Sabtu, 29 September 2018

Beda Adil dan Makshum






Seri tanya-jawab antara Dadan Gochir dan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, June 22, 2011 at 2:36 am



Dadan GochirSalam, ..................................., terus untuk menjadi marja/marja yang lebih a’lam dan adil harus ada kesaksian dari mujtahid lain, bagaimana kita tau atau mujtahid lain tau seorang marja tidak melakukan dosa besar & kecil, karena kita tau dosa bisa di dilakukan sendirian..apakah dikembalikan kepada Allah atau gimana?


Atau yang a’lam dan adil meniscayakan tidak mungkin melakukan dosa sedikitpun, karena pengetahuan mereka akan dosa..atau gimana ustad , afwan.



Sinar AgamaUntuk kesaksian akan dosa tidaknya seseorang, baik ia orang biasa yang akan jadi saksi cerai, saksi pengadilan, imam shalat, marja’, wilayatulfakih mutlak ...dan seterusnya, sama dengan kesaksian ilmu di atas. Akan tetapi justru lebih mudah. Karena kalau untuk kesaksian tentang ijtihadnya atau kelebih a’lamannya harus disaksikan oleh ulama dan mujtahid yang biasa disebut dengan Ahlulkhibrah, akan tetapi dalam kesucian dari dosa besar dan kecil ini cukup disaksikan oleh semua orang, baik awam atau alim.

Artinya, semua orang bisa menjadi saksi dan tidak harus ulama. 



Namun kesaksian ini adalah kesaksian manusia. Artinya yang diwajibkan Allah untuk menyaksikan keadilannya, adalah kesaksian lahiriah dan sejauh bisa dikenali. Jadi tidak menyangkut hati seperti riya’ tidaknya, atau tidak menyangkut hal-hal yang pribadi seperti ketika ia sendiri di dalam kamar misalnya. 

Salah satu beda antara adil (tidak melakukan dosa besar dan kecil) yang biasa disebut dengan makshum dari dosa ini dengan makshumnya para nabi as dan imam as, adalah bahwa ketidakberdosaan adil adalah bersifat lahiriah, dan ketidakberdosaan makshum adalah lahir batin. 

Bukan maksud dari lahiriah dan lahir batin itu adalah yang adil tidak dosa lahiriah tapi batinnya berdosa, dan makshum itu tidak dosa lahir batin. Bukan itu. Tapi maknanya, keyakinan kepada ketidakberdosaan kita kepada adil itu bisa disandarkan kepada lahiriahnya saja, tapi pada yang makshum tidak bisa hanya menyandarkan diri pada lahiriahnya saja. 

Jadi, kalau adil, cukup kesaksian lahiriah, tapi kalau makshum harus mencari data-data yang bisa menembus batin mereka, seperti ayat-ayat dan hadits-hadits yang menyaksikan kemakshuman mereka (para nabi dan imam). 

Memang, dalam penerapan adil, bermacam-macam. Misalnya orang yang tahu dirinya tidak adil karena masih melakukan dosa, baik besar atau kecil, tapi kalau diyakini orang lain sebagai adil dan mereka ingin bejamaa’ah dengan kita dengan alasan keyakinan mereka itu, maka bisa dilayani. Artinya, dia yang tahu dirinya tidak adil itu, bisa melakukan shalat jama’ah dan shalatnya tidak batal dengan syarat diyakini makmumnya sebagai adil. 

Akan tetapi adil dalam penceraian, harus adil hakiki. Yakni di samping kesaksian lahiriah orang yang ingin menjadikannya saksi cerai, ia juga harus yakin dengan keadilan dirinya sendiri. Karena kalau adil yang dipakai disaksi cerai harus hakiki dimana kalau tidak, maka cerainya batal. Jadi, kalau yang dipercaya adil itu tahu dirinya tidak adil, maka ia telah melakukan dosa dan ia tahu kalau cerai itu batal dan kalau si istri kawin lagi, maka ia tahu kalau itupun batal dan zina. 

Akan halnya siapa yang akan menanggung dosanya, maka bukan yang meyakini itu. Karena ia telah melakukan sesuai dengan perintah agama, yakni meyakini keadilan saksi tersebut karena sudah melihat lahiriahnya tiap saat. Jadi, orang lain, termasuk yang cerai, selama belum tahu bahwa 2 orang saksinya itu tidak adil, maka ia syah dalam cerainya dan si perempuannya boleh kawin lagi. Tapi kalau ternyata nanti tahu bahwa pada waktu menjadi saksi itu kedua orang itu atau salah satunya, tidak adil, maka ia harus membatalkan kawin ke duanya itu dan menuntut suami pertamanya untuk menceraikannya lagi. Jadi, semua dosa dari hubungan itu, yang tidak dosa bagi pelakunya karena tidak tahu, sangat mungkin akan ditanggung saksinya yang tahu dirinya tidak adil itu. 

Tapi merepotkan orang, terutama si istri, yang harus membatalkan kawinnya dengan suami ke dua yang mungkin sudah punya anak itu, dan meminta suami pertamanya untuk menceraikannya lagi, maka semua kerepotan ini yang menurut saya jelas dosa, sudah pasti akan ditanggung oleh saksi-saksi palsu itu. 

Salah satu beda antara adil dan makshum adalah kalau adil cukup bersih dari dosa (dimana hal ini juga dapat dikatakan makshum dari dosa atau makshum shaghir atau makshum kecil), akan tetapi kalau makshum, atau makshum kabir, atau makshum besar, adalah harus bersih dari dosa dan kesalahan lainnya yang tidak dosa sekalipun. 

Maksudnya, kalau seseorang melakukan kesalahan, tapi tidak sengaja (tahu hukum tapi tidak tahu obyeknya, misalnya tahu bahwa makan harta orang lain itu haram, tapi ia telah memakannya dengan ketidaktahuannya bahwa harta tersebut milik orang lain), dan tidak semi sengaja (tidak tahu hukum hingga salah dalam prakteknya, dimana biasanya dosa dari hal ini tidak diangkat, misalnya ia makan riba dan tidak tahu kalau riba itu haram), maka ia sudah bisa dikatakan adil hakiki dan tidak melakukan dosa secara hakiki. Karena kesalahannya itu tidak disengaja, karena ia telah belajar dan tahu hukum, tapi salah dalam melihat obyeknya, seperti shalat dengan keyakinan bajunya bersih dari najis yang dia ketahui macam-macam najis dan hukumnya itu, akan tetapi tidak tahu kalau di bajunya itu ada salah satu najis yang menempel di bajunya. Atau seorang mujtahid yang telah berijtihad dengan segala persyaratannya dan sudah melakukan kehati-hatian, akan tetapi secara tidak sengaja, fatwanya salah. Begitu pula para muqallid yang taqlid kepadanya. Mereka ini, tetap dikatakan adil, karena tidak melakukan kesalahan dengan sengaja hingga tidak bisa dikatakan berdosa. 

Akan tatapi makshum, tidak bisa hanya mencukupkan diri dengan bersih dari dosa itu. Karena makshum ini sifat yang harus ada pada pembawa syariat, baik pencetus seperti nabi atau penerus seperti imam. Artinya, kalau mereka tidak bersih dari kesalahan yang tidak sengaja ini, maka tak seorangpun di muka bumi ini yang bisa meyakini bahwa ajarannya itu benar-benar dari Tuhan seratus persen tanpa kesalahan sedikitpun, baik disengana atau tidak. Karena itu mereka harus makshum dari kesalahan yang sengaja atau semi sengaja (dosa) dan dari kesalahan yang tidak sengaja sekalipun. 

Untuk bersih dari dosa bagi yang adil dan makshum itu, harus dari ikhtiarnya sendiri-sendiri, karena kalau tanpa ikhtiar, maka tidak layak menjadapat pujian dan pangkat. Tapi bersih dari kesalahan yang tidak sengaja, seperti lupa, maka bisa saja dijaga oleh Allah dan tidak mengurangi sedikitpun fadhilah dan keutamaan orang makshum dari yang tidak makshum. 

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa bersih dari dosa itu tidak hubungannya dengan tingginya ilmu seseorang seperti mujtahid atau ilmu makshumin. Yang diperlukan hanyalah tahu hukum fikih dari amal-amal dan perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan sehari-hari. Karena itu semua orang harus makshum dari dosa yang disengaja atau semi sengaja ini. Karena itulah dalam Syi’ah belajar fikih keseharian itu wajib hukumnya dan yang tidak belajar maka ia telah melakukan dosa, bukan hanya tidak melakukan yang utama, tapi benar-benar telah melakukan dosa. 

Semoga penjelasan ini dapat membuka benang bulet (bc: kekurangpahaman) yang antum hadapi, amin dan wassalam.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Akhlak dan Fiqih



Seri tanya jawab: Zainab Nainawa dan Sinar Agama


Zainab Naynawaa: Salam, semoga ustad senantiasa diberikan keberkahan... Afwan Ustad pertanyaan banyak nich. Apakah ahlak dan fiqih bisa dipisahkan? Jika akhlak tidak dibarengi pengamalan fiqih yang benar apakah akan mencerminkn ahlak yang baik? Jika pengamalan fiqihnya benar mungkinkah tidak memiliki ahlak baik? 

Hidayatul Ilahi: Adakalanya fiqih di atas akhlak, dan adakalanya akhlak di atas fiqh....fiqh dan akhlak saling menghargai.....(kata seorang teman)....afwan. 

Salam sejahtera untuk uztad sinar agama....salam juga dari kakanda saya,,salam sejahtera untuk ukhti zainab.... 

ALLAHUMMA SHALLI ‘ALA MUHAMMAD,WA AALI MUHAMMAD. 


Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 

(1). Sepertinya saya sudah sering menjelaskan hal ini. 

(2). Akhlak, kalau yang dimaksudkan dalam hadits Nabi saww yang bersabda: “Aku diutus Tuhan untuk menyempurnakan Akhlak”, maka akhlak ini mencakup semua ajaran Islam. Karena itulah yang dibawa Nabi saww. Jadi, masuklah akidah, fikih, akhlak, politik, ekonomi, budaya, ilmu-ilmu Qur'an dan hadits .....dan seterusnya. Karena semua itu adalah akhlak kita pada Allah, diri sendiri, keluarga dan sosial serta negara dan dunia internasional. 

(3). Akhlak, kalau yang dimaksudkan adalah ilmu akhlak yang merupakan bagian-bagian ilmu keIslaman, seperti akidah, fikih, sejarah ...dan seterusnya, maka ia memiliki makna tersendiri. 

Makna umum dan awamnya adalah berakhlak baik, baik pada diri sendiri, Tuhan, keluarga dan sosial kita. Tentu saja yang dimaksudkan adalah hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan halal dan haram serta wajib. Artinya diluar ketentuan fikih yang dalam artian halal, haram dan wajib. Artinya yang bersifat baik dalam sikap dan akhlak, bukan wajib atau haram. Gampangannya yang bagian fikih tapi yang sunnah-sunnahnya. Seperti senyum pada orang, memaafkan orang, mendahului mengucap salam, menghormati orang (sopan), mengalah, tidak emosian, pemurah, mendahulukan orang lain ....dan seterusnya. 

Makna ilmiahnya adalah karakter manusia, baik itu karakter baik atau karakter buruk. Jadi, akhlak di sini tidak lagi bermakna yang baik-baik, tapi maknanya adalah kebiasaan seseorang. Akhalk di sini bermakna “karakter”. 

(4). Untuk Akhlak makna pertama di bagian ke dua ini, yakni sebagai ilmu yang berdampingan dengan akidah dan seterusnya, dan yang bermakna berlaku baik pada orang lain atau diri sendiri ini, maka posisinya sudah tentu di bawah fikih sebagaimana ia juga dibawah akidah. Karena itu, tidak akan berarti akhlak seseorang kalau akidahnya atau fikihnya belum beres. 

Senyum pada orang, atau mengucap salam terlebih dahulu, sekalipun memiliki pahala kesunnahan, akan tetapi kalau akidahnya atau fikihnya belum benar, seperti tidak shalat, atau shalatnya tidak benar, atau wudhu’nya atau cara membersihkan najisnya belum benar sehingga shalatnya batal, maka pahala senyuman dan mendahului salam itu tidak akan pernah mengatrol dosa atau kekurangan yang diakibatkan oleh batal shalatnya itu. 

(5). Untuk Akhlak dalam arti karakter yang tidak terikat dengan kebaikan saja, maka sudah tentu akhlak di sini adalah bagian ilmu psikologi. Artinya dalam posisi aplikatifnya, tidak bisa dibandingkan dengan akidah dan akhlak. Ringkasnya Akhlak dalam makna ke dua di golongan ke dua ini hanya bersifat ilmu tentang karrakter manusia dan bagaimana bisa membuat karakter bagus dan menghindari karakter buruk. Jadi ia adalah teori yang tidak layak dibandingkan dengan akidah dan fikih yang aplikatif tersebut hingga kemudian bisa dinilai apakah ia di atas keduanya atau di bawah keduanya. 

(6). Untuk Akhlak dalam makna golongan pertama, maka ia adalah Islam itu sendiri. Artinya ia bukan bagian dari ajarannya hingga dibandingkan dengan yang lainnya. Yakni ia bukan bagian seperti akidah, fikih, tafsir, psikologi islam, hadits ...dan lain-lainnya. Tapi ia adalh semua semua itu. Karena itu Nabi saww datang untuk menyempurnakan semua itu dengan Islam tersebut. 

Dengan semua penjelasan itu, maka akhlak yang dimaksud dalam pertanyaan Anda itu adalah akhlak yang bermakna umum dan di golongan ke dua (bukan yang bermakna islam secara utuh sebagai ajaran penyempurna akhlak yang dibawa Nabi saww). Yakni berbuat baik yang, biasa dikatakan dalam fikih sebagai sunnah-sunnah. 

Nah posisi akhlak yang bermakna demikian ini, kalau dibanding fikih, maka jelas ia berada di atas fikih. Karena ia di atas halal dan haram. Artinya ia adalah hukum sunnah itu. Artinya perbuatan lebih dan tambahan dari seorang hamba setelah melakukan kewajibannya. Nah, dari sisi ini, akhlak ini jelas di atas fikih, yakni di atas wajib (Akan tetapi, dari sisi bahwa sunnah itu juga termasuk fikih, maka akhlak yang seperti ini, juga bagian dari fikih. InsyaAllah, di bahasan berikutnya –di bawah- akan kita bahas lagi tentang akhlak ini, bahwa ia adalah dimensi lain dari cara memandang masalah perbuatan manusia. Sebab akhlak dalam bahasan ini, adalah pandangan kita terhadap perbuatan manusia, dilihat dari sisi baik-tidaknya saja, tanpa membawa-bawa pahala, surga dan neraka. Karena logikanya, hanya apa yang dianggap baik dan buruk dari perbuatan manusia, bukan hukumnya, pahalanya atau dosanya. Btw.). 

Akan tetapi dilihat dari masing-masingnya, yakni kalau kita tidak melihat akhlak tersebut sebagai pelengkap dari fikih yang bermakna wajib dan halal, maka jelas akhlak ini berada di bawahnya. Karena tanpa melakukan kewajiban, dan tanpa memperhatikan halal dan haramnya, maka akhlak ini tidak akan ada gunanya. Seperti orang yang suka senyum dan mencium tangan orang yang lebih tua atau mendahului dalam mengucap salam, tapi ia tidak shalat, atau shalat tidak dengan wudhu yang benar, atau shalat tapi dengan harta yang belum dibayarkan zakat dan khumusnya,.... dan seterusnya, maka jelas pahala yang akan didapat dari akhlaknya itu sama sekali tidak akan bisa menutupi lubang pelanggarannya atau kekurangannya terhadap fikih tersebut. Wassalam. 

Tambahan

Sebenarnya tidak ada perbuatan apapun yang tidak diatur oleh fikih. Karena itu akhlak yang umumnya kebaikan lebih inipun ada fikihnya, yaitu sunnah, atau kalau melakukan yang kurang baik tapi tidak haram, disebut makruh. Jadi, akhlak yang berarti melakukan perbuatan baik bisa dihukumi sunnah, dan akhlak yang bermakna meninggalkan keburukan yang tidak haram, seperti ke masjid dengan bercelana pendek atau selutut bisa dihukumi sunnah (bc: meninggalkan makruh). 

Dengan demikian, maka jelas tidak ada perbuatan apapun dari manusia ini kecuali sudah diatur dalam fikih. Akan tetapi biasanya, orang yang menghadapkan akhlak dengan fikih, atau fikih dengan akhlak, adalah wajib lawan sunnah itu, atau haram lawan makruh itu. Jadi, mereka yang mengharuskan pendahuluan akhlak di atas fikih, maknanya adalah sekalipun sesuatu itu wajib, tapi kalau menyakiti orang lain karena dianggap tidak sopan, maka “tinggalkanlah demi akhlak”. Begitu pula kalau hal itu haram, akan tetapi kalau kita tinggalkan membuat orang lain yang tidak sepaham sakit hati, maka ”lakukanlah demi ahlak”. 

Nah, membela sunnah dan makruh, dengan meninggalkan kewajiban dan/atau melakukan haram, maka ia tidak akan memiliki arti apapun di hadapan Tuhan. Apalagi kalau hanya demi membela akhlak yang bersifat budaya, seperti tidak menyakiti orang yang tidak sepaham atau tidak seiman. Ingat, menyakini di sini, bukan menyakini yang bermakna umum, melainkan hanya karena kita melakukan apa-apa yang kita yakini dari yang tidak sama dengan keyakinan, agama (kalau lain agama) atau fikih mereka (kalau sesama muslim). 

Misalnya, kalau kita shalat tidak sedekap (karena wajib tidak sedekap) bisa membuat tuan rumah yang kita kunjungi itu tersinggung, maka shalatnya dilakukan dengan sedekap. Atau ketika mau berbuka dengan hanya tenggelamnya matahari dimana hal itu jelas haram, tapi karena bisa membuat tersinggung orang yang mengundang kita berbuka, dimana hal itu makruh atau tidak akhlaki (menurut akhlak khayali mereka), maka makan buka bersama tuan rumah di waktu matahari tenggelam tanpa menunggu hilangnya mega merah di sebelah timur sampai ke atas kepala kita, adalah merupakan kemestian yang wajib dilakukan. 

Kedua amalan di atas jelas, tidak benar dan salah serta dosa. Karena itu shalatnya batal dan harus diulang lagi, sedang puasanya, juga batal dan harus diqadhaa’ serta harus pula membayar kaffarah (misalnya puasa 2 bulan berturut-turut). 

Memang kalau kita shalat dengan tangan lurus bisa dibunuh, dipukuli, diperkosa atau dirampas harta kehidupan kita (empat sebab taqiah), maka kita bisa shalat dengan sedekap dan berbuka puasa bersamaan waktu dengan waktu berpuka mereka. Tapi walaupun tidak dosa dan shalatnya syah, tetap saja puasanya harus diqadhaa’ lagi (walau tidak dosa dan tidak harus bayar kaffarat). Namun demikian, hal ini bukan lagi diatur akhlak. Yakni kebolehan bertakiahnya itu. Tapi sudah diatur fikih di bagian halal-haram atau wajib tidaknya. Wassalam lagi.

Tambahan lagi

Mungkin Anda bertanya bahwa kalau akhlak itu adalah sunnah itu, mengapa tidak dibahas di fikih saja, dan akhlak dihapus saja?

Jawabnya

Akhlak Islam, adalah suatu pendidikan Islam tentang berkarakter baik. Jadi pandangannya bukan dari sudut hukumnya. Tapi dari sudut perbuatan yang baik untuk diri sendiri, Tuhan, keluarga, tetangga dan sosial serta negaranya. Artinya, Islam memiliki aturan akhlaki dan perbuatan baik ini dalam segala lapisan manusia. Jadi, ketika membahas ini, maka tidak lagi membahas dari sudut pandang fikihnya, tapi hanya melihat baik dan tidaknya suatu perbuatan itu. Karena itu, sering juga masuk ke dalam pembahasan akhlak sekalipun ia adalah wajib dilihat dari sudut pandang fikihnya. Atau kadang haram secara fikih, tapi masuk ke dalam bagian pelajaran akhlak, yakni bagian-bagian perbuatan yang harus dihindarkan. 

Misalnya, dalam akhlak, kita dilarang mengghibah atau iri. Di sini hukumnya jelas haram dari sisi fikihnya. Tapi akhlak Islam ketika membahas akhlak, hanya melihat dari sisi tidak baiknya perbuatan itu dan efek-efek buruknya bagi manusia dan sosialnya. Begitu pula tentang menolong orang. Kadang kala dan bahkan seringnya menolong orang ini hukumnya wajib dalam fikirh, seperti menolong orang yang jatuh, tenggelam dsb. Akan tetapi ketika dibahas di akhlak, maka ia hanya menyoroti dari sudut pandang baiknya perbuatan itu dan efek baiknya pada diri dan sosialnya. Karena itulah, maka akhlak Islami ini sama sekali tidak layak dan tidak memiliki kelayakan untuk dihadapkan dengan fikih atau disejajarkan dan, apalagi dilebihkan. 

Memang, kalau semua kewajiban seseorang dari sisi fikihnya sudah lengkap dan sempurna, maka akhlak ini akan menjadi sangat berarti dan menjadi pelengkapnya, yakni melebihtinggikan derajatnya. Tapi kalau fikihnya masih amburadul, apalagi mengorbankan yang wajib atau melakukan yang haram, maka akhlak ini tidak lebih dari nyanyian syetan yang menyesatkan. Apalagi mengatakan untuk tidak melakukan fikih demi akhlak, maka ini jelas kesesatan yang nyata. Wassalam lagi. 

Hidayatul Ilahi: Alhamdulillah....syukron penerangannya ustadz,, jadi bagaimana dengan kata teman saya itu ustadz??? 

Zainab Naynawaa: Syukron atas penjelasannya. 

Sinar Agama: Ok, sama-sama. Wassalam. 

HenDy Laisa, Haidar Dzulfiqar and 23 others like this. 

Aufa Opa: Maaf ustadz.. Mau tanya benar atau tidak pernyataan salah satu ulama ini, apakah Beliau ulama syiah apa bukan ; Ibnu Babawaih Al -Qummi yang dijuluki Ash-Shaduuq – yang selalu berkata benar – mengatakan: “Keyakinan kami bahwa taqiyah adalah wajib, meninggalkan taqiyah sama seperti meninggalkan shalat, tidak boleh ditinggalkan hingga keluarnya Imam Mahdi, siapa yang meninggalkan taqiyah sebelum keluarnya Imam Mahdi maka telah keluar dari agama Allah (Islam), keluar dari agama Imamiyah dan menyelisihi Allah, Rasul dan para imam.” (Kitab Al-I’tiqadat, hal. 114) 

Ana sudah coba bertanya dengan asatidz..namun kurang puas mohon penjelasannya syukron. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih atas semua jempol dan komentarnya. 

Sinar Agama: Aufa: 

(1). Apapun pernyataan beliau itu, atau bahkan pernyataan Tuhan dalam Qur'an dan para makshum as dalam hadits, tidak boleh dijadikan pijakan berbuat oleh orang Syi’ah secara umum. Karena orang Syi’ah itu wajib bertaqlid pada marja’. Jadi, semua amalan, baik shalat, puasa, jihad, haji, zakat, khumus ....dan apa saja, kalau dilakukan tidak berdasarkan fatwa marja’nya, maka hukumnya batal. 

(2). Untuk memahami ayat-ayat dan hadits-hadits fikih saja diperlukan waktu yang tidak sedikit. Kira-kira 30 tahun untuk mencapai derajat ijtihad atau mujtahid itu. Dan hauzah atau sekolah untuk itu, dibuka untuk umum dan bertebaran di muka bumi ini. 

(3). Dalam Syi’ah kalau ada orang yang bukan mujtahid menyimpulkan hukum atau mengatakan- nya, dan dia bersandar pada ayat atau riwayat, sementara hukum yang ia pahami dan katakan itu ternyata memang benar di sisi Allah, maka tetap saja orang tersebut melakukan dosa. Yakni dosa nekad dan tajarri. 

(4). Sekarang setelah adanya beberapa mukaddimah di atas itu, maka saya akan menjelaskan perkataan syaikh Shaduuq itu.. 

(5). Yang dimaksud kata-kata diatas itu adalah takiah itu merupakan salah satu kewajiban. Artinya ia merupakan suatu hukum yang harus ditaati. Dan hukum ketaatan tentang taqiah ini harus dengan syarat, sesuai dengan ayat taqiah dan hadits-hadits taqiah lainnya. Yaitu dengan sebab yang empat itu (takut dibunuh, dipukuli, diperkosa dan diambil harta kehidupannya). Jadi, taqiah itu bukan disembarang tempat, tapi di empat kondisi itu. 

(6). Ketika sudah terkondisi dengan satu saja dari empat kondisi di atas, maka seseorang boleh taqiah, tapi tidak wajib taqiah. Jadi, yang dilarang itu bukan tidak melakuakn taqiah, tapi mengangkat hukum taqiah dan mengatakan taqiah itu bukan ajaran Islam, misalnya. 

Kesimpulan: Boleh tidak taqiah itu harus mengikuti fatwa yang telah diambil dari ayat dan hadits dengan derajat ijtihad. Dan taqiah itu hanya di empat kondisi itu, kecuali Rahbar hf dan beberapa marja’ lain, yang menambahkan satu lagi untuk persatuan (jadi shalatnya misalnya, harus dengan cara Syi’ah tapi jamaa’ahnya bisa dengan Sunni). Kemudian yang diperangi oleh Ahlulbait as dan para ulama itu adalah orang-orang yang ingin menghapus taqiah dari ajaran Islam sebagaimana mut’ah. Jadi, bukan mewajibkan taqiah dengan maksud kalau tidak taqiah maka mati bodoh dan bukan syahid. 


Aufa Opa: Terima kasih ustadz,, doa kami selalu biar ust tetap sehat,,,, 

Sinar Agama: Zahar dan Aufa: Terimakasih banget perhatian dan doa serta shalawatnya, semoga kita selalu tidak henti-hentinya mecari dan mencari kebenaran setinggi-tingginya, dan semoga mencapai yang selalu menunggui kita dan selalu menyinari dan melapangkan jalan kita, amin... 

Bani Masyithah: Semoga berkah Allah tercurah kepadamu juga. 

Sinar Agama: Bani, terimakasih doanya, semoga Dia juga menyelimutimu dan teman-teman yang lain, amin. 

Bande Husein Kalisatti: Syukron..ustadz. 

Sinar Agama: Bande, ok, sama-sama. 

Sinar Agama: Muhammad (karena sudah terhapus dari komentar, saudara kita Muhammad ini, memberikan komentarnya bahwa yang dimaksudkan meninggalkan fikih untuk mendahulukan akhlak, yaitu seperti meninggalkan fikih tidak wajibnya memberitahu istri yang dicerai demi akhlak, yaitu dengan memberitahukannya), Antum telah membuat istilah sendiri dalam mendahulukan akhlak di atas fikh ini. Karena yang dimaukan oleh pengistilah sebelumnya adalah meninggalkan fikih. Artinya, diperintahkan untuk mengamalkan akhlak dan meninggalkan fikih demi pengamalan akhlak itu. 

Nah, kalau antum mau mendahulukan akhlak di atas fikih dalam istilah yang sebelum antum itu, dan dalam kontek antum itu (contoh), maka berarti antum hanya boleh memberitahukan istri antum telah dicerai akan tetapi tidak mencerainya. Karena harus meninggalkan fikih cerai dengan hanya mendahulukan akhlak cerai, bukan tidak melaksanakan ketidakwajiban memberitahunya. 

Yang kedua, kalau maksudnya itu adalah tidak meninggalkan fikihnya, maka itulah yang kami inginkan. Artinya, mau berakhlak kek atau tidak, yang jelas fikihnya harus dilaksanakan. Apalgi kami sudah sering menjelaskan bahwa akhlak itu nilai positif dan melebihi fikih, akan tetapi dengan syarat bahwa fikihnya harus dilaksanakan. Karena, apa artinya senyam senyum akhlaki, kalau kita tidak shalat. Apa artinya, kita suka mendahulukan salam kalau tidak puasa Ramadhan? 

Karena itulah, maka akhlak itu kalau mampu maka bisa dilaksanakan, akan tetapi setelah mengamalkan fikihnya. Dan tanpa fikih, maka akhlak tersebut tidak bisa mengimbangi dosa-dosa yang diakibatkan meninggalkan fikih tersebut. 

Lagi pula, yang dimaksudkan fikih bahwa tidak wajib memberitahu istri itu, dalam hubungannya dengan syah atau tidaknya talaq. Artinya, mentalaq istri itu, akan menjadi syah kalau sekalipun tidak memberitahu istrinya dan tanpa ridhanya sekalipun. Perhatikan fatwanya: 

مسألة 9 : ال يعترب ىف الطالق إطالع الزوجة عليه فضال عن رضاها به 

“Masalah 9: Tidak disyaratkan dalam syahnya talaq, pengetahuan istri dan apalagi ridhanya terhadap talaqnya tersebut.” 

Lagi pula, ketika fikih mengatakan bahwa tidak menjadi syarat tentang syahnya talaq, untuk mem- beritahu bekas istrinya dan mendapatkan ridhanya, maka bukan berarti tidak memberitahukan- nya bahwa ia sudah diceraikannya. Karena itu, sudah semestinya memberitahunya bahwa ia sudah diceraikan, untuk melakukan apa-apa yang menjadi kewajibannya, seperti memulai meng- hitung masa iddahnya, bahwa suaminya sudah bukan lagi suaminya dan bukan mahramnya dan seterusnya.


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ


Mut’ah Dalam Perebutan Pengumbar Nafsu (ifraath) dan Anti-pati (tafriith)

Mut’ah Dalam Perebutan Pengumbar Nafsu (ifraath) dan Anti-pati (tafriith), melengkapi 4 catatan sebelumnya tentang Mut’ah




by Sinar Agama (Notes) on Monday, June 27, 2011 at 4:37 am



Tulisan ini dibuat untuk melengkapi catatan yang sudah beberapa kali muncul dari saya tentang kawin mut’ah ini. Jadi, sangat baik untuk mendapat wawasan yang jelas, membaca semua catatan-catatan saya yang sudah terbit sebelumnya. Yaitu: 

1. Jawaban Atas Kesamaan Mut’ah Ala Spesies Syi’ah Ame Zina_Oleh Sinar Agama · 09 Oktober 2010 

2. Jawaban Terhadap Pertanyaan Salafi Tentang Mut’ah (seri percobaan)_Oleh Sinar Agama· 03 April 2011 

3. Mut’ah dan filsafatnya serta liku-likunya (seperti apakah sunnahnya bisa bertahan ditekan hukum wajib yang melawannya?)_Oleh Sinar Agama· 08 Juni 2011 

4. Taqiah Harus, Tapi Mut’ah Jalan Terus? (diskusi ringan tentang mut’ah, fikih, akhlak dan taqiah) Oleh Sinar Agama· 09 Juni 2011

Mukaddimah Pertama:


Sebagaimana sudah tidak samar lagi bahwa Mut’ah adalah kawin dalam jangka waktu tertentu. Dan sudah pula saya sering menerangkan tentang syarat-syaratnya (sesuai fatwa-fatwa para marja’), seperti bahwa bagi yang bukan janda (janda adalah yang sudah nikah dengan syah dan dikumpuli setelah itu, lihat catatan tentang “Definisi perawan dan janda menurut agama” !!!) harus ijin walinya dengan jelas, seperti siapa calon suaminya, kapan tanggal nikahnya dan kapan tanggal berakhirnya serta apa/berapa maskawinnya (silahkan rujuk ke 4 catatan di atas itu). 

Pembahasan berikut ini adalah untuk melengkapi keterangan-keterangan sebelumnya. Dan sudah tentu lebih tertata karena bukan berupa jawaban terhadap pertanyaan dan/atau serangan. Namun demikian, catatan yang terdahulu itu, jelas bisa lebih mengena ke inti masalah, karena ia langsung menanggapi pertanyaan atau serangannya. 

Kemudian, tidak seperti biasanya, dalam tulisan ini dibubuhkan ayat dan banyak riwayat. Semua itu hanya sekedar sebagai wawasan saja, bukan sandaran hukum. Karena kalau kita menyan- darkan hukum ke atasnya, sementara kita bukan mujtahid, maka jangankan salahnya, benarnya juga akan didosa oleh Tuhan. Yaitu dosa nekad atau tajarri terhadap hukum-hukum Tuhan. Jadi, jangan sampai pemaparan ayat dan hadits-hadits itu dijadikan sandaran hukum. Karena memang tujuan kita adalah membahas hikmah atau filsafat dari mut’ah ini, bukan hukumnya yang sudah kita yakini kehalalannya melalui fatwa-fatwa marja’. Tapi untuk lebih memahami fatwa-fatwa marja’ tsb, dan lebih meresapi tujuan hukum halalnya nikah mut’ah ini, maka ayat dan hadits-hadits itu disertakan dalam tulisan ini. Dan bagi yang ingin lebih rinci dan dalam bentuk pemaparan yang lain, pembaca bisa merujuk ke kitab yang dikarang oleh ayatullah syahid Muththahhari yang berjudul: “Hak-hak Wanita dalam Islam”. 

Mukaddimah ke dua

Yang diinginkan dalam penulisan ini adalah ingin mendudukkan tujuan dan kefilsafatan hukum mut’ah. Atau setidaknya “meraba hikmah yang sebenarnya”. Karena bagi orang lain agama, atau saudara-saudara muslim yang tidak menerimanya, hukum ini dikiranya sebagai jalan pengumbaran nafsu kebinatangan (sex), sementara di lain pihak, yakni bagi sebagian orang yang menerima- nya, terkadang dijadikan kesempatan untuk menyalurkan nafsu sexnya untuk mencoba berbagai wanita sebelum mati merenggutnya (dianggapnya sebagai kesempatan emas). 

Kedua tatapan itu, jelas telah membuat agama ini jatuh dari pandangan manusia yang menatapnya (baik muslim atau bukan). Karena dengan tatapan pertama, khususnya bagi muslimin yang mengharamkannya, telah banyak melahirkan banyak perzinaan (baik zina kecil atau besar) di masyarakat muslim. Dan yang lebih mengenaskan, bukan lagi perzinaannya, tapi pergaulan bebas tsb sudah merupakan hal yang wajar dan tidak buruk lagi. Karena itu, maka orang tua tidak marah lagi pada anaknya yang SMP atau SMA yang melakukan pacaran dan jalan bareng dengan teman lelakinya. Nah, budaya ini, benar-benar telah menjadi semacam penyakit AID bagi masyarakat kita, dimana kalau bukan karena mengharap rahmat Allah, sebenarnya sudah sampai ke tingkat “tidak bisa lagi dibenahi”. Karena itulah imam Ali as bersabda: 

“Kalau Umar tidak mengharamkan mut’ah, maka tidak ada orang berzina kecuali yang benar-benar keterlaluan”. 

Jatuhnya agama di hadapan penatapnya yang diakibatkan oleh kelompok pertama ini (yang mengharamkan mut’ah), adalah karena Islam itu ternyata tidak memiliki jalan keluar bagi banyak kebutuhan sex yang memang tidak bisa disalurkan melalui kawin permanen (seperti pada poin 6 di atas) dan, akibatnya menyebabkan jatuhnya Islam ke dua kalinya di hadapan mereka (penatap dan penilainya), karena telah membuat masyarakat sosial muslim sudah tidak beda lagi dengan sosial barat yang anti agama sekalipun. 

Artinya, dengan adanya budaya gaul yang sudah kronis dan sudah seperti AID yang membunuh budaya Islam yang sehat itu sendiri. Dan, akibat akhirnya, bukan hanya muslimin tidak kenal lagi dengan budaya Islam yang mengatur pergaulan (seperti hijab, rias, senyam senyum, gaul, dan lain-lainnya), akan tetapi bahkan merasa aneh dengan adanya aturan Islam tsb dan anti pati ter- hadapnya. Dan bahkan tidak jarang yg mengumpat aturan-aturan tsb sebagai “Keterikatan” dan “Kekolotan” serta “Ketertinggalan”. Karena itulah, kalau dikatakan pada seorang muslim bahwa dia bukan orang gaul, maka ia akan merasa minder dan rendah diri karena merasa memiliki ke- kurangan. 

Sedang dari ulah kelompok ke dua, yakni yang menjadikan hukum kehalalan mut’ah sebagai pembuka kesempatan untuk mencicipi berbagai wanita, telah membuat jatuhnya pamor Syi’ah di masyarakat. Karena itu, tidak heran kalau seorang Syi’ah tidak mengijinkan anak-anak perempuan mengikuti training ini dan itu, karena takut dimut’ah oleh guru atau temannya (terlebih mut’ah yang kacau dan salah karena tanpa ijin yang jelas dari walinya). Karena itu pula, maka tidak heran kalau banyak orang anti pati terhadap madzhab Syi’ah ini, karena ulah sebagian pengulah itu. Karena itu pula, maka tidak heran kalau terjadi korban-korban pelecehan terhadap para wanita syi’iyyah (Syi’ah) dan mukminah (tapi bodoh) oleh teman sekegiatannya sendiri. Karena itu pula, tidak heran kalau sebagian Syi’ah cerai sana dan kawin sini. Walhasil, benar-benar memusingkan dan membuat kita malu sementara mereka tertawanya lega dengan hanya kesana kemari bermo- dal satu hukum saja, yaitu bahwa “mut’ah itu halal”. 

Mukaddimah ke tiga

Untuk sekedar mengingatkan kepada dalil halalnya, Allah dalam QS: 4: 24, setelah menerangkan tentang wanita-wanita yang tidak boleh dikawini, berfirman: 


وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ  فَرِيضَةً وَلَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيم اتَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ  الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ ع لَِيم احَكِيمًا

Terjemahan Departemen Agamanya: 

.... dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian –wanita-wanita yang diharamkan pada ayat 23- (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban, dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu (menambah atau mengurangi atau tidak mem- bayar sama sekali maskawin yang telah ditetapkan). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” 

Terjemahan Bebas Kami: 

... dan dilhalalkan bagi kalian selain yang demikian itu –wanita-wanita yang diharamkan pada ayat 23- (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka kalau kalian telah mut’ah (kawin dalam waktu tertentu) dengan sebagian mereka, berikanlah upah (maskawin) mereka sebagai suatu kewajiban. Dan tidak mengapa bagi kalian -berdua- untuk saling rela (yakni kalau mau menambah waktu mut’ahnya dengan persetujuan yang baru dari sisi waktu dan upahnya/maharnya) setelah kewajiban –pertama- itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.” 

Tidak cocoknya terjemahan pertama dan cocoknya yang ke dua:

1. Nafas ayat ini dapat diketahui dengan jelas bahwa ia ingin menjelaskan nikah mut’ah. Karena ia menjelaskan hukum mencari kesenangan dengan wanita melalui harta. 

2. Tuhan juga terlihat menekankan bahwa hal ini adalah kawin dan bukan zina. Yakni mencari kesenangan dengan harta melaui kawin mut’ah ini. Karena kalau kawin permanen tidak mesti dengan maskawin harta dan tidak perlu juga penekanan bahwa ini kawin. Karena sejak jaman jahiliyyah kawin permanen itu memang sudah ada. Artinya tidak perlu khawatir terhadap salah pahamnya umat terhadap hukum ini. Tapi ketika Tuhan sendiri menekankan bahwa hal ini adalah kawin, maka jelas ingin menangkal kesalahpahaman orang terhadap hukum ini yang mungkin akan mengatakan bahwa kawin seperti ini –yakni dengan harta dan dalam waktu tertentu- adalah zina.

3. Setelah mut’ah (kenikmatan) maka berikanlah upahnya. Di sini jelas, mendukung ke makna kawin sementara. Karena memberikan upah setelah kesenangannya itu. Jadi, pemberian upah setelah selesai kesenangannya. 

Allah di sini memakai kata UPAH atau UJUUR, maka ini juga bisa menguatkan kepada makna kawin sementara. Walaupun ia maknanya adalah maskawin karena pakai akad nikah, tapi ketika dipakai kata UPAH menandakan bahwa kawinnya itu adalah sementara atau setidaknya cenderung ke makna tsb, karena tabadur atau pahaman langsung begitu mendengar kata-katanya (upah). 

Tafsir Kasysyaaf, karya Zamakhsyari, juga mengisyaratkan pada makna upah yang dalam bahasa arabnya juga dikatakan tsawaab. Lihat di tafsirannya terhadap ayat mut’ah: 


وأجورهن مهورهن لأن المهر ثواب على البضع

“Dan ujuur mereka (para istri yang dikawini) adalah maharnya, karena mahar adalah upah/ tsawaab atas kemaluan-wanita.” 

Tafsir Aluusii juga menulis: 


وسمي المهر أجراً لأنه بدل عن المنفعة لا عن العين

“Mahar itu dikatakan upah/ajrun, karena ia balasan dari mamfaat, bukan barang (sehingga dikatakan harga/qiimah, penj.).” 

Tafsir Fakhru al-Raazii: 


وإنما سمي المهر أجراً لأنه بدل المنافع ، وليس ببدل من الأعيان ، كما سمي بدل منافع الدار والدابة أجرا
والله أعلم،

“Mahar itu dikatakan upah/ajrun karena berupa balasan dari mamfaat, bukan dari barang, sebagaimana disebut seperti itu (ajrun/upah) sebagai balasan dari mamfaat rumah (menyewa rumah) dan binatang (menyewa kendaraan), Allaahu A’lam.” 

5. Kemudian Allah mengatakan bahwa kalau setelah kewajiban itu (yang perempuan sudah melaksanakan tugas keistriannya dan yang lelaki sudah memberikan upahnya), maka tidak mengapa kalau mau saling rela lagi. Saling rela ini jelas dua arah. Sementara kalau mengikut terjemahan pertama, jelas satu arah. Karena merelakan maskawin itu bukan dari arah suami. Masak suami yang sudah sepakat di awal kawin untuk memberikan maskawinnya, lalu setelah itu menawar (misalnya), kemudian tawarannya ini dikatakan rela. Kan tidak klop. 

Rela itu apabila istrinya menerima tawaran suaminya, atau dari awal memang ingin merelakan maskawinnya. Ini baru klop. Tapi kalau suaminya, dari awal sudah rela memberikan seluruh maskwinnya sesuai dengan kesepakatan akad nikahnya, maka dia tidak lagi punya hak rela atau tidak, karena dari awal sudah rela. Dan kalau setelah itu dituntut sepenuhnya oleh istri, tidak ada kata rela buatnya. Karena ia, rela atau tidak, harus memberikannya. Apalagi kalau diberi keringanan oleh istrinya, maka suaminya ini jauh sekali dari kata dan istilah rela. 

Dan begitu pula, kalau si istri merelakannya, baik sebagian atau keseluruhannya, ini namanya hadiah dari istri, bukan bisnis dan mu’amalah yang tawar menawar. Artinya, tidak ada saling rela dari dua arah. Jadi, yang merelakan itu adalah istrinya, sedang suami hanya memiliki mau atau tidak saja, dalam menerima perelaan istrinya itu. Itu saja. Artinya, tidak bisa dikatakan bahwa mau dan tidaknya suami itu dikatakan sebagai rela menerima hadiah atau perelaan. Mau menerima hadiah itu bukanlah rela untuk menerima. Karena rela itu menyembunyikan hak yang direlakan. Sedang menerima hadiah, tidak mengandungi hak dan kewajiban yang ada di tangan orang lain. 

6. Perlu diketahui bahwa pemberian maskawin penuh itu (yakni setelah kawin permanen dan setelah dikumpuli) adalah kesepakatan Syi’ah dan Sunni. Karena itulah maka kalau cerai sebelum dikumpuli hanya wajib memberikan separuhnya. 

Nah, terjemahan pertama itu mengatakan bahwa hukum dalam ayat di atas itu adalah dalam rangka menerangkan hukum tsb. Padahal, jelas tidak terdukung konteknya. Karena dalam ayat tsb mengatakan “berikan maskawinnya”, bukan “berikan secara penuh maskawinnya”. Karena itu, maka lawan dari perintah tsb, yakni kalau pisah sebelum menikmatinya, adalah “tidak memberikan maskawinnya”. Karena lawan memberikan maskawin adalah tidak memberikan maskawin. Nah, karena lawan dari pemberian maskawin itu adalah tidak memberi maskawin, bukan tidak memberikan secara penuh, maka jelas hukum ini adalah untuk kawin sementara dan bukan permanen (karena dalam permanen wajib memberikan separuhnya, bukan tidak memberi keseluruhannya). Karena itulah dalam kawin mut’ah, kalau istrinya itu tidak melayani maka maskawinnya tidak wajib diberikan. Ini yang pertama

Yang ke dua, Allah mengatakan bahwa saling rela itu setelah kewajiban. Artinya yang wanita sudah menjalani kewajiban keistriannya, dan lelakinya SUDAH PULA MEMBERIKAN MASKAWINNYA ATAU UPAHNYA. Jadi, saling rela lagi itu, tidak bisa dikatakan bahwa si lelaki menawar maskawin dan si wanitanya merelakan sebagian atau keseluruhan maskawin. Artinya, tidak bisa dikatakan bahwa tawar menawar itu dalam kawin permanen (daim) setelah dikumpuli. Karena kalau dalam kawin daim, dan setelah dikumpuli, maka yang telah melakukan kewajiban itu baru istrinya, dan suaminya masih belum melaksanakan kewajibannya (memberi maskawin). Jadi, baru satu arah saja yang sudah melakukan kewajiban. Sementara Tuhan mengatakan bahwa tidak masalah kalian saling rela lagi setelah kewajiban itu. Yakni setelah kewajiban pemberian maskawin setelah menikmati. Artinya setelah keduanya melakukan kewajibannya masing-masing. 

Bayangin saja, Allah jelas mengatakan: “Kalau sudah bersenang-senang dengan wanita-wanita itu, maka berikan upahnya SEBAGAI KEWAJIBAN” lalu setelah itu mengatakan “Tidak mengapa kalau SETELAH KEWAJIBAN itu kalian saling rela lagi”, kemudian dikatakan bahwa maksudnya tidak mengapa untuk saling rela terhadap maskwinnya itu untuk diberikan semuanya, sebagiannya atau tidak sama sekali. Ini kan tidak klop sama sekali??!! Karena hukum saling rela lagi ini JELAS SETELAH PEMBERIAN MASKAWIN YANG WAJIB TERSEBUT??!!! 

Mukaddimah ke empat

Untuk penguat tafsir di atas, bisa merujuk ke tafsir-tafsir Sunni seperti: 

Al-Durru al-Mantsuur; Ibnu Katsiir; al-Zamakhsyari; al-Aluusii; al-Baidhaawii; al-Tsa’aalibii; a-Tsa’la- bii; a-Fakhru al-Raazii; al-Thabarii; al-Qrthubii; al-Manaar; dll bahkan hampir semua tafsir Sunni. Artinya, walaupun mereka menafsirkan yang sesuai dengan pandangan mereka seperti yang ter- tera pada terjemahan pertama di atas itu, akan tetapi selalu menyertakan pandangan kelompok yang menghalalkan seperti pada terjemahan ke dua itu. 

Bahkan sebagian tafsir-tafsir itu dengan jelas mengatakan bahwa mut’ah ini, di awal Islam, adalah merupakan kesepakatan para ulama. Yakni ayat di atas itu sabagai penghalalan mut’ah di awal Islam. Akan tetapi setelah itu dihapus oleh Nabi saww. Seperti: 

وقد استدل بعموم هذه اآلية على نكاح المتعة، وال شك أنه كان مشرو ًعا في ابتداء اإلسالم، ثم نسخ بعد ذلك 

“Dan bisa saja ayat di atas, dilihat dari sisi keumumannya, menunjukkan kepada nikah mut’ah. Dan memang, tidak ada keraguan bahwa ia adalah halal di awal Islam, akan tetapi kemudian di- hapus –nasakh- (lihat tafsir Ibnu Katsiir). 

Anehnya, bagaimana ayat bisa dihapus oleh hadits?!! Sebagaimana yang dikatakan oleh tafsir al-Qurthubii: 

وقال الجمهور : المراد نكاح المتعة الذيكان في صدر اإلسالم وقرأ ابن عباس وأبي و ابن جبير : فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسمى فآتوهن أجورهن ثم نهى عنها النبي صلى اهلل عيه وسلم 

“Jumhur –semua ulama atau setidaknya umumnya ulama- berkata: Maksud dari ayat ini adalah nikah mut’ah yang ada pada awal-awal turunnya Islam. Dan bahkan Ibnu Abbas membaca ayat itu seperti ini: ‘Dan apabila kamu bermut’ah dengan sebagian wanita itu SAMPAI BATAS WAKTU TERTENTU, maka berikanlah upahnya.’ Akan tetapi setelah itu Nabi saww melarangnya.” (lihat tafsir Qurthubii). 

Keanehan yang lain adalah mereka yang menafsirkan ayat di atas itu sesuai dengan penghara- man mut’ah, sementara ayat tsb adalah penghalalan mut’ah. Artinya, semestinya, mereka mene- rangkan maksud ayat itu tergantung penghalalan mut’ahnya, lalu setelah itu baru mengatakan bahwa mut’ah ini atau penjelasan ini, sudah tidak berlaku lagi karena sudah dihapus oleh Nabi saww. Tapi enehnya, mereka menafsir ayat itu sesuai dasar pengharaman mut’ah, hingga pema- hamanya menjadi jauh dari lahiriah ayatnya. Misalnya, ketika menafsirkan istamta’a (bermut’ah), upah dan saling rela lagi setelah kewajiban pemberian upah. 

Dan sudah tentu pelarangan Nabi saww itu, selain tidak bisa mengangkat dan menghapus hukum Qur'an, artinya bahwa hadits itu tidak bisa menasakh Qur'an, hadits-hadits tersebut juga berten- tangan dengan hadits-hadits shahih lainnya yang sangat banyak yang menyatakan bahwa para shahabat melakukan mut’ah itu di jaman Nabi saww, Abu Bakr dan Umar, dan bahwasannya yang melarang mut’ah itu adalah Umar, bukan Nabi saww. Ada lagi yang memaksakan diri untuk meng- hapus ayat mut’ah ini dengan ayat waris. Ini namanya pemaksaan. Karena tidak adanya warisan bagi anak dari kawin mut’ah itu merupakan qarinah dan qaid (kecuali) pada ayat waris itu, bukan sebaliknya. Yakni ketika Tuhan mengatakan bahwa anak dari nikah itu adalah ahli waris ayahnya, dan ketika di kawin mut’ah itu tidak ada pewarisan (karena misalnya kawinnya itu disebabkan keterpaksaan dan hanya semacam menyewa karena kawin dalam waktu sementara saja), maka hukum waris itu telah dikondisikan dengan hukum mut’ah ini. Artinya, waris yang mutlak itu di- batasi dengan kawin mut’ah. Jadi, bunyi hukum warisnya itu adalah: “Anak itu mewarisi ayahnya kecuali kalau anak dari hasil mut’ah.” 

Bukan dibalik. Misalnya, karena kawin mut’ah itu tidak ada pewarisan, dan karena anak dari kawin itu ada pewarisan, maka kawin mut’ah itu menjadi bukan kawin dan menjadi zina. Tidak bisa seperti ini. Karena waris itu adalah hukum yang diakibatkan oleh nikah daim. Jadi dia, tidak bisa menghapus hukum nikah lain yang sejajar dengan hukum nikah yang telah mengakibatkannya –waris- itu (daim). 

Mukaddimah ke lima

Untuk menguatkan tafsir di atas, yakni bahwa ayat tsb menerangkan tentang mut’ah, halalnya dan caranya, bisa juga melihat ke hadits-hadits Sunni yang banyak sekali, seperti: 

Shahih Bukhari, 3: 246; 4: 278; Shahih Muslim, 2: 1022; 2: 1023; 2: 1061; Musnad Ahmad bin Hanbal, 3: 22; 3: 26; 3: 95; 3: 304; 4: 47-51; Syarhu Ma’aanii Aatsaar, 3: 24-25; al-Maghaazii, 3: 37; Sunan Baihaqii, 7: 200-201; 7: 237; Musnad imam Syaafi’ii, 162-286; Tahdziibu al-Tahdziib, 10: 371; Kanzu al-‘Ummaal, 8: 294; Sunan Abu Daawud, 7: 217; Sunanu al-Kubraa, 7: 205; al-Ishaabah, 4: 333; dll. Dan contoh haditsnya seperti: 

روى البخاري بسنده ، عن جابر بن عبد اهلل ، وسلمة بن األكوع ، قاال : كنَّا في جيش ، فأتانا رسول رسول 
اهلل صلّى اهلل عليه وآله وسلّم ، فقال : إنَّه قد أُِذن لكم أ ْن تستمتعوا 

Dari Jaabir bin ‘Abdullah dan Salamah bin al-Akwa’, keduanya berkata: 

“Kami dalam suatu kamp ketentaraan. Lalu datang kepada kami Rasulullah saww dan bersabda: ‘Kalian telah diijinkan untuk melakukan mut’ah.’” (Bukhari, 4: 278 ) 

روى مسلم بسنده ، عن أبي الزبير قال : سمعت جابر بن عبد اهلل يقول : كنا نستمتع بالقبضة ِمن التمر والدقيق األيَّام ، على عهد رسول اهلل صلّى اهلل 

عليه وآله وسلّم وأبي بكر ، حتَّى نهى عمر عنه ..... 

..... Jabir berkata: 

“Kami melakukan kawin mut’ah dengan –upah- segenggam kurma dan tepung gandum, di jaman Rasulullah saww, Abu Bakr sebelum kemudian Umar melarangnya -di masa kekhalifaannya- .......” (Muslim, 2: 1022 ; Tahdzibu al-Tahdziib, 10: 371; Sunan Baihaqii, 7: 237; Kanzu al-‘Ummaar, 8: 294: ) 

Mukaddimah ke enam

Untuk menguatkan tafsir di atas, bisa juga dilihat dari hadits-hadits Sunni yang mengatakan bahwa mut’ah itu halal sejak jaman Nabi saww dan dilakukan di masa beliau, begitu pula di jaman kekhalifaan Abu Bakr sebelum kemudian dilarang oleh Umar di jaman kekhalifaanya. Lihat hadits sbb: 

Shahih Muslim, 2: 1022-1023; Sunanu al-Baihaqii, 7: 200-201; 7: 206; Musnad imam Syaafi’ii, 132; Musnad Ahmad bin Hanbal, 1: 52; 3: 325-326; Syarhu al-Ma’aanii, 2: 142; 2: 146; 3: 24; 3: 25; Kanzu al-‘Ummaal, 8: 293-294; Thabari, 293-294; Sunan Baihaqii, 5: 21; 7: 205-206; 7: 273; Sunan Abu Daawud, 8: 247; Mafaatiihu al-Ghaib, 10: 51; al-Ishaabatu, 1: 333; Musnad Ahmad bin Hanbal, 3:304; Tahdziibu al-Tahdziib, 10: 371; dll. 

Contoh haditsnya seperti: 

روى مسلم بسنده ، عن أبي نضرة قال : كن ُت عند جابر بن عبد اهلل ، فأتاه آ ٍت ، فقال : إ َّن ابن عباس ، وابن 
الزبير اختلفا في ال ُمتعتين ـ يعني ُمتعتي ال َح ِّج والنساء ـ فقال جابر : فعلناهما مع رسول اهلل صلّى اهلل عليه وآله 
وسلّم ، ث ّم نهانا عنهما عمر . فلم نَعد لهما 

Abu Nadhrati berkata: Aku bersama Jabir, lalu datang seseorang mendekatinya dan berkata: “Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Zubair berbeda pandangan tentang dua mut’ah –haji tamattu’ dan kawin mut’ah.” Jabir berkata: “Kami melakukan keduanya di jaman Rasulullah saww sebelum kemudian dilarang oleh Umar –di jaman kekhalifaannya- dan kamipun tidak melakukannya.” (Shahih Muslim, 2: 1023) 

َح ِّج كانتا ُمتعتان على عهد رسول اهلل صلّى اهلل عليه وآله وسلّم، وأنا أنهى عنهما ، وأُعاقب عليهما ، أحديهما ُمتعة النساء ، وال أقدر على ر ُجل تزَّوج امرأة إلى أجل ، إالَّ غيَّبته بالحجارة ، واألُخرى ُمتعة ال 

Umar berkata: “Ada dua mut’ah di jaman Nabi saww –haji tamattu’ dan kawin mut’ah- akan tetapi aku sekarang melarangnya dan akan menghukum bagi pelakunya. Salah satunya adalah kawin mut’ah. Sungguh aku tidak mampu melihat seorang lelaki yang kawin mut’ah dengan seorang wa- nita kecuali kurajam dia dengan batu, dan yang lainnya adalah haji tamattu’.” (Kanzu al-‘Ummaal, 8: 293 ; Sunan Baihaqii, 5: 21 dan 7: 206) 

Mukaddimah ke tujuh

Hadits-hadits Syi’ah tentang mut’ah ada tiga golongan: Menerangkan halalnya; Merangsang untuk melakukannya; Melarang melakukannya: 

(a). Hadits-hadits yang hanya menerangkan halalnya mut’ah. Seperti di kitab Ushuulu al-Kaafii, hadits ke: 9942-9948. Misalnya yang berbunyi: 

Abi Bashiir berkata: Aku bertanya tentang mut’ah pada imam Abu Ja’far as. Beliau menjawab: “Telah diturunkan hukumnya di dalam al-Qur'an yang berbunyi: ‘Maka kalau kalian telah bermut’ah dengan sebagian wanita itu, berikanlah upahnya sebagai kewajiban, dan tidak masalah bagi kalian untuk saling rela setelah kewajiban tsb.’ “ 

(b). Hadits2 yang merangsang untuk melakukan mut’ah. Seperti yang ada di kitab Wasaailu al- Syi’ati, hadits ke: 26388-26403. Misalnya yang berbunyi: 

وبإسناده عن صالح بن عقبة، عن أبيه، عن أبي جعفر عليه السالم قال: قلت: للمتمتع ثواب؟ قال: ان كان يريد بذلك وجه اهلل تعالى وخالفا على من أنكرها لم يكلمها كلمة إال كتب اهلل له بها حسنة، ولم يمد يده إليها إال كتب اهلل له حسنة، فإذا دنا منها غفر اهلل له بذلك ذنبا، فاذا اغتسل غفر اهلل له بقدر ما مر من 

الماء على شعره ...... 

Ayah Shaalih bertanya kepada imam Abu Ja’far as: “Apakah kawin mut’ah itu memiliki pahala?” Beliau menjawab: 

“Kalau pelakunya, dalam melakukan mut’ahnya itu, berniat karena Allah dan dalam rangka menentang yang melarangnya, maka tidaklah ia berbicara dengan istri mut’ahnya itu kecuali mendapat kebaikan (pahala); Tidaklah ia mengulurkan tangannya kepada istrinya itu kecuali ia mendapat kebaikan (pahala); Kalau ia mendekat padanya, Allah akan mengampuninya; Kalau dia mandi setelah itu maka Allah akan mengampuni dosanya sebanyak rambut yang terkena air -mandinya. .....” (hadits ke: 26390). 

Hadits-hadits yang Melarang mut’ah
Yang melarang ini ada dua golongan: 

Golongan pertama, adalah yang memang mengharamkan mut’ah dalam arti mutlak. Maka di sini, jelas bisa dikatakan sebagai hadits yang diucapkan dalam rangka taqiyyah. Seperti hadits ke: 26387 dari kita Wasaailu al-Syii’ati: 

محمد بن الحسن بإسناده عن محمد بن أحمد بن يحيى، عن أبي جعفر، عن أبي الجوزاء، عن الحسين بن علوان، عن عمرو بن خالد، عن زيد بن علي، عن آبائه عن علي عليهم السالم قال: حرم رسول اهلل صلى 
اهلل عليه وآله يوم خيبر لحوم الحمر االهلية ونكاح المتعة. 

Imam Ali as berkata: “Rasulullah saww telah mengharamkan daging keledai yang dipelihara dan nikah mut’ah diwaktu perang Khaibar.” 

Karena itu di penjelasan hadits di atas ini, dikatakan bahwa pengarang kitab dan lain-lainnya mengatakan bahwa hadits tsb adalah hadits taqiyyah. Karena mut’ah adalah ijma’ semua ula- ma Syi’ah dan hadits tentang halalnya terlalu banyak dan melebihi mutawatir. Atau bisa saja dimaknai bahwa mut’ah tidak dianjurkan (makruh) kalau membawa mafsadah (ketidak baikan). 

Golongan ke dua, adalah hadits yang melarang mut’ah kalau memang sudah tidak diperlukan lagi. Yakni bagi yang sudah memiliki istri dan berada dalam jangkauannya. Hadits-hadits di go- longan ini, walaupun tidak bisa diartikan sebagai haram, akan tetapi dapat ditangkap bahwa mut’ah itu kurang disukai oleh imam as dan Islam kalau dilakukan oleh yang tidak memerlu- kannya (baca hanya ingin mengumbar syahwat). 

Dalam kitab-kitab hadits, bahkan diterakan judul tentang pelarangan mut’ah bagi yang tidak perlu ini. Misalnya, di kitab Ushuulu al-Kaafii terdapat judul: 

باب أنه يجب ان يكف عنها من كان مستغنيا 

“Bab: Keharusan Untuk Tidak Melakukannya –mut’ah- Bagi Yang Tidak Memerlukannya.” (lihat Sub Judul untuk hadits ke: 9957-9960) 

Dan di kitab Wasaailu al-Syii’ati terdapat judul: 

باب كراهة المتعة مع الغنى عنها واستلزامها الشنعة أو فساد النساء 

“Bab: Kemakruhan Mut’ah Ketika Tidak Memerlukannya dan Mengakibatkan Keburukan atau Rusaknya Wanita.” (lihat Sub Judul untuk hadits ke: 26420-26425). 

Contoh haditsnya: 

علي بن يقطين قال: سألت أبا الحسن عليه السالم عن المتعة؟ فقال: ما أنت وذاك قد أغناك اهلل عنها 

Ali bin Yaqthiin berkata: Aku bertanya tentang mut’ah kepada imam Abu al-Hasan as. Beliau menjawab: “Ada apa kamu menanyakannya sementara kamu sudah tidak lagi memerlukan- nya (karena sudah kawin dan istrinya ada dalam jangkauannya)??!” (Ushuulu al-Kaafii, hadits ke: 9957; Wasaailu al-Syii’ati, hadits ke: 26420) 

كتب أبو الحسن عليه السالم إلى بعض مواليه ال تلحوا على المتعة انما عليكم إقامة السنة فال تشغلوا بها 
عن فرشكم وحرائركم فيكفرن ويتبرين ويدعين على اآلمر بذلك ويلعنونا. 

Imam Abu al-Hasan as menulis surat kepada sebagian pengikutnya: 

“Jangan membuat cela mut’ah (karena dihamburkan), hendaknya kalian melakukannya demi –menjaga- sunnah saja (sekali saja). Karena itu janganlah kalian menyibukkan diri dengan mut’ah itu di atas permadani kalian dan memuas-muaskan diri, hingga wanita-wanita itu men- jadi ingkar, berlepas diri dan mendoakan buruk pada yang memerintahkannya –makshumin as- serta melaknati kami.” (Wasaailu al-Syii’ati, hadits ke: 26423) 

Mukaddimah ke delapan (pelengkap)

Dalam fatwa-fatwa marja’ Syi’ah, telah diterangkan pula bahwa perempuan bisa memberi syarat kepada calon suami mut’ahnya. Seperti tidak pakai tidur, tidak pakai pegangan, dan semacamnya. 

Kesimpulannya


Dengan melihat semua ayat dan hadits-hadits di atas, baik Syi’ah atau Sunni, maka dapat disimpulkan sbb: 

1. Mut’ah ini halal dan berlaku sejak jaman Nabi saww sampai hari kiamat, walau dilarang oleh Umar. Karena Umar bukanlah penerima atau penerus syariat yang makshum. 

2. Kehalalan mut’ah ini melalui ayat, sedang penghapusannya dari riwayat Nabi saww yang ada di hadits-hadits Sunni atau hadits imam Ali as yang ada di Syi’ah itu. Karenanya tidak dapat menghapus hukum yang ada di Qur'an. Justru sebaliknya, bahwa hadits yang bertentangan dengan Qur'an sudah jelas ia adalah hadits yang palsu, karena Qur'an adalah ukuran untuk mengukur hadits shahih atau palsu. 

3. Kalaulah beberapa hadits-hadits pelarangan itu masih mau dipaksakan juga, maka ia tertolak oleh hadits-hadits lain yang shahih, baik di Sunni atau Syi’ah, yang mengatakan bahwa mut’ah itu dilakukan sejak dari jaman Nabi saww, Abu Bakar dan Umar dan setelahnya. Begitu juga bertentangan dengan hadits-hadits yang shahih dan sangat banyak di Sunni, bahwa yang me- larang mut’ah itu sebenarnya adalah Umar di masa pemerintahnnya. 

4. Pengahapusan ayat mut’ah dengan ayat waris, adalah pemaksaan yang tidak masuk akal sebagaimana sudah diterangkan di atas. 

5. Mut’ah adalah hukum yang terpaksa diadakan. Artinya demi menutupi ketidakmampuan penanganan kawin daim/permanen. Karena kawin permanen hanya bisa menangani beberapa masalah saja tentang hubungan lelaki dan wanita, tapi tidak semuanya. Karena orang yang diperjalanan, di peperangan, atau belum mampu menafkahi istri sementara ia sudah tidak bisa menanggulangi nafsunya karena sudah berumur agak tua ...dst dari sebab-sebab keter- paksaan itu, tidak bisa diselesaikan dengan hukum kawin daim/permanen. 

6. Tujuan atau hikmah mut’ah adalah di tempat-tempat yang tidak bisa diisi dengan kawin daim itu, seperti: 

(a). Suami yang sedang jauh dari istrinya. 

(b). Lelaki yang sudah cukup tua tapi belum mampu memberi nafkah kepada istrinya kalau ia kawin. 

(c). Perawan (bc: bukan janda, dan janda adalah yang sudah pernah kawin dengan syah dan sudah pernah dikumpuli setelah kawinnya itu) yang sudah mendapatkan calon suami daim/permanen dan sudah mendapat ijin dari walinya, namun ingin saling kenal lebih jauh supaya tidak salah pilih, maka keduanya melakukan kawin mut’ah yang juga dengan ijin walinya dengan jelas dan dengan syarat-syarat tidak melakukan apapun kecuali berbincang –misalnya- untuk saling mengenal lebih jauh.

(d). Memberikan jalan keluar pada janda yang sudah tidak dipilih lagi oleh para lelaki untuk dijadikan istri permanen untuk memenuhi kebutuhan nafsunya walau tidak untuk seumur hidupnya. Atau janda yang sudah terlalu lama tidak berhubngan dengan lelaki karena sudah ditinggal mati atau dicerai suaminya. Hingga dengan ini ia tidak terjerumus ke dalam zina (baik besar atau kecil). Tentu saja dengan lelaki yang dalam keadaan dharurat di atas itu.

7. Dengan mengerti tentang hikmah/tujuan kawin mut’ah ini, ditambah dengan tidak umumnya ulama dan orang-orang shalih melakukannya kalau tidak terpaksa, ditambah dengan larang- an-larangan dalam hadits bagi yang tidak memerlukannya karena sudah punya istri yang da- lam jangkauannya, maka jelas bahwa mut’ah ini bukan hukum yang ditujukan untuk penyalu- ran nafsu birahi bagi pemburu nafsu. 

Karena itu, maka sekalipun tidak mengharamkan pekerjaan mereka, akan tetapi sangat tidak disukai para imam Makshum as. Karena itulah maka imam Makshum mengatakan, seperti: Janganlah kalian menghamburkan mut’ah ini hingga membuat para wanita (begitu pula masy- arakat seperti di hadits-hadits lainnya) anti pati pada imam Makshum as dan mengumpati ajarannya. Lihat hadits ke: 26243, dari kitab Wasaailu al-Syii’ati di atas itu. 

8. Dengan poin no 7 ini dan ditambah dengan poin 1 sebelumnya, dapat dipahami, bahwa ha- dits-hadits Syi’ah yang merangsang kawin mut’ah ini (golongan ke dua hadits Syi’ah), adalah untuk menjaga supaya hukum Tuhan ini tidak terhapus oleh penghapusan Umar yang diiku- ti kebanyakan kaum muslimin, terutama pada jaman-jaman imam Makshum as. Jadi, kalau imam menganjurkan, itu hanya agar supaya hukum ini tidak hilang dari agama Islam. Karena itu maka terlihat jelas diperijinan para imam Makshum as, adanya anjuran sekali saja (dalam melakukannya) dan hanya demi menjaga sunnah ini, yakni sunnatullah atau agama Allah ini (lihat hadits ke: 26243 dari kitab Wasaailu al-Syii’ati di atas itu). 

Dan, sudah tentu, pahala yang bersar itu bukan hanya timbul dari nikah mut’ah ini, akan tetapi karena pelakunya memiliki dimensi berjuang mempertahankan hukum yang ingin dihapus Umar dan pengikutnya ini. Jadi, pelaku ini, yakni yang memerlukan ini, yakni karena jauh dari istrinya ini atau belum mampu kawin ini, dirangsang untuk melakukan mut’ah untuk mengata- si dirinya dan menjadi pejuang mempertahankan hukum Tuhan. Jadi, dia memiliki dua pahala sekaligus. 

9. Dengan mengerti poin 8 ini dan ditambah dengan poin2: 1, 2 dan 3, maka kedua perebutan yang dilakukan dua kelompok terhadap kawin mut’ah ini, dimana yang satu memburu untuk mengharamkannya, dan yang lainnya memburu untuk mengumbar nafsunya, dapat divonis dengan poin 5 dan 6. Artinya, hukum kehalalan kawin mut’ah ini ditujukan secara utamanya, bagi yang terpaksa melakukannya sebagaimana sudah dijabarkan di poin 6. 

10. Pengharaman terhadap mut’ah adalah menentang hukum Qur'an yang telah disepakati ada- nya dan menentang hadits-hadits shahih yang mutawatir secara makna -setidaknya. Sementa- ra menghamburkan nafsu dengan mut’ah adalah menjatuhkan pamor agama dan para imam Makshum as serta tidak disukai imam Makshum as. 

Pelengkap

Untuk melengkapi tulisan di atas, perlu kiranya kita merenungi hadits yang berisi ucapan imam Ali as (seperti di tafsir al-Kabir, karya Fakhru al-Raazii) dan imam-imam Makshum as lainnya (seperti yang bertebaran di hadits-hadits Syi’ah), serta shahabat-shahabat lainnya seperti Ibnu Abbaas (di tafsir al-Durru al-Mantsuur), yang berbunyi: 

لوال أ َّن عمر نهى الناس عن ال ُمتعة ؛ ما زنى إالَّ َشق ٌّي 

“Kalau Umar tidak melarang umat dari kawin mut’ah, maka tidak akan ada yang berzina kecuali yang keterlaluan.” 

ولو ال نهيه عنها ما احتاج إلى الزنا إالَّ شق ٌّي 

“Dan kalaulah bukan karena larangannya (larangan Umar) terhadapnya (kawin mut’ah), maka sudah tentu tidak perlu lagi kepada zina kecuali yang keterlaluan.” 

Para pemburu nafsu, yakni golongan ke dua dari dua golongan yang berebut di atas itu, selalu menggunakan hadits ini untuk menyalurkan nafsunya, hingga tidak memperdulikan lagi terhadap tercelanya agama dan para imam as. Mereka berdalil bahwa mut’ah ini mesti dikembangkan demi mengurangi zina. 

Padahal, kalau diperhatikan, orang yang melakukan zina itu dikarenakan tidak dapat membendung syahwatnya. Artinya, karena syahwatnya tidak mendapat penyaluran yang halal, maka ia nekad melakukan penyaluran yang tidak halal, yakni zina. 

Jadi, pandangan yang hanya sepihak itu, yaitu yang mengatakan bahwa kita mesti mempromosi- kan mut’ah dan tidak usah malu-malu karena Tuhan saja tidak malu, karena demi memberantas zina, adalah apologi yang kurang waras dan sangat tidak aklis serta tidak mengenal Qur'an, hadits dan para imam makshum as. Artinya, pengata ini, mungkin disebabkan gelora nafsunya yang sedikit liar, atau karena kurang mengerti hikmah dan kebijakan Islam, maka ia telah membuat statmen dan pernyataan seperti itu. Dan, penyata seperti itu, tidak sedikit. 

Padahal mereka, penyata dan pelaku ini, sudah memiliki istri-istri yang selalu siap melayaninya. Dan terkadang, justru mut’ah ini telah membuat keluarganya berantakan dan terkadang berak- hir pada penceraian. Keluarga jadi korban dan agama serta madzhabpun jadi cemohan. Apalagi cewek-cewek murahan yang melakukan ini tanpa ijin walinya dengan jelas dimana bukan hanya dirinya yg jadi korban nafsunya sendiri, tapi bahkan agama dan para imam makshum as yang diikutinya juga terkorban (karena ajaran Syi’ah jadi cemohan masyarakat seperti yang ditakuti para imam makshum as). 

Padahal, kalau kita perhatikan semua penjelasan di atas itu dan poin-poin kesimpulannya, serta ditambah lagi dengan adanya penyaluran syahwat bagi yang sudah memiliki istri hingga tidak akan memilih zina karena syahwatnya terkontrol dan tersalurkan, maka jelas maksud imam Ali as dalam hadits di atas, bukan orang-orang yang punya istri. 

Jadi, maksud hadits imam Ali as tsb adalah mempromosikan kawin mut’ah bagi yang tidak men- dapatkan penyaluran syahwatnya. Tentu saja, dengan syarat-syaratnya, bukan sembarang orang. Artinya hal tsb bukan hanya tidak menyangkut yang punya keluarga, tapi juga tidak menyangkut wanita-wanita yang bukan janda. Karena separuh dari diri mereka milik walinya. 

Karena itu, tanpa ijin walinya dengan jelas, baik siapa calon suaminya, atau kapan tanggal kawin dan tanggal berakhirnya serta maskawinnya, maka mut’ah mereka ini tidak syah dan dihukumi zina. 

Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, baik di dunia ini (dengan adanya peruba- han kesadaran dan aplikasi) atau di akhirat kelak, amin. Wassalam. 


Arina Rien: Tag saya ustadh.. 

Aan Ruslan Anwar: Assalamu’alaikum Wr Wb yaa ustadz, tag ana ya.. Syukran. 

Shellya Agatha: Maha Suci A££AH, A££AH Maha Pemurah lagi Maha Bijaksana,, syukron ustadz ... 

Hidayatul Ilahi: Terjawab sudah semuanya....ALHAMDULILLAH.....ALLAHUMMA SHALLI ‘ALA MUHAMMAD,WA AALI MUHAMMAD,WA ‘AJJIL FARAJAHUM. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya: Kuiringi antum semua dengan munajat hina ini: 

Ya Alllah .. tiada aku, tiada jagat, tiada cahaya dan tiada gelap, tiada ilmu dan tiada kejelasan, tiada lipatan-lipatan duka dan pekikan derita, tiada kebanggaan, tiada kemuliaan, tiada dan tiada, tiada dan tiada... kecuali keharusan menatapMu, memujaMu, dan membakar diri ini dan diri ini, sekali, dua kali dan berkali-kali hingga tak terhingga sampai diri dan semesta ini jadi arang dan arangnya arang, hingga tak pernah lagi tampak kemilau kecuali AsmaMu, WajahMu, JatiMu. 

Ya ...Allah .. kalau aku tak sudi tinggalkanku dan jagatku dan bahkan mayaku, maka sudilah ulur- kan tangan kasih nan lembutMu tuk selamatkan aku, hingga aku selamat dari diriku sendiri, hingga aku lari dari diriku sendiri, hingga aku terbakar dalam AgungMu dan menjadi debu tak berharga yang menempel di kaki para musafir yang bersemangat menujuMu. 

Ita Soetrisno: Terima kasih.. 

Hari Dermanto: Thanks atas penjelasannya ustadz sungguh sangat memberikan manfaat, semo- ga Allah mengkaruniakan kepada anda umur yang panjang dan ilmu yang bermanfaat, sehingga kami bisa mengambil manfaat. Salam izin share. 

Sinar Agama: Ita, terimakasih sama-sama, jaga diri baik-baik nah ... begitu pula teman-teman yang lain, jangan gampang percaya pada Islam atas nama atau Ahlulbait atas nama. Hargailah diri Anda sesuai dengan perintahNya, begitu pula teman-teman yang lain. 

Sinar Agama: Kidung: Kalau antum sudi, maka ikutlah menyebarkan tulisan ini sebanyak-bany- aknya, supaya tercapai harapan antum. Oh iya, terimakasih sebelumnya kalau berkenan ikut me- nyebarkannya. 

Sinar Agama: Syahzanan: Bersaksilah di hadapan hdh Fatimah as kelak, bahwa aku yang hina ini telah berjuang ingin menyelamatkan cucu-cucu dan kaum wanitanya dari penyalahgunaan nafsu- nafsu kurang terhormat, terimakasih dan tolong doakan. 

Sinar Agama: Hari, terimakasih perhatian dan doanya, sebarkanlah kalau memang sepakat bahwa ia adalah tulisan yang baik. Supaya kita sama-sama bisa mendapatkan pahalanya i-Allah, afwan dan terimakasih. 

Khadijah Gany: Salam.. mohon saya juga dtag-kan ustad sangat bermanfaat, syukran.. 

Sinar Agama: Khadijah, apa kamu tidak bisa mengcopynya? Kalau bisa tolong diusahakan dulu ya... dan kalau tidak bisa hubungi lagi aku. Namamu sudah kumasukkan ke group supaya mudah mengakses catatan-catatanku. 

June 28, 2011 at 2:09am · Like