Kamis, 23 Agustus 2018

Doa, Ikhtiar, Tawassul, Syafaat dan Berkah



Seri tanya jawab: Bintang Ali dan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, June 21, 2011 at 12:49 pm 




Bintang Ali : Salam ustad, semoga ustadz diberi kelapangan dan ridhoNya beserta keluarga ustad.. Stad, apa relasinya antara ihktiyar dan doa? Apakah ikhtiyar seseorang bisa di dilancarkan/ digagalkan dengan doa? Apakah Ikhtiyar dan doa itu sejajar? Gimana menjelaskan ikhtiyar orang non muslim padahal dia tidak berdoa kepada Allah? Mohon penjelasannya stad.

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya:

(1). Saya sudah pernah merinci ini, tapi entah dimana. Sekali lagi kalau si Anggelia aktif, maka mungkin bisa ditanyakan ke dia. Tapi sayang dia sepertinya sudah tidak aktif lagi dan membuatku juga kehilangannya.

(2). Tidak ada yang sulit untuk mengerti doa dan ikhtiar. Karena doa itu bagian dari ihkhtiar itu sendiri.

(3). Pada prinsipnya kan kita sebagai orang Syi’ah tidak meyakini adanya takdir Tuhan yang bermakna penasiban manusia. Karena dalam Islam ajaran seperti itu tidak ada dan adanya hanya dalam agama-agama seperti Kristen, Yahudi atau Hindu. Karena itu, semua yang akan menyangkut manusia, yakni tentang seluk beluk kehidupannya, akan ditentukan oleh ikhtiarnya.

(4). Akan tetapi ikhtiar manusia ini, tidak mansidi hingga menjadi penentu satu-satunya terjadinya perbuatan manusia. Karena itu ada ikhtiar ke dua di balik ikhtiar pertama. Misalnya kita sudah tidur sebelum setir mobil supaya tidak tidur di mobil. Ini adalah ikhtiar pertama.

Tapi di tengah jalan ternyata kita tabrakan, karena sopir lain dalam ikhtiarnya tidak memilih tidur hingga ia menabrak kita. Nah, dalam peristiwa ini, ikhtiar pertama kita sudah benar, yaitu istirahat yang cukup. Tapi apakah tabrakan ini tidak menyangkut ikhtiar kita hingga kita kembalikan ia kepada ketentuan Tuhan? Tidak sama sekali. Karena kita ketika memilih menyetir mobil, sekalipun kita sudah tidur dengan cukup, tetap saja akal kita mengatakan bahwa tetap sangat mungkin terjadi tabrakan dengan sopir lain yang tidur dan menabrak kita. Akan tetapi kita terus saja memilih turun ke jalan dan menyetir mobil sambil berkata ”itu sudah resiko”. Nah, tetapnya kita turun ke jalan itulah yang disebut dengan ikhtiar ke dua. Yakni kita tidak ingin secara perasaaan untuk tabrakan, tapi karena tetap turun ke jalan, maka secara filosofis berarti kita menginginkannya yang, kemudian kita katakan resiko.

(5). Sebelum kuteruskan, barangkali perlu sekali antum merujuk ke catatanku yang berjudul “Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah.” bagian ke 2-a dan 2-b.

(6). Doa adalah bagian dari ikhtiar kita. Terutama kita dalam memilih masing-masing ikhtiar kita, diselimuti dengan jutaan ikhtiar orang lain (seperti sopir lain yang ketiduran itu) atau diselimuti jutaan hukum alam (seperti berlayar mencari ikan dengan pikiran tidak akan ada gelombang karena cerah). Nah, dalam masing-masing ikhtiar kita diselimuti dengan jutaan ikhtiar orang lain atau hukum-hukum alam. Karena itulah dikatakan bahwa manusia itu lemah dan tiada berdaya.

Dalam keadaan seperti itulah maka manusia berdoa kepada Allah, agar seandainya ikhti- arnya yang dikira baik itu ternyata tidak baik dan menjurus kepada kecelakaan, dapat dihindarkan olehNya. Dan apapaun yang akan dilakukan Tuhan, karena doa kita itu, maka ia bagian dari ikhtiar kita tsb. Tentu saja doa yang maqbul dan diterima. Misalnya, ketika sudah tidur cukup, lalu ketika keluar rumah berdoa kepada Allah untuk diselamatkan sampai tujuan, maka kalau doa kita itu qabul, bisa saja Tuhan memberikan sedikit energi kepada sopir yang akan ketiduran manakala ia akan salipan dengan kita di jalan itu. Atau Tuhan memberikannya ilham dan rasa takut hingga ia berhenti di pinggir jalan dan tidur sejenak. Atau membuat bayinya di rumahnya nangis-nangis terus hingga ia -calon sopir yang akan menabrak kita itu- tidak jadi keluar rumah dan menyetir dalam keadan mengantuk tsb. Jadi berbagai cara dan sejuta cara untuk mengadakan pencegahan.

Itulah mengapa orang shalih bisa mensyafaati orang lain, walau masih di dunia ini, walau tidak dimintanya. Seperti contoh di atas itu. Sopir ke dua yang nekad itu, menjadi selamat karena doa orang pertama terhadap dirinya sendiri. Tapi berkah doanya untuk dirinya itu bisa menyelimuti sopir ke dua tersebut.

Karena itu tidak heran manakala malaikat pencabut nyawa kebingungan dikala mau mencabut wali-wali Tuhan. Karena kalau tidak dicabut, tidak akan bertambah dekat dengan Tuhannya dan menunda pertemuannya. Tapi kalau dicabut, berkahnya akan hilang di dunia ini.

(7). Tentu saja tidak ada doa yang ditolak oleh Allah swt. Karena Dia sendiri sudah berjanji di dalam Qur'an untuk menerima doa kita dan Dia pasti akan memenuhi janjiNya. Dalam QS: 40: 60, Tuhan berfirman:

”Dan Tuhan kalian berkata: ’Mintalah kepadaku niscaya Aku pasti mengabulkannya!’”

Di sini Tuhan tidak memberikan syarat-syarat apapun untuk pengqabulan doa tersebut.

Akan tetapi karena pengqabulanNya, sesuai dengan sifat-sifatNya seperti Bijaksana, Kasih dan semacamanya, maka tidak mesti berupa apa yang kita minta kepadaNya. Misalnya kita minta mobil, tapi kalau Ia tahu mobil itu akan membuat kita celaka dunia-akhirat, maka bisa saja, sekali lagi, bisa saja, Dia tidak akan memberikannya. Tapi sudah tentu akan memberikan atau menggantikan dengan yang lainnya, seperti pahala, pangampunan dosa, sawah atau rumah dan semacamnya.

(8). Karena itu maka tawassul dan perbuatan-perbuatan baik lainnya, yang yang dianjurkan oleh agama untuk dilakukan sebelum berdoa demi membuat doa menjadi istijabah/diterima, adalah untuk mengistijabahkan yang didoakannya, bukan doa itu sendiri. Seperti minta mobil pada contoh di atas. Artinya, tawassul, shalawat, sedekah, wudhu, shalat sunnah, menangis ...dan seterusnya itu adalah mukaddimah doa hingga doanya diterima sesuai yang diminta (seperti mobil dalam contoh di atas) dengan tanpa adanya resiko dan efek-efek sampingannya.

Jadi, kalaulah kita banyak dosa dimana doa kita itu tidak mustajab dalam bentuk yang diminta dan digunakan oleh Tuhan untuk menghapus dosa kita sebagai pengabulanNya, maka dengan mukaddimah-mukaddimah doa tadi, dosa kita sudah terhapus hingga doa minta mobil itu tidak lagi ada halangannya. Atau kalau minta mobil itu memiliki resiko, maka mukaddimah-mukaddimah itu diharapkan bisa menghilangkan resikonya.

(9). Untuk orang-orang kafir, maka biasanya mereka akan lebih lancar dalam masalah-masalah dunianya. Karena pemberian-pemberian Tuhan itu dimaksudkan mengingatkannya akan kepapaan mereka. Artinya, mereka bukanlah orang yang dipilihkasih-i olehNya dalam pemberian. Hal itu karena memang kelas mereka di situ saja. Yakni bahwa Allah tidak menghambatirikan mereka dari kaum beriman. Jadi, mereka akan teruji dengan pemberian- pemberian itu dan tidak lebih. Dan bagi kafirin yang doanya dan hajat-hajatnya tidak terpenuhi, maka dimaksudkan supaya sadar akan kelemahannya dan mengimani yang Maha segala-galanya sebelum kemudian menaatiNya.

Akan tetapi muslimin, yakni telah menerimaNya, maka mereka berarti siap untuk diuji dengan ujian-ujian lainnya. Karena itu, maka muslimin bisa sangat lebih menderita dan menghadapi ujian yang bertubi-tubi. Tentu saja tidak semua musibah itu dariNya. Karena bisa saja dari kesalahan kita sendiri dalam memilih ikhtiar yang salah, seperti menyetir dalam keadaan ngantuk itu.

Nah, kalau ada musibah yang memang dari Tuhan, seperti banjir yang bukan karena sampah di sungai dan bukan karena penebangan hutan, dan lain-lain sabab yang bersumber dari tangan manusia, maka hal itu disebabkan karena Tuhan ingin menaikkan derajat kita. Persis seperti kelas di sekolah yang mana kalau kelas bawah ingin naik ke kelas atas harus menghadapi ujian terlebih dahulu.

Nah, muslimin itu adalah orang-orang yang mendaftar ke kelas-kelas itu dan mendaftar untuk diuji. Sementara orang-orang kafir ibarat orang yang tidak sekolah dan tidak mendaftar untuk diuji. Jadi sudah pasti ujian muslimin akan jauh lebih besar dari kafirin.

Jadi, seorang muslim yang ada sedikit iri dan cemburu dengan kekayaan kafir, biasanya disebabkan ketidak mengertiannya tentang hal ini. Sudah tentu kalau muslim dan kafirnya di sini sudah selevel. Artinya dalam kecerdasan, usaha dan ikhtiar-ikhtiarnya. Misalanya sama hebat dalam berbisnis dan menentukan moment serta menentukan partner. Tapi kalau muslimnya bahlol (maaf), ya .... karena memang keburukan ikhtiarnya yang malas belajar ilmu (bisnis misalnya) dan malas berusaha gigih. Jadi, dalam konsidi seperti ini, irinya dia itu benar tidak pada tempatnya. Tapi kalau sama-sama hebat, tapi yang muslim tidak berhasil tapi yang kafir berhasil, maka bisa saja karena ia telah mendaftar untuk menjadi murid yang akan diujiNya, dan, sudah tentu si muslim tadi sedang menumpuk pahala dan keberhasilan akhiratnya dalam tanpakan ketidak berhasilannya di dunianya.

Misalnya, ia tidak korupsi untuk cepat berhasil. Ia juga tidak menyoigok untuk berhasil. Ia tidak menipu orang dalm bisnis hingga tidak menjaul barang kecuali yang baik. Ia sangat cinta dengan hukum Tuhan walau ia akan mengalami ketidak berhasilan. Nah, di sini ia bisa tidak berhasil di dunia, tapi ia di Mata Tuhan, di dunia ini justru telah berhasil. Karena di MataNya, berhasil di dunia itu bukan kaya, tapi beramal sesuai dengan nilai-nilaiNya.

Penutup: Fiddun-ya hasanah (di dunia mendapat kebaikan), bukan berarti dapat harta, sehat badan, dan ketentraman. Akan tetapi menjalani hidup sesuai dengan kemauanNya yang telah dituangkan dalam syariatNya (akidah dan fikih). Wassalam.


Bintang Ali: Syukran stadz..sangat memuaskan,,hehe.

Bande Huseini: Syukron..telah menambah keyakinanku.

Maryam Bunda Isa Almasih: Iya Ustad, dengan memahami bahwa kita dalam posisi Di Uji, meringankan beban kita. Terima kasih Pencerahannya.

Aufa Opa: Maaf ustad.. Mau tanya tentang ayat yang mengisaratkan dan menunjukkan bahwa Allah telah merıdhoı sahabat (al-fath : 19) dımana jelas Allah berfırman bahwa DIA telah meredhoı mereka yang berbaiat ”tahtasy syajarah”... Dimana dalam ayat tersebut termasuk Abu Bakar, Umar dal lain-lain,, benarkah, atau bagaimana ??? Mohon penjelasannya ustad,,,

Sinar Agama: Aufa,:

(1). Bukan ayat itu yang biasa dijadikan dalil tentang keridhaan Tuhan pada shahabat, tapi surat Taubah ayat 100 yang berbunyi: ”Dan orang-orang terdahulu dari muhajrin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah meridhai mereka dan mereka juga meridhaiNya. Dan Allah menjanjikan kepada mereka surga-surga yang mengalir sungai di bawahnya. Mereka kekal abadi di dalamnya. itulah kemenangan yang agung.”

(2). Sebagian muslimin dengan ayat tersebut, terus mengunci mati apapun yang bisa membuat para shahabat itu bisa celaka. Artinya, ayat tersebut sudah harga mati dan tidak bisa diganggu gugat. Yakni bahwa semua shahabat itu dan siapapun yang mengikuti mereka akan mendapat kemenangan agung itu (surga).

(3). Padahal, kalau kita merujuk ke berbagai tafsir dan ayat-ayat lainnya, maka hal seperti itu tidak ada dalam Islam. Karena itu siapa saja yang shalih diantara shahabat itu, maka dialah yang akan masuk surga.

(4). Bukti yang sangat nyata adalah, bahwa para shahabat itu saling berperang dan membunuh sampai-sampai di perang Jamal saja (perang antra imam Ali as dan ‘Aisyah) jatuh korban 7000 orang yang setidaknya bisa diperkirakan bahwa separuh mereka adalah shahabat. Belum lagi peperangan di jaman Abu Bakar dimana sampai jenderalnya yang bernama Khalid bin Walid bahkan membakar hidup-hidup beberapa shahabat di depan umum.

Lihat sejarah Sunni tentang korban yang terbunuh di Perang Jamal, antara Imam Ali as dan ‘Aisyah:

Muruuju al-Dzahab, Al-Ma’uudii, 2/367, menyatakan ada 20.000 korban. Al-Muntazhim, Ibnu Jauzii, 2/99, menyatakan ada 10.000 korban.

Taariikh Thabari, Thabarii, 5/542-555, menyatakan ada 15.000 korban. Taariikh Khaliifah, Bin Khiyaath, menyatakan ada lebih dari 6.000 korban.

Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 7/546 dan Fathu al-Baarii, 13/62, menyatakan ada 32.000 korban.

Catatan: Keterangan pertama, ke tiga, ke empat dan ke lima, diambil dari kitab Siiratu Amiiru al-Mukminiin Ali bin Abi Thalib, karya Ali Muhammad Muhammad al-Shulaabii, dicetak pertama kali tahun 2005. Tentu saja, penulisnya hanya menukil sebelum menolaknya dengan hitung-hitungan khayalnya dan tanpa melalui data sejarah. Untuk keterangan ke dua, saya ambil sendiri dari kitab yang telah disebutkan di atas itu.

(5). Baiklah, biarkan dulu hal pahit di masa lalu itu. Walaupun ia bagus dibahas secara ilmiah karena bisa melahirkan segala macam persepsi terhadap Islam sekarang yang kita pahami ini. Bayangin saja, orang Syi’ah dikafirin hanya karena kritis walau terhadap shahabat, padahal.. para shahabat itu bukan hanya mengkritisi satu sama lain, akan tetapi saling mengafirkan dan saling bunuh dan banyak kali peperangan yang dilakukan diantara mereka sendiri. Nah, kalau mengkritisi saja kafir, atau anggap deh mengecam shahabat itu kafir, lah ... bagaimana dengan yang mengafirkan dan membunuh shahabat?

(6). Kembali kepada masalah ayat di atas itu (Taubah:100), maka sebenarnya masalahnya sangat mudah, asal dada ini dikosongkan dulu dari doktrin yang diatasnamakan Islam itu.

(7). Study gampangannya, baca saja terus ayat berikutnya. Nih kalau ditulis lengkap seperti ini:

”Dan orang-orang terdahulu dari muhajrin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah meridhai mereka dan mereka juga meridhaiNya. Dan Allah menjanjikan kepada mereka surga-surga yang mengalir sungai di bawahnya. Mereka kekal abadi di dalamnya. itulah kemenangan yang agung.”

”Dan di sekitar kalian dari orang-orang pinggiran (desa) terdapat orang-orang munafik. Dan bahkan orang-orang yang ada di kota, mereka keterlaluan dalam kemunafikan. Kalian tidak bisa mengenali mereka, tapi Kami mengenali mereka. Kami akan mengazab mereka dua kali sebelum Kami ceburkan mereka ke dalam azab yang agung.”

”Dan sebagian mereka telah mengakui bahwa mereka mencampur perbuatan baik dan buruk. Semoga saja Allah kembali kepada mereka dan mengampuni mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Kasih.”

”Ambillah sebagian harta mereka sebagai sedekah (seperti zakat) untuk membersihkan dan mensucikan meraka. Dan berterimakasihlah dan berdoalah untuk mereka karena hal itu menenangkan hati mereka. Dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”

”Apakah mereka tidak tahu bahwa Allah itu menerima taubat dan menerima sedekah, dan bahwasannya Allah itu Maha Penerima taubat?”

”Dan katakan -Muhammad: ’Berbuatlah kalian sesuka hati kalian, karena sesungguhnya Allah, Rasul saww dan orang-orang mukmin (sejati) akan melihat perbuatan kalian itu, dan kemudian kalian akan dikembalikan ke alam ghaib dan syahadah (akhirat) lalu dikabarkan kepada kalian apa-apa yang telah kalian lakukan.”

”Dan sebagian mereka, urusannya, diserahkan kepada Allah, apakah akan mengazab mereka atau mengampuni mereka. Dan sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui dan Bijaksana.”

(8). Kalau kita baca terus ayat 100 itu sampai dengan 106, maka jelas bahwa keridhaan yang dimaksud Tuhan itu mestilah memiliki kondisi. Artinya tidak mutlak. Yakni baik kondisi orangnya atau perbuatan yang telah membuat ridha Tuhan itu. Kalau melihat orangnya, banyak mufassir yang menafsirkan bahwa mereka itu adalah Muhajirin dan Anshar yang melakukan baiat Ridwan. Ada lagi yang juga tafsir Sunni, yang mengatakan bhw mereka itu adalah Muhajirin dan Anshar yang shalat di dua kiblat. Jadi tidak semua Muhajarin dan Anshar.

(9). Kemudian ayat 100 itu sendiri telah menerangkan perbuatan yang membuat Allah ridha, baik baiat atau shalat bersama Nabi saww itu. Yaitu ”kebaikan”. Baik ditafsirkan dengan ”mengikuti mereka dengan baik”, atau ditafsirkan dengan ”mengikuti kebaikan mereka”. Artinya, kalau ditafsirkan dengan yang pertama ini, maka ayatnya akan berbunyi bahwa:

”Tuhan ridha kepada Muhajirin dan Anshar KARENA TELAH MELAKUKAN KEBAIKAN BERUPA PERJUANGAN DAN BAIAT SAMPAI PADA BAIAT RIDWAN ATAU TABAH BERJUANG DENGAN NABI SAMPAI KEPADA BERUBAHNYA KIBLAT, dan yang mengikuti mereka dengan baik DALAM KEBAIKANNYA ITU.”

Atau kalau dengan makna ke duanya, akan bermakna seperti ini:

”Tuhan telah ridha kepada Muhajirin dan Anshar karena telah melakukan kebaikan berupa perjuangan dan baiat sampai pada baiat Ridwan dan/atau sampai pada berubahnya kiblat, DAN ORANG-ORANG YANG MENGIKUTI KEBAIKAN MEREKA.”

Kalau kita lihat kedua makna itu, maka tekanan ridha Tuhan itu pada perbuatan baik, seperti Islam, iman, berjuang, tabah, baiat dan semacamnya. Jadi, ia adalah keridhaan yg(yang) bergantung kepada sesuatu, yaitu kebaikan dan perbuatan baik. Jadi tidak mutlak keridhaan tanpa melihat apapaun. Dan kalau kita memutlakkannya maka kita telah menjadikan Tuhan bebas nilai dan syariatNya ini adalah palsu. Bukankah Tuhan mengatakan siapa berbuat kebaikan akan mendapat pahala dan yang berbuat jelek mendapat dosa? Nah, kalau keridhaan ini dimutlakkan, yakni semua shahabat diridhai, tanpa alasan apapun, maka berarti ajaran Islam yang berdasar pada keadilan balasan itu, menjadi roboh sampai ke akar- akarnya. Dan tidak ada satu orang Sunnipun yang akan berkata seperti itu.

Jadi keridhaan Tuhan itu, walau pada shahabat, adalah karena kebaikan dan ketaatannya. Tidak lain dan tidak bukan.

(10). Sekarang, kalau keridhaan Tuhan itu karena kebaikan, dan memang seperti itu, maka pertanyaannya, bagaimana kalau kebaikan itu berubah jadi keburukan, atau dicampur dengan keburukan? Jawabnya jelas akan keluar dari keridhaan pertama ini. Karena itulah kalau ayat 100 itu diteruskan maka akan terlihat dengan nyata, bhw diantara mereka itu terdapat orang-orang munafik dan bahkan dikatakan bahwa mereka keterlaluan dalam kemunafikannya itu. Yakni sebegitu rupa mereka dapat menyembunyikan kemunafikan mereka hingga SEMUA MUSLIMIN DAPAT DITIPUNYA KECUALI ALLAH. Karena itulah Alllah mengatakan bahwa ”kalian tidak mengetahui mereka tapi Kami mengetahui mereka”. Ini karena kehebatan mereka dalam menyembunyikan kemunafikan mereka sampai-sampai TAK SEORANGPUN DARI KAUM MUSLIMIN YANG MENGETAHUI MEREKA.

(11). Dengan keterangan poin 10 dapat diketahui bahwa munafikin keluar dari keridhaan Tuhan ini. Jadi tidak semua shahabat diridhai.

(12). Kalau diteruskan lagi ayatnya, maka kedapatan bahwa sebagian mereka (shahabat) ini telah mencampur taat dengan maksiat. Nah, golongan ini sudah jelas keluar dari ridha dan janji Tuhan di atas. Urusan mereka ini nanti terserah kepada mereka atau terserah kepada Tuhan. Yang jelas Tuhan merangsang mereka untuk taubat, tapi siapa yang taubat dan siapa yang tidak, hanya Tuhan yang tahu. Artinya, dengan ini kita tidak bisa mengatakan bahwa semua shahabat diridhai dan dijanjikan surga.

(13). Kalau diterusin lagi ayatnya, maka Tuhan menyuruh Nabi untuk mengambil sedekah (zakat) dari mereka untuk mensucikan mereka dari dosa-dosa mereka. Di sini juga bisa dipahami bahwa ridha dan janji Tuhan itu, masih harus diteruskan dengan perbuatan baik lainnya dari sekedar Islam, iman , berjuang ...dan seterusnya yang sampai ke masa pergantian Kiblat atau baiat ridhwan. Artinya, terlihat sekali bahwa ridha dan janji itu sangat bisa berubah. Yakni kalau tidak bayar zakat dan semacamnya. Kalau dalam bahasa ilmiah keridhaan dan janji di ayat 100 itu masih Muta’alliq, yakni berkondisi dan bergantung. Yaitu bergantung kepada ketaatan-ketaatan yang lain seperti zakat ini. Jadi, walau sudah diridhai sampai pada waktu itu, akan tetapi tidak bayar zakat, maka dosa mereka tidak bersih dan akan masuk neraka.

(14). Ketika zakat dapat mengeluarkan mereka dari ridha dan janji surga itu, maka ibadah-ibadah lainnya juga demikian. Seperti shalat, puasa, murtad ...dan seterusnya. Artinya, KERIDHAAN DAN JANJI ITU TIDAK BAKU DAN BISA BERUBAH KAPAN SAJA.

(15). Dan kita dengan melihat sejarah dan banyaknya pertempuran diantara shahabat dengan shahabat dapat dipastikan bahwa keadaan mereka sudah berubah. Dan betapa agungnya perubahan mereka. Karena bukan hanya tidak shalat dan tidak bayar zakat, tapi bahkan saling mengafirkan dan saling bunuh dan bahkan membakar hidup-hidup mereka.

(15). Ketika sudah kita yakini terjadi perubahan itu, MAKA SUDAH SELAYAKNYA BAGI KITA UNTUK MENYELEKSI MEREKA-MEREKA ITU HINGGA MENGIKUTI YANG BAIK -bi ihsaan- DAN MENINGGALKAN YANG TIDAK BAIK -berubah.

(16). Terakir dari ayat di atas adalah, kalau diterusin lagi, maka kita akan melihat dengan jelas ANCAMAN TUHAN PADA PARA SHAHABAT ITU, dengan firmanNya:

”Dan katakan -Muhammad: ’Berbuatlah kalian sesuka hati kalian, karena sesungguhnya Allah, Rasul dan orang-orang mukmin (sejati) akan melihat perbuatan kalian itu, dan kemudian kalian akan dikembalikan ke alam ghaib dan syahadah (akhirat) lalu dikabarkan kepada kalian apa-apa yang telah kalian lakukan.”

Di sini jelas bahwa Tuhan mengancam para shahabat Nabi saww bahwa siapa saja yang akan berubah dan/atau berbuat kejahatan, maka Tuhan akan mengazabnya.

(17). Kalau kita hubungankan dengan ayat lain di surat lain seperti: di surat Fath ayat 10 yang berbunyi:

”Sesungguhnya yang berbaiat padamu -Muhammad- adalah berbaiat pada Allah, maka barangsiapa yang mengkhianati baiatnya setelah itu, maka ia telah mengkhianati dirinya sendiri, dan yang setia maka Allah akan mengganjarnya dengan pahala yang besar.”, maka jelas akan terlihat, bahwa siapaun yang beriman dan Islam serta berjuang di jaman Nabi saww sampai pada baiat Ridhwan atau berubahnya Kiblat itu, memiliki dua kemungkinan. Artinya bisa tetap setia dan bisa saja berkhianat.

Yang setia pada iman, Islam, Tuhan dan Nabi saww sampai akhir hayatnya, maka merekalah yg telah diridhai dan dijanjikan surga oleh Tuhan tanpa mengalami perubahan.

Yang tidak setia dan khianat pada iman, Islam, Tuhan dan Nabi saww, setelah itu, maka mereka yang telah diridhai dan dijanjikan surga oleh Tuhan, tapi sudah mengalami perubahan. Artinya ridha dan janji Tuhan itu berubah menjadi murka dan neraka, dikarenakan perubahan mereka sendiri.

Dan sudah tentu, dengan adanya berbagai perang dan pengkafiran, pembunuhan serta pembakaran diantara mereka, maka sudah jelas telah terjadi perubahan.

Terakhir: Kalau digabung dengan ayat lain seperti QS: 47: 38, yang berbunyi:

”.... dan kalau kalian -shahabat- berubah, maka Allah akan mengganti kalian dengan umat yang lain, DAN MEREKA TIDAKLAH SEPERTI KALIAN.”

Lihatlah ayat ini dengan seksama.

Pertama: ia mengatakah ”Kalau kalian berubah”. Maka ini jelas menggambarkan bahwa mereka sangat mungkin berubah.

Ke dua: ayat ini, walaupun terlihat hanya menggambarkan akan bisanya terjadi perubahan, akan tetapi kalau direnung-renung, seperti memang mengabarkan akan terjadinya peru- bahan itu. Karena itulah Tuhan mengatakan akan mengganti kalian dengan umat lain YANG TIDAK SEPERTI KALIAN.

Ke tiga: Tuhan dalam ayat ini benar-benar memburukkan shahabat itu karena telah mengatakan DAN MEREKA TIDAK SEPERTI KALIAN. Artinya, apakah memang akan terjadi, atau dalam perumpamaan, maka bisa dikatakan bahwa mereka mencela shahabat-shahabat itu. Apalagi celaan ini dapat dipastikan mengingat golongan ayat pertama dari surat Taubah itu dimana menceritakan bahasa sebagian mereka munafik, sebagian mencampur dengan maksiat dan secara umum mereka diancam Tuhan dengan mengatakan :

”Berbuatlah kalian sesuka hati karena Allah, Nabi dan mukminin (sejati) akan melihat perbuatan kalian itu dan kalian akan dikembalikan ke alam ghaib dan kemudian akan dikabarkan kepada kalain apa-apa yang telah kalian lakukan.”

Celaan itu juga dapat dipastikan karena sebenarnya ayat di atas memberikan kabar tentang akan munculnya umat yang lebih baik dari mereka para shahabat di akhir jaman. KARENA DIKATAKAN DALAM HADITS-HADITS SUNNI YANG BANYAK DIMUAT DALAM BANYAK TAFSIR- TAFSIR SUNNI BAHWA UMAT PENGGANTI ITU ADALAH IRAN.

Lihat tafsir: Al-Durru al-Mantsuur, karya Suyuuthi; Kasysyaaf, karya Zamakhsyarii; Ibnu Katsiir; al-Aaluusii; Baidhaawii; al-Tsa’aalibii; Tsa’labii; Fakhru al-RAaazii; Thabarii; Qurthubii; dan lain-lainnya.

Penutup: Saya tidak halalkan siapa saja yang menggunakan tulisan saya tentang shahabat ini untuk perpecahan umat muslim (Sunni dan Syi’ah). Karena tulisan ini hanya untuk kajian semata sesuai dengan salah satu tinjuannya yang saya yakini kebenarannya dimana keyakinan saya ini tidak menjamin kebenaran di sisiNya. Jadi, ia hanya bersifat kajian untuk direnungkan, bukan untuk dikobar-kobarkan dimana bisa menimbulkan kesalahpahaman dan perpecahan. Keyakinan yang saya maksud adalah bahwa shahabat itu adalah umat seperti umat-umat lainnya yang, bisa diridhai Tuhan dan bisa dimurkai, bisa juga diridhai tapi setelah itu dimurkai ..dst. Artinya ayat 100 surat Taubah itu bukan jaminan bagi shahabat dan bukan perintah mutlak kepada kita untuk mengikuti shahabat secara mutlak. Jadi, yang diridhai Tuhan dan dijanjikan surga adalah shahabat yang baik dan kebaikannya itu tidak berubah, begitu pula orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan mereka itu. Wassalam.

Aufa Opa: Terima kasih ustad...

Komarudin Tamyis: Ahsan wa syukran.

Sinar Agama: Aufa + Tamyis: ok, sama-sama. 



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ


Kisah Penciptaan Ruh Manusia Menurut Filsafat dan Qur'an



Seri tanya-jawab antara Fan Malaka dan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Thursday, April 7, 2011 at 3:22 am



Fan Malaka: Assalamu alaikum ustads, saya mau bertanya tentang jiwa, saya pernah dapat referensi yang mengatakan bahwa jiwa itu bermula secara material dan berkelanggengan secara spritual.

Apa maksudnya itu, apakah jiwa itu merupakan materi? Terus dimana batasan antara materi dengan non materi? Tolong penjelasannya. Terimakasih sebelumnya.

Gonzalo ’nanda’ Higuain Haeruddin Syam Deejay Gany

Sinar Agama: Salam dan terimakasih pertanyaannya: 



(1). Dalam bahasa Arab hal yang antum tanyakan itu dikenal dengan: ”Maadiyatu al-huduuts wa ruuhaaniyatu al-baqa’ ”, yakni bahwa ruh itu adalah materi secara keberadaannya dan ruhi secara kelanggenngannya. 

(2). Sebelum saya terangkan lebih jauh, perlu diketahui bahwa keyakinan para filosof sebelum Mulla Shadra ra, dan begitu pula para muslimin, meyakini bahwa ruh manusia itu sudah dicipta sebelum badan dan berada di alam ruh atau alam alastu (bukankah Aku Tuhan?). Mereka meyakini bahwa ruh itu ada sebelum badan dan baru setelah badan bayi di dalam perut sudah siap menerimanya, maka Tuhan melalui malaikatNya, meniupkan ruh itu ke dalam tubuh janin yang ada di dalam perut ibunya tsb, yakni sekitar kandungan berumur 4 bulan. 

(3). Dalil bagi para Filosof, adalah dari Plato yang telah membuktikan adanya ”alam mitsal” atau ”alam barzakh” atau ”alam mirip materi” atau ”alam khayal” atau ”alam ide” atau ”alam seperti mimpi” atau ”alam mirip materi selain materialnya atau matternya”. 

(4) Sedang dalil dari muslimin adalah QS: 7: 172, yang berbunyi: ”Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian dari jiwa mereka (seraya berfirman): ’Bukankah Aku ini Tuhan kalian?’ Mereka berkata ’Benar, kami menjadi saksi.’” 

(5) Karena itu, maka alam ruh itu dalam Islam dikenal dengan ”Alam Dzar” atau ”alam bibit” atau ”alam atom” atau ”alam ruh” atau ”alam alastu” (mengambil dari ayat di atas yang berbunyi ”alastu birobbikum”, yakni ”bukankah Aku Tuhan kalian”) karena itu muslimin juga mengistilahkan dengan nama ”alam alastu” yakni ”alam bukankah Aku” ...dst. 

(6). Sebelum saya meneruskan jawaban ini, saya perlu ingatkan Antum pada susunan tiga alam makhluk: Pertama makluk Akal dengan derajatnya yang banyak, yakni malaikat tinggi. Kedua, makhluk Barzakh yang disebut dengan malaikat tengah antara malakat tinggi dan alam materi. Ke tiga, alam materi. 

(7). Allah mencipta langsung hanya Akal-pertama, dan dari Akal-pertama itu, Allah mencipta Akal-ke dua, dan dari ke dua ke ke tiga, begitu seterusnya sampai ke Akal-akhir yang juga dikenal dengan ’Arsy dan Lauhu al-Mahfuzh. 

Dari Akal-akhir itu Allah mencipta malaikat tengah yang dikenal dalam Qur'an dengan ”mudabbiraati amran” atau ”pengatur semesta materi”, seperti malaikat Jibril, Mikail, malaikat hujan, bumi, langit, sungai, laut, angin, .... dan seterusnya dari semua makhluk materi. 

Kemudian dari malaikat Barzakh itu, Tuhan mencipta alam materi ini. 

Semua ini, sudah sering diterangkan di catatan-catatanku tentang filsafat dan irfan atau akidah dan Kalam. Jadi, kalau ingin tahu dalilnya, tentang megapa harus demikian, maka silahkan merujuk ke tempat-tempat itu. 

(8). Sebelum aku teruskan, orang seperti Moldiy (nama akun) itu pusing dengan keberasalan hadhrat Faathimah as bahwasannya beliau as dari jabaruut dan dikiranya hal itu sama dengan Kristen yang mengatakan bahwa Isa as dari titisan Tuhan, karena ketidakmengertiannya terhadap bahasa orang yang berbicara dan dimaknakannya dengan bahasanya sendiri dan ilmunya sendiri yang bak katak dalam tempurung. 

Ketahuilah, bahwa alam Akal itu disebut dengan Jabaruut. Jadi semua materi dari Barzakh yang juga disebut dengan Malaakut, dan Barzakh ini dari Jabaruut itu. Jadi, bukan hanya para nabi dan rasul atau makshumin atau hadhrat Faathimah yang dari jabaruut, tapi semua alam materi ini dari sana datangnya. Karena itulah Jabaruut itu juga disebut denga ”Gudang Tuhan”, atau ”Khazaain” (QS: 15: 21) yang kurang lebih bunyinya: ”Tidaklah setiap sesuatu apapun, kecuali dari gudang Kami, dan Kami menurunkannya sesuai ukurannya”. 

Jadi, kehebatan para makshum as itu bukan dari sananya, tapi ketika kembali dengan ikhtiar taqwanya itulah dimana mereka berhasil kembali lagi ke Jabaruut itulah yang dikatakan kehebatan. Karena manusia banyak mangkal di Barzakh bagian neraka (karena surga neraka bertempat di Barzakh itu), dan kalaulah agak hebat berada di Barzakh bagian surga. Tapi mereka melesat jauh sampai ke ’Arsy, dan di atasnya, sampai ke Akal-pertama dan Asma- asma HusnaNya. Nah, Ilmu Tuhan tentang keberhasilan mereka yang sampai ke tingkat tinggi itulah yang dikatakan bahwa mereka berasal dari sana. Karena Ilmu Tuhan sebelum kejadiannya, rinciannya lihat di Wahdatulwujud. Karena itulah Akal-satu itu dikatakan juga dengan Nur-Muhammad, yakni Ilmu Allah tentang keakan mencapainya Muhammad saww ke maqam itu. 

(9). Setelah kita ingat lagi akan susunan tiga alam itu, maka ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan alam ruh bagi yang mengimaninya, adalah alam barzakh itu. Jadi ruh-ruh manusia sudah dicipta di sana dan setelah ada janin yang siap menerimanya, maka ditiupkan ke dalamnya hingga bayi itu menjadi hidup. Nah, pertanyaan Tuhan itu, terjadi di alam ruh yang disebut dengan berbagai nama itu yang, kedudukan alamnya adalah alam Barzakh tersebut. 

(10). Sesuai dengan yang mengimani alam ruh ini, baik karena dalil filsafati atau dalil Qur'ani, maka ruh adalah ruhaaniyyatu al-huduuts dan baqaa’, yaitu bahwa ruh manusia itu adalah non materi secara awal kejadiannya dan begitu pula kelanggenannya. Karena sebelum ditiupkan adalah non materi (ruhi) dan setelah matinya nanti kembali lagi menjadi ruhi atau non materi. Jadi, baik awal kejadiannya atau kelanggengannya, ruh itu adalah ruhi atau non materi.

(11). Akan tetapi bagi Mulla Shadra ra, semua dalil itu, tidak benar dan kurang pada tempatnya. Dengan alasan, bahwa kalau ruh itu dari awal sudah ada, berarti dia hebat dan penuh pengetahuan. Karena sewaktu keberadaannya non materi, maka tidak ada yang terhijabi baginya kecuali keberadaan yang ada di atasnya. Dan karena itulah, mereka yang mengimani itu juga mengiyakannya dan mengatakan bahwa ketika ruh itu menyatu dengan badan maka semua ilmunya sirna karena terhijabi dengan badan. Dan karena itulah, kata mereka, kadang kita ketika melihat sesuatu seperti pernah melihatnya sebelumnya, sebenarnya kejadian itu karena memang sudah dilihatnya sewaktu di alam ruh itu tapi sudah lupa karena hijab badannya. 

Nah, ketika ruh itu tahu segalanya, lalu mengapa Tuhan menurunkannya ke materi hingga menjadi bodoh kembali? Bukankah semua perbuatan Tuhan itu memiliki hikmah? Lalu apa hikmah penurunan ruh yang hebat ini ke alam materi dan kebodohan ditambah dengan syahwat yang nantinya bisa masuk neraka? 

Jadi, bagi MS (kependekan Mulla Shadra ra), hal seperti itu tdk masuk akal karena tidak adanya hikmah dari penurunan itu. Lalu bagiamana menurutnay tentang penciptaa ruh yang non materi ini? 

MS mengatakan: ruh itu memang ditiupkan kepada badan ketika badan bayi sudah siap menerimanya. Akan tetapi yang ditiupkan kepadanya bukan ruh yang sudah ada, tapi pengadaan baru yang dilakukan dengan peniupan itu yang dilakukan oleh malaikat yang mengurusi manusia. 

Artinya, malaikat ruh itu, adalah wujud yang satu. Dia adalah tuhan spesies manusia atau pengatur manusia yang selalu mengontrol perkembangan ruh lemah ke ruh kuat yang biasa dikenal dengan ruh manusia ini dan siap menjadikannya, alias membentuknya menjadi ruh manusia yang de fakto. Jadi, malaikat ruh bukan membuat ruh-ruh yang banyak dan setelah itu meniupkannya ke bayi di dalam perut, bukan begitu. Akan tetapi ia sendiri yang satu itulah yang meniupkan ke dalam badan bayi yang sudah siap itu. Artinya, mewujudkan dan merestui perkembangan ruh yang dikontrolnya itu untuk menjadi manusia. 

Dengan penjelasan yang lain: Ketika seorang ayah makan daging kambing atau biji-bijian yang mengandung hormon, maka benda mati yang disebut materi itu menjadi semakin halus di dalam perut karena menjadi gizi. Di dalam kaidah dan dalil yang lain di filsafat, tidak ada benda yang tidak memiliki ruh. Batu, tanah, biji-bijian, daging, ... semuanya, memiliki ruh. Dalilnya lihat di catatan-catatan sebelumnya. 

Nah, ketika daging atau biji-bijian yang memiliki ruh daya tambang itu (karena kerja ruhnya hanya semacam memutar-mutar atom badaniahnya) menjadi gizi, disini ruh tambangnya belum berubah ke ruh yang lebih tinggi, baik nabati atau hewani. 

Akan tetapi, ketika sudah menjadi mani di kandung mani seorang calon ayah, maka benda mati atau yang hanya ber-ruh dengan ruh tambang itu, kini memiliki ruh yang lebih tinggi, yaitu ruh nabati (berkembang) dan bahkan hewani karena bisa bergerak dengan kehendak. 

Ketika ia bertemu dengan ovum yang juga memliki ruh daya tambang, nabati dan hewani, maka pertemuan kedua benda itu membuat kedua ruhnya juga bertemu. 

Ruh yang bertemu itu semakin hari semakin menguat. Hingga pada sekitar umur 4 bulan, ruh itu sebegitu menguatnya hingga bisa dikatakan ruh manusia. Artinya sudah mulai melakukan gerakan-gerakan manusia walau dalam bentuk keterbatasannya di dalam perut.

Memang, manusia itu dikatakan manusia ketika sudah bisa memahami universal. Akan tetapi karena kepotensian dia di dalam perut dan begitu pula nanti setelah lahir, bisa dikatakan sudah sangat dekat pada de faktonya itu. Karena itu, bayi di dalam perut dan yang sudah lahir tapi belum memahmi universalpun dapat dikatakan manusia, karena kedekatakan potensinya pada de faktonya itu. 

Arti peniupannya itu adalah restu yang berupa pewujudan pada pencapaian ruh pada estafet manusia yang paling dasar itu. Karena semua proses itu tidak bisa terjadi kecuali dengan pengaturan Tuhan yang melalui para malaikataNya itu. Begitu seterusnya berkembang menjadi pandai dan taqwa, atau bodoh tan fasik, atau alim dan fasik .... dan semacamnya, maka pada akhirnya ia mati. Artinya ruhnya meninggalkan badannya. 

Nah, ketika ia mati itulah ia menjadi ruh yang mutlak atau non materi yang mutlak alias tanpa campuran materi lagi. Jadi, Ruh Manusia itu pada awal kejadiannya adalah materi, tapi dalam kesinambungan dan kelanggengannya adalah non materi atau ruhi. 

Inilah yang diaktakan bahwa Ruh Manusia itu materi di awal kejadiannya dan non materi di kelanggengannya. Berbeda dengan yang sebelumnya yang mengatakan non materi atau ruhi di awal dan kesinambungannya. 

Karena itulah yang mngingkari Tuhan dikatakan Kafir, karena ia tidak bisa mengingkarinya. Kafir yakni Coverer atau ”yang menutupi”. Yakni menutupi apa-apa yang ada di hatinya tentang kepercayaannya terhadap adanya Tuhan. Yakni menutupinya dengan kata-katanya yang dusta dengan berkata ”aku tidak percaya adanya Tuhan”. 

Wassalam. 

Bande Husein Kalisatti and 36 others like this

Fatimah Zahra: Ustad, mantap!! Cuma yang jadi pertanyaan saya, apa kah ruh dan jiwa itu sama? Mohon pencerahannya ustad. Syukran... 

Mata Hati: Ustad saya mau tanya, peristiwa Adam dan pohon larangan itu apakah ada di alam mitsal? Dan kalau memang benar demikian tampaknya penciptaan Adam pun berproses melalui materi yang berevolusi sehingga menjadi manusia yang sadar, mohon penjelasannya!

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya. 

Sinar Agama: Fathimah: Ruh dan jiwa/nafsun itu sama saja. 

Ruh dikatakan ruh karena kecenderungannya pada kenonmaterian mutlak, yaitu Akal-akhir. Karena ruh dari dimensi daya akalnya (dari keempat daya ruh: tambang, nabati, hewani dan akli) bisa melesat sampai ke Akal-akhir dan bahkan Akal-pertama. 

Sedang Ruh dikatakan Nafsun atau Jiwa, karena kepengurusannya terhadap materi. Yakni karena dimensinya dalam mengatur materi atau badannya. Yaitu ruh yg dimensi daya tambangnya (mengatur putaran-putaran atom, darah dst), dimensi daya-nabatinya (mengatur pertumbuhan badannya dan beranak pinaknya) serta dimensi daya-hewaninya (yang mengatur gerak ikhtiari dari pada badannya).

Sinar Agama: Ricok, 

(1). Sebagian orang menafsirkan bahwa Ruh yang dimaksud itu adalah malaikat Jibril as. 

(2). Akan tetapi di tafsir al-Miizaan, dkatakan bahwa ia adalah yang dimaksud Tuhan dalam ayat yang lainnya yang berbunyi: 

“Katakan bahwa ruh itu adalah dari urusan Tuhan!” 

Jadi, Ruh disini adalah wujud non materi sebagaimana telah dijelaskan oleh pengarang tafsir tsb di tempat lain. 

(3). Dalam hadits yang diriwayatkan dalam tafsir di atas yang dinukil dari tafsir al-Burhaan, 

......
بإسناده عن أبي بصير قال∫ كنت مع أبي عبد الله عليه السلام فذكر شيئا من 
:أمرالإمام إذا ولد فقال 
استوجب زيادة الروح في ليلة القدر فقلت: جعلت فداك أ ليس الروح هو جبرئيل؟ فقال: جبرئيل من الملائكة
."و الروح أعظم من الملائكة أ ليس أن الله عز و جل يقول: "تنزل الملائكة و الروح

yang kurang lebih artinya: ...dari Abu Bashiir, berkata: Aku bersama Abu ‘Abdillah as. lalu beliau menerangkan tentang sesuatu yang berkenaan dengan imam dikala lahirnya. Beliaupun berkata: “Imam adalah yang wajib diziarahi oleh Ruh pada malam lailatu al-Qadr.” Aku berkata: “Maaf, bukankah Ruh itu adalah malaikat Jibril?” Beliau menjawab: “Jibril itu dari bangsa malaikat, sedangkan Ruh ini adalah lebih agung dari malaikat. Tidakkah Allah telah berfirman: ‘Turun malaikat dan Ruh. 



(4). Kalau boleh saya simpulkan dari penukilan di atas, maka Ruh yang dimaksud dalam surat al- Qadr yang turun bersama para malaikat dan ia lebih agung dari malaikat itu adalah Makhluk non materi yang mengurusi manusia yang biasa disebut dalam filsafat dengan tuhan spesies manusia. 



Alfakir juga sering mengatakan, terutama dalam menjelaskan tentang penciptaan nabi Adam as (lihat catatan berjudul: Peristiwa nabi Adam as. dalam Pandangan Filsafat -hadiah kecil hari ied al-Ghadiir), bahwa Malaikat yang mengatur manusia ini lebih tinggi dari malaikat-malaikat lainnya. Karena itu tingkatannya di alam Barzakh lebih tinggi dari yang lainnya. Yakni di atas neraka dan surga. Artinya makhluk Barzakh yang ada di kaki ’Arsy atau menjelang ke ’Arsy atau Lauhu al-Mahfuuzh. 



(5). Dalam pembahasan kita di atas, maka Ruh yang kita bahas adalah ruh yang ada pada manusia ini. Dan ruh yang dibahas di surat al-Qadr itu adalah peniup ruh yang ada di bahasan kita di atas itu. 

Semoga sudah jelas dan wassalam.

Sinar Agama: Anggelia, kamu sudah tidak perlu lagi meminta ijin, karena semua orang sudah dibolehkan menampilkan semua tulisanku selain yang berjudul “suluk ilallah” itu dimana saja dan dalam bentuk apa saja, asal untuk kebaikan dan tidak untuk bisnis. Ini dari sisi hukum halal- haramnya. Sedang dari sisi akhlaknya, yang tidak kuwajibkan juga dalam hal ini, maka memang meminta ijin itu adalah bagian dari akhlak. Jadi, jawabkanku, silahkan saja, he he he(.)

Sinar Agama: Abdul Hakim, aku sudah menjelaskan apa yang antum tanyakan itu di catatan- catatanku. Terutama di catatan yg berjudul ”Peristiwa nabi Adam as Dalam Pandangan Filsafat -hadiah kecil hari ied al-Ghadiir” itu. 

Intinya: Badan nabi Adam as dicipta dari tanah dan penciptaannya di bumi. Tentu saja karena dari tanah, maka pasti mengalami proses sesuai dengan hukum alam yang, mungkin kita sekarang belum bisa mengetahuinya. Proses yang tidak kita ketahui itu, yang pentingnya, adalah pengadaan calon badan nabi Adam as ini kepada badan yang layak mendapatkan ruh manusia. Karena itu, sudah pasti dari tanah itu terproses menjadi daging dulu, jantung dulu, darah dulu, mata dulu, paru-paru dulu ....dan seterusnya. 

Nah, setelah badan itu siap, maka ditiupkanlah ruh individu manusia oleh pengurus manusia itu yang juga disebut dengan Ruh A’zham atau Ruh Agung atau juga Ruh Universal dimana lawannya adalah Ruh Individu kita-kita ini. Namun, walaupun nabi Adam as sudah mulai bernafas dan hidup setelah peniupan ruh itu (dimana peniupannya ini juga dari dalam diri seperti yang sudah diterangkan di atas), akan tetapi karena ia adalah manusia pertama, maka Alah mengajarinya dalam wahyu mimpinya. 

Di atas telah dikatakan bahwa makhluk agung non materi yang mengurusi manusia ini menempati tempat atau maqam yang paling tinggi di alam barzakh. Artinya ada di atas surga. Karena itulah, maka nabi Adam as dapat melihat surga kalau Allah mengijinkannya. Dan begitulah yang terjadi. Demi pengajarannya itu. Maka terjadilah apa yang terjadi yang dimuat dalam kitab suci Al-Qur'an itu, sampai beliau dikeluarkan darinya. Yakni bangun dari tidurnya karena sudah lapar yang tidak tertahan dimana dalam Qur'an dikatakan dengan memakan buah terlarang itu. Yakni terlarang karena kalau memakannya menjadi bangun. Yakni terlarang makan buah itu, karena maksudnya adalah perutnya merasa lapar dan ingin makan serta memutusi makan. 

Nah, ketika nabi Adam as memutusi makan karena sudah lapar sekali secara fisik yang ia juga tidak tahu hal itu sebelumnya karena merupakan lapar pertama kalinya, yang telah digambarkan dengan tergiurnya pada buah terlarang itu, maka ia-pun makan buah terlarang tersebut. Tapi dalam mimpi wahyunya itu tergambar dengan tergiurnya yang teramat sangat (yakni gambaran lapar yang sangat) pada buah tsb. Maka terjadilah yang sudah terjadi itu. Yakni harus makan dan memakannya. Akhirnya, beliau as dikeluarkan dari surga, ALIAS bangun dari tidur dan mimpi wahyu pertamannya itu. Dan seterusnya. Wassalam.

Bande Husein Kalisatti: @Ustad SA : kalau boleh ana memahami dari penjelasan antum tentang makan buah khuldinya nabi Adam as, adalah saat Allah swt meniupkan ruh individu manusia (Ruh A’zham) maka metabolisme tubuh (jasad) Adam bekerja.. karena bekerja inilah maka muncul hawa lapar, haus dalam jasad Adam as.. nah karena utulah maka Adam as makan buah khuldi untuk menghilangkan rasa lapar tesebut.. afwan ustad..kalau salah tolong dioreksi.

Sinar Agama: Bande: Tuhan meniupkan ruh individu, yakni ruh Adam as itu melalui Ruh A’zham/ agung. Yang lainnya sudah benar. Karena perutnya lapar, maka nabi Adam as sudah tidak tahan untuk tidak makan buah Khuldi yang dilihatnya dalam mimpinya itu yang ada di dalam surga itu, tanpa ia pahami mengapa tidak bisa mengekang dirinya untuk tidak makan. 

Sedang waswas syethan itu hanyalah keinginan syethan untuk mempercepat bangunnya nabi Adam as supaya bisa cepat diganggunya dan anak keturunannya seperti ia dapat membuktikan kepada Tuhan bahwa ia benar tentang pandangannya bahwa ia lebih afdhal dari manusia.

Muhammad Nawawi Markarma: Dan setelah terbangun dari tidurnya yg pertama, ia melihat dirinya dlm keadaan tidak berpakaian, maka diambillah dedaunan untuk menutupi auratnya, bukan begitu ustad Sinar Agama?

Sinar Agama : Muhammad, benarlah begitu wahai saudaraku...... dan karena seluruh kebaikan atau kesesuaiannya dengan manusia yang ada di alam materi ini berasal dari surga (yang sesuai seperti api dari neraka), maka dedaunan duniapun bisa dikatakan dedauanan surga.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Rabu, 22 Agustus 2018

Tujuan atau Hikmah Penciptaan ?



by Sinar Agama (Notes) on Wednesday, December 8, 2010 at 12:35 am


Sebelum saya menjawab pertanyaan tentang tujuan penciptaan oleh al-Akh Abu Humairoh, ijinkan saya mengenang musibah Karbala terlebih dahulu. 


Pada hari ini, yaitu hari ke dua Muharram ini, adalah hari dimana imam Husain as sampai ke padang sahara Karbala. Kala itu, karena imam as dengan rombongan kecilnya yang sedang menuju Kufah Iraq, dihadang setidaknya oleh seribu tentara yang dipimpin oleh Hur bin Ziyad, dan Hur mengancamnya kalau terus ke Kufah dan begitu pula melarangnya untuk kembali ke Madinah, maka imam Husain as mengambil jalan yang tidak ke Kufah dan tidak pula ke Madinah. 

Suatu ketika, kuda imam Husain as tidak mau jalan lagi, sekalipun sudah mengganti kuda. Imam Husain as bertanya: Apa nama tempat ini?, dijawab: Ghadiriyyah. Imam bertanya lagi: Apa ada nama lainnya?, dijawab: Syathiu al-Furat. Imam bertanya lagi: Apa ada nama lainnya:, dijawab: Karbala. lalu imam as bernafas dalam-dalam, sambil menge-oh ... dan berkata: 

“Ya Allah, aku berlindung padaMu dari Karbun (bencana) dan Bala (petaka). Demi Allah tanah Karbala adalah tanah ini. Demi Allah disinilah tempat para lelaki kita dibantai. Demi Tuhan disinilah wanita-wanita dan anak-anak kecil kita ditawan. Demi Tuhan disinilah kehormatan kita dihinakan. Wahai para pendekar perkasa, turunlah disini, karena disinilah tempat kubur kita semua”. 

Ya Husain...kami semua ikut menderita bersamamu, sungguh ingin rasanya kami semua berada di sampingmu, menjadi tameng dari sabetan-sabetan pedang yang liar dan brutal. Ingin rasanya kami semua berada di depanmu menjadi benteng bagi datangnya hujan panah dan tombak- tombak yang beringas. 

Ya Husain ...sejelek apapun kami ini, setidak pantas apapun kami ini untuk menjadi Syi’ahmu, tapi kami sungguh tidak akan sanggup membiarkanmu sendirian dirajang-rajang para perampok wilayah kenabian yang tersalur dalam wilayah ke-imamahan, tidak akan sanggup membiarkan dada sucimu diduduki Syimr (La’natu ’alaihi) yang sembari menyembelihmu dengan beringas dan kasar. 

Shallalahu ‘alaika ya Aba Abdillah wa ‘ala al-arwahi al-ladzi istushidat ma’aka, tsumma al-la’natu ‘ala a’daika ajma’in. 

‘Azhzhamallahu ujurana wa ujurakum bi al-Husain wa ahli baitihi wa ashhabihi al-maqtulina fi Karbala. Semua Allah mengagungkan pahala kita semua atas kesedihan dan simpatik kita kepada imam Husain dan keluarga serta shahabatnya yang dibantai dan dijagal di Karbala, amin. 

Baiklah, karena tujuan imam Husain as adalah membela Islam secara keseluruhan, baik dari ajarannya atau contoh aplikasinya, maka ilmu-ilmu ke-Islaman juga merupakan salah satu tujuan dan sekaligus alat bagi tercapainya semua tujuan beliau as secara kaffah/menyeluruh. Oleh karena itu maka saya akan menjawab pertanyaan al-Akh Abu Humairoh sebagai berikut: 

Abu Humairoh bertanya : Salam tad : bagaimana pandangan ustad tentang ”MENGAPA ALLAH MENGADAKAN KEHIDUPAN?” TOLONG DIPERKUAT DENGAN AYAT ALQURAN DAN HADITS...TAD.

Sinar Agama: menjawab: 
Tujuan atau Hikmah Penciptaan? 

Banyak juga orang yang memikirkan ciptaan dari sisi tujuannya. Biasanya dengan menanyakan: 

“Mengapa Tuhan mencipta makhluk? Kalau Tuhan tidak punya tujuan, maka Tuhan telah melakukan perbuatan sia-sia dimana hal ini tidak sesuai dengan ke-Hakiman dan ke-Bijakan serta ke-Pandai-anNya, dan kalau punya tujuan, berarti Tuhan menyempurna dimana hal ini tidak sesuai dengan ke-Tidak TerbatasanNya?”

Jawaban terhadap hal ini, sebenarnya, sudah banyak dibahas dalam buku-buku ilmu Kalam (Teologi) dan fisafat. Tapi untuk mengurut dari yang terendah sekalipun, yakni dari yang pikiran awam, maka saya akan paparkan dalam beberapa kriteria yang ada pada umumnya muslimin sebagaimana di bawah ini:

(1). Kriteria awam/umum: 

Yang saya maksudkan dengan kreteria awam ini adalah orang yang tidak pernah memikirkan hal ini. Jadi, pandangannya selalu pada kebesaran Tuhan saja. Mereka tidak pernah memi- kirkan hal ini kecuali pada beberapa kejadian, misalnya ketika menghadapi malapetaka atau kesedihan serta kegagalan. Atau ketika ia telah banyak melakukan kesalahan dan dosa. Yakni ketika mereka gagal dan/atau banyak dosa, lalu biasanya terbetik di dalam hatinya, “Mengapa Tuhan menciptaku padahal aku tidak memintanya dan bahkan tidak mau”. Tentu saja kata- kata seperti ini adalah untuk menutupi kesalahannya atau karena sudah mencapai titik keputusasaan yang tertinggi. 

Mereka tidak menyadarinya, bahwa pertanyaan itu adalah langkah berikut-syetan dalam mempersesat manusia. Yakni mau membawa manusia ke tempat yang kekal abadi dalam dosa dan neraka. Yakni “bunuh diri”, atau “tidak bangkit lagi dalam usaha”, na’udzubillah. 

Padahal, dalam kegagalan dan dosa sekalipun, masih terdapat banyak jalan yang diberikan Tuhan melalui Islam. Kegagalan yang tidak bersumber dari kesalahannya sendiri, pasti akan membuahkan pahala akhirat dan hal-hal baik di dunia yang kita sendiri tidak mengetahuinya. Dan kalaulah kegagalan itu bersumber dari diri kita sendiri juga sebagaimana dosa itu, maka hal itupun masih ada jalan untuk merubahnya menjadi kebaikan dan pahala. Misalnya dengan mengakui, menyesali dan tekun merubah keadaan dan/atau menjauhi dosa dan kesalahannya, maka kegagalan dan dosa tadi, akan berubah menjadi kebaikan dan pahala. Kurang murah apa Tuhan kepada kita manusia? Allah berfirman dalam QS: 25: 70 +/-: 

“Kecuali bagi yang bertaubat dan beriman serta melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, maka Allah akan merubah keburukan-keburukan mereka menjadi kebaikan-kebaikan..” 

Jadi, Tuhan bukan hanya mengampuni dosa, tapi dosa dan keburukan itu sendiri akan dirubahNya menjadi kebaikan dan pahala, ketika manusia sudah melakukan perubahan dan taubat. 

Dalam pandangan Filsafat, keburukan yang telah mempengaruhi jiwa manusia dan katakanlah sudah menjadi bagian dirinyapun, tapi selama masih memiliki rangka badani, maka masih pula bisa dirubah, walaupun berat ringannya tergantung sejauh mana ia telah menjadi bagian ruh kita. Artinya kalau ia masih menjadi bagian aksidental atau sifat, maka masih bisa dirubah.

Walaupun tingkatan inipun tergantung pula pada sejauh mana ia telah menjadi aksidental/ sifat itu. Kalau ia semakin kuat, maka semakin sulit pula merubahnya. Oleh karenanya yang cepat bertaubat, akan lebih ringan menghadapi tantangan dari dalam dirinya ketimbang orang yang sering menunda taubatnya. 

Memang, kalau bagian keburukan itu sudah menjadi bagian zat atau substansi jiwa kita, maka hal ini sudah mustahil dirubahnya. Oleh karena itulah kadang Tuhan dalam mengumumkan keadaan mereka itu, memakai kata-kata seperti QS: 2: 18 +/-: 

“Tuli, bisu dan buta, maka mereka tidak akan pernah kembali” 

Atau seperti QS: 2: 7 +/-: 

“Allah telah mengunci mati akal/hati dan pendengaran mereka, dan pendengaran mereka ditutupi, dan bagi mereka siksa yang pedih” 

Catatan 1 : Allah dalam kedua ayat di atas, tidak melakukan penutupan dan penguncian. Karena kalau Tuhan melakukan hal itu, berarti Dia-lah yang harus bertanggung jawab terhadap keburukan mereka setelah ditutup itu. Jadi, ayat di atas hanya mengabarkan kepada kita, bahwa keburukan (begitu pula kebaikan) yang dilakukan berulang-ulang, lama kelamaan akan membuat kita kecanduan. Dan kalau kecanduannya itu menguat hingga membuat kita tidak lagi bisa merubahnya, maka itulah yang disebut telah menjadi bagian zat kita atau substansi kita. Jadi, karena ia telah menjadi zat dan substansi kita, maka sebagaimana sesuatu itu tidak akan berpisah dari zat dan substansinya sendiri, maka perbuatan yang telah mensubstansi itupun tidak akan bisa kita hilangkan dari zat kita. Jadi, kita sendirilah yang telah membuat mata, telinga dan akal/hati kita menjadi buta, tuli dan membatu-hitam. 

Namun, karena semua itu terjadi dalam sistem yang Allah atur sesuai dengan keBijakkanNya, maka sebagaimana sering saya tulis bahwa akibatnya akibat adalah akibat pula bagi sebabnya, yakni pentulian, pembutaan dan pembatuan, merupakan akibat dari manusia dimana manusia merupakan akibat dari Tuhan, maka pembutaan, pentulian dan pembatuan itupun merupakan akibatNya. 

Walaupun begitu, sebagaimana sudah saya terangkan di Pokok-pokok dan Ringkasan Ajaran Syi’ah di bagian ke-Adilan, bahwa yang bertanggung jawab adalah manusia itu sendiri, karena dia adalah sebab dekat dengan perbuatannya itu dimana ia memiliki apa yang kita sebut dengan Ikhtiar. 

Catatan 2 : walaupun mungkin kita mengira bahwa sesuatu itu sudah menjadi substansi hingga terasa tidak lagi bisa dirubah, tetap saja kita tidak bisa memastikannya. Oleh karena itu tidak ada hak bagi siapapun untuk berputus asa merubah keburukannya, dan tidak ada hak pula bagi siapapun untuk merasa aman dalam kebaikannya. Jadi, yang buruk harus tetap berusaha taubat, dan yang baik tetap harus waspada supaya kebaikannya itu tidak berubah. 

Golongan pertama ini, jelas tidak termasuk orang yang mengamalkan ayat perenungan terhadap ciptaan Allah yang dalam Qur'an telah diwajibkan, QS: 3: 190-191 +/-: 

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (190) yaitu, orang-orang yang mengingati Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau mencipta ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. 

(2). Kriteria Kalam:

Ilmu Kalam, sejauh yang saya tahu, menjawab bahwa Tuhan dalam mencipta ini pasti memiliki tujuan, karena kalau tanpa tujuan, berarti sia-sia, seperti orang yang membuat baju lalu dirobeknya, lalu membuat dan merobeknya lagi, dan begitu seterusnya. Artinya, kalau kita sebagaimana manusia yang sangat terbatas ini saja, tidak boleh dan tidak mungkin melakukan perbuatan tidak bertujuan, maka apalagi Tuhan Yang Maha Pandai dan Bijaksana. 

Namun demikian, karena Tuhan itu tidak terbatas, maka sudah pasti tujuanNya itu tidak untuk DiriNya. Karena kalau untuk DiriNya, maka Dia masih pula memiliki kekurangan hingga perlu dicapainya. Dan kalau demikian halNya, berarti Dia masih memiliki batasan dan, kalau demikian berarti Dia perlu pencipta untuk mengadakanNya. Karena yang terbatas pasti memiliki awal-akhir, dan yang memiliki awal maka pasti sebelumnya tidak ada, dan kalau ada setelah awal itu, maka pasti diadakan oleh yang lainnya. 

Dengan demikian maka tujuan penciptaan Tuhan dalam mencipta makhluk adalah untuk makhluk itu sendiri, bukan untuk DiriNya. 

Dan karena kalau tujuanNya berupa keburukan maka juga akan menjadi tanda bagi keter- batasanNya, maka tujuanNya pastilah kebaikan untuk makhlukNya. Karena yang punya tujuan jelek itu bisa terjadi karena tidak tahu, lupa, tidak sengaja, ngantuk, mabok, buruk akhlak....dst dimana semua sebab-sebab itu adalah tanda bagi kekurangan dan keterbatasan sesuatu. Dan karena Tuhan tidak terbatas, maka berarti tujuanNya adalah kebaikan. Artinya kebaikan untuk makhluk. Yakni “Mencapaikan Makhluk Kepada Kesempurnaan”. 

Dan karena DiriNya adalah Kesempurnaan Tidak Terbatas dan Sumber Bagi Seluruh Kebaik- kan dan Kesempurnaan, karena itulah maka arti menyempurnakan makhluk adalah Men- dekatkannya (makhluk) Kepada DiriNya Sendiri. Jadi, rukuk-sujud kita, puasa kita, tawaf kita, jihad kita ... dan seterusnya adalah untuk kita sendiri. Yakni untuk mendekatkan diri kepadaNya supaya kita menjadi lebih baik, lebih sempurna dari sebelumnya dimana hanya bisa dicapai dengan mendekatkan diri kepadaNya. 

Jadi menurut ilmu Kalam, Tuhan mencipta kehidupan dan makhluk adalah untuk mencapaikan mereka kepada kebaikan dan kesempurnaan. 

Jadi hadits Qudsi yang mengatakan: 

“Aku adalah pusaka (harta karun) tersembunyi, maka Aku mencipta supaya Aku dikenali”, 

maksudnya adalah, Aku mencipta supaya Diri dan Ke-HebatanKu dikenali makhlukKu karena dengan kenal dan mengabdiKu berarti mereka telah menyempurnakan diri karena Aku adalah Kesempurnaan tidak terbatas dan sumber bagi seluruh kesempurnaan. 

Inilah yang dalam banyak ayat dikatakan bahwa Tuhan tidak main-main dalam mencipta, seperti QS: 23: 115 +/-: 

“Apakah kalian mengira bahwa Kami mencipta kalian dalam rangka main-main...?”

(3). Kriteria Filsafat: 

Filosof, melihat bahwa mencapaikan makhluk kepada kesempurnaan, tidak beda dengan penciptaan itu sendiri. Artinya, keduanya adalah sama-sama perbuatanNya. Dengan demikian, maka layak dipertanyakan sebagaimana penciptaanNya itu. Yakni sebagaimana kita bisa menanyakan “Mengapa Tuhan Mencipta Makhluk?”, kita juga bisa bertanya “Mengapa Tuhan Mencapaikan Makhluk Kepada Kebaikan?”. 

Dengan demikian, maka jawabannya ada dua sebagaimana sebelumnya. Yakni kalau tidak punya tujuan, berarti telah melakukan perbuatan sia-sia, dan kalau memiliki tujuan berarti Tuhan menyempurna dimana hal ini tidak sesuai dengan Ke-Tidak TerbatasanNya. 

Filosof mengatakan bahwa Tuhan memiliki tujuan dalam mencipta. Dan tujuanNya itu adalah untuk DiriNya Sendiri, bukan untuk makhlukNya. Mungkin Anda bertanya, “Kalau begitu berarti Tuhan menyempurna dan karenanya Dia adalah terbatas dan akhirnya Dia adalah dicipta sebagaimana maklum?”

Jawabnya adalah tidak demikian. Memang, bahwa Tuhan itu memiliki tujuan dan tujuanNya untuk DiriNya sendiri, akan tetapi tujuan itu tidak mesti membuatNya menyempurna. 

Ketika kita sudah mengetahui bahwa Tuhan tidak terbatas, maka sudah pasti tidak ada kekurangan bagiNya dan tidak ada sesuatu yang tidak dalam cakupan dan kekayaanNya. Kalau demikian halnya, maka tujuan Tuhan itu adalah tidak lain dan tidak bukan, kecuali DiriNya Sendiri. Yakni dengan kata yang lebih ekstrim dapat dikatakan bahwa “Tuhan Mencipta Demi DiriNya sendiri”.

Penjelasan: Tuhan dalam maqam Zat dan IlmuNya terhadap DiriNya sendiri, mengetahui semua Kemampuan dan KuasaNya. Yakni Tuhan Tahu bahwa DiriNya Kuasa Mencipta, Mengampuni, Menghidayahi, Memberi rejeki, Mangadili, Menyantuni, Menyiksa ....dan seterusnya dari sifat-sifatNya. Oleh karena itu Diapun berkeinginan untuk melihat semua Kemampuan dan KuasaNya itu. Oleh karena itu Dia mencipta. 

Jadi tujuan penciptaan Tuhan adalah bahwa “Tuhan Ingin Melihat Kemampuan dan KuasaNya Sendiri”. Inilah yang dikenal dalam Filsafat sebagai “al-Bahjatu al-Dzatiyyah”, yakni “Kesenangan Pada Diri Sendiri”. Jadi, senangnya Tuhan atau bertujuanNya, tidak akan membuatNya berkurang dan menjadi terbatas. Karena yang disenangiNya dan ditujuNya adalah DiriNya sendiri. 

Dengan demikian, hadits Qudsi di atas akan bermakna +/-: “Aku adalah KeMaha Mampuan dan KeMaha Kuasaan dan Kekayaan yang tersembunyi, maka Aku mencipta agar Aku bisa melihat Kehebatan, KeKuasaan dan KeKayaanKu itu sendiri”. 

Namun demkian, karena Tuhan itu tidak terbatas, maka sudah pasti Dia tidak akan pernah memiliki kekurangan apapun. Oleh karenanya semua yang akan keluar dari DiriNya adalah pasti baik, karena Dia adalah Kebaikan Tak Terbatas. Dan KebaikanNya itulah yang akan menyirami semua makhlukNYa walau tanpa ditujuNya dalam tujuan penciptaanNya. 

Artinya, sekalipun Tuhan tidak memiliki tujuan untuk makhlukNya dalam menciptakan mereka, namun, karena Tuhan Maha Baik Tak Terbatas, maka kebaikanNya itu akan mendasari keterdiciptaan makhlukNya tersebut. Oleh karena itulah, pada makhluk itu sendiri terdapat tujuan kebaikan untuk dirinya sendiri. Inilah yang dalam Filsafat dikenal dengan Hikmah Penciptaan, bukan Tujuan Penciptaan. 

Artinya, sekalipun Tuhan tidak memaksudi apapun kecuali DiriNya sendiri dalam mencipta makhluk, namun HikmahNya itu tetap akan menyelimuti makhlukNya. Dengan demikian, apa-apa yang dikategorikan sebagai tujuan pencipataan dalam Kriteria Kalam, akan menjadi Hikmah Penciptaan dalam Kriteria Filsafat. 

Jadi, kalau dalam ayat-ayat di atas yang menyatakan tentang ketidak bermain-mainan Tuhan dalam mencipta makhluk, di dalam Kriteria Kalam dimaknai dengan kepastian adanya tujuan kebaikan untuk makhluk, hingga kalau tanpa tujuan tersebut dikatakan main-main dan sia-sia, maka dalam Kriteria Filsafat, ketidak bermain-mainan dan ketidak sia-siaan di sini dimaknai dengan kepastian adanya hikmah dalam kepenciptaan makhluk. Yakni dalam penciptaan ini pasti ada hikmahnya, yaitu kebaikan untuk makhluk. Karena kalau tanpa hikmah tersebut maka ciptaan ini akan menjadi sia-sia dan main-main. 

(4). Kriteria Irfan: 

Kriteria ini sangat tidak dianjurkan untuk dibaca dan dipikirkan. Jadi, kalau tidak paham, maka tidak usah diresahkan, karena yang tidak percaya hal ini tidak dosa dan tidak masuk neraka. Dia hanya kesempurnaan di atas surga. Yakni, secara praktiknya, hanya milik Insan Kamil yang tidak memperdulikan apapun kecuali Tuhan. Jadi, yang tidak percaya Irfan, tetap muslim dan mukmin serta masuk surga, sekalipun tidak bisa menjadi Insan Kamil dan Fanaa’. 

Dalam Irfan, karena penciptaan itu tidak ada, maka khalaqa yang bermakna dasar pengqadaran dan pembatasan, dimaknai dengan pembatasan Tajalli dan Manifestasi. Tidak seperti Kalam dan Filsafat yang memaknainya dengan pengqadaran dan pembatasan wujud hingga menjadi yang namanya makhluk. 

Tentu saja, Kalam ortodok dan orang awam, lebih parah keadaannya. Karena mereka mengatakan bahwa Tuhan mencipta makhluk ini dari Tiada menjadi Ada/wujud. Padahal, Tiada, jangankan dibuat sesuatu hingga menjadi ada, diberitakan saja tidak bisa. Yakni kalau yang dimaksudkan itu adalah Tiada yang nyata, bukan pahamannya. Jadi, Tiada tidak bisa dikatakan “dibuat”, “membuat dirinya”, “dirinya”, “dari tiada”, “ke tiada”, “dalam tiada” ...dst. Akan tetapi karena dalam pahaman kita Tiada itu dapat dipahami, maka kita bisa memberikan predikat dan sifat-sifat kepadanya, seperti tulisan di atas, yakni “Tiada tidak bisa dikatakan....” 

Rahasia pertama ketidak adaan penciptaan dalam Irfan adalah karena yang selain Tuhan ada- lah tidak ada. Karena Dia tidak terbatas, oleh karenanya tidak mungkin ada wujud lain sekalipun terbatas karena ia akan membatasi ke-BeradaanNya. Lihat catatan Wahdatul Wujud 1-6. 

Rahasia ke dua, ketika Ada itu hanya Tuhan, maka apapun yang nampak ada ini adalah tidak ada. Dan kalau tidak ada, maka apanya yang dicipta? 

Yang bisa kita perkirakan dalam Kriteria Irfan ini adalah semua hikmah yang ada pada makhluk itu diganti menjadi hikmah pada Tajalli. Jadi, semua alasan dan dalilnya, adalah sama, dan yang beda hanyalah pada wujud makhluk –dalam Awam dan Kalam serta Filsafat- atau pada Tajallinya –dalam Irfan.

Sekian dan wassalam semoga bermamfaat bagi kita semua, amin. Assalamu alaika ya Aba ‘Abdilah wa ‘ala ahli baitika wa ‘ala ashhabika al-maktuliina fi Karbala. Duhai betapa inginnya kami bersamamu hingga kami ikut meraup kemenangan agung bersamamu. 



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ