirnya ana menceritkan apa yang ada di balik semua itu. Jadi, benar-benar bukan dramatisir, tapi benar-benar muncul dalam linatasan pikiran dan sudah kuungkapkan dengan jujur kepada semua. Kalau mendramatisirnya, maka tidak mungkin ana ungkap. Jadi, penjelasan filosfis itu benar-benar hanya ingin menjelaskan bahwa ana serasa tidak berlebihan dalam menjabarkan tulisan antum itu ke ranah filsafat. 

Sedang untuk prediksi tentang ABI itu, ana juga tidak memukul rata dan juga tidak mamastikan. Tapi mungkin hampir semua orang yang ada di petingginya ana kenal dengan mata mahjub ini. Karena itulah ana katakan, kalaulah berita dan pemandangan yang kita lihat selama ini adalah benar dan tidak salah info/melihat, maka bisa diprediksi begini dan begitu. Tapi tetap ana katakan bahwa hal ini tidak bisa dipastikan. Jadi, kalau dipastikan, maka ia adalah fitnah. 

Jadi, kalau dipastikan, maka ia adalah fitnah kalau tidak benar, dan bisa jadi ghibah kalau benar (kalau bukan aib yang terang-terangan). 

Tapi karena tidak dipastikan, maka ia adalah prasangka dan zhan. Dan ini, juga dosa kalau tidak ada tanda-tanda. Sementa saya mengisyaratkan adanya tanda-tanda itu dan bahkan mengatakan dalam bentuk sejarah (walau tetap berupa sejarah dalam prediksi yang tidak pasti karena takut salah lihat dan info tadi). Jadi, ramalan seperti itu yang ana dapat ketahui dari sedikit info agama yang ana pinjam dariNya ini, tidak melanggar etis dan agama serta akal.. 

Tapi ingat, bahwa yang diprediksikan ini bukan masalah-masalah pribadi seperti berbuat dosa dan semacaamnya. Bukan itu sorotannya. Tapi menyoroti nuansa politik, dan merenungi masa depan AB Indonesia dengan AB yang sekarang di mana ia datang dari AB yang kemarin yang kita kenal secara global atau rinci itu (tergantung kepada pengetahuan masing-masing). Jadi, sorotannya bisa hanya berfokus pada kelaikan dan kelayakan pengurus-pengurusnya dan sejauh mana ia akan memberikan efek positif dan negatifnya pada umat muslim Indonesia. Tentu saja dengan bukti-bukti sejarah yang sudah ana bilang itu. Sebagian bukti-bukti itu sudah ana tulis dalam menjawab pertanyaan Bintang Ali di statusku. Karena itu, ana pikir belum ada yang kelepasan dari kontrol kesadaranku walau ana sendiri bisa salah tentunya. Tapi niat dan usaha aplikasinya, sudah ketat secara GR-nya. Terimakasih atas kesempatan yang diberikan dan nasihat-nasihatnya. 

Tentang mewakili ABI-nya antum, ana sudah katakan tidak dipastikan dan hanya terbesit begitu saja, mengingat satu dua hari ini kan kita juga lihat pesan-pesan langsung atau tidak dari antum tentang ABI. Nah, lompatan pikiranku itu, lompatan yang lumrah dan wajar (he he). Tapi tetap tidak ana pastikan karena takut terhadap kecongkakan akal yang nempel di kepalaku ini. Ana tidak mau berkata bahwa itu adalah firasat dan kasyaaf hati tentang niat antum, karena ana sampai sekarang belum bisa membedakan bisikan hati yang datang dari syaithan, atau Tuhan. Karena itulah, semua ana tulis tidak dalam kepastian, untuk mengambil jalan fikih dan akhlak. Karena itu, kalau masalah isykal yang dikatakan bahwa ana telah salah sambung tentang memahami status logika antum dengan filsafat, maka apakah hal itu adalah lintasan akal atau hawa nafsu atau firasat Tuhan, saya tidak akan pernah menjelaskannya. He hehe he yang jelas, kita-kita sudah punya dosa sama antum karena saking seriusnya hadapi koment-koment kita sampai-sampai minum teh-semut he he he afwan ya habibi ... ya habibi ... 

Firdaus Said:==Biarlah itu menjadi rahasiku saja bib. Kalau aku pandai menyembunyikan diri, maka aku pasti akan memakai bahasa orang yang menurutku sama ilmu dan sifat-sifatnya denganku. Kalau aku ceroboh, maka aku akan menelanjangi diriku dalam setiap tulisan-tulisanku. 

Sahaya Dahri: Sinar: karena banyak “awam”, khususnya saya, yang baca komen-komen antum yang sudah belasan/puluhan tahun belajar filsafat, agaknya tak salah bahkan akan lebih elegan kalo antum menurunkan bahasanya jadi lebih enteng dan ceria, ketimbang suram, berat, dan berdebam... juga njlimet hehehe. 

Sinar Agama: Said: Serasa sedikit ringan kemarin setelah kutulis curhatan umum, terlebih setelah membaca doa antum, semoga kita semua sudi dan berhasil menapaki apapun kesempurnaan, terutama ilmu dan amal, amin. 

Dahri: Terimakasih usulnya, tapi berusahalah untuk bertahan dengan setiap bahasa dan pantang mudur. Sebab beratnya itu terkadang karena belum biasa aja. Kalau antum perhatikan semua tulisanku dengan yang lainnya, mungkin paling awamnya tulisan, aku hampir tidak pernah menggunakan istilah asing. Memang karena diskusi di atas menjawab yang pakai istilah arab, maka aku mengikuti. Kalau ada yang bisa ana bantu, maka tidak usah segan, tanyakan saja mana bahasa kita yang terkunci itu. Biarkan kami membantu antum dan yang lainnya. Baiklah kusertakan sedikit kamus istilah di atas itu seingat apa yang ada di kepalaku (tanpa membaca lagi ke atas): 

1. Wujud Dzihni = pahaman, ide, ilmu, info, tashawwur, wujud dalam akal. 

2. Ekstensi = wujud luar akal, mishdaq, nyata, eksis. 

3. Haml = pridikasi, berita, menghukumi. 

4. Mahmuul = predikat, hukum, menerangkan (lawan diterangkan dihukum DM). 

5. Maudhu’ = subyek, diterangkan. 

6. Predikasi pertama = haml awwali = predikasi yang mengandalakan kesamaan dalam pahaman atau esensi, baik seluruh esensi atau sebagaiannya. Kan dalam definisi harus ada kesamaan antara definisi dan defined atau antara subyek dan pridikat. Sebab kalau asing kan definisinya atau ketarangannya atau predikatnya akan menjadi keterangan yang asing dan tidak mengena dengan subyeknya? Nah, kalau kesamaannya itu dalam pahaman, maka disebut Predikasi pertama. Seperti manusia itu adalah manusia, atau binatang rasional. Atau relatif itu adalah relatif. Atau relatif itu bukan mutlak. 

7. Predikasi ke dua = haml tsanawi = predikasi yang mengandalkan kesamaan subyek dan predikatnya atau definisi dan definednya (yang didefinisi) di luar akal. Seperti Manusia itu adalah Sahaya Dahri, Husain ..dan seterusnya. Atau relatif itu adalah mutlak. Karena di penerapan dan di luar akal yakni di alam nyata, si Sahaya dan Husain itu manusia. Begitu juga relatif itu mutlak dipakai ke maknanya sendiri. Tapi dalam pahaman Sahaya dan Husain lain dengan manusia, begitu pula relatif dengan mutlak. Yakni di akal tidak ketemu tapi di luar akal ketemu. 

Tika Chi Sakuradandelion, Hendy Laisa, Agoest Irawan dan 72 lainnya menyukai ini. 


Rido Al’ Wahid: Mesti dibaca ulang-ulang biar paham.... copy dan print. 

Bande Husein Kalisatti: Wah..mantap.. mantap.. mantap.. .. kalau para pendekar ilmu sudah turun ana jadi kecipratan, walaupun cuma jadi tukang pungut ilmu.. terimaksih ustad Labib.. ustad Kamal.. ustad Sinar.. 

Bintang Ali: Ternyata dunia ini luas ya,. di atas langit masih ada langit. 

Anggelia Sulqani Zahra: Bang BA.. Maksudnya..? 

Bintang Ali: Maksudnya ya begitu deh,. saya nyimak diskusi ini langsung di statusnya ustad Muh Labib.. seru juga dua ustad saling ngasih pandangan dan ustad Muh Labib sempet shock..) 

Irwan Samson Gaus: Wuiihhh..., 

Achmad Khisnurrobbie: MANTAAAB... 

Anwar Latammu: Bagian.1 - 5 nya? 

Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad. 

Muh Kasim: Alhamdulillah,, bisa dibantu dengan Kosa kata bagi pemula seperti saya. 

Widodo Abu Zaki: Alhamdulillah tidak ketinggalan untuk yang ini. Kalau saya dapet batu koralnya bukan permatanya juga dah syukur. Ilmu mudah-mudahan bisa diaplikasikan. 

Widodo Abu Zaki: Dari komennya Anggelina saya sepertinya sudah mulai tahu, Aggelina kay- aknya teman dekat saya. Hehehehe ini bukan mata batin tapi prediksi. Hhihihih ikut-ikut ustad SA. 

Zahra Herawati Kadarman: Masya Allaaaaaaaaaaaaaah dua ustad kesayanganku - sump- aaaaaaaaaaaah aku gak ngerti.............. buaca lagi baca lagi dari akhir tahun...........sampai seka- rang teteeep gak ngerti ustaaad. 

Aco Abudzar Abudzar: Menarik,,,, memperkaya persfektif,,, sedari awal memang harus dibatasi pembicaraan,,, namun perluasan pembicaraan ini menurutku sangat bermanfaat..... thanks us- tad-ustad YM. 

Sinar Agama: Zahra: Memang sulit belajar logika dan filsafat itu. Kalau memang minat maka baca dari awal, supaya tidak salah mengerti. Kadang walau kita sudah khatam berulang-ulang masih saja salah mengerti. 

Sinar Agama: Aco: Sebenarnya bisa dikatakan bahwa tidak ada peluasan sama sekali. Karena semua itu masih pembahasan logika. Kalau logikanya masih salah, sekalipun di tahapan lain, maka jelas logikanya (tata pikirnya) yang salah, karena kebenaran ilmu lain itu ditentukan ke- benaran logikanya. Nah, kalau logikanya tidak menghasilkan yang benar di penerapannya, yaitu di tempat lain, maka berarti memang logikanya yang tidak benar. Btw, bahasan di atas itu tidak ada peluasannya. 

Mata Hati: Yang saya fahami dalam bahasa awamnya ustad SA seolah hendak mengatakan “ka- lau memang belum ada subjeknya bagaimana pula hendak memberikan predikat kepada sesuatu yang tidak ada wujud luarnya”, sedang dari ustad ML mungkin beliau bermaksud mengatakan “janganla... 

Sinar Agama: Mata: Sepertinya pemahaman antum terbalik. Lagi pula, di samping itu statusnya itu sendiri telah mempredikati yang tidak ada. Kan berarti statementnya itu telah menyangkal dirinya sendiri. Ini kalau mau dikatakan bahwa subyek itu harus ada di wujud luar sebelum dipre- dikati. 

Fahmi Husein: Filsafat vs Logika ? Berarti Filsafat bukan bagian dari logika? Dapat dijelaskan us- tad Sinar Agama? 

Sang Pencinta : Fahmi Husein, http://www.facebook.com/.../21057069.../doc/379050932139709/, 
http://www.facebook.com/.../21057069.../doc/404613572916778/ Berlangganan Catatan2 Sinar Agama

Fahmi Husein: Yang lebih tepat pembahasan perbedaan Logika & Filsafat di https://www.face- book.com/.../2105706.../doc/404613572916778/

Tapi mesti di ulang-ulang kayaknya biar faham, susah untuk dimengerti, dan bahasanya rada as- ing. Btw, Sang Pencinta sukron. 

Berlangganan Catatan2 Sinar Agama

Zainab Nining Aqielah: Wooww...... Statusnya 2 baris .. Komennya. 100 halaman,,, yang seder- hana dibuat rumit ... Hehe, tapi asyik ko bacanya... Sama-sama pinteeerrr sama-sama hebaattt .. salam ustadz SA .. Salam ustadz ML .. WaRahmahmatullahh wabarrakatuh .. 

Sinar Agama: Zainab, kalau antum lebih teliti, akan dapat dilihat bahwa diskusi itu bukan mem- perumit yang sederhana. 

Zainab Nining Aqielah: Ustadz SA, ,,, bagi ana rumiiiiit. 

Raymond Kamil:

Ancha Wallacea: waduh pembahasan dari Tahun 2 masih gini sampe sekarang....mudah-muda- han yah jadi Rausyanfikr semua ditunggu saja implementasi sosialnya.. 

Hendy Laisa: Ini lagi bung Roy Khan. 

Ganendra Erol Bin Saduq: Hmm, 

Nadi Utomo: Amat sangat terasa diriku posisinya jauh dari kata awam... 

D-Gooh Teguh: Waduh... aku sudah gak paham lagi, masih muncul namaku. *_* 

Sang Pencinta: Mas guh, resiko mas, komen di arsip ustad Sinar, sepanjang masa tercantum dan diinget orang, hehe. 

Wishnu Adji: Wuihhh bahasan jeglerr tenan ki. Bagi ustad yang tahu bedanya logika dan filsafat itu apa ya? 

Fredoomandirindependenetral Freedomandirindependenetral: Alangkah awamnya diriku ini 

Joko Kendil: Wong cuma mbulat mbulet thok kok ya jadi rujukan .... Mending jadi rujak an aja nak 

.... Xixixi. 

Ehm. هرينتو غنوان

Dahliani Dwi Putri: Aku nggak tau mana di sini predikatnya. 

Giri Sumedang: sebenarnya logika dari proposisi “sebelum ada subjek, penilaian (predikat) apap- un tidak berlaku..” ini sudah sangat gamblang dan jelas sekali kak. Kita bisa memandang proposisi di atas dari dua kategori, pertama imma ia sebagai ekstensi yang bersifat esensial? Atau kedua, ia sebagai esensi yang eksistensial? Mana mau dipilih kak? 

30 November pukul 9:01 · Telah disunting · Suka


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Logika (Bgn 5)



Seri Tanya jawab Status Ustad. Muhsin Labib 


Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 2 Juli 2011 pukul 13:34


Status: Muhsin Labib: “relatif” itu mutlak? Komentar-Komentar : 

Sabara Putra Borneo: Tetapi mutlak itu tidak relatif... hehehehehe. 

Mustafa Muhammad Ba’abud: Bukankah kebenaran mutlak hanya Milik Allah dan manusia diciptakan dengan serba relatif? Mohon pencerahan ustad. 

Muhsin Labib: Andai pengertian “relatif” tidak mutlak, maka tidak ada sesuatu yang bisa disebut “relatif”.

Sinar Agama : Relatif itu adalah relatif dan bukan mutlak, karena makna keduanya jauh berbeda. Ini kalau kita definisikan relatif dengan zat-zat dirinya dan hakikat dirinya dalam pahaman kita. Definisi seperti ini adalah definisi esensi dan hakikatnya dimana letak kesamannya ada dalam pahaman. Karena definisi harus sama dengan yang didefinisi. Jadi kalau dikatakan mutlak, maka ia adalah definisi yang salah. Akan tetapi ada lagi definisi yang tidak menerangkan zat- zat dan hakikat dirinya, akan tetapi hanya mengandalkan penerapan di luar akal. Di sini relatif bisa dikatakan mutlak. Yakni relatif termasuk salah satu mishdaq atau ekstensi dari pahaman mutlak. Definisi pertama biasa disebut dengan definisi pertama atau awwali, sedang yang ke dua ini disebut dengan definisi kebanyakan. Pertemuan dan kesamaan pada definisi pertama itu dalam pahaman dan esensinya, tetapi pada yang ke dua pada ekstensinya atau wujud luarnya. Kalau dicontohkan dengan esensi manusia, maka untuk definisi pertama dikatakan “manusia adalah manusia” atau “manusia adalah binatang rasional”. Tetapi contoh definisi untuk definisi kebanyakan dikatakan “manusia adalah Hasan, Husian ...dan seterusnya”.

Muhsin Labib: @sinar: tanpa menafikan penjelasan antum, status di atas berkaitan dengan pola haml (predikasi) primer dan sekunder... Ini soal “awwalan wa bidz-dzat”...

Sinar Agama: Benar, ana cuma menjelaskan pada orang yang belum tahu atau yang lupa. Ahsantum cuma tetap perkataan antum: Ini soal “awwalan wa bidz-dzat”... tetap sulit dicerna. Karena definisi sekunder itu tidak bisa bidzdzat artinya tidak melihat sama tidaknya, dan hanya melihat bertemu tidaknya di luar akal.

Muhsin Labib: @sinar; memang, konteks “relatif” (dengan tanda petik itu mutlak) mengacu pada kemutlakan dan universalitas pengertian relatif.

Sinar Agama: Ustadz, relatif itu pengertiannya adalah relatif, bukan mutlak, dan bahkan justru lawan dari mutlak. Dan keuniversalannya itu tidak bisa mengeluarkannya dari makna relatif. Seperti manusia yang keuniversalannya tidak meliputi makna yang berlawanan dengannya seperti kuda misalnya. Jadi manusia adalah manusia dan bukan bukan manusia. Mutlak juga begitu, ia lawan relatif dari sisi makna dan zatnya serta pengertiannya. Akan tetapi dari sisi penerapan, maka ralatif bisa dimasukkan ke dalam ekstensi mutlak. Yakni bahwa pemaknaan dari relatif yang bermakna relatif dan bukan mutlak ini, dan bahkan bukan makna yang lainnya, termasuk dari ekstensi makna mutlak. Jadi, yang mutlak itu bukan relatifnya, tetapi pemaknaan relatif dengan relatif dan bukan dengan mutlak itu. Mungkin saja antum yang benar. Ini sekedar sumbang sih, itupun kalau benar. Afwan.

Muhsin Labib: Ya akhi “SA” mestinya antum tidak perlu bermurah hati memberikan klarfikasi tentang masalah yang sangat jelas ini. Saya tahu bahwa relatif itu tidak mutlak. Konteks saya menulis status itulah yang mungkin tidak tertangkap oleh antum. Bila makna “relatif” itu relatif maka dia pada dirinya adalah relatif dan karenanya tidak dapat dijadikan parameter.

Sinar Agama: Yah... kalau ghitu afwan deh.. ana tidak koment lagi, sebab masih beda... nggak apa-apa ustadz silahkan saja. 


Tika Chi Sakuradandelion, Hendy Laisa, Agoest Irawan dan 22 lainnya menyukai ini. 


Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad. 


Hendy Laisa: simak bung Roy Khan

Jayadhy: SA senang lihai benar memancing perdebatan, walau sebenarnya SA ngerti maksd dari Ust. ML dari sudut pandang apa status itu ditulis. (Mudah mudahan tidak salah. hehehe). Tapi mantap kok!!! Lanjutkan!!! 

Hendy Laisa: Mohamed Matona> Tolong jangan mengedit catatan dalam grup. 

Hendy Laisa: Mudah-mudahan Anggelia Sulqani Zahra menengok hal ini, afwan. 

Melvin Andrian Tanjung: Mantap !! Ketika Ustad Intelektual beradu ilmu (berdebat)... kita-kita hanya menyimak saja.. 

Wibi Wibo de Bowo: Sepakat dengan ML ! 

Zaranggi Kafir: Sepakat dengan SA !!! 

Yudhas Kopula: Mantap. 

Alie Sadewo: Mantau. 

Bande Husein Kalisatti: Ya..gitulah.. 

Wahyu Nugroho: Aku gak mudeng yang kaya gini-gini.... jadi aku ambil langkah sederhana ajalah.... 

Giri Sumedang: Filosof memandang relatif itu tidak mutlak, para arifin memandang relatif itu ber- asal dari yang mutlak, sehingga ia menempel total pada kemutlakannya (sebagai asas atau prinsip dari realitas dan hukumnya) maka ia tidak bisa dipisahkan dari kemutlakannya sendiri. Atau dengan kata lain “si relatif” itu juga telah meminjam baju eksistensi “si mutlak” tadi. Sebab kalau tidak kak, kita tidak bisa mendifinisikan apa pun dari semua kemaujudan ini. Sekarang kita mau pakai sudut pandang apa dan dari mana untuk melihat realitas ini? 

Mau mencoba memisahkan secara dikotomis kemutlakan dari yang relatif adalah mustahil ya kan kak? Atau mencoba mengontradiksikan ke-dua hal tersebut juga perbuatan sia-sia. Bahwa kedua hal tersebut dalam makna itu berbeda, jelas ya. Kalau tidak berbeda, wah repot kita kak, ya kan. Mending pakai satu term aja.. pakai relatif atau sekalian mutlak semua. Tapi justru itu tidak menjadi sempurna ia sebagai realitas, walaupun ia hadir sekedar sebagai pahaman, hukum, konsepsional, dan esensial lainnya.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Logika (Bgn 4) “Akal Pahaman dan Akal Amali”



Oleh Ustad Sinar Agama 

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:25



ENg’guh Al Ghifari : Salam ustad,, terima kasih banyak ustad atas jawabannya, afwan ustad saya ingin bertanya lagi, apakah benar ilmu bukan untuk di pahami dan pemahaman yang hakiki tardapat pada pelaksanaan hidup, itu baru makna suatu keilmuan. (Pertnyaan ini dari jawaban teman saya ustad, teman saya sendri memahami tntang ilmu yang dia pahami sperti itu.) Syukran ustad.

Sinar Agama : Salam dan terima kasih pertanyaannya, Ilmu jelas untuk dipahami. Dan ilmu, bukan gambaran akal atau keyakinan tanpa dalil, kecuali memang tidak ada predikatnya, seperti putih, panas, manusia, api, gunung dan seterusnya. Tetapi kalau mengandung hukum atau predikat, dan tidak tergolong ilmu mudah seperti api itu panas, maka harus memiliki dalil. Dan dalilnya harus bermuara pada ilmu mudah.

Dengan dua poin di atas itu dapat diketahui bahwa tidak mudah mengatakan ilmu pada sesuatu yang tidak mudah. Karena harus memiliki dalil yang bermuara pada proposisi atau stattement mudah seperti “api panas” itu. Dalam Qur'an dan hadits terlalu banyak yang memerintah kita untuk mencari ilmu, dimana kalau ilmu itu adalah ilmu agama maka yang mati di jalannya adalah mati syahid, dan selalu mendapat karuniaNya. Sampai-sampai dikatakan dalam suatu riwayat: “Orang yang beramal tidak diatas dasarkan pada ilmu, maka ibarat musafir yang tidak berjalan di atas jalannya.

Karena itu, kecepatan jalannya, tidak akan menambah apapun kecuali semakin jauhnya dari tujuannya.” Karena itu salah satu kewajiban yang termasuk terbesar dalam Islam, adalah kewajiban belajar ilmu akidah dan fikih.

Orang yang tidak belajar fikih keseharian adalah dosa hukumnya. Namun demikian, walau ilmu dan menuntutnya agama itu adalah kewajiban dan memiliki pahala yang tinggi dan yang mati di jalannya adalah mati syahid, akan tetapi dalam tingkatan yang lebih tinggi, ia adalah hijab. Artinya hijab yang berupa cahaya dan petunjuk.


Karena ilmu adalah hidayah dan petunjuk, seperti manual bagi setiap barang elektronika yang kita beli. Namun, kalau ia tidak diamalkan, dan dicintainya tanpa menyintai aplikasinya, maka ia adalah hijab. Artinya hijab bagi tingkatan yang lebih tinggi itu. Saking ditekankannya aplikasi itu, hingga imam Ali as. mengatakan bahwa: “Orang yang tahu tapi tidak beramal, maka ia tidak tahu.”. Hal itu karena kalau tahu itu ada tahu akli yakni pemahamannya, dan tahu/ilmu amali yakni yang menyuruh kita mengaplikasikannya. Yakni akal itu ada dua: akal pahaman dan akal amali.

Karena itu maka konsekwenan akal yang berupa ilmu, juga akan ada dua, yaitu ilmu pahaman dan ilmu amalan (bc: ilmu kita yang menyuruh bahwa ilmu yang benar itu harus diaplikasikan dalam kehidupan). Dengan penjelasan di atas itu, maka ilmu dan mencari ilmu itu adalah syarat bagi keselamatan. Namun demikian ia tidak lengkap kecuali dengan aplikasinya. Wassalam.

Tika Chi Sakuradandelion, Khommar Rudin dan 5 orang lainnya menyukai ini. 


Khommar Rudin: Allah humma shalli alla Muhammad wa alli Muhammad.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Logika (Bgn 3)



Seri Tanya Jawab : Billy Joe Hernandez dan Ustad Sinar Agama 

Oleh Anggelia Sulqani Zahra pada 28 Juni 2011 pukul 21:24



Billy Joe Hernandez : Salam Ustad, Mohon di jelaskan tentang substansi beserta bagian-bagiannya yang lima itu yaitu : 
  1. Matter (material) 
  2. Form 
  3. Benda 
  4. Jiwa/ruh dan 
  5. Akal Shukron ustadz. 
Sinar Agama : Salam dan terima kasih pertanyaannya:

1. Matter/matrial adalah dimensi material dari setiap keberadaan materi. Artinya ia adalah pembawa sifat potensi yang ada pada setiap keberadaan material. Misalnya mani yang dari sisi substansialnya terdiri dari dua hal, material dan formnya sebagai mani (bukan batu, pohon dan seterusnya). Mani jelas memiliki sifat yang dikenal dengan potensi, yakni potensi menerima form lain selain kemaniannya, misalnya darah, daging dan janin. Seluruh keberadaan materi, seperti pohon, kucing dan seterusnya, di samping memiliki formnya sebagai pohon dan kucing, ia juga memiliki material yang memikul sifat potensi menerima form/bentuk yang lainnya.


Nah, pembawa sifat potensi menerima form lain itulah yang dikatakan Matter/material. Sedang formnya, atau speciesnya, seperti pohonnya pohon (bukan materialnya pohon) sudah pasti tidak akan menerima form lain seperti tanah, atau api. Karena form ketika dalam keadaan eksis, maka artinya ia bukan form yang lain. Beda halnya dengan material pohon yang bisa menerima form tanah atau api dan/atau form-form yang lain.

2. Form adalah bentuk, tetapi bukan bentuk yang dipakai pada benda hingga berarti melingkar, kerucut dan semacamnya. Tetapi bermakna species dari setiap wujud materi. Seperti pohon, maka pohonnya pohon adalah formnya yang, karena itu ia dapat dibedakan dengan form lain seperti, air, batu, mani dan seterusnya. Atau manusia, maka akal atau manusianya manusia, adalah formnya, dan badannya yang membawa potensi menerima wujud form lain seperti tanah (kalau sudah mati) adalah matternya.

3. Benda adalah setiap apa saja yang menerima panjang, lebar dan tebal. Biasanya, setiap benda ini, selalu membawa matter dan form. Tetapi akal dapat membedakan apa yang disebut “benda” yang, biasa dilawankan dengan non benda atau non materi.

4. Jiwa atau ruh, adalah non materi secara zatnya tetapi material secara aktifitasnya. Seperti ruh binatang, ruh manusia, ruh pohon, ruh batu....dan seterusnya. Semua ruh-ruh itu, pada hakikat zatnya, adalah non materi, akan tetapi dalam aktifitasnya memerlukan pada materi. Karena itu, pohon untuk mengeluarkan zat asam, memerlukan badan pohonnya. Begitu pula ruh binatang dan manusia, untuk beraktifitas seperti gerak ikhtiarinya dan semua geraknnya itu, perlu kepada material atau benda.

5. Sedang akal, adalah yang non materi secara zat dan aktifitas. Seperti malaikat Barzakh dan malaikat Akal.

Wassalam. 


Chi Sakuradandelion dan 4 orang lainnya menyukai ini. 

Khommar Rudin : Allohumma Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aali Muhammad Wa ‘Ajjil Farojahum.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ