Kamis, 02 Agustus 2018

Suluuk Ilallaah- 2 (10-18 dari 300 tingkatan)





by Sinar Agama (Notes) on Monday, January 3, 2011 at 7:55pm


Pembukaan

1. Yang berminat kepada tulisan ini, harus membaca dulu tulisan Suluk Ilallah-1, dan berusaha memahami setiap pointnya, baik yang ada di pembukaannya atau di isinya. 

2. Tulisan ini, seperti sebelumnya (Suluk Ilallah-1), adalah tidak untuk disebar. Jadi, peminatnya hanya bisa memanfaatkan untuk dirinya sendiri dan dengan tanggung jawabnya sendiri pula. 

3. Siapapun tidak bisa mengamalkan tingkatan Suluk Ilallah-2 ini kecuali telah menyelesaikan Suluk Ilallah-1. Jadi, bahasa dan kata-kata yang ada disini, hanya untuk yang telah mengamalkan tingkatan-tingkatan Suluk Ilallah-1 dengan baik dan sempurna. 

Jadi, jangankan bagi yang belum bersuluk sama sekali, untuk yang sudah bersulukpun tapi yang belum menyelesaikannya dengan baik tingkatan-tingkatan yang ada di Suluk Ilallah-1, tidak berhak menafsirkan dan berusaha memahami kata-kata yang ada di Suluk Ilallah-2 ini. Kecuali sekedar dalam bentuk pahaman Hushuli (gambaran, wawasan dalam ide), dan itupun dengan mengkacamatai diri dengan tingkatan-tingkatan sebelumnya. Karena kalau tidak demikian, maka pasti akan salah memahami dan bisa saja seseorang dengan mudah kembali lagi ke dalam determinisme sesat. 

4. Pengamalan dari semua teori yang ada di tulisan ini dengan niat menuju terbukanya hijab yang menutupi kenyataan Wahdatulwujud, oleh karenanya, seseorang tidak bisa mengamalkan tingkat sesudahnya kecuali sudah menyelesaikan tingkat sebelumnya. 

Tapi kalau ingin mengamalkan hanya lahiriahnya dan kulit-kulitnya saja, yakni dengan niat menjadi orang baik dan masuk surga, maka memulainya dari Sadar, lalu Taubat dari dosa (bukan dari mubah, surga, karamat, dan lain-lainnya), lalu Menghisap dan menghitung pahala- dosanya (bukan suka halal, karamat, surga dan lain-lainnya), lalu Inabah dalam arti kembali memperhatikan dan menyintaiNya saja dengan perhatian dan cinta umum, lalu setelah itu Berpikir lalu Berdzikir......dan seterunya sampai ke tingkat akhir, maka boleh saja teori di sini ini dilakukan dan tidak perlu bersih dari dosa serta apalagi dari suka mubah. 

1-4. Kembali/al-Inabah 

Beda Taubat dan Inabah adalah kalau Taubat kembali dari maksiat sedang Inabah kembali kepada Allah. Jadi, Inabah lebih afdhal dari Taubat. Allah berfirman: 

dan kembalilah kalian kepada Tuhan kalian” (QS: 39: 54) 

Inabah, memiliki 3 tingkatan: kembali kepada al-Haq sebagai pembenahan sebagaimana kembali kepadaNya sebagai permohonan maaf (dari maksiat di tingkatan Taubat); kembali kepadaNya sebagai pemenuhan janji sebagaimana kembali kepadaNya sebagai janji; kembali kepadaNya sebagai keadaan sebagaimana kembali kepadaNya sebagai pemenuhan janji. 

(1-4-1). Kembali Sebagai Pembenahan 

Kembali sebagai pembenahan adalah memperbaiki perbuatan dan ketaatan, sebagaimana Taubat yang bermakna kembali dari perbuatan maksiat dan pelanggaran. 

Pekerjaan ini tidak akan terlaksana dengan benar kecuali dengan 3 hal: 

Hal Pertama, adalah membebaskan diri dari akibat-akibat dan konsekuensi dosa. Seperti dengan beristighfar, memelas kepada Allah, kalau dosanya kepada Allah. Atau dengan membayar denda aniaya (raddu al-mazhaalil), membayar qishash (sesuai dengan bagian yang dihilangkan dari seseorang, seperti mata, atau bahkan nyawa, sesuai dengan rincian yang ada di fikih), atau denda dan semacamnya, kalau dosanya kepada manusia. 

Hal ke dua, adalah merasa sakit atas kejatuhannya itu atau kejatuhan manusia lain. Artinya sedih dan menangisi dosa-dosanya, dan sedih dalam batinnya atas dosa-dosa orang lain sebagai simpati dan kasih sayang, sekalipun dosa dan kesalahan orang tersebut kepada kita sendiri. Karenanya harus memaafkannya dan jangan membalas keburukannya dengan keburukan pula. 

Hal ke tiga, adalah menutupi kekurangannya itu dengan mengqada semua kewajiban yang telah ia lalaikan, seperti shalat, puasa, zakat dan khumus dan semacamnya. 

(1-4-2). Kembali Sebagai Pemenuhan Janji 

Kembali sebagai pemenuhan janji ini juga tidak akan terjadi kecuali dengan 3 hal: 

Hal Pertama, adalah dengan melepaskan diri dari lezatnya dosa. Hal ini akan terjadi kalau kita telah merenungi hakikatnya dan merasa sakit dikala mengingatnya sebagai- mana dulu telah melezatinya. Karena terkadang seseorang masih merasa lezat ketika mengenang dosanya sekalipun dia sudah bertaubat darinya. 

Hal ke dua, adalah tidak menghinakan orang-orang lalai (dari dosa atau selainNya) untuk menakutinya, sementara di lain pihak selalu mengharap kebaikan dan pahala untuk dirinya sendiri, serta terhindar dari siksa. Akan tetapi harus takut terhadap diri kita sendiri akan bencana yang mungkin datang kepada kita akibat dari kelalaian dan maksiat orang lain itu, karena bisa karena kelalaian kita dalam amar makruf dan nahi mungkar, seperti dosa anak dan teman yang diakibatkan perkataan kita dll-nya. Begitu pula harus mendo’akan rahmat (hidayah) buat mereka dan memaafkan mereka, tapi tidak memaafkan diri sendiri. 

Hal ke tiga, adalah dengan menjauhkan apa saja yang bisa merusak pengabdian kita kepada Allah dan orang lain. Artinya menjauhkan hal-hal yang dapat mengotori pengabdian itu yang, biasanya disebut dengan penyakit ruh atau kurang sehatnya jiwa. Agar supaya kita terlepas dari semua keuntungan jiwa dan pamrih dan menjadikan pengabdian kita itu benar-benar pengabdian murni karenaNya, bukan sehat, kaya, pahala dan semacamnya. 

(1-4-3). Kembali Sebagai Keadaan 

Kembali sebagai keadaan adalah menyaksikan kebenaran atau mengaktualisasikan per- kataan dan tekad yang telah dibuatnya. Karena ia telah mengakui dosanya dan telah bertekad dan berjanji untuk bertaubat. 

Tahapan ini juga tidak akan terwujud kecuali dengan 3 hal: 

Hal Pertama, adalah dengan putus asa terhadap perbuatan dan usahanya sendiri. Artinya, ia melihat bahwa pelaku sebenarnya adalah Allah swt., bukan dirinya. 

Hal ke dua, adalah ketika ia melihat bahwa perbuatannya itu adalah perbuatanNya, maka ia akan melihat keperluan dan ketergantungannya kepadaNya secara hakiki. 

Hal ke tiga, adalah ketika ia telah melihat dengan nyata bahwa semua perbutan adalah perbuatanNya, maka ia mulai mencium sambaran petir Kasih dan TajalliahNya. Artinya, ia telah mencium bau wahdatulwujud. 

1-5. Berpikir 

Pikir atau Berpikir, adalah gerak akal dari yang diketahui menuju yang tidak diketahui. Artinya, mencari data yang ada di dalam akal dan menyusunnya dalam bentuk argument atau jawaban terhadap masalah yang sedang dipikirkannya. 

Allah berfirman: 

Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur'an (dzikir) untuk menjelaskan kepada manusia apa-apa yang telah diturunkan untuk mereka itu, supaya mereka berpikir” (QS: 16: 44). 

Jadi, secara Qur'ani, berpikir itu adalah wajib. Sedang obyeknya adalah apa-apa yang ada di dalam Qur'an. Dan yang ada di Qur'an, adalah semua keberadaan. Baik Tuhan Yang Maha Ghaib, Sifat-sifat Tuhan Yang Maha Tinggi, para malaikat tinggi yang ghaib dan non materi, para malaikat pengatur semesta, al-Lauhu al-Mahfuzh, ‘Arsy, Barzakh, malakut, alam materi, alam non materi, rejeki, dosa, pahala, surga, neraka, ...dst. Jadi, tak satupun ada yang tercecer untuk dipikir, dan apalagi tidak boleh dipikir, seperti Tuhan. Karena Tuhan termasuk apa-apa yang telah diturunkan dalam Qur'an, baik keberadaanNya, sifat-sifatNya atau perbuatanNya. 

Berpikir memiliki 3 tingkatan: 

(1-5-1). Berfikir dalam Hakikat Tauhid 

Karena berpikir adalah mengolah data yang ada dalam akal kita, maka berpikir tentang hakikat tauhid adalah mencari dan mengolah data akal kita untuk dijadikan dalil terhadap hakikat tauhidNya. 

Berpikir tentang hakikat Tauhid ini memiliki 3 konsekuensi: 

Konsekuensi pertama, adalah kejatuhan. Artinya, jatuh ke dalam kehinaan pengingkar- an Wahdatulwujud. Karena berpikir menandakan keberadaan yang berpikir. Dan pikir, yang berarti mengolah data, juga memiliki konsekuensi mengakui keberadaan datanya. Serta, ketika berusaha mencapai obyek yang dipikir, berarti sama juga dengan mengakui keberadaannya dan, sekaligus keberlainan semua itu dengan sesamanya dan dengan Tuhan. Oleh karenanya telah jatuh ke dalam kehinaan pengingkaran wahdatulwujud. 

Konsekuensi ke dua, adalah berlindung kepada kasyaf. Artinya, dengan penjelasan di konsekuensi pertama itu, berarti tidak ada jalan selamat lagi kecuali mengharap kasyaf atau pembukaan tabir dari Tuhan sendiri. Jadi, harus berpegang dengan cahaya kasyaf, alias yang bukan dari jenis pikir. Ilmu inilah yang dikenal dengan “Ilmu Ladun” atau “Ilmu Ladunni”, yakni lmu yang dari dari SisiNya, artinya bukan dengan pikir. 

Sebenarnya, memang begitulah sebelum Mulla Shadra ra datang. Tapi dengan keda- tangannya, maka dengan akalpun manusia bisa mengerti dengan dalil gamblang akan kebenaran wahdatulwujud ini. Karena beliaulah ra yang bisa membangun argumentasi untuk wahdatulwujud ini hingga yang tadinya hanya bersandar pada kasyaf, kini sudah bisa terdalili dengan dalil akal. 

Sementara di lain pihak, akal, juga memahami dan menyuruh kita untuk membuang tabir-tabir yang mengkabuti kebenaran wahdatulwujud itu. Dengan demikian, akal, sebenarnya tidak menghadang wahdatulwujud, tapi malah mendukungnya. Yakni akal sendiri ingin menghilangkan dirinya. Memang, kalau akal hanya dipakai untuk memahami dan mengolah data, maka selamanya ia akan menjadi hijab. Dan inilah yang dikatakan oleh para urafa’ sebagai “Hijab Cahaya” alias “Hijab Ilmu”. 

Konsekuensi ke tiga, adalah berpegang kepada ilmu Lahiriah. Artinya, dalam urusan keimanan harus hanya mencukupkan dengan taklid saja seperti yang digambarkan dalam hadits “Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Tuhanmu dan jangan berpikir tentang zat Tuhanmu”. 

Penjelasan pokok dan awal di konsekuensi ke dua dan ke tiga ini diringkas dari Manazilnya Anshari dan penjelasannya Qasani. Akan tetapi, sepertinya, kurang tepat. Allahu A’lam. Ketidaktepatannya itu karena mereka mengira bahwa wadatulwujud hanya bisa dike- tahui dengan kasyaf, bukan dengan dalil. Tapi pada kenyataannya tidak demikian sebagaimana maklum, yakni yang sudah saya jelaskan tentang Mulla Shadra ra itu. 

Jadi, kesimpulannya adalah bisa dengan akal, tapi harus mengaplikasikan konsekuensinya. Yakni tentang wahdatulwujud dan aplikasi peniadaan diri dan selainNya. 

Tingkatan “Berpikir tentang hakikat Tuhan” ini tidak akan sempurna dilewati kecuali dengan 3 hal: 

Hal Pertama, adalah Mengerti dan menyadari sepenuhnya akan ketidak mampuan akal. Artinya dalam mencapai hakikat nyata tauhid, bukan memahami tauhid. 

Sebelum Mulla Shadra ra, ketidakbisaan akal mencapai hakikat tauhid memiliki pe- ngertian bahwa akal tidak bisa memahami wahdatulwujud, bukan tauhid Teologis yang berarti “Tiada tuhan kecuali Tuhan/Allah”. 

Tapi setelah Mulla Shadra ra, maka akalpun telah bisa memahami dengan baik wahdatulwujud Irfaniini. Jadi, sekarang, maknadariketidakmampuanakal, bisadiartikan dengan ketidakmampuannya mencapai wahdatulwujud, bukan pemahamannya. 

Hal ke dua, adalah putus asa untuk mencapai tujuan dengan akalnya. Ketika akal sudah tidak mampu memahami wahdatulwujud, maka ia akan beralih kepada hal ke tiga. 

Tentu saja, penjelasan ini untuk orang-orang sebelum generasi Mulla Shadra ra sebagaimana maklum. Akan tetapi setelah beliau ra, maka akal tidak perlu melakukan peringkat ini dan bisa dialihkan ke maksud lainnya. Yaitu, akal harus putus asa mencapai  wahdatulwujud secara nyata, bukan secara pahaman. Karena jelas, bahwa akal hanya bisa mengerti (akal-nazhari) dan bisa menyuruh (akal-amali). Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa dalam mencapai wahdatulwujud itu kalau anggota lainnya tidak menaatinya. 

Hal ke tiga, adalah berlindung kepada Qur'an sebagai tali agung yang mengikatkan manusia dengan Tuhannya. Artinya, ketika Tuhan tidak bisa dicapai dengan berpikir, dan setelah ia putus asa terhadap usaha pemahaman tersebut, maka akal harus meninggalkan berpikir tentangNya, dan mencoba hanya dengan bergantung kepada Qur'an. 

Penjelasan seperti ini adalah ketika menusia belum mengerti hakikat pikir dan Qur'an. Akan tetapi sekarang manusia sudah mengerti tentang keduanya dan banyak hal lainnya. Kita sekarang juga mengerti bahwa sekalipun kita kembali kepada Qur'an juga tetap dengan akal kita. Dan sekarang ini, akal, jangankan tauhid teologis, tauhid irfanis juga sudah bisa dipahaminya dengan baik. 

Memang, yang dimaksud mereka kembali kepada Qur'an, bukan memahami Qur'an dengan akal di bagian-bagian ke-Tuhanan. Akan tetapi mengharapkan ilham-ilham dan kasyaf-kasyaf yang dicuatkan Tuhan melalui Qur'an. Dalam hal ini, memang bisa dikatakan benar. Akan tetapi, apapun dapatan yang didapat dari kasyafnya itu, tidak bisa menjadi dalil bagi orang lain, dan bisa saja tidak juga bagi dirinya sendiri. Karena tidak adanya jaminan kebenaran kasyaf dan pemaknaannya, kecuali adanya makshum yang menjaminnya. 

Jadi, paling bijaknya, kita bisa meraup wahdatulwujud dengan akal dan kasyaf kita. Oleh karenanya harus belajar tinggi-tinggi tentang Filsafat dan Irfan, dan berusa pula mengambil ilham dari Qur'an. Akan tetapi, setinggi apapun kasyaf yang didapat, sebisa mungkin, hanya diambil yang bisa didukung dengan dalil akal dan melepaskan –untuk hati-hatinya- yang tidak didukung dengan dalil akal. 

(1-5-2). Berpikir dalam Kehebatan Ciptaan 

Berpikir dalam kehebatan ciptaan ini dikatakan sebagai air bagi tanaman Hikmah. Sedang arti kata Hikmah adalah apa saja “yang kuat”. Jadi, ilmu-ilmu tentang hakikat ciptaan dan seluk beluknya, yakni filsafat, adalah tergolong Hikmah. Karena biasanya selalu diiringi dengan dalil yang kuat dan gamblang. Begitu pula tentang ilmu Fikih. Ia juga termasuk Hikmah dari dua sisi. 

Pertama, karena fikih diambil dari Qur'an dan hadits yang merupakan paling kuatnya konsep kehidupan karena dibuat oleh Allah swt. 

Ke dua, karena filsafat sendiri mewajibkan manusia untuk merujuk kepada Allah swt dalam perbuatannya sebagai konsekuensi nyata dari akalnya yang terbatas memahami asal muasal dan tujuan kehidupan serta ketidakmampuannya dalam meberikan upah dan hukuman bagi yang taat dan melanggar aturannya. 

Ketika Berpikir dalam ciptaan ini adalah air bagi Hikmah-hikmah itu, maka sudah tentu ia akan membantu penyuburan muncul dan menyeruaknya bibit-bibit hikmah dan pende- wasaannya. 

Berpikir dalam ciptaan ini juga memiliki 3 hal: 

Hal Pertama, adalah dengan positif thinking terhadap sebab-sebab keberadaan. Misalnya bahwa kita telah dicipta dari kepapaan, dengan kehebatan susunan badaniah yang menyimpan banyak seni tak terjangkau akal sampai kapanpun juga. Susunan tubuh yang terdiri dari tulang, daging, sumsum, darah dan seterusnya. Begitu pula dari susunan syaraf-syaraf dan sel-sel DNA yang kehebatannya tiada tara. Begitu pula ruh kita yang memiliki banyak daya dan kemampuan, seperti mengatur pertumbuhan, gerakan dan pikiran yang tidak bisa dibatasi dengan jaman dan terus berkembang. Begitu pula dengan alam sekitar kita, bumi, matahari, bulan, pepohonan, air...dst, semua dan semua, menunjukkan keagungan dari ciptaan ini. 

Hal ke dua, adalah menjawab panggilan isyarat. Maksudnya, ketika kita telah mela- kukan hal pertama di atas, maka akan memunculkan dalam diri kita apa yang dikatakan kagum, syukur dan aktualisasinya. Oleh karenanya akan muncul kesadaran dan tekad dalam diri untuk menaati Tuhan secara mutlak. 

Hal ke tiga, adalah membebaskan diri dari segala macam syahwat atau kelezatan. Artinya, dalam ketaatannya itu tidak boleh menyertakan apapun kelezatan yang biasa dijanjikan oleh nafsunya. Seperti lezatnya kawin, berbuka, sehat, rejeki, ilmu laddun, kasyaf, dan apa saja termasuk surga dan seterusnya ke atas. Ringkasnya, tidak melakukan apapun ketaatan kecuali murni karena Allah swt saja. 

(1-5-3). Berpikir dalam Arti Amalan dan Keadaan 

Memahami makna dari amalan dan perbuatan kita, akan membuat kita mengerti akan ketiadaan kita dan kehanya-beradaanNya. Karena semua yang kita jadikan modal perbuatan, seperti wujud kia, kekuatan, akal dan ikhtiar kita, semuanya adalah dariNya. Dengan demikian, maka ke-Esaan dalam perbuatan akan menjadi ternyatakan dalam pandangan kita, bahwasannya semua yang terjadi adalah dengan KehendakNya (hati-hati jangan sampai kembali ke takdir/diterminis). Ketika demikian halnya, maka pintu Fanaa’ dan wahdatulwujud sudah semakin terbuka. 

Sedang Berpikir tentang Keadaan adalah memikirkan capaian-capaian, manifestasi-mani- festasi, ilham-ilham, percikan-percikan cahaya yang datang dari cahaya Jamal (Indah) dan Jalal (Perkasa), yang masuk ke dalam hati/akal. Hal ini akan memudahkan pencapaian hakikat wahdatulwujud. 

Tingkatan ini juga memiliki 3 hal: 

Hal Pertama, adalah dengan mengandalkan ilmu. Karena untuk mengerti tingkatan- tingkatan perbuatan dan amalan, harus memakai ilmu. Dan karena ilmu itu adalah sesuainya info dengan kenyataan, maka ilmu haruslah benar. 

Hal ke dua, adalah dengan menghinakan ilmu. Ilmu, sebagaimana dapat diketahui dengan mudah, bahwa ia adalah pembeda kebenaran dari kebatilan. Artinya, ia adalah penentu. Dan kalau ia adalah penentu, maka keberadaannya semakin kuat. Begitu juga ilmu-ilmunya. Dan ketika semua itu adalah keberadaan, maka akan menjauhkannya dari wahdatulwujud. Disinilah ia harus dihinakan dan dicela. Jadi, tugas kita di sini adalah memukul mundur ilmu dengan kasyaf. Tentu saja setelah mendapat ilmu dengan argumentatis, benar dan gamblang. 

Hal ke tiga, adalah dengan mengerti posisi lingkungannya. Yaitu mengerti rangsangan dan kecemburuan yang muncul dari para Salik. Seperti cinta nabi Sulaiman as yang mengatakan: “sesungguhnya aku menyukai kesukaan terhadap barang yang baik karena  ingat kepada Tuhanku...” (QS: 38: 32). Atau seperti kecemburuan nabi Ibrahim as yang mengatakan: “Demi Allah akan kuhancurkan patung-patung kalian...” (QS: 21: 57). Atau kecemburuan para penyihir di masa Fir’un yang setelah diancam dengan potong tangan dan kaki serta salippun, mengatakan: “Tidak ada kemudharatan bagi kami....” (QS: 26: 49). 

1-6. Ingat/Dzikir 

Setelah seseorang Sadar, maka ia melakukan Taubat dari segala kesalahan dan kekurangan, setelah itu ia harus melakukan Muhasabah. Setelah Muhasabah, ia meneruskan ke peringkat Kembali kepada Allah dari diri dan kebaikannya. Setelah Kembali, melakukan Tafakkur, dan setelah itu baru ke peringkat Tadzakkur atau Ingat. 

Allah berfirman : 

“Tidak Ingat kecuali orang-orang yang Kembali” (QS: 40: 13) 

Dalam ayat ini jelas bahwa peringkat Ingat itu, setelah tingkatan Kembali. 

Ingat ini, tentu saja lebih tinggi dari Berpikir. Karena Berpikir untuk mencapai sesuatu yang belum ada, sementara Ingat adalah untuk yang sudah ada. Ingat ini, tentu sudah merupakan intinya sesuatu, yakni yang sudah dibersihkan dari segala macam kotoran dan hijab, hingga menjadi teringat. 

Allah berfirman: 

“Tidak Ingat kecuali orang-orang yang memiliki cerdik/isi” (QS: 2: 269). 

Jadi, Berpikir adalah mencari jawaban terhadap sesuatu yang belum ada, sedang Ingat adalah menghilangkan hijab dari yang sudah ada. 

Bagi sebagian urafa’ terdahulu ra., Ingat ini adalah ingatnya seseorang akan apa yang telah difitrahkan dari awal ciptaan oleh Allah, seperti makrifat kepada tauhid yang telah diberikannya sejak dari alam ruh yang, kemudian menjadi terlupakan manakala ruh tersebut terbungkus oleh kekotoran materi badani dimana juga menkonsekuensi-i hawa nafsu dll-nya. Jadi, Ingat adalah tersingkapnya semua hijab-hijab itu. 

Akan tetapi kalau mengikut pada konsep filsafat setelah Mulla Shadra ra dimana ruh dari awal penciptaannya dalam keadaan kosong, lalu berproses ilmu setelah diciptakannya materi, dengan Berpikir dan mencari ilmu, maka Ingat, adalah setelah manusia mendapatkan berbagai ilmu, baik melalui belajar, ilham dll-nya. Jadi, peringkat ingat ini adalah menghilangkan semua hijab yang bisa menghijabi ilmu tersebut. Yakni, menjadikan ilmu teori yang dikenal dengan “Hushuli” atau “gambaran” yang didapat dari belajar, menjadi “Hudhuri” atau “Nyata” atau menjadi “Ruh kita” dengan membuang semua kotoran-kotorannya (badani dan nafsu-i). 

Tadzakkur ini memiliki 3 tingkatan

(1-6-1). Menggunakan Pemberian 

Maksud dari Menggunakan Pemberian ini adalah tergetarnya jiwa kita manakala men- dengarkan nasihat hingga bertekad untuk selalu berusaha melaksanakan yang baik dan shalih, dan menjadi benar-benar ketakutan manakala mendengarkan peringatan dan  ancaman hingga menghindari kejelekan. 

Tingkatan ini akan menjadi teraplikasi manakala melakukan 3 hal: 

Hal Pertama, adalah merasa sangat perlu kepadanya (nasihat dan peringatan). Ayatullah Jawadi Omuli hf pernah mengatakan: “Kalau seseoang tidak merasa perlu kepada nasihat/peringatan, maka sekalipun malaikat Jibril as yang datang memberikannya, ia tidak akan tereaksi”. Jadi, seseorang harus benar-benar merasakan keperluannya itu, bukan basa-basi dan global serta gambaran dan ide. Tapi benar-benar terasa dalam jiwanya, seperti badannya yang merasa lapar yang kadang sampai gemetaran. 

Hal ke dua, adalah membutakan diri terhadap yang menasihati atau memberi peringatan. Artinya, seorang murid tidak boleh sibuk dengan urusan orang lain sekalipun gurunya sendiri. Jadi, dia harus memaksimalkan diri untuk mengoreksi aib-aibnya sendiri dan tidak membuang waktunya untuk mengecek aib orang lain. 

Tentu saja, sebelum seorang murid itu memilih guru, sudah memeriksanya terlebih dahulu dari segala sisinya sesuai dengan ilmu yang akan dipelajarinya itu. Misalnya siapa gurunya, dan bagaimana karakternya. Dan kalau sudah diyakini benar-benar profesional, dan sudah memutuskan belajar kepadanya (dalam irfan), maka tidak benar kalau meluangkan waktunya untuk mengoreksi aib-aib gurunya. 

Yang dimaksud dengan aib orang lain yang tidak boleh diurusi itu adalah aib-aib yang tidak ada hubungannya dengan amar makruf dan nahi mungkar. Karena kalau ada, maka kita wajib menasihati dan memperingatinya sesuai dengan syarat-syarat yang ada di kitab fikih tentang amar makruf dan nahi mungkar. 

Hal ke tiga, adalah selalu mengingati nasihat dan ancaman (peringatan). Artinya, ketika seseorang tidak dibolehkan menyibukkan diri dalam aib-aib orang lain, maka ia harus mengisinya dengan selalu ingat pada nasihat dan ancaman agama. Tentu saja, semua dengan tingkatannya sendiri-sendiri, baik ancaman neraka atau terhempas dari wahdatulwujud. 

(1-6-2). Memahami Contoh 

Maksudnya adalah kita harus mempelajari dan mengilhami apa saja dari semua kejadian, baik itu baik atau buruk. Kalau baik, maka kita harus mencontohnya dengan mengaplikasikannya dalam kehidupan kita, dan kalau jelek maka sebaliknya. Seperti kehidupan para nabi, imam, shalihin dll-nya; atau kehidupan para penjahat seperti Fir’un, Abu Lahab dll-nya. 

Tingkatan ini juga berkaitan dengan 3 hal: 

Hal Pertama, adalah dengan mengaktifkan akal. Kalau akal ini tidak diaktifkan terus menerus dengan Berpikir dan menuntut ilmu, maka dari mana seseorang bisa tahu bahwa sesuatu itu baik atau buruk secara hakiki, atau bisa tahu kebaikan dan keburukannya di tingkat apa. 

Hal ke dua, adalah dengan terus menerus melihat fluktuasi dirinya dalam segala tingkatan dan keadaannya. Dengan harapan selalu waspada dan selalu meningkatkan diri hingga sampai kepada tujuannya, yaitu berakhlak dengan akhlakNya. Tentu saja, tingkatan tertingginya, ketika sudah mencapai Fanaa’. 

Hal ke tiga, adalah dengan menyelamatkan diri dari tujuan-tujuan lain selainNya. Hal ini juga memiliki tingkatannya sendiri. Misalnya, harus membersihkan amalnya dari riya’, lalu harus bersih dari dunia halal dan begitu seterusnya. Walhasil tingkatan tertingginya adalah harus bersih dari segalanya dari selainNya.
(1-6-3). Memetik Hasil Pikir 

Buah dari Pikir atau Berpikir ada dua macam: Aplikasi atau amal, dan Bashirah/pahaman tentang makrifat. Sebagaimana saya sering menerangkan di berbagai catatan, bahwa kita, dari satu sisi, harus berusaha dan berikhtiar, dan dari sisi yang lain bahwa usaha kita itu bukan sebab pemberi, tapi sebab penyiap atau potensi. 

Di sini, juga demikian. Kita harus terus berusaha untuk berpikir agar hasilnya bisa diamalkan dan juga didatakan sebagai makrifah. Jadi, pemberi dari ilmu yang didapat dan taufik terhadap aplikasi itu, adalah hanya Allah swt. Artinya, ketika seorang hamba sudah menyiapkan diri dengan usahanya baik dalam pikir, ingat atau aplikasinya, maka Dia akan memberikannya. Jadi, sebab pemberi hanyalah Dia semata. Dan hal ini bukan diterminis atau jabariah, karena pemberianNya itu memang tidak pernah berhenti. Jadi, manusia yang mempotensikan diri dengan usahanya itulah yang akan mengambil pemberiaanNya tersebut. 

Tingkatan ini juga akan menjadi sempurna manakala telah melewati 3 hal: 

Hal Pertama, adalah memotong angan-angan. Memotong angan-angan ini dengan alat yang paling ampuh dan tajam. Yaitu dengan selalu mengingat dan mengenang mati dan kedekatannya. Karena dengan meresapi mati dan kedekatannya, akan membuat manusia tidak akan pernah menyia-nyiakan waktunya untuk mencapai taqwa, keba- ikan, kemuliaan dan pada akhirnya Fanaa’. 

Hal ke dua, adalah memperbanyak renungan terhadap Qur'an. Qur'an, dengan se- mua ayat-ayatnya, baik yang berisi nasihat, ancaman, sejarah dll-nya, semuanya dan semuanya, adalah hakikat hidayah bagi manusia dalam segala tingkatannya dan dengan segala tingktannya. 

Hal ke tiga, adalah dengan menyedikitkan 5 hal, yaitu: 

1. Pergaulan kecuali dengan orang shalih, ulama dan urafa’; 

2. Harapan dan cita-cita, karena banyak dijadikan alat oleh syetan hingga menyamar- kan kebenaran dan sering juga menyelewengkannya; 

3. Ketergantungan kepada selain Allah, karena ianya adalah syirik kepadaNya yang layak mendapatkan keterdepakan dan laknat; 

4. Kenyang, karena ianya akan menggelorakan segala macam syahwat dan kesenang- an pada kelezatan yang, akan mengurangi keaktifannya akal, renungan, ilham dll- nya; 

5. Tidur, karena akan mengurangi taat, mengaburkan pandangan, memperbanyak lupa, merangsang jiwa pada kebatilan, mematikan hati dan bisa menceburkan manusia ke dalam tingkatan binatang. 

Alhamdulillah dan shalli ’ala Muhammadin wa aalihi al-thahirin. 

Semoga bermamfaat, setidaknya sebagai khazanah pengetahuan Islam. Wassalam. 


Ramdhan Romdhon: syukron ustadz, mohon juga dipos juga ke grup Peace & Unity... 

Sinar Agama: Ramadhan_R: Untuk semua dari serial Irfan Amali (suluk ilallah) ini, tidak boleh disebar oleh siapapun dan lewat apapun, jadi hanya boleh digunakan sendiri dalam bentuk apapun. Jadi yang mau maka ambil sendiri di catatanku. Ingat hanya untuk dirinya sendiri. 

Ramdhan Romdhon: Siap ustadz... 

Sinar Agama: Semua itu demi mengurangi dampak buruknya, dan masih banyak yang lainnya. Jadi, sekali lagi saya hanya merelakan suluk irfani ini untuk dipakai sendiri dalam bentuk apapun, baik dicopy, diprint ...dst, tapi hanya untuk dirinya sendiri saja. afwan atas perhatian semua, dan bagi yang melanggar aku hanya bisa mengeluhkannya pada Pemilikku saja. Tapi antum-antum semua, bisa memberitahukan akan keberadaan catatan ini di sini dan mengatakan bahwa bisa mengambilnya sendiri di sini. Afwan. 

Anjuranku, jangan baca teori suluk ini kecuali setelah mencermati Pembukaannya yang ditulis di awal-awal setiap penulisan. Dan akan banyak berguna tulisan suluk ini bagi yang telah memahami wahdatulwujud 1-9 dengan baik. 

Gunawan Harianto: Ijin share untuk konsumsi sendiri ustadz...Afwan wa syukron. 

Momo Haddad: Syukran ustadana.. 

Dino Aja: Syukron ustazd..... moga cintanya Makshumin selalu menyertai antum, mohon ana disertakan dalam setiap doa-doanya antum. 

Sinar Agama: Terimakasih dan salam untuk semua teman yang telah menjempoli dan memberi komentar di sini, terkhusus pengertian dan do’anya, semoga kita benar-benar diridhai oleh imam Mahdi as, amin. Ingat ya, permintaan untuk tidak disebar itu hanya tentang suluk, sejak dari bagian awal sampai akhir. Yang lainnya, kalau tidak ada peringatannya maka bebas digunakan untuk apa saja dan siapa saja asal baik dan bukan untuk bisnis. 

Sinar Agama: Terimakasih untuk mbak Alghifari dan semua teman di fb, yang sekalipun kita hanya kenal di fb, sering menggunakan kata ustadz untukku. Semoga semua ucapan itu menjadi doa buatku dan, walau terkecil, aku dihitungNya sebagai guru, amin

Sinar Agama: Alghifari, afwan saya salah tulis, mestinya mbak....afwan.




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ




Suluuk Ilallaah - 1 (9 Tingkatan dari 300 Tingkatan)





by Sinar Agama (Notes) on Saturday, December 25, 2010 at 12:18 pm



Pembukaan

1. Suluk adalah amalan-amalan untuk mencapai Wahdatu al-Wujud. Akan tetapi, bukan berarti sekarang ini tidak wahdatu al-wujud. Karena sudah dibuktikan dengan dalil pada catatan Wahdatul Wujud 1-9, bahwa wujud memang hanya satu. Tentu saja, hal ini tidak diwajibkan secara agama. Artinya, yang tidak percaya, tidak mendapat dosa dan apalagi masuk neraka. Tidak sama sekali.

Jadi, suluk ini, pada hakikatnya, adalah cara mencapai kasyaf dan kesaksian Wahadtu al- Wujud. Artinya, cara untuk mengikis kemerasaan ada dari diri seseorang terhadap dirinya, lingkungannya dan semua dari keberadaan selain Tuhan. Dengan kata yang lebih sering dipakai adalah cara untuk mengangkat hijab “banyak” (tafriqah dan katsrah) hingga tersingkap “satu” (wahdah dan jam’ah).

Jadi, suluk adalah alat mencapai kesaksian Wahdatu al-Wujud, bukan masuk surga. Karena untuk masuk surga cukup dengan melakukan kewajiban dan menjauhi maksiat dengan ikhlash. 

2. Suluk yang akan dipaparkan di sini, memiliki 10 tingkatan. Dari masing-masingnya bercabang menjadi 10 tingkatan lagi. Yang sepuluh ke dua ini juga bercabang menjadi 10 lagi, hingga menjadi 1000 tingkatan. 

Akan tetapi, di sini, dipadatkan menjadi sekitar 300 tingkatan saja. Yakni dari 10 pertama bercabang menjadi 10 ke dua, dan dari 10 ke dua hanya diambil 3 tingkatan dari 10 tingkatannya. Yang diambil dari 10 ke tiga ini adalah tingkatan pertama, tengah dan akhirnya. 

Tujuannya, supaya tidak terlalu melelahkan dan terlalu rinci. Begitulah yang dikatakan oleh penulis buku Manazilu al-Sairin yang saya jadikan pedoman di sini. 

Tentu saja, di sini saya hanya akan mengambil tingkatan-tingkatannya saja dengan ringkasan penjelasannya (dari al-Anshari sendiri dan al-Qasani), serta berusaha menerangkanya se- mampu, semudah dan seringkas mungkin. 


3. Tentu saja, banyak sekali teori yang diberikan ulama pesuluk terhadap teori suluk ini. Jadi, tidak hanya tergantung kepada teori dan tingkatan-tingkatan yang ada di sini. Teori yang di sini diambil dari kasyaf satu orang yang bernama Abdullah al-Anshari dari keturunan Abu Ayyub al-Anshari yang lahir pada tahun 396 H.Q. 

4. Yang mencoba memperaktikkan pedoman ini, adalah merupakan tanggung jawabnya sendiri, baik di dunia atau di akhirat. Artinya, diluar tanggung jawab saya, apapun akibat darinya. Apakah cara ini adalah benar menurutNya, atau tidak. Kalau benar, apakah menghasilkan keberhasilan atau kegilaan dan kehancuran. 

5. Yang bisa saya katakan tentang buku Manazilu al-Sairin ini adalah bahwa ia adalah salah satu buku yang juga mendapat perhatian dan terkadang dipelajarinya di hauzah syi’ah. Jadi, bagi saya pribadi, termasuk buku standar. Ayatullah Niku Noom adalah salah satu ulama kontemporer yang mengatakan bahwa buku tsb adalah buku bagus/baik dan, sekaligus beliau mengajarkannya juga. 

Dan saya melihatnya, terutama di sistematikanya dan penjelasannya, memang bagus dan hebat. Tapi, sekali lagi, penilaian, praktik dan tanggung jawabnya, adalah merupakan tanggung jawab masing-masing, alias bukan tanggung jawab saya lagi. 

6. Kalau tidak mau ruwet/susah tentang suluk ini, cukup dengan apa yang sering dikatakan para ulama dan guru Irfan yang secara umum itu. Yaitu, tinggalkan semua haram dan makruh dengan hati dan badan. 

Setelah itu tinggalkan yang halal dengan hati, yakni kesukaannya (bukan ketergantungannya, karena ketergantungan jauh lebih parah dari suka). 

Setelah itu, tinggalkan dengan hati pula apa saja yang dianggap baik, dari karamat, kasyaf, surga, al-Lauhu al-Mahfuzh dst hingga sampai ke Akal-Satu dan meninggalkannya pula hingga Fanaa’ dan meninggalkan kemerasaan Fanaa’nya (lebih halus dari suka, karena suka lebih parah dari merasa) hingga disebut Fanaa’ dalam Fanaa’, hingga tidak ada lagi yang dirasakannya kecuali Allah swt. 

7. Dalam lingkungan Syi’ah, wali terkecil adalah yang sampai ke tingkat Fanaa’ di atas Fanaa’ itu. Jadi, yang bisa karamat, belum dikatakan wali. Malah bisa dikatakan sebangsa dengan dukun dan/atau ahli batin seperti para pendeta (Murtadhin dari Riyadhah, bukan murtadin). 

Artinya, masih tergolong yang suka kepada dunia yang rendah, sekalipun berupa batin atau non materi. Terlebih bagi yang mendirikan perguruan dan mengumpulkan murid-murid. 

Jadi, kekuatan ghaib dan non materi itu, bisa didapat dengan riyadhah/olah batin, dzikir, energi, konsentrasi, yogha dan sebangsanya. Yakni, terhitung kekuatan biasa yang bisa dicapai oleh setiap orang dengan latihan-latihan dan dzikir-dzikir tersebut. 

8. Dalam suluk, tekanannya pada praktik dan perbuatan, baik hati atau badaniah, bukan dzikir seperti yang ada di sufi-sufi yang dijuluki oleh Mulla Shadra ra sebagai Sok Sufi atau Demam Shufi. Terlebih, dzikir-dzikir yang dilakukan bersama-sama. 

Dalam syi’ah, dzikir bersama tersebut dipandang sebagai ajaran yang bukan dari Ahlulbait as (Allamah Majlisi Awwal ra), hingga sebagian ulama mujtahid dan irfan mengatakannya sebagai bid’ah (Ayt Jawadi Omuli). 

9. Irfan Teori adalah ilmu yang membahas pembuktian Wahdatu al-Wujud. Sedang Irfan ‘Amali adalah yang membahas tiori amal untuk mencapai kesyuhudan dan kesaksian Wahdatu al- Wujud tsb, bukan amal itu sendiri. Jadi, catatan Wahdatul Wujud 1-9 itu adalah Irfan Teori, dan yang sekarang ini adalah Irfan ‘Amali. 

10. Tahapan pertama suluk ini adalah 10 tahapan yang akan dirinci pada Tahapan-tahapan Suluk. 10 tahapan pertama itu adalah: Permulaan (bidaayaat), Pintu-pintu (abwaab), Jual beli (mu’aamalaat), Akhlak (Akhlaaq), Dasar-dasar (Ushuul), Lembah (audiyah), Keadaan (ahwaal), Wilayah-wilayah (wilaayaat), Hakikat (haqooiq) dan Akhir (nihaayaat). 

11. Tahapan kemudian, tidak akan bisa dicapai kecuali setelah menyelesaikan tahapan sebe- lumnya. Akan tetapi, karena semua tahapan memiliki tingkatan di tahapan yang lainnya, sekalipun tingkatan lainnya itu lebih tinggi, maka yang harus diselesaikannya adalah tahapan yang dihadapinya sesuai dengan tingkataknnya pula. 

Misalnya tingkatan Taubat yang ada di tingkatan ke dua dari tingkatan Permulaan. Tingkatan Taubat ini, memiliki tingkatan sampai ke tingkatan Pintu-pintu, Akhlak......dst hingga ke tingkatan Akhir/nihayaat sekalipun. Artinya, setiap tingkatan sebelumnya, di samping ianya mendasari tingkatan berikutnya, ia juga menafasinya sesuai dengan tingkatan yang di berikutnya itu. Jadi, Taubat di samping ada di tingkatakan Taubat yang di tingkatan Pemulaan itu sendiri, ia juga ada di tingkatan yang lebih tinggi, seperti tingkatan Pintu-pintu ..dan seterusnya itu. 

Ekstrimnya, Taubat, disamping memiliki tingkatan terendahnya seperti Taubat dari dosa/ keburukannya, ia juga memiliki tingkatan yang lebih tinggi, seperti Taubat dari makruh, mubah, kebaikannya, karamah, surga, al-Lauhu al-Mahfuzh, Akal-akhir, Akal-pertengahan, Akal-Satu dan Fanaa’nya. Dan seseorang tidak akan bisa mencapai tingkatan setelah taubat, atau taubat yang di tingkatan lebih atas, kecuali setelah menyelesaikan taubat yang di bawah. 

Jadi, yang masih memiliki dosa, maka ia tidak akan bisa mencapai tingkat berikutnya atau taubat yang di tingkatan berikutnya. Artinya, tidak akan bisa masuk ke tingkatan Pintu-pintu atau ke tingkatan taubat dari mubah. Artinya kemerasamasukan dia ke tingkatan Pintu-pintu, atau kemerasataubatannya dari makruh dan mubah, tidak akan menjadikannya masuk sungguhan ke tingkatan tersebut, karena ia masih memiliki dosa dan belum ditaubati. Ekstrimnya, yang masih punya dosa jangan berkhayal terhadap suluk atau tingkatan setelahnya. 

12. Jangan sesekali berlogika dengan ilmu Kalam, Filsafat atau Fikih ketika pembahasannya sudah mulai menderajati penghilangan diri. Karena semua itu setelah terlaksananya Kalam, Filsafat dan Fikih. Jadi, yang terindikasi bagi seseorang yang sudah mulai menapaki wahdatulwujud hanyalah Tuhannya. 

Jadi, jangan heran kalau nanti di tingkat tertentu akan dikatakan bahwa semua perbuatan seorang hamba adalah perbuatanNya. Apalagi berdalih dengan keberadaan dan ikhtiar manusia, sebagai konsekuensi pandangan Kalam dan Filsafat, atau berdalih dengan tanggung jawabnya, sebagai konsekuensi Fikih. 

Karena mencampuradukkan masalah akan menghilangkan pondasi Kalam, Filsafat dan Fikih. Dan kalau sudah hilang, maka Anda tidak akan naik ke wahdatulwujud sama sekali. Dan yang lebih parah, Anda akan membebaskan diri berbuat semaunya, karena telah menisbahkannya kepada Tuhan dengan wahadatulwujud yang palsu itu. 

Tahapan-tahapan Suluk (perjalanan): 

1. Tahapan Permulaan 

Permulaan adalah tingkatan pertama dari 10 tingkatan pertama, yaitu maqam pemula bagi seorang yang ingin menjalani suluk mencapai kesaksian Wahdatu al-Wujud. 

Tingkatan ini memiliki 10 tingkatan sbb: Sadar/yaqzhah, Taubat/taubah, Muhasabah, Kembali/inabah, Berpikir/tafakkur, Ingat/dzikir, Berlindung/i’tisham, Lari/faraar, Latihan/riyaadhah, Mendengar/sima’. 

1-1. Al-Yaqzhatu 

Al-Yaqzhah adalah pertama kalinya hati seorang hamba tercahayai dengan kehidupan (bangun dari tidur/lengah) dengan melihat cahaya peringatan. 

Allah berfirman:”Katakan! sesungguhnya aku mengingatkan kalian kepada satu hal, yaitu bangun/bangkit (an taquumu) untuk Allah” (QS: 34:46). 

Bangun atau bangkit, maksudnya dari keterlenaan dan ketertiduran lengah, baik dari dosa, atau dari suka dunia halal, karamat, kasyaf dst-nya sampai kepada merasa adanya wujud lain selain Tuhan. Jadi, ayat tersebut menjangkau semua tingkatan, dimulai dari fikih (dosa), akhlak (suka dunia) dan irfan/suluk (adanya selainNya). 

Yang jelas bagi akal-gamblang dan syariat-gamblang adalah bahwa tingkatan yang di depan atau di awal, merupakan dasar bagi tingkatan setelahnya dimana rusaknya tingkatan sebe- lumnya tidak akan membuat seseorang masuk ke tingkatan selanjutnya. Begitu pula dengan tingkatan-tingkatan suluk ini. 

Yaqzhah memiliki 3 tingkatan 

(1-1-1). Perhatian Hati Terhadap Nikmat-nikmat Tuhan 

Maksud dari memperhatikan nikmat-nikmat Tuhan ini adalah perhatian yang penuh dan sungguh-sungguh terhadap nikmat-nikmatNya hingga putus asa terhadap penghitungannya dan terhadap pengetahuan terhadap jumlahnya. Begitu pula menyadari bahwa nikmat- nikmat itu telah diberikan kepada kita bukan atas dasar hak kita (keadilian), akan tetapi karena ke-PemurahanNya (luthfun). Serta, meyakini bahwa kita benar-benar tidak akan pernah mampu untuk mempertanggungjawabkannya sesuai dengan hak-haknya. 

Hal ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan tiga hal: mengambil bantuan dari cahaya akal (akal-gamblang), mengharap pemberian makrifah dan mengambil pelajaran dari yang terkena bencana dimana termasuk bencana hijab dan lengah. 

(1-1-2). Mengkaji Jinayat atau Pelanggaran 

Maksud dari mengkaji maksiat di sini adalah perhatian yang sungguh-sungguh terhadapnya, dan/hingga menyadari efek buruknya, dan/hingga berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjauhinya, dan/hingga terlepas daripadanya, serta/hingga mencari selamat dengan membersihkannya, baik melalui taat atau pembersihan jiwa atau dengan apapun yang bisa dijadikan pembersih dosa dari jiwa kita (seperti istighfar, sedekah, shalawat dan lain-lain). 

Hal ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan 3 hal: 

Hal pertama, adalah mengagungkan al-Haq (karena semakin kita agungkan Allah maka sekecil apapun dosa atau kesalahan kita, maka akan jelas terlihat semakin besar). 

Hal ke dua, adalah sadar diri terhadap kehinaannya (di sinilah, filsafat akan lebih membantu menerangkan apa arti papa dan hina itu secara makrifah). 

Hal ke tiga, adalah dengan menseriusi dan meyakini ancamanNya. 

(1-1-3). Waspada Terhadap Kurang Lebihnya Usaha 

Maksud dari kewaspadaan ini adalah sepenuhnya memperhatikan dengan sungguh- sungguh terhadap frekuensi usaha setiap harinya hingga terhindar dari buang-buang waktu serta mengkikirkannya untuk hal-hal yang tidak perlu serta menggunakannya untuk ketaatan dan menambal dengan segera, lubang-lubang yang ada dengan ketaatan pula. 

Hal ini juga, tidak akan terlaksana kecuali dengan 3 hal

Hal pertama, adalah dengan mendengarkan ilmu (belajar) hingga tahu halal-haram dan baik tidak baiknya sesuatu. 

Hal ke dua, adalah dengan melaksanakan ilmunya dalam kehidupan. 

Hal ke tiga, adalah menjadikan orang-orang alim yang zuhud dan pesuluk sebagai sahabat berbincang. 

Kunci

Kunci dari ketiga maqam di atas (yaqzhah) adalah melepaskan kebiasaan-kebiasaan sebelum- nya. Karena pada umumnya, jiwa manusia sering mengikuti hawa nafsunya dan ber-apologi. Nah, sekarang ia harus memulai kebiasaan-kebiasaan baru dan menghindari alasan-alasan pembolehannya atau yang biasa dijadikan uzur dan apologinya. Seperti, bahwa kita manusia lemah lah, Tuhan Maha Pengampun lah, besok baru berubah lah....dst. 

1-2. Al-Taubatu 

Taubat adalah kembali dari maksiat kepada taat. Dan taubat ini, adalah wajib hukumnya karena yang tidak taubat dikatakan aniaya. Artinya, aniaya diatas aniya. Dan sebaliknya, yang bertaubat, akan dikeluarkan dari golongan aniaya. 

Allah swt berfirman: “Barang siapa yang tidak bertaubat maka mereka adalah orang-orang yang aniaya” (QS: 49:11). 

Taubat ini, tidak bisa terlaksana kecuali dengan mengerti penyimpangannya, baik yang fikih (haram-halal), akhlaki (baik-tidak baik) atau irfani (banyak ada). Karena itulah maka belajar, dari fikih sampai ke irfan adalah kewajiban sesuai dengan masing-masing tingkatannya. 

Tiga hal diperlukan dalam mengerti makna bahaya kesalahan atau maksiat atau penyimpangan itu: 

Hal pertama, adalah ditariknya perlindungan dari diri kita ketika melakukan maksiat. 

Hal ke dua, adalah senangnya hati ketika mengerjakannya. 

Hal ke tiga, adalah munculnya keinginan untuk mengulangnya. 

Tiga hal ini, memiliki bahaya sendiri-sendiri. Bayangkan saja, ketika perlindungan diangkat dari diri kita, atau ketika merasa senang kala melakukan maksiat itu dan terlebih muncul keinginan mengulangnya? Betapa hinanya, betapa hinanya? Seperti ketika kita senang melakukan pelanggaran yang membuat Nabi saww tidak perduli, dan bahkan ingin mengulangnya. Maksiatnya saja sudah jelek, apalagi ada perasaan senang di dalamnya, atau bahkan ingin mengulangnya. Bukankah hal ini merupakan keburukan yang tidak terkira tingginya? 

Taubat memiliki tiga syarat: sedih, memohon ampun dan berhenti secara telak. 

Taubat Memiliki 3 tingkatan 

(1-2-1). Hakikat Taubat 

Hakikat taubat memiliki 3 hal: mengagungkan pelanggaran/maksiat, mencurigai taubatnya dan meminta maaf pada sesama. 

Hal pertama, bagi seorang yang melihat ke-Agungan Tuhan, dan hinanya diri, maka ia akan melihat bahwa sekecil apapun sebuah pelanggaran, ia adalah besar baginya. Karena, bagaimana mungkin Tuhan yang telah memberinya nikmat tak terhitung, dan melihatnya tanpa henti, tetap tidak dihiraukannya? Karena ketika melakukan maksiat adalah sama dengan tidak memperdulikanNya, seperti ketika kita melanggar orang tua di depan mereka. 

Hal ke dua, bagi seorang yang serius menghadapi Tuhan, maka ia juga pasti akan selalu curiga dengan taubatnya itu. Apakah ia melakukannya karena Tuhan atau karena hal lainnya. Atau jangan sampai taubatnya belum benar dan belum sesuai dengan yang seharusnya. Inilah yang dimaksud dengan mencurigai taubatnya. 

Hal ke tiga, adalah meminta maaf atau kehalalan dari orang-orang yang telah diganggunya. Taubat ini, dikatakan “Taubat Lahiriah” atau “Taubatnya Orang Umum”. Artinya, taubatnya orang-orang yang mengejar ampunan, pahala dan surga, bukan wahdatulwujud. Karena wahdarulwujud adalah kehinaan dan kehancuran diri secara telak. 

(1-2-2). Rahasia Taubat 

Rahasia taubat juga memiliki 3 hal: membedakan taqwa dari kedudukan; melupakan maksiat; taubat dari taubatnya. 

Hal pertama, seorang hamba harus benar-benar teliti dengan niat taubatnya. Jangan sampai karena posisi di masyarakat dan semacamnya. Misalnya, takut dibenci orang, takut penyakit, ingin disukai orang/istri/suami dan seterusnya. 

Hal ke dua, ketika seseorang sudah melakukan semua yang terdahulu itu, maka ia mulai sering bersama Tuhannya. Sering berkhalwat dan bermesraan denganNya. Karena itulah maka tidak mungkin dalam keadaan seperti itu akan mengingat dosa dan maksiatnya. Karena mengingat dosanya akan mengganggunya dari khalwatnya itu dan, berarti masih tidak sepenuhnya mengingatNya. 

Hal ke tiga, ketika ia sudah semakin sering berkhalwat dengan Tuhannya, maka ia telah bertaubat dari taubat. Karena kalau masih mengingat selaiNya, apakah hal itu adalah dosanya atau taubatnya, maka berarti masih mengingat selainNya. 

Dan taubatnya taubat yang tertinggi adalah bertaubat pula dari taubatnya taubat ini. Karena ketika ia masih melakukan taubat, berarti ia masih ada. Karena ia adalah pelaku taubatnya. Jadi, ia bertaubat dari taubatnya ini karena ia masih melihat perbuatannya sebagai selain perbuatanNya. 

(1-2-3). Rahasianya Rahasia Taubat 

Rahasianya rahasia taubat ini juga memiliki 3 hal: melihat maksiat dari pandangan sesunggunya; melihat dirinya tidak memiliki kebaikan apapun; melihat Hukum Tuhan hingga tidak ada tersisa lagi perkataan baik dan buruk. 

Hal pertama, dengan melihat hakikat maksiat, kita akan tahu maksud Tuhan mengapa Dia membiarkan kita melakukan maksiat. Hal itu karena dua hal: 

a. Supaya kita tahu ke-AgunganNya dimana tidak ada satupun yang bisa mengganggu ketentuan hukumNya, tahu akan ke-PemurahanNya dikala menutupi kemaksiatan kita dari orang lain, tahu akan ke-Maha PengampunanNya dan Kasih SayangNya ketika menerima taubat kita, dan tahu tentang FadhlNya (pemberian tanpa imbalan). 

b. Supaya ada hujjah atau dalil ketika menegakkan ke-AdilanNya, yaitu ketika meng- adzab pendosa. 

Hal ke dua, ketika seseorang itu jujur terhadap dirinya dalam melihat semua hal, maka tidak akan tersisa baginya kebaikan apapun dan sesedikit apapun. Karena, kalau taubatnya itu sudah benar dan karena Allah, maka semua itu tidak mungkin kecuali pemberianNya (sering saya katakan bahwa dalam filsafatpun telah dibuktikan bahwa usaha kita adalah sebab-penyiap, bukan pemberi. 

Karena yang tidak punya tidak mungkin memberi). Dan kalau taubatnya belum benar, atau niatnya belum ikhlash (murni karena Allah), maka sudah tentu karena kekurangannya. 

Jadi, dilihat dari dua sisi itu, apapun kenyataannya, tetap tidak menyisakan untuknya kebaikan apapun. 

Hal ke tiga, menyaksikan Al-Hukum, yaitu kenyataan akan tidak adanya ke-wujudan dan efek-efeknya kecuali Tuhan. Kalau pada hal ke dua adalah melihat dirinya serba tidak memiliki kebaikan, karena dirinya tidak memiliki apapun kecuali keburukan. Akan tetapi di hal ke tiga ini ia tidak lagi melihat dirinya sebagai apapun. Artinya, ia telah mulai menyentuh wahdatulwujud. 

Karena itulah, sebenarnya, tingkatan-tingkatan yang ada itu, termasuk Yaqzhah seka- lipun, mengarah dan menyentuh wahdatulwujud itu sendiri. Jadi, tingkatan yang di bawah selalu menyertai yang di atas, baik sebagai dasarnya atau sebagai pengiramaan yang di bawah di tingkatan atasnya itu. 

Artinya tingkat bawah seperti Taubat ini, memiliki tingkatan juga di tingkatan atasnya, misalnya Taubat di tingkatan Inayah dst di 10 tingkatan Permulaan ini, atau di tingkatan Pintu-pintu, ...dst-nya pada masing-masing 10 tingkatan pertama (Permulaan, Pintu- pintu, Jual-beli, Akhlak, Dasar-dasar, Lembah....dst itu). 

Dengan demikian, yang di atas, tanpa yang di bawah, tidak akan pernah terjadi, bukan hanya tidak sempurna. Dan begitu pula, tanpa penafasan atau pengiramaan yang di bawah pada tingkatan yang di atas sesuai dengan tingkatan atasnya itu, maka tingkatan yang di atas tersebut tidak akan sempurna dan tidak akan dapat mengantar kepada tingkatan yang di atasnya lagi. 

1-3. Al-Muhasabatu 

Al-muhasabah ini merupakan kelanjutan dari al-‘Azimah atau tekad terhadap janji taubat. Tekad (al-‘azimah) adalah mengaplikasikan dan melanjutkan niat. Sedang al-‘aqdu (janji) adalah janji-benar atau jujur, terhadap pelaksanaan niatnya. 

Dengan demikian, bertekad terhadap janji taubat adalah melaksanakan niat taubatnya kepada Allah dan melanjutkannya (tidak berubah lagi). 

Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, taqwalah kalian kepada Allah dan hendaknya setiap orang melihat apa-apa yang telah dilakukannya untuk hari esok/kiamat” (QS: 59:18). 

Ayat ini jelas menunjukkan bahwa kita mestilah melihat dan menghitung-hitung apa-apa yang telah kita lakukan untuk akhirat kita. Inilah yang dimaksud dengan al-Muhasabah atau Mengkalkulasi-diri. 

Al-Muhasabah ini memiliki 3 tingkatan: 

(1-3-1). Membandingkan Nikmat dan Maksiat 

Di tingkatan ini, kita harus membandingkan antara nikmat-nikmat yang kita terima dari Allah dan berapa banyak dosa yang kita lakukan, hingga kita tahu bahwa dalam dosa itu terdapat pengkhianatan dan pengkufuran atau pengingkaran terhadap nikmat yang telah diberikaNya. Begitu pula mesti kita bandingkan ketaatan kita dengan kemaksiatannya, hingga dapat dilihat mana yang lebih banyak hingga kita dapat melakukan perubahan. 

Perbandingan ini, tidak akan bisa dilakukan kecuali seseorang telah memiliki 3 hal. 

Hal pertama, memiliki “Cahaya Hikmah”, yakni “Cahaya Fikih”. Karena tanpa Cahaya Fikih, seseorang tidak akan tahu mana taat dan mana maksiat, atau mana taat yang taat (sesungguhnya) dan mana taat yang hanya sebagai kiraan taat. 

Hal ke dua, buruk sangka terhadap diri sendiri. Oleh karena itu harus selalu memper- tanyakan dalil dari setiap pilihan dan apapun perbuatan yang akan dilakukannya dan juga mempertanyakan dalil serta bukti keikhlashannya. 

Hal ke tiga, membedakan antara nikmat dan ujian. Karena dalam pemberian Tuhan, kadang dimaksudkan menikmati kita, dan kadang dimaksudkan menguji kita. Maksud menikmati adalah supaya kita tahu bahwa nikmat itu datang dariNya hingga kita mensyukurinya dengan taat dan tidak mengharapkan apapun dari selainNya. Sedang maksud menguji, adalah supaya kita menampakkan identitas diri kita terhadap kepa- paan kita hingga tetap dalam ketawadhuan (kesadaran terhadap kepapaan) dan tidak melakukan keujuban dan kesombongan. 

(1-3-2). Membedakan Milik al-Haq dari Milik dan Perbuatan Hamba 

Tujuan dari pembedaan ini adalah untuk mengetahui dan meresapi bahwa tiada alasan apapun untuk setiap kesalahan yang dilakuakan manusia. 

Dan pekerjaan ini juga memiliki 3 hal: 

Hal pertama, adalah semua kesalahan dan maksiat kita adalah dipilih dan dikerjakan oleh kita sendiri. Oleh karenanya ianya adalah pekerjaan kita dan karenanya kita akan diazab kelak di akhirat. Dengan demikian, keburukan kita itu adalah Hujjah Tuhan ke atas kita kelak. Yakni Hujjah dan Dalil untuk mengazab kita. 

Hal ke dua, adalah semua ketaatan kita, sebenarnya, merupakan pemberianNya. Karena setiap kewajiban yang kita lakukan adalah karena diwajibkan olehNya. Sementara Dia tidak memerlukan sedikitpun dari pelaksanaan kewajiban kita itu. Artinya, semuanya hanya demi kebaikan kita sendiri. Jadi, semua kewajiban itu hanyalah merupakan pemberianNya, bukan kebaikan kita hingga layak mendapat ganjaran dan balasan surga. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa alat kebaikan kita, yakni diri kita sendiri, adalah pemberianNya juga. 

Dengan demikian, kewajibannya, perbuatannya, keuntungannya dan ganjarannya benar-benar hanya berupa pemberianNya belaka, tidak ada yang dari kita. Milik kita disini hanyalah ikhtiar. Dan tanpa pemberianNya, kita juga tidak akan bisa memilih. Oleh karenanya, semua merupakan nikmat dariNya. 

Oleh karena itulah, ketika manusia memilih keburukan dalam lautan nikmat itu, maka hujjah Tuhan disini akan semakin kuat dan tidak bisa diingkari. Artinya, tidak ada yang bisa menggugat Tuhan kalau nanti Dia mengazab manusia karena dosa-dosanya. 

Hal ke tiga, adalah bahwa “al-Hukum”, yakni ketetapan Allah kepada kita dalam kitab Qadha dan QadarNya, merupakan hujjah pula ke atas kita, bukan untuk kita. 

Artinya, kita tidak bisa mengatakan bahwa karena semua yang akan terjadi sudah ditetapkan olehNya (ditulis) dalam kitab Qadha dan Qadar atau di kitab al-Lauhu al- Mahfuzh, maka semua keburukan kita itu dikehendakiNya hingga terlepaslah tanggung jawab kita. Tidak demikian. 

Hal itu karena semua hukum dan ketetapanNya itu disesuaikan dengan IlmuNya terhadap semua pilihan dan perbuatan kita sendiri, bukan ketetapan yang sesuai dengan ketentuan dan pilihan serta kehendakNya. 

Dengan tiga rincian dan hal di atas, dapat diketahui bahwa kita sama sekali tidak akan pernah memiliki alasan apapun dalam setiap kesalahan kita. Sementara dari sisi kebaikan, kita tidak memiliki hak apapun, seperti ganjaran dan balasan. Bahkan kita mesti pula mensyukuri semua kebaikan kita itu, karena semua itu adalah pemberianNya yang, sebanyak apapun syukur kita itu, tetap tidak akan bisa mencukupinya. Karena syukur inipun tetap merupakan nikmatNya dengan perincian di atas yang, patut dan harus disyukuri pula. 

(1-3-3). Mengerti Hakikat Taatmu dan Maksiatnya Teman 

Maksud dari tingkatan ini adalah menatap dengan cermat terhadap ketaatan kita/diri dan kemaksiatan teman kita. Karena kalau salah dalam menatap, maka kebaikan kita itu akan berbalik menjadi keburukan. Begitu pula dengan keburukan teman kita, yakni akan menjadi keburukan kita. 

Di atas sudah diterangkan bahwa semua kebaikan kita adalah pemberianNya belaka. Dari sejak pilihannya, pekerjaannya, keuntungannya sampai kepada surganya, adalah pemberianNya belaka. Artinya, kita tidak melakukan apapun untukNya dalam semua kebaikan dan ketaatan kita itu. 

Dengan demikian, kalau kita memandang kebaikan dan ketaatan kita itu sebagai kebaikan kita, dan kita senang serta lega dan merasa nyaman terhadapnya, bahwasannya kita telah melakukan balasan terhadap kebaikanNya (walau sedikit), maka kita telah jatuh ke dalam keburukan. Karena dengan itu berarti kita telah mengingkari pemberianNya itu, sebagaimana sudah dijelaskan. 

Begitu pula ketika kita melihat teman kita berbuat keburukan dan kita merasa lebih baik darinya, maka hal ini juga akan menjadikan kita masuk ke dalam keburukan. Hal itu, karena kita telah merasa ananis (akuis, dibawah ‘ujub/kagum dan sombong), ‘ujub (kagum diri sendiri) dan bisa sampai kepada kesombongan. Ketiga tingkatan ini (ananis, ‘ujub dan sombong) adalah keburukan terhadap kita. Sementara, teman kita itu, bisa saja nantinya segera bertaubat dan jauh bisa lebih baik dari kita sendiri. 

Perhatian: 

1. Edisi ini adalah edisi pertama dan percobaan, sengaja tidak ditag karena saya tidak merangsangnya, semoga kita terus menyelimuti diri dengan Kehangatan CahayaNya, amin. 

2. Saya juga tidak merelakan orang-orang mentag ke orang lain, tapi boleh mengambilnya dalam bentuk apapun untuk dirinya sendiri, dan boleh mengabari orang lain akan adanya catatan ini. 

3. Sampai disini, tingkatan yang sudah dibahas dari 10 tingkatan pertama adalah ting- katan pertama, yakni Permulaan. Dan dari tingkatan Permulaan ini, telah dibahas 3 tingkatan (Bangun, Taubat dan Muhasabah). Jadi, baru 9 tingkatan dari kurang lebih 300 tingkatan yang direncanakan. 

Walhamdulillah tsumma al-shalatu wa al-salam ‘ala Nabiyyi al-Kirom Muhammadian wa Aalihi al-athhar. 

Wassalam. 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua yang telah memberikan dukungannya. Pekerjaan yang cukup memelalahkan karena saya sendiri tidak yakin dengan hasilnya. Jadi tulisan ini lebih benyak untuk khazanah keilmuan. Tapi temen-teman hanya punya hak untuk memilikinya dan tidak punya hak untuk menyebarkannya, tapi boleh memberitakan keberadaan catatan ini di catatanku. Oh iya, ada koreksian terhadap angka 3 pada keterangn judul dan pada point Perhatian ke 3 di kalimat ”Jadi, baru 3 tingkatan....”, menjadi 9. Afwan. 

Anwar Mashadi: Terima kasih pak ustad. Dalam catatan sebelumnya ada istilah irfan teori dan irfan praktik. Apakah benar jika tulisan suluk ilahih ini masuk dalam lingkup irfan praktik, yakni teori tentang bagaimana mencapai wahdatul wujud? 

Anwar Mashadi: Salam.. terus, jika pak ustad berkenan, darimana sumber rujukan yang pak ustad tulis ini? Adakah dia sudah rangkuman dari beberapa sumber atau dari sebuah kitab tertentu? Afwan dan terimakasih.. 

Heri Widodo: ALLAH HUMMA SHOLI ALA MUHAMMAD WA ALI MUHAMMAD. 

Anwar Mashadi: Maaf kalau saya kesulitan meringkas maksud dalam kalimat. (1) Maksud saya (dari pertanyaan pertama), Saya minta penegasan tentang keeratan hubungan peristilahan dari irfan, suluk, maqam dan wahdatul wujud, agar semakin mantab menyimak uraian-uraian pak ustad. (2) Apakah benar kalau saya katakan bahwa dengan menyimak uraian tulisan antum di sini, itu sama dengan sama membaca rangkungan antum dari kitab Manazilu Sairin karya Abdullah al-Anshari ra saja, atau juga dari kitab lain (karena disebut nama al-Qasani) juga. Dengan demikian, siapa tahu saya juga dapat rizki lain, ketika nanti saya mencari/membaca biografi beliau itu.. thanks. 

Adzar Alistany Kadzimi: 0ooooo.... Abdullah yang dari Hassan Ali Anshor atau Hussayn ali Anshor? 

Sinar Agama: Salam dan terimakasih untuk semua jempol dan komentarnya. 

Sinar Agama: Anwar, saya rasa sudah jelas dalam asal tulisan di atas (catatan), tolong jangan buru-buru membacanya. 

Sinar Agama: Adzar: Beliau dan nasabnya sbb: Abu Ismail Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Ja’far bin Manshur bin Matti al-Anshari al-Harawi dari keturunan Abu Ayyub al-Anshari. Lahir pada th 396 Hijriah Qamariah. 

Anwar Mashadi: Thanks pak ustad, diingetin.. tampaknya saya terburu-buru membacanya... 

Syarifah Hana A. Fathiman: Allahumma shalli ala Muhammad wa aali Muhammad wa ajjil faraja aali Muhammad. 

Zainab Naynawaa: Allahhumma Sholi ala Bihaqi Muhammad wa aAli Muhammad. 

Bande Husein Kalisatti: salam, ana kok gak ditag.. 

Sinar Agama: Bande: Untuk edisi ini tidak ditag dan tidak boleh ditag oleh siapapun. Walhasil penggunaannya sendiri-sendiri saja. Afwan. Antum lihat judulnya saja sudah dikatakan kalau hanya untuk pribadi yang mau dan tidak boleh disebar. Afwan dan terimakasih untuk semua yang jempolin dan memberikan komentar dan juga shalawatnya. 

Gazali Rahman: Syukran Ustadz izin copy dan disimpan agar dapat di baca berulang-ulang soalnya harus sering-sering baca baru bisa di fahami. Semoga antum sehat selalu. 

HenDy Laisa: Bisa dicopas ya ustadz...? 

Abu Humairoh: Sallam... Afwan ustad ana baru dibaca malam ini, atas permintaan ana tentang suluk menurut irfan, dan ana pernah menjalankan suluk ini tapi dari aliran tarikat akmaliyah waktu ana sekolah di ‘Aliyah, tarikat ini dari ahlu sunnah, sukron atas jawabannya ? Allohuma sholi ‘ala Muhammad wa ali Muhammad. 

Sinar Agama: Abu: Antum tidak melakukan apapun kecuali setelah membaca wahdatulwujud bagian 1-9. Karena saya masih yakin bahwa apa yang telah antum lakukan itu, tidak akan sama dengan yang kita tulis dan maukan. Artinya, seseorang harus mengerti dulu apa maksud wahdatulwujud dan baru melakukan suluk. Jadi, harap hati-hati. 

Abu Humairoh: Ya, ana akui apa yang ana lakukan pasti tidak sama karena dulu yang ana lakukn cuma bersifat tazkiyah binafsi, dan sudah lama ana tinggalkan karna waku ana belajar sama guru wahabi itu bertentangan tad, lalu sekarang setelah kenal ahlul bait, ana ingin mengenal dan mengetahuinya tad, dan ustad tolong bimbing ana sedikit-sedikit untuk menjalnkannya. Wasallam. 

Gunawan Harianto: Ijin share ustadz. 

Sinar Agama: Abu: bijaknya adalah memperhatikan semua catatan wahdatulwujud 1-9, dimana disebut Irfan Teori, yakni pembuktian wahdatulwujudnya, dan memperhatikan pula Irfan Amali- nya. Nanti kalau setelah dipelajari seksama, lalu ada pertanyaan, maka bisa ditanyakan. 

Sinar Agama: Gunawan; kalau hanya untuk diri sendiri dan tidak untuk orang lain, monggo saja. 

Abu Humairoh: Na’am ustad, sukron ana pelajari dari catatan 1 sampai 9. 

Sinar Agama: Abu: Ok, dan kunci dari Irfan Teorinya itu ada di : 

(1) Memahami hakikat Ada/eksistensi dan Esensi serta seluk beluk keduanya. 

(2) Benar-benar mengerti beda esksistensi (wujud) dengan esensi (batasan wujud). 

(3) Mengerti benar makna materi dan non materi. 

(4) Mengerti kenyataan dan dalilnya tiga alam yang dimulai dati Akal-satu, Akal-pertengahan, Akal-akhir, Barzakh dan Materi. 

(5) Mengerti benar apa makna terbatas dan tidak terbatas. 

Abu Humairoh: Afwan tad ana masih belum faham tentang akal satu pertengahan dan akal akhir? 

Sinar Agama: Abu: makanya baca semua catatan-catatan itu, ana tadi itu hanya mengarahkan antum titik penting pemecahan masalahnya. Jadi hal-hal tadi itulah kuncinya, dan semua sudah ada di catatan-catatanku. 

Agas Radityha Cahaya Abadi: Subhanallah masih belum mengerti, harus dibaca berulang kali agar lebih paham,, syukron antum bermanfaat.. met sore dan sukses selalu, hanya yss yang membalas kebaikan antum, amiennn. 

Sinar Agama: Agas; orang kita sendiri pahamnya setelah belajar filsafat dan irfan, ya...sudah tentu harus berpikir terus dan berdo’a serta menjauhi dosa. 

Agas Radityha Cahaya Abadi: Iya antum syukron,, islam keras namun tegas,, subhanallah masih harus banyak belajar.. Bismillaah, in syaaAllah ana bisa paham.. 

Candiki Repantu: In syaaAllah selalu berusaha untuk mengamalkan apa yang diketahui.. dan terima kasih atas catatan yang indah ini.. semoga kita dalam rahmat Allah dalam ”mendekat” kepada-Nya..! 

Abu Humairoh: Justru ana telah baca tulisan-tulisan ustad, dari 1 sampai 9.. tentang akal satu, kadang-kadang akal akhir ana kurang paham tad, memang ana punya kesimpulan tapi takut salah menafsirkannya seperti akal 1 alam nasut/materi akal pertengahan alam barzakh/alam malakut, akal akhir alam jabaruut terus ke Allah, betul ga ustad ? Di sini masih bingung tad, butuh arahan maksudnya ustad, atau arti keterjawantahkan ana belum tau tad ? 

Sinar Agama: Agas: itulah gunanya berteman dan bersaudaraan, saling ingat mengingatkan, diskusi ilmu, mengingati kebenaran, dan saling mendo’akan. Ingat, saling ya...jadi tidak boleh satu arah, kalau memang ada yang harus diucapkan dikritikkan didebatkan, maka lakukan saja dengan rilek tanpa emosi dan akuis. Kita, terkhusus aku, adalah dibawahnya tiada apa-apanya, jadi masih minus jauh dari yang terendah. 

Sinar Agama: Candiki: Semoga kita selalu memberadakan diri dalam selimut hangat hidayahNya, amin. 

Sinar Agama: Abu: tolong baca terus dan buat ringkasan, lalu baca lagi dan buat ringkasan lagi. Kalau perlu buat seperti sketsa. Terus renungkan. Kalau antum lakukan itu berketerusan tanpa kejenuhan, nanti setelah 6 bulan belum paham, maka antum tanyakan lagi. Tapi In syaa-a Allah, dalam sebulan sudah paham, kalau antum renungi setiap hari, ingat setiap hari. Untuk pengejawantahan itu adalah aplikasi atau pewujudan, apakah pewujudan tekad, ilmu, kehendak, makhluk...dan seterusnya. 

Abdul Azis Baeha: Salam Ustad... Apa kabar Ustad? Syukron atas Tulisan Antum ini... Walau belum maksimal untuk ana fahami apalagi untuk diamalkan tapi In syaaAllah dengan terus berhubungan dengan ilmu-ilmu yang antum berikan... Maka keridhaan Allah atas diri ini akan tercapai... 

Sinar Agama: A_AB: Terimakasih komentarnya, ana baik alhamd lillah. Semoga antum dan semua teman-teman di fb ini senantiasa dalam lindunganNya.




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ