Selasa, 31 Juli 2018

Lanjutan Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 5) Tahap: 2





Sebuah Pengantar Wahdatul Wujud Bgn: 6,
Seri Tanya – Jawab : Fathul Andalush dan Ustad. Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, December 14, 2010 at 9:33pm 


Fathul Andalush: Seharusnya ustad Sinar bersyukur punya murid-murid yang sangat patuh sama ustadnya, kalo bisa dibilang taqlid, kenapa tidak satupun murid yang menanyakan dalil-dalil syar’i dari uraian tersebut ?, Atau mungkin ucapan-ucapan imam-imam kalian ?, 

Terkesan uraian di atas hanya hasil uraian akal ustad Sinar semata..!, Siapa yang jamin bahwa akal-akalan ustad Sinar akan selalu benar ?, 

Karena akal tidak ma’shum, terpengaruh oleh mood, emosi dan lingkungan. Makanya akal harus tunduk kepada dalil syar’i, karena dalil syar’i dari Allah dan RasulNYA sedang akal dari makhluk yang dho’if. Sekedar mengingat kembali bahwa iblis dikeluarkan dari surga karena mengikuti akalnya, iblis brkata ”dia (Adam) Kau diciptakan dari tanah sedang aku Kau ciptakan dari nur” maka merugilah iblis karena mendahulukn akalnya daripada perintah Allah..!!, 

Untuk ke sekian kalinya saya katakan konsep antum tidak jelas, berbelit, miskin dalil syar’i..!!, Untuk para murid saya sarankan untuk cari tahu kemampuan bahasa arab, hafalan qur’an, hafalan hadits-hadits ustad antum, supaya kalau ustadnya beri ta’lim berada di atas hujjah dari Allah, bukan hujjah dari akal..!!! 

Sinar Agama: Terima kasih atas komentarnya. Dan untuk komentar saya, maka ada beberepa point sebagai berikut: 

1. Pembahasan wahdatul wujud ini masih dalam tema pembuktian dengan dalil akal yang sudah pasti akan dilanjutkan dengan dalil ayat-ayatnya. Namun demikian, kalau antum ikuti dari awal (bag 1-5), maka akan antum temui bahwa dalam pembahasan ini tidak juga terlalu sepi dari dalil syar’inya. 

2. Ketahuilah bahwa kalau kita harus meninggalkan akal dan mengikuti Qur'an-Hadits, maka akhirnya kita harus meninggalkan keduanya pula (Qur'an-hadits), baik dipemilihan awal sebagai kitab pedoman kita dan kita tidak mengambil kitab lain seperti Weda, atau dipemahaman keduanya. 

Karena ketika kita pilih Qur'an sebagai pedoman, pasti karena akal kita, dan kita tidak bisa beralasan karena ayat-ayat Qur'an, karena akan dipertanyakan lagi bahwa mengapa kita mengikuti ayat- ayatnya itu. Kalau dijawab karena ayat-ayat tersebut, berarti kita mutar-mutar tidak menentu. Seperti kalau ditanya mengapa makan dan dijawab karena makan. 

Kalau kita jawab karena akal, maka karena akal ini tidak makshum, berarti kita harus tinggalkan pula pilihannya, yakni berarti kita harus tinggalkan Qur'an. Dengan ini terbuktilah bahwa kalau kita ikut syariat dan meninggalkan akal, berarti kita harus pula menolak syariat itu sendiri sejak dari awal pemilihannya. 

Begitu pula kita harus pula meninggalkan syariat/keduanya (Qur'an-hadits) dalam pemahamannya. Mungkin Anda bertanya mengapa begitu, bukankah kita telah mengikuti keduanya? Kami men- jawab: Qur'an-hadits mana yang anda ikuti? Kalau Qur'an-hadits yang makna dan maksudnya ada di sisi Allah dan NabiNya saww, maka berarti kita tidak mungkin mengikutinya, karena kita tidak tahu apa makna keduanya yang ada di sisi Allah dan Nabi saww. 

Kalau kita mengikuti Qur'an-hadits yang kita pahami, maka dengan alasan bahwa pemahaman kita itu dengan akal yang tidak maksud, harus pula ditinggalkan. Yakni kita tidak boleh mengikuti pemahaman akal yang tidak makshum ini karena tidak ada jaminan, karena syethan bisa menipu kita dalam memahami keduanya. Jadi, kemanapun kita pergi, kalau meninggalkan akal, maka harus pula meninggalkan syariat. 

Lagi pula, anda menyuruh kami meninggalkan akal karena ketidak makshumannya itu, anda dapat dari mana? Kalau dari akal, berarti perintah dan pernyataan anda ini, harus ditinggalkan karena tidak makshum. Dan kalau pernyataan anda yang menyatakan akal harus ditinggalkan karena tidak makshum, ini harus ditinggalkan karena salahnya yang karena ketidakmakshumannya, maka berarti kita harus mengikuti akal. 

Kalau anda katakan bahwa perintah dan pernyataan anda itu didapat dari Qur'an, maka Qur'an sebelah mana dan Qur'an yang mana? Karena Qur'an sendiri menyuruh kita memakai akal. Kata- kata Ya’qilun ada 22 kali terulang, kata Ta’qilun 24 kali terulang, dan kata Yafhamun 13 kali. Yakni kata-kata kamu pakailah akal, mereka pakailah akal dan mereka memahami. Jadi, artinya, antum menyuruh kami meninggalkan akal dan menyuruh kami mengikuti Qur'an padahal anda sendiri yang lari dari Qur'an. 

Dan anggaplah antum dapat ayat yang nyelip yang kami tidak tahu, bahwa Qur'an melarang kita mengikuti akal, anggap seperti ayat iblis yang antum bawa itu dimana antum katakan bahwa iblis jadi sesat karena menggunakan akal, maka pertanyaannya adalah dari mana antum dapat pemahaman seperti itu? Kalau Tuhan dan Rasul saww, maka mana buktinya. Apakah malaikat Jibril as telah turun ke antum dan mengatakan bahwa yang antum pahami itu benar-benar dari Tuhan? Kalau antum katakan bahwa begitulah antum mamahami, maka berati antum harus lebih awal dari kami untuk lari dari pemahaman antum ini karena tidak makshum dan karena antum yang melarang mengikuti akal. 

Dengan penjelasan di atas ini, dapat disimpulkan bahwa Quran dan hadits yang makshum hanyalah yang di Allah dan NabiNya saww dan imam makshum (bagi yang syi’ah). Dan Qur'an- hadits yang di pahaman kita jelas tidak makshum. 

Masalahnya sekarang, kita mau ngapain? Siapa yang bisa kita ikuti? 

Kalau orang Syi’ah gampang saja, karena bisa ikut imam Makshum as. Tetapi bagi saudara-saudara sunni maka tidak bisa mengikuti siapapun karena semuanya tidak makshum, dan dengan ini pula maka shiratulmustaqim itu juga tidak lagi bisa diminta kepada Allah, karena tidak ada. 

Kalau Anda berkata, imam syi’ah sedang ghaib, lalu bagaimana cara mengikutinya? 

Jawabannya dengan cara mengikuti perintahnya yang memerintahkan kita menggunakan dalil dalam akidah dan taklid dalam fikih kepada ulama yang secara spesifik belajar agama dan yang sampai ke derajat ijtihad. 

Yakni tak ada rotan akarpun jadi sambil meminta Allah untuk mengeluarkan rotan tersebut, yakni jalan-lurus itu. 

Mungkin anda bertanya berarti syi’ah tidak ikut Qur'an dan hanya ikut akal? 

Jawabannya adalah tidak demikian. Dalam Islam gaya syi’ah, akal ini adalah alat utama memahami Qur'an hingga karena itulah sekalipun orang arab yang tahu arab dan hafal Qur'an, tetapi kalau akalnya tidak sempurna, maka dia tidak akan bisa menyentuh makna yang ada yang diinginkan Tuhan. 

Mungkin anda bertanya lagi, apa jaminan akal yang tidak makshum? 

Selain jawaban kami terdahulu yakni yang juga menanyakan kepada anda apa jaminan pema- haman anda terhadp Qur'an karena pemahaman anda juga tidak makshum, di sini kami akan menambahi penjelasan tentang masalah yang kita hadapi sekarang ini. 

Ketahuilah: Bahwa akal ini memiliki kemakshuman disamping kepemilikannya hal-hal yang bersifat relatif atau bahkan salah. Banyak sekali ilmu akal ini yang makshum, misalnya ilmu mudah atau dharuri dalam istilah mantik dan filsafat. Seperti kapas itu ada dan putih serta ringan, air itu cair, batu itu padat, kita terbatas, alam terbatas, yang terbatas perlu pada pengada, Nabi saww harus makshum supaya bisa diyakini ajaran yang dibawanya, penerus Nabi saww juga harus makshum karena sudah tidak bakalan ada Nabi lagi dan supaya shiratulmustaqim yang tidak tersesat atau salah (wa laa al-dhaallin) sediktipun tetap eksis dan bisa diminta, pengada keterbatasan mestilah tidak terbatas, Tuhan yang tidak terbatas tidak mungkin bisa dilihat dengan mata baik di dunia atau akhirat, dan milyaran lagi dari ilmu-ilmu yang pasti kebenarannya dan makshum yang diketahui manusia sejak sebelum keNabian, dan dikuatkan Quran setelah keNabian. 

Setelah kita tahu bahwa akal ini memiliki milyaran kemakshuman, maka ilmu-ilmu yang pasti benarnya itu dapat dijadikan landasan berpijak untuk memecahkan masalah-masalah yang dianggap rumit dan memiliki keterperbedaan diantara sesama manusia. 

Masalah ini persis dengan Qur'an yang mengatakan bahwa di dalamnya ada yang gamblang dan jelas dan ada pula yang samar-samar dimana yang samar ini harus ditafsirkan dengan yang jelas tadi karena yang samar tersebut diturunkan olehNya bukan untuk gaya-gayaan, tetapi untuk dipahami. 

Nah dengan akal yang pasti dan mudah serta makshum inilah kita memilih agama dan madzhab (oh iya lupa, mungkin anda belum melakukan pilihan itu, karena mungkin masih berapa ketu- runan), yakni akal mengatakan bahwa akal tidak dapat menjangkau banyak hal di dunia dan entah dimana lagi, begitu tentang kehidupan kita dari mana sedang dimana? Dan hendak kemana? Begitu pula akal tidak tahu apa yang harus dilakukan dihadapan Tuhannya, dirinya, dan lingkuangannya dan seterusnya sehingga karena itulah kita perlu agama, dan agama karena jauh dari jaman kita maka kita harus punya imam makshum . 

Begitu pula dengan ilmu akal yang makshum itu pula kita berusaha memahami agama atau Qur'an-hadits, hingga kalau bertentangan dengan akal mudah ini, kita harus memaknainya dengan : yang bisa diterima akal mudah. Misalnya Tuhan mengatakan mencipta Nabi Adam dengan dua tangan, tapi akal mudah mengatakan kalau Tuhan berdua tangan berarti akan menjadi terangkap dengan tangan, badan sebagai tempat tangan, hingga membuatNya terbatas dan kalau sudah terbatas berarti Dia Makhluk. Dengan demikian maka tangan ini tidak bisa dipakai pada salah satu maknanya yaitu yang bermakna tangan, tetapi harus dimaknai dengan makna ke duanya yang bermakna kekuatan. 

Dengan demikian maka akal yang rumit dan relatif dan begitu pula pahaman Qur'an-hadits yang juga relatif, harus disaring dengan akal-mudah atau ilmu mudah. Tentu saja sambil menunggu makshum yang dijanjikan Tuhan kepada manusia. 

Dengan uraian di atas dapat dipahami bahwa akallah yang sebenarnya menjadi penentu garis- garis global agama. Karena akallah yang mengerti bahwa harus ada agama yang membimbing manusia yang akalnya tidak bisa menembusi asal muasalnya, sudah dimana dan hendak kemana. Oleh karena itu, sebenarnya, syetan, kalau ia ikut akalnya, maka pasti selamat dan tidak mungkin membantah Tuhannya. Bagaimana mungkin akal mudah seperti tadi itu dia tidak dapat jangkau dan balik menggurui Tuhan? Lagi pula bukankah dirinya dari api karena di JIN (QS: 18:50) yang karena taatnya sekarang ia menempati maqam malaikat yang dicipta dari nur yang lebih mulia dari api? Dengan ini maka dapat dipahami bahwa iblis itu sama sekali tidak menggunakan akalnya dan hanya hanya akal-akalanan belaka. 

Betapa jelasnya akal mana yang mengijinkan membantah perintah Tuhan yang didengarnya sendiri? 

Jadi, jelas Iblis hanya ikut hawa nafsunya hingga akalnya gelap. Dan semua disebabkan oleh kedengkiannya kepada Nabi Adam as karena telah diangkat menjadi Khalifah Tuhan. 

Nah, dengan semua penjelasan di atas itu, ijinkan saya bertanya kepada Anda saudara Fathul Andalus: 

”MURID-MURID SAYA YANG TAKLID DALAM AGAMA, MADZHAB DAN ILMU, ATAU BAHKAN ANDA- LAH YANG TAKLID DALAM KETIGA HAL TERSEBUT?????!!!” 

"ORANG YANG MENGIKUTI AGAMA, MADZHAB DAN ILMU DENGAN DALIL YANG DIKATAKAN TAKLID ATAU YANG MENGIKUTI KETIGANYA DENGAN TANPA DALIL???!! ” : ORANG YANG MENGIKUTI Qur'an-HADITS DAN ILMU-ILMU LAINNYA DENGAN DALIL, YANG DIKATAKAN TAKLID, ATAU ORANG YANG MENGIKUTI Qur'an-HADITS DAN ILMU-ILMU YANG DOKTRINER YANG SANGAT SUBYEKTIF DAN HANYA DENGAN PENGATASNAMAAN SAJA YANG LALU DIIKUTINYA JUGA DENGAN PERASAAN DAN TANPA DALIL????!!! ” 

Sekian. Wassalam. Terimakasih. Al-fatihah-Sholawat.. 

Mohon maaf dikarenakan terjadi ganguan pada alat elektronik saya sehingga penerbitan ini berada pada posisi yang kurang tepat yang semestinya diterbitkan sebelum Wahdatulwujud bag: 6 semoga dapat dipahami *.




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Lanjutan Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 5) Tahap 1




Seri Tanya – Jawab: Muhammadabdulsalamb Salam dan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, December 14, 2010 at 9:26pm


Muhammadabdulsalamb: Salam, mungkin di atas (Wahdatuluwujud bagian; 5) maaf... barang- kali semuanya adalah “kata” Misalnya uraian ibnu Sina.. Yakni, kalau saja forma dan lainnya itu adalah noumena-noumena yang secara langsung diketahui diri pengetahu tanpa melalui perangkat (rasio dan indera) ataupun refleksi (gambaran), sudah barang tentu ‘Aku’ pun diketahui sebagai noumena oleh dirinya sendiri secara langsung. Konsep-konsep dasar dan lain-lainnya itu ialah citra-citra ‘Aku’ yang diketahui secara noumenal dan langsung, tentunya ‘Aku’ mengetahui kenyataan dirinya sendiri secara noumenal dan langsung pula.

Oleh karena ini, Ibnu Sina mengatakan, realitas noumenal ‘Aku’ tidak bisa didemonstrasikan melalui citra-citranya, karena citra-citra tidak akan ada dan nyata, dan tidak akan pula difahami kecuali dengan menyadari realitas ‘Aku’ terlebih dahulu.

Kendati demikian, Suhrawardi berusaha mendekatkan kehudhurian realitas ‘Aku’ dengan dua argumen. Salah satunya mirip dangan dalil Kierkegaard tersebut dahulu, yaitu jika realitas ‘Aku’ diketahui dengan pencerapan, dengan perantara, dan sebatas fenomena dan refleksi, maka realitas dan noumena ‘Aku’ tidak tersentuh dan berada di luar diri (ghaib). Dengan demikian, realitas ‘Aku’ bukan ‘Aku’, tetapi ‘Dia’, karena ‘Dia’ berarti Yang di luar dan selain diri. Sebuah impulaikasi yang bertentangan dengan identitas ‘Aku’. 

Ba’dal-lutayya wallati, baik Ibnu Sina maupun Suhrawardi menentang cara Decartes membuktikan realitas aku melalui citranya, yakni berfikir. Aku adalah realitasku, jauh sebelum berfikir, dipikirkan, didalilkan dan dinyatakan. Mereka sama-sama menyatakan bahwa pengetahuan hudhuri manusia pada dirinya adalah dasar segenap pengetahuan. Bahwa pengetahuan sesorang akan keraguan, pengetahuan, perasaan, dan konsep-konsep di mental berlandaskan pada pengetahuan dirinya akan dirinya sendiri. 

Pengetahuan hudhuri sebagai perasaan, peresapan dan penjiwaan ini bersifat sederhana dan tidak terbagi-bagi. Ia bukan layaknya proposisi “Aku berfikir” atau “Aku ada” yang tersusun dari dua konsep. Dua proposisi ini atau proposisi lain semacamnya berfungsi sebagai pengungkap dan pengurai pengetahuan itu dalam bentuk-bentuk logika (proposisi) dan bahasa (kata-kata). Ia menggambarkan apa-apa yang dirasakan, diresapi dan dijiwai oleh seseorang. Maka, ‘Aku’ dan citra-citranya adalah noumena-noumena atau hakikat-hakikat yang bisa ditangkap oleh pikiran untuk lalu diungkapkan dan dipahamkan. Hakikat yang ditangkap oleh pikiran itu bukan lagi hakikat, namun gambaran, refleksi, fenomena, shurah zihniyah. Jadi, pikiran bisa menyadari dan memahami ‘Aku’ serta citra-citranya melalui gambaran dan refleksinya. Secara istilah, pengetahuan tentang sesuatu melalui gambaran mentalnya adalah pengetahuan hushuli. Sejak saat itu, yakni Suhrawardi, sampai generasi filsuf muslim terakhir sekarang, secara jelas dan tegas pengetahuan manusia dibagi kepada dua macam; hudhuri (langsung) dan hushuli (berperantara). 

Sinar Agama: Abdussalam, salah satu dalil yang dianggap paling mudah dan gamblng serta Hudhuri oleh para filusuf untuk menolak konsep wahdatulwujud, adalah kemudahan dan kehudhurian makna wujud yang ada pada kita manusia dan alam sekitar. 

Ilmu Hushuli adalah ilmu yang diketahui akal melalui gambaran obyek ilmu, walau dia juga disebut sebagai obyek ilmu tetapi karena penisbahan ilmunya atau infonya kepada obyek luar akalnya, maka ia dikatakan ilmu hushuli. 

Jadi, ilmu hushuli itu karena dinisbahkan atau dihubungkan kepada yang diluar akal. Tetapi hakikat dia atau ilmu itu dalam akal adalah ilmu hudhuri. 

Ilmu Hudhuri adalah ilmu yang didapat akal, atau ruh atau barzakh/malaikat atau Tuhan melalui obyek ilmunya sendiri, bukan gambarannya. Yakni ilmu terhadap obyek itu sendiri adalah ilmu hudhurinya dan kepada gambarannya adalah hushuli. 

Dan ilmu hushuli adalah hushuli bagi yang di luar akal alias obyek yang diinginkan, dengan hushuli ini adalah hudhuri kalau dinisbahkan pada diri ilmu itu sendiri. 

Tetapi ingat bahwa ilmu hushuli ini adalah ilmu terhadap hakikat atau batasan atau esensi sesuatu itu, bukan ada dan wujudnya. Oleh karena ilmu hushuli ini adalah ilmu terhadap esensi sesuatu yang nyata di luar akal itu, maka ia adalah hakikat yang di luar akal tersebut. Artinya esensi yang ada di dalam akal adalah sama persis dengan yang di luar akal. Karena kalau tidak sama, maka berarti manusia tidak ada yang mengetahui apa-apa, karena yang diketahuinya bukan yang diketahuinya, yakni yang ada di dalam akalnya adalah bukan yang di luar akal. Ini berarti kita tidak bisa memahami apapun dan semua yang kita tahu dan kita bicarakan atau tulis adalah kesalahan semata. Ini pasti tidak benar dan nyata. 

Jadi, kalau ada yang mengatakan bahwa hakikat yang ada di dalam akal kita itu bukan hakikat yang ada di luar akal kita, atau kalau esensi yang diketahui akal bukan esensi yang ada diluar akal kita, maka kalaulah dia termasuk atau terjebak dalam Shopist yang mengingkari segala pengetahuan kita dan semua keberadaan atau dia belum menyelami dengan hikmat apa-apa yang telah dikatakan para guru besar filsafat. 

Nah, kalau penyebabnya adalah jatuh ke Shopistme, maka cara mudah mengobatinya adalah dibawa ke harimau. Kalau lari berarti ia mengimani bahwa yang diketahuinya dalam akalnya adalah hakikat yang di luar. Dan kalau tidak lari, biarkan saja dimakan sama si harimau itu, he he he (gurau). Tetapi kalau penyebabnya adalah kekurangtelitian, maka hendaknya lebih teliti lagi. Saya tidak bermaksud menjelaskan tentang ilmu di sini. Tetapi karena saya melihat keharusan adanya pembenahan, maka saya lakukan sebisanya. 

Ok, kita terusin dulu sedikit lagi. Nah, ilmu hudhuri ini, yakni ilmu terhadap obyek melalui obyek sesungguhnya tersebut, memiliki 3 bagian: 

1. Ilmu sesuatu terhadap dirinya sendiri. 

2. Ilmu sesuatu terhadap akibatnya. 

3. Ilmu sesuatu terhadap sebabnya tetapi seukuran dirinya. 

Memang, Mulla Shadra ra ada lagi nun jauh disana yang masih dalam perdebatan, yaitu ilmu sesuatu terhadap konsekuensi dari sesuatu yang diketahuinya secara hudhuri. Ilmu hudhuri ini, tidak mungkin salah karena info atau ilmu di sini adalah hakikat yang diinfokan atau yang diketahui. Tetapi ilmu hushuli adalah ilmu yang bisa benar dan salah, karena info atau ilmu di sini benar informasi dari yang diinfokan. 

Jadi, hudhuri=info=yang diinfokan, sementara hushuli=info=informasi dari yang diinfokan. 

Semua ini adalah ilmu tentang esensi suatu keberadaan. Bagaimana dengan keberadaan itu sendiri? dalam filsafat pengetahuan terhadap wujud/ada tidak termasuk kategori ilmu yang di atas itu, kecuali bagi hudhuri yang berupa pengetahuan terhadap wujud obyeknya, bukan batasan obyeknya. Oleh karenanya ilmu terhadap wujudnya sesuatu di luar akal kita, bukan tergolong kategori atau esensi, tetapi tergolong Pencerminan Wujud Luar. 

Oleh karenanya tidak bisa didefinisi. Karena definisi adalah gabungan genus dekat dan pembeda dekat. Sementara ada/wujud, sama sekali tidak memiliki genus dan differentia itu. Ilmu terhadap sesuatu itu, baik pada esensi atau wujudnya, dibagi menjadi dua: Mudah (tanpa pikir dan dalil dapat diketahui dengan pasti) dan ada pula yang Pikir (harus dipikir dulu baru bisa dipahami). 

Dan ilmu mudah itu juga dibagi menjadi paling mudah atau asas dari segala ilmu ada yang mudah biasa saja. Nah, memahmi tentang ada/wujud, yakni adanya ada atau adanya wujud, yakni seperti adanya kita dan lingkungan kita ini, adalah paling mudahnya sesuatu yang juga menjadi asas paling dasar bagi ilmu-ilmu yang lain. Oleh karenanya, bagi yang mengingkari wujud seperti Sophist atau selain mereka, pasti akan disebut bukan gila lagi, tetapi GHILLAA. 

Nah, dalam pada itu, bagaimana mungkin seorang filusuf bisa menerima konsep ”wahdatul wujud mungkin tadz?? 

Nah, paling mudahnya dari semua yang mudah itu adalah ilmu terhadap keberadaan kita sendiri yang, dalam Mulla Shadralah yang dibawa mas Abdussalam ini disebut dengan ”Aku”. Terserah saja, apakah pengetahuan ini dari sebab ke akibatnya atau sebaliknya, karena dua-duanya adalah hudhuri. 

Namun demikian, bagi alfakir, beliau kurang tepat membawakannya di sini. Karena tidak berhubungan langsung dengan wahdatul wujud dan saya tidak tahu apa yang berkecamuk dalam pikiran beliau itu. Tetapi saya berusaha memahaminya atau setidaknya menakwilnya supaya jadi berhubungan dengan wahdatulwujud. Jadi, kalau tebakan saya terhadap apa yang ada di benak beliau ini adalah benar, maka saya syukur. Dan kalau tidak benar, maka jadikan bahasan ini yang bermanfaat karena telah dihubungkan kepada wahdatulwujud. 

Dengan uraian terdahulu itu, dapat dipahami bahwa seorang filusuf sangat tidak mungkin menerima konsep wahdatul wujud, kecuali kalau sudah Ghillaa. Oleh karena dua madzhab pemikiran ini, filsafat dan irfan, tidak pernah ketemu dan, kebetulan memang para arif tidak pernah bisa memberikan dalil yang ilmiah terhadap pandangan mereka, dan, begitu juga memang kebetulan bagi mereka tidak penting orang mau percaya atau tidak. Oleh karenanya mereka selalu hanyut dalam kasyaf dan fanaa’’nya, dan selalu menerangkan masalah ke murid-muridnya melalui kasyaf yang dicapainya. 

Sedangkan para filusuf sebaliknya, selalu berusaha membuktikan kebenaran dirinya dengan argumentasi-argumentasi dan bahasa-bahasa ilmiah. Dan pondasi berpijak mereka yaitu di atas Ilmu-mudah dan bahkan yang termudah ini, yakni pengetahuan tentang wujud kita sendiri yang, pasti lebih tinggi dari mengerti wujud lain yang dicapai melalui gejalanya atau akibat-akibatnya. 

Ini adalah takwilan yang baik terhadap maksud mas Abdussalam yang telah membawakan masalah ilmu dan ilmu terhadap ”aku” di tempat ini. Takwilan nggak baiknya adalah, beliau mengira bahwa selain aku, tidak dapat diketahui, karena tidak mungkin terjangkau hakikatnya, dan hanya ”aku”-lah yang bisa diketahui. Oleh karena itu, maka pertanyaan apa esensi itu, atau wujud itu, atau apa Tuhan itu, atau wahdatul wujud itu, maka sudah tidak lagi menjadi tanggung jawab kita membuka hakikatnya. 

Alasannya adalah, jagankan lingkungan kita, diri kita saja, kalau sudah masuk dalam pahaman kita, maka sudah bukan lagi hakikat kita yang sesungguhnya (lihat tulisan beliau). Masih ada takwilan tidak baiknya terhadap tulisan beliau itu di sini, yakni beliau salah total dalam menempatkan bahasan. Dan takwilan baiknya untuk beliau selain yang sudah itu, adalah beliau benar dalam hal ini, tetapi sayalah yang tidak paham. Jadi, afwan, tentu saja saya akan teruskan kepada penyelesaian takwilan baik pertama itu, yakni tentang filusuf dan ’arif/irfan. 

Ok, ijinkan saya untuk tidak mengomentari masing-masing kemungkinan dari mengapa mas Abdussalam membawakan hal itu di sini. Saya akan menjabar tentang dua pandangan di atas itu, yakni filusuf dan irfan tentang wujud ini. Para filusuf mengatakan bahwa lingkungan kita atau alam ini jelas sekali adanya. Lebih jelas dari semua itu, adalah diri kita sendiri atau ”aku” yang diketahui dengan ilmu khudhur(khuduri) yang tidak mungkin salah. Nah, kalau ilmu yang dharuri atau mudah ini salah, maka semua ilmu kita menjadi salah karena selainnya kembali kepada pemahaman tentang adanya ada ini. 

‎›Arifin atau ‹urafa› atau para ‹arif mengatakan «Itu kan kata kamu. Kamu yang menganggap pengetahuannmu ini lebih jelas dari ada atau Tuhan, maka kamu menjadikannya obor dan dalil untuk menjelaskannya. Padahal kamu tahu bahwa ada dan Tuhan adalah paling jelasnya sesuatu hingga diobori atau didalili seperti apapun tetap yang diobori tersebut lebih terang dari obor dan dalilnya. Bagi kami maka pensucian hati/jiwa/akal dan apa saja yang menyangkut kita dari semua hal yang selainNya atau ada, maka akan dapat menyentuh ada itu sendiri dimana membuat diri kita yang akan terobori dengannya, bukan sebaliknya.” 

Dengan takbir atau kata-kata yang lebih preman ”Karena ada itu ada, maka kita bisa merasa ada, memahami ada, merasa dengan perasaan, berbicara dan seterusnya. Bukan sebaliknya, yakni karena kamu merasa ada maka ada itu menjadi ada”. Begitulah pergelutan diantara dua madzhab ini. Yang satu mengatakan ”Kamu telah mengingkari termudahnya ilmu” dan yang lainnya mengatakan ”Kamu mau menerangi matahari dengan lilin” Begitulah sampai pada Filusuf yang Arif yang bernama Mulla Shadra ra. 

Mulla Shadra ra dalam buku al-himatu al-muta’aliahnya itu sebenarnya tidak membuktikan wahdatul wujud, karena hampir seluruh bahasannya adalah filsafat, walaupun filsafatnya ada kelainan dari yang lain. Yakni bisa kepada yang tertinggi yang bisa dicapai akal (bukan wahyu) yang, sampai sekarang bisa dikata tidak terbantahkan dan tidak pula bisa dimajukan. 

Memang ada beberapa filusuf yang membantah beberapa konsepnya, seperti Ayatullah Taqi Misbah Yazadi, tetapi sebenarnya bisa dijawab. Jadi, pendek kata sampai sekarang belum ada yang bisa nyaingi beliau ra. dan karena ketinggiannya itulah beliau sendiri menamakan bukunya dengan ”Filsafat Tinggi”. Namun demikian buku tersebut bukan dalam rangka membuktikan wahdatul wujud, tetapi dalam rangka membuktikan wujud-murni ala flsafat, hingga dapat membuktikan dengan baik tentang keberadaan Allah dan sifat-sifatNya, begitu pula tentang diri manusia sebagai jalan-lurus atau wujud yang terproses naik. 

Namun demikian, dalam topik yang tepat, walau hanya beberapa baris dari ribuan halaman dalam 9 jilidnya itu, beliau telah pula membuktikan kebenaran wahdatul wujud ala irfan. Bayangkan saja, filsafat yang harus berpijak pada ilmu mudah dan termudah, yakni wujudnya alam dan diri kita, dengan argument-argumentnya di jilid 2 itu, maka semua barang jualan terpenting di filsafat, yakni tentang wujud kita dan lingkungan kita yang darinya berkembang pada pengetahuan tentang esensi, wujud, gerak dan seterusnya, semua itu menjadi terbakar habis dan menjadi arang. 

Yaitu ketika beliau ra membuktikan bahwa 3 hal yang kita ketahui dari sebab, akibat dan hubungan keduanya, menjadi 2 hal saja. Selama sebelum beliau ra para filusuf melihat bahwa dalam proses sebab akibat terlihat dan terketahui adanya 3 hal. Misalnya mani ke janin. Mani adalah sebab, janin adalah akibat, dan hubungan keduanya yakni keselarasan dan keberprosesan keduanya adalah hubungan. Karena kalau tidak ada hubungannya, anggap mani di tanah dan janin di perut ibu, maka jelas keduanya tidak akan memiliki kaitan sebab akibat. Atau antara batu dan janin yang tidak berhubungan sama sekali. 

Hakikat hubungan antara sebab akibat itu adalah ”ketergantungan” akibat pada sebabnya. Yakni bahwa akibat selalu bergantung padanya dan selalu memerlukannya sejak dia/akibat itu ada dan sampai kapanpun selama ia langgeng adanya. Yakni bahwa akibat itu memerlukan sebab untuk adanya dan kesinambungan adanya. 

Sampai di sini, masalah ini adalah masalah yang diketahui semua orang berakal, apalagi filusuf. Tetapi sejak dari hal berikut inilah maka tidak ada yang mengetahuinya sebelum beliau ra. 

Pertama beliau membuktikan bahwa sebab dan akibat itu tersifati dengan kesebaban dan keakibatan, sebenarnya, bukanlah sifat atau bukan pula semacam aksiden. Yakni sebab itu bukanlah sesuatu yang ada dan kemudian disifati dengan ”sebab”. Bukan begitu. 

Begitu pula akibat itu bukan sesuatu yang ada yang kemudian disifati dengan ”akibat”. Dan begitu pula bukanlah ketergantungan akibat atau hubungan ketergantungan itu adalah sesuatu yang tadinya tidak ada lalu menjadi ada setalah dua hal itu yakni sebab-akibat, menjadi berhubungan satu sama lain. Bukan begitu. 

Mengapa tidak bagitu? Karena ketersebaban sebab itu dan keterakibatan akibat itu, setelah terjadinya akibat. Yakni bukanlah akibat itu ada duluan baru dihubungkan dengan sebabnya lalu dengan itu dikatakan sebagai akibat. Bukan. Kalau akibat itu ada duluan, dan baru setelah itu dihubungakan dengan sebabnya, maka bisa kita katakan bahwa ketergantungan akibat pada sebabnya adalah sifat akibat tersebut. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Karena dengan kemunculannya akibat dalam medan wujud itulah yang menyebabkan dia dikatakan sebagai akibat. Artinya keakibatan akibat adalah zat atau substansi yang dimiliki akibat, bukan sifat. 

Begitu pula sebaliknya yang terjadi pada sebab. Ia, bukanlah suatu wujud yang kemudian disifati dengan kesebaban. Bukan begitu. Tetapi kesebabannya itu menakala dia telah mencuatkan akibat ke permuakaan melalui dirinya sendiri. 

Bukan seperti tukang yang membuat tembok dari bukan dirinya, seperti pasir dan semen. Kalau tukang, memang bisa dikatakan tersifati, karena bahan-bahan temboknya sudah ada dan dia hanya mendekatkannya saja yang, karenanya dia dikatakan bukan sebagai sebab hakiki, tetapi hanya pendekat, atau bukan sebab penjadi atau pewujud. 

Dengan sedikit uraian di atas itu, maka dapat diketahui bahwa kesebaban sebab dan keakibatan akibat, bukanlah sifat bagi keduanya, tetapi merupakan zat yang tidak bisa tidak atau zat yang tak dapat dipisahkan dari dirinya. Begitu pula dapat dipahami bahwa ketergantungan akibat pada sebab tersebut, bukan pula sifat bagi akibat, tetapi suatu hakikat dan zat yang bukan sifat. Artinya ketergantungan itu bukan sifat akibat. Padahal akibat jelas tergantung padanya. Dengan uraian ini, dapat diketahui bahwa tergantung itu tidak lain adalah akibat itu sendiri. 

Jadi, di sini kesebaban adalah zat sebab, keakibatan adalah zat akibat, dan ketergantungan itu adalah akibat itu sendiri. Karena makna ketergantungan akibat adalah munculnya atau wujudnya akibat dari sebabnya, bukan sesuatu yang sudah ada lalu dihubungkan seperti baju yang sudah ada yang digantung di gantungan. 

Dengan uraian ini yang tadinya 3 hal sudah menjadi 2 hal. Sekarang, apa arti tergantung? 

Tergantung di sini adalah dalam kewujudan, keterjadian dan kemunculan. Kalau ketergantungan itu dalam keterjadian, yakni keterjadian akibat, maka katergantungan itu sebenarnya adalah ketergantungan akibat yang, berarti ketidakpernahan mandirinya akibat. Dengan kata yang lebih ekstrim, akibat sebenarnya adalah hakikat ketergantungan itu, dan hakikat ketergantungan adalah ketidak ketidakpernahan mandirinya. Pendeknya, Zat Akibat itu adalah Ketergantungan atau Ketidak mandirian itu sendiri. Ingat, yang disebut Ketidakmandirian ini adalah Zat akibat dan Wujudnya. 

Kalau sudah demikian, yakni kalau akibat itu sudah lagi bukan wujud mandiri, karena dia adalah hakikat ketergantungan pada sebabnya, maka yang ada, sebenarnya hanyalah sebabnya. Yakni ketergantungan itu memiliki konsekwensi ketidak terwujudan, karena bukan sesuatu/wujud yang tergantung, tetapi ketergantungan itu sendiri. 

Dengan demikian maka jelaslah bahwa yang ada itu hanyalah sebabnya, dan akibat tidak pernah muncul ke permukaan ada karena dia hakikat ketergantungan tersebut. 

Dengan demikian dapat dipahami bahwa akibat itu tidak lain dari wajah sebabnya, yakni namanya, yakni pengenalnya, yakni bayangnya, yakni tajallinya, yakni manifestasinya, yakni jelmaannya. Yakni sebenarnya akibat tersebut adalah jelmaan sebabnya dan wajahnya. Dan karena sebab- sebab yang ada di alam ini bukan sebab yang hakiki, artinya bukan sebab yang tidak bersebab, dan karena hanya Allah-lah sebab hakiki itu, maka jelaslah bahwa ”Yang Ada Hanyalah Dia Semata” dan selainnya hanyalah wajahNya. Itulah mengapa Tuhan dalam QS:2:115, berfirman:

”Kemana saja kamu palingkan wajahmu maka kamu akan melihat Wajah Allah”

Di sini Allah tidak mengatakan makhlukNya, tetapi wajahNya,sementara wajah kiyasan dari Identitas Pengenal Diri, Bukan Pengenal Sebab Atau Khaliq. 

Inilah argumentasi Mulla Shadra tentang wahdatul wujud ala irfan itu yang, sebenarnya saya tidak mau memuatnya karena panjang dan perlu banyak mukaddimah. Tetapi argument dari guru saya sangatlah mudah sebagaiamana sudah disebut di awal bahasan kita ini. Yaitu Ketidak Terbatasan Wujud Allah. Yakni kalau Wujud Allah itu tidak Terbatas, Maka Mustahillah Adanya Keberadaan Lain SelainNya Sekalipun Sangat Terbatas. 

Dengan dua penjelasan tentang dua madzhab pemikiran ini, sekarang tergantung pada Anda- anda mau memilih yang mana. Semoga kita saling do’a. 

Sekian. Terma kasih. Alfatihah- sholawat.. 

Ahmad Muhammad Yunus, Muhammad Al Khudzry, Miftah Fadhlullah dan 14 lainnya menyukai ini. 

Etika Maria: Makasih mbak Angel, Tika tunggu note-note berikutnya.. Syukran dah memberi bahan untuk belajar! 

Haerul Fikri: Sangat argumentatif, lurus dan mengalir..Pencerahan yang dahsyat..Terima kasih Ustad.. 

Muhammadabdulsalamb: Salam Mungkin maaf.... sekiranya ilmu hudhuri dijelaskan atau di- ungkapkan maka pasti disebut ilmu ushuli. Misalnya.. seseorang mengalami luka atas dirinya, tentu antara dirinya dengan luka, disebut ilmu hudhuri akan tetapi ketika dia mengungkapkan atau menjelaskan maka itu bisa disebut ushuli, lebih-lebih jika seorang dokter menjelaskan luka tersebut, pasti jadi hushuli. Sementara semuanya butuh penjelasan atau kata dan kadang kata tidak mampu mewakili penjelasan dimaksud. Thnx. 

Sinar Agama: Mas Abdussalam: Sebagaimana ilmu HUSHULI dikatakan hushuli sehubungan dengan obyek luarnya, tapi obyek dalamnya adalah HUDHURI, maka obyek luar dari hudhuri ini, kalau diterangkan yakni dinukilkan, sudah pasti menjadi Hushuli, tapi bagi sipendengar, begitu pula bagi si pemenjelasnya manakala ilmu hudhurinya itu direnungkan dalam pikirannya. Jadi, sakit yang pemenjelas RASAKAN adalah ILMU HUDHURI, dan ILMU SAKIT YANG DIGAMBARKAN DALAM AKAL PEMENJELAS adalah ILMU HUSHULI. Begitu pula si dokter yang mendengarkan keluhan sakitmu adalah ILMU HUSHULI, tapi kesadaran dokter bahwa dia mengetahui tentang sakitmu setelah kamu memberitahukannya, adalah ILMU HUDHURI. Namun demikian bahasan ini tidak menyangkut WAHDATULWUJUD yang sedang kita bahas. 

Muhammadabdulsalamb: Salam Maaf.... Mungkin yang saya maksudkan tentang ”kata” adalah ketika kita menjelaskan ilmu hudhuri atau pengalaman penyaksian yang biasa disebut oleh Mulla Shadra ” Al’ithad al’aqil wal ma’qul” maka pasti jadinya atau disebut ilmu ushuli. Sementara... antara ilmu hudhuri dan ilmu ushuli yang saya fahami dalam kedhoifan saya adalah hal yang ngga mungkin dipisahkan sebab keduanya saling terkait satu sama yg lain. Mengenai wahdatul wujud, mungkin kalau ngga dipahami dengan baik teori-teori di atas seperti teori irfan dan irfan amali dan lainnya, kayaknya akan menimbulkan banyak masalah dalam menginterpertasikan. Allahuma sholli ’ala Muhammad wa’alih. 

Sinar Agama: Untuk mas Abdussalam, terimakasih atas komentnya, dan saya rasa uraian Wahdatulwujud yang sudah sampai pada 5 bagian dimana sudah ditambah lagi dengan bagian lanjutan dari bag 5 yaitu yang terkhususkn kepada mengomentari komentar antum, masih cukup untuk komentar antum yang sekarang ini, tolong perhatikan bagian penjelasan ilmu hudhuri dan hushuli itu. Afwan. 

Sinar Agama: Salam, Anggelia maaf diterbitin lagi karena beberapa sebab.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Wahdatu Al-Wujud (Bagian: 5)




Seri Tanya – Jawab: Fatimah Zahra dan Sinar Agama
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, December 14, 2010 at 9:22pm


Fatimah Zahra : Salam!! Saya mau tanya, maqam tertinggi itu imam yah? Kalau iya, Fatimah Az Zahra as masuk ke maqam mana?

Sinar Agama: Salam, maqam tertinggi itu sebenarnya bagi yang telah menjalani perjalanan ke empat.

Coba kamu lihat tanya-jawabku tentang Wahdatulwujud bag:4.

Setiap orang yang mampu menjalani empat perjalanan itu, akan menempati posisi hakikat kewilayahan itu, baik dia diutus Allah untuk menjadi imam atau tidak. Maqam itu juga disebut maqam al-Wilayah.

Mungkin nanti saya akan urai lagi masalah ini secara lebih rinci dari yang disana, di masalah Kedudukan Fantastis Imam bag: 5-d yang akan datang in syaaAllah dimana sekaligus menjadi penutup dari pembahasan topik tersebut.

Orang yang sampai ke maqam itu, secara otomatis akan memiliki semua yang dimiliki seorang imam. Akan tetapi karena seorang perempuan tidak bisa menjabat keimamahan itu dalam Islam, maka Hadh Fathimah as tidak diangkat oleh Allah untuk menjadi imam hingga semua orang harus merujuk padanya dan menaatinya, baik dalam damai atau perang, dalam keramaian atau kesendirian, di waktu siang ataupun malam. Karena ha-hal seperti ini akan merendahkan derajat keperempuanan itu sendiri.

Kepemilikan secara otomatis kesempurnaan seorang Pejalan atau Musafir yang telah menyelesai- kan perjalanan tentunya itu, dikarenakan maqam itu ”Bukan Maqam Pengangkatan”, tetapi ”Maqam Pencapaian”. Karena itulah disebut ”Maqam Wilayah”, artinya Maqam Penguasaan Terhadap Yang Dibawahnya Secara Tabiatnya Atau Niscayanya”. Yakni Allah telah membuat sistem itu dalam penciptaanNya ini. Seperti perempuan yang belajar sampai ke syarat minimal seorang yang bisa mencalonkan diri menjadi presiden,maka dia secara tabiatnya sudah memiliki persyaratan itu sekalipun dia tidak bisa jadi presiden dalam Islam. 

Dan karena perjalanan ke empat itu adalah ”Perjalanan Dari Makhlk Menuju Allah Bersama Makhluk”, artinya mengajak makhluk kepadanya, maka dalam Islam dan Hikmah penciptaan, sudah pasti akan disesuaikan dengan posisi seseorang sehubungan dengan posisi sosialnya. 

Jadi, kalau perempuan, maka tugasnya ini tidak akan seperti lelaki. Dan kita bisa melihat bahwa dalam kehidupan Hadh Fathimah as yang pendek itu, baik dalam sejarah sunni atau syi’ah, beliau as begitu gigihnya dalam membela kebenaran. Begitu pula beliau as sering membahas keilmuan diantara para wanita dan orang-orang dekatnya, atau menyimpan hadits-hadits Rasul saww. 

Bagaimana beliau as meminta imam Ali as menuliskan ilmu-ilmunya untuk anak-anaknya yang akan datang, padahal beliau dalam keadaan menunggu ajal di atas perbaringan, hingga dikenallah tulisan tersebut dengan ”Lembaran Fathimah” atau ”Mushhaf Fathimah”. Bagaimana beliau mene- riaki dengan peringatan dan dalil serta bahkan dengan sentuhan kejiwaan, orang-orang yang mengepung dan membakar rumahnya untuk membela imam zamannya (imam Ali as). Bagaimana beliau menelusuri lorong-lorong Madinah untuk mengajak orang-orang membela imam zamannya. 

Bagaimana beliau menggunakan tangisannya sekaligus untuk mengingatkan para shahabat terhadap baiat mereka di Ghadir Khum kepada imam zamannya. Bagaimana beliau menggunakan kewafatannya untuk memberikan hidayah dan penerangan-penerangan tanpa putus asa kepada umat manusia di jaman itu dan sampai hari kiamat, hingga beliau mewasiatkan supaya dikubur dimalam hari dan tidak boleh ada yang ikut menyolati dan menguburkannya selain orang-orang tertentu supaya menjadi dalil dan pertanyaan bagi umat Islam bahwa di jaman itu telah terjadi ha- hal yang getir yang menimpa Islam hingga ke-Islaman yang ada pada kita harus diselidiki datang dari periwayatan siapa. 

Kita kalau tidak mengerti tentang maqam beliau yang mencapai kemakshuman di jaman Nabi saww yang bahkan disaksikan Allah sendiri dalam QS: 33:33, maka pasti kita akan mengatakan bahwa semua yang dilakukannya itu adalah normal bagi seorang wanita yang sedang marah dan dendam. 

Tetapi hal seperti sungguh jauh dari maqamnnya orang makshum. Mereka para makshum telah membajui dirinya dengan kepemaafan, kepenghidayahan, kepengharapan akan baiknya semua orang supaya memusuhi syethan dan masuk surga (karena sampai kiamat tiba maka syethan akan terus berusaha membuktikan keberannya pada Tuhan dan ingin membuktikan kalau Dia salah pada syethan), kepengharapan akan taubatnya orang, kepenantian akan taubatnya orang, ketidak putus asaan dalam membimbing orang. 

Oleh karena itu, maka kita dapat mengerti bahwa sampai ke liang lahat pun beliau tetap mem- bimbing umat manusia ke jalan yang diinginkan Allah swt dengan telaten dan ulet. 

Fatimah Zahra: Saya meyakini kesucian Fatimah az zahra as, tetapi yang saya mau ketahui, masuk maqam mana? ada yang mgatakan kalau fatimah zahra as itu muslim sejati atau muslim hakikat Ada juga, yang mgatakan kalau fatimah az zahra itu Hujjah bagi semua imam, berarti dalam hal ini maqam beliua adalah tertnggi. Karena imam pun menjadika saidah fatimah as sebagai hujah.. Berarti maqam tertinggi bukan Imam, tetapi Muslim sejati.. Mohon di jelaskan ya ustad. 

Sinar Agama: Antum-antum yang suka pada hakikat-hakikat ini, please usahakan ada waktu untuk baca tulisan-tulisanku di catatan,seperti Kedudukan Fantastis Imam yang terdiri dari bag 1- 5-c dan akan ditutup nanti dengan 5-c. 

Begitu pula tentang wahdatul wujud yang dirangkum oleh Anggelia, Semua itu untuk melengkapi informasi antum-antum sekalian. Baiklah saya akan coba menjawab pertanyaan kamu di sini. 

Bismillaah

Baru mau jawab mati listrik nih, tetapi sudah hidup lagi. 

Fatimah Zahra’, Maqam Islam dan Iman sejati itu maqam yang rendah dalam Irfan, katakanlah maqam pertengahan atau malah dibawahnya. Sepertinya jawaban yang kamu dapat itu dikeluar- kan orang yang tidak mengerti maqam-maqam secara ilmiah. 

Kalau antum-antum baca jawabanku di pertanyaan terakhir Anggelia dan Haerul fikir tentang gradasi atau tingkatan alam/wujud, dan empat perjalanan Irfan maka antum-antum akan tahu kira-kira derajat apa yang bisa dicapai manusia. 

Tingkatan Wujud itu ada empat tingkatan, Allah, Malaikat Tinggi (Jabaruut/Makhluk Akal, bukan akal manusia), Malaikat pengatur alam materi (Barzakh atau Mitsal), dan Materi. 

Jadi Allah mencipta Akal-satu yang melahirkan Akal-dua dan seterusnya sampai ke Akal-akhir. 

Dari Akal-akhir ini lahir Malaikat-malaikat Pengatur semesta materi ini yang biasa disebut dengan makhluk Barzakh. 

Dari Akal-akhir ini lahir Malaikat-malaikat Pengatur semesta materi ini yang biasa disebut dengan makhluk Barzakh, dan dari makhluk barzakh itulah lahir yang namannya alam materi. 

Makhluk Barzakh juga disebut dengan Kitab Qada’ dan Qadar (tetapi bukan seperti yang di Hindu yang mengatakan nasib manusia sudah ditentukan, maka itu lihat Kedudukan Fantastis Imam sekitar bag: 80-100-an). Dan Akal-satu juga disebut Nur-Muhammad (Baca: maqam yang akan dicapai Muhammad saww), sedangkan Akal-akhir juga disebut dengan Lauhu al-Mahfuzh dan ’Arsy. Disini saya tidak akan berargumen, lihat di tempat-tempat yang sudah kukatakan tadi. 

Posisi surga ada di alam Barzakh, dan Akal/Jabaruut juga disebut Surga Muqarrabin. 

Empat Perjalanan, adalah Dari Makhluk ke Khaliq, Dari Khaliq ke Khaliq, Dari Khaliq ke Makhluk Berasama Khaliq dan yang terakhir Dari Makhluq ke Khaliq Bersama Makhluk. 

Yang Pertama baru dikatakan selesai manakala sudah mencapai Akal-satu dan tidak pula menganggapnya. Artinya apa saja yang selain Tuhan, bagi dia harus ditiadakan (lihat wahdulwujud), termasuk dirinya yang mencapai maqam itu. 

Maqam itulah yang dikenal dengan Fanaa’ dimana derajat ini jutaan derajat di atas Islam dan Iman serta surga itu sendiri. Perjalanan ke dua adalah safar diantara Sifat dan Asma- asmaNya. 

Perjalanan ke tiga, kembalinya dia dari safar yang Asma-asma Allah itu, Maka dia sudah jadi LisanNya yang untuk berbicara (La yantiqu ’ani al-hawa), MataNya untuk melihat dan seterusnya. Jadi, dia dalam kefanaa’annya itu dapat bergaul dengan makhluk. 

Perjalanan ke empat adalah membawa makhluk kepadanya tetapi dengan kepembawaan- Nya, karena dia tetap dalam fanaa’nya. 

Perhatikan ini: Orang yang mencapai derajat Perjalanan satu itu disebut Wali-Kecil. Padahal jutaan derajat di atas surganya muslimin dan mukminin. Mengapa dikatakan ”Kecil”? 

Karena maqam itu adalah maqam kewalian pertama sekalipun jutaan derajat di atas Lauhu al- Mahfuzh. Dan mengapa dikatakan Wali? Karena dia sudah memiliki Wilayah, yakni ”Kekuasaan”. Maksudnya ”Kekusaan Pada Makhluk”. Sebenarnya orang yang sampai ke maqam yang jauh dibawahnya saja, seperti Barzakh sudah bisa melakukan apa saja di alam materi ini dengan ijinNya. 

Tetapi dalam Syi’ah orang ini belum dikatakan wali, sekalipun bahkan sudah sampai ke derajat Lauhu al-Mahfuzh. Kenapa begitu? Karena yang disebut ”Wali” adalah ”Orang Yang Sudah Tidak Melihat Dirinya Ada dan Semuanya Hanyalah WajahNya”. 

Orang yang sampai ke derajat katakanlah Lauhu al-Mahfuzh, kalau dia terbang atau menghidupkan orang mati dan semacamnya, maka dia merasa kalau dia yang melakukannya dengan ijinNya. Tetapi orang yang sudah Fanaa’, tidak akan melakukannya kecuali dimauiNya dan dia juga tidak merasa kalau dia yang melakukannya. Dengan uraian di atas, dalam syi’ah, bukanlah yang bisa terbang yang dikatakan Wali, tetapi orang yang terbang dengan tanpa merasakan keberadaan diri dan perbuatannya (selalu fanaa’). Dengan demikian pula dapat dimengerti bahwa ”Wali” adalah perbuatannya (selalu fanaa’). Dengan demikian pula dapat dimengerti bahwa ”Wali” adalah Kekuasaan pada Makhluk”. Nah, ”Kekuasaan” inilah yang dikatakan ”al-Wilayah”. 

Ini baru ceritanya Maqam Perjalanan Pertama, belum lagi yang lainnya. Nah, Hadh Fathimah as itu sudah mencapai Maqam Perjalanan Empat. Bayangin saja, Maqam Kemakshuman saja itu, baru setingkat surga. Tingkatan tertinggi di surga, katakanlah, bagi yang meninggalkan makruh seratus persen. Dan untuk mencapai Lauhu al-Mahfuzh saja dia harus berusaha lagi untuk tidak menyukai karamat dan kasyaf-kasyaf atau kemuliaan apa saja yang diberikanNya termasuk surga itu sendiri. Padahal maqam Lauhu al-Mahfuzh yang bisa mengetahui apa saja sampai hari kiyamat ini dengan ijinNya, masih sangat jauh dari maqam Fanaa’. Nah, sekarang kamu bisa memperkirakan apa dan bagaimana derajat Perjalanan Empat tersebut. 

Ketahuilah bahwa yang bisa dijadikan Nabi/rasul dan imam, hanyalah orang yang sudah mencapai derajat Perjalanan Empat ini. Tetapi tidak semua yang berada di maqam ini diangkat jadi Nabi dan rasul. 

Misalnya ayahnya kafir, orangnya cebol atau cacat, perempuan dan seterusnya, maka tidak akan diangkat jadi Nabi/rasul dan imam. Sebabnya memang hanya Allah yang tahu, tetapi dalam konsep keadilan dan argument, kita bisa merabanya. Misalnya, karena kalau yang cebol dan cacat diangkat jadi Nabi, akan membuat umat mengejeknya hingga meyulitkan dakwahnya dan membuat kebanyakan orang masuk neraka karenanya, bukan malah terhidayahi apalagi terhidayahi dengan mudah sesuai dengan kesukaanNya yang memudahkan hidayahNya. Atau membuat derajat kepermpuanannya akan tercemari kalau si wali tadi perempuan adanya. 

Tetapi ingat, para wali itu juga masih memiliki tingkatan-tingkatan tersendiri. Khususnya di maqam Perjalan Ke Dua. Karena seberapa banyak dia menyelami AsmaulhusnaNya, dan seberapa dalam, dalam penyelamannya terhadap masing-masing Asmaulhusna itu, dan seberapa dalam, dalam penyelamannya terhadap masing-masing Asmaulhusna itu, tergantung pada kemampuan masing-masing wali tersebut, dan Wali tertinggi ditempati Rasul Muhammad saww dan kemudian Ahlulbaitnya as. 

Dengan penjelasan ini, dapat pula diketahui, bahwa mencapai kemakshuman dari dosa dan makruh (menjauhnya dengan hati dan badan), dari mubah, karamat, surga, lauhu al-mahfuzh dan seterusnya, itu (dengan hati saja) sampai kepada pencapaian Perjalan Empat adalah dengan Ikhtiar. Katakanlah menjadikan diri berpotensi untuk jadi Nabi/rasul dan imam itu adalah dengan ikhtiar, tetapi diangkatnya seseorang menjadi Nabi/rasul dan imam dengan Pengangkatan Allah. Dan dapat dimengerti pula bahwa yang memiliki ke-Wilayahan bukan hanya yang telah diangkat menjadi Nabi/rasul dan imam. 

Begitu pula dapat diketahui bahwa ada yang tidak diangkat menjadi Nabi/rasul dan imam, dan ada yang hanya diangkat jadi Nabi (Khidir), ada pula Nabi dan rasul saja, ada pula yang imam saja, ada pula yang Nabi dan rasul serta imam seperti Nabi Ibrahim as dan Muahammad saww. Dan dengan QS: 2:124 dapat diketahui bahwa imam lebih tinggi dari pangkat keNabian dan kerasulan. 

Karena Nabi Ibrahim as di ayat tersebut diuji dulu untuk menjadi imam. Dan di ayat itu juga dikatakan bahwa setelah Nabi Ibrahim as menyelsaikan semua ujian-ujianya, maka baru diangkat menjadi imam. Kita tahu bahwa ujian beliau as itu dari sejak muda sampai menjadi Nabi dan rasul dan bahkan di akhir-akhir masa kerasulannya, yaitu dimasa tuanya beliau as, yaitu dimana beliau as diperintahkan untuk menyembelih anaknya Ismail as. 

Semoga tulisanku ini dapat mengurangi sedikit saja dari milyaran kewajibanku pada beliau as. Ya Zahra,,,Ya Zahra,,,Ya Zahra,,,adrikiniy,,,adrikini. 

Sekian. Terima Kasih. Al-Fatihah- Sholawat.. 

Adie Ariyadi: Allahuma sholli ala Muhammad wa ali Muhammad. Terima kasih ustadz atas penjelasan materi ’’al ashfar al ar ba’ah’’nya. Semoga terus berlanjut bahasannya karena saya sangat kekurangan wawasan! 

Gazali Rahman: Alhamdulillah Ustadz izin menyimak tulisannya yang sangat menambah keku- rangan dan dahaga yg saya miliki. 

Hery Arkanet: Wahhh....gak ngerti maksudnya syiah.... 

Anggelia Sulqani Zahra: Maaf. Kalau tidak ngerti yah, belajar... bukan berarti kita tidak mengerti atas sesuatu telah menunjukan bahwa sesuatu itu salah.... bahkan ketidakmengertian kita tersebut terhadap sesuatu menunjukan bahwa kita tidak mengetahui sesuatu itu salah. 

Mohammad Syaifur Rochman: Syiah rofidhoh,,,munafik,,,, 

Anggelia Sulqani Zahra: Eehhh. maaf teman-teman kelas filsafat.. ada yang nyasar nih.....terus mau diapakan tuh...? 

Adie Ariyadi: @ anggel: Abaikan aja! Gak perlu di komentari, gel! Buang-buang waktu dan energi aja. 

Sinar Agama: Salam, Terimakasih ya Anggel, semoga Tuhan selalu memudahkanmu. Terimakasih juga bagi teman-teman yang aktif lainnya. Untuk yang katakanlah nyasar, biarkan saja buat latihan fanaa’ he he he he. 

Gazali Rahman: Biarkanlah yang nyasar ikut menyimak agar mereka dapat informasi ilmu-ilmu islam yang dipandangnya agak aneh..... 

Sinar Agama: Sepertinya bakal ada susulan setelah ini karena sepertinya akan ada pertanyaan tentang contoh-contoh ayat atau riwayat tentang wahdatulwujud ini. Nah, kamu istirahat dulu. 

Burhanudin Al Bantani: DAN ALQURAN PUN BICARA WAHDATUL WUJUD. 

Anggelia Sulqani Zahra: Ustad. Selalu ada saja mutiara yang keluar dari komentar-komentarmu, seri tanya jawab lanjutan seperti ini semakin memperbaiki landasan berfikir saya.. hehehe bagus juga kalau ada yang nyasar-yasar gini’ biar bertambah terus pemahamanku... 

Sinar Agama: Untuk Anggel: tidak boleh senang dengan orang yang salah tembak, sekalipun ada manfaatnya untuk diri kita, karena kita semua manusia harus bersatu padu dan behu mambahu saling bantu untuk menutup jalan syethan yang selalu berusaha membuktikan kebenarannya padaTuhan sampai hari kiamat tiba. BTW kerjamu bagus, dan semoga selalu dalam kepenganmbilan hidayahNYa, amin., 

Sinar Agama: Wassalam dan roger. 

Bande Huseini: Saya print.. saya mau diskusikan dengan ikhwan di Bogor.. 

Anggelia Sulqani Zahra: Bande Huseini : Terima kasih. Tterimakasih udah mau mengambill manfaat dari kelas filsafat ini.. 

Gazali Rahman: Salam, sangat mencerahkan dalam kemendungan pendapat bagi banyak para murid pencari keseimbangan Antara al-qur’an dan akal’.. 

Sinar Agama: Salam Anggelia, maaf terpaksa diterbitkan lagi karena banyak yang minta dan ...




اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ

Wahdatul Al-Wujud (Bagian: 4)





Seri Tanya – Jawab: Anggelia Sulqani Zahra, Haerul Fikri dan Sinar Agama 
by Sinar Agama (Notes) on Tuesday, December 14, 2010 at 8:57 pm



"Anggelia Sulqani Zahra” Haerul Fikri dan Ustad’ Sinar Agama


Anggelia Sulqani Zahra : Assalamu‘alaikum..Ustad. Mohon Dijelaskan Tentang Kitab Lauhmahfud dan Pandangan Mulla Shadra tentang Konsep Empat Tahapan Perjalanan Manusia (Dalam Kajian Filsafat dan Irfan). 

Haerul Fikri : Bisakah ustad menguraikan tingkatan-tingkatan wujud dalam keber”ada”annya, sebagimana yang dimaksud Mulla Shadra?, Apakah tingkatan-tingkatan wujud tersebut bersifat kekal sejak adanya atau mengalami evolusi, perubahan, perombakan, atau bahkan pemusnahan? Apakah alam materi yang sekarang ini merupakan alam materi pertama.. Lalu, apakah ada penciptaan makhluk dialam materi setelah hari pembalasan? 

Sinar Agama : Bismillaah.

Mukaddimah 

1. Dua pertanyaanmu ini juga berhubungan dengan satu pertanyaan dari Heirul Fikri yang menanyakan tentang Gradasi Wujud, tetapi yang ia maksudkan Gradasi keberadaan, yakni bentangan wujud ini yang dimulai dari Sang Pencipta sampai dengan Alam Materi. 

2. Untuk menjelaskan Lauhu al-Mahfuzh dan 4 Perjalanan Irfan/Sufi-sungguhan, perlu kepada Penjelasan Tentang Bentangan Wujud yang ditanyakan oleh mas Heirul Fikri itu. Oleh karenanya saya akan mengurainya terlebih dahulu. 

3. Jadikanlah jawabanku ini sebagai bahasan Wahdatulwujud ke 4. Oleh karenanya saya harapkan dari teman-teman yang tertarik dengan bahasan ini, usahakan untuk membaca WAHDATUL WUJUD bag 1-3. 

4. Karena saya sudah menjelaskan se-jelas-jelasnya tentang wahdatulwujud itu, walau tetap global, dan bedanya dengan filsafat, maka saya mungkin tidak akan lagi menjelaskan hal-hal yang mengenai keduanya di dalam tulisan ini. 

5. Semua dalil terhadap setiap pernyataan yang pelik sekalipun, harus memiliki pondasi atau dalil dari Ilmu-Mudah, yakni yang tidak perlu dipikir karena mudahnya (jelas, gamblang bagi setiap orang), sebagaimana sudah dijelaskan di Wahdatul Wujud bag 3 yang saya tulis dalam komentar. Yaitu ketika mempertemukan akal dan Qur'an dan jalan keluarnya 

Maksudnya saya mengharap bahwa peminat sendirilah yang harus bisa membedakan bahasa mana yang bernafas filsafat dan tulisan mana yang bernafas irfan. Jadi, kalau memang minat, usahakan konsen dan kalau perlu wudhu dulu. 

Pembahasan Pertama Tentang Pembuktian Wujud Tuhan: 

Dalam bahasan ini saya tidak akan menjelasakannya secara rinci, karena ianya pembahasan Tauhid (saya sudah menulis dalam tajuk Pokok-pokok Ajaran Syi’ah, yang akan segera selesai in syaa-a Allah). Tetapi karena Hakikat Tuhan diperlukan di sini, maka harus dibahas walau secara ringkas. 

Diri kita, pohon, batu, bumi, angin, air, binatang, bintang gemintang dan seterusnya adalah wujud- wujud terbatas. Artinya dibatasi dengan esensi dan eksistensi. 

Karena masing-masing esensi dan eksistensi mereka bukan yang lainnya dan karena alam ini merupakan gabungan dari mereka-mereka itu, yakni gabungan yang terbatas itu, maka alam ini juga pasti terbatas. Karena gabungan keterbatasan hasilnya juga pasti keterbatasan pula, walaupun lebih luas. Tetapi tetap tidak akan keluar dari keterbatasan menjadi tidak terbatas. Nah, ketika kita dan alam ini terbatas, secara pasti memiliki batasan. 

Katakanlah ujung pangkal atau awal dan akhir. Kalau demikian halnya, maka pastilah alam ini, sebelum awalnya, ia tidak ada. Begitu pula setelah akhirnya. Dan kalau alam ini sebelum awalnya tidak ada, lalu setelah awal itu ia menjadi ada, maka pastilah ia diadakan. Karena ”yang tak ada” tak mungkin ”Terjadi” hingga dikatakan ”Alam Terjadi dengan Sendirinya”. Atau begitu pula ”yang tak ada” tak mungkin ”Menjadikan” hingga dikatakan ”Ia Menjadikan Dirinya sendiri”. Atau bahkan ”yang tak ada” tak mungkin ”Dijadikan” hingga dikatakan bahwa ”Alam Ini Dijadikan oleh Penjadi dari Tiada”. 

Ketidakmungkinan tiga hal itu, yakni ”Terjadi:, Menjadikan dan Dijadikan”, tidak lain karena ”Tiada” adalah ”Tiada” dimana jelas tidak bisa menjadi obyek atau subyek, yakni tidak bisa jadi pemberi dan/atau pelaku. Karena, tidak ada. 

Mungkin ada yang bertanya, apa mungkin Tuhanpun tidak bisa menjadikan ”Tiada” sebagai obyek dalam penciptaannya?. Jawabannya ”Tetap tidak bisa”. Dan yang tidak bisa itu sebenarnya bukan Tuhannya, tetapi ”Tiadanya” itu. Yakni karena ”Tiada” itu adalah ”Tiada” sedangkan ”Obyek pemberi” adalah ”Ada”.. 

Dengan demikian sebenarnya yang salah adalah pertanyaannya yang menanyakan ”Apa Bisa Tiada itu Dijadikan Makhluk Oleh Tuhan?”. Karena dalam pertanyaan ini jelas sekali mengandungi kontradiksi yang nyata. Yakni antara ”Tiada” dan ”Dijadikan atau Dicipta”. 

Dengan bahasa lain, ”Tiada” memiliki ”Zat Ketiadaan”, yaitu ”Tiada” itu, hingga kalau dia keluar darinya maka ia bukan lagi ”Tiada”, tetapi sudah menjadi ”Ada”. Jadi, ”Tiada” itu secara zati tidak bisa keluar dari ketiadaan. Dan kita tahu bahwa setiap zat sesuatu, maka tidak bisa ditinggalkannya. Seperti kalau manusia keluar dari kebendaan, keberkembangan, kebergerakan dengan ikhtiar dan kerasionalan, maka ia bukan lagi manusia. 

Mungkin Anda bertanya ”Kalau Tiada itu Tiada, mengapa ia bisa memiliki zat dan tidak bisa keluar dari zatnya, bukankah Memiliki itu tandanya ada?”

Jawab: Esensi atau hakikat sesuatu itu, tidak mesti ada. Hakikat sesuatu, bisa dipahamakaan dalam akal kita. Seperti Gunung Emas. Kita bisa memahami esensi Gunung Emas, sekalipun ia tidak pernah wujud dan eksis.

Jadi, batasan sesuatu dan sesuatu itu sendiri, bisa berupa wujud akal dan pahaman saja. Bisa juga pahaman dan eksistensi. Bisa juga pahaman dulu baru eksistensi. Seperti Ilmu Tuhan terhadap esensi setiap makhluk sebelum menciptakan makhluk. Atau seperti Ilmu dokter tentang operasi yang akan dilakuannya kemudian. 


Jadi, batasan sesuatu dan sesuatu itu sendiri, bisa berupa wujud akal dan pahaman saja. Bisa juga pahaman dan eksistensi. Bisa juga pahaman dulu baru eksistensi. 

Seperti Ilmu Tuhan terhadap esensi setiap makhluk sebelum menciptakan makhluk. Atau seperti Ilmu dokter tentang operasi yang akan dilakuannya kemudian. 

Banyak sekali sesuatu atau esensi yang kita pahami hakikatnya, tetapi tidak ada wujudnya di alam nyata. Seperti ”Tiada”, ”Sekutu Tuhan”, ”Ayah Tuhan”, ”Anak Tuhan”, ”tuhan yang dicipta”, ”Makhluk yang mengalahkan Khalik”, Ayah Nabi Isa”, ”Bumi Emas”, ”Masuknya Bumi ke Telur tanpa merubah keduanya”, dan seterusnya. Semua itu dapat kita pahami, tetapi tidak ada wujudnya. Artinya mereka itu hanya ada di dalam akal hingga dalam filsafat disebut dengan ”Keberadaan Akal Belaka”. 

Dan bukti keberadaan akalnya itu adalah bahwa kita saling berkomunikasi tentang mereka itu, dan menolaknya. Misalnya kita berkata ”Ayah Tuhan itu tidak ada”, ”Ayah Nabi Isa itu tidak ada”, dan seterusnya. 

Dengan uraian ini dapat diyakini dengan ilmu mudah bahwa ”Tiada” tidak mungkin menjadi subyek pelaku seperti ”Terjadi dan Menjadikan” dan juga tidak pula bisa menjadi obyek pelaku ”Dijadikan”. 

Kembali ke masalah kita. Sampai di sini, kita sudah tahu bahwa alam ini terbatas, dan karenanya ia diadakan oleh yang lain, karena ia tidak bisa menjadi subyek pelaku terhadap dirinya sendiri, dan begitu pula ia diadakan dari ”Keberadaan”, bukan dari ”Ketiadaan”. 

Selanjutnya. Ketika alam ini diadakan/diciptakan oleh yang wujud lain, maka kalau wujud lain itu terbatas pula, sudah pasti sang pengada ini juga diadakan oleh yang lain dengan alasan yang sama. dan kalau pengadanya pengada itu juga terbatas, maka sudah pasti juga diadakan oleh yang lain pula dengan alasan yang sama. Begitu seterusnya. Sekarang tinggal dua pilihan, apakah semua pengada-pengada itu terbatas semua atau ada yang tidak terbatas? 

Kalau kita pilih bahwa semua pengada-pengada itu terbatas semuanya, berarti semuanya pernah tiada. Nah, kalau semuanya pernah tiada, terus dari mana keberadaan kita dan alam ini? 

Karena kalau semuanya tiada, berati tiada yang bisa mengadakan ”ada” karena yang tak punya tak mungkin memberi, dan karena ”Tiada” tidak bisa menjadi ”pelaku”, apalagi terhadap ”ada”. 

Dengan demikian maka sudah pasti dan dengan dalil yang gamblang, kita katakan bahwa pengada-pengada itu harus berhenti pada ”Pengada Yang Tidak Terbatas”. dan ”Pengada Yang Tidak Terbatas” inilah yang kita katakan ”Tuhan”. Karena salah satu makna Tuhan adalah ”Tidak Dicipta”, ”Tidak Bermula”. 

Dengan demikian maka kita sudah mendapatkan apa yang dikatakan sebagai Tuhan yang, memiliki Zat Tidak Terbatas. 

Banyak hal yang dapat ditarik pahaman dari ”Ketidak TerbatasanNya” ini, tetapi karena takut kepanjangan maka kita teruskan saja kepada inti pembahasan kita. Salah satu yang berkenaan dengan bahasan kita, adalah bahwa kalau kita sudah tahu bahwa Tuhan itu Tidak Terbatas, berarti tidak mungkin ada duaNya. Karena kalau ada duaNya, berarti ke-dua-duanya akan menjadi terbatas, karena masing-masing keduanya akan menjadi pembatas bagi yang lainnya. 

Yang terpenting dari kekonsekwenan dari Ketidak TerbatasanNya di sini adalah, ”Ketidak Berang- kapanNya”. Yakni, kalau Dia Tidak Terbatas, maka sudah pasti ”Tidak Mungkin Terangkap”. 

Karena, kalau terangkap, berarti masing-masing rangkapannya terbatas, karena masing-masingnya membatasi yang lainnya. Dan kalau masing-masing rangkapannya terbatas, berarti gabungannya dimana di sini adalah Tuhan, juga akan terbatas, karena gabungan keterbatasan adalah keterbatasan pula (sekalipun lebih luas). 

Dengan semua penjelasan-penjelasan di atas, maka Pembahasan Pertama, yakni Tentang Pem- buktian Wujud Tuhan sudah dapat disimpulkan dengan mudah. Bahwasannya Tuhan itu ”Ada”, ”Tidak Terbatas”, ”Satu” dan ”Tidak Terangkap”. 

Pembahasan Ke Dua Tentang Pengadaan/Penciptaan Tuhan

Dalam pembahasan ini kita akan berusaha menguak dengan dalil-gamblang terhadap ada dan macam-macamnya makhluk. 

Modal utamanya adalah ”Ketidak Berangkapan Tuhan” sebagaimana telah dibuktikan dalam Pembahasan Pertama. Namun, sebelum itu, kita akan melihat sekelumit saja tentang aturan ”Sebab-Akibat”. Salah satu peraturan dan kaidah penting dalam sebab-akibat, adalah keharusan adanya ”Kemiripan” atau ”Kesenafasan” atau ”Keterhubungan” atau ”Kesejenisan” antara sebab dan akibatnya. 

Artinya antara keduanya tidak boleh asing sama sekali. Maka dari itu selalu buah padi menumbuhkan pohon padi, manusia melahirkan manusia, kucing melahirkan kucing.... dan seterusnya. 

Kita tidak pernah menemukan dan tidak akan pernah menemukannya, bahwa biji padi menumbuhkan pohon kelapa atau durian, atau lebih parah lagi mengeluarkan binatang. Begitu pula sebaliknya. 

Semua itu, tidak lain, karena adanya atau keharusan adanya kesenafasan antara sebab dan akibatnya. Nah, sekarang bagaimana dengan Tuhan ketika akan mencipta (”Ketika ini bahasa pinjaman karena sebelum dicipta waktu maka tidak ada ”ketika”). 

Pertanyaan itu sebenarnya berfokus pada, bisakah alam yang banyak ini tercipta langsung dari Tuhan tanpa perantara? Kalau dijawab bisa berarti Tuhan memiliki banyak sekali rangkapan, yakni sebanyak makhluk yang diciptakanNya. 

Karena, dengan adanya keharusan adanya kesenafasan antara sebab dan akibatnya, maka setiap makhluk Tuhan menuntut adanya kesenafasan itu. Dan kalau itu terjadi, berarti dalam Diri Tuhan terdapat nafas-nafas yang banyak dan berwarna-warni atau bermacam-macam. Dan kalau dalam Diri Tuhan terjadi mecam-macam itu, maka berarti masing-masing macamnya membatasi yang lainnya, dan berarti Tuhan merupakan rangkapan dari macam-macam yang terbatas tadi. Dan kalau demikian, berarti Tuhan akan menjadi terbatas dimana sudah pasti makhluk, bukan Tuhan. 

Contoh: Kalau Tuhan mencipta manusia dan kucing secara langsung, berarti dalam diri Tuhan ada dua kuasa yang berbeda. Hal itu karena keharusan adanya kesenafasan antara sebab dan akibatnya. Kuasa Tuhan terhadap Penciptaan Manusia, tidak mungkin dijadikan AlatNya untuk mencipta Kucing. 

Dengan demikian berarti dalam Diri Tuhan ada Dua Kuasa yang berbeda, yaitu Kuasa Mencipta Manusia dan Kuasa Mencipta Kucing. Dan kalau dalam DiriNya ada dua kuasa saja, apa lagi kalau banyak dan ber-juta-juta, maka sudah pasti KuasaNya terangkap dari Dua Kuasa atau Banyak Kuasa, dan kalau KuasaNya memiliki rangkapan dua atau banyak itu, berarti Kuasanya terangkap dari Kuasa-kuasa yang terbatas, karena masing-masingnya membatasi yang lainnya sebagaimana makalauum, dan kalau Kuasa Tuhan rangkapan dari Kuasa-kuasa yang terbatas, maka hasilnya juga akan menjadi terbatas. 

Karena gabungan keterbatasan juga keterbatasan, walaupun lebih luas. Dan kalau Kuasa Tuhan menjadi terbatas, berarti memiliki awal dan akhir, dan kalau memiliki awal, berarti sebelum awal itu Kuasa itu tidak ada, alias Tidak Kuasa. dan kalau Tuhan Tidak Kuasa, berarti Dia Terbatas yang, berarti bukan Tuhan lagi karena pasti Kuasa dan DiriNya itu diadakan oleh yang lainnya. 

Dengan penjelasan ini, dapat disimpulkan dengan mudah bahwa sangatlah mustahil makhluk yang banyak ini dicipta langsung olehNya. Tetapi ingat, ini bukan berarti ”Ketidak BisaanNya”, tetapi karena ”Ketidak Mungkinan Wujud Rangkap dan Banyak Menyentuh DiriNya yang Maha Tidak Terangkap” itu. Persis seperti ”Tidak Bisanya Diciptakan Tiada” di atas. 

Dengan warna bahasa agama, kita mengatakan ”Tuhan Maha Suci dari Segala Macam Kekurangan dan Keterbatasan dan dari Kebersentuhan atau KebernafasanNya dengan Wujud Hina alias Terangkap” 

Dengan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ciptaan Tuhan yang pertama haruslah mende- katiNya, setidaknya lebih dekat dari yang lainnya, atau harus dekat dan mirip sejauh yang memungkinkan bagi makhlukNya. 

Tetapi ingat, karena jarak antara makhluk atau ”Yang Terbatas” dengan ”Yang Tidak Terbatas” itu dijaraki dengan ”Batasan” dan ”Ketidak Terbatasan”, maka sudah pasti, jaraknya juga ”Tidak Terbatas”. Oleh karenanya, walau kita katakan bahwa makhluk pertama ini mirip dan dekat dengan Tuhan, itu sekedar perbandingan dengan makhluk-makhluk lain yang akan datang kemudian, bukan hakikat dekat dan mirip. 

Dengan demikian, maka kita dapat pastikan, bahwa makhluk pertama ini mendekati kesempurnaanNya (ingat ya.... ini bukan dekat betulan, tetapi sejauh yang memungkinkan bagi makhluk). 

Oleh karenanya, maka makhluk pertama ini adalah non materi mutlak juga, tidak memiliki rangkapan juga, dan hampir tidak memiliki batasan juga selain bahwa dia Bukan Tuhan. Tetapi keberlainannya dari Yang Tidak Terbatas itu, maka ia pasti Terbatas juga dan sudah tentu jaraknya denganNya juga Tidak Terbatas, karena Dia Tidak Terbatas. Kalau makhluk lain, selain memiliki batasan ”SelainTuhan”, juga pasti memiliki banyak batasannya, misalnya malaikat Jibril . 

Dengan demikian makhluk pertama Tuhan adalah makhluk yang paling afdhal dan paling tinggi dari makhluk lain kepadanya. Dan ingat, bahwa paling dekat di sini bukan berarti tempat, karena belum dicipta tempat karena tempat/volume milik materi yang sangat berangkap yang tidak mungkin keluar dariNya secara langsung. Tetapi dekat dalam artian Maqam Zat atau Wujud yang dimilikinya. Yaitu Non Materi Mutlak, Tidak Berangkap dalam Nyata dan Ketidak Terbatasannya hanyalah bahwa dia bukan Tuhan, itu saja. 

Jadi, makhluk pertama ini sangat hebat kalau dibanding dengan yang lainnya, tetapi tetap sangat rendah kalau dibanding denganNya, karena Ketidak TerbatasanNya itu. 

Tadi dikatakan bahwa makhluk pertama ini ”Tidak Berangkap dalam Nyata”. Maksudnya adalah tidak memiliki rangkapan dalam hakikat nyatanya, karena kalau memilikinya akan membuat Tuhan yang menciptakannya juga akan menjadi terangkap sebagaimana maklum, tetapi dia memiliki rangkapan itu dalam akal kita sebagai ilmu, yaitu bahwasannya dia terangkap dari ”Dirinya adalah dirinya” dan ”Dirinya bukanlah Tuhannya”. 

Nah, dari sinilah muncul makhluk ke dua, dari ke dua muncul ke tiga dan seterusnya, hingga mencapai ”Non Materi Mutlak Terakhir”. 

Dalam Filsafat, Non Materi Mutlak Pertama itu disebut sebagai Akal-Pertama, begitu seterusnya sampa pada Akal-Terakhir. Dan dalam agama dikatakan sebagai Malaikat-Tinggi (’Aaliin lht QS:38:75) 

Dalam Filsafat, Irfan dan Akhlak juga disebut dengan Jabaruut. Yaitu Non Materi Mutlak yang tidak memiliki matter/bendawiyah dan juga tidak memiliki sifat-sifat lainnya materi. Karena jasmaniah dan sifat-sifat lain dari materi itu adalah suatu kerendahan dikarenakan mereka adalah ”Keberangkapan Nyata”. 

Maaf ada gangguan signal/sinyal, bagus karena tidak ada yang masuk sebelum roger. Kita terusin lagi, 

Bismillaah

Nah, silsilah wujud itu kini sudah mencapai kepada Akal-Terakhir, dimana rangkapan akal auliahnya, bukan nyatanya, sudah mendekati kepada makhluk atau wujud setelahnya. Secara profesional filosofinya, memanglah makhluk Akal dan makhluk setelahnya (selain materi), tidak disebut makhluk, karena makhluk sama dengan ”Bentukan” atau ”Kadaran/Takaran/Ukuran”.dan disebut dengan Amrun/Urusan/Kunfayakun/Sekal-ijadi, tetapi karena tidak terlalu menyangkut masalah kita sekarang, maka kita tinggalkan saja dulu (masalah penamaan ini, dan cukup diketahui bahwa semua non materi disebut sekali-jadi karena tidak memerlukan proses waktu. 

Jadi, dalam tulisan saya tentang Akal dan setelahnya itu (tetapi sebelum sampai materi), mungkin akan sering ditulis sebagai Makhluk, anggap saja maksudnya adalah ciptaan secara umum. Hal ini untuk memudahkan pemahaman saja. 

Setelah silsilah wujud itu sudah sampai pada Non Materi Mutlak Terakhir, maka barulah lahir makhluk lain yang juga non materi, tetapi tidak mutlak. Makhluk inilah yang dikatakan sebagai Makhluk-Barzakh/Antara/Idea/Mitsal/Malakut. Hakikat makhluk ini adalah Non Materi Yang Tidak Mutlak. Artinya, Non Matter/materi dalam ke-Matter-annya saja, yakni Ketidak Bendawiyahannya saja, atau Ketidak Volumean Dirinya saja, atau Ketidak Panjangan, Lebaran dan Tebalan Dirinya saja. Tetapi sifat-sifat lainnya (atau aksidentnya), seperti warna, rasa, bentuk dimiliki olehnya. 

Oleh karenanyalah mereka dikatakan sebagai Non Materi Yang Tidak Mutlak. Hal itu dikarenakan oleh kepemilikannya terhadap sifat-sifat materi tersebut. Pewujudan dari makhluk ini, sering kita dalam alam mimpi atau dalam renungan kita manakala kita membayangkannya, seperti membayangkan ular, kucing, begitu pula kala kita memimpikannya, membayangkannya, seperti membayangkan ular, kucing dan sebagainya. Begitu pula kala kita memimpikannya. Semua ciri materi, ada pada bayangan akal atau mimpi, kecuali ke-matter-an atau kejasmaniahannya. Wujud Barzakh itu juga demikian. 

Mereka itu dalam agama disebut dengan Malaikat-Pengatur-Alam-Materi, seperti dinyatakan dalam QS: 79:5, yakni mengatur pohon, air, hujan, binatang , dan dalam agama lain seperti Hindu dikenal sebagai Dewa-dewa, dan dalam Filsafat disebut sebagai tuhan-spesies. 

Tugas dari tuhan-Species/spesies ini adalah melahirkan/mewujudkan species-species atau esensi- esensi materi dan mengaturnya dengan ijin dan perintah Allah melalui Akal-Satu yang diteruskan kepada Akal-akal yang lain sampai ke Akal-Terakhir. Jadi, yang memerintah langsung Malaikat- malaikat Pengatur Alam Semesta ini adalah Akal-Terakhir . 

Kalau pembaca teliti maka ada beda yang mencolok antara kedua jenis makhluk, yakni Akal dan Barzakh selain dari beda jati diri sebagaimana sudah diterangkan di atas. Yaitu, pada makhluk jenis Akal, masing-masing derajat wujudnya hanya dimiliki oleh satu Akal. Yakni, satu posisi dan maqam satu wujud makhluk Akal. Tetapi dalam makhluk Barzakh, dalam satu maqamnya ini, memiliki banyak makhluk atau banyak Malaikat/Barzakh. Karena alam atau tingkatan Barzakh ini dipenuhi oleh para malaikat yang mengatur segala macam esensi atau speciess yang ada di alam materi dengan ijin dan perintahNya. 

Dengan demikian, keberadaan ”jumlah” atau ”Banyak” (lebih dari satu esensi), dimulai alam atau makhluk Barzakh ini, sekalipun belum berupa ”Jumlah Volume/matter”. 

Tetapi keberbedaan masing-masingnya dan saling membatasinya, sudah terwujud di tingkatan ini. Mereka ini memiliki rangkapan dan sifat-sifat paling dekat dengan materi, yakni paling mirip dengan materi ketimbang makhluk-makhluk Akal. Oleh karenanya sudah layak dan pantaslah kalau alam materi ini keluar atau terlahir dari pada mereka itu, karena beda mereka dengan alam materi hanya di kebendaannya. Maka dari itu mereka bisa dikatakan setingkat di atas materi. 

Maka dengan demikian mereka layak dan wajar melahirkan alam materi ini. Artinya antara mereka dan alam materi ini memiliki kesenafasan dan dan kemiripan sebagaimana dituntut dalam syarat- syarat sebab-akibat sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dan, dengan terlahirnya makhluk- makhluk Barzakh ini, maka terlahirlah alam materi. Dengan demikian kita telah mengetahui bahwa makhluk memiliki tiga tingkatan global, Akal, Barzakh dan Materi (Jabaruut, Malakut dan Nasut). Atau Non Materi Mutlak, Non Materi Tidak Mutlak dan Materi. Dan ketiganya disebut dengan ”Alam Besar”. 

Sampai di sini pertanyaan saudara Haerul fikri sudah terjawab. Yakni tentang susunan Alam/ Wujud. 

Pembahasan Ke Tiga, Tentang Lauhu al-Mahfuzh

Sebenarnya, seingat saya, saya sudah menulisnya di Kedudukan Fantastis Imam. Tetapi untuk mengingatkan, saya akan memberikan isyarat di sini in syaaAllah. 

Dengan penjelasan terdahulu, dapat dipahami bahwa Wujud, terbentang sejak dari yang tidak memiliki sejak, awal dan akhir, yakni Yang Tidak Terbatas, sampai pada wujad materi. Dari Tuhan ke Akal-Satu, ke Akal-Dua dan seterusnya sampai ke Akal-Akhir, ada yang mengatakan bahwa mereka berjumlah 10 tingkatan Akal (tetapi tidak kuat dalilnya), lalu dari Akal-Terakhir ke Barzakh dan kemudian dari Barzakh ke Materi. 

Dan karena setiap sebab memiliki kesempurnaan akibatnya secara lebih (karena sebab pasti lebih sempurna), maka makhluk Barzakh memiliki kesempurnaan Materi, dan Akal-Akhir memiliki kesempurnaan Barzakh dan Materi, Akal-Sebelum-Akhir memiliki kesempurnaa yang dibawahnya. Begitu seterusnya ke atas sampai kepada Allah. 

Tetapi kesempurnaan yang dimiliki sebab, sudah tentu lebih baik dari yang dimiliki akibat. Oleh karenanya semakin ke atas atau ke sebab, maka semakin berkurang rangkapannya. Dan kekurangan rangkapan ini menjadikannya, lebih sempurna karena lebih sedikit keterikatannya, yaitu pada masing-masing rangkapannya tersebut, atau semakin me-non-materi, maka kesempurnaan tersebut semakin tinggi lantaran, rangkapannya semakin sedikit (seperti Barzakh) atau bahkan tidak terangkap (seperti Akal). 

Dengan kata lain, kesempurnaan Alam Materi ada di dalam Barzakh, Barzakh ada di dalam Akal dan Akal di dalam Tuhan. 

Tetapi ingat, kata ”Dalam” di sini bukan sebagai tempat, karena Barzakh ke atas Non Materi, dan begitu pula semakin ke atas semakin ”Sederhana” atau semakin sedikit rangkapannya dan ketika sampai ke Akal-Terakhir, maka ”Rangkapan Nyata” itu jadi hilang, apalagi ketika sampai ke Akal berikutnya, sampai ke Akal-Satu dan ke Tuhan. 

Misalnya, Qur'an yang ada di materi, memiliki tulisan dan ucapan yang materi, tetapi di Bar- zakh hanya berupa ayat-ayat yang tidak tertulis dan terbaca secara materi. Dan begitu sampai ke-Akal atau malaikat tinggi ini, maka rangkapan ayat-ayat dan huruf-huruf itu menjadi sirna. Akal atau malaikat tinggi ini, maka rangkapan ayat-ayat dan huruf-huruf itu menjadi sirna. Begitu pula ketika sampai pada Akal-Satu dan Tuhan. Semua rangkapan ayat-ayat dan huruf-huruf itu tidak mungkin terwujud secara rangkapan ayat-ayat dan huruf, karena kalau terwujud, maka Akal dan Tuhan akan memiliki rangkapan yang akan menjadikan mereka terbatas sebagaimana makalaum. 

Memang, Akal tidak sama dengan Tuhan, karena Akal terbatas. Akan tetapi keterbatasannya bukan karena rangkapan yang ada di dalam dirinya, karena mereka tidak memiliki rangkapan sebagaimana maklum. Jadi, keterbatasan mereka, karena mereka bukan Tuhan. Begitu juga wujud-wujud materi lainnya seperti manusia, batu, tanah . Mereka ini semakin ke atas maka semakin sederhana dari rangkapan dan bahkan sampai tidak memiliki rangkapan sama sekali seperti Akal-akal dan Tuhan. 

Di samping rangkapan, gerak dan proses materi juga demikian. Maka semakin ke atas perubahan- perubahan yang ada, terjadi di luar waktu dan jaman, seperti kita bermimpi berjalan, makan dan sebagainya dan bahkan, ketika sampai ke Akal dan, apalagi Tuhan, maka perubahan-perubahan itu sudah tidak terjadi lagi. Yang, jangankan perubahan-perubahan dalam waktu, perubahan- perubahan di luar waktu juga tidak terjadi lagi, karena Akal dan Tuhan, sama-sama Non Materi Mutlak yang tidak memiliki rangkapan sedikitpun dan ketika wujud itu tidak memiliki rangkapan, maka sudah pasti mustahil berubah. 

Karena perubahan adalah dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Sementara yang tidak punya tidak mungkin memiliki ”Keadaan”, karena ”Keadaan” adalah susunan tertentu dari bagian-bagian yang dimilikinya. 

Dan ”Perubahan Keadaan ke Keadaan Yang Lain” artinya dari susunan tertentu ke susunan yang lain. Sementara yang tidak memiliki rangkapan, tidak mungkin memliki susunan-susunan itu hingga berubah ke susunan yang lainnya. 

Dengan penjelasan di atas itu, dapat dipahami bahwa ”Jumlah dalam Volume” dan Perubahan dalam Waktu” itu, terjadi hanya pada Materi. Sementara ”Jumlah bukan Volume/jasmaniyah” dan ”Perubahan tidak dalam Waktu” atau Perubahan Kunfayakuni”, terjadi pada Barzakh. Sedang yang ”Satu”, ”Tidak Terangkap” dan ”Tetap/Tsabit” terjadi sejak dari Akal-Terakhir sampai dengan Akal- Satu dan Tuhan. Jadi, kehirukpikukan itu, hanya terjadi di malaikat Barzakh dan terlebih di alam Materi. 

Begitu pula perubahan-perubahan, baik dalam waktu atau tidak, hanya terjadi di Alam Materi sampai Barzakh saja. 

Dengan penjelasan ini, maka dapat ditarik kesimpulan pasti, bahwa Lauhu al-Mahfuzh itu tidak mungkin ada di alam Materi dan Barzakhi. Dan karena ia adalah kitab setingkat di atas kitab Qada dan Qadar, maka ia adalah Akal-Terakhir itu. Ingat, Qada dan Qadar di sini tidak seperti yang diyakni agama Hindu bahwa semuanya sudah ditentukan oleh Tuhan dan dalam filsafat, Akal- Terakhir itu juga dikenal dengan ’Arsy Allah. 

Karena ’Arsy adalah Kursi Singgasana yang diduduki oleh seorang raja ketika sedang memerintah rakyatnya melalui menteri-menterinya. Dan karena malaikat Barzakh itu adalah ”Malaikat Penga- tur Alam Materi” dan karena kepengaturan mereka itu sebagai kepanjangan tangan Tuhan, maka sudah selayaknya kalau Tuhan ”duduk” di kursi singga sanaNya itu. Dan karena ”Duduk” di sini adalah Tuhan yang bukan materi dimana kursinya juga pasti bukan materi, maka yang dimaksudkan duduk di atas ’Arsy adalah ”Maqam Allah yang ada di derajat Akal-Akhir tersebut”. Katakanlah Tangan Allah yang ada di Akal-Akhir tersebut, yakni dengan kata lain, adalah Akal- Akhir itu sendiri. 

Jadi, Allah duduk di atas ’Arsy (QS: 7:54), maksudnya adalah Allah menduduki dan mengontrol serta menguasai Akal-Akhir tersebut. Yakni dengan bahasa gamblangnya, Allah memakai Akal- Akhir itu untuk mengatur alam Materi melalui para mentriNya, alias malaikat pengatur tersebut
Pembahasan ke Empat Tentang Empat Perjalanan: 



Empat Perjalanan ini ada yang Irfanis dan ada yang Mulla Shadrais. Dan sudah tentu Mulla Shadra mengambil dari Irfan. Akan tetapi, sebelum saya terangkan mengenainya, perlu terlebih dahulu untuk menerangkan tentang ”Alam-Kecil”, yaitu ”Manusia”. 

Manusia adalah paling sempurnanya wujud Materi, karena Ruhnya paling afdhalnya ruh yang ada di alam materi. Perlu diketahui bahwa setiap benda memiliki Ruh atau unsur non materi yang mengelola materinya secara langsung. Yakni Tuhan melalui malaikat-malaikat species/ spesies itu membuat materi dan meniupkan ruh ke dalam masing-masingnya, untuk mengelola badaniahnya. Batu, tanah, air, tumbuhan, hewan dan manusia memiliki unsur non materi yang mengatur badannya sesuai dengan kesempurnaan yang dimilikinya. Adanya ruh pada setiap materi ini, sudah dibuktikan di Wahdatul Wujud bagian: 2. 

Pengelolaan ruh terhadap badan materi ini sesuai dengan aktifitas yang dimilikinya. Kalau benda- benda yang kelihatan mati, berarti ruhnya pula rendah. Karena hanya mengatur putaran-putaran atomnya dan yang semacam itu. Tentu saja selain dzikir setiap makhluk untuk Tuhannya sesuai dengan derajatnya masing-masing. Dalam QS: 64:1 Allah berfirman bahwa semua apa-apa yang ada di langit dan bumi bertasbih kepadanya. 

Akan tetapi Tumbuhan, dia lebih sempurna sedikit dari bebatuan. Karena di dalam terdapat kehidupan dan perkembangan. Ruh-batu dan semacamnya, kita namai dengan ”Ruh-Tambang”, dan ruh tumbuhan kita namai dengan ”Ruh Tumbuhan”. Dan kerja Ruh-Tumbuhan ini adalah selain mengatur putaran-putaran atom badannya sebagaimana ruh-batu, ia juga mengatur pertumbuhannya. 

Dan kalau Ruh-Binatang, maka di samping mengatur dua hal itu, juga mengatur gerak-gerak ikhtiarnya. Sementara Ruh-Manusia, disamping yang tiga itu, juga mengatur pikirannya atau akalnya. Dan karena akal manusia ini sangat dekat (dibanding yang lainnya) dengan makhluk Akal-Akhir, maka ia adalah materi yang paling afdhal dan utama. 

Bukti kedekatan manusia dengan Akal, adalah bahwa manusia memiliki akal atau rasio hingga dikatakan Rasional. Ingat, akal manusia bukan makhluk Akal. Akal manusia ini adalah alat untuk memahami universal. Sedangkan universal adalah ”Pahaman Yang Memiliki Lebih dari Satu keberadaan nyata atau ekstensi”. Atau ”Pahaman yang Bisa Diterapkan pada lebih dari satu keberadaan”. Sedangkan mengapa satu pahaman seperti manusia atau pohon bisa diterapkan ke banyak atau lebih dari satu keberdaan? Misalnya Ahmad, Hasan, Husain...dan seterusnya, atau pohon ini, pohon itu, pohon di sini, pohon di sana dan seterusnya? 

Jawabannya adalah karena pada ”Pahaman Pohon” itu kita telah meniadakan ciri-ciri tertentunya. Misalnya ukurannya, warnanya, jumlah ranting dan daunnya dan seterusnya. Oleh karena ketiadaan ukuran dan sifat-sifat tertentunya itulah, maka pahaman tersebut bisa diterapkan ke semua pohon yang ada di alam nyata. Dan ini, mirip sekali dengan keadaan Akal-Akhir yang meliputi semua kesempurnaan di bawahnya. 

Karena kalau pahaman pohon itu sudah diidentikkan dengan keadaan tertentu, begitu pula kalau Akal-Akhir itu juga diidentikkan dengan Barzakh tertentu, maka pahaman pohon itu hanyak bisa diterapkan pada satu pohon, dan tidak akan mencakup yang lainnya. Begitu pula tentang Akal- Akhir kalau hanya meliputi satu Barzakh, maka dia tidak lagi akan bisa meliputi malaikat-malaikat lain yang ada di Barzakh itu. Kalau sudah demikian, maka pahaman pohon tadi tidak lagi universal, dan Akal-Akhir tadi tidak lagi sebagai sebab bagi Barzakh. 

Padahal pahaman pohon itu adalah universal dan Akal-Akhir adalah sebab bagi semua Barzakh dimana menuntut kepemilikannya terhadap semua makhluk Barzakh dimana membuatnya juga mencakupi semua makhluk Barzakh tersebut. 

Dengan penjelasan ini, dapat dipahami bahwa manusia memiliki unsur badani atau materi, dan memiliki unsur ruh. Dan ruhnya ini terbentang dari ruh-tambang ke ruh-tumbuhan, lalu ke ruh- hewan sebelum kemudian ke ruh-akal auliahnya. Ingat, ruh manusia dan ruh apa saja, adalah satu dan non materi. Tetapi ada yang memiliki satu kekuatan saja dan ada pula yang memiliki lebih dari satu kekuatan. Seperti ruh manusia ini memiliki empat kekuatan, tambang, tumbuhan, hewaniah dan akal auliah. 

Dengan demikian manusia memiliki unsur badani, ruhi barzakhi (karenanya semua ilmunya tidak berbadaniah, karena kalau ilmunya berbadan, maka otaknya akan hangus manakala mem- bayangkan dan mengetahui api), dan ruhi akli/aqli. Dan semua ini, mirip sekali dengan Alam- Besar/semesta itu. Oleh karenanya manusia dikatakan Alam-Kecil. Katakanlah ”Miniatur dari alam semesta dan ketiga tingkatannya itu”. Empat Perjalanan yang dimaksud dalam Irfan adalah dari Makhluk ke Khaliq, dan Dari Khaliq ke Kahliq, lalu dari Khaliq ke Makhluq bersama Khaliq, sebelum kemudian dari Makhluk ke Khaliq bersama Makhluk. 

Perjalanan manusia yang pertama itu dimulai dari materi ke barzakhi, lalu ke Akal dan ke Allah. 

Maksud ke Allah, bukan menjadi Allah, tetapi mengembalikan khayalan ”Kepemilikan Ada” yang ada pada kita. 

Sebagaimana sudah dibuktikan dalam Wahdatul Wujud, bahwa yang Ada hanya Allah, maka kita dan alam sekitar ini adalah bukan ada, dan hanya sebagai bayangan atau hikayat tentang Ada itu. Oleh karenanya perasaan memiliki ini harus ditiadakan hingga ”ada” itu dalam tatapan kita menjadi milikNya semata. Kenapa dalam tatapan kita? Karena dari awal memang milikNya dan tak pernah dimiliki selainNya. Maqam pengembalian ”Ada” inilah yang dikenal dengan ”Fanaa’’ ”. 

Caranya secara global adalah, melakukan semua kewajiban dengan baik, meninggalkan seluruh yang diharamakaan, dimakruhkan, karamat, fadhilah, surga, ’Arsy dan seterusnya dari apa-apa selain Allah. 

Perjalanan Pertama ini akan berhenti manakala sampai pada Akal-Pertama. 

Akan tetapi manusia tidak boleh menyukainya kalau ingin meneruskan perjalannya. Yakni kalau ingin menyempurnakan Perjalanan Pertamannya. Nah, ketika ia tidak suka pada diri dan maqamnya yang sudah sampai di tingkat Akal-Satu itulah, hingga ia hanya melihat Adanya saja, maka itulah yang dikatakan ”Akhir Dari Perjalan Pertama” yang disebut pula dengan ”Fanaa’ ”. 

Setelah Perjalan Pertamanya selesai dan dia sekarang hanya melihat Allah, dan tidak lagi melihat lainnya karena memang tidak ada, maka mulailah ia berjalan di antara sifat-sifatNya. Dengan kata lain : mulailah tersingkap satu persatu sifat Tuhannya, dimulai dari yang sifat paling bawah, yaitu Sifat-sifat Perbuatan atau A’mal, sampai ke Sifat-sifat Zati. 

Itulah yang dikatakan Perjalan Ke Dua. Yaitu perjalanan dari Khaliq ke Khaliq. Setelah itu, dengan ijinNya, dia kembali lagi ke Makhluk, tetapi bukan berarti menganggapnya makhluk ini ada dan disukainya lagi. Karena dia kembali sudah dengan kefanaa’annya itu. 

Yakni kembali dengan Tuhannya. Artinya dia yang tadinya hanya hakikat tajalli Tuhan tanpa melihatnya, kini dia telah melihat tajalli itu. Oleh karenanya dia tidak pernah lagi keluar ke merasa wujudnya lagi sebagaimana sebelum fanaa’. 

Ketika ia kembali dengan Khaliqnya yakni dengan ketiada beradaannya dan keberadaan Khaliq- nya, maka ia telah benar-benar merasakan tajalli itu. Oleh karenanya ia telah menjadi Mata Tuhan untuk melihat dan seterusnya sebagaimana yang diriwayatkan di hadits Qudtsi. Oleh karena itulah Allah dalam QS: 53:4, mengatakan bahwa Nabi saww itu tidak bicara apapun kecuali wahyu yang diwahyukan padanya. Ini bukan berarti wahyu yang berupa Qur'an saja, karena Allah mengatakan ”Tidak mengatakan apapun” dimana kalimat ini mencakupi selain Qur'an, yaitu pembicaraan sehari-hari. 

Setelah ia kembali di antara makhluk bersama Khaliknya dengan makna di atas tadi itu, maka ia mulai meneruskan perjalannya dengan mengajak makhluk kepada Kahliq. 

Inilah sekelumit tentang Empat Perjanan Irfani itu. 

Tambahan

pembaca bisa merujuk ke catatanku tentang Kedudukanfantastis Imam, dimana saya membuktikan kelayakan manusia sebagai khalifah dan ketidaklayakan yang lainnya. Hal itu karena, manusia memiliki semua unsur makhluk, dari materi sampai mendekati Akal, dan mencapainya manakala melakukan perjalanan seperti yang diterangkan di sini ini. 

Oleh karena itulah, yakni karena manusia sempurna memiliki semua unsur, maka bisa menjadi Khalifah Tuhan untuk meminpin semua makhluk secara langsung sesuai dengan derajat masing- masing makhluk. Yang mahkluk materi dipimpinnya dengan ruh-materinya, yang tumbuhan dengan ruh-tumbuhannya, yang binatang dengan ruh kehewanannya, yang Barzakhi dengan ruh- barzakhnya dan yang Akal dengan ruh-akal auliahnya yang sudah mencapai Fanaa’, perjalanan dua dan tiga itu. Maka itulah Nabi saww disebut sebagai Rahmatan Li al-’Alamin atau rahmat bagi segenap alam-alam, yakni materi, barzakhi dan akal auliah. 

Sedang Empat Perjalanannya Mulla Shadra ada dua macam, ada yang Irfani dimana sama dengan penjelasan di atas, ada juga yang Filosofi sebagaiamana yang akan saya terangkan sekarang. Mulla Shadra, ketika menulis Filsafat meniru cara perjalannya Irfan. Yakni filsafat yang memberjalankan akal dan pikiran dianalogikan dengan pemberjalanan Ruh manusia. 

Oleh karena itu pembahasan filsafatnya dibagi atas 4 bagian itu. Yakni dari Makhluk ke Khalik, Perjalanan filsafat dari Makhluk ke Khalik adalah Mempelajari Wujud-wujud Terbatas Seperti pembahasan tentang ada, esensi, substansi, aksiden, gerak dan semacamnya. Dan pembahasan pertama tersebut diakhiri dengan pembahasan pembuktian Tuhan. Maka perjalanan pemikiran dan ilmu itu sudah layak dikatakan dari makhluk ke Khalik. 

Setelah Pembahasan Pertamanya selesai, maka Mulla Shadra membahas tentang Tuhan itu sendiri. Baik dari Zat atau Sifat-sifatNya. Setalah itu Mulla Shadra membuktikan keberadaan makhluk dengan keberadaan Khalik. Persis sebagai oposan dari perjalanan pertama. Karena yang pertama membuktikan Tuhan dengan makhluk. Tetapi pada pembahasan ke tiga ini sebaliknya, yakni membuktikan keberadaan makhluk dengan keberadaan Khaliknya. Baru setelah itu Mulla Shadra membahas jiwa atau ruh manusia sebagai wujud yang bisa kembali ke sumber awalnya. 

Di pembahasan akhir ini beliau membahas hakikat ruh manusia, potensinya, bisa-tidaknya kembali pada Khaliknya, apa arti kembali di sini. 

Dengan uraian ringkas ini maka selesailah pembahasan kita kali ini. Semoga penulisan yang memakan waktu 11 jam ber-turut-turut ini (dipotong makan, shalat dan ke kamar kecil, begitu pula ditambah ngadat-ngadatnya signal/sinyal, menjadi bermamfaat dunia-akhirat untuk saya pribadi dan para pembaca sekalian. Semoga juga tidak lupa do’akan alfakir. 

Ali Petra, Ahmad Muhammad Yunus, Miftah Fadhlullah dan 23 lainnya menyukai ini. 

Noer Aliya Agatha: Salam kalau ada notes ajib ditag dong say. Afwan, Makasih .. :) 

Terter Jerry: Ya dunk say bagi-bagi ma kita-kita..afwan wa sukron. 

Haerul Fikri: Subhanallah..! 

Layla Kareem: Tag me. 

Ardi Shushelo: Merupakan kesalahan Al Hallaj yang mengucapkan dan mengajarkan konsep wahdatul wujud (ANA AL-HAQQ) kepada murid-muridnya. Bahwa hal tersebut adalah ilmu yang sangat pribadi dan hanya dimengerti oleh orang-orang yang menerimanya. Selain itu, al haqq merupakan sifat” Allah...” belum terlambat, jangan sampai ilmu ini membuat pikiran temen ”SUTRIIIEEES” dibuatnya. 

Khana Putra: Saya mengumpamakan wahdatul wujud seperti kayu dan api, ketika api dan kayu menyatu dan sudah menjadi bara kita tak kan bisa membedakan mana api dan mana kayu, tapi api tetaplah api dan kayu tak akan bisa berubah menjadi api. 

Don Flores: Saudarii Anggelia, terimakasih atas tautan-tautannya yang sangat berguna buat Aku...salam untuk Haerul Fikri dan Ustadz Sinar Agama. “Semoga kita termasuk golongan orang- orang yg beruntung di dunia dan akhirat dan kepada-Nyalah kita berserah diri“.....amin ya Rabbal alamin. Allahumma shalli ala Muhammad wa Aali Muhammad. Allahumma shalli ala Muhammad wa Aali Muhammad. Allahumma shalli ala Muhammad wa Aali Muhammad...Lihat Selengkapnya 

Adil Irfandi: Tidak ada satu pun dalil dari alquran dan hadist yang membenarkan uraian yang panjang membosankan dan membingungkan ini. Dapat darimana hasil pemikiran ini mimpi kali yeee, ...... 

Sunan Mahakam: Maaf nei> koment antum terakhir termasuk gradasi juga ya...(dipotong makan, shalat dan ke kamar kecil, begitu pula ditambah ngadat-ngadatnya signal) hehehe.. 

Eydzar Ali Stany: @ardi ana Al-Haqq oleh Al-Hallaj berbeda dengan wahdatul wujud yang sedang didiskusikan di atas, mempunyai thema yang sama namun pemikiran yang jauh berbeda :) @ Irfandi Al-Fathihah ayat 1 dan Al-Ikhlas ayat 1-2 sudah cukup menjelaskan uraian... ini ^_^ Al- Qur’an bukanlah buku Komik ^_^ 

Eydzar Ali Stany: @ardi tambahan,,,, kalau diskusi ini mempunyai pemikiran yang sama dengan al-hallaj tentu umat Syi’ah di masa Al-Hallaj tidak akan mendukung hukuman mati atas Al-Hallaj :) 

Muntazar Zaidi: Apakah pada awal Islam, pengikut pertama nabi dari kalangan mustadhafiin seperi Ammar bin Yasir, Bilal, yakni orang-orang yang dalam tanda kutip tidak memperoleh pendidikan formal tinggi-tinggi amat harus memahami filsafat tingkat tinggi untuk jadi orang beriman? 

Nimas Samin Al-asy’ary: Bagaikan AIR dan ES BATU,,, berbeda tapi hakekatnya SAMA,,, air,,,, perumpamaan wahdatul wujud buatku,,,,jadi pendapat alhallaj juga gak salah ni menurutku,,,gak perlu SUTRIS X.....om adi,,, 

Sinar Agama: Salam, Terimakasih untuk mbak Anggelia yang tidak melelahkan dirinya untuk memuat tulisanku yang cerai berai dalam satu tulisan yang ternyata cukup panjang. Terimakasih juga bagi yang lainnya karena telah bersimpati, baik suka atau tidak. 

Sinar Agama: Ali, Antum mengatakan yang benar bahwa pembahasan kita ini sangat beda dengan yang lainnya. Tolong teman-teman kalau memang minat, bacalah tulisan-tulisan di atas dengan seksama, dan kalau bisa baca jg bagian sebelumnya, dan begitu pula nanti yang bagian limanya. 

Anggelia Sulqani Zahra: Salam terima kasih banyak ustad Sinar ...semoga Allah memuliakan jiwamu....ustad. Merangkai tulisan ustad hanya membutuhkan waktu beberapa jam.. tetapi untuk merenungi tulisan ustad, membutuhkan waktu berhari-hari. Jika saya telah mengalami hal itu tentunya saya juga dapat memahami pengorbanan waktu pikiran tenaga serta segala sesuatu yang ada pada diri ustad dalam mengarungi lautan ilmu,,,sehingga hari ini saya mendapatkan mutiara hikmah dari para guru-guru suci yang terdahulu maupun yang sekarang...ustad.. Jika ada komentar-komentar ustad di dinding teman-teman lainnya yang dipandang perlu dijadikan rujukan dalam kelas filsafat ini maka insya Allah saya akan mengumpulnya menjadi satu catatan, tentunya melalui petunjuk ustad.. 

Sinar Agama: Mbak Anggelia: Terimakasih atas semua kerja dan perhatiannya. Kayaknya baha- san ini akan tersusuli dengan contoh ayat-ayat dan riwayat irfan atau wahdatulwujud, karena sepertinya akan ada yang)menanyakan ayat tentang itu. 

Sinar Agama: Tak lupa kumohon do’anya dari mbak Anggelia dan yang lain supaya kita selalu membajui diri yang kumuh ini dengan cahayaNya(.) 

Komar Komarudin: Salam, sebagai sumbang saran saja, itu kalau diterima, sebaiknya teman- teman yang mengikuti kajian ini, da baiknya memiliki buku Tauhid karya : Hujatul Islam, Hasan Abu Ammar terbitan yayasan Mullah Shadra, cukup baik sebagai referensi sebagai pengimbang dengan Istilah-istilah yang hampir sama cara penyampaiannya, kalau ada yang berminat memiliki buku ini tolong kirim pesan by inbox, .... untuk Mba Anggelia salam kenal, mohon kalau ada tulisan-tulisan atau apalah tentang keilmuan di tag ke saya. Sukron kasir. Semoga Allah SWT membantu kita semua dalam mengarungi samudranya ilmu, membuka tabir-tabir Hikmah-himah Tuhan yang selama ini hilang dan nyaris tak pernah kita sentuh...Ilahi Amin. 

Hati Kecilku: Pak Komar,,,af1 dimana ana bisa beli,,,ana di Papua,,mungkin antum tau toko yang bisa jual pesanan? 

Komar Komarudin: Akhi.....Antum bisa pesan ke ana, atau kontak ke yayasan.. Tulis aja alamat dan Hp antum By Inbox ana...Insya Allah Kita Kirim. Tapi Kalau bisa teman-teman di sana ditawarin juga .. biar biaya kirimnya murah.. 

Aat Laparuki: Jangankan manusia, api di bukit Tursina di hadapan Musa AS juga pernah mengucapkan dan mengaku seperti pengakuan al Hallaj. Dan diabadikan dalam Alquran, cuman saya lupa surah dan ayatnya -tolong dingatkan dong bagi yg tahu. Hehehehe 

Anggelia Sulqani Zahra: Ustad, Sinar Agama dan teman-teman..maaf catatannya baru selesai diperbaiki kalimat-kalimatnya’ tentunya tidak merubah maksud kalimat aslinya ’’’silahkan baca kembali.... 

Sinar Agama: Salam Anggelia, maaf terpaksa kuterbitkan lagi, karena berbagai hal, yakni banyak yang minta dan selalu tanya balik karena kadang tidak terlalu mudah mendapatkan di tempatmu karena harus add dulu dan sebagainya, jadi dari pada aku jawabin orang-orang terus-terusan, jadi kuterbitin saja di catatanku, semoga kamu memaafkanku. 

Sinar Agama: Aat, sepertinya antum belum teliti membaca tulisanku, afwan.



اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وآلِ مُحَمَّدٍ وعَجِّلْ فَرَجَهُمْ